46
BAB II
KAJIAN FILOLOGIS
Kajian secara filologis berupa : deskripsi naskah, perbandingan naskah,
kritik teks, dasar-dasar penentuan naskah yang akan ditransliterasi, transliterasi
naskah, suntingan teks dan aparat kritik, dan sinopsis.
A. Deskripsi naskah
Deskripsi naskah merupakan sarana untuk memberikan informasi
mengenai : judul naskah, nomor naskah, tempat penyimpanan naskah, asal
naskah, ukuran naskah dan teks, keadaan naskah, jumlah baris setiap halaman,
huruf, aksara, tulisan, cara penulisan, bahan naskah, bahasa naskah, bentuk
naskah, umur naskah, fungsi sosial naskah serta ikhtisar teks. Sedangkan
ringkasan isi naskah digunakan untuk mengetahui garis besar kandungan naskah
sesuai dengan urutan cerita dalam naskah. (Emuch Hermansoemantri, 1986: 2).
Deskripsi naskah Sêrat Srutjar terdiri dari tiga buah naskah. Masing-
masing naskah disebut dengan naskah A, naskah B dan naskah C. Penyebutan ini
didasarkan pada urutan kelengkapan isi naskah dan kualitas naskah berdasarkan
interpretasi peneliti.
1. Naskah A
a. Judul : Sêrat Srutjar
47
Kagungan Dalêm Sêrat Surti (Judul
dalam)
b. Pengarang / penyalin : Kangjêng Pangeran Ariya Santakusuma / -
c. Nomor naskah : 140 Na
d. Tempat penyimpanan naskah : Perpustakaan Sasana Pustaka Karaton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat
e. Asal naskah : -
f. Keadaan naskah : Naskah masih baik tetapi sudah rapuh.
Secara isi masih lengkap, tulisan tinta hitam dapat terbaca dengan baik,
tulisan tinta merah sudah banyak yang luntur dan hanya sedikit yang
terbaca jelas. Jilidan kertas ada beberapa yang terlepas.
g. Ukuran naskah : 19,5 cm x 31 cm
h. Ukuran teks : 14 cm x 25
Margin atas : 3 cm
Margin bawah : 3 cm
Margin kanan : 3 cm
Margin kiri : 2,5 cm
i. Tebal naskah : 346 halaman
j. Jumlah baris per halaman : 19
k. Huruf, aksara, tulisan : huruf Jawa carik, ukuran kecil, bentuk
tulisan tegak bulat, warna tinta hitam dan merah. Beberapa huruf terdapat
bercak kecoklatan, tulisan tinta hitam jelas terbaca, tulisan merah agak
sulit dibaca karena banyak yang luntur. Jarak antar-huruf rapat dan jarak
antar-baris atau spasi agak renggang.
48
l. Cara penulisan : Penulisan judul pada halaman cover /
sampul naskah. Penulisan isi dimulai pada lembar halaman keempat.
Sebelum penulisan isi terdapat penjelasan isi naskah pada halaman ketiga.
Penulisan tiap lembar ditulis bolak-balik atau recto verso. Teks ditulis
dengan arah menuju lebarnya, artinya teks ditulis sejajar dengan lebar
lembaran naskah. Penulisan larik-lariknya ditulis dengan berdampingan
lurus. Tidak terdapat penomoran halaman.
m. Bahan naskah : Bahan naskah menggunakan kertas polos
tanpa garis. Warna kertas sudah berubah kecoklatan dan terdapat bekas
seperti berjamur. Cover naskah depan dan belakang menggunakan kertas
seperti buku daftar inventaris, sampul berwarna coklat.
n. Bahasa naskah : Bahasa yang digunakan adalah bahasa
Jawa baru ragam ngoko dan krama pada prosa dan bahasa Jawa klasik
pada tembang. Selain itu terdapat kata-kata dari bahasa Arab, Melayu dan
Jawa Kawi.
o. Bentuk teks : Bab pertama berbentuk puisi (tembang)
bermetrum Dhandhanggula sebanyak 92 pada. Bab kedua dan ketiga,
berbentuk prosa (gancaran) sebagai penjelasannya lebih lanjut dari bab
tembang.
p. Umur naskah : 247 tahun ( terhitung sampai tahun 2015).
Ditandai dengan kolofon yang berbunyi “Khatam. Titi. Wallahualam. Ing
dintên Akad Wage, tanggal kaping 22 wanci jam kalih siyang wulan Sapar
taun Jimawal angkanipun ing warsa 1797.” Selesai pembuatan pada hari
Minggu Wage tanggal 22 pukul 2 siang pada bulan Sapar tahun Jimawal
49
berangka tahun 1797. Tahun 1797 Jawa bila dikonversikan tahun Masehi
menjadi 1868 Masehi.
(Berdasarkan konversi Kalender Jawa elektronik, 1555 J = 1633 M)
q. Fungsi sosial : -
r. Ikhtisar teks : Merupakan naskah jarwan / naskah
interpretasi dari Sêrat Nitisruti yang dikarang oleh K.P.A Santakusuma
untuk memberikan ajaran / piwulang kepada anak cucunya. Penjelasan
mengenai ajaran tersebut dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama
adalah penulisan sebuah tembang Nitisruti bermetrum Dhandhanggula
berjumlah 92 pada yang akan diajarkan, bagian kedua adalah pengartian
secara umum tembang tersebut, dan bagian ketiga adalah penjelasan secara
mendetail mengenai isi dari tembang tersebut baik per kalimat dan atau per
kata.
2. Naskah B
a. Judul : Sêrat Srutjar
b. Pengarang / penyalin : Kangjêng Pangeran Ariya Santakusuma / -
c. Nomor Naskah : 116 Na
d. Tempat penyimpanan naskah : Perpustakaan Sasana Pustaka Karaton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat
e. Asal naskah : -
f. Keadaan naskah : Naskah masih baik, utuh, secara isi masih
lengkap, tulisan dapat terbaca dengan baik. Jilidan ada yang terlepas.
g. Ukuran naskah : 19,5 cm x 31 cm
50
h. Ukuran teks : 14 cm x 25
Margin atas : 3 cm
Margin bawah : 3 cm
Margin kanan : 3 cm
Margin kiri : 2,5 cm
i. Tebal naskah : 327 halaman
j. Jumlah baris per halaman : 19
k. Huruf, aksara, tulisan : huruf jawa carik, ukuran kecil, bentuk
tulisan tegak bulat, warna tinta hitam dan merah. Beberapa huruf terdapat
bercak kecoklatan dan agak sulit dibaca. Jarak antar-huruf rapat dan jarak
antar-baris atau spasi agak renggang. Tulisan dapat terbaca dengan jelas.
l. Cara penulisan : Penulisan judul pada halaman cover /
sampul naskah. Penulisan isi dimulai pada lembar halaman keempat.
Penulisan tiap lembar ditulis bolak-balik atau recto verso. Teks ditulis
dengan arah menuju lebarnya, artinya teks ditulis sejajar dengan lebar
lembaran naskah. Penulisan larik-lariknya ditulis dengan berdampingan
lurus. Tidak terdapat penomoran halaman.
m. Bahan naskah : Bahan naskah menggunakan kertas polos
tanpa garis. Warna kertas sudah berubah kecoklatan dan terdapat bekas
seperti berjamur. Cover naskah depan dan belakang menggunakan kertas
seperti buku daftar inventaris, sampul berwarna coklat.
n. Bahasa naskah : Bahasa yang digunakan adalah bahasa
Jawa baru ragam ngoko dan krama pada prosa dan bahasa Jawa klasik
51
pada tembang. Selain itu terdapat kata-kata dari bahasa Arab, Melayu dan
Jawa Kawi.
o. Bentuk teks : Bab pertama berbentuk puisi (tembang)
bermetrum Dhandhanggula sebanyak 92 pada. Bab kedua dan ketiga,
berbentuk prosa (gancaran) sebagai penjelasannya lebih lanjut dari bab
tembang.
p. Umur naskah : 252 tahun ( terhitung sampai tahun 2015).
Ditandai dengan kolofon yang berbunyi “Pèngêt ing nalika rampunging
panyêrat sêrat srutjar Kagungan Dalêm Sinuhun Pakubuwana ingkang
kaping sanga. Anêdhak sêrat srutjar kagungan Kangjêng Pangeran Ariya
Santakusuma kala ing dintên Isnèn wanci siyang pukul 1 langkung 11
mênut tanggal kaping 2 ing wulan Mulut ing taun Be angkaning warsa
1792”. Selesai penulisan salinan naskah pada hari Senin pukul 1 lebih 11
menit, tanggal 2 bulan Maulud tahun Be dengan angka tahun 1792. Tahun
1792 Jawa bila dikonversikan tahun Masehi menjadi 1863 Masehi.
(Berdasarkan konversi Kalender Jawa elektronik, 1555 J = 1633 M)
q. Fungsi sosial : -
r. Ikhtisar teks : Merupakan naskah jarwan / naskah
interpretasi dari Sêrat Nitisruti yang dikarang oleh K.P.A Santakusuma
untuk memberikan ajaran / piwulang kepada anak cucunya. Penjelasan
mengenai ajaran tersebut dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama
adalah penulisan sebuah tembang Nitisruti yang akan diajarkan, bagian
kedua adalah pengartian secara umum tembang tersebut, dan bagian ketiga
52
adalah penjelasan secara mendetail mengenai isi dari tembang tersebut
baik per kalimat dan atau per kata.
