10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
2.1.1 Konsep Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) adalah suatu upaya yang ditujukan
untuk mencegah transmisi penyakit menular di semua tempat pelayanan kesehatan
(Minnesota Department of Health, 2014). Pencegahan memiliki arti mencegah
agar tidak terjadi infeksi, sedangkan pengendalian memiliki arti meminimalisasi
resiko terjadinya infeksi. Dengan demikian, tujuan utama dari pelaksanaan
program ini adalah mencegah dan mengendalikan infeksi dengan cara
menghambat pertumbuhan dan transmisi mikroba yang berasal dari sumber di
sekitar penderita yang sedang dirawat (Darmadi, 2008).
2.1.2 Cakupan Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah
Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya
Kemenkes RI (2011), menuliskan bahwa ada sepuluh hal yang perlu dilakukan
dalam pelaksanaan PPI, yaitu:
a. Kebersihan tangan
Praktek membersihkan tangan adalah upaya mencegah infeksi yang disebarkan
melalui tangan dengan menghilangkan semua kotoran dan debris serta
menghambat dan membunuh mikroorganisme pada kulit. Menjaga kebersihan
tangan ini dilakukan segera setelah sampai di tempat kerja, sebelum kontak
dengan pasien atau melakukan tindakan untuk pasien, selama melakukan
11
tindakan (jika secara tidak sengaja terkontaminasi) dan setelah kontak atau
melakukan tindakan untuk pasien. Secara garis besar, kebersihan tangan
dilakukan pada air mengalir, menggunakan sabun dan/atau larutan antiseptik,
dan diakhiri dengan mengeringkan tangan dengan kain yang bersih dan kering
(Kemenkes RI, 2011).
b. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Alat Pelindung Diri (APD) telah lama digunakan untuk melindungi pasien dari
mikroorganisme yang ada pada petugas kesehatan. Namun, dengan munculnya
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dan Hepatitis C, serta
meningkatnya kembali kasus Tuberculosis (TBC), pemakaian APD juga
menjadi sangat penting dalam melindungi petugas. Alat pelindung diri
mencakup sarung tangan, masker, alat pelindung mata, topi, gaun, apron,
pelindung kaki, dan alat pelindung lainnya (Kemenkes RI, 2011).
c. Penatalaksanaan peralatan pasien dan linen
Konsep ini meliputi cara memproses instrumen yang kotor, sarung tangan,
linen, dan alat yang akan dipakai kembali dengan menggunakan larutan klorin
0,5%, mengamankan alat-alat kotor yang akan tersentuh serta memilih proses
penanganan yang akan digunakan secara tepat. Penatalaksanaan ini dapat
dilakukan dengan precleaning, pencucian dan pembersihan, Desinfeksi Tingkat
Tinggi (DTT), serta sterilisasi (Kemenkes RI, 2011).
12
d. Pengelolaan limbah
Pengelolaan limbah merupakan salah satu upaya kegiatan PPI berupa
pengelolaan limbah rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, baik limbah
yang terkontaminasi maupun yang tidak terkontaminasi (Kemenkes RI, 2011).
e. Pengendalian lingkungan rumah sakit
Tujuan pengendalian lingkungan rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya
adalah untuk menciptakan lingkungan yang bersih, aman, dan nyaman.
Pengendalian lingkungan secara baik dapat meminimalkan atau mencegah
transmisi mikroorganisme dari lingkungan kepada pasien, petugas, pengunjung
dan masyarakat di sekitar rumah sakit atau fasilitas kesehatan (Kemenkes RI,
2011).
f. Kesehatan karyawan/perlindungan pada petugas kesehatan
Petugas kesehatan beresiko terinfeksi bila terpapar kuman saat bekerja. Upaya
rumah sakit atau fasilitas kesehatan untuk mencegah transmisi ini adalah
membuat program pencegahan dan pengendalian infeksi pada petugasnya,
misalnya dengan pemberian imunisasi (Kemenkes RI, 2011).
g. Penempatan/isolasi pasien
Penerapan program ini diberikan pada pasien yang telah atau sedang dicurigai
menderita penyakit menular. Pasien akan ditempatkan dalam suatu ruangan
tersendiri untuk meminimalkan proses penularan pada orang lain (Kemenkes
RI, 2011).
