11
BAB II
PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Sebagaimana judul di atas, inti dari Bab ini adalah pembahasan atas
permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya. Ada dua bagian utama di dalam
Bab ini, yaitu paparan tentang norma-norma hukum yang relevan dengan
permasalahan yang dibahas dan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan
mengacu pada norma-norma hukum yang dipaparkan. Sesuai dengan
permasalahan yang dibahas, norma-norma hukum yang relevan untuk
dikemukakan adalah norma-norma hukum tentang Sistem Verifikasi Legalitas
Kayu (SVLK) yang dipayungi oleh norma-norma hukum yang lebih umum, yaitu
norma-norma hukum kehutanan (khususnya menyangkut kepentingan-
kepentingan yang dilindungi dan posisi hutan rakyat dalam konteks SVLK).
Karena penelitian ini juga membahas tentang SVLK sebagai perwujudan public
policy dalam transaksi jual-beli internasional, konsep-konsep tentang transaksi
jual beli internasional juga dipandang relevan.
12
1. Norma-norma Perlindungan Hutan dalam Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu
a. Pengertian Hukum Kehutanan
Hukum kehutanan di Indonesia merupakan salah satu bidang hukum yang
sudah berumur 137 tahun, yaitu sejak diundangkannya Reglemen Hutan 1865
yang berlaku pada masa Hindia Belanda. Istilah hukum kehutanan merupakan
terjemahan dari Boswezen Recht (Belanda) atau Forrest Law (Inggris). Menurut
Henry Campbell Black, berdasarkan hukum Inggris kuno yang disebut forrest law
(hukum kehutanan) adalah: “The system or body of old law relating to the royal
forest“ atau “suatu sistem atau tatanan hukum lama yang berhubungan dan
mengatur hutan-hutan kerajaan“1. Pada awalnya memang secara historis hukum
kehutanan hanya sebatas mengatur tentang perlindungan terhadap hutan sebagai
aset kerajaan. Namun, dalam perkembangannya pengaturan hukum kehutanan
kemudian juga menjangkau perlindungan terhadap hutan-hutan yang dimiliki
rakyat. Pada tahun 1971 hukum kehutanan Inggris disempurnakan melalui Act
1971 dan di dalam Act 1971 ini tidak hanya mengatur hutan kerajaan semata-
mata, tetapi juga mengatur mengenai hutan rakyat (hutan milik).
Idris Sarong Al Mar mengatakan bahwa yang disebut dengan hukum
kehutanan adalah serangkaian kaidah-kaidah atau norma-norma (tidak tertulis)
dan peraturan-peraturan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal
1 Salim, H.S., S.H., M.S., Ibid., hal., 5.
13
hutan dan kehutanan2. Definisi Idris Sarong Al Mar tersebut juga senada dengan
definisi yang dirumuskan Biro Hukum dan Organisasi, Departemen Kehutanan,
yaitu, bahwa hukum kehutanan adalah kumpulan (himpunan) peraturan baik yang
tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang
bersangkut-paut dengan hutan dan pengurusannya3.
Pasal 1 Angka 1 UU Kehutanan memberikan definisi tentang kehutanan
sebagai sistem pengurusan4 yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan,
dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu5.
Salim memberikan definisi yang cenderung berbeda dari ketiga definisi
hukum kehutanan diatas karena menurutnya ketiga definisi di atas hanya
menitikberatkan pada kekuasaan negara dalam pengelolaan dan pengurusan hutan
dan kehutanan semata-mata, menurut Salim hukum kehutanan bukanlah semata-
mata hanya mengenai hal-hal tersebut, namun juga mengenai urusan manusia
secara perorangan, jika orang tersebut mengusahakan penanaman kayu di atas
tanah hak miliknya6.
2 Idris Sarong Al Mar sebagaimana dikutip oleh Salim, H.S., M.S., Ibid.
3 Ibid.
4 Namun menurut Penulis Sistem pengurusan inilah yang diwujudkan dalam hukum/peraturan
maupun regulasi yang akan dikeluarkan oleh Negara atau Pemerintah sebagai Penguasa semua
Hutan diseluruh wilayah Indonesia., Lihat Pasal 4 UU kehutanan., menurut penulis bahwa definisi
Kehutanan dalam UU Kehutanan juga senada dengan definisi Idris Sarong Al Mar dan Biro
Hukum dan Organisasi Dephut. Jadi menurut Penulis definisi Kehutanan dalam UU Kehutanan
adalah hukum kehutanan itu sendiri.
5 Lihat UU Kehutanan Pasal 1 Angka (1).
6 Ibid.
14
Dengan demikian Salim memberikan definisi mengenai hukum kehutanan
sebagai “kumpulan kaidah/ketentuan hukum yang mengatur hubungan antara
negara dengan hutan dan kehutanan, dan hubungan antara individu (perseorangan)
dengan hutan dan kehutanan”.
Definisi hukum kehutanan menurut Salim tersebut mempunyai tiga unsur
yaitu: adanya kaidah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, mengatur
hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, dan mengatur hubungan
antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan7.
Hukum kehutanan juga mempunyai dua bentuk yaitu, hukum kehutanan
yang tertulis maupun tidak tertulis. Hukum kehutanan tertulis adalah kumpulan
kaidah hukum yang dibuat oleh lembaga yang berwenang untuk mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan. Sedangkan hukum kehutanan tidak
tertulis atau disebut juga hukum adat mengenai hutan adalah aturan-aturan hukum
yang tidak tertulis, timbul, dan berkembang dalam masyarakat setempat, jadi
hukum kehutanan tidak tertulis sifatnya lokal dan hanya mengatur mengenai hal-
hal seperti hak membuka tanah dihutan, hak untuk menebang kayu, hak untuk
memungut hasil hutan dan hak untuk menggembalakan ternak, dan sebagainya
namun hak-hak yang sedemikian rupa itu tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan bangsa dan negara8.
7 Ibid.
8 Ibid.
15
b. Sumber-sumber Hukum Kehutanan
Secara sederhana, sumber hukum adalah tempat di mana kaidah-kaidah
hukum yang mengatur bidang tertentu bida diketemukan. Dari pemahaman ini,
dapat dikemukakan bahwa sumber-sumber hukum kehutanan adalah tempat di
mana kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang kehutanan dapat diketemukan.
Untuk itu ada dua kategori hukum kehutanan, yaitu hukum kehutanan yang
tertulis dan hukum kehutanan yang tidak tertulis.
1) Hukum kehutanan yang tertulis
Hukum kehutanan yang tertulis adalah hukum kehutanan yang dituangkan
dalam wujud tertulis oleh lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat
hukum tertulis tersebut. Dengan demikian, setiap peraturan perundang-undangan
yang substansinya menyangkut kaidah pengaturan hal-hal yang berkaitan dengan
kehutanan dapat dikategorikan sebagai hukum kehutanan yang tertulis. Sesuai
dengan pihak yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan, hukum
kehutanan yang tertulis dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yakni Konstitusi,
Undang-Undang dan peraturan lain di luar Undang-Undang (misalnya Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah).
a. Konstitusi (UUD 1945)
Konstitusi menempati posisi yang penting sebagai sumber hukum
kehutanan Indonesia. Konstitusi memuat prinsip-prinsip yang menjadi sumber
dari berbagai pengaturan tentang kehutanan yang ada di Indonesia baik yang
berupa Undang-Undang maupun peraturan perundang-undangan yang lain. Dalam
16
kaitan ini pasal yang relevan di dalam UUD 1945 adalah Pasal 33 Ayat (3) yang
berbunyi:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
b. Undang-Undang
Di Indonesia, Undang-Undang yang secara komprehensif mengatur
tentang kehutanan adalah Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Tetapi, di luar itu ada pula Undang-Undang yang juga terkait dengan
pengaturan tentang kehutanan. Secara lebih lengkap dapat dikemukakan bahwa
sumber-sumber terpenting hukum kehutanan Indonesia yang berwujud Undang-
Undang meliputi:
o Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.9
o Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
o Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
o Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
o Undang-Undang No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan.
9 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 ini sudah diubah dengan Undang-undang No. 19 Tahun
2004 tentang Penetapan PERPU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 41
tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang.
17
c. Peraturan perundang-undangan lain
Selain Undang-Undang, kaidah-kaidah hukum kehutanan juga dapat
diketemukan di dalam peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang berupa
peraturan nasional maupun peraturan daerah. Peraturan perundang-undangan yang
penting misalnya:
d. Peraturan Pemerintah
o Peraturan Pemerintah RI Nomor 13 tahun 1994 tentang Perburuan
Satwa Buru.
o Peraturan Pemerintah RI Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
o Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
o Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
o Peraturan Pemerintah RI Nomor 4 Tahun 2001 tentang
Pengendalian Kerusakan dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup
Yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
o Peraturan Pemerintah RI Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan
Kota.
o Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2004 tentang Syarat dan
Tata Cara Pengalihan Perlindungan Varietas Tanaman dan
Penggunaan Varietas Yang Dilindungi oleh Pemerintah.
18
o Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan.
o Peraturan Pemerintah RI Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan
Hayati Produk Rekayasa Genetik.
o Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
o Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan
Hutan.
o Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2007 tentang Dana
Reboisasi.
o Peraturan Pemerintah RI Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan.
o Peraturan Pemerintah RI Nomor 68 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hubungan dan Kerja Sama Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
o Peraturan Pemerintah RI Nomor 76 Tahun 2008 tentang
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan.
19
o Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2009 tentang Pembinaan,
Pembiayaan dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan
Kehutanan.
o Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2009 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan.
o Peraturan Pemerintah No 10 tahun 2010 tentang Tata Cara
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
o Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan
Kawasan Hutan.
o Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2010 Tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman
Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.
o Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2010 tentang Perusahaan
Umum (PERUM) Kehutanan Negara.
o Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
o Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2012 tentang Perubahan PP No
24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
o Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2012 tentang Perubahan PP No
10 tahun 2010 tentang Tata Cara Peruntukan dan Fungsi Kawasan
Hutan.
