BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Luka
2.1.1 Pengertian
Luka atau vulnera adalah hilangnya kontinuitas dari jaringan tubuh baik pada
kulit, membran mukosa, otot dan saraf. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda
tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, sengatan listrik, atau gigitan hewan
(Mansjoer, 2005).
Penyembuhan luka yang normal memerlukan suatu rangkaian peristiwa yang
kompleks yang terjadi secara simultan pada jaringan epidermis, dermis dan subkutis, itu
suatu yang mudah membedakan penyembuhan pada epidermis dengan penyembuhan
pada dermis dan perlu diingat bahwa peristiwa itu terjadi pada saat yang bersamaan.
Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan luka yang
dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodelling jaringan
yang bertujuan untuk menggabungkan bagian luka dan mengembalikan fungsinya.
Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
b. Respon stres simpatis
c. Perdarahan dan pembekuan darah
d. Kontaminasi bakteri
e. Kematian sel
2.1.2 Klasifikasi Luka
Jenis-jenis luka dapat dibagi atas dua bagian, yaitu luka terbuka dan luka tertutup
(Mansjoer, 2005)
4
5
a.Luka terbuka; terbagi pada luka tajam dan luka tumpul
1. Luka tajam
a. Vulnus scissum adalah luka sayat atau luka iris yang ditandai dengan tepi luka
berupa garis lurus dan beraturan.
b. Vulnus ictum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang
biasanya kedalaman luka lebih daripada lebarnya.
2. Luka tumpul
a. Luka tusuk tumpul
b. Vulnus sclopetorum atau luka karena peluru (tembakan).
c. Vulnus laceratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan,
biasanya oleh karena tarikan atau goresan benda tumpul.
d. Vulnus penetratum
e. Vulnus avulsi
f. Fraktur terbuka
g. Vulnus caninum adalah luka karena gigitan binatang.
b. Luka Tertutup
1. Ekskoriasi atau luka lecet atau gores adalah cedera pada permukaan epidermis
akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing.
2. Vulnus contussum ( luka memar ); di sini kulit tidak apa-apa, pembuluh darah
subkutan dapat rusak, sehingga terjadi hematom. Bila hematom kecil, maka ia
akan diserap oleh jaringan sekitarnya. Bila hematom besar, maka penyembuhan
berjalan lambat.
3. Bulla akibat luka bakar
4. Hematoma
5. Sprain ; kerusakan (laesi) pd ligamen- ligamen / kapsul sendi
6
6. Dislokasi ; terjadi pada sendi- sendi, hubungan tulang - tulang di sendi lepas /
menjadi tdk normal sebagian
7. Fraktur tertutup
8. Laserasi organ interna/ Vulnus traumaticum; terjadi di dalam tubuh, tetapi tidak
tampak dari luar. Dapat memberikan tanda-tanda dari hematom hingga
gangguan sistem tubuh. Bila melibatkan organ vital, maka penderita dapat
meninggal mendadak (Mansjoer, 2005)..
2.1.3. Jenis-Jenis Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka dapat terjadi secara :
a. Per Primam
Yaitu penyembuhan yang terjadi setelah segera diusahakan bertautnya tepi luka
biasanya dengan jahitan. Luka-luka yang bersih sembuh dengan cara ini, misalnya
luka operasi dan luka kecil yang bersih. Penyembuhannya tanpa komplikasi,
penyembuhan dengan cara ini berjalan cepat dan hasilnya secara kosmetis baik.
Fase-fase penyembuhan luka :
1) fase perlekatan luka, terjadi karena adanya fibrinogen dan limfosit, dan terjadi
dalam 24 jam pertama.
2) fase aseptik peradangan, terjadi kalor, dolor, rubor, tumor dan functio laesa,
pembuluh darah melebar dan leukosit serum melebar, sehingga terjadi edema. Terjadi
setelah 24 jam.
3) fase pembersihan ( initial phase ), karena edema, leukosit banyak keluar untuk
memfagositosis jaringan yang telah mati.
4) fase proliferasi, pada hari ketiga, fibroblas dan kapiler menutup luka bersama
jaringan kolagen dan makrofag. Semua ini membentuk jaringan granulasi. Terjadi
penutupan luka, kemudian terjadi epitelisasi. Pada hari ketujuh penyembuhan luka
7
telah bagus. Berdasarkan hal ini pada luka bersih, (kecuali pada daerah yang banyak
bergerak) jahitan dibuka minimal pada hari ke-7 (Mansjoer, 2005).
3. Fase remodelling
a. Kolagen
Fase terakhir dan terlama dalam penyembuhan luka yaitu remodeling. Dapat
berlangsung berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Proses
utama yang terjadi yaitu remodelling kolagen yang dinamis dan pematangan jaringan
parut. Penyimpanan kolagen pada hampir semua jaringan, termasuk luka merupakan
keseimbangan antara aktivitas dan sintesis kolagen, dimana produksi dan degradasi
ini berjalan terus menerus.
