8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kacang Panjang
Kacang panjang bukan tanaman asli Indonesia, tetapi diduga berasal dari
India dan Afrika Tengah. Tanaman ini menyebar diseluruh daerah Asia Tropika
sehingga banyak dikenal kacang panjang jenis lokal yang sesuai dengan keadaan
lingkungan tempatnya tumbuh (Haryanto et al.,1999).
Kacang panjang termasuk dalam tumbuhan divisi Spermatophyta, kelas
Angiospermae, ordo Rosales, family Leguminosa, genus Vigna, spesies Vigna
sinensis, L. (Haryanto et al.,1999). Bunga kacang panjang berbentuk kupu-
kupu,warna bunga ada yang putih, biru atau ungu. Bunga kacang panjang dapat
menyerbuk sendiri. Ibu tangkai bunga keluar dari ketiak daun. Setiap ibu tangkai
bunga mempunyai 3 sampai 5 bunga. Penyerbukan dengan serangga dapat terjadi
dengan kemungkinan 10%. Buah kacang panjang berbentuk polong bulat panjang
dan ramping. Panjang polong sekitar 10-80 cm. Warna polong hijau muda sampai
hijau keputihan. Setelah tua warna polong putih kekuningan dan polong menjadi
liat. Pada satu polong berisi 8-20 biji kacang panjang (Nazaruddin, 2003).
Kacang panjang dapat tumbuh didataran rendah maupun dataran tinggi
dengan ketinggian antara 0-1500 m di atas permukaan laut (dpl). Kacang panjang
biasanya digolongkan sebagai sayuran dataran rendah karena tanaman ini tumbuh
lebih baik dan banyak diusahakan di dataran rendah pada ketinggian kurang dari
600 m dpl. Suhu harian yang sesuai untuk tanaman kacang panjang adalah sekitar
9
18-32° C dengan suhu optimim 25° C. Kacang panjang dapat ditanam sepanjang
musim, baik musim kemarau maupun musim hujan. Tanaman kacang panjang
membutuhkan curah hujan sekitar 600-2000 mm/tahun dan membutuhkan banyak
sinar matahari. Oleh karena itu lahan terbuka di dataran rendah lebih disukai,
sedangkan apabila dinaungi produksinya kurang memuaskan (Hutapea,1994).
Jenis tanah yang cocok untuk tanaman kacang panjang adalah tanah
berstektur liat berpasir dengan pH optimal yang dibutuhkan adalah 5,5-6,5. Tanah
yang terlalu asam dibawah pH 5,5 dapat menyebabkan tanaman tumbuh kerdil
karena keracunan garam aluminium (Al) yang larut dalam tanah (Nazzarudin,
2003).
Produksi rata-rata kacang panjang Indonesia pada tahun 1997 sampai
tahun 2000 adalah 400.66 ton, sedangkan produksi rata-rata pada tahun 2011
sampai tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 313.743 ton (BPSRI , 2014).
penurunan produksi kacang panjang disebabkan karena luasan panen mengalami
penurunan sebanyak 12% (sekitar 70.000 ha), produktivitas tanaman yang rendah
yakni 10,09 ton/ha, penggunaan benih dengan mutu yang kurang baik, dan
gangguan hama penyakit tanaman.
2.2 Hama dan Penyakit Tanaman Kacang Panjang
Hama penting yang dilaporkan menyerang kacang panjang antara lain,
tungau merah Tetranychus bimaculatus (Acarina: Tetranychidae), kutukebul
Bemisia tabaci (Hemiptera : Aleyrodidae), penggerek polong Riptortus linearis
(Hemiptera: Alydidae), kutu daun Aphis craccivora (Hemiptera : Aphisidae) dan
ulat penggerek polong Maruca restualis (Lepidoptera : Crambidae) (Anwar et al.
10
2005). Upaya yang banyak dilakukan untuk mengendalikan hama-hama tersebut
adalah dengan melakukan pergiliran tanaman, melakukan pengendalian secara
biologi dengan menggunakan musuh alaminya yaitu kumbang Scymnus sp dan
laba-laba.