3. Naskah C
a. Judul : Sêrat Srutjar
b. Pengarang / penyalin : Kanjêng Pangeran Ariya Santakusuma / -
c. Nomor naskah : 113 Na
d. Tempat penyimpanan naskah : Perpustakaan Sasana Pustaka Karaton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat
e. Asal naskah : -
f. Keadaan naskah : Naskah masih baik, utuh, secara isi masih
lengkap, tulisan dapat terbaca dengan baik.
g. Ukuran naskah : 19,5 cm x 31 cm
h. Ukuran teks : 14 cm x 25
Margin atas : 3 cm
Margin bawah : 3 cm
Margin kanan : 3 cm
Margin kiri : 2,5 cm
i. Tebal naskah : 298 halaman
j. Jumlah baris per halaman : 19
k. Huruf, aksara, tulisan : huruf jawa carik, ukuran kecil, bentuk
tulisan tegak bulat, warna tinta hitam dan merah. Beberapa huruf terdapat
bercak kecoklatan dan agak sulit dibaca. Jarak antar-huruf rapat dan jarak
antar-baris atau spasi agak renggang. Tulisan dapat terbaca dengan jelas.
53
l. Cara penulisan : Penulisan judul pada halaman cover /
sampul naskah. Penulisan isi dimulai pada lembar halaman keempat.
Sebelumnya pada lembar ketiga terdapat kolofon awal penulisan naskah.
Penulisan tiap lembar ditulis bolak-balik atau recto verso. Teks ditulis
dengan arah menuju lebarnya, artinya teks ditulis sejajar dengan lebar
lembaran naskah. Penulisan larik-lariknya ditulis dengan berdampingan
lurus. Tidak terdapat penomoran halaman.
m. Bahan naskah : Bahan naskah menggunakan kertas polos
tanpa garis. Warna kertas sudah berubah kecoklatan dan terdapat bekas
seperti berjamur. Cover naskah depan dan belakang menggunakan kertas
seperti buku daftar inventaris, sampul berwarna biru.
n. Bahasa naskah : Bahasa yang digunakan adalah bahasa
Jawa baru ragam ngoko dan krama pada prosa dan bahasa Jawa klasik
pada tembang. Selain itu terdapat kata-kata dari bahasa Arab, Melayu dan
Jawa Kawi.
o. Bentuk teks : Bab pertama berbentuk puisi (tembang)
bermetrum Dhandhanggula sebanyak 92 pada. Bab kedua dan ketiga,
berbentuk prosa (gancaran) sebagai penjelasannya lebih lanjut dari bab
tembang.
p. Umur naskah : 251 tahun ( terhitung sampai tahun 2015).
Ditandai dengan kolofon yang berbunyi “Pèngêt ing nalika rampunging
panyêrat sêrat srutjar Kagungan Dalêm Sinuhun Pakubuwana ingkang
kaping sanga. Anêdhak sêrat srutjar kagungan Kangjêng Pangeran Ariya
Santakusuma kala ing dintên Sênèn wanci siyang pukul 2 langkung 9
54
mênut tanggal kaping 2 ing wulan Jumadiawal taun Wawu angka 1793”.
Selesai penulisan salinan naskah pada hari Senin siang pukul 2 lebih 9
menit, tanggal 2 bulan Jumadil Awal tahun Wawu berangka tahun 1793.
Tahun 1793 Jawa bila dikonversikan tahun Masehi menjadi 1864 Masehi.
(Berdasarkan konversi Kalender Jawa elektronik, 1555 J = 1633 M)
q. Fungsi sosial : -
r. Ikhtisar teks : Merupakan naskah jarwan / naskah
interpretasi dari Sêrat Nitisruti yang dikarang oleh K.P.A Santakusuma
untuk memberikan ajaran / piwulang kepada anak cucunya. Penjelasan
mengenai ajaran tersebut dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama
adalah penulisan sebuah tembang Nitisruti yang akan diajarkan, bagian
kedua adalah pengartian secara umum tembang tersebut, dan bagian ketiga
adalah penjelasan secara mendetail mengenai isi dari tembang tersebut
baik per kalimat dan atau per kata.
B. Perbandingan Naskah dan Kritik Teks
Perbandingan naskah menurut Edwar Djamaris (1977: 6) perlu dilakukan
apabila sebuah cerita ditulis dalam dua naskah atau lebih, untuk membetulkan
kata-kata yang salah atau tidak terbaca, untuk menentukan silsilah naskah, untuk
menentukan naskah yang terbaik dan untuk tujuan lain.
Di dalam perbandingan naskah terdapat kritik teks, yaitu penghakiman
terhadap suatu naskah. Mengadakan kritik teks berarti menempatkan teks pada
tempat yang sewajarnya, memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti atau
55 mengkaji kebenaran naskah, lembaran bacaan yang mengandung hal-hal atau
rangkaian kata-kata tertentu. Adapun tujuan utama dari kritik teks adalah untuk
mendapatkan bentuk teks yang mendekati aslinya, teks yang otentik yang ditulis
oleh pengarang tertutup kemungkinan ketika proses penyalinan terjadi kesalahan
atau kelalaian. Dalam kritik teks, seorang filolog dituntut untuk mempunyai
alasan kuat serta didukung data yang relevan dalam menentukan bacaan yang
benar, agar tidak terjadi penyimpangan. Naskah yang telah melewati proses ini
telah dapat dipertanggungjawabkan secara filologis. (Darusuprapta, 1984: 20).
Perbandingan naskah ini dilakukan dengan mengacu pada cara
perbandingan naskah milik A. Sudewa dan Edwar Djamaris. Menurut A. Sudewa
(1991) perbandingan naskah dilakukan dengan cara perbandingan pasal-pasal
ajaran dengan butir-butirnya meliputi perbandingan jumlah dan urutan dari tiap
teksnya berdasarkan pokok ajaran untuk mendapatkan naskah yang lengkap dalam
hal pokok ajaran, yang sekaligus mempunyai susunan atau urutan poin ajaran
tersebut dengan baik dan perbandingan letak kesejajaran pokok ajaran tersebut.
Menurut Edwar Djamaris (1977: 6), perbandingan naskah dilakukan dengan cara :
1. Perbandingan kata demi kata untuk membetulkan kata-kata yang tidak
terbaca, menentukan silsilah naskah, dan mendapatkan teks asli atau
terbaik
2. Perbandingan susunan kalimat atau gaya bahasa yang
mengelompokkan cerita yang bahasanya lancar dan jelas (hal. 27)
3. Perbandingan isi cerita, untuk mendapatkan naskah yang isinya
lengkap dan tidak menyimpang serta untuk mengetahui adanya
56
penambahan unsur atau pengurangan unsur yang telah ada dalam
naskah tersebut.
Perbandingan naskah ini dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih
terinci dan menyakinkan disertai dengan kritik teks yang menghasilkan sebuah
edisi teks yang valid. Bagian teks yang dibandingkan adalah teks bagian awal,
tengah dan bagian akhir. Hal serupa pernah dilakukan oleh Edwar Djamaris dalam
menentukan naskah dasar suntingan Tambo Minangkabau. Tambo Minangkabau
adalah naskah Melayu yang berbentuk prosa. Edwar Djamaris dalam
perbandingan bacaan tersebut tidak membandingkan secara keseluruhan teks
Tambo Minangkabau, cukup diambil bagian awal, tengah dan akhir.
Kasus dalam Sêrat Srutjar tidak jauh berbeda dengan kasus yang ada
dalam penelitian Tambo Minangkabau. Sêrat Srutjar juga merupakan naskah
jamak berbentuk prosa sebagai penjelasan lebih lanjut dari tembang-tembang
Sêrat Nitisruti yang berjumlah 92 tembang, dengan membagi menjadi tiga bab
penjelasan pada tiap tembang. Bab pertama adalah penulisan tembang Nitisruti
yang bermetrum dhandhanggula, kemudian bab kedua adalah penjelasan secara
umum tentang tembang tersebut, dan bab tiga adalah penjelasan secara khusus
mengenai kata perkata / kalimat tembang. Oleh karena itu dalam rangka
menentukan dasar suntingan, harus dilakukan perbandingan bacaan, yaitu bagian
awal, bagian tengah, dan bagian akhir.
Bagian awal, tengah dan akhir dari Sêrat Srutjar sudah dapat dikatakan
bisa mewakili keseluruhan isi dari naskah, karena bagian yang penting dari naskah
sudah bisa dilihat dari ketiga bagian tersebut. Teks Sêrat Srutjar pada bagian awal
berisi tentang pendahuluan, alasan dibuatnya Sêrat Srutjar dan ajaran awal
57 tentang bagaimana mencontoh perilaku seorang cendekiawan. Teks bagian tengah
adalah ajaran inti tentang penjelasan menjadi abdi negara yang baik, ajaran
yudanegara, dan ajaran asthabrata. Sedangkan teks bagian akhir adalah penjelasan
tentang kehormatan dalam perang dan permintaan maaf penulis kepada pembaca.
