12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian mengenai ritual monsehe pada etnik Culambacu belum pernah
diteliti sehingga “miskin literatur”. Oleh sebab itu, penelitian ritual monsehe
memfokuskan data pustakanya dengan acuan ”pustaka”, yaitu narasumber
terutama penutur utama yang masih hidup (living traditions), ingatan kolektif
yang tersimpan dalam masyarakat terkhusus yang berhubungan dengan tradisi
tersebut (memory traditions).
Studi tentang ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia telah
banyak dilakukan di tempat lain. Tiap-tiap studi mencoba mengkaji dan
membahas aspek-aspek tertentu mulai dari bentuk, fungsi, ideologi, makna dalam
ritual, karakteristik ritual, dan nilai-nilai budaya yang melatar belakanginya. Demi
menjaga keabsahan ilmiah penelitian ini, ditampilkan beberapa hasil penelitian
terdahulu khususnya yang berkaitan dengan ritual dan siklus kehidupan manusia
yang dianggap relevan dengan penelitian ini.
La Ode Aris (2010) meneliti tentang Kaago-Ago (“Ritual Pencegahan
Penyakit dalam Masyarakat Muna)”. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian
tesis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar magister pada Progaram
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam penelitian tersebut
ditemukan bahwa masyarakat Muna sangat intens melakukan ritual kaago-ago.
Salah satu fungsinya adalah mencegah penyakit yang datang pada waktu
13
pergantian musim. Jenis penyakit yang dicegah oleh masyarakat Muna dengan
ritual kaago-ago, yaitu penyakit yang diakibatkan oleh angin (pergantian cuaca),
seperti demam, flu, dan sakit kepala. Selain penyakit yang diakibatkan dengan
angin, kaago-ago juga berfungsi sebagai sarana untuk menghindari penyakit yang
berasal dari ilmu gaib/sihir.
Temuan yang menarik dalam penelitian La Ode Aris adalah dampak yang
dirasakan oleh masyarakat kalau tidak melakukan ritual kaago-ago dalam
aktivitas pertanian. Masyarakat menyakininya akan terjadi suatu bencana yang
bermacam-macam, misalnya, lahan pertanian kering, penyakit tanaman
bermunculan, dan pada akhirnya melahirkan hasil panen yang tidak memadai.
Dari hasil penelitian La Ode Aris tersebut didapatkan pengetahuan tambahan
berupa kepustakaan dalam meneliti ritual pengobatan monsehe ini.
Perbedaan penelitian dia atas, selain berbeda tempat, etnik, dan bahasa
juga dapat dilihat yaitu La Ode Aris fokus pada ritual pencegahan penyakit pada
pergantian musim dalam masyarakat Muna, sedangkan dalam penelitian ini diteliti
ritual monsehe dalam etnik Culambacu yang meliputi seluruh aspek, mulai dari
pengobatan, pencegahan penyakit, bencana, dan permohonan agar diberikan
kemudahan rezeki. Objek yang dituju adalah penguasa alam gaib yang berada di
luar pengetahuan manusia.
Sumitri (2005) meneliti “Ritual Dhasa Jawa pada Masyarakat Petani di
Rongga, Manggarai Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini merupakan tesis pada
Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana. Dalam penelitian itu
ditemukan bahwa ritual Dhasa Jawa merupakan ritual yang bertujuan untuk
14
menyatukan manusia dengan penguasa adikodrati, khususnya penghuni alam gaib.
Temuan Sumitri dalam penelitiannya adalah mengetahui cara beradaptasi,
memperlakukan alam dan roh para leluhur (penghuni alam gaib, roh leluhur),
serta memperlakukan orang lain supaya mereka senang dan bersahabat dengan
masyarakat Rongga yang berprofesi sebagai petani.
Penelitian Sumitri dengan penelitian ini memiliki persamaan, yakni sama-
sama mengkaji ritual dengan pendekatan dan jenis penelitian, yaitu metode
penelitian kualitatif. Di samping itu, teori yang digunakan juga memiliki
kesamaan, di antaranya dalam penggunaan teori semiotika. Perbedaan dengan
yang dilakukan saat ini adalah Sumitri mengkaji “Ritual Dhasa Jawa pada
Masyarakat Petani di Rongga, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang berkaitan
dengan siklus kehidupan manusia sedangkan dalam penelitian ini dikaji “Ritual
Monsehe pada Etnik Culambacu di Kabupaten konawe Utara, Sulawesi
Tenggara”, yang berkaitan dengan ritual pengobatan, permohonan kesehatan, dan
keselamatan dalam etnik Culambacu secara umum. Objek dan lokasi penelitian
juga mengambarkan perbedaan yang jauh.
Selanjutnya penelitian ritual juga pernah dilakukan Maria Gorrety (2010)
tentang “ Degradasi Ritual Gua Leza dalam Masyarakat Suku Rendu di
Kecamatan Aesea Selatan, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur”.
Penelitian ini merupakan penelitian tesis di Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Temuan Maria dalam penelitian tersebut adalah terjadinya perubahan
perilaku masyarakat suku Rendu dalam pelaksanaan ritual gua leza yang
bermukim di Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo Flores. Terlihat
15
jelas bahwa peserta dari kalangan suku Rendu yang hadir dalam upacara atau
ritual tersebut semakin berkurang. Selain itu, kelompok generasi muda juga tidak
lagi paham tentang nilai-nilai budaya yang diwariskan leluhurnya. Adapun
persamaan dan perbedaan penelitian tersebut yaitu, ditinjau dari fokus kajian
penelitian, terdapat persamaan dengan penelitian ini. Artnya, sama-sama mengkaji
ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia.
Pada dasarnya penelitian ini mengkaji ritual juga, tetapi fokus kajiannya
terpusat pada ritual monsehe (pengobatan/penyembuhan dan penyucian diri),
sedangkan objeknya adalah etnik Culambacu yang bermukin di Kecamatan
Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Di pihak lain
daerah penelitian Maria terletak di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.
Itu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh
karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah keilmuan khususnya
yang berhubungan dengan kearifan lokal masyarakat di Indonesia. Hasil
penelitian Maria digunakan sebagai pembanding dan salah satu kepustakaan untuk
mengkaji ritual monsehe pada entik Culambacu.
Moertjipto (1997:26) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa setiap
tahunnya masyarakat Kapuharjo, Sleman, Yogayakarta selalu mengadakan
upacara becekan, yakni suatu ritual yang bertujuan memohon hujan. Hal ini
dilakukan pada saat masyarakat petani Sleman mengalami kekeringan yang
berkepanjangan. Permohonan hujan tersebut dilakukan agar hujan secepatnya
turun. Tujuan permohonan hujan tersebut adalah untuk keperluan persawahan dan
tanaman pertanian lainnya. Selajutnya, Moertjipto mengatakan bahwa
16
pelaksanaan ritual tersebut juga ditujukan kepada penguasa Gunung Merapi. Hal
itu dilakukan masyarakat setempat menyakininya bahwa Gunung Merapi
merupakan tempat istana Ratu Jin yang mampu membantu dan melindungi
mereka dari segala kesusahan.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Moertjipto dan penelitian ini,
yaitu sama-sama meneliti ritual adat. Itu berarti bahwa ritual adat masih tetap
dilaksanakan kendatipun pelaksanaannya pada saat mengalami kekeringan.