13
h. Hygiene respirasi/etika batuk
Semua pasien, pengunjung, dan petugas kesehatan perlu memperhatikan
kebersihan pernapasan dengan cara selalu menggunakan masker jika berada di
fasilitas pelayanan kesehatan. Saat batuk, sebaiknya menutup mulut dan hidung
menggunakan tangan atau tissue (Kemenkes RI, 2011).
i. Praktik menyuntik yang aman
Jarum yang digunakan untuk menyuntik sebaiknya jarum yang steril dan sekali
pakai pada setiap kali suntikan (Kemenkes RI, 2011).
j. Praktik lumbal pungsi
Saat melakukan prosedur lumbal pungsi sebaiknya menggunakan masker untuk
mencegah transmisi droplet flora orofaring (Kemenkes RI, 2011).
2.2 Pemilahan Limbah Rumah Sakit
2.2.1 Pengertian Limbah Rumah Sakit
Limbah rumah sakit adalah semua limbah hasil dari kegiatan rumah sakit dalam
bentuk padat, cair, pasta (gel), serta gas yang dapat mengandung mikroorganisme
patogen bersifat infeksius, bahan kimia beracun, dan sebagian bersifat radioaktif.
Limbah rumah sakit bisa mengandung berbagai macam mikroorganisme
tergantung pada jenis rumah sakit dan tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum
dibuang (Djohan & Halim, 2013).
2.2.2 Jenis-jenis Limbah Rumah Sakit
Djohan & Halim (2013) membagi jenis-jenis limbah berdasarkan bentuk dan
bahayanya.
14
A. Berdasarkan bentuk
1. Limbah padat
Limbah padat rumah sakit adalah limbah berbentuk padat hasil kegiatan
rumah sakit yang terdiri atas limbah non medis, limbah medis padat,
limbah infeksius, dan limbah sangat infeksius (Djohan & Halim, 2013).
2. Limbah cair
Limbah cair adalah semua bentuk air buangan termasuk tinja hasil kegiatan
rumah sakit, yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan
kimia beracun, dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan (Rohani &
Setio, 2010).
3. Limbah gas
Limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas yang merupakan hasil
kegiatan pembakaran di rumah sakit seperti insinerator, dapur,
perlengkapan generator, anastesi, dan pembuatan obat sitotoksik (Rohani &
Setio, 2010).
B. Berdasarkan bahaya
1. Limbah Non Medis
Limbah non medis merupakan limbah hasil kegiatan rumah sakit di luar
kegiatan medis. Limbah ini bisa berasal dari dapur, perkantoran, taman dan
halaman, serta unit pelayanan. Contohnya: karton, kaleng dan botol, serta
sampah dari ruangan pasien yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada
teknologinya (Djohan & Halim, 2013).
15
2. Limbah Medis
Limbah medis merupakan limbah hasil kegiatan pelayanan medis,
perawatan gigi, farmasi, atau sejenis, pengobatan, serta penelitian atau
pendidikan yang menggunakan bahan-bahan beracun dan infeksius
berbahaya atau bisa membahayakan jika tidak dilakukan pengamanan
tertentu (Djohan & Halim, 2013).
Limbah medis dapat digolongkan, sebagai berikut: (Djohan & Salim, 2013)
a. Golongan A
Dressing bedah (kasa/perban, kapas, plester), swab (kain/kasa
penyeka), dan semua limbah terkontaminasi, bahan linen kasus penyakit
infeksi, seluruh jaringan tubuh manusia, hewan dari laboratorium, serta
hal lain yang berkaitan dengan swab dan dressing.
b. Golongan B
Syringe (suntikan) bekas, jarum, catridge (kemasan yang keras untuk
obat), pecahan gelas, dan benda tajam lainnya.
c. Golongan C
Limbah laboratorium dan postpartum kecuali yang masuk golongan A
d. Golongan D
Limbah bahan kimia dan farmasi tertentu
e. Golongan E
Pelapis bed-pan disposable, urinoir, incontinence-pad dan stamag
bags.
