6
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Penyesuaian Diri
2.1.1 Pengertian Penyesuaian Diri
Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai kapasitas
yang dimiliki individu untuk bereaksi secara efektif dan wajar pada realitas sosial,
situasi, dan relasi sosial. Berdasarkan definisi penyesuaian sosial Schneiders
tersebut, kapasitas artinya kemampuan yang dimiliki individu untuk berhubungan
dengan teman sebayanya. Efektif artinya hubungan yang dilakukan individu
dengan teman sebaya dapat membawa hasil. Wajar artinya hubungan tersebut
sesuai dengan keadaan yang ada. Selanjutnya relasi sosial anak adalah hubungan
anak dengan teman sebaya di lingkungan sekolah. Penyesuaian diri dengan teman
sebaya di lingkungan sekolah merupakan salah satu bentuk penyesuaian sosial.
Hal tersebut berkaitan dengan tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai pada
masa kanak-kanak.
Faktor penting dalam bersosialisasi dengan teman sebaya di sekolah
adalah penyesuaian diri. Anak biasanya berusaha menyesuaikan diri terhadap
teman sepermainannya di sekolah. Penyesuaian diri merupakan dasar bagi anak
untuk dapat melakukan penyesuaian sosial dengan teman sebayanya.
Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian merupakan proses yang
mencakup respon mental dan perilaku di dalam mengatasi tuntutan sosial yang
membebani dirinya dan dialami dalam relasinya dengan lingkungan sosial. Proses
dalam penyesuaian merupakan runtunan perkembangan kemajuan hubungan anak
7
dengan teman sebaya. Respon mental dan perilaku yaitu tanggapan anak berupa
pikiran dan perilaku di dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya. Tuntutan
sosial berupa keinginan dan harapan dari teman sebaya yang dapat membebani
anak dalam hubungannya dengan teman sebaya di sekolah.
Dalam hidupnya seorang individu akan terus menerus melakukan
penyesuaian diri baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Menurut Schneiders (dalam Sudrajat, 2012), adjustment dibagi menjadi empat,
yaitu penyesuaian diri (personal adjustment), penyesuaian sosial (social
adjustment), penyesuaian pernikahan (marital adjustment), dan penyesuaian
terhadap pekerjaan (vocational adjustment). Schneiders mengungkapkan
penyesuaian diri tidak hanya di lingkungan keluarga saja, tetapi juga di
lingkungan teman sebaya. Berdasarkan empat bentuk penyesuaian yang
dikemukakan oleh Schneiders, penelitian ini mengarah pada penyesuaian sosial
(social adjustment). Termasuk di dalam penyesuaian sosial tersebut adalah
penyesuaian diri terhadap teman sebaya di sekolah.
Sebagai bentuk dari penyesuaian diri dengan teman sebaya di sekolah,
anak sebagai makhluk sosial dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian
sosial yang baik. Kegagalan anak dalam menguasai kemampuan sosial akan
menyebabkan anak sulit untuk menyesuaikan diri dengan teman sebayanya.
Ketidakmampuan anak menyesuaikan diri dengan teman sebayanya tersebut
terlihat dari ketidakpuasan terhadap diri sendiri dan lingkungan sosial, serta
memiliki sikap-sikap yang menolak realitas dan lingkungan sosial teman
sebayanya. Anak yang mengalami perasaan itu merasa terasing dari teman-
8
temannya, akibatnya anak tersebut tidak mengalami kebahagiaan dalam
berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.
Pada masa kanak-kanak, anak diharapkan mampu mencapai tugas-tugas
perkembangan pada masanya. Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1991) salah
satu tugas perkembangan anak pada usia masa kanak-kanak akhir adalah belajar
menyesuaiakan diri dengan teman-teman seusianya.
Hurlock (1991) yang merupakan seorang ahli psikologi perkembangan
juga membahas mengenai penyesuaian diri pada masa kanak-kanak. Belajar
menyesuaian diri dengan teman sebaya merupakan salah satu tugas perkembangan
pada akhir masa kanak-kakak yang harus dicapai oleh setiap individu. Kegagalan
dalam tugas-tugas perkembangan akan mengakibatkan pola perilaku yang tidak
matang, sehingga sulit bagi anak untuk diterima oleh teman-teman sebayanya.
