30
BAB II
PEMBAHASAN
A. Profil Masyarakat Desa Majasto
1. Karakteristik Masyarakat Desa Majasto
Desa Majasto adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Tawangsari,
Kabupaten Sukoharjo. Desa Majasto terletak sekitar 12 km arah selatan Kota
Sukoharjo.Masyarakat Desa Majasto mayoritas bekerja sebagai petani, kehidupan
keseharian warga sekitar yaitu pergi ke sawah untuk bekerja, setelah bekerja
masyarakat Desa Majasto biasanya bersantai dengan keluarga maupun tetangga.
Banyaknya waktu luang untuk berkumpul menjadikan suasana yang kekeluargaan
terasa begitu akrab. Adapun karakteristik masyarakat Desa Majasto secara umum
dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Sederhana
Kesederhanaan masyarakat Desa Majasto dapat terlihat dari kehidupan
keseharian yang mereka jalani. Kesederhanaan yang dilakukan oleh masyarakat desa
dapat disebabkan karena mayoritas dari mereka merupakan golongan menengah
kebawah. Keinginan para warga terkontrol dalam batas kebutuhan. Kehidupan
masyarakat sekitar Desa Majasto terasa berkecukupan dan bersahaja, sehingga
suasana sekitar terlihat harmonis dan lebih berharga dengan adanya kesederhanaan.
Kehidupan masyarakat Desa Majasto yang mayoritas bekerja sebagai petani,
menandakan kehidupan masyarakat yang sederhana. Terbukti dari hasil pertanian
31
yang digunakan untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Seperti padi, jagung, sayur-
sayuran dan lain-lain.
b. Kekeluargaan
Kekeluargaan merupakan suatu sifat kebanyakan masyarakat yang berada di
pedesaan. Sikap kekeluargaan masyarakat Desa Majastodilihat dari kehidupan
mereka sehari-hari. Banyak hal yang ditunjukkan warga sekitar, saling menyapa bila
bertemu, berinteraksi dan bermasyarakat, bercanda, bergaul. Dari berbagai aspek
tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa masyarakat Desa Majasto mempunyai
sikap kekeluargaan yang cukup baik. Hubungan kekeluargaan yang mereka jalin
terlihat sangat dekat dan hangat.
c. Gotong Royong
Gotong royong merupakan salah satu budaya masyarakat Jawa. Hal ini
seperti yang diutarakan Imam Sutardjo dalam buku Kajian Budaya Jawa (2010:27)
bahwa penerus dari hidup adalah kekeluargaan dan semangat gotong royong. Desa
Majasto termasuk suatu desa yang seluruhnya dihuni oleh orang Jawa tentu memiliki
karakter gotong royong yang kuat. Hal ini dapat dilihat ketika masyarakat
mengadakan suatu acara, contohnya pada acara Upacara Sadranan yang bertempat di
Makam Bumi Arum. Masyarakat sangat antusias menyiapkan acara tersebut dengan
kesadaran, keiklasan dan canda tawa khas warga sekitar,sehingga Upacara Sadranan
dapat terlaksana dengan baik dan lancar.
d. Ber-Ketuhanan
Masyarakat Desa Majasto percaya akan adanya Tuhan. Semua masyarakat di
Desa Majasto menganut agama sesuai dengan keyakinan masing-masing, hal ini
32
menjadi salah satu bukti bahwa masyarakat Desa Majasto percaya akan adanya
Tuhan. Selain itu ada beberapa tempat ibadah di Desa Majasto yang didirikan sebagai
tempat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
2. Kondisi Geografis
Penelitian ini dilakukan di Desa Majasto Kecamatan Tawangsari Kabupaten
Sukoharjo.Desa Majasto berada sekitar 12 km ke arah Selatan dari Kota Sukoharjo
dengan jarak tempuh sekitar 20 menit perjalanan dari Kota Sukoharjo.
Desa Majasto merupakan daerah dataran rendah, seperti kebanyakan desa di
wilayah Sukoharjo. Sekitar 243,06 hektar tanah di Majasto merupakan areal
persawahan dari total luas desa sekitar 409.67 hektar. Dibalik wilayahnya yang
berupa dataran rendah dengan hamparan sawah yang luas, ternyata Desa Majasto juga
memiliki sebuah bukit. Bukit tersebut berada di sisi sebelah barat Desa Majasto dan
oleh warga disebut dengan Gunung Majasto.
Desa Majasto memiliki batas-batas wilayah antara lain sebagai berikut:
Tabel 1 : Batas Wilayah Desa Majasto.
Batas Wilayah Desa/Kelurahan Kecamatan
Utara Tambakboyo Tawangsari, Sukoharjo
Timur Tangkisan Tawangsari, Sukoharjo
Selatan Ponowaren Tawangsari, Sukoharjo
Barat Demangan Tawangsari, Sukoharjo
Sumber : Profil Desa Majasto, tahun 2015
33
3. Kondisi Demografis
Berdasarkan data monografi desa tahun 2015 jumlah penduduk Desa
Majasto yang tercatat secara administrasi berjumlah 4447 jiwa yang terdiri dari.
a. Komposisi Penduduk menurut Usia
Komposisi penduduk di suatu daerah merupakan hal penting yang dapat
dijadikan sebagai landasan ataupun dasar kebijakan di daerah yang bersangkutan.
Komposisi penduduk menurut usia dapat untuk melihat beberapa besar usia penduduk
menurut usia dapat untuk melihat beberapa besar usia penduduk yang termasuk usia,
sekolah, usia muda, serta usia tua.
Penduduk Desa Majasto sesuai dengan usia sesuai dengan data monografi
tahun 2015 dapat disajikan pada tabel berikut :
Tabel 2 : Data Usia
No Usia JumlahJumlah
laki-laki
Jumlah
perempuan
Jumlah
Penduduk
Jumlah
KK
1 <1 tahun 25
2168 2279 4447 1216
2 1-5 tahun 204
3 6-10 tahun 311
4 11-15 tahun 380
5 16-20 tahun 345
6 21-25 tahun 382
34
7 26-30 tahun 405 2168 2279 4447 1216
8 31-35 tahun 405
9 36-40 tahun 354
10 41-45 tahun 349
11 46-50 tahun 317
12 51-55 tahun 254
13 56-58 tahun 236
14 >58 tahun 665
b. Komposisi Penduduk menurut Tingkat Pendidikan
Berdasarkan data Profil Desa Majasto Tahun 2015, tingkat pendidikan yang
terdapat di Desa Majasto sebagai berikut :
Tabel 3 : Tabel Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Tidak Tamat SD/sederajat 169
2 Tamat SD/sederajat 1554
3 SLTP/ sederajat 553
4 SLTA/sederajat 615
5 D-1 45
6 D-2 29
7 D-3 65
8 S-1 87
35
9 S-2 10
Jumlah 3127
Sumber: Profil Desa Majasto, tahun 2015
c. Komposisi Penduduk menurut Mata Pencaharian
Komposisi Penduduk menurut mata pencaharian dapat digunakan untuk
mengetahui jenis mata pencaharian penduduk, mayoritas penduduk masyarakat Desa
Majastomerupakan petani.Kegiatan di sektor pertanian dilakukan penduduk terutama
dilahan sawah, luasnya lahan pertanian dan suburnya tanah di daerah Majasto tentu
saja mendorong masyarakat hidup dari sektor pertanian.
Berikut adalah tabel komposisi penduduk menurut mata pencaharian:
Tabel 4 : Komposisi Penduduk
No Nama Pekerjaan Jumlah
1 Petani 752
2 Buruh Tani 388
3 Karyawan perusahaan swasta 170
4 Pengrajin 8
5 Pedagang 26
6 Peternak 29
7 Pegawai Negri 40
Sumber: Profil Desa Majasto, tahun 2015
36
4. Kondisi Sosial Budaya
a. Pendidikan
Sarana Pendidikan merupakan unsur yang terpenting guna menunjang
kemajuan dan perkembangan bagi suatu daerah, karena hal tersebut sangat
berhubungan erat dengan sikap tingkah laku masyarakat di suatu daerah. Melalui
pendidikan, seseorang akan mendapatkan pengetahuan. Sarana pendidikan yang
menandai akan memungkinkan perkembangan masyarakat dan budaya semakin baik.
Tingkat pendidikan yang tinggi maka akan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia.
Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Desa Majasto dapat diketahui
tingkat pendidikan penduduk Desa Majasto pada tahun 2015. Berikut adalah jumlah
sekolah dan siswa menurut jenjang pendidikan
Tabel komposisi jumlah sekolah yang ada di Desa Majasto
Tabel 5 : Komposisi Jumlah Sekolah
No Sekolah Jumlah
1 PG/PAUD 1
2 Taman Kanak-kanak(TK) 3
3 Sekolah Dasar/Sederajat 3
Sumber: Profil Desa Majasto, Tahun 2015
37
b. Agama dan Kepercayaan
Masyarakat Desa Majasto sebagian besar penduduknya beragama Islam.
Disamping itu ada juga yang memeluk agama Kristen dan Katholik. Meskipun
mereka memeluk agama yang berlainan, namun mereka tetap hidup rukun saling
berdampingan dan tetap saling menghormati.
Berikut adalah table jumlah pemeluk Agama di Desa Majasto :
Tabel 6 : Pemeluk Agama di Desa Majasto
Agama Jumlah (orang)
Islam 4400
Kristen 17
Katholik 30
Sumber : Data monografi Desa Majasto, tahun 2015
Data di atas menunjukkan penduduk yang beragama Islam di Desa Majasto
lebih mendominasi. Disamping itu terdapat sebagian masyarakat yang masih
menggunakan sesaji dalam suatu acara. Salah satu contoh dapat dilihat pada kegiatan
upacara Sadranan. Hal ini memberi gambaran bahwa sebagian masyarakat Desa
Majasto masih mempercayai terhadap kekuatan supranatural.
38
Desa Majastomempunyai tempat-tempat ibadah yang dapat dilihat dalam
tabel berikut :
Tabel 7 : Tempat-Tempat Ibadah
Nama Tempat Ibadah Jumlah
Masjid 16
Mushola 4
Gereja Katholik 1
Sumber : Data monografi Desa Majasto, tahun 2015
5. Tradisi Sadranan Masyarakat Desa Majasto
Masyarakat Desa Majasto mempunyai sebuah tradisi yang diterunkan dari
nenek moyang sejak dahulu. Tradisi merupakan hasil cipta dan karya manusia,
kepercayaan, kejadian, atau lembaga yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Salah satu tradisi yang masih mereka pertahankan adalah tradisi sadranan.
Tradisi Upacara Sadranan secara simbolik dapat dimaknai sebagai berikut:
Sadranan yang berasal dari istilah “sradda”, yakni sebuah upacara ziarah kubur yang
biasa dilakukan oleh umat Hindu dimasa lalu. Adapun upacara Sadranan
dilaksanakan satu tahun sekali pada bulan ruwah. Ruwah dalam bahasa Jawa
disejajarkan dengan kata arwah atau ruh orang yang telah menunggal. Biasanya pada
bulan ruwah selalu diadakan upacara Sadranan. Selain untuk menyambut Bulan
Ramadhan juga untuk menghormati dan mendoakan terhadap ruh-ruh para leluhur
yang telah meninggal. Hal ini senantiasa dilakukan untuk menjaga tali silaturohmi
antar keluarga. Disamping itu anggota keluarga yang merantau jauh juga akan
39
kembali ke kampung halaman untuk berziarah ke makam leluhur dan berkumpul
bersama keluarga. Rasa gotong royong juga menjadi dasar yang kuat bagi masyarakat
Desa Majasto, ini sebabnya ketika acara yang bersifat adat selalu melibatkan seluruh
warga masyarakat.