Perbedaannya antara penelitian yang dilakukan Moertjipto dan penelitian ini
adalah Moertjipto meneliti ritual becekan, yaitu memohon hujan yang ditunjukan
kepada penguasa Gunung Merapi. Masyarakat memercayai bahwa Gunung
Merapi merupakan tempat istana Raja Jin yang mampu melindungi kehidupan
mereka.
Penelitian ini mengkaji ritual monsehe (penyucian diri). Tujuannya adalah
untuk pengobatan dan menghindarkan manusia dari segala macam penyakit,
musibah, dan bencana yang diakibatkan oleh pelanggaran adat. Ritual monsehe
juga dilaksanakan untuk dipersembahkan kepada penguasa alam materi atau alam
gaib. Etnik Culambacu percaya bahwa melakukan ritual monsehe tersebut untuk
mengobati penyakit, menenangkan jiwa, dijauhkan dari segala musibah, dan
dimudahkan rezekinya.
Beberapa kajian di atas sangat bermanfaat bagi penelitian ini karena
beberapa hasil penelitian tersebut dapat memberikan gambaran dan perbandingan
yang berarti untuk meneliti dan mengkaji secara mendalam ritual monsehe pada
etnik Culambacu di Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Di
17
samping itu, mendeskripsikan bentuk ritual monsehe, ideologi ritual monsehe, dan
makna yang terkandung dalam ritual monsehe pada etnik Culambacu.
2.2 Konsep
Di dalam penelitian ini digunakan beberapa konsep yang membantu
menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan judul penelitian “Ritual
Monsehe pada Etnik Culambacu di Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi
Tenggara”. Adapun konsep yang digunakan dalam penulisan disertasi ini meliputi
konsep ritual, konsep etnik, dan konsep ideologi.
2.2.1 Konsep Ritual
Kata ritual berhubungan dengan ritus, yaitu tata cara dalam upacara
keagamaan (KUBI, 2007:959). Selanjutnya, Hadi (2000:29) menjelaskan bahwa
ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan
beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus yang
menimbulkan rasa hormat yang tulus, dalam arti merupakan suatu pengalaman
yang suci.
Setiap manusia sadar bahwa selain dunia yang fana ini, ada suatu alam
dunia yang tak mampu diraih olehnya dan berada di luar batas akalnya. Dunia ini
adalah dunia supranatural atau dunia alam gaib. Berbagai kebudayaan menganut
kepercayaan bahwa dunia gaib dihuni oleh berbagai makhluk dan kekuatan yang
tak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa. Oleh sebab itu, manusia
pada dasarnya ditakuti oleh manusia lainnya (Koentjaranningrat, 2002:220).
Durkheim (1995:157) mengemukakan dua hal pokok dalam agama yaitu
kepercayaan dan ritus/ upacara-upacara. Keyakinan adalah pikiran, sedangkan
18
ritus adalah tindakan. Simpulannya, agama merupakan lambang collective
representation dalam bentuknya yang ideal. Agama adalah sarana untuk
memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat
dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective
consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana
keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun
collective consciousness tersebut semakin lemah kembali. Jadi, ritual-ritual
keagamaan merupakan sarana yang dianggap berperan dalam menciptakan
kesadaran kolektif di antara masyarakat. Dengan kata lain ritual agama merupakan
charge bagi manusia untuk mendekatkan diri kembali kepada Tuhan
(Siahaan,1986:25).
Durkheim telah menegaskan bahwa dalam pengkajiannya tentang agama
merupakan sesuatu yang tak ada kaitannya dengan konsepsi ketuhanan. Dalam
konsepsi ini, kekuatan yang diacu oleh ritus-ritus agama primitif sangat jauh
berbeda dengan kekuatan yang dipahami dalam religi atau agama modern. Agama
menurutnya amat bergantung pada kondisi-kondisi yang ditentukan secara
empiris, begitu juga masyarakat yang menurutnya sama objektifnya dengan alam
itu sendiri. Sebagaimana pendekatan fungsionalis yang memandang masyarakat
sebagai struktur sosial yang bekerja seperti struktur organik dan masyarakat itu
sendiri dalam bekerja sebagai suatu sistem terdiri atas organ-organ yang berperan
dan melaksanakan fungsi yang diperlukan sehingga tercipta sistem beserta
struktur sosial itu tadi.
19
Pengalaman agama menurutnya berasal dari masyarakat itu sendiri dan
masyarakatlah yang membentuk individu. Durkheim melanjutkan pengertiannya
bahwa masyarakat terdiri atas bangunan individu yang kemudian membuat
pengaruhnya melalui tindakan bersama atau kolektif yang menimbulkan
kesadaran atas dirinya sendiri dan kedudukannya. Tindakan kolektif itulah yang
menguasai kehidupan agama sebagaimana fakta menunjukkan bahwa
masyarakatlah yang merupakan sumbernya. Hal ini diperkuat dengan asumsinya
bahwa hampir semua institusi sosial yang besar dilahirkan dalam agama. Di pihak
lain yang membentuk manusia adalah totalitas unsur intelektual yang
menggambarkan peradaban dan peradaban itulah sebagai hasil karya masyarakat.
Bagaimana suatu masyarakat menciptakan sentimen dan konsepsi mengenai
tempat berlindung yang aman, zat yang senantiasa menjaga dan memperhatikan
setiap diri para penganut agama dan cult (cara memuja atau pemujaan) yang
diciptakannya.
Aspek-aspek prinsipil dari kehidupan kolektif ini dapat bekerja apabila
dilihat dari aspek kehidupan keagamaan. Jelas bahwa kehidupan agama adalah
bentuk yang menonjol dan merupakan ungkapan sentral dari kehidupan kolektif.
Apabila agama telah melahirkan banyak unsur yang esensial dalam masyarakat,
maka hal ini karena roh masyarakat itu sendiri adalah agama. Kekuatan agama
adalah kekuatan manusia atau kekuatan moral (Nafisul, 2003:7). Ritual monsehe
sebagai salah satu upacara/ritus semireligius sangat penting untuk dipraktikkan
dalam masyarakat karena berdasarkan pandangan Durkheim, semakin sering
manusia melalukan upacara maka semakin kuat solidaritas di antara mereka.
20
Peranan upacara menurut Van Ball (1997:12), baik ritual maupun
seremonial adalah untuk mengingatkan manusia agar dibiasakan dalam
pelaksanaan upacara berkenaan dengan eksistensi dan hubungan lingkungan
mereka. Manusia yang diingatkan ini harus mampu menjaga keharmonisan
hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia
dengan lingkungan alam.
Selanjutnya, dalam pandangan Clifford Geertz, sebagaimana yang
dikomentari oleh Kleden (1988:14) bahwa ritus adalah tindakan yang
mempersatukan dunia nyata dan dunia imajinatif dalam bentuk simbolik.
Tindakan keagamaan terjadi kalau sistem simbol tersebut diresapi dengan suatu
kekuatan yang laur biasa, yang dalam agama disebut yang illahi atau yang kudus
(suci). Ritual dapat dikatakan agama dalam tindakan.