Remodelling kolagen selama fase ini bergantung pada berlangsungnya sintesis
kolagen, dan adanya destruksi kolagen. Kolagenase dan matriks metalloproteinase
(MMPs) terdapat pada luka untuk membantu pembuangan kolagen berlebihan pada
sintesis kolagen baru yang berlangsung lama. Penghambat jaringan metalloproteinase
membatasi enzim kolagenase ini sehingga terdapat keseimbangan antara pembentukan
kolagen baru dan pembuangan kolagen lama.
Selama remodelling, fibronektin secara bertahap dan asam hyaluronat dan
glikosaminoglikan akan digantikan proteoglikan. Kolagen tipe III digantikan oleh
kolagen tipe I. Cairan diabsorbsi dari jaringan parut.
Fase remodelling atau fase resorbsi dapat berlangsung berbulan-bulan.
Dikatakan berakhir bila tanda-tanda radang sudah menghilang. Parut dan sekitarnya
berwarna pucat, tipis, lemas dan tidak ada rasa sakit maupun gatal. Di sini proses
kontraksi parut kelihatan dominan.
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali
jaringan yang lebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi dan akhirnya perupaan
8
kembali jaringan yang baru terbentuk. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua
yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel-sel radang
diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali,
kolagen yang berlebihan diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan kira-
kira 80% kemampuan kulit normal Hal ini kira-kira terjadi 3 - 6 bulan setelah
penyembuhan.
b. Sitokin
Sitokin memungkinkan berjalannya seluruh komunikasi untuk interaksi antar
sel. Mereka mungkin juga berperan penting dalam jalur farmakologis klinis
diberbagai tempat penatalaksanaan penyembuhan luka. Misalnya, sitokin tampaknya
mengatur peranan dan pengaturan fibrosis, penyembuhan luka kronik, cangkokan
kulit, vaskularisasi, peningkatan kekuatan tendon dan barangkali juga mengendalikan
proses keganasan. Sitokin merupakan protein non antibodi yang dilepaskan dari
beberapa sel dan berfungsi sebagai mediator intraseluler. Sitokin terdiri dari limfokin
dan interleukin.
FGF dasar (faktor pertumbuhan fibroblast) merupakan sitokin lain yang terikat
pada heparin dan glikosaminoglikan yang mirip heparin. Sitokin ini merupakan suatu
factor angiogenik yang kuat, menyebabkan migrasi sel epitel yang makin banyak, dan
mempercepat kontraksi luka.
EGF (faktor pertumbuhan epidermis) adalah sitokin yang merangsang migrasi
dan mitosis epitel. Sitokin ini dilaporkan dapat mempercepat reepitelisasi lokasi donor
luka bakar.
b. Per Secundam
Proses penyembuhan ini terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini
biasanya tetap terbuka. Dapat dijumpai pada luka-luka dengan kehilangan jaringan,
9
terkontaminasi/terinfeksi. Penyembuhan dimulai dari lapisan dalam dengan
pembentukan jaringan granulasi. Tujuan ini diperoleh dengan pembentukan jaringan
granulasi dan kontraksi luka.
c. Per tertiam atau per primam tertunda
Disebut pula delayed primary closure. Terjadi pada luka yang dibiarkan
terbuka karena adanya kontaminasi, kemudian setelah tidak ada tanda-tanda infeksi
dan granulasi telah baik, baru dilakukan jahitan sekunder (secondary suture), setelah
tindakan debridemen, dan diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4 - 7 hari)
(Mansjoer, 2005).
2.1.3.1 Penyembuhan Luka Abnormal
Keloid dan jaringan parut hipertropi.
Keloid adalah pertumbuhan yang berlebihan dari jaringan fibrosa padat yang biasanya
terbentuk setelah penyembuhan luka pada kulit. Jaringan ini meluas melewati batas luka
sebelumnya dan tidak mengalami regresi spontan dan cenderung tumbuh kembali setelah
dilakukan eksisi. Keloid sulit dibedakan dengan scar hipertrofi, tetapi pada scar
hipertrofik jaringan parut tidak meluas melampaui batas luka sebelumnya dan mengalami
regresi spontan.
Beberapa faktor yang berpengaruh pada timbulnya keloid sebagai berikut:
1. Herediter dan ras: pada bangsa negro lebih sering terjadi dibanding bangsa berkulit
putih
2. Umur dan faktor endokrin : keloid sering timbul pada usia muda, perempuan dan
kehamilan.
3. Jenis luka : keloid sering terjadi setelah adanya luka trauma karena bahan kimia,
misalnya luka bakar, juga oleh proses peradangan yang lama sembuh.
10
4. Lokasi trauma : luka dan peradangan yang terjadi di daerah presterna, kepala, leher,
bahu dan tungkai bawah lebih mudah terjadi keloid (Mansjoer, 2005).