20
o Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai.
e. Peraturan Presiden
o Keputusan Presiden RI No. 29 tahun 1991 tentang Perubahan
Keputusan Presiden No. 30 tahun 1990 tentang Pengenaan,
Pemungutan, dan Pembagian Iuran Hasil Hutan.
o Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 28 tahun 2011 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah
Tanah.
o Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 Penundaan Pemberian
Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan
Lahan Gambut.
o Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata
Ruang Pulau Kalimantan.
o Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 62 tahun 2013 tentang
Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari
Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut.
f. Peraturan Menteri
o Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.38/Menhut-II/2009 tentang
Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
21
Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang
Izin dan atau Pada Hutan Hak.
o Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.12/Menhut-II/2012 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.32/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik
Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Daerah Aliran Sungai.
o Peraturan Menterri Kehutanan No. P.9/Menhut-II/2012 tentang
Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan
Kayu.
o Peraturan Menteri Kehutanan No .P.4/Menhut-II/2012,
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No.
p.48/menhut-ii/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di
Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan
Taman Wisata Alam.
o Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2012 tanggal
23 April 2012 Tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan.
o Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2012 tanggal
11 April 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2008 Tentang Rencana Kerja
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri
dan Hutan Tanaman Rakyat.
o Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2012 tanggal
8 April 2012 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan Tahun 2012.
22
o Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.67/Menhut-II/2011
Tentang Pedoman Umum Penggunaan Belanja Bantuan Modal
Kerja dalam Rangka Pengembangan Desa Konservasi di Daerah
Penyangga Kawasan Konservasi.
o Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.63/Menhut-II/2011 ientang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam Rangka Rehabilitasi
Daerah Aliran Sungai.
o Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.61/Menhut-II/2011 Tentang Panduan Penanaman Satu Milyar
Pohon 2011.
o Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.60/Menhut-II/2011 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Pengaturan Kelestarian Hutan Dan Rencana Teknik Tahunan Di
Wilayah Perum Perhutani.
o Peraturan Menteri Kehutanan No. P.8/Menhut-II/2014 tentang
Pembatasan Luasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK Hutan Tanaman Industri
atau IUPHHK Restorasi Ekosistem pada Hutan Produksi.
2) Hukum kehutanan yang tidak tertulis
Hukum kehutanan yang tidak tertulis merupakan norma-norma hukum
yang mengatur tentang kehutanan yang terutama berkembang melalui praktik
23
kebiasaan atau adat istiadat yang tidak tertulis. Hukum kehutanan yang tidak
tertulis ini memiliki keberlakuan lokal dan umumnya hanya berlaku di antara
masyarakat adat. Meski sifatnya tidak tertulis, pada prinsipnya hukum adat
sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat tetap diakui sebagai hukum yang
mengikat, setidaknya secara lokal.
Pengakuan terhadap pranata hukum adat tentang kehutanan juga
dipertegas melalui putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 35/PUU-
X/2012. Dalam perkara tersebut pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi
memutus Pasal 1 Angka (6) dari Undang-Undang Kehutanan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3888 sebagai bertentangan dengan konstitusi. Pasal 1
Angka (6) Undang-Undang Kehutanan menyatakan bahwa hutan adat termasuk
dalam kategori hutan negara, bukan hutan hak.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal
4 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally
unconstitutional) kecuali dimaknai sebagai berikut: “Penguasaan hutan oleh
Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
Mahkamah Konstitusi secara khusus juga menegaskan bahwa kata
“memperhatikan” harus dimaknai lebih tegas, yaitu “negara mengakui dan
24
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya”.
Selanjutnya Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa frasa
“kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional” sebagai prasyarat bagi pengakuan dan
penghormatan terhadap masyarakat hukum adat, dan karenanya harus dimaknai
secara jelas dan tegas bahwa masyarakat hukum adat tersebut tidak hanya sekedar
“ada” tetapi benar-benar yang “masih hidup”. MK juga menegaskan bahwa
“apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan
tidak ada lagi maka hak pengelolaan hutan adat adalah tepat untuk dikembalikan
kepada Pemerintah, dan status hutan adat pun beralih menjadi hutan negara.
Dalam pertimbangannya pula Mahkamah Konstitusi berpendapat,
Mahkamah berpendapat hutan negara dan hutan adat harus ada perbedaan
perlakuan, sehingga dibutuhkan pengaturan hubungan antara hak menguasai
negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat.
Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur
peruntukan, pemanfaatan, dan hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah
hutan negara.
Terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi
wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat ini berada dalam cakupan
hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum
adat dan "para warga masyarakat hukum adat mempunyai hak membuka hutan
25
ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan
pribadi dan keluarganya."
c. Tujuan dan Asas-asas Hukum Kehutanan
1) Tujuan Hukum Kehutanan
Hukum kehutanan dibuat atau dibentuk mempunyai maksud atau tujuan
yaitu, untuk melindungi, memanfaatkan, dan melestarikan hutan agar dapat
berfungsi dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat secara lestari10.
Sedangkan dalam UU Kehutanan Pasal 3 dinyatakan bahwa,
penyelenggaraan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang
berkeadilan dan berkelanjutan dengan; (a) menjamin keberadaan hutan dengan
luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; (b) mengoptimalkan aneka
fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi
untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang
dan lestari; (c) meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; (d) meningkatkan
kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara
parsitipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu
menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat
perubahan eksternal; dan (e) menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan
berkelanjutan11.
10 Salim, H.S., S.H., M.S., Ibid.
11 Lihat UU Kehutanan Pasal 3.
26
2) Asas-asas Hukum Kehutanan
Asas hukum ialah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum
positif, Prof. Dr. R.M Sudikno Mertokusumo S.H. mengemukakan bahwa yang
disebut dengan asas hukum bukanlah kaidah hukum konkret, melainkan
merupakan latar belakang peraturan yang konkret dan yang bersifat umum atau
abstrak. Pada umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam peraturan hukum
konkret12.
Jika mengacu pada pada Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan Pasal 2, kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyataan dan
keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan13.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan
agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan kesimbangan
dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi14.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan,
dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang
dan kesempatan yang sama kepada sema warga negara sesuai dengan
kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh
karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan
12 Prof. Dr. R.M Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Salim, H.S., S.H., M.S., ibid.,
hal., 8.
13 Lihat UU Kehutanan Pasal 2.
14 Supriadi, S.H., M.Hum., Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia., Jakarta., PT
Sinar Grafika, 2011., hal., 16.
27
harus dicegah terjadinya praktik monopoli, monopsoni, oligopoli, dan
oligopsoni15.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar
dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga
terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergi antara
masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD dan BUMS Indonesia, dalam
rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi16.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar
setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan
memperhatikan aspirasi masyarakat17.
Penyelenggaraan kehutanana berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar
setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan
memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat18.
Di samping asas yang dikemukakan diatas, dikenal juga asas lain yang
berlaku secara internasional, yaitu asas ecolabelling dan asas berkelanjutan
(sustainable forrest). Asas ecolabelling adalah suatu asas di mana semua kayu
tropis yang dijual harus berasal dari hutan lestari melaui mekanisme pelabelan.
15 Ibid.
16 Ibid.
17 Ibid.
18 Ibid.
28
Asas ini diintrodusir pertama kali oleh Austria melalui undang-undang tentang
ecolabelling kayu tropis19.
Asas hutan berkelanjutan (sustainable forrest) adalah suatu asas di mana
setiap negara dapat mengelola secara berkelanjutan dan meningkatkan kerja sama
internasional dalam pelestarian hutan dan pembangunan berkelanjutan. Asas ini
dikumandangakan dalam konferensi PBB untuk lingkungan dan pembangunan
(UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil, awal juni 1992, dan pada prinsipnya setiap
negara peserta konferensi harus melaksanakan segala isi konvensi dan
kesepakatan secara konsekuen20.
d. Kepentingan-kepentingan yang Dilindungi oleh Hukum
Kehutanan
Sebagaimana telah Penulis kemukakan diatas bahwa hutan memiliki peran
dan kedudukan yang sangat penting negara21. Oleh karena itu hutan harus
dilindungi demi kepentingan Negara dan masyarakat Indonesia pada khususnya
dan agar hutan dapat berfungsi dengan baik.
UU Kehutanan Pasal 6 Ayat (2) membagi hutan menurut fungsinya
menjadi 3 kategori yaitu: Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan
Produksi22. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu
19 Sormin sebagaimana dikutip oleh Salim, H.S., S.H., M.S., Op.Cit., hal., 11.
20 Salim, H.S., S.H., M.S.,Ibid., hal., 11.
21 Lihat Paragraph 1 pada latar belakang masalah, hal., 1 Bab I skripsi ini, Supra.
22 Lihat UU Kehutanan Pasal 6 Ayat (2).
29
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas tiga macam yaitu: kawasan
hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan hutan buru. Hutan lindung
sendiri adalah kawasan hutan yang mempeunyai fungsi pokok sebagai dasar
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi (penerobosan) air laut, dan
memelihara kesuburan tanah. Hutan produksi adalh kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan23.
Berdasarkan fungsi hutan diatas dapat dilihat khususnya pada fungsi hutan
lindung mempunyai manfaat yang sangat penting, yaitu untuk kelestarian atau
keberlangsungan lingkungan. Hutan lindung dapat mengatur dan meninggikan
debit air pada musinm kemarau, dan mencegah terjadinya debit air yang
berlebihan pada musim hujan. Hal ini disebabkan dalam hutan terdapat air retensi,
yaitu air yang masuk ke dalam tanah, dan sebagian bertahan dalam saluran-
saluran kecil yang terdapat dalam tanah. Serta hutan lindung dapat mencegah dan
menghambat mengalirnya air karena adanya akar-akar kayu dan akar tumbuh-
tumbuhan24.
Dapat disimpulkan bahwa fungsi dan manfaat hutan lindung sangat
penting karena secara langsung dapat berdampak terhadap lingkungan. Jika
23 Salim, H.S., S.H., M.S., Ibid., hal., 44.
24 Ibid., hal., 47.
30
terdapat kerusakan pada hutan lindung maka akan berdampak langsung pula pada
rusaknya lingkungan.
Namun perlu disadari pula bahwa hutan lindung bukanlah hutan yang tidak
diperbolehkan untuk diambil manfaatnya atau hasil hutannya. Oleh karena itu UU
Kehutanan mengatur mengenai pemanfaatan hutan lindung yang diatur dalam
Pasal 26 sampai dengan Pasal 2725. Pemanfaatan hutan lindung adalah segala
bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi
utamanya. Salah satunya dengan pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan jasa
lingkungan adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa
lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi
kawasan.
Jika dilihat dalam pasal-pasal tersebut dilihat bahwa segala pemanfaatanya
adalah hasil hutan bukan kayu. Jadi hukum kehutanan melalui UU Kehutanan
memberikan proteksi atau perlindungan terhadap hutan terutama pohon-pohon
dalam hutan lindung yang menjadi pencegah debit air tinggi, erosi dan
sebagainya. UU Kehutanan juga mewajibkan para pemegang izin pemanfaatan
hutan untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya serta
membantu dalam rehabilitasi dan reklamasi hutan26. Jadi dapat disimpulkan
bahwa hukum kehutanan adalah salah satu instrument perlindungan terhadap
lingkungan secara langsung.
25 Lihat UU Kehutanan Pasal 26-27.
26 Ibid., hal., 84.
31
2. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu sebagai Instrumen
Perlindungan Hutan
Hutan tidak hanya penting kedudukannya bagi negara namun juga dunia
internasional yang peduli terhadap kelestarian hutan khususnya di Indonesia dan
tidak dapat di pungkiri pula bahwa kayu yang berasal dari Indonesia adalah
komoditi Impor bagi negara lain khususnya Uni Eropa27 atau dapat dikatakan
hutan di Indonesia adalah aset internasional.
