BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Kajian terhadap mitos khususnya mitos perkawinan sumbang belum banyak
dilakukan. Demikian juga halnya penelitian terhadap cerita rakyat Batak Toba,
khususnya yang meneliti motif sumbang, baik yang dilakukan oleh peneliti dalam
negeri maupun peneliti luar negeri. Yang bisa dicantumkan dalam bab ini adalah
penelitian mitos dalam cerita rakyat suku Bayo oleh Ahimsa Putra, penelitian yang
dilakukan M. Rafiek, yakni penelitian mitos dalam cerita rakyat di Kalimantan,
penelitian Struktur Cerita Rakyat yang dilakukan Razali Kasim, serta penelitian
Sumbang dalam cerita Rakyat di Indonesia yang dilakukan Will Derk. Sedangkan
untuk pustaka teori adalah kumpulan teori dibawah judul Myth, A Symposium yang
dikumpulkan oleh Thomas Sabeok, A Short History of Myth yang ditulis oleh Karen
Amstrong dan Mythologies yang ditulis oleh Roland Barthes
2.1.1 Pustaka Teori
2.1.1.1 Myth, A Symposium oleh Thomas A. Sabeok
Seperti judulnya buku Myth a Symposium ini merupakan kesimpulan pendapat
beberapa ahli mengenai mitos. Boleh disimpulkan, buku ini seperti sebuah ruangan
seminar di mana beberapa ahli mendiskusikan topik yang spesifik.
Tulisan pertama dengan judul Myth, Symbolism and Truth ditulis oleh David
Bidney. Dalam bahagian ini digambarkan betapa persoalan mitos sudah menjadi
perhatian ahli filsafat barat sejak zaman Plato yang mencoba menerangkan hubungan
Universitas Sumatera Utara
pikiran, kebenaran filsafat dengan keyakinan tradisional dan agama. Pemikir Yunani
kuno menganggap mitos sebagai allegori yang membuka kebenaran yang alamiah dan
kebenaran moral.
Dalam bagian ini penulis banyak membicarakan pemikir dari beberapa aliran
yang memberikan pendapat tentang apakah mitos itu sebenarnya. Dari mulai penguasa
Julian yang memberikan pendapat bahwa mitos adalah kebenaran yang agung dan
merupakan misteri yang tersembunyi dari orang banyak dan hanya jelas bagi orang
yang bijaksana, sampai dengan filsafat Neokantian yang menganggap mitos merupakan
pikiran dalam bentuk yang bebas dari semangat manusia dan oleh karena itu tidak dapat
direduksi menjadi kekuatan psikologis empiris yang menghasilkan produksi.
Bidney menyimpulkan bahwa ahli filsafat, ahli teologi dan mahasiswa sastra
yang secara umum berbicara tentang posisi mitos yang sangat penting dalam
hubungannya dengan agama dan filsafat, serta antropolog dan sosiolog yang dengan
sinis mengakui mitos karena fungsi sosialnya yang pragmatis, sebenarnya sedang
melemahkan keyakinannya terhadap bidangnya dan memberi kontribusi secara tidak
sengaja terhadap degradasi manusia dan kebudayaan yang sebenarnya sedang mereka
dalami secara serius.
Lebih jauh Bidney menyimpulkan bahwa mitos harus diperlakukan secara
serius dan tepat untuk digunakan dalam mencari kebenaran dan perkembangan
intalijensi manusia. Pemikiran yang normatif, saentifik dan kritis hanya memberikan
alat mengkoreksi sendiri perlawanan terhadap diffusi mitos yang sebenarnya, yang
hanya dapat dilakukan dalam kondisi dimana keyakinan sangat kuat dan tidak
kompromi akan integritas akal dan kebenaran transkultural dari keberanian ilmu
pengetahuan atau sains.
Universitas Sumatera Utara
Bagian kedua buku ini diberi judul The Eclips of Solar Mythology ditulis oleh
Richard H. Dorson. Dalam bahagian ini dibahas mitos di sekitar matahari dan
hubungan matahari dengan benda langit lainnya.
Pokok pembicaraan dalam bahagian ini sebenarnya adalah melemahnya
perhatian terhadap mitos disekitar benda langit dengan menekankan pembicaraan pada
dua figur terkenal yaitu Max Muller dan Andrew Lang.
Max Muller memulai karirnya dengan mempelajari karya-karya agung India
yang membawa dia kearah pendalaman mitos, dimana dia memakai filologi dan ilmu
bahasa seperti metapora dalam meneliti pengertian dibelakang mitos.
Andrew Lang lebih tertarik kepada cerita rakyat dalam menyingkap keyakinan
suku-suku primitif. Andrew Lang di awal karirnya sangat mengagumi Muller namun
arah yang berbeda membuat pertentangan yang besar di antara mereka yang menurut
penulis menjadi awal dari kesuraman penelitian disekitar benda langit, karena
memfokuskan perhatian pada sastra agung Junani kuno.
Bagian ketiga adalah tulisan Reidar TH. Christiansen dengan judul Myth,
Metaphor and Simile. Bahagian ini dimulai Christiansen dengan membicarakan
kecenderungan orang menggunakan istilah myth dan mythical dengan perasaan ragu-
ragu. Menurut penulis alasannya adalah penggunaan secara umum istilah tersebut telah
berkembang dan akhirnya memberikan arti dari dua hal yang berbeda seperti halnya
dengan legenda historis dan legenda yang bersifat mitos.
Mengenai mitos, Christiansen memberikan dua spesifikasi yang dia sebut
higher mythology dan lower mythology. Menurut penulis pembedaan ini sangat penting
bahkan bila kita menggunakan folk belief atau untuk lebih rinci ancient folk belief.
Universitas Sumatera Utara
Higher mythology menurut penulis lebih kaya dan lebih berwarna. Dengan
menggunakan istilah lower mythology dan higher mythology kita menekankan
kelangsungan secara fundamental atau menekankan kebersinambungan keyakinan
manusia sejalan dengan perubahan waktu atau periode.
Lebih jauh penulis membicarakan hubungan mitos dan legenda yang menurut
penulis akhirnya hanya meninggalkan nama figur tertentu dan tempat yang menjadi
sumber mitos. Demikian juga halnya dengan cerita rakyat yang kemudian
meninggalkan jejaknya pada penggunaan metafora dan simili yang diikuti teka teki atau
riddle. Hubungan mitos dan metapora dalam teka-teki sudah menjadi objek penelitian
dengan cara-cara yang umum yang kemudian dapat menolong untuk memahami mitos
dan cara- cara berfikir manusia tradisional.
Menurut Christiansen, teka-teki mungkin dianggap tidak penting tetapi
sebenarnya menarik untuk diteliti walaupun di kalangan masyarakat modern dan
primitif teka-teki mempunyai fungsi yang berbeda tetapi sebenarnya mempunya
hubungan satu sama lain. Menjawab pertanyaan posisi metapora dalam mitos dan teka-
teki, penulis memberi kesimpulan bahwa teka teki tidak berasal dari mitos, melainkan
keduanya muncul dari aktivitas puitis dari kreatifitas imaginasi manusia.
Bahagian keempat dari buku ini adalah bahagian yang paling menarik dan
penting bagi peneliti mitos. Claude Levi-Strauss memberi judul tulisannya The
Struktural Study of Myth.
Bahagian ini dibuka Levi Strauss dengan mengutip pernyataan Franz Boaz
(1974:81) “It would seem that mythological worlds have been built up to shatter again,
and that new world were built from the fragment“. (Kelihatannya dunia mitologi telah
Universitas Sumatera Utara
dibangun untuk hancur kembali dan sekarang dunia baru dibangun dari puing-puing
tersebut).
Dalam bahagian ini Strauss memberi alasan yang sangat logis mengenai
mitos dengan memberikan graphis dan susunan logis, serta contoh. Contoh mitos
dalam mitologi Yunani yakni mitos disekitar dewa Zeus kemudian dihubungkan
dengan cerita Oedipus Rex. Demikian juga mitos di dalam suku Indian Pueblo. Yang
menarik adalah formula yang dia berikan dihubungkan dengan teori Freud tentang dua
trauma yang selalu terjadi dalam mitos disekitar munculnya neurosis, yakni problema
kejiwaan.
Strauss menyimpulkan pengulangan-pengulangan topik dalam cerita rakyat
adalah cara untuk membuat struktur hubungan lebih jelas. Struktur sinkronis-diakronis
dari mitos memberi peluang untuk menyusunnya menjadi urutan diakronis yang
seharusnya dibaca secara sinkronis.
Lapisan-lapisan mitos tidak sama satu sama lain karena tujuan mitos adalah
menyediakan model yang dapat diterima akal dalam menyelesaikan pertentangan.
Lapisan tersebut berkembang dan berbeda tipis satu sama lain. Mitos berkembang
secara spiral sampai impuls spritual manusia letih.
Mitos berkembang terus menerus tetapi strukturnya tidak berkembang. Menurut
Strauss hal ini dimaksudkan untuk menolong memahami hubungan mitos dalam satu
sisi dengan apa yang disebut lingua dan parole disisi lain. Cara ini merupakan cara
yang umum dalam menerangkan perbedaan-perbedaan yang masuk akal antara apa
yang disebut jiwa primitif (primitive mind) dengan pemikiran-pemikiran saentifik.
Perbedaan ini sering menuju ke arah perbedaan-perbedaan kualitatif antara proses
Universitas Sumatera Utara
bekerja jiwa dari kedua kasus sambil berasumsi bahwa objek terhadap mana cara ini
dipakai tetap sama.
Bagian kelima ditulis oleh satu-satunya peneliti wanita yaitu Dorothy Eggan
dengan judul The Personal Use of Myth in Dreams. Sebenarnya tulisan ini hanya
berbicara di sekitar beberapa ilustrasi yang digunakan untuk menjawab hubungan hasil
peneliti lain dalam membirakan topik ini yaitu penelitian Kluckhohn yang
mengumpulkan mimpi-mimpi masyarakat suku Indian Hopi, dan menghubungkannya
dengan konflik-konflik kejiwaan yang dialami mereka, seperti keinginan menjadi suku
Hopi yang baik atau menjadi bahana yaitu julukan yang digunakan untuk orang kulit
putih. Konflik ini akan muncul dalam mimpi mereka dalam bentuk ketidak mampuan
menjadi pemburu. Hal lain adalah munculnya sosok dalam mimpi mereka yang
mereka anggap sebagai sosok pengawal (guardian) mereka dalam kehidupan.
Hubungan mimpi dan cerita rakyat memang tidak terlalu jelas di kalangan
suku Hopi, tetapi Eggan menyimpulkan bahwa di kalangan suku yang lebih tua dan
sama sekali belum mengalami akulturasi, hubungan ini sangat jelas terlihat.
Lebih jauh penulis menyimpulkan bahwa sering sekali ahli antropologi
menemukan bahwa lebih mudah mempelajari hal-hal yang berbau kebudayaan dan
organisasi sosial dalam kumpulan yang kecil dan homogen daripada dalam komunitas
yang besar dan menyebar. Sehingga, kadang-kadang dimungkinkan meneliti
kedinamisan segmen atau bahagian seperti struktur kekerabatan atau bentuk cerita
rakyat dengan mempelajari secara intensif cara yang membentuk kehidupan individual
atau perseorangan.
Sebagai penutup Eggan mengutip ucapan Heskovict yang menyatakan bahwa
dalam hal fantasi yang tersosialisasi, cerita rakyat menunjukkan dirinya sebagai alat
Universitas Sumatera Utara
atau bentuk ekspressi diri pada tingkatan sadar dan bawah sadar yang memiliki banyak
wajah atau multifaced.
Bahagian keenam dari buku ini berjudul Myth and Ritual ditulis oleh Lord
Raglan. Menurut Lord Raglan, suatu anggapan, bahwa sangat mudah untuk
membuktikan teori-teori lama tentang mitos yang menyatakan bahwa mitos
hanyalah sejarah yang membingungkan atau ciptaan manusia primitif, adalah tidak
benar. Untuk menjawab pertanyaan apakah mitos itu, cukup dengan menyatakan
bahwa dalam pandangan banyak mahasiswa modern, mitos adalah narasi yang
dihubungkan dengan upacara ritual.
Hanya sedikit mahasiswa yang akan menolak hubungan ritual dan mitos dalam
beberapa kasus. Namun yang mengherankan Raglan adalah keengganan untuk
menerima prinsip-prinsip saentifik yang sederhana, seperti penyebab-penyebab yang
menghasilkan efek yang sama, serta daftar panjang dari sebab-sebab, yaitu dari
mulai spekulasi yang liar sampai perhatian yang serius terhadap kebenaran yang
bersifat sejarah yang akan menghasilkan cerita-cerita yang cukup mirip untuk
diklassifikasikan sebagai mitos.
Bahagian selanjutnya adalah bahagian ketujuh di bawah judul The Ritual
View of Myth and the Mythic yang ditulis oleh Stanley Edgar. Halyang berbeda dari
penelitian sebelumnya Edgar membicarakan ritual dalam The Origin of Species yang
membuka pintu kepada berbagai jenis studi genetis budaya. Di dalam bukunya yang
berjudul The Descent of Man, menurut Edgar, Darwin sudah menunjukkan bahwa
evolusi manusia disusun secara tidak jelas, namun secara budaya berkembang
dengan cepat dan luas.
Universitas Sumatera Utara
Yang menarik dalam pembahasan Edgar dalam buku ini adalah betapa
pendekatan Darwin diikuti kemudian oleh ahli–ahli terkenal lainnya seperti
Taylor, Boaz bahkan Malinowski dan pengikutnya .
Menurut Edgar pendekatan ritual terhadap mitologi atau bentuk yang lain yang
didasarkan pada mitos tidak terbatas pada konsiderasi genetik saja. Pendekatan ritual
berhubungan dengan tiga persolan yang saling berhubungan yakni jenis, struktur dan
fungsi.
Menurut Edgar mitos muncul dari ritual bukan sebaliknya. Yang diucapkan
dalam ritual berkorelasi dengan tindakan-tindakan di dalam ritual tersebut. Menolak
teori Darwin, Edgar mengatakan bahwa ritual yang mendekati mitos atau setiap
bentuk yang didasarkan pada mitos tidak bisa membatasi dirinya pada pengertian
genetik.
Menurut Edgar pendekatan ritual terhadap masyarakat tradisional sangat
berhasil. Sebelum tahun 1912 sudah banyak studi ritual di berbagai area biarpun
pendekatan ini bukanlah pendekatan teoritis, tetapi hanya sebuah metode dalam studi
terhadap hal-hal yang menonjol secara spesifik.
Menurut Edgar ada dua pendekatan ritual yaitu euhemerist yang mengatakan
bahwa mitos adalah didasarkan kepada figur- figur sejarah, sedangkan yang kedua
adalah ide daripada para cognitivist yang mengatakan bahwa mitos berasal dari usaha
pencarian- pencarian dari ilmu pengetahuan.
Bahagian kedelapan ditulis oleh Wheel Wright dengan judul The Semantic
Approach of’ Myth. Bahagian ini menghubungkan mitos dengan bahasa, dilihat dari
fungsi bahasa bukan tata bahasa.
Universitas Sumatera Utara
Dalam bahagian ini Wright banyak memberikan defenisi mitos yang dapat
digunakan untuk menghubungkan mitos dengan bahasa. Misalnya defenisi yang
diberikan Alan W.Watts; ” Myth is to be defined as a complex of stories-some no
doubt fact-and some fantasy-which, for various reasons, human regards as
demonstration of the inner meaning of the universe and human life”. (1974:154) “Mitos
dapat dijabarkan sebagai suatu kumpulan cerita, sebahagian fakta-sebahagian adalah
fantasi yang untuk berbagai alasan dianggap sebagai perwajantahan makna dalam jagad
raya dan hidup manusia”.
Wright juga memberi pendapat bahwa pendapat Cassirer dan Langer mengenai
mitos merupakan ‘pre-linguistic tendency of human envisagement’ (kecenderungan
pra-linguistik dari persepsi manusia), dan dalam aspek utamanya mengandung
hubungan khusus dengan bahasa. Eksplorasi hubungan ini merupakan cara yang
paling berguna untuk menemukan bahwa alamiah mitos dan bahasa sebenarnya
adalah sama. Menurut Wright sebelum mengeksplorsi hubungan yang mungkin antara
pembentukan kalimat dikalangan suku primitif dan mitos, harus diteliti dulu
bagaimana sebenarnya asal muasal adanya logika .
Bahagian terahir dari buku ini yakni bahagian kesembilan dengan judul Myth
and Folktales, ditulis oleh Stith Thompson. Inti pembicaraan dalam bahagian ini
adalah bagaimana membedakan mitos dan cerita rakyat dan hubungan satu sama
lainnya.
Menurut Thompson untuk menjawab pertanyaan ini harus dimulai memberi
jawaban atas pertanyaan apa yang dibicarakan orang ketika mereka mendiskusikan
mitos. Banyak yang menjawab bahwa yang dibicarakan adalah cerita traditional.
Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah yang mana disebut mitos dan yang mana legenda.
Universitas Sumatera Utara
Thompson menyimpulkan bahwa sejauh ini setelah satu abad atau lebih
lamanya diskusi dan pembicaraan, masih sedikit yang diketahui mengenai
hubungan berbagai jenis cerita rakyat antara satu dengan yang lainnya. Bahwa
kadang- kadang adanya satu bentuk mengarah ke bentuk yang lain tidak bisa
ditampik, tapi hal ini dianggap manifestasi lokal bukan sebagai evolusi yang
mendunia. Menurut Thompson, hanya perhatian, minat yang besar serta teori yang
betul-betul benar dan sahih yang akan memberi penjabaran yang tidak dapat
disepelekan atau dihindari.
Menurut Thompson persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh mitos sudah
pasti tidak dapat diselesaikan oleh generasi sekarang. Tapi dapat dipastikan bahwa
satu abad dari sekarang para mahasiswa akan masih menganalisis dan mencoba
mendapat sintesa dari penemuan-penemuan mereka yang bersifat analitik, dan pada
waktu itu jumlah ahli- ahli akan sudah cukup untuk meneliti bentuk dan gaya
yang terdapat dalam cerita rakyat atau sastra lisan. Pada waktu itu, menurut Thompson
a pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah kita setuju mengenai adanya suatu
periode tertentu penulisan mitosakan terjawab serta pertanyaan tentang apakah kita
setuju bahwa kekuatan yang mendorong penciptaan mitos masih aktif bilamana
kondisinya tepat. Teori dapat dipastikan akan berkembang dan apa yang kita lakukan
kelihatannya ketinggalan jaman, tetapi menarik melihat hal ini dari sudut pandang
mereka dan melihat bagaimana teori dan ide yang kita buat muncul setelah satu
abad.