Tradisi Sadranan di Desa Majasto masih berjalan dengan baik, para warga
sangat antusias mengikuti berbagai rangkaian acara yang berjalan. Semua itu karena
kesadaran masyarakat sekitar untuk tetap menjaga dan melestarikan kebudayaan Jawa
agar tetap hidup dan lestari.
Upacara Sadranan diawali dengan datangnya para warga dari Desa Majasto
maupun keluarga yang berasal dari luar Desa Majasto yang datang bersama keluarga
mereka. Mereka datang dengan membawa beberapa makanan yang nantinya akan
dimakan bersama-sama keluarga. Sesudah bêsik (membersihkan rumput-rumput),
masyarakat menempati sekeliling masjid yang berada di bukit Majasto di komplek
Makam Bumi Arum. Lokasi tersebut sudah disiapkan oleh panitia.
Pelaksanaan ziarah dimaksudkan sebagai sarana introspeksi atau perenungan
terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun. Pada
perkembangan selanjutnya tradisi Upacara Sadranan mengalami perluasan makna.
Bagi warga sekitar yang merantau, Sadranan dikaitkan dengan sedekah, beramal
kepada para fakir miskin ataupun untuk membangun tempat ibadah. Kegiatan
tersebut sebagai wujud balas jasa atas pengorbanan leluhur yang sudah mendidik dan
membiayai ketika kecil hingga menjadi orang yang sukses. Bagi umat Islam sendiri
tradisi Upacara Sadranan masih menimbulkan berdebatan. Itu karena ada dua
pendapat berbeda, berkaitan dengan ajaran Nabi Muhamad SAW. Kelompok pertama
40
atau beraliran moderat, beranggapan bahwa ritual Upacara Sadranan tidak perlu
dilakukan karena bertentangan dengan hadist dan as sunnah. Sadranan sering
digolongkan dengan perbuatan syirik atau menyekutukan Tuhan. Sementara menurut
kelompok kedua yang beraliran kultural, Sadranan adalah kegiatan keagamaan yang
sah-sah saja, asal tidak untuk menyembah leluhur atau pekuburan.
Terlepas dari perbedaan pendapat itu, peneliti memandang perlu pelestarian
tradisi Upacara Sadranan. Selain sebagai wujud pelestarian budaya
adilihungpeninggalan nenek moyang, terdapat sejumlah kearifan dalam prosesi
upacara Sadranansangat relevan dengan konteks kekinian.Hal ini karena prosesi
Upacara Sadranan tidak hanya sekedar gotong royong membersihkan makam leluhur,
selamatan dan kenduri sebagai unsur sesaji. Lebih dari itu, Upacara
Sadrananmempunyai banyak manfaat yang bisa diambil salah satunya adalah menjadi
ajangsilaturahmi, wahana perekat sosial, serta sarana membangun jati diri bangsa.
Ketika perbedaan setatus sosial, kelas, agama, golongan, partai politik, dan
sebagainya menciptakan kubu-kubu. Upacara Sadranan dapat menyatukan mereka
sehingga dapatmesatu, berbaur, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain.
a. Penyelenggaraan
Upacara Sadranan ini berlangsung di komplek Makam Bumi Arum yang
merupakan keberadaan Makam Kyai Ageng Sutawijaya di Desa Majasto, Kecamatan
Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo. Upacara Sadranan dimulai dengan datangnya
masyarakat sekitar Desa Majasto maupun yang datang dari luar Desa Majasto.
Dilanjutkan dengan pelaporan keuangan yang dilaporkan oleh bendahara desa,
setelah itu dilanjutkan membaca surat yasin dilanjutkan doa bersama dan kemudian
41
acara potong tumpeng yang di lakukan oleh Bupati Sukoharjo yaitu Bapak Wardoyo
Wijaya.
b. Waktu upacara
Upacara Sadranan dilaksanakan oleh masyarakat Desa Majasto setahun
sekali tepatnya tanggal 15 Ruwah (bulan Jawa), atau pada tanggal 03 juni 2015 dua
minggu sebelum bulan Ramadhan. Ritual ini dilaksanakan sekitar pukul 12.00 WIB
sampai selesai.
c. Pelaksanaan upacara
Pelaksanaan upacara Sadrananyang dilaksanakan oleh masyarakat Desa
Majasto, juga diikuti oleh masyarakat dari luar Desa Majasto yang masih memiliki
leluhur di makam Bumi Arum Majasto. Adapun susunan acara upacara Sadranan
sebagai berikut.
1) Pra Acara
Sebelum upacara Sadranan berlangsung, di awali dengan pembacaan surat
yasin oleh para Kyai serta santri yang ikut pula dalam acara Sadranan
tersebut.
2) Pembukaan upacara
Upacara Sadranandibuka dengan bacaan basmalah, hal ini bertujuan untuk
memohon kelancaran selama acara upacara Sadranan berlangsung. Kemudian
dilanjutkan dengan ucapan selamat datang kepada seluruh tamu undangan
yang menghadiri upacara Sadranan beserta masyarakat setempat yang juga
meramaikan acara Sadranan yang berada di komplek Makam Kyai Ageng
Sutawijaya.
42
3) Pembacaan Laporan Keuangan Desa Majasto
Pembacaan laporan keuangan Desa Majasto dibacakan oleh bendahara panitia
pelaksanaan pembangunan makam Bumi Arum yaitu bapak Yoga Mahendra,
laporan keuangan berisi pembacaan sumbangan dari masyarakat serta saldo
akhir setelah pembangunan makam Bumi Arum Majasto.
4) Sambutan Kepala Desa Majasto
Sambutan ini diisi oleh Kepala Desa Majasto yaitu bapak Rudi Hartono.
Sambutan oleh Kepala Desa Majasto berisikan tentang ucapan selamat datang
dan ucapan terimakasih kepada Bapak Bupati Sukoharjo serta masyarakat
yang berkenan menghadiri upacara Sadranan tersebut.
5) Sambutan Bapak Bupati Sukoharjo
Sambutan Bapak Bupati Sukoharjo berisikan tentang ucapan trima kasih
kepada semua yang hadir dalam acara tersebut. Selanjutnya Bapak Bupati
memberikan dukungan yang cukup baik atas berlangsungnya acara upacara
Sadranan tersebut dan berpesan supaya upacara Sadranan tetap harus
dilestarikan karena merupakan salah satu warisan budaya yang mengandung
nilai-nilai luhur.
6) Upacara Sadranan
Pada acara Upacara Sadranan diawali dengan potong tumpeng yang dilakukan
oleh bapak Bupati Sukoharjo dilanjutkan oleh masyarakat yang menikmati
makanan yang dibawa dari rumah masing-masing. Pada saat inilah
kebersamaan serta kerukunan antar masyarakat Desa Majasto nampak jelas
terlihat.
43
7) Istirahat
Pada saat istirahat, masyarakat yang mengikuti Upacara Sandranan segera
mengeluarkan makanan yang mereka bawa dari rumah. Pada saat ini terlihat
masyarakat Desa Majasto memiliki rasa kekeluargaan yang sangat kental
antara satu sama lain.
8) Ziarah
Ziarah merupakan acara inti pada upacara Sadranan. Ziarah dilakukan oleh
para warga Desa Majasto serta bapak Bupati yang melakukan tabur bunga dan
mendoakan para leluhur.
9) Pembagian Sembako
Upacara Sadranan panitia telah menyediakan sembako berupa beras yang
akan dibagikan kepada warga Desa Majasto, khususnya kepada warga desa
yang kurang mampu
10) Penutup
Acara ditutup dengan bacaan hamdalah bersama-sama. Seusai acara, panitia
dan warga kembali saling bahu-membahu membereskan tempat yang tadi
digunakan untuk acara Upacara Sadranan.
d. Perlengkapan Upacara Sadranan
Dalam suatu upacara dipastikan membutuhkan perlengkapan yang memiliki
makna simbolik. Adanya makna simbolik mempunyai nilai guna yang dapat dihayati
oleh masyarakat Desa Majasto maupun masyarakat umum pendukungnya.
Tradisi Upacara Sadranan yang berada di makam Kyai Ageng Sutawijaya di
dalamnya sendiri terdapat lambang-lambang yang berwujud dalam bentuk sesaji.
44
Selain memiliki pesan tentang baik dan buruk, sesaji juga digunakan sebagai sarana
komunikasi kepada mahluk-mahluk gaib untuk menghormati keberadaan mereka.
Sesaji ataupun uborampe yang digunakan diantara lain adalah.
1) Tumpeng
Tumpeng atau Nasi Gunungan melambangkan suatu cita-cita atau
tujuan yang mulia, seperti gunung yang memiliki sifat besar dan puncaknya
yang menjulang tinggi Nasi tumpeng bermacam-macam jenisnya, ada nasi
tumpeng alus, nasi tumpeng among-among, megana, reboyong, pungkur dan
suci(Wahyana Giri, 2010: 18-20).
Kata “tumpeng” berasal dari kata Tumungkula Sing Mempeng,
artinya kalau ingin selamat, hendaknya selalu rajin beribadah. Tumpeng yang
berbentuk kerucut dalam tradisi upacara Sadranan mengartikan bahwa
semakin hari manusia harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Tumpeng juga
sebagai perumampaan alam semesta, dimana nasi berwujud gunung
dikelilingi oleh hasil bumi berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan darat/air.
2) Pisang Raja
Pisang raja sebagai lambang manusia yang harus bersatu,
manunggal(bersatu) antara pekerjaan dan panyuwunan (permintaan). Pisang
raja juga dapat dimaknai sebagaiperwujudan seorang pemimpin yang
didukungoleh seluruh rakyatnya. Masyarakatakan hidup berdampingan dan
saling melengkapi. Pemimpin seharusnya tidak semena-mena kepada
rakyatnya tetapi harus dapat mengayomi rakyatnya, sehingga hidup mereka
tentram, makmur dan bahagia.
45
3) Ayam Ingkung.
Ayam ingkung berupa ayam jago(jantan) yang dimasak utuh
(ingkung), adalah simbol menyambah Tuhan dengan Khusuk (manekung)
dengan hati yang tenang (wening). Menyembelih ayam jago juga mempunyai
makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh ayam jago,
antara lain : sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa
tahu/menang/benar sendiri (berkokok). Manusia hanya bisa berusaha
kemudian berdoa dan hanya bisa berpasrah diri kepada Tuhan, untuk itu
digunakan ayam ingung sebagai lambang.
4) Kedelai Goreng
Kedelai goreng disini bermaksud untuk menghindarkan diri dari
masalah-masalah yang datang.
