4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
Salah satu arsitektur jaringan saraf tiruan yang telah diterima dan
digunakan secara luas dalam penerapan teknologi jaringan saraf adalah jaringan
saraf tiruan dengan arsitektur umpan maju (feedforward neural networks) atau
dikenal juga sebagai jaringan saraf perambatan balik (backpropagation neural
networks) (Latief, Isnanto, & Setiyono). M. Fuad latief, R. Rizal Isnanto dan Budi
Setiyono dari jurusan teknik elektro UNDIP juga telah membuktikan bahwa
jaringan saraf tiruan (JST) perambatan balik merupakan salah satu bentuk JST
yang mampu mengenali pola aglutinasi dari hasil proses pemeriksaan golongan
darah dalam skripsinya yang berjudul “Implementasi Jaringan Syaraf Tiruan
Perambatan Balik Untuk Mendeteksi Golongan Darah Pada Manusia”.
Dalam makalah tersebut citra yang diolah adalah hasil pemotretan sel
darah dengan menggunakan kamera. Analisis citra menggunakan deteksi tepi
metode Prewitt. Jaringan syaraf tiruan perambatan-balik yang digunakan memakai
dua lapisan (layer). Variasi jumlah neuron yang akan dibandingkan pada jaringan
pertama adalah neuron lapisan tersembunyi pertama berjumlah 5 dan neuron
lapisan tersembunyi kedua adalah 1. Sedangkan jaringan kedua menggunakan
neuron lapisan tersembunyi pertama 10 dan neuron lapisan tersembunyi kedua
adalah 1. Jaringan ketiga menggunakan neuron lapisan tersembunyi pertama 15
dan neuron lapisan tersembunyi kedua adalah 1. Jaringan keempat menggunakan
neuron lapisan tersembunyi pertama 20 dan neuron lapisan tersembunyi kedua
adalah 1. Dari keempat variasi tersebut didapatkan jaringan yang memiliki nilai
MSE terkecil pada penelitian ini yaitu jaringan ketiga dengan menggunakan laju
pembelajaran 0,1 (Latief, Isnanto, & Setiyono).
Dari hasil pembelajaran jaringan saraf tiruan perambatan-balik didapatkan
kinerja keberhasilan 96,875% untuk mengenali pola penggumpalan golongan
5
darah baru yang tidak ikut proses pembelajaran jaringan (Latief, Isnanto, &
Setiyono)
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Darah
Darah adalah komponen penting dalam tubuh yang berfungsi sebagai: (a)
pembawa oksigen; (b) mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi; dan (c)
mekanisme hemostasis. Darah terdiri dari 2 komponen utama (Bakta, 2007):
1. Plasma darah: bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air,
elektrolit, dan protein darah
2. Butir-butir darah yang terdiri atas: (a) eritrosit (sel darah merah/red blood
cell); (b) leukosit (sel darah putih/white blood cell); dan trombosit (butir
pembeku/platelet).
Setiap sel darah merah merupakan cakram bikonkaf dengan diameter 7,2
mikron (𝜇) dan tebal 2,2 mikron. Sel-sel tersebut mengandung pigmen
hemoglobin (Hb) yang memungkinkan pengangkutan oksigen dalam peredaran
darah. Sel-sel itu juga mengandung enzim karbonik anhidrase yang berperan
penting dalam pengangkutan karbon dioksida. Hemoglobin merupakan senyawa
pigmen hem yang mengandung besi ferro, berikatan dengan protein globin. Setiap
molekul hemoglobin mengandung 4 atom besi ferro, satu atom di setiap kelompok
hem dan dapat berikatan dengan 4 molekul oksigen. Hemoglobin yang berikatan
oksigen disebut oksihemoglobin dan berwarna merah cerah. Hemoglobin tanpa
oksigen disebut deoksihemoglobin atau hemoglobin tereduksi dan berwarna biru
tua, hampir hitam (Green, 2008)
2.3 Dried Blood Spot (DBS)
Dried Blood Spot (DBS) adalah seluruh darah (whole blood) yang
dikumpulkan pada kertas filter (blood collection card) dan dikeringkan.
Digunakan untuk pengujian ulang di laboratorium referensi karena mudah
dikumpulkan, mudah disimpan dan mudah dalam pengangkutan(shipment)
(Green, 2008).
6
2.3.1 Anemia
Untuk mendapatkan pengertian tentang anemia maka perlu ditetapkan
definisi anemia (Bakta, 2007):
1. Anemia adalah kedaan dimana massa eritrosit dan/atau massa
hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.
2. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan dibawah normal kadar
hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit(packed red cell)
Batasan(cut off point) anemia berdasarkan standar referensi WHO adalah
sebagai berikut (World Health Organization, 1968):
Anak umur 6 bulan – 6 tahun hemoglobin < 11 g/100ml
Anak umur 6 – 14 tahun hemoglobin < 12 g/100ml
Laki-laki dewasa hemoglobin < 13 g/100ml
Perempuan dewasa tidak hamil hemoglobin < 12 g/100ml
Perempuan hamil hemoglobin < 11 g/100ml
Derajat anemia (Bakta, 2007):
1. Ringan sekali Hb 10 g/dl – cut off point
2. Ringan Hb 8 g/dl – Hb 9,9 g/dl
3. Sedang Hb 6 g/dl – Hb 7,9 g/dl
4. Berat Hb < 6 g/dl.
Kekurangan besi dalam makanan dapat menyebabkan anemia defisiensi
besi, ditandai oleh sel darah merah yang pucat karena kekurangan hemoglobin.
Pada anemia defisiensi besi, jumlah hemoglobin dalam setiap sel menurun. Bila
dicurigai adanya anemia tersebut, penting untuk mengetahui kadar hemoglobin
dalam setiap sel darah merah. Perbandingan itu secara kasar menunjukkan
kandungan hemoglobin dalam sel darah merah seperti pada Persamaan 2.1
(Green, 2008)
Indeks Warna (I.W) = ℎ𝑒𝑚𝑜𝑔𝑙𝑜𝑏𝑖𝑛(𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑛𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙)
𝐻𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑙 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑟𝑎ℎ(𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑛𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙) ....... (2.1)
7
2.3.2 Citra Digital
Citra adalah istilah lain dari gambar yang merupakan informasi berbentuk
visual. Suatu citra dapat didefinisikan sebagai fungsi f(x,y) berukuran M baris dan
N kolom, dengan x dan y adalah koordinat spasial, dan amplitudo f di titik
koordinat (x,y) dinamakan intensitas atau tingkat keabuan dari citra pada titik
tersebut (Putra, 2010).
Citra digital merupakan sebuah larik (array) yang berisi nilai-nilai real
maupun komplek yang direpresentasikan dengan deretan bit tertentu. Apabila nilai
x,y dan nilai amplitudo f secara keseluruhan berhingga (finite) dan bernilai diskrit
maka dapat dikatakan bahwa citra tersebut adalah citra digital. Gambar 2.1
menunjukkan posisi koordinat citra digital (Putra, 2010).
Gambar 2.1 Koordinat citra digital (Putra, 2010)
Citra digital dapat ditulis dalam bentuk matrik sebagaimana dalam
Persamaan 2.2 (Putra, 2010).
F(x,y)=
[
𝑓(0,0) 𝑓(0,1) … 𝑓(0, 𝑁 − 1)
𝑓(1,0) 𝑓(1,1) … 𝑓(1, 𝑁 − 1)
⁞ ⁞ ⁞𝑓(𝑀 − 1,0) 𝑓(𝑀 − 1,1) … 𝑓(𝑀 − 1,𝑁 − 1)]
.................. (2.2)
Nilai pada suatu irisan antara baris dan kolom (pada posisi x,y) disebut
dengan picture elements, image elements, pels, atau pixel. Istilah terakhir (pixel)
8
paling sering digunakan pada citra digital. Dalam komputer setiap piksel diwakili
oleh dua buah bilangan bulat (integer) untuk menunjukkan lokasi dalam bidang
citra, misalnya koordinat (0,0) digunakan untuk pojok kiri atas citra dan koordinat
(m-1,n-1) digunakan untuk pojok kanan bawah dalam citra berukuran m x n piksel
seperti diperlihatkan pada Gambar 2.2 (Putra, 2010).
kolom
baris f(x,y)
Gambar 2.2 Ilustrasi piksel (Putra, 2010).
Setiap piksel mewakili tidak hanya satu titik dalam sebuah citra melainkan
sebuah bagian berupa kotak yang merupakan bagian terkecil (sel). Nilai dari
sebuah piksel haruslah dapat menunjukkan nilai rata-rata yang sama untuk seluruh
bagian dari sel tersebut (Putra, 2010).
Suatu piksel p pada koordinat (x,y) memiliki empat piksel tetangga (2
dalam arah horizontal dan 2 arah vertikal) dengan koordinat pada Persamaan 2.3
(Putra, 2010):
(x+1,y), (x-1,y), (x,y+1), (x,y-1) ............................................................ (2.3)
Keempat piksel tersebut sering disebut dengan 4-neighbors dari p dan
dinyatakan dengan N4(p).