Thompson berusaha memberikan satu defenisi setelah pembahasan yang
panjang mengenai cerita rakyat dari berbagai belahan dunia dan berusaha memberikan
spesifikasi dari masing- masing cerita rakyat tersebut. Thompson mengatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
: ”....myth is to do with the god ”. Selanjutnya dia mengatakan bahwa mitos
mempunyai sejarahnya seperti halnya setiap cerita rakyat mempunyai sejarahnya.
Asal muasal mitos dan cerita rakyat akan tetap menjadi misteri seperti halnya asal
muasal bahasa yang tetap menjadi misteri.
Namun kemudian Thompson memberi argumentasi bahwa lebih mudah
meminjam cerita atau legenda serta mitos daripada membentuk atau menciptakan. Dan
kalau diperhatikan bahwa narrasi dari cerita suku primitif tidak terdapat dalam jumlah
yang besar dan dari jumlah yang ada sebagian besar mempunyai persamaan dengan
milik suku yang menjadi tetangganya. Dengan argumentasi ini Thomson sampai pada
kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan antaran cerita rakyat dan mitos.
Dalam tulisan nya Thomson memberi catatan bahwa sangat disayangkan dia
belum membaca tulisan dari Levi-Strauss namun dia berpendapat dalam meneliti mitos,
motif merupakan elemen yang harus diberi perhatian yang lebih.
2.1.1.2 A Short History of Myth oleh Karen Amstrong
Buku ini mengundang pujian dan komentar yang positif dari berbagai pihak.
David Mitchel dari Sunday Herald mengatakan:” Visionary....a crisp and lucid
exploration of myth-making” , sedangkan Dvid Flusteder dari Daily Telegraph
mengatakan : “ Elegantly argued and consistently though-provoking”
Amstrong membagi buku ini dalam tujuh bahagian. Bahagian pertama adalah
uraian tentang apa sebenarnya mitos itu. Bahagian ke dua sampai ke tujuh adalah
uraian mitos dalam beberapa era, dimulai dari periode Palaeolithic, yakni jaman batu
yang merupakan era mitologi pemburu, diikuti uraian mitos pada priode Neolithic
yakni jaman batu terahir yang merupakan era mitologi petani. Mitos pada periode
Universitas Sumatera Utara
peradaban yang pertama yakni Early Civilisation terdapat pada bahagian ke empat
buku tersebut yang diikuti uraian mitologi dari periode Axial. Kemudian bahagian ke
enam mengenai mitos pada periode setelah periode Axial, dan bahagian terahir yakni
bahagian ke tujuh mengenai mitos pada era transformasi Barat atau The Great Western
Transformation.
Bahagian pertama dari buku ini mempunyai nilai yang lebih karena berisikan
uraian yang membantu untuk memahami mitos yang di terangkan pada periode-periode
seperti disinggung di atas karena Amstrong berusaha lebih dulu mengambarkan ciri-
ciri manusia sebelum dia memberi kesimpulan apa mitos itu sebenarnya.
Bahagian pertama ini yang diberi judul What is a myth?, dibuka dengan
pernyataan bahwa manusia itu dari dahulu kala adalah pencipta mitos. Peninggalan-
peninggalan manusia purbakala menunjukkan keyakinan mereka akan dunia masa
depan. Manusia purbakala sudah menyadari ke tidak abadian manusia itu sendiri dan
kemudian menciptakan narasi yang memampukan mereka untuk menghadapinya.
Amstrong mengatakan bahwa manusia itu adalah makluk pencari makna atau
arti. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh makluk lain seperti binatang. Manusia dengan
mudah merasa sedih, karena itu mereka menciptakan tulisan-tulisan yang
memungkinkan manusia menempatkan hidupnya di dalam setting yang lebih besar,
yang memberikan makna yang bertentangan dengan keadaan-keadaan yang menekan,
dimana hidup mempunyai makna dan nilai.
Satu karakteristik manusia yang menurut Amstrong merupakan karakteristik
yang aneh, yaitu kemampuan untuk memiliki ide dan pengalaman yang tidak dapat
diterangkan secara rasional. Manusia mempunya imajinasi, suatu kemampuan yang
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan manusia memikirkan sesuatu yang tidak muncul seketika, sehingga
ketika memikirkan sesuatu itu, objeknya tidak hadir.
Menurut Amstrong, adalah imajinasi ini yang memampukan manusia untuk
menghasilkan mitos. Pada masa sekarang, berpikir secara mitos dianggap sesuatu yang
irrasional, pada hal menurut Amstrong, imajinasi itu lah yang memampukan para
ilmuwan membawa pengetahuan kepada pencerahan dan menemukan tehnologi yang
memberikan manusia itu banyak keefektifan. Imaginasi manusia memampukan
manusia terbang ke luar angkasa dan berjalan di atas bulan yang sebelumya hanya
terjadi dalam mitos.
Menurut Amstrong ada lima hal yang harus diketahui mengenai mitos. Yang
pertama adalah, mitos hampir selalu berakar pada kematian, kedua mitos tidak dapat
dipisahkan dari ritual, ketiga mitos selalu mengingatkan keterbatasan hidup manusia.
Mitos yang paling kuat adalah mitos yang memaksa manusia pergi ke suatu suasana di
luar jangkauan pengalaman, pergi ke suatu tempat yang belum pernah dilihat, mitos
adalah mengenai sesuatu yang tidak diketahui, dimana manusia itu tidak mempunyai
ungkapan untuk hal tersebut. Mitos melihat ke kedalaman suatu kesunyian yang sangat.
Hal ke empat yang harus dimengerti tentang mitos ialah, mitos bukanlah cerita yang
diceritakan demi cerita itu sendiri, mitos menunjukkan bagaimana kita seharusnya
bersikap. Yang ke lima menurut Amstrong, mitos adalah keyakinan tentang sesuatu
yang tidak kelihatan yang kadang –kadang merupakan realitas yang lebih kuat.. Karena
itu mitologi dibuat sedemikian rupa untuk menolong manusia itu sendiri menghadap
problem, menolong manusia menemukan tempatnya dan orientasinya di atas jagad
raya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Amstrong mitos secara sederhana digunakan untuk menerangkan
seuatu yang tidak benar. Sejak abad delapan belas manusia mengembangkan
pandangan ilmuwan mengenai sejarah, memperhatikan kejadian-kejadian yang benar-
benar terjadi. Tetapi setelah jaman sebelum modernisasi, ketika menulis tentang masa
lalu, manusia lebih memberi perhatian kepada arti kejadian tersebut. Sebuah mitos
adalah suatu kejadian yang dalam beberapa pengertian telah terjadi tetapi juga yang
terjadi sepanjang waktu.
Menurut Amstrong adalah suatu kesalahan untuk meremehkan mitos sebagai
sesuatu cara berpikir yang rendah. Mitos sebagaimana novel adalah memciptakan
keyakinan . Mitos adalah permainan yang mentranfigurasikan dunia tragis yang sudah
terpecah-pecah dan menolong manusia melihat secercah kemungkinan-kemungkinan
yang baru dengan bertanya;” Bagaimana kalau seandainya?’ suatu pertanyaan yang
mendorong tercapainya penemuan-penemuan yang paling penting dalam filsafat, sains
dan teknologi.
Manusia adalah mahluk yang unik dalam kapasitasnya untuk bermain. Manusia
dewasa menikmati bermain dengan berbagai kemungkinan. Dalam mitologi manusia
memainkan hipotesa, membawanya ke dalam kehidupan dengan ritual dan tindakan,
berkontemplasi dengan efek mitos dalam kehidupan dan menemukan bahwa manusia
telah mencapai suatu pengertian tentang dunia yang penuh dengan teka teki.
Berdasarkan uraian di atas Amstrong sampai pada kesimpulan mitos adalah
benar karena mitos efektif bukan karena mitos memberi manusia informasi yang
faktual. Bila seandainya mitos tidak memberikan pengertian tentang makna yang lebih
dalam tentang hidup, maka mitos tersebut telah gagal. Suatu mitos yang sejati akan
berhasil mendorong manusia merubah pikiran dan perasaan, memberikan harapan yang
Universitas Sumatera Utara
baru dan mendorong manusia untuk benar-benar hidup sepenuhnya. Mitologi akan akan
mentransformasikan manusia bila manusia mengikuti petunjuknya. Mitos adalah
pembimbing yang menyatakan apa yang harus dilakukan manusia itu untuk hidup lebih
kaya. Bila manusia tidak menggunakannya dalam situasi mereka dan membuat mitos
sebagai sesuatu realitas dalam hidup, mitos akan tinggal sebagai sesuatu yang tidak
dapat dimengerti, membingungkan dan membosankan.
Menurut Amstrong mitos adalah bentuk awal dari psikologi, yang membawa
kepada pencerahan tentang cara kerja yang misterius dari kejiwaan, dengan ceritera-
ceritera tentang pahlawan, dewa-dewa dan monster, tentang bagaimana menyelesaikan
problem dan krisis dari jiwa manusia. Ketika Freud dan Jung mulai menulis pencarian
– pencarian manusia modern tentang jiwa, secara naluri mereka berpaling ke mitologi
klasik untuk menerangkan pengertian mereka dan memberikan interpretasi yang baru
tentang mitos.
Lebih lanjut Amstrong menyimpulkan tidak ada versi tunggal tentang mitos.
Karena keadaan manusia yang berubah, manusia perlu menceritakan kisah mereka
secara berbeda untuk mengekpresikan kebenaran-kebenaran yang tidak pernah
berubah.
2.1.1.3 Mythologies oleh Roland Barthes
Buku ini terdiri dari dua bahagian. Bahagian pertama adalah kumpulan dari dua
puluh delapan (28) essai yang diberi judul Mythologies, yang setiap essai diselesaikan
penulis dalam satu bulan dari tahun 1954 sampai 1956. Tulisan – tulisan dalam
bahagian ini berisikan hasil eksplorasi penulis atas sejumlah penomena sosial masa
kini dalam usahanya membuat defenisi mitos kontemporer.
Universitas Sumatera Utara
Bahagian kedua, yang memberi pembahasan tentang bagaimana membaca dan
memahami mitos diberi judul Myth Today. Dalam bahagian ini Roland Barthes
mempertegas pemahamannya tentang apa sebenarnya mitos itu. Dari awal Roland
Barthes menunjukkan keyakinannya yang dicantumkannya dalam pernyataannya pada
pendahuluan buku tersebut: ”....myth is a language”, mitos adalah bahasa. Hal yang
sama dipertegas pada paragrap pembuka bahagian ke dua buku tersebut dimana dengan
tegas dia menyatakan: ”....myth is a type of speech....”
Bahagian ke dua buku yang secara garis besar membicarakan mitos segai alat
komunikasi berisikan beberapa tulisan yang diberi judul seperti Myth is a type of
speech; Myth as a semiological system; The form and tthe concept; The signification;
Myth as stolen language; The bourgeoisie as a joint-stock company; Myth is
depoliticized speech; Myth on the left dan Myth on the Right.
Tulisan pada bahagian ke dua yang sangat membantu penelitiaan mitos adalah
tulisan yang pertama sampai ke empat. Roland Barthes adalah seorang ahli semiotika,
meninggal pada tahun 1980. Pada awal pemikirannya Barthes mencoba melihat bahwa
aspek sosial dan budaya tidak dalam kerangka sifat objek yang tidak bersifat essential
tetapi dalam kerangka penandaan dan semiotika, serta mempelajari bagaimana tanda
melakukan penandaan.
Dalam bahagian tulisan yang diberi judul Myth is a type of speech Roland
Barhes memberikan teori bahwa mitos adalah pesan dan bukan melakukan penandaan,
gagasan atau konsep, dan bukan sebuah objek. Bagaimana kita menguraikan pesan
tersebut adalah dengan mempelajari hasil dari wicara atau parole bukan bahasa.
Membaca sebuah mitos adalah menerima pesannya sebagaimana apa adanya.
Universitas Sumatera Utara
“Myth is a type of speech”. Menurut Roland Barthes definisi mitos didasarkan
pada gagasan bahasa yang bertanggung jawab. Oleh karena itu mitos sesuai dengan
jagad raya. Wicaranya adalah meta bahasa yang selalu berada dalam keadaan kabur,
terikat dengan asal muasal etis.
Lebih jauh Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi
karena mitos merupakan sebuah pesan. Mitos yang merupakan modus penandaan
merupakan bentuk wicara. Melalui wacana, mitos tidak dapat digambarkan melalui
objek pesannya, melainkan melalui cara pesan itu disampaikan.
Menurut Roland Barthes, mitos merupakan urutan ke dua dari sistim semiologis
yang mana tanda berada pada urutan pertama dalam sistim tersebut yang merupakan
kombinasi petanda dan penanda, menjadi penanda pada urutan kedua. Dalam
membedakan sistem mitos dari hakekat bahasanya, Barthes menggambarkan penanda
dalam mitos sebagai bentuk dan petanda sebagai konsep.
Roland Barthes mempelopori apa yang disebut aliran semiotik konotatif. Makna
konotasi yaitu arti pada bahasa sebagai model kedua yaitu tanda-tanda tanpa maksud
langsung sebagai simptom yang diperoleh atas dasar ciri-ciri denotasi. Disamping
sastra, paham ini dapat diterapkan dalam berbagai bidang.
Barthes mengatakan bahwa seluruh tanda dalam sistem denotatif
berfungsisebagai penanda pada sistem konotatif atau sistem mitos. Lebih jauh Barthes
mengatakan bahwa jika dia bermaksud menguraikan mitos, maka terlebih dahulu dia
harus dapat mengidentifikasikan konsep-konsepnya. Menurut Barthes hal ini dilakukan
karena fungsi denotasi dan konotasi yang membentuk tanda-tanda harus dipahami
orang. Barthes memberikan aspek pendekatan struktural atau semiotik terhadap analisis
Universitas Sumatera Utara
gejala sosial dan semiologi yang diilhami oleh De Saussure, dimana selalu ada
kaitannya dengan aspek penanda semua benda.
Semiologi sering dituduh menampilkan bahasa sebagai sebuah bidang lingua,
sehingga Barthes memobilisasi semua sumber daya teori inguistik, kususnya bahasa
sebagai sistem pembedaan untuk bisa mengenali bahasa.
Barthes memberikan model sistematis dalam menganalisi makna tanda-tanda
yang dibagi dalam dua tahap. Indikasi tahap pertama merupakan hubungan antara
penanda dan petanda dalam sebuah tanda terhadap makna eksternal yang disebut
denotasi, yakni makna paling nyata dari tanda. Signifikasi kedua disebut konotasi yang
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan peranan emosi dari
pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan.
Konotasi mempunyai makna yang subjektif, menurut Barthes paling tidak
intersubjektif. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa denotasi adalah yang
digambarkan tanda terhadap sebuah objek dan konotasi akan membantu bagaimana
menggambarkannya.
Pada tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda berhubungan dengan isi.
Dalam hal ini tanda bekerja melalui mitos dimana kebudayaan menjelaskan atau
memberi pemahaman mengenai beberapa aspek tentang realitas. Dari sisi ini dapat
dilihat bahwa mitos merupakan produk sosial yang mempunyai mutu dominan seperti
hidup dan mati, manusia dan jagad raya.
Roland Barthes mengatakan bahwa mitos memiliki karakter sadar diri, fungsi
yang kaku dan sederhana sehingga mempengaruhi peristiwa intelektual secara terbuka
dengan fondasi politis. Mitos bermain pada tingkat konotasi bahasa. De Seassura
mengatakan bahwa makna adalah yang didenotasikan oleh tanda tetapi Barthes
Universitas Sumatera Utara
menambahkanpengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Bagi Barthes
konotasi justru mendenotasikan suatu hal yang dinyatakan sebagai mitos, dan mitos
mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.
Pendapat Barthes memungkinkan mengkaji ide secara sinkronis atau diakronis.
Secara sinkronis makna terpadu rata pada titik sejenis dan seolah berhenti disitu.
Karena itu pola-pola tersambung yang menyertai telaah lebih mungkin dilakukan.
Secara diakronis analisis Barthes memungkinkan melihat kapan, dimana dan dalam
lingkungan sebuah sistem bagaimana mitos digunakan.
Menurut Roland Barthes, mitos didasarkan pada gagasan bahasa yang
bertanggung jawab sehingga mitologi memostulatkan kebebasan bahasa yang artinya
mitologi sesuai dengan aspek universal atau jagad raya.
2.1.1.4 Mitos dan Komunikasi oleh Umar Junus
Buku ini berisikan beberapa bahagian yang membicarakan pengertian mitos
secara umum dan pembahasan mitos yang terdapat dalam beberapa karya sastra
Indonesia.
Dalam bahagian yang berjudul ‘Berhadapan dengan Mitos’ Umar Junus
mengatakan bahwa mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan melainkan melalui
anggapan atau observasi kasus yang digeneralisasikan, karena itu mitos lebih
banyak hidup dalam masyarakat.
Umar Junus berpendapat bahwa mitos dapat dihidupkan melalui karya sastra
sehingga karya sastra dapat bertugas sebagai alat yang membentuk mitos. Lebih
jauh Umar Junus mengatakan bahwa mitos hanya dapat dilawan dengan dua cara yakni
Universitas Sumatera Utara
membentuk mitos yang mendemitifikasikannya dan mitos yang membuktikan
membuktikan bahwa suatu mitos tidak benar adanya.
Dalam bahagian ini, Umar Junus juga memberi pendapat bahwa kutukan yang
banyak terjadi dalam mitos bukanlah ditujukan untuk kepentingan pengutuk, melainkan
untuk kepentingan suatu pembuktian.
Dalam bahagian ‘Mitos dan Kontra Mitos’ Umar Junus mengatakan bahwa
karya sastra, cerita novel, drama dan cerpen merupakan mitos yang bertugas untuk
mengukuhkan sesuatu, yakni mitos pengukuhan atau myth of concern atau mitos yang
merombak sesuatu yakni mitos pembebasan atau myth of freedom. Dalam menentukan
apakah sebuah mitos adalah mitos pengakuan atau mitos pembebasan dilakukan dengan
memberi perhatian terhdap semua unsur dari karya sastra tersebut, unsur internal dan
eksternalnya seperti lingkungan sosial.