5) Cabai Merah
Cabai merah memiliki makna atau symbol dilah/api yang memberikan
penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi orang lain. Diibaratkan Kyai
Ageng Sutawijaya yang selalu mengajarkan budi pekerti yang baik dan
menyebarkan Agama Islam.
e. Tujuan dan manfaat penyelenggaraan tradisi upacara Sadranan
1) Tujuan tradisi Upacara Sadranan
a) Mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan di antara masyarakat,
khususnya masyarakat Desa Majasto.
b) Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang selalu memberi rizki
dan keselamatan kepada masyarakat Desa Majasto.
46
c) Menjaga warisan kebudayaan.
2) Manfaat tradisi Upacara Sadranan
a) Suatu tradisi yang mempunyai daya pikat pasti dapat dijadikan aset
pendapatan penduduk sekitar dengan adanya orang berjualan maupun
lahan parkir yang di sediakan oleh masyarakat.
b) Pemerintah daerah dengan adanya suatu tradisi yang masih dilestarikan
di Desa Majasto ini dapat menjadi asset pariwisata religi yang bisa
dikembangkan.
B. Isi dan Bentuk Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya
1. Deskripsi Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya
Cerita berawal dari runtuhnya kerajaan Majapahit, ditandai dengan sengkalan
Sirna Liang Kertaning Bumi yang berarti tahun 1400 Caka atau tahun 1478 Masehi
dan merupakan awal pengembaraan para putra-putri Prabu Brawijaya V.
Runtuhnya Majapahit kala itu telah diramalkan oleh seorang mufti besar yaitu
Sunan Ampel. Raden Patah bermaksud menyerang Majapahit, namun keinginannya
ditentang oleh Sunan Ampel dan Sunan Giri. Alasan kedua sunan menentang
keinginan Raden Patah disebabkan adanya perhitungan bahwa tanpa diserbu pun
Majapahit akan runtuh karena sudah keropos dari dalam. Bila Raden Patah tetap
berkeinginan untuk menyerang Majapahit maka Raden Patah dapat di katakanya
seorang anak yang durhaka, yang akan menyerang dan merebut tahta ayahandanya
sendiri.
47
Ramalan Sunan Ampel ternyataterbukti. Tidak terlalu lama, Singgasana
Majapahit diserang oleh Adipati Girindrawardhana dari Kediri. karena tidak mampu
menahan serangan tersebut, maka Prabu Brawijaya V melarikan diri ke puncak
Gunung Lawu dan disertai oleh beberapa putranya yaitu Raden Gugur, Raden Joko
Tanewung dan Raden Joko Suwanda. Sampai akhir hayatnya, Prabu Brawijaya V
dikenal sebagai Sunan Lawu.
Menurut Surat Parisawuli, putra Prabu Brawijaya V mempunyai putra dan
putri sebanyak 111 orang, secara berurutan putra tertua hingga bungsu adalah sebagai
berikut :
1) Raden Harya Damar, Adipati di Palembang
2) Raden Joko Pekik, Adipati di Sumenep
3) Ratu Ayu Pengging
4) Retna Manik, menikah dengan Adipati Sumangsa di Gegelang
5) Raden Joko Peteng, Adipati di Madura
6) Raden Joko Maya, Adipati di Bali bergelar Prabu Dewa Ketut
7) Raden Joko Sungging, diasingkan ke negeri Cina
8) Raden Joko Krewet, Adipati di Borneo (Kalimantan)
9) Raden Barungnaba, menjadi Adipati di Makasar
10) Raden Joko Surenggana
11) Raden Joko Sujanma, Adipati di Blambangan
12) Retna Bintaro, menikah dengan tumenggung Singobarong
48
13) Raden Patah, menjadi Raja Demak Bintoro dan bergelar Kanjeng Sultan
Syah Alam Akbar Brawijaya Sirolah Amiril Mukminin Tajudin Ngabdul
Kamit Khan
14) Raden Joko Bondhan Kejawen
15) Retna Kedaton
16) Retna Kumala, menikah dengan Adipati Jipan
17) Raden Joko Mulya, menjadi Tumenggung Ki Gajahpramanda
18) Retna Marsandi
19) Retna Marlengen, menikah dengan Adipati Lowanu
20) Retna Setaman, menikah dengan Tumenggung Jaran Panoleh
21) Retna Setapan, menikah dengan Harya Bangah di Kedu
22) Raden Joko Piturun atau Batara Katong, Adipati Ponorogo
23) Dewi Retnadi, menikah dengan Kudapanoleh di Sumenep
24) Raden Gugur
25) Retna Kanistrin, menikah dengan Syeh Sabil di Gresik
26) Retna kaniraras, menikah dengan Harya Pekik di Sukowati
27) Dewi Ambar, menikah dengan Harya Martoko
28) Raden Joko Hantar, dimakamkan di Kedu
29) Raden Joko Loba, Atau Kyai Ageng Purwoto Sidik di Banyubiru
30) Raden Joko Dandun
31) Raden Joko Bander, muksa di Sungai Wuluh
32) Raden Joko Bolot, muksa di Mojolegi
33) Raden Joko Borok, muksa di G. Gedong Pasuruhan
49
34) Raden Joko Balaro, muksa di G. Taruwongso
35) Raden Joko Balerong
36) Raden Joko Kurih, muksa di Gunung Tigo
37) Dewi Sampur, muksa di G. Centhuni
38) Raden Joko Jadeg, muksa di Gunung Tigo
39) Raden Joko Lawih
40) Raden Joko Balut, dimakamkan di Gunung Mangir
41) Raden Joko Puring, meninggal waktu muda
42) Raden Joko Dobras, dimakamkan di Argapura
43) Dewi Sakati, muksa di Gunung Soka
44) Raden Joko Tuwo
45) Raden Joko Malawo
46) Raden Joko Lanang, dimakamkan di Gunung Anda
47) Raden Joko Linci, Muksa di Gunung Andong
48) Dewi Rantan, meninggal ketika kecil
49) Raden Joko Janreung, meninggal di Pulau Timor
50) Raden Joko Sumprung atau Kyai Ageng Brodot
51) Raden Joko Gambyong, meninggal ketika kecil
52) Raden Joko Humyang, muksa di Gunung Ijo
53) Raden Joko Lambase, muks di Gunung lanang Ponorogo
54) Raden Joko Salirah, gugur dalam peperangan
55) Raden Joko Doyok, meninggal di Rawadalem
56) Dewi Paniwen, muksa di gua Kawidadar
50
57) Raden Joko Tambak, meninggal ketika kecil
58) Raden Joko Lawung, meninggal di Jatikaponjong
59) Raden Joko Dorang, meninggal di Jatikaponjong
60) Raden Joko Balado, meninggal di Pace
61) Raden Joko Balabur, meninggal di Pace
62) Raden Joko Busur, gugur dalam perang
63) Raden Joko Gurit, meninggal ketika kecil
64) Raden Joko Bolang, gugur dalam perang
65) Raden Joko Lengis, gugur dalam perang
66) Raden Joko Guntur, meninggal ketika kecil
67) Raden Joko Malat
68) Raden Joko Morang
69) Raden Joko Jotang, bunuh diri
70) Raden Joko Duwu, meninggal di Gunung Geneng
71) Raden Joko Rawu, meninggal di Gunung Geneng
72) Raden Joko Tanduran, meninggal di G. gebangtinatar
73) Raden Joko Pangalasan, meninggal di hutan
74) Raden Joko Krenda, muksa di G Tunggarana
75) Raden Joko Jinggring, muksa di bukit Braja
76) Raden Joko salambar, muksa di Gunung Kidul
77) Raden Joko Tangkeban, muksa di Gunung Jalar Masaran
78) Raden Joko Burat atau Pasingsingan, muksa di Gunung Kidul
79) Raden Joko Tamburu, muksa di Gunung Kidul
51
80) Raden Joko Tambula, muksa di Gunung Jalar Masaran
81) Raden Joko Lambang, Muksa di Tunjung Bang
82) Raden Joko Kalaru, meninggal di Gunung Tapak
83) Raden Joko Lemuru, meninggal di Gunung Tapak
84) Raden Joko Doplang, muksa di lautan pasir
85) Raden Joko Sampa, muksa di Gunung Canggalan Pacitan
86) Raden Joko Beluk, muksa di Gunung Canggalan Pacitan
87) Raden Joko Paneki, muksa di Podangan
88) Raden Joko Raras, muksa di Ngoya
89) Raden Joko Panatas, muksa di teleng
90) Raden Joko Walaksa, muksa di kedung Panjang Keduwang
91) Raden Joko Raras
92) Raden Joko Samas, meninggal di Manggis Keduwang
93) Raden Joko gedug, dibunuh penjahat
94) Raden Belanruci, dibunuh penjahat
95) Raden Joko Basur
96) Raden Joko Sumene, meninggal di Jurangbubuk
97) Raden Joko Wirun, meninggal di Salakarung
98) Raden JokoKetug, meninggal di Giyono Keduwang
99) Raden Joko Dalem, meninggal Lowana
100) Raden Joko Tanewung, muksa di Gunung Lawu
101) Raden Joko Suwondo, muksa di Gunung Lawu
102) Raden Joko Turas atau Kyai Ageng Danalaya di Keduwang
52
103) Raden Joko Pangawe atau Kyai Ageng Wanapeksa
104) Raden Joko Supana atau Kyai Ageng Kalilusi
105) Raden Joko Sanggara atau Kyai Ageng Ngepring Wonogiri
106) Raden Joko Gepyak atau Kyai Ageng palesungan
107) Raden Joko Bodo atau Kyai Ageng Sutawijaya di Majasto
108) Raden Joko Pandak atau Syeh Kalidatu
109) Raden Joko Wijak atau Syeh Sabukjanur
110) Raden Joko Baludu atau Syeh Sekar Delima
111) Raden Joko Delog atau Raden Wadi Bakna, di Jatinom Klaten
Tahta Majapahit berhasil diduduki oleh Adipati Girindrawardhana, para wali
saat itu mendesak Raden Patah (Putra Prabu Brawijaya ke-13) untuk segera merebut
kembali tahta ayahandanya dan dipindahkan ke Demak Bintoro. Raden Patah
menyetujui dan segera mengirim pasukan yang dipimpin oleh Sunan Ngudung,
sedangkan pasukan Kediri dipimpin oleh Senopati Arya Timbal atau Adipati Terung
dan dalam pertempuran tersebut Sunan Ngudung gugur serta kedudukan sebagai
Senopati digantikan oleh pangeran Jafar Sodig atau Sunan Kudus.
Melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam, Sunan Kalijaga dan
Sunan Kudus, peperangan dapat dihentikan dan Adipati Terung diajak bergabung
dengan Raden Patah, karena keduanya adalah sama-sama orang Majapahit. Dengan
bujukan Sunan Kalijaga itulah akhirnya Adipati Terung berbalik memihak Raden
Patah, dan tahta Majapahit akhirnya dapat direbut kembali dari tangan Prabu
Girindrawardhana.