Beberapa penyakit yang menyerang tanaman kacang panjang diantaranya
layu cendawan (Fusarium sp.), Antraknosa (Colletotricum lindemuthianum), puru
akar (Meloidogyne sp), penyakit sapu (Cowpea Witches-broom Virus/Cowpea
Stunt Virus), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum) dan penyakit mosaik
yang disebabkan oleh Bean common mosaic virus (BCMV), Bean yellow mosaic
virus (BYMV) dan Cowpea aphis borne mosaic virus (CABMV) (Anwar et al.,
2005). Penyakit mosaik vein banding yang dilaporkan oleh Damayanti et al.,
(2009) disebabkan oleh Bean common mosaic virus (BCMV) dan Cucumber
mosaic cucumovirus (CMV).
2.3 Penyakit Mosaik Vein Banding pada Kacang Panjang
Penyakit mosaik vein banding pada tanaman kacang-kacangan merupakan
penyakit yang disebabkan oleh virus yang dikenal dengan nama BCMV (Bean
common mosaic virus). Virus ini umumnya menginfeksi tanaman kacang-
kacangan seperti pada buncis (Phaseolus vulgaris), kacang tunggak (Vigna
unguiculata), kacang hijau (V.radiata) dan dari family Leguminosae lainnya
(Morales & Bos,1988).
Penyakit mosaik yang disebabkan oleh BCMV merupakan penyakit
penting pada tanaman kacang-kacangan. BCMV mempunyai kisaran inang tidak
11
terbatas pada tanaman Phaseolus spp., tetapi dapat juga menyerang tanaman
leguminosae yang lain (Palukaitis et al., 1997). BCMV dapat ditularkan secara
mekanis melalui beberapa spesies kutu daun secara nonpersisten dan melalui
benih. Adapun yang dapat menjadi vektor BCMV antara lain Aphis gossypii,
Aphis craccivora, Myzus persicae dan M.solanifolii.
Variasi gejala penyakit yang disebabkan oleh BCMV tergantung dari
strain BCMV, suhu dan genotip inang. Lebih dari 15 strain BCMV yang telah
diketahui diantaranya Blackeye, US1, US5, NL2, NL3, NL4, NL5, NL6, NL7 dan
NL8 (Morales & Bos, 1988). Gejala BCMV ditunjukkan dengan mosaik berupa
perubahan warna daun yang memperlihatkan warna hijau tua dan hijau muda,
dan terjadi penebalan pada tulang daunnya (vein banding). Tanaman yang
terinfeksi secara sistemik, khususnya dari infeksi benih menunjukkan gejala daun
dengan pola mosaik, daun menggulung dan mengkerut sepanjang tulang daun
(malformasi). Secara umum tanaman yang diinokulasi dengan virus biasanya akan
muncul gejala pada 7-10 hari setelah inokulasi (Dijkstra & Dejeger , 1998).
Cucumber mosaic virus (CMV) termasuk dalam kelompok Cucumovirus,
bersama-sama dengan Peanut stunt virus (PStV) dan Cabaio aspermy virus
(CAV). Virus ini mempunyai kisaran inang terluas diantara virus tanaman yang
diketahui saat ini, dan dilaporkan dapat menginfeksi lebih dari 800 spesies
tumbuhan dan dapat menyebabkan kerugian besar pada berbagai jenis tanaman
(Palukaitis et al., 1997). Gejala yang ditimbulkannya oleh CMV beragam karena
memiliki kisaran inang yang luas (Siregar, 1996). CMV mempunyai kisaran inang
12
yang sangat luas, terdapat pada tanaman sayuran, hias dan buah-buahan. Selain
menyerang mentimun, CMV juga menyerang tanaman melon, labu, cabai, bayam,
tomat, seledri, bit, polong-polongan, pisang, tanaman famili crucifereae,
delphinium, gladiol, lili, petunia, tulip, zinia, dan beberapa jenis gulma (Agrios,
2005).