Hurlock (1990) berpendapat bahwa istilah penyesuaian diri mengacu
pada seberapa jauhnya kepribadian seorang individu berfungsi secara efisien
dalam masyarakat. Anak berpenyesuaian diri yang baik memiliki semacam
harmoni dalam yang artinya anak tersebut puas dengan dirinya dan kemampuan
yang dimiliki. Walaupun sewaktu-waktu ada kekecewaan dan kegagalan, namun
mereka terus berusaha untuk mencapai tujuan.
Disamping membuat penyesuaian pribadi yang baik, anak yang baik
penyesuaiannya mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang sekeliling
mereka. Orang sekeliling mereka ini termasuk didalamnya adalah keluarga,
masyarakat sekitar, dan teman sebayanya di lingkungan sekolah. Penyesuaian diri
disini lebih ditekankan pada penyesuaian diri dengan teman sebayanya di
lingkungan sekolah.
9
Setelah masuk ke bangku sekolah dasar, penerimaan kelompok teman
sebaya sangatlah penting. Anak lalu berusaha mengembangkan sifat-sifat yang
dikagumi oleh teman sebayanya. Anak yang diterima dalam kelompok sosial
teman sebayanya akan lebih mengembangkan rasa percaya diri, pandai
membawakan diri, dan akan mendapat lebih banyak teman (Hurlock, 1990).
Hurlock (1990) juga menambahkan, jika anak gagal memperoleh
penerimaan sosial dari kelompok teman sebayanya, ada kemungkinan anak
tersebut akan mempersalahkan keadaan dirinya yang tidak sesuai dengan harapan
teman sebayanya. Anak akan mengomel dengan nasib mereka, merasa iri akan
nasib orang lain, dan merasa tidak seberuntung teman-temannya. Jadi kebiasaan
ini merupakan hambatan untuk penyesuaian pribadi dan sosial yang baik.
Anak yang menerima dirinya, cukup menyukai dirinya, mereka akan
menunjang penerimaan sosial teman sebayanya. Semakin banyak teman yang
menyukai dan menerima mereka, semakin senang anak dengan dirinya dan
semakin kuat anak tersebut menerima diri sendiri. Hal tersebut akan menunjang
penyesuaian diri yang baik.
Hurlock (1990) menjelaskan bahwa terdapat dua kondisi penting agar
anak mampu mencapai penyesuaian diri yang baik. Pertama ialah bimbingan
untuk membantu anak belajar menjadi realitistis tentang dirinya dan
kemampuannya. Anak yang realistis tentang dirinya tidak mengharap sesuatu
yang melebihi kemampuannya sendiri. Kodisi kedua adalah bimbingan dalam
mengembangkan pola penyesuaian yang akan memenuhi pola yang disetujui oleh
kelompok teman sebayanya.
10
Berdasarkan pendapat dari Hurlock tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa penyesuaian diri dalam lingkungan teman sebaya adalah seberapa jauh
aspek psikis dan fisik seorang individu berfungsi secara efisien dalam lingkungan
masyarakat, terutama dalam lingkungan teman sebaya. Penyesuaian diri penting
dilakukan oleh setiap individu terutama pada masa kanak-kanak agar
mendapatkan penerimaan yang menyeluruh dari teman sebaya di lingkungan
sekolah.
Masalah penyesuaian diri tersebut bukanlah masalah yang sepele. Oleh
karena itu diperlukan penanganan yang serius oleh pihak sekolah, khususnya guru
BK maupun wali kelas. Apabila masalah penyesuaian diri tidak ditangani secara
baik, dikhawatirkan akan mengganggu proses belajar-mengajar, terutama yang
berkaitan dengan hubungan sosial. Hubungan sosial dapat berupa hubungan
kerjasama kelompok antar siswa, maupun hubungan belajar-mengajar antara guru
dan siswa.
2.1.2 Ciri-ciri Penyesuaian Diri yang Baik
Menurut Hurlock (1990), ciri-ciri penyesuaian diri yang baik menurut
usia dan kemampuan adalah :
1) Mampu menerima tanggung jawab yang sesuai dengan usia.