Menurut Hobsbawn (2003:1), ritual merupakan perangkat praktik yang
biasanya ditentukan oleh aturan-aturan yang diterima secara jelas atau samar-
samar dan suatu ritual atau sifat simbolik yang ingin menanamkan nilai-nilai dan
norma-norma perilaku tertentu melalui pengulangan yang secara otomatis
mengimplikasi adanya kesinambungan dengan masa lalu. Ritual inilah yang
menunjukkan adanya kesinambungan dengan masa lalu dan mewujudkan
kekuatan unsur-unsur religi. Hal ini menunjukkan kepercayaan manusia terhadap
keberadaan kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada
manusia. Oleh karena itu, masyarakat menjalankan aktivitas ritual religi sebagai
sarana komunikasi dengan alam gaib tersebut sesuai dengan kepercayaan yang
dianutnya (Purwasita, 2003:230). Meskipun iman merupakan bagian dari ritual,
21
bahkan ritual itu sendiri, iman keagamaan berusaha menjelaskan makna ritual
serta memberikan tafsiran dan mengarahkan vitalitas pada pelaksanaan
(Dhavamony, 1995:167).
Menurut Suhardi (2009:12--13), ada tiga kategori jenis ritual, yaitu
upacara sekuler, upacara semireligius, dan upacara religius. Ritual monsehe dari
ketiga pandangan Suardi di atas, masuk dalam kategori kedua, yakni ritual
monsehe merupakan upacara semirelegius. Ritual monsehe dikatakan sebagai
upacara semireligius karena dapat berfungsi sebgaia media perekat sosial
antarmasyarakat dan juga sarana penghubung antara manusia dengan kekuatan
adikodrati. Upacara semireligius menurut Suhardi adalah upacara yang
mempunyai tujuan sekuler, tetapi juga secara jelas dan pada hakikatnya
didasarkan pada sesuatu yang disakralkan. Tujuan upacara ini adalah untuk
mencari jalan keselamatan, baik dalam bentuk keterpaduan masyarakat maupun
membebaskan diri dari segala bentuk penyakit serta gangguan metafisik. Sistem
ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia
dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek
moyang, atau makhluk lain dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan
Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya itu.
Ritus atau upacara religi biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap
hari, setiap musim, maupun kadang-kadang saja tergantung isi acara dan
sejauhmana kebutuhan itu diperlukan. Ritus atau upacara religi biasanya terdiri
atas suatu kombinasi yang merangkaikan satu, dua, atau beberapa tindakan,
seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan
22
menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa, intositasi, bertapa atau
semadi (Koentjaraningrat, 1985:44).
Pengertian selanjutnya diungkapkan Hadi (1999/2000), yaitu ritual
merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan
beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus, yang
menimbulkan rasa hormat pada leluhur. Berdasarkan pernyataan Hadi tersebut
diketahui memiliki hubungan erat dengan masyarakat etnik Culambacu, yaitu
salah satu tujuan ritual monsehe adalah penghormatan pada leluhur dan penguasa
alam gaib.
Endarswara (2003:175) memberikan klasifikasi terhadap suatu ritual
menjadi dua bentuk. Pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan
dengan krisis hidup manusia. Endarswara berpendapat bahwa manusia pada
hakikatnya akan mengalami krisis hidup (baik kesehatan maupun ekonomi) ketika
sedang masuk dalam masa peralihan. Pada masa tersebut seseorang akan
mengalami tahap krisis karena mengalami perubahan tahapan hidup. Kedua, ritual
gangguan, yaitu ritual sebagai negosiasi antara manusia dan roh agar tidak
mengganggu manusia.
Ritual secara umum adalah sistem upacara yang merupakan wujud
kelakuan dan religi. Seluruh sistem upacara itu terdiri atas aneka macam upacara
yang bersifat harian, musiman, dan kadang kala. Dalam sistem upacara
keagamaan menurut (Koentjaraningrat, 1994:14), terkandung empat aspek, yaitu
:(1) Kayakinan dan emosi, (2) tempat upacara keagamaan, (3) tempat pelaksanaan
23
upacara, (4) waktu pelaksanaan upacara serta (5) benda-benda dan peralatan
upacara serta orang yang melakukan dan memimpin jalannya upacara.
Berdasarkan konsepsi ritual di atas, maka dalam penelitian ini secara
operasional ritual monsehe (penyucian diri) di kalangan masyarakat Culambacu di
Kecamatan Wiwirano, pada hakikatnya lebih dipercaya sebagai sarana
penyembuhan dan komunikasi dengan para leluhur atau nenek moyang yang
dipersembahkan dengan sarana verbal melalui pemberian sesajen dan beberapa
macam teknik pengobatannya. Hubungan yang kuat antara penyembuh dan
penderita menjelma menjadi kekuatan super (supranatural) yang menjadi energi
penyembuh, sedangkan sesajen adalah bentuk persembahan pada leluhur dan
kekuatan gaib yang berada di luar diri manusia.
2.2.2 Konsep Etnik
Konsep etnik adalah sebuah konsep kultural yang terpusat pada persamaan
norma, nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik kultural. Terbentuknya suku
bangsa bersandar pada penanda kultural yang dimiliki secara bersama yang telah
berkembang dalam konteks historis, sosial, dan politis tertentu dan yang
mendorong rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan pada nenek
moyang mitologis yang sama.
Barth (1988:11--16) menyatakan bahwa kelompok etnik mengemukakan
ciri-ciri suatu populasi yang secara biologis mampu berkembang dan bertahan.
Ciri-ciri yang dimaksudkan di atas adalah (1) mempunyai nilai-nilai budaya yang
sama dan sadar akan makna rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (2)
membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan (3) menentukan ciri-
24
ciri kelompok sendiri yang dapat diterima oleh kelompok lain. Barth
mengemukakan bahwa konsep kelompok etnik sebagai tatanan sosial akan
menentukan ciri khasnya yang akan dapat dilihat oleh kelompok lain. Ciri-ciri asal
yang bersifat kategoris adalah ciri khas yang mendasar secara umum menentukan
seseorang termasuk kelompok etnik mana dan ini dapat diperkirakan dari latar
belakang asal usulnya dengan mengacu pada konsep kelompok etnik sebagai unit
budaya dan tatanan sosial tersebut.
Etnik juga merupakan unsur pengikat (bounding) suatu masyarakat
manusia dan merupakan wadah yang positif di dalam mengejawantahkan nilai-
nilai yang disepakati di dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Namun,
etnisitas yang kaku dan hanya melihat ke dalam tanpa melihat kepada keterikatan
dengan kelompok manusia lainnya yang juga memiliki kebudayaan sendiri, maka
etnisitas yang berlebihan akan menyebabkan berkembangnya nilai-nilai negatif
seperti persaingan yang tidak sehat. Rasa keterikatan terhadap etnis atau dikenal
sebagai tribalisme kadang-kadang merupakan suatu mekanisme defensif dari
seseorang atau kelompok yang tertindas ataupun yang dibatasi kemerdekaannya.
Demokrasi adalah wadah bagi perkembangan tribalisme di Indonesia. Etnisitas
dapat berwujud sebagai identitas atau jati diri suatu kelompok.