Menurut Umar Junus kehidupan manusia, yang didalamnya terdapat
hubungan atas manusia, dikuasai oleh mitos-mitos. Oleh karena itu, sikap manusia
terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri manusia, dan mitos ini
mempengaruhi manusia, untuk menyakininya atau membencinya. Dengan demikian
mitos akan mempengaruhi manusia sehingga berprasangka terhadap sesuatu hal yang
dinyatakan dalam mitos. Untuk dapat mengetahui kebenaran atau kesalahan mitos
tersebut manusia harus berhubungan dengan hal tersebut.
Hubungan manusia terhadap sesuatu hal dapat memperkuat atau
meniadakan suatu mitos. Suatu mitos yang bertentangan dengan mitos yang lain
dianggap kontramitos. Hal ini selalu terjadi karena bagaimanapun kokohnya suatu
mitos dia akan selalu didampingi mitos lain yang merupakan kontramitos.
Universitas Sumatera Utara
Dalam bahagian ‘Mitos dan Realitas’ Umar Junus membicarakan kadar
kerealitasan dan kerasionalan karya sastra. Menurut Umar Junus karya sastra dari masa
lampau dianggap sesuatu yang penuh dengan hal-hal yang tidak masuk akal.
Namun bagi Umar Junus hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang realistis dan rasional
bagi masyarakat di mana karya itu tercipta, karena masyarakat tersebut dikuasai
hubungan sebab akibat biarpun berbeda dengan apa yang ada pada masyarakat
modern. Sehingga bagi masyarakatnya suatu mitos adalah realitas dan masyarakat di
masa lampau melihat mitos itu tidak dari segi rasional atau tidak, tetapi dilihat dari
segi yang mengatakan tidak adanya karya sastra yang sepenuhnya realitas atau
sepenuhnya imajinasi.
Semua kajian pustaka yang dibahas diatas menambah pemahaman akan
keberadaan mitos, kedudukannya dalam sastra, teori dan langkah langkah yang akan
digunakan dalam penelitian selanjutnya.
2.1.2 Pustaka Terapan
2.1.2.1 Pitoto’ Si Muhamma’ 0leh Heddy Shri Ahimsa Putra
Cerita Pitoto Si Muhamma’ adalah cerira rakyat suku Bajo. Menurut Ahimsa
Putra cerita ini adalah milik suku Bajo yang mempunyai hubungan dekat dengan
masyrakat Sulawesi Selatan, terutama suku Bugis Makassar.
Cerita Pitoto Si Muhamma’ berkisah tentang dua orang pemuda yang
memperebutkan seorang gadis. Muhamma’ dari kampung Tengah dan Daeng
Manjakari dari kampung Toroh merupakan pemuda jagoan dan mereka masing-
masing adalah putra juragan. Si gadis yakni Hajira yang sebenarnya adalah sepupu
Universitas Sumatera Utara
dari Muhamma’adalah putri seorang punggawa. Hajira selalu sakit-sakitan sehingga
ibunya bernajar bila putrinya sembuh akan dibawa ke sumur Toraja.
Daeng Manjakari adalah seorang jagoan yang sngat senang mengikuti
pertandingan bola semparaga. Suatu hari dia pamit kepada ibunya untuk mengikuti
pertandingan semparaga. Si Muhamma’ pada waktu yang sama ingin menonton
pertandingan semparaga. Ketika dia sampai di tempat pertandingan, tidak disangka-
sangka raga atau bolanya terlempar tepat dihadapan Muhamma’ yang langsung
menendangnya. Pemain Bugis Makassar yakni Daeng Manjakari dan teman-temannya
tidak menyukai hal ini karena bagi mereka Muhamma’ adalah orang asing.
Ibu Hajira sangat tertarik dengan Daeng Manjakari karena dia sangat sopan.
Suatu hari dia meminta Daeng Manjakari mengantarkan Hajira ke sumur Toraja. Hal
ini menimbulkan kecemburuan Muhamma’ karena dia merasa lebih berhak untuk
mengantarkan Hajira sehingga timbul perkelahian yang kemudian dimenangkan
Muhamma’ yang berhasil menewaskan Daeng Manjakari. Namun setelah Hajira
menjatuhkan pilihan kepada Muhamma’,justru Muhamma’ meninggalkan dia dan
menghilang dari kampung tersebut.
Ahimsa Putra menngunakan strukturalisme Levi Strauss,yakni opposisi binari
untuk membedah cerita tersebut serta memberi tafsiran setelah membagi dalam
beberapa episode serta memfokuskan penelitian pada miteme dan ceritemenya. Ahimsa
Putra berhasi menarik makna bahwa mitos Pitoto Si Muhamma’ merupakan usaha
simbolisasi dari orang Bajo untuk memahami kontrakdisi empiris sebagai masyarakat
yang hidup di laut dengan mengumpulkan hasil laut namun mereka masih tergantung
dari hasi bumi di daratan. Untuk hidup di laut mereka bukan hanya membutuhkan
bantuan dari kerabat tetapi juga dari mereka yang bukan kerabat yang berada di darat.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Ahimsa Putra ini sangat membantu penulis dalam memahami teori
Strukturalisme Levi Strauss dan bagaimana mengaplikasikannya juga dalam
menafsirka setiap episode cerita.
2.1.2.2 Hikayat Raja Banjar oleh M.Rafiek
M. Rafiek (2010:71) meneliti mitos dibawah judul Hikayat Raja Bnjar: Kajian
Jenis, Makna dan Fungsi Mitos Raja. Penelitian dilakukan dengan menitikberatkan
pada telaah sastra dengan pendekatan struktural-hermeneutika. Menurut Rafiek, konsep
strukturalisme Levi-Strauss membantu memudahkan memahami dan menganalisis
cerytheme (tindakan) dalam naskah yang memuat mytheme (peristiwa) tertentu.
Kesulitan yang didapati ada dalam pengkotak-kotakan cerytheme berdasarkan
mytheme sehingga dianjurkan untuk membaca teks berulang-ulang.
Dalam penelitian ini Rafiek menyimpulkan bahwa mitos raja dalam Hikayat
Raja Banjar mendapat pengaruh dari kisah Nabi dan Rasul dalam agama Islam, kisah
Sunan Giri dan mitologi Junani. Rafiek menemukan dua jenis, empat fungsi dan tiga
makna mitos yang terdapat pada Hikayat Raja Banjar. Dua jenis mitos yang ditemukan
adalah mitos yang sesuai dengan fakta sejarah dan yang tidak sesuai dengan fakta
sejarah. Empat makna yang ditemukan adalah makna religious, makna filosofis makna
estetis makna magis dan makna etis. Sedangkan fungsi mitos yang ditemukan adalah
fungsi integratif mitos raja, fungsi politis mitos raja, fungsi ideologis mitos raja, fungsi
legitimasi, fungsi mistis dan fungsi yudikasi.
Penelitian ini menjadi sangat bermanfaat karena memberikan gambaran tentang
penelitian mitos di Indonesia secara umum sebagai reprensentasi budaya. Penelitian
Universitas Sumatera Utara
ini juga sangat membantu dalam penerapan teori dan langkah langkah yang harus
dilakukan terutama dalam menemukan jenis mitos.
2.1.2.3 Struktur Satra Lisan Batak Toba oleh Drs Razali Kasim M.A
Razali Kasim meneliti struktur Sastra Lisan Batak Toba (2000:66) dengan
memusatkan perhatian pada empat cerita yaitu Suhutan Nan Jomba Ilik, Datu Dalu dan
Tao Sipinggan, Sombaon Sipitung dan Ratu Jolma. Salah satu dari keempat cerita
rakyat di atas mempunyai motif sumbang yakni Suhutan Nan Jomba Ilik.
Dalam menganalisis keempat cerita di atas, Razali Kasim menerapkan teori
Strukturalisme yang dikemukakan oleh Roland Barthes yang memberi pandangan
bahwa karya sastra terbentuk dari berbagai tanda, karena itu karya sastra dapat dipilih
berdasarkan kode (codes) yang tidak bersifat mutlak (arbitrary) dan bergantung pada
pemahaman dan sudut kepentingan. Lima kode yang diberikan Barthes adalah (1)
kode teka-teki (code of puzzles); (2) kode tindakan (code of action); (3) kode kultural
(cultural code); (4) kode konotatif (conotative code); dan (5) kode simbolis (symbolic
code).
Sebagai kesimpulan dari analisis hasil penelitian adalah, bahwa tidak semua
cerita rakyat di atas mengandung semua kode yang diberikan oleh Barthes, tapi semua
cerita rakyat di atas memiliki kode kebudayaan dan kode perlambangan Penelitian ini
sangat membantu dalam proses memberi makna pada setiap tanda berdasarkan prinsip-
prinsip yang diberikan Roland Barthes.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.4 Sumbang, Incest in de Indonesische Mythologie oleh Well Derk
Buku ini merupakan hasi penelitian untuk tesis. Dari judul dapat kita lihat
bahwa buku ini ditulis dalam bahasa Belanda. Derk mengambil duapuluh (20) cerita
rakyat dari Indonesia untuk menjadi objek penelitian. Keduapuluh cerita rakyat itu
diambil dari Aceh, Sumatera, dalam hal ini Cerita rakyat Batak Toba dan Nias, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi dan Kalimantan. Umumnya teks yang dicantumkan
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan yang lain seperti cerita rakyat Batak
Toba diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Dalam melakukan penelitian, penulis menerapkan teori Strukturalisme Levi-
Straus yaitu opposisi binari dan teori Psikoanalis dari Freud. Well Derk memusatkan
perhatian pada motif, mediator dan ada tidaknya sikap mendua terhadap hubungan
sumbang yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut.
Kesimpulan yang diambil penulis antara lain adalah, bahwa ada sikap yang
mendua terhadap hubungan sumbang, terutama dalam cerita rakyat Batak. Perkawinan
sepupu menurut penulis adalah usaha kompromi antara perkawinan sumbang dan
perkawinan luar (luar klan).
Seperti halnya dalam beberapa cerita rakyat di tempat lain seperti cerita rakyat
Junani kuno dan Mesir, anjing mendapat peran dalam beberapa cerita rakyat di
Indonesia yang mempunyai motif sumbang seperti mitologi terciptanya gunung
Tangkuban Perahu. Dalam mitos sumbang yang terdapat dalam cerita rakyat Batak
Toba seperti Tongkat Panaluan anjing juga mendapat peran.
Kesimpulan yang lain adalah hubungan anak kembar dengan sumbang. Dalam
beberapa suku di Indonesia ada anggapan bahwa kembar sepasang laki-laki
Universitas Sumatera Utara
perempuan sudah melakukan hubungan sumbang atau incest sejak dalam kandungan.
Oleh karena itu kembar seperti ini tidak dihargai.
Terdapat juga penemuan mengenai sikap masyarakat di Jawa terhadap gerhana
matahari, yang merupakan sesuatu yang memalukan karena gerhana merupakan
hubungan sumbang antara matahari dan bulan sehingga ketika ada gerhana, masyarakat
bersembunyi karena malu.
2.1.2.5 Calling A Rainy Day; A Rain Ritual and Incest Myth oleh Rita Smith Kipp
Tulisan ini merupakan paper yang dipresentasikan dalam pertemuan
masyarakat antropologi yaitu Central States Anthropological Society di Milwaukee,
Wisconsin dan sedang dalam penulisan menjadi buku ketika paper ini ditulis.
Dalam paper ini Ritha Smith membahas satu cerita rakyat dari Tanah Karo
yaitu yang berjudul Tole Mama.Menurut penulis kata sumbang tidak hanya digunakan
untuk perkawinan sedarah, tetapi digunakan juga untuk jenis hubungan lain antara
pribadi-pribadi yang dianggap tidal layak dan harus dilarang, seperti berbicara dengan
mertua.
Cerita Tole Mama adalah cerita seorang anak gadis yang melakukan hubungan
terlarang dengan pamannya yaitu saudara ibunya. Akhirnya pasangan ini melarikan
diri dengan terbang ke angkasa dan berobah menjadi pelangi.
Dari penelitian yang dilakukan didapati bahwa kekeringan dan musim kemarau
merupakan hukuman terhadap hubungan sumbang dan harus disucikan (purify)
kembali dengan upacara ritual memanggil hujan.
Cerita rakyat yang mempunyai motif sumbang menurut penulis bukan hanya
mengenai hubungan sumbang itu sendiri dan hukuman yang harus ditanggung
Universitas Sumatera Utara
pelakunya, tetapi mitos sumbang mencakup konsep yang lebih luas, perilaku yang
terlalu dekat dalam hubungan yang spesifik, hubungan kekerabatan, harapan-harapan
dalam perkawinan, dan pengasuhan anak. Mitos sumbang memberi gambaran tentang
proses alamiah, hubungan sex, melahirkan anak, pengasuhan anak dan kemudian
mentransformasikan fakta-fakta alam ini ke dalam fakta-fakta sosial. Hubungannya
dengan ritual adalah bahwa ritual bukan hanya usaha meluruskan pandangan terhadap
fakta alam tetapi juga usaha memperbaiki tatanan sosial dari hubungan antar manusia
yang sepantasnya.
2.1.2.6 Parodi Mitos Tradisional Burisrawa Yang Ditulis Oleh Riantiarno oleh
Reny Widjajanti Soedjono Azwar.
Penelitian yang dilakukan Reny Widjajanti ini merupakan penelitian disertasi.
Secara garis besar Reny Widjajanti mencoba melihat bentuk penulisan drama
Konglomerat Burisrawa yang merupakan parodi dari mitos tradisional Sumbadra
Larung.
Sumbadra Larung berkisah tentang kesetiaan Sumbadra terhadap suaminya
Arjuna. Kesetiaannya di uji melalui perbincangan Sumbadra dengan istri Arjuna yang
lain seperti Srikandi dan Larasati dan penolakannya terhadap rayuan Burisrawa yang
merupakan suatu cobaan utama. Sumbadra berhasil mempertahankan kesetiaannya
yang ditunjukkan pada ahir cerita ketika Sumbadra tewas bunuh diri dengan
menusukkan tusuk kondenya ke dadanya.
Di dalam Konglomerat Burisrawa digunakan setting dan karakter dari masa
kontemporer dimana Burisrawa digambarkan sebagai seorang putra pengusaha besar
yang terkenal. Kekayaan Burisrawa sangat besar yakni memiliki perusahaan dan
Universitas Sumatera Utara
pabrik. Dalam pandangannya semua bisa di atur dengan uang , bahkan dalam hal cinta
dia memakai bahasa dagang dengan menjanjikan akan memberikan saham . Burisrawa
merasa mampu membeli segalanya termasuk cinta Sumbadra. Sumbadra dalam drama
ini mempertahankan pendapatnya mengenai cinta dan kesetiaan. Cinta dalam drama ini
menggambarkan cinta sesuai dengan jamannya yang dipengaruhi materi.
Reny Widjajanti mencoba menemukan seberapa dekat drama ini dengan
sumbernya dengan melakukan studi yang teliti terhadap penyimpangan dari mitos
tradisional. Reny Widjajanti juga mencoba membahas kedekatan drama ini dengan
masyarakat lingkungan atau menurut istilah Reny Widjajanti, ‘satire jamannya’.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sebenarnya penelitian ini mencoba menemukan
pelanggaran konvensi mitos tradisional.
Dengan tujuan seperti diatas, Reny Widjajanti harus menukik lebih dalam untuk
menemukan makna dan fungsi mitos dalam Konglomerat Burisrawa dan dalam
Sumbadra Larung. Untuk pencarian makna dan fungsi ini Widjajanti menggunakan
Teori Viala yang didasarkan pada teori Todorov mengenai tiga aspek sastra yakni
aspek sintaksis, aspek semantik dan aspek pragmatik dan teori Anne Ubesvield yang
didasarkan pada teori Greimas untuk menganlisis sintaksis.
Disamping teori diatas Renny Widjajanti menggunakan beberapa teori yang
berhubungan dengan drama seperti teori Marco de Marinis mengenai aspek drama dan
teori dari Sapardi Joko Damono mengenai unsur drama.
Kesimpulan yang didapati Renny Widjajanti adalah bahwa drama Konglomerat
Buris Rawa yang merupakan adaptasi dari wayang tradisional merupakan parodi yang
mengandung satire atas kemewahan konglomerat jaman orde baru. Untuk
Universitas Sumatera Utara
menyampaikan hal itu Riantiarno melakukan penyimpangan konvensi wayang,
penyimpangan alur dan tokoh.
Penelitian ini membantu penulis untuk lebih faham memilih dan
mengaplikasikan teori secara tepat untuk peelitian mitos tertentu.
2.2 Konsep
2.2.1 Sastra Batak
Secara umum, bentuk sastra Batak yang lebih dikenal adalah umpama atau
umpasa karena kedua bentuk sastra ini selalu digunakan dalam upacara adat
masyarakat Batak. Dimana ada upacara adat, disana akan terdengar umpama atau
umpasa. Kadang-kadang dalam pergaulan sehari-hari umpama dan umpasa sering
dibacakan dalam percakapan.
Sebenarnya masyarakat Batak sudah lama mempunyai tulisan sendiri, namun
masyarakat Batak lebih mengenal seni sastra yang sifatnya lisan yang bernilai tinggi
untuk dipelajari. Sastra lisan tersebut meliputi cerita rakyat seperti turi-turian, sastra
yang bersifat agama, dan pantun yang lebih dikenal dengan umpama atau umpasa dan
andung-andung.
Cerita rakyat atau turi-turian terdiri dari cerita binatang, pelipur lara, nasehat
dan keyakinan. Terdapat juga mitos yang menggambarkan keyakinan mereka, sesuai
dengan pemahaman mereka, yaitu alam pemikiran primitif mereka mengenai
penciptaan, terjadinya bumi dan segala isinya, mengenai debata mula jadi nabolon
yang menjadi keyakinan mereka sebagai yang maha kuasa yang menciptakan bumi dan
manusia terdapat dalam sastra lisan seperti cerita rakyat Si Boru Deak Parujar.
Universitas Sumatera Utara
Turi-turian megandung pelukisan tingkah laku manusia kehidupan masyarakat,
tentang watak manusia seperti cerita orang yang bodoh, pemalas yang berfungsi
memberi ajaran dan nasehat. Turi-turian merupakan sastra Batak yang sering
dilisankan kepada anak-anak menjelang tidur atau ketika sedang berkumpul di malam
hari di tengah halaman dibawah terang bulan. Turi-turian dalam bentuk cerita dongeng
tentang bintang merupakan alat pendidikan mental. Salah satu turi-turian yang sering
di tuturkan adalah cerita Si Jonaha. Namun terdapat juga cerita yang mengandung
sejarah seperti tarombo yang berisikan silsilah kekerabatan, cerita tentang alam dan
tentang kehidupan.