53
Tahta Majapahit berhasil direbut kembali namun, tidak mudah bagi Raden
Patah untuk menyatukan kembali saudara-saudaranya yang terlanjur meninggalkan
istana sejak Majapahit jatuh ke tangan Prabu Girindrawardhana. Prabu Brawijaya
sendiri tetap pada sabdanya kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim beberapa tahun
sebelumnya, bahwa ia sebagai raja Hindu tidak akan memeluk Islam, namun sebagai
rasa persaudaraannya, Syeh Maulana Malik Ibrahum diberi daerah kekuasaan di
Gresik untuk menjalin hubungan baik itu, antara pemeluk Islam dan Hindu tidak
dibenarkan.
Perjalanan para putra Majapahit ternyata menyebar hampir ke seluruh Tanah
Jawa bahkan ke luar Jawa. Mereka tetap memeluk agama Budha tetapi tidak sedikit
pula yang masuk agama Islam dan berguru kepada seorang mufti. Diantara sekian
putra Majapahit tersebut adalah Raden Joko Bodo yang setelah memeluk agama
Islam berganti nama menjadi Kyai Ageng Sutawijaya.
Kyai Ageng Sutawijaya merupakan keturunan Majapahit yang dikenal dengan
nama Raden Joko Bodo. Dikisahkan setelah kerajaan majapahit rantuh, Raden Joko
Bodo meninggalkan Kerajaan Majapahit dengan cara menyamar menjadi seorang
petani. Cara demikian dilakukan semata-mata agar tidak diketahui oleh para pengikut
Prabu Girindrawardhana.Raden Joko Bodo memulai perjalanan kearah barat dan
akhirnya bertemu dengan Sunan Kalijaga serta berguru kepadanya. Setelah dianggap
mumpuni dalam olah kanuragan maupun oleh batin, Sunan Kalijaga memerintahkan
kepada Raden Joko Bodo untuk membuka hutan Ampel, nama Raden Joko Bodo
diganti oleh Sunan Kalijaga menjadi Sutawijaya, sedangkan hutan Ampel yang sudah
54
menjadi tempat tinggal Sutawijaya diberi nama Tegalampel (sekarang masuk wilayah
Kec. Karangdowo Klaten).
Selama di Tegalampel, Ki Sutawijaya didampingi oleh istrinya R. Ay Mayang
Mekar dengan kedua putranya yaitu R. Ay Mus dan Raden Suradita. Namun akhirnya
R. Ay Mus ikut pamannya di Bukit Taruwongso.Ki Sutawijayapun hidup sebagai
petani tak ubahnya seperti para petani lainya sambil menyebarkan agama Islam,
sehingga para pengikutnya kian hari semakin bertambah.Di Tegalampel itu pula Ki
Sutawijaya mendirikan Masjid pertama, sehingga masjid tersebut dinamakan masjid
Tiban.
Ki Sutawijaya yang mana merupakan keturunan raja tidak begitu saja
melupakan kebiasaannya di keratin Majapahit, yaitu membina kesenian jawa seperti
karawitan, tembang dan kesusastraan jawa dan lainya dan hal ini ditularkan kepada
penduduk Tegalampel, tak pelak lagi bila sampai saat ini di daerah tersebut
menelorkan dalang-dalang wayang kulit terkenal maupun para pengkrawit serta
seniman-seniman Jawa lainya.
Melihat ketekunan muridnya dalam bercocok tanam tersebut Sunan Kalijaga
merasa khawatir, bila Ki Sutawijaya terlena oleh urusaan duniawi saja, karena
menurut firasat Sunan Kalijaga, Ki Sutawijaya kelak akan menjadi seorang mufti
besar. Oleh karena itulah, Ki ageng Sutawijaya tidak dibiarkan begitu saja tetap
menjadi seorang petani. Maka ditemuilah muridnya tersebut dengan cara menyamar
menjadi seorang petani yang tengah menyusuri pematang sawah milik Ki Sutawijaya.
Kehadiran seorang petani yang menggunakan caping pandan menarik perhatian para
petani yang melihatnya dan segera melaporkan hal ini kepada Ki Sutawijaya. Setelah
55
mendengar penuturan para petani Ki Sutawijaya bergegas menuju sawah miliknya,
namun sesampainya di sawah tidak ada seorang pun, bahkan tidak ada bekas tapak
kaki sedikitpun, melihat hal ini, Ki Sutawijaya menjadi sadar, bila yang telah bertemu
dengan para petani itu adalah gurunya sendiri, Sunan Kalijaga yang menyamar
menjadi petani yang bercaping pandan. Lebih yakin lagi manakala Ki Sutawijaya
bertemu dengan seorang pedagang di tengah jalan.Maka bertanyalah kepadanya dan
dijawab oleh pedagang tersebut apabila ingin menemui orang tersebut , Ki Sutawijaya
diminta menyusul ke Tembayat kerumah Sunan Tembayat.Setalah Ki Sutawijaya
pergi, maka pedagang itu lenyap dari pandangan, karena sebenarnya orang tersebut
adalah Sunan Kalijaga yang menyamar menjadi seorang pedagang.
Sampai di panti Tembayat, Sunan Kalijaga dan Kyai Ageng Pandanaran
sedang duduk bersila sambil membicarakan perkembangan agama Islam di
Tembayat. Ki Sutawijaya segera memberisalam dan dijawab pula oleh Sunan
Kalijaga, kemudian memperkenalkan Ki Sutawijaya kepada Kyai Ageng Pandanaran.
Selanjutnya Sunan Kalijaga menyarankan agar Ki Sutawijaya berguru kepada Kyai
Ageng Pandanaran demi memperdalam ilmu agama Islam.
Wahai jebeng Sutawijaya, sebaiknya kamu berguru kepada Ki Ageng
Tembayat untuk beberapa waktu lamanya.Selanjutnya agar segera terwujud kau
menjadi mufti, setelah mendalami ilmu agama Islam di Tembayat, kau harus segera
bertapa di bukit Majasto yang letaknya sebelah selatan dukuh Tegalampel.
Menjadi murid Tembayat tidaklah mudah bagi Ki Sutawijaya, karena ia harus
mengisi padasan (bak air untuk wudhu) dengan air melalui keranjang. Tetapi semua
perintah calon gurunya itu dijalani dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, berkat
56
kesaktianya pula akhirnya Ki Sutawijaya berhasil mengisi padasan, sehingga ia dapat
diterima menjadi murid pesantren Tembayat.
Berdasarkan sabda Sunan Kalijaga yang memerintahkan Ki Sutawijaya agar
berada di Bukit Majasto, maka nama Majasto adalah pemberian Sunan Kalijaga,
karena sebelum itu, nama Majasto belum pernah disebut. Tetapi ada sebagian orang
yang mengatakan bahwa Majasto merupakan bagian dari dua kata antara maja (buah
maja) dan asta (tangan) maksdnya buah maja sebesar kepalan tangan yang dipetik
oleh Ki Ageng Sutawijaya
Dibanding dengan santri yang lain, Ki Sutawijaya termasuk yang cepat
menguasai segala ilmu yang diberikan oleh gurunya yakni Kyai Ageng Pandanaran.
Oleh karena itu Ki Sutawijaya sangat disayang oleh sang guru, dan tidak lebih dari
lima tahun berguru di pesantren Tembayat, Ki Sutawijaya telah diijinkan untuk
meninggalkan Tembayat menuju bukit Majasto sesuai dengan perintah Sunan
Kalijaga.
Sore menjelang magrib Ki Sutawijaya duduk bersila sambil berkata dalam
hati, bahwa setelah bersusah payah, akhirnya bukit Majasto ditemukan juga. Namun
tidak diduga, hari itu Sunan Kalijaga telah datang tanpa sepengetahuan Ki
Sutawijaya, pada saat itu beliau mengatakan bahwa apa yang diduga bukanlah Bukit
Majasto melainkan bukit Beluk, Ki Sutwijaya merasa kaget, namun setelah
mengetahui bahwa yang datang itu gurunya, Ki Sutawiaya segera bersujud dan
memohon restu kepada Sunan Kalijaga. Hari itu Ki Sutawijaya bangkit meneruskan
perjalanan menuju kearah timur.Sudah menjadi tradisi bahwa selama meninggalkan
57
suatu tempat, tujuh langkah tidak boleh menoleh ke belakang.Namun Sunan Kalijaga
telah lenyap sejak awal Ki Sutawijaya melangkahkan kaki.
Perjalanan Ki Sutawijaya sampailah di sebuah bukit kembar yang letaknya
berdampingan atau orang yang menyabutnya bukit jajar.Karena merasa letih setelah
menempuh perjalanan yang cukup jauh, Ki Sutawijaya merasa putus asa. Karena
tidak satupun petunjuk diterimanya, murid Sunan Kalijaga itu pun beristirahat dekat
bukit jajar tadi.Tanpa disadari Ki Sutawijaya akhirnya tertidur di tempat
peristirahatannya.Namun tak lama datanglah Sunan Kalijaga membangunkan
muridnya. Diberitahulah dengan sabda Sunan Kalijaga bahwa janganlah engkau
berputus asa, karena orang yang hendak mencapai keluhuran jiwa itu harus rela
membayar dengan kesabaran dan mau mengekang hawa nafsu melalui cara bertapa,
jika niatmu telah bulat tak lama lagi akan segera datang wahyu untukmu. Mendengar
sabda Sunan Kalijaga tadi, Ki Sutawijaya bangkit dari tidurnya kemudian bersujud
dan memohon maaf kepada gurunya atas kesalahan yang telah diperbuat.
Ki Sutawijaya bangkit dan melanjutkan perjalanan, sementara itu Sunan
Kalijaga juga hilang dari pandangan dan meninggalkan pesan bahwa bukit kembar
yang berdampingan tadi dinamakan Gunung Pegat yang artinya cerai.Nama gunung
pegat ini berkaitan dengan Ki Sutawijaya saat itu merasa putus asa. Sampai sekarang
gunung tersebut menjadi kaul, barang siapa menjadi pengantin baru yang belum
genap lima hari melewati gunung pegat, niscaya pengantin tersebut tidak lama lagi
akan bercerai.
Perjalanan Ki Sutawijaya akhirnya sampai di puncak bukit Taruwangsa,
bertemu dengan brahma berjubah putih dengan menggenggam cambuk (cemeti) di
58
tangannya. Ki Sutawijaya bertanya kepada brahmana yang baru saja ditemui, dan
ternyata brahmana yang ditemui adalah saudaranya sendiri yang bernama Jaka Balora
yang kini telah bergelar Pangeran Banjaransari.
Selama dibukit Taruwangsa, Ki Sutawijaya suka menyendiri di puncak. Pada
saat menjelang fajar datanglah Sunan Kalijaga menemui Ki Sutawijaya sembari
bersabda :
“ Jebeng Sutawijaya malamini kau telah menerima wahyu mufti dari yang
Maha Kuasa sebagai tanda bahwa kau telah menerima anugrah Tuhan sebagai calon
pemimpin umat, bukit Taruwangsa ini saya namakan bukit Wahyu, dan mulai hari ini
juga kau berhak memakai nama Kyai Ageng Sutawijaya.”