Disamping alasan tersebut, naskah Sêrat Srutjar merupakan naskah yang
monoton memiliki pola yang sama dari awal sampai akhir naskah, sehingga
sangat tepat apabila dilakukan perbandingan naskah cukup mengambil dari bagian
awal, tengah, dan akhir naskah. Berikut adalah perbandingan naskah dari Sêrat
Srutjar :
1. Perbandingan suku kata, kata per kata dan kelompok kata
Dalam perbandingan suku kata, kata per kata dan kelompok kata di
dalam Sêrat Srutjar ini, agar lebih mudah untuk memahaminya digunakan
beberapa pedoman berupa singkatan untuk mengkaji lembaran bacaan dalam
teks, yang disajikan dalam bentuk tabel. Adapun singkatan tersebut adalah :
No. : nomor urut
gbr : gambar naskah
bag : bagian gambar
brs : baris teks, dihitung dari urutan atas ke bawah
^ : varian lakuna
* : varian adisi
+ : varian hiperkorek
# : pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik
@ : pembetulan berdasarkan kebakuan kata / kamus
58
$ : pembetulan berdasarkan konteks dalam kalimat
% : pembetulan berdasarkan interpretasi peneliti
Tabel II. Perbandingan suku kata, kata perkata dan kelompok kata
BAGIAN AWAL
No. Gbr / bag/ baris Naskah A Naskah B Naskah C Edisi
1. 7697/ kiri/ 2 sakabèhing sangkabèhing*
sakabèhing sakabèhing #@
2. 7697/ kiri/ 8 sêkabate sakhabate sakhabate sêkabate #@
3. 7697/ kiri/ 14 sawatara sawêtara sawêtara sawêtara @#
4. 2510/ kiri/ 3 sak bab sabab + sabab + sak bab $%
5. 2510/ kiri/ 4 nêpungake anêpungake anêpungake nêpungake #$
6. 2510/ kiri/ 12 1. kawi 1. têmbung kawi
1. têmbung kawi
têmbung kawi #$
7. 2510/ kiri/ 15 5.pralambang 5. wangsalan 5. wangsalan
5. wangsalan $%
8. 2510/ kiri/ 16 6. ibarat 6. paribasan 6. paribasan 6. paribasan $%
9. 2510/ kiri/ 13 9. wangsalan 9. daliling kuran
9. daliling kuran
9. daliling Kuran $%
10. 2510/ kiri/ 14 10. dalil kuran
10. kadising kitab
10. kadising kitab
10. kadising kitab $%
11. 2510/ kiri/ 15 11. têmbung kitab
11. têmbung malayu
11. têmbung malayu
11. têmbung malayu $%
12. 2510/ kiri/ 16 12. têmbung mêlayu
12. ibarat 12. ibarat 12. ibarat $%
13. 2510/ kanan/ 1
dene layang iki
kang sarta layang iki
- dene layang iki #$
14. 2510/ kanan/ 8
lagi sarasane lagi sêrasane - lagi sarasane @
15. 2510/ kanan/ 9
ing sagara ing sêgara - ing sagara @
16. 2510/ kanan/ 11
karsa dalêm krêsa dalêm - karsa @#
17. 2512/ kiri/ 10 sampèn^ dalêm
sampeyan dalêm
sampeyan dalêm
sampeyan @# dalêm
18. 2512/ kanan/ 3
ngelmu kak ngelmu khak ngelmu khak
ngelmu khak #%
59 19. 2512/ kiri/ 9 têgêse tgêse^ tgêse^ têgêse @#
20. 2515/ kanan/ 4
dikakake^ dikakake^ dikakake^ ngêndikakake @$%
21. 2515/ kanan/ 5
kalakuan bêcik
klakuan^ bêcik
klakuan^ bêcik
kalakuan bêcik @#
22. 2515/ kanan/ 12
budhi budi budi budi @%
23. 2515/ kanan/ 16
saega^ saengga saengga saengga @#
24. 2515/ kanan/ 19
swaraning pitutur ingkang gaib
dibisiki dibisiki swaraning pitutur ingkang gaib $%
25. 2516/ kiri/ 15 minding mending mindêng mindêng @#
26. 2516/ kiri/ 19 pamalêse pêmalêse pêmalêse pamalêse @#
27. 2516/ kanan/ 4
iki wêktu iki mêtu+ iki mêtu+ iki wêktu $%
28. 2517/ kiri/ 19 kaya kalakuane
kaya klakuane^
kaya klakuane^
kaya kalakuane @$
29. 2517/ kanan/ 3
dad dzat dzat dzat $%
30. 2519/ kiri/ 17 bisa nglêbur bisa anglêbur bisa anglêbur
bisa nglêbur #$
31. 2521/ kiri/ 6 pênganggo pêngago^ pênganggo pênganggo @#
32. 2523/ kiri/ 19 wêtu pêrnahing pasamuan
wêtu prênahing pasêmuan
wêtu prênahing pêsêmuan
wêtu prênahing pasamuan@#
33. 2523/ kanan/ 8
wong kang pêtitis
pêtitis pikire patitis pikire patitis pikire@
34. 2525/ kiri/ 12 kcaturan^ barêng
kcaturan^ barêng
kcaturan^ barêng
kêcaturan@# barêng
35. 2527/ kanan/ 11
wêruhake mêruhake mêruhake wêruhake#
36. 2527/ kanan/ 11
prêkara prakara prakara prakara @#
37. 2527/ kanan/ 16
wênah sawênah sawênah sawênèh #%
38. 2528/ kiri/ 2 iku têmbung pêsêmon èmpêring
têmbung sêmu èmpêring
têmbung semu èmpêring
iku têmbung pêsêmon èmpêring $
BAGIAN TENGAH
60
No. gbr/ bag/ brs Naskah A Naskah B Naskah C Edisi
1. 2587/ kanan/ 1
yèn dindêl^ yèn didêl^ yèn didêl^ yèn diandêl @#
2. 2587/ kanan/ 13
prênah utawa patitis
prênah lan pêtitis
prênah lan pêtitis
prênah utawa$ patitis@#
3. 2588/ kanan/ 10
mênyang salah sijine
marang salah sijine
marang salah sijine
marang$% salah sijine
4. 2588/ kanan/ 13
kang alus bêcik
kang alus kang alus kang alus bêcik $%
5. 2590/ kiri/ 3 najan nadyan nadyan nadyan @#
6. 2593/ kanan/ 5
parigêl* prigêl prigêl prigêl @#
7. 2593/ kanan/ 7
kang tanggap kuat
kang kuat rikat
kang kuat rikat
kang tanggap kuat $%
8. 2595/ kiri/ 12 wisa pintêr budine wisa pintêr
budine wisa pintêr
budine wis pintêr $%
9. 2598/ kanan/ 9
babing dhêmên wong wadon
babing wong wadon
babing wong wadon
babing dhêmên wong wadon $%
10. 2598/ kanan/ 10
barang pênganggone sing bêcik
barang pênganggone
barang pênganggone
barang pênganggone sing bêcik $%
11. 2600/ kiri/ 13 dene yèn nalika
nalika nalika dene yèn nalika $%
12. 2600/ kanan/ 6
katut gêdhening ati kang lagi bariwut
katut briwuting ati
katut briwuting ati
katut gêdhening ati kang lagi bariwut *$%
13. 2600/ kanan/ 7
kuninganing^ patih
kuninganing^ patih
kauninganing patih
kauninganing @# patih
14. 2602/ kanan/ 3
dene rupane pratikêle
pratikêl pratikêl dene rupane pratikêl $%
15. 2602/ kanan/ 4
murih kêl kang murih kêna
murih kêna murih kêna murih kêna #$%
16. 2602/ kanan/ 4
wong kang gêdhe lagi bariwut
wong lagi bariwut
wong lagi bariwut
wong kang gêdhe lagi bariwut *$%
17. 2602/ kanan/ 6
sasmita sêsmita sêsmita sasmita @#
61 18. 2602/ kanan/
12 ninga^ uninga uninga uninga @#$
BAGIAN AKHIR
no. gbr/ bag/ brs Naskah A Naskah B Naskah C Edisi
1. 2660/ kiri/ 11 sêkabihe+ sêkabèhe sêkabèhe sêkabèhe @#
2. 2660/ kanan/ 1
sarta pêrlu sarta prêlu sarta prêlu sarta prêlu@#
3. 2660/ kanan/ 5
aku ratu durung+
aku durung aku durung aku durung @#$
4. 2660/ kanan/ 7
wong islam wong eslam wong eslam wong islam @#
5. 2664/ kanan/ 13
pênggawe karam
pênggawe kharam
pênggawe kharam
pênggawe kharam @#
6. 2666/ kanan/ 15
angarsakake ngêrsakake ngêrsakake ngêrsakake @#
7. 2668/ kiri/ 1 ratu yèn arêp mangkat
yên ratu arêp mangkat
yèn ratu arêp mangkat
yèn ratu arêp mangkat $%
8. 2668/ kiri/ 5 padha lila nyang patine kabèh
padha lila patine
padha lila patine
padha lila mênyang patine kabèh @
9. 2669/ kanan/ 11
mênusa mênungsa mênungsa mênungsa @#
10. 2671/ kanan/ 10
dilangna^ dilangna^ dilangna^ diilangna @#
11. 2674/ kiri/ 11 ijèh ijèh ijèh isih @#
12. 2674/ kiri/ 13 awit sing ditut
sêbab sing ditut
sêbab sing ditut
awit sing ditut @#$
13. 2674/ kiri/ 15 nyakarake pangan
nyakar pangan
nyakar pangan
nyakarake pangan @$
14. 2674/ kiri/ 19 bandera bêndera bêndera bêndera @#
15. 2678 / kiri/ 8 kasarira kangsarira* kangsarira* kasarira @#$
Berdasarkan tabel perbandingan suku kata, kata per kata dan kelompok
kata di atas, terlihat bahwa naskah A banyak digunakan sebagai edisi teks
daripada naskah B dan naskah C. Tercatat dari sejumlah 72 perbandingan,
naskah A mendominasi dengan 35 kata sebagai edisi teks, naskah B sebanyak
62
21 kata dan naskah C sebanyak 26 kata. Adapun kesalahan atau edisi naskah B
dan C hampir sama pada perbandingan tersebut.