Infeksi CMV pada cabai dapat menyebabkan berbagai perubahan pada
daun seperti perubahan warna (mosaik/mosaic atau belang/mottle); perubahan
bentuk (menggulung,menyempit, mengkerut atau berubah seperti tali
sepatu/shoestring, berukuran lebih kecil), dan mengalami nekrosis (membentuk
cincin-cincin nekrotik). Gejala pada batang adalah batang menjadi kerdil. Gejala
pada buah berupa distorsi, diskolorasi, deformasi, sunken areas, black spot,
bercak dan cincin-cincin nekrotik, serta buah bengkok. Gejala CMV pada daun
cabai dapat berupa gejala mosaik yang parah. Pada daun yang lebih tua akan
tampak gejala nekrotik cincin, buah akan mengalami malformasi bentuk, serta
terdapat bercak atau cincin berwarna kuning di tengah, pada buah dari tanaman
yang terserang CMV (Clark dan Adams, 1997).
Penyebaran CMV dapat dilakukan oleh lebih dari 60 spesies kutu daun,
khususnya oleh Aphis gossypii dan Myzus persicae secara non-persisten. Virus ini
bisa ditularkan hanya dalam waktu 5-10 detik dan ditranslokasikan dalam waktu
kurang dari satu menit. Kemampuan CMV untuk ditranslokasikan menurun kira-
kira setelah 2 menit dan biasanya hilang dalam 2 jam. Selain itu, beberapa isolat
dapat kehilangan kemampuannya untuk ditularkan oleh spesies kutudaun tertentu
13
tetapi tetap dapat ditularkan oleh spesies kutudaun yang lain. Berbagai spesies
gulma dapat menjadi inang CMV, oleh karenanya dapat menjadi sumber virus
bagi tanaman budidaya lain (Khetarpal et al., 1998). Pada daerah subtropis CMV
dapat melewati musim dingin dan bertahan pada gulma tahunan (Agrios, 2005).
2.4 Karakter Umum Potyvirus
Bean common mosaic virus (BCMV) termasuk dalam famili Potyviridae
dan genus Potyvirus (Agrios, 2005). Potyvirus merupakan grup terbesar dari 34
grup virus tanaman . Genus ini terdiri dari setidaknya 180 anggota definitif (91
spesies resmi dan 89 spesies tentatif. Sebanyak 30% dari semua virus tanaman
yang diketahui menyebabkan kerugian signifikan dalam bidang pertanian,
tanaman pakan ternak, tanaman hortikultura dan tanaman hias adalah Potyvirus
(Ward & Shukla 1991).
Partikel Potyvirus berbentuk filamen lentur (Gambar 2.1), tanpa envelop
berukuran panjang 680-900 nm dan lebar 11-15 nm. Material genetik Potyvirus
berupa poliprotein tunggal, untai tunggal, utas positif dengan panjang 10 kb.
14
Gambar 2.1. Partikel Potyvirus (Sumber :Winterhalter 2005)
Genom RNA terdiri dari satu open reading frame (ORF) yang
mengekspresikan satu poliprotein prekusor berukuran 350 kDa. Prekursor
poliprotein tersebut kemudian ditranslasi menjadi tujuh protein kecil yang
memiliki berbagai fungsi, dinotasikan sebagai P1, helper component (HC), P3,
cylindrical inclusion (Cl), nuclear inclusion A (Nla), nuclear inclusion B (Nlb),
capsid protein (CP), serta dua protein putatif kecil yang dikenal sebagai 6K1 dan
6K2 (Shukla et al.,1994) (Tabel 2.1 dan Gambar 2.2). Pada bagian terminal 3
diakhiri dengan motif poly-A tail (Hari et al.,1979; Takahashi, et al., 1997).
15
Tabel 2.1 Organisasi Genom Potyvirus
Protein Fungsi P1 Proteinase; Cell-to-cell movement. HC-Pro transmission oleh Aphid, Proteinase; Cell-to-cell movement. P3 Belum diketahui Cl Replikasi genome (RNA helicase); Membrane attachment,
stimulasiasam nukleat aktivitas ATPase ; Cell-to-cell movement. CP EncapsidaRNA; berperan dalam transmisi oleh vektor; Cell-to-
cell-movement. Nla-VPg Replikasi genome (Primer untuk inisiasi sintesis RNA). Nla-Pro Proteinase Nlb Replikasi genome (RNA-dependent RNA polimerase [RdRp]). 6K1 & 6K2 Belum diketahui, namun diduga berperan pada: Replikasi RNA,
pengatur untuk penghambatan translokasi nuclear Nla, membran pengikat proses replikasi.