Ki Sutawijaya segera pergi meninggalkan gunung Wahyu (Taruwangsa)
menuju Bukit Majasto Setelah menerima perintah dari gurunya. Perjalanan
berikutnya Kyai Ageng Sutawijaya melewati tempat yang sejuk dengan udara
berhembus pelan.Angin yang terus berhembus itu membuat Kyai Ageng Sutawijaya
merasa betah tinggal tersebut hingga beberapa hari dan tempat tersebut kemudian
oleh Kyai Ageng Sutawijaya dinamakan Angin-angin.
Dari Angin-angin, Kyai Ageng Sutawijaya melanjutkan perjalanan menuju
bukit yang nampak menonjol dari permukaan. Karena merasa yakin bahwa bukit
yang dilihatnya itu adalah bukit Majasto, Kyai Ageng Sutawijaya menjadi yakin.
Ditempat itulah Kyai Ageng Sutawijaya memberian nama Sregan. Dari Sregan, Kyai
Ageng Sutawijaya melanjutkan perjalanan menuju bukit Majasto. Di situlah ia
melihat bangunan menyerupai keraton milik raja jin. Bangunan bangsal tersebut
59
sedang digunakan untuk rapat para jin pengikut Ki Hajar Sidamulya (Ki Hajar
Kamulyan) dan oleh Kyai Ageng Sutawijaya, tempat tersebut dinamakan Bangsalan.
Saat itu Kyai Ageng Sutawijaya tidak langsung mendaki puncak bukit
Majasto karena ia tahu bahwa bukit tersebut sebenarnya telah lebih dahulu dikuasai
oleh raja jin, dan bukit Majasto merupakan istana besar bagi bangsa jin. Menjelang
malam, Kyai Ageng Sutawijaya hanya mengelilingi bukit dari arah selatan melewati
tanggul sungai itu dahulunya pernah dijadikan untuk ajang pertempuran prajurit dari
Pengging melawan prajurit Prambanan dibawah Ratu Baka. Dalam pertempuran tadi
seorang prajurit bernama Pangeran Dengkeng gugur ditengah sungai.
Kyai Ageng Sutawijaya mengelilingi bukit Majasto dalam waktu
semalam.Pada saat menjelang fajar, Kyai Ageng Sutawijaya mulai menapakkan kaki
menaiki bukit hingga membuat takut para jin penghuni bukit Majasto. Beberapa jin
segera melapor rajanya yakni Ki Hajar Sidamulya, dan pagi itu juga Ki Hajar
Sidamulya datang menemui Kyai Ageng Sutawijaya. Melihat ada jin mendekatinya,
Kyai Ageng Sutawijaya menyampaikan ucapan salam.
“Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarookhatuh”
Ki Hajar Sidomulyo yang memang tidak tahu apa arti salam dari Kyai Ageng
Sutawijaya itu menjadi tercengang kagum. Ia pun bertanya kepada Kyai Ageng
Sutawijaya apa makna dari salam yang baru saja diucapkan. Setalah dijelaskan makna
salam tersebut. Raja jin tersebut merasa kalah budi. Dalam hatinya ia memuji akan
keluhuran orang yang baru saja ditemui. Ki Hajar Sidomulyo bertanya kepada Kyai
Ageng Sutawijaya, siapa dan dari mana asalnya.Setelah Kyai Ageng Sutawijaya
mengenalkan diri dan mengatakan tujuannya datang ke Bukit Majasto, yaitu untuk
60
mengislamkan orang-orang disekitar Majasto agar mereka mengikuti jejak Rosulullah
Muhammad SAW. Kemudian terjadilah perdebatan dan peperangan yang ditawarkan
oleh Ki Hajar Sidomulyo, meski sempat ditolak oleh Kyai Ageng Sutawijaya. Ki
Hajar beserta para pengikutnya akhirnya segera berangkat pindah menuju Gunung
Lawu karena menerima kekalahanya.
Kyai Ageng Sutawijaya mulai menata wilayah Majasto dan membangun
pesantren di Bukit Majasto, para warga sekitar mulai mengikuti segala petunjuk dari
Kyai Ageng Sutawijaya.Mereka hidup rukun dan sejahtera dan mendirikan jamaah
dengan imam Kyai Ageng Sutawijaya.
Kyai Ageng Sutawijaya setelah tinggal di Bukit Majasto cukup, lama beliau
beserta pengikutnya mendirikan sebuah masjid untuk tempat ibadah dibukit Majasto.
Yang mana usia masjid itu usianya sama dengan masjid Ageng Demak. Dipanggillah
seluruh istri dan anak-anaknya untuk berkumpul di Majasto, tetapi R. Ay
Mayangmekar memilih tetap berada di Tegalampel hingga wafat dan dimakamkan
disamping masjid Tegal Ampel.Sedangkan yang mengikutinya adalah para putra dan
putri serta R. Ay.Sedahmirah yang berasal dari Tembayat.Sebagai seorang mufti Kyai
Ageng Sutawijaya pun sangat disegani oleh para santrinya karena memiliki kebijakan
yang besar dan mengayomi seluruh warganya.
Sebelah barat makam Kyai Ageng Sutawijaya, terdapat batu persegi yang
didekatnya terdapat sendang atau mata air sebanyak 3 mata air dan terdapat 2 buah
goa. Adapun sendang tersebut bernama.
1) Sendang Tapak Boma
61
Sendang Tapak Boma merupakan mata air yang berada di bukit Majasto dan
dilindungi dengan cungkup yang mirip pendopo.Walaupun sekarang hanya
mengeluarkan sedikit air. Sampai sekarang sendang Tapak Bomo masih
dianggap suci, karena didekat sendang tersebut Kyai Ageng Sutawijaya
menyampaikan ilmunya kepada para muridnya.
2) Sendang Tapak Bima
Sendang Tapak Bima adalah sendang yang berada disebelah utara sendang
Tapak Boma. Menurut cerita sendang Tapak Bima inilah kejadian saat Kyai
Ageng Sutawijaya menggenjot batu untuk mengantarkan kepergian raja jin Ki
Hajar Sidomulya dan pengikutnya menuju Gunung Lawu. Dan menurut cerita
setempat sendang Tapak Bima adalah bekas telapak kaki Kyai Ageng
Sutawijaya.
3) Sendang Tapak Kuda
Sendang ini sekang tidak mengeluarkan air lagi, namun masih nampak jelas
bentuknya. Sendang Tapak Kuda berada tidak jauh dari Sendang Tapak Bima
dan Sendang Tapak Boma. Ketiga sendang tersebut keberadaannya berdekatan.
Ketiga sendang yang terdapat di Bukit Majasto, semua berupa batu hitam.
Selain terdapat beberapa sendang, komlek makam Bumi Arum juga terdapat
gua yang terdapat di sekitar makam antara lain.
1) Gua Naga
Gua Naga bentuknya panjang melingkar masuk ke dalam tanah. Gua ini
bertempat di belakang area makam Bumi Arum. Meski sekarang Goa Naga
62
sudah ditutup dengan batu oleh masyarakat setempat namun masih nampak
jelas bahwa didalamnya terdapat Goa.
2) Gua Macan
Gua Macan letaknya berdekatan dengan Gua Naga, Goa tersebut dulunya
digunakan untuk menyimpan bahan makanan dan yang lainnya.
3) Sumur Gedhe,
Sumur Gedhe terdapat di lereng bukit yang tidak pernah kering sepanjang tahun
walau kemarau panjang sekalipun. Sampai sekarang sumur gede masih
digunakan masyarakat Majasto, terutama disekitar makam Bumiarum.
2. Bentuk Cerita Kyai Ageng Sutawijaya
Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya merupakan salah satu bagian dari
kebudayaan yang hidup pada masyarakat Desa Majasto dan sekitarnya.Dari cerita
rakyat yang sudah dituturkan masyarakat (cerita lisan).Cerita lisan merupakan
sebagian dari persediaan cerita yang telah lama hidup dalam suatu masyarakat, baik
masyarakat itu telah mengenal huruf atau belum.Perbedaan dengan sastra tulis yaitu
sastra lisan tidak mempunyai naskah.Jika sastra lisan dituliskan naskah itu hanyalah
merupakan catatan dari sastra lisan tersebut.
Cerita rakyat sebagai salah satu bentuk dari folklore memiliki beberapa
bentuk antara lain : mite, legenda dan dongeng. Mite adalah cerita rakyat yang di
anggap benar-benar terjadi serta di anggap suci oleh yang empunya cerita.Mite
ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi didunia lain,
atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang. Legenda adalah cerita
63
yang mempunyai cirri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu di anggap pernah benar-
benar terjadi, tokoh dalam legenda disakralkan oleh para pendukungnya yaitu
merupakan manusia biasa yang mempunyai kekuatan atau kemampuan yang luar
biasa, tempat terjadinya di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Sedangkan
dongeng adalah cerita yang dianggap tidak benar-benar terjadi dan tidak terikat oleh
ketentuan tentang pelaku atau tokoh, waktu, dan tempat suci.
Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya merupakan suatu cerita yang dianggap
benar-benar terjadi oleh masyarakat Desa Majasto, hal ini dapat dilihat dari antusias
masyarakat desa ketika diadakan upacara Sadranan di Makam Kyai Ageng
Sutawijaya. Selain itu, cerita mengenai Makam Kyai Ageng Sutawijaya masih
dimengerti oleh warga sekitar yang menandakan bahwa warga sekitar meyakini cerita
tersebut dan diceritakan turun-temurun. Selain itu, cerita Kyai Ageng Sutawijaya
dianggap sebagai cerita sejarah oleh masyarakat Desa Majasto, karena mengkisahkan
runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Kyai Ageng Sutawijaya merupakan tokoh yang disegani oleh masyarakat di
Desa Majasto, sehingga setiap Bulan Sya’ban masyarakat berbondong-bondong
menunju ke makam Kyai Ageng Sutawijaya untuk berziarah. Selain itu, cerita yang
tersebar dari mulut kemulut memberikan gambaran bahwa Kyai Ageng Sutawijaya
adalah tokoh besar yang memiliki kearifan serta kedigdayaan. Beberapa bentuk
keunggulan tokoh Kyai Ageng Sutawijaya adalah sebagai berikut.
1) Kyai Ageng Sutawijaya merupakan keturunan Majapahit.
2) Merupakan murid dari Sunan Kalijaga dan Kyai Ageng Pandanaran
3) Merupakan mufti, menyebarkan agama Islam.
64
4) Seorang seniman yang hebat.
5) Kyai Ageng Sutawijaya adalah pengembara yang tangguh.
6) Dapat mengalahkan raja Jin di bukit Majasto.
7) Mendirikan pesantren di Bukit Majasto.
8) Diceritakan memiliki kepribadian yang baik, dapat mengayomi masyarakat.
9) Dipercaya warga sekitar Kyai Ageng Sutawijaya meninggalkan telapak kaki
di Sendang Tapak Bima.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Cerita Rakyat Kyai
Ageng Sutawijaya berbentuk Legenda. Hal ini sesuai dengan cirri-ciri legenda
menurut William R. Bascom dalam James Danandjaja (1997 : 50)sebagai berikut
1) Kyai Ageng Sutawijaya terjadi di dunia nyata. Karena berhubungan dengan
sejarah runtuhnya Kerajaan Majapahit.