16
2.2.3 Pengelolaan Limbah Rumah sakit
A. Konsep Pengelolaan Limbah Rumah Sakit
Pengelolaan limbah rumah sakit adalah salah satu upaya kegiatan pencegahan
infeksi di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2011).
Pengelolaan limbah rumah sakit dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang
dilakukan terhadap limbah, dimulai dari tahap pengumpulan di tempat sumber,
pengangkutan, penyimpanan/penampungan serta tahap pengolahan akhir
(pemusnahan/pembuangan) (Djohan & Halim, 2011). Pengelolaan limbah yang
benar dimulai dari pemilahan limbah di tempat yang menjadi sumber limbah
tersebut dihasilkan (Rohani & Setio, 2010).
Semua petugas harus mengerti dan pernah dilatih tentang cara penanganan limbah
yang benar. Pemberian warna dan label pada tempat limbah yang telah disepakati
bersama dalam satu institusi kesehatan akan memudahkan pengelolaan sehingga
biaya yang digunakan lebih efisien (Rohani & Setio, 2010).
B. Tujuan Pengelolaan Limbah Rumah Sakit
Rohani & Setio (2010), menyebutkan bahwa tujuan dari pengelolaan limbah
rumah sakit adalah:
1. Melindungi petugas dari perlukaan
2. Melindungi petugas kesehatan dan masyarakat sekitar terhadap penyebaran
infeksi
3. Membuang bahan-bahan berbahaya (bahan toksik dan radioaktif) dengan
aman.
17
C. Ketentuan-ketentuan dalam Pengelolaan Limbah Rumah Sakit
Djohan & Salim (2013), menuliskan tentang ketentuan-ketentuan yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan limbah rumah sakit, antara lain:
1. Bangsal harus memiliki minimal dua macam tempat limbah, satu untuk limbah
medis (dilapisi kantung plastik kuning) dan satunya lagi untuk limbah non
medis (dilapisi kantung plastik warna hitam).
2. Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah medis.
3. Semua limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis dianggap sebagai
limbah non medis
4. Semua limbah yang keluar dari unit patologi dianggap sebagai limbah medis
dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang.
Persyaratan tempat/wadah penampung limbah non medis, sebagai berikut:
(Djohan & Salim, 2013)
1. Terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan karat, kedap air dan
mempunyai permukaan yang mudah dibersihkan pada bagian dalamnya,
misalnya fiberglass.
2. Mempunyai tutup yang mudah dibuka dan ditutup tanpa mengotori tangan.
3. Terdapat minimal satu buah untuk setiap kamar atau sesuai dengan kebutuhan.
4. Limbah tidak boleh dibiarkan dalam wadahnya melebihi 3x24 jam atau apabila
2/3 bagian kantong sudah terisi oleh limbah sudah harus diangkut supaya tidak
menjadi perindukan vektor penyakit atau binatang pengganggu.
18
Persyaratan tempat/wadah penampung limbah medis, sebagai berikut: (Rohani &
Setio, 2010).
1. Terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan karat, kedap air dan
mempunyai permukaan yang mudah dibersihkan pada bagian dalamnya,
misalnya fiberglass
2. Di setiap sumber penghasil limbah medis harus tersedia tempat pewadahan
yang terpisah dengan limbah non medis
3. Kantung plastik diangkat setiap hari atau kurang sehari apabila 2/3 bagian telah
terisi limbah.
4. Untuk benda-benda tajam hendaknya ditampung pada tempat khusus (safety
box) seperti botol atau karton yang aman.