Selain dalam arah horisontal dan vertikal, piksel tetangga dari p juga
berada pada arah diagonal dengan koordinat seperti pada Persamaan 2.4 (Putra,
2010):
(x+1,y+1), (x+1,y-1), (x-1,y+1), (x-1,y-1) ............................................. (2.4)
Dan dinyatakan dengan ND(p).
9
N4(p) dan ND(p) bersama-sama membentuk 8-neighbors dari p dan
dinyatakan dengan N8(p) (Putra, 2010).
(a)
(b)
Gambar 2.3 Hubungan ketetanggaan antarpiksel (a) 4-neighbors (b) 8-neighbors
(Putra, 2010)
Resolusi citra merupakan tingkat detail suatu citra. Semakin tinggi resolusi
citra maka akan semakin tinggi pula tingkat detail dari citra tersebut. Satuan
dalam pengukuran resolusi citra dapat berupa ukuran fisik (jumlah garis per
mm/jumlah garis per inchi) ataupun dapat juga berupa ukuran citra menyeluruh
(jumlah garis per tinggi citra) (Putra, 2010).
2.3.3 Jenis citra
Piksel mempunyai nilai dalam rentang tertentu, jangkauannya berbeda-
beda tergantung dari jenis warnanya. Namun secara umum jangkauannya adalah
0-255. Citra dengan penggambaran seperti ini digolongkan ke dalam citra integer
(Putra, 2010).
2.3.3.1 Citra biner
Citra biner adalah citra digital yang hanya memiliki dua kemungkinan
nilai piksel yaitu hitam dan putih. Citra biner juga disebut sebagai citra B&W
(black and white) atau citra monokrom. Hanya dibutuhkan 1 bit untuk mewakili
nilai setiap piksel dari citra biner. Dalam citra ini hanya ada warna putih untuk
10
tepi dan hitam untuk latarbelakang seperti Gambar 2.4 dibawah ini (McAndrew,
2004)
Gambar 2.4 Citra Biner (McAndrew, 2004)
2.3.3.2 Citra grayscale
Citra greyscalemerupakan cita digital yang hanya memiliki satu nilai kanal
pada setiap pixelnya, dengan kata lain nilai bagian RED=GREEN=BLUE. Nilai
tersebut digunakan untuk menunjukkan tingkat intensitas. Warna yang dimiliki
adalah warna dari hitam, keabuan dan putih. Tingkat keabuan disini merupakan
warna abu dengan berbagai tingkatan dari hitam hingga mendekati putih seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.5 (Putra, 2010).
Gambar 2.5 Citra Grayscale (McAndrew, 2004)
2.3.3.3 Citra warna (8 bit)
11
Setiap piksel dari citra warna hanya diwakili oleh 8 bit dengan jumlah
warna maksimum yang dapat digunakan adalah 256 warna seperti pada Gambar
2.6 (Putra, 2010).
Gambar 2.6 Citra 8 bit (Putra, 2010)
2.3.3.4 Citra warna (16 bit)
Citra warna 16 bit (biasanya disebut sebagai citra highcolor) dengan setiap
pixelnya diwakili dengan 2 byte memory (16 bit). Warna 16 bit memiliki 65.536
warna. Dalam formasi bitnya, nilai merah dan biru mengambil tempat di 5 bit
kanan dan kiri. Komponen hijau memiliki 5 bit ditambah 1 bit ekstra. Pemilihan
komponen hijau dengan deret 6 bit dikarenakan penglihatan manusia lebih
sensitive terhadap warna hijau (Putra, 2010).
2.3.3.5 Citra warna (24 bit)
Setiap piksel dari citra warna diwakili dengan 24 bit sehingga total
16.777.216 variasi warna. Variasi warna ini sudah lebih dari cukup untuk
memvisualisasikan seluruh warna yang dapat dilihat penglihatan manusia.
Penglihatan manusia dipercaya hanya dapat membedakan hingga 10 juta warna
saja (Putra, 2010).
12
2.3.4 Pembentukan citra digital
2.3.4.1 Akuisisi citra
Proses akuisisi citra adalah pemetaan suatu pandangan (scene) menjadi
citra kontinu dengan menggunakan sensor. Ada beberapa sensor untuk akuisisi
citra, yaitu sensor tunggal (single sensor), sensor garis (sensor strip), dan sensor
larik (sensor array) (Putra, 2010).
Sensor tunggal yang paling familiar adalah photodiode. Photodiode
terbentuk dari silikon yang memiliki tegangan keluaran yang sebanding dengan
cahaya. Untuk menciptakan citra 2 dimensi dengan menggunakan sensor ini,
harus ada proses pemindahan relatif di setiap sumbu x dan y antara sensor dan
objek. Sensor ini dijumpai pada kamera yang menggunakan negatif film (Putra,
2010).