(Sumber: Winterhalter, 2005).
Genom Potyvirus diekspresikan melalui translasi poliprotein dari genom
virus. Poliprotein mengalami pemotongan menjadi protein fungsional dan
struktural sesuai dengan gen yang disandikannya yang terjadi di dalam sitoplasma.
Selama dan sesudah translasi terjadi pemotongan poliprotein oleh protease yang
berasal dari ekspresi dari genom Potyvirus. Poliprotein yang diekspresikan oleh
genom virus diproses menjadi 10 protein fungsional oleh tiga jenis enzim
proteinase yang dihasilkan oleh virus itu sendiri (Hull, 2002).
P1 HC-Pro P3 Cl VPg Nla-Pro Nlb CP
Gambar 2.2. Organisasi Genom Potyvirus (Shukla et al., 1994)
Protein inklusi (CI) dan protein selubung (CP) berguna untuk pergerakan
dari satu sel inang ke sel inang lainnya melalui plasmodesmata. CP juga
digunakan untuk pergerakan virion protein dalam jaringan vaskuler melalui
VPg
6K1 6K2 JUTR
Poly-A
16
interaksi dengan Hc-Pro pada domain C- dan N- terminalnya.HC-Pro dengan
menggunakan antiviral yang disebut RNA silencing, berfungsi menekan
mekanisme pertahanan tanaman. Viral genome-linked protein (VPg) merupakan
protein multifungsi yang berperan pada saat amplifikasi dan pergerakan virus
yang berada pada ujung 5 genom virus. Protein ini merupakan bagian N-proximal
dari protein inklusi inti (NIa) dan terpisah secara autokatalik dari domain C-
proximal proteinase (NIa-Pro). VPg berikatan secara kovalen dengan ujung 5'
RNA virus melalui ikatan fosfodiester pada residu asam amino tirosin yang
terletak di bagian N-proximal. VPg mempunyai peranan penting untuk proses
infeksi virus. VPg juga berinteraksi dengan faktor inisiasi translasi (eIF(iso)4E),
dan diperlukan untuk infeksi secara sistemik. Genom Potyvirus mempunyai
bagian yang tidak berubah (conserved) dan daerah yang bervariasi. Hc-Pro dan
Nlb merupakan bagian yang tidak berubah. Daerah yang bervariasi adalah PI,
P3, dan CP (Ward & Shukla, 1991).
Penelitian keragaman genetik pada genus Potyvirus telah banyak
dilakukan berdasarkan gen-gen yang terlibat didalam pembentukan selubung
protein dan daerah 3'UTR. Daerah tersebut diketahui merupakan daerah yang
bervariasi diantara kelompok Potyvirus. Shukla & Ward (1988) menggunakan
runutan asam amino selubung protein (CP) untuk menilai hubungan kekerabatan
berbagai virus dalam kelompok Potyvirus. Kesamaan runutan asam amino CP
38% hingga 71% untuk strain virus yang berbeda, dan tingkat kesamaannya
mencapai 90% sampai 99% untuk strain dari virus yang sama.
17
2.5 Identifikasi dan Deteksi Virus
Pengamatan gejala penyakit saja tidak cukup untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi virus pada tanaman. Beberapa virus dapat menimbulkan gejala
yang sama pada tanaman yang sama, satu virus dapat menghasilkan variasi gejala
tergantung strain virusnya, campuran beberapa virus atau strain virus dapat
mempengaruhi gejala. Selain itu, suatu virus dapat menimbulkan gejala yang
berbeda pada tanaman yang berbeda. Kondisi lingkungan dan iklim juga
berpengaruh terhadap tipe gejala yang muncul (Hull, 2002).
Deteksi dan identifikasi menggunakan karakter molekuler umumnya
dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan sifat protein dengan uji serologi dan
sifat asam nukleat dengan hibridisasi DNA, ekstraksi dsDNA/dsRNA serta
PCR/RT-PCR (Foster & Taylor 1992; Hull, 2002).