5. Tempat pewadahan limbah padat medis infeksius dan sitotoksis yang tidak
langsung kontak dengan limbah harus segera dibersihkan dengan larutan
desinfektan apabila akan dipergunakan kembali, sedangkan untuk kantong
plastik yang telah dipakai dan kontak langsung dengan limbah tidak boleh
digunakan lagi.
D. Pemilahan Limbah Rumah Sakit
Pengelolaan limbah dilakukan mulai dari identifikasi limbah,
pemisahan/pemilahan dan pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, serta
pemusnahan/pembuangan (Kemenkes RI, 2011).
19
1. Identifikasi limbah
Pada tahap ini, limbah diidentifikasi berdasarkan jenisnya, yaitu padat, cair,
tajam, infeksius, non infeksius, gas, bahan beracun, atau radioaktif (Djohan &
Salim, 2013; Kemenkes RI, 2011).
2. Pemilahan dan pengumpulan limbah
Pemisahan limbah harus dimulai dari unit atau sumber penghasil limbah, serta
dipisahkan dan ditempatkan berdasarkan jenisnya (Kemenkes RI, 2011).
a) Limbah non medis
Limbah non medis anorganik (kertas, plastik, botol kemasan, dan lain-lain)
dikumpulkan dalam bak sampah berwarna kuning yang sudah dilapisi
plastik hitam sedangkan limbah non medis organik (sisa-sisa
makanan/minuman, daun-daun kering) dikumpulkan dalam bak sampah
berwarna hijau yang telah dilapisi dengan plastik hitam. Limbah non medis
dengan volume besar baik organik maupun anorganik dapat langsung
diangkut ke tempat penampungan sementara jika tidak memungkinkan
untuk ditampung di bak sampah (Djohan & Halim, 2013).
b) Limbah medis
Limbah medis terdiri atas limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda
tajam, limbah kontainer bertekanan, dan limbah kandungan logam berat
tinggi (Djohan & Halim, 2013). Tabel 2.1 berikut ini adalah tabel yang
menjelaskan cara dan ketentuan pemilahan dan pengumpulan limbah medis.
20
Tabel 2.1. Detail Warna dan Lambang Label Wadah Limbah Medis
No Kategori Warna
Kantung
Plastik
Lambang Keterangan
1 Radioaktif Merah
Kantung boks timbal
dengan simbol
radioaktif
2 Sangat Infeksius Kuning
Kantung plastik kuat
dan antibocor atau
kontainer yang dapat
disterilisasi dengan
otoklaf
3 Infeksius Kuning
Plastik kuat dan
antibocor atau kontainer
4 Sitotoksik Ungu - Kontainer plastik kuat
dan antibocor
5 Limbah kimia dan farmasi Cokelat - Kantung plastik atau
kontainer
Sumber: Rohani & Setio, 2010
3. Pengangkutan
Prinsip pengangkutan limbah baik medis maupun non medis adalah sama.
Berikut cara-cara pengangkutan limbah menurut Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2011: Djohan & Halim, 2013):
a) Setiap hari limbah diangkat dari tempat penampungan sementara
b) Limbah diangkut menggunakan kereta dorong khusus
c) Kereta dorong harus kuat, mudah dibersihkan, tertutup
d) Tidak boleh ada limbah yang tercecer
e) Sebaiknya lift pengangkut limbah berbeda dengan lift pasien
f) Petugas yang menangani limbah harus menggunakan pelindung diri
g) Kantong limbah medis padat harus aman dari jangkauan manusia dan
binatang.
21
4. Penyimpanan/penampungan
Kemenkes RI (2011) menuliskan tentang ketentuan penyimpanan limbah
rumah sakit sebagai berikut:
a) Limbah disimpan di tempat penampungan sementara khusus
b) Limbah ditempatkan di dalam kantung plastik dan diikat dengan kuat
c) Setiap kantung plastik limbah atau bak penampung diberi label sesuai
dengan kategori limbah
d) Tempat penyimpanan atau penampungan sementara limbah harus di area
yang terbuka, terjangkau oleh kendaraan, aman dan selalu dijaga
kebersihannya, serta berada dalam kondisi kering.