Sensor garis melakukan pencitraan satu arah. Sensor ini berupa deretan
sensor yang disatukan dalam satu baris sehinga dapat melakukan akuisisi sumbu x
secara bersamaan. Untuk mengakuisisi citra keseluruhan, sensor digerakkan
searah sumbu y. sensor ini sering dijumpai dalam mesin scanner (Putra, 2010).
Sensor larik berbentuk larik 2 dimensi. Sensor larik yang terdapat pada
kamera digital disebut CCD dengan ukuran sensor rata-rata mencapai 4.000x4.000
elemen. Sensor akan menangkap setiap iluminasi yang dipantulkan oleh obyek
dan akan diproyeksikan ke dalam bidang citra. Secara bersamaan sensor larik
akan menghasilkan keluaran yang setara dengan integral dari cahaya yang
diterima setiap sensor (Putra, 2010).
2.3.4.2 Sampling
Setelah citra kontinu terbentuk maka proses selanjutnya adalah sampling.
Proses sampling adalah proses digitasi pada koordinat x,y. seperti disebutkan
diatas, hasil dari sensor masih berupa citra kontinu yang merupakan fungsi
kontinu f(x,y). fungsi tersebut merupakan sinyal kontinu pada nilai x,y dan juga
amplitudonya (intensitas). Nilai x dan y yang kontinu akan diubah menjadi bentuk
diskrit (Putra, 2010).
13
2.3.4.3 Kuantisasi
Proses kuantisasi adalah proses perubahan nilai amplitudo kontinu menjadi
nilai baru yang berupa nilai diskrit. Nilai amplitudo yang dikuantisasi adalah nilai-
nilai pada koordinat diskrit hasil proses sampling (Putra, 2010).
2.3.5 Ekstraksi Fitur
Ekstraksi fitur (feature extraction) merupakan bagian fundamental dari
analisis citra. Fitur/ciri atau disebut juga atribut adalah semua hasil pengukuran
yang bisa diperoleh dan merupakan karakteristik pembeda dari objek fitur dapat
berupa symbol seperti warna, numeric seperti berat, atau gabungan keduanya.
Fitur dapat dinyatakan dengan variable kontinu, diskret, atau diskret-biner. Fitur
biner dapat digunakan untuk menyatakan ada atau tidaknya suatu fitur tertentu..
Karakteristik fitur yang baik sebisa mungkin memnuhi persyaratan berikut:
1. Dapat membedakan suatu objek dengan yang lainnya (discrimination).
2. Memperhatikan kompleksitas komputasi dalam memperoleh fitur.
Kompleksitas komputasi yang tinggi tentu akan menjadi beban tersendiri
dalam menemukan suatu fitur.
3. Tidak terikat (independence) dalam arti bersifat invariant terhadap berbagai
transformasi (rotasi, penskalaan, pergeseran, dan lain sebagainya).
4. Jumlahnya sedikit, karena fitur yang jumlahnya sedikit akan dapat
menghemat waktu komputasi dan ruang penyimpanan untuk proses
selanjutnya (proses pemanfaatan fitur) (Putra, 2010).
Vektor fitur (features vector) adalah gabungan atau kombinasi dari
beberapa fitur dan dinyatakan sebagai vektor kolom. Banyaknya fitur pembentuk
vektor fitur disebut dengan dimensi dari vektor fitur (Putra, 2010).
2.3.5.1 Wavelet
Wavelet diartikan sebagai small wave atau gelombang singkat.
Transformasi wavelet akan mengkonversi suatu sinyal ke dalam sederetan
14
wavelet. Gelombang singkat tersebut merupakan fungsi basis yang terletak pada
waktu berbeda (Putra, 2010).
Transformasi wavelet merupakan perbaikan dari transformasi Fourier.
Kelemahan transformasi Fourier adalah tidak memberikan informasi tentang
domain waktu (time domain). Kelemahan lain dari transformasi Fourier adalah
perubahan sedikit terhadap sinyal pada posisi tertentu akan berdampak atau
mempengaruhi sinyal pada posisi lain. Hal ini disebabkan karena transformasi
Fourier berbasis sin-cos yang bersifat periodic dan kontinu (Putra, 2010).
Transformasi wavelet selain mampu memberikan informasi frekuensi yang
muncul juga dapat memberikan informasi tentang skala atau durasi waktu.