2.5.1 Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Teknik serologi merupakan salah satu cara deteksi dan identifikasi suatu
patogen dalam suatu inang, yang memanfaatkan reaksi spesifik anatara antigen
dan antiserum (Crowther, 1995). Metode ini mengalami perkembangan yang
sangat pesat dan aplikasinya di bidang penyakit tumbuhan sudah sangat umum
digunakan, yaitu untuk mendeteksi suatu patogen khususnya virus dalamn
tanaman. Kegunaan yang lain dari uji serologi ini adalah untuk menentukan
konsentrasi virus dalam jaringan tanaman, mendeteksi virus tumbuhan dalam
tubuh serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar virus
(Agrios, 2005).
18
Keberhasilan dan ketelitian teknik serologi untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi virus sangat tergantung pada ketersediaan pereaksi diagnostik
seperti antiserum, dengan kualitas yang baik (Kumari et al. 2006). Antiserum
adalah serum yang mengandung antibodi (Noordam,1973). Antobodi adalah
molekul immunoglobulin yang dihasilkan oleh sistem imun dari hewan sebagai
tanggapan terhadap suatu rangsangan molekul asing (antigen) (Crowther, 1995).
Clark & Adams (1997) memperkenalkan ELISA untuk ilmu penyakit
tanaman. Sejak saat itu, ELISA sering digunakan untuk pengujian virus tanaman
dan patogen tanaman lainnya (Sutula et al.,1986). Pada ELISA, antigen atau
antibodi melekat pada sumuran pelat mikrotiter (Dijkstra & De Jager, 1998). Pelat
mikrotiter polistiren selain sebagai wadah sekaligus juga sebagai substrat
pengikat antigen atau antibody karena permukaannya mempunyai molekul-
molekul yang bermuatan positif (Wahyuni, 2005).
Prosedur ELISA dibagi menjadi dua metode yaitu direct-ELISA dan
indirect-ELISA. Pengujian direct-ELISA atau (DAS)-ELISA dalam virologi
tumbuhan biasanya memiliki dua atau tiga tahap penggunaan antibodi. Antibodi
dimasukkan secara langsung pada pelat mikrotiter untuk pengikatan antibodi
dengan tujuan untuk mengikat antigen secara spesifik ke pelat mikrotiter.
Antibodi kedua (biasanya dari sumber yang sama dengan antibodi pertama)
dikonjugasikan dengan enzim yang berfungsi sebagai pendeteksi antibodi (Martin
1998). Kerugian direct-ELISA adalah harus disiapkan konjugat secara terpisah
untuk masing-masing virus yang diuji. Pada metode indirect-ELISA, keberadaan
antigen-antibodi pertama terdeteksi oleh antibody yang diproduksi pada spesies
19
hewan yang berbeda dengan hewan sumber antibody pertama. Antibodi tersebut
biasanya disebut antibodi kedua yang telah dilabel enzim. Antibodi kedua dapat
digunakan untuk mendeteksi virus-virus yang berbeda. Antibodi tersebut
merupakan konjugat “universal”. Kespesifikan reaksi indirect-ELISA biasanya
lebih rendah dari pada metode DAS-ELISA (Dijkstra & De Jager, 1998).
Reaksi positif antara antigen dan antibody ditandai dengan perubahan warna
cairan kompleks antigen dan antibodi yang terkonjugasi dengan enzim menjadi
kuning atau biru toska, tergantung pada macam substrat yang digunakan.
Misalnya reaksi menggunakan p-nitrophenil phosphate akan menjadi berwarna
kuning. Intensitas warna yang bervariasi mencerminkan konsentrasi virus yang
terkandung dalam cairan tersebut. Intensitas warna yang terjadi dikonversikan
menjadi angka oleh spektrum cahaya pada A 405 nm dan alat untuk membacanya
disebut ELISA-reader. Inkubasi dengan enzim substrat berkisar 20 sampai 40
menit, dan tidak boleh lebih dari dua jam karena kontrol negatif akan ikut berubah
warnanya (Wahyuni, 2005).
