1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bagian ini akan membahas mengenai Fungsi Pelayanan Pastoral Penedeta dalam
Gereja, di mana pendeta bertanggungjawab untuk membawa pengaruh yang baik bagi
kehidupan warga jemaat, serta fungsi-fungsi pastoral. Apa saja yang perlu diperhatikan
oleh pendeta dalam melakukan pelayanan pastoral bagi warga jemaat sehingga warga
jemaat dapat bertumbuh dalam kedewasaan iman. Inilah pembahasan yang menjadi inti
pada Bab II ini.
2.1 PENDETA
2.1.1 Pengertian Pendeta
Pendeta adalah sebutan bagi pemimpin agama. Kata pendeta (Sanskerta: Pandita)
berarti brahmana atau guru agama Hindu atau Buddha.1 Dalam agama Kristen, pendeta
adalah seorang pengajar umum dalam jemaat, ia memiliki kewajiban untuk menentukan
suasana dalam jemaat sehingga jemaat dapat lebih giat memenuhi panggilannya sebagai
sebuah persekutuan yang belajar-mengajar. Menurut G.D. Dahlenburg, pendeta adalah
seorang hamba yang diutus Tuhan untuk melayani dan bertanggung jawab dengan apa
yang Tuhan percayakan untuk menyampaikan injil kebenaran kepada semua orang.2
Kata “Pendeta” tidak ditemukan dalam Alkitab. Alexander Strauch menyebutkan
bahwa kata Pendeta diambil dari luar kekristenan untuk memberikan nama kepada
1 Mohhamad Ngajenan, Kamus Etimologi Bahasa Indonesia, (Surakarta: Dahara Prize, 1986). 2 G.D Dahlenburg, Siapakah Pendeta Itu? (Jakartta: BPK Gunung Mulia, 1999), hal.73.
2
seorang gembala tunggal atau senior yang berkuasa.3 Kata pendeta dalam kamus besar
bahasa Indonesia didefinisikan sebagai orang pandai, pertapa (dalam cerita-cerita kuno),
pemuka, pemimpin atau guru agama.4 Pendeta terpanggil untuk menjalankan pekerjaan
pelayanan di dalam gereja atau suatu jemaat tertentu. Pekerjaan pelayanan itu antara lain
memeberitakan Firman Tuhan, melayani sakramen yang diakui oleh gereja atau jemaat
tersebut dan tugas-tugas pastoral atau pengembalaan lainnya. Selain itu pendeta juga
merupakan pemimpin dalam jemaat. Menurut Notohamidjojo pemimpin adalah orang
dewasa dengan wibawanya berusaha untuk mencapai tujuan organisasiniya atas dasar
kerjasama yang baik menurut peraturan yang ditetapkan bersama serta kebijaksanaan
yang sewajarnya untuk mencapai tujuan.5
Dahlenburg berpendapat bahwa Pendeta dipanggil oleh gereja (sinode) untuk
melayani di jemaat tertentu juga sebagai seorang penilik/episkopos.6 Ia juga mengutip
pernyataan Luther: “kalau kita orang Kristen, maka kita semua adalah Pendeta.” Tetapi
pendeta -pendeta yang kita panggil untuk melayani atas nama kita dan jabatan mereka
sebagai pendeta merupakan suatu pelayanan saja,7 karena tidak semua orang mampu dan
boleh berkhotbah, mengajar, memimpin, maka harus ada orang yang dipercayakan dan
diutus dengan doa dan penumpangan tangan di hadapan Tuhan dan jemaatnya yang
kemudian memegang jabatan sebagai pendeta. Dalam menjalankan tugasnya bukan untuk
kepentingan jabatan tersebut melainkan untuk melayani semua anggota yang lain. Jabatan
pendeta dalam Alkitab tidak ada, yang ada hanyalah pengajar atau penilik jemaat. Hal
3 Alexander Strauch, Manakah yang Alkitabiah: Kepenatuaan atau Kependetaan? (Yogyakarta: Andi,
1992), hal.179. 4 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal.747. 5 O. Notohamidjodjo, Kreatifitas yang Bertanggungjawab, (Salatiga: LPIS IKIP Kristen Satya Wacana,
Bagian II, 1973), hal. 386. 6 G.D Dahlenburg..., hal.17. 7 Ibid, hal.9.
3
tersebut dijelaskan Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, (Efesus
4:11-12). Tugas pemberitaan dan pengajaran Firman Tuhan diperintahkan oleh Yesus
dalam Matius 28: 19-20. Dalam Kisah Para Rasul juga terdapat pesan yang berhubungan
dengan pengajaran dan pemberitaan Firman Tuhan (Kis. 20:28).
2.1.2 Pendeta Sebagai Konselor
Panggilan seorang pendeta dalam pelayanan pastoral tidak terlepas dari fungsinya
sebagai seorang koselor dengan beberapa alasan bahwa:
a. Pendeta adalah rekan sekerja Allah, yang mengarahkan hatinya ke dalam pelayanan
yang terpusat kepada Allah dan setia memampukan orang lain untuk mengenal diri
sendiri dan Allah.
b. Pendeta mendapatkan pelayanan di dalam terang Roh Kudus dalam menjawab
pergumulan-pergumulan di sekitar masalah-masalah kemanusiaan.
c. Pendeta sebagai konselor pastoral selalu bersentuhan dengan apa yang disebut
dengan relasi dengan sesama.8
Dalam pelayanan pastoral seorang pendeta berkewajiban untuk memberikan
konseling bagi mereka yang berada dalam kebimbangan, penderitaan dan dalam
pergumulan hidup. Pelayanan pastoral melalui perkunjungan membantu pendeta untuk
mengetahui dengan cepat serta dapat memeberikan layanan provektif sebelum seorang
jatuh ke dalam masalah yang lebih berat. Sebagai seorang konselor, yang diharapkan dari
figur seorang pendeta adalah keselarasannya dalam pembimbingan dan pertolongan yang
diberikan melalui Firman Tuhan yang menjadi dasar dalam proses pelayanan pastoral
dengan warga jemaat.
Sebagai konselor dalam pelayanan pastoral, pendeta harus menempatkan warga
8 Mesach Krisetya, Diktat Konseling Pastoral,(Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2009), hal.13.
4
jemaat dalam hubungan yang benar dengan Allah dan sesama. Selai itu, pendeta harus
menyadari bahwa keberhasilan dalam suatu proses konseling, tidak terlepas dari perannya
yang menghadirkan Tuhan dan firman-Nya yang memampukan serta melayakkan baik
konselor (pendeta) maupun konseli (warga jemaat) untuk menemukan akar permasalahan
dan alternatif pemecahan masalah yang tepat. Ketika seseorang berada dalam
kebimbangan, kecemasan, keputusasaan, rasa takut yang dalam, merasa tersaing dan
mengalami keterasingan, peran pendeta sebagai konselor harus dapat menyadarkan
konseli akan kehadiran dan keterlibatan Tuhan Yesus berkarya dalam pergumulan dan
penderitaan hidupnya, untuk memulihkan keterasingannya dari keluarga, gereja,
masyarakat maupun lingkungan di mana ia berada. Sentuhan tangan kasih Yesus,
menempatkan seseorang berada dalam kuasa penyembuhan-Nya, yang bukan hanya
membuat orang itu terbuka dengan Allah saja, tetapi dengan orang lain, lingkungan
bahkan dengan diri sendiri. Keterbukaan itulah yang memberikan kehangatan spiritual
agar orang mulai sadar dan perlu membangun relasi terus menerus dengan semua orang.9
2.2 PELAYANAN PASTORAL
2.2.1 Pengertian Pastoral
Berbicara tentang pastoral berarti bicara tentang pelayanan. Kata pastoral
mempunyai makna pelayanan. Istilah pastoral berasal dari kata pastor. Pastoral adalah
kata sifat dari pastor, dalam bahasa Latin atau dalam bahasa Yunani disebut poimen, yang
artinya “gembala”. Istilah gembala dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan karya-Nya
sebagai “Pastor Sejati” atau “Gembala Yang Baik” (Yoh 10). Ungkapan ini mengacu pada