2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
a. Faktor lokal:
1. Besar/lebar luka
Luka lebar atau besar biasanya sembuh lebih lambat dari luka kecil
2. Lokalisasi luka
Luka-luka yang terdapat di daerah dengan vaskularisasi baik (kepala dan
wajah) sembuh lebih cepat daripada luka yang berada di daerah dengan
vaskularisasi sedikit/buruk. Luka-luka di daerah banyak pergerakan (sendi
sendi) sembuh lebih lambat daripada di daerah yang sedikit/tidak bergerak
3. Kebersihan luka
Luka bersih sembuh lebih cepat dari luka kotor
4. Bentuk luka
Luka dengan bentuk sederhana sembuh lebih cepat. Misalnya vulnus
ekskorisio atau vulnus scissum sembuh lebih cepat dari vulnus laceratum.
5. Infeksi
Luka terinfeksi sembuh lebih sulit dan lama.
6. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya
sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh
darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan
lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah
dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang menderita gangguan
pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan
11
menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada
perokok. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan
menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
7. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara
bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan
yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga
menghambat proses penyembuhan luka.
8. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan
terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari
serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu
cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus”).
9. Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah
pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat
dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu
adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
10. Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik
mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat
seseorang rentan terhadap infeksi luka.
a) Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera.
b) Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan.
12
c) Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab
kontaminasi yang spesifik.
d) Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat
koagulasi intravaskular (Mansjoer, 2005).
b. Faktor umum:
1. Usia pasien
Pada anak-anak dan orang muda luka sembuh lebih cepat dibandingkan pada
orangtua.
2. Keadaan gizi
Pada penderita dengan gangguan gizi misalnya malnutrisi, defisiensi dan
avitaminosis vitamin tertentu, anemia, kaheksia, dan sebagainya, luka sembuh
lebih lambat.
3. Penyakit penderita
Pada penderita dengan penyakit tertentu misalnya diabetes militus, terutama yang
tak terkendali, luka sukar dan lambat sembuhnya (Mansjoer, 2005).
2.1.5 Komplikasi Penyembuhan Luka
Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan, dehiscence dan
eviscerasi, dan tromboplebitis (Harnawati,2008).
a. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan
atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelah
pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent, peningkatan
drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan
peningkatan jumlah sel darah putih.
b. Perdarahan
13
Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada
garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain).
Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawah
balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan
dan tiap 8 jam setelah itu.Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan
balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan
mungkin diperlukan.
c. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius.
Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi adalah
keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan,
kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan, muntah,
dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence
luka dapat terjadi 4–5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas di daerah luka.
Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan
steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera
dilakukan perbaikan pada daerah luka.
d. Tromboplebitis
Tromboplebitis post-op biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi. Bahaya
besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah
vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan
tromboplebitis yaitu latihan kaki post-operasi, ambulasi dini dan kaos kaki TED yang
dipakai klien sebelum mencoba ambulasi.
2.1.6 Intervensi Untuk Meningkatkan Penyembuhan :
a. Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin C
14
b. Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid
c. Pencegahan infeksi
d. Tanda dari penyembuhan luka bedah insisi :
e. Tidak ada perdarahan dan munculnya tepi bekuan di tepi luka.
f. Tepi luka akan didekatkan dan dijepit oleh fibrin dalam bekuan selama satu
atau beberapa jam setelah pembedahan ditutup.
g. Inflamasi (kemerahan dan bengkak) pada tepi luka selama 1 – 3 hari.
h. Penurunan inflamasi ketika bekuan mengecil.
i. Jaringan granulasi mulai mempertemukan daerah luka. Luka bertemu dan
menutup selama 7 – 10 hari. Peningkatan inflamasi digabungkan dengan panas
dan drainase mengindikasikan infeksi luka. Tepi luka tampak meradang dan
bengkak.
j. Pembentukan bekas luka.
k. Pembentukan kollagen mulai 4 hari setelah perlukan dan berlanjut sampai 6
bulan atau lebih.
l. Pengecilan ukuran bekas luka lebih satu periode atau setahun. Peningkatan
ukuran bekas luka menunjukkan pembentukan kelloid (Harnawati,2008).
2.1.7 Vulnus Scissum (Luka Sayat)
Perlukaan yang terjadi berupa suatu luka yang berbentuk garis. Sebagai penyebabnya
adalah suatu trauma tajam.
Luka post-op terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam akibat pembedahan.
Bedah adalah suatu tindakan penyembuhan penyakit dengan cara memotong atau mengiris
bagian tubuh yang sakit, yang biasa disebut operasi (Harnawati,2008).
15
Bedah atau pembedahan adalah spesialisasi dalam kedokteran yang mengobati
penyakit atau luka dengan operasi manual dan instrumen. Ahli bedah dapat merupakan
dokter, dokter gigi, atau dokter hewan yang memiliki spesialisasi dalam bidang ilmu bedah.
Penamaan pembedahan pada tubuh sesuai dengan lokasi bagian tubuh yang dilakukan
pembadahan (Harnawati, 2008) seperti :
a. Laparotomi
Adalah tindakan operasi pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah
digestif dan kandungan.
b. Mastektomi
Adalah pembedahan pada daerah mammae untuk pengangkatan Ca mammae maupun
fibro adenoma mammae dan gangguan payudara lain.
c. Appendiktomi
Adalah pengangkatan appendik yang mengalami peradangan.
d. Craniotomi
Adalah suatu jenis tindakan bedah dengan cara membuka batok kepala.