Etnisitas dan identitas kelompok merupakan dua wajah dari satu mata
uang. Oleh sebab itu kedua pengertian di atas menjadi kerangka teori penelitian
ini. Yang dimaksud etnik dalam penelitian ini adalah etnik Culambacu yang
memiliki ikatan dan persamaan norma, nilai, kepercayaan, dan seperangkat tata
cara dalam menjalani kehidupan serta aktivitas kesehariannya. Etnik Culambacu
25
bermukim di Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi
Tenggara. Walaupun terlihat minoritas, etnik Culambacu masih mempertahankan
jati dirinya sebagai sebuah entitas budaya yang harus dihargai dan dilestarikan.
Hal itu terjadi karena yang menjadi prinsip mereka bahwa budaya ini merupakan
warisan nenek moyang etnik Culambacu yang telah berlangsung berabad-abad
lamanya, melalui pewarisan secara lisan dan turun-temurun dari generasi ke
generasi.
2.2.3 Konsep Ideologi
Upaya menelusuri ideologi tidak bisa dilepaskan dari bagaimana ideologi
itu muncul dan untuk apa saja ideologi tersebut digunakan. Bila manusia ingin
mengatakan apa sebetulnya sesuatu, maka diperlukan ketelitian, pembatasan, dan
pengkotakan. Manusia bertanya, dunia ini sebetulnya apa; ia bertanya mengenai
hakikat barang-barang, hukum-hukum alam, sebab musabab. Bahkan mengenai
ide-ide dan tentang Tuhan sendiri. Manusia melukiskan dan membeberkan, ia
mencari definisi-definisi dan dengan kepala dingin menjadikan barang yang
sedang diselidikinya sebagai ideologi. Akan tetapi, kalau ia mengambil jarak
terhadap dunia, baik yang kodrati maupun yang adikodrati, maka berarti bahwa
manusia sebagai subjek menempatkan diri dalam lingkaran. Manusia juga mulai
bertanya, siapa atau apakah gerangan dia sendiri, ia menemukan dirinya sebagai
subjek, ia menemukan identitasnya sendiri (Peursen, 1976:67).
Manusia pada dasarnya berusaha untuk menemukan diri dan identitasnya
melalui ide-ide dan gagasannya yang diperolehnya dari manusia dan alam
sekitarnya. Ide-ide atau gagasan yang diperoleh manusia tersebut terkadang
26
menjadi sebuah ideologi manusia. Ideologi mempunyai beragam pengertian
tergantung dari sudut pandang dan bagaimana konteks ideologi tersebut
digunakan. Eagleton (dalam Takwim, 2003:2) mengatakan bahwa tidak ada
seorang pun yang bisa memberikan suatu definisi ideologi yang memadai, karena
ideologi sebagai sesuatu yang kompleks. Istilah ideologi berasal dari kata “idea”
yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita dan “logos” berarti ilmu.
Kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan ideologi adalah
kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang
memberikan arah dan tujuan kelangsungan hidup manusia. Eagleton memaparkan
pengertian ideologi yang berkembang hingga saat ini dengan melihat berbagai
konteks penggunaannya.
Ideologi dapat dilihat sebagai suatu proses reduksi makna-makna, tanda-
tanda, dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial. Ideologi merupakan sekumpulan
karakteristik ide atau pikiran dari sebuah kelompok atau kelas tertentu. Selain itu,
ideologi juga dapat dimaknai sebagai ide-ide yang membantu melegitimasi
ideologi kekuatan politik yang dominan, sesuatu yang menampakkan subjek
dalam posisi tertentu, pemikiran tentang identitas, dan medium yang sangat
penting bagi individu untuk menjalani hubungan-hubungan mereka dalam struktur
sosial.
Kajian ideologi mempertanyakan bentuk-bentuk simbol yang dipakai
untuk menciptakan, memelihara, mendukung, mengembangkan, dan
mempertahankan relasi kekuasaan yang sistematis. Ideologi adalah “perekat
sosial” yang menjaga kestabilan masyarakat dengan mengikat secara kolektif para
27
anggotanya untuk menerapkan nilai-nilai dan norma-norma. Analisis bentuk
sosial sebagai fungsi, berarti menganalisis bentuk-bentuk relasi yang digunakan
dan dikendalikan dalam konteks sosial historis tertentu. Apabila seseorang atau
kelompok masyarakat ingin menanamkan ideologinya, ia akan menampilkannya
dalam salah satu ungkapan budaya, baik dalam bahasa verbal maupun dalam cara
berkomunikasi lainnya (Sumantri & Zaimar, 2001:264).
Pengertian ideologi selanjutnya datang dari Teun A. Van Dijk (1995:135--
136) dalam analisis wacananya. Dijk menyatakan bahwa ideologi adalah sebuah
sistem yang merupakan basis pengetahuan sosiopolitik suatu kelompok. Ideologi
mampu mengorganisasi perilaku kelompok yang terdiri atas opini menyeluruh
yang tersusun secara skematis seputar isu-isu sosial yang relevan. Helmut Dahm
memberikan tiga penjelasan mengenai ideologi. Pertama, ideologi adalah ekspresi
dari pemikiran yang dogmatis manusia (refleksi atas kenyataan yang telah
didistorsikan). Kedua, doktrin tentang pandangan dunia (misalnya ideologi
proletariat, kapitalisme, dll). Ketiga, sebagai ilmu pengetahuan, ideologi bertujuan
membagun suatu sistem pengetahuan (Helmut,1980:109).
Menurut Thompson (2003:18) fungsi ideologi adalah sebagai perekat
relasi sosial yang merekat anggota masyarakat secara bersama-sama dengan
menerapkan nilai-nilai dengan norma-norma yang disepakati secara kolektif.
Kekuatan dan relasi dominasi tercermin dari kekuatan kata dan wacana. Makna
sosial ideologi pun terkonstruksi dalam wacana sehingga solidaritas dan soliditas
terjaga. Selain itu, kesatuan langkah pun terpelihara berkat ideologi. Kajian
ideologi yang membentuk tradisi lisan mengenai ritual monsehe pada etnik
28
Culambacu unik dan menarik untuk dikaji. Kajian ideologi ini diarahkan pada
penyingkapan dan penggalian ideologi yang berkontribusi pada lingkungan dan
keharmonisan masyarakat dalam mewujudkan soliditas dan solidaritas di antara
mereka. Kerja ideologi begitu cermat dan halus melalui bahasa sehingga patut
dipahami pula bahwa ideologi adalah medium yang paling nyata dari tindakan
sosial. Di dalam kode khususnya bahasa yang digunakan, terdapat ideologi
(Volosinov, 1973:12).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa sebuah ideologi
merupakan suatu gagasan atau konsep yang muncul dan mempunyai dasar untuk
mewujudkan sebuah cita-cita yang diinginkan bersama. Sebagai contoh dalam
konteks kenegaraan kita, tentu Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki
ideologi. Ideologi dan konsep dasar negara Indonesia dalam rangka untuk
mencapai cita-citanya adalah Pancasila.