pelayanan Yesus yang tanpa pamrih bersedia memberi pertolongan dan pengasuhan
9 Jacob Daniel Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral, ((Salatiga: Trisara Grafika, 2007), hal.35-37.
5
terhadap para pengikut-Nya, bahkan rela mengorbankan nyawa-Nya.10 Gembala yang
baik dipahami sebagai seseorang yang lemah lembut, berkenan merawat, memelihara,
melindungi dan menolong manusia, tetapi pada waktu yang sama memberikan kebebasan
kepada manusia yang ditolongnya untuk mengambil sikap dan mengambil keputusan
sendiri. Gembala bukanlah seorang diktator, tetapi menjadi gembala berarti dengan penuh
cinta kasih menggembalakan domba yang dipercayakan tuannya untuk digembalakan.11
Dari pemahaman inilah, istilah pastoral kemudian berkembang sebagai sebuah upaya
untuk mencari dan mengunjungi anggota jemaat terutama yang sedang bergumul dengan
persoalan-persoalan yang menghimpitnya. Pelayanan ditujukan kepada mereka yang
mengalami pergumulan hidup.
Pastoral dihubungkan untuk memperdalam makna pekerjaan pendampingan,
sehingga pendampingan tidak hanya memiliki aspek horizontal (hubungan manusia
dengan sesama) akan tetapi juga mewujudkan aspek vertikal (hubungan dengan Allah).12
Dalam hubungan dengan pastoral, pendampingan tidak hanya sekedar meringankan
beban penderitaan, tetapi menempatkan orang dalam relasi dengan Allah dan sesama,
dalam pengertian menumbuhkan dan mengutuhkan orang dalam kehidupan spritualnya
untuk membangun dan membina hubungan dengan sesamanya, mengalami penyembuhan
dan pertumbuhan serta memulihkan orang dalam hubungan dengan Allah.13 Dapat
dikatakan bahwa Pendampingan Pastoral adalah suatu jawaban terhadap kebutuhan setiap
orang akan kehangatan, perhatian penuh, dukungan, dan pendampingan. 14 Menurut
Hulme, dalam bukunya Pastoral Care & Counseling, Pendampingan Pastoral merupakan 10 Aart van Beek, Pendampingan Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hal.10. 11 Tulus Tu’us, Dasar-Dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Ani, 2007), hal.20. 12 Aart van Beek..., hal.12. 13 Jaob Daniel Engel..., hal.4. 14 Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Patoral, (Yogykarta: Kanisius, 2002),
hal.59.
6
pelayanan untuk membantu dan mendekatkan orang pada mereka yang berpengalaman
dan mengerti akan masalah-masalah kehidupan seperti: sakit, perawatan,
ketidakmampuan, kematian dan kehilangan.15
Menurut Krisetya menyatakan bahwa suatu tanda dibutuhkannya pendampingan
pastoral itu, dikenal melalui suatu saat dimana tekanan dan tegangan hidup ini
mempengaruhi tubuh dan jiwa. Pendampingan pastoral berhubungan dengan manusia dan
juga lingkungannya, tetapi memang bisanya lebih khusus dengan manusia dan
lingkungannya yang bermasalah.16 Dalam hal ini pendampingan pastoral tidak hanya
sekedar belajar tehnik-tehniknya saja, namun seseorang harus juga mempelajari manusia
yang terlibat dalam pendampingan pastoral dan relasi diantara mereka. Dengan demikian
pendampingan pastoral itu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keyakinan agamis
tertentu, ataupun seorang gembala seorang gembala maupun majelis dan orang-orang
yang terlibat dalam pendampingan pastoral harus belajar agama dengan baik, dalam hal
ini Kristen, sebagaimana agama itu berfungsi didalam dan melalui orang-orang yang
terlibat dalam pendampingan pastoral itu didalam relasinya satu sama lain.17 Tidak hanya
itu, mendampingi orang lain bisa juga terwujud lewat kehadiran, mendengarkan secara
aktif, penuh perhatian, memiliki sifat empati sehingga dapat memahami dan menyelami
apa yang dirasakan oleh mereka yang sedang bergumul. Ketika kehadiran kita
menunjukan sikap yang baik bahwa kita mempunyai waktu untuk mendengarkan dan
berada di situ, inilah yang disebut hadir secara fisik dan psikologis.18 Ketika berada
bersama dengan mereka yang sedang bergumul, dengan persoalan hidup berarti kita
15 Ibid, hal.237. 16 Mesach Krisetya..., hal.5. 17 Ibid, hal.6. 18 Ibid, hal.68-69.
7
sebagai pendamping harus berkonsentrasi pada keunikan individu yang berada di hadapan
kita, yang tidak bisa digantikan oleh siapapun. Kehadiran dan kepedulian kita dapat
meyakinkan mereka bahwa mereka tidak sendirian, sehingga tercipta relasi yang hangat,
baik dan ramah. Dengan demikian maka akan tumbuh rasa saling percaya antara kita
dengan mereka yang sedang bergumul tersebut. Dengan kata lain dapat di artikan bahwa,
sepanjang ada komunitas maka keberadaan seseorang akan selalu dinantikan demi sebuah
sentuhan manusiawi, bagi mereka yang mengalami krisis kehidupan.19 Dalam rangka
mendampingi mereka yang mengalami masalah dalam kehidupannya, maka kita harus
melihat secara utuh dalam keseluruhan sebagai manusia dan apa yang dibutuhkan mereka
dalam menghadapi masalah tersebut.
Pastoral adalah suatu pelayanan yang sangat luas cakupannya dan menyangkut
banyak dimensi pelayanan. Pastoral mencakup pelayanan yang saling menyembuhkan
dan menumbuhkan di dalam suatu jemaat dan komunitasnya sepanjang perjalanan
kehidupan mereka. 20 Clinebell menjelaskan tentang adanya dimensi utama dalam
pelayanan pastoral. Dimensi tersebut saling berhubungan dan melengkapi antara satu
dengan yang lain. Dimensi-dimensi pelayanan pastoral yang dimaksud oleh Clinebell
adalah sebagai berikut:21
a. Pewartaan kabar baik
Pewartaan kabar baik diwujudkan dalam bentuk khotbah yang berpusat pada pribadi.
Hal itu merupakan salah satu dari sekian banyak kesempatan yang paling berharga untuk
mempertinggi keutuhan suatu jemaat, yaitu dengan menyinarkan terang hikmat
19 Totok S, Wiryasaputra, Pendampingan Pastoral Orang Sakit, (Yogyakarta: Pusat Pastoral, 2004), hal.5. 20 Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Patoral, (Yogykarta: Kanisius, 2002),
hal.32. 21 Ibid, hal.49-50.