2) Tokoh merupakan manusia biasa yang mempunyai kekuatan-kekuatan gaib
Tokoh dari Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya adalah Kyai Ageng
Sutawijaya yang memiliki kekuatan-kekuatan gaib, diantaranya dapat
mengalahkan raja jin, dapat mengisi padasan sampai penuhi dengan
menggunakan keranjang bambu.
3) Menceritakan terjadinya tempat, seperti : pulau, gunung, daerah/desa,
danau/sungai, dan sebagainya.
Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawjiaya juga menceritakan terjadinya tempat,
seperti terjadinya nama daerah Gunung Pegat, karena dipercaya pada saat
Kyai Ageng Sutawijaya sampai di tempat itu, dia mengalami putus asa.
65
Menurut Nurgiantara (2013: 182-190) membagi jenis-jenis legenda menjadi
3 jenis, yaitu legenda tokoh, legenda tempat peninggalan, dan legenda peristiwa.
Berdasarkan cerita dan penjelasan di atas, maka Cerita Rakyat Kyai Ageng
Sutawijaya termasuk ke dalam jenis legenda tokoh dan legenda tempat peninggalan.
Hal ini terjadi karena Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya mengisahkan ketokohan
seorang tokoh yang bernama Kyai Ageng Sutawijaya serta mengisahkan tentang
tempat-tempat peninggalan dan asal-usul penamaan tempat-tempat tertentu.
C. Fungsi Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya
Cerita rakyat merupakan sebagian kebudayaan yang tersebar dan diwariskan
kepada masyarakat secara turun temurun. Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk
cerita rakyat yang hidup dalam masyarakat secara turun temurun. Dalam suatu cerita
rakyat dipastikan mengandung pesan yang berkaitan dengan kehidupan manusia.
Dengan mendengarkan suatu cerita rakyat, seseorang dipastikan akan menemukan
ajaran-ajaran kehidupan yang berguna untuk dirinya.Adapun beberapa fungsi yang
terkandung dalam Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya adalah sebagai berikut.
1. Sebagai Sarana Sistem Proyeksi
Cerita rakyat mempunyai fungsi sebagai sarana proyeksi, yaitu alat untuk
mencerminkan angan-angan kelompok dapat diwujudkan dengan sarana pengukuhan
tempat keramat. Keberadaan Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya sebagai milik
masyarakat berfungsi sebagai pengakuan tempat keramat, karena masyarakat
mempercayai keberadaan Kyai Ageng Sutawijaya di Desa Majasto. Tokoh Kyai
Ageng Sutawijaya merupakan tokoh yang disegani dan dihormati, sehingga adanya
66
Makam Kyai Ageng Sutawijaya di Desa Majasto, tepatnya di atas Bukit Majasto
sangat dikeramatkan oleh warga sekitar. Kekeramatan Makam Kyai Ageng
Sutawijaya juga ditambah dengan adanya Makam Bumi Arum, komplek pemakaman
ini memiliki keunikan karena liang lahat yang digunakan untuk pemakaman hanya
setinggi lutut orang dewasa, dan hal tersebut masih dilakukan hingga sekarang.
Seperti penuturan Bapak Yoga berikut.
Eyang Sutawijaya itu merupakan pendiri Desa Majasto ini mas, dahulu beliau menyebarkan agama Islam dan mulai menata Desa Majasto. Beliau tinggal di Desa Majasto sampai akhir hayatnya dan akhirnya beliau di makamkan di Bukit Majasto ini. Sudah menjadi tradisi sejak dulu mas, bahwa pemakaman di sini kedalamannya hanya sekitar sedengkul kaki saja. Tidak ada yang tau sejak kapan dan mengapa kok pemakamanya hanya sedengkul orang dewasa saja. Yang saya tau itu sudah menjadi tradisi sejak dahulu dari nenek moyang dahulu. Meskipun pemakaman hanya sekitar setengah meter saja, namun tanahnya tidak berbau mas.
2. Sebagai Alat Pengesahan Pranata-Pranata dan Lembaga-lembaga
Kebudayaan
Cerita Rakyat berfungsi mengontrol kelangsungan budaya suatu masyarakat
dalam suatu masyarakat dalam cerita ini, yaitu Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya
di Desa Majasto, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo. Setiap tahun selalu
di lakukan upacara Sadranan yang bertempat di komplek Makam Bumi Arum
Majasto, yang memiliki tujuan untuk menyambut Bulan Ramadhan serta
menghormati para leluhur. Meskipun masyarakat Desa Majasto pada umumnya
mempunyai agama yang cukup kuat, namun mereka tetap bisa membedakan antara
tradisi, budaya, dan agama. Mereka memandang tradisi adalah suatu ritual sebagai
warisan budaya turun-temurun yang bisa diingat oleh anak cucu. Namun tidak sampai
67
membuat mereka melupakan bahwa kekuasaan dan kekuatan tertinggi ada di tangan
Allah SWT.
3. Sebagai Alat Pendidikan
Pendidikan adalah seluruh usaha mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
dan karakter yang baik warga masyarakat terutama generasi muda. Pendidikan
merupakan usaha sadar dan sistematis yang bertujuan untuk memanusiakan manusia
dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan sehingga akan tercipta manusia
yang seutuhnya. Pendidikan berkenaan dengan segala kegiatan yang berguna untuk
menambah pengetahuan sekelompok orang maupun pengetahuan baik itu
pengetahuan seseorang maupun pengetahuan sekelompok orang.
Folklor dapat digunakan sebagai media pendidikan untuk menyampaikan
pelajaran kepada murid guna mempermudah proses belajar mengajar. Folklore juga
dapat digunakan untuk media pendidikan bagi masyarakat pendukungnya. Folklore
mengandung nilai budaya yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendidikan. Nilai
budaya yang terkandung dalam genre folklore merupakan pesan-pesan sebagai
sumber pengetahuan atau pendidikan bagi generasi penerus. Pada hakikatnya genre-
genre folklore merupakan bentuk ungkapan budaya yang mengandung nilai-nilai
yangdapat diteladani dan diinternalisasikan oleh generasi penerus.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari nilai folklore dan bisa dijadikan bahan
pembelajaran dalam pranata sekolah dan pranata keluarga dalam mengatasi persoalan
kehidupan sehari-hari. Folklore mengandung pesan-pesan yang hendak disampaikan
kepada masyarkat baik berupa makna dan fungsi, nilai norma maupun kearifan lokal.
Folklore yang mengandung kearifan lokal dapat dimanfaatkan sebagai sumbber
68
pendidikan karakter. Kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu
masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya yang mengatur tatanan
kehidupan masyarakat.
Cerita rakyat Kyai Ageng Sutawijaya menceritakan seorang tokoh yang
bernama Kyai Ageng Sutawijaya. Dalam riwayatnya setelah runtuhnya kerajaan
Majapahit Kyai Ageng Sutawijaya melakukan perjalanan di berbagai tempat dan
sampailah ke bukit Majasto. Nilai-nilai pendidikan yang dapat diambil adalah bahwa
beliau merupakan seorang keturunan kerajaan Majapahit yang akhirnya menyebarkan
agama Islam di Desa Majasto.Dari perjalanan beliau menuju bukit Majastodapat
diambil nilai-nilai pesan yang dapat dijadikan untuk pendidikan generasi yang akan
datang. Unsur- unsur pendidikan yang terdapat dalam Cerita Rakyat Kyai Ageng
Sutawijaya antara lain.
a. Mendidik agar selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa
Salah satu bukti ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kyai Ageng
Sutawijaya dengan menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat
Desa Majasto dan sekitarnya. Dengan kegigihan beliau untuk mengislamkan
masyarakat Desa Majasto, akhirnya beliau dapat mendirikan pesantren dan sebuah
masjid yang berdiri di bukit Majasto. Para warga sekitar mulai mengikuti segala
petunjuk dari Kyai Ageng Sutawijaya. Mereka hidup rukun dan sejahtera dan
mendirikan jamaah dengan imam Kyai Ageng Sutawijaya. Maka dari Cerita Rakyat
Kyai Ageng Sutawijaya dapat kita ambil nilai-nilai atau fungsi yang salah satunya
adalah mendidik manuasia agar selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
69
b. Mendidik Manusia Agar Tidak Sombong
Cerita rakyat Kyai Ageng Sutawijaya mengandung unsur pendidikan untuk
mendidik agar berlaku tidak sombong, karena kesombongan hanyalah akan
merugikan diri kita sendiri. Dalam kehidupan dan perjalanannya Kyai Ageng
Sutawijaya tidak pernah memperlihatkan bahwa beliu merupakan seorang keturuan
bangsawan, beliau tidak pernah membanggakan dan menyombongkan diri akan
kekuatan yang beliau miliki. Kyai Ageng sutawijaya tidak pernah merasa sombong
karena mempunyai kelebihan. Dengan kerendahan hatinya maka Kyai Ageng
Sutawijaya dihormati dan sangat disegani oleh masyarakat Desa Majasto.setelah
runtuhnya kerajaan Majapahit beliau melakukan penyamaran sebagai seorang
petani. Meski beliau keturunan bangsawan Kyai Ageng Sutawijaya mau terjun
sebagai rakyat jelata dan menjadi petani. Dengan ini dapat kita ambil beberapa
fungsi yang salah satunya adalah mendidik manusia agar tidak sombong. Seperti
penuturan bapak Sayono (Juru Kunci)
Jadi begini mas setelah kerajaan Majapahit runtuh Eyang Sutawijaya melakukan perjalanan yang sampai akhirnya beliau disuruh untuk ke Desa Majasto ini mas. Menurut yang saya tau di saat perjalanan menuju Desa Majasto beliau menyamar sebagai petani mas. Dan sesampainya di Bukit Majasto beliau harus menghadapi Raja Jin yang sebelumnya sudah lebih dahulu menempati bukit tersebut. beliau tidak pernah menyombongkan kekuatan ataupun latar belakangnya sebagai putra bangsawan.
c. Mendidik Manusia untuk Mau Berbagi Ilmu Kepada Sesama
Kyai Ageng Sutawijaya memiliki citra yang sangat baik diangan-angan
Masyarata Desa Majasto. Beliu mau mengajarkan kesenian Jawa seperti karawitan,
70
tembang dan kesusastraan Jawa lainya kepada masyarakat penduduk Tegalampel.
Beliau juga mendirikan pesantren di Desa Majasto untuk bisa membagi ilmu
keislamannya kepada masyarakat Desa Majasto.
d. Mendidik untuk Patuh Kepada Nasihat Guru atau Orang Tua
Guru atau orang tua akan selalu menuntut anak didiknya untuk menjadi
pribadi yang baik dan orang yang sukses. Sehingga menjadi kewajiban seorang
murid ataupun anak untuk selalu mematuhi nasihat dan melaksanakan perintah guru
ataupun orang tua. Hal serupa juga dilakukan oleh Kyai Ageng Sutawijaya, beliau
begitu patuh pada gurunya, Sunan Kalijaga dan Kyai Pandanaran. Apapun yang
diperintahkan oleh gurunya selalu dilaksanakan dengan baik oleh Kyai Ageng
Sutawijaya seberat apapun perintah tersebut.