Selanjutnya Kaelan menyatakan bahwa ideologi bisa juga suatu paham
atau ajaran yang mempunyai nilai kebenaran atau dianggap benar sebagai hasil
kontemplasi (perenungan) manusia, baik berdasarkan wahyu maupun hasil
kontemplasi akal budi secara murni. Ideologi di atas biasanya merupakan hasil
kerja para filosof atau orang yang mau dan mampu menggunakan akalnya untuk
memikirkan diri dan lingkungannya atau segala yang ada. Ideologi-ideologi yang
ada dapat melahirkan suatu kebudayaan karena kebudayaan adalah hasil dunia,
rasa, dan karsa manusia dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian,
ideologi itu mesti kebudayaan, tetapi kebudayaan belum tentu menjadi ideologi
(Kaelan, 2008:5).
29
Selain beberapa pengertian ideologi di atas, Gramsci memberikan
pandangan yang lebih umum. Menurutnya ideologi lebih dari sekadar sistem ide.
Ia membedakan antara sistem yang berubah-ubah (arbitary system) yang
dikemukakan oleh intelektual dan filosof tertentu dan ideologi organik, yakni
bersifat historis (historically orgnic ideologies), yaitu ideologi yang diperlukan
dalam kondisi sosial tertentu. Ideologi mempunyai keabsahan yang bersifat
psikologis: ideologi mengatur manusia dan memberikan tempat bagi manusia
untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka
dan sebagainya (Simon, 2004:84).
Simon juga menyatakan bahwa ideologi bukanlah sesuatu yang di awang-
awang dan berada di luar aktivitas politik atau aktivitas praktis manusia lainnya.
Sebaliknya, ideologi mempunyai eksistensi materialnya dalam berbagai aktivitas
praktis yang memberikan berbagai aturan bagi tindakan praktis serta prilaku moral
manusia. Di samping itu, ekuivalen dengan agama dalam makna sekulernya, yaitu
suatu pemahaman antara konsepsi dunia dan norma tingkah laku.
Salah satu sumbangan konsep ideologi berasal dari Althusser. Althusser
memberikan sumbangan bagaimana ideologi beroperasi dan bagaimana ideologi
direproduksi dan dipertahankan. Menurut Althusser, ideologi tidak mencerminkan
dunia riil, tetapi merepresentasikan hubungan-hubungan imajiner individu-
individu terhadap dunia riil. Bagi Althusser, ideologi merupakan ciri yang
dibutuhkan masyarakat sejauh masyarakat mampu memberikan makna untuk
membentuk anggotanya dan mengubah kondisi eksistensinya.
30
Masyarakat manusia menyembunyikan ideologi sebagai elemen dan
atmosfer yang sangat diperlukan bagi napas dan kehidupan sejarah mereka.
Selanjutnya dikatakan bahwa ideologi memiliki eksistensi material, yakni
aparatus-aparatus dan praktik-praktiknya sehingga di dalamnya ideologi bisa
hidup. Dalam aparatus dan praktik-praktik inilah ideologi diyakini dan dihayati
oleh semua kelompok dan terus mereproduksi kondisi-kondisi dan hubungan
tatanan masyarakat yang sudah ada, yakni tatanan masyarakat industri kapitalis.
Menurutnya, agar ideologi diterima, diyakini, dan dihayati oleh semua kelompok,
maka ia harus mematerialkan.
Ideologi hidup dalam praktik-praktik kelompok kecil, dalam citraan, dan
objek yang digunakan dan ditunjuk oleh masyarakat, dan dalam organisasi-
organisasi. Misalnya, pada sekolah-sekolah, rumah tangga, organisasi
perdagangan, media massa, olahraga, pengadilan, partai politik, universitas, dan
seterusnya (http://sharingtheory.blogspot.com/2009/05/teori-idiologi-dan-praktek-
kebudayaan.html).
Berdasarkan pemaparan konsep ideologi di atas, maka ideologi di dalam
penelitian ritual monsehe pada etnik Culambacu dikaji dan dianalisis dengan
mengacu kepada hal. Pertama pemaknaan bahwa ideologi dapat dilihat tumbuh
dan berkembang pada individu dan kelompok etnik Culambacu dalam rangka
membentuk identitasnya. Kedua, ideologi di tengah etnik Culambacu diproduksi
untuk melahirkan dominasi kelas, profesi hingga kereativitas atau cipta karsa
manusia. Ketiga, ideologi digunakan sebagai alat perlawanan dan penguasaan agar
ideologi di tengah masyarakat etnik Culambacu bisa bertahan dan lestari
31
walaupun disadari ada pertarungan serta hegemoni budaya dan ideologi dominan
yang berasal dari kelompok tertentu. Melalui beberapa konsep ideologi di atas, di
harapkan dapat diungkapkan ideologi ritual monsehe dan makna-makna ideologi
yang terkadung di dalamnya.
2.3 Landasan Teori
Teori adalah alat, instrumen atau logika untuk mengatasi dunia melalui
mekanisme deskripsi, definisi, prediksi, dan kontrol. Konstruksi teori adalah
usaha diskursif yang sadar diri (self-reflexive) yang bertujuan menafsirkan dan
mengintervensi dunia. Argumen-argumen, pendefinisian ulang, dan mengkritik
hasil kerja sebelumnya untuk mencari alat-alat baru untuk mengkritisi dunia
(Barker, 2005:524). Berdasakan pemahaman teori di atas, guna memberikan
arahan yang lebih jelas dan upaya menjawab masalah yang dikaji dalam penelitian
ini, digunakan beberapa teori yang dianggap relevan dengan rencana penelitian.
Teori-teori yang digunakan adalah teori struktural fungsional, teori semiotik, dan
teori hegemoni.
2.3.1 Teori Struktural Fungsional
Pendekatan teori struktural menganggap bahwa masyarakat pada
hakikatnya akan terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya.
Terwujudnya kata kesepakatan itu didasari atas nilai-nilai kemasyarakatan
tertentu, sebagai suatu general agreement yang memiliki daya mengatasi
perbedaan-perbedaan, pendapat-pendapat, dan kepentingan di antara anggotanya
(Nasikun, 1995:4--9).
32
Dalam dunia mistis manusia belum merupakan seorang pribadi yang bulat
dan utuh. Dalam alam pikiran ontologis subjek dan objek, manusia dan dunia
mulai berhadapan muka. Akan tetapi, dalam pendekatan fungsional bukan distansi
yang diutamakan, melainkan relasi. Subjek dan objek dibuka yang satu terhadap
yang lain. Ini berarti bahwa identitas manusia modern yang telah diperjuangkan
dengan jerih payah, lalu dibiarkan hilang lenyap. Akan tetapi, identitas itu tidak
dipandang lagi sesuatu yang bulat dan terisosialisasi, tetapi dipandang sebagai
suatu indentitas yang hanya dapat berada dan berkembang dalam relasi-relasi
dengan yang lain (Peursen, 1976:102).
Bagi Durkheim (1951:180), masyarakat modern semestinya merupakan
masyarakat yang harmonis dan tertib, tetapi dalam realitanya modernitas turut
mendorong terjadinya individualisme yang berlebihan dan kaku. Modernitas juga
menyebabkan diversifikasi sehingga tercipta disintegrasi sosial dan solidaritas
menjadi sulit dicapai. Kecenderungan anti sosial, suatu kondisi kurangnya norma
yang mengatur atau tanpa peraturan dan kekacauan oleh Durkheim disebut
sebagai anomi. Jika sebelumnya dalam masyarakat tradisional telah dicapai
‘solidaritas mekanik’ secara indigen sehingga tercipta masyarakat yang saling
bergantung dan harmonis, tetapi dalam masyarakat modern dengan realitas yang
semakin kaku dan individualistis.