Sastra yang bersifat agama terdapat pada mantera dan bait sajak yang dihapal
oleh datu (magician) yang diangap mempunyai hubungan dengan pencipta. Datu
seperti ini sangat dihormati karena dapat menghafal mantera-mantera dalam melakukan
pegobatan. Doa yang dipanjatkan datu yang disebut tonggo-tonggo merupakan
bentuk sastra yang sudah dikenal sejak dahulu kala. Dalam bukunya yang berjudul
The Structure of Batak Belief yang merupakan hasil desertasinya, Ph.O.L.Tobing
(1963:93) mengutip bahagian dari Tonggo-tongo atau doa seperti di bawah ini:
Hutonggo, hupio, hupangalu-alui ompunami, sumangot ni Ompu Boru, sumangot ni ompunami, sumangot ni Ompu Doli, sumangot ruma-ruma ni jumaida silaon, na maniti na manggabe di hasuhuton on. Ho do na hundul di raga-raga na bolak, manguntean di pamoltok ni ruma, na martagaung di tali siariman; na marhalinuhon di guri-guri sijonggi; na mangan di pinggan limar, na marsiruho di pinggan pasu; na manggagat di bulung motung, minum bagot raja ni tuak, aek raja ni tapian; pardemban na lompu-lompu junjungon, parpiring tinikil-tinikilan; na martali-talion bonang sitiga jalan,parrudang ragi-ragian; parmanuk sombaturun, parpidong marhata-hata. Ompu raja mula-mula, ompu raja mula adong, mula ni sosungguon. Indangmu na jumadihon bohi; gabungan meal-meal, na jumadihon pamatang; na patingko-tingko ulu, mula ni simanjujung na pajambe-jambe obuk, mula ni siporhoton. Raja Intan sumormin na gabe simalolong, landismaria mula ni igung, sibolbohas raja osang, handang diri mula ni pipi, raja marhilap mula ni tangan, raja gumbok nabolon mula ni pusu-pusu, raja urundirea na jumadi ate-ate. Raja imbang mula ni pogu, pedang
Universitas Sumatera Utara
mangaris raja ni pia, raja alim mula ni limpa, nandaruruam mula ni si ubeon; raja ulion partambang bitis, na jumadi pat, jumadihon simanjojak, jojak ma anak tubu, jojak ma boru tubu. Bintang na rumiris, ombun nasumorop, anak pe riris,boru pe torop.
(Kupanggil, kuundang tempat mengadu, roh nenek moyang kami, roh nenek moyang perempuan, roh nenek moyang kami roh nenek moyang laki-laki, roh rumah pencipta, yang menentukan yang memberkati pesta ini. Kau yang duduk di tempat pemujaan yang luas, yang bersemayam di bawah tiang rumah, yang menggantung di tali siariman, yang membayang di tempayan sijonggi; yang makan di piring limar, berkumur di piring pasu; yang memamah di daun motung, minum nira raja tuak, air raja mata air; yang makan sirih yang lebar, yang memiliki piring yang tahan uji, yang berikat tiga helai, yang berselendangkan selendang bermotif; yang memiliki ayam yang hinggap di ketinggian, yang memiliki burung pandai berbicara. Moyang yang menjadi awal, moyang dari mula penciptaan, awal dari yang sesungguhnya. Indangmu yang menjadikan wajah; yang menjadikan tubuh; yang menjadikan kepala bulat, awal dari kepala yang ditumbuhi rambut, awal dari sangul. Raja Intan bercahaya yang jadi mata, landismaria awal dari hidung, sibobolhas awal dari dagu, pagar awal dari pipi, raja melambai awal tangan, raja urundirea yang menjadikan jantung. Raja imbang awal dari empedu, pedang mangaris awal ginjal, raja alim awal dari limpa, mandururuan awal perut, raja ulion awal betis yang jadi kaki, menjadikan kaki, mapan anak yang lahir, mapan putri yang lahir. Bintang yang bertaburan, awan yang menyebar, putra pun berbaris, putri pun banyak) Tonggo-tonggo atau doa yang lain yang tercantum dalam buku tersebut diatas
ditujukan kepada Pane Na Bolon (Tambunan, 1982:73).
Hujou hutonggo, hupangalu-alui, sahala ni Daompung, Boru saniang naga, Saniang naga tunggal, Saniang naga di jae, Sainang naga di julu, partintin na rumiris, parsanggul na lumobi, parbunga-bunga nas tutup ni odap. Naga na marjullak goar ni mualmi, si raja mangarabuk goar ni sampuranmi, si si raja mumbak-umbak goar ni umbakmi, si raja mompas-ompas goar ni pasirmi, si boru menak-enak di bagasan aekmi. Hamu panguhatan arian, pangalapan bodari, tangkas hamu huboto marruma gorga, parsopo ni ambaruran jala parruma ijuk, na mian di tonga-tonga ni lautan. Disi ma hamu marmula poda dohot marmula hata jumurju ari na tolu pulu, bulan na sampulu dua, panggorda na ualu, parmanis na lima dohot Ompunta Pane na bolon sinuru ni Ompunta Tuan Mula Jadi. Tumpa k ma hami horas, maduma jala gabe.
(Kupangil, kuundang engkau tempat mengadu, kemuliaan dari nenek boru Saneang Naga yang bercincin banyak, yang sanggulnya tebal, dan yang dipenuhi bunga. Mata airmu bernama naga yang bergejolak, air terjunmu bernama raja mangarubuk, ombakmu bernama raja mumbak-umbak,
Universitas Sumatera Utara
pasirmu bernama raja mompas-ompas dan di dalam airmu berada boru menak-enak. Kamu yang diambil di siang hari dan diambil di malam hari, jelas aku ketahui memiliki rumah yang diukiri, pemilik rumah moyang, dewi Saneang Naga, Saneang Naga tunggal, Saneang Naga di hulu, Saneang Naga di muara ijuk, yang berada di tengah lautan. Disanalah engkau mengajarkan nasehat pertamakali dan memulai kata menghitung hari yang tigapuluh, bulan yang dua belas, bermata-angin yang delapan, parmanis yang lima dengan moyang kita panen yang besar yang disuruh mahapencipta. Berkatilah kami biar selamat, makmur dan berketurunan)
Bentuk sastra Batak yang lain adalah pantun. Di antara pantun-pantun itu
seperti yang terdapat di bawah ini, merupakan pantun nasehat
Silaklak ni dandorung
Tu dangka ni sila-sila
Ndang iba jumonok-jonok
Tu naso oroan niba
Kulit kayu Dandorung
Pada cabang dari Sila-sila
Jangan dekat-dekat
Dengan yang bukan tunangan kita
Dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris terahir adalah isi yang
merupakan nasehat bahwa laki-laki hendaknya jangan dekat-dekat dengan perempuan
yang bukan tunangan atau isterinya. Contoh yang lain adalah seperti pantun dibawah
ini (Tambunan, 1982:73)..
Pat ni Lote ma tu
Pat ni satua
Mago ma pangose
Universitas Sumatera Utara
Horas ma na niula
Kaki burung puyuh
Kaki dari gereja
Binasalah yang ingkar janji
Selamatlah yang dikerjakan
Dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi
yang menasihatkan untuk tidak mengingkari janji karena akan membawa akibat yang
tidak baik dan yang setia pada janji akan memperoleh kemakmuran. Pantun ini
menasehatkan supaya setiap orang jangan memungkiri janjinya. Demikian juga
pantun dibawah ini
Pauk-pauk hu dalani ma
Pago-pago tarugi
Na tading huulahi
Na salah hupauli
Cangkul bergigi tiga
Pancang serabut ijuk
Yang tertinggal kuulangi
Yang salah kuperbaiki
Dua baris terahir yang merupakan isi mengandung nasehat untuk selalu
menyelesaikan dan menyempurnakan pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam sastra Batak ada yang disebut andung-andung. Andung-andung adalah
rangkaian kalimat yang disenandungkan ketika menangisi kematian orang baik
keluarga dan kerabat. Andung-andung mengandung kisah kehidupan dari yang
meninggal. Lebih sering mengenai hal-hal yang baik mengenai orang tersebut semasa
hidupnya. Andung-andung juga mengekspresikan perasaan-perasaan mereka yang
ditinggalkan, yang disusun dengan kata-kata yang penuh gaya bahasa sehingga yang
mendengar atau para pelawat biasanya terpengaruh dan ikut menangisi yang meninggal
(Tambunan, 1982:75)..
Menurut Bisuk Siahaan dalam bukunya Kehidupan Di Balik Tembok
Bambu(1982:82) dimasa silam terdapat orang-orang yang mempunyai keahlian
mangandung atau bersenandung sambil menangis sehingga merupakan profesi
dimana mereka dapat dipanggil dan diberi upah untuk menangisi seseorang yang
meninggal yang semasa hidupnya adalah orang yang mempunyai status tinggi. Pada
umumnya mereka adalah perempuan yang sudah berusia lanjut. Nalom Siahaan dalam
Tambunan (1982:73).
Damang i amang siadopan i
Sulu-sulu diaari golap i
Huat-huat di ari parudan i
Sisongsong dua ribu i
Siambat dua ratus i, (dan seterusnya)
Ayahanda, suami
Obor di hari yang gelap
Universitas Sumatera Utara
Bilah pijar di hari hujan
Yang menghambat dua ribu
Yang menghempang dua ratus
Bentuk sastra Batak yang lain adalah torsa-torsa (ridle) atau teka-teki yang
disebut juga huling-hulingan atau hutinsa yang dahulu sering dilisankan oleh muda-
mudi namun dilakukan oleh orang tua juga ketika memberi nasehat atau pengajaran
tentang alam dan pengetahuan akan kehidupan (Tambunan, 1982:75).. Torsa-torsa atau
huling-hulingan terdiri dari satu atau dua baris seperti dibawah ini.
Gantung mok-mok. Aha mai?
Tergantung, gemuk. Apakah itu?
Gantung marniang. Ahamai?
Tergantung, kurus. Apakah itu?
Pir dauk-dauk.
Molo diboto ho di ho deba. Aha ma i?
Bulung ni si hapodea
Keras tapi kendur,
Kalau kau tahu untukmu sebahagian
Daun Sihapodea
Universitas Sumatera Utara
Turi-turian merupakan jenis sastra Batak yang dahulu disampaikan orang tua
secara oral (lisan) kepada anak-anak di malam hari di tengah halaman di bawah
terangbulan. Turi-turian bisa cerita dongeng tentang binatang yang selalu merupakan
alat pendidikan moral seperti cerita Si Jonaha. Namun sebahagian mengandung sejarah
atau mitologi penciptaan seperti terciptanya manusia dan terjadinya danau Toba
(Tambunan, 1982:72)..
Umpasa adalah bentuk sastra Batak yang dilisankan pada acara adat atau
pesta adat perkawinan, acara adat pada kemalangan seperti kematian dan pesta adat
yang lain. Umpasa adalah sejenis pantun yang berisikan dua, tiga atau empat baris.
Baris pertama dan atau baris kedua adalah sampiran sedangkan baris ketiga dan atau
keempat adalah isi (Tambunan, 1982:77).
. Umpasa mengandung ungkapan yang puitis yang mengandung makna yang
khusus dan dalam tentang hidup, merupakan nasehat atau ungkapan-unkapan yang
memohon berkah (Tambunan, 1982:73)..
Mangula ma pangula, dipasae duhut-duhut
Molo burju marhula-hula, dipadao mara marsundut-sundut.
Bekerjalah pekerja, menyelesaikan rumput
Kalau baik berbesan, akan jauh bahaya turun temurun
Asing dalan tu mual, asing dalan tu onan
Asi ma roha ni Tuhan, sai dilehon ma hangoluan
Ditambai nang angkaka pangomoan.
Lain jalan ke sumur, lain jalan ke pekan
Universitas Sumatera Utara
Tuhan maha pengasih, akan memberikan kehidupan
Dan peruntungan akan dilimpahkan
Gadu-gadu ni Silindung, tu gadu-gadu ni Sipoholon
Sai tubu ma anakmuna sampulu pitu dohot borumuna sampul Onom
Pematang di Silindung ke pematang di Sipoholon
Lahirlah anakmu tujuh belas dan putrimu enam belas
Ruma ijuk tu ruma gorga
Sai tubu ma anakmuna na bisuk dohot borumuna na lambok marroha.
Rumah ijuk ke rumah ber- ukir
Lahirlah putra kalian yang bijak dan putri yang yang lembut
Rimbur ni Pangkat ma tu jimbur ni hotang
Tusi hamu mangalakka, sai tusi ma dapotan.
Capung dari Pakat ke capung rotan
Kemana kalian melangkah, disitu kalian akan memperoleh peruntungan
Martahuak ma manuk di bungkulan ni ruma
Horas ma hula-hulana, songon i nang angka boruna.
Berkokok ayam di bubungan rumah
Selamatlah besan, demikian juga putrinya
Universitas Sumatera Utara
Ogung na mabola dipaboa soarana
Angka boru na malo marroha pintor di pahombar do tu hula-hulana.
Gong yang pecah ditandai oleh suaranya,
Anak perempuan yang bijak akan mendekati hula- hulanya
Aek ni Ampuli di dolok ni Tampongan
Sai sahat ma angka na uli, jala tamba angka passamotan.
Air Ampuli di ketinggian Tampongan
Semoga yang baik akan tiba dan pendapatan akan bertambah.
Simbora ma pulguk, pulguk di lage-lage
Sai mora ma hita luhut, huhut horas jala gabe.
Perak yang teronggok, teronggok ditikar
Semoga kita semua akan menjadi kaya serta selamat dan berketurunan.
Turtu ni anduhur, tio ninna lote
Hata na nauli dohot pasu-pasu pinasahatmu
Sai saut ma tutu, unang muba unang mose.
Suara tekukur,suara Lote jernih
Ucapan yang indah dan berkat yang kalian sampaikan
Semoga akan terjadi dan tidak akan berubah.
Andor hadukka patogu-togu lombu
Universitas Sumatera Utara
Sai sarimatua ma hamu sahat tu na patogu-togu pahompu.
Daun ubi jalar ditarik-tarik lembu
Semoga panjang umur di iringi cucu-cucu
Sahat-sahat ni solu, sahat ma tu bontean
Sae leleng ma hita mangolu sahat tu panggabean.
Sampai lah sampan sampai ke Bontean
Semoga kita lama hidup dan beranak berketurunan
Hariara mandung-dung, pilo-pilo na maragar
Sai tanding ma na lungun, ro ma na jagar
Beringin yang teduh pada pohon enau
Tinggallah yang menyedihkan, datang lah yang baik.
Hotang pinabebe-bebe, bonang pinapulos-pulos.
Sotung pola mandele rohamuna,ai godang do tudos-tudos.
Rotan yang diputar-putar benang yang digulung gulung
Jangan hatimu putus asa karena banyak orang yang mengalami yang sama
Bona ni arirang, peak di tinga onan
Dagingmu so marsirang, tondimu pe marsigom-goman.
Batang pinang terletak di tengah pekan
Badan yang bercerai roh tetap saling mengayomi
Universitas Sumatera Utara
Anian ma pagabe tumundalhon sitodoan
Arimu ma gabe molo marsipaolo-oloan.
Ani adalah mistar memunggungi selendang
Hari-hari akan makmur kalau masih saling seia sekata
Sinuan bulu sibaen na las
Tabahen uhum mambahen na horas.
Ditanam bambu membuat hangat
Kita ciptakan hukum untuk membuat selamat
Sai tubu ma hariara jonok tu jambatan
Sai tubu ma angka anakmuna, sude gabe marjabatan.
Semoga tumbuh baringin dekat jembatan
Semoga lahirlah anak-anak kalian yang semua punya jabatan
Eme ni simbolon parasaran ni siborok
Sai horas-horas ma hita on laos Debata ma na marorot.
Padi simbolon jadi sarang berudu
Selamat lah kita semua dan Allah yang merawat
Sititi ma sigompa, golang-golang ma pangarahutna
Tung so sadia pe nuaeng tarpatupa, sai anggiat ma godang pinasuna.
Sititi adalah sigompa, gelang pengikatnya
Universitas Sumatera Utara
Sedikit yang bisa disajikan banyak berkatnya
Pinasa Siantar godang rambu-rambuna,
Tung so sadia hatangki, sai godang ma pinasuna.
Nangka dari Siantar banyak serabutnya
Sedikit yang bisa saya katakan banyak berkatnya
Tuat si puti, nangkok si deak
Ia i na ummuli, ima tapareak.
Turun si Putih, Naik si Deak
Yang bagus itulah yang kita tunggu.
2.2.2 Mitos
Di dalam A Handbook to Literature, Hammon (1993:339) mengatakan bahwa
mitos adalah : “An anonymous story that present supernatural episodes as a means of
interpreting natural events. Myth makes concrete and particular a special perception
of human beings or a cosmic”
“Cerita anonim yang menggambarkan kejadian-kejadian supernatural sebagai
suatu alat untuk menginterpretasikan peristiwa-peristiwa alam. Mitos menjadikan suatu
presepsi khusus dari manusia dan kosmos menjadi kongkrit dan tertentu”.
Menurut Ratna (2004:66) mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam
kebudayaan primitif, yang pada awalnya mitos diartikan sebagai imajinasi yang
sederhana dan primitif untuk menyusun suatu cerita sehingga dalam pengertian
modern mitos adalah struktur cerita itu sendiri.
Mengenai mitos Malinowski dalam Sabeok (1974:128) mengatakan:
Universitas Sumatera Utara
“Myth studied alive, is not symbolic but a direct expression of its subject matter....Myth fulfills in primitif culture, an indispensable functions; it expresses enhances and codifies belief; it safe guards and enforces morality, it vouches for the efficiency and contains practical rules for the quidance of man”.