4. Sebagai Pengawas Norma-norma Masyarakat yang Harus Dipatuhi oleh
Kolektifnya
Suatu kebudayaan masyarakat Jawa tidak dapat dipisahkan dengan suatu hal
yang berbau mistis. Masyarakat Jawa percaya bahwa suatu gejala alam yang terjadi
dapat dipengaruhi oleh beberapa kekuatan gaib. Cerita Rakyat Kyai Ageng
Sutawijaya berfungsi pula sebagai media penuangan nilai-nilai tentang perilaku,
aturan, serta moral yang dapat diterima oleh masyrakatnya. Cerita Rakyat Kyai
Ageng Sutawijaya tersirat adanya larangan dan aturan yang harus dijalani manusia,
dan anjuran kepada manusia hanya memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun
salah satu larangan dan aturan yang masih dipatuhi oleh masyarakat Desa Majasto
71
sampai sekarang adalah cara pemakaman yang unik, yang mana masyarakat Desa
sekitar memakamkan jenazah dengan kedalaman hanya sekitar 50cm saja.
5. Mempertebal Perasaan Solidaritas Kolektif
Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya dapat berfungsi untuk mempertebal
perasaan solidaritas kolektif. Terkait dengan hal ini, Cerit Rakyat Kyai Ageng
Sutawijaya, menciptakan suatu kultur baru pada masyarakat Desa Majasto, yaitu
suatu ritual Sadranan. Sebelum dan ketika acara ini berlangsung, masyarakat bahu
membahu mempersiapkan acara dengan dengn baik, lalu ketika acara berlangsung
masyarakat berbaur menjadi satu membentuk satu kesatuan menciptakan solidaritas
yang sangat baik. Tidak ada kubu-kubu pada upacara tersebut, semua menyatu dan
menciptakan kerukunan.
6. Sebagai Hiburan
Cerita rakyat sebagai salah satu bentuk kebudayaan yang dapat dipakai
sebagai sarana hiburan. Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk cerita yang hidup
dalam masyarakat yang tersebar secara lisan melalui mulut ke mulut. Cerita Rakyat
Kyai Ageng Sutawijaya di Desa Majasto, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten
Sukoharjo merupakan cerita yang banyak mengandung fungsi yang dapat di ambil
dan diaplikasikan untuk kehidupan sehari-hari. Beberapa fungsi tersebut antara lain
sebagai hiburan untuk masyarakat sekitar. Dalam kehidupan masyarakat Desa
Majasto, Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya sering dijadikan sebagai sarana
72
hiburan untuk anak cucu mereka, yaitu dengan cara menceritakan kisah Kyai Ageng
Sutawijaya kepada anak cucu pada waktu mereka istirahat atau sebelum tidur,
sehingga mereka akan merasa terhibur hatinya ketika menikmati atau mendengar
cerita tersebut.
Banyak ajaran yang dapat diambil dari cerita Eyang Sutawijaya ini mas. Kebanyakan warga Desa Majasto dan sekitarnya memanfaatkan cerita tersebut sebagai dongeng sebelum tidur untuk anak-anaknya mas. Sekaligus mereka dapat menyampaikan sedikit-sedikit ajaran yang dapat di ambil dari serita tersebut. (Bapak Lurah Desa Majasto)
7. Sebagai Sarana Menambah Pendapatan Masyarakat
Makam Kyai Ageng Sutawijaya membererikan berkah bagi mereka yang
menjadikan tempat untuk mencari nafkah. Meskipun di area makam Bumi Arum
Majasto tidak diperbolehkan untuk berjualan karena dapat mengganggu, para warga
masih tetap bisa memanfaatkan situasi dengan melakukan kegiatan berdagang di
bawah makam atau di depan makam. Mereka dapat menjajakan barang daganganya
seperti membuka warung makan, menjual rokok dan sebagainya. Namun ada juga
yang memilih untuk membuka tempat penitipan sepeda. Dengan demikian, Makam
Kyai Ageng Sutawijaya dapat berfungsi sebagai sarana menambah pendapatan
masyarakat, khususnya masyarakat di sekitar makam.
8. Meningkatkan Etos Kerja
Makam Kyai Ageng Sutawijaya adalah suatu tempat yang memberikan
semangat danharapan bagi mereka yang meyakini untuk menenangkan diri dan
berusaha mendapatkan perubahan hidup lebih baik. Mereka menjadi lebih ulet dan
pantang menyerah untuk bekerja karena mereka tahu bahwa Makam Kyai Ageng
73
Sutawijaya memberikan perubahan yang lebih baik. Kemudian yang terpenting
adalah mendapatkan kepercayaan diri tanpa mengesampingkan Tuhan Yang Maha
Esa.
niatan seseorang itu berbeda-beda ya mas, namun saya datang kesini tidak ada niatan untuk menyekutuan Allah atau syirik mas, namun saya kesini berkeyakinan bahwa Eyang Sutawijaya merupakan perantara untuk saya berdoa meminta kepada Tuhan mas. Saya berdoa agar keluarga saya diberi keselamatan serta beli jalan rejeki untuk keluarga saya.” Bapak Tugimin(Pengunjung)
D. Makna /Penghayatan Masyarakat
Cerita rakyat adalah suatu karya sastra yang lahir dan berkembang dalam
masyarakat tradisional dan disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam
bentuk baku disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup
lama.Cerita rakyat yang dihayati dengan baik akan memberikan kegunaan, fungsi,
dan pelajaran yang baik untuk menambah wawasan masyarakat dari generasi
kegenerasi. Keunggulan cerita rakyat menjadi berkurang karena sifatnya yang lisan
dan turun-temurun, tidak ada dokumen tertulis terkait cerita tersebut.
Pengungkapan dan penilaian suatu karya sastra tidaklah mudah. Suatu karya
sastra sangat berhubungan dengan pembaca atau penikmat, sebab karya sastra
merupakn ungkapan imajunasi pengarang dan pembaca yang menentukan makna dan
nilai yang terkadang dalam karya sastra. seperti pendapat Yunus (1993:1) yang
berpendapat bahwa kesanggupan seseorang memahami penafsiran pertama kali dapat
dilihat pada kesanggupan untuk meringkas isi karya sastra. jadi karya sastra dapat
dipakai sebagai salah satu jembatan untuk memahami suatu kenyataan social yang
terdapat dalam suatu masyarakat.
74
Karya sastra dan pembaca merupakan satu kesatuan yang saling
berhubungan. Kesadaran pembaca yang memberikan interpretasi tentang karya sastra
itu sangat diperlukan adanya sebuah penelitian tentang teks. Pembicaraan tentang
kasusastraan tidak aka nada apabila tidak ada sebuah karya sastra. jadi dalam hal ini
kedudukan karya sastra penting sebagai produk yang dinikmati serta dihayati oleh
masyarakat.
Penghayatan masyarakat yang di maksudkan adalah pembaca atau
masyarakat yang memberikan reaksi atau tanggapan terhadap karya sastra yang
dihayatinya dalam hal ini karya sastra adalah cerita rakyat Kyai Ageng Sutawijaya.
Cerita rakyat Kyai Ageng Sutawijaya adalah karya sastra yang berbentuk lisan
disebarkan dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi berikutnya, sehingga
warisan lama yang berbentuk cerita rakyat itu dalam penghayatan masyarakat akan
berbeda-beda. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kondisi social budaya
masyarakat yang beraneka ragam seperti tingat pendidikan, status social dalam
masyarakat, faktor usia, dan lain-lain. Dengan keikutsertaan masyarakat pembaca
atau penikmat, maka cerita rakyat tersebut dapat hidup dan bertahan selama
masyarakat pembaca menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat ini.
Karena masyarakat pendukung sudah mengetahui apakan nilai-nilai dalam suatu
cerita rakyat untuk diterapkan dalam kehidupan bermasarakat.
Penghayatan masyarakat, khususnya masyarakat Desa Masjasto terhadap
Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya dapat mencerminkan pola pikir masyarakat di
sana. Penghayatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap Cerita Rakyat Kyai
Ageng Sutawijaya, dapat berguna bagi generasi muda pada masa sekarang ini dan
75
generasi muda yang akan datang. Dengan mengambil nilai-nilai moral kehidupan
dalam cerita tersebut. Pengungkapan dan penilaian suatu karya
Masyarakat terdiri dari berbagai macam kepribadian, dan memiliki sudut
pandang masing-masing. Hal ini tentulah berpengaruh pada penghayatan masyarakat
terkait makna Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya. Faktor-faktor yang dapat
membedakan penghayatan masyarakat.
1. Faktor Pendidikan
Faktor pendidikan mempengaruhi penghayatan masyarakat terkait Cerita
Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya. Masyarakat Desa Majasto sebagain besar memang
sudah mengenyam pendidikan baik itu pendidikan Sekolah Dasar, Menengah
Pertama, Menengah Atas, bahkan ada yang sampai perguruan tinggi. Namun, ada
beberapa orang yang ternyata tidak mengenyam pendidikan formal. Hal ini kemudian
berpengaruh pada penghayatan masyarakat terkait Cerita Rakyat Kyai Ageng
Sutawijaya, perbedaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Tidak mengeyam pendidikan formal
Masyarakat Desa Majasto yang tidak mengenyam pendidikan formal memiliki
pola pikir yang masih lugu. Mereka masih sangat mempercayai Cerita Rakyat sebagai
suatu cerita sejarah yang harus diceritakan secara turun temurun. Mereka
menganggap Kyai Ageng Sutawiya adalah orang besar yang sangat mempengaruhi
kehidupan masyarakat Desa Majasto tempo dulu. Sehingga mereka masih sangat
menghormati dan meneladani sosok Kyai Ageng Sutawijaya. selain itumereka
memaknai bahwa cerita rakyat Kyai Ageng Sutawijaya merupakan suatu cerita yang
76
benar-benar terjadi serta tokoh dalam cerita yaitu Kyai Ageng Sutawijaya yang
benar-benar mereka segani, sampai sekarang makam Kyai Ageng Sutawijaya masih
di anggap sakral.
b. Mengenyem pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah
Sebagian besar masyarakat Desa Majasto hanya berpendidikan SD dan
SLTP/SMP, hal ini juga mempengaruhi tingkat penghayatan masyarkat terkait
dengan Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya. Masyarakat yang sudah mengenyam
pendidikan paling tidak SD ataupun SLTP sudah bisa membaca, menulis dan
berhitung. Sehingga masyarakat memaknai Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya
tidak lagi sepenuhnya dipercaya sebagai cerita sejarah. Cerita menjadi cerita dongeng
yang digunakan sebagai suri tauladan untuk anak cucu mereka. Akan tetapi mereka
masih mempercayai mitos-mitos yang ada, sebisa mungkin tidak melanggar hal
tersebut.
c. Mengeyam Pendidikan Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi
Sebagian kecil masyarakat Desa Majasto sudah mengenyam pendidikan
Sekolah Menengah Atas bahkan ada yang lulus perguruan tinggi. Tentu saja, pola
pikir mereka berbeda jauh dengan pola pikir masyarakat yang masih rendah tingkat
pendidikannya. Dalam hal kepercayaan masyarakat mengenai Cerita Rakyat Kyai
Ageng Sutawijaya, masyarakat yang sudah menempuh pendidikan tinggi
mengganggap bahwa Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya adalah sebuah
dongengan turun-temurun yang menciptakan kultur dimasyarakat Desa Majasto.