2) Berpartisipasi dengan gembira dalam kegiatan yang sesuai untuk tiap tingkat
usia dan kemampuan yang dimilikinya, misal kegiatan olahraga, pramuka,
dll.
3) Bersedia menerima tanggung jawab yang berhubungan dengan peran
mereka dalam hidup, mengadakan komunikasi dengan lingkungan.
11
4) Segera menangani masalah yang menuntut penyelesaian masalah misalnya
konflik dalam pribadi.
5) Senang memecahkan dan mengatasi berbagai hambatan yang mengancam
kebahagiaan. Misalnya mengadakan pergaulan dengan mengikuti kegiatan-
kegiatan ekstrakurikuler.
6) Mengambil keputusan dengan senang tanpa konflik dan tanpa banyak
menerima nasehat. Artinya segala sesuatu yang diputuskan itu benar tanpa
mendapat bantuan dari orang lain.
7) Belajar dari kegagalan dan tidak mencari-cari alasan untuk menjelaskan
kegagalan. Anak mampu menilai dari kegagalan untuk dijadikan dasar
mengadakan perubahan dalam tindakan berikutnya.
8) Dapat mengatakan “tidak” dalam situasi yang membahayakan kepentingan
sendiri. Hal ini biasanya diucapkan atau dilakukan anak dalam kelompok
mereka.
9) Dapat mengatakan “ya” dalam situasi yang pada akhirnya akan
menguntungkan. Pernyataan ini juga dapat dilakukan oleh anak-anak pada
kelompok tertentu.
10) Dapat menunjukkan kasih sayang secara langsung dengan cara dan takaran
yang sesuai dengan kondisi lingkungan.
11) Dapat menahan sakit dan frustrasi, emosional bila perlu. Pernyataan-
pernyataan ini biasanya dilakukan oleh anak dalam pembelaan terhadap
kelompoknya maupun pembelaan terhadap pribadi.
12) Dapat berkomunikasi bila menghadapi kesulitan. Hal ini menunjukkan anak
ada kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam lingkungannya.
12
13) Dapat memusatkan energi pada tujuan yang penting artinya anak lebih
melakukan kegiatan-kegiatan yang positif.
2.2 Bimbingan Kelompok
2.2.1 Pengertian Bimbingan Kelompok
Menurut Winkel & Sri Hastuti (2006), Bimbingan adalah suatu proses
pemberian bantuan atau pertolongan kepada individu dalam hal memahamai diri
sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan,
memilih, menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan
tuntuta lingkungan. Sedangkan konseling merupakan serangkaian kegiatan paling
pokok dari bimbingan dalam usaha membantu konseli secara tatap muka dengan
tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap masalah yang
dihadapinya.
Winkel & Sri Hastuti (2006) menyebutkan bahwa terdapat dua bentuk
bimbingan, yaitu bimbingan individual bilamana siswa yang dilayani hanya satu
orang, dan bimbingan kelompok bilamana siswa yang dilayani lebih dari satu
orang. Dalam upaya meningkatkan penyesuaian diri siswa yang jumlahnya lebih
dari satu orang, penulis menggunakan bentuk bimbingan kelompok dengan teknik
permainan sosial.
Menurut Romlah (1989), bimbingan kelompok adalah proses pemberian
bantuan yang diberikan pada individu yang berupa penyampaian informasi yang
tepat mengenai masalah pendidikan, pekerjaan, pemahaman pribadi, penyesuaian
diri, dan masalah hubungan antar pribadi dimana kegiatan tersebut dilakukan
dalam kelompok.
13
Kegiatan bimbingan kelompok berupa penyampaian informasi yang
tepat mengenai masalah pendidikan, pemahaman pribadi, penyesuaian diri, dan
masalah hubungan antar pribadi. Informasi tersebut diiberikan terutama dengan
tujuan untuk memperbaiki dan mengembangkan pemahaman diri individu dan
pemahaman terhadap orang lain.
Prayitno (1995) berpendapat bahwa bimbingan kelompok adalah suatu
kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan memanfaatkan dinamika
kelompok. Artinya semua peserta dalam kegiatan kelompok saling berinteraksi,
bebas mengeluarkan pendapat, menanggapi, memberi saran, dan lain sebagainya.