(Mitos yang terus hidup bukanlah sesuatu yang bersifat simbol, tetapi merupakan ekspresi tegas dari persoalan intinya.....Mitos dalam kebudayaan primitif memenuhi fungsi yang penting; mitos mengekspresikan, membangun dan membentuk keyakinan; melindungi dan menekankan moral; menjamin efisiensi dan mengandung hukum-hukum praktis yang menjadi petunjuk bagi manusia”.) “Myth is thus a vital ingredient of human civilization; it is not an idle tale, but a hard–worked active force; it is not an intelectual explanation or an artistic imagery, but a pragmatic charter of primitive faith and moral wisdom” (Mitos merupakan unsur yang penting dari peradaban; bukan hikayat yang asal jadi; tetapi merupakan kekuatan yang aktif dan bermakna; bukan juga penjelasan intelektual atau imaji yang artistik, tetapi suatu pernyataan pragmatis dari keyakinan dan kebiksanaan moral dari keyakinan primitif )
Lebih jauh dalam buku yang berjudul Malinonowski and the Work of Myth
seperti dikutip oleh Stronski, Malinowski mengatakan :
“Myth is not just the name of any story. The term myth singles out a class of the story, just as the term ’art’ or ‘literatura‘ do the same for their referent. Thus using the word myth is a way evaluating stories, or of discribing them a special or importand stories” 1992 : 270).
(Mitos bukanlah nama cerita. Istilah mitos menggambarkan tingkatan cerita, sama seperti istilah ‘art’ dan ‘litteratura’ melakukan hal yang sama untuk apa yang dimaksud. Sehingga menggunakan kata mitos merupakan suatu cara mengevaluasi atau menerangkan bahwa cerita tersebut adalah ceritera yang spesial dan penting). “Myth are narratives which occur within a society, a culture; they cannot therefore fully be appreciated unless we have access to that livng culture which gives them birth and which they are current “ (1992 :28). (Mitos merupakan narasi yang terdapat pada suatu masyarakat, suatu
kebudayaan; oleh karena itu tidak dapat secara penuh dimaknai kecuali
Universitas Sumatera Utara
kita mempunyai akses kedalam budaya dimana dia diciptakan dan dimana
mereka ada).
Karena itu Mlinowski menghimbau untuk meneliti mitos untuk melihat
”contex of living, faith, social organization...morals....and custom.”(konteks hidup,
keyakinan, organisasi sosial, moral dan adat istiadat) Mitos menurut Malinowski lahir
dari ’innermost and emotional reaction to the most formidable and haunting
idea”.perasaan paling dalam dan reaksi emosional terhadap ide-ide yang menghantui
dan menakutkan)
Filsafat Neo Kantian menganggap mitos sebagai bentuk pikiran yang bebas
dari semangat manusia dan oleh karena itu tidak dapat direduksi menjadi drama
tentang kekuatan psikologis empiris yang menghasilkan produksi. Cassirer dalam
Sabeok (1974:7) memberikan pendapat mengenai mitos sebagai kesatuan dari bentuk
struktural yang spesifik dari semangat. Menurut Max Muller dalam Smith (1979:8),
mitos adalah ekspressi pertama dari proses spiritual dari pembebasan yang
dipengaruhi dalam suatu perkembangan pandangan dunia mistis dan magis sampai
dengan pandangan agama. Mitos adalah langkah pertama dari dialektik perbudakan,
dari pembebasan dimana pengalaman dan semangat manusia berhadapan dengan dunia
pencitraan diri sendiri .
Ricoeur (dalam Rafiek, 2010:54) memberi pengertian mitos sebagai tipe yang
spesifik dari symbol yang dijabarkan dalam bentuk cerita, dan dituturkan berulang-
ulang dalam ruang dan waktu. Mitos berkenan dengan asal-usul, menghasilkan
ketegangan antara ekteoritas mitos, seperti penciptaan dan kejadian tragis dan
menyedihkan, menempatkan asal-usul mendahului keberadaan manusia. Basirun
Universitas Sumatera Utara
didalam Rafiek (2010:56) memberi empat fungsi mitos didalam cerita rakyat yaitu:
(a) sebagai system proyeksi angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesahan
pranata-pranata dan lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan dan (d) sebagai
alat pendidikan dan pengawasan, agar norma masyarakat akan selalu dipatuhi
anggota kolektifnya.
Secara sederhana mitos adalah cerita anonim yang menggambarkan kejadian-
kejadian supernatural sebagai suatu alat untuk menginterpretasikan peristiwa-peristiwa
alam yang membuat persepsi khusus dari manusia dan kosmos menjadi kongkrit dan
tertentu. Mitos merupakan unsur penting dari peradaban ,bukan hikayat yang asal jadi,
bukan penjelasan intelektual atau imaji yang artistik tetapi merupakan kekuatan yang
bermakna, suatu pernyataan pragmatis dari keyakinan dan kebijaksanaan moral dari
keyakinanmanusia primitif yang mengekspresikan, membangun dan membentuk
keyakinan;melindungi dan menekankan moral; menjamin efisiensi dan mengandung
hukum praktis yang menjadi petunjuk bagi manusia. Mitos merupakan narasi yang
terdapat pada suatu masyarakat, suatu kebudayaan yang hanya dapat dimaknai secara
penuh bila mempunyai akses kedalam budaya dimana dia diciptakan.
2.2.3 Sumbang
Sumbang adalah aktivitas seksual antara dua orang yang mempunyai
hubungan dekat. Di dalam kamus Webster sumbang dikatakan sebagai: “Sexual activity
between people who are very closely related in a family for example a brother and
sister as a father and daughter” (Aktivitas seksual antara orang yang mempunyai
hubungan dekat dalam keluarga misalnya antara abang dan adik dan ayah dan anak
perempuannya”)
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat Batak perkawinan sumbang tidak terbatas hanya pekawinan
sedarah. Perkawinan antara pasangan dari marga yang sama juga dianggap sumbang,
demikian juga dua saudara, abang adik yang mengawini dua perempuan kakak beradik
dianggap juga sumbang (Vergowen1964:162-165). Lebih jauh dalam masyarakat Batak
Toba dapat dilihat bahwa seorang laki-laki tidak diijinkan menikah dengan putri
namboru, yakni adik ayahnya dan sepupunya dari pihak ibu.
Secara sederhana konsep sumbang dalam penelitian ini adalah perkawinan
sedarah, semarga dan perkawinan seorang laki-laki dengan adik istri saudaranya.
2.2.4 Folklore atau cerita Rakyat
Basirun dalam Rafiek membagi Folklore dalam tiga bahagian yaitu :
1. Folklore lisan atau verbal folklore
Bentuk folklore lisan murni lisan. Yang termasuk dalam Folklore lisan antara
lain :
a. Bahasa rakyat (logat), julukan, pangkat tradisional dan titik kebangsawan
b. Ungkapan tradisional seperti pribahasa, pepatah dan pameo
c. Pertanyaan tradisional seperti teka-teki
d. Puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair
e. Cerita prosa rakyat seperti mitos, lengenda dan dongeng
2. Folklore sebahagian lisan (partly verbal folklore)
Bentuk Folklore sebahagian lisan merupakan campuran unsur lisan dan unsur
bukan lisan seperti kepercayaan, permainan rakyat, tari rakyat adat-istiadat, upacara,
pesta rakyat dan lain-lain
Universitas Sumatera Utara
3. Folklore bukan lisan
Bentuk Folklore bukan lisan diajarkan secara lisan. Bentuk ini dibagi dalam
dua kelompok :
a. Material, seperti arsitektur rakyat, kerajinan rakyat, pakaian danperhiasan
tubuh adat, makanan dan minum-minuman serta adat tradisional
b. Folklore bukan lisan non material termasuk gerak isyarat tradisional, bunyi
isyarat untuk komunikasi dan musik rakyat
Di dalam bukunya Teori Sastra : Kajian Teori dan Praktek Rafiak
memberikan pengertian cerita rakyat antara lain adalah penyebarannya dan
pewarisannya dilakukan secara lisan. Cerita rakyat bersifat tradisional diantara
komunitas tertentu. Cerita rakyat ada dalam versi berbeda yang diakibatkan oleh
penyebarannya dari mulut ke mulut, cerita rakyat bersifat anonim dan mempunyai
bentuk berpola. Lebih lanjut Rafiek menyatakan bahwa cerita rakyat mempunyai
kegunaan dan fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat bersifat
pralogis yaitu sesuai dengan logika umum dan merupakan milik bersama dari kolektif
tertentu dan bersifat polos dan lugu.
Dananjaya (1986:20) memberi ciri-ciri cerita rakyat sebagai berikut :
a. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan yaitu disebarkan
melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi berikutnya
b. Cerita rakyat bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif atau
dalam bentuk standar. Disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang
cukup lama (paling sedikit dua generasi)
Universitas Sumatera Utara
c. Cerita rakyat ada dalam versi atau varian yang berbeda. Hal ini adalah akibat
penyebarannya dari mulut ke mulut, sehingga mudah mengalami perubahan,
biarpun perubahan ini biasanya hanya bagian luar, sedangkan bentuk
dasarnya dapat tetap bertahan.
d. Cerita rakyat bersifat anonim
e. Cerita rakyat biasanya mempunyai bentuk berpola dan menggunakan kata-
kata klise dan ungkapan tradisional, ulangan-ulangan dan kalimat serta kata
pembuka dan penutup yang baku
f. Cerita rakyat mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama suatu terpendam
g. Cerita rakyat menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal karena
pencipta pertama tidak dikenal lagi sehingga setiap anggota kolektif merasa
menjadi pemilikny
h. Cerita rakyat bersifat spontan dan lugu. Ini diakibatkan sifat cerita rakyat yang
merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Cerita perkawinan sumbang dapat dikatakan adalah mitos karena mempunyai
sifat pengulangan atau repetitive dari motifnya. Repetisi atau repetition menjadi suatu
karakter dari mitos. Dalam cerita Batak Toba motif ini diulang-ulang dalam banyak
cerita rakyat yang sebahagian menjadi objek penelitian selanjutnya. Hal lain yang
mendukung sumbang adalah mitos karena cerita tersebut di dukung dan diyakini
masyarakat Batak Toba. Fakta bahwa ada peninggalan cerita sumbang yang dapat
dianggap sebagai bukti bahwa cerita itu benar-benar terjadi, memperkuat sumbang
dalam cerita rakyat adalah mitos.
Universitas Sumatera Utara
Dundes memberian daftar hal-hal yang termasuk cerita rakyar antara lain myth,
legend, folktales, jokes, proberbs, riddles, chants, charms, blessing, insult, retorts,
taunts, teases, toast, tongue twisters, greeting, leavetaking, formula (1965:108)
Mitos atau cerita yang menjadi objek penelitian selanjutnya menjadi bahagian
dari cerita rakyat karena pengarang tidak dikenal atau anonimus, disampaikan secara
turun-temurun dan secara lisan dan mengandung sifat atau karakter cerita rakyat
yang lain .
2.2.5 Struktur
Struktur adalah cara dimana bahagian dihubungkan, diatur dan diorganiser
satu sama lain dalam suatu pengaturan yang tertentu.
Dalam A Handbook to Literature dikatakan: “Structure is the planned framework of a piece of literature, sometime referred to as structural features. The term usually is applied to the general plan or outline. In a narrative the plot itself is the structural element”(Hammon,1993 :499 ). (Struktur adalah kerangka suatu karya sastra yang direncanakan, kadang-kadang dihubungkan dengan ciri-ciri yang bersifat struktural. Istilah ini biasanya diaplikasikan pada rencana umum atau garis besar. Dalam sebuah karya naratif, plot itu sendiri merupakan elemen yang bersifat struktural ) Michael Lane dalam bukunya Structuralism, A Reader (1970:29)
mengatakan:
”A structure is a set of any element between which or between certain. Selanjutnya dia mengatakan, ”....The structuralism is a method whose primary intention is to permit the investigator to go beyond a pure discription of what is percieves or experiance in the direction of the quality of rationality which underlies the social phenomena in which he is concerned”. (Strukturalisme adalah suatu metode yang tujuan utamanya adalah memberi peluang kepada peneliti untuk berusaha lebih dari sekedar meneliti diskripsi sederhana dari apa yang dipersepsikan atau dialami dalam suatu
Universitas Sumatera Utara
arah kualitas rasionalitas yang mendasari penomena sosial dimana dia sangat perduli).
2.2.6 Makna
Makna adalah pemahaman yang baik tentang sesuatu. Dalam karya sastra
Richard dalam Hammon (1993:309) membedakan empat aspek makna yakni:
sense, the denotative massage that one is trying to communicate; (2) feeling, none attitute toward the sense; (3) tone, one’s attitute toward the audience; and (4) intention, the effect one consciously or unconciously intends through what is said,how one feels about it, and the attitute one takes toward the audience. (1) makna, pesan denotatif yang hendak disampaikan oleh seseorang; (2) perasaan, yakni sikap seseorang terhadap pesan konotatif; (3) nada, yakni sikap seseorang terhadap pendengar atau pembaca dan (4) tujuan, yakni akibat yang sadar atau tidak sadar diinginkan melalui apa yang dikatakan, bagaimana perasaan seseorang tentang hal tersebut, dan sikap seseorang terhadap pendengar atau pembaca.
Dengan kata lain “meaning can be seen as of two kinds, denotation and
conotation” (terdapat dua jenis makna, makna denotasi dan makna konotasi), untuk
karya sastra terdapat juga empat makna yang mungkin timbul yakni “the literal, the
allegorical, the tropological or moral and the analogical or spritual. (harafiah, allegoris,
tropologis atau moral dan makna analogis).
Mengenai makna Levi Strauss ( 1978:12) mengatakan :
”Absolutely impossible to conceive of meaning without order. There is something very curious in semantic, that the word meaning is probably , in the whole language the word meaning of which is the most difficult to find.What does to mean to mean. It seem to me that the only answer we can give is that to mean is mean the ability of any kind of data to be translated in different language. I do not mean a different language like French or German, but different words on a different level” (Adalah betul - betul tidak mungkin untuk mengerti makna tanpa keteraturan. Ada sesuatu hal yang membingungkan di dalam semantik, bahwa kata meaning mungkin di dalam seluruh bahasa sulit didapati
Universitas Sumatera Utara
artinya. Apakah arti meaning. Untuk saya jawaban satu-satunya yang dapat kita berikan adalah to mean artinya adalah kemampuan setiap jenis data untuk diterjemahkan kedalam bahasa yang berbeda. Yang saya maksud bukan bahasa yang berbeda seperti bahasa Jerman dan Perancis, tetapi kata-kata yang berbeda pada tingkatan yang berbeda.
Pengertian makna dalam pembahasan mitos adalah kemampuan setiap jenis
data untuk diterjemahkan kedalam bahasa yang berbeda dan secara menyeluruh
memberikan totalitas makna.
2.2.7 Fungsi
Mircea Eliade dalam Susanto (1987:92) mengatakan bahwa fungsi mitos
yang paling utama adalah menentukan contoh atau model bagi semua tindakan
manusia, baik dalam upacara-upacara maupun dalam kegiatan sehari-hari yang
bermakna seperti pekerjaan, pendidikan seksualitas, makan, dan sebagainya.
Lebih lanjut Mircea dalam Susanto (1987:92) mengatakan bahwa mitos
berfungsi membentuk suatu pengetahuan esoteris, pengetahuan yang hanya dikenal
oleh orang-orang tertentu. Mitos juga berfungsi sebagai sarana penyembuhan.
Durkheim dalam Brown (1965:179) memberikan defenisi fungsi sebagai:
”....the corresfondence between it and the needs of the social organism. Sedangkan
Proff (1975:21) mengatakan bahwa fungsi: ”....is understood as an act of character
defined from the point of view of its significance for the course of action”
Malinowski mengatakan bahwa fungsi dari unsur kebudayan dipergunakan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan naluri manusia dan kebudayaan itu sendiri.
Menurut Malinowski (1974:87) seperti penganut fungsionalime yang lain mitos
berfungsi sebagai :
Universitas Sumatera Utara
“....a warrant, a charter, and even a practical guide to the activities with wich it is connected. Mitos merupakan” active parts of culture like commands, deeds, or guarantees, certifying that some sort of social arrangement is legitimate; mitos merupakan” backbone of primitive culture” (bahagian kebudayaan yang aktif seperti perintah, kesepakatan, atau
jaminan yang meyatakan bahwa beberapa jenis tatanan sosial adalah
masuk akal; mitos merupakan tulang punggung budaya primitif).
Fungsi mitos adalah bagaimana mitos sebagai bahagian dari kebudayaan
memenuhi kebutuhan manusia primitif Batak Toba.
2.2.8 Nilai Budaya dan Kearifan Lokal
Kebudayaan adalah seluruh sistem dan hasil kerja manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia itu sendiri dengan belajar.
Hal ini berarti bahwa seluruh tindak tanduk manusia adaah kebudayaan, karena sedikit
sekali aktivitas manusia dalam rangka kehidupan manusia tersebut yang tidak perlu
dibiasakan dengan belajar yaitu naluri.
Menurut Talcot Parson dalam Harahap(1987:24), yakni Orientasi Nilai-Nilai
Budaya Batak ada tiga wujud kebudayaan yaitu: Ideas, Activities, Artifacts.
Idea merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu daerah dimana gagasan,
norma dan peraturan berada. Activities adalah wujud kebudayaan yang merupakan
lingkungan kegiatan serta tindakan berpola manusia berada. Sedangkan artifacts adalah
wujud kebudayaan sebagai benda hasil kerja manusia.
Kuncaraningrat dalam Harahap memberikan tujuh unsur kebudayaan yang
dikatagorikan sebagai unsur kebudayaan universal yakni: Bahasa, Sistim pengetahuan,
Universitas Sumatera Utara
Organisasi sosial, Sistim peralatan hidup dan teknologi, Sistim mata pencaharian,
Sistim religi danKesenian
Pada tahap yang lebih tinggi, menurut Ignas Kleden dalam Harahap (1987:26),
kebudayaan dikatakan sebagai sistem kognitif kerangka pengetahuan dan kegiatan yang
memberikan pedoman bagi orientasi sikap dan masyarakat yang hidup dalam
kebudayaan itu.
Nilai budaya adalah nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu
masyarakat, lingkup organisasi, hubungan masyarakat yang mengakar pada suatu
kebiasaan, kepercayaan (belief), simbol-simbol dengan karakteristik tertentu yang dapat
dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan
terjadi atau apa yang sedang terjadi. Nilai nilai budaya akan tampak pada simbol-
simbol, slogan, moto, visi misi atau segala sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok,
moto suatu lingkungan yakni :
1. Simbol-simbol, slogan atau lainya yang kasat mata
2. Sikap, tingkah laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto
3. Kepercayaan yang tertanam yang mengakar dan menjadi kerangka acuan
dalam bertindak dan berperilaku.