Kultur itulah yang harus terus dijalankan sebagai bentuk pelestarian budaya masa
77
lampau sehingga dapat dijadikan sebagai asset untuk bangsa ini. Cerita Rakyat Kyai
Ageng dianggap sebagai salah satu kekayaan lokal genius bangsa Indonesia,
khusunya untuk masyarak Jawa.
2. Faktor Agama dan Religi
Faktor agama dan religi kepercayaan berpengaruh terhadap penghayatan suatu
cerita rakyat. Masyarakat Desa Majasto masih percaya dengan Cerita Rakyat Kyai
Ageng Sutawijaya, dan percaya dengan sejarah leluhur serta tempat yang di anggap
keramat seperti makam Kyai Ageng Sutawijaya. Mereka menganggap bahwa apa
yang mereka lakukan adalah sesuatu perbuatan tidak musyrik atau menyekutukan
Allah SWT. Kepercayaan masyarakat terhadap cerita rakyat di anggap sebagai suatu
media untuk lebih mendekatkan diri pada yang MahaKuasa. Faktor agama dan religi
membawa mereka beranggapan bahwa perubahan nilai agama atau religi dengan
budaya adat istiadat (tradisi) sama-sama dipertahankan. Namun ada sebagian
masyarakat Desa Majasto yang sudah tidak mempercayai atau menganggap bahwa
mempercayai suatu cerita rakyat merupakan hal yang di anggap musyrik. Perbedaan
pendapat dan pemahaman membuat adanya dua kepercayaan dan penghayatan
masyarakat terhadap Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya.
3. Berdasarkan Kelompok Usia
Penghayatan masyarakat terhadap Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya
mengalami perbedaan dan perubahan. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi usia antara
lain sebagai berikut.
78
a. Usia 14-30 (Golongan Muda)
Penghayatan terhadap Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya oleh golongan
muda mengalami sedikit perubahan namun meski begitu,mayoritas golongan muda
masyarakat Majasto masih mempercayai bahwa cerita tersebut memang pernah ada.
Namun tidak semua masyarakat dari golongan muda yang mengerti mendalam
tentang Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya. Hal tersebut dikarenakan golongan
muda termasuk masyarakat modern dan tidak terlalu mau tahu akan sejarah leluhur.
Sebagian golongan muda hanya mengetahui bahwa dahulu Kyai Ageng Sutawijaya
menyebarkan agama Islam sampai beliau dimakamkan di Makam Bumi Arum
Majasto.
b. Usia 30tahun keatas (Golongan Tua)
Penghayatan masyarakat Majasto golongan tua terhadap Cerita Rakyat Kyai
Ageng Sutawijaya masih percaya bahwa Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya
benar-benar terjadi pada masa lampau. Masyarakat pada golongan ini masih
menghormati serta menjalankan tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun
dari nenek moyang terdahulu. Tradisi yang masih berlangsung sampai saat ini adalah
tradisi upacara Sadranan. Sampai saat ini masyarakat golongan tua masih
mempertahankan warisan leluhur. Bahkan pada saat bulan puasa banyak yang datang
dari masyarakat golongan tua untuk mengaji dan mendoakan para leluhur khusunya
Kyai Ageng Sutawijaya.
saya tingal di Desa Majasto sudah dari kecil mas. Dari dulu saya sudah mengetahui tentang cerita Eyang Sutawijaya. saya sangat percaya bahwa Eyang Sutawijaya merupakan sesepuh desa sini yang pernah mengislamkan para warga
79
desa dimasa lampau. Dan sampai sekarang masih banyak entah warga Desa Majasto ataupun warga dari luar Desa Majasto yang masih mendatangi Makam Desa Majasto. Entah hanya untuk berziarah, berdoa ataupun meminta sesuatu. Yang jelas masih banyak yang menganggap bahwa makam Eyang Sutawijaya merupakan makam yang masih sakral. Bapak Yoga (Perangkat Desa)
4. Berdasarkan kelompok Profesi
Cerita Cakyat Kyai Ageng Sutawijaya di Desa Majasto, Kecamatan
Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo merupakan cerita rakyat yang diwariskan secara
turun-temurun dari mulut ke mulut. Sampai sekarang Cerita Rakyat Kyai Ageng
Sutawijaya masih dipercaya oleh sebagaian besar masyarakat Desa Majasto,
khususnya. Meskipun demikian, terdapat berbagai tanggapan yang berbeda-beda
mengenai Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya. Misalnya berdasarkan kelompok
profesi yang di antaranya petani san swasta.
a. Petani
Kabupaten Sukoharjo mempunyai area persawahan dari total luas desa
sekitar 409.67 hektar. Dengan demikian tidak heran bahwa sebagaian besar
masyarakat Desa Majasto berprofesi sebagai petani. Tanggapan serta penghayatan
masyarakat Desa Majasto yang bermata pencaharian sebagai petani kebanyakan
mempunyai tanggapan serta penghayatan yang sama. Kebanyakan masyarakat Desa
Majasto yang berprofesi sebagi petani masih mempercayai akan Cerita Rakyat Kyai
Ageng Sutawijaya. Serta masih mempertahankan warisan nenek moyang dengan
cara mengikuti tradisi Upacara Sadranan settiap tahunnya. Masyarakat dari
golongan petani sangat antusias mengikuti tradisi Upacara Sadranan. Selain untuk
sarana silaturohmi sesama warga tradisi Sadranan di anggap suatu tradisi yang
80
wajib dilakukan setiap tahunnya. Sebagian besar dari mereka menganggap bahwa
leluhur yang sudah tidak ada tetap masih harus di hormati serta di doakan.
b. Swasta
Penghayatan masyarakat Desa Majasto yang bermata pencaharian sebagai
pegawai swasta ataupun karyawan, sebagian besar dari mereka percaya dan yakin
akan Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya. Banyak masyarakat Desa Majasto yang
merantau datang mengunjungi makam Kyai Ageng Sutawijaya untuk berziarah serta
mendoakan beliau. Dan tidak sedikit masyarakat dari golongan swasta datang untuk
memohon doa restu agar diberi kelancaran dalam mereka mencari nafkah. Namun
hal tersebut tanpa mengkesampingkan bahwa yang sesungguhnya mengabulkan doa
mereka adalah Allah SWT. Masyarakat Desa Majasto yang bermatapencarian
pagawai swasta memaknai bahwa Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya bukanlah
hanya sekedar cerita dongeng saja, namun mereka menganggap bahwa cerita
tersebut adalah cerita yang memang benar di alami oleh nenek moyang mereka
yaitu Kyai Ageng Sutawijaya, mereka mengangap bahwa berdoa di makam Kyai
Ageng Sutawijaya bukanlah sebuah tindakan menyekutukan Tuhan, namun
merupakan perantara untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
E. Mitos
Cerita rakyat yang di wariskan kepada masyarakat secara lisan dari satu
generasi ke generasi berikutnya mempunyai kelemahan karena tidak mempunyai
dokumen tertulis atau rekaman. Kondisi tersebut ada proses lupa diri manusia
81
sehingga dapat menjadi versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda-beda. Cerita
rakyat bersifat tradisional yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam
bentuk standar. Disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.
Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya seperti halnya cerita rakyat yang lain
identik dengan mitos-mitos yang menjadi kekuatan budaya. Mitos ini juga tidak
terlepas dari kehidupan manusia, meskipun kebenaran mitos ini belum tentu
memberikan jaminan dan bisa dipertanggungjawabkan. Kebenaran mitos diperolah
tanpa suatu penelitian, tetapi hanya berdasarkan anggapan dan kepercayaan semata.
Mitos bukan suatu pembuktian kebenaran, tetapi yang lebih diperhatikan dan yang
terpenting adalah hasil akhir atau akibat adanya mitos. Warga Desa Majasto masih
hidup dalam tradisi dan masih mempercayai adanya mitos. Mitos-mitos yang ada
dalam cerita rakyat Kyai Ageng Sutawijaya antara lain.
1. Mitos melaksanakan sadranan
Mitos menceritakan tentang kejadian, bumi, langit, manusia, dewa dan
upacara-upacara yang berhubungan erat dengan kepercayaan dan
keagamaan manusia di dunia ini. Mitos tidak hanya sekedar laporam dari
peristiwa yang terjadi saja, tetapi juga mengenai upacara-upacara tentang
dunia gaib sekitar, tentang dewa bahkan mitos memberikan arah kelakuan
manusia dan merupakan pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Mitos
member kesadaran pada manusia bahkan dalam alam semesta itu ada
kekuatan-kekuatan gaib. Mitos akan menggambarkan kekuatan bahwa
dunia kayak akan cerita yang mengandung unsure filsafat yang dalam,
adat istiadat yang beraneka ragam. Namun sebenarnya dunia penuh
82
dengan cerita-cerita mistis dan upacara adat yang berfungsi menangkis
mara bahaya dan menahan kesukaran hidup yang terjadi didunia ini.
Mitos itu pula yang menyertai dengan upacara sadranan yang
dilakukan masyarakat Desa Majasto. Sadranan dilakukan setiap setahun
sekali yaitu biasa dilakukan sebelum bulan ramadhan. masyarakat
meyakini bahwa selain untuk berziarah dan mendoakan para leluhur
mereka, kebiasaan atau rutinitas semacam ini masih dilakukan dan
dipercayai masyarakat Desa Majasto dan mereka percaya apabila
dilakukan upacara sadranan sebagai rasa bersyukur atas segala yang
mereka dapatkan, mulai dari panen yang melimpah hingga kelancaran
kelangsungan hidup yang mereka jalani.
2. Mitos pemakaman dengan kedalaman makam hanya 50cm
Mitos memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan
gaib, serta membantu manusia agar dapat menghayati data-daya gaib
sebagai suatu kekuatan yang membengaruhi dan menguasai alam
kehidupan. Mitos pemakaman dengan kedalaman makam hanya 50cm ini
sudah dilakukan oleh masyarakat sekitar Desa Majasto secara turun
temurun. Tidak ada yang mengetahui asal mitos ini. Namun meski
kedalaman makam hanya setengah meter saja, makam tersebut tidak
berbau. Komlek makam Bumi arum merupakan tempat munculnya mitos
yang berkembang di masyarakat, dan sampai sekarang masyarakat masih
percaya dan masih melaksanakannya.
83
3. Mitos orang yang masuk ke komlek makam Bumi Arum tidak boleh
melakukan hal yang tidak senonoh.
Mitos bahwa pengunjung yang masuk didalam komlek makam Bumi
Arum tentu saja harus menjaga sikap dan tidak berbuat hal-hal yang tidak
sepantasnya misalnya melakukan perzinahan, masyarakat mempercayai
bahwa makam Bumi Arum adalah tempat yang dianggap suci, selain itu
makam juga di anggap tempat untuk meditasi. Mitos ini masih sangat
dipercaya oleh warga masyarakat Desa Majasto, Kecamatan Tawangsari,
Kabupaten Sukoharjo sebagai wujud penghormatan apabila mitos ini
dilanggar maka akan terjadi sesuatu dengan orang tersebut.