2.1.7.1 Komplikasi
Komplikasi pembedahan (Harnawati, 2008) :
a. Ventilasi paru tidak adekuat
b. Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, aritmia jantung
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
d. Gangguan rasa nyaman
2.1.7.2 Tujuan perawatan luka post-op
a. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan
b. Mempercepat penyembuhan
c. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi
16
d. Mempertahankan konsep diri pasien
e. Mempersiapkan pasien pulang
2.2 Konsep Dasar Nyeri
2.2.1 Pengertian
Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau potensial (Corwin J.E. dikutip Harnawati, 2008).
Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan lepasnya
bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamine, ion kalium,
bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier
dkk dikutip Harnawati, 2008).
2.2.2 Fisiologi Nyeri
Bagaimana nyeri merambat dan dipersepsikan oleh individu masih sepenuhnya belum
dimengerti. Tetapi, bisa tidaknya nyeri dirasakan dan hingga derajat mana nyeri tersenbut
mengganggu dipengaruhi oleh interaksi antara system algesia tubuh dan transmisi system
saraf serta interpretasi stimulus (Asmadi, 2008). Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima
oleh saraf-saraf perifer. Zta kimia (substansi P, bradikinin, prostaglandin) dilepaskan,
kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang
terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai implus elektro kimia
disepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang merima sinyal dari
seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak dimana
sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu
dihantarkan ke kortek, dimana intensitan dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri
dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord. Dibagian dorsal, zat kimia
17
seperti endorphin dilepaskan untuk mengurangi nyeri di daerah yang terluka (Taylor & LE
Mone, dikutip Harnawati, 2008).
Perjalanan nyeri (Nocicetive Pathway). Antara kerusakan jaringan (sebagai sumber
stimuli nyeri) sampai dirakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian proses
elektrofisiologik yang secara kolektif disebut sebagai nonsepsi (nociception).
2.2.3 Nosisepsi nyeri
Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada suatu nosisepsi, yakni transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi. (IASP Binhasyim 2008).
a. Transduksi
Merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri (noxious stimuli) dirubah
menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf (nerve ending).
Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi
nyeri).
b. Transmisi
Dalam proses ini terlihat tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer yang
meneruskan implus ke medulla spinalis,kemudian jaringan saraf yang meneruskan
implus yang menuju ke atas (ascendens), dari medulla spinalis ke batang otak dan
thalamus. Yang terakhir hubungan timbal balik antara thalamus dan kortek.
Dimaksudkan sebsgai penyaluran implus melalui saraf sensorik menyusul proses
transduksi. Implus akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai
neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalisdimana implus tersebut mengalami
modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai
neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya implus disalurkan ke daerah somatosensoris
18
di korteks serebri melalui neuron ketiga, dimana implus tersebut diterjemahkan dan
dirasakan sebagai persepsi nyeri.
c. Modulasi
Adalah proses dimana terjadi interaksi antara system analgesic endogen yang
dihasilkan oleh tubuh kita dengan imput nyeri yang masuk ke kornum posterior
medulla spinalis. Jadi merupakan proses acendern yang dikontrol oleh otak. System
analgesic endogen ini meliputi enkefalin, endorphin, serotonin, dan noradrenalin
memiliki efek yang dapat menekan implus pada kornum posterior medulla spinalis.
Kornum posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu yang dapat tertutup atau
terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh system analgesic endogen tersebut di
atas. Proses modulasio inilah yang dapat menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat
subjektif orang per orang.
d. Persepsi
Adalah hasil akhir dari proses interaksi yang komplek dan unik yang dimulai
dari proses transduksi, tranmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan
suatu perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. Proses implus
nyeri yang ditransmisikan hingga menimbulkan perasaan subjektif dari nyeri sama
sekali belum jelas. Sangat disayangkan karena nyeri secara mendasar merupakan
pengalaman subjektif sehingga tidak terhindarkan keterbatasan untuk memahaminya
(Dewanto dikutip Harnawati, 2008).
2.2.4 Teori Nyeri Gate Control
Teori gate control, teori yang diajukan MELZACK & WALL teori pengontrolan pintu
(Teori gate control). Teori ini lebih komprehensif dalam menjelaskan transmisi dan persepsi
nyeri. Dalam teori ini dijelaskan bahwa subtansi gelatinosa (SG) yaitu suatu area dari sel-sel
19
khusus pada bagian ujung dorsal serabut saraf sumsum tulang belakang yang mempunyai
peran sebagai mekanisme pintu gerbang. Mekanisme pintu gerbang ini dapat memodifikasi
dan merubah sensasi nyeri yang datang sebelum mereka sampai dikorteks serebri dan
menimbulkan persepsi nyeri. Untuk dapat memahami gate control harus dimengerti dahulu
tiga factor utama yang berinteraksi pada pintu gerbang (gate):
a) Reseptor nyeri dan serabut nyeri dan interaksinya dipintu gerbang.
b) Efek pada pintu gerbang elemen kognitif dan emosional yang juga disebutsebagai
system saraf pusat yang lebih tinggi.
c) Input neuron desendent dari batang otak.