Untuk menjaga agar pemanfaatan hutan bisa dikendalikan dan untuk
menjaga kelestarian hutan, pada tahun 2012 melalui Peraturan Menteri
Perdagangan No. 64/M-DAG/PER/10/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk
Industri Kehutanan, pemerintah menekankan pentingnya Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu dalam ekspor produk industri kehutanan.
a. Pengertian Sistem Verifikasi Legalitas Kayu.
Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) merupakan sistem
pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas
sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia .
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dikembangkan untuk
mendorong implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan
dan peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia.
27 Lihat latar belakang masalah dalam skripsi ini Bab I, hal., 3-5., Supra.
32
Sebagai sebuah sistem, SVLK memiliki beberapa sub-sistem, di antaranya
adalah: Standar VLK, Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK), Pemegang
Izin, Lembaga Akreditasi (Komite Akreditasi Nasional), Lembaga Penilai &
Verifikasi Independen (LP&VI), Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK),
Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LPPHPL), Sertifikat
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL), Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK),
Tanda V-Legal, dan Dokumen V-Legal.
b. latar belakang SVLK
Komitmen Negara/Pemerintah dalam memerangi pembalakan liar dan
perdagangan kayu illegal. Perwujudan good forest governance menuju
pengelolaan hutan lestari. Permintaan atas jaminan legalitas kayu dalam bentuk
sertifikasi dari pasar internasional, khususnya dari Uni Eropa, Amerika Serikat,
Jepang dan Australia28. Sebagai bentuk "National Insentive" untuk mengantisipasi
semakin maraknya permintaan skema sertifikasi legalitas kayu dari negara asing,
seperti skema FSC, PEFC, dan sebagainya.
Pemberlakukan SVLK bagi kayu ekspor Indonesia dilatarbelakangi oleh:
maraknya kegiatan illegal logging dan illegal trading. Pada tahun 1998 s.d 1999,
isu pembalakan liar kayu hutan tropis semakin jelas mengemuka di pasar global.
Dan sampai dengan 2002 peredaran kayu illegal baik domestik maupun
internasional semakin merajalela. Walaupun situasi ini tidak hanya terjadi di
28 Di dunia internasional “rule” atau aturan seperti SVLK tersebut dikenal dengan nama TLAS
(Timber Legality Assurance System), di dunia internasional SVLK dikenal dengan nama INDO-
TLAS. Diakses di http://www.sgs.com/en/Our-Company/News-and-Media-Center/News-and-
Press-Releases/2013/09/The-Timber-Legality-Assurance-System-Effective-in-Early-2013.aspx.,
Pada Tanggal 15 Mei 2014.
33
Indonesia, karena terjadi pula di Filipina, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam dan
sejumlah Negara Afrika, tetap saja Indonesia menjadi sasaran negara-negara
Amerika dan Uni Eropa yang memojokkan Indonesia sebagai hotspot pembalakan
liar.
Adanya “image” dari dunia luar yang kurang baik terhadap pengelolaan
hutan di Indonesia; Image yang kurang baik dari dunia luar akan berakibat pada
pemasaran kayu ekspor Indonesia. Oleh karena itu, Kementerian Kehutanan
bekerjasama dengan beberapa pihak (baik instansi teknis maupun LSM
Lingkungan) berusaha merumuskan sistem pemanfaatan hutan melalui sistem tata
usaha kayu berbasis legalitas melalui pemberlakuan verifikasi terhadap kayu yang
beredar di pasar.
Adanya kecenderungan dalam perdagangan kayu internasional yang
memerlukan legalitas, seperti USA dengan “amandement Lacey Act” yang
dimaksudkan untuk menghindarkan importasi kayu-kayu ilegal ke negeri tersebut,
Uni Eropa dengan ”EU Timber Regulation” (regulasi No. 995/2010 berlaku 3
Maret 2013) yang mewajibkan agar operator memiliki bukti yang cukup
meyakinkan bahwa produk perkayuan yang mereka perdagangkan bukan berasal
dari sumber yang illegal, Australia dengan “Prohibition Bill” dan Jepang dengan
“Green Konyuho” atau “Goho Wood” yang mewajibkan kayu yang diimpor
berasal dari sumber yang legal. Pada prinsipnya, negara-negara pengimpor
menghendaki hanya produk kayu legal yang masuk ke negaranya.
34
Rendahnya kesejahteraan masyarakat, Potensi sumber daya alam berupa
kehutanan yang begitu melimpah dan bisa terbarukan, harusnya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berusaha di sektor perkayuan.
Namun pada kenyataannya usaha masyarakat di sektor kayu, terutama di tingkat
hulu masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan yang signifikan. Berbagai
faktor menjadi penyebab, diantaranya daya saing produk dan kepastian hukum
atas status kayu dan administrasi tata usaha kayu hutan dari sisi regulasi
kehutanan.
Rendahnya daya saing produk kayu Indonesia, tanpa kepastian legalitas
kayu, persaingan kayu Indonesia di pasar internasional menjadi semakin
dipertanyakan. Hal ini karena semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dunia
terhadap kelestarian lingkungan.
Dengan diberlakukannya SVLK diharapkan kayu Indonesia akan memiliki
daya saing di pasar internasional, karena konsep SVLK memberikan kepastian
bagi pasar bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi Indonesia merupakan
produk yang legal dan berasal dari sumber yang legal. SVLK juga akan
memperbaiki tata pemerintahan (Governance) kehutanan Indonesia melalui
perbaikan administrasi tata usaha kayu hutan secara efektif, mereduksi praktek
illegal logging dan illegal trading. Ke depannya diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang berusaha dalam bidang perkayuan dari hulu
sampai hilir29.
29 Hanik Rustiningsih, Sistem Verfikasi Legalitas Kayu (SVLK), Pusdiklat Bea dan Cukai, 2013.
35
Pembahasan terkait dengan SVLK tidak akan lepas dari pembahasan
mengenai FLEGT VPA terkait dengan pemberlakuan EU Timber Regulations.
Tanggal 29 – 30 Maret 2007, negosiasi pertama di Jakarta. Tim Komisi Eropa dipimpin
oleh Mr. Jean Breteché (Duta Besar Uni Eropa di Jakarta). Delegasi RI diketuai oleh Dr.
Hadi S. Pasaribu (Dirjen Bina Produksi Kehutanan/Dephut). Anggota Delegasi RI terdiri
atas perwakilan dari instansi pemerintah yang terkait (Deplu, Depdag, Deperin, Depkeu),
swasta kehutanan, dan lembaga swadaya masyarakat.
Tanggal 11-13 Juli 2007, Negosiasi kedua di Brussels. Dalam negosiasi
kedua dibahas antara lain: mengkaji ulang elemen-elemen yang akan didiskusikan
dalam VPA, cakupan produk, sistem kepastian keabsahan kayu, penegakan
hukum dan tata kelola bidang kehutanan, penghindaran/peraturan
(circumvention/legislation), dan insentif.
Senin dan selasa, 14-15 April 2008 telah diadakan FLEGT VPA Technical
Meeting dengan hasil antara lain bahwa terkait dengan standar legalitas, Indonesia
telah menyusun prinsip, kriteria dan indikator yang dikembangkan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku, (Standar SVLK) juga tentang perkembangan
penyusunan kelembagaan terkait dengan standar tersebut.
Setelah melalui proses yang panjang dan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan kehutanan sejak tahun 2007, maka pada tanggal 12 Juni 2009
Menteri Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada
Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.
36
Sedangkan dalam hal standard dan pedoman penilaiannya ditetapkan
melalui Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.6/VI-
Set/2009 tanggal 15 Juni 2009. Peraturan inilah yang menjadi landasan penerapan
SVLK.
Indonesia bermaksud agar sejumlah kira-kira 4.500 produsen, pengolah
dan eksportir Indonesia diverifikasi berdasarkan persyaratan Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu Indonesia secara progresif.30.
Setelah selesainya proses penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dan
22 bahasa Uni Eropa lainnya, maka Persetujuan FLEGT-VPA diharapkan akan
ditandatangani pada bulan April 2013. Kedua belah pihak kemudian akan
memulai prosedur ratifikasi masing-masing dan diharapkan akan selesai pada
bulan September 2013. Penyelesaian proses ratifikasi tersebut akan menjadi
langkah hukum yang penting karena akan membuat FLEGT-VPA memiliki
kekuatan mengikat secara hukum, baik untuk Indonesia dan Uni Eropa.
Setelah VPA berlaku dan dijalankan, berarti produk kayu Indonesia yang
telah disertai dengan lisensi ekspor akan secara penuh diterima sebagai
berkesesuaian dengan persyaratan EUTR, dan hal ini merupakan insentif yang
jelas bagi para pembeli di Eropa.
Sekretaris Jenderal Hadi Daryanto dan Duta Besar Julian Wilson
menyambut baik keterlibatan para pemangku kepentingan di bidang kehutanan,
30 Indonesia Wood “Wood Working Manufacture”, Sejarah SVLK Sistem Verifikasi Legalitas
Kayu, diakses dari http://indonesiawood.info/artikel-kayu/sertifikasi-kayu/sejarah-svlk-sistem-
verifikasi-legalitas-kayu-di-indonesia, Pada tanggal 15 Mei 2014, pada pukul 14:27.
37
termasuk kalangan masyarakat sipil, dalam pengembangan SVLK, sebagai faktor
yang memungkinkan pembeli memiliki keyakinan dalam skema baru ini. Skema
ini menjadi kunci untuk mendukung perdagangan kayu legal antara Indonesia dan
Uni Eropa - yang bernilai sekitar 1,2 miliar USD per tahun.
Sekretaris Jenderal Hadi Daryanto dan Duta Besar Julian Wilson juga
menggarisbawahi bahwa Indonesia dan Uni Eropa saat ini berada dalam tahap
kritis dalam bergerak menuju implementasi penuh dari prosedur dan mekanisme
perdagangan kayu yang baru ini dalam kerangka FLEGT-VPA. Namun bahkan
sebelum VPA dengan Uni Eropa sepenuhnya diimplementasikan, skema SVLK
yang mendasarinya merupakan keuntungan pasar bagi Indonesia dengan
tersedianya jaminan legalitas kayu itu, tidak hanya untuk pasar Uni Eropa, tetapi
juga ke negara pasar lainnya, menimbang pencapaian Indonesia dalam
mengembangkan dan menerapkan SVLK tersebut. Umpan balik dari kontak-
kontak terkini dengan para pembeli produk kayu di Eropa mengatakan bahwa
mereka yakin kredibilitas skema SVLK dalam kaitannya dengan persyaratan
EUTR, dikarenakan skema SVLK akan menjadi dasar bagi FLEGT-VPA.