Apa yang dibicarakan dalam kegiatan kelompok tersebut semuanya bermanfaat
untuk diri peserta yang bersangkutan sendiri maupun untuk peserta lainnya.
2.2.2 Tujuan Bimbingan Kelompok
Kesuksesan layanan bimbingan kelompok sangat dipengaruhi sejauh
mana tujuan yang akan dicapai dalam layanan bimbingan kelompok yang
diselenggarakan.
Tujuan bimbingan kelompok yang dikemukakan oleh Prayitno (1995)
adalah sebagai berikut :
1) Tujuan Umum
Tujuan umum dari layanan bimbingan kelompok adalah
berkembangnya sosialisasi siswa, khususnya kemampuan komunikasi anggota
kelompok.
2) Tujuan Khusus
Bimbingan kelompok bermaksud membahas topik-topik tertentu.
Melalui dinamika kelompok yang intensif, pembahasan topik-topik itu
14
mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap
yang menunjang diwujudkannya tingkah laku yang lebih efektif. Dalam hal ini
kemampuan berkomunikasi verbal maupun non verbal ditingkatkan.
Dengan diadakannya bimbingan kelompok ini dapat bermanfaat bagi
siswa sebab dengan bimbingan kelompok akan timbul interaksi dengan
anggota-anggota kelompok mereka, memenuhi kebutuhan psikologis, seperti
kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya dan diterima
oleh mereka, kebutuhan bertukar pikiran dan berbagi perasaan, kebutuhan
menemukan nilai-nilai kehidupan sebagai pegangan, dan kebutuhan untuk
menjadi lebih mandiri.
2.2.3 Tahap-tahap Bimbingan Kelompok
Tahap-tahap perkembangan kelompok dalam bimbingan melalui
pendekatan kelompok sangat penting yang pada dasarnya tahapan perkembangan
kegiatan bimbingan kelompok sama dengan tahapan yang terdapat dalam
konseling kelompok.
Menurut Prayitno (1995), dalam kegiatan bimbingan kelompok terdapat
empat tahap, yaitu : tahap pembentukan, tahap peralihan, tahap kegiatan dan tahap
pengakhiran.
1) Tahap Pembentukan
Dalam kegiatan awal ini dimulailah pengumpulan para calon anggota
kelompok dalam rangka kegiatan kelompok yang direncanakan. Tahap ini
merupakan tahap pengenalan, tahap pelibatan diri, atau tahap memasukkan
diri dalam kehidupan suatu kelompok. Para anggota saling memperkenalkan
15
diri dan juga mengungkapkan tujuan atau harapan-harapan yang ingin dicapai
baik oleh masing-masing, sebagian, maupun seluruh anggota.
Dalam tahap pembentukan ini, peranan pemimpin kelompok
sangatlah penting untuk membantu para anggota kelompok mencapai tujuan
mereka. Pemimpin kelompok perlu menampilkan tingkah laku dan
komunikasi yang mengandung unsur ketulusan hati, kehangatan, empati, dan
menghormati anggota kelompok.
Dengan demikian pemimpin kelompok perlu memusatkan usahanya
pada penjelasan tujuan kegiatan, penumbuhan rasa saling mengenal antar
anggota, dan penumbuhan sikap saling percaya dan menerima. Diharapkan
pada tahap awal ini dapat terbangun kebersamaan antar anggota kelompok
demi kelancaran dalam tahap-tahap selanjutnya.
2) Tahap Peralihan
Setelah suasana kelompok terbentuk dan dinamika kelompok sudah
mulai tumbuh, kegiatan kelompok hendaknya dibawa lebih jauh oleh
pemimpin kelompok menuju ke kegiatan kelompok yang sebenarnya. Untuk
itu perlu diselenggarakan tahap peralihan.
Pada tahap ini pemimpin kelompok menjelaskan peranan para
anggota kelompok. Kemudian pemimpin kelompok menawarkan apakah para
anggota sudah siap memulai kegiatan lebih lanjut itu. Perlu ditegaskan
kembali beberapa hal seperti tujuan kegiatan kelompok, asas kerahasiaan,
kesukarelaan, keterbukaan, dan sebagainya agar para anggota lebih mantap
dan siap untuk memasuki tahap selanjutnya.