Dua jenis serabut nyeri yang utama dalam mempelajari nyeri adalah serabut reseptor
dengan diameter kecil dan serabut reseptor nyeri dengan diameter besar. Serabut diameter
nyeri mentransmisikan semsasi nyeri yang keras yang mempunyai reseptor berupa ujung-
ujung saraf bebas dikulit dan struktur dalam seperti tendon, otot dan alat-alat dalam,
sedangkan serabut nyeri besar menstransmisikan sensasi sentuhan, getaran, suhu hangat dan
tekanan halus. Serabut-serabut diameter besar dan kecil di pintu gerbang merupakan
penyebab perubahan modulasi sensasi nyeri (Nugroho, 2008).
Ada tiga gambaran yang membantu untuk mendeterminasi seberapa banyak nyeri yang
diterima seseorang :
a. Input emosianal dan kognitif yang terus menerus berkaitan dengan stimulus nyeri.
b. Intensitas stimulus nyeri dalam arti jumlah serabut yang terstimulasi dan frekuensi
impuls.
c. Keseimbangan relative aktivitas serabut besar terhadap serabut kecil.
Gate control teori tergantung sel pada akar dorsal ganglia serabut besar secara dasar
mempunyai efek inhibitorterhadap persepsi nyeri. Serabut kecil secara dasar mempunyai efek
fasiliatif. Serabut besar bereaksi terhadap substansi gelatinosa dan strimulasionya. Stimulasi
20
ini mencegah transmisi dari sel T yang diperlukan terhadap persepsi nyeri. Serabut kecil
dapat mengatasi atau memodifikasi pengaruh serabut besar pada gelatinosa atau dapat secara
langsung menstimulasi sel T. Serabut besar dapat juga bereaksi secara langsung terhadap
mekanisme pemprosesan pusat otak. Sinyal-sinyal yang bersifat inhibitor atau fasiliatif. Bila
fasiliatif maka sebagai hasilnya adalah firing dari sel T yang menghasilkan persepsi nyeri dan
respon otot dan endokrin.
2.2.6 Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri menurut ( Harnawati, 2008):
a. Menurut Long C.B (1996, dikutip Harnawati, 2008) mengklasifikasikan nyeri
berdasarkan jenisnya, meliputi:
1. Nyeri akut
Nyeri yang berlansung tidak melebihi enam bulan, seserangan mendadak dari
sebab yang sudah diketahui dan daerah yang biasanya sudah diketahui, nyeri akut
ditandai dengan ketegangan otot, cemas yang keduanya akan meningkatkan persepsi
nyeri. Dengan awitan yang mendadak, intensitas ringan sampai berat, durasi singkat,
respon otonom frekuensi jantung meningkat, tekanan darah meningkat, dilatasi pupil
meningkat, aliran saliva menurun (mulut kering) komponen psikologis cemas
(Smeltzer & Bare, 2002).
2. Nyeri kronis
Nyeri yang berlangsung enam bulan atau lebih, suber nyeri tidak diketahui dan
tidak bisa ditentukan lokasinya. Sifat nyeri hilang dan timbul pada periode tertentu
nyeri menetap. Durasi lama, tidak terdapat respon otonom, komponen psikologis
mudah marah, menarik diri, tidur terganggu,nafsu makan menurun, libido menurun.
Seperti nyeri pada kanker, arthritis, neuralgia trigeminal.
21
b. Corwin J.E (1997, dikutip dari Harnawati, 2008) mengklasifikasikan nyeri
berdasarkan sumbernya meliputi :
1. Nyeri kulit
adalah nyeri yang dirasakan dikulit atau jaringan subkutis, misalnya nyeri
ketika tertusuk jarum atau lutut lecet, lokalisasi nyeri jelas disuatu dermatum.
2. Nyeri somatic
adalah nyeri dalam yang berasal dari tulang dan sendi, tendon, otot rangka dan
pembuluh darah dan tekanan saraf dalam, sifat nyeri lambat.
3. Nyeri Viseral
adalah nyeri dirongga abdomen atau thorak terlokalisasi jelas disuatu titik tapi
bisa dirujuk kebagian-bagian tubuh lain dan biasanya parah.
4. Nyeri Psikogenik
adalah nyeri yang timbul dari pikiran tanpa diketahui adanya temuan pada
fisik (Long, 1989 ; 229, dikutip dari Harnawati, 2008).
5. Nyeri Phatom Limb Pain
adalah nyeri yang dirasakan oleh individu pada salah satu ekstremitas yang
telah di amputasi (Long, 1989 ; 229, dikutip dari Harnawati, 2008).
2.2.7 Nyeri Pasca Bedah
Pembedahan merupakan suatu kekerasan atau trauma bagi penderita. Anastesi
maupun tindakan pembedahan menyebabkan kelainan yang dapat menimbulkan berbagai
keluhan dan gejala. Keluhan dan gejala yang sering dikemukakan adalah nyeri, demam,
takikardia, sesak nafas, mual, muntah dan memburuknya keadaan umum (Samsuhidajat,
dikutip dari Harnawati, 2008).