Ada sembilan nilai budaya Batak yang menyangkut kehidupan orang Batak
menurut Harahap (1987,111). Kesembilan nilai budaya tersebut adalah:
1. Kekerabatan : yang mencakup hubungan primordial suku
2. Religi : yang mencakup kehidupan keagamaan
3. Hagabeon : banyak keturunan dan umur panjang
4. Hasangapon : kemuliaan, kewibawaan, kharisma suatu nilai
Universitas Sumatera Utara
utama yang memberi dorongan kuat untu meraih
kejayaan
5. Hamoraon : kaya raya, salah satu nilai budaya yang mendasari,
mendorong mencari harta benda
6. Hamajuon : kemajuan
7. Hukum : aturan atau batasan-batasan
8. Pengayoman : pemberian kesejahteraan
9. Konflik : pertentangan dalam kekerabatan, karena faktor
ekonomi dan dalam meraih hasil budaya
Kearifan Lokal adalah gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-pandangan
setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan Lokal merupakan energi potensial dari
sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan
dalam suasana damai.
Menurut Robert Sibarani (2012:112): “Kearifan lokal adalah kebijaksanaan
atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya
untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat“. Lebih lanjut dikatakannya bahwa
”Kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur
tatanan kehidupan secara arif dan bijaksana”.
2.3 Landasan Teori
Di dalam bukunya Structuralism in Literature (1977:8-9) Scoles
mengatakan:”....two bodies of works upon which each kind of criticism might
Universitas Sumatera Utara
legitimately operate. The hermeneutic would treats’ living’ land strcturalits treat (dua
bahagian struktur dimana setiap kritik dapat digunakan secara resmi). Lebih lanjut
distant in time or space...” dia mengatakan bahwa hal ini bukan berarti bahwa
strukturalisme dan hermeneutika adalah
“.... in a relation of opposition, dividing the world into objectbelonging exclusively to each group, but in relation of complementarity, capable of profitably approahing the same work and disengaging from it complimentary signification.Thus literary criticism should not refuse to learn what structuralism can tell it,even about the works that seems nearest to us, precicely by distancing the objectively and examining their fungtioning. “....dalam suatu hubungan yang berlawanan membagi dunia atas objek yang secara eksklusif menjadi milik setiap kelompok, tetapi dalam hubungan yang saling melengkapi, mampu secara menguntungkan mendekati karya yang sama, dan membebasakan dari sana siknifikasi yang penuh penghargaan. Sehingga kritik sastra seharusnya tidak ditolak untuk mempelajari apa yang dapat diberikan strukturalisme,bahkan mengenai karya-karya yang kelihatannya paling dekat dengan kita, secara tepat dengan memberi jarak secara obkjektif dan mengamati bagaimana mereka berfungsi. Hal inilah alasan dipilihnya strukturalisme dan hermeneutika sebagai alat untuk
menguraikan mitos sumbang dalam ke enam cerita. Strukturalisme Levy Strauss
menjadi pilihan untuk diaplikasikan, namun dibawah ini sengaja teori strukturalisme ini
di terangkan lebih luas secara historis karena sebenarnya mereka saling berhubungan
dimulai dengan structuralisme yang dikemukakan De Sausure sampai dengan
penafsiran semiotik seperti yang dikemukakan C.E Pierce, menjadi pilihan setelah
pembahasan singkat hermeneutika itu sendiri.
2.3.1 Strukturalisme
Sebagai suatu pendekatan, strukturalisme mencakup segala bidang yang
menyangkut fenomena sosial kemanusiaan, tercakup di dalamnya ilmu-ilmu sosial
murni (antropologi, sosiologi, politik, ekonomi, dan psikologi), ilmu-ilmu
Universitas Sumatera Utara
kemanusiaan (sastra, sejarah, dan linguistik), dan seni rupa. Luasnya cakupan
pendekatan itu didasarkan pada keyakinan kaum strukturalis bahwa segala manifestasi
kegiatan sosial adalah struktur.
Ciri utama dasar telaah strukturalisme adalah perhatianya yang besar
terhadap keutuhan dan totalitas. Yang menjadi dasar telaah strukturalisme
bukanlah bahagian-bahagian totalitas itu, tetapi jaringan hubungan yang ada antara
bahagian-bahagian itu, yang menyatukannya menjadi totalitas. Kaum strukturalis tidak
menelaah struktur pada permukaannya, tetapi struktur di balik kenyataan empiris.
Analisis yang dilakukan pun menyangkut struktur yang sinkronis, bukan diakronis.
Teks sastra dapat dianalisis dari struktur dalam maupun dari segi
eksternalnya seperti lingkungan sosial ekonomi, politik yang menghasilkannya, apa
yang disebut strukturalisme historis. Strukturalisme historis merupakan pendekatan
yang menganggap teks yang dianalisis itu spesifik dari segi historis. Pendekatan ini
menjadi sangat penting artinya karena menempatkan karya sastra sebagai data dasar
penelitian, sebagai suatu makna yang belapis-lapis yang merupakan suatu totalitas yang
tidak dapat dipisah-pisahkan. Teori struktural yang digunakan dalam pembahasan
adalah teori struktural naratif dan teori strukturalisme dari Levi Strauss. Teori
struktural narratif yakni model narration, yaitu tingkat jalinan plot dalam cerita untuk
melakukan analisis data. Dundes dalam Endarswara ( 2009: 112) mengatakan cerita
rakyat memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain dan unsur cerita yang paling
utama adalah motif sehingga cerita dapat dipotong menjadi beberapa bahagian dan
bahagian itu disebut motifem. Bahagian ini akan membentuk struktur yang teratur.
Endarswara (2009:112) mengatakan cerita rakyat dapat dipotong-potong
menjadi beberapa bahagian. Hal pemotongan ini dapat dibenarkan pada analisis
Universitas Sumatera Utara
stuktural. Setiap bahagian disebut motifem. Cerita terdiri dari sederet motifem namun
unsur-unsur motifem itu tidak terpisah melainkan mengarah kepada keutuhan makna.
Hasil analisis struktur seperti ini digunakan untuk mencari apakah ada motifem yang
spesifik.
Hasil analisis struktur 1. Membuat tipologi cerita rakyat. 2 mencari apakah ada
motifem yang spesifik 3. Mencari atau mengetahui sejauh mana suatu cerita yang
berasal dari suatu daerah tertentu diubah dan digubah mencadi cerita baru di daerah
lain. Endasrwara (2009:120) dan Dundes (1965: 31) mengatakan yang termasuk
folklore adalah mitos, legenda, dongeng, lelucon, peribahasa, tekateki, dan sebagainya.
Strukturalisme dari Levi Strauss termasuk strukturalisme fungsional.
Strukturalisme fungsional berkembang pada sekitar tahun 1960 sebagai usaha untuk
menerapkan metode dan kemampuan memahami pada kesusasteraan biarpun usaha ini
sudah dirintis Ferdinand De Saussure pada tahun 1916 dengan diterbitkannya bukunya
yang berjudul Course in General Linguistic
Strukturalisme fungsional ini lahir oleh adanya kesadaran akan keberadaan
elemen-elemen yang mendominasi tindakan komunikasi. Strukturalisme fungsional ini
juga lahir karena adanya kesadaran bahwa tidak ada yang mempunyai fungsi estetik
tanpa terlepas dari tempat, waktu atau orang yang menilai dan tidak ada yang
mempunyai fungsi tersebut dalam kondisi yang tepat.
Strukturalisme berurusan dengan struktur, meneliti peraturan umum yang
mendasari cara kerja. Strukturalisme mereduksi fenomena individual menjadi sekedar
contoh dari peraturan- peraturan, dengan mengeluarkan isi cerita dan berkonsentrasi
pada bentuk, hubungan antara item dalm cerita seperti paralelisme, pertentangan,
pembalikan dan keselarasan.
Universitas Sumatera Utara
Strukturalisme tidak memperdulikan aspek kultural dari karya, tidak perduli
dengan apa yang disebut akal sehat, menolak makna yang jelas serta mengisolasi
struktur-struktur yang mendalam dari cerita sehingga isi tertentu dari cerita dapat
diganti karena isi narasi adalah strukturnya.
Strukturalisme fungsional sebaliknya secara umum merupakan usaha
menerapkan teori linguistik pada objek dan aktivitas selain bahasa itu sendiri seperti
mitos, kekerabatan sebuah suku dan lain-lain dan menganggapnya sebagai sistem
tanda. Sehingga strukturalisme fungsional memberikan perhatian yang besar pada
aspek kultural dari suatu karya, mempertimbangkan akal sehat dan makna yang jelas
serta struktur yang mendalam dari cerita.
Strukturalisme fungsional ini juga lahir karena adanya kesadaran bahwa tidak
ada yang mempunyai fungsi estetik tanpa terlepas dari tempat, waktu atau orang yang
menilai dan tidak ada yang mempunyai fungsi tersebut dalam kondisi yang tepat.
Strukturalime berurusan dengan strukturnya, meneliti peraturan umum yang
mendasari cara kerjanya. Teori ini mereduksi fenomena individual menjadi sekedar
contoh dari peraturan, mengeluarkan isi cerita dan berkonsentrasi pada bentuk,
hubungan antara item dalam cerita seperti paralelisme, pertentangan, pembalikan dan
keselarasan.
Strukturalisme fungsional sebaliknya secara umum merupakan usaha
menerapkan teori linguistik pada objek dan aktivitas selain bahasa itu sendiri seperti,
mitos, kekerabatan sebuah suku dan lain-lain dengan menganggap mereka sebagai
sistem tanda.
Menurut Eagleton (2006: 192 ) analisis strukturalisme fungsional mencoba
memisahkan perangkat aturan, yang mengkombinasikan tanda-tanda menjadi sebuah
Universitas Sumatera Utara
makna yang mendasari sistem. Analisis ini tidak terlalu menghiraukan apa
sebenarnya yang dikatakan oleh tanda namun memberi perhatian yang besar pada
hubungan bahagian internal satu sama lain. Strukturalisme fungsional merupakan
suatu usaha untuk memikirkan ulang segala hal secara keseluruhan dengan kaidah
linguistik sehingga sastra akan dianggap sebagai struktur fungsional dengan
menciptakan sistematisasi linguistik dimana penanda dan petanda diatur oleh suatu
perangkat hubungan yang kompleks. Tanda-tanda ini harus dipelajari tersendiri
bukan sebagai cerminan realitas eksternal
Fersinand De Saussure, Roman Jacobson, Claude Levi-Strauss dianggap
sebagai penggagas strukturalisme fungsional karena mencoba memahami rangkayan
tanda dan fenomena kebudayaan dengan menerapkan strukturalisme bahasa atau
linguistik mengenai relasi dan tanda.
Levi Strauss sangat dipengaruhi oleh Ferdinand de Saussure. Menurut Eagleton
(2006:192) dan Scholes dalam bukunya yang berjuduk Structuralism in Literature
(1974:13-22) ada lima pandangan Saussure yang merupakan dasar strukturalisme yaitu
(1) petanda atau signified, dan penanda atau signifier. Setiap tanda harus dilihat dari
sebuah penanda, citra-bunyi atau persamaannya dan sebuah petanda yaitu konsep atau
makna dibelakang tanda atau yang dikandung tanda; ( 2) bentuk atau form dan isi atau
content, bentuk besifat tetap sedangkan isi berubah-ubah; (3) bahasa atau langue dan
tuturan atau parole. Bahasa atau parole bersifat stabil sedangkan tuturan selalu
berubah dan berbeda, tergantung kepada orangnya; (4) hubungan sinkronis atau
sincronic dan diakronis atau diacronic. Bahasa yang dipelajari secara sinkronis yakni
bahasa yang diperlakukan atau didekati sebagai suatu sistem yang statis, lengkap pada
suatu waktu tertentu dan bahasa yang dipelajari secara diakronis adalah bahasa yang
Universitas Sumatera Utara
didekati dalam perkembangan sejarahnya yang mengalami perkembangan atau
perubahan; (5) sintakmatis atau syntacmatic dan paradikmatis atau paradigmatic.
Hubungan sintakmatis sebuah kata atau tanda adalah hubungan yang dimilikinya
dengan kata yang berada di depannya atau di belakangnya, sedangkan hubungan
paradikmatis sebuah kata adalah hubungan-hubungan yang sangat penting yang
dimilikinya di luar hubungan sintakmatik
Menurut Saussure dalam bukunya General Linguistic (1966-116- 118) tidak
ada ide sebelum kata, hal ini berarti pikiran terlepas dari perwujudan dalam kata.
Alasannya adalah kalau kata bukan nama, apa ciri yang penting dari kata sehingga
kata mempunyai makna. Saussure memberikan dua macam pembedaan yakni penanda
atau signified dan petanda atau signifier dan pembeda yang kedua adalah bentuk
atau form dan isi atau content. Dua pembeda tersebut saling menyilang sehingga
kata mempunyai empat aspek yaitu bentuk dan isi dari penanda dan bentuk dan isi
dari petanda.
Saussure mangatakan bahwa setiap tanda kebahasaan menyatukan konsep
dan suara (sound and image). Bahasa menyatukan benda, sesuatu dengan sebuah
nama. Suara yang muncul dari yang diucapkan mengandung penanda yaitu signifier,
konsep atau signified. Pemisahan, distinct concept and distinct sound akan
menghancurkan kata. Bila petanda harus dirobah penanda juga harus dirobah.
Menurut Saussure bahasa seperti kertas dengan dua sisi yaitu pikiran dan suara.
Saussure memandang bahasa sebagai satu sistem tanda yang harus dipelajari
secara sinkronis yang artinya bahasa dipelajari sebagai suatu sistem yang lengkap pada
waktu tertentu, bukan pada perkembangan sejarahnya yaitu diakronis. Tiap tanda
terdiri dari sebuah penanda yang berupa bunyi atau gambar dan sebuah petanda
Universitas Sumatera Utara
yaitu konsep atau makna. Dalam linguistik yang ada hanya perbedaan, sedangkan
makna tidak terkandung secara misterius tetapi bersifat fungsional, yang merupakan
konsikuensi dari perbedaannya dengan tanda-tanda yang lain.
Elemen dasar dari struktur linguistik adalah tanda.” A linguistic system is not a
simply a name for a thing, but a complex whole which links a sound image and
concept”.( Sebuah sistem linguistik buka hanya sebuah nama untuk satu benda, tetapi
suatu kesatuan yang kompleks yang menghubungkan gambaran suara dan konsep)
Tanda kebahasaan atau linguistic sign menurut Saussure merupakan entitas
yang arbitrair. Hubungan antara elemen penanda dan petanda adalah semena-mena,
artinya tidak ada hubungan yang alami dari penanda dan petanda, sehingga tidak ada
konsep dalam memberi nama sesuatu.
Setiap bahasa mengartikulasikan, menyatakan ide tentang realitas dengan
cara yang berbeda. Bahasa tidak besifat nomenklatur ( sistem menamai) Tanda
bukanlah konsep yang sudah ada, melainkan konsep yang dapat berubah. Yang
menentukan bahwa penanda adalah penanda dan petanda adalah petanda adalah relasi
atau hubungan karena keduanya bersifat arbiter, keduanya bersifat relasional.
Menurut Seassure, linguistik mempunyai aspek langue dan parole. Aspek
langue merupakan aspek sosial bahasa. Langue memungkinkan komunikasi
simbolik antara manusia karena langue dimiliki bersama. Karena itu langue
mempunyai kompetensi yaitu fenomena kolektif.
Parole yang merupakan wujud aktualisasi dari langue dalam rupa lisan atau
tulisan adalah tuturan yang kita wujudkan ketika kita menggunakan bahasa.
Tuturan bersifat individual yang menunjukkan kebebasan pribadi yang kemudian dapat
Universitas Sumatera Utara
berfungsi membedakan orang per orang. Tuturan adalah sisi empirik dan konkrit dari
bahasa dan merupakan struktur yang tidak kelihatan.
Menurut Saussure (1966:80) seperti diterangkan di muka, tanda selalu
berubah atau arbiter. Karena itu tanda bahasa tunduk pada proses sejarah atau
contingent result’ dari perobahan-perobahan. Kombinasi penanda dan petanda
merupakan ‘contingent result’ dari proses pengalaman analisis historis bahasa. Tidak
ada inti yang harus bertahan yang entitasnya bersifat rasional dalam relasinya dengan
tanda yang lain. Bahasa menurut Seassure adalah “....a system of a pure value which
are determined by nothing except by the momentary arrangement of its term ” .
Artinya bahasa merupakan entitas historis. Fokus kajian bahasa adalah pada relasi
yang ada dalam keadan sinkronis-diakronis dan sejarah tidak relevant untuk analisis
bahasa. Inilah yang dikenal dengan dengan relasi sintakmatis dan paradikmatis.
Pada difrensiasi sinkronis-diakronis yang disinggung di depan, dalam
hubungan yang diberikan bahasa, tiap kata di dalam mempunyai hubungan assosiatif
atau paradigmatis dan hubungan sintagmatis dalam rangkaian bunyi maupun kata
sebagai konsep.
Hubungan sintagmatis sebuah kata adalah hubungan yang dimiliki, dengan
kata yang lain yang mungkin berada di depan atau di belakang. Sedangkan hubungan
paradigmatis adalah hubungan assosiatif, hubungan pengertian antara satu kata dan
tuturan dengan kata lain di luarnya. Kata yang ada dalam satu rantai, kalau berbeda
makna memiliki persentuhan makna atau kesamaan arti atau kesamaan fungsi tertentu,
maka kata-kata dalam rantai tersebut dapat saling menggantikan.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan sintagmatis sangat penting bagi kata. Kata akan kehilangan relasi
sintakmatisnya atau akan mempunyai sintagmatis yang baru dan akan kehilangan
identitas formalnya, ditentukan oleh hubungan sintagmatisnya.
“In the syntagmatic a term accurances its value only because it stand in
opposition to everything that precides or follow it or both. Sedangkan hubungan
paradigmatis adalah hubungan yang penting yang dimiliki di luar hubungan
sintagmatis, yang memisahkan berbagai perbedaan yang penting fungsinya bagi
pendefenisian kata tersebut.
Relasi meupakan aspek yang sangat penting karena kalau satu kata kehilangan
sebahagian relasi tersebut atau mendapat relasi non sintagmatis yang benar, kata
tersebut akan kehilangan identitas formalnya yang lama. Sedangkan hubungan
pradigmatis kata sama dengan hubungan yang dimiliki dengan kata lain yang dapat
menggantikannya dalam satu hubungan tanpa membuat kata tersebut secara sintagmatis
tidak dapat diterima atau tidak bermakna.