Saat ini Uni Eropa dan Indonesia bekerja sama secara erat untuk
memastikan bahwa VPA dapat diimplementasikan sesegera mungkin. Setelah
suksesnya uji coba pengapalan, sambil menunggu penandatanganan dan ratifikasi
VPA, maka dalam waktu dekat akan segera dilakukan evaluasi bersama terhadap
sistem yang telah disepakati tersebut.
38
Sekretaris Jenderal Hadi Daryanto dan Duta Besar Julian Wilson setuju
bahwa pihak berwenang di negara-negara anggota Uni Eropa serta para operator
yang merupakan importir produk kayu Indonesia perlu menerima pesan penting
ini tentang pencapaian kemajuan Indonesia sehubungan dengan produk kayu
bersertifikat SVLK dan kemajuan cepat menuju implementasi penuh FLEGT-
VPA. Sertifikasi SVLK adalah instrumen yang berharga dalam penilaian legalitas
produk kayu Indonesia dan diharapkan hal ini dilihat sebagai unsur kuat jaminan
bagi pembeli di Eropa31.
Kemudian pada tanggal 30 September 2013 Pemerintah Republik
Indonesia telah menandatangani Persetujuan Kemitraan Sukarela antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum
Kehutanan, Penatakelolaan, dan Perdagangan Kayu ke Uni Eropa (Voluntary
Partnership Agreement between Republic of Indonesia and European Union on
Forrest Law Enforcement, Governance and Trade Timber Products to into the
European Union), sebagai hasil Perundingan antara delegasi-delegasi Pemerintah
Republik Indonesia dan Uni Eropa, yang bertujuan untuk memperbaiki tata kelola
sektor kehutanan yang dapat menghapus tindakan pembalakan liar dan
memastikan perdagangan kayu serta produk kayu Indonesia ke wilayah Uni Eropa
sesuai dengan peraturan perundang-undangan kedua Negara.
31 Indonesian Legal Wood, Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK), Indonesia dan Uni Eropa
Adopsi Kebijakan Baru Legalitas Perdagangan Kayu Guna Mendorong Perdagangan Bilateral
Produk Kayu, diakses dari http://silk.dephut.go.id/index.php/article/vnews/5, pada tanggal 15 Mei,
pada pukul 14:44.
39
Yang kemudian atas dasar tersebut Pemerintah Indonesia melalui Presiden
Republik Indonesia mengesahkan Peraturan Presiden No. 21 tahun 2014 tentang
Pengesahan Persetujuan Kemitraan Sukarela antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan,
dan Perdagangan Kayu ke Uni Eropa (Voluntary Partnership Agreement between
Republic of Indonesia and European Union on Forrest Law Enforcement,
Governance and Trade Timber Products to into the European Union).
c. Pengaturan SVLK
SVLK Kayu diatur dalam berberapa Peraturan Perundang-undangan yaitu:
1. Peraturan menteri kehutanan No. 38/menhut-II/2009 jo Permenhut
P.68/Menhut-II/2011 jo Permenhut P.45/Menhut-II/2012, jo
Permenhut P.42 /Menhut-II/2013 tentang Standard dan Pedoman
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan
Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang izin atau pada Hutan
Hak: yang berisi tentang subyek dan obyek (pihak yang
melaksanakan SVLK & PHPL serta pihak-pihak yang wajib SVLK
& PHPL) dalam SVLK dan PHPL, penilaian dan verikasi:
mengenai pihak yang berwenang melakukan verikasi dan penilaian
Verifikasi LK dan Penilaian Kerja PHPL, dasar atau metode-
metode penilaian maupun verifikasi LK dan PHPL. Penerbitan
sertifikat LK & PHPL; mengenai pelaporan setelah penerbitan
40
sertifikat, jangka waktu sertifikat, kriteria penerbitan sertifikat,
hasil setelah penerbitan sertifikat (dokumen V & Tanda V Legal).
2. Pengaturan hasi SVLK sebagi syarat ekspor kayu & produk kayu:
Peraturan Menteri Perdagangan No. 64 tahun 2012 jo Peraturan
Menteri Perdagangan No.81 tahun 2013 tentang Ketentuan Ekspor
Produk Industri Kehutanan. Yang berisi ketentuan pihak-pihak
untuk memiliki/diwajibkan dokumen V, kriteria
pengekspor/perusahaan ekspor, jenis-jenis produk yang dapat di
ekspor, izin Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan
(EPTIK),
d. Subyek dan Obyek SVLK
SVLK terdiri dari dua komponen utama, yaitu S-PHPL dan S-LK. Menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan, pihak yang wajib memiliki S-PHPL adalah
IUPHHK-HA/HT/RE sedangkan pihak yang yang wajib memiliki S-LK dapat dibedakan
menjadi dua kategori, yaitu kategori Pemegang Izin dan Pemilik Hutan Hak serta kategori
Industri. Untuk kategori Pemegang Izin dan Pemilik Hutan Hak pihak-pihak yang wajib
memiliki S-LK adalah IUPHHK-Hkm, IUPHHK-HTR, IUPHHK-HD, IUPHHK-
HTHTR, IPK, TPT, dan pemilik hutan hak sedangkan untuk kategori industri, pihak yang
harus memiliki S-LK adalah IUIPHHK, IUI dan TDI serta Industri Rumah Tangga /
Pengrajin dan pedagang ekspor.
41
WAJIB SERTIFIKAT PHPL
Pemegang IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE dan pemegang hak
pengelolaan (yang belum memiliki S-PHPL wajib memiliki S-LK)
Sertifikat PHPL bagi pemegang IUPHHK-HA/HT/RE/pemegang hak
pengelolaan berlaku selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkan dan dilakukan
penilikan (surveillance) sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.
WAJIB SERTIFIKAT LEGALITAS KAYU
Level Pemegang Izin & Pemilik Hutan hak
Pemegang IUPHHK-HKm, IUPHHK-HTR, IUPHHK-HD, IUPHHK-HTHR,
IPK, TPT, dan pemilik hutan hak wajib memiliki S-LK
Level Industri
Pemegang IUIPHHK, IUI dan TDI serta industri rumah tangga / pengrajin
dan pedagang ekspor wajib memiliki S-LK
Pemegang IUIPHHK yang mempunyai keterkaitan bahan baku dari hutan
hak, wajib memfasilitasi pemilik hutan hak untuk memperoleh S-LK.
Pemegang IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm, IUPHHK-HD, IUIPHHK
dengan kapasitas sampai dengan 2.000 M3 per tahun, TDI, IUI dengan
modal investasi sampai dengan Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) di
luar tanah dan bangunan, termasuk industri rumah tangga/pengrajin dan
42
pedagang ekspor, dan pemilik hutan hak dapat mengajukan verifikasi LK
secara kelompok (group certification).
Sertifikat LK bagi pemegang IUPHHK-HA/HT/RE/Pemegang hak
pengelolaan, IUPHHK-HTR/HKM/HD/HTHR/IPK, IUIPHHK, IUI
dengan modal investasi lebih dari Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah)
di luar tanah dan bangunan, dan TPT berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak
diterbitkan dan dilakukan penilikan (surveillance) sekurang-kurangnya 12
bulan sekali.
Sertifikat LK bagi IUI dengan investasi sampai dengan Rp500.000.000.-
(lima ratus juta rupiah) di luar tanah dan bangunan, TDI dan industri
rumah tangga/pengrajin dan pedagang ekspor berlaku selama 6 (enam)
tahun sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan (surveilance) sekurang-
kurangnya 24 bulan sekali.
Aspek yang diverifikasi dalam PHPL dan Legalitas kayu (VLK) adalah
sebagai berikut: Proses pemeriksaan SVLK meliputi pemeriksaan keabsahan asal-
usul kayu dari awal hingga akhir. Itu mulai dari pemeriksaan izin usaha
pemanfaatan, tanda-tanda identitas pada kayu dan dokumen yang menyertai kayu
dari proses penebangan, pengangkutan dari hutan ke tempat produksi kayu, proses
pengolahan hingga proses pengepakan dan pengapalan. SVLK efektif diterapkan
di seluruh tipe pengelolaan hutan di Indonesia: hutan alam produksi, hutan
tanaman, hutan rakyat (hutan milik) maupun hutan adat. Itu baik yang berbasis
unit manajemen maupun yang tak berbasis unit manajemen (pemegang izin
43
pemanfaatan kayu). Sedangkan untuk PHPL yaitu meliputi verifikasi dokumen,
mempelajari kondisi lapangan auditee, Verifikasi Dokumen dan Observasi
Lapangan: Verifikasi dokumen adalah kegiatan yang dilakukan oleh Tim Audit
untuk menghimpun, mempelajari data dan dokumen auditee, dan menganalisis
menggunakan kriteria dan indikator yang ditetapkan. Observasi lapangan adalah
kegiatan yang dilakukan oleh Tim Audit untuk menguji kebenaran data melalui
pengamatan, pencatatan, uji petik, dan menganalisis menggunakan kriteria dan
indikator yang telah ditetapkan.
Pelaksana penilaian dan verifikasi adalah LP dan VI yang terdiri dari
Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) dan Lembaga Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari (LPHPL) yang bertugas untuk menilai kinerja pengelolaan hutan
lestari atau memverifikasi keabsahan hasil hutan kayu pada pemegang izin atau
pemilik hutan hak.
e. Syarat dan prosedur permohonan SVLK
Pemegang Izin mengajukan permohonan verifikasi kepada LVLK yang
memuat sekurang-kurangnya ruang lingkup verifikasi32, profil Pemegang Izin dan
32 Obyek verifikasi LK adalah Pemegang IUPHHK-HA/HPH atau IUPHHK-HT/HTI atau
IUPHHK-RE atau Pemegang IUPHHK-HTR atau IUPHHK-HKm atau Pemegang Izin dari Hutan
Hak atau Pemegang IPK. Verifikasi dilakukan pada dokumen Pemegang IUPHHK-HA/HPH,
IUPHHKHT/HTI dan IUPHHK-RE sesuai Lampiran 2; Pemegang IUPHHK-HTR, IUPHHKHKm
sesuai Lampiran 3; Pemegang Izin dari Hutan Hak sesuai Lampiran 5; dan Pemegang IPK sesuai
Lampiran 6 Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.6/VI-Set/2009 dalam
rentang waktu 1 (satu) tahun terakhir. Cakupan kegiatan verifikasi LK meliputi administrasi dan
fisik, yang meliputi mekanisme pemeriksaan kebenaran dokumen, konsistensi dokumen dan
kebenaran fisik pada setiap simpul mulai dari hulu sampai ke hilir sampai dengan pemenuhan hak-
hak negara yang dapat dibuktikan melalui penelusuran (traceable). Di samping itu dalam konteks
manajemen, juga dilakukan pemeriksaan terhadap ketaatan terhadap peraturan lain yang terkait
(legal compliance) sebagaimana diatur dalam Lampiran 2, Lampiran 3, Lampiran 5 dan Lampiran
6 pada Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.6/Set-VI/2009. Lihat
44
informasi lain yang diperlukan dalam proses verifikasi LK. Sebelum melakukan
kegiatan verifikasi lapangan, LVLK harus melaksanakan pengkajian permohonan
verifikasi dan memelihara rekamannya untuk menjamin agar: persyaratan untuk
verifikasi didefinisikan dengan jelas, dipahami, dan didokumentasikan;
menghilangkan perbedaan pengertian antara LVLK dan Pemegang Izin; LVLK
mampu melaksanakan jasa verifikasi LK yang diminta, dan menjangkau lokasi
operasi Pemegang Izin.