Para dokter dalam pengalamannya sering kali terkejut akan beratnya nyeri yang
dialami oleh pasien setelah pembedahan. Kendati pun tersedia obat-obat yang efektif, namun
22
nyeri pasca bedah tidak dapat diatasi dengan baik. Sekitar 50% pasien tetap mengalami nyeri
(Walsh, dikutip Harnawati, 2008).
Menurut Benedetti (1990 yang dikutip dari Harnawati, 2008) nyeri yang hebat
menstimulasi reaksi stress yang secara merugikan mempengaruhi system jantung dan imun.
Ketika impuls nyeri ditransmisikan, tegangan otot meningkat, seperti halnya pada
vasokontriksi local. Iskemia pada tempat yang sakit menyebabkan stimulasi lebih jauh dari
reseptor nyeri. Bila impuls yang menyakitkan ini menjalar secara sentral, aktivitas simpatis
diperberat, yang meningkatkan kebutuhan miokardium dan konsumsi oksigen. Penelitian
telah menunjukkan bahwa insufisiensi kardiovaskuler terjadi tiga kali lebih sering dan insiden
infeksi lima kali lebih besar pada individu dengan control nyeri yang buruk (Smeltzer &
Bare, 2002).
Pada luka operasi, analgesic sebaiknya diberikan dengan rencana sesuai dengan letak
dan sifat luka, bukan “diberikan kalau perlu”. Dosis yang diberikan pun bergantung pada
reaksi penderita (Samsuhidajat, dikutip dari Harnawati, 2008). Peredaan nyeri komplit pada
daerah dari insisi bedah dapat tidak terjadi selama beberapa minggu, tergantung pada ltak dan
sifat pembedahan. Namun demikian, perubahan posisi pasien, penggunaan distraksi,
pemasangan wash cloths dingin pada wajah, dan pemijatan pada punggung dengan lation
yang menyegarkan dapat sangat membantu dalam menghilangkan ketidak nyamanan
temporer dan meningkatkan medikasi lebih efektif ketika diberikan (Smeltzer & Bare, 2002).
2.2.8 Skala Nyeri
Menurut Smeltzer & Bare (2002) dikatakan bahwa tingkat intensitas nyeri dikaji
dengan skala intensitas yaitu :
23
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Keterangan :
0 : tidak ada nyeri 4-6 : nyeri sedang
1-3 : nyeri ringan 7-10 : nyeri berat
2.2.9 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri
Saat seseorang mengalami nyeri, banyak faktor yang dapat mempengaruhi nyeri yang
dirasakan dan cara mereka bereaksi terhadapnya. Faktor-faktor ini dapat meningkatkan
atau menurunkan persepsi nyeri pasien, toleransi terhadap nyeri dan mempengaruhi reaksi
terhadap nyeri (Le Mone & Burke dikutip Harnawati, 2008).
2.2.9.1 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain :
a) Pengalaman nyeri masa lalu
Skala intensitas nyeri deskriptif sederhana
Nyeri paling hebat
Nyeri sangat hebat
Nyeri hebatNyeri sedang
Nyeri ringan
Tidak ada nyeri
Skala intensitas nyeri numeric 0-10
Tidak ada nyeri
Nyeri ringan
Nyeri sedang
Nyeri berat
24
Lebih berpengalaman individu dengan nyeri yang dialami, makin takut individu
tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan oleh nyeri tersebut.
Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri akibatnya, ia ingin nyerinya
segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah reaksi ini hampir pasti terjadi
jika individu tersebut menerima peredaan nyeri yang tidak adekuat di masa lalu. Individu
dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui ketakutan peningkatan nyeri dan
pengobatannya tidak adekuat (Smeltzer & Bare, 2002).
b) Kecemasan
Hampir selalu ketika ada nyeri diantisipasi atau dialami secara langsung. Ia cenderung
meningkatkan intensitas nyeri yang dialami. Ancaman dari sesuatu yang tidak diketahui
lebih mengganggu dan menghasilkan kecemasan daripada ancaman dari sesuatu yang
telah dipersiapkan. Umumnya diyakini bahwa kecemasan akan meningkatkan nyeri,
mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaan. Namun, kecemasan yang relevan
atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri
(Smeltzer & Bare, 2002).
b) Umur
Umumnya lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses penuaan
dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Dilain pihak, normalnya
kondisi nyeri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai keluhan ringan pada
dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami perubahan neuro-fisiologi dan mungkin
mengalami penurunan persepsi sensori stimulus serta peningkatan ambang nyeri. Selain
itu, proses penyakit kronis yang lebih umum terjadi pada dewasa tua seperti penyakit
gangguan kardiovaskuler atau diabetes mellitus dapat mengganggu transmis impuls saraf
normal (Le Mone & Burke dikutip Harnawati, 2008).