5. Pemusnahan
Kemenkes RI (2011) menuliskan tentang ketentuan pemusnahan limbah rumah
sakit sebagai berikut:
a. Limbah infeksius dan limbah benda tajam dimasukkan dalam insinerator
b. Limbah non infeksius dibawa ke tempat pembuangan limbah umum
c. Limbah cair dibuang dalam wastafel di ruang spoelhok
d. Limbah faeces dan urine dibuang di dalam Water Closet (WC)
2.2.4 Peran Perawat dalam Pengelolaan Limbah Rumah Sakit
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) pada dasarnya merupakan tanggung
jawab semua pihak yang ada di dalam lingkungan rumah sakit. Darmadi (2008),
menyebutkan bahwa dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi tenaga
keperawatan merupakan pelaksana terdepan. Hal ini disebabkan oleh petugas
perawatan (perawat) selalu bersama pasien selama 24 jam penuh.
22
Indonesia Public Health Information (2014) juga menyebutkan bahwa perawat
memiliki peran pertama dalam tugas pengelolaan limbah rumah sakit, yaitu tugas
memilah limbah medis dan non medis. Hal ini didukung pula oleh Djohan &
Halim (2013), yang menyatakan bahwa tenaga perawat merupakan salah satu
tenaga pengelola limbah padat dimana perawat bertugas memisahkan limbah
medis dan non medis di setiap unit pelayanan fungsional tempat perawat
bersangkutan bekerja.
Perawat harus memilah sampah medis, sampah non medis, sampah/limbah
infeksius, limbah patologi, benda tajam, dan menempatkannya pada wadah sesuai
jenisnya atau sesuai ketentuan yang ada di rumah sakit (Djohan & Halim, 2013).
Pendapat ini didukung oleh Sudiharti & Solikhah (2012) melalui suatu studi
pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
yang menyatakan bahwa proses pemisahan limbah rumah sakit dilakukan oleh
petugas kesehatan khususnya perawat yang berada di setiap unit pelayanan
sedangkan pengolahan sampah selanjutnya dilakukan oleh petugas kebersihan
yang berada di rumah sakit.
Sebuah survei pendahuluan oleh Muchsin, dkk (2013) di RSUD Aceh Tamiang
khususnya pada ruangan yang menghasilkan limbah medis, menunjukkan bahwa
perawat memiliki peran yang cukup banyak dalam melakukan pelayanan
keperawatan (misalnya, menyuntik, memasang selang infus, mengganti cairan
infus, melakukan perawatan luka, memasang selang urine, perawatan dalam
pemberian obat, dan lain-lain). Hal ini menyebabkan perawat menjadi orang
23
pertama yang berperan memastikan limbah medis akan berada pada tempat yang
aman atau tidak (wadah penampungan limbah medis), sebelum limbah ini
diangkut ke tempat pemusnahan.
2.3 Perilaku Perawat dalam Memilah Limbah Medis dan Non Medis
2.3.1 Perilaku
A. Konsep Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang
bersangkutan (Notoatmodjo, 2012). Perilaku manusia dapat timbul karena adanya
stimulus dan respons serta dapat diamati baik secara langsung maupun tidak
langsung. Stimulus ini bisa berasal dari dalam diri (internal) ataupun dari luar diri
(eksternal) manusia yang bersangkutan (Sunaryo, 2010).
B. Jenis-jenis Perilaku
Notoatmodjo (2010), mengelompokkan perilaku menjadi dua, yaitu:
1. Perilaku Tertutup (Covert behaviour)
Perilaku tertutup terjadi bila reaksi terhadap stimulus masih belum dapat diamati
oleh orang lain secara jelas. Respon seseorang masih terbatas pada perhatian,
perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.