16
3) Tahap Kegiatan
Tahap ini merupakan kehidupan yang sebenarnya dari kelompok.
Namun kelangsungan kegiatan pada tahap ini sangat tergantung pada hasil
dari dua tahap sebelumnya. Dalam tahap ketiga ini para anggota kelompok
saling tukar pengalaman dalam bidang suasana perasaan yang terjadi,
pengutaraan, penyajian dan pembukaan diri berlangsung dengan bebas.
Para anggota bersikap saling membantu, saling menerima, saling
kuat-menguatkan, dan saling berusaha untuk memperkuat rasa kebersamaan.
Dalam suasana seperti ini kelompok membahas hal-hal yang bersifat nyata
yang benar-benar sedang mereka alami.
Kegiatan pembahasan diakhiri dengan peninjauan atas hasil
pembahasan. Apabila pembahasan yang dilakukan melalui kegiatan kelompok
dengan ketua kelompok tersendiri, peninjauan hasil pembahasan tersebut
dilakukan langsung di bawah pimpinan pemimpin kelompok. Pembahasan
lanjutan tersebut dilakukan sampai seluruh anggota menanggapi bahwa
permasalahan yang ditugaskan tersebut telah dibahas secara tuntas.
4) Tahap Pengakhiran
Dalam tahap pengakhiran ini membahas tentang frekuensi pertemuan
dan kapan pertemuan selanjutnya akan dilaksanakan. Ketika kelompok
memasuki tahap ini, kegiatan kelompok hendaknya dipusatkan pada
pembahasan dan penjelajahan tentang apakah para anggota kelompok akan
mampu menerapkan hal-hal yang telah mereka pelajari dalam kelompok pada
kehidupan nyata mereka sehari-hari.
17
Peranan pemimpin kelompok adalah memberikan penguatan
(reinforcement) terhadap hasil-hasil yang telah dicapai oleh kelompok
tersebut, khususnya terhadap keikutsertaan secara aktif para anggota dan hasil-
hasil yang telah dicapai oleh masing-masing anggota kelompok.
2.3 Teknik Permainan
2.3.1 Pengertian Permainan
Menurut Schaefer & Reid (dalam Suwarjo & Eliasa, 2011) bermain
dipandang sebagai suatu perilaku yang muncul secara alamiah yang dapat
ditemukan dalam kehidupan manusia dan binatang. Ada kalanya bermain
merupakan aktivitas sukarela dan spontan yang tidak memiliki titik akhir atau
tujuan tertentu. Bermain secara intrinsik didorong oleh hasrat untuk bersenang-
senang.
Yalom (dalam Schaefer, 2010) menyebutkan kegunaan dari adanya
kelompok dalam kegiatan bermain yaitu: (1) dapat meningkatkan harapan; (2)
membentuk rasa memiliki; (3) berbagi informasi; (4) mengurangi sisi altruism; (5)
mengoreksi kesalahan fungsi keluarga; (6) membangun kecakapan sosial; (7)
memfasilitasi kemasyarakatan; (8) sebagai model kecakapan berelasi; (9)
membentuk dukungan secara emosi dan katarsis; (10) membangun antar sesama;
(11) membangun suasana hidup lebih bermakna dan bertujuan.
Schaefer (2010) menguraikan beberapa teknik pendekatan dalam teknik
permainan yang disesuaikan dengan permasalahan yang dialami konseli dalam
play therapynya, yaitu (1) dramatic role play dengan drama therapy,
psychodrama, improvisational play in couple therapy; (2) therapeutic humor
dengan jenis therapeutic humor with depressed and suicidal elderly; (3) sandplay
18
dengan konseli yang mengalami somatic conscious atau dementia; (4) play groups
using games with adults, hypnoplay,client-centered play,play therapy for
dissociative disorder.
Berdasarkan teori sosial Vigotsky (dalam Suwarjo & Eliasa, 2011)
menerangkan bahwa bermain merupakan alat untuk sosialisasi. Dengan bermain
bersama orang lain, maka akan tumbuh dan berkembang kemampuan memahami
perasaan, ide dan kebutuhan orang lain yang menjadi dasar dari kemampuan
sosial.