8
Alkitabiah pada masalah duniawi mereka dan memperhadapkan mereka akan kebutuhan
mereka untuk pertumbuhan, dalam Roh kasih.
b. Kebaktian
Kebaktian merupakan suatu pengalaman jemaat akan rasa berkelompok yang
menyatu, yang dapat menjadi suatu cara menolong, membarui keyakinan mereka yang
mendasar, mengatasi rasa bersalah, mengalami dimensi kehidupan yang transenden, dan
mengenyangkan kelaparan jiwa mereka.
c. Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu carabagi jemaat untuk membantu pertumbuhan
keutuhan pribadi, mengajarkan hikmat yang relevan, dan tradisi agama. Kelas dan
kelompok pertumbuhan jemaat dapat merupakan taman-taman pemeliharaan
pertumbuhan yang bersifat timbal balik, di mana pertumbuhan pribadi dan hubungan
dengan orang lain dipupuk.
d. Pendampingan dan konseling pastoral
Pendampingan dan konseling pastoral adalah sebuah pelayanan pendampingan yang
formal dan terstruktur, dilakukan oleh orang yang telah dipersiapkan, dididik, dan dilatih
untuk melakukan konseling secara penuh waktu, sehingga mampu melakukan
pendampingan secara profesional dalam sebuah perjumpaan antara pendamping dengan
seseorang atau sekelompok orang dengan menggunakan metode psikologis untuk
menstimulasi daya pertumbuhan dan daya penyembuhan yang ada pada seseorang atau
sekelompok orang.
e. Kepemimpinan dan pertumbuhan jemaat
Kepemimpinan dan pertumbuhan jemaat adalah suatu cara menciptakan dan
9
mempertahankan kelompok, organisasi dan struktur yang sehat. Manajemen gereja yang
dijalankan dengan cara menghargai pribadi adalah inti dari perkembangan organisasional
dalam suatu jemaat.
f. Pemberdayaan kaum awam
Pemberdayaan kaum awam berarti memampukan warga gereja dengan cara menggali
kemampuan mereka untuk saling melayani dalam jemaat, melalui suatu program
pendidikan warga gereja. Mereka dilibatkan dalam program-program yang sudah
direncanakan oleh gereja.
g. Pelayanan masyarakat
Pelayanan masyarakat adalah usaha untuk melayani kebutuhan orang dalam suatu
komunitas pemeliharaan yang lebih luas dari pada suatu jemaat, suatu komunitas yang
luas, yakni komunitas global. Ini merupakan bentuk pelayanan sosial dan pelayanan
berjuang melawan ketidakadilan.
h. Pelayanan nabiah
Pelayanan nabiah (profetis) berusaha untuk mengubah masyarakat dan lembaga
sehingga mendukung dan tidak menghambat keutuhan diri semua orang.
2.2.2 Pelayanan Pastoral
Mengenai pelayanan pastoral, Pdt. Yakub Susabda dalam buku Pastoral Konseling
mendefinisikan pelayanan pastoral sebagai berikut: pelayanan pastoral adalah hubungan
timbal balik (interpersonal relathionship) antara hamba Tuhan (pendeta, penginjil, dsb)
sebagai konselor dengan konselinya (klien, orang yang minta bimbingan), dalam mana
pelayanan ini mencoba membimbing konselinya ke dalam suasana percakapan konseling
yang ideal (conducive atmosphere) yang memungkinkan konseli itu betul-betul mengenal
10
dan mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri, persoalannya, kondisi
hidupnya, di mana ia berada, dan sebagainya; sehingga ia mampu melihat tujuan
hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya kepada Tuhan dan mencoba mencapai itu
dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah diberikan Tuhan
kepadanya.22
Berdasarkan pengertian di atas, Pdt Yakub Susabda membagi 4 unsur penting atau
dasar pemikiran yang menentukan keunikan pelayanan pastoral:23
a. Pelayanan pastoral adalah pelayanan hamba Tuhan yang dipercayakan oleh Allah
sendiri.
b. Pelayanan pastoral adalah pelayanan mutlak bergantung pada kuasa Roh Kudus.
c. Pelayanan pastoral adalah pelayanan yang didasarkan pada kebenaran firman Tuhan.
d. Pelayanan pastoral adalah pelayanan yang bersifat-dasarkan teologi dalam
integrasinya dengan sumbangan ilmu-ilmu pengetahuan lain khususnya psikologi.
Pelayanan pastoral adalah tugas dari pelayanan hamba Tuhan (pendeta). Pendeta
akan kehilangan identitasnya jikalau ia menolak pelayanan pastoral. Meskipun demikian
pelayanan pastoral bukanlah pelayanan secara otomatis yang dapat dilakukan oleh para
pendeta.24 Berdasarkan definisi ini, bisa dilihat paling tidak empat aspek penting yang
harus dikenal oleh setiap pendeta dalam melakukan pelayanan konseling pastoral.25
a. Hubungan timbal balik (interpersonal relationship) antara pendeta (konselor) dengan
jemaat (konselennya).
b. Pendeta sebagai konselor.
22 Yakub Susabda, Pastoral Konseling Jilid II, (Malang: Gandum Mas, 2006), hal.13. 23 Ibid, hal.71. 24 Yakub Susabda, Pastoral Konseling Jilid I, (Malang: Gandum Mas, 2003), hal.12. 25 Ibid, hal.4-5.
11
c. Suasana percakapan konseling yang ideal (conducive atmosphere).
d. Melihat tujuan hidup dalam relasi dan tanggung jawab pada Tuhan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya pelayanan pastoral
berhubungan dengan manusia, tidak pandang kepercayaannya dan kedudukan sosial.
Pelayanan pastoral juga merupakan suatu bentuk pendampingan kepada seseorang yang
sementara berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan, dalam hal ini, seseorang
yang sedang mengalami suatu keadaan atau suasana yang kurang baik, di mana tekanan
dan ketegangan hidup mempengaruhi tubuh dan jiwanya. Pelayanan pastoral juga adalah
suatu jawaban terhadap kebutuhan setiap orang akan kehangatan, perhatian penuh,
dukungan dan pengembalaan. Kebutuhan ini memuncak pada saat tekanan pribadi dan
kekacauan sosial terjadi.26
2.3 FUNGSI PELAYANAN PASTORAL
Agar pelayanan pastoral dapat berfungsi dengan baik, maka pengertian tentang
layanan pastoral perlu diperhatian dengan baik. Clebsch dan Jaekle mengemukakan
defenisi pelayanan pastoral sebagai berikut:
“The ministry of the cure of soul, or pastoral care, consist of
helping acts, done by representative Christian persons. Directed
toward the healing, sustaining, guiding, and reconciling of traubled
persons whose troubles arise in the context of ultimatemeanings
and concerns.”27
Hal-hal yang penting untuk diperhatikan dari defenisi di atas adalah:
a. Pekerjaan pelayanan pastoral gereja dilakukan oleh orang-orang yang disebut
representatif (Pendeta, Presbyters, Diaken, Para Tua-tua, dll). Pendekatan yang
26 Howard Clinebell..., hal.59. 27 Wilian A. Clebsch R. Jaekle, Pastoral Care In Historical Perspective, (USA: Harper and Row, 1967),
pg.4-10.
12
seperti itu memberi peluang yang sangat besar bagi peran aktif orang-orang tertentu
dalam suatu komunitas gereja dan mengabaikan peran aktif dari komponen yang lain
dalam pelayanan gereja. Dengan demikian pendekatan seperti ini sudah harus
ditinjau, dalam rangka memberikan peran kepada semua komponen dalam
persekutuan warga jemaat untuk melakukan tanggung jawab bersama.
b. Pelayanan Pastoral ditujukan kepada orang-orang yang bermasalah. Konsepsi ini
mengandung pengertian bahwa pelayanan pastoral hanya akan dilakukan jika
seseorang mengalami masalah dalam kehidupannya. Itu artinya jika seseorang tidak
bermasalah maka sudah barang tentu ia tidak memerlukan pelayanan pastoral.
Pelayanan Pastoral yang seperti ini tidak mencakup aktifitas kepada orang-orang
yang sekalipun tidak bermasalah tetapi membutuhkan pendampingan dalam rangka
pertumbuhan. Jadi seharusnya konseling pastoral tidak terbatas bagi orang-orang
yang mengalami masalah saja.
c. Pelayanan Pastoral berorientasi induvidualistik. Dengan demikian fokus utama
pelayanan pastoral adalah masalah pribadi saja. Kelemahannya adalah
masalah-masalah pastoral tidak hanya bersifat pribadi saja tetapi juga bersifat
komunal (kelompok).
d. Pelayanan Pastoral mengabaikan aktivitas menolong yang lain di dalam gereja.
Artinya orang-orang yang melakukan pekerjaan memberi pertolongan di dalam
konseling pastoral tidak harus terbatas pada masalah-masalah yang ultima saja.