Dari perbandingan kata tersebut ditemukan kata mênusa pada naskah
A sedangkan pada naskah B dan C tertulis mênungsa. Juga terdapat kata
sêkabate, dad, karam, budhi pada naskah A, sedangkan pada naskah B dan C
tertulis sakhabate, dzat, kharam, dan budi. Kata mênusa dan budhi lebih tua
dari kata mênungsa dan budi, sedangkan penulisan kata serapan sêkabate, dad,
karam pada naskah A tidak menggunakan aksara rekan. Hal ini menunjukkan
bahwa naskah A walaupun paling muda usianya tetapi mengandung teks yang
lebih tua dari naskah B dan C.
2. Perbandingan susunan kalimat atau gaya bahasa
Perbandingan ini dilakukan untuk mengelompokkan cerita dalam
beberapa versi dan untuk mendapatkan cerita yang bahasanya lancar dan jelas.
Tabel III. Perbandingan susunan kalimat atau gaya bahasa
BAGIAN AWAL
No. Naskah A Naskah B Naskah C
1. Têgêse “pangapuse” iku
penganggite, dene apus
iku têtali, kang dinggo
nalèni têmbunging
layang. Mulane duwe
têgês jênêng
penganggite, sabab iku
Têgêse “pangapuse” iku
penganggite, dene apus
iku têtali, kang dinggo
nalèni têmbunging
layang.
(5 / kanan/ 2)
-
63
têmbung pasêmon.
Nyêmoni kêmbang kang
dianggit. Dene kang
pinangka tembang ya
prabot sastraning
têmbung, kang pinangka
lawe ular-ulare,
jidaraning papan iku,
sabab gone katon jèjèr
rèntèng-rèntèng saengga
kêmbang kang dianggit.
(2511/ kiri/ 3)
Edisi :
Têgêse “pangapuse” iku pênganggite, dene apus iku têtali, kang dinggo nalèni
têmbunging layang. Mulane duwe têgês jênêng penganggite, sabab iku têmbung
pasêmon. Nyêmoni kêmbang kang dianggit. Dene kang pinangka têmbang ya prabot
sastraning têmbung, kang pinangka lawe ular-ulare jidaraning papan iku, sabab gone
katon jèjèr rèntèng-rèntèng saengga kêmbang kang dianggit.
2. Têgêse “ayuningrat kang
den ulati” iku golèki
barang klakuan
kabêcikan ing donya.
Lire ayu, ewone
têmbung bêcik. Sabab
Têgêse “ayuningrat kang
den ulati” iku golèki
barang klakuan
kabêcikan ing donya.
Sak nggon iku jênêng
ewon-ewone sabarang
-
64
dumunung marang
rupaning wong wadon
kang bêcik. Lire ngrat,
sakabèhe jagad, dene
mulane têmbung ngrat
dakjarwani donya, sabab
iku têmbung kawi
dinggo pasêmon,
nyêmoni marang
sakabèhe uwong awit
padha ngambah jagad.
Dene kang wis lumrah
kuwate wong iku amung
karo donya. Sak nggon
iku jênêng ewon-ewone
sabarang têmbung, lan
têmbung kawi, jarwa.
(2511/ kiri/ 11)
tembung, lan tembung
kawi, jarwa.
(5/ kanan/ 8)
Edisi :
Têgêse “ayuningrat kang den ulati” iku golèki barang klakuan kabêcikan ing donya.
Lire ayu, ewone têmbung bêcik. Sabab dumunung marang rupaning wong wadon
kang bêcik. Lire ngrat, sakabèhe jagad, dene mulane têmbung ngrat dakjarwani
donya, sabab iku têmbung kawi dinggo pasêmon, nyêmoni marang sakabèhe uwong
awit padha ngambah jagad. Dene kang wis lumrah kuwate wong iku amung karo
65 donya. Sak nggon iku jênêng ewon-ewone sabarang têmbung, lan têmbung kawi,
jarwa.
3. Têgêse “katungkuling
papranèsan” iku mung
katungkul kasukan
dalêm. Dene mulane
têmbung pranèsan
dakjarwani kasukan.
Sabab yèn sarèhning
têmbung pranèsan mau,
para kênèsan. Dene
têmbung kênès iku yèn
dibêcikake. Dumunung
marang wong wadon
kang solahe pantês
kênès. Mêngkono iku
bisa dadèkake suka
marang atine wong
lanang. Lan yaiku nalare
nggonku jarwani mau.
Ing sababe têmbung
pranèsan dakjarwani
kasukan. Awit
kawêkasane wis nunggal
Têgêse “katungkuling
papranèsan” iku mung
katungkul kasukan
dalêm Iku kagolong
ewoning têmbung.
(5/ kanan/ 18)
-
66
têmbung suka padha
suka lan iku tembung
paribasan. Iku kagolong
ewoning têmbung.
(2511/ kanan/ 7)
Edisi :
Têgêse “katungkuling papranèsan” iku mung katungkul kasukan dalêm. Dene mulane
têmbung pranèsan dakjarwani kasukan. Sabab yèn sarèhning têmbung pranèsan mau,
para kênèsan. Dene têmbung kênès iku yèn dibêcikake dumunung marang wong
wadon kang solahe pantês kênès. Mêngkono iku bisa dadèkake suka marang atine
wong lanang. Lan yaiku nalare nggonku jarwani mau. Ing sababe têmbung pranèsan
dakjarwani kasukan. Awit kawêkasane wis nunggal têmbung suka padha suka lan iku
tembung paribasan. Iku kagolong ewoning têmbung.
4. Têgêse “anityèng
panurat jari” iku
ngrupakake tulisan nulis
kalame driji. Lire
anitrèng, anyitra. Lire
anyitra, angrupakake,
yèn lire citra, rupa. Lire
nurat, nyêrat, nulis. Lire
jari, jariji, dariji. Iku
têmbung jarwa nuli
têmbung dijugag.
Têgêse “anityèng
panurat jari” iku nulis
kalame driji.
(6/ kiri/ 1)
-
67
(2511/ kanan/ 15)
Edisi :
Têgêse “anityèng panurat jari” iku ngrupakake tulisan nulis kalame driji. Lire
anitrèng, anyitra. Lire anyitra, angrupakake, yèn lire citra, rupa. Lire nurat, nyêrat,
nulis. Lire jari, jariji, dariji. Iku têmbung jarwa nuli têmbung dijugag.
5. Têgêse “kêdêh ingalêm
wignya” iku kudu
dialêma sagêd. Lire
kêdêh, kêdah, kudu.
Lire wignya, luwih
pintêr, iku têmbung
jarwa, lan kawi ngluwihi
pintêr, rong panggonan
iku têmbung kawi lan
jarwa.
(2512/ kiri/ 2)
Têgêse “kêdêh ingalêm
wignya” iku kudu
dialêma sagêd. Lire
wignya ngluwihi pinter.
Rong panggonan iku
têmbung kawi.
(6/ kiri/ 3)
Edisi :
Têgêse “kêdêh ingalêm wignya” iku kudu dialêma sagêd. Lire kêdêh, kêdah, kudu.
Lire wignya, luwih pintêr, iku têmbung jarwa, lan kawi ngluwihi pintêr, rong
panggonan iku têmbung kawi lan jarwa.
BAGIAN TENGAH
No. Naskah A Naskah B Naskah C
1. Têgêse “prana” iku
prênah utawa patitis.
Têgêse “prana” iku
prênah lan patitis,
Têgêse “prana” iku
prênah lan patitis,
68
Ananging sênajan wong
wadon ya uga jênêng
prana, sabab prênahe
karêpe wong lanang yèn
sapêturone lan wong
wadon. Iku têmbung
kawi.
(2587/ kanan/ 13)
sênajan wong wadon ya
uga jênêng prana, sabab
prênahing karêp
sapaturon
(8025/ kiri/ 15)
sênajan wong wadon ya
uga jênêng prana, sabab
prênahing karêp
sapaturon
(7748/ kiri/ 9)
Edisi :
Têgêse “prana” iku prênah utawa patitis. Ananging sênajan wong wadon ya uga
jênêng prana, sabab prênahe karêpe wong lanang yèn sapêturone lan wong wadon.
Iku têmbung kawi.
2. Têgêse “baya kewuh”
iku barang pakewuh sing
pancèn bilahine. Lire
baya, ya uga baya bajul.
Dene mulane têmbung
baya dakjarwani bilaeni
utawa dakjarwani
pêrang sabab awit yèn
baya iku olehe bilaeni
yèn wani marang uwong
kang wis lumrah
Têgêse “baya-pakewuh”
iku barang pakewuh sing
bisa bilaeni apadene
pêgawe pêrang ya uga
wis angluwihi ole bakal
bilaeni. Dene lire baya
iku dhasar têmên baya
bajul sabab bajul iku yèn
wani marang uwong wis
tamtu bakal bilaeni
(8025/ kiri/ 17)
Têgêse “baya-kewuh”
iku barang pakewuh sing
bisa bilaeni apadene
pêgawe pêrang ya uga
wis angluwihi ole bakal
bilaeni. Dene lire baya
iku dhasar têmên baya
bajul sabab bajul iku yèn
wani marang uwong wis
tamtu bakal bilaeni
(7748/ kiri/ 12)
69
tamtune wonge bilahi.