d) Jenis kelamin
25
Pada tahun 1995, vallerand meninjau peneltian tentang nyeri pada wanita dan
mengusulkan implikasi untuk praktek klinik. Meskipun penelitian tidak menemukan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan nyerinya, pengobatan
ditemukan lebih sedikit pada perempuan. Perempuan lebih suka mengkomunikasikan rasa
sakitnya, sedangkan laki-laki menerima analgesic opioid lebih sering sebagai pengobatan
nyeri. (Taylor & Le Mone dikutip Harnawati, 2008).
e) Social budaya
Karena norma budaya mempengaruhi sebagian besar sikap, perilaku, dan nilai
keseharian kita, wajar jika dikatakan budaya mempengaruhi reaksi inidividu terhadap
nyeri. Bentuk ekspresi nyeri yang dihindari oleh satu budaya mungkin ditunjukkan oleh
f) Nilai agama
Pada beberapa agama, individu menganggap nyeri dan penderitaan sebagai cara
unutuk membersihkan dosa. Pemahaman ini membantu individu menghadapi nyeri dan
menjadi sumber kekuatan. Pasien dengan kepercayaan ini mungkin menolak analgesic
dan metode penyembuhan lainnya, karena akan mengurangi persembahan mereka (Taylor
& Le Mone dikutip Harnawati, 2008)
Pada beberapa pasien, kehadiaran keluarga yang dicintai atau teman bias
mengurangi8 rasa nyeri mereka, namun ada juga yang lebih suka menyendiri ketika
merasakan nyeri. Beberapa pasien menggunakan nyerinya untuk memperoleh perhatian
khusus dan pelayanan dari keluarganya (Taylor & Le Mone, dikutip Harnawati, 2008).
g) Lingkungan dan Dukungan Orang Terdekat
Lingkungan dan kegadiran dukungan keluarga juga dapat mempengaruhi nyeri
seseorang. Banyaknya orang yang merasa lingkungan pelayanan kesehatan yang asing,
26
khususnya cahaya, kebisingan, aktivitas yang sama di ruang keperawatan intensif, dapat
menambah nyeri yang dirasakan.
2.3 Konsep Dasar Distraksi Relaksasi
Distraksi relaksasi merupakan terapi non-farmakologis untuk membantu menurunkan
tingkat nyeri tanpa menggunakan obat-obatan. Selain itu distraksi-relaksasi merupakan terapi
yang efektif tanpa mebutuhkan biaya namun hanya membutuhkan konsentrasi pasien
merilekskan otot-otot yang tegang.
Memberikan terapi selain obat-obatan analgesic (Harnawati, 2008). Umumnya teknik
non-infasif yang merupakan peran independent perawat untuk menurunkan nyeri. Metode
pereda nyeri non-farmakologis biasanya mempunyai resiko yang sangat rendah. Meskipun
tindakan tersebut bukan merupakan pengganti untuk obat-obatan, tindakan tersebut mungkin
diperlukan atau sesuai untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa
detik atau menit. Dalam hal ini, terutama saat nyeri hebat yang berlangsung berjam-jam atau
berhari-hari, mengkombinasikan teknik non-farmakologis dengan obat-obatan mungkin cara
yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri. (Smeltzer & Bare, 2002)
2.3.1 Distraksi
Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada
nyeri, dapat menjadi strategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang
bertanggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya (Arntz dkk, 1991; Devine dkk, 1990
dikutip dari Smeltzer & Bare, 2002). Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri
dengan menstimulasi system control desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli
nyeri yang ditrasnmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien
untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri. Peredaan nyeri secara umum
meningkat dalam hubungan langsung dengan partisipasi aktif dengan individu, banyaknya
27
modalitas sensori yang dipakai dan minat individu dalam stimuli. Karenanya, stimuli
penglihatan, pendengaran, dan sentuhan mungkin akan efektif dalam menurunkan nyeri
dibanding stimuli satu indera saja. Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan monoton
sampai menggunakan aktivitas fisik dan mental yang sangat kompleks. Tidak semua pasien
mencapai peredaan melalui distraksi, terutama mereka yang dalam nyeri hebat, pasien
mungkin tidak dapat berkonsentrasi cukup baik untuk ikut serta dalam aktivitas fisik atau
mental yang kompleks.
Dengan distraksibernafas lambat dan berirama secara teratur dapat mengalihkan
respon nyeri yang dialami pasien stimuli nyeri yang disampaikan ke otak berkurang, dan
respon nyeri juga berkurang.
2.3.2 Relaksasi
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merilekskanketegangan otot yang menunjang nyeri (Smeltzer & bare, 2002). Beberapa
penelitian, bagaimanapun telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan
nyeri pasca operasi (Lorenti, 1991; Miller & perry, 1990 dikutip dari Smeltzer & Bare, 2002).
Ini mungkin karena relative kecilnya otot-otot skeletal dalam nyeri pasca operatif atau
kebutuhan pasien untuk melakukan teknik relaksasi tersebut agar efektif.
Teknik dapat dilakukan dengan kepala ditopang dalam posisi berbaring ataun duduk.