Misalnya, seorang perawat tahu tentang limbah medis dan non medis serta cara
pemilahannya (pengetahuan) kemudian perawat tersebut berusaha memberikan
tanggapannya tentang limbah medis dan pemilahannya (sikap).
24
2. Perilaku Terbuka (Overt behaviour)
Perilaku terbuka terjadi apabila reaksi terhadap stimulus tersebut sudah berupa
tindakan atau praktik yang bisa diamati orang lain dari luar. Misalnya, perawat
membuang limbah medis dan non medis pada tempatnya sesuai ketentuan
pemilahan limbah.
2.3.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Perawat dalam
Memilah Limbah Medis dan Non Medis
Perilaku seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal
baik dari dalam maupun dari luar subyek. Faktor-faktor ini disebut determinan.
Green (1980) menyebutkan bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi
perilaku, yaitu: (Notoatmodjo, 2010)
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor–faktor ini adalah faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku
seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai,
tradisi, dan sebagainya. Contohnya, seorang perawat mau memilah limbah
medis dan non medis karena perawat tersebut tahu dan yakin bahwa
tindakannya itu dapat meminimalkan resiko terjadinya penularan infeksi.
a. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang
terhadap suatu obyek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,
telinga, dan sebagainya). Sebagian besar penginderaan seseorang didapatkan
melalui indera penglihatan (mata) dan indera pendengaran (telinga).
25
Pengetahuan seseorang akan suatu obyek memiliki tingkat yang berbeda-
beda. Pengetahuan dibagi menjadi enam tingkat, yaitu: (Notoatmodjo, 2010)
1) Tahu (know) dan mengingat kembali (recall) diartikan sebagai
kemampuan mengingat kembali sesuatu yang pernah diketahui.
Misalnya, perawat tahu bahwa limbah medis dan non medis dapat
menjadi wadah berkembangbiaknya mikroorganisme.
2) Pemahaman (Comprehension) merupakan suatu kemampuan untuk
memahami tentang suatu objek atau materi. Pada tingkatan ini, individu
diminta untuk bisa menginterpretasikan secara benar tentang obyek yang
dilihatnya. Misalnya, perawat yang memahami tentang cara pemilahan
limbah medis dan non medis tidak hanya bisa menyebutkan jenis-jenis
sampah dan cara membuangnya, tetapi perawat tersebut juga bisa
menjelaskan kenapa tindakan pemilahan ini perlu dilakukan.
3) Penerapan (Application) diartikan sebagai kemampuan untuk
menerapkan secara benar mengenai suatu hal yang diketahui dalam
situasi yang sebenarnya. Misalnya, seorang perawat yang telah paham
tentang proses pengelolaan limbah, perawat tersebut harus dapat
membuat perencanaan program pengelolaan limbah di tempat perawat
tersebut bekerja.
4) Analisis (Analisis) diartikan sebagai kemampuan untuk menjabarkan
materi atau objek ke dalam suatu struktur atau bagan yang masih ada
kaitannya satu sama lain. Indikasi bahwa seorang individu sudah
26
mencapai tahap ini adalah apabila individu tersebut sudah dapat
mengelompokkan atau membuat diagram tentang suatu obyek.
5) Sintesis (Syntesis) diartikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan
bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata
lain sintesis adalah suatu kemampuan individu membuat rangkuman dari
formulasi-formulasi yang telah ada. Misalnya, seseorang dapat meringkas
dan membuat dengan kata-kata sendiri tentang hal yang didengar atau
dilihatnya.
6) Evaluasi (Evaluation) diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu objek atau materi.