“Language is a system of interdependent terms in which the value of each terms resulted solely from the symultaneus precense of others.. ... and the system is a ...complex mechanism that can be grasped only through reflection, the very one who use it clearly are ignorant of it. (1966 :83) (Bahasa adalah suatu sistem dari kata dimana satu sama lain saling tergantung satu sama lain....dan sistim tersebut merupakan mekanisme yang kompleks yang hanya dapat dimengerti lewat pantulan, dimana setiap orang yang menggunakannya jelas tidak memperhatikannya).
Sebuah cerita atau mitos seperti bahasa memiliki poros sintakmatis dan poros
paradigmatis yang dapat di susun dengan menemukan bahagian paling kecil dari narrasi
yaitu miteme dan ceriteme yakni kumpulan peristiwa atau bahagian yang bersama-
sama membentuk serta menampilkan berbagai tokoh dalam gerak. Sehingga hubunga
Universitas Sumatera Utara
paradigmatis dalam cerita yakni hubungan suatu miteme dengan miteme diluarnya,
sedangkan hubungan sintagmatik adalah hubungan miteme dengan miteme yang di
depannya atau di belakangnya.
Sebagai rangkaian tanda dan simbol, fenomena kebudayaan dapat ditanggapi
dengan cara seperti yang diberikan Saussure diatas. Makna yang ditampilkan dari
berbagai fenomena budaya dapat menjadi lebih kaya dan utuh.
Mitos sebagai bahagian kebudayaan dan alat komunikasi dapat ditanggapi juga
dengan cara pendekatan terhadap bahasa seperti digambarkan diatas yakni dengan
menentukan poros sintagmatis dan paradikmatis.
Teori strukturalisme Levi-Strauss berdiri di atas teori semiotik atau semiologi
Saussure . Analisis Strauss menjadi awal dari strukturalisme modern dan mitos yang
menjadi awal analisis terhadap narasi menjadi analisis yang dirintis oleh Levi-Strauss.
Strukturalisme Levi Strauss menganggap teks narratif misalnya mitos sejajar
atau mirip dengan kalimat berdasarkan dua hal yakni pertama teks tersebut adalah
kesatuan yang bermakna (meaningful whole) yang dapat dianggap mewujudkan atau
mengekspresikan keadaan pemikiran seorang pengarang seperti halnya sebuah kalimat
yamg menunjukkan atau megejawantahkan pemikiran pembicara. Kedua, teks tersebut
memberikan bukti bahwa mitos diartikulasikan dari bahagian-bahagian, sebagaimana
kalimat diartikulasikan oleh kata-kata yang membentuk kalimat.
Levi-Strauss memberi perhatian terhadap mitos yang terkandung dalam setiap
dongeng baik secara utuh maupun fragmentaris dan memandang mitos berbeda
disebakan variasi sejumlah tema dasar. Menurut Levi Strauss, dibalik keragaman mitos
terdapat struktur universal yang konstan sehingga mitos manapun dapat direduksi
Universitas Sumatera Utara
menjadi struktur. Karena itu, menurut Strauss mitos merupakan jenis bahasa yang
dapat dipecahkan menjadi unit individual atau mythemes.
Strauss dapat menunjukkan bahwa masyarakat primitif mempunyai pola
berpikir yang bersifat kompleks. Fenomena antropologis yang lain seperti halnya
kinship atau kekerabatan dapat dipelajari maknanya bila diletakkan di dalam relasi
struktural. Sehingga sumbang atau perkawinan terlarang yang hampir selalu ditemukan
dalam setiap suku bangsa tidak dapat begitu saja dikatakan berasal dari kodrat biologis,
melainkan adalah representasi sebuah sistem penandaan atau kebudayaan.
Penelitian Strauss yang dilakukannya dengan serius dan tajam mengenai
masyarakat primitif membuka dimensi baru dalam pemahaman budaya secara umum.
Salah satu dari kesimpulan yang dia berikan adalah bahwa mitos hampir selalu
mengulang tema yang sama yang berhubungan dengan pencarian asal usul dan
eksistensi manusia. Strukturalisme Strauss memungkinkan mengenali kondisi-kondisi
yang memungkinkan produksi dan transformasi mitos dengan memberikan perhatian
terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng baik secara utuh ataupun
fragmentaris.
Mengenai langkah–langkah struktural, Levi-Strauss dalam bukunya The
Structural Study Of Myth (1974:76) mengatakan:
“.... the only method we can suggest at this stage is to proceed tentatively, by trial and error, using as a check the principles which serve as a basis for any kind of structural analysis; unity of solution, and ability to construct the whole from a fragment, as well as a further stages from the previous one”
(Dalam tahap ini metode yang dapat kami berikan untuk sementara adalah melanjutkan dengan uji coba, untuk menguji prinsip yang dapat dianggap sebagai dasar setiap analisis struktural yakni ketepatan urayan,
Universitas Sumatera Utara
keutuhan solusi atau pemecahan dan kemampuan menyusun kembali kesatuan berdasarkan fragment atau pecahan, demikian juga halnya tahapan yang lebih jauh dari sebelumnya).
Langkah kerja Levi-Strauss( dalam Rafiek,2010:76 dan Ahimsa Putra 2012
:208) dimulai dengan membaca keseluruhan cerita serta kemudian membaginya
dalam beberapa episode. Langkah selanjutnya adalah mencari diskripsi setiap episode
tentang tindakan atau peristiwa yaitu mytheme dan cerytheme yang dialami tokoh-
tokoh. Selanjutnya adalah memperhatikan adanya relasi, yakni hubungan–hubungan
tertentu antara elemen dalam satu cerita. Cerytheme disusun secara diakronis dan
sinkronis mengkuti sumbu sintagmatik dan paradigmatik dengan elemen yang lain.
Langkah selanjutnya adalah menarik hubungan atau relasi antar elemen dalam satu
cerita secara keseluruhan dan langkah terakhir adalah menarik kesimpulan.
Membongkar mitos dengan memilahnya menjadi poros sintagmatis yaitu
urutan cerita secara horizontal dan poros paradigmatis secara vertikal dimaksudkan
untuk mengungkap arti sebuah mitos dengan mengenali kondisi yang memungkinkan
produksi dan transformasi mitos.
Dalam tulisannya yang berjudul The Structural Study of Myth, Levi-Strauss
(1974:86)menyatakan:
“ (1) If there is a meaning to be found in mythology, this cannot be made in the Isolated elment which enter into the composition of myth, but only in the way those elements are combined. (2) Although belong to the same catagory as language, being, as a matter of fact, only part of it. language in myth unveils spcific properties. (3) Those properties are only to be found above the ordinary linguistics level; that is the exhibit more complex feature beside those are to be found in any kind of linguistic expressio”.
(1).Seandainya ada makna untuk ditemukan dalam mitologi, hai ini tidak didapati dalam elemen-elemen yang terpisah yang dimasukkan
Universitas Sumatera Utara
komposisi mitos, tetapi hanya dengan cara dimana elemen-elemen dikombinasikan. (2). Biarpun dapat dikatagorikan sebagai bahasa, dalam kenyataannya hanya sebahagian dari bahasa mitos yang membukakan properti yang spesifik. (3). Properti-properti tersebut hanya dapat ditemukan dengan cara-cara di atas tingkat linguistik, yakni properti- properti tersebut menunjukkan gambaran yang lebih kompleks dari gambaran yang ditemukan dalam ekspressi linguistik.
Dalam bukunya yang berjudul Strukturalisme Levi-Straus, Ahimsa Putra
(2011:92) menyatakan bahwa strukturalisme Levi-Strauss cocok dan dapat diterapkan
dalam menganalisis mitos. Analisis struktural mengambarkan struktur-stuktur tertentu
yang jelas tidak mungkin dilihat kalau tidak menganalisisnya secara struktural. Struktur
membantu memahami suatu karya sastra karena dengan pembahasan struktur, analisis
lebih konstektual karena menghasilkan makna-makna baru di balik karya yang
dianalisis.
2.3.2 Teori Hermeneutika
Mitos dapat diuraikan bila didekati secara holistik yakni secara menyeluruh.
Teori yang mengamati secara holistik adalah teori Hermeneutika (Junus, 1981:10).
Sedangkan pengertian hermeneutika itu sendiri adalah menafsirkan.
Dalam bukunya Metodologi Penelitian Sastra Endarswara (2006:43)
memberikan pengertian hermeneutika sebagai tafsir, dan studi sastra mengenal
hermeneutika sebagai tafsir sastra. Selanjutnya Ricoeur dalam Endaswara (2006:43)
mengatakan bahwa hermeneutika berusaha memahami makna sastra yang ada dibalik
struktur.
Kata Hermeunetika asalnya dibatasi hanya pada penafsiran Kitab Suci pada
abad ke XIX yang memperluas pengakuan dengan mencakup penafsiran tekstual secara
Universitas Sumatera Utara
keseluruhan. Filsafat Heidegger menjadi penafsiran tekstual secara keseluruhan yang
kemudian diteruskan oleh Hans G.Godamer.
Dalam bukunya yang berjudul Truth and Method (Eagleton,2006:93) Gadamer
mengatakan masalah yang ditemukan ketika membicarakan teori sastra adalah tidak
pernah ditemukan kesimpulan seberapa jauh karya sastra relevan dengan makna atau
dapatkah karya sastra dimaknai oleh pembaca yang secara budaya dan historis asing
dengan karya sastra itu, kemudian apakah dimungkinkan memaknai objek dan apakah
pemahaman objek berhubungan dengan situasi historis. Pertanyaan-pertanyaan di
ataslah yang mendasari teori hermeneutika.
Gadamer dalam Eagleton (2006-96) mengatakan bahwa makna karya sastra
tidak pernah terkuras oleh maksud pengarang dan makna-makna baru muncul ketika
karya berpindah antara konteks budaya dan histories. Hal ini diterima oleh Hirsh,
namun dia menyebutnya sebagai signifikansi. Menurut Gadamer semua penafsiran
terhadap sebuah karya yang ditulis dimasa lalu terdiri dari dialog antara masa lalu dan
masa sekarang. Apa yang dikatakan karya itu pada gilirannya tergantung dari jenis
pertanyaan yang dapat diajukan kepada karya sastra tersebut dari sudut pandang
pembaca. Kemampuan memahami sejarah yang disampaikan sebuah karya, tergantung
kepada kemampuan kita merekonstruksi pertanyaan di mana karya itu menjadi
jawaban.
Menurut Gadamer dalam Eagleton (2006:98), karya adalah dialog dengan
sejarahnya sendiri. Sejarah percakapan yang merupakan diri kita, dan Hermeneutika
menganggap sejarah sebagai dialog hidup antara masa lalu, masa kini dan masa depan.
Tetapi hermenutika tidak menerima masalah ideologi karena sejarah manusia yang
tanpa akhir, seringkali hanya merupakan monolog dari golongan yang berkuasa ke
Universitas Sumatera Utara
golongan lemah. Metode hermeneutika mencoba menyesuaikan setiap elemen dalam
teks menjadi suatu keseluruhan yang lengkap dalam sebuah proses yang bisa dikenal
sebagai lingkaran hermeneutika yaitu ciri-ciri individual yang dapat dimengerti
berdasarkan keseluruhan konteks dan keseluruhan konteks dapat dimengerti melalui
ciri-ciri individual.
Perkembangan hermeneutika menurut Eagleton (2006:100-101)dikenal sebagai
estetika resepsi atau teori resepsi. Teori ini tidak berkonsentrasi secara eksklusif pada
masa lalu. Teori resepsi meneliti pesan pembaca dalam kesusasteraan baru dan
merupakan suatu hal yang baru dan menarik. Dilanjutkan dengan tindakan atau
kegiatan. Tindakan harus dijabarkan dalam tingkat pemahaman. Penjelasan diarahkan
pada tujuan akhir, maksud dan ruang lingkup tindakan. Selanjutnya adalah proses
pengalaman yaitu kecenderungan yang dicetuskan atau sebagai ungkapan non verbal,
dengan memperhitungkan bahwa hal-hal tersebut merupakan salah satu bentuk atau
jenis pengalaman.
Lebih lanjut Gadamer dalam Eagleton (2006:1005) mengatakan bahwa masalah
ini hanya akan dapat dimengerti dengan melihat atau lewat masa lalu yang kemudian
keduanya membentuk suatu ketersinambungan yang hidup. Karena masa lalu selalu
dimengerti secara parsial oleh sudut pandang dari masa sekarang, maka perstiwa
pemahaman hanya dapat dilakukan bila wilayah makna historis dan asumsi bersatu
dengan kondisi dan situasi tempat karya itu berada. Mungkin kita akan bersentuhan
dengan peninggalan yang asing bagi masa sekarang, tetapi akan memberi pemahaman
yang utuh akan masa sekarang.
Teori ini akan diterapkan dalam pembahasan setiap episode mitos dengan
menghubungkan makna historis yang bersatu dengan asumsi dengan kondisi dan
Universitas Sumatera Utara
situasi tempat karya itu berada, dalam hal ini situasi dan kondisi masyarakat Batak
Toba diwaktu dan ditempat dimana karya itu berada.
Menurut Hammon ( 2000: 192):“Episode is an incident presented as one
continuous action. Though having an unity within itself, the episode in any composition
is usually accompanied by other episode woven together to create a total work“.
Episode adalah suatu kejadian yang dipresentasikan sebagai suatu kegiatan yang
berkelanjutan. Biarpun memiliki kesatuan di dalam dirinya, episode dalam sitiap
komposisis biasanya disertai oleh episode yang dirangkaiaka bersama sama
untukmenciptakan karia yang total).
Lebih lanjut Hammon mengatakan: ”More narrowly, the term is sometimes
used for an incident injected into a piece of fiction simply to illuminate character or to
create background whithout advancing the action” ( lebih sempit lagi istilah episode
digunakan sebuah kejadiaan yang dimasukkan ke dalam suatu karya hanya untuk
menonjolkanpelaku atau menciptakan latar belakang tanpa mengembangkan kegiatan)
Hal ini dilakukan dengan memahami sudut pandang para pelaku dalam mitos,
memahami makna dan kegiatan para pelaku yang berhubungan dengan peristiwa secara
historis serta memahami peristiwa berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat
sekarang dimana analisis akan dihubungkan dengan realitas sosial.
2.3.3 Interpretasi Semiotik C.S. Pierce
C.S. Pierce filsuf Amerika dalam Hawkes (1977:127) membedakan adanya tiga
jenis tanda dasar yakni resentment or sign (tanda itu sendiri), object (hal yang
ditandai), dan ground (sebuah tanda baru yang terjadi di dalam benak penerima tanda.
Lebih lanjut Pierce mengatakan kaitan representasi (yang menghadirkan berada
Universitas Sumatera Utara
diantara tanda dan yang ditandai (interpretasi yang ada dibenak penerima berada
diantara kedua tanda tersebut).
Interpretant
Representament Object
Figura 1: Interpretasi Semiotik Pierce
Representment : bentuk yang mengatakan makna
Interpretant : makna
Object : Sesuatu yang berada diluar tanda yang merupakan
acuan
Berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang ditandakan didapatlah tiga
jenis tanda ( Hawkwes 1977:127) yakni:
“Icon something which function as a sign by means of features of itself which resemble its object; the index, something which function as a sign by virtue of some sort of factual or casual connection with its object; and the symbol something which function as a sign because of some rule of conventional or habitual association between its self and its object. Icon merupakan tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk, index merupakan tanda yang memiliki hubungan kausal dengan yang ditandakan, berkesinambungan dan simbol adalah tanda yang memiliki hubungan makna yang bersifat arbitrer berdasarkan kesepakatan yakni sesuai dengan lingkungan sosial tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Simbol sering berbeda di anatara wilayah pemilik folklor. Dua jenis tanda
yang pertama yakni ikon dan indeks merupakan tanda yang dapat menggugah emosi
dan pengalaman langsung dari hal-hal yang ditandai, sedangkan symbol merupakan
spritual pengalaman dari hal-hal yang ditandai.
Dengan pendekatan ini penelitian dapat diarahkan pada hubungan teks dan
pembaca. Teks sastra menjadi alat komunikasi antara pengarang dan pembaca. Dengan
urayan diatas dapatlah penelitian diarahkan pada hubungan teks dan pembaca dalam hal
ini penelitian diarahkan kepada pembacaan hermeneutika yang merupakan penafsiran
atas totalitas karya sastra.
Tanda mitos sebagai satu jenis cerita rakyat menurut Endarswara (2009:124)
memuat hubungan representasi objek. Interpretasi terdiri dari tiga hal yaitu ikon yang
merupakan hubungan persamaan antara tanda dan referen didalamnya ada keterkaitan
yang berupa persamaan bentuk. Kedua indeks adalah tanda yang meliputi hubungan
kausal yang berkesinambungan dan yang ketiga adalah simbol yakni tanda yang
bersifat arbriter, yakni berdasarkan kesepakatan. Simbol sering berbeda diantara
wilayah pemegang mitos. Ikon dan Indeks merupakan tanda yang dapat menggugah
emosi dan pengalaman langsung dari hal-hal yang ditandai. Peneliti dengan sendirinya
akan bangkit emosinya ketika mengamati fenomena sedangkan simbol merupakan
pengalaman pikiran, pengetahuan dan memerlukan tafsiran.
Mempelajari tanda mitos sebagai satu jenis cerita rakyat harus
memahamibentuk yang tercitra dalam kognisi seseorang serta makna atau isi, yakni
yang dipahami oleh manusia pemakai tanda. De Seassure menggunakan istilah
significant signifier untuk segi bentuk suatu tanda dan signified untuk segi makna.
Dengan demikian De seassure dan para pengikutnya seperti Rolan Barthes melihat
Universitas Sumatera Utara
tanda sebagai sesuatu yang menstruktur dimana proses pemaknaan adalah berupa
kaitan antara penanda dan petanda, dan kaitan ini merupakan kaitan yang terstruktur
yang terdapat dalam kognisi manusia.
Penelitian akan terkait dengan interpretasi yakni hermeneutika yaitu
pemaknaan terhadap fenomena. Cerita rakyat memiliki fenomena mitos yang
memiliki makna tertentu yang akan terwujud jika telah ditafsirkan Fenomena dibalik
mitos memberikan makna yang tepat. Hermeneutika artinya menafsirkan.