Apadene pênggawe
pêrang ya sêmono uga,
yèn ora kabênêran ya
bakal dibilaeni marang
mungsuhe. Iku têmbung
kawi.
(2587/ kanan/ 17)
Edisi :
Têgêse “baya kewuh” iku barang pakewuh sing pancèn bilaine. Lire baya, ya uga
baya bajul. Dene mulane têmbung baya dakjarwani bilaeni utawa dakjarwani pêrang
sabab awit yèn baya iku olehe bilaeni yèn wani marang uwong kang wis lumrah
tamtune wonge bilahi. Apadene pênggawe pêrang ya sêmono uga, yèn ora kabênêran
ya bakal dibilaeni marang mungsuhe. Iku têmbung kawi.
3. Têgêse “duganti
gatmika” iku duga-
duganing ati kang alus
bêcik. Lire duganti,
duga-duganing ati. iku
têmbung garba sastra ya
uga kawi. Lire gatmika,
gyatmia, jatmika,
Têgêse “duganti
gatmika” iku duga-
duganing ati kang alus.
(8026/ kiri/ 8)
Têgêse “duganti
gatmika” iku duga-
duganing ati kang alus.
(7748/ kanan/ 19)
70
bêciking solah bawa
kang alus. Iku têmbung
kawi.
(2588/ kanan/ 16)
Edisi :
Têgêse “duganti gatmika” iku duga-duganing ati kang alus bêcik. Lire duganti, duga-
duganing ati. iku têmbung garba sastra ya uga kawi. Lire gatmika, gyatmia, jatmika,
bêciking solah bawa kang alus. Iku têmbung kawi.
4. Têgêse “yèn lila basa
lambang” iku yèn gêlêm
matur têmbung
rêrangkêpan. Lire lila,
dianggo pasêmone
têmbung gêlêm, sabab
saengga wong kaelang-
elangan barang duwèkke
kang ana ajine. Mangka
wis ora diucap ora
dirasani mêngkono iku
têgêse wis gêlêm
nglilakake lan ya iku
nalare têmbung lila
Têgêse “lambang” iku
para ora lamba. Sêbab
iku têmbung pralambang
lan dudu lambang ijolan,
têgêse padha bae lan
têmbung pêsêmon.
(8026/ kiri/ 10)
Têgêse “lambang” iku
para ora lamba. Sêbab
iku têmbung pralambang
lan dudu lambang ijolan,
têgêse padha bae lan
têmbung pêsêmon.
(7749/ kanan/ 1)
71
dakjarwani dinggo
pêsêmone têmbung
gêlêm mau. Lire basa,
angucapake barang
têmbung, dudu basa
taklim kramane
têmbunging pangucap,
dudu basa barang-
barang. Iku têmbung
jarwa. Lire lambang,
pralambang, kang para
ora lamba, têgêse ana
rangkêpane. Dudu
lambang, lambangan,
ijolan. Iku têmbung
jarwa.
(2589/ kiri/ 10)
Edisi :
Têgêse “yèn lila basa lambang” iku yèn gêlêm matur têmbung rêrangkêpan. Lire lila,
dianggo pasêmone têmbung gêlêm, sabab saengga wong kaelang-elangan barang
duwèke kang ana ajine. Mangka wis ora diucap ora dirasani mêngkono iku têgêse wis
gêlêm nglilakake lan ya iku nalare têmbung lila dakjarwani dinggo pêsêmone
têmbung gêlêm mau. Lire basa, angucapake barang têmbung, dudu basa taklim
72 kramane têmbunging pangucap, dudu basa barang-barang. Iku têmbung jarwa. Lire
lambang, pralambang, kang para ora lamba, têgêse ana rangkêpane. Dudu lambang,
lambangan, ijolan. Iku têmbung jarwa.
5. Têgêse “balila
ngumulun” iku balik ala
marang ratu. Lire balila,
balik ala. Iku têmbung
jarwasuta. Lire
ngumulun, ngumuluk,
umuluk dhuwur. Iku
têmbung pêsêmon
nyêmoni têmbung
drajating dhuwur dhewe
ya uga drajating ratu.
(2589/ kanan/ 2)
Têgêse “balila
ngumulun” iku balik ala
mênyang ratu.
(8026/ kiri/ 12)
Têgêse “balila
ngumulun” iku balik ala
mênyang ratu.
(7749/ kiri/ 3)
Edisi :
Têgêse “balila ngumulun” iku balik ala marang ratu. Lire balila, balik ala. Iku
têmbung jarwasuta. Lire ngumulun, ngumuluk, umuluk dhuwur. Iku têmbung
pêsêmon nyêmoni têmbung drajating dhuwur dhewe ya uga drajating ratu.
BAGIAN AKHIR
No. Naskah A Naskah B Naskah C
1. Têgêse “anjuring sarira
Têgêse “anjuring sarira Têgêse “anjuring sarira
73
wus wruh yèn
pinanilaran” iku wong
wis wêruh bakal ajure
awake awit dipilara
mungsuhe. Lire anjur,
ajur. Iku têmbung jarwa
disamarake lan dudu
anjur panganjur,
pangarêp. Lire
pinanilaran, dinggo
pêsêmon pinilara
marang mungsuh.
(2671/ kanan/ 19)
wus wruh yèn
pinanilaran” iku wis
wêruh yèn bakal ajure
awake awit dipilara
mênyang mungsuhe.
Lire anjur, ajur. Iku
têmbung pasêmone
mèmpêr basa ajur. Lire
pinanilaran, pinilara,
dipilara. Iku têmbung
jarwa dijugag mung
didokoki kawitane bae
sêmune supaya
disambungana barang
têmbung kang pantês
manjing rapêt ora putung
lan wulanging sruti.
(8125/ kanan/ 8)
wus wruh yèn
pinanilaran” iku wis
wêruh yèn bakal ajure
awake awit dipilara
mênyang mungsuhe.
Lire anjur, ajur. Iku
têmbung pasêmone
mèmpêr basa ajur. Lire
pinanilaran, pinilara,
dipilara. Iku têmbung
jarwa dijugag mung
didokoki kawitane bae
sêmune supaya
disambungana barang
têmbung kang pantês
manjing rapêt ora putung
lan wulanging sruti.
(7840/ kanan/ 9)
Edisi :
Têgêse “anjuring sarira wus wruh yèn pinanilaran” iku wis wêruh yèn bakal ajure
awake awit dipilara mênyang mungsuhe. Lire anjur, ajur. Iku têmbung pasêmone
mèmpêr basa ajur. Lire pinanilaran, pinilara, dipilara. Iku têmbung jarwa dijugag
74 mung didokoki kawitane bae sêmune supaya disambungana barang têmbung kang
pantês manjing rapêt ora putung lan wulanging sruti.
2. Têgêse “ têka nirtyèng”
iku têka wêdi dêlok
mungsuhe. Lire tyèng,
nitya mata. Iku têmbung
kawi dijugag dinggo
pêsêmon dêlok marang
mungsuh.
(2672/ kiri/ 4)
Têgêse “ têka nirtyèng”
iku têka wêdi dêlok
mungsuhe. Lire têka, ya
têka têmên sêbab iku
têmbung jarwa dijugag
sêmune supaya
disambungana kaya sing
dhuwur mau. Dene yèn
aku pantêse
daksambungi wêdi, yèn
liyane aku sumangga.
Lire nirtyèng, netya,
wuta, mata kêna kanggo
dêlok. Iku têmbung kawi
dijugag kawitane lan
pungkasane. Dene yèn
aku pantêse pungkasane
taksambungi têmbung
mungsuhe.
(8125/ kanan/ 17)
Têgêse “ têka nirtyèng”
iku têka wêdi dêlok
mungsuhe. Lire têka, ya
têka têmên sêbab iku
têmbung jarwa dijugag
sêmune supaya
disambungana kaya sing
dhuwur mau. Dene yèn
aku pantêse
daksambungi wêdi, yèn
liyane aku sumangga.
Lire nirtyèng, netya,
wuta, mata kêna kanggo
dêlok. Iku têmbung kawi
dijugag kawitane lan
pungkasane. Dene yèn
aku pantêse pungkasane
taksambungi têmbung
mungsuhe.
(7840/ kanan/ 18)
Edisi :
75
Têgêse “ têka nirtyèng” iku têka wêdi dêlok mungsuhe. Lire têka, ya têka têmên
sêbab iku têmbung jarwa dijugag sêmune supaya disambungana kaya sing dhuwur
mau. Dene yèn aku pantêse daksambungi wêdi, yèn liyane aku sumangga. Lire
nirtyèng, netya, wuta, mata kêna kanggo dêlok. Iku têmbung kawi dijugag kawitane
lan pungkasane. Dene yèn aku pantêse pungkasane taksambungi têmbung mungsuhe.
3. Têgêse “sirnakkên astra
tiksnane” iku ngilangake
landhêpe gamane
dhewe. Lire nir, ilang.