Penelitian Rogers (1974) dalam Indriyani dan Asmudji (2014),
mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, orang
tersebut mengalami beberapa proses dalam dirinya, yakni:
a) Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari atau mengetahui
adanya stimulus (obyek) terlebih dahulu. Misalnya, menyadari tentang
pentingnya pemilahan limbah medis dan non medis.
b) Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus (obyek), misalnya mulai
tertarik pada proses pemilahan limbah medis dan non medis.
c) Evaluation, yakni orang tersebut mulai menimbang-nimbang baik tidaknya
stimulus (proses pemilahan limbah medis dan non medis) tersebut bagi
dirinya.
d) Trial, yakni orang tersebut mulai mencoba perilaku baru tersebut (memilah
limbah medis dan non medis secara benar)
27
e) Adoption, yakni orang tersebut telah mampu berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Perilaku baru atau adopsi perilaku yang didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran yang positif akan bersifat langgeng (long lasting) dibandingkan
dengan perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran.
Contohnya, perawat memilah limbah medis dan non medis di tempat yang
benar karena diperintahkan oleh atasannya tanpa mengetahui makna dan tujuan
pemilahan tersebut, maka dengan segera perilaku pemilahan ini tidak akan
dilakukan jika atasan dari perawat tidak ada (Notoatmodjo, 2012).
Berbagai penelitian dilakukan untuk melihat hubungan antara pengetahuan
dengan perilaku. Penelitian-penelitian tersebut menggambarkan bahwa
pengetahuan memiliki hubungan yang kuat dan positif dengan perilaku.
Pengetahuan yang tinggi akan meningkatkan perilaku yang baik (Kusnaryanti,
2005; Maironah, dkk, 2011; Sudiharti & Solikhah, 2012). Hasil-hasil penelitian
ditentang oleh penelitian dari Jasmawati, dkk (2012) yang menyatakan bahwa
tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku. Pada penelitian
Naktika (2010), peneliti masih menyarankan perlunya peningkatan
pengetahuan perawat melalui sosialisasi, penyuluhan maupun pelatihan tentang
pemilahan sampah.
Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang menyatakan
tentang isi materi yang ingin diukur dari responden (Notoatmodjo, 2010).
28
b. Sikap (Attitude)
Sikap adalah respon tertutup seseorang stimulus atau obyek tertentu yang
sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi seseorang (senang-tidak senang,
setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Sikap melibatkan pikiran,
perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan lainnya (Notoatmodjo, 2010).
Notoatmodjo (2010), menyatakan bahwa sikap terdiri atas tiga komponen
pokok, yaitu:
1) Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep orang terhadap suatu obyek.
Misalnya bagaimana pendapat perawat tentang proses pemilahan limbah
medis dan non medis.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap obyek. Misalnya
bagaimana penilaian perawat terhadap pemilahan limbah medis dan non
medis, apakah perawat tersebut menganggap pemilahan limbah ini adalah
sesuatu hal yang penting atau tidak penting dalam upaya pencegahan dan
pengendalian infeksi.
3) Kecenderungan untuk bertindak. Misalnya, tindakan yang akan dilakukan
perawat bila melihat limbah medis dan non medis.
Ketiga komponen tersebut diatas secara bersama-sama membentuk sikap yang
utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini pengetahuan,
pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo,
2010). Contoh, seorang perawat mendengar (tahu) tentang limbah medis dan
non medis (jenis-jenisnya, cara pemilahannya dan akibat jika tidak dipilah
29
dengan baik). Pengetahuan ini akan membuat perawat berpikir dan berusaha
agar akibat yang timbul karena pemilahan limbah yang kurang baik tidak
terjadi. Saat proses berpikir ini komponen emosi dan keyakinan perawat ikut
bekerja sehingga perawat tersebut berniat (kecenderungan bertindak)
melakukan pemilahan limbah. Perawat ini mempunyai sikap tertentu (berniat
melakukan pemilahan) terhadap objek tertentu yakni limbah medis dan non
medis.
Penelitian Kusnaryanti (2005) menyatakan bahwa ada hubungan antara sikap
dengan praktek perawat dalam mengelola limbah rumah sakit. Hasil penelitian
ini didukung pula oleh penelitian dari Maironah, dkk (2011) dan Sudiharti &
Solikhah (2012). Namun, penelitian Jasmawati, dkk (2011), menentang bahwa
ada hubungan antara sikap dengan perilaku petugas pengumpul sampah.