Sebagai solusi menurut Durkheim diperlukan ‘solidaritas organik’ yang
akan menyadarkan tiap indvidu tentang kebutuhan kondisi saling ketergantungan
atau interdependency. Namun, bahaya anomi itu mengancam masyarakat modern.
Selanjutnya Durkheim menyimpulkan bahwa peranan kritis agamalah yang
33
mampu menghambat anomi dan menjamin terwujudnya solidaritas sosial dalam
masyarakat manusia (Atho, 2003:8).
Menurut Talcott Parsons (dalam Ritzer, 2008:76), fungsi adalah kumpulan
kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan sistem. Selanjutnya
Parsons menyatakan ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi
semua sistem sosial, yang meliputi adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal
attainment (G), integrasi (I), dan latensi (L). Empat fungsi tersebut wajib dimiliki
oleh semua sistem agar tetap bertahan (survive). Berikut penjelasan mengenai
skema AGIL menurut Parson.
1. Adaptasi (adaptation) merupakan fungsi yang amat penting, di sini sistemharus dapat beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi eksternal yanggawat, dan sistem harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan jugadapat menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannnya.
2. Pencapaian tujuan (goal attainment), yaitu sebuah sistem yang harusmendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya
3. Integrasi (integrations), sebuah sistem harus mengatur antarhubunganbagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelolaantarhubungan ketiga fungsi penting lainnya (A,G,L).
4. Latensi atau pemeliharaan pola (latency) sebuah sistem harusmemperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individualmaupun pola-pola kultural, yang menciptakan dan menopang motivasi.
Robert K. Merton (dalam Poloma, 2007:35) mengutip tiga postulat dari
analisis fungsional dan disempurnakannya, di antaranya. Postulat pertama,
kesatuan fungsional masyarakat dapat dibatasi sebagai suatu keadaan, yaitu
seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkatan keselarasan
atau konsistensi internal yang memadai tanpa menghasilkan konflik
berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas postulat ini Merton
memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna satu masyarakat
bertentangan dengan fakta. Hal ini terjadi karena dalam kenyataannya dapat
34
terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat
disfungsional bagi kelompok yang lain.
Postulat kedua, yaitu fungionalisme universal yang menganggap
bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-
fungsi positif. Tekait dengan postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya di samping
fungsi positif sistem sosial juga terdapat dwifungsi. Beberapa perilaku sosial
dapat dikategorikan ke dalam bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian
dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan.
Postulat ketiga, yaitu indispensability yang menyatakan bahwa dalam
setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materil, dan kepercayaan
memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus
dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam
kegiatan sistem sebagai keseluruhan. Menurut Merton, postulat yang ketiga ini
masih kabur (dalam arti tak memiliki kejelasan), belum jelas apakah suatu fungsi
merupakan keharusan.
Selanjutnya Merton (dalam Turner dan Alexandra, 2010:116) memberikan
garis-garis besar tentang analisis fungsionalnya. Langkah pertama, dalam
analisisnya digambarkan fenomena yang menarik bagi peneliti karena hanya
melalui penggambaran, sifat-sifat hakiki konteks tempat bekerjanya struktur
tertentu dapat diekspos. Prosedur kedua, yang penting ialah menguraikan
“makna” suatu situasi bagi para aktor yang terlibat dalam proses dan struktur yang
menarik peneliti. Upaya memahami signifikansi peristiwa bagi para aktor sering-
sering bisa memberikan isyarat tentang alasan di balik atau “fungsi nyata”
35
peristiwa-peristiwa tertentu. Dengan demikian, peneliti harus menyesuaikan diri
dengan tidak hanya dengan fungsi yang “tampak”, tetapi juga fungsi “yang
tersembunyi” dari peristiwa. Perhatian awal ini memungkinkan bisa dilakukan
penilaian yang lebih memadai terhadap fungsi yang dilayani oleh bagian-bagian
sistem tertentu. Penekanannya adalah pada penggambaran bagian, konteks sosial
tempatnya bagian itu, dan kondisi psikologi aktor.
Analisis akan waspada terhadap rujukan sistem yang berbeda individu,
struktur lain, dan keutuhan sistemik di mana suatu bagian tertentu bisa memiliki
fungsi. Perhatian terhadap fungsi yang “tampak” dan “tersembunyi” membuat
peneliti terbiasa dengan fakta bahwa konsekuensi fungsional itu bisa diinginkan
dan tidak diinginkan, dapat dikenali atau tidak dikenali.
Teori struktural fungsional di atas digunakan dalam mendeskripsikan
bentuk dan fungsi apa saja yang terkadung dalam ritual monsehe dan tidak sebagai
alat analisis.
2.3.2 Teori Semiotik
Teori semiotik digunakan untuk menjelaskan praktik pemaknaan tanda,
tata nilai yang terkandung dalam ritual monsehe yang hidup pada etnik
Culambacu. Sehubungan dengan hal tersebut, Hoed (2008:41) berpendapat bahwa
semiotik adalah studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dalam
kehidupan manusia. Hal senada juga dikatakan Danesi (2010:8) bahwa makna
dalam semiotik adalah makna yang berada pada akar-akar budaya.
Selanjutnya, semiotik adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji tanda-tanda
dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita
36
dilihat sebagai tanda, yaitu sesuatu yang harus diberikan makna. Para strukturalis
merujuk pada Ferdinand de Saussure (dalam Hoed, 2008:3) melihat tanda sebagai
pertemuan antara bentuk yang tercitra dan makna atau isi, yang dipahami oleh
manusia yang memakai tanda tersebut. De Saussure menggunakan istilah
sinificant (penanda) untuk bentuk suatu tanda dan signifie (petanda) untuk segi
maknanya.
Piliang (2003:15) mengatakan seperti di bawah ini.
“Semiotik merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkajitanda. Tanda-tanda atau perangkat-perangkat yang kita pakai dalam upayamencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-samamanusia. Semiotik atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnyahendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanities) memaknai hal-hal (things). Semiotik juga sebuah teori yang mengkaji dan menjelaskantentang tanda-tanda yang dimiliki oleh suatu benda”.
Menurut Piliang, semiotika bukan saja sebagai metode kajian, melainkan
juga sebagai metode penciptaan. Sebagai sebuah disiplin keilmuan, yaitu ilmu
tentang tanda, tentu semiotika mempunyai prinsip-prinsip, sistem, aturan, dan
prosedur-prosedur keilmuan yang khusus dan baku. Namun, semiotika bukanlah
ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan, dan objektivitas seperti ilmu
alam. Semiotika adalah ranah keilmuan yang jauh lebih dinamis, lentur, dan
terbuka sebagai pelbagai pembacaan dan interpretasi. Sehubungan dengan hal itu,
semiotik tidak dibangun oleh kebenaran tunggal, tetapi dibentuk oleh makna yang
jamak. Dalam logika semiotik, interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau
benarnya, tetapi berdasarkan derajat kelogisannya, interpretasi yang lebih masuk
akal daripada yang lain.
37
Dalam kajian semiotik, data yang dijadikan objek analisis pada umumnya
adalah teks. Teks dalam teori kebudayaan didefinisikan tidak terbatas pada
tulisan, tetapi termasuk pula pola perilaku dan tindakan nonverbal dan teks yang
mengungkapkan pesan-pesan budaya. Teks secara umum diklasifikasikan menjadi
teks kongnitif dan teks sosial, baik verbal maupun nonverbal (Hoed, 2008:41).
Pemahaman terhadap hal ini sangat penting karena akan banyak bersinggungan
dengan teks tradisi lokal ritual monsehe pada etnik Culambacu.
Teori semiotik merupakan evolusi teori struktur yang dikembangkan oleh
ilmuwan Amerika Serikat (Carles Sanders Pierce, 1940). Teori ini cukup
membantu menjelaskan berbagai hal mengenai gejala budaya yang melibatkan
proses penafsiran. Pierce mengajukan tiga jenis tanda, yaitu ikon, indeks, dan
simbol. Ikon adalah hubungan antara petanda dan penanda yang bersifat alamiah,
indeks adalah hubungan kausalitas atau bersifat langsung, dan simbol dimaknai
sebagai hubungan arbitrer (manasuka) berdasarkan konvensi yang disepakati para
pemakai bahasa bersangkutan.
Tanda-tanda adalah basis dari keseluruhan komunikasi. Manusia dengan
perantara tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Lechte (dalam Sobur, 2009:17) mengatakan
sebagai berikut.
“Semiotik adalah teori tentang tanda atau penandaan. Lebih jelas lagi,semiotik adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasiyang terjadi dengan sarana sign “tanda-tanda” dan berdasarkan sign system(code) sistem tanda. Pendekatan semiotik didasarkan pada asumsi bahwatindakan manusia atau hal yang dihasilkan menunjukkan makna asalkantindakan tersebut berfungsi sebagai tanda, tentu ada sistem konvensi danpembedaan yang mendasarinya dan memungkinkan adanya maknatersebut”.
38
Menurut Hoed (2008), ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam
semiotik, yaitu jenis tanda (ikon, lambang, simbol), jenis sistem tanda (bahasa,
musik, gerak tubuh), jenis teks, dan jenis konteks atau situasi yang memengaruhi
makna tanda (kondisi psikologis, sosial, historis, dan kultural). Berdasarkan
pemahaman di atas, diketahui bahwa semiotik memberikan kemungkinan kepada
kita untuk berpikir kritis dan memahami adanya kemungkinan makna lain atau
penafsiran atas segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sosial budaya,
termaksud etnik Culambacu. Teori semiotik digunakan dalam penelitian ini
sebagai alat analisis dalam mendeskripsikan makna yang ada di balik ritual
monsehe.
Dalam konteks semiotika, Geertz (1993:76) menawarkan cara penafsiran
kebudayaan dengan cara memaparkan konfigurasi atau sistem simbol-simbol
bermakna secara mendalam dan menyeluruh. Geertz berkesimpulan bahwa
simbol-simbol yang tersedia di kehidupan umum sebuah masyarakat yang
sesungguhnya menunjukkan bagaimana para warga masyarakat yang
bersangkutan melihat, merasakan, dan berpikir tentang dunia mereka dan
bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Bagi Geertz, kebudayaan adalah
semiotik; hal-hal yang berhubungan dengan simbol yang tersedia di depan umum
dan dikenal oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
Simbol adalah sesuatu yang perlu ditangkap maknanya dan pada giliran
berikutnya dibagikan oleh dan kepada warga masyarakat dan diwariskan kepada
anak cucu (Sukanto, 1993:vi--vii). Ada tiga sifat simbol yang ditunjukkan oleh
Victor Turner (dalam Irwan Abdullah, 2002:77-80). Sifat pertama, simbol
39
dominan merupakan penyingkatan atau kondensasi dari banyak arti. Sifat kedua,
unifikasi dari arti-arti yang berbeda. Arti-arti yang berbeda sering dihubungkan
atau disatukan dengan asosiasi dalam kenyataan atau gagasan. Sifat ketiga adalah
polarisasi arti. Simbol-simbol ternyata memiliki arti yang berlawanan. Jadi, tidak
hanya memiliki arti-arti yang berbeda.
Ketiga jenis simbol tersebut digunakan sebagai kerangka untuk
menjelaskan sifat simbol yang digunakan oleh etnik Culambacu dalam ritual
monsehe. Simbol-simbol yang digunakan dalam ritual itu mengandung banyak
makna, baik penyingkatan makna, arti-arti makna yang berbeda, maupun simbol-
simbol tersebut dengan bagian-bagian dalam tubuh manusia, perangkat sesajen
sebab menurut etnik Culambacu, bagian tubuh manusia, perangkat sesajen dapat
mewakili apa-apa yang akan diritualkan dalam upacara monsehe.
Turner (1982:19) menegaskan pembedaan simbol dari tanda seperti di
bawah ini.
“Pertama, simbol lebih merangsang perasaan seseorang, sedangkan tandatidak. Kedua, simbol berpartisipasi dalam arti dan kekuatan yangdisimbolkan, sedangkan tanda tidak berpartisipasi dalam realitas yangditandakan. Ketiga, simboil cenderung multivokal atau polisemi artinyamerujuk pada banyak arti, sedangkan tanda cenderung univokal”.
Pada ritual monsehe yang merupakan salah satu wujud kearifan lokal dan
budaya enik Culambacu yang ada, tidak luput dari simbol-simbol. Etnik
Culambacu menggunakan simbol-simbol tersebut sebagai bagian dari sarana
untuk menghubungkan antara manusia dan alam serta makhluk gaib yang ada di
bumi. Simbol-simbol tersebut memiliki makna filosopis. Oleh karena, itu penting
bagi penulis untuk menginterpretasikan/menerjemahkan agar generasi muda
40
sebagai pewaris sekaligus pelanjut kearifan budaya lokal tersebut, dapat
memahaminya dan mempakktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Teori
semiotika ini sangat penting digunakan dalam tulisan ini karena di samping
sebagai sebuah teori juga bisa membantu penulis mengkaji dan menganalisis
berbagai data yang didapatkan dalam lapangan penelitian yang sesuai dengan
rumusan masalah yang ada.
2.3.3 Teori Hegemoni
Penggunaan teori hegemoni dalam penelitian ini bermaksud menemukan
kepentingan tersembunyi yang selama ini menjadi alat dominasi kelompok
mayoritas terhadap kelompok minoritas pada etnik Culambacu. Teori hegemoni
bagi Gramsci adalah situasi, yaitu suatu ‘blok historis” faksi kelas berkuasa
menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui
kombinasi antara kekuatan dan terlebih lagi dengan konsensus. Jadi, praktik
normal hegemoni di arena klasik dengan kombinasi kekuasaan dan konsensus,
yang secara timbal balik saling mengisi tanpa adanya kekuatan yang secara
berlebihan memaksakan konsensus. Sesungguhnya, usaha dalam memastikan
bahwa kekuatan tersebut akan tampak hadir berdasarkan konsensus mayoritas
yang diekspresikan oleh apa yang disebut dengan organ opini publik-koran dan
asosiasi.
Analisis Gramscian mengemukakan bahwa ideologi dipahami sebagai ide,
makna dan praktik yang kendatipun diklaim sebagai kebenaran universal,
merupakan peta makna yang mendukung kelompok kekuasaan tertentu. Di atas itu
semua adalah fenomena material yang berakar pada kondisi sehari-hari. Ideologi
41
menyediakan aturan perilaku praktis dan tuntunan moral yang sepadan dengan
agama yang secara sekuler dipahami sebagai kekuatan keyakinan antara konsepsi
dunia dan norma tindakan terkait (Gramsci, 1971:349).
Hal itu senada dengan apa yang dikemukakan Larrain (1996:7) berikut ini.
“Ideologi memiliki ciri dan konotasi positif yang justru ditujukan untukmenghindarkan prasangka agama dan metafisika. Sebagai pandangandunia, ideologi merupakan institusionalisasi sistem pengetahuan bersamayang melaluinya masing-masing individu dapat mengidentifikasi daridalam kelompok yang bersangkutan. Ideologi adalah keterikatan sejumlahasumsi yang memungkinkan penggunaan tanda. Ada keterikatan yangsangat kuat antara ideologi dan kebudayaan, bahkan ideologi adalahbagian dari kebudayaan”.
Pemahaman tersebut diperkuat oleh pendapat Van Zoes (1993:53) yang
menyatakan seperti berikut.
“Setiap ideologi terkait pada budaya. Siapa pun yang mempelajari suatubudaya, maka ia harus berhubungan dengan ideologi, dan siapa pun yangmempelajari ideologi, maka ia harus mempelajari budayanya. Mencari titiktolak ideologi dalam ungkapan budaya merupakan pekerjaan penting.Ideologi mengarahkan budaya. Ideologilah yang menentukan visi ataupandangan suatu kelompok budaya terhadap kenyataan. Dengan mengenaliideologinya, kita akan memahami suatu kelompok budaya secara lebihbaik”.
Representasi sistem pendidikan formal sebagai meritokrasi yang
menawarkan kepada semua orang kesempatan yang setara dan adil dalam suatu
masyarakat dan representasi bagi warga kulit berwarna yang ‘secara alamiah’
inferior dan kurang mampu bila dibandingkan dengan orang kulit putih.
Keduanya dapat dikatakan bersifat ideologis. Suatu blok hegemoni tidak pernah
berdiri dari kategori sosial ekonomi tunggal, tetapi dibentuk melalui serangkaian
aliansi, di mana suatu kelompok aliansi berposisi sebagai pemimpin. Ideologi
memainkan peran krusial dalam membiarkan aliansi kelompok ini (awalnya
42
dikonsepsikan dalam terminologi kelas) menanggalkan kepentingan sempit usaha
ekonomi dan mengutamakan kepentingan nasionalis populer.
Teori di atas dimaksudkan untuk membantu peneliti dalam mengkaji dan
menganalisis masalah ritual monsehe yang penganutnya semakin sedikit
melaksanakannya. Hal ini disebabkan oleh adanya hegemoni kelompok mayoritas.
Asumsi ini hadir karena terlihat adanya indikasi di lapangan, yaitu masyarakat
penganut ritual monsehe terkooptasi dengan narasi besar atau ideologi Islam yang
dianut masyarakat setempat. Kooptasi ini terlihat seakan-akan tidak disadari oleh
kelompok penganut tradisi lokal. Berdasarkan kooptasi inilah ditemukan ideologi
ritual monsehe mulai tercabut dari pemikiran atau logika universal dan
meninggalkan tradisi lokalnya.
Adanya pengaruh agama besar di atas memberikan dampak terhadap ritual
monsehe. Pengaruh dimaksud adalah lahirnya kecenderungan yang memandang
buruk praktik tradisi lokal yang tidak sejalan dengan prinsip Islam. Oleh sebab itu,
teori hegemoni di atas dalam hubungannya dengan ritual monsehe menjadi
menarik dijadikan sebagai alat analisis pada bab tujuh.
43
2.4 Model Penelitian
Keterangan Tanda: : Pengaruh Sepihak: Pengaruh timbal balik
---------- : Pengaruh tidak langsung secara sepihak
Penjelasan Bagan
Bagan penelitian di atas menjelaskan bahwa globalisasi memberikan
pengaruh yang begitu besar terhadap etnik Culambacu melalui budaya global dan
budaya lokal yang pada akhirnya memengaruhi budaya etnik Culambacu. Salah
satu tradisi yang dimiliki etnik Culambacu adalah ritual monsehe. Ritual monsehe
merupakan sebuah pengetahuan lokal etnik Culambacu yang ditransformasikan ke
dalam berbagai aktivitas kehidupannya. Tradisi ritual monsehe di atas
GLOBALISASI
Tradisi Global:Agama, Ekonomi,
Budaya,Pendidikan
Ritual monsehePada EtnikCulambacu
Tradisi Lokal:Budaya, Adat
Istiadat, Ritual
Bentuk Ritualmonsehe
Makna Ritualmonsehe
IdeologiRitual
monsehe
SARANPelestarian
Temuan
44
mengandung berbagai nilai dan norma serta berfungsi sebagai media pembentuk
identitas masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai ritual monsehe di atas diwariskan
leluhur mereka secara turun-temurun hingga saat ini.
Perkembangan ilmu pengetahuan, hadirnya ideologi Islam, teknologi
informasi, serta pengaruh media dan pendidikan telah membawa sebuah
peradaban baru. Peradaban baru mendorong manusia dewasa ini mengarah pada
kebebasan berpikir yang mendunia. Globalisasi yang penuh warna dan
menghendaki homogenitas budaya memberikan pengaruh yang cukup besar dalam
transformasi budaya yang menghendaki manusia untuk mengubah diri dan
budayanya. Fenomena tersebut melahirkan pergolakan budaya yang begitu kuat
karena globalisasi hadir menawarkan nilai-nilai baru bagi masyarakat dan pada
akhirnya menghegemoni seluruh lini kehidupan masyarakat lokal.
Pergolakan nilai antara budaya lokal dan globalisasi di atas, tidak hanya
memberikan dampak positif bagi masyarakat lokal, tetapi juga memberikan
banyak pengaruh negatif bagi masyarakat adat. Dampak negatif dimaksud adalah
melemahnya semangat sebagian masyarakat adat, khususnya etnik Culambacu
yang selama ini telah mempertahankan nilai-nilai tradisi leluhurnya.
Globalisasi yang membawa nilai baru juga membawa berbagai perngaruh
dan dialektika di antara keduanya yang sulit dihindari. Sehingga, berbagai
indikasi akan muncul di seputar dialektika antara budaya global dan budaya lokal.
Dengan demikian, studi tentang ritual monsehe penting dikaji dengan fokus
masalah (1) bagaimana bentuk ritual monsehe, (2) ideologi apa yang terdapat di
45
balik ritual monsehe, dan (3) makna apa yang terkandung dalam ritual monsehe
pada etnik Culambacu di Kabupaten Konawe Utara.