Lire astra, gêgaman
panah. Lire tiksna,
landhêp dudu tisna
dhêmên. Têlung gon iku
têmbung kawi, nanging
têmbung tisna iku yèn
dinggoa têmbung
paribasan ya uga kêna
sabab nalare mêngkene,
kayata wong tisna nganti
ora bisa pisah. Iku
diparibasani tisnane wis
kêkanthil bae, apamanèh
landhêping tumbak kêris
Têgêse “sirnakkên astra
tiksnane” iku ngilangake
landhêpe gamane dhewe.
Lire nir, ilang. Iku kawi
dijugag kaya kae mau.
Lire astra, gêgaman. Iku
kawi padha dijugag. Lire
tiksna, landhêp. iku kawi
dijugag.
(8126/ kiri/ 18)
Têgêse “sirnakkên astra
tiksnane” iku ngilangake
landhêpe gamane dhewe.
Lire nir, ilang. Iku kawi
dijugag kaya kae mau.
Lire astra, gêgaman. Iku
kawi padha dijugag. Lire
tiksna, landhêp. iku kawi
dijugag.
(7841/ kiri/ 18)
76
ya sêmono uga. Yèn
ditamakake marang
uwong mangka ora nuli
copot wis pêsthi sih
kêkanthil ana tatu bae.
Apadene lire tisna mau
yèn têmbunge
dientarake dadi muni
têrêsna. Dene têmbung
mêngkono iku padha
karo wong akon
nêrêsake kayu jati. Kang
iku yèn supama gamane
kang dinggo nêrês
kêthul kang pêsthi suwe
panêrêse, yèn gamane
landhêp mêsthi gêlis
nêrêse lan ya iku nalare
têmbung trêsna olehe
duwe jarwa landhêp
mau.
(2672/ kiri/ 13)
Edisi :
Têgêse “sirnakkên astra tiksnane” iku ngilangake landhêpe gamane dhewe. Lire nir,
77 ilang. Lire astra, gêgaman panah. Lire tiksna, landhêp dudu tisna dhêmên. Têlung gon
iku têmbung kawi, nanging têmbung tisna iku yèn dinggoa têmbung paribasan ya uga
kêna sabab nalare mêngkene, kayata wong tisna nganti ora bisa pisah. Iku
diparibasani tisnane wis kêkanthil bae, apamanèh landhêping tumbak kêris ya
sêmono uga. Yèn ditamakake marang uwong mangka ora nuli copot wis pêsthi sih
kêkanthil ana tatu bae. Apadene lire tisna mau yèn têmbunge dientarake dadi muni
têrêsna. Dene têmbung mêngkono iku padha karo wong akon nêrêsake kayu jati.
Kang iku yèn supama gamane kang dinggo nêrês kêthul kang pêsthi suwe panêrêse,
yèn gamane landhêp mêsthi gêlis nêrêse lan ya iku nalare têmbung trêsna olehe duwe
jarwa landhêp mau.
4. Têgêse “haywa ngrasani
hantu tan amara sêdya
matèni” iku aja ngrasani
brajaning mungsuh, ora-
orane mara dhewe arêp
matèni nyang kowe. Lire
hantu, têluh braja sabab
rupane wis padha
saengga gêni. Lire braja,
gêgaman. Iku dinggo
pêsêmon gêgamaning
mungsuh. Lire sedya,
karêp. Iku têmbung
jarwa.
Têgêse “haywa ngrasani
hantu tan amara sêdya
matèni” iku aja ngrasani
brajaning mungsuh, ora-
orane mara dhewe arêp
matèni nyang kowe. Lire
hantu, braja. Lire braja
gêgaman. Dene mulane
têmbung hantu
dkjarwani têluh braja
sabab hantu lan têluh
braja rupane mèh
nunggal padha rupa
pindha gêni. Iku
Têgêse “haywa ngrasani
hantu tan amara sêdya
matèni” iku aja ngrasani
brajaning mungsuh, ora-
orane mara dhewe arêp
matèni nyang kowe. Lire
hantu, braja. Lire braja
gêgaman. Dene mulane
têmbung hantu
dkjarwani têluh braja
sabab hantu lan têluh
braja rupane mèh
nunggal padha rupa
pindha gêni. Iku
78
(2672 / kanan/ 10) têmbung wangsalan nuli
candhake têmbung jarwa
dijugag
(8126/ kanan/ 4)
têmbung wangsalan nuli
candhake têmbung jarwa
dijugag
(7841/ kanan/ 4)
Edisi :
Têgêse “haywa ngrasani hantu tan amara sêdya matèni” iku aja ngrasani brajaning
mungsuh, ora-orane mara dhewe arêp matèni nyang kowe. Lire hantu, têluh braja
sabab rupane wis padha saengga gêni. Lire braja, gêgaman. Iku dinggo pêsêmon
gêgamaning mungsuh. Lire sedya, karêp. Iku têmbung jarwa.
5. Têgêse “sing asêdya
matènana, gawe pati
manggih gantunganing
pati, pan salwirnya
wangsulan” iku sapa
wonge sing niyat matèni
ora wurung bakal
dipatèni. Iku bakal nêmu
dosa pati sabab barang
pêgawe mêsthi
wêwalêsan. Lire singa,
dinggo pêsêmon singa
wonga dudu singa
macan. Lire sêdya,
Têgêse “sing asêdya
matènana, gawe pati
manggih gantunganing
pati, pan salwirnya
wangsulan” iku sapa
wonge sing niyat matèni
ora wurung bakal
dipatèni barang pêgawe
mêsthi wêwalêsan.
(8127/ kiri/ 3)
Têgêse “sing asêdya
matènana, gawe pati
manggih gantunganing
pati, pan salwirnya
wangsulan” iku sapa
wonge sing niyat matèni
ora wurung bakal
dipatèni barang pêgawe
mêsthi wêwalêsan.
(7843/ kiri/ 3)
79
karêp, niyat. Iku
têmbung jarwa. Lire
gantungan, dinggo
pêsêmon têmbung bakal.
Sabab sabarang kang
gumantung ing tamtune
bakal tumiba. Lire
wangsulan, alêsan. Dudu
wangsulan balèn. Iku
têmbung jarwa.
(2673/ kiri/ 3)
Edisi :
Têgêse “sing asêdya matènana, gawe pati manggih gantunganing pati, pan salwirnya
wangsulan” iku sapa wonge sing niyat matèni ora wurung bakal dipatèni. Iku bakal
nêmu dosa pati sabab barang pêgawe mêsthi wêwalêsan. Lire singa, dinggo pêsêmon
singa wonga dudu singa macan. Lire sêdya, karêp, niyat. Iku têmbung jarwa. Lire
gantungan, dinggo pêsêmon têmbung bakal. Sabab sabarang kang gumantung ing
tamtune bakal tumiba. Lire wangsulan, alêsan. Dudu wangsulan balèn. Iku têmbung
jarwa.
Berdasarkan tabel perbandingan susunan kalimat dan gaya bahasa
diatas, dari 15 perbandingan yang dilakukan terlihat naskah A lebih banyak
digunakan sebagai edisi teks daripada naskah B dan C. Naskah A
mendominasi dengan 13 susunan kalimat yang dipilih sebagai edisi teks,
80
sedangkan naskah B dan C hanya 2 susunan kalimat yang dipilih sebagai edisi
teks.
Dari perbandingan susunan kalimat dan gaya bahasa tersebut, dapat
terlihat bahwa naskah A memiliki keunggulan lebih banyak dibandingkan
naskah B dan C. Penjelasan dari naskah A lebih jelas, isinya lebih mendetail,
dan bahasanya lancar. Terlebih lagi naskah ini merupakan naskah jarwan yang
mengharuskan adanya penjelasan yang selengkap-lengkapnya tentang suatu
bab dalam naskah tersebut, sehingga dapat dikatakan naskah A merupakan
naskah yang paling lengkap dan merupakan naskah terbaik.
3. Perbandingan isi cerita
Perbandingan ini dilakukan untuk mendapatkan naskah yang isinya
lengkap dan tidak menyimpang serta untuk mengetahui penambahan unsur
atau pengurangan unsur yang telah ada dalam naskah semula.
Berikut disajikan tabel yang menyajikan isi dari Sêrat Srutjar untuk
mempermudah perbandingan isi dari ketiga naskah tersebut. Adapun
digunakan beberapa pedoman singkatan untuk memahami pembacaan tabel
adalah :
No. : nomor tembang
T : penulisan tembang
A : penulisan bab pengartian secara umum
P : penulisan bab penjelasan secara detail
+ : tanda ada
- : tanda tidak ada
81
No Perbandingan isi naskah A B C
T A P T A P T A P
kolofon awal penulisan + - +
Penjelasan awal tentang Sruti Jarwa
+ - -
Pengantar penulisan Sruti Jarwa
+ + +
1. Perihal perasaan pengarang dan awal penulisan sruti
+ + + + + + - - -
2. Permintaan maaf jika kurang berkenan kepada pembaca
+ + + + + + - + +
3. Penjelasan sruti sebagai ajaran
+ + + + + + + + +
4. Supaya mencontoh perilaku seorang pandhita yang suci
+ + + + + + + + +
5. Lakukanlah perbuatan baik dan menjauhi perbuatan tercela
+ + + + + + + + +
6.