Pelayanan Pastoral perlu diadakan karena memiliki fungsi yang dapat membawa
jemaat menemukan arti hidupnya dan membawa jemaat kepada situasi yang membuatnya
sejahtera dalam kehidupannya. Menurut William Clebsch dan Charls Jaekle, pelayanan
13
pastoral memiliki empat fungsi yaitu penyembuh, penopang, pembimbing dan
pendamaian. 28 Selain itu juga ditambahkan oleh Clinebell satu fungsi lagi, yaitu
pemeliharaan.29 Lima fungsi pastoral tersebut antara lain:
a. Penyembuhan (healing) adalah fungsi pastoral yang bertujuan mengatasi beberapa
kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntun
kearah lebih baik dari yang sebelumnya.
b. Penopangan (sustaining) adalah menolong orang yan “terluka” untuk bertahan
melewati suatu keadaan yang dalamnya pemulihan kepada keadaan semula atau
penyembuhan dari penyakit yang tidak mungkin atau tipis kemungkinannya untuk
disembuhkan.
c. Pembimbingan (guiding) adalah membantu orang-orang yang kebingungan untuk
menentukan pilihan-pilihan yang pasti diantara berbagai pikiran dan tindakan
alternatif, jika pilihan demikian dipandang sebagai yang mempengaruhi jiwa
sekarang dan akan datang.
d. Pendamaian (reconciling) adalah berupaya untuk membangun relasi manusia dengan
sesamanya dan antara manusia dengan Allah.
e. Memelihara (nurturing) adalah bahwa hidup seseorang bertumbuh dan berkembang,
memelihara dan memampukan orang untuk mengembangkan potensi-potensi yang
diberikan Allah sepanjang kehidupannya.
Howard Clinebell dalam bukunya Growth Conceling mengatakan bahwa pada
dasarnya tujuan layanan pastoral adalah membawa 6 aspek dalam hidup manusia dalam
pertumbuhan yang harmonis dalam interaksinya. Keenam aspek pertumbuhan itu adalah
28 Wilian A. Clebsch R. Jaekle..., pg.32. 29 Howard Clinebell..., hal.54.
14
pertumbuhan dalam pikiran, revitalisasi tubuh, relasi yang kaya dengan orang lain,
hubungan yang akrab dengan alam dan biosphere, bertumbuh dengan lembaga yang
bermakna bagi hidup kita dan dimensi hubungan dengan Allah.30 Tujuan pelayanan
pastoral Kristen adalah membawa keenam dimensi itu pada pertumbuhannya yang utuh
sehingga individu dapat menjadi agen rekonsiliasi dan agen keutuhan di tengah keluarga,
masyarakat dan gereja. Konsekuensi logis dari pemahaman di atas menjelaskan bahwa
pelayanan pastoral mau atau tidak mau harus terbuka pada sumbangan ilmu lainnya.
Ketidaksediaan untuk membuka diri terhadap sumbangan ilmu-ilmu lainnya, maka
keputusan dan pelayanan pastoral yang dilakukan bagi mereka yang bermasalah tidak
pernah akan cukup dalam memberi solusi. Bahkan dalam banyak hal, ilmu-ilmu sosial
lebih mampu memberikan informasi lengkap tentang realita manusia kepada kita dari
pada ilmu teologi. 31 Dalam konteks keenam dimensi manusia di atas, Clinebell
mengemukakan bahwa keenam dimensi itu saling terkait satu dengan lainnya. Apabila
satu aspek belum terpenuhi maka akan berdampak pada laju pertumbuhan hidup
seseorang. Dengan demikian pelayanan pastoral yang dilakukan gereja harus membantu
seseorang untuk menemukan keutuhan dalam kehidupannya.
Clinebell berpendapat bahwa
“spiritual growth is the key to all human growth. Because human
beings are inherently transpersonal and transcendent, there is no
way to fulfill one self except inrelationship to lenger spiritual
reality.”32
Dalam konsep ini, Clinebell memberi pemahaman bahwa agama bukan ditujukan pada
lembaga, melainkan sebagai usaha menumbuh-kembangkan kehidupan spiritualitasnya.
30 Howard Clinebell, Gowth Conceling: Hope-Centered Methods of Actualizing Human Wholeness,
(Nashville: Parthenon Press, 1982), pg.17. 31 Mesach Krisetya..., hal.55. 32 Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Patoral, (Yogykarta: Kanisius, 2002),
hal.50.
15
Lewat pengalaman spiritual yang mendalam seseorang dapat menjadikan hidupnya
sejahtera secara utuh.
2.4 PELAYANAN PASTORAL dalam JEMAAT
Harus disadari bahwa pertumbuhan anggota jemaat menuju kelimpahan, bukanlah
karya dari manusia tetapi merupakan karya Allah sendiri yang secara langsung
menggembalakan domba-domba-Nya. Menurut Alastair Campbell, seorang gembala
dalam menghadapi kondisi alam menuntut untuk bisa memiliki kesiapan waktu, tenaga
dan perhatian dalam pelaksanaan tugasnya. Di dalam Perjanjian Lama, seorang gembala
yang baik dilambangkan dengan seorang yang berusaha memberi makan dombanya serta
menyatakan kasih dalam memimpin domba tersebut. Ia harus menunjukan itu
sebagaimana Allah melakukannya dengan menjanjikan seorang Mesias yang akan
menolong mereka. Seorang gembala adalah seorang yang memimpin (leads),
menunjukan jalan (guides), memelihara (nurtures), menyembuhkan (heals) serta mencari
yang tersesat (seeks out the lost) dan membawa kembali bersama domba-domba yang
lain, serta melindungi mereka dari kebinasaan.33
Gambaran tentang Allah sebagai gembala menurut Campbell, terlihat dalam Kitab
Yesaya, Yehezkiel dan Mazmur yakni: Yesaya 40:11, Allah digambarkan sebagai seorang
gembala yang lemah lembut; Yehezkiel 34:16, Allah digambarkan sebagai seorang yang
terampil dan setia melindungi, yang hilang dicari, yang tersesat dibawah pulang, yang
luka dibalut, yang sakit dikuatkan serta yang gemuk dan kuat dilindungi; Tuhan
mengembalakan mereka sebagaimana seharusnya; Mazmur 23:2-3, Allah digambarkan
33 Campbell Alastair, Profesionalisme dan Pendampingan Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994),
hal.37.
16
sebagai seorang penyembuh dan seorang sahabat. Ia membaringkan umatNya di padang
yang berumput hijau, membimbing ke air yang tenang, menyegarkan jiwa serta menuntun
di jalan yang benar oleh karena nama-Nya.
Di dalam Perjanjian Baru, kita menemukan motif gembala yang terdapat pada Yesus.
Mulai dari kelahiran-Nya, pelayanan-Nya, kematian-Nya, kebangkitan-Nya dan sampai
pada kemenangan-Nya. Dalam hubungan dengan Yesus, Campbell mengutip Lukas 1:52
“seorang gembala adalah orang yang memiliki kerendahan hati.”34 Rasul Paulus dalam
suratnya yang ditunjukan kepada jemaat di Efesus mengingatkan bahwa: “Yesus Kristus
adalah batu penjuru pembangunan dan pelayanan jemaat, karena Dialah tumbuh seluruh
bangunan... dan menjadi tempat kediaman Allah didalam Roh” (Efesus 2:20-22).
Kata-kata Paulus ini menarik untuk dianalisa apalagi bila dihubungkan dengan pidato
perpisahannya kepada para penatua jemaat Efesus yang terjadi di Miletus dalam Kis
20:17-20. Menurut E. Martasudjita,35 ada dua hal yang menarik untuk diamati dalam nats
ini, Pertama dalam ayat 18b, “Kamu tahu bagaimana aku hidup di antara kamu sejak hari
pertama aku tiba di Asia ini” ini merupakan suatu petunjuk bahwa dalam menjalankan
pelayanannya, Paulus berada di tengah-tengah anggota jemaat dan merasa satu
dengannya dan anggota jemaat mengenal dia dengan akrab. Prinsip pelayanan Paulus
adalah ia melayani ditengah-tengah orang banyak, ia bersama mereka, berkomunikasi
dengan mereka dan menjadi teladan bagi mereka. Dari sikap yang ditunjukan Paulus
tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk melaksanakan pelayanan kepada jemaat
dengan lebih baik, maka seorang pemimpin atau gembala harus berada di tengah-tengah
jemaat tersebut, menjadi bagian dari mereka, berkomunikasi dan mendengar mereka
34 Campbell Alastair..., hal.39. 35 E. Martasudjita, Pr, Kepemimpinan Transformatif: Makna dan Spiritualnya Secara Kristiani,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal.60.