Wavelet dapat digunakan untuk menganalisa suatu bentuk gelombang (sinyal)
sebagai kombinasi daru waktu(skala) dan frekuensi. Selain itu perubahan sinyal
pada suatu posisi tertentu tidak akan berdampak banyak terhadap sinyal pada
posisi-posisi yang lainnya. Dengan wavelet suatu sinyal dapat disimpan lebih
efisien dibandingkan dengan Fourier dan lebih baik dalam hal melakukan
aproksimasi terhadap real-word signal (Putra, 2010).
2.3.5.1.1 Dekomposisi Averages dan Differences
Dekomposisi perataan (averages) dan pengurangan (differences)
memegang peranan penting untuk memahami transformasi wavelet. Perataan
dilakukan dengan menghitung nilai rata-rata 2 pasang data dengan rumus seperti
dalam Persamaan 2.5 dan 2.6 (Putra, 2010):
P= 𝑥+𝑦
2 .................................................................................................. (2.5)
Sedangkan pengurangan dilakukan dengan rumus:
P= 𝑥−𝑦2
................................................................................................. (2.6)
Untuk citra berukuran 2n
maka dibutuhkan sebanyak n level untuk
melakukan dekomposisi penuh sehinga dapat dikatakan kompleksitas
dekomposisi perataan dan pengurangan adalan O(n) (Putra, 2010).
15
Untuk citra 2 dimensi, dekomposisi perataan dan pengurangan sama
dengan proses pada citra 1 dimensi di atas. Hanya saja proses dekomposisi
dilakukan dalam 2 tahap, yaitu tahap pertama proses dekomposisi dilakukan pada
seluruh baris, kemudian tahap kedua pada citra hasil tahap eprtama dilakukan
proses dekomposisi dalam arah kolom (Putra, 2010).
2.3.5.1.2 Wavelet dan Fungsi Penskalaan
Wavelet berasal dari fungsi penskalaan. Wavelet ini disebut dengan
mother wavelet karena wavelet lainnya lahir dari hasil penskalaan, dialsi dan
pergeseran mother wavelet.
Fungsi penskalaan ϕ memiliki Persamaan 2.7 dibawah ini (Putra, 2010):
ϕ(t)=2∑ ℎ0(𝑘)∅(2𝑡 − 𝑘)𝑘
.................................................................... (2.7)
h0 menyatakan koefisien penskalaan atau koefisien transformasi atau
koefisien dari tapis(filter), sedangkan k menyatakan indeks dari koefisien
penskalaan. Angka 0 pada h0 hanya menunjukkan jenis koefisien (tapis), yang
menyatakan pasangan dari jenis koefisien (tapis) yang lainnya. Pasangan tersebut
didefinisikan dalam fungsi wavelet ϕ dalam Persamaan 2.8 berikut ini (Putra,
2010)
ϕ(t)=2∑ ℎ1(𝑘)∅(2𝑡 − 𝑘)𝑘
.................................................................... (2.8)
h0 dan h1 adalah koefisien transformasi yang berpasangan yang disebut
juga low pass dan high pass. h0 adalah koefisien penskalaan karena menghasilkan
skala yang berbeda dari citra aslinya, sedangkan h1 adalah wavelet yang
menyimpan informasi penting untuk proses rekonstruksi (Putra, 2010).
Persamaan (2.7) dan (2.8) berlaku untuk semua nilai t. Bila t diganti dengan
2j-1
t maka kedua persamaan tersebut menjadi seperti Persamaan 2.9 dan 2.10
(Putra, 2010):
ϕ(2j-1
t)=2∑ ℎ0(𝑘)∅(22j − 1t − 𝑘)𝑘
..................................................... (2.9)
ϕ(2j-1
t)=2∑ ℎ1(𝑘)∅(22j − 1t − 𝑘)𝑘
................................................... (2.10)
parameter k bertanggung dalam hal translasi sedangkan j berkaitan dengan
dilasi atau penskalan (resolusi) dalam domain waktu.
16
2.3.5.1.3 Wavelet Haar
Tapis low pass(h0) dan high pass(h1) merupakan fungsi basis wavelet haar.