LVLK menyelesaikan urusan kontrak kerja dengan Pemegang Izin. Dalam
hal pelaksanaan verifikasi dibiayai dari dana Pemerintah, maka pelaksanaan
verifikasi tidak melalui permohonan oleh Pemegang Izin kepada LVLK, namun
dilakukan penetapan oleh Pemerintah dan Pemerintah menerbitkan Surat
Pemberitahuan kepada Pemegang Izin yang akan diverifikasi. LVLK
mengumumkan rencana pelaksanaan verifikasi LK terhadap Pemegang Izin di
media massa dan website Departemen Kehutanan (www.dephut.go.id) minimal 7
(tujuh) hari kalender sebelum pelaksanaan verifikasi, agar Lembaga Pemantau
Independen dapat memberi masukan atau informasi berkaitan dengan pelaksanaan
verifikasi pada Pemegang Izin tersebut33.
peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No: P.02/VI- PPHH/2010 tentang Pedoman
Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
Lampiran 2 Ruang Lingkup.
33 Lihat peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No: P.02/VI- PPHH/2010 tentang
Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi
Legalitas Kayu Lampiran 2 Permohonan Verifikasi.
45
Bagan 1. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)34
34 Sumber: Arie Siswanto, “Materi Perkuliahan Hukum Kehutanan”, FH UKSW, 2013.
46
3. Posisi Hutan Rakyat dalam SVLK
a. Pengertian Hutan Rakyat
Definisi atau pengertian dari hutan rakyat tidak terdapat atau dinyatakan
secara jelas dalam peraturan-perundang-undangan tentang kehutanan namun
Penulis menemukan pendapat yang diungkapkan oleh Salim bahwa Hutan Rakyat
disebut juga dengan Hutan Milik35, Supriadi juga berpendapat bahwa yang
dimaksud “hutan hak” adalah hutan yang berada di luar kawasan hutan dan
tumbuh di atas tanah yang dibebani hak atas tanah yang lazim disebut hutan
rakyat36.
Hutan milik yaitu hutan yang tumbuh diatas tanah hak milik dan yang
dapat memiliki dan menguasai hutan milik adalah orang (baik perorangan maupun
bersama-sama dengan orang lain)37, dan atau badan hukum.
Mengenai hutan yang berada diatas tanah yang telah memiliki alas title
atau dibebani suatu hak Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal 1 Angka (5) juga telah memberikan definisinya, yaitu berbunyi:
“hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah
yang dibebani hak atas tanah”38.
35 Salim, H.S., S.H., M.S., Ibid., hal., 42.
36 Supriadi, S.H., M.Hum., Op.Cit., hal., 369.
37 Penulis juga menyimpulkan bahwa hutan adat sebagai hutan milik, karena hutan adat biasanya
dimiliki secara bersama-sama oleh suatu masyarakat adat dan digunakan untuk kepentingan
masyarakat adat tersebut. Hutan adat juga bukan merupakan bagian dari hutan negara berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/ PUU-X/2012/ tanggal 16 Mei 2013.
38 Lihat UU Kehutanan Pasal 1 Angka (5).
47
Melihat dari substansi dari bunyi Pasal tersebut jadi Penulis
menyimpulkan bahwa hutan yang dimaksud dalam pasal tersebut juga berada di
atas tanah yang telah debebani hak39 atau alas title.
Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.38/Menhut-II/2009 tentang
Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan
Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak Pasal Angka
(5) juga memberikan definisi hutan yang diatasnya telah dibebani hak atau alas
title, yaitu yang berbunyi:
“hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah
yang telah dibebani hak atas tanah yang berada di
luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas
title atau hak atas tanah”40.
Melihat dari substansi Pasal tersebut dapat dilihat bahwa hutan yang
dimaksud dalam Pasal tersebut juga merupakan hutan yang berada di atas tanah
yang telah dibebani hak atas tanah atau alas title, yang membedakan adalah hutan
tersebut bukanlah hutan yang berada dalam kawasan hutan baik itu hutan menurut
jenisnya. Juga hak atau alas title tersebut haruslah dapat dibuktikan.
39 Hak-hak tersebut dapat berupa hak milik, hak pakai, hak jasa perkarangan, hak guna usaha,
hipotek dan lain-lain. Salim, H.S., S.H., M.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta,
Sinar Grafika, 2006, hal., 100-133.
40 Lihat PerMenHut P.38 Pasal 1 Angka (5).
48
Melihat dari peraturan perundang-undangan tentang kehutanan dan
pendapat dari Salim tersebut, Penulis berkesimpulan bahwa Hutan Rakyat dapat
disebut juga sebagi hutan milik maupun hutan hak, kemudian Penulis
mendefinisikannya sebagai berikut: “Hutan Rakyat adalah hutan yang tumbuh
diatas tanah diluar kawasan hutan negara yang telah terbukti dibebani hak atas
tanah atau alas title baik oleh orang-perorangan ataupun bersama-sama
(masyarakat) maupun badan hukum”.
b. Potensi Hutan Rakyat dalam Ekspor Kayu dan Produk Kayu
Bukti bahwa hutan rakyat atau hutan hak mulai meningkat perannya
terlihat dari produk-produk kayu seperti Bayur, Durian, Jabon, Karet, Kemiri,
Sengon, Suren, Sungkai, dll. yang mulai banyak diminati oleh pasar. Sebelumnya
kita mengenal kayu hutan rakyat seperti Jati dan Mahoni yang sudah lebih dulu
masuk ke pasar internasional. Sebut saja produk plywood telah menggunakan
Sengon, Durian, Jabon, Bayur sebagai core, juga untuk finger joint laminating
board, barecore, engineering doors, dan packaging boxes. Begitu pula Mahoni,
Jati, Karet, dan Kelapa banyak digunakan untuk flooring, furniture, dan housing
components. Peningkatan penggunaan bahan baku dari hutan rakyat terlihat dari
data BRIK tahun 2004-2006 dimana persentase ekspor produk kayu olahan yang
menggunakan bahan baku dari hutan rakyat berkisar antara 38-40%, berarti
hampir separuh dari volume ekspor produk kehutanan telah menggunakan bahan
baku dari sumber-sumber alternatif.
49
Kunjungan lapangan ke daerah Magelang, Wonosobo, Banyumas, dan
Ciamis yang dilakukan BRIK tampak keinginan masyarakat untuk menanam kayu
Afrika, Jati, Mahoni, dan Sengon cukup tinggi karena harga jualnya yang
menarik. Sebut saja Ngandong sebuah dusun di lereng Gn. Merapi (Kecamatan
Dukuh), rata-rata petani di sana memiliki Sengon seba-nyak 80—100 pohon yang
ditanam di lahan pekarangan, pematang sawah atau lahan lainnya walaupun pada
luasan yang tidak besar. Memiliki pohon Sengon merupakan investasi yang dapat
dimanfaatkan untuk keperluan sekolah dan memenuhi kebutuhan lainnya. Kayu-
kayu yang dipanen langsung ditampung oleh industri kayu yang terdapat di sekitar
Jogyakarta dan Magelang, dan itupun belum dapat memenuhi kebutuhan industri
kayu di dua daerah tersebut sehingga masih harus mendatangkan Sengon dari
Jawa Timur. Begitu pula kunjungan ke Ciamis yang dikenal sebagai salah satu
sentra produksi kayu Mahoni41.
Pemanfaatan dan pengusahaan hutan negara selama ini telah menghasilkan
kerusakan hutan, yang berakibat pada menurunnya potensi hutan secara drastis,
yang akan berdampak pada kontinyuitas penyediaan bahan baku hasil hutan dan
peran hutan sebagai penyangga lingkungan.
Rehabilitasi hutan negara masih belum menunjukkan hasil yang memadai,
artinya hutan negara belum dapat memberikan jaminan masa depan bagi
pemenuhan bahan baku hasil hutan secara kontinyu dan bagi perannya dalam
menyangga lingkungan hidup.
41 PT. BRIK Quality Service, HUTAN RAKYAT: PERAN YANG MAKIN NYATA, diakses dari
http://www.brikonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=66&Itemid=90 pada
tanggal 22 April 2014, pada pukul 14:32.
50
Hutan Negara masih menghadapi berbagai masalah, utamanya yang
berkaitan dengan masalah sosial-kemasyarakatan, misal pencurian, perambahan,
sengketa kepemilikan, illegal logging dsb, yang penyelesaiannya belum jelas
waktunya.
Hutan rakyat sebagai hutan yang dimiliki secara pribadi oleh masyarakat
atau hutan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat atau hutan yang dimiliki oleh
masyarakat adat, selama ini menunjukkan kondisi yang relatif utuh, bahkan
dibeberapa tempat menunjukkan peningkatan potensinya. Pemanfaatan hutan
rakyat selama ini belum optimal, sehingga belum memberikan manfaat yang
memadai bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemanfaatan hutan rakyat secara benar akan memberikan jaminan
kontinyuitas penyediaan bahan baku dan jaminan kontinyuitas dalam menyangga
lingkungan hidup42.
Dapat dilihat bahwa hutan rakyat sangat berfungsi dan bermanfaat untuk
keberlangsungan bahan baku kayu untuk Negara, kebutuhan pasar yang masih
sangat tinggi atas kayu Indonesia membuat Negara membutuhkan alternative
bahan baku kayu rakyat untuk memenuhi kebutuhan ekspor kayu yang tidak
mungkin hanya jika dihasilkan dari hutan Negara saja.
Kayu rakyat juga sudah sejak lama dimanfaatkan oleh industri mebel,
produk yang dihasilkan dari hutan rakyat mudah untuk menembus pasar ekspor
karena legalitasnya tak diragukan. Apalagi, produk berbasis kayu rakyat bersaing
42 Dian Pengusahaan Hutan Rakyat, Hutan rakyat untuk Kesejahteraan, diakses dari
http://www.dipantara.net/, pada tanggal 22 April 2014, pada pukul 14:45.