Seperti yang dikemukakan Hurlock (1991) bahwa bermain memiliki
andil yang sangat besar terhadap perkembangan anak. Pengaruh bermain bagi
perkembangan anak adalah dapat mengembangkan otot dan melatih seluruh
bagian tubuh, belajar berkomunikasi, penyaluran bagi energy emosional yang
terpendam, penyaluran bagi kebutuhan dan keinginan. Selain itu bermain dapat
memberikan kesempatan bagi anak untuk mempelajari berbagai hal, merangsang
kreativitas, membandingkan kemampuan yang mereka miliki dengan kemampuan
orang lain, belajar bermasyarakat, belajar bekerja sama, sportivitas, melatih
kejujuran dan sebagainya.
Ketika bermain seorang anak harus mengerti dan dimengerti oleh teman-
temannya. Dalam bermain anak dapat belajar bagaimana mengungkapkan
pendapatnya dan juga belajar mendengarkan pendapat orang lain. Selain itu ketika
bermain sangat mungkin akan timbul konflik apalagi permainan yang bersifat
berkelompok, oleh karena itu anak-anak dapat belajar alternatif untuk menyikapi
atau menangani konflik dengan teman mainnya tersebut.
19
Pamela (2006 dalam Suwarjo & Eliasa, 2011) penggunaan media
bermain dapat digunakan dalam pelaksanaan layanan bimbingan. Media bermain
berfungsi dalam pekerjaan konselor karena :
a. Anak biasanya tidak mempunyai kemampuan verbal untuk
bertanya, menolongdan membantu permasalahannya,
bermain merupakan salah satu cara berkomunikasi dengan
anak.
b. Media permainan dilihat sebagai salah satu metode
membantu anak mengekspresikan perasaannya dan
membangun sikap positif bagi dirinya dan temannya.
c. Strategi mebangun hubungan yang digunakan sebagai
peningkatan tingkah laku dan klarifikasi perasaan.
d. Adanya keterbatasan tipe tingkah laku.
Pada intinya permainan bersifat sosial, melibatkan proses belajar,
mematuhi peraturan, pemecahan masalah, disiplin diri dan kontrol emosional dan
adopsi peran-peran pemimpin dengan pengikut yang kesemuanya merupakan
komponen penting dari sosialisasi (Serok & Blum dalam Suwarjo & Eliasa,
2011).
2.3.2 Jenis-jenis Permainan
Menurut Piaget (dalam Suwarjo, 2010) jenis permainan dilihat dari
jumlahnya dapat dikelompokkan dalam bermain sendiri (soliteir play) seperti
anak perempuan berbicara dengan bonekanya, anak laki-laki bermain dengan
miniatur mobilnya, sampai bermain secara kooperatif yang menunjukkanadanya
perkembangan sosial anak. Pendapat ini sejalan dengan Gordan & Browne (dalam
Suwarjo, 2010) yang menjelaskan bahwa kegiatan bermain ditinjau dari dimensi
perkembangan sosialnya, digolongkan menjadi 4 bentuk, yaitu:
a. Bermain soliter
Bermain sendiri atau tanpa dibantu oleh orang lain. Para
peneliti menganggap bermain soliter mempunyai fungsi
20
yang sangat penting, karena setiap kegiatan bermain jenis
ini, 50 % akan menyangkut kegiatan edukatif dan 25 %
menyangkut kegiatan otot.
b. Bermain paralel
Bermain paralel yaitu bermain sendiri namun
berdampingan. Jadi tidak ada interaksi anak satu dengan
yang lain. Selama bermain, anak sering menirukan apa
yang dilakukan temannya. Dengan meniru anak belajar
tema bermain yang dimiliki anak lain.
c. Bermain asosiatif
Bermain asosiatif terjadi bila anak bermain bersama dalam
kelompoknya, seperti bermain bola bersama.
d. Bermain kooperatif
Bermain kooperatif bila naka-anak mulai aktif menggalang
teman untuk membicarakan, merencanakan dan
melaksanakan permainan.