Hal utama yang paling dibutuhkan dalam pelaksanaan teknik relaksasi adalah klien dengan
posisi nyaman, klien dengan pikiran yang beristirahat dan lingkungan yang tenang (Asmadi,
2008). Teknik relaksasi banyak jenisnya salah satunya adalah teknik autogenic. Relaksasi ini
mudah dilakukan dan tidak beresiko. Prinsipnya klien harus mampu berkonsentrasi sambil
membaca mantra, doa, dzikir dalam hati, seiring dengan ekspirasi udara dalam paru (Asmadi,
2008).
28
2.3.2.1 Langkah-langkah melakukan relaksasi autogenic (Asmadi, 2008)
1. Persiapan sebelum latihan
a. Tubuh berbaring, kepala disanggah dengan bantal danmata terpejam.
b. Atur nafas, hingga nafas menjadi teratur.
c. Tarik nafas sekuat-kuatnya lalu buang secara perlahan-lahan sambil katakana
dalam hati “saya damai dan tenang”.
2. Langkah pertama memastikan berat
a. Fokuskan perhatian pada lengan dan bayangkan kedua lengan terasa berat,
selanjutnya bayangkan perlahan-lahan bayangkan kedua tangan terasa lentur dan
kendur, ringan sehingga terasa sangat ringan sekali sambil katakana “saya merasa
damai dan tenang sepenuhnya”.
b. Ulangi sebanyak 6 kali
c. Katakan dalam hati “saya merasa damai dan tenang”.
3. Langkah kedua merasakan kehangatan
a. Bayangkan darah mengalir keseluruh tubuh dan rasakan bahwa hangatnya aliran
darah seperti merasakan minuman yang hangat sambil mengatakan dalam diri
“saya merasa senang dan hangat”.
b. Ulangi sebanyak 6 kali.
c. Katakana dalam hati “saya merasa damai dan tenang”.
4. Langkah ketiga merasakan denyut jantung
a. Tempelkan tangan kanan pada dada kiri dan tangan kiri pada perut.
b. Bayangkan anda merasakan jantung berdenyut dengan teratur dan tenang sambil
katakan “jantung berdenyut teratur dan tenang”.
c. Ulangi sebanyak 6 kali.
d. Katakan dalam hati “saya merasa damai dan tenang”.
29
5. Langkah keempat latihan pernafasan
a. Posisi kedua tangan tidak berubah.
b. Katakan dalam hati “nafasku longgar dan tenang”.
c. Ulangi sebanyak 6 kali.
d. Katakan dalam hati “saya merasa damai dan tenang”.
6. Langkah kelima latihan abdomen
a. Posisi kedua tangan tidak berubah, rasakan pembuluh darah dalam perut mengalir
dengan teratur dan terasa hangat.
b. Katakana dalam hati “darah yang mengalir dalam perutku terasa hangat”.
c. Ulangi sebanyak 6 kali.
d. Katakana dalam hati “saya merasa damai dan tenang”.
7. Langkah keenam latihan kepala
a. Kedua tangan kembali pada posisi awal.
b. Katakana dalam hati “kepala saya terasa benar-benar dingin”.
c. Ulangi sebanyak 6 kali.
d. Katakana dalam hati “saya merasa damai dan tenang”.
8. Langkah ketujuh akhir latihan
Mengakhiri latihan relaksasi autogenic denganmelekatkan (mengepalkan) lengan
bersama dengan nafas dalam. Lalu buang nafas pelan-pelan ambil membuka mata.
Teknik relaksasi sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat,
berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dengan bernafas perlahan dan nyaman.
Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat
bersama setiap inhalasi dan ekshalasi. Nafas yang lambat berirama juga dapat
digunakan sabagai teknik distraksi. Hampir semua orang dengan nyeri kronis
mendapatkan manfaat dari metode-metode relaksasi.
KETERANGAN
: Diteliti
: Tidak diteliti
: Penghubung
30
2.4 Kerangka Konsep
Kerangka konseptual adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat dikomunikasikan
dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antara variable. Adapun kerangka
konseptual dalam penelitian ini adalah :
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Efektivitas Teknik Distraksi Dan RelaksasiTerhadap Penurunan Nyeri Pada Perawatan Luka Post-Op
Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Pengalaman nyeri
Kecemasan Umur Jenis kelamin Sosial budaya Nilai agama lingkungan
Teknik Distraksi
Manajemen nyeri
nyeri
Discontinuitas jaringan
Teknik Relaksasi
Rawat Luka
tubuh melepaskan mediator histamin, bradikinin, prostaglandin
pituitary
hipotalamus
Stimulus nyeri ke otak menurun
Menstimulasi system control
desendentenang
Frekuensi ritme α otak meningkat
Cerebral otak
Endorphin meningkat
Penurunan nyeri
Meredakan ketegangan
otot dan menenangkan system saraf
simpatik
Konsentrasi teralihkan
Pasien post operasi
31
2.5 Hipotesa
Hipotesa adalah jawaban sementara penelitian yang kebenarannya akan
dibuktikan dalam penelitian tersebut (Noto Atmojo,2002)
Ha : Ada pengaruh efektifitas teknik distraksi dan relaksasi pada perubahan intensitas
nyeri pada pasien post-op.