51
dalam hal mutu dan harga dengan produk yang berbasis kayu alam. Konsumen
menyukai produk yang berkualitas dengan harga terjangkau. Kualifikasi ini bisa
dicapai dengan mudah oleh kayu rakyat..
Saat ini, 100% bahan baku Jawa Furni menggunakan kayu rakyat.
Perusahaan mebel itu mampu memproduksi sekitar 20 kontainer produk jadi
mebel yang kesemuanya ditujukan untuk pasar ekspor. Dari produk yang
diekspor, sekitar 60% ditujukan untuk wilayah Eropa, 20% untuk wilayah
Amerika Serikat dan Kanada, 10% pasar Timur Tengah dan 10% sisanya untuk
Eropa Timur.
Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap hutan rakyat, pihaknya bersama
dengan para pihak terkait mendorong pengelolaan hutan rakyat yang lestari yang
dibuktikan dengan sertifikasi.
Pengelolaan hutan rakyat yang lestari sangat menguntungkan bagi
masyarakat karena memastikan keseimbangan alam. Hutan rakyat yang lestari
juga memastikan masyarakat bisa secara berkelanjutan mendapat nilai ekonomi
dari hutan rakyat43.
c. Posisi Hutan Rakyat dalam Skema SVLK
Pada Peraturan menteri kehutanan No. 38/menhut-II/2009 jo Permenhut
P.68/Menhut-II/2011 jo Permenhut P.45/Menhut-II/2012, jo Permenhut P.42
/Menhut-II/2013 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan
43 Dinas Kehutanan Provinsi Jawa barat, Kayu Rakyat Ungguli Produksi Perhutani, diakses dari
http://dishut.jabarprov.go.id/?mod=detilBerita&idMenuKiri=&idBerita=1263, pada tanggal 15
Mei 2014, pada pukul 18:59.
52
Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang izin atau
pada Hutan Hak. Hutan rakyat didefinisikan sebagai hutan hak44, hutan hak adalah
hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang berada
diluar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alats titel atau alas hak atas tanah,
hasil hutan berupa kayu juga harus dinilai dan diverifikasi oleh LP&VI yang
berdasarkan pada standar verifikasi legalitas kayu.
Pemilik hutan hak/hutan rakyat juga diwajibkan untuk memiliki Sertifikat
Legalitas Kayu namun kewajiban tersebut tidak diwajibkan untuk pemilik hutan
hak/hutan rakyat yang telah memiliki sertifikat PHPL skema sukarela (voluntary),
pemilik hutan hak/hutan rakyat dapat mengajukan verifikasi LK secara kelompok
(group certification), pembiayaan pendampingan dan verifikasi legalitas kayu
periode pertama dibebankan kepada Kementrian Kehutanan bagi pemilik hutan
hak/hutan rakyat yang pelaksanaanya dilakukan secara berkelompok (group
certification), pemilik hutan hak/hutan rakyat memiliki hak keberatan atas
keputusan dalam setiap proses dan atau hasil penilaian dan verifikasi serta
melakukan melakukan banding ke LPHL atau LVLK atau juga pemilik hutan hak/
hutan rakyat dapat mengajukan keluhan kepada KAN untuk mendapatkan
penyelesaian.
Pemilik hutan hak/hutan rakyat yang telah memiliki Sertifikat LK dapat
membubuhkan Tanda V Legal, dalam penilaian dan verifikasi yang dilakukan
44 Pendapat penulis tersebut telah penulis jelaskan pada sub bab 3 Point a Pengertian hutan rakyat.
Lihat juga Pada Peraturan menteri kehutanan No. 38/menhut-II/2009 jo Permenhut P.68/Menhut-
II/2011 jo Permenhut P.45/Menhut-II/2012, jo Permenhut P.42 /Menhut-II/2013 tentang Standard
dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
pada Pemegang izin atau pada Hutan Hak Pasal 1 Angka 4,5 dan Pasal 2 Ayat (3).
53
oleh LPHPL atau LVLK akan mendapat laporan dari penilaian dan verifikasi yang
disampaikan olah LPHPL atau LVLK pemilik hutan hak/hutan rakyat wajib untuk
memiliki Sertifikat LK selambat-lambatnya tanggal 31 desember 2013.
Penilaian dan verfikasi yang berdasarkan pada Standar Verfikasi Legalitas
Kayu pada hutan hak/hutan rakyat yang terdapat dalam Lampiran 2.3 Peraturan
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No. P.8/VI-BPPHH/2012 tanggal 17
Desember 2012 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu berprinsip
bahwa kepemilikan kayu dapat dibuktikan keabsahannya yang berkriteria
keabsahan hak milik dalam hubungannya dengan areal, kayu dan perdaganganya,
yang juga memiliki beberapa indikator yaitu:
1) Pemilik hutan hak mampu menunjukkan keabsahannya verifiernya adalah
dokumen kepemilikan/penguasaan lahan yang sah (alas titel/ dokumen
yang diakui pejabat yang berwenang. Sedangkan bagi pemegang HGU
verifiernya adalah dokumen legalitas pemegang HGU yang sah yang
mencakup Akte Perusahaan, SIUP, TDP, NPWP, dokumen lingkungan,
dokumen K3 serta KKB/ peraturan perusahaan yang relevan. verifier yang
lain adalah peta/sketsa areal hutan hak/hutan rakyat dan batas-batasnya di
lapangan. Metode verifikasi untuk verifier dokumen
kepemilikan/penguasaan lahan yang sah (alas titel/ dokumen yang diakui
pejabat yang berwenang) yaitu dengan memeriksa sertifikat Hak Milik,
Leter B, Girik, atau leter C atau sertifikat HGU atau sertifikat Hak Pakai
atau surat atau dokumen lainnya yang diakui oleh BPN dengan cara
54
mengkonfirmasi ke BPN yang kemudian norma penilaiannya,
“memenuhi” jika dokumen tersedia, lengkap dan absah, yang dapat
berupa: sertifikat hak milik, leter B, Girik, atau leter C atau Sertifikat
HGU atau Sertifikat Hak Pakai atau surat atau dokumen lainnya yang
diakui oleh BPN dengan cara mengkonfirmasi ke BPN, metode verifikasi
untuk verifier dokumen legalitas pemegang HGU yang sah yang
mencakup Akte Perusahaan, SIUP, TDP, NPWP, dokumen lingkungan,
dokumen K3 serta KKB/ peraturan perusahaan yang relevan adalah
periksa keabsahan dan kelengkapan dokumen legalitas pemegang HGU
dengan norma penilaiannya “memenuhi” jika kelengkapan dan keabsahan
dokumen legalitas pemegan HGU dipenuhi seluruhnya, sedangkan metode
verifikasi untuk verifier peta/sketsa areal hutan hak/hutan rakyat dan
batas-batasnya di lapangan adalah periksa keberadaan peta/sketsa lokasi
dan juga memeriksa kejelasan tanda batas areal hutan. Dan norma
penilaiannya “memenuhi” jika tersedia peta/sketsa lokasi serta terdapat
tanda-tanda jelas (dapat berupa patok, ataupun pematang, atau tanaman
pagar).
2) Unit kelola (baik individu maupun kelompok) mampu membuktikan
dokumen angkutan yang sah. Verifiernya adalah dokumen angkutan hasil
hutan yang sah dan metode verifikasinya adalah periksa keabsahan
dokumen angkutan hasil hutan yang sah dan norma penilaiannya
“memenuhi” jika dokumen angkutan hasil hutan yang sah diterbitkan oleh
pejabat/petugas yang berwenang.
55
3) Unit kelola menunjukkan bukti pelunasan pungutan pemerintah sektor
kehutanan dalam hal pemungutan atas tegakan yang tumbuh sebelum
pengalihan hak atau penguasaan yang verifiernya adalah bukti pembayaran
hak Negara berupa PSDH/DR dan pengganti nilai tegakkan dengan
metode verifikasi yaitu memerikasa kelengkapan, keabsahan dan
keberadaan bukti pembayaran DR dan PSDH serta pengganti nilai tegakan
dan norma penilaiannya “memenuhi” jika unit kelola dapat menunjukkan
bukti serot PSDH dan DR serta pengganti nilai tegakan sesuai dengan
tagihan.
4. SVLK Sebagai Syarat Perdagangan Internasional Kayu dan
Produk Kayu
a. Pengertian Perdagangan Internasional
Istilah “perdagangan internasional” (international trade) bisa dipahami
dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Dalam arti luas, istilah “perdagangan
internasional” dimaknai sebagai setiap aktivitas transaksi perdagangan yang
melintasi batas-batas negara, sedangkan dalam arti sempit “perdagangan
internasional” dipahami sebagai jual-beli internasional (international sales) yang
merupakan salah satu bentuk transaksi bisnis internasional (international business
transactions) yang terutama melibatkan pihak-pihak swasta. Untuk selanjutnya,
perdagangan internasional dalam arti sempit akan disebut “jual-beli
internasional”. Perdagangan internasional dalam arti luas diatur oleh berbagai
norma hukum internasional, termasuk oleh kesepakatan-kesepakatan perdagangan
56
baik yang bersifat global (seperti Perjanjian GATT/WTO), regional (seperti
Perjanjian Asean Free Trade Area/AFTA) maupun perjanjian-perjanjian yang
bersifat bilateral. Sedangkan jual-beli internasional dalam terutama didasarkan
pada kesepakatan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam jual-beli internasional
itu sendiri, seperti penjual (seller), pembeli (buyer), bank dan pengangkut.
Beberapa norma yang mengikat jual-beli internasional berkembang melalui
praktek-praktek hukum kebiasaan dalam jual-beli yang dikenal dengan istilah lex
mercatoria. Namun, sebagai hubungan hukum yang bersifat perdata, jual-beli
internasional terutama tetap didasarkan pada kesepakatan di antara para pihaknya.
Dalam konteks penelitian ini, SVLK pada dasarnya terkait erat dengan
jual-beli internasional, karena SVLK merupakan sebuah persyaratan yang harus
dipenuhi oleh seorang penjual (seller) untuk kayu dan produk kayu yang menjual
barang kepada pembeli (buyer) di luar negeri (negara-negara Uni Eropa) agar
kayu dan produk kayu yang menjadi obyek transaksi itu dapat diterima di negara
tujuan. Apabila persyaratan ini tidak dipenuhi, sebagai akibatnya kayu dan produk
kayu sebagai objek jual-beli internasional tidak dapat diterima di negara tujuan.
Oleh karena itu, persyaratan SVLK ini dapat dipandang sebagai bentuk kebijakan
publik yang dituangkan dalam wujud pengaturan serta bersifat mengikat dalam
jual-beli internasional untuk kayu dan produk kayu di Uni Eropa.