Tapis haar yang bersifat orthogonal dan juga ortonomal jika disubtitusikan dengan
Persamaan (2.7) dan (2.8) akan diperoleh Persamaan 2.11 (Putra, 2010):
ϕ(t)= ϕ(2t)+ ϕ(2t-1) .............................................................................. (2.11)
yang merupakan fungsi penskalaan haar dimana disebutkan dalam
Persamaan 2.12 (Putra, 2010):
ϕ(t)={1 𝑏𝑖𝑙𝑎 𝑡 ∈ [0,1) 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑘𝑜𝑛𝑑𝑖𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
ϕ(t)= ϕ(2t)- ϕ(2t-1) ............................................................................... (2.12)
yang merupakan fungsi wavelet haar dimana disebutkan dalam Persamaan
2.13 (Putra, 2010):
ϕ(t)={
1 𝑏𝑖𝑙𝑎 𝑡 ∈ [0, 1 2⁄ )
−1 𝑏𝑖𝑙𝑎 𝑡 ∈ [1 2⁄ , 1)
0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑘𝑜𝑛𝑑𝑖𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
..................................................... (2.13)
2.3.5.1.4 Filter Banks
Filter banks mentransformasi sinyal x, dapat dinyatakan dengan rumus
2.14 (Putra, 2010) berikut
y=H(x) ................................................................................................. (2.14)
Dengan y merupakan hasil proses filter bank. Bila filter bank H bersifat
linier dan time invariant maka H dapat dinyatakan sebagai suatu matrik dan y
dapat diperoleh melalui proses perkalian matrik H dengan x (Putra, 2010).
Filter bersifat linier berarti bila terjadi penskalaan pada x maka penskalaan
juga terjadi pada output, sedangkan bersifat time invariant berarti pergeseran
(shifting) pada input (dalam domain waktu) akan berhubungan dengan pergeseran
pada output (Putra, 2010).
Dalam bentuk konvolusi, persamaan diatas dapat ditulis sebagai
Persamaan 2.15 (Putra, 2010) berikut:
y(n)=∑ ℎ(𝑘)𝑥(𝑛 − 𝑘)𝑘 ......................................................................... (2.15)
17
2.3.5.1.5 Haar Filter Banks
Tapis low pass dan high pass haar disubtitusikan ke Persamaan (2.15)
maka masing-masing akan menghasilkan Persamaan 2.16 dan 2.17 (Putra, 2010):
H0:y(n)=1
2x(n)+
1
2x(n-1) ........................................................................ (2.16)
H1:y(n)=1
2x(n)-
1
2x(n-1) ......................................................................... (2.17)
2.3.5.1.6 Wavelet Daubechies
Wavelet ini ditemukan oleh Ingrid Daubechies. Urutan koefisien wavelet
Daubechies dapat diperoleh dengan cara:
1. Balik urut koefisien fungsi penskalaan
2. Balik tanda (minus atau plus) untuk setiap koefisien dengan posisi habis di
modulo 2.
Kedua tahap diatas dapat ditulis dalam bentuk Persamaan 2.18 (Putra,
2010) berikut:
bk=(-1)k
a N-1-k ...................................................................................... (2.18)
2.3.5.1.7 Transformasi Wavelet 2D
Transformasi wavelet pada citra 2D pada prinsipnya sama dengan
transformasi pada citra 1D. pada citra 2D proses transformasi dilakukan pada
baris terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan transformasi pada kolom,
seperti ditunjukkan pada Gambar 2.7 (Putra, 2010) berikut:
Gambar 2.7 Transformasi wavelet 2D 1 level
18
Pada Gambar 2.7 LL menyatakan bagian koefisien yang diperoleh melalui
proses tapis low pass dilanjutkan dengan low pass. citra pada bagian ini mirip dan
merupakan versi lebih halus dari citra aslinya sehingga koefisien pad abagian LL
sering disebut dengan komponen aproksimasi. LH menyatakan bagian koefisien
yang diperoleh melalui proses tapis low pass kemudian dilanjutkan dengan high
pass. koefisien pada bagian ini menunjukkan citra tepi dalam arah horizontal.
Bagial LH menyatakan bagian yang diperoleh melalui proses high pass kemudian
dilanjutkan dengan low pass. koefisien pada bagian ini menunjukkan citra tepi
dalam arah vertical. HH menyatakan proses yang diawali dengan high pass dan
dilanjutkan dengan high pass, dan menunjukkan citra tepi dalam arah diagonal.
Ektiga komponen LH,HL dan HH disebut juga komponen detil (Putra, 2010).
Hasil transformasi wavelet 2D 1 level, sering dibuat dalam bentuk skema
dalam Gambar 2.8 (Putra, 2010) sebagai berikut.
LL HL
LH HH
=
Aproximation Vertical
details
Horizontal
details
Diagonal
details
=
CA CV
CH CD
Gambar 2.8 Skema transformasi wavelet 2D.
2.3.5.2 Fitur berdasarkan warna
Histogram warna merupakan fitur yang paling banyak digunakan untuk
merepresentasikan ciri warna suatu citra. Citra pada umumnya dikonversi ke
dalam suatu ruang warna tertentu, kemudian setiap komponen ruang warna dibuat
histogramnya. Ruang warna HSV pada umumnya serign digunakan karena ruang
warna tersebut dekat dengan persepsi manusia. Namun demikian akan lebih baik
pemilihan ruang warna didasari pada objek yang dihadapai (Putra, 2010).