2.3.3 Fungsi Permainan
Musfiroh (dalam Suwarjo, 2010) menjelaskan tentang fungi
bermain dalam perkembangan sosial yaitu :
a. Meningkatkan Sikap Sosial
Ketika bermain anak-anak harus memperhatikan cara
pandang lawan mainnya, dengan demikian akan mengurangi
egosentrisnya. Dalam permainan itu pula anak-anak dapat
mengetahui bagaimana bersaing dengan jujur, sportif, tahu akan
hak dan peduli akan hak orang lain. Anak juga dapat belajar
bagaimana sebuah tim dan semangat tim.
b. Belajar Berkomunikasi
Agar dapat melakukan permainan, seorang anak harus
mengerti dan dimengerti oleh teman-temannya, karena permainan
anak-anak dapat belajar bagaimana mengungkapkan pendapatnya
dan juga mendengarkan pendapat orang lain.
21
c. Belajar Berorganisasi
Permainan sering kali menghendaki adanya peran yang
berbeda oleh karena itu dalam permainan anak-anak dapat belajar
berorganisasi sehubungan dengan penentuan „siapa‟ yang menjadi
„apa‟. Dengan permainan anak dapat belajar bagaimana membuat
peran yang harmonis dan melakukan kompromi.
2.3.4 Langkah-langkah Permainan
Menurut Romlah (1989), langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
permainan adalah :
1) Menentukan peserta permainan yang terdiri dari :
a. Fasilitator yang bertugas memimpin permainan simulasi.
b. Penulis bertugas mencatat segala sesuatu yang terjadi selama permainan
berlangsung.
c. Pemain adalah individu-individu yang memegang tanda bermain,
menjawab dan mendiskusikan permainan.
d. Pemegang peran adalah individu-individu yang berperan sebagai orang
atau tokoh yang berada dalam skenario bermain.
e. Penonton adalah mereka yang ikut menyaksikan permainan dan berhak
mengemukakan pendapat.
2) Menyediakan alat permainan beserta kelengkapannya.
3) Fasilitator menjelaskan tujuan permainan. Dalam kegiatan bimbingan
kelompok yang menjadi fasilitator adalah konselor, guru atau wali kelas.
4) Menentukan pemain, pemegang peran, dan penulis.
5) Menjelaskan aturan permainan.
22
6) Bermain dan berdiskusi.
7) Menyimpulkan hasil diskusi setelah seluruh permainan selesai, dan
mengemukakan masalah-masalah yang belum sempat diselesaikan pada saat itu.
8) Menutup permainan dan menentukan waktu dan tempat bermain berikutnya.
2.4 Penelitian yang Relevan
Berdasarkan penelitian dari Permana (2009), mengenai Program
Bimbingan Kelompok untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri Anak,
menjelaskan bahwa program bimbingan kelompok terbukti dapat meningkatkan
rata-rata kemampuan siswa dalam pemahaman dan pengetahuan juga
implementasi dalam melakukan penyesuaian diri baik dengan pribadi, sosial dan
lingkungan.
Menurut penelitian Rosidah (2013) yang mengenai efektivitas teknik
permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan penyesuaian diri
siswa, menggunakan uji-t independen sampel tes dengan asumsi kedua varians
sama besar yang memberikan hasil t = 8.386 dengan derajat kebebasan 38 dan p-
value (2-tailed) = 0.000. oleh karena hasil p-value = 0.000 yang dinyatakan lebih
kecil dari α = 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa hasil skor rerata kelompok
eksperimen yang diberikan treatment berupa penggunaan teknik permainan dalam
bimbingan kelompok lebih besar diandingkan dengan skor rerata kelompok
kontrol. Sehingga rerata data antara pre-test dan post-test berbeda secara
signifikan. Berdasarkan hasil tersebut maka teknik permainan dalam bimbingan
kelompok efektif untuk meningkatkan penyesuaian diri siswa.
Selain itu, juga telah dibuktikan oleh Sukma (2011) dalam penelitiannya
mengenai teknik permainan simulasi dalam meningkatkan penyesuaian diri siswa
23
kelas X SMA Laboratorium Percontohan UPI Bandung Tahun Pelajaran
2010/2011, menerangkan bahwa teknik permainan simulasi efektif digunakan
untuk meningkatkan penyesuaian diri siswa.
2.5 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Layanan bimbingan
kelompok dengan teknik permainan dapat meningkatkan secara signifikan
penyesuaian diri siswa kelas V SD Negeri Salatiga 12.