17
secara akrab. Kedua, dalam ayat 19, Paulus mengatakan: “Dengan segala kerendahan hati
aku melayani Tuhan.” Yang menarik di sini ialah bahwa Paulus menyadari diri sebagai
pelayan Tuhan (pelayan Kristus) dan bukan pelayan jemaat. Martasudjita mengatakan,
bahwa kata-kata Paulus mengandung makna bahwa dalam pelayannya, Paulus terikat
kepada Kristus dan bebas terhadap jemaat. Artinya bahwa hanya dengan keterikatan di
dalam melayani Kristus maka seorang gembala dapat melayani jemaat.36
Yesus membangun kehidupan orang percaya dan sekaligus menyerahkan tugas itu
kepada manusia, “kami adalah kawan sekerja Allah.”37 Dengan Kristus membangun
jemaat, maka berarti disediakan tugas bagi manusia untuk membongkar rintangan yang
menghalangi karya Allah. Roh Allah diberikan kepada manusia untuk bertindak dengan
sadar dan bijaksana, sehingga manusia tidak saling menguasai, mendominasi melainkan
saling menolong dan menjadi mitra yang sepadan.38
Dalam melaksanakan tugas pelayanan pastoral, pendeta sering menemui
hambatan-hambatan baik karena situasi jemaat, maupun keterbatasan-keterbatasan yang
dipunyai oleh pendeta sebagai pelaksanan pelayanan. Ini adalah kondisi jemaat. Namun
di sisi lain, sebagai pendeta harus dapat menemukan upaya-upaya yang dapat dilakukan
oleh gereja terhadap hal ini. Salah satunya dengan cara memberdayakan para pendeta
sebagai pimpinan jemaat agar fungsi layanan pastoral dapat dioptimalkan untuk
pertumbuhan jemaat.
36 Ibid, hal.63. 37 I Korintus 3:16 38 Kesadaran dan kebijakan pelayanan mengandung dua makna; Pertama, bahwa seorang gembala harus
mengikuti pola pelayanan Tuhan sebagai gembala yang siap menghadapi tantangan dan bertanggungjawab
membawa domba-domba pada keejahteraan hidup; Kedua, bahwa seorang pelayan harus menyadari bahwa
pelayanan itu sendiri adalah tugas yang dipercayakan Tuhan dan bukan suruhan manusia. (Eka
Darmaputra).
18
Untuk melakukan layanan konseling pastoral di jemaat, perlu adanya perubahan
paradigma dari para pemimpin jemaat (Pendeta) untuk melihat anggota jemaat tidak
sebagai objek melainkan sebagai subjek pelayanan. Pandangan seperti ini harus mewarnai
gaya kepemimpinan, cara merumuskan tujuan dan usaha mewujudkan pelayanan.39 Ini
merupakan upaya menemukan potensi jemaat serta mempergunakannya untuk
pembangunan pelayanan khususnya pada bidang pastoral.
2.5 FUNGSI PENDETA dalam PELAYANAN PASTORAL di GMIT
Yesus membangun kehidupan orang percaya dan sekaligus menyerahkan tugas itu
kepada manusia, “kami adalah kawan sekerja Allah.”40 Dengan Kristus membangun
jemaat, maka disediakan tugas bagi manusia untuk membongkar rintangan yang
menghalangi karya Allah. Roh Allah diberikan kepada manusia untuk bertindak dengan
sadar dan bijaksana, sehingga manusia tidak saling menguasai, mendominasi melainkan
saling menolong dan menjadi mitra yang sepadan.41 GMIT mengakui bahwa seluruh
warganya adalah pengemban tugas imamat yang melayani. Namun guna memperlengkapi
warga jemaat bagi pekerjaan pelayanan demi pembangunan gereja dan masyarakat, secara
khusus GMIT juga mengangkat dan menetapkan warganya yang dipanggil untuk
melaksanakan jabatan-jabatan khusus. Jabatan-Jabatan khusus tersebut adalah : pendeta,
penatua, diaken dan pengajar, yang disebut jabatan pelayanan. Selain jabatan pelayanan
GMIT juga mengenal adanya jabatan keorganisasian, yang disebut kemajelisan. Pada
39 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hal.362. 40 I Korintus 3:16 41 Kesadaran dan kebijakan pelayanan mengandung dua makna; Pertama, bahwa seorang gembala harus
mengikuti pola pelayanan Tuhan sebagai gembala yang siap menghadapi tantangan dan bertanggungjawab
membawa domba-domba pada keejahteraan hidup; Kedua, bahwa seorang pelayan harus menyadari bahwa
pelayanan itu sendiri adalah tugas yang dipercayakan Tuhan dan bukan suruhan manusia. (Eka
Darmaputra).
19
bagian ini, penulis tidak akan membahas jabatan-jabatan yang berada di lingkup GMIT
secara keseluruhan tetapi hanya menguraikan tentang jabatan pendeta.
Pada diri pendeta terdapat dua jabatan, yaitu jabatan pelayanan dan jabatan
keorganisasian. Sebagai pelayan seorang pendeta melaksanakan tugas-tugas sebagai
pelayan firman Allah, melaksanakan pelayanan sakramen, perkunjugan jemaat. Dalam
jabatan keorganisasian seorang pendeta wajib diangkat sebagai ketua majelis jemaat,
yang bertanggungjawab melaksanakan tugas-tugas organisasi sebagai pemimpin dalam
jemaat.42
Peraturan Pokok GMIT tentang Jabatan dan Kekaryawanan, menjelaskan bahwa
kedudukan setiap jabatan pelayanan (pendeta, penatua, diaken, pengajar) adalah setara
dan saling menunjang atau menopang baik itu di aras jemaat, klasis maupun sinode.
Hubungan antar jabatan dikoordinasikan oleh majelis ditiap-tiap aras. Hubungan antar
jabatan keorganisasian ditiap-tiap aras adalah bersifat penugasan dan konsultasi. GMIT
menjunjung tinggi pola kepemimpinan yang bersifat kebersamaan, kesetaraan dalam
kemajelisan.43
Setiap karyawan GMIT termasuk pendeta berwewenang untuk melaksanakan tugas
sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawabnya. Kewajiban pendeta sebagai karyawan
GMIT menurut Peraturan Pokok GMIT tentang Jabatan dan Kekaryawanan Bab XIV,
pasal 67 ayat 2 adalah:44
i. Menjunjung tinggi pengakuan iman;
ii. Menaati Tata Gereja;
42 MS GMIT, Haluan dan Kebijaksanaan Umum Pelayanan 2011-2030, (Majelis Sinode GMIT: Kupang,
2011). 43 Peraturan pokok GMIT tentang Karyawan dan Kepejabatan gereja no.12/TAP/SIN-GMIT/32/2011. 44 Peraturan pokok GMIT..., 2011.
20
iii. Menjaga persekutuan dan keutuhan gereja;
iv. Menyimpan rahasia jabatan dan rahasia pelayanan;
v. Menjalankan tugas di mana dan kapan saja berdasarkan pengaturan lembaga atau
pejabat gereja yang berwenang karena tuntutan pelayanan gereja;
vi. Setiap karyawan mempertanggungjawabkan pelayanannya kepada Tuhan melalui
Majelis Jemaat, Majelis Klasis dan Majelis Sinode sesuai dengan lingkup
pelayanannya.