2.3.6 Pengenalan Pola
19
Secara umum pengenalan pola (pattern recognition) adalah suatu ilmu
untuk mengklasifikasikan atau menggambarkan sesuatu berdasarkan pengukuran
kuantitatif fitur (ciri) atau sifat utama dari suatu objek. Pola sendiri adalah suatu
entitas yang terdefinisi dan dapat diidentifikasikan serta diberi nama. Pola bisa
merupakan kumpulan hasil pengukuran atau pemantauan dan bisa dinyatakan
dalam notasi vektor atau matriks (Putra, 2010).
Struktur dari sistem pengenalan pola ditunjukkan oleh Gambar 2.9 (Putra,
2010) berikut:
Gambar 2.9 Struktur sistem pengenalan pola
Sensor berfungsi untuk menangkap objek dari dunia nyata dan selanjutnya
diubah menjadi sinyal digital melalui proses digitalisasi.
Pra-pengolahan berfungsi mempersiapkan citra atau sinyal agar dapat
menghasilkan ciri yang lebih baik pada tahap berikutnya. Pada tahap ini sinyal
informasi ditonjolkan dan sinyal penganggu(derau) diminimalisasi.
Pencari dan seleksi fitur berfungsi menemukan karakteristik pembeda
yang mewakili sifat utama sinyal dan sekaligus mengurangi dimensi sinyal
menjadi sekumpulan bilangan yang lebih sedikit tetapi representative.
Algoritma klasifikasi berfungsi untuk mengelompokkan fitur ke dalam
kelas yang sesuai.
Algoritma deskripsi berfungsi memberikan deskripsi pada sinyal (Putra,
2010).
2.3.7 Jaringan Saraf Tiruan untuk Pengenalan Pola
Jaringan saraf tiruan atau artificial neural network yang sering disingkat
dengan ANN merupakan model jaringan neural yang meniru prinsip kerja dari
deskripsi
klasifikasi
sensor Pra-
pengolahan
Pencari dan
selsksi fitur
Algoritma
klasifikasi
Algoritma
deskripsi
Pola data ρi
Pengukuran
mi
20
neuron otak manusia (neuron biologis). ANN pertama kali muncul setelah model
sederhana dari neuron buatan diperkenalkan oleh McCulloch dan Pitts pada tahun
1943. Model sederhana tersebut dibuat berdasarkan fungsi neuron biologis yang
merupakan dasar unit pensinyalan dari sistem saraf (Putra, 2010).
Jaringan saraf tiruan memiliki beberapa kemampuan seperti yang dimiliki
otak manusia, yaitu:
1. Kemampuan untuk belajar dari pengalaman
2. Kemampuan melakukan perumpamaan (generalization) terhadap input baru
dari pengalaman yang dimilikinya.
3. Kemampuan memisahkan (abstraction) karakteristik penting dari input yang
mengandung data yang tidak penting (Putra, 2010).
2.3.7.1 Model ANN
Pemodelan ANN merupakan pemodelan dengan menggunaan pendekatan
pemodelan black box. Prinsip kerja ANN didasari pada mekanisme kerja
penyaluran informasi sistem NN. Namun demikian karena keterbatasan yang
dimiliki oleh struktur ANN maka hanya sebagian kecil saja dari kemampuan
sistem saraf manusia dapat ditiru.
Secara ringkas prinsip kerja neuron dapat dinyatakan sebagai berikut:
Pada suatu neuron, sinyal input (diterima oleh dendrit) akan masuk ke
node (soma). Pada node terjadi proses penjumlah sinyal-sinyal input yang telah
terbobot (dinyatakan sebagai WS,R PR) dan dilambangkan dengan n. Penjumlahan
sinyal-sinyal terbobot tersebut (n) diproses menjadi sinyal output (a) dengan
menggunakan suatu fungsi aktivasi. Sinyal output ini kemudian diteruskan ke
neuron lain oleh akson (sinyal pada akson) (Putra, 2010).
Proses seperti diatas terjadi pada setiap node dan berjalan secara
independen (terpisah). Akan tetapi hasil proses di tiap node akan mempengaruhi
hasil dari networks secara keseluruhan karena output dari suatu node menjadi
input untuk node-node yang lainnya (node dilapisan berikutnya) (Putra, 2010).
Fungsi aktivasi menyatakan perlakuan suatu node terhadap input. Keluaran
suatu neuron sangat tergantung pada fungsi aktivasi yang (Putra, 2010).