57
b. Isu Perlindungan Hutan dalam Norma-norma Perdagangan
Internasional
Meskipun terutama didasarkan pada kesepakatan di antara para pihak,
jual-beli internasional juga tunduk pada norma-norma mengikat (binding norms)
yang dimaksudkan untuk mengatur aspek-aspek khusus yang dipandang penting
terkait dengan proses ataupun objek jual-beli internasional. Norma-norma
dimaksud tercermin di dalam aspek pengaturan publik yang terdapat di dalam
instrumen-instrumen hukum internasional yang mengatur tentang hukum
perdagangan internasional dalam makna luas.
Meskipun hukum perdagangan internasional terutama mengatur aspek-
aspek perdagangan, dalam kenyataan ternyata hingga cakupan tertentu aspek-
aspek non-perdagangan juga menjadi sorotan. Beberapa aspek yang sebenarnya
bersifat non-perdagangan namun selama ini menjadi perhatian untuk diatur dalam
hukum perdagangan internasional di antaranya adalah persoalan Hak Asasi
Manusia (HAM), kesehatan (sanitasi) serta persoalan kelestarian lingkungan
hidup.
Isu Hak Asasi Manusia (HAM) misalnya muncul dalam wujud norma-
norma hukum perdagangan internasional yang menganggap bahwa barang-barang
yang dihasilkan oleh tenaga kerja yang dibayar sangat rendah adalah barang yang
seharusnya ditolak dalam perdagangan internasional. Demikian pula halnya
dengan anggapan bahwa penggunaan narapidana sebagai tenaga kerja (prison
58
labour) yang dapat menekan biaya produksi barang harus dianggap sebagai salah
satu bentuk ketidakjujuran dalam penentuan harga (unfair pricing).
Isu kelestarian lingkungan hidup juga sudah cukup lama dicoba dikaitkan
dengan perdagangan internasional. Salah satu kasus yang menonjol terkait dengan
isu lingkungan hidup dalam perdagangan internasional adalah kasus sengketa
penangkapan Tuna antara AS dan Mexico45 yang pada akhirnya diselesaikan
melalui forum WTO.
Hutan dianggap sebagai aset dunia yang memiliki peran penting untuk
menjaga kualitas lingkungan hidup dunia. Oleh karena itu, mempertahankan
luasan hutan dan melindungi keberadaan hutan merupakan salah satu agenda
global yang cukup penting. Untuk itu, berbagai kesepakatan tentang perlindungan
hutan telah dibuat oleh negara-negara, baik melalui instrumen yang langsung
berkaitan dengan perlindungan hutan, maupun melalui instrumen yang secara
tidak langsung mengatur perlindungan hutan, misalnya melalui pengaturan
norma-norma perdagangan internasional yang terkait dengan perlindungan hutan.
45 Sengketa yang timbul antara Amerika Serikat dan Mexico mengenai metode penangkapan ikan
tuna. Sengketa ini menerapkan cara penyelesaian melalui peraturan badan internasional yaitu
General Agreement Tariff and Trade (GATT). Peristiwa ini bermula dari tindakan pemerintah
Amerika Serikat yang melarang impor ikan tuna yang berasal dari Mexico. Hal ini merugikan
Mexico yang kemudian gugatan diajukan melalui GATT Disputte Pannel I. Dalam sidang tersebut
Amerika Serikat menyatakan bahwa negaranya memiliki alasan kuat yaitu pelarangan atas
penangkapan ikan tuna yang dilakukan melalui jaring nelayan Mexico ternyata juga telah
membunuh anak ikan lumba-lumba (dolphin) yang dilindungi berdasarkan Mamalia Protection
Act 1972. Namun tindakan ini menurut Mexico merupakan upaya terselubung Amerika Serikat
dengan menggunakan masalah lingkungan hidup menjadi alat perdagangan. Dari hasil kasus ini
nampak bahwa kaitan antara perdagangan dan lingkungan hidup semakin erat. Sementara ini
GATT menunda keputusannya.
59
c. SVLK sebagai Syarat Ekspor Kayu dan Produk Kayu
Munculnya SVLK tidak lepas dari negosiasi panjang antara Indonesia
dengan negara-negara Uni Eropa. Proses menuju SVLK sudah dimulai sejak
tahun 2007 saat negara-negara Uni Eropa yang merupakan konsumen bagi 15%
produk kayu jadi Indonesia menghendaki agar produk kayu (termasuk mebel)
yang diekspor ke negara-negara Uni Eropa dari Indonesia hanyalah produk kayu
yang berasal dari kayu legal (bukan hasil pembalakan liar). Legalitas kayu yang
dipergunakan untuk membuat berbagai produk kayu harus terjamin legalitasnya
dan untuk itu produk kayu tersebut harus dilengkapi dengan sertifikat legalitas
(certificate of legality).
Skema untuk menjamin legalitas produk kayu yang dirundingkan antara
Indonesia dengan Uni Eropa tertuang dalam sebuah kesepakatan antara Indonesia
dan Uni Eropa yang disebut Perjanjian FLEGT-VPA (Forest Law Enforcement,
Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement) yang disepakati kedua
belah pihak pada bulan April 2011.
Di pihak Indonesia, substansi perjanjian FLEGT-VPA tersebut kemudian
diimplementasikan melalui penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan No. 64/M-
DAG/PER/10/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan
(selanjutnya disebut “Permendag No.64/2012”). Permendag No.64/2012 itu pada
intinya mengatur tentang syarat-syarat dan prosedur ekspor produk industri
kehutanan. Beberapa ketentuan Permendag No.64/2012 yang relevan adalah:
60
Ekspor produk industri kehutanan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan industri
kehutanan yang telah mendapat pengakuan Eksportir Terdaftar Produk Industri
Kehutanan (ETPIK) dan perusahaan perdagangan di bidang ekspor yang telah
mendapat pengakuan ETPIK Non-Produsen (Pasal 3 ayat (1) Permendag
No.64/2012)
(a) Ekspor produk industri kehutanan pada dasarnya harus dilengkapi dengan
Dokumen V-Legal (Pasal 14 ayat (1) Permendag No. 64/2012). Dokumen
V-Legal adalah dokumen yang menyatakan bahwa produk kayu memenuhi
standar verifikasi legalitas kayu. Dokumen V-Legal ini adalah output dari
Sistem Verifikasi legalitas Kayu (SVLK).
(b) Dokumen V-Legal digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean yang
diwajibkan untuk penyampaian pemberitahuan pabean ekspor kepada
kantor pabean (Pasal 14 ayat (3) Permendag No. 64/2012).
(c) Dokumen V-Legal diterbitkan oleh Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu
(LVLK), yaitu lembaga berbadan hukum Indonesia yang memiliki
kompetensi untuk melakukan verifikasi legalitas kayu (Pasal 14 ayat (2)
jo. Pasal 1 angka 5 Permendag No.64/2012)
(d) Kewajiban melengkapi dokumen V-Legal mulai berlaku per tanggal 1
Januari 2013 untuk Produk Industri Kehutanan yang ada dalam Lampiran I
Kelompok A, dan berlaku per tanggal 1 Januari 2014 untuk Produk
Industri Kehutanan yang ada dalam Lampiran I Kelompok B.
61
Dalam perjalanan waktu, pemberlakuan kewajiban melengkapi dokumen
V-Legal khususnya bagi Produk Industri Kehutanan dalam kategori Kelompok B
(furniture) mengalami hambatan. Masih banyak produsen furniture, terutama
dalam skala UMKM yang belum mampu mendapatkan Dokumen V-Legal karena
alasan prosedur dan biaya yang dirasa mahal. Melihat kenyataan tersebut,
pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 81/M-
DAG/PER/12/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No.
64/M-DAG/PER/10/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan
(selanjutnya disebut “Permendag No. 81/2013”).
Permendag No. 81/2013 pada intinya menunda pemberlakuan kewajiban
melengkapi dokumen V-Legal untuk Produk Industri Kehutanan yang ada dalam
Lampiran I Kelompok B dari tanggal 1 Januari 2013 menjadi tanggal 1 Januari
2015 (Pasal I Permendag No.81/2013).
Permendag No.81/2013 hanya berisi penundaan pemberlakuan kewajiban
melengkapi dokumen V-Legal. Cepat atau lambat kewajiban ini harus diterapkan
secara penuh sebagai wujud implementasi kewajiban Indonesia dalam Perjanjian
FLEGT-VPA dengan Uni Eropa. Meskipun pada dasarnya jual-beli yang bersifat
internasional merupakan transaksi hukum yang bersifat perdata di antara penjual
(seller) dan pembeli (buyer), namun transaksi perdata tersebut tunduk pada
kebijakan publik yang berlaku di negara penjual maupun di negara pembeli.
Dalam penelitian ini Dokumen V-Legal yang merupakan kelengkapan ekspor
untuk produk industri kehutanan adalah wujud dari kebijakan publik yang harus
dipenuhi oleh penjual (seller) untuk produk industri kehutanan. Apabila syarat ini
62
tidak dipenuhi, akibatnya barang yang dijual tidak akan lolos pabean (duty
clearance) negara penjual.
Di sisi yang lain, tanpa dokumen V-Legal yang sah, otoritas pabean di
negara-negara Uni Eropa yang menjadi tujuan ekspor juga tidak akan memberikan
import clearance. Oleh karena itu, sebagai sebuah syarat dalam ekspor produk
industri kehutanan, SVLK yang terwujud dalam dokumen V-Legal merupakan
syarat yang mengikat dan tidak dapat diabaikan dalam transaksi jual-beli
internasional.
B. ANALISIS
1. Kedudukan SVLK sebagai instrumen untuk menjaga keutuhan dan
kelestarian hutan.
Melihat dari peraturan perundang-undangan kehutanan yang mengatur
mengenai Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) terlihat dari tujuan dari
peraturan perundang-undangan tersebut yaitu mengenai pengurangan dan
pencegahan illegal logging atau pembalakan liar46 yang berdampak langsung pada
kerusakan lingkungan, dengan SVLK hasil hutan berupa kayu akan terlacak
secara jelas baik dari asal-usulnya, ataupun keabsahaanya. SVLK secara khusus
melindungi hasil hutan terutama kayu atau dapat Penulis simpulkan pohon-pohon
kayu di dalam hutan yang memiliki fungsi sangat besar terutama apabila kayu
46 Lihat sub bab 2 point b latar belakang SVLK.
63
tersebut berasal dari hutan lindung yang mempunyai fungsi yang menjadi
pencegah debit air tinggi, erosi dan sebagainya, sehingga dengan SVLK kayu
akan dapat ditelusuri dari mana asalnya misal apakah kayu tersebut berasal dari
hutan-hutan yang dapat diambil hasil hutannya yaitu kayu. Karena dalam
instrumen hukum kehutanan hutan lindung dapat dimanfaatkan47 kecuali untuk
kayunya. Maka apabila ada kayu yang berasal dari hutan lindung maka dapat
dipastikan bahwa kayu tersebut adalah illegal. Jadi dapat disimpulkan dengan
SVLK kayu-kayu yang berasal dari hutan-hutan di indonesia akan memiliki
identitas, kayu dari hutan-hutan di Indonesia tidak dapat ditebang secara
sembarangan oleh para pemilik hak, maupun para pemegang izin atas hutan
maupun oleh pembalak-pembalak liar, sehingga kelestarian hutan akan terjaga
penebangan pohon akan terkontrol dan terkendali. SVLK adalah sebagai
instrumen perlindungan yang memproteksi hutan secara ketat karena tidak hanya
berstandart nasional namun juga berstandart internasional, karena dengan SVLK
kayu-kayu illegal tidak akan dapat diperdagangkan48.