GMIT mengaku bahwa pendeta, penatua, diaken, dan pengajar adalah jabatan-jabatan
yang didasarkan pada panggilan Tuhan kepada warga jemaat. Panggilan itu hanya satu
tetapi memiliki dua sisi: panggilan yang dari dalam sisi subyektif dan panggilan yang dari
luar sisi obyektif. Panggilan yang dari dalam itu adalah perkara iman, oleh karena itu
tidak dapat diatur secara tetap. Pernyataan panggilan itu dapat dimaklumi di dalam
keyakinan hati, bahwa Tuhan telah mempersiapkan hidup seseorang untuk menunaikan
tugas jabatan tersebut. Panggilan yang dari dalam ini berlaku untuk semua orang percaya,
jadi bukan hanya untuk pendeta, penatua, diaken, dan pengajar.45 Tetapi panggilan yang
dari dalam itu belum cukup untuk ditetapkan sebagai pejabat gereja. Panggilan dari dalam
itu harus disyahkan oleh panggilan dari luar, yakni oleh lembaga gereja atau oleh Sinode.
Tata cara pemanggilan itu terdiri dari pencalonan, pengujian, persetujuan, dan peneguhan.
Untuk sisi yang kedua ini terdapat perbedaan antara prosedur (tata cara) pemanggilan
pendeta dan pengajar pada satu sisi, dan pada sisi lain pemanggilan penatua, diaken.
Pemanggilan pendeta dilakukan ditingkat Sinode, sedangkan pemanggilan penatua
dan diaken diselenggarakan di tingkat jemaat. Perbedaan ini dikarenakan jabatan Pendeta
45 Eben Nuban Timo, Pandangan GMIT tentang Pendeta, Makalah pengantar ke dalam diskusi tim kerja
dalam tesis Popi Lapenangga Konseling Pastoral Pendeta (Studi Pemahaman Pendeta Mengenai Konseling
Pastoral Serta Faktor-faktor Penghambat Pelayanannya di Jemaat GMIT Pola Tribuana Kalabahi), 2013.
21
berlangsung seumur hidup dan berlaku dalam seluruh wilayah pelayan GMIT, sedangkan
jabatan penatua dan diaken hanya untuk dua periode pelayan (2x4 tahun) dan hanya
dalam lingkungan jemaat di mana pejabat itu diteguhkan. Selain itu pendeta, sebagai
tenaga penuh waktu dalam gereja tidak diperkenankan melakukan tugas-tugas lain di luar
tugas-tugas yang digariskan oleh sinode. Sedangkan penatua dan diaken masih memiliki
keluasan untuk menekuni pekerjaan lain di luar lingkungan pelayan gerejawi. Dengan
demikian sejak seseorang dipanggil oleh gereja ke dalam jabatan sebagai pendeta ia
menyerahkan seluruh waktu, tenaga, dan hidupnya untuk pelayan dalam gereja, dan wajib
tunduk sepenuhnya pada semua ketentuan yang ditetapkan oleh sinode dan berlaku dalam
lingkungan GMIT.46
Para pendeta di GMIT juga mempunyai tugas yang diatur dalam tata peraturan
GMIT.47 Tugas-tugas tersebut adalah sebagai berikut:
i. Melayani pemberitaan firman Allah dan sakramen-sakramen.
ii. Meneguhkan para penatua, diaken dan anggota sidi.
iii. Meneguhkan dan memberkati nikah.
iv. Memimpin kebaktian penguburan orang mati. Bersama dengan Penetua
melaksanakan tugas pemberitaan dan pengajaran Firman Tuhan, melengkapi warga
Jemaat dalam berbagai bentuk dan cara agar terlengkapi bagi pekerjaan pelayanan
dan pembangunan tubuh Kristus.
v. Mengunjungi dan menggembalakan anggota jemaat.
vi. Bersama dengan penatua dan diaken dalam Kesatuan Majelis Jemaat mengawasi
ajaran gereja, menjalankan disiplin gereja, memperkembangkan usaha bertheologi
46 Eben Nuban Timo, Pandangan GMIT, Makalah...., 2013. 47 MS GMIT, Tata Ibadah GMIT, (Majelis Sinode Kupang).
22
dari warga jemaat, melakukan pelayanan Diakonia dan usaha-usaha bagi peningkatan
kesejahteraan hidup warga Jemaat dan masyarakat.
vii. Memperhadapkan para Pelayan Kategorial dan Fungsional Jemaat.
viii. Bersama dengan penatua dan diaken dalam kesatuan Majelis Jemaat, mengelola
perbendaharaan GMIT yang ada di jemaat agar bermanfaat sebai-baiknya bagi
pelayanan di lingkungan jemaat dan gereja.
ix. Memimpin Majelis Jemaat.
x. Menabiskan Calon Pendeta (Vikaris) kedalam jabatan Pendeta.
Selain dari itu GMIT juga menggunakan panca pelayanan yang menjadi acuan bagi
pekerjanya (pendeta, vikaris dan majelis jemaat) guna terlaksanya suatu pelayanan
pastoral yang baik bagi jemaatnya. Panca pelayanan tersbut antara lain:
a) Bidang Koinonia
Menurut perencanaan pelayanan jangka panjang atau yang biasa disebut dengan
Rencana Induk Pelayanan (RIP), Majelis Sinode GMIT dalam bidang koinonia
mempunyai program strategis, yaitu mengembangkan Telogia dan spiritualitas inkulsif
GMIT sebagai dasar bagi pelayanan dalam kebersamaan dan kesetaraan sebagai warga
gereja, warga bangsa, sekaligus aktif dalam memajukan kebaikan dunia dan kemanusiaan.
Bidang koinonia di GMIT memiliki tujuan meningkatkan persekutuan dan spiritualitas
GMIT yang bersifat inkulsif, dengan sasaran meningkatnya kualitas pelayanan koinonia
menuju jemaat misioner dan inklusif, meningkatnya kapasitas tenaga pelayan (SDM)
yang mampu menyampaikan teologia dan spiritualitas inklusif, meningkatnya peranan
tenaga penatua, diaken dan jemaat awam yang potensial dalam pelayanan koinonia,
meningkatnya soliditas persekutuan melalui perbaikan ekonomi jemaat agar jemaat tidak
23
mudah terpecah belah.48
Dari RIP tersebut di atas, maka Majelis Sinode GMIT menyusun perencanaan
pelayanan jangka menengah atau yang biasa di sebut dengan Haluan Kebijakan Umum
Pelayanan (HKUP) dalam bidang koinonia, yaitu GMIT empat tahun ke depan
diharapkan mampu menerobos “egoisme jemaat” dalam rangka melihat tanggung jawab
bersama secara finansial lewat sistem subsidi silang dalam rangka membangun jemaat
yang missioner; hubungan ekumenis yang bersifat formal ditingkatkan dalam bentuk
kerja sama konkrit untuk mengemban misi bersama. GMIT perlu merumuskan berbagai
bentuk kerjasama dengan gereja-gereja lain, baik dalam hubungan dengan perutusan
TUG (Tenaga Utusan Gerejawi) maupun berbagai kerjasama lainnya dalam rangka
peningkatan pelayanan bersama; GMIT masa depan adalah GMIT yang terbebas dari
primordialisme sempit suku atau kelompok etnis. Kenyataan primordial berupa suku dan
kelompok etnis akan dikelola dan dikembangkan sebagai kekayaan untuk menumbuhkan
kenyataan universal sebagai Gereja Kristus di dunia ini; GMIT ke depan adalah gereja
yang menjadi alat damai sejahtera (syalom) atau pelayan pendamaian dalam konteks di
mana dia berada, sebagaimana amanat thema periodik 2016-2020, sehingga bukan saja
gereja sebagai pembawa damai yang akan merasakan kebahagiaan tetapi juga mereka
yang dilayani gereja merasakan kebahagiaan lahir dan batin.49
b) Bidang Marturia
Menurut perencanaan pelayanan jangka panjang atau yang biasa disebut dengan
Rencana Induk Pelayanan (RIP), Majelis Sinode GMIT dalam bidang marturia
mempunyai program strategis, yaitu mengembangkan ajaran teologia dan spiritualitas
48 MS GMIT, Rencana Induk Pelayanan 2011-2030, (Majelis Sinode GMIT: Kupang, 2011). 49 MS GMIT, Haluan Kebijakan Umum Pelayanan 2016-2020, (Majelis Sinode GMIT: Kupang, 2016).