Bersikaplah baik di pergaulan. Pertama, berbusanalah yang pantas
+ + + + + + + + +
7. Kedua, harus menimbang duga-kira perbuatan yang pantas
+ + + + + + + + +
8. Ketiga, mempertimbangkan keadaan sekitar
+ + + + + + + + +
9. Keempat, semua kelakuan dan ucapan harus baik
+ + + + + + + + +
10. Kelima, bersikaplah berani dan tidak ragu-ragu
+ + + + + + + + +
11. Keenam, bisa berpikir luas dan berbahasa yang baik
+ + + + + + + + +
12. Harus berani berperang tetapi tidak menonjolkan kesombongan
+ + + + + + + + +
13. Waspada jika menonjolkan kemampuan di muka umum
+ + + + + + + + +
14. Jangan bersumpah jika hanya ingin menonjolkan diri
+ + + + + + + + +
82
No Perbandingan isi naskah
A B C
T A P T A P T A P
15. Hendaknya bersikap tenang dan menyenangkan di pertemuan besar
+ + + + + + + + +
16. Jangan sombong dan congkak sebagai prajurit
+ + + + + + + + +
17. Jangan berbuat tercela, contohlah perilaku para sarjana dan sujana
+ + + + + + + + +
18. Buruklah seseorang jika melakukan perbuatan tercela
+ + + + + + + + +
19. Hukum dibagi menjadi nista, madya, utama
+ + + + + + + + +
20. Perbuatan tercela juga dibagi menjadi tiga
+ + + + + + + + +
21. Penggambaran maling / pencuri yang utama
+ + + + + + + + +
22. Penggambaran pencuri madya dan nista
+ + + + + + + + +
23. Kewajiban orang kaya untuk membantu orang miskin
+ + + + + + + + +
24. Orang kaya yang menyia-nyiakan orang miskin
+ + + + + + + + +
25. Ciri-ciri orang yang lupa akan asal mulanya
+ + + + + + + + +
26. Keadaan pendhita yang selalu memikirkan kebaikan sesama
+ + + + + + + + +
27. Keharusan menyingkirkan sifat congkak di hati
+ + + + + + + + +
28. Perbuatan mulia melebihi perang sabil
+ + + + + + + + +
29. Kesempurnaan para pertapa tidak akan berhasil tanpa ijin Allah
+ + + + + + + + +
30. Derajat bangsawan masih dibawah derajat orang yang tawakub
+ + + + + + + + +
31. Bangsawan yang masih dakdir sewenang-wenang
+ + + + + + + + +
32. Harus mengerti tempat dan kedudukan di hadapan raja
+ + + + + + + + +
33. Patih sebagai wakil raja yang mengatur para punggawa
+ + + + + + + + +
83
No. Perbandingan isi naskah
A B C
T A P T A P T A P
34. Seorang abdi kerajaan harus menyampingkan keluarganya
+ + + + + + + + +
35. Banyaknya berita di paseban. Harus tenang melihat keadaan
+ + + + + + + + +
36. Lakukanlah perintah dengan baik setelah diberi mandat patih
+ + + + + + + + +
37. Jika dipercaya oleh raja akan banyak diberi pujian dan cobaan
+ + + + + + + + +
38. Hendaknya berhati-hati dengan pemberian raja, mungkin itu suatu ujian
+ + + + + + + + +
39. Jangan mengandalkan keberanian saja di hadapan raja.
+ + + + + + + + +
40. Hendaknya tanggap terhadap isyarat (sasmita) yang diberikan raja.
+ + + + + + + + +
41. Hanya orang-orang terpilih yang mampu menangkap isyarat (sasmita) raja
+ + + + + + + + +
42. Perumpamaan raja adalah dalang dan negara adalah kelirnya
+ + + + + + + + +
43. Hal yang tidak menyenangkan dalam paseban.
+ + + + + + + + +
44. Seseorang yang merasa dirinya pandai padahal jauh dari sikap cendikia
+ + + + + + + + +
45. Jika dipercaya raja harus punya kesungguhan
+ + + + + + + + +
46. Jika dipercaya bab wanita harus duga-kira menjaga diri
+ + + + + + + + +
47. Jika dipercaya bab harta harus dibagikan serata mungkin dengan anak buah
+ + + + + + + + +
48. Jika dipercaya bab pangan, jangan membesarkan nafsu pribadi
+ + + + + + + + +
49. Jika dipercaya bab perang, harus menguasai strategi
+ + + + + + + + +
84
No. Perbandingan isi naskah
A B C
T A P T A P T A P
50. Meskipun menguasai strategi harus dekat dengan Allah
+ + + + + + + + +
51. Jika dipercaya bab ulah karawitan, kuasailah ilmu sastra.
+ + + + + + + + +
52. Kepercayaan raja harus dilaksanakan sebaik-baiknya
+ + + + + + + + +
53. Yudanegara. Paseban harus tenang sebelum raja datang
+ + + + + + + + +
54. Tunjukkan ketenangan dan keramahan menghadapi orang yang ricuh
+ + + + + + + + +
55. Jangan suka merendahkan derajat orang lain
+ + + + + + + + +
56. Harus bisa menyenangkan hati sesame
+ + + + + + + + +
57. Memahami keinginan orang akan sulit karena hati lebih dalam dari samudera
+ + + + + + + + +
58. Berhati-hatilah menanggapi isyarat, tenang dan jangan ceroboh
+ + + + + + + + +
59. Tanggaplah isyarat raja yang melesat bagaikan panah
+ + + + + + + + +
60. Sabda raja di paseban seperti Tuhan yang mengadili makhluknya
+ + + + + + + + +
61. Kelegaan telah menerima welas asih dari raja berupa perintah
+ + + + + + + + +
62. Perintah / titah akan dilaksanakan oleh seorang yang unggul
+ + + + + + + + +
63.
Menerima perintah menjadi senopati sebaiknya mati perang daripada ingkar perintah
+ + + + + + + + +
64. Memutuskan pilihan harus tepat dan jangan terbawa suasana orang banyak
+ + + + + + + + +
65. Berbuat baiklah kepada rakyat jelata dan petani seperti pada serat Nitisastra
+ + + + + + + + +
85
No. Perbandingan isi naskah
A B C
T A P T A P T A P
66. Budi pekerti utama itu tampak pada perbuatan baik kepada sesame
+ + + + + + + + +
67. Jika berbicara harus tenang, berisi dan jelas
+ + + + + + + + +
68. Sesuaikanlah pembicaraanmu dengan situasi pertemuan
+ + + + + + + + +
69. Jagalah ketenangan cipta, rasa, dan karsa di hatimu
+ + + + + + + + +
70. Hendaknya harus mencintai dan asih kepada sesama
+ + + + + + + + +
71. Walaupun sama-sama manusia, raja merupakan wakil Allah didunia
+ + + + + + + + +
72. Syarat kesejahteraan negara adalah adanya pertolongan para ahli dibidangnya
+ + + + + + + + +
73. Raja adalah seorang pengadil semua orang yang bersalah termasuk keluarga kerajaan
+ + + + + + + + +
74. Pembesar yang dipercaya raja harus meneladani sifat Asthabrata
+ + + + + + + + +
75. Sifat Batara Indra dan Yamadipati
+ + + + + + + + +
76. Sifat Batara Surya + + + + + + + + +
77. Sifat Batara Candra + + + + + + + + +
78. Sifat Batara Bayu + + + + + + + + +
79. Sifat Batara Cakra + + + + + + + + +
80. Sifat Batara Baruna + + + + + + + + +
81. Sifat Batara Brama + + + + + + + + +
82. Jangan berhenti melakukan perbuatan baik asthabrata
+ + + + + + + + +
83. Pertapaan perwira perang mengalahkan pertapaan wiku
+ + + + + + + + +
84. Tekad harus tangguh dan bersandar kebenaran agama
+ + + + + + + + +
86
No. Perbandingan isi naskah
A B C
T A P T A P T A P
85. Dalam perang janganlah menyerang terlebih dahulu
+ + + + + + + + +
86. Janganlah gentar dan takut banyaknya musuh yang menyerang
+ + + + + + + + +
87. Semua orang akan mati, karena perang ini jalan yang inginkan Allah
+ + + + + + + + +
88. Janganlah ragu-ragu menghilangkan nyawa musuh.
+ + + + + + + + +
89. Jalan yang dipilih mantri di peperangan (nistha, madya, utama)
+ + + + + + + + +
90. Penjelasan nistha, madya, utama dalam perang
+ + + + + + + + +
91. Masih banyak ajaran yang ingin disampaikan pengarang tapi belum dapat ditulis
+ + + + + + + + +
92.
Masih banyak keterbatasan dan kesalahan pengarang. Semua diserahkan kepada pembaca
+ + + + + + + + +
Kolofon akhir penulisan + + +
Tabel IV. Perbandingan isi cerita
Berdasarkan tabel perbandingan isi cerita diatas, bisa diketahui
ketiga naskah konsisten dengan susunan tiga bab penjelasan per tembang.
Terlihat pula bahwa naskah A dan B isinya lengkap dibandingkan dengan
naskah C yang beberapa isinya tidak ada pada awal penulisan karena naskah
yang hilang beberapa halaman. Naskah A adalah naskah yang paling lengkap
dibanding naskah B, karena disertai dengan penjelasan awal tentang Sruti
Jarwa dan adanya kolofon awal penulisan naskah.
87
C. Penentuan Naskah Dasar
Penentuan naskah dasar menurut Edwar Djamaris (1977: 28) harus
dihubungkan dengan tujuan penelitian filologi yaitu untuk mendapatkan naskah
yang paling lengkap dan paling baik atau paling representatif dari naskah-naskah
yang ada.