21
2.3.7.2 Backpropagation
Backpropagation merupakan algoritma pembelajaran yang terawasi dan
biasanya digunakan oleh perceptron dengan banyak lapisan untuk mengubah
bobot-bobot yang terhubung dengan neuron-neuron yang ada pada lapisan
tersembunyinya. Algoritma backpropagation menggunakan error output untuk
mengubah nilai bobot-bobotnya dalam arah mundur (backward). Untuk
mendapatkan error ini, tahap perambatan maju (forward propagation) harus
dikerjakan terlebih dahulu. Pada saat perambatan maju, neuron-neuron diaktifkan
dengan menggunakan fungsi aktivasi yang dapat dideferensiasikan, seperti
sigmoid atau tansig (Kusumadewi, 2004).
Gambar 2.10 Arsitektur jaringan backpropagation
Jaringan atas terdiri atas 3 unit (neuron) pada lapisan input yaitu X1, X2,
dan X3; 1 lapisan tersembunyi dengan 2 neuron, yaitu Z1 dan Z2 ; serta 1 unit pada
lapisan output, yaitu y. bobot yang menghubungkan X1, X2, dan X3 dengan neuron
pertama pada lapisan tersembunyi, adalah V11,V21, dan V31 (Vij : bobot yang
menghubungkan neuron input ke-I ke neuron ke-j pada lapisan tersembunyi). b11
dan b12 adalah bobot bias yang menuju ke neuron pertama dan kedua pada lapisan
tersembunyi. Bobot yang menghubungkan Z1 dan Z2 dengan neuron pada lapisan
output adalah W1 dan W2. Bobot bias b2 menghubungkan lapisan tersembunyi
22
dengan lapisan output. Fungsi aktifasi yang digunakan, antara lapisan input dan
lapisan tersembunyi, dan antara lapisan tersembunyi dengan lapisan output adalah
fungsi aktivasi logsig (tidak diperlihatkan dalam gambar) (Kusumadewi, 2004).
2.3.7.3 Perceptron
Perceptron termasuk salah satu bentuk jaringan syaraf yang sederhana.
Perceptron biasanya digunakan untuk mengklasifikasikan suatu tipe pola tertentu
yang sering dikenal dengan pemisahan secara linier. Pada dasarnya, perceptron
pada jaringan syaraf dengan satu lapisan memiliki bobot yang bisa diatur
Algoritma yang digunakan oleh aturan perceptron ini akan mengatur parameter-
parameter bebasnya melalui proses pembelajaran. Fungsi aktivasi ini dibuat
sedemikian rupa sehingga terjadi pembatasan antara daerah positif dan daerah
negative seprti diilustrasikan pada Gambar 2.11 dibawah ini (Kusumadewi, 2004).
Gambar 2.11 Single layer perceptron
2.3.7.4 LVQ (Learning Vector Quantization)
Learning Vector Quantization (LVQ) merupakan salah satu jaringan
saraf tiruan yang melakukan pembelajaran secara terawasi. LVQ
mengklasifikasikan input secara berkelompok ke dalam kelas yang sudah
didefinisikan melalui jaringan yang telah dilatih. Dengan kata lain LVQ
mendapatkan n input dan mengelompokkan ke dalam m output. Arsitektur
23
jaringan LVQ ini terdiri dari input, lapisan kohonen, dan lapisan output. Pada
proses pelatihan, LVQ menggunakan lapisan kohonen, dimana pada proses
pelatihan jaringan ini akan dibandingkan nilai dari vektor yang dilatih dengan
semua elemen pemroses. Jarak terkecil antara vektor yang dilatih dengan elemen
pemroses akan menentukan kelas dari data yang dilatih (Putra, 2010).
Secara garis besar, algoritma LVQ adalah sebagai berikut:
1. Langkah pertama adalah menentukan masing-masing kelas output, menentukan
bobot, dan menetapkan learning rate α.
2. Bandingkan masing-masing input dengan masing-masing bobot yang telah
ditetapkan dengan melakukan pengukuran jarak antara masing-masing bobot
w0 da input xp.
3. Nilai minimum dari hasil perbandingan itu akan menentukan kelas dari vektor
input dan perubahan bobot dari kelas tersebut. Perubahan untuk bobot baru
(W0′) dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Untuk input dan bobot yang memiliki kelas yang sama dituliskan dalam
Persamaan 2.19 (Putra, 2010):
W0′= W0 + α(x- W0) ............................................................................ (2.19)
Untuk input dan bobot yang memiliki kelas yang berbeda dituliskan dalam
Persamaan 2.20 (Putra, 2010):
W0′= W0 - α(x- W0) ............................................................................ (2.20)