24
yang menyatakan jati diri GMIT yang oleh karenanya memungkinkan keterlibatan
segenap warga Jemaat GMIT dalam berbagai bidang kehidupan di dunia. Bidang marturia
di GMIT memiliki tujuan meningkatkan peran serta segenap warga GMIT dalam berbagai
pergumulan regional, nasional dan global sebagai bentuk kesaksian, dengan sasaran
meningkatkan etos kerja jemaat seabagai kesaksian hidup di segala bidang pelayanan,
meningkatnya pelayanan marturia menuju jemaat yang berdaya dan berdisiplin,
berkembangnya pembinaan kelompok kategorial berusia muda guna membangun
ketahanan persekutuan, terjadinya revitalisasi semangat missioner warga GMIT melaui
peningkatan kapasitas warga GMIT, meningkatnya kontinuitas pembinaan kelompok
kategorial dan fungsional.50
Dari RIP tersebut di atas, maka Majelis Sinode GMIT menyusun perencanaan
pelayanan jangka menengah atau yang biasa di sebut dengan Haluan Kebijakan Umum
Pelayanan (HKUP) dalam bidang marturia, yaitu GMIT empat tahun ke depan harus
mengoperasionalkan pengakuan imannya di dalam berbagai bidang pengajaran GMIT
khususnya melalui kurikulum katekesasi Sidi; GMIT empat tahun ke depan memiliki
ajarannya sendiri menyangkut berbagai pokok dan masalah kehidupan yang dihadapi
warga; GMIT empat tahun ke depan memiliki teologi dan ajaran sosial menyangkut
berbagai isu publik dalam masyarakat. Ini merupakan titik imbang terhadap
kecenderungan teologis yang terlalu individual dalam GMIT selama ini. Bahkan adanya
teologi “gado-gado” di antara pelayan dan warga GMIT; Alkitab, pengakuan iman dan
ajaran-ajaran Gereja menyangkut berbagai masalah termasuk masalah sosial akan
menjadi acuan bagi gereja untuk memperdengarkan suara dan tindakan kenabiannya
menyangkut berbagai masalah kehidupan. Ini penting, mengingat acuan kita terkadang
50 MS GMIT, Rencana Induk... 2011.
25
pandangan pribadi yang memiliki muatan-muatan kepentingan pribadi dan pandangan
pribadi serhingga menimbulkan konflik kepentingan yang berdampak pada tidak
terciptanya damai sejahtera; GMIT di masa depan akan memiliki kiprah sosial-politik
yang jelas berdasarkan landasan Alkitab, pengakuan dan ajarannya, sehingga GMIT
menjadi agen perubahan dan bukan obyek garapan yang diombang-ambingkan oleh
berbagai kekuatan entah tokoh, penguasa, partai atau kekuatan lain manapun. Dalam
berbagai situasi, gereja tetap menjadi gereja dan memiliki pendirian teologis yang tegas
dan mampu menjawab pergumulan nyata jemaat dan masyarakat dalam berbagai konteks;
Warga GMIT lewat program PWG (Pendidikan Teologi Jemaat) diharapkan menjadi
warga yang memiliki wawasan teologis yang bertanggung-jawab. Dengan demikian
GMIT menjadi satu komunitas moral dan menjadi kekuatan moral dalam masyarakat.
Karena itu, wadah Pendidikan Teologi Jemaat perlu didirikan di berbagai
teritori/klasis/jemaat di seluruh pelayanan GMIT sebagai wadah pengembangan dan pusat
pembelajaran teologi yang berwawasan Alkitabiah dan berwawasan GMIT bagi seluruh
warga; Lewat Komisi Teologi akan diterbitkan Kumpulan Kerangka Khotbah yang
mencerminkan thema periodik dan sub thema tahunan sebagai bacaan bagi seluruh warga
GMIT baik untuk ibadah Rumah Tangga (TDTK) dan untuk kebaktian Minggu dan
Hari-Hari Raya Gerejawi.51
c) Bidang Diakonia
Menurut perencanaan pelayanan jangka panjang atau yang biasa disebut dengan
Rencana Induk Pelayanan (RIP), Majelis Sinode GMIT dalam bidang diakonia
mempunyai program strategis, yaitu mengusahakan optimalisasi berbagai karunia dan
talenta warga GMIT dalam pelayanan bagi jemaat dan masyarakat untuk menjawab
51 MS GMIT, Haluan Kebijakan..., 2016.
26
berbagai kebutuhan nyata warga jemaat, masyarakat dan kemanusiaan. Bidang diakonia
di GMIT memiliki tujuan meningkatkan peran serta GMIT dalam berbagai aksi pelayanan
diakonia secara holistik, komprehensif dan berkelanjutan sebagai perwujudan ajaran
Kristus Sang Diakonos Agung dengan sasaran meningkatnya usaha-usaha ekonomi warga
GMIT berbasis penggunaan SDA secara berkelanjutan, meningkatnya pelayanan
diakonia GMIT holistik, komprehensif dan berkelanjutan baik pada tataran GMIT,
regional, nasional dan global.52
Dari RIP tersebut di atas, maka Majelis Sinode GMIT menyusun perencanaan
pelayanan jangka menengah atau yang biasa di sebut dengan Haluan Kebijakan Umum
Pelayanan (HKUP) dalam bidang diakonia, yaitu GMIT empat tahun ke depan memiliki
teologi diakonia sebagai dasar bagi pengembangan diakonia dalam jemaat;
Transformasi peran diaken dari sekadar membantu penatua atau pendeta menjadi
pengelola diakonia dalam jemaat; Diakonia karitatif tetap dijalankan sambil merintis
diakonia reformatif (pengembangan masyarakat) dan diakonia transformatif. Terutama
diakonia yang dapat meningkatkan pemberdayaan ekonomi jemaat; Lembaga atau unit
pendidikan keadilan dan demokrasi diupayakan untuk melakukan tugas-tugas diakonia
transformatif untuk perjuangan keadilan bagi pihak yang lemah dan dalam rangka
membuka wawasan keadilan dan demokratis bagi warga gereja dan masyarakat;
Menjadikan Jemaat sebagai basis diakonia untuk melayani manusia dan lingkungan
dalam jemaat itu; Pemerkuatan Yayasan-yasasan yang ada dan merintis sejumlah
Yayasan/LSM GMIT untuk Teritori Belu/TTU/TTS, Tribuana dan Rote Ndao, serta Sabu.
Khususnya Yayasan Pendidikan Kristen perlu mendapat perhatian sehingga terwujudnya
52 MS GMIT, Rencana Induk... 2011.
27
sekolah model di setiap teritori sebagai upaya peningkatan sumber daya warga GMIT.53
d) Bidang Liturgia
Menurut perencanaan pelayanan jangka panjang atau yang biasa disebut dengan
Rencana Induk Pelayanan (RIP), Majelis Sinode GMIT dalam bidang liturgia mempunyai
program strategis, yaitu menghadirkan GMIT sebagai komunitas ibadah yang visioner
dan misioner, sesuai jati diri GMIT yang khas, yang diwujudnyatakan dalam seluruh
aspek kehidupan berjemaat, bermasyarakat, berbangsa dan kemanusiaan. Bidang liturgia
di GMIT memiliki tujuan meningkatkan spiritualitas warga GMIT yang visioner dan
misioner sebagai gambaran jati diri GMIT seperti yang terlihat dalam seluruh
perikehidupan jemaat, dengan sasaran berkembangnya liturgia yang merevitalisasi
semangat visioner dan misioner, berkembagnya program prioritas GMIT di daerah-daerah
kantung kemiskinan di wilayah pelayanan GMIT.54
Dari RIP tersebut di atas, maka Majelis Sinode GMIT menyusun perencanaan
pelayanan jangka menengah atau yang biasa di sebut dengan Haluan Kebijakan Umum
Pelayanan (HKUP) dalam bidang liturgia, yaitu mengupayakan pemahaman teologis
tentang hakekat liturgi akan memungkinkan warga gereja untuk memahami makna ibadah
dan tata ibadah dalam hubungan dengan kehidupan nyata sehari-hari; GMIT diharapkan
memiliki variasi tata ibadah baik untuk kebaktian umum maupun kebaktian-kebaktian
lain yang lebih kontekstual yang berkaitan dengan siklus hidup dan siklus pertanian, dan
dalam berbagai bahasa daerah di NTT. Bahkan liturgy kreatif bergaya KPI perlu dibuat
untuk menjawab kebutuhan warga Jemaat yang khas GMIT; Peraturan tentang warna
liturgis dan Stola perlu dikaji kembali dengan memperhatikan tradisi gerejawi maupun