2. Kedudukan Hutan Rakyat dalam SVLK
Hutan hak/hutan rakyat mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam
Sistem Verifikasi Legalitas kayu melihat besarnya pengaruh hutan hak/hutan
rakyat terhadap pasar internasional terutama ekspor kayu dari Indonesia ke luar
Indonesia, minat pasar internasional terhadap kayu-kayu maupun produk kayu
47 Lihat sub bab 1 point d “Kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum kehutanan”,
Paragraph ke 2 hal 30, lihat juga UU Kehutanan Pasal 26-27.
48 Lihat sub bab 2 point b latar belakang SVLK.
64
dari hutan rakyat yang lebih disukai49 oleh konsumen internasional. Dan juga
hutan hak/hutan rakyat diakui kedudukannya oleh hukum.
Melihat dari substansi Pada Peraturan menteri kehutanan No. 38/menhut-
II/2009 jo Permenhut P.68/Menhut-II/2011 jo Permenhut P.45/Menhut-II/2012, jo
Permenhut P.42 /Menhut-II/2013 tentang Standard dan Pedoman Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada
Pemegang izin atau pada Hutan Hak. Hutan rakyat didefinisikan sebagai hutan
hak, hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas
tanah yang berada diluar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alats titel atau alas
hak atas tanah, hasil hutan berupa kayu juga harus dinilai dan diverifikasi oleh
LP&VI yang berdasarkan pada standar verifikasi legalitas kayu.
Pemilik hutan hak/hutan rakyat juga diwajibkan (pemilik hutan
hak/hutan rakyat sebagai subjek SVLK) untuk memiliki Sertifikat Legalitas
Kayu namun kewajiban tersebut tidak diwajibkan untuk pemilik hutan hak/hutan
rakyat yang telah memiliki sertifikat PHPL skema sukarela (voluntary), pemilik
hutan hak/hutan rakyat dapat mengajukan verifikasi LK secara kelompok (group
certification), pembiayaan pendampingan dan verifikasi legalitas kayu periode
pertama dibebankan kepada Kementrian Kehutanan bagi pemilik hutan hak/hutan
rakyat yang pelaksanaanya dilakukan secara berkelompok (group certification),
pemilik hutan hak/hutan rakyat memiliki hak keberatan atas keputusan dalam
setiap proses dan atau hasil penilaian dan verifikasi serta melakukan melakukan
49 Lihat sub bab 3 point b “potensi hutan rakyat dalam ekspor kayu dan produk kayu bab ini,
Supra.
65
banding ke LPHL atau LVLK atau juga pemilik hutan hak/ hutan rakyat dapat
mengajukan keluhan kepada KAN untuk mendapatkan penyelesaian.
Pemilik hutan hak/hutan rakyat yang telah memiliki Sertifikat LK dapat
membubuhkan Tanda V Legal, dalam penilaian dan verifikasi yang dilakukan
oleh LPHPL atau LVLK akan mendapat laporan dari penilaian dan verifikasi yang
disampaikan olah LPHPL atau LVLK pemilik hutan hak/hutan rakyat wajib untuk
memiliki Sertifikat LK selambat-lambatnya tanggal 31 desember 2013.
Penilaian dan verfikasi yang berdasarkan pada Standar Verfikasi Legalitas
Kayu pada hutan hak/hutan rakyat yang terdapat dalam Lampiran 2.3 Peraturan
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No. P.8/VI-BPPHH/2012 tanggal 17
Desember 2012 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu berprinsip
bahwa kepemilikan kayu dapat dibuktikan keabsahannya yang berkriteria
keabsahan hak milik dalam hubungannya dengan areal, kayu dan perdaganganya,
yang juga memiliki beberapa indikator yaitu:
1) Pemilik hutan hak mampu menunjukkan keabsahannya verifiernya adalah
dokumen kepemilikan/penguasaan lahan yang sah (alas titel/ dokumen
yang diakui pejabat yang berwenang. Sedangkan bagi pemegang HGU
verifiernya adalah dokumen legalitas pemegang HGU yang sah yang
mencakup Akte Perusahaan, SIUP, TDP, NPWP, dokumen lingkungan,
dokumen K3 serta KKB/ peraturan perusahaan yang relevan. verifier yang
lain adalah peta/sketsa areal hutan hak/hutan rakyat dan batas-batasnya di
66
lapangan. Metode verifikasi untuk verifier dokumen
kepemilikan/penguasaan lahan yang sah (alas titel/ dokumen yang diakui
pejabat yang berwenang) yaitu dengan memeriksa sertifikat Hak Milik,
Leter B, Girik, atau leter C atau sertifikat HGU atau sertifikat Hak Pakai
atau surat atau dokumen lainnya yang diakui oleh BPN dengan cara
mengkonfirmasi ke BPN yang kemudian norma penilaiannya,
“memenuhi” jika dokumen tersedia, lengkap dan absah, yang dapat
berupa: sertifikat hak milik, leter B, Girik, atau leter C atau Sertifikat
HGU atau Sertifikat Hak Pakai atau surat atau dokumen lainnya yang
diakui oleh BPN dengan cara mengkonfirmasi ke BPN, metode verifikasi
untuk verifier dokumen legalitas pemegang HGU yang sah yang
mencakup Akte Perusahaan, SIUP, TDP, NPWP, dokumen lingkungan,
dokumen K3 serta KKB/ peraturan perusahaan yang relevan adalah
periksa keabsahan dan kelengkapan dokumen legalitas pemegang HGU
dengan norma penilaiannya “memenuhi” jika kelengkapan dan keabsahan
dokumen legalitas pemegan HGU dipenuhi seluruhnya, sedangkan metode
verifikasi untuk verifier peta/sketsa areal hutan hak/hutan rakyat dan
batas-batasnya di lapangan adalah periksa keberadaan peta/sketsa lokasi
dan juga memeriksa kejelasan tanda batas areal hutan. Dan norma
penilaiannya “memenuhi” jika tersedia peta/sketsa lokasi serta terdapat
tanda-tanda jelas (dapat berupa patok, ataupun pematang, atau tanaman
pagar).
67
2) Unit kelola (baik individu maupun kelompok) mampu membuktikan
dokumen angkutan yang sah. Verifiernya adalah dokumen angkutan hasil
hutan yang sah dan metode verifikasinya adalah periksa keabsahan
dokumen angkutan hasil hutan yang sah dan norma penilaiannya
“memenuhi” jika dokumen angkutan hasil hutan yang sah diterbitkan oleh
pejabat/petugas yang berwenang.
3) Unit kelola menunjukkan bukti pelunasan pungutan pemerintah sektor
kehutanan dalam hal pemungutan atas tegakan yang tumbuh sebelum
pengalihan hak atau penguasaan yang verifiernya adalah bukti pembayaran
hak Negara berupa PSDH/DR dan pengganti nilai tegakkan dengan
metode verifikasi yaitu memerikasa kelengkapan, keabsahan dan
keberadaan bukti pembayaran DR dan PSDH serta pengganti nilai tegakan
dan norma penilaiannya “memenuhi” jika unit kelola dapat menunjukkan
bukti setor PSDH dan DR serta pengganti nilai tegakan sesuai dengan
tagihan.
Membuktikan bahwa kayu maupun produk kayu yang berasal dari hutan
rakyat adalah bagian penting dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Dimana hutan
hak/hutan rakyat telah diregulasi sedemikian detail semisal dalam keabsahan alas
title/ bukti kepemilikan atas hutan hak/rakyat.
3. SVLK sebagai instrumen perdagangan kayu internasional
Ekspor produk industri kehutanan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
industri kehutanan yang telah mendapat pengakuan Eksportir Terdaftar Produk
68
Industri Kehutanan (ETPIK) dan perusahaan perdagangan di bidang ekspor yang
telah mendapat pengakuan ETPIK Non-Produsen (Pasal 3 ayat (1) Permendag
No.64/2012)
(a) Ekspor produk industri kehutanan pada dasarnya harus
dilengkapi dengan Dokumen V-Legal (Pasal 14 ayat (1)
Permendag No. 64/2012). Dokumen V-Legal adalah dokumen
yang menyatakan bahwa produk kayu memenuhi standar
verifikasi legalitas kayu. Dokumen V-Legal ini adalah output
dari Sistem Verifikasi legalitas Kayu (SVLK).
(b) Dokumen V-Legal digunakan sebagai dokumen pelengkap
pabean yang diwajibkan untuk penyampaian pemberitahuan
pabean ekspor kepada kantor pabean (Pasal 14 ayat (3)
Permendag No. 64/2012).
(c) Dokumen V-Legal diterbitkan oleh Lembaga Verifikasi
Legalitas Kayu (LVLK)50, yaitu lembaga berbadan hukum
Indonesia yang memiliki kompetensi untuk melakukan
verifikasi legalitas kayu (Pasal 14 ayat (2) jo. Pasal 1 angka 5
Permendag No.64/2012)
Kewajiban melengkapi dokumen V-Legal mulai berlaku per tanggal 1
Januari 2013 untuk Produk Industri Kehutanan yang ada dalam Lampiran I
50 LVLK merupakan salah satu pihak dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu sebagai mana dalam
hasil penelitian Penulis diatas.
69
Kelompok A, dan berlaku per tanggal 1 Januari 2014 untuk Produk Industri
Kehutanan yang ada dalam Lampiran I Kelompok B.
Melihat dari substansi dalam Pasal-pasal Permendag No.64/2012 dapat
terlihat bahwa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu bukan hanya merupakan
Instrumen Hukum mengenai kehutanan semata namun SVLK adalah juga sebagai
instrumen hukum ekspor, yang pada dasarnya bagi pihak-pihak yang akan
mengekspor hasil hutan berupa kayu haruslah mengikuti SVLK, SVLK adalah
salah satu mata rantai dalam rentetan proses ekspor kayu mapun produk kayu di
indonesia.