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menggunakan skala Likert dengan
pilihan jawaban sangat setuju (5), setuju (4), ragu-ragu (3), tidak setuju (2), dan
sangat tidak setuju (1).
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor-faktor ini adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi
perilaku atau tindakan seperti sarana dan prasarana yang dapat menunjang
terjadinya perilaku (Notoatmodjo, 2012). Contoh perilaku akibat faktor
pemungkin ini adalah perawat-perawat sebuah ruangan di rumah sakit atau
fasilitas kesehatan yang sudah tahu tentang limbah medis dan pemilahannya
mengupayakan tempat/wadah penampungan limbah sesuai ketentuan tetapi
30
apabila ruangan tersebut tidak mampu mengadakan fasilitas wadah
penampungan ini, maka ruangan tersebut terpaksa menggunakan wadah atau
sarana yang ada dan tidak sesuai untuk membuang sampah medis dan non
medis.
Sarana prasarana yang diperlukan sehubungan dengan proses pemilahan
limbah medis adalah tempat sampah yang mudah dibuka tutup tanpa mengotori
tangan, tempat sampah yang terbuat dari bahan yang cukup kuat, ringan, tahan
karat, kedap air, dan mudah dibersihkan, kantung plastik kuning untuk
menampung limbah medis/infeksius, kantung hitam untuk menampung limbah
non medis, dan safety box untuk menampung limbah tajam (Rohani dan Setio,
2010).
Pentingnya sarana dan prasarana dalam perubahan perilaku, didukung oleh
hasil penelitian dari Kusnaryanti (2005) dan Maironah, dkk (2011). Dua
penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan yang kuat dan positif antara
ketersediaan fasilitas dengan perilaku pengelolaan limbah rumah sakit. Namun,
hasil penelitian ini ditentang oleh Jasmawati, dkk (2012) yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara ketersediaan fasilitas dengan praktik petugas
pengumpul limbah medis.
3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)
Pengetahuan, sikap, dan fasilitas yang tersedia kadang-kadang belum
menjamin terjadinya perilaku seseorang. Sering terjadi seseorang tahu manfaat
tentang pengolahan limbah yang baik dan juga telah mampu menyediakan
31
sarana untuk pengolahan limbah, namun orang tersebut tetap tidak mengelola
limbah dengan baik karena orang yang dipercaya atau orang yang dihormatinya
(kepala ruangan) belum melakukan pengelolaan limbah yang baik. Contoh ini
menjelaskan bahwa seseorang yang menjadi role model merupakan faktor
penguat bagi terjadinya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2010).
WHO dalam Notoatmodjo (2012), menambahkan bahwa apabila ada seseorang
yang dipercaya, maka apa yang dikatakan atau perbuatan orang itu cenderung
dicontoh. Orang-orang yang dianggap penting ini disebut kelompok referensi,
misalnya kepala ruangan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian dari
Kusnaryanti (2005) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara praktik
kepala ruangan sebagai role model dengan praktik perawat dalam pengelolaan
sampah medis.
Dalam hal pemilahan limbah medis dan non medis, kepala ruangan memiliki
peran antara lain: memberikan penjelasan tentang limbah medis dan non medis
serta cara pemilahannya, memberikan contoh atau menunjukkan cara memilah
limbah medis dan non medis secara benar, mengingatkan dan memperhatikan
tindakan staf dalam memilah limbah medis dan non medis secara benar,
memberikan kesempatan pada staf untuk menyampaikan permasalahan dan
membantu staf dalam mencari solusi untuk permasalahan yang berhubungan
dengan pemilahan limbah medis dan non medis, serta memberikan pujian
terhadap staf yang melakukan pemilahan limbah medis dan non medis secara
benar (Sugiyono, 2013).