53 MS GMIT, Haluan Kebijakan..., 2016. 54 MS GMIT, Rencana Induk... 2011.
28
tradisi konteks kultural NTT.55
e) Bidang Oikonomia
Menurut perencanaan pelayanan jangka panjang atau yang biasa disebut dengan
Rencana Induk Pelayanan (RIP), Majelis Sinode GMIT dalam bidang oikonomia
mempunyai program strategis, yaitu membangun struktur dan fungsi GMIT yang
berdisiplin, kreatif, produktif dan memiliki akuntabilitas yang tinggi sebagai landasan
organisasi yang tangguh guna terlibat dalam berbagai aktivitas pelayanan dalam azas
presbiterial-sinodal dengan memiliki kepedulian ekologi yang tinggi. Bidang oikonomia
di GMIT memiliki tujuan meningkatkan efektifitas, efisiensi dan akuntabilitas SDM,
struktur dan fungsi pelayanan GMIT sehingga dapat menjadi berkat bagi sesama dan
lingkungan hidup, dengan sasaran meningkatknya porsi anggaran program pelayanan di
luar belanja pegawai GMIT, meningkatkan efektifitas, efisiensi dan akuntabilitas
penggunaan angaran GMIT dengan jalan mengarus utamakan pengendalian yang meliputi
monitoring (internal) dan evaluasi (eksternal struktur kepemimpinan Gereja) di semua
aras pelayanan, meningkatnya pemahaman warga GMIT tentang petingnya perencanaan
yang berbasis kinerja baik dalam hal perencanaan SDM maupun pengelolaan harta gereja,
meningkatnya aspek kognititif, afektif dan psikomotorik SDM GMIT dalam menjalankan
semua aspek pelayanan, memperkuat sistem sentralisasi penggajian, memanfaatkan
jaringan kemitraan guna perbaikan lingkungan hidup di wipel GMIT dan upaya
adaptasi/mitigasi bencana serta perubahan iklim global.56
Dari RIP tersebut di atas, maka Majelis Sinode GMIT menyusun perencanaan
55 MS GMIT, Haluan Kebijakan..., 2016. 56 MS GMIT, Rencana Induk... 2011.
29
pelayanan jangka menengah atau yang biasa di sebut dengan Haluan Kebijakan Umum
Pelayanan (HKUP) dalam bidang oikonomia, yaitu Teologi oikonomia (penatalayanan)
akan dikembangkan sebagai dasar bagi program-program oikonomia; Pemekaran Klasis
dan Jemaat dirancangkan berdasarkan analisis dan studi kelayakan sehingga dapat
mengembangkan pelayanan bukannya menciptakan masalah baru yang merusak tatanan
persekutuan jemaat; Pengeloloaan keuangan di seluruh jemaat GMIT dengan
memperhitungkan tanggung jawab bersama sebagai gereja, dan dalam rangka
membongkar “egoisme” masing-masing jemaat; Perlunya membangun jejaring dengan
berbagai pihak untuk meningkatkan dana cadangan untuk Sentralisasi Gaji Pokok. Dan
perlunya penataan dan perhitungan yang akurat tentang dana sentralisasi gaji pokok dan
10 % dari jemaat-jemaat; GMIT diharapkan lebih peduli lingkungan alam dan lingkungan
hidup dengan jalan mendorong tanggung jawab jemaat dan warga untuk ikut dalam
berbagai gerakan pelestarian dan pemeliharaan lingkungan. Bulan November sebagai
Bulan Lingkungan Hidup yang ditetapkan oleh GMIT perlu dijemaatkan sehingga
Gerakan cinta Lingkungan bisa diwujudkan mulai dari tingkat sinodal hingga ke
jemaat-jemaat; Restrukturisasi komisi-komisi dengan mengikuti kategori pelayanan dan
bukan menurut bidang-bidang pelayanan. Sebagai contoh, komisi Liturgia akan
digabungkan dengan Komisi Teologi; komisi kategorial yang selama ini hanya dipegang
oleh seorang sekretaris komisi, akan dipecahkan menurut kategori yakni: Komisi PAR,
Komisi Perempuan GMIT, Komisi Pemuda, Komisi Kaum Bapak, Komisi Persekutuan
Doa dan Komisi Pembinaan Musik Gerejawi. Sementara Komisi Kemitraan dilebur
menjadi Komisi Komunikasi, Informasi dan Dokumentasi. Komisi inilah yang akan
menyebarkan informasi baik secara eksternal maupun internal tentang GMIT; Dalam
30
rangka kecepatan dan ketepatan informasi dari Majelis Sinode maka perlu dibentuk
pusat-pusat informasi di teritori-teritori atau di klasis-klasis. Diharapkan setiap Klasis
memiliki website sendiri dan jemaat-jemaat di pusat kabupaten/kota memiliki website
sehingga dapat mengakses informasi secara cepat dan tepat; Dalam rangka meminimalisir
berbagai persoalan di sekitar personil yang menyebabkan “tidak terciptanya damai
sejahtera” di tengah jemaat maka pembuatan database personil dan pemetaan potensi
jemaat (secara klasis dan jemaat) adalah program yang harus menjadi prioritas dalam
periode ini.57
2.6 Kesimpulan
Dari penjelasan bab 2 yang telah dikemukakan di atas, fungsi pelayanan pastoral
pendeta terhadap jemaat sangatlah penting, karena pelayanan pastoral merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari tugas-tugas dan pelayanan gereja, maka pelayanan pastoral
memiliki kaitan atau hubungan untuk saling melengkapi dalam usaha untuk
menumbuhkan dan mengembangkan gereja, sehingga dengan demikian gereja bisa
mandiri dan menjadi gereja Misioner.
Pendeta di dalam pelayanan GMIT adalah bersama-sama dengan penatua dan diaken
bertanggungjawab untuk melayani, memimpin, melengkapi warga jemaat untuk tugas
kesaksian, pelayanan diakonia, penggembalaan serta memelihara keutuhan jemaat serta
mengelola perbendaharaan GMIT, yang ada di jemaat sedemikian rupa agar bermanfaat
sebaik-baiknya bagi pelayanan GMIT. Pendeta adalah salah satu instrument pelayanan
dalam tubuh Majelis Jemaat yang memiliki kewibawaan sebagai teolog yang memberi
perspektif teologi bagi keutuhan pelayanan dalam jemaat. Pendeta juga adalah gembala
yang senantiasa berada di depan, di tengah dan di belakang majelis jemaat serta selalu
57 MS GMIT, Haluan Kebijakan..., 2016.
31
berada bersama segenap jemaat. Pendeta dituntut untuk menjadi teladan iman dan
memiliki disiplin hidup dalam jemaat. Seorang pendeta memiliki tanggungjawab yang
besar dalam pelayanan. Pendeta tidak saja bertanggungjawab terhadap sinode GMIT
sebagai lembaga pengutus tetapi pendeta juga bertanggungjawab kepada jemaat sebagai
basis pelayan dan kepada Yesus Kristus sebagai pemilik dan kepala gereja.