Endarswara dalam bukunya Metodologi Penelitian Sastra (2008:43-44)
mengatakan teks dalam penafsiran sendiri sudah jelas .Menurut pandangan ini , maka
syarat-syarat dan susunan teks membuka kesempatan bagi seorang pembaca yang
kompeten untuk menemukan arti yang tepat. Dalam hal ini diperlukan aspek
penghayatan teks dalam penafsiran sehingga penafsiran tidak terasa dangkal. Untuk itu
langkah – lamgkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah: (1) menentukan arti
langsung yang primer, (2) bila perlu menjelaskan arti-arti yang implisit, (3)
menentukan tema, (4) memperjelas arti simbolik dalam teks. Hal inilah yang dilakukan
dalam bahagian tafsir teks selanjutnya.
2.3.4 Teori Sosiologi Sastra
Teori sosiologi sastra sudah dikemukakan sejak sebelum Masehi, diantaranya
oleh filsuf Yunani, Plato, yang mengatakan bahwa segala yang ada di dunia ini
sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang ada di dunia gagasan.
Dalam teori tersebut secara tidak langsung Plato mengatakan bahwa faktor lingkungan,
cuaca, geografi, iklim dan watak manusia mempangaruhi perkembangan sastra.
Setelah Plato kemudian muncul seorang kritikus Jerman, Johan Gottfried van Herder
Universitas Sumatera Utara
yang mengatakan bahwa setiap karya sastra berakar pada suatu lingkungan sosial dan
geografis tertentu seperti iklim, lanskap, ras, adat istiadat dan kondisi lingkungan.
Pada perkembangannya pendekatan sosial terhadap sastra terbagi dua, pertama
yaitu aliran positifisme yang berusaha untuk menghubungkan sastra dan sosial melalui
faktor iklim, geografi dan ras. Pandangan positivisme ini jelas hanya menjadikan sastra
sebagai bahan telaah saja. Aliran yang kedua adalah aliran yang menolak pandangan
tersebut. Dalam pandangan ini sastra dinilai bukan sekedar pencerminan
masyarakatnya. Sastra merupakan usaha manusia untuk menemukan makna dunia yang
semakin kosong dari nilai-nilai sosial.
Secara sosiologis, sastra adalah cara dan sikap untuk menghadapi keadaan yang
dialami manusia demi kesejahteraan manusia itu sendiri sesuai dengan norma yang
berlaku.
Ada dua istilah yang perlu dijelaskan untuk memberikan pengertian yang jelas
mengenai istilah sosiologi dan sastra. Sorikin ( dalam Sukanto, 1983:15) mengatakan
bahwa sosiologi adalah telaah atau studi yang mempelajari hubungan dan pengaruh
timbal balik antara berbagai gejala sosial dan gejala non sosial serta mempelajari ciri-
ciri umum semua jenis gejala sosial. Hal ini akan menarik perhatian kita kepada
hubungan manusia di dalam suatu kelompok sosial serta lingkungannya, baik yang
bersifat budaya atau bukan budaya. Dengan mempelajari gejala budaya tersebut kita
mendapat pengertian tentang bagaimana manusia berdaptasi dengan lingkungannya,
mekanisme sosial dan proses pembudayaannya. Hyppolyte Taine (dalam
Damono1984:4) meletakkan dasar-dasar teori sosiologi sastra dengan menyatakan
bahwa karya sastra adalah refleksi kondisi masyarakat. Oleh sebab itu, telaah sosiologi
Universitas Sumatera Utara
suatu karya sastra akan mencakup tiga hal yaitu konteks sosiologi pengarang, kondisi
masyarakat yang digambarkan dan nilai sosial yang tergambar.
Grebstein (dalam Damono,1984:5) menyatakan bahwa karya sastra tidak dapat
dipahami secara utuh apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau peradaban
yang menghasilkannya karena karya sastra merupakan hasil pengaruh timbal balik dari
faktor-faktor sosial dan kultural. Setiap karya sastra yang dapat bertahan lama, pada
hakikatnya adalah suatu moral, dalam hubungannya dengan kebudayaan yang
menghasilkannya maupun dengan perseorangan. Moral dalam hal ini berarti bahwa ia
terlibat dengan kehidupan dan memberikan penilaian terhadap kehidupan itu sendiri.
Karena itu sastra adalah eksperimen moral.
Lebih jauh Grebstein mengatakan bahwa sastra dapat didekati dari dua arah
yakni sastra sebagai kekuatan material dan yang kedua sastra sebagai kecenderungan
spritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Oleh karena itu, bentuk dan isi sastra
mencerminkan perkembangan sosiologis dan perubahan watak kultural.
Sosiologi sastra dikaitkan dengan peta budaya yang mengelilingi cerita rakyat
atau mitos. Menurut Endarswara (2006:80 ) ada beberapa llangkah yang harus
dilakukan dalam aplikasi sosiologi sastra yakni:
(1) perspektif teks sastra yakni teks sastra diteliti sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya, dimana teks dipotong-potong dan makna sosiologisnys diterangkan, (2)persfektif biografis yaitu persfektif yang menganalisis kehidupann pengarang ,dan latar belakang sosiologisnya dan (3) yaitu persfektif reseptif yaitu tentang bagaimana penerimaan masyarakat terhadap teks. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan temuan analisis dengan
perkembangan sosiologis dan perubahan watak kultural masyarakat Batak Toba yang
ditemukan dalam fakta di lapangan.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Teori Fungsionalisme.
Berdasarkan sejarah ada dua aliran fungsionalisme yakni yang diajukan
Radcliffe- Brown dan yang diajukan Bronislaw Malinowski. Keduanya memandang
masyarakat manusia sebagi sesuatu yang secara keseluruhan saling beintegrasi dan
berfungsi. Pandangan ini didasarkan pada analogi organis biologi.
Malinowski melihat kondisi manusia di dalam mana terdapat suatu susunan
kebutuhan mendasar biologis yang harus dipenuh,i seperti lapar dan haus, yang disebut
primary drive. Dorongan- dorongan ini dikonversikan didalam konteks budaya
kedalam secondary drive. Dan secondary drive ini lah yang menentukan bagaimana
kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut dipenuhi misalnya kalau lapar makanan apa yang
harus dimakan dan makanan mana yang harus dihindari (Alland 1981:270).
Malinowski dalam Alland(1981:271) melihat institusi budaya sebagai suatu
mekanisme untuk memuaskan keinginan-keinginan tersebut. Dia melihat budaya
sebagai suatu susunan yang dapat membuat proses adaptasi manusia itu dimungkinkan.
Brown juga mempunyai pandangan yang sama dan dia menekankan bahwa fungsi
institusi atau lembaga hanya dapat dipahami secara menyeluruh pada titik waktu
tertentu. Fungsi dari unsur-unsur kebudayan adalah untuk memilih keutuhan dan
sistematika struktur sosial.
Menurut Malinowski (1974:187) fungsionalisme berarti, bagaimana melihat
masyarakat lebih dari sekedar a part dan mengundang perhatian terhadap bagaimana
budaya masyarakat , sebagai an indipendent organic whole. Fungsinalisme
mengundang perhatian untuk mempelajari cara –cara kebudayaan atau masyarakat
koherens, hangs together, work-how its functions.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Malinowski (dalam Turner 2010:86)) kebutuhan struktural sosial atau
kebutuhan instrumetal muncul setelah manusia mampu mengorganiser diri mereka
dalam memenuhi kebutuhan biologisnya. Bagi Malinowski konsep lembaga sangat
penting karena merupakan organisasi aktivitas manusia yang mengungkapkan struktur
yang jelas. Lembaga reproduksi yaitu ikatan darah yang ditetapkan oleh suatu kontrak
legal perkawinan dan diperlukan oleh prinsip keturunanyang ditetapkan khusus pada
garis silsilah merupakan lembaga universal yang menempati urutan pertama dari tujuh
dalam daftar jenis kelembagaan oleh Malinowski. Lembaga ini mencakup keluarga,
ikatan masa pacaran, ikatan dan batasan perkawinan, kelompok keuarga jauh,
kelompok keluarga yang disatukan berdasarkan prinsip keturunan, klan dan sistim klan.
Lembaga yang lain adalah lembaga teritorial, lembaga fisiologis, lembaga perkumpulan
sukarela, lembaga pekerjaan dan profesional, lembaga peringkat dan status serta
lembaga komprehensif berdasarkan komunitas budaya atau politik.
Malinowskidalam Tunner (1977:94) juga memberikan empat kebutuhan
‘instrumental dasar’ yang harus dipenuhi lembaga sosial agar strukturnya tetap jelas
yakni kebutuhan instrumental ekonomi, pendidikan, kontrol sosial dan organisasi
politik. Instrumental ekonomi adalah instrumental yang memproduksi,
menggunakan,mempertahankan dan mengganti peranti budaya dan barang konsumsi.
Instrumental pendidikan adalah sumber daya manusia yang mempertahankan lembaga
yang harus selalu diperbaharui, dibentuk, dilatih dan dilengkapi dengan pengetahuan
penuh tentang tradisi suku. Instrumental kontrol sosial mengatur perilaku
manusia,terkait dengan peraturan teknis, adat-istiadat hukum atau moral yang harus
dikodifikasi agar bisa berjalan dan ditetapkan sangsinya. Sedangkan instrumental yang
terahir adalah organisasi politik yang merupakan otoritas dalam masing-masing
Universitas Sumatera Utara
lembaga yang harus ditetapkan, dilengkapi dengan kekuasaan dan diberi alat yang kuat
untuk melaksanakan peraturan-peraturan.
Proof dalam Hawkes (1977 : 68) dan Endaswara (2006:125) dalam kerangka
analisis stuktural mengatakan:”.... fungtion is understood as an act of character,
defined from point of viwes its significance for the course of the action, dalam konteks
ini fungsi merupakan bentuk ketergantungan secara utuh pada sistem budaya.
Kebudayaan memiliki fungsi bagi pemenuhan kebutuhan naluri manusia. Fungsi
cerita rakyat menurut Bascom dalam Dundes (1965: 28) tidak dapat dilepaskan dari
kebudayan secara luas dan juga dengan konteksnya. Cerita rakyat menjadi milik siapa
hanya dapat diketahui dari atau melalui pengetahuan yang mendalam dari kebudayaan
orang yang memilikinya. Bascom dalam Dundes (1985:285) mengatakan bahwa
pemilik cerita rakyat tidak menganggap penting asal usul atau sumber cerita rakyat
melainkan fungsi dari cerita itu yang lebih menarik. Bascom memberikaan empat
fungsi (1965: 279-298) cerita rakyat yakni:
(1) cermin atau proyeksi angan-angan pemiliknya
(2) alat pengesahan pranata pranata dan lembaga kebudayaan
(3) alat pendidikan
(4) alat penekanan atau pemaksa berlakunya tata nilai masarakat dan
pengendali perilaku masyrakat.
Dalam bukunya (1965: 280) Dundes memberikan fungsi mitos yang bersifat
umum yakni :
1. alat pendidikan
2. alat peningkat perasaan solidaritas kelompok
Universitas Sumatera Utara
3. pengunggul dan pencela orang lain
4. pelipur lara
5. kritik masyarakat.
Bacom dalam Endaswara (2006:129) mengatakan bahwa fungsi cerita rakyat
dapat dimengerti sepenuhnya hanya melalui pengetahuan yang mendalam mengenai
kebudayaan orang yang memilikinya. Apakah mitos masih berfungsi adalah dengan
membandingkan kedua alatar belakang karya tersebut yakni latar belakang masyarakat
primitif dan masa sekarang . Bila mitos masih berfungsi di dalam dua kolektif tersebut
maka dapatlah dikatakan bahwa mitos tersebut masih berfungsi.
2.4 Kerangka Penerapan Teori.
Analisis struktur narratif digunakan untuk menemukan struktur mitos sumbang
dalam keenam cerita rayat Batak Toba. Dalam analisis ini digunakan juga teori
Hermeneutika dari Habermas untuk memberikan pemahaman yang lebih lengkap
untuk memberikan penjelasan yang diarahkan pada tujuan ahir.
Dalam analisis selanjutnya, teori yang paling utama digunakan adalah teori
Strukturalisme Levi-Strauss yang akan digunakan untuk menemukan makna karena
fungsi akan bisa ditemukan setelah menemukan makna. Namun seperti dipahami
bahwa teori ini dipengaruhi strukturalisme fungsional terutama teori yang dikemukakan
oleh Jacobson, De Saussure, serta Pierce. Sehingga memahami teori- teori tersebut
akan menambah pemahaman dalam mengaplikasikan teori Levi-Strauss, khususnya
dalam pemahaman makna serta Hemmeneutika yang dipengaruhi teori interpretasi
semiotik Pierce mengenai tanda.
Universitas Sumatera Utara
Teori Hermeneutika akan sangat membantu untuk menganalisis mitos secara
holistik yaitu memaknai struktur untuk menemukan struktur konsep mitos menjadi
signified. Sosiologi sastra akan membantu untuk melihat hubungan mitos dengn fakta
sosial yakni fakta sosial penulis dan pembaca serta fakta sosial yang terdapat pada
mitos yang akan mengarahkan kepada penemuan fungsi sesuai dengan faham
fungsionalime.
Sesuai dengan uraian di atas, bahwa untuk menemukan dan memahami
berbagai pesan yang terkandung dalam mitos, struktur dan makna berbagai elemen
yang ada dalam mitos lebih dulu harus ditemukan dengan menggunakan teori
srukturalisme dan tafsir hermeneutika. Karena itu disusunlah langkah langkah kegiatan
sebagai berikut.
Untuk menemukan struktur mitos digunakan teori strukturalisme. Setelah
menemukan dan dapat menggambarkan strukturnya dalam hal ini menggunakan
pendekatan struktur narrasi yakni strukur plot seperti sudah diterangkan di depan
dengan membagi strukturnya atas motifem.
Kegiatan selanjutnya adalah menemukan makna dengan menggunakan teori
strukturalisme Levi- Strauss dengan menggunakan susunan miteme yang disusun dalam
poros sintakmatik dan paradikmatik. Untuk mendapat diskripsi menyeluruh digunakan
teori yang berusaha memaknai struktur yakni teori C.S. Fierce dan konsep atau
pemikiran dluar struktur dan makna.
Sosiologi sastra memberi perhatian kepada asal atau sumber mitos yang
membantu menemukan hubungan mitos dengan latar belakang peristiwa atau sejarah
Universitas Sumatera Utara
dan juga untuk mengetahui kepada siapa mitos ditujukan yang akan membantu
menemukan fungsinya sesuai paham fungsionalisme.
Seandainya penulis dikenal, penelitian akan dipusatkan pada penulis, bukan
tafsiran pembaca. Karena cerita rakyat adalah anonim, penelitian akan dipusatkan
kepada komunitas di mana cerita rakyat atau mitos tersebut lahir. Untuk tujuan ini teori
Hermeneutika digunakan.
Keterkaitan mitos dengan masyarakat di mana mitos masih berkembang dan
diyakini akan dapat digambarkan dengan teori sosiologi sastra begitu juga dengan
fungsinya. Sedangkan kearifan lokal dapat membantu menjawab apakah mitos masih
perlu dilestarikan untuk melindungi budaya dan tatanan masyarakat, terutama dalam
hal ini tatanan dalam masyarakat Batak Toba.
Untuk lebih jelas, tahapan-tahapan penerapan tori-teori tersebut diatas
digambarkan dalam grafis di bawah ini :
Universitas Sumatera Utara
Figura 2 : Penerapan Teori
Strukturalisme berurusan dengan struktur. Strukturalisme meneliti konvensi-
konvensi umum yang mendasari cara kerja, dan berkonsentrasi pada bentuk serta
hubungan antara bahagian dalam cerita. Strukturalisme digunakan untuk melihat
struktur yang mendalam dari cerita sehingga isi cerita dapat diganti karena isi narrasi
Strukturalisme:
Narrasi Plot
NASKAH
Strukturalisme
Levi - Strauss
Semiotik Pierce
Struktur
Sumbang
Makna
Sosiologi Sastra
Fungsionalisme
Fungsi
Hermeneutik Gadamer
Universitas Sumatera Utara
adalah strukturnya. Strukturalisme juga digunakan untuk melihat jaringan antara
bahagian-bahagian cerita yang penyatuannya akan memberikan pengerian yang
totalitas. Teori strukturalisme digunakan untuk membagi cerita rakyat dalam episode
untuk bisa memukan makna hermeneutika.
Strukturalisme digunakan untuk melihat miteme dan ceritema untuk dapat
menemukan makna setelah cerita dibagi dalam episode. Cerita dibagi berdasarkan
hubungan sintakmatik dan paradigmatik. Setelah makna diketahui jenis mitos akan
diketahui dengan penerapan teori hermeneutika. Strukturalisme fungsional yakni
strukturalisme Levi-Strauss membantu menemukan fungsi dengan penerapan sosiologi
sastra.
Strukturalisme Levi-Strauss mengkombinasikan tanda–tanda menjadi
sebuah makna yang mendasari sitem dan menghubungkan temuan pada realitas sosial.
Perhatian difokuskan pada miteme dan ceriteme dan menyusunnya mengikuti sumbu
sintagmatis dan paradigmatis dengan elemen yang lain. Hubungan relasi didalam cerita
disimpulkan sebagai bangunan makna.
Teori Hermeneutika digunakan untuk memaknai cerita internal dengan
kesimpulan refrensial atau kontekstual di mana cerita berada dan menarik sebuah
makna umum yang memposisikan makna internal sebagai bahagian dari makna umum.
Teori Sosiologi sastra digunakan untuk melihat sikap dalam hal ini masyarakat
Batak Toba dalam menghadapi keadaan yang dialami. Teori ini digunakan untuk
melihat pengaruh timbal balik antara gejala sosial yang akan mengarahkan penelitian
ke arah hubungan manusia dalam hal ini masyarakat Batak dalam kelompok sosial serta
lingkungan budaya dan non budaya. Teori ini digunakan juga untuk melihat keterkaitan
Universitas Sumatera Utara
mitos dengan masyarakat dan melihat apakah mitos tersebut masih berfungsi. Teori
Fungsionalisme digunakan untuk menemukan fungsi dari mitos perkawinan sumbang.
Penerapan teori Kearifan Lokal digunakan untuk mencoba melihat apakah mitos
tersebut masih perlu untuk dilestarikan. Teori Kearifan Lokal membantu untuk
menemukan kontribusi mitos terhadap kesejahteraan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara