digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
35
BAB II
KEPEMIMPINAN DAN JEJARING KUASA PEREMPUAN
DI PONDOK PESANTREN
A. Perempuan dan Tradisi Kepemimpinan
1. Pengertian dan Tipologi Pemimpin
Kepemimpinan dipahami sebagai segala daya dan upaya bersama
untuk menggerakkan semua sumber dan alat (resources) yang tersedia dalam
suatu organisasi. Resources tersebut dapat digolongkan menjadi dua golongan
besar, yaitu human resources dan non human resources. 1 Secara luas
kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan
organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan,
mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya, mempengaruhi
interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian
dan aktivitas-aktvitas untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja
kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari orang-orang di luar
kelompok atau organisasi.2
Secara teoritik, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas
seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi
tertentu. Kepemimpinan merupakan aktifitas memotivasi agar kompetensi
individu-individu dalam suatu kelompok dapat melahirkan kinerja yang tinggi
untuk meraih produktivitas yang maksimal.
1 Marno dan Triyo Supriyanto, Manajemen dan Kepemimpnan Pendidikan Islam (Bandung: Refika Aditama, 2008), 29. 2 Feithzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Edisi Kedua (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 2.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
36
Menurut Djanalis sebagaimana dikutip Arifin, 3 bahwa ada 3 teori
muncul atau terjadinya kepemimpinan yaitu:
1. Teori keturunan, bahwa pemimpin itu muncul karena sifat yang
dibawanya sejak lahir. Ini berarti seseorang akan jadi pemimpin karena
ia telah dilahirkan bersamaan dengan bakat kepemimpinannya.
2. Teori pengaruh lingkungan, menurut teori ini pemimpin itu dibentuk
karena lingkungan hidupnya bukan karena keturunannya. Ini berarti
bahwa setiap orang mampu menjadi pemimpin apabila diberi
kesempatan.
3. Teori kelompok campuran, menurut teori ini pemimpin itu memiliki
bakat yang dibawa sejak lahir, kemudian berkembang melalui
pendidikan dan pengalaman terutama dalam berinteraksi dengan orang
lain.
Demikian pula apa yang disampaikan Hidayat, 4 bahwa para pakar
kepemimpinan berbeda pendapat dalam menyikapi tentang asal usul
kepemimpinan. Pertama, mengatakan bahwa kepemimpinan itu bersifat given,
atau merupakan keturunan atau bawaan sejak lahir. Pendapat ini banyak
didukung dengan banyaknya pemimpin yang menjadi pewaris dari sistem
kepemimpinan yang telah ada sebelumnya. Menurut pendapat ini
kepemimpinan akan berlaku estafet dari seorang pemimpin kepada anak dan
keturunannya. Ini banyak terjadi pada kepemimpinan karismatik. Kedua,
bahwa kepemimpinan itu made atau dibentuk oleh intelektual, lingkungan dan
3 Arifin, Kepemimpinan dan Motivasi Kerja (Yogyakarta: Teras, 2010), 4. 4 M. Humam Hidayat, Kepemimpinan dan Organization Development, dalam Kepemimpinan Pengembangan Organisasi, Team Building & Perilaku Inovatif, Mas’ud Said (ed.), (Malang: UIN-Malang Press, 2007), 203.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
37
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga seseorang dapat menjadi
pimpinan tanpa harus memiliki garis keturunan kepemimpinan di atasnya. Hal
ini bahwa anak seorang pemimpin bukan jaminan akan menjadi pemimpin
pada masa datang. Yang menjadikan individu menjadi pemimpin bagi
komunitasnya adalah kemampuan intelektual, integritas sosial dan berbagai
kecakapan yang dimiliki seseorang, sehingga mengantarkan dia memiliki
pengaruh di tengah komunitasnya.
Organisasi akan berkembang jika seorang pemimpin mampu
mewujudkan tujuan organisasi menjadi kenyataan. 5 Bahkan menurut
Kartono,6 pemimpin mempunyai kesempatan untuk mengubah jerami menjadi
emas atau justru sebaliknya, bisa mengubah tumpukan uang menjadi abu jika
dia salah langkah dan tidak bijaksana.
Meskipun peran seorang pemimpin sangat menentukan, pemimpin
tidak dapat bekerja sendiri tanpa dukungan dari bawahannya. Oleh karena itu
kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu
menumbuhkan dan mengembangkan usaha kerja sama serta memelihara iklim
yang kondusif dalam kehidupan organisasi. Kepemimpinan yang baik adalah
kepemimpinan yang dapat mengintegrasikan orientasi tugas dan orientasi
hubungan manusia. Kedua orientasi itu perlu dipadukan dan keduanya perlu
ditingkatkan.7
Oleh karena itu dalam memimpin sebuah organisasi diperlukan
beberapa elemen yang dapat mengantarkan sebuah kepemimpinan yang
5 Muhaimin, Kepemimpinan dalam Pengembangan Organisasi, dalam Kepemimpinan Pengembangan Organisasi, Team Building & Perilaku Inovatif, Mas’ud Said (ed.), (Malang: UIN-Malang Press, 2007), 12. 6 Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, v. 7 Marno dan Triyo Supriyanto, Manajemen dan Kepemimpnan, 30.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
38
efektif. Menurut Blake dan Mouton sebagaimana dikutip Hidayat, 8 adalah
sebagai berikut:
a. Initiative. Pemimpin harus tanggap tentang keadaan dan kondisi
organisasi dan memiliki inisiatif yang tinggi dalam memutuskan dan
melakukan suatu kebijakan.
b. Inquiry. Dalam memimpin harus memiliki informasi yang
komprehensif, sehingga ia tahu tentang berbagai masalah dan
solusinya.
c. Advocacy. Dukungan dari berbagai pihak yang maksimal sangat
dibutuhkan agar memiliki rasa percaya diri dengan perbuatan dan
kebijakan yang diputuskan.
d. Conflict solving. Selain memiliki inisiatif dan kreatif seorang
pemimpin dituntut harus memiliki kemampuan untuk memecahkan
masalah dalam organisasi baik internal maupun eksternal.
e. Decision making. Pemimpin sebagai sorang yang memberikan kata
putus dalam suatu/segala hal. Pemimpin dituntut untuk memberikan
keputusan terbaik bagi jalannya organisasi.
f. Critique. Dengan jiwa yang kritis, seorang pemimpin harus jeli dan
cermat dalam mengevaluasi segala hal yang berkaitan dengan
organisasi, menentukan apa yang harus dipertahankan dan
dikembangkan, dan apa yang harus diberhentikan dengan menggati
kebijakan yang lebih baik.
8 M. Humam Hidayat, “Kepemimpinan dan Organization Development”, 206.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
39
Di samping itu dalam perilaku kepemimpinan dibutuhkan keluasan
pengetahuan dan keluwesan budi pekerti. Seorang pemimpin yang hanya
memiliki keluasan pengetahuan tanpa keluwesan budi pekerti bisa jadi dalam
proses kepemimpinannya menjadi otoriter, sentralistik. Sebaliknya pemimpin
yang hanya memiliki keluwesan budi pekerti tetapi tidak luas pandangan dan
pengetahuannya maka proses kepemimpinanya menjadi laizzes faire.
Kepemimpinan dibutuhkan behavioral science (ilmu perilaku) artinya
pemimpin harus memahami ilmu psikologi, sosiologi dan antropologi.
Diharapkan dengan ilmu-ilmu perilaku tersebut, pemimpin dapat memahami
keberagaman karakter seseorang yang berbeda-beda, dan pendekatan karakter
yang digunakan dapat menyentuh persoalan dan mampu meyelesaikan secara
cermat.
Menurut Kartono,9 konsepsi mengenai persyaratan kepemimpinan itu
harus selalu dikaitkan dengan tiga hal penting, yaitu: a) Kekuasaan ialah
kekuatan, oteritas dan legalitas yang memberikan wewenang kepada
pemimpin guna mempengaruhi dan menggerakkan bawahan atau berbuat
sesuatu. b) Kewibawaan ialah kelebihan, keunggulan, keutamaan sehingga
orang mampu ‘membawahi’ atau mengatur orang lain, sehingga orang tersebut
patuh pada pemimpin, dan bersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.
c) Kemampuan ialah segala daya, kesanggupan, kekuatan dan kecakapan/
keterampilan teknis maupun sosial, yang dianggap melebihi dari kemampuan
anggota biasa.
9 Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, 36.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
Sedangkan tipologi pemimpin adalah merupakan suatu pola perilaku
seorang pemimpin yang khas pada saat mempengaruhi anak buahnya.
Keberhasilan kepemimpinan itu sebagian besar ditentukan oleh sifat-sifat
kepribadian tertentu, misalnya, harga diri, prakarsa, kecerdasan, kelancaran
berbahasa, kreativitas, dan termasuk ciri-ciri yang dimiliki seseorang.
Pemimpin dikatakan efektif bila memiliki sifat kepribadian yang baik.10
Dalam hal kepemimpinan, Max Weber berpendapat, ada tiga tipe
kepemimpinan, yaitu Kepemimpinan Karismatik, Kapemimpinan Rasional
dan Kepemimpinan Tradisional.11
Kartono, 12 lebih rinci dalam mengelompokkan tipe kepemimpinan
menjadi delapan kelompok, yaitu:
1. Tipe kharismatik.
2. Tipe paternalistis dan maternalistis.
3. Tipe militeristis.
4. Tipe otokratis/otoritatif.
5. Tipe laisser faire.
6. Tipe populistis.
7. Tipe administrative.
10 Sulistiyorini, Manajemen Pendidikan Islam Konsep, strategi dan Aplikasi (Yogyakarta, Teras, 2009), 191. 11 Ralph Schroeder, Max Weber tentang Hegemoni Sistem kepercayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 154-155. Kepemimpinan karismatik didasarkan pada kualitas luar biasa yang dimiliki oleh seseorang sebagai pribadi. Pengertian ini sangat teologis, karena untuk mengidentifikasi daya tarik pribadi yang melekat pada diri seseorang, harus dengan menggunakan asumsi bahwa kemantapan dan kualitas kepribadian yang dimiliki adalah merupakan anugrah Tuhan. Penampilan seseorang dianggap karismatik dapat diketahui dari ciri-ciri fisiknya, misalnya matanya yang bercahaya, suaranya yang kuat, dagunya yang menonjol, atau tanda-tanda lain. Ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa seseorang memiliki jiwa sebagai pemimpin karismatik, seperti kepemimpinan para Nabi dan sahabatnya. Lihat Sukamto, Kepemimpinan Kiai, 25. Husein M. Haikal, Sejarah Hidup Muhammad SAW., (Jakarta: Yudhistira, 1989), 80. Lihat: Bryan S. Turner, Sosiologi Islam, Suatu Telaah Analisa Atas Tesa Sosiologi Weber (Jakarta Rajawali,1984), 168-169 12 Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, 80-86.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
41
8. Tipe demokratis (group developer).
Pemimpin tipe kharismatik adalah seorang pemimpin yang memiliki
kekuatan energi, daya tarik dan wibawa yang luar biasa untuk mempengaruhi
orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan
pengawal yang dapat dipercya. Hingga saat ini belum dapat diketahui benar,
apa yang menjadi penyebab, dan mengapa seseorang bisa memiliki kharisma
yang begitu besar. Pemimpin kharismatik biasanya banyak memiliki
insprirasi, memiliki keyakinan teguh pada pendirian sendiri, dan terkadang
dianggap memiliki kekuatan ghaib (supernatural power) serta kemampuan-
kemampuan yang superhuman, yang diperolehnya sebagai karunia Yang
Maha Kuasa. Totalitas kepribadan pemimpin yang seperti ini memancarkan
pengaruh dan daya tarik yang amat besar.
Pola kepemimpinan kharismatik seperti ini akan kehilangan kualitas
demokratisnya 13 Pola kepemimpinan individual kharismatik merupakan
kepemimpinan yang menunjukkan dimana pemimpin memiliki posisi yang
serba menentukan kebijaksanaan di tengah masyarakat, sehingga cenderung
menumbuhkan otoritas mutlak dan tidak boleh digugat oleh siapapun.
Saat ini terdapat penawaran solusi terbaik mengurangi kelemahan yang
mungkin terjadi yaitu dengan kepemimpinan kolektif. Kepemimpinan kolektif
adalah suatu sistem yang saling memberikan pengaruh berupa kontribusi,
partisipasi, gagasan, pengalaman untuk tujuan sistemik, dalam suatu
kelompok tim secara bersama-sama, berdasarkan kedekatan dan kemampuan
13 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, 102.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
42
profesional sehingga tujuan kelompok tim dapat tercapai secara lebih efektif
dan partisipatif.14
Dalam kontek kepemimpinan kolektif ini misalnya juga terjadi di
pesantren. Menurut Qomar, 15 Kepemimpinan kolektif terutama merupakan
benteng pertahanan terhadap kematian pesantren. Kelangkaan pemimpin di
masa depan selalu dan dapat diantisipasi dengan menyiapkan kader-kader
yang dinilai potensial untuk memimpin, mengasuh dan mengembangkan
lembaga pendidikan pesantren. Musthofa Rahman 16 menyatakan bahwa
penyelenggaraan manajemen pendidikan pesantren/yayasan memilki nilai
penting dalam menjaga estafet (pergantian) kepemimpinan. Pola
kepemimpinan kolektif berperan menjaga kontinyuitas keberadaan sebuah
pesantren.17
Konsekuensi kepemimpinan kolektif mengubah mekanisme manajerial
pesantren. Otoritas tidak lagi mutlak di tangan kiai, dan secara legal formal
kiai tidak lagi berkuasa mutlak, melainkan bersifat kolektif ditangani secara
bersama-sama menurut pembagian tugas masing-masing individu. Meskipun
peran kiai masih dominan, namun semua ketentuan yang menyangkut
kebijakan pesantren merupakan konsensus semua pihak.
Perubahan kepemimpinan pesantren dari kepemimpinan individual
menuju kepemimpinan kolektif berimplikasi pada hubungan pesantren dan
masyarakat, demikian juga kiai dan ustadz merupakan satu team work yang 14 Atiqullah, Manajemen & Kepemimpnan Pendidikan Islam Strategi Mengefektifkan Lembaga Pendidikan Agama & Pendidikan Keagamaan ((Surabaya: Pena Salsabila, 2012), 246. 15 Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga, tt.), 46. 16Muthofa Rahman, “Menggugat Manajemen Pendidikan Pesantren”, dalam Ismail SM.dkk., (ed.), Dnamika Pesantren Dan Madrasah (Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan Pustaka Pelajar, 2002), 116. 17 Mujamil Qomar, Pesantren Dari, 116.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
43
kompak, walaupun terkadang dalam kondisi tertentu otoritas kiai sebagai
pendiri atau pemilik pesantren masih muncul ke permukaan. Demikian pula
bagaimana posisi kepemimpinan perempuan di pesantren dalam
kepemimpinan kolektif, adalah dengan melihat seberapa kuat dominasi
perempuan dalam memimpin, maka ia tetap punya kuasa atas
kepemimpinannya.
2. Potensi Perempuan dan Feminis Kultural
Dalam kamus bahasa Indonesia, perempuan18 mempunyai padan kata
dengan wanita, 19 Namun dalam penggunaan masing-masing mempunyai
konotasi yang berbeda. Sebagaimana dijelaskan oleh Subhan20 bahwa kata
perempuan sering digunakan dalam gabungan kata-kata yang berkonotasi
negatif, misalnya ”perempuan geladak” yang berarti perempuan pelacur,
perempuan jahat; dengan kata lain perempuan yang buruk kelakuannya atau
perempuan nakal. Sedangkan kata ”wanita” dalam bahasa Sanskerta berasal
dari kata wan berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti ”yang
dinafsui” atau merupakan objek nafsu.
Jadi secara simbolik penggunaan kata wanita menjadi kata perempuan
adalah mengubah objek menjadi subjek. Kalangan feminis cenderung
menggunakan kata ”perempuan”, dan menurut Mernissi, kata wanita adalah
18 Menurut Hamka bahwa ’empu’ sebagai empu jari menjadi penguat dari jari; jari tidak bisa menggenggam erat, memegang teguh, kalau empu jarinya tidak ada. Lihat: Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam Islam (Jakarta: Grafika, 1986), 82. 19 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 448. 20 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, 19-21
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
44
kata halus bahasa Indonesia, sedangkan kata perempuan merupakan kata halus
Melayu.21
Sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam, Al-Qur’an
menunjukkan bahwa pada dasarnya kedudukan laki-laki dan perempuan
adalah setara. Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak
sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat.22 Ajaran Islam
pada hakekatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan
terhormat kepada perempuan23
Konsep tentang asal penciptaan perempuan merupakan isu yang sangat
penting dan mendasar, karena konsep kesetaraan dan ketidak-setaraan laki-laki
dan perempuan berakar dari konsep pencipataan ini. Al-Qur’an memang tidak
menyebutkan secara terperinci mengenai asal usul penciptaan perempuan.
Namun, Al-Qur’an menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki
dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis
yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan
mengembangbiakkan keturunannya, baik yang lelaki maupun yang
perempuan.24
21 Fatima Mernissi, Wanita Dalam Islam terj. Yaziar Radianti (Bandung: Pustaka, 1994), v. 22 Sebagaimana sering ditemukan dalam wacana sosial kemasyarakatan, ada semacam pelabelan atau stereotipe yang berlaku dalam kelompok masyarakat berdasarkan pada jenis kelamin. Sosok wanita dalam konteks budaya di Indonesia masih sering dikaitkan dengan segala urusan dengan sektor domestik dalam sebuah rumah tangga sehingga peran wanita dalam sektor publik masih dalam proses reinforcing. Wacana ini muncul sebagai akibat dari tercampuraduknya pemahaman tentang konsep ’kodrat wanita’ dalam konteks kodrat yang dikonstruksi secara kultural dan kodrat biologis. Secara biologis dan kodrati, antara pria dan wanita memiliki perbedaan yang jelas, misalnya perbedaan organ kelamin dan fungsinya masing-masing, perbedaan bentuk fisik yang disebabkan perbedaan harmonal, maupun perbedaan fungsi reproduksi. Namun ternyata perbedaan genetis atau biologis ini seringkali dianggap memilki korelasi serta berkaitan erat dengan perbedaan sikap dan perilaku antara pria dan wanita. Lihat Siti Sholihati, Wanita & Media Massa (Yogyakarta: Teras, 2007), 59-60 23M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, 269. 24 Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 1.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
45
Realitas yang ada masih sering dipertanyakan dan diragukan tentang
potensi perempuan.25 Perempuan dianggap memiliki potensi yang berbeda,
tidak sebagaimana dimiliki oleh kaum lelaki. Anggapan seperti ini antara lain
adalah sebagai akibat dari kesalahpahaman masyarakat tentang seks dan
gender 26 . Perbedaan gender 27 melahirkan peran gender, yang kemudian
أيھا حدة وخلق منھا زوجھا لذيٱربكم تقوا ٱ لناس ٱ ي ٱ تقوا ٱوبث منھما رجاال كثيرا ونساء و خلقكم من نفس و تساءلون به لذيٱ ٱإن ألرحام ٱو قيباكان عليكم ر
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Lihat: Departemaen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, 114. Ketika Islam lahir di Arabia, perempuan menempati kedudukan amat rendah. Mereka diperlakukan bukan hanya inferior secara sosial tetapi juga ibarat benda. Mempunyai anak perempuan merupakan tanda kehinaan dan banyak orang tua yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya. Di tengah-tengah kegelapan yang meliputi dunia, wahyu Ilahi bergema di padang pasir luas Arabia dengan pesan mulia dan universal bagi kemanusiaan. Ayat Al-Qur’an itu mengajarkan doktrin persamaan manusia, termasuk persamaan jenis kelamin dan menafikan semua perbedaan diakibatkan oleh jenis kelamin, ras, warna, bangsa, kasta atau suku; karena semua manusia, ujung-ujungnya, berasal dari satu sumber tunggal. Al-Qur’an suci dalam lebih dari satu tempat mengemukakan dengan jelas, mengenai perkembangan moral dan spiritual, bahwa laki-laki dan perempuan berada pada tingkat yang sederajat. Dalam menyeru kepada orang mu’min, Al-Qur’an sering menggunakan ungkapan ”laki-laki beriman dan perempuan beriman” untuk menekankan kesederajatan laki-laki dan perempuan berkenaan dengan kewajiban, hak, kebajikan dan kesalehan mereka. Lihat Raga’ El-Nimr, ”Perempuan Dalam Hukum Islam”, dalam Mai Yamani (ed.), Menyingkap Tabir Perempuan Islam Perspektif Kaum Feminis (Bandung: Nuansa, 2007), 135. 25 Wanita memiliki potensi yang dalam kenyataannya, bilamana ada peluang yang tepat dan sesuai dengan kemampuan, wanita dapat mengambil peran yang mantap. Bahkan dengan ciri-ciri khas yang dimiliki wanita secara kodrati, seperti keluwesan, kepekaan terhadap keindahan, ketelitian dan kemampuan untuk cepat menyesuaikan diri, para wanita ini mempunyai potensi besar dalam bidang-bidang kerja khusus. Lembaga-lembaga pendidikan kkhususnya pendidikan kejuruan, yang bertujuan mencetak tenaga kerja “siap pakai”, mempunyai peranan cukup besar dalam memanfaatkan potensi yang ada, yakni sifat kodrati wanita. Oleh karena itu diperlukan kepekaan suatu lembaga pendidikan dalam pengembangan potensi ini, untuk dijadikannya suatu bidang profesi yang mempunyai nilai ekonomis. Lihat Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Wanita Indonesia Suatu Konsepsi Dan Obsesi (Yogyakarta: Liberty, 1992), 33. Lebih lanjut dipaparkan bahwa tentang beberapa potensi wanita adalah, pertama, potensi wanita sebagai pengatur rumah tangga yang meliputi potensi kesejajaran wanita dan pria dalam rumah tangga, dan potensi wanita sebagai mitra pria dalam hidup rumah tangga; Kedua,potensi wanita sebagai tenaga kerja, yang meliputi potensi wanita dari segi pendidikan dan potensi wanita dalam memperoleh peluang kerja; Ketiga, potensi wanita dalam pengabdian masyarakat; Keempat, potensi wanita dalam pembangunan sosial budaya; Kelima, potensi wanita pada masa mendatang. Hemas, Wanita Indonesia, 34-51. 26 Belakangan ini telah terjadi pemahaman yang keliru di masyarakat. Apa yang sesungguhnya gender, karena pada hakekatnya adalah konstruksi sosial, dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan. Justru sebagian besar yang dewasa ini sering dianggap sebagai ”kodrat wanita” adalah konstruks sosial dan kultural atau gender. Misalnya mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga dianggap sebagai kodrat wanita.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
46
berujung pada ketimpangan gender baik bagi laki-laki maupun perempuan
yang pada umumnya berdampak sangat merugikan terutama bagi kaum
perempuan.
Selain itu menurut Susilaningsih 28 ketimpangan gender dalam
masyarakat disebabkan oleh sikap bias gender yang terserap dari pengetahuan
yang mengandung nilai tidak adil gender dalam masyarakat tertentu. Pola
relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat muslim di Jawa misalnya,
merupakan sistem pengetahuan tentang relasi laki-laki dan perempuan yang
terserap dari budaya Jawa dan tafsir ajaran agama yang disosialisasikan
melalui sentral pendidikan, yaitu pesantren, madrasah dan sekolah.
Dalam Islam peluang untuk memperoleh prestasi maksimum tidak ada
pembeda antara laki-laki dan perempuan. Hal ini ditegaskan dalam ayat-ayat
Padahal ini hanyalah peran gender, karena bisa dilakukan oleh laki-laki. Lihat Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 11. Ahmad Taufiq, Perspektif Gender Kyai Pesantren, Memahami Teks menurut Konteks Relasi Gender Dalam Keluarga (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009), 41. Kesalahpahaman atau kekurangtahuan masyarakat terhadap kedua istilah yang secara konseptual maupun implikasinya sangat berbeda ini, bisa disebabkan oleh beberapa hal: pertama, istlah gender tergolong bahasa asing. Kata gender bukanlah istilah baku yang muncul dalam kosa kata kamus bahasa Indonesia, namun dari kosa kata bahasa Inggris, gender, yang berarti jenis kelamin. Kedua, fenomena dan problem gender dianggap sebagai suatu problem yang tidak di sini tapi ”di sana”. Padahal sesungguhnya fenomena gender ada di sekitar kita, baik fenomena keadilan, maupun ketidakadilan gender. Ketiga, kondisi diatas mengakibatkan tidak adanya sensitivitas baik pada laki-laki maupun perempuan sendiri terhadap fenomena ketidakadilan gender yang terjadi, baik ketidakadilan terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan sekitarnya. Keempat, rendahnya daya asersitivitas terdap persoalan gender, mengakibatkan kaum perempuan terutama , merasa ”kurang mampu” menyuarakan problemnya, baik kepada sesama perempuan maupun kepada laki-laki. Lihat Umi Sumbulah, ”Problematika Gender” dalam Umi Sumbulah, dkk., Spektrum Gender, Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi (Malang: UN-Malang Press, 2008 ), 4. 27 Perbedaan gender yang kemudian melahirkan peran gender sebenarnya tidak menimbulkan masalah. Akan tepapi persoalannya adalah bahwa peran gender tradisional perempuan (perawat, pengasuh, pendidik, dan lain sebagainya) dinilai lebih rendah dibanding peran gender laki-laki. Selain itu, perbedaan peran ternyata juga menimbulkan masalah yang perlu digugat, yakni ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran dan perbedaan-perbedaan gender tersebut. Lihat Sahal Mahfudz, Pengantar dalam Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LkiS, 2007), xii. 28 Susilaningsih dan Agus M. Najib (ed.), Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, Baseline and Institutional Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: UIN Press, 2004), 3.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
47
al-Qur’an, seperti dalam surat 16 (an-Nahl) : 9729, dan pada al-Qur’an surat
40 (al-Mu’min) :40.30
Ayat-ayat al-Qur’an tersebut mengisyaratkan konsep keseteraan
gender yang ideal. Prestasi individual dalam bidang spiritual maupun urusan
karier fungsional, tidak harus dimonopoli oleh laki-laki saja. Namun
kenyataan di masyarakat bahwa konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan
sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya
yang sulit diselesaikan dan pemahaman kesetaraan yang masih konservatif.
Kemajuan dan perkembangan masyarakat di masa yang akan datang
ditentukan oleh peranan bersama yang dimainkan oleh perempuan maupun
laki-laki. Disini tidak dipersoalkan pihak mana yang mempunyai peranan
tersebut untuk mencapai kemajuan dan perkembangan bangsa. Menurut
Subhan31 bahwa, kemampuan, kesempatan dan keberanian merupakan pemacu
dan menjadi pelepas ketergantungan kaum perempuan kepada laki-laki.
Sebagaimana kaum laki-laki, perempuan mendapatkan kesempatan yang sama
dalam mengaktualisasikan diri dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
dimiliki sehingga dapat berdedikasi.
29
لحا من ذكر أو أنثى وھو مؤمن فلنحيينه من ولنجزينھم أجرھم بأحسن ما كانوا يعملون حيوة طيبة ۥعمل ص
”Barang siapa mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebhi baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Lihat: Departemaen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, 417. 30
من لحا من ذكر أو أنثى وھو مؤمن فأول يرزقون فيھا بغير حساب لجنة ٱئك يدخلون عمل سيئة فال يجزى إال مثلھا ومن عمل ص
”Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barang siapa yang mengerjakan amal yang shaleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk sorga, mereka diberi rizki di dalamnya tanpa hisab.” Lihat: Departemaen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, 765. 31 Zaitunah Subhan. Tafsir Kebencian, 157.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
48
Menurut Hidayatullah, 32 secara eksternal permasalahan perempuan
antara lain disebabkan oleh realitas sosial politik maupun ekonomi global
yang masih berpihak pada pelestarian budaya patriarki,33 dan secara internal
sebagian besar umat Islam masih belum terlepas dari pemahaman yang bias
gender dalam memahami doktrin dan ajaran Islam yang terkait dengan isu-isu
feminisme. 34 Bahkan menurut Saadawi 35 agama paling sering digunakan
sekarang sebagai alat di tangan kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik
sebagai sebuah lembaga yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkuasa
untuk menundukkan orang-orang yang dikuasainya. Dalam hal ini, agama
melayani tujuan yang sama -seperti halnya sistem hukum, pendidikan, polisi
bahkan psikiater- yang sering mengabadikan keluarga patriarkat, dan secara
historis melahirkan, menegakkan, serta mempertahankan dengan menindas
kaum perempuan,36 anak-anak dan para budak.
32 Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 1. 33 Patriarki adalah sebuah ideologi yang memberikan kepada laki-laki legitimasi suprioritas, menguasai dan mendefinisikan struktur sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik dengan perspektif laki-laki. Lihat Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2012), xvi. Bandingkan dengan dian Ferricha, Sosiologi Hukum & Gender Interaksi Perempuan Dalam Dinamika Norma Dan Sosio-Ekonomi (Malang: Bayumedia, 2010), 96. 34 Feminism berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan. Feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki di masyarakat. Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia (human being). Lihat Aida Fatilaya S. Hubies, dalam Membincang Feminisme Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita, ed. Dadang S. Anshori, dkk. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 19. 35 Nawal El Saadawi, Perempuan Dalam Budaya Patriarki Cet. II, Tarj. Zulhimiyasri (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 7. 36Masalah kedudukan dan peran perempuan dalam agama telah menjadi wacana yang “ramai” diperdebatkan. Hal ini dikarenakan ada sebagian orang melihat dan menilai bahwa banyak dalil (doctrines) keagamaan yang menempatkan sosok perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Dalam agama Islam umpamanya, isu-isu penting yang menjadi wacana tentang posisi perempuan, di antaranya menyangkut masalah penciptaan perempuan, kepemimpinan perempuan dalam rumah tangga, perkawinan, kesaksian, pencari nafkah, dan pewarisan. Dalil yang membahas soal-soal tersebut pada umumnya dianggap menempatkan posisi laki-laki dengan sangat strategis dan jauh lebih unggul daripada perempuan. Lihat Ratna Batara Munti, dkk. Respon Islam Atas Pembakuan Peran Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2005), 1.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
49
Keberadaan perempuan di ruang domestik, menjadikan anggapan
terhadap perempuan sebagai the second human khususnya dalam kehidupan
berumah tangga. Isu terhadap perempuan ini telah terkonsentrasi dengan peran
domestiknya. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa kemampuan dan
penalaran wanita kurang sempurna dibanding kaum pria dan ini diawali
dengan asal penciptaan.37 Padahal ruang domestik sebenarnya adalah hanya
peran, aktifitas rutin yang bisa dikerjakan atau digantikan oleh siapapun,
sehingga bukan merupakan kodrat wanita.38 Pada saat ini pekerjaan domestik
seperti memasak yang dulu hanya dapat dilakukan oleh perempuan, di tempat-
tempat tertentu seperti di rumah makan, di hotel, dan jajanan keliling telah
banyak dilakukan oleh laki-laki.
Sedangkan potensi secara etimologi dari bahasa Inggris potency yang
mempunyai beberapa pengertian, yaitu having great power; a potent and
dynamic force; having a strong effect; a potent drug/drink; likely to persuade
people; capable of having sex, 39 dan mempunyai pengertian tentang
37 Konsep tentang asal kejadian perempuan merupakan isu yang sangat penting dan mendasar, baik secara filosofis maupun teologis, karena ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan berakar dari konsep penciptaan. Asal penciptaan perempuan pertama (Hawa) yang terletak pada pemahaman surat an-Nisa’ ayat 1:
أيھا ٱلناس ٱتقوا ربكم ٱلذي خلقكم من ن حدة وخلق منھازوجھا ي …فس وHai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya… Maksud kalimat nafs wahidah adalah Adam dan zaujaha adalah (Hawa). Lihat Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al- Qur’an, 1971), 114. Dan hadith tentang penciptaan perempuan (Hawa) dari tulang rusuk, yatu:
استوصوا بالنساء ، فإن المرأة خلقت من ضلع « - صلى هللا عليه وسلم -عن أبى ھريرة رضى هللا عنه قال قال رسول هللالع أعاله ، فإن ذھبت تقيمه كسرته ، وإن »تركته لم يزل أعوج ، فاستوصوا بالنساء ، وإن أعوج شىءفى الض
Lihat: Ahamd bin 'Ảli bin Hajar Al-'Asqalậnỉ, Fath al-Bậrỉ Sharh S}ahỉh al-Bukhậrỉ. Juz VI . Editor Abd. 'Azỉz bin Bậz, (Bairut : Dậr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1989) 447. Karena adanya anggapan tersebut, maka muncullah pemahaman bahwa perempuan diciptakan dari laki-laki, dan merupakan makhluk kedua setelah laki-laki. 38 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 1999), 176. 39 A S Hornby. Ed. Jonathan Croether, Oxpord Advenced Leaner’s Dictionary (Oxpord New york: Oxpord Unversity Press, 1995), 902. Lihat: John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
50
kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan; kekuatan;
kesanggupan, daya.40
Dalam membahas tentang potensi perempuan, adalah bahwa tidak ada
perbedaan diantara seseorang dengan lainnya dari segi kemanusiaan, baik
perempuan maupun laki-laki. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan
diciptakan Allah sebagai makhluk tertinggi, termulia, dan sebagai khalifah fi
al ardh (pemimpin di muka bumi), yang dilengkapi dengan berbagai
karakteristik potensi pertumbuhan pisik dan perkembangan psikologis, antara
lain perkembangan intelek, emosi, moral, sosial, dan spiritual.41
Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana telah
menganugerahkan kepada laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup agar
masing-masing dapat melaksanakan aktifitas-aktifitas yang bersifat umum
Indonesia An English-Indonesian Dictionary (Jakarta: PT Gramedia Pustaka,2003), 440. Widodo Ahmad, dkk., Kamus lmiah Populer (Yogyakarta: Absolut, 2002), 584. M. Dahlan. Y. Al-Bary, L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah Ilmah Seri ntelektual (Surabaya: Target Press, 2003), 625. 40 Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 890. 41 Neviyarni, Pelayanan Bimbingan dan Konseling Berorientasi Khalifah Fil Ardh (Bandung: Alfabeta, 2009), 43. Lihat juga: al-Qur’an, 17 (al-Israa’) : 70.
منا ب ھم في ولقد كر ن ٱلبحر و ٱلبر ني ءادم وحملن ھم م ن خلقنا تفضيال ٱلطيبت ورزقن م ھم على كثير م لن وفض
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. Lihat: Departemen Agama RI., Allah telah memberitahukan tentang pemuliaan dan penyempurnaan ciptaan-Nya terhadap manusia dengan kondsi tubuh yang sangat baik dan sempurna, dan manusia sebagai makhluk tertinggi dan termulia itu diciptakan sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi. Namun walaupun manusia diberi kelebihan dan kemuliaan oleh Allah, tetap terbatas, tergantung dan sesuai dengan potensi pemberian Allah dan upaya manusia dalam mengembangkan potensinya. Dalam al-Qu’an, 49 (al-Hujurật) : 13 Allah berfirman:
إن أكرمكم عند … ...أتقٮكم ٱ
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Lihat: Departemen Agama RI., al- Qur’an dan Terjemahnya, 847. Dan al-Qur’an, 95 (at-Tin) : 4
ن لقد خلقنا نس في أحسن تقويم ٱإل
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Lihat: Departemen Agama RI., al- Qur’an dan Terjemahnya, 1076.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
51
maupun khusus. 42 Sesungguhnya tidak hanya laki-laki yang memiliki
kemampuan dan nalar kritis untuk membahas dan menilai berbagai macam
permasalahan, tetapi perempuan pun menerima karunia dari Allah
sebagaimana diberikan kepada laki-laki. Oleh karena itu diperlukan
keberanian untuk bersikap dan berperilaku berdasarkan keyakinan bahwa
perempuan juga makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berpikir dengan
tanpa merendahkan eksistensinya sebagai sesama manusia. Sikap seperti ini
sekaligus akan menggugurkan mitos inferioritas perempuan sebagai manusia
emosional dan superioritas laki-laki sebagai manusia rasional, baik oleh
kalangan laki-laki bahkan bisa jadi oleh kaum perempuan.43
Menurut Muhammad, 44 dalam tubuh perempuan sesungguhnya
tersimpan seluruh potensi besar kemanusiaan, layaknya manusia berjenis
kelamin laki-laki. Perempuan memiliki otak dan hati nurani dengan tingkat
kecerdasan dan kepekaan yang relatif setara dengan laki-laki. Energi fisik
perempuan juga tidak lebih lemah dari energi fisik laki-laki. Fakta dalam
dunia pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, profesi, budaya, dunia
spiritual, dan peradaban manusia sesungguhnya juga memperlihatkan realitas
ini. Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa seluruh potensi kemanusiaan
perempuan itu tenggelam atau ditenggelamkan atau dilupakan oleh dan dari
pusaran sejarah sosial yang didominasi oleh dunia maskulinisme.
42 Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), 280. 43 Hamim Ilyas, dkk., Perempuan Tertindas? Kajian hadith-Hadith Misoginis (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008), 10. 44 Husein Muhammad dalam Pengantar Ahli Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012), xvi.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
52
Potensi pemberian Allah itu adalah fitrah yakni berupa wadah atau
bentuk yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan,45 dan
merupakan kekuatan (potensi) yang terpendam di dalam diri manusia yang
dibawa sejak lahir. Daulay,46 menyatakan bahwa potensi manusia terdiri dua
macam. Pertama, potensi fisik, yaitu seluruh potensi yang meliputi seluruh
organ tubuh manusia yang berwujud nyata, bersifat material. Kedua, potensi
rohaniyah manusia, yakni potensi yang tidak berwujud nyata bersifat abstrak.
Secara kongkrit potensi utama manusia menurut Makbuloh 47adalah potensi
jasad dan roh, potensi akal, potensi qalbu dan potensi nafs.
Sedangkan Tafsir 48 dalam hal potensi ini menjelaskan bahwa
potensi/fitrah adalah kemampuan yakni pembawaan yang dibawa sejak
manusia lahir. Manusia mempunyai banyak kecenderungan –antara lain
kecenderungan beragama- yang secara garis besar ada dua kecenderungan
yaitu kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan menjadi
45 Djumransjah dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam Menggali Tradisi, Mengukuhkan Eksistensi (Malang: UIN Press, 2007), 41. 46 Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan,16. Zaini, lebih rinci tentang jumah potensi atau fitrah manusia amat banyak, antara lain adalah: Fitrah agama, fitrah intelek, fitrah sosial, fitrah susila, fitrah seni, fitrah ekonomi (mempertahankan hidup), fitrah kawin(mempertahankan jenis), fitrah kemajuan, fitrah keadilan, fitrah kemerdekaan, fitrah persamaan, fitrah politik (ingin kuasa), fitrah cinta bangsa dan tanah air, fitrah ingin dihargai dan fitrah lain-lainnya. Lihat Syahminan Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), 56. Selanjutnya Ramaliyus, membagi potensi manusia dalam tujuh dimensi, yaitu: dimensi fisik (jasmani), dimensi akal, dimensi keberagamaan, dimensi akhlak, dimensi rohani (kejiwaan), dimensi seni dan dimensi sosial.Lihat Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 82-95. Demikian pula Ghafur, tentang manusa laki-laki mempunyai cri-ciri kuat, rasional, jantan, perkasa, ganteng, tdak cengeng dll. Sedangkan manusia perempuan mempunyai sifat lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, cerewet, suka ngrumpi dll. Lihat: Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial mendialogkan Teks Dengan Konteks (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), 103. 47 Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi (Jakarta: Raja Grafindo, 2011), 49-57. 48 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 35.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
53
orang jahat. Dimana perkembangan manusia karena dipengaruhi pembawaan
dan lingkungan.49
Namun karena pengaruh berbagai faktor, menurut50 Suniti telah terjadi
dominasi oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain, sehingga karenanya
menimbulkan bentuk-bentuk diskriminasi, penindasan dan pelanggaran-
pelanggaran hak lainnya.
Untuk itu menurut Wahyudi,51 fitrah atau potensi harus dibina dan
dikembangkan melalui pendidikan secara seimbang, yaitu dengan
memperhatikan seluruh aspek yang ada pada manusia baik jasmani, rohani,
dan akal, ketiganya harus harmonis dan seimbang.
Menurut Parawansa,52 bahwa bangsa yang maju mengakui perlunya
perbaikan kualitas, status, dan peran perempuan dalam pembangunan untuk
meningkatkan keadilan dan memenuhi hak-hak asasi manusia yang setara
antara perempuan dan laki-laki. Peningkatan kualitas perempuan menjadi
dasar untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan bagi suatu bangsa.
Analisis ekonomi memberikan bukti bahwa rendahnya pendidikan dan
keterampilan perempuan, derajat kesehatan dan gizi yang rendah, serta
terbatasnya akses terhadap sumber daya pembangunan akan membatasi
produktivitas bangsa, membatasi pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi
49 Pengaruh pembawaan dan lingkungan itu dimulai sejak bayi berupa embrio, dan barulah berakhir setelah kematian. Tingkat dan kadar pengaruh berbeda antara seseorang dengan orang lain, sesuai dengan tingkat perbedaan pertumbuhan, perbedaan umur, perbedaan fase perkembangan masing-masing individu. Faktor pembawaan lebih dominan pengaruhnya tatkala orang masih bayi; faktor lingkungan (alam dan budaya) lebih dominan pengaruhnya tatkala orang mulai dewasa. Lihat: Omar Mohammad al-Toumy al- Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terjemahan Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan bintang, 1979),136. 50 Suniti, “Gender Dan Kekerasan Terhadap Perempuan” dalam Jurnal Pengkajian dan Penelitan Gender Equalita, Pusat Studi Wanita (PSW) STAIN Cirebon Volume 4 Nomor 3 (Juli, 2004), 7. 51 M. Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan, 104. 52 Khofifah Indar Parawansa, Mengukir Paradigma Menembus Tradisi, Pemikiran Tentang Keserasian Gender (Jakarta: LP3ES, 2006), 1.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
54
efisiensi pembangunan secara keseluruhan. Fenomena yang nampak bahwa
tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia menjadi lebih berat dan kompleks,
termasuk di dalamya adalah kualitas sumber daya manusia terutama yang
berkenaan kualitas perempuan yang belum begitu menggembirakan.
Upaya pemberdayaan potensi diri bisa meliputi bidang pendidikan,
kesehatan, ekonomi, maupun berperan di sektor publik, sehingga akan
melandasi kemampuannya meningkatkan kualitas hidup keluarga. Peran
perempuan dalam meningkatkan kualitas hidup keluarga adalah bagaimana
perempuan memiliki keberdayaan dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga
dan memberikan perlindungan kepada anak.
Fungsi-fungsi tersebut mulai dari fungsi keagamaan, sosial budaya,
cinta kasih, melindungi, reproduksi, pendidikan, ekonomi hingga lingkungan.
Peran perempuan dalam keluarga sangat dominan. Iklim rumah tangga yang
harmonis sangat mendukung integritas keluarga terutama dalam hal tumbuh
kembang anak-anak. Kehidupan keluarga merupakan wahana pertumbuhan
sumber daya manusia yang paling esensial bagi perkembangan bangsa. Oleh
karena tu, pembangunan bangsa bersumber dan dimulai dari rumah di dalam
keluarga.53
Menurut Ismail54 bahwa pengembangan sumber daya manusia pada
hakekatnya adalah merupakan upaya untuk mengaktualisasikan dan
mengembangkan seluruh potensi yang dimiiki secara terpadu untuk mencapai
kompetensi sebagai subjek pembangunan sesuai dengan tuntutan zaman.
53 Khofifah Indar Parawansa, Mengukir Paradigma, 75. 54 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran (Yogyakarta: LKis, 2003), 5.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
55
Sesungguhnya Allah telah memberikan potensi yang sama kepada laki-laki
maupun perempuan, yang membedakan diantara keduanya adalah kesempatan
untuk mengembangkan masing-masing potensi itu. Yang sering terjadi apakah
dilatarbelakangi oleh kultur atau disebabkan oleh tingkat ekonomi yang masih
menjadi pertimbangan, maka lebih memprioritaskan laki-laki dari pada
perempuan untuk melanjutkan pendidikan setingkat lebih tinggi.
Pengembangan sumber daya manusia semacam ini menempatkan
manusia sebagai faktor produksi untuk memperoleh pertambahan nilai
ekonomi, yang menekankan manusia sebagai sumber utama dalam
peningkatan produktifitas ekonomi dan sebaliknya modal sebagai penunjang
terhadap kreatifitas sumber daya manusia. Perempuan dituntut untuk memiliki
dan menguasai ilmu dan teknologi serta keterampilan profesional agar bisa
memasuki dunia kerja, dan memiliki sikap mandiri, tegas, wawasan yang luas,
berorientasi pada niai-nilai moral serta bisa berpikir kreatif inovatif dalam
menghadapi masa depan.
Dalam pandangan feminis kultural yang teori analisisnya kurang
memfokuskan pada asal-usul perbedaaan tetapi lebih fokus kepada
penyelidikan dan merayakan nilai sosial memunculkan perempuan yang khas,
yaitu cara-cara yang membuat perempuan yang berbeda dari laki-laki. Hal ini
memungkinkan feminis kultural menyisihkan bukan mencegah pada persoalan
yang diajukan oleh tesis esensialis.55 Feminis kultural memuji aspek-aspek
55 Goerge Ritzer, Teori Sosiologi Dari sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2012) 786-787. Feminitas esensial menyarankan bahwa perempuan dapat berperan sebagai perempuan atau bukan sesuai dengan keinginannya. Lihat: Stevi Jackson dan Jackie Jones (ed.). Pengantar Teori-teori feminis Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra, 1998), 294.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
56
positif hal yang dilihat sebagai “karakter perempuan” atau “kepribadian
feminim”.
Menurut pendukung feminis kultural, antara lain Marilyn French56
bahwa sifat tradisional perempuan adalah lebih baik dari pada sifat tradisional
laki-laki. Dalam mengatur pemerintahan, masyarakat membutuhkan
kebijakan-kebijakan perempuan seperti kerjasama, kepedulian, pasisme, dan
nonkekerasan di dalam penyelesaian berbagai konflik. French mengklaim
bahwa nilai-nilai feminisme harus diintegrasikan ke dalam masyarakat laki-
laki yang telah diciptakan oleh ideologi patriarkal. Bahkan pada feminis
kultural mutakhir yang dikembangkan oleh Caroll Gilligan,57 bahwa Gilligan
telah memberikan sumbangan besar bagi berubahnya arah diskursus
feminisme pascatahun 1980-an. Era yang ditandai dengan penerimaan kembali
konsep perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan. Pemikiran
Gilligan memberikan kontribusi terhadap adanya krisis identitas feminisme
yang terjadi, yang disebabkan oleh arus utama pemikiran feminisme adalah
menolak argumen nature tentang adanya peran stereotipe gender. Sedangkan
pada kenyataannya nature perempuan tidak pernah lepas dari peran feminine.
Istilah feminis kultural kalau dalam gerakan feminisme dikategorikan
pada feminisme radikal kultural yang termasuk dalam gelombang pertama
feminisme.58 Dalam aliran feminisme radikal, terdapat dua kelompok yang
berbeda dalam melihat persoalan seksisme. Mereka adalah kalangan feminis
radikal-libertarian dan kalangan feminis-radikal kutural. Perbandingan kedua
56 Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis (Yogyakarta; Jalasutra, 1998), 80-81. 57 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, 101. 58 Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis,(Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,2003) 84-85.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
57
pendapat antara kalangan feminis radikal libertarian dan feminis radikal
kultural adalah adanya ekstrimitas dalam melihat persoalan-persoalan
reproduksi. Pada pihak feminis radikal libertarian menganggap bahwa
reproduksi adalah sumber penindasan, sedangkan feminis radikal kultural
menganggap reproduksi justru menunjukkan “kekuasaan perempuan”.59
Secara pemikiran, feminis kultural (dalam konteks ini peneliti memilih
menggunakan feminis kultural), adalah penguatan kembali pada esensi
“keperempuanan”, bagi mereka lebih baik mempunyai ciri feminim di dalam
diri seseorang dari pada mempunyai ciri maskulin, sehingga perempuan tidak
perlu menjadi seperti laki-laki. Marilyn French 60 adalah salah seorang
penganut feminisme radikal-kutural yang mengatributkan perbedaan laki-laki
dan perempuan pada persoalan biologis (nature) ketimbang persoalan
sosialisasi (nurture). Ia menegaskan bahwa pada dasarnya ciri-ciri feminine
justru lebih unggul dari pada ciri-ciri maskulin.
Dalam membahas feminisme kultural, Megawangi 61 memang
membagi dalam dua golongan, yaitu kelompok yang lebih halus yang
menginginkan terciptanya perdamaian (ekofeminisme), dan kelompok ekstrem
yang membenci makhluk pria (feminisme radikal). Ekofeminisme mengkritik
feminisme modern yang menyuruh perempuan melepaskan nature feminin-
nya untuk merebut dunia maskulin. Pendekatannya dianggap akan gagal
dalam meruntuhkan dunia patriarkhi pada dunia maskulin, dan hanya akan
mengubah komposisi para aktor-aktornya saja. Kalau sebelumnya dunia
publik yang androsentris banyak dikuasai laki-laki, setelah para perempuan 59Ibid, 108. 60 Ibid, 109. 61 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 177.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
58
menjadi empowered dengan sifat maskulinnya yang baru diadopsi, akan lebih
banyak manusia yang masuk ke dunia maskulin. Yang terjadi adalah para
perempuan telah menjadi male clone (tiruan pria) di dunia maskulin.
Ironisnya, struktur maskulin yang dibenci oleh kaum feminis, justru menjadi
struktur yang diinginkannya bahkan mereka turut melestarikan sistem ini.
Fokus feminisme kultural adalah pandangan bahwa feminitas
merupakan bentuk perilaku manusia yang paling diperlukan. Untuk melihat
pandangan ideal melalui maskulinitas dan lebel-lebel yang diberikan pada
feminitas oleh dunia patriarkis, kaum feminis kultural mendefinisikan kembali
feminis dalam suatu kerangka positif. Menurut feminis kultural eksistensi
perempuan sebagai suatu realitas terpisah dan unik, yang memberikan (1)
suatu sistem terintegrasi yang sangat penting bagi pertahanan keluarga; (2)
cinta dan/atau etos tugas; dan (3) suatu loncatan budaya melalui kesadaran
yang nyata mengenai perilaku verbal/non-verbal atau melaui teknologi-
teknologi tersendiri.62
Kaum feminis kultural menganjurkan penciptaan suatu keragaman
struktur-struktur keluarga dengan meninjau kembali keluarga-keluarga
heteroseksual, memperbanyak keluarga yang berorangtua tunggal, dan
memasukkan keluarga-keluarga lesbian/gay. Mereka memfokuskan pada
proses-proses keluarga egalitarian, pengasuhan atau keluarga komunal.63
Sebenarnya feminisme kultural mempunyai tujuan sama dengan
kelompok feminisme lainnya, yaitu melakukan transformasi sosial melalui
perubahan yang evolusioner. Hanya kelompok ini percaya pada pemahaman 62 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Sosiologi Wanita (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), 31. 63 Ibid, 40.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
59
deterministis biologi, yaitu yang menegaskan perbedaan alami antara laki-laki
dan perempuan, sehingga timbul apa yang disebut kualitas feminin dan
maskulin. Oleh karena itu kelompok ini berpendapat bahwa untuk
meruntuhkan sistem patriarkat, hanya dapat dilakukan dengan menonjolkan
kualitas feminin. 64 Para feminis kultural menginginkan para perempuan
melestarikan sifat femininnya, dan masuk ke dunia maskulin sehingga para
perempuan dapat mengubah struktur maskulin menjadi feminin.
Untuk menonjolkan kualitas feminin, maka tidak ada jalan dan bentuk
lain kecuali dengan menggali potensi dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia perempuan.
Pengembangan potensi sumber daya manusia –perempuan- hanya
dapat digali dan dikembangkan serta dipupuk secara efektif melalui strategi
pendidikan dan pembelajaran yang terarah dan terpadu, yang dikelola secara
serasi dan seimbang dengan memerhatikan pengembangan potensi secara utuh
dan optimal. Pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dalam rumah tangga
menempati urutan yang utama dan pertama, karena lingkungan keluarga
adalah merupakan tempat di mana anak tumbuh dan berkembang sebelum
bertemu dan berkenalan dengan lingkungan yang lain. Dalam lingkungan
keluarga terutama dengan ibu, anak-anak paling banyak berinteraksi dan
berkomunikasi serta mendapatkan informasi dalam pergaulan dan kehidupan
sehari-hari. Oleh karena betapa penting peran dan eksistensi perempuan
dalam melaksanakan tugas dan peran sebagai isteri dan sebagai ibu di
lingkungan rumah tangga, maka Rasul saw. memberikan tuntunan yang tepat
64 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 176.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
60
bagaimana kreteria untuk mencari dan menentukan pasangan hidup bagi
seseorang (yaitu calon istri sebagai calon ibu bagi anak-anak dalam
keluarga).65
Islam memberikan petunjuk bagaimana seorang laki-laki atau seorang
perempuan memilih dan menentukan pasangan hidup (suami/isteri) untuk
bersama-sama membangun sebuah mahligai rumah tangga. Untuk itu bahwa
kualitas keimanan dan kualitas kemanusiaan lainnya adalah merupakan unsur
utama secara integral dalam menentukan kreteria pasangan keluarga ideal,
disamping itu kualitas fisik juga mendapatkan perhatian, walaupun bukan
pada prioritas utama.66
Kalau laki-laki (pada umumnya) mempunyai hak untuk memilih, maka
perempuan memiliki hak menentukan dan mengambil keputusan, tentu
65
عليه وسلم قال تنكح المرأة أل عنه عن النبي صلى هللا ربع لمالھا ولحسبھا وجمالھا ولدينھاعن أبي ھريرة رضي هللا
ين ت ربت يداك ( البخاري)فاظفر بذات الد
Dari Abu Hurairah r.a., Rasuluah saw. Bersabda: “wanita dikawini karena empat hal: karena harta bendanya, karena status sosialnya, karena keindahan wajahnya, dan karena ketaatannya kepada agama. Pilihlah wanita yang taat kepada agama, maka kamu akan berbahagia”. Lihat: H. Zainuddin Hamidy, dkk., Terjemah Hadith Shahih Bukhari jilid iv hadith ke 1588 (Klang Selangor Maaysia: Klang Book Centre, 1990), 10. Hadith tersebut dapat dipahami bahwa terdapat empat kreteria atau alasan bagi seseorang ketika mencari, memilih dan menentukan calon isteri atau calon ibu bagi anak-anaknya. Kreteria pertama, adalah memilih perempuan dikarenakan oleh harta benda yang dimiliki perempuan atau keluarganya, kedua karena status sosial atau keturunannya, dan ketiga karena kecantikan yang dimiliki perempuan, sedangkan kreteria keempat adalah ketaatan perempuan pada agama. Memperhatikan hadith tersebut maka kreteria pertama, kedua dan ketiga adalah merupakan pemberitahuan, dan kreteria tersebut merupakan keinginan dan mungkin kebanggaan bagi siapapun yang memiliki isteri atau suami yang memliki kreteria tersebut sebagai sarana untuk mencapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Kreteria keempat adalah kreteria ketaatan pada agama. Pada kreteria keempat bukan hanya pemberitahuan sebagaimana pada kreteria yang lain, bahkan kemudian dilanjutkan dengan perintah (fiil amar) untuk (wajib) memilih perempuan yang paham tentang agama, terampil melaksanakan ajaran agama dan berkepribadian sesuai dengan tuntunan agama, untuk mencapai kesejahteraan dalam rumah tangga dan bermasyarakat, serta untuk meraih kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat kelak. 66 Atho Mudzhar, “Peran Keluarga Dalam Pembentukan Moral Bangsa” dalam Edukasi Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Volume 3 Nomor 3. (Juli-September 2005), 7.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
61
sayogyanya dalam hal ini dapat mengikuti petunjuk Rasulullah yaitu
mengutamakan pada kreteria laki-laki yang taat kepada agama Allah. Pesan
dan petunjuk Rasul saw. yang dapat diambil antara lain adalah sebagai upaya
bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia generasi mendatang, melalui
beberapa faktor yang sangat menentukan.
3. Jaring Kuasa Perempuan dan Gender
Gender adalah peran-peran sosial yang dikonstruksi oleh masyarakat.
Peran-peran tersebut berkaitan dengan tugas, fungsi, hak dan kewajiban serta
kesempatan bagi laki-laki dan perempuan yang dibentuk oeh ketentuan sosial,
nilai-nilai yang berlaku, dan budaya lokal.67
Pendapat Scott68, tentang gender adalah sebuah elemen konstitutif dari
hubungan-hubungan sosial yang didasarkan atas persepsi yang berbeda antara
dua jenis kelamin, dan merupakan suatu cara utama untuk memaknai
hubungan-hubungan kekuasaan. Gender adalah arena dimana dan dengan cara
seperti apa kekuasaan diartikulasikan. Gender dikonstruksikan secara sosial,
dimantapkan, dilanggengkan dan direproduksi secara kultural. Oleh karena
itu, gender tampil dalam berbagai cara dan dalam berbagai aspek kehidupan
sosial dan budaya.
Manusia yang terdiri dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dan
adanya kenyataan perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan
tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi efek perbedaan biologis terhadap
67 Siti Musdah Mulia, (ed.), Keadian & kesetaraan Gender (Perspektif Islam) (Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001),123. 68Scott, J.W. “Gender as a Useful Category of Historical Analysis”, in Parker, R. and Aggleton, P.
(eds.) Culture, Society, and Sexuality, (London: UCL Press, 1999). 66
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
62
perilaku manusia, khususnya dalam perbedaan relasi gender, menimbulkan
banyak perdebatan.
Unger berpendapat sebagaimana dikutip Umar 69 bahwa perbedaan
anatomi biologis dan kompossi kimia dalam tubuh manusia oleh sejumlah
ilmuwan dianggap berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas
intelektual masing-masing laki-laki dan perempuan.
Dalam wacana kesetaraan perempuan dan laki-laki menurut
Nurhayati 70 masih menimbulkan kontroversi di kalangan para intetektual.
Demikian pula dalam fenomena sosio kultural, laki-laki masih dominan
memegang kendali kekuasaan, dimana kekuasaan dan kebijakan yang
diberlakukan hanya berdasarkan strandar laki-laki.
Konsep perbedaan jenis kelamin yang sering dirancukan dengan
konsep gender 71 sebagai konstruksi sosial oleh pemahaman masyarakat
69 Unger mengidentifikasi perbedaan emosional dan intelektual antara laki-laki dan perempuan sebagai berikut: bagi laki-laki (masculine) sangat agresif, independent, independen, tidak emosional, dapat menyembunyikan emosi, lebih obyektif, tidak mudah terpengaruh, tidak submitif, sangat menyukai pengetahun eksakta, tidak mudah goyah terhadap krisis, lebih aktif, lebih kompetitif, lebih logis, lebih mendunia, lebih terampil berbisnis, lebih terus terang, memahami perkembangan seluk beluk dunia, berperasaan tidak mudah tersinggung, dan lebih suka berpetualang. Sedangkan bagi perempuan tidak terlalu agresif, tidak terlalu independen, lebih emosional, sulit menyembunyikan emosi, lebih subyektif, mudah terpengaruh, lebih submisif, mudah terpengaruh, kurang menyenangi ilmu eksakta, mudah goyah menghadapi krisis, lebih pasif, kurang kompetitif, kurang logis, berorientasi ke rumah, kurang terampil berbisnis, kurang berterus terang, kurang memahami seluk beluk perkembangan dunia, berperasaan mudah tersinggung, tidak suka berpetualang, sulit mengatasi persoalan, lebih sering menangis, tidak umum tampil sebagai pemimpin, kurang rasa percaya diri, kurang senang terhadap sikap agresif, kurang ambisi, sulit membedakan antara rasa dan rasio, kurang merdeka, lebih canggung dalam penampilan, pemikiran kurang unggul dan kurang bebas berbicara.Ibid, 38. 70 Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 1. 71 Jenis kelamin (sex) memang berbeda sejak lahir antara laki-laki dan perempuan, menjadi hak penuh Tuhan dalam menentukan jenis kelamin manusia. Lain hanya dengan pembedaan gender, terjadi melalui sebuah proses panjang yang dilakukan oleh manusia (masyarakat) melalui pencitraan, pemberian peran, cara memperlakukan dan penghargaan terhadap keduanya. Oleh sebab konstruksi sosial merupakan bentukan masyarakat, maka sifatnya bisa berubah atau diubah sesuai dengan perubahan social, perkembqngan ilmu pengetatahuan dan teknologi, terjadi musibah, bencana alam, termasuk kebijakan dan pemahaman agama maupun adaptasi dengan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
63
berimplikasi dan menyebabkan pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab
laki-laki dan perempuan dalam konteks sosial. Sebenarnya perbedaan jenis
kelamin yang berimplikasi terhadap fungi dan peran terhadap laki-laki dan
perempuan ini pada dasarnya tidak dipermasalahkan kalau memang
merupakan pilihan yang dilakukan secara sadar dan tidak ada unsur
keterpaksaan dan atau diskriminasi. Namun ketika dicermati lebih mendalam,
perbedaan dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan ini dapat menjadi
penyebab munculnya diskriminasi gender. Yakni salah satu jenis kelamin
terutama yang banyak terjadi pada perempuan terabaikan hak-hak dasarnya,
tertinggal dan mengalami masalah ketidakadilan.
Perbedaan gender prinsip dasarnya adalah sesuatu yang wajar dan
merupakan sunnatullah 72 sebagai suatu fenomena. Tidak ada satupun
manifestasi ketidakadilan gender yang lebih penting atau lebih esensial dari
yang lain, sebab diantara yang satu dengan yang lain saling ada keterkaitan
dan saling mempengaruhi secara dialektis. Untuk memahami bagaimana
perbedaan gender itu menyebabkan ketidakadian gender dapat dilihat melalui
berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada.
Bentuk ketidakadilan yang banyak menimpa perempuan adalah
meliputi stereotipe, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan (violence) dan beban
budaya yang tidak bias gender. Lihat Mufidah Ch., Pengarusutamaan Gender Pada Basis Keagamaan, Pendekatan Islam, Strukturasi, & Konstruksi Sosial (Malang: UIN Malang Press, 2009), 6. 72 Ada beberapa pengertian sunnatullah; yatu hukum-hukum Allah yang disampaikan kepada umat manusia melalui para rasulNya; hukum atau undang-undang keagamaan yang ditetapkan Allah seperti yang termaktub dalam kitab suci Al-qur’an; hukum alam, hukum yang berjalan secara alami dan otomatis empirik. Lihat: M. Dahlan. Y. Al-Barry, L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk, 748.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
64
ganda.73 Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan, karena
antara satu dengan yang saling berkaitan dan berhubungan, saling
mempengaruhi secara dialektis.
Kuatnya hegemoni laki-laki berakar pada perspektif tentang kodrat,
tugas dan peran perempuan yang secara tradisional meniscayakan bahwa
peran dan fungsi perempuan diidentifikasikan sebagai pelaku peran-peran
reproduksi dan peran-peran domestik. Seperti peran bereproduksi, mengurus
rumah tangga, merawat dan mendidik anak adalah bukan sektor publik,
sehingga kenyataan yang demikian membuat perempuan semakin
terpinggirkan di sektor publik, dan mereka tidak diberi kesempatan untuk
berpartisipasi di dalamnya.74
Kalaupun ada keberperanan perempuan dalam pembangunan, tidak
lantas dapat melepaskan belenggu perempuan dari mitos-mitos patriarki.
Realitas yang ada bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah, malah
semakin memiliki beban ganda yang sangat berat. Pertama, ia akan menjadi
tulang punggung keluarga yang dibebani dengan pencarian nafkah keluarga,
dan bukan sekedar partisipasi membantu suami menambah income keluarga.
Padahal secara ekonomi, menurut Rusli Syarif sebagaimana dikutip Munir,75
bahwa jika semua aktivitas perempuan dinominasikan mulai dari urusan
rumah tangga sampai pada sektor publik akan mencapai nilai produktivitas
yang lebih tinggi dibanding aktifitas laki-laki. Kedua, fungsi-fungsi keluarga 73 Umi Sumbulah dkk., Spektrum Gender Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi (Malang: UIN-Malang Press, 2008),14. Lihat: Ratna Batara Munti, dkk., Respon IIslam Atas Pembakuan Peran Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2005), 5. 74 Dadang S. Anshori, dkk. (ed.) Wacana Pengantar Dari Feminisme Hingga Feminim Potret Perempuan Di Dunia Maskulin, dalam Membincang Feminisme Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 4. 75 Misbahul Munir, Produktivitas Perempuan Studi Analisis Produktivitas Perempuan dalam konsep Ekonomi Islam (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 8.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
65
harus tetap dijalankan sebagaimana layaknya seorang perempuan yang
memilih tugas domestik. Sehingga memang benar, tugas perempuan memang
menjadi lebih berat, dimulai semenjak terbit matahari sampai terbenamnya
mata suami.
Sebenarnya upaya pemecahan persoalan yang menyangkut relasi
sosial antara laki-laki dan perempuan baik dalam ranah domestik maupun
publik telah lama selalu menjadi bahan pokok perbincangan dan perdebatan;
dan setelah terbongkarnya persoalan perempuan baik secara kultural76 maupun
struktural 77 yang dipandang menyudutkan posisi perempuan, ternyata
persoalan yang menyangkut perempuan belum terselesaikan, bahkan makin
bertambah kompleks. Walaupun pada era sekarang ini perempuan telah
mempunyai peluang untuk berkiprah dalam program pembangunan secara
lebih luas, namun pada dimensi-dimensi tertentu masih ditemukan persoalan-
persoalan baru.
Menurut Susilaningsih,78 bahwa salah satu upaya untuk terwujudnya
keadilan gender dalam masyarakat adalah pendidikan yang merupakan kunci
utama. Disamping merupakan alat untuk mentransfer norma-norma
masyarakat, pengetahuan dan kemampuan mereka, pendidikan juga sebagai
76 Adanya keyakinan/pandangan masyarakat yang diakibatkan oleh bias gender terutama terhadap perempuan, seperti semua jenis pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan publik yang dianggap pekerjaan laki-laki, dan dikategorikan sebagai pekerjaan yang bukan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik negara. Di lain pihak, kaum laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik. Lihat: Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, 48. 77 Ketidakadilan gender terjadi di lingkungan rumah tangga, sampai pada tingkat pemerintahan baik pada satu negara maupun organisasi antar Negara. Mulai dari proses pengambilan keputusan, pembagian kerja, hingga interaksi antara anggota keluarga, di dalam banyak rumah tangga sehari-hari asumsi bias gender masih digunakan. Manifestasi ketidakadilan gender ini tersosialisasi kepada kaum laki-laki dan perempuan secara mantap dan akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan diyakini bahwa peran gender itu merupakan suatu yang kodrat. Lihat: Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, 49. 78 Susilaningsih, Agus M. Najib, (ed.), Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi, 30.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
66
alat untuk mengkaji, menyampaikan ide-ide dan nilai-nilai baru. Pendidikan
merupakan sarana formal untuk sosialisasi sekaligus transfer niai-nilai dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, termasuk nilai dan norma
gender, yang sejak awal perlu diupayakan terwujudnya keadilan gender. Nilai
dan norma tersebut ditransfer secara lugas maupun tersembunyi, baik melalui
buku-buku teks yang digunakan maupun pada suasana dan proses
pembelajaran.
Menurut Arifin,79 bahwa dalam perspektif global sesungguhnya telah
berkembang suatu kesadaran kolektif tentang kesetaraan gender. Ini bisa jadi
merupakan buah keberhasilan yang cukup signfikan dari gerakan feminis yang
dengan gigih berjuang menerobos perangkap maskulinisasi budaya (the
masculinization of culture) yang telah memberikan keleluasaan terhadap kaum
laki-laki memegang kendali sektor publik di satu pihak, dan pengebiran status
dan peran kaum perempuan di pihak lain. Namun realitas yang berkembang
masih banyak problem bias gender memenjarakan peran kaum perempuan,
yang disebabkan oleh banyak faktor sehingga terjadi fenomena yang dapat
dianalisis oleh para pakar maupun aktifis gerakan feminisme. Persoalan ini
secara sederhana dapat dibedakan menjadi faktor eksternal dan faktor
internal.80
79 Syamsul Arifin, Merambah Jalan Baru, 174. 80Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme, 1. Perbedaan anatomi tubuh dan genetika antara laki-laki dan perempuan didramatisir dan dipolitisir terlalu jauh sehingga seolah-olah secara substansial perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Anggapan seperti ini lebih diperkuat oleh berbagai mitos dan pernyataan kitab suci (Alkitab) yang menyatakan perempuan sebagai ciptaan kedua. Persepsi seperti ini mengendap di bawah sadar perempuan sehingga mereka “rela” untuk menerima perbedaan peran gender yang dinilai kurang adil. Perbedaan peran tersebut bukan karena kodrat atau faktor biologis (divine creation), tetapi karena faktor budaya (cultural contructioan). Lihat: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan, 39.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
67
Secara eksternal, di antara penyebabnya adalah realitas sosial politik
maupun ekonomi global yang masih mewarisi dan berpihak pada pelestarian
budaya patriarki, yakni pandangan yang lebih mengistimewakan kaum laki-
laki daripada kaum perempuan yang dilakukan oleh baik laki-laki bahkan bisa
jadi para kaum perempuan.
Sedangkan secara internal antra lain umat Islam sendiri masih belum
terlepas dari pemahaman yang bias gender dalam memahami doktrin dan
ajaran Islam yang terkait dengan isu-isu feminisme. Padahal dalam acuan
normative Islam, di samping ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith misoginis
yang memang potensial menjadi penyebab berkembangnya penafsiran yang
patriarkhal, masih banyak nash-nash keagamaan yang memiliki spirit yang
mendukung kesetaraan gender.
Disamping itu fenomena pelanggengan dominasi maskulin nampak
dalam kehidupan relasi laki-laki dan perempuan, sebagaimana diungkap
Bourdieu 81 bahwa kaum perempuan umumnya setuju dengan laki-laki
(misalnya dari pihak mereka menginginkan perempuan lebih muda) untuk
menerima tanda-tanda dari luar suatu yang terdominasi. Dalam representasi
yang mereka buat tentang hubungan mereka dengan laki-laki yang (akan)
mereka lekatkan dengan identitas sosial mereka, kaum perempuan
memperhitungkan representasi yang cenderung dibuat oleh semua laki-laki
dan perempuan tentang laki-laki, dengan mengaplikasikan skema-skema
persepsi dan apresiasi yang ada di semua orang secara universal.
81 Pierre Bourdieu, Dominasi Maskulin, 52.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
68
Secara diam-diam dan secara tidak terbantahkan, prinsip-prinsip
bersama itu menuntut bahwa laki-laki menduduki posisi dominan di antara
mereka berdua. Posisi dominan itu harus untuk laki-laki, untuk kehormatan
yang diakui perempuan apriori dan diinginkan agar diakui secara universal.
Tetapi posisi dominan itu juga untuk perempuan itu sendiri, untuk kehormatan
mereka sendiri. Pada umumnya perempuan hanya bisa menginginkan,
menerima dan mencintai laki-laki yang kehormatannya jelas telah terafirmasi
dan dibuktikan lewat fakta bahwa secara jelas “laki-laki itu telah
melebihinya”.
Stratifikasi di antara dua jenis kelamin ini kemudian membagi
kehidupan menjadi dua dunia, yakni dunia domestik yang feminine dan tidak
esensial yang diperuntukkan bagi perempuan, dan duna publik yang maskulin
dan menentukan, yang menjadi dunia laki-laki. Produksi dan reproduksi
hubungan antara keduanya menimbulkan ketimpangan hubungan perempuan
dan laki-laki, yang makin membatasi sikap dan periaku perempuan sebagai
warga kelas dua.82
Implikasi-implikasi penting dalam relasi kuasa berbasis gender
dimana perempuan tersubordinasi di bawah laki-laki tidak hanya terkait
dengan dimensi-dimensi ekonomi dan politik namun lebih jauh pada
pengetahuan dan ilmu bahwa superioritas laki-laki dalam relasi kuasa
berimplikasi pada penguasaan dan kontrol wacana oleh laki-laki.83
82 Sri Harjanti Widyastuti, “Perempuan Menerjang Hambatan Budaya: Catatan Dari Lapangan” dalam Jurnal Reformasi Ekonomi Vol. 8, No. 1 (Januari-Desember 2007), 17. 83 Rahmat Hidayat, Ilmu Yang Seksis Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin (Yogyakarta: Jendela, 2004), 235.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
69
Namun menurut Foucault, 84 kenyatannya ilmu-imu kemanusiaan
diarahkan kepada manusia sepanjang dia hidup, berbicara dan memproduksi.
Sebagai makhluk hidup, manusia tumbuh memiliki fungsi dan kebutuhan, dan
menyaksikan terbukanya ruang yang koordinatnya bisa digerakkan dan
bertemu dalam dirinya. Manusia berhubungan dengan masa lalunya, dengan
benda dan manusia lainnya yang akhirnya bisa membangun pengetahuan,
khususnya pengetahuan tentang dirinya (body of knowledge).
Disamping itu tentang kekuasaan, Foucault85 meninggalkan anggapan
lama bahwa pengetahuan hanya mungkin berkembang di luar wilayah
kekuasaan. Menurutnya, antara pengetahuan dan kekuasaan justru terdapat
relasi yang saling memperkembangkan. Tidak ada praktek pelaksanaan kuasa
yang tidak memunculkan pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang di
dalamnya tidak mengandung relasi kuasa. Foucault menganalisis relasi kuasa
dan pengetahuan yang berpangkal bukan dari ‘subjek’ pengetahuan yang
bebas atau yang tidak bebas dari relasi sistem kuasa, tetapi sebaliknya,
memandang bahwa baik subjek yang mengetahui, objek yang diketahui
maupun cara pengetahuan terjadi merupakan akibat mendasar relasi kuasa dan
pengetahuan. Jadi bukan aktivitas yang menghasilkan tubuh pengetahuan,
melainkan relasi antara kuasa dan pengetahuan.
Foucault melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang maha hadir dalam
masyarakat, karena sama-sama terikat dengan kondisi-kondsi relasi sosial
secara umum. Dalam hubungannya dengan studi kekuasaan/pengetahuan
84 Michel Foucault, Order Of Thing Arkiologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan , B. Priambodo (penerj.) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 402. 85 Michel Foucault, Disiplin Tubuh, Bengkel Individu Modern Penerj. Sunu Hardiyanta, (Yongyakarta, LkiS, 1997), 27-28.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
70
Foucault memakai tiga konsep mengenai bentuk-bentuk umum rasionalitas,
yaitu strategi, teknologi dan program kekuasaan.86
Maka kepemimpinan dan kekuasaan perempuan tentu bisa dilihat
sebagai kekuasan dalam konsep Foucault, 87 yaitu kekuasaan dipahami
sebagai:
a. Hubungan kekuatan yang imanen di bidang hubungan kekuatan itu
berlaku, dan yang merupakan unsur-unsur pembentuk dan organisasinya.
b. Permainan dengan jalan perjuangan dan pertarungan tanpa henti
mengubah, memperkokoh, memutarbalikkan.
c. Hubungan kekuatan yang saling mendukung sehingga membentuk
rangkaian atau sistem, atau sebaliknya, kesenjangan, dan kontradiksi yang
saling mengucilkan.
Karena hubungan kekuatan tidak merata, landasan labil dari berbagai
hubungan kekuatanlah yang terus menerus menghasilkan barbagai situasi
kekuasaan, yang terus bersifat lokal dan tidak stabil. Kekuasaan ada di mana-
mana, bukan karena mencakup segalanya, namun karena datang dari mana-
mana. Kekuasaan “itu” –yang permanen, terulang, beku, memproduksi
sendiri– hanyalah dampak menyeluruh, yang tampil berdasarkan semua
mobilitas. Kekuasaan adalah perangkaian yang bertopang pada setiap
mobilitas dan sebaliknya berusaha membekukan mereka. Kemungkinan besar
kita harus bersikap nominalis di sini: kekuasaan, bukan sebuah lembaga, dan
bukan pula sebuah struktur, bukan semacam daya yang terdapat pada beberapa
86 Colin Gordon, Michel Foucault Power/knowledge Wacana Kuasa/Pengetahuan terj. Yudi Santoso (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), 304. 87Foucault, Sejarah Seksualitas Seks dan Kekuasaan, trj. Rahayu S. hidayat , Peny, Jean Couteau, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1997).113-114
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
71
orang. Kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada suatu situasi strategis
yang rumit dalam masyarakat tertentu.
Menurut Antony Synott 88 , bahwa Michel Foucault adalah salah
seorang pemikir poststruktural yang juga merumuskan teori tentang
kekuasaan, memperkenalkan sejumlah perangkat untuk menerangkan proses
bekerjanya kekuasaan melalui bahasa dalam menciptakan kategori, melakukan
berbagai proses pendisiplinan pemikiran. Ia menyebut semua aturan diskursif
yang merupakan bagian dari sistem pengetahuan, yang sedemikian mendasar
sehingga tidak lagi dipertanyakan orang itu sebagai “wacana”.
Kekuasaan mewujudkan diri melalui wacana dengan berbagai cara,
diantaranya adalah melalui prosedur menyeleksi atau memisahkan mana yang
dianggap layak dan tidak layak dengan memberlakukan pelarangan terhadap
berbagai jenis wacana, dengan membuat pembedaan terhadap apa yang
dianggap sehat dan yang tidak waras, yang benar dan yang salah.
Foucault melibatkan semua interaksi dan hubungan dalam kekuasaan,
dan di mana ada kekuasaan, di situ pun ada resistensi dalam bentuk lugas
maupun terselubung. Para pemikir feminis memberikan perhatian khusus
terhadap peran berbagai produk budaya lainnya dalam melakukan representasi
atau konstruksi imajinasi-imajinasi atau penyajian kembali kenyataan dalam
bentuk visual dan verbal yang menyiratkan makna dan ideologi tertentu.
Representasi bisa dianggap suatu “medan perang” kepentingan atau kekuasaan
ideologi.
88 Antony Synnott, Tubuh Sosial Simbolisme, Diri dan Masyarakat. (Yogyakarta: Jalasutra, 2003) 419
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
72
Teori kekuasaan Foucault 89 tidak netral dari gender. Kekuasaan di
dalam masyarakat patriarkhal berasal dari laki-laki; dengan kata lain, tema
‘bio-politik’ menyembunyikan realitas kekuasaan laki-laki atas tubuh
perempuan, atau yang lebih khusus, seksualitas perempuan. Frase ‘disiplin dan
penghukuman’ dengan demikian khas gender; disiplin dan tatapan laki-laki.
Bagi Foucault, kuasa tidaklah dimiliki, diberikan atau diperebutkan, lebih baik
ia jalankan dan eksis. Sebagai akibat dari posisi ini, Foucault menolak
menyamakan kuasa dengan struktrur sosial seperti patriarki. Pentingnya
negosiasi atau pergulatan di dalam masyarakat tidak semata-mata berkenaan
dengan pemilikan kuasa, tapi pada istilah penyebaran kuasa yang
diperebutkan. Kuasa dipahami bersifat plural, tidak bekerja pada lintasan
tunggal.
Dalam hal ini tentu sangat penting menggunakan konsep hegemoni
Gramsci. 90 Hegemoni menurut Gramsci adalah bahan esensial filsafat yang
paling modern mengenai praksis (hubungan pemikiran dan tindakan) adalah
konsep filosofis-historis “hegemoni”. Hegemoni didefinisikan Gramsci
sebagai kepemimpinan budaya yang dilaksanakan oleh kelas yang berkuasa.
Dia mengontraskan hegemoni dengan paksaan yang dilaksanakan oleh
kekuatan dan kekuasaan legislatif atau eksekutif, atau diungkapkan melalui
campur tangan politisi. Gramsci menekankan hegemoni dan kepemimpinan
budaya.
89 Ann Brooks, PosFeminisme & Cultural Studies sebuah Pengantar Paling Konferhensif (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 84-85. 90 Goerge Ritzer, Teori Sosiologi Dari sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 2012), 476.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
73
Dari beberapa statemen tersebut, tentang kekuasan walaupun tidak
netral gender, ternyata kekuasaan bisa terjadi pada siapa saja laki-laki maupun
perempuan, dengan berbagai cara yang ia jalankan dan eksis, misalnya dengan
pengetahuan,kepercayaan atau kemampuan yang lain. Karena kekuasaan
bukanlah sebuah lembaga atau sebuah struktur, bukan semacam daya yang
terdapat pada beberapa orang. Bagaimana seseorang untuk mengadakan
negosiasi atau pergulatan di dalam masyarakat tidak semata-mata berkenaan
dengan pemilikan kuasa, tapi pada istilah penyebaran kuasa yang
diperebutkan. Kuasa dipahami bersifat plural, tidak bekerja pada lintasan
tunggal.
Begitu banyak hal, fenomena sosial budaya yang muncul setiap hari,
bahkan setiap saat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (budaya)
yang bergerak begitu luar biasa dan cepat, telah mengubah banyak hal
termasuk aspek (dimensi) kesadaran manusia. 91 Disamping itu dunia terbuka,
dunia yang sudah menjadi kampung global (global village) menuntut
kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap
bangsa. Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila
dia terus menerus memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuannya.92
Untuk melihat pembentuakan realitas sosial, ekonomi dan politik
perempuan disamping perbedaan domestik dan publik, menurut Munir 93
adalah adanya proses sosial dalam pembentukan realitas perempuan yaitu
kontruksi, dekontruksi dan rekontruksi. Kontruksi merupakan susunan suatu
91 Toeti Heraty Noerhadi, Aku dalam Budaya Telaah Teori & Metodologi Filsafat Budaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 264. 92 Nur Ahid, “Pendidikan dan Otonomi Daerah” Akademika Jurnal Studi Keislaman Volume 12, Nomor 2 (Pebruari, 2003), 65-66. 93 Misbahul Munir, Produktivitas Perempuan, 69.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
74
realitas obyektif yang telah diterima dan menjadi kesepakatan umum,
meskipun di dalam proses konstrusi itu tersirat dinamika sosial. Dekontruksi
terjadi pada saat keabsahan realitas (obyektif) kehidupan perempuan
dipertanyakan yang kemudian memperlihatkan praktik-praktik baru dalam
kehidupan perempuan. Pada dasarnya salah satu kecenderungan perempuan
meninggalkan rumah (bekerja di luar rumah) dapat dilihat sebagai suatu tanda
dari adanya proses dekonstrusi terhadap realitas sosial perempuan yang baku.
Ranah publik merupakan perluasan dari ranah domestik yang menjadi
dasar penilaian dan perlakuan yang dikenakan terhadap perempuan.
Dekontruksi ini kemudian menghasilkan proses rekonstruksi, yang merupakan
proses konseptualisasi dan redefinisi perempuan. Gejala keterlibatan
perempuan di luar rumah menandakan bahwa perempuan telah berusaha
merekonstruksi sejarah hidupnya dengan membangun identitas baru bagi
dirinya, tidak hanya sebagai ibu atau isteri, tetapi juga sebagai pekerja dan
perempuan karir.
Menurut Bourdieu, 94 perubahan besar yang terjadi adalah bahwa
dominasi maskulin tidak lagi dihadirkan dengan segala fakta yang terjadi
dengan sendirinya. Telah dilakukan kerja kritik yang sangat besar oleh
gerakan feminis. Sekurang-kurangnya pada wilayah tertentu ruang sosial,
gerakan feminis itu telah berhasil memutus lingkaran pemaksaan yang
digeneralkan.
Selain itu misalnya makin besarnya kesempatan bagi perempuan untuk
masuk ke dalam pendidikan sekunder atau pendidikan superior atau masuknya
94 Pierre Bourdieu, Dominasi Maskulin (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 124.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
75
perempuan ke dalam lapangan kerja bergaji tetap, semakin diperbolehkannya
perempuan untuk tidak harus bertanggung jawab atas tugas-tugas rumah
tangga maka semakin besar pula kesempatan perempuan untuk masuk ke
ruang publik.
Menghadapi tantangan dan peluang dari proses globalisasi dan pasar
bebas, perempuan dituntut untuk melakukan upaya strategis dalam rangka
memanfaatkan positif demokratisasi semaksimal mungkin untuk mendapatkan
peluang dan meningkatkan kedudukan serta peran perempuan dalam
mengakses pembangunan dan mengeleminasi dampak negatif yang
ditimbulkan.
B. Tinjauan Tentang Pondok Pesantren
1. Memahami Tentang Pondok Pesantren
Berbicara tentang pesantren, beberapa hal yang ada keterkaitan dan
perlu diungkap adalah tentang pengertian, asal usul, tujuan, sistem pendidikan,
tipologi dan kepemimpinan di pesantren.
a. Pengertian Pondok Pesantren
Pesantren mempunyai arti tempat tinggal para santri. Istilah santri
berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji, dan mempunyai arti
orang yang tahu buku-buku suci, buku agama, atau buku-buku tentang
ilmu pengetahuan.95 Demikian juga menurut Ziemek96 bahwa pesantren
mempunyai makna tempat santri.
Selain itu santri mempunyai arti seseorang yang selalu mengikuti
guru ke mana guru itu pergi menetap, untuk tetap dapat belajar suatu 95Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994),18. 96Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial (Jakarta:LP3ES, 1985), 16.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
76
keahlian. Pola hubungan “guru-santri” digunakan perkataan “kiai” untuk
laki-laki, dan “nyai” untuk perempuan.97
Istilah pesantren dalam pemakaian sehari-hari sering juga disebut
pondok pesantren, atau pondok saja. Menurut Qomar,98 secara esensial,
semua istilah ini mengandung makna yang sama, kecuali sedikit
perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari dipandang
sebagai pembeda antara pondok dan pesantren.
Pesantren merupakan sekolah tradisional Islam berasrama di
Indonesia. Institusi pengajaran ini memfokuskan pada pengajaran agama
dengan menggunakan metode pengajaran tradisional dan mempunyai
aturan-aturan, administrasi, dan kurikulum pengajaran yang khas.99
Pesantren biasanya dipimpin oleh seorang guru agama atau ulama
yang sekaligus sebagai pengajar para santri. Sedangkan Arifin 100
memberikan pengertian tentang pondok pesantren adalah suatu lembaga
pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar,
dengan sistem asrama (komplek) santri-santri menerima pendidikan agama
melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya di bawah
kedaulatan dan leadership seorang atau beberapa orang kiai101 dengan ciri-
ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.
97 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, 21-22. 98 Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi, 1-2. 99 Karel A. Steenbrik, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1884), 13. 100 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara. 1991), 240. 101 Kata kiai bisa berarti: 1) sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam); 2) Alim ulama; 3) Sebutan bagi guru ilmu ghaib (dukun dan sebagainya); 4) Kepala distrik (di Kalimantan Selatan); 5) Sebutan yang mengawali nama benda yang dianggap bertuah (senjata, gamelan dan sebagainya); 6)Sebutan samara untuk harimau (jika orang melewati hutan. Lihat: Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 499. Menurut asal usulnya,
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
77
b. Asal Usul Pesantren
Pesantren sebagai pusat transmisi Islam di Nusantara sudah mulai
berdiri sejak menyebarnya Islam ke Nusantara pada abad ke 15. Tokoh
yang pertama kali mendirikan pesasntren adalah Syekh Maulana Malik
Ibrahim (1419), yang berasal dari Gujarat India. Maulana Malik Ibrahim
dalam mengembangkan dakwahnya menggunakan masjid dan pesantren
sebagai pusat transmisi keilmuan Islam. Pada gilirannya, transmisi yang
dikembangkan Maulana Malik Ibrahim ini melahirkan Walisongo dalam
jalur jaringan intelektual/ulama. Dari situlah kemudian Raden Rahmat
(Sunan Ampel) mendirikan pesantren pertama di Kembang Kuning,
Surabaya tahun 1619.102 Pada awal abad 15 M. pesantren telah didirikan
oleh penyebar agama Islam, diantaranya Walisongo.
Untuk menyebarkan agama Islam mereka mendirikan masjid dan
asrama untuk santri-santri. Di Ampel Denta Sunan Ampel telah
mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu atau ngaos
pemuda Islam. Sunan Giri setelah ngelmu kepada Sunan Ampel,
perkataan kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda: 1. Sebutan gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; umpamanya, Kiai Garuda Kencana dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang berada di keraton Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya; 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang ,memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya. Selain gelar kiai, ia juga disebut orang ‘alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya). Namun di zaman sekarang, banyak juga ulama yang cukup berpengaruh di masyarakat juga mendapat gelar kiai, walaupun mereka tidak memimpin pesantren. Lihat: Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, 55. Gelar kiai tidak diusahakan melalui jalur-jalur formal sebagai sarjana misalnya, melainkan datang dari masyarakat yang secara tulus memberikannya tanpa intervensi pengaruh-pengaruh pihak luar. Kehadiran gelar ini akibat kelebihan-kelebihan ilmu dan amal yang tidak dimiliki lazimnya orang, dan kebanyakan didukung pesantren yang dipimpinnya. Lihat: Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi, 28. Lihat juga: Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya, Al-Ikhlas, 1993), 90. Mukti Ali, “Pondok Pesantren Dalam Sistem Pendidikan Nasional” dalam Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali, 1987), 15. 102 Mastuki HS, dan M. Ishom El-Saha, (ed.), Inteletualisme Pesantren Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), 8.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
78
mendirikan lembaga pendidikan Islam di Giri. Dengan semakin banyaknya
pendidikan Islam pesantren, agama Islam semakin tersebar sehingga dapat
dikatakan lembaga-lembaga itu merupakan penyebar Islam di Jawa.103
Dalam sejarah perjalanan Islam, sistem pendidikan seperti sistem
pendidikan pesantren yang ada sekarang walaupun tidak sama persis sudah
dikenal di masa Rasulullah SAW. Waktu itu santrinya adalah sahabat yang
tinggal di serambi masjid, dikenal dengan sebutan Ashab Al-Shuffah yang
selalu siap siaga untuk menerima pelajaran dan bimbingan keagamaan
yang sewaktu-waktu diberikan oleh Rasululah. Mereka inilah yang dikader
khusus untuk menjadi fakih fi al-din.104
Ahlu Suffah mencurahkan banyak perhatian terhadap ilmu
pengetahuan dan terus menetap di dalam masjid untuk beribadah. Mereka
terbiasa dengan kesederhanaan dan asketisme. 105 Dalam khalwat itu,
mereka pergunakan untuk shalat, membaca al-Qur’an, mengkaji ayat demi
ayat secara bersama dan memusatkan untuk berdzikir, sebagian mereka
belajar menulis. Bahkan salah seorang dari mereka ada yang dikenal
karena pengetahuan dan. hafalannya tentang hadith-hadith Nabi, seperti
Abu Hurairah yang meriwayatkan banyak hadith.
Dengan melihat kehidupan Ahlu Shuffah yang diwarnai dengan
kesederhanaan dan aksitisme tersebut, maka sebagaimana disampaikan
103Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 145. 104 Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 101. 105 Paham yang mempraktekkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban, zuhud. Asketik berarti zuhud, pertapa. Yaitu orang yang meninggalkan kenikmatan duniawi dan menyepi (bertapa) untuk mendekatkan diri pada Tuhan atau untuk memperoleh pencerahan diri. Lihat M. Dahlan Y. Al-Bary dan L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk, 66.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
79
Nurhayati,106 pondok pesantren bisa jadi berakar pada tradisi Islam sendiri,
yaitu tradisi tarekat. Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat
pendidikan yang khas bagi kaum sufi.107
Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia
pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat.108 Hal
ini ditandai oeh terbentuknya kelompok-kelompok organisasi tarekat yang
melaksanakan amalan-amalan dzikir dan wirid-wirid tertentu yang
dipimpin oleh seorang kiai.
Pesantren masuk ke Indonesia bersamaaan dengan masuk dan
berkembangnya agama Hindu, sebelum datangnya Islam. Sehingga jika
diperhatikan dari segi metode dan kurikulum di pesantren banyak diwarnai
ajaran non Islam. Setelah berkembangnya Islam, lembaga pesantren itu
mendapat isi ajaran Islam.109 Bahkan menurut Daulay,110 esensi pesantren
telah ada sebelum Islam masuk ke Indonesia.
Demikian pula pendapat Steenbrink,111 tentang asal usul pesantren
ini bahwa pada mulanya merupakan pengambilalihan dari sistem pesantren
106Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi Telaah Terhadap Pengembangan Kurikuum Pendidkan Pesantren (Yogyakarta: Teras, 2010), 49. 107 Sufi adalah ahli sufisme; ahli ilmu suluk. Sedangkan suluk mempunyai pengertian ilmu kebatinan; sufisme; mistik; tasawuf; jalan menuju kesempurnaan batin. Pengasingan diri guna mencapai pencerahan atau kesempurnaan batin atau mendekatkan diri pada Sang Pencipta; khalwat. Lihat: Lihat M. Dahlan Y. Al-Bary dan L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk, 746-748. 108Tarekat dalam agama Islam berarti jalan; (tasawuf) jalan menuju kebenaran; persekutuan para penuntut ilmu tasawuf. Ibid, 760. 109Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Departemen Agama Direktorat Genderal Kelembagaan Agama Islam, 2005), 95. 110 Masyarakat Jawa kuno telah mengenal lembaga pendidikan yang mirip dengan pesantren yang diberi nama dengan pawiyatan. Di lembaga ini guru yang disebut Ki Ajar hidup dan tinggal bersama dengan muridnya yang disebut dengan cantrik dan hubungan mereka amat akrab bagakan orang tua dengan anaknya. Di sinilah terjadi proses pendidikan, di mana Ki Ajar mentransferkan ilmunya, nilai-nilai kepada cantriknya. Sistem pendidikan pawiyatan ini mirip dengan sistem pesantren sekarang. Dengan demikian boleh jadi sistem pesantren mengambil sistem pawiyatan. Lihat: Haidar Putra Dulay, Pemberdayaan Pendidikan, 123. 111Karel A. Steenbrik, Pesantren, Madrasah, 21.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
80
yang diadakan oleh orang-orang Hindu di nusantara. Hal ini didasarkan
pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia lembaga
pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada masa itu
dimaksudkan sebagai tempat pengajaran ajaran Hindu dan tempat pembina
kader-kader penyebar Hindu. Akan tetapi Bruinessen, 112 barangkali
termasuk salah seorang yang meragukan tentang kemungkinan pesantren
berasal dari tradisi Hindu atau lokal, mengingat bentuk kelembagaan
seperti pesantren juga terdapat di bagian kawasan muslim lainnya seperti
India, Turki atau Pakistan.
Bruinessen, bahkan berpendapat bahwa pesantren yang merupakan
lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, besar kemungkinan berasal
dari Arab khususnya Mekah dan Madinah sebagai pusat orientasi bagi
umat Islam. Demikian pula menurutnya kitab kuning yang berbahasa arab
adalah merupakan salah satu bukti bahwa asal usul pesantren dari Arab.
Selain itu, pola pendidikan di pesantren menyerupai pola pendidikan
madrasah dan zawiyah di Timur tengah. Jika madrasah merupakan
pendidikan Islam di luar masjid, sedangkan zawiyah lembaga pendidikan
Islam yang berbentuk lingkaran dan mengambil tempat di sudut-sudut
masjid.113
Lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan tempat belajar para
calon ulama termasuk yang berasal dari Indonesia. Mengingat hampir
semua kiai besar menyelesaikan tahap akhir pendidikannya di pusat-pusat
pengajaran Islam prestisius di tanah Arab, maka pola pendidikan yang 112 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999),70. 113Ibid,, 22.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
81
mereka kenal tersebut dikembangkan di Indonesia dalam bentuk
pesantren. Dengan demikian, mereka dianggap sebagai perantara antara
tradisi besar keilmuan Islam yang bersifat internasional dengan varian
tradisi Islam yang masih sederhana di Indonesia114
Disamping itu menurut Haidar,115 karena adanya perbedaan yang
mendasar antara pesantren Hindu dan lokal dengan pesantren Islam,
bahwa pesantren Islam tidak hanya mengajarkan pengetahuan tentang
kitab suci seperti halnya pesantren lama (pesantren umat Hindu). Muatan
pengetahuan yang diajarkan antara kedua pesantren bukan merupakan
ketidakniscayaan, mengingat konsep teologi keduanya berbeda.
Sejak abad 9 M. sejarah Islam telah berkenalan dengan ilmu
pengetahuan dan filsafat. Berbagai pengembangan ilmu pengetahun
dilakukan para sarjana muslim dalam berbagai disiplin, mulai dari flsafat,
kedokteran, sastra sampai matematika. Dengan demikian merupakan hal
yang wajar, kalau kemudian di tempat-tempat pusat pengajaran agama
Islam seperti pesantren juga dikembangkan pengetahuan lain selain
pengetahuan mengenai kitab suci yang seringkali hanya dipahami dalam
perspektif teologi dan moral atau etika. Meskipun aspek ini jauh dari ideal.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang asal usul pesantren,
maka dilihat dari segi historisnya, memang di satu sisi penyebaran Islam di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosio-kultur di mana Islam itu datang,
kemudian tumbuh dan berkembang, sehingga kemudian istilah-istilah yang
muncul dan melekat dalam Islam adalah istilah-istilah (termasuk istilah 114 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, 22. 115 M. Ali Haidar, “Akar Tradisi Pesantren Dalam Masyarakat Indonesia” dalam M. Nadim Zuhdi, dkk. (ed.), Tarekat, Pesantren Dan Budaya Lokal (Surabaya: Sunan Ampel Press, 1999), 72.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
82
pesantren) yang merupakan hasil dari asimilasi budaya setempat. Dalam
hal ini adalah budaya Hindu dan Budha, yang sebelumnya dianut oleh
kebanyakan masyarakat Indonesia. Namun di sisi lain, juga tidak dapat
disalahkan jika pondok pesantren dianggap berasal dari Islam itu sendiri,
karena istilah pesantren identik dengan “kuttab”, yaitu istilah pendidikan
tradisional Islam yang diterapkan pada masa Bani Umayyah-Abbasiyah di
kawasan Timur Tengah.116
Haramain (Makkah dan Madinah) dalam sejarah Islam adalah
pusat intelektual dunia Islam. Kegiatan yang terjadi di Makkah dan
Madinah (Haramain) sebagai jaringan ulama (networks of the ulama). Di
situlah terjadi proses transmisi keilmuan Islam secara lebih intens dalam
bentuk halaqah-halaqah,117 madrasah-madrasah, kuttab, dan zawiyah yang
diselenggarakan oleh sejumlah ulama terkemuka di Haramain. Karena
itulah Haramain sebagai tempat lahirnya Islam tidak dapat dipisahkan dari
transmisi keilmuan Islam yang disebarkan ke kawasan-kawasan lain,
termasuk Nusantara.
c. Tujuan Pesantren
Tujuan pendidikan yang dimiliki pesantren sifatnya masih sangat
global dan abstrak. Sejak awal pertumbuhannya, disamping memiliki
116 Lihat: “Zaitun, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren Tradisional Di Indonesia (Telaah Filosofis Historis Kurikulum Pondok Pesantren Menuju Arah Baru Pendidikan Islam era Globalisasi”, dalam Muhmidayeli, et al., Membangun Paradigma Pendidikan Islam (Pekanbaru: Program Pascasarjana UIN Suska Riau, 2007), 190. Kuttab adalah nama tempat dmana pelajaran disajikan kepada anak-anak. Lihat: Mansur dan Mahfud Junaidi, Rekonstrusi Sejarah, 33. 117 Sistem pendidikan dalam bentuk halaqah adalah seorang guru bisanya duduk di atas lantai sambil menerangkan, membacakan karangannya, atau komentar orang lain terhadap suatu karya pemikiran. Adapun murid-muridnya mendengarkan penjelasan guru dengan duduk di atas lantai yang melingkari gurunya. Halaqah tidak mengenal sistem klasikal dan jenjang pendidikan. Halaqah tingkat pendidikan tingkat lanjut, mengajar dan mendiskusikan ilmu agama, pengetahuan umum dan filsafat. Lihat: ibid, 34.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
83
tujuan pendidikan yang belum dirumuskan secara rinci dan kongkrit,
pesantren juga memiliki bentuk yang beragam di antara masing-masing
pesantren tidak sama sehingga tidak ada standarisasi yang berlaku bagi
semua pesantren.
Menurut Madjid,118 agaknya tidak banyak pesantren yang mampu
merumuskan tujuan pendidikan dan menuangkan dalam tahapan-tahapan
rencana kerja atau program. Tidak adanya perumusan tujuan itu
disebabkan adanya kecenderungan visi dan tujuan pesantren diserahkan
pada proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh seorang kiai atau
bersama-sama dengan pembantunya secara intuitif yang disesuaikan
dengan perkembangan pesantrennya. Malahan pada dasarnya pesantren itu
sendiri dalam semangatnya adalah pancaran kepribadian pendirinya.
Dalam hal ini, bisa jadi ada hubungannya dengan apa yang
dinyatakan Mastuhu,119 bahwa mengapa pendidikan Islam di Indonesia
terutama perguruan-perguruannya kurang berdaya dalam mengembangkan
dirinya. Menurut pandangannya dapat dilihat antara lain sebagai berikut:
Pertama, umat Islam kurang rukun, kurang ideal sebagaimana dikehendaki
oleh ajaran Islam, khususnya dalam menyelenggarakan pendididikan.
Kedua, banyak diantara mereka yang lebih menghebatkan diri sendiri,
ketimbang menghebatkan umat. Ketiga, perguruan-perguruan Islam
umumnya berdiri sendiri-sendiri sebagai milik pribadi. Padahal institusi
pendidikan atau perguruan sayogyanya menjadi milik publik (umat).
118 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, 6. 119Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam Indonesia sebagai Subsistem Pendidikan Nasional” dalam Edukasi Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan, Puslitbang pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, vol. 4 nomor 2, (April-Juni 2006), 9-10.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
84
Keempat, hanya sedikit sekali perguruan-perguruan Islam yang sudah
terbingkai dalam suatu sistem dan bukan terbingkai dalam milik pribadi.
Kelima, pendidikan Islam di Indonesia, lengkap dengan perguruan-
perguruannya seperti madrasah dan pesantren hampir semuanya tampil
dalam corak eksklusif belum inklusif, padahal Islam adalah untuk
kemaslahatan seluruh manusia, bahkan semua makhluk. Keenam, telah
disadari sepenuhnya bahwa science and technology merupakan bagian
essensial dalam ajaran Islam. Namun demikian sistem pendidikan Islam
tampak kurang semangat memberikan pendidikan sains dan teknologi.
Menurut Nurhayati 120 salah satu yang merupakan keunikan
pesantern adalah independensinya yang kuat. Kuatnya independen ini
menguatkan pesantren memiliki keleluasan dan kebebasan relatif yang
tidak harus memihak atau mengikuti model baku yang ditetapkan
pemerintah dalam bidang pendidikan. Pesantren bebas mengembangkan
model pendidikannya tanpa harus mengikuti standarisasi dan kurikulum
yang ketat. Hal ini ditambah dengan kecenderungan sentralistik yang
berpusat di tangan kiai. Akibatnya model pendidikan yang berjalan di
pesantren menjadi sangat beragam sesuai dengan kecenderungan dan misi
yang ingin dikembangkan oleh kiai, pemilik pesantren.
Namun tentang tujuan pendidikan di pesantren ini menurut
Qomar 121 ternyata pokok persoalannya bukan terletak pada ketiadaan
tujuan, melainkan tidak tertulisnya tujuan. Ssebab seandainya pesantren
tidak memiliki tujuan, tentu aktivitas di lembaga pendidikan Islam yang
120 Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi, 51. 121 Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi, 3.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
85
menimbulkan penilaian kontroversial ini tidak mempunyai bentuk yang
kongkret.
Demikian juga Mastuhu 122 sebenarnya mengakui bahwa dalam
proses pertumbuhan pesantren, ternyata tampak adanya unsur-unsur sistem
pendidikan pesantren, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Aktor atau pelaku, kiai, ustadh, Santri dan Pengurus.
b. Sarana perangkat keras; Masjid, rumah kiai, rumah dan asrama
ustadh, pondok atau asrama santri, gedung sekolah atau madrasah,
tanah untuk olah raga, pertanian atau peternakan, empang, makam
dan lain sebagainya.
c. Sarana perangkat lunak. Tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata
tertib, perpustakaan, pusat dokumentasi dan penerangan, cara
pengajaran (sorogan, bandongan dan halaqah), keterampilan, pusat
pengembangan masyarakat, dan alat-alat pendidikan lainnya.
Kelengkapan unsur-unsur tersebut berbeda di antara pesantren
yang satu dan pesantren yang lain. Ada pesantren yang secara lengkap dan
jumlah besar memiliki unsur-unsur tersebut, dan ada pesantren yang hanya
memiliki unsur-unsur tersebut dalam jumlah kecil dan tidak lengkap.
d. Sistem Pendidikan Pesantren
Pada awal berdirinya, pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran di
pesantren pada umumnya diberikan dengan cara non klasikal di mana
seorang kiai mengajar santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam
bahasa Arab oleh ulama-ulama besar dari abad pertengahan (abad ke 12
122 Mastuhu, Dinamika Sistem, 25.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
86
s/d abad 16). Santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama dalam
pesantren. Seiring perjalanan waktu dan perkembangan ilmu dan
teknologi, pesantren membuka diri dan dapat menerima perubahan-
perubahan dalam melaksanakan misinya terutama dalam hal kemajuan
proses pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
Menurut Sarijo, 123 Ciri khusus pesantren adalah adanya
kepemimpinan kharismatik dan suasana kegamaan yang mendalam, dan
lembaga pendidikan Islam yang memberikan pendidikan dan pengajaran
agama Islam dengan sistem bandongan,124 sorogan125 dan wetonan126.
Sedangkan A. mukti Ali, sebagaimana dikutip Soebahar 127
membedakan unsur-unsur pesantren menjadi dua segi, yaitu segi fisik dan
segi non-fisik. Segi fisik terdiri dari: (a) kiai sebagai pemimpin, pendidik,
guru, dan panutan, (b) santri sebagai peserta didik atau siswa, (c) masjid
sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, dan peribadatan,
dan (d) pondok sebagai asrama untuk mukim santri. Adapun yang terkait
dengan komponen non-fisik, adalah pengajian (pengajaran) agama.
123 123 Marwan Sarijo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta;Dharma Bhakti, 1979), 9. 124 Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan. Sanrti mendengarkan guru yang membaca, menterjemahkan, menerangkan atau mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, 28. 125 Sistem pembelajaran individual dalam pendidikan Islam tradisional disebut sistem sorogan yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan al-Qur’an. Metode pembelajarn dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan santri membaca kitab di hadapan kiai. Lihat: Ibid. Dalam metode ini santri yang pandai mengajukan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di hadapan kiai. Metode sorogan ini terutama dilakukan oleh santri-santri khusus yang memilki kepandaian lebih. Lihat: Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng (Malang: Kalimasahada, 1993), 38. 126 Metode pembelajaran wetonan, dilaksanakan dengan jalan kiai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu dan santri dengan membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kiai. Dalam metode semacam ini tidak mengenal absensi. Artinya, santri boleh datang boleh tidak, dan tidak ada ujian. Lihat: Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, 28. 127 Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2013), 37.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
87
e. Tipologi Pesantren
Dalam perkembangannya sampai saat ini, tipologi pesantren
setidaknya terdapat dua kelompok. Pertama, tipologi pesantren
berdasarkan elemen yang dimiliki pesantren. Kedua, tipologi pesantren
berdasarkan pada lembaga pendidikan yang diselenggarakannya.128
Dengan mendasarkan kepada elemen yang dimiliki, menurut
Ziemek peasantren dapat dikategorikan menjadi lima tipelogi, yaitu: tipe
A, B, C, D, dan E.129
1) Pesantren bertipe A: adalah pesantren yang memiiki sarana sangat
terbatas., yaitu masjid, dan rumah kiai.130 Jenis atau tipe ini khusus
diperuntukkan bagi para santri yang ingin mengamalkan imu
tasawuf. Disini ilmu tasawuf tidak diletakkan pada posisi pada
bidang sebagai kajian (tasawwuf falsafi), melainkan diposisikan
sebagai bahan yang harus diamalkan (tasawwuf amali). 131
Pesantren tidak memiliki pondok atau asrama, para santri yang
belajar harus tinggal di rumah kiai atau menyebar di desa-desa
yang ada di sekitar pesantren. Para santri yang demikian ini disebut
santri kalong, yang mengikuti pengajaran di pesantren secara
wetonan, dimana mereka datang berduyun-duyun ke pesantren
pada waktu tertentu untuk mengikuti pengajaran.
128 Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 24. 129 Manfred Ziemek, Pesantren, 104. 130Ibid. 131Lihat: Affandi Mochtar, “Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Observasi Umum” dalam Said Aqiel Siradj, (ed.), Pesantren Masa depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 230.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
88
2) Pesantren bertipe B: yaitu pesantren yang memiliki sarana lebih
lengkap dari tipe A, yaitu masjid, rumah kiai, dan pondok atau
asrama.132 Jika pada tipe A santri mukim menetap di rumah kiai,
maka pada tipe B santri mukim bertempat di asrama yang terpisah
dengan rumah kiai. Dan tipe ini telah memiliki 5 komponen utama,
yaitu masjid, asrama, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri
dan kiai.133
3) Pesantren bertipe C: memiiki 4 sarana penting untuk kegiatan
pendidikan, yaitu: masjid, rumah kiai, pondok dan madrasah.
Pesantren tipe ini dapat dikategorikan modern dengan adanya
lembaga madrasah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu
sekuler. Pesantren pada tipe ini telah berkembang dan
menyelenggarakan sistem pendidikan klasikal baik pendidikan
umum maupun pendidikan agama yang lazim disebut madrasah.
4) Pesantren bertipe D: pesantren dengan tipe ini mempunyai 3 ciri,
yaitu: (1) memiliki 5 komponen utama pesantren, (2) memiliki
madrasah, dan (3) memiliki program keterampilan.134
5) Pesantren bertipe E: pesantren mempunyai 5 ciri, yaitu: (1)
memiliki 5 komponen utama pesantren, (2) memiliki madrasah, (3)
memiliki program keterampilan, (4) memiliki sekolah umum, dan
(5) memiliki perguruan tinggi.135 Tipe pesantren yang kelima ini
132 Manfred Ziemek, Pesantren, 104. 133 Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural Di Pesantren Telaah Terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 176. 134Lihat: Wahyoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Aternatif Masa Depan (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 87. 135Manfred Ziemek, Pesantren, 107.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
89
telah berkembang dan bisa disebut sebagai pondok pesantren
modern. Pesantren yang memiliki komponen pesantren klasik yang
dilengkapi dengan sekolah formal mulai tngkat SD sampai
Unversitas.
Sedangkan Dhofier,136 tentang tipologi pesantren dewasa ini secara
garis besar terbagi menjadi dua kelompok. Pertama. Pesantren Salafi yang
tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti
pendidikan di pesantren. Sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan
sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk
lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Masih cukup
besar jumlah pesantren yang mengikuti pola ini, yaitu pesantren Lirboyo
dan Ploso di Kediri, Pesantren Maslakul Huda di Pati, dan Pesantren
Tremas di Pacitan. Kedua, pesantren khalafi yang memasukkan pelajaran-
pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan, atau
membuka tipe-tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren. Pondok
Pesantren Gontor tidak mengajarkan lagi kitab-kitab Islam klasik.
Pesantren-pesantren besar seperti Tebuireng dan Rejoso di Jombang telah
membuka SMP dan SMA dan Universitas, dan sementara itu keduanya
tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.
Sedangkan Nasir, 137 mengklasifikasikan pesantren atas dasar
tingkat keanekaragaman pranata sesuai dengan spektrum komponen suatu
pesantren, maka terdapat lima tipologi pesantren, yaitu:
136Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 41-42. 137Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Di Tengah Arus Perubahan (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), 87-88.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
90
1. Pondok Pesantren Salaf/Klasik: yaitu pondok pesantren yang di
dalamnya terdapat sistem pendidikan salaf (wetonan dan sorogan),
dan sistem klasikal (madrasah) salaf.
2. Pondok Pesantren Semi Berkembang; yaitu pondok pesantren yang
terdapat sistem pendidkan salaf (wetonan dan sorogan), dan sistem
klasikal (madrasah) swasta dengan kurikulum 90% agama dan 10%
umum.
3. Pondok Pesantren Berkembang; yaitu pondok pesantren seperti
semi berkembang, dan sudah lebih bervariasi dalam bidang
kurikulumnya, yakni 70% agama dan 30% umum. Disamping itu
diselenggarakan madrasah SKB Tiga Menteri dengan penambahan
diniyah.
4. Pondok Pesantren Khalaf/Modern: yaitu seperti bentuk pondok
pesantren berkembang, dan sudah lebih lengkap lembaga
pendidikan yang ada di dalamnya, antara lain diselenggarakannya
sistem sekolah umum dengan penambahan diniyah (praktek
membaca kitab salaf), perguruan tinggi (baik umum maupun
agama), bentuk koperasi dan dilengkapi dengan takhasus (bahasa
Arab dan Inggris).
5. Pondok Pesantren Ideal: yaitu sebagaimana bentuk pondok
pesantren modern, dengan lembaga pendidikan yang lebih lengkap,
terutama bidang keterampilan yang meliputi pertanian, teknik,
perikanan, perbankan dan benar-benar memperhatikan kualitasnya
dengan tidak menggeser ciri khusus kepesantrenannya yang masih
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
91
relevan dengan kebutuhan masyarakat/perkembangan zaman.
Dengan adanya bentuk tersebut diharapkan alumni pondok
pesantren benar-benar berpredikat khalifah fil ardli.
Memperhatikan berbagai corak dalam pengklasifikasian tentang
tipologi pesantren, sesungguhnya peran dan fungsi kiailah yang sangat
menentukan, karena dalam dunia pesantren kedudukan kiai sangat tinggi
dan strategis. Hal ini dapat dilihat dari kekuasaan dan kewenangan kiai
yang mutlak dalam kehidupan di lingkungan pesantren.
Dalam proses pendidikan di pesantren, kiai sebagai pimpinan
tertinggi memiliki otoritas atau kewenangan menentukan kebijakan yang
mewarnai dan menentukan tipologi sebuah pesantren. Sehingga menurut
Qomar,138 perbedaan pesantren tradisional dengan pesantren modern dapat
diidentifikasi dari perspektif manajerialnya. Pesantren modern sudah
dikelola secara rapi dan sistematis dengan mengikuti kaidah-kaidah
manajerial139 yang umum. Sementara itu, pesantren tradisional berjalan
secara alami tanpa berupaya mengelola secara efektif.140
138 Mujamil Qomar, Strategi Baru, 58. 139 Kaidah-kaidah manajemen adalah proses tindakan yang meliputi perencanaan (planning), mencakup penetapan tujuan, standar, penentuan aturan-prosedur, pembuatan rencana dan prediksi yang akan terjadi. Pengorganisasian (organizing), yaitu pendelegasian, sistem komunikasi dan koordnasi kerja yang solid dan terorgansir. Penggerakan (actuating), yakni pimpinan berusaha menjadikan organisasi bergerak secara aktif dan dnamis. Dan pengawasan (controlling), yaitu fungsi pengendalian atau evaluasi, agar jalan organisasi sesuai rencana baik arah dan metodenya. Lihat: Moh. Ali Aziz “Makna Manajemen dan Komunikasi bagi Pengembangan Pesantren” dalam A. Halim, dkk. (ed.), Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), 71-72. 140 Kenyataan ini menggambarkan bahwa kebanyakan pesantren tradisional dikelola berdasarkan tradisi, bukan profesionalisme berdasarkan keahlian (skill), baik human skill, conceptual skill, maupun technical skil secara terpadu. Akibatnya tidak ada perencanaan yang matang, distribusi kekuasaan dan kewenangan yang baik, dan sebagainya. Tradisi ini merupakan salah satu kelemahan peasantren meskipun dalam batas-batas tertentu dapat menumbuhkan kelebihan. Dalam perspektif manajerial, landasan tradisi dalam mengelola suatu lembaga, termasuk pesantren menyebabkan produk pengelolaan itu asal jadi, tidak memiliki fokus strategi yang terarah, dominasi personal terlalu besar, dan cenderung eksklusif dalam pengembangannya. Lihat: Mujamil Qomar, Strategi Baru, 59.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
92
Apapun tipologi yang mewarnai sebuah pesantren, menurut Nur
Syam,141 bahwa di dalam sejarahnya, pesantren telah memiliki peran yang
sangat besar di dalam pengembangan Sumber Daya Manusia. Pesantren
telah menjadi center of excellence bagi pengembangan SDM yang
memiliki basis moralitas di dalam kehidupan sosial. Tidak terhitung
jumlah alumni pesantren yang berhasil menjadi pemimpin baik lokal
maupun nasional.
f. Kepemimpinan Pesantren
Kekuasaan dan kewenangan kiai dalam pesantren menurut
Dhofier142 nyaris mutlak. Pada umumnya santri menganggap kiai adalah
pemilik, guru, pemimpin dan penguasa tunggal dalam pesantrennya.
Bahkan kekuasaan dan kewenangan kiai terhadap masyarakat sekitar
pesantren yang berwujud pengaruh dan peranan dalam mobilisasi
masyarakat. Ia memiliki hak untuk menjatuhkan hukuman terhadap santri-
santri yang melanggar ketentuan-ketentuan titahnya menurut kaidah-
kaidah normatif yang mentradisi di kalangan pesantren143
Namun demikian menurut Effendi, 144 kekuasaan kiai tidak bisa
langsung dihubungkan dengan perilaku otoriter dengan kekuasaan,
kesewenang wenangan, penindasan dan pengerahan massa rakyat untuk
kepentingan diri dan keluarga seperti pola kepemimpinan dan
kebijaksanaan hampir setiap raja tempo dulu.
141 Nur Syam, Transisi Pembaruan Dialektika Islam, Politik dan Pendidikan (Sidoarjo: LEPKISS, 2008), 196. 142Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 58. 143Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi, 31. 144Bisri Efendi, An Nuqayah; Gerak Transformasi Soaial Di Madura (t.t. P3M Perhimpunan Pengembangan Pesantren, 1990), 1.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
93
Para kiai besar maupun kecil, sepanjang dilihat dan diketahui para
ahli dan pengamat masalah-masalah sosial dari berbagai kalangan, tak
satupun dijumpai kiai yang memiliki kecenderungan apalagi perlakuan
otoriter dalam menggerakkan roda kekuasaan dan kewenangannya
terhadap santri dan atau masyarakat sekitar.
Melihat posisi kiai yang sangat berkuasa dan serba menentukan
kebijakan-kebijakan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan itu menurut
Dirdjosanjoto145 akhirnya justru cenderung menyumbangkan terbangunnya
otoritas mutlak.
Kiai memiliki kedudukan ganda yakni: sebagai pengasuh sekaligus
sebagai pemilik pesantren. Secara kultural kiai sama dengan kedudukan
bangsawan feodal yang biasa dikenal dengan nama kanjeng di pulau
Jawa.146 Maka tradisi feodalisme ini sebenarnya telah memasuki bahkan
tumbuh dan berkembang subur di pesantren, karena kenyataan yang terjadi
justru kiai sendiri yang mempraktekkannya, yang kemudian diikuti oleh
pada ustadz dan santrinya. Misalnya kebiasaan cium tangan dari santri
dengan jumlah harapan berkah kepada kiai, betapapun hal ini tidak bisa
begitu saja dipisahkan dari budaya feodalisme yang tumbuh subur
sebagaimana di kalangan istana kerajaan. Dengan demikian akhirnya
tradisi feodalisme terasa sulit untuk dihapus di dalam pesantren sendiri.147
145 Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa (Yogyakarta: LKiS, 1999), 156. 146 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (t.tp.: CV. Dharma Bhakti, t.t), 20. 147 Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi, 32.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
94
Berbeda dengan pendapat Dirdjosanjoto, dalam hal budaya yang
berlaku di pesantren menurut Bawani,148 kiai adalah seorang tokoh yang
berwibawa, baik di hadapan para ustadh yang menjadi pelaksana
kebijakannya, di hadapan santri, bahkan juga di hadapan isteri dan anak-
anaknya. Ketaatan mereka yang penuh dan tulus kepada kiai, sering bukan
karena paksaan, tetapi didasari oleh motivasi kesopanan, mengharapkan
barakah, dan tentu saja demi memenuhi ajaran Islam yang menyuruh
hormat terhadap guru dan orang tua pada umumnya.
Sebagaimana yang disampaikan Mas’ud,149 bahwa ciuman tangan
simbolik ini tentu sangat bias jika dipandang sebagai gejala feodalisme
dalam kacamata sarjana modern. Komunitas pesantren menganggap
ciuman terhadap tangan seorang ‘alim tersebut akan mendatangkan
barakah, dan sebagai bagian dari implementasi sunnah.
Bahkan Tafsir 150 menyatakan bahwa kekuatan kiai (dan ulama)
disamping karena kredibilitasnya juga karena kemampuannya menjaga
pranata sosial. Pranata di sini diartikan peraturan-peraturan, tradisi-tradisi
yang hidup di masyarakat. Misalnya tradisi mencium tangan, tradisi
karomah pada kiai.
Kekuatan kiai akan hilang bila pranata itu tidak dilestarikan.
Mungkin pranata-pranata itu dapat dipersoalkan (debatable), tetapi bila
pranata-pranata penting itu hilang kitapun harus memikul konsekuensinya.
Sebagian dari konsekuensi itu adalah menurunnya pengaruh kiai.
148 Imam Bawani, Tradisionalisme, 91. 149 Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana, 2006). 15. 150 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, 195.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
95
Menurunnya pengaruh kiai berarti akan mengurangi peran kiai dalam
menuntun masyarakatnya, dan ini pada gilirannya akan menurunkan peran
kiai dalam pembangunan bangsa. Agaknya keinginan untuk mengubah
beberapa pranata yang hidup di pesantren sebaiknya melalui pertimbangan
yang sangat hati-hati.
2. Pesantren dan Pengembangan Masyarakat
Menjamurnya pesantren sekarang ini membuktikan betapa
besarnya peranan pesantren dalam upaya menumbuhkembangkan sumber
daya manusia yang dilandasi iman dan taqwa, manusia yang jujur, adil,
percaya diri, bertanggung jawab, manusia yang memiliki dedikasi,
keikhlasan dalam perjuangan li i’lậi kalimậtillậh. Hal tersebut
mencerminkan bahwa ajaran Islam yang bersifat universal akan lebih
unggul dan mampu mengendalikan perubahan zaman bagi generasi
berikutnya. Ajaran yang bersumber pada hukum tertulis tertinggi Islam
(al-Qur’an dan Hadith) menjadi pedoman untuk mewujudkan masyarakat
yang maju, mandiri, dan diberkahi Allah.
Pesantren mempunyai peran dan fungsi yang cukup berat dalam
pengembangan masyarakat. Pesantren memiliki pola tersendiri, sebab
harus berhadapan dengan berbagai tantangan dengan masyarakat global
maupun tantangan zaman yang setiap saat mesti dapat berubah sebagai
tanda kehidupan yang dinamis.
Dinamika pesantren tidaklah sama dengan lembaga-lembaga lain.
Pesantren bukanlah sekedar sebuah lembaga pendidikan yang bertugas
mencerdaskan kehidupan bangsa saja, lebih dari itu adalah sebuah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
96
lembaga tempat penggemblengan calon-calon pemimpin umat. Hal inilah
yang tidak dimiliki oleh lembaga selain pesantren. Azra 151 dalam
merumuskan peran pesantren terhadap pengembangan masyarakat
setidaknya memainkan tiga peranan, yaitu Transmission of knowledge
(penyampaian ilmu-ilmu keislaman), maintenance of Islamic tradition
(memelihara tradisi Islam), reproduction of ulama (pembinaan calon-calon
ulama).
Mencermati rumusan ini, menurut Arifi 152 setidaknya ada tiga
karakteristik yang dikenali sebagai basis utama kultur pesantren. Pertama,
pesantren sebagai lembaga tradisionalisme. Tradisionalisme dalam
konteks pesantren harus dipahami sebagai upaya mencontoh tauladan yang
dilakukan oleh para ulama salaf yang masih murni dalam menjalankan
ajaran Islam. Kedua, pesantren sebagai pertahanan budaya (cultural
resistance). Mempertahankan budaya dengan ciri tetap bersandar pada
ajaran dasar Islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang
berabad-abad, antara lain kitab klasik atau kitab kuning yang selalu diolah
dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi. Semangat ini
menjadikan pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dunia luar.153
Ketiga, pesantren sebagai pendidikan keagamaan. Yaitu pendidikan
pesantren yang didasarkan atas dialog yang terus menerus antara
kepercayaan terhadap ajaran dasar agama yang diyakini memiliki nilai
kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki nilai kebenaran relatif.
151 Azyumardi Azra, Essai-essai Intelektual Muslim Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), 89. 152 Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras 2010), 80-84. 153 Lihat: Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994),26.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
97
Demikian pula sebagaimana disampaikan Ali154 bahwa daya tahan
pesantren disamping terletak pada komitmennya terhadap pendidikan
Islam dan moral yang berorientasi pada kitab kuning, juga terletak pada
kemauan pesantren untuk merespon tuntutan dan perkembangan
masyarakat.
Rahim,155 menegaskan bahwa dewasa ini pesantren banyak andil
dalam mengisi pembangunan nasional baik formal maupun non-formal.
Hal ini dapat dilihat pada keterlibatan pesantren dalam menjalankan roda
pembangunan. Pesantren dapat dikategorikan disamping sebagai lembaga
alternatif tempat penggodogan kader-kader bangsa yang berpendirian dan
berbudi luhur, dan sebagai asset untuk menciptakan pemimpin-pemimpin
masa depan yang tangguh serta tahan uji, salah satu khazanah pendidikan
yang penting diapresiasi adalah bahwa budaya pendidikan pesantren
mampu melahirkan sistem pendidikan yang secara terus menerus mampu
bertahan di tengah masyarakat.
Pada era pembangunan yang menghadapi proses globalisasi yang
semakin deras, menurut Tafsir, 156 bukan mustahil para kiai itu dapat
memberikan andil yang amat berharga. Kekuatan kepemimpinan kiai
dapat mempercepat proses pembangunan terutama di pedesaan. Pesan-
pesan pemerintah sebagai perancang, pelaksana dan pengawas
pembangunan seringkali cukup efektif dipahami masyarakat bila pesan itu
dibantu oleh para kiai pesantren, dan kadang-kadang lebh efektif dari pada
154 Abdullah Ali, Pendidikan Islam Multikultural, 191. 155 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), 158. 156 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, 195.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
98
disampaikan oleh pimpinan formal. Hal yang demikian ini kemungkinan
karena pesantren lebih dekat sehingga dapat mengetahui seluk beluk
masyarakat yang berada di lapisan bawah.
Disamping mempertahankan kurikulum yang berbasis agama,
pesantren melengkapi kurikulum yang menyentuh dan berkait erat dengan
persoalan dan kebutuhan kekinian umat.157 Dalam kenyataannya menurut
Fadjar,158 banyak pesantren yang telah melakukan perubahan baik secara
struktural maupun kultural.
Munculnya banyak pesantren dengan klaim pesantren modern,
yang bisa saja terkesan superfisial, bagaimanapun telah menjadi petunjuk
penting bahwa pesantren tidak selamanya memperlihatkan perkembangan
yang statis.
Kiai juga berperan sebagai penyaring berbagai budaya yang datang
dan kemudian menentukan yang mana yang bisa diakomodasi dan mana
yang tidak. Peran kiai sebagai mediator yaitu sebagai penghubung antara
kepentingan atasan dan bawahan, sehingga kiai hidup dalam dua kutub
yang menyambungkan kepentingan keduanya dalam institusi
kekiaiannya.159
Dengan melihat kelebihan yang dimilikinya menurut Madjid,160
bukan berarti pesantren lepas dari kelemahan. Adanya pengaruh semangat
157Wahid Khozin, “Pondok Pesantren Salafiyah Dan Penuntasan Wajib Belajar” dalam Edukasi Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan Puslitbang Pendidikan Agama Dan Keagamaan Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Volume 3, Nomor 4 (Oktober-Desember 2005), 48-49. 158 Malik Fadjar, “Sintesa Antara Perguruan Tinggi Dan Pesantren” dalam Mudjia Rahardjo, (ed.), Quo Vadis Pendidikan Islam Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan (Malang: UIN-Malang Press, 2006), xxi-xxii. 159 Lihat:Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, 196. 160 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik, 6-7.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
99
pribadi para pendirinya terhadap pesantren itu memang tidak bisa
dihindarkan, dan ini bukanlah kesalahan mereka. Pendiri itu tidak salah
kalau saja hambatan pada perkembangan pesantren tidak timbul dari
dominasi pengaruh ini, sebab seorang pribadi tentu tidak lebih dari
kapasitas-kapasitas fisik maupun mentalnya.
Menurut Fadjar 161 terdapat beberapa analisa yang menyangkut
realitas yang ada di pesantren: Pertama, kepemimpinan pesantren masih
kukuh terpola dengan kepemimpinan yang sentralistik dan hirarkis yang
berpusat pada satu orang kiai yang melahirkan implikasi manajemen
otoritarianistik. Pembaharuan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan, dan
biasanya berdampak kurang prospektif bagi kesinambungan pesantren,
terutama ketika kiai meninggal dunia. Kedua, adalah kelemahan di bidang
metodologi. Pesantren mempunyai tradisi yang kuat di bidang transmisi
keilmuan klasik. Namun karena kurangnya improvisasi metodologi maka
proses transmisi itu hanya melahirkan penumpukan keilmuan. Ketiga,
pesantren kurang mampu merespon dan mengimbangi mendifinisikan dan
memposisikan dirinya di tengah realitas sosial yang saat ini sedang
mengalami perubahan yang demikian cepat. Dalam konteks perubahan ini,
pesantren menghadapi dilema antara keharusan mempertahankan jati
dirinya dengan kebutuhan menyerap budaya baru yang datang dari luar
pesantren.
Oleh karena itu langkah yang paling arif dalam hal ini adalah
bagaimana mengembangkan pesantren sesuai dengan dinamika dan
161 Malik Fadjar, “Sintesa Antara Perguruan Tinggi, xxiii.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
100
kebutuhan masyarakat global. Yaitu sumber daya umat muslim yang tidak
gagap sains-teknologi, dengan tetap mempertahankan kekhasan pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam yang menitikberatkan pada pembinaan
akhlak masyarakat.162
Di sisi lain ternyata kehadiran pesantren (yang dahulu disebut
tradisional), kini semakin diminati oleh banyak kalangan, termasuk kelas
menengah atas. Hal ini membuktikan bahwa lembaga ini mampu
memberikan solusi terhadap kebutuhan pendidikan anak-anaknya.163
Oleh karena itu agaknya agar tetap selalu mendapatkan perhatian,
dan tetap diupayakan bagaimana pesantren tetap memiliki kharisma
tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat masih menganggap
bahwa pesantren mampu mencetak kader ulama dan dai-dai kondang,
maka para kiai sangat besar andilnya dalam mensukseskan pembangunan
nasional. Para kiai (pesantren) telah membuktikan tekad dan semangat
mencintai tanah air adalah sebagian dari iman yang dimanifestasikan
dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Dan tentu ini adalah merupakan tugas
umat Islam secara keseluruhan.
3. Pergeseran Tradisi Pesantren
Abdurrahman Wahid telah mempopulerkan pesantren sebagai sub-
kultur164 bangsa Indonesia, yang oleh Martin Van Bruinessen165 dinilai
sebagai salah satu tradisi agung (great tradition) maupun wahana
transmisi dan internalisasi moralitas umat Islam. Pesantren berperan
162 Babun Suharto, Dari Pesantren, 31. 163 A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan, 125. 164Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai, 10. 165 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, 17.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
101
sebagai lembaga yang mengembangkan nilai-nilai moral spiritual,
informasi, komunikasi timbal balik secara kultural dengan masyarakat dan
tempat pemupukan solidaritas umat.
Pada masa sekarang secara umum masyarakat Indonesia cenderung
bergerak ke arah modernisasi, meskipun masih dalam proses atau masa
transisi. Fenomena ini ditandai oleh beberapa hal antara lain seperti setiap
pekerjaan membutuhkan tenaga-tenaga professional, pola kehidupan
konsumtif semakin tinggi, kompetisi di segala bidang semakin ketat dan
konsep individualistik semakin mencolok.166
Globalisasi dan modernisasi yang merambah pada setiap aspek
kehidupan telah mempengaruhi dinamika lokal. Dinamika lokal itu
menurut Muzakki, 167 minimal menyangkut dua aspek perubahan pada
ikatan sosial (social affinity) yang terkait sumber daya material dan aspek
keyakinan serta orientasi keagamaan (religious conviction and orientation)
yang terkait sumber daya intelektual (intellectusl resources).
Menghadapi modernisasi memerlukan pengarahan dan rekayasa,
karena kenyatannya modernisasi membawa dampak pada perubahan
sosial, baik dalam hubungannya dengan cara berpikir dan bersikap,
maupun dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang sebelumnya dianggap
mapan. Dalam kecenderungan demikian, agama sebagai sistem nilai yang
telah mapan, seringkali dianggap sebagai penghambat modernisasi.168
166 Sudjito S. Transformasi Sosal Menuju Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), 15. 167Akh. Muzakki, “Pasar Pendidikan Islam:Tantangan PTAI di Era Global” dalam Perta Refleksi Pemikiran Mutu Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Derektorat Jenderal Penddikan Islam Departemen Agama RI, No. 1 (tahun 2006), 60. 168 Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya, 76.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
102
Kenyataan yang ada bahwa pesantren-pesantren membuka diri
terhadap pengaruh luar semakin bertambah, seperti yang terjadi pada
banyak pesantren telah memasukkan sistem pendidikan umum ke dalam
pesantren, artinya pesantren juga mengalami proses modernisasi.
Tantangan bagi pesantren dewasa ini menurut para ahli semakin
lama semakin banyak, kompleks dan mendesak. Hal ini antara lain
disebabkan oleh semakin meningkatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek). Tantangan itu menyebabkan terjadinya pergeseran nilai
yang menyangkut pesantren, baik nilai sumber belajar maupun nilai yang
berkaitan dengan proses pengelolaan pendidikan (manajement).
Awal abad kedua puluh adalah awal masuknya ide-ide pembaruan
pemikiran Islam di Indonesia, termasuk pemikiran dalam bidang
kependidikan. Ide-ide pembaruan itu dibawa oleh pelajar Indonesia yang
pulang dari Timur Tengah (Makkah, Madinah, Kairo). Sejak masuknya
ide-ide pembaruan tersebut ke Indonesia, maka secara bertahap terjadi
perkembangan dalam dunia pendidikan, khususnya pesantren.169
Dalam situasi demikian, apakah pesantren telah mempersiapkan
diri untuk mengantisipasi persoalan-persoalan tersebut, dan apakah
eksistensi pesantren dapat fungsional dalam rangka transformasi nilai-nilai
kemajuan, sebab dalam kehidupan modern tidak cukup hanya dengan
berbekal moral yang baik, tetapi perlu dilengkapi dengan keahlian (skill)
atau keterampilan yang relevan dan sinergis dengan kebutuhan dunia
kerja.170
169 Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan, 125 170 Ibid, 128.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
103
Seperti apa yang digambarkan Arifi 171 bahwa dalam perjalanan
panjang sejarah pesantren mengalami pasang surut perkembangan, baik
dari sisi kualitas keilmuan maupun perkembangan pendidikan pesantren.
Hal ini sangat dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya adalah faktor
kepemimpinan kharismatik pesantren, disamping adanya tantangan dunia
luar pesantren yang terus berkembang dengan cepat, misalnya arus
modernisasi di berbagai sektor kehidupan yang semakin menantang.
Semangat demokratisasi saat ini telah mulai mewarnai jalannya
kepemimpinan di pesantren, dan sudah barang tentu membawa dampak
yang konstruktif. Terbukti, semakin banyak pesantren yang bersedia
membuka diri untuk merespon berbagai macam inovasi yang muncul dari
proses transformasi di dunia pendidikan. 172
Sebagaimana ditulis Kuntowijoyo,173 bahwa sejak awal abad dua
puluh pesantren memperlihatkan perubahan dengan menyerap sistem
madrasah. Perubahan ini merupakan salah satu bentuk jawaban pesantren
terhadap tuntutan zaman yang menghendaki agar alumninya tidak hanya
dibekali dengan ilmu agama, tetapi juga dengan illmu umum. Dengan dua
bekal ini mereka diharapkan dapat memainkan peran-peran sosial yang
lebih luas.
Seperti yang dituturkan Zulfikri174 bahwa sampai saat ini pesantren
telah mengalami perkembangan luar biasa dengan corak yang sangat
171 Ahmad Arifi, Politik Pendidikan, 105. 172 Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren, 69. 173 Kuntowjoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), 252. 174 Zulfikri, “Modernisasi Pesantren: Pergeseran Tradisi Dan Pudarnya Kyai” dalam Edukasi Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan Puslitbang Pendidikan Agama dan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
104
beragam, bahkan beberapa pesantren telah muncul semacam kampus yang
memiliki berbagai kelengkapan fasilitas yang bisa mewadahi minat, bakat
dan potensi santri, tidak hanya dari segi akhkak, nilai, intelek, emosional
dan spiritualitas, tetapi juga atribut-atribut fisik dan materiil –bahkan
diantaranya sudah bertaraf internasional-. Dalam melestarikan ciri khas
dan keaslian pesantren, tetap menggunakan metode klasik yang sudah ada
seperti sorogan dan bandongan, disamping itu kebanyakan pesantren
mengadopsi sistem yang lebih moderat yaitu sistem klasikal formal
dengan kurikulum terpadu (kurikulum nasional dan lokal).
Diversifikasi model pesantren meskipun tetap bertahan dalam
format aslinya sebagai lembaga pengajaran kitab kuning, ada beberapa
pesantren yang membuka sekolah umum, pelatihan keterampilan, bahkan
perguruan tinggi, seperti Ngabar dan Gontor. Hal ini sebagai pertanda
telah muncul dinamika internal untuk mengakselerasikan diri pada orbit
kebutuhan riil dunia modern.175
Namun bagi Arrayyah176 timbul kehawatiran terhadap penyerapan
sistem madrasah ke dalam pesantren yang ternyata membawa perubahan.
Karena menurutnya perubahan yang timbul bukan hanya terbatas pada
segi kurikulum dan metode pembelajaran, tetapi perubahan yang
menimbulkan masalah lain dalam kaitannya dengan pembentukan tata
Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI Volume 5, Nomor 2 (April – Juni, 2005), 77. 175Sugihanto, “Format Pendidikan Keterampilan Pada Beberapa Pondok Pesantren Di Kabupaten Ponorogo” dalam Al-Tahrir Jurnal Pemikiran Islam STAIN Ponorogo, Vol. 1 No. 1 (Januari, 2001), 12. 176Hamdar Arrayyah, “Peran Pesantren Salafi dalam Melestarikan Paham Kagamaan (Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin Cilacap)” dalam Harmoni Jurnal Multkultural & Multireligius. Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama & Diklat Keagamaan Departemen agama RI Volume IV Nomor13 (Januari-Maret 2005), 59.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
105
nilai di lingkungan pesantren. Misalnya perubahan kurikulum, dengan
memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum pesantren akan
mengakibatkan jumlah jam mata pelajaran agama berkurang. Pengurangan
jam pelajaran ini, akan dapat berimplikasi pada pendangkalan ilmu agama.
Disamping itu manajemen madrasah yang bercorak kolektif,
mengharuskan adanya musyawarah dan rapat untuk mengambil suatu
keputusan, hal yang demikian ini menyebabkan berkurangnya peran kiai
sebagai figur sentral dalam pesantren.
Disamping itu beberapa pesantren sudah mulai berusaha merubah
gaya kepemimpinan pesantren dari karismatik ke rasionalistik, dari
otoriter-peternalistik ke corak yang diplomatik-partisipatif. Contoh kasus,
kedudukan Dewan Kiai di Pesantren Tebuireng menjadi bagian atau salah
satu unit kerja satuan administrasi pengelolaan penyelenggaraan pesantren,
sehingga pusat kekuasaan sedikit terdistribusi di kalangan elit perantren
dan tidak terlalu terpusat kepada kiai.177
Kepemimpinan kolektif sangat berbeda dengan kepemimpinan
kharismatik. Dalam kepemimpinan kolektif dengan mendelegasikan
kekuasaan dan kewenangan menyebar kepada beberapa orang figure
anggota keluarga kiai berdasarkan spesifikasi bidang-bidang tertentu.
Kepemimpinan dengan pola semacam ini tentu saja tampak lebih fleksibel
dan lebih demokratis apabila dibandingkan dengan pola kepemimpinan
yang bercorak kharismatik.178
177Ahmad AlFajri, “Pesantren : Dari Peran Sejarah Hingga Tantangan Masa Depan” dalam Jurnal Diklat Tenaga Teknis Keagamaan Pusdiklat Tenaga Teknis keagamaan, vol. V. No.2, (Mei, 2008), 61. 178Lihat: Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren, 69.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
106
Dalam kepemimpinan kolektif, setiap anggota berada dalam derajat
yang relatif sama dalam mengajukan pendapat, usulan, dan saran serta
berwenang penuh di dalam mengelola bidangnya masing-masing,
walaupun terkadang kedua pola tersebut masih menampakkan atau
memperlihatkan watak otoriter-paternalistik.179
C. Kepemimpinan dan Kuasa Perempuan di Pesantren
1. Konsep Kepemimpinan Perempuan dalam Islam
Masalah kepemimpinan ternyata merupakan masalah yang sangat
krusial dan merupakan salah satu hal yang sangat penting, sehingga mendapat
perhatian yang sangat besar.
Kenyataan sejarah bahwa sepeninggal Rasulullah (wafat), yang
menjadi perdebatan dan konflik pertama adalah tentang kepemimpinan, yakni
siapa yang berhak memimpin untuk menggantikan kepemimpinan
Rasululah.180
179 Meskipun kepemimpinan di pesantren bergeser dari pola kepemimpinan yang sebelumnya cenderung bercorak kharismatik, menuju kepemimpinan kolektif namun masih tetap cenderung memperlihatkan watak otoriter-paternalistik, hal demikian ini menurut Pradjarta Dirdjosanjoto sekurang-kurangnya disebabkan oleh lima hal sebagai berikut: (1) Karena sumber kewibawaan moral yang muncul dari suprioritasnya di bidang keagamaan. Kiai bukanlah sekedar sumber pengetahuan agama, melainkan juga pembimbing spiritual yang tanpa pertolongaannya para santri akan hidup dalam kesesatan. (2) Kiai serngkali tidak hanya seorang guru atau pemimpin pesantren, namun juga pemilik. Kedudukannya memberi otoritas yang sangat kuat di lingkungan pesantrennya. (3) Jaringan antar kiai yang kebanyakan terbentuk oleh hubungan perkawinan yang bersifat endogamus (perkawinan yang dibatasi oleh kelompok tertentu). (4) Relasinya dengan pemerintah dan pusat-pusat kekuasaan di luar juga merupakan basis kekuasaan sekelompok kiai (5) Kualitas pribadinya seperti penguasaan terhadap hukum Islam dan kitab-kitab tertentu, garis keturunan, kharisma, ataupun daya tarik yang bersifat pribadi (perawakan gagah dan tampan, ramah dan sebagainya). Lihat: Pradjarta Dirdjosanjoto, Memihara umat, 155-156. Lihat juga: Muthmainnah, Jembatan Suramadu: Respon Ulama terhadap Industrialisasi (Yogyakarta: LKPSM, 1998), 44. 180 Sebagaimana yang ditulis Lings, bahwa sejumlah orang Muhajirin berkumpul mengelilngi Abu Bakr, sedangkan mayoritas orang Anshar berkumpul di balai pertemua Bani Sa’idah yang diketuai Sa’d ibn ‘Ubaydah, mereka sedang memperdebatkan pelimpahan kekuasaan setelah Rasulullah wafat. Umar mengajak Abu Bakar untuk pergi bersamanya ke ruang pertemuan, dan Abu ‘Ubaydah mengiringi mereka. Terjadilah perdebatan antara orang Anshar dan orang Muhajirin. Menurut orang Anshar mereka yang berhak meneruskan kepemimpinan setelah Nabi wafat, karena mereka sebagai penolong Allah dan pembela Islam, mereka menunjuk Sa’d sebagai pemimpin.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
107
Islam sebagai agama universal 181 memberikan aturan dan petunjuk
dalam segala sektor kehidupan manusia.182 Misalnya ketika dalam perjalanan,
Rasulullah menganjurkan untuk mengangkat seorang pemimpin. Sebagaimana
disampaikan dalam salah satu sabda beliau yaitu:
روا احدھم (رواا قال اذ عن ابن سعيد وابي ھريرة رضى هللا عنھما ١٨٣ابواداود) هخرج ثالثة فى سفر فليؤم
Dari Abu Said dari Abu Hurairah bahwa keduanya berkata, Rasulullah bersabda, “Apabila tiga orang keluar bepergian, hendaklah mereka menjadikan salah satu sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud).
Hadith Nabi tersebut mengisyaratkan bahwa, pentingnya pemimpin
dalam satu aktifitas. Begitu pentingnya seorang pemimpin, sehingga
digambarkan dalam jumlah relatif kecilpun (tiga orang dalam perjalanan),
harus tetap menunjuk salah seorang diantaranya sebagai pemimpin yang
bertanggung jawab dalam suatu aktifitas (perjalanan).
Sedang Abu Bakr wakil dari orang Muhajirin mengajukan Umar dan Abu ‘Ubaidah untuk dipilih salah seorang diantara keduanya. Argumentasi mereka bahwa umat Islam sudah tersebar di seluruh jazirah Arab, dan bangsa Arab secara keseluruhan tidak akan menerima kekuasaan dari yang bukan orang Quraisy. Suku Quraisy memiliki posisi khusus dan utama di antara mereka. Perdebatan semakin sengit ketika orang Anshar mengajukan usul agar supaya kekuasaan dibagi menjadi dua. Maka umar secara lantang berbicara “Hai kaum Anshar, tidaklah kalian tahu bahwa Rasulullah memerintahkan abu Bakr untuk mengimami shalat?” “Kami tahu itu” jawab mereka. Dengan alasan itu maka orang Anshar dan orang Muhajirin berbai’at tentang kepemimpinan Abu Bakr, kecuali Sa’d yang tidak pernah mengakuinya sebagai khalifah dan akhirnya ia pindah ke Syria. Lihat: Martin Lings (Abu Bakar Siraj al-Din), Muhammad Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (Jakarta: Serambi, 2002), 535-536. lihat: Philip K. Hitti, History Of The Arabs (Jakarta: Serambi, 2010), 222. Bandingkan dengan Abdurrahman Asy Syarqawi, Abdul Syukur (Tarj.) Abu bakar Ash Shiddiq The Successor (Bandung:Sygma Publishing, 2010), 97-98. Abdurrahman Asy Syarqawi, Abdul Syukur (Tarj.) Umar Bin Al Khathab The Conqueror (Bandung:Sygma Publishing, 2010), 62-67. 181Universalisme Islam atau keberlakuan ajaran Islam untuk semua orang dan untuk seluruh dunia, merupakan suatu ajaran yang diterima oleh seluruh umat Islam sebagai akidah. Universalisme Islam yang tergambar pada prinsip dan nilai dapat diterapkan dalam kehidupan modern. Sifat dan ciri-ciri ajaran Islam yang ditarik dan dipahami dari berbagai argumentasi keagamaan cukup banyak, antara lain: 1) Rabbaniyah; 2) al-Syumul (keumuman); 3) al-Waqi’iyyah (berpijak pada kenyataan obyektif manusia); dan lain-lain. Lihat: Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, 213. 182 Lihat: al-Qur’an 16 (al-Nahl) : 89, yaitu:
لنا عليك نا لكل شيء وھدى ورحمة وبشرى للمسلمين ٱلكتب ونز تبيDan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. 183 Abỉ al-Ťayyỉb Muhammad Shamsi al-Haq al-‘Az}ỉm Ảbậdỉ, ‘Uwnu al-Ma’bủd Sharh Abỉ Dậwud Jilid iv (Bairut:Dậru al Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), 191.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
108
Konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam, berdasarkan pada
firman Allah tentang kepemimpinan secara umum, yaitu dalam surat al-
Baqarah ayat 30:
ئكة إني جاعل في ٱألرض خليفة …وإذ قال ربك للمل
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi"...184
Kata khalifah, menurut Quraish Shihab185 pada mulanya berarti yang
menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Kata
khalifah dalam arti yang menggantikan Allah, artinya adalah dalam
menegakkan kehendak-Nya. Dalam hal ini bukan karena Allah tidak mampu
atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan. Namun, Allah
bermaksud menguji manusia dengan memberi penghormatan dan wewenang
kepada manusia. Kekhalifahan mengharuskan makhluk yang diberi tugas
untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah yang memberi
tugas dan wewenang. Perbuatan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak-
Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahannya.
Demikian pula menurut Hamka, 186 bahwa sebagian penafsir
mengartikan khalifah adalah sebagai pengganti dari jenis makhluk yang telah
musnah sebangsa manusia juga sebelum Adam as., dan ada pula yang
mengartikan sebagai pengganti Allah. Dalam hal ini tidak berarti manusia
berkuasa dan memiliki kedudukan sebagaimana Allah, sebagaimana Abu
Bakar diberi gelar Khalifah Rasulullah, bukan berarti kedudukan Abu Bakar
184 Departemaen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 2 (al-Baqarah : 30) 185 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbậh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2012), 173. 186 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), 167.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
109
sama dengan Rasulullah, tetapi pengganti Rasululah dalam urusan
pemerintahan. Sebagaimana dalam al-Marộghỉ 187 yang dimaksud ke-
khalifahan Adam as. di bumi adalah kedudukannya sebagai khalifah atau
wakil Allah SWT untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan
memakmurkan bumi serta memanfaatkan segala apa yang ada di bumi.
Al-Zamakhshary188 dalam Hasyiyah al- Şộwỉ ‘Alậ Tafsỉri al-Jalậlaini,
bahwa yang dimaksud kata khalifah bukan hanya berarti Adam as, seperti
yang dikemukakan oleh para mufassir. Menurut Imam al-Qurţuby, pendapat di
atas berasal (bersandar) dari pendapat Ibnu ‘Abbậs, Ibnu Mas'ủd dan semua ahli
takwil, walaupun pendapat terbut perlu untuk dikritisi. Menurut Al-Razi memang
banyak terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini., namun pendapat yang lebih
kuat adalah secara spesifik bukan Adam. Kalau yang dimaksud secara spesifik itu
Adam, maka pernyataan Malaikat tidaklah berarti .189
Demikian juga pendapat Quraish Shihab,190 dalam Tafsir al-Mishbậh
yang dimaksud makhluk yang diberi tugas adalah Adam as. dan anak cucunya.
Maka konsep kekhalifahan dalam Islam, perempuan sebagai hamba
Allah dan sebagai anak cucu Adam sebagaimana laki-laki berhak untuk
menjadi khalifah di muka bumi dan berhak untuk menempati suatu kedudukan
yang paling tinggi. Al-Qur’an sebagai konsep yang menentukan
“pengangkatan manusia sebagai khalifah” tidak ada petunjuk bahwa khalifah
187 Ahmad Mus{ţafa al-Marộghỉ, Tafsỉr al-Marộghỉ Juz I (Bairut, Dậru al-DFikr,tt.), 80. 188 Lihat: Ahmad al- Şộwỉ al- Maliki, Hasyiyah al- Şộwỉ ‘Alậ Tafsỉri al-Jalậlaini (Bairut: Dậrul Fikr, 2012), 71. 189Artinya tidak relevan dengan pernyataan Malaikat “ Mereka berkata, mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang mebuat kerusakan dan menumpahkan darah,.. surat al-Baqarah, 30. 190 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbậh, 173
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
110
hanya ditujukan kepada kaum laki-laki, maka dalam hal ini berarti
penunjukkan khalifah mencakup laki-laki dan perempuan.
Dalam hadith Rasulullah yang lain tentang kepemimpinan ini bahwa
setiap orang laki-laki maupun perempuan adalah pemimpin baik terhadap
dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan sekitarnya, dan mempunyai
pertanggung jawaban atas kepemimpinan masing-masing. Dalam salah satu
hadith Rasulullah diriwayatkan:
ھري قال أخبرني سالم ثنا أبو اليمان أخبرنا شعيب عن الز حد إبن عبد هللا عن عبد هللا إبن عمر رضي هللا
عليه وسلم يقول كلكم راع ومسئول صلى هللا مام راع عنھما أنه سمع رسول هللا عن رعيته فاإل
في بيت زوج جل في أھله راع وھو مسئول عن رعيته والمرأة راعية ھا ومسئول عن رعيته والر
١٩١.وھي مسئولة عن رعيتھا
“Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az-Zuhriy berkata, telah menceritakan kepadaku Salim bin 'Abdullah dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam (kepala Negara) adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas orang yang dipimpinnya. Seorang isteri di dalam rumah tangga suaminya adalah pemimpin dia akan diminta pertanggung jawaban atas siapa yang dipimpinnya.” Oleh karena itu sebagaimana yang disampaikan oleh Ghafur192 bahwa
dalam ajaran Islam, ada empat sifat yang harus dimiliki seseorang dalam
191 Ahmad Bin ‘Ali Bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Bi Syarh al-Bukhori, Juz 11 (Al-Riyad: Dar Tayyibah, 2005), 559. 192Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, 125. Contoh keteladanan yang sangat baik ada pada diri Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat, apapun namanya raja atau presiden atau yang lain harus bersifat dan bersikap: 1. Sidik (benar); sebagai pemimpin bangsa atau pemimpin umat haruslah selalu benar dalam bertutur kata, bertingkah laku dan bersikap hidup terhadap apa dan siapa saja yang telah menjadi tugasnya. 2. Amanah (terpercaya) harus tidak berhianat terhadap tugas dan kewajiban yang telah dipercayakan (diamanatkan) kepadanya. 3. Tabligh, segala amanat harus tersampaikan, dengan pengertian harus terbuka (ada keterbukaan). Seorang pemimpin harus tidak menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya umat dan rakyat harus mengetahuinya. 4. Faţanah, cerdik, pandai dan tidak lolak lolok, dan memiliki keahlian dalam memimpin bangsa dan dan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
111
melaksanakan kepemimpinan: pertama, sidik, yakni jujur, benar-benar dan
sungguh-sungguh dalam bersikap dan berucap serta berjuang dalam
melaksanakan tugasnya, kedua, amanah, yakni kepercayaan dan keteguhan
dalam memelihara dan menjalankan tugasnya, ketiga faţanah, yakni cerdas
dan siap serta tanggap yang melahirkan kemampuan untuk mengatasi
persoalan-persoalan yang muncul seketika, dan keempat, tabligh, yakni
menginformasikan secara benar dan jujur apa yang didapatnya. Selain itu
menurut beliau seorang pemimpin harus memiliki: 1) penuh sifat kesabaran
dan ketabahan, 2) mengantarkan (masyarakatnya) kepada tujuan yang sesuai
dengan petunjuk Allah, 3) membudayakan kebajikan, 4) ‘abidin, (orang yang
taat beribadah), 5) penuh keyakinan atau optimisme, 6) orang yang kuat dan
terpercaya, artinya orang yang kuat secara fisik dan mental serta keahlian atau
professional.
Dengan memperhatikan beberapa kriteria tersebut, sebenarnya konsep
kepemimpinan dalam Islam dapat dilakukan oleh siapapun baik laki-laki
maupun perempuan yang memiliki kapasitas dan kapabelitas memimpin.
Diantara mereka masing-masing laki-laki dan perempuan sangat tidak
menutup kemungkinan untuk memiliki kriteria yang dimaksud sehingga
dengan demikian dapat diangkat menjadi pemimpin di sektor domestik
maupun publik yang lebih luas.
negara. Lihat M. Amin Abdullah, Kepemimpinan Wanita Dalam Politik (Perspektif Teologis) dalam Agus Purwadi, (ed.), Islam & Problem Gender Telaah Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Aditya Media, 2000), 20.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
112
Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Muhammad,193 bahwa kita tidak
dapat menutup mata, dalam kurun waktu yang sangat panjang dirasakan benar
bahwa kenyataan sosial dan budaya memperlihatkan hubungan laki-laki dan
perempuan yang timpang. Kaum perempuan masih diposisikan sebagai bagian
dari laki-laki (suborninasi), dimarjinalkan bahkan didiskriminasi.
Dan harus diakui bahwa ada ulama yang menjadikan firman Allah
dalam surat an-Nisa’ ayat 34,194 lelaki-lelaki adalah pemimpin perempuan-
perempuan, sebagai bukti tidak bolehnya perempuan terlibat dalam persoalan
politik, karena –kata mereka- kepemimpinan berada di tangan lelaki, sehingga
hak-hak berpolitik perempuan pun berada di tangan mereka.195
Menurut Subhan 196 penafsiran klasik secara skriptualis (tertulis)
terhadap ayat al-Qur’an sering dijadikan argumen penguatan supremasi laki-
laki atas perempuan, sehingga atas dasar ayat tersebut banyak ahli yang
memberikan komentar terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan, bahwa
laki-laki memiliki kekuasaan lebih besar dan status lebih tinggi dari pada
perempuan, sehingga pola kekuasaan dan status ini berpengaruh secara
universal dalam menentukan kebijakan dan aturan yang berlaku di tengah
kehidupan bermasyarakat.
Lebih lanjut Subhan, 197 menyatakan bahwa, pandangan ini senada
dengan pandangan 3 (tiga) mufassir Indonesia: Hamka,198 Mahmud Yunus199
193 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2009), 23. جال ٱ 194 مون على لر ل لنساء ٱقو ٱبما فض لھم ..بعضھم على بعض وبما أنفقوا من أمو 195 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), 274. 196 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 1999), 177. 197Ibid, 102.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
113
dan Departemen Agama, 200 yang cenderung beranggapan bahwa laki-laki
punya nilai lebih dibanding perempuan.
Disamping stereotipe yang dikonstruk masyarakat tentang perempuan
yang bias gender, tentang ketidak bolehan kepemimpinan perempuan ini
sebagian ulama juga berlandaskan kepada Hadith Rasulullah saw., yaitu:
بك ح ثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال لقد نفعني هللا ثنا عثمان ابن الھيثم حد ا بلغ ة أيام الجمل لم د لم عليه وسلم أن فارسا ملكوا ابنة كسرى قال لن يفلح قوم ولوا أم ◌ 201رھم امرأةالنبي صلى هللا
“Telah menceritakan kepada kami Uthman bin Al Haitham telah menceritakan kepada kami 'Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah mengatakan; Dikala berlangsung hari-hari perang jamal, aku telah memperoleh pelajaran dari pesan baginda Nabi, tepatnya ketika beliau Shallallahu 'alaihi wasallam tahu kerajaan Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja, beliau langsung bersabda: "Tak akan baik keadaan sebuah kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin urusan mereka”.
Menurut Mas’udi,202 hadith ini mempunyai pengertian bahwa apabila
suatu kaum dipimpin perempuan maka keadaannya akan menjadi tidak baik,
sehingga dengan alasan ini peluang perempuan untuk menjadi pemimpin
menjadi tertutup. Argumentasi yang dikemukakan bahwa: pertama, apa yang
disampaikan Nabi pada hadith tersebut berlaku umum untuk semua
perempuan; kedua, secara eksplisit al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34 tersebut di
atas menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Kalau
kepemimpinan dalam konteks rumah tangga saja harus diserahkan kepada
laki-laki, apalagi dalam konteks yang lebih luas seperti mengatur masyarakat
dan negara, sudah selayaknya kalau laki-laki juga tetap memimpin
198 Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid V (Jakarta:Pustaka, 1986), 45-48. 199 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 1993),113. 200 Departemaen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, 4 (an-Nisa’ : 34), 123. 201 Lihat dalam Ahmad Bin ‘Ali Bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Bi Syarh al-Bukhori, Juz 9 (Al-Riyad: Dar Tayyibah, 2005), 580. 202 Muhammad Mas’udi, “Pro Dan Kontra Tentang Kepemimpinan wanita Dalam Kajian Hadith”dalam Agus Purwadi, (ed.) Islam & Problem Gender Telaah Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Aditya Media,2000), 83.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
114
perempuan; ketiga, dalam konteks sejarah awal Islam menunjukkan bahwa
kepemimpnan al-Khulafa’ al-Rasyidun dan kepemimpinan dinasti-dinasti
sesudahnya selalu dipegang oleh laki-laki.
Para ulama memahami hadith tersebut sebagai ketentuan syariat yang
bersifat baku universal, tanpa melihat aspek-aspek yang terkait, seperti
kapasitas diri Nabi tatkala mengucapkan hadith, suasana yang
melatarbelakangi munculnya hadith, setting sosial yang melingkupi sebuah
hadith. Padahal segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi dan suasana yang
melatarbelakangi atau menyebabkan lahirnya hadith mempunyai kedudukan
penting dalam pemahaman hadith secara utuh.203
Adapun tentang hadith Nabi yang bahwa perempuan (Hawwa)
diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam. Hadith tersebut adalah:
لع أعاله ، فإن ذھبت تقيمه كسرته ، واستوصوا بالنساء خيرا ، فإنھن خلقن من ضلع ، وإن أعوج شىءفى الض
اوإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بالنساء خير
Artinya: ajarilah perempuan itu dengan cara yang sebaik-baiknya, Karena sesungguhnya perempuan itu dijadikan dari (serupa) tulang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang di atas sekali. Jika engkau paksa meluruskannya, niscaya patah, dan jika engkau biarkan, senantiasa ia bengkok. Sebab itu nasehatilah perempuan itu dengan cara yang sebaik-baiknya. 204 Menurut Quraish Shihab, 205 tulang rusuk yang bengkok harus
dipahami dalam pengertian kiasan (majazi), dalam arti bahwa hadith tersebut
memperingatkan para laki-laki agar menghadapi perempuan secara bijaksana.
Karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan
lelaki, apabila tidak disadari akan mengantar kaum laki-laki untuk bersikap 203 Ibid, 279. 204 H. Zainuddin Hamidy, dkk. Terjemah Hadith Shahih Bukhari jilid iii hadith ke 1467 (Klang Selangor Malaysia: Klang Book Centre, 1990). 190. 205 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarkat (Bandunf: Mizan, 1992), 271.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
115
tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan
perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana
fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Di sisi lain sejumlah pemikir muslim kontemporer telah berusaha
menafsirkan kembali kalimat “al-rijậl” dan “qawwậmủn”. “Al-rijậl”
mempunyai pengertian laki-laki yang menjadi pelindung atau “pemimpin”
ialah laki-laki yang mempunyai keutamaan. Sesuai dengan asbậb al-nuzủl206
ayat ini, keutamaan laki-laki adalah tanggungjawabnya sebagai kepala rumah
tangga, sebagai pelindung, pengayom isteri dan keluarganya.207
Menurut Sayid Quthb208 kata “al-rijậl” lebih ditekankan kepada aspek
gender laki-laki, bukan kepada aspek biologisnya sebagai manusia yang
berjenis kelamin laki-laki, karena tidak semua yang berjenis kelamin laki-laki
mempunyai kapasitas yang lebih tinggi dari pada perempuan.
Sedangkan “qawwậmủn” menurut Al-Zamakhsyari 209 berarti bahwa
laki-laki bertanggung jawab terhadap urusan perempuan. Menurut pendapat
Engineer, bahwa memberi penafsiran tentang pernyataan al-Qur’an “kaum
laki-laki qawwậmủn terhadap kaum perempuan” tidak boleh dipahami lepas
dari konteks sosial pada waktu ayat ini turun. Struktur sosial pada waktu Nabi
206 asbậb al-nuzủl ayat ini adalah sebagai tanggapan atas kasus Sa’d ibn Abi Rabi’ yang memukul isterinya bernama Habibah binti Zaid, kemudian kasus ini diadukan kepada Nabi, lalu Nabi menjawab “Qishash!”. Sebelum qishash dilakukan turunlah ayat ini (an-Nisa’ 34) dan qishash tidak dilaksanakan. Lihat: Abu al-Fidậ’ Ismail Ibn Kathỉr, Tafsir Ibn Kathỉr, Juz I (Beirut: Dậr al Fikr, 1986),492. 207 Lihat: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an ( Jakarta: Dian Rakyat, 2010), 134. 208 Sayid Quthb, Fiqh al-Sunnah Jilid II, (Mesir: Maktabah Dậr al-Turậts, tt), 51. Dalam hal ini beliau menjelaskan tentang kesaksian laki-laki. Tidak semua laki-laki mempunyai kapasitas menjadi saksi karena ia sebagai yang berjenis kelamin laki-laki. Anak laki-laki di bawah umur, laki-laki hamba, dan laki-laki tidak normal akalnya tidak termasuk di dalam kualifikasi memenuhi syarat sebagai laki-laki yang menjadi saksi dalam hukum Islam. 209 Abu al-Qasim Mahmud Al-Zamakhsyari, al-Kasysyậf ‘an Haqậ’iq al-Tanzỉl wa ‘Uyủn al ‘Aqậwil fỉ Wujủd al Ta’wỉl Jilid 1 (Beirut: Dậr al-Ma’ậrif, tt.), 532.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
116
Muhammad SAW, belum mengakui adanya kemitrasejajaran antara laki-laki
dan perempuan. Diungkap dalam ayat tersebut keunggulan kaum laki-laki
bukanlah keunggulan jenis kelamin, tetapi keunggulan fungsional karena laki-
laki mencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk perempuan. Fungsi
sosial yang diemban oleh kaum laki-laki itu seimbang dengan tugas sosial
yang diemban perempuan, yaitu melaksanakan tugas-tugas domestik dalam
rumah tangga.210
Disamping itu Engineer 211 mengutip ketegasan Maulana Uthmani,
bahwa seandainya Allah bermaksud menegaskan superioritas laki-laki atas
perempuan, Ia (Allah) akan menggunakan ungkapan “bimậ fadhdhalahum
‘alaihinna” (karena Dia (Allah) telah melebihkan laki-laki atas mereka
perempuan) atau bahkan akan menggunakan kalimat yang lebih tegas “bimậ
fadldlala al-rijậl ‘ala al-nisậ’. (karena Dia (Allah) telah melebihkan laki-laki
atas perempuan). Karena itu ayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk
menekankan superioritas laki-laki atas perempuan. Demikian pula Muhammad
‘Abduh dalam Al-Manar-nya tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki
terhadap perempuan, karena surat al-Nisậ’ ayat 34 tidak menggunakan kata
mậ fadlalahum bi hinna atau bitafdỉlihim ‘alaihinna (oleh karena Allah telah
memberikan kelebihan kepada laki-laki dari pada perempuan, tetapi
menggunakan kata bimậ fadhdhala Allậhu ba’dlahum ‘alậ ba’dlin (oleh
karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian
yang lain).212
210 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam , terj. Farid Wajdi dan Cici Farcha Assegaf (Jakarta: LSPPA, 1994), 62. 211 Ibid, 71. 212 Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir Al-Manar Juz V (Kairo, Dậr al-Manậr, 1367 H), 68.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
117
Menurut Mulia,213 penafsiran tentang kepemimpinan yang didasarkan
pada al-Qur’an surat al-Nisa’ 34, dilihat dari asbậb nuzủl ayat tersebut bukan
bicara tentang masalah kepemimpinan, melainkan mengenai domestic violence
atau kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dalam masyarakat Arab
sebelum Islam. Dilihat dari sebab turunnya, konteks ayat tersebut
membincangkan masalah nusyủz atau konflik atau percekcokan dalam rumah
tangga. Oleh karena itu tidak masuk akal melakukan generalisasi terhadap
maksud ayat tersebut, yang kemudian dipakai untuk menjustifikasi kapasitas
kepemimpinan perempuan. Laki-laki sebagai qawwậm perempuan (yang
dalam ayat itu diterjemahkan menjadi “pemimpin” dalam tafsir-tafsir agama
bias gender) telah dirasionalisasi sebagai suatu ketergantungan perempuan
dalam bidang ekonomi dan keamanan.
Sedangkan menurut Subhan,214 bahwa terdapat tiga kali kata qawwậm
di dalam al-Qur’an, (an-Nisa’: 34 dan 135, al-Ma’idah : 8), yang masing-
masing diterjemahkan “pemimpin, berdiri karena Allah dan lurus karena
Allah”. Peran domestik yang dijalani perempuan harus diberi nilai tersendiri,
bukan merupakan semata-mata suatu kewajiban, sehingga perlindungan dan
nafkah tidak lagi dapat dijadikan alasan normatif bagi kepentingan laki-laki
dalam kehidupan sosial dan politik secara luas. Karena peran domestik yang
dilakukan perempuan, laki-laki harus mengimbangi dengan melindungi dan
memberi nafkah yang oleh al-Qur’an disebut sebagai qawwậm. Oleh karena
itu ayat tentang kepemimpinan tersebut bukan pernyataan normatif tapi
pernyataan kontekstual, dalam kategori ekonomis dan sosiologis. Konteks ayat
213 Siti Musdah Mulia, Muslimah Sejati, 114. 214 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, 179.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
118
ini, laki-laki menjadi qawwậm perempuan karena memberi nafkah; artinya
bila secara ekonomi isteri bisa menghidupi atau bisa memberikan
penghasilannya untuk kepentingan keluarga, maka keunggulan suami menjadi
berkurang karena ia tidak memiliki keunggulan di bidang ekonomi.
Bila diteliti secara seksama indikator superioritas seperti dinyatakan
bahwa umumnya laki-laki memiliki penalaran yang lebih kuat, tekad yang
bulat, matang dalam perencanaan dan lainnya adalah lebih bersifat sosiologis.
Indikator ini akan menjadi hal yang nisbi dan tidak lagi kodrati apabila
dihadapkan pada proses sosialisasi yang lebih setara dan akses pendidikan
yang sepadan antara laki-laki dan perempuan.
Aspek-aspek yang menghalangi perempuan menjadi pemimpin
menurut Mulia,215 tampaknya amat dipengaruhi oleh faktor sosiologis. Dan
ketika pengaruh-pengaruh tersebut menghilang, konsekuensinya tidak ada lagi
halangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin.
Sedanjutnya tentang kepemimpinan perempuan ini sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Taubah: 9 : 71 sebagai berkut:
tβθ ãΖ ÏΒ÷σ ßϑø9 $#uρ àM≈ oΨÏΒ÷σ ßϑø9 $#uρ öΝ ßγàÒ÷è t/ â™ !$uŠÏ9 ÷ρ r& <Ù ÷è t/ 4 šχρ âßΔ ù'tƒ Å∃ρ ã÷è yϑø9 $$Î/ tβ öθ yγ÷Ζ tƒ uρ Ç⎯ tã Ìs3Ζ ßϑø9 $# šχθ ßϑŠÉ)ムuρ nο 4θ n=¢Á9$# šχθ è?÷σ ムuρ
nο 4θ x. ¨“9$# šχθ ãèŠÏÜ ãƒuρ ©!$# ÿ…ã& s!θ ß™u‘uρ 4 y7Í×≈ s9'ρé& ãΝ ßγçΗxq ÷zy™ ª!$# 3 ¨βÎ) ©!$#  Í•tã ÒΟŠÅ3 ym
Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.216
215 Siti Musdah Mulia, Muslimh Reformis, Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung: Mizan, 2005), 309. 216 Departemen Agama RI.,al-Qur’an dan Terjemahnya, 291.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
119
Secara umum ayat ini dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban
melakukan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang
kehidupan. Pengertian kata auliya’ menurut Quraish Shihab, 217 mencakup
kerja sama, bantuan dan penguasaan. Sedangkan pengertian amar ma’rủf nahỉ
munkar (menyuruh mengerjakan yang ma’rủf dan mencegah hal-hal yang
munkar) dalam ayat yang sama, menyangkut segenap upaya kebaikan dan
perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau kritik kepada
penguasa. Dengan kata lain, setiap laki-laki dan perempuan Muslim
hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu
bersikap kritis, untuk selanjutnya memberi kontribusi positif dalam berbagai
bidang kehidupan. Ayat ini menunjukkan adanya saling kerja sama, bantu
membantu dan ada yang menjadi pemimpin di antara mereka, tentu saja sesuai
dengan kapasitas dan kapebilitas yang dimiliki untuk menjadi pemimpin
apakah laki-laki maupun perempuan.
Dalam al-Qur’an surat an-Naml: 27:23 Allah SWT berfirman sebagai
berkut:
’ÎoΤ Î) ‘N‰y uρ Zοr& tøΒ $# öΝßγ à6Î=ôϑs? ôMuŠÏ?ρé&uρ ⎯ ÏΒ Èe≅à2 &™ó©x« $oλm; uρ î¸ötã ÒΟŠÏàtã
Artinya: “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang
memerintah mereka, dan Dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai
singgasana yang besar.”218
Ayat ini menerangkan tentang penyampaian pengetahuan dan
pengalaman burung hud-hud yang diperoleh selama dalam perjalanan, ia telah
217 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbậh, 650. 218 Departemen Agama RI.,al-Qur’an dan Terjemahnya, 596.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
120
menemukan suatu negeri besar, kaya raya dan diperintah oleh seorang ratu
yang cantik, yang mempunyai singgasana besar dan indah.
Ada tiga hal yang dapat dipahami tentang negeri Saba’ yang
disampaikan burung hud-hud kepada Nabi Sulaiman as, yaitu:
1. Negeri Saba’ itu diperintah oleh seorang ratu cantik, yang memerintah
negerinya dengan baik dan bijaksana.
2. Ratu itu memerintah dengan perlengkapan yang cukup, yaitu segala
sesuatu yang diperlukan dalam pemerintahan, seperti harta dan kekayaan,
tentara yang kuat dan sebagainya.
3. Ratu mempunyai singgasana yang indah lagi besar, yang menunjukkan
kebesaran dan pengaruh kekuasaannya, baik terhadap rakyat maupun
terhadap terhadap negeri-negeri yang berada di sekitarnya.
Perempuan atau ratu yang memerintah kaum Saba’ yang disebutkan
dalam ayat tersebut dikenal dalam sejarah dengan nama “Balqis”.
Pemerintahannya semasa dengan pemerintahan Nabi Sulaiman as. Sekalipun
balqis seorang perempuan ia telah sanggup membawa rakyat Saba’ kepada
kemakmuran dan ketentraman.219
Ayat al-Qur.an tersebut memberikan gambaran dan pengertian bahwa
perempuan juga memiliki kemampuan untuk memimpin dan sukses dalam
kepemimpinannya.
Bahkan Qardlawi 220 menegaskan bahwa peran perempuan untuk
kejayaan Islam sedemikian besar. Khadijah binti Khuwailid adalah perempuan
pertama yang mengimani Muhammad. Peran Khadijah dalam menegakkan
219 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbậh, 650. 220 Yusuf Qardlawi,dkk., Ketika Wanita Menggugat Islam (Jakarta: Teras, 2004), 81.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
121
risalah Islam, dengan mempertaruhkan diri dan kehormatannya sebagai
aristrokat (bangsawan) Arab untuk Islam di saat orang-orang menjauhi dan
membenci Muhammad.
Menurut Djunaidi, 221 Khadijah adalah perempuan yang mampu
bergeliat di antara serangan marginalisasi dari kalangan masyarakat Arab yang
sangat dominan, yaitu golongan kaum kafir yang selalu menghalangi upaya
Rasulullah saw dalam menyerukan Islam. Khadijah tidak pernah terhalang
untuk berurusan dengan wilayah sosial yang ia tempati dengan berbagai peran
yang ia jalankan.
Peran keperempuanan Khadijah mendapat dukungan dan simpati yang
luar biasa dari Rasulullah saw sehingga ia mendapat tempat tersendiri dalam
perjalanan sejarah kerasulan Muhammad saw. Keberhasilan Khadijah
mengawal perjalanan dakwah Rasul saw bukan hanya karena ia adalah
seorang konglomerat yang mampu membeli segala sesuatu, melainkan juga
karena ia adalah seorang perempuan yang mampu menempatkan diri,
membaca situasi, dan memanfaatkan celah-celah ruang sosial untuk diisi
dengan sesuatu yang baru.
Sebagaimana ditulis oleh Yamani,222 bahwa Khadijah adalah seorang
isteri yang memiliki kecerdasan, kebesaran hati, dan pemikiran yang tajam.
Demikian pula yang perlu dikemukakan adalah peran Aisyah dalam keilmuan
(periwayatan hadith), peran inipun tidak kalah penting dan berharga bagi
221 Ahmad Djunaidi & Thobib A-Asyhar, Khadijah Sosok Perempuan Karir Sukses Bedah wacana Gerakan Feminisme dalam Islam (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), 111. 222 Muhammad Abduh Yamani, Khadijah, Drama Cinta Abadi Sang Nabi, Tarjm. Hadir & Fuad (Depok: Pustaka IlMaN, 2007), 181-188.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
122
kejayaan Islam.223 Oleh karena itu suatu hal penting yang perlu dipertanyakan
menurut Djunaidi224 adalah proses apa yang membuat keterputusan realitas
kesejarahan Khadijah sebagai perempuan yang memiliki peran publik tanpa
diskriminasi dengan kebanyakan konstruksi keagamaan yang justru sering
mendiskriminasikan perempuan.
Dari sejarah yang mengangkat peran-peran Khadijah menjadi sangat
jelas bahwa persoalan mendasar terjadinya ketimpangan hubungan gender
yang diskriminatif bukanah persoalan Islam sebagai agama wahyu, melainkan
karena kuatnya konstruksi dan penafsiran terhadap nilai-nilai yang terkandung
di dalam Islam itu sendiri.
Para pemikir feminis mengemukakan bahwa posisi-posisi perempuan
itu disamping karena faktor-faktor ideologi dan budaya yang memihak kepada
kaum laki-laki, keadaan timpang tersebut boleh jadi juga dijustifikasi oleh
pemikiran kaum agamawan. 225 Tidak jauh berbeda pendapat Nurjannah
Ismail226 bahwa apa yang menjadi kerisauan banyak orang terutama feminis
muslim yang sangat gigih melakukan kajian kritis terhadap penafsiran ayat-
ayat al-Qur’an yang membicarakan persoalan-persoalan perempuan, terutama
223 Yusuf Qardhawi dkk., Ketika Wanita, 81. Menggugat Islam , Heri Sucipto (ed.) (Jakarta: Teras, 2004), 81. 224 Ahmad Djunaidi & Thobib A-Asyhar, Khadijah Sosok Perempuan, 112. 225 Jika teks suci agama jatuh ke lingkungan masyarakat yang patriarkis, maka sulit diingkari untuk tidak terjadi penafsiran yang bias pada kepentingan laki-laki. Lihat Hamim Ilyas dkk.. Perempuan Tertindas Kajian Hadith-Hadith Misoginis (Yogyakarta: eLSAQ Press & PSW IAIN Sunan kalijaga, 2008), 8. Menurut Mahjuddin, memang tidak pernah terdapat Nabi dan dan Rasul yang berjenis kelamin perempuan, karena seorang Nabi dan Rasul harus juga memiliki fisik yang kuat, disamping kemampuan yang diperoleh dari wahyu yang diterimanya. Namun hal ini bukan berarti bahwa perempuan tidak boleh melebihi kedudukan laki-laki; baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Siti Balkis, misalnya dapat menjadi ratu di Sabah; Siti Khodijah dapat menjadi pedagang besar yang memimpin laki-laki. Lihat: Mahjuddin, “Gender Dalam Perspektif Tasawuf” dalam Paramedia Jurnal Komunikasi Dan Informasi Keagamaan Vol. 6 Nomor 3 (Juli, 2005), 261. Bandingkan: Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, 81. 226Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran (Yogyakarta: LKis, 2003), 5.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
123
dalam hubungannya dengan laki-laki, tampaknya yang mereka gugat bukanlah
teks-teks suci al-qur’an itu sendiri, melainkan penafsiran para mufassir
terhadap teks-teks tersebut yang sangat tekstual, dan kurang menekankan
pentingnya konteks sosial, bahkan dalam beberapa hal sangat dipengaruhi oleh
bias dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Bahkan menurut Hidayatullah, 227 bahwa sejarah awal Islam telah
memaparkan kenyataan bahwa Islam justru mendorong dan mengangkat
kemuliaan perempuan yang belum pernah diberikan sebelumnya oleh suku
bangsa mana pun dan peradaban tua sebelum Islam. Namun sayangnya
kemudian Islam menjadi salah satu agama yang paling banyak mendapat
sorotan dalam kaitannya dalam status dan aturan yang diberikan agama
terhadap kaum perempuan.
Subordinasi perempuan terutama dalam hal kepemimpinan,
sesungguhnya ada beberapa yang menjadi akar masalah antara lain adalah:
1. Adanya satu ayat yang sering dijadikan rujukan tentang masalah
kepemimpinan, yaitu surat an-Nisa’ ayat 4, kata qawwậmủn sering
diartikan sebagai pemimpin.
2. Adanya anggapan bahwa sifat dan kualitas feminitas yang dianggap
sebagai suatu yang rendah.
3. Akibat dari dua hal tersebut, terjadi pembagian kerja berdasarkan pada
jenis kelamin. Pekerjaan pada sektor domestik dianggap pekerjaan
berjenis kelamin perempuan, hanya pantas untuk perempuan dan tidak
227 Syarif Hdayatullah, Teologi Feminisme Islam (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2010), 11.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
124
bernilai ekonomis. Sedangkan pekerjaan di di ranah publik lebih
pantas untuk laki-laki.
Dengan pemahaman qawwậmủn adalah pemimpin, maka
mengakibatkan menutup rapat-rapat perempuan menjadi pemimpin, sekalipun
di rumah sendiri perempuan tetap tersubordinatkan oleh laki-laki (suami).
Artinya perempuan bisa saja menjadi pemimpin dalam rumah tangganya, akan
tetapi segala urusan dan semua kebijakan masih di bawah satu komando yaitu
laki-laki (suami).
Menurut Mas’udi, 228 menggunakan ayat ini sebagai landasan untuk
menolak hak kepemimpinan kaum perempuan khususnya, dan peranan publik
perempuan pada umumnya, maka ayat itu turun dan disajikan al-Qur’an dalam
konteks kehidupan keluarga, bukan dalam konteks kehidupan masyarakat atau
publik. Menyimpulkan ayat ini untuk menempatkan perempuan di bawah
dominasi laki-laki dalam segala urusan merupakan pendirian kelelakian yang
melampaui batas.
Memahami bahwa laki-laki adalah pemimpin dengan menafikan
perempuan untuk menjadi pemimpin walau di sektor domestik pun, tentu
memaknai perempuan menjadi makhluk yang dipimpin dan otomatis sebagai
ciptaan kedua setelah laki-laki, maka implikasinya adalah apa yang
228 Masdar F. Mas’udi, Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqh Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997), 61. Ayat tentang kepemimpinan tersebut bukan pernyataan normatif, tapi pornyataan kontekstual dalam kategori ekonomis atau sosiologis. Konteks ayat ini laki-laki menjadi qawwamun perempuan karena memberi nafkah; artinya kalau secara ekonomi istri bisa menghidupi atau memberikan penghasilannya untuk kepentingan keluarga, maka keunggulan suami menjadi berkurang karena tidak memiliki keunggulan bidang ekonomi. Karena itu keunggulan laki-laki bidang ekonomi bersifat kontekstual sehingga tidak dapat dijadikan alasan normatif bagi kepemimpinan laki-laki, apalagi dalam kehidupan sosial dan politik secara luas. Lihat: Zaitunah subhan, Tafsir Kebencian, 179. Bandingkan dengan Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2009), 250.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
125
berhubungan dengan perempuan seperti sifat dan kualitas feminim dianggap
suatu yang rendah bahkan dinilai negatif.
Sebenarnya yang harus disadari bahwa sifat dan kualitas feminim
bukan sesuatu yang rendah, justru sebaliknya. Tuhan menciptakan potensi
kewanitaan yang mesti dilestarikan dan sekaligus ditingkatkan kualitasnya.
Feminitas harus dimaknai yang positif-aktif, yaitu dengan pembentukan
kualitas peran yang ditandai dengan peningkatan pendidikan dan
pengembangan kreatifitas bagi perempuan, sehingga perempuan memiliki
kualitas yang dapat diandalkan dalam memenuhi dan melakukan perannya
baik di ruang manapun, terutama di lingkungan keluarga sebagai pencetak
generasi penerus.
Pada umumnya peran domestik dipahami dan diposisikan sebagai
milik perempuan -yang melekat dan memiliki stereotipe beda dengan laki-
laki- yang dianggap peran rendah dan tidak punya nilai.229 Oleh karena itu,
baik laki-laki maupun perempuan tidak atau kurang menghargai pekerjaan
domestik, 230 dan kepemimpinan dalam keluarga yang dianggap kurang
perspektif.
229 Pekerjaan yang ada dalam rumah tangga atau keluarga begitu banyak macam ragamnya, mulai mengatur keuangan; memasak dengan kelincahan dan kepawaian belanja yang kadang-kadang harus menyiapkan beberapa menu sesuai dengan masing-masing selera jumlah anggota keluarga; merawat dan menjaga bebersihan, keasrian lingkungan rumah; merawat, menjaga dan merawat serta mendidik anak-rawat; dan memenuhi keperluan keluarga yang lain. Begitu banyaknya pekerjaan yang harus ditangani perempuan (ibu/isteri), tetapi ketika ditanyakan kepada kepada laki-laki (suami tentang perjaan isterinya) atau perempuan (isteri), hampir pasti jawabannya adalah bahwa dia tidak bekerja dan hanya sebagai ibu rumah tangga. Padahal, dengan begitu banyak dan berat pekerjaan perempuan dikatakan tidak dinilai bekerja. 230 Pekerjaan domestik berkaitan dengan anggapan pekerjaan yang harus dikerjakan oleh perempuan, dan laki-laki hanya bersifat membantu saja. Jika perempuan bekerja di sektor publik, hanya dilihat sebagai tambanahan saja dan tidak diakui sama seperti bila hal itu dilakukan oleh laki-laki. Lihat: Misbahul Munir, Produktivitas Perempuan Studi Analisis Produktivitas Perempuan dalam Konsep Ekonomi Islam (Malang: UIN-MALIKI Press, 2010), 63.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
126
Perempuan dituntut untuk menyiapkan dan mempersembahkan
generasi yang berkualitas. Namun bagaimana kalau perempuan sendiri
kualitasnya masih diragukan? Sangat tepat apa yang telah disabdakan oleh
Rosulullah, bahwa, perempuan punya hak untuk memimpin dalam rumah
tangganya, dan akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.
Persoalannya adalah: pertama, siapa yang harus bertanggung jawab, kalau
amanah kepemimpinan dalam rumah tangga oleh perempuan tidak berkualitas,
yang disebabkan perempuan masih dalam kecenderungan posisi
tersubordinatkan; kedua, qowwậmủn yang menurut para ahli mempunyai
makna melindungi, memimpin, bertanggung jawab dan yang lainnya.
Kenapa pekerjaan domestik itu hampir seluruhnya milik perempuan,
padahal di sisi lain ayat itu digunakan sebagai legetimasi kokohnya kekuasaan
laki-laki memimpin dan bertanggung jawab dalam rumah tangga. Mestinya
tanggungjawab laki-laki meliputi seluruh aktifitas yang terjadi di dalam rumah
tangga, yang kenyataannya memang masih terlalu banyak dilakukan oleh
perempuan (baik ia sebagai anak, isteri atau sebagai ibu) padahal pada sisi lain
perempuan yang terlanjur dilabelkan sebagai makhluk yang memiliki kondisi
lemah secara pisik, tidak berdaya dan tidak dapat diajak berpikir kritis.
Sesungguhnya ketika berada di dalam lingkungan rumah tangga
perempuan memang lebih banyak menjalankan kekuasaan. Sebab ibu adalah
figur yang sangat berkuasa di dalam rumah tangga. Perempuan (isteri/ibu)
menggunakan kekuasaan yang nyata dalam peranannya sebagai pengatur
semua segi kehidupan dalam keluarga. Oleh karena itu sudah waktunya untuk
dikembangkan suatu konsep mengenai kekuasaan dan kepemimpinan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
127
perempuan (women power) yang berbeda dengan kekuasaan laki-laki yang
selama ini menjadi acuan semua pihak. Kekuasaan oleh laki-laki yang
sebenarnya tidak dipenuhi kelemahlembutan dan rasa kasih sayang yang
mendalam.
Tentang kepemimpinan perempuan ini menurut Mulia, 231 sangat
penting untuk mensosialisasikan pengertian baru tentang kekuasaan atau
kepemimpinan yang selamanya tidak selalu bernuansa maskulin. Sehingga
perempuan tidak harus mengeliminir unsur-unsur feminitas dalam dirinya
demi menggapai kekuasaan. Perempuan tidak harus menolak gaya feminis dan
berprilaku seperti laki-laki untuk berkuasa sehingga dianggap sebagai
pemimpin.
Lebih lanjut menurut Mulia 232 kekuasaan dalam konsep feminim
adalah kekuasaan yang dilimpahi sikap lemah lembut dan kasih sayang,
karena dalam kelembutan dan kasih sayang terpendam kekuatan yang dahsyat.
Pengalaman yang dialami di dalam kehidupan rumah tangga dapat dijadikan
sebagai refrensi untuk menjalankan kepemimpinan perempuan di lingkungan
yang lebih besar dan rumit, bisa jadi perempuan menjadi pimpinan di
lingkungan yang lebih luas di sekitarnya atau bahkan menjadi politisi yang
handal, sabar, ramah dan tidak menyakiti hati lawan politiknya. Politisi yang
tidak menggunakan kekerasan dan intrik politik sebagaimana dilakukan oleh
politisi laki-laki terhadap lawannya. Politisi perempuan yang dapat mengasah
naluri keibuannya yang selalu tanggap terhadap kebutuhan orang lain untuk
231Siti Musdah Mulia, Muslimah Sejati Menempuh Jalan Islami Meraih Ridla Ilahi (Bandung: Marja, 2011), 262. 232 Ibid, 263
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
128
menyelesaikan setiap agenda politiknya yakni kekuasaan yang dapat atau
mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah.233
Menurut Hasyim,234 tentang laki-laki atau perempuan yang menjadi
pemimpin tidak disebutkan di dalam al-Qur’an kecuali dalam konteks
keluarga bahwa suami adalah pemimpin rumah tangga, itupun dengan syarat
suami memiliki keunggulan dan memberi nafkah. Apabila ternyata terjadi
keunggulan berada di pihak isteri, dan isteri juga yang memberikan nafkah
dalam keluarga, maka apa salahnya jika isteri menjadi pimimpin rumah
tangga.
Di sisi lain kenyataan bahwa saat ini sudah terbuka kesempatan seluas-
luasnya bagi laki-laki maupun perempuan untuk dapat mengembangkan
potensi masing-masing sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka,
sehingga sangat memungkinkan perempuan meraih kesuksesan bahkan bisa
jadi melebihi prestasi yang diraih oleh kaum laki-laki.
Dengan demikian, tidak semua laki-laki otomatis memiliki kelebihan
atas perempuan. Kelebihan dan keunggulan tersebut tidak bersifat absolut,
tetapi bersifat relatif, sangat tergantung usaha pribadi laki-laki maupun
perempuan. Superioritas laki-laki tidak melekat secara otomatis kepada setiap
233Tercatat dalam sejarah Islam bahwa shahabyah (sahabat perempuan) yang pertama menerima dan meyakini Isam adalah Khadijah binti Khuwailid, isteri Nabi sendiri, Ummu habibah putri Abu Sufyan (masuk Islam ketika ayahnya masih menjadi pemimpin kafir Quraisy), Fathimah binti al-khaththab (adik Umar ibn al-Khaththab), Ummu Sulaim terlebih dahulu masuk Islam dan mahar perkawinannya dengan Abu Thalhah, Aminah Khalaf, Asma’ binti Abu Bakar, Aisyah, Asma’ binti Umais, Fatimah binti al-Mujallil, Barakah binti Yasar, Ramlah binti Auf, Ummu Hamalah, Fathimah binti Shafwan, Saudah binti Zam’ah, Aminah binti Qais, Sumaiyyah, dan hamamah. Keputusan para perempuan itu masuk Islam sungguh sangat berisiko. Mereka rela disiksa, dibaikot, dan dikucikan dari keluarga demi mempertahankan keputusan politik yang mereka ambil. Lihat Siti Musdah Mulia, Muslimah Sejat, 95-96. 234Abdullah Hasyim, “Status Wanita” dalam Agus Purwadi, (ed.), Islam & Problem Gender, 32.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
129
laki-laki, tetapi superioritas laki-laki hanya terjadi secara fungsional selama
yang bersangkutan memenuhi kreteria dapat memberi nafkah. 235
Al-Munawar236 dalam menganalisis tentang kepemimpinan perempuan
masih menggunakan dasar ayat al-qur’an dan hadith yang sama, hanya
menurut beliau harus dipahami secara sosiologis dan kontekstual. Posisi
perempuan yang ditempatkan sebagai subordinasi laki-laki sesungguhnya
muncul dan lahir dari sebuah bangunan masyarakat atau peradaban yang
dikuasai laki-laki. Ayat al-Qur’an surat al-nisa’ ayat 34 tidak lain merupakan
bentuk atau petunjuk mengenai penerapan kemaslahatan pada situasi riil yang
terjadi pada saat ayat itu diturunkan.
Sedangkan hadith tentang kepemimpinan perempuan yang terjadi di
Persia237 harus dipahami dari sisi essensinya dan tidak bisa digeneralisasi,
tetapi lebih bersifat spesifik untuk kasus bangsa Persia pada saat itu. Maka
yang esensial kepemimpinan adalah kemampuan dan intelektualitas, dua hal
yang dapat dimiliki oleh siapa saja, laki-laki dan perempuan.
Agak berbeda dengan beberapa pendapat diatas, Albar 238 bahwa
kepemimpinan adalah sesuatu yang penuh tanggung jawab dan resiko tinggi,
235 Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan, 29. 236 Said Agil Husin al- Munawwar, Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Islam dalam Agus Purwadi, (ed.), Islam & Problem Gender, 14-17.
ب ٢٣٧ ثنا عوف عن الحسن عن أبي بكرة قال لقد نفعني هللا ثنا عثمان ابن الھيثم حد عليه حد ا بلغ النبي صلى هللا كلمة أيام الجمل لم سرى قال لن يفلح قوم ولوا أمرھم امرأة وسلم أن فارسا ملكوا ابنة ك
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Al Haitsam telah menceritakan kepada kami 'Auf dari Al Hasandari Abu Bakrah mengatakan; Dikala berlangsung hari-hari perang jamal, aku telah memperoleh pelajaran dari pesan baginda Nabi, tepatnya ketika beliau Shallallahu 'alaihi wasallam tahu kerajaan Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja, beliau langsung bersabda: "Tak akan baik keadaan sebuah kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin urusan mereka”. Lihat dalam Ahmad Bin ‘Ali Bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Bi Syarh al-Bukhori, Juz 9 (Al-Riyad: Dar Tayyibah, 2005), 580. 238Muhammad Albar, Wanita Karir Dalam Timbangan Islam, Kodrat Kewanitaan, Emansipasi dan Pelecehan Seksual (Jakarta: Pustaka azzam, 1998), 51.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
130
sehingga hanya dapat dilakukan oleh orang yang kuat baik fisik dan
mentalnya yaitu laki-laki. Maka untuk mencapai keadilan, justru tidak adil jika
perempuan harus mengemban sesuatu yang ia tidak mampu mengembannya,
dan tidak baik apabila memiliki dua orang (laki-laki dan perempuan) sebagai
pemimpin dalam waktu yang bersamaan.
Tentang kepemimpinan ini, yang menjadi salah satu isu sentral
perdebatan di kalangan feminis adalah kepemimpinan rumah tangga. Mereka
menggugat paham kepemimpinan suami terhadap isteri dalam rumah tangga
yang selama ini sudah mapan di kalangan muslimin. Bagi mereka paham yang
menempatkan suami sebagai pemimpin rumah tangga tidak sejalan bahkan
bertentangan dengan ide utama feminisme, yaitu kesetaraan laki-laki dan
perempuan.
Rumah tangga yang memposisikan suami sebagai pemimpin terhadap
isteri, sebagaimana yang telah diyakini umat Islam pada umumnya, menurut
kaum feminis adalah merupakan salah satu bentuk dominasi laki-laki terhadap
perempuan yang berimplikasi kesewenang-wenangan laki-laki berbuat
semaunya terhadap perempuan, yang sebenarnya ayat-ayat di dalam al-Qur’an
tidaklah bermaksud demikian. Menurut mereka hal itu wajar, karena para
mufassir adalah laki-laki yang tentunya memiliki kecenderungan tertentu demi
kepentingan pribadi atau secara umum demi kelangsungan sistem masyarakat
patriarki yang dominan dalam dunia Islam.239
Dari beberapa pernyataan di atas, persoalannya adalah tentang
kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga apakah secara normativitas atau
239 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran (Yogyakarta:LKiS, 2003), 176.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
131
kontekstualitas. Secara normativitas kepemimpinan laki-laki dalam rumah
tangga dapat dipahami adanya kepastian siapa yang menjadi pemimpin,
sehingga tertutup peluang timbulnya perselisihan antara suami isteri dalam
menentukan siapa diantara mereka yang menjadi pemimpin. Namun
permasalahannya adalah bagaimana ketika secara faktual suami tidak
memenuhi persyaratan untuk menjadi pemimpin, baik yang menjadi integritas
pribadi maupun kemampuan finansial yang disyaratkan oleh al-Qur’an secara
eksplisit.
Kalau kepemimpinan dalam rumah tangga dimaknai secara
kontekstual, maka akan memberikan pemahaman bahwa kepemimpinan
rumah tangga memberi peluang untuk terpilihnya pemimpin yang memenuhi
persyaratan, dan lebih sesuai dengan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan. Dengan demikian nampaknya akan lebih adil antara laki-laki dan
perempuan bersama-sama dalam hal kepemimpinan, khususnya
kepemimpinan dalam lingkup rumah tangga. Namun permasalahannya adalah
bagaimana menentukan siapa yang lebih unggul secara fungsional, dan
bagaimana kalau keduanya secara obyektif keunggulan diantara keduanya
sama.
Dengan posisi yang keduanya secara fungsional memiliki keunggulan
yang sama, apakah dengan menggunakan kepemimpinan kolektif akan lebih
aman dan membawa kedamaian rumah tangga? Bagaimana pula antara suami
isteri yang masing-masing mempunyai keunggulan itu memiliki keputusan
yang berbeda, dan masing-masing memiliki alasan yang rasional, maka pada
saat itu dibutuhkan satu otoritas yang dapat mengambil keputusan akhir.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
132
Dengan memperhatikan masing-masing kepemimpinan fungsional dan
kepemimpinan kolektif dalam rumah tangga dengan kelemahan yang ada,
maka kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga sebagaimana dinyatakan
secara eksplisit dalam surat an-Nisa’ 34 yaitu bersifat normatif tekstual, bukan
kontekstual.
Andaikata memang Allah menentukan laki-laki sebagai pemimpin
rumah tangga, tidak berarti laki-laki dapat menguasai perempuan dengan
seenaknya dalam menentukan dan mengarahkan kehidupan rumah tangganya.
Hanya laki-laki yang secara fungsional memiliki kreteria pemimpin yang akan
sukses memimpin rumah tangga dengan mengakomodir kepentingan dan
kebutuhan yang dipimpinnya, yakni kepemimpinann yang berlandaskan pada
keadilan dan musyawarah mufakat, bukan kepemimpinan otoriter yang
semena-mana.240
Yang harus diperhatikan adalah, sekalipun laki-laki secara normatif
diberi hak memimpin isterinya, laki-laki harus memimpin rumah tangganya
dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntunan agama. Laki-laki tidak boleh
menegakkan kepemimpinannya dengan otoriter, yaitu dengan mengabaikan
kemauan dan pertimbangan isterinya.
Kesepakatan dalam urusan keluarga yang diambil melalui musyawarah
yang bebas dan jujur, inilah landasan esensial untuk apa yang disebut dengan
hubungan (relasi) yang berkeadilan. Dalam relasi yang berkeadilan, yang satu
tidak akan merendahkan apalagi menafikan keberadaan (eksistensi) pihak
lain241
240 Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan, 204. 241 Masdar F. mas’udi, Islam & Hak-Hak Reproduksi, 182.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
133
Sesungguhnya Allah SWT menciptakan manusia, terdiri dari jenis
laki-laki dan perempuan secara umum diberikan potensi yang sama baik
jasmani maupun rohani, dan secara khusus di antara laki-laki dan perempuan
memiliki perbedaan, yang bertujuan untuk saling membutuhkan dan saling
melengkapi di antara laki-laki dan perempuan, dan itu merupakan hak
preogratif Allah yang tidak dapat diinterpensi oleh siapapun.
Laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki peran dalam
kehidupan yang bisa mempertemukan keduanya dalam tugas besar, yaitu
membangun sebuah masyarakat dan memikul beban pembangunan tanpa
meremehkan satu jenis atas jenis yang lain. Persamaan mutlak antara dua jenis
yang berbeda sebagaimana yang dikehendaki sebagian kelompok adalah
mendhalimi kedua belah pihak.242 Oleh karena itu, apakah tugas perempuan
sebagai pencari nafkah maupun sebagai pelaksana tugas domestik,
mendekatkannya dengan keadaan di mana kualitas adalah menjadi lebih
penting dibandingkan kuantitas.243
Untuk memecahkan masalah-masalah perempuan di masa depan, dan
untuk membangkitkan partisipasi mereka dalam pengembangkan masyarakat
dan peradaban, menurut Harahap, 244 tampaknya dibutuhkan usaha-usaha
antara lain: Pertama, usaha yang sistematis mengenai pendidikan perempuan.
Kedua, merekonstruksi pandangan mengenai perempuan (dari merendahkan
menjadi kemitraan). Ketiga, melakukan reinterpretasi ajaran agama mengenai
perempuan, yang selama ini dipandang cenderung diskriminatif, dan
242 Asyraf Muhammad Dawabah, Muslimah Karier (Sidoarjo: Mashun, 2009), 6-7. 243Rahmat Hidayat, Ilmu yang Seksis Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin (Yogyakarta: Jendela, 2004), 318. 244 Syahrin Harahap, Islam Dinamis Menegakkan Nlai-Nlai Ajaran Al-Qur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara wacana Yogja, 1997), 154.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
134
mengembangkan pemahaman agama secara lebih mendasar, bukan sekedar
pada tingkat emosi keagamaan.
Al-Qur’an tidak berusaha untuk meniadakan perbedaan antara laki-
laki dan perempuan atau menghapus nilai fungsional dari perbedaan gender
yang membantu agar setiap masyarakat dapat berjalan dengan lancar dan
dapat memenuhi kebutuhannya.245 Sesungguhnya hubungan fungsional yang
harmonis dan saling mendukung antara laki-laki dan perempuan dapat
dipahami sebagai bagian dari tujuan al-Qur’an246 dalam masyarakat yaitu satu
sama lain saling melengkapi. Menurut Ivan Illich247, di mana-mana anak laki-
laki dan anak perempuan rasanya tumbuh dalam gender masing-masing sejak
dini. Saat disapih, mereka memakai bahasa tubuh yang tak sama.
Sehubungan dengan potensi yang dianugrahkan kepada laki-laki yang
merupakan hak bagi laki-laki, maupun potensi yang dianugrahkan kepada
perempuan dan menjadi hak perempuan, maka disamping hak laki-laki harus
dihormati, maka hak-hak perempuan juga harus diperjuangkan terutama oleh
para laki-laki. Justru dengan masing-masing potensi yang dianugerahkan
Allah kepada laki-laki maupun perempuan itu merupakan hak manusia yang
harus diperjuangkan untuk mencapai kualitas maksimal yang diridlai Allah
SWT.
245 Amina Wadud, Quar’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender Dalam Tradisi Tafsir judul asli: Qur’an and Women: Rereading The Sacred Text Form a Woman’s Perspective (Terj. Abdullah Ali) (PT. serambi Ilmu semesta, 2001), 43. 246Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah), 187:
… ...ھن لباس لكم وأنتم لباس لھن …Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka… 247 Ivan Illich, Matinya Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 87.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
135
2. Kepemimpinan dan Peran Perempuan di Pesantren
Dalam jaringan ruang sosial yang banyak berpihak kepada kaum laki-
laki, agama melalui interpretasi yang cenderung gender bias dan memberikan
kontribusi atas kokohnya cengkraman kaum laki-laki terhadap kaum
perempuan, diantaranya dalam masalah kepemimpinan, baik dalam
lingkungan domestik maupun publik diantaranya sebagai pemimpin di
pesantren.
Sampai saat ini porsi kepemimpinan perempuan di ranah publik
termasuk kepemimpinan di pesantren masih sangat rendah. Salah satu
kegagalan proses pengkaderan umat adalah dalam memahami dan mendukung
peran produktif dan reproduktif perempuan, yang kemudian menimbulkan
beberapa masalah umat yang cukup serius. Mayoritas perempuan dalam dunia
pekerjaan, jalur kepemimpinan, struktur organisasi, posisi jabatan, pengambil
keputusan (disission maker), maupun peluang memperoleh kesempatan masih
terhempas ke pinggiran.248 Masyarakat masih ada yang berkeyakinan bahwa
perempuan dengan fisik lebih lemah dan pasif, tidak memungkinkan mereka
dapat memenuhi mobilitas dan aktifitas sebanyak dan sekuat laki-laki.
Menurut Qardlawi, 249 perbedaan struktur tubuh dan tabiat (kodrat)
mestinya tidak bisa dijadikan pijakan untuk melihat perbedaan perilaku dan
peranan sosial antara laki-laki dan perempuan.
Untuk menjadi pemimpin yang sukses, disamping faktor bakat dan
kemampuan yang dimiliki seseorang, kemampuan memimpin dapat dipelajari
dan dilatihkan. Semakin banyak seseorang belajar dan berlatih memimpin,
248 Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan, 198 249 Yusuf Qardlawi,dkk., Ketika Wanita, 121.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
136
maka semakin mudahlah baginya untuk menerapkan kepemimpinan dalam
kelompoknya. Menurut Neviyarni250 sedikitnya ada lima hal yang menjadi
keyakinan dalam kepemimpinan, antara lain sebagai berikut: (1)
Kepemimpinan dapat dipelajari sama halnya dengan keahlian yang lain. (2)
Kepemimpinan merupakan proses memberikan bantuan atau bimbingan
kepada seseorang atau kelompok. (3) Keahlian kepemimpinan dapat dipecah-
pecah dalam unit-unit yang lebih kecil. (4) Kepemimpinan adalah hubungan
antar manusia. Keahlian ini merupakan cara seseorang berinteraksi dengan
orang lain. (5) Kepemimpinan harus ditampilkan dalam waktu dan tempat
yang tepat.
Pesantren merupakan lembaga keagamaan yang sarat nilai dan tradisi
luhur yang telah menjadi karakterstik pada hampir seluruh perjalanannya. Satu
sisi secara potensial karakterstik tersebut memiliki peluang cukup besar untuk
dijadikan dasar pijakan dalam rangka menyikapi globalisasi dan persoalan-
persoalan lain yang menghadang pesantren secara khusus, dan masyarakat
luas secara umum. 251 Misalnya, kemandirian, keikhlasan dan
kesederhanaan, 252 ketiganya merupakan nilai-nilai yang dapat melepaskan
masyarakat dari dampak negatif globalisasi dalam bentuk ketergantungan dan
pola hidup konsumerisme yang lambat tapi pasti akan menghancurkan sendi-
sendi kehidupan umat manusia.
250 Neviyarni, Pelayanan Bimbingan, 71. 251Abd. A’la, Pembaruan Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), 9. 252 Ketiganya adalah merupakan jiwa dan fisafat hidup pesantren. Adapun secara lengkap jiwa dan filsafat hidup pesantren adalah: 1. Keikhlasan. 2. Kesederhanaan. 3. Berdikari. 4. Ukhuwah Islamyah. 5. Bebas. Lihat: Abdullah Syukri Zarkasyi, “Pengelolaan Pondok Pesantren” dalam M. Nazim Zuhdi dkk., (ed.), Tarekat, Pesantren dan Budaya Lokal (Surabaya: Sunan Ampel Press Bekerjasama dengan Pusat Informasi dan Kajian Islam, 1999), 94
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
137
Sekalipun pesantren sering dikategorikan sebagai lembaga pendidikan
tradisional, akan tetapi sesungguhnya pesantren terus tumbuh dengan
perubahan internal yang sangat berarti, walaupun bervariasi antara pesantren
satu dengan yang lain. 253
Tentang konsep gender dalam masyarakat ini Mufidah254 berpendapat
bahwa, masyarakat membentuk dua wajah ekspresi makna, yaitu: Pertama,
kelompok yang menolak konsep gender sebagai konstruksi sosial, kelompok
ini cenderung bias gender yang menggambarkan pandangan konservatif,
sehingga status, peran dan pola relasi laki-laki dan perempuan tidak berubah
atau tidak perlu diubah karena dapat mengganggu keharmonisan kehidupan.
Kedua, kelompok yang menerima konsep gender sebagai konstruksi sosial,
maka peran dan pola hubungan antara laki-laki dan perempuan dapat berubah
dan diubah bercirikan sensitif gender yang menggambarkan pandangan
progresif, sehingga ekspresi makna yang muncul adalah kehidupan egaliter
sebagai kebutuhan mendasar dalam membangun keharmonisan dalam
kehidupan. Dengan demikian gender dipahami sebagai konstruksi sosial yang
dapat diubah dan berubah sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, komitmen
dan beradaptasi dengan ruang dan waktu.
Ketika terjadi proses dialektika individu dengan masyarakatnya yang
terus menerus mengalami perubahan sosial sebagai dampak kemajuan ilmu
pengetahun dan teknologi pada era reformasi dan gobalisasi yang menjadikan
peran-peran mereka sebagai simbol dan identitas diri laki-laki atau perempuan
253Imam Bawani, “Pola Modernisasi Pesantren Di Indonesia” dalam M. Nazim Zuhdi dkk., (ed.), Tarekat, Pesantren dan Budaya Lokal (Surabaya: Sunan Ampel Press Bekerjasama dengan Pusat Informasi dan Kajian Islam, 1999), 87. 254Mufidah Ch., Pengarusutamaan Gender Pada Basis Keagamaan Pendekatan Islam, Strukturasi & Konstruksi Sosial ( Malang: UIN-Malang Press, 2009), 87.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
138
terjadi pula pergeseran dan perubahan. Antara lain misalnya laki-laki akan
memahami bahwa identitas yang dulu dipertahankan bahwa laki-laki sebagai
pengambil keputusan dan pencari nafkah tunggal, maka merubah
pemahamannya untuk memberikan akses kepada perempuan bersama-sama
sebagai pengambil keputusan, pencari nafkah dan peran gender lainnya.
Demikian pula perempuan sebagai anggota masyarakat akan memahami
dirinya sejalan dengan perubahan sosial yang terjadi. Perempuan akan siap
beraktivitas sosial di ranah publik dengan peran produktif sebagaimana laki-
laki dengan motivasi untuk merubah kondisi keluarga sebagai dampak dari
perubahan di masyarakat.255
Oleh karena itu modernisasi dalam rangka peningkatan aktualisasi
pengabdian di tengah masyarakat, khususnya polarisasi modernisasi pesantren
menurut Bawani,256 sayogyanya memenuhi kreteria sebagai berikut:
1. Modernisasi pesantren harus tetap bertumpu pada asas keislaman, dan
dalam batas tertentu juga tetap mempertahankan ciri khas tradsionalnya,
seperti nila-nilai keikhlasan, kesederhanaan dan kemandiran.
2. Modernisasi pesantren harus berorientasi pada keseimbangan antara iptek
dengan imtaq dalam arti yang seluas-luasnya. Gejala positif yang muncul,
ditandai antara lain dengan pengokohan imtaq disamping keterbukaan
konstruktif pesantren terhadap modernisasi, yakni kesediaan institusi
untuk pengembangan iptek tertentu untuk pengembangan bidang tersebut
kepada pesantren.
255 Mufidah Ch., Pengarusutamaan Gender, 86. 256 Imam Bawani, “Pola Modernisasi Pesantren Di Indonesia” dalam M. Nazim Zuhdi dkk., (ed.), Tarekat, Pesantren dan Budaya Lokal (Surabaya: Sunan Ampel Press Bekerjasama dengan Pusat Informasi dan Kajian Islam, 1999), 91-92.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
139
3. Modernisasi pesantren sayogyanya tetap memberikan peluang terjadinya
keberagaman masing-masing untuk mempertahankan ciri khas dan
program pendidikannya, dalam arti tidak cenderung menggiring ke arah
pola yang seragam bagi untuk seluruh pesantren.
4. Modernisasi pesantren sayogyanya dengan cara memanfaatkan
semaksimal mungkin corak aslinya sebagai pendidikan mandiri.
5. Modernisasi pesantren perlu dilakukan dalam keterkaitan eratnya dengan
realitas dan kebutuhan lingkungan.
Demikian juga Abd A’la257 bahwa sikap modernis yang menekankan
pada kesinambungan sejarah melalui penghargaan yang kritis terhadap turats
akan membuat umat Islam selalu dapat berdialog dengan masanya tanpa harus
kehilangan khazanah intelektual mereka, dan juga tanpa harus mengorbankan
islamisitasnya yang genuine. Dengan demikian mereka akan memiliki
kekayaan wawasan dan tidak kehilangan jati diri mereka.
Dalam konteks kepemimpinan perempuan di pesantren, ada beberapa
alasan yang sangat memungkinkan perempuan untuk menjadi pemimpin di
pesantren, antara lain:
1. Secara internal.
a. Pesantren yang dalam waktu lama dikenal sebagai masyarakat
patriarkhi kini mulai merespon secara positif perjuangan kesetaraan
gender. Misalnya kerapkali mengadakan khalaqah tentang gender
untuk kalangan pesantren. 258 Dengan demikian, antara lain akses
pendidikan bagi generasi penerus pesantren yang pada mulanya lebih 257 Abd A’la, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Paramadina, 2003), 228. 258 Ahmad Baidowi, Memandang Perempuan Bagaimana Al-Qur’an dan Penafsir Modern Menghormati Kaum Hawa? (Bandung: Marja: 2011) 29.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
140
mengistemewakan laki-laki, maka bagi perempuan sangat berpeluang
untuk mendapatkan pendidikan pada tingkat yang sama dengan laki-
laki.
b. Dengan semakin baiknya akses dan kesempatan yang diperoleh
generasi muda muslim laki-laki maupun perempuan –termasuk dari
komunitas di pesantren-, bagi mereka terbuka dan berpeluang
mengembangkan potensi dengan menuntut ilmu sampai tingkatan
akademik yang paling tinggi.259
c. Dengan kapabelitas dan pengetahuan yang dimiliki perempuan,
perempuan menyadari statusnya sebagai khalifah atau penguasa di
bumi. Terjadi kesadaran untuk mengemban tugas dan wewenangnya
pada batas-batas kekuasaan, terutama dalam kaitannya
mempertanggungjawabkan mengembangkan dan menyampaikan ilmu
yang dimiliki.
d. Keberanian perempuan mengambil kesempatan untuk melakukan
negosiasi dalam mengaktualisasikan diri bahwa ia mampu untuk
menjadi pemimpin, apakah dalam rangka melanjutkan estafet
kepemimpinan di pesantren atau secara pribadi ia berkemampuan
untuk memimpin pesantren.
259Gejala menyolok yang penting ditandaskan adalah kecenderungan makin terbukanya akses bagi santri pesantren dan siswa –laki-laki dan perempuan- madrasah pada sekolah unggulan dan perguruan tinggi bergensi. Selama ini, segmen ini dikenal marjinal, tidak memiliki akses memadai pada jalur pendidikan formal yang menuntut kompetisi ketat. Akses baru itu diakibatkan stimulus kebijakan afirmatif negara lewat Departemen Agama yang memberi topangan akses. Baik berupa dukungan beasiswa maupun penetapan kuota pada sekolah unggulan. Lihat: Asrori S. Karni, Etos Studi Kaum Santri Wajah Baru Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan Media Utama,2009), xxxii,
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
141
2. Secara eksternal.
a. Berbagai upaya modernisasi Islam yang merembes dan muncul di
berbagai sektor yang krusial, antara lain dalam sektor, ekonomi,
politik, pendidikan dan sosial budaya.
b. Terjadi peningkatan kesadaran terhadap potensi dan eksistensi
perempuan secara berangsur-angsur pada sebagian kaum laki-laki dan
perempuan, yang memberi suasana kondusif bagi kaum perempuan
untuk dapat berkiprah secara lebih luas di masyarakat pada umumnya,
khususnya di pesantren.
c. Berkembangnya media masa yang mengekspos kemampuan dan
keberhasilan perempuan dalam pembangunan khsusunya dalam
memimpin, sehingga berdampak positif memotivasi perempuan untuk
mengembangkan kemampuan diri melalui pendidikan sekolah maupun
luar sekolah.
d. Terdapat sosok model ideal perempuan sukses dalam memimpin yang
memotivasi perempuan untuk mengikuti jejak kesuksesannya.
e. Kemajuan teknologi yang sangat berperan membantu meringankan
tugas-tugas domestik maupun tugas publik perempuan.
f. Pesantren dapat dikategorikan disamping sebagai lembaga alternatif
tempat penggodogan kader-kader bangsa yang berpendirian dan
berbudi luhur, juga sebagai asset untuk menciptakan pemimpin-
pemimpin masa depan yang tangguh serta tahan uji.260
260 Hal ini ditegaskankan oleh maftuh, bahawa tujuan pokok pesantren tidak boleh berubah, yakni melahirkan alim ulama dan pemimpin agama yang mampu menerjemahkan nilai dan norma agama dalam kehidupan bermasyarakat, dapat mendorong dan membimbing masyarakat dan umat ikut serta dalam pembangunan, dan mampu menerjemahkan gagasan dalam bahasa yang dipahami
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
142
Dengan demikian, bagi perempuan dengan potensi yang dimiliki dan
berbagai latar yang melingkupinya–terutama yang mempunyai latar belakang
keluarga pesantren- sangat dimungkinkan ia dapat memimpin pesantren
apabila dia diberi kesempatan dan kepercayaan untuk memimpin pesantren,
terutama dalam posisi kepemimpinan pesantren tidak ada yang mewarsi
sehingga kehawatiran punahnya pesantren dapat dikendalikan.
Perempuan dari kalangan pesantren, yang mendapatkan izin dan dan
restu kiai (orang tua), untuk menuntut ilmu –bisa jadi di pesantren- dimana
mendapatkan pendidikan dan latihan-latihan sebagaimana diharapkan pada
umumnya di pesantren untuk menjadi kader-kader penerus ulama, baik laki-
laki maupun perempuan. Hal ini juga sebagai respon dari tantangan
(modernisasi) tersebut ada geliat baru pada sejumah intelektual muslim yang
mencoba untuk melancarkan berbagai upaya modernisasi pada tubuh Islam -
dengan dialektika antara ajaran Islam dengan modernisasi- yang dimunculkan
dalam berbagai ragam (bentuk) dan karakteristiknya.261
Dari beberapa hal tersebut, mengindikasikan bahwa sosok perempuan
di masa-masa mendatang akan mendapat kesempatan yang sebelumnya tak
pernah bisa diakses. Saat ini banyak perempuan telah merintis jalan dalam
lapangan pekerjaan dan usaha bisnis yang terpisah khusus perempuan. 262
umat. Dalam pengembangan pesantren setidak-tidaknya ada tiga faktor yang perlu mendapatkan perhatian: Pertama, ulama tetap berperan sebagai ulama, kedua, kadersasi ulama harus ditumbuhkembangkan, ketiga, konsistensi sistem madrasah . Lihat: Departemen Agama, Muhammad M. Basyuni Revitalisasi Spirit Pesantren Gagasan, Kiprah dan Refleksi (Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantrem Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2007), 19. 261 Ninik Masruroh dan Umiarso, Modernisasi Pendidkan Islam Ala Azyumardi Azra (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 105. 262 Mai Yamani, (ed.) Menyingkap Tabir Perempuan Islam Perspektif Kaum Feminis (Bandung: Nuansa, 2007), 22.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
143
Marwah Daud Ibrahim, sebagaimana ditulis Ishomuddin 263 begitu
optimis bahwa perempuan adalah pemimpin di masa mendatang. Ia
menjelaskan strategi-strategi yang harus dijalankan untuk mencapainya,
diantaranya sebagai berikut:
Pertama, perlu perlu ditumbuhkan pandangan yang melihat tugas dan
peran perempuan dan laki-laki sebagai suatu yang komplementer, dan tidak
perlu dipertentangkan.
Kedua, harus ditumbuhkan pandangan multifungsi manusia untuk
menggantungkan pandangan peran ganda perempuan. Gambaran hitam putih
yang mempertentangkan antara peran perempuan dalam rumah dan luar rumah
sudah ketinggalan zaman. Peran-peran ini bisa saling mendukung. Boleh jadi
perempuan secara fisik berada di rumah, tetapi pikiran dan karya-karyanya
mengembara menembus dinding-dinding primordial apa saja.
Dengan pandangan dan sikap demikian, perempuan akan dapat secara
leluasa dan penuh rasa tanggung jawab dalam melaksanakan peran domestik
maupun peran publik secara maksimal dan berkualitas. Misalnya ketika
menekuni dan menghadapi peran pablik, dalam diri perempuan tanpa adanya
beban dan tertekan perasaan yang membayangi bahwa tugas domestik sedang
menunggu, sebab ia tahu dan sadar bahwa pekerjaan domestik juga tanggung
jawab suaminya.
Di pesantren, perempuan (nyai) mempunyai peran yang cukup berat,
sebab harus berhadapan dengan berbagai tantangan masyarakat global maupun
tantangan zaman yang setiap saat mesti dapat berubah sebagai tanda
263 Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam Retrospeksi Visi dan Aksi (malang: umm press, 1996), 201.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
144
kehidupan yang dinamis. Peran nyai sebagaimana yang ditulis Faiqoh,264 nyai
adalah istri kiai yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang agama
dan melakukan dakwah. Nyai diharapkan dapat melakukan perubahan karena
kemampuannya, khususnya di pesantren perempuan.
Meminjam istilah Zamakhsyari Dhofier 265 bahwa kiai (baca:nyai)
umumnya berpandangan bahwa pesantren diibaratkan sebagai kerajaan kecil
nyai merupakan sumber mutlak dari suatu kekuasaan dan kewenangan (power
and authority) dalam lingkungan pesantren. Di pihak lain santri berkeyakinan
bahwa nyai yang diikutinya adalah orang yang percaya diri (self confidence)
baik dalam urusan agama Islam maupun dalam bidang kekuasaan dan
manajemen pesantren.
Menurut Clifford Geertz266 bahwa orang sering datang kepada kiai
(nyai) untuk meminta nasihat, disamping itu kiai juga sebagai juru obat. Nyai
mengobati dengan menggunakan ramuan tumbuh-tumbuhan dan berdoa. Para
nyai –tabib, penasehat, guru dan cendikiawan- adalah orang-orang yang paling
tinggi prestisenya di kalangan umat. Sebagaimana ditulis Sukamto,267 bahwa
corak kehidupan nyai dan santri membuat kedudukan pesantren menjadi multi
fungsi. Nyai dijadikan imam dalam bidang ubudiyah, upacara keagamaan dan
sering diminta kehadirannya untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang
menimpa masyarakat. Peran nyai semakin kuat di dalam masyarakat ketika
kehadirannya diyakini membawa berkah. Misalnya tidak jarang nyai diminta 264 Faiqoh, Nyai Sebagai Agen Perubahan, (Tesis: Universita Indonesia 1998), 10. 265 Zamakhsyari Dhafier. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1986), 56. 266 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), 244-245. 267 Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1999), 13. Lihat Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai Sub Kultur, dalam Dawam Rahardjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1988), 40-45.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
145
mengobati orang sakit, memberikan ceramah agama dan dimintai do’a untuk
melariskan barang dagangan. Kiai tidak hanya dikategorikan sebagai alite
agama, tetapi juga sebagai elite pesantren, yang memiliki otoritas tinggi dalam
menyimpan dan menyebarkan pengetahuan keagamaan serta berkompeten
mewarnai corak dan bentuk kepemimpinan yang ada di pondok pesantren.
Sebagai elite pesantren yang memiliki otoritas tinggi dalam
menyebarkan pengetahuan keagamaan serta berkompeten mewarnai corak dan
bentuk kepemimpinan yang ada di pondok pesantren, nyai juga
mendakwahkan untuk membebaskan manusia dari beban kehidupan dan
melepaskan dari belenggu yang memasung kebebasan mereka serta
melakukan kritik sosial, meliputi penyebaran ajaran Islam, menyebarkan
kesalehan dan ibadah ritual, menyuruh dan meningkatkan perhatian pada
keluarga, pendidikan anak dan menghindarkan masyarakat dari pengaruh-
pengaruh negatif yang merusak kualitas hidup secara materiil, spiritual,
emosional dan intelektual, individual dan sosial.
Salah satu tugas itu adalah sebagai Mubalighah menurut Marcous268
adalah mediator di bidang agama yang tidak hanya mengkomunikasikan
ajaran-ajaran agama yang berkaitan dengan dunia dan akhirat, tetapi juga
mengkomunikasikan ajaran agama Islam yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari seperti hubungan antar pribadi, kehidupan keluarga, kesehatan,
pendidikan, budaya, ekonomi dan politik dan masalah-masalah lain, untuk
dikomunikasikan dengan masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya.
268 Lies Marcous, Women Mediation in Indonesia, (Leiden: KTLV, 1992), 205.