Edwar Djamaris (1977: 28-29) mengemukaan teori yang digunakan untuk
menentukan naskah dasar sebagai berikut :
a. isinya lengkap dan tidak menyimpang dari kebanyakan naskah lain;
b. tulisannya jelas dan mudah dibaca;
c. keadaan naskah baik dan utuh;
d. bahasanya lancar dan mudah dipahami;
e. umur naskah lebih tua.
Naskah yang memenuhi kriteria sebagaimana teori diatas adalah naskah
yang dijadikan sebagai naskah dasar.
Merujuk pada perbandingan umur naskah, dapat diketahui bahwa naskah
yang umurnya paling tua adalah naskah B, disusul naskah C, dan paling muda
naskah A. Hal ini berdasarkan pada keterangan yang terdapat pada kolofon akhir
penulisan naskah-naskah tersebut. Naskah B selesai penulisan pada tahun 1863 M,
naskah C tahun 1864 M, dan naskah A tahun 1868 M.
Ditinjau dari perbandingan suku kata, kata perkata dan kelompok kata
terlihat bahwa naskah A banyak digunakan sebagai edisi teks daripada naskah B
dan naskah C. Tercatat dari sejumlah 72 perbandingan, naskah A mendominasi
88 dengan 35 kata sebagai edisi teks. Adapun kesalahan atau edisi naskah B dan C
hampir sama pada perbandingan tersebut.
Selain itu, dari segi penggunaan bahasa ditemukan kata mênusa pada
naskah A sedangkan pada naskah B dan C tertulis mênungsa.
Penulisan kata “mênusa” Penulisan kata “mênungsa”
Naskah A (2669 / kanan/11) Naskah B (8123/kiri/3)
Grafik. 23 Perbedaan Penulisan kata mênusa dan mênungsa
Terdapat pula penulisan kata budhi pada naskah A, sedangkan pada naskah
B dan C tertulis kata budi.
Penulisan kata “budhi” Penulisan kata “budi” Penulisan kata “budi”
Naskah A (2515/kanan/12) Naskah B (8/kiri/2) Naskah C (7699/kanan/11)
Grafik. 24 Perbedaan Penulisan budhi dan budi
Kata mênusa dan budhi lebih tua dari kata mênungsa dan budi, sedangkan
penulisan kata serapan sêkabate, dad, karam pada naskah A tidak menggunakan
aksara rekan seperti pada naskah B dan C. Hal ini menunjukkan ketuaan teks pada
naskah A dibandingkan naskah B dan C.
kata “sêkabate” kata “sakhabate” kata “sakhabate” Naskah A (2509/kanan/9) Naskah B (7697/kiri/8) Naskah C (4/ kiri/8)
Grafik. 25 Penulisan kata sêkabate dan sakhabate
89
Kata “karam” kata “kharam” kata “kharam”
Naskah A (2664/kanan/15) Naskah B (7833/kiri/1) Naskah C (8116/kiri/4)
Grafik. 26 Penulisan kata karam dan kharam
Kata “dad” kata “dzat” kata “dzat”
Naskah A (2517/kanan/3) Naskah B (7700/kiri/19) Naskah C (9/kiri/19)
Grafik. 27 Penulisan kata dad dan dzat
Dari bukti gambar diatas, menunjukkan bahwa naskah A walaupun paling
muda usianya tetapi mengandung teks yang lebih tua dari naskah B dan C.
Kesimpulan dari perbandingan tersebut dapat dikatakan bahwa naskah A layak
dijadikan sebagai naskah dasar karena mengandung teks yang lebih tua.
Kesimpulan ini dilanjutkan dengan perbandingan susunan kalimat dan
gaya bahasa. Perbandingan yang dilakukan terlihat naskah A lebih banyak
mendominasi dengan 13 susunan kalimat yang dipilih sebagai edisi teks,
sedangkan naskah B dan C hanya 2 susunan kalimat yang dipilih sebagai edisi
teks dari 15 perbandingan susunan kalimat. Penjelasan dari naskah A lebih jelas,
isinya lebih mendetail, dan bahasanya lancar. Terlebih lagi naskah ini merupakan
naskah jarwan yang mengharuskan adanya penjelasan yang selengkap-lengkapnya
tentang suatu bab dalam naskah tersebut.
Perbandingan isi cerita juga menunjukkan bahwa naskah A lebih lengkap
isinya dari naskah B dan C, walaupun isi dari ketiganya tidak ada yang
menyimpang. Lengkapnya naskah dan adanya penjelasan awal tentang penulisan
90 Sêrat Srutjar serta kolofon awal dan kolofon akhir penulisan merupakan nilai
tambah bagi kelengkapan naskah yang tidak terdapat dalam naskah B dan C.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, semakin memantapkan
naskah A untuk digunakan sebagai naskah dasar yang selanjutnya akan
ditransliterasikan.
Grafik.28 Silsilah Naskah Sêrat Srutjar
Naskah A
Hiparketif B
Naskah C
Arketif
Autograf
Hiparketif A
Naskah B
91
D. Suntingan Teks dan Aparat Kritik
Pengkajian secara filologis dalam naskah dengan judul Sêrat Srutjar
dilakukan dengan pengerjaan antara suntingan teks, kritik teks dan aparat kritik
secara bersamaan.
Kritik teks berupa interpretasi peneliti terhadap teks yang dianggap kurang
tepat langsung dituliskan benar dalam edisi teks. Sedangkan kata atau kelompok
kata yang dikritisi ditulis di bagian bawah teks (semacam catatan kaki) sebagai
bagian dari aparat kritik.
Edisi teks yang sudah mendapatkan berbagai macam pembenaran tersebut
merupakan suntingan teks Sêrat Srutjar. Keseluruhan dari kritik teks dan aparat
kritik disajikan dalam sebuah transliterasi.
Transliterasi atau alih aksara merupakan penggantian huruf demi huruf
dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Penyajian transliterasi teks dibuat
selengkap-lengkapnya dan seakurat mungkin. Hal ini ditempuh dengan jalan
menyusun kalimat yang jelas disertai dengan tanda untuk memudahkan dalam
pemahaman.
Upaya transliterasi tidak bisa lepas dari penggunaan kamus. Bausastra
Jawa-Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta dan Kamus Kawi-Jawa
karangan R. Ng. Ranggawarsita dan C.F. Winter menjadi acuan pembetulan
ejaan dalam transliterasi Sêrat Srutjar. Berikut akan dijelaskan didalam
mentransliterasi teks :
1. Kekurangan (lacuna) seperti kata ( tGe[sS ) “tgêse” dan (bCik\ ) “bcik” pada naskah A akan ditranslitrasi mênjadi “têgêse” dan “bêcik”
92
2. Penulisan ditransliterasi sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan
bahasa Jawa. Misalnya :
a. Kata (kklih) “kakalih” ditranslasi menjadi “kêkalih” b. Kata ( tutulu= ) “tutulung” ditranslasi menjadi “têtulung”
Penulisan teks yang menggunakan taling tarung, seperti :
a. Kata ( [m=os ) “mongsa” ditransliterasi menjadi “mangsa” b. Kata ( [go!F ) “gonda” ditransliterasi menjadi “ganda”
3. Penulisan ditransliterasi dengan mengubah konsonan penutup pada
kata berikutnya, misalnya :
Kata ( ai=skK[bh[atemBu=[z[kh[a )
“ing sakkabèhhe têmbungnge kèhhe” akan ditranslasikan menjadi “ing
sakabèhe têmbunge kèhe”
4. Penulisan kata ulang dalam teks akan ditransliterasi dengan
menggunakan tanda hubung (-) misalnya :
Kata ( fiwy=wy=z[k ) “diwayangwayangake” ditransliterasi “diwayang-wayangake”
5. Penulisan kata dasar yang berakhiran huruf /h/ mendapat akhiran /-e/,
/-a/, /-an/, /-ane/, /-anira/, dalam penulisan aksara Jawa sering ditulis
dengan fonem /y/ atau /w/ tetapi dalam suntingan teks, fonem akan
ditulis dengan /h/.
Misal kata ( tnFfiy ) dibaca“tan dadiya” ditulis “tan dadia”
6. Semua kata nora secara konsisten ditulis ora, kata nana secara
konsisten ditulis ana, semua kata olè secara konsisten ditulis olèhe,
semua kata supama secara konsisten diganti saupama.
93
Acuan dalam transliterasi guna kepentingan edisi teks diperjelas
dengan berbagai lambang berikut :
7. Angka Arab kecil yang berada di atas (¹²³) dan seterusnya
menunjukkan nomor kritik teks.
8. Angka yang terdapat pada tanda […] menunjukkan pergantian gambar
teks.
9. Tanda kutip (“…”) menunjukkan kata / kalimat dalam teks yang
menggunakan tinta berwarna merah.
10. Tanda ( ê ) menunjukkan vocal e seperti kata “gêni” yang berarti api,
sedangkan dalam bahasa Indonesia pada kata “pedang”
11. Tanda ( è ) menunjukkan vocal e seperti kata “pèpèrèng” yang berarti
lereng gunung, sedangkan dalam bahasa Indonesia pada kata
“benteng”
12. Tanda ( e ) menunjukkan vocal e seperti kata “edan” yang berarti gila,
sedangkan dalam bahasa Indonesia pada kata “sate”
13. ^ : varian lacuna
14. * : varian adisi
15. + : varian hiperkorek
16. # : pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik
17. @ : pembetulan berdasarkan kebakuan kata / kamus
18. $ : pembetulan berdasarkan konteks dalam kalimat
19. % : pembetulan berdasarkan interpretasi peneliti