2.5.2 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Karakterisasi virus tanaman dapat dilakukan juga melalui sifat asam
nukleat virus tersebut. Saat ini metode deteksi dan identifikasi virus yang akurat
banyak dilakukan berbasis pada pengetahuan biologi molekuler yang telah
berkembang sangat pesat. Teknik PCR merupakan cara cepat untuk
mengamplifikasi DNA secara invitro, sangat berguna dalam mengidentifikasi
virus yang menginfeksi tanaman, hewan dan manusia. Identifikasi virus dengan
20
teknik PCR didasarkan pada sifat primer yang spesifik (Sambrook et al., 1973).
Oleh karena itu penentuan primer sangat menentukan spesifik hasil deteksi.
PCR adalah suatu metode enzimatis dan banyak digunakan untuk berbagai
macam manipulasi dan analisis genetik, misalnya untuk melipatgandakan suatu
molekul DNA. Dengan metode ini, segmen tertentu pada DNA dapat digandakan
hingga jutaan kali lipat dalam waktu relatif singkat. Kelebihan lain metode PCR
adalah bahwa reaksi dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam
jumlah sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 μg,
oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM, dan reaksi ini biasa
dilakukan dalam volume 50- 100 μl (Yuwono, 2006).
Menurut Muladno (2010), PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk
menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis
molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut
melalui bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu
thermocycler. Panjang target DNA berkisar antara puluhan sampai ribuan
nukleotida yang posisisnya diapit sepasang primer. Primer yang berada sebelum
daerah target disebut sebagai forward primer dan yang berada setelah daerah
target disebut reverse primer. Enzim yang digunakan sebagai pencetak rangkaian
molekul DNA baru dikenal sebagai enzim polymerase (Muladno, 2010). Reaksi
pelipatgandaan suatu fragmen DNA dengan cara PCR terdiri dari tiga tahapan
atau tiga reaksi, yaitu denaturasi, penempelan primer (annealing), dan
pemanjangan primer (extension).
21
Denaturasi. Tahapan pertama dimulai dengan melakukan denaturasi DNA
cetakan sehinggga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan
terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan
dengan menggunakan panas (95ºC) selama 1-4 menit (Yuwono 2006). Denaturasi
yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA
untai ganda kembali) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagalnya proses PCR.
Adapun waktu denaturasi yang terlalu lama, mungkin dapat mengurangi aktivitas
enzim Taq polymerase (Muladno 2010).
Penempelan Primer (Annealing). Tahap kedua yaitu penempelan primer
(annealing) pada DNA cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal yang
dilakukan pada suhu 55ºC selama 1 menit. Primer akan membentuk jembatan
hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen
primer (Yuwono 2006). Pada tahapan ini, primer forward yang runutan
nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel
pada posisi komplemennya. Demikian juga primer reverse akan menempel pada
untai tunggal lainnya (Muladno 2010).
Pemanjangan Primer (Extension). Setelah kedua primer menempel pada
posisinya masing-masing, enzim Taq polymerase mulai mensintesis molekul
DNA baru yang dimulai dari ujung 3’ masing-masing primer (Muladno 2010).
Sintesis DNA ini terjadi pada suhu 72ºC selama 1-2 menit. Pada suhu ini, DNA
polymerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan
informasi yang ada pada DNA cetakan dengan bantuan enzim Taq DNA
polymerase (Yuwono 2006).
22
Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk
jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk
dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA
baru hasil polimerasi selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu
inkubasi menjadi 95ºC. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan
berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya. Ketiga tahapan
9tersebut diulangi lagi sampai 25-30 siklus sehingga pada akhir siklus akan
didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam
jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang
digunakan (Yuwono 2006)
Identifikasi secara tepat spesies yang menginfeksi tanaman sangat penting
untuk tindakan yang akan diterapkan dalam hal mengendalikan penyakit tersebut.
Untuk virus yang memiliki tipe genom RNA digunakan teknik RT-PCR.
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Teknik RT-PCR dikembangkan untuk melakukan analisis terhadap
molekul RNA hasil transkripsi yang terdapat dalam jumlah sangat sedikit di
dalam sel. Oleh karena PCR tidak dapat dilakukan dengan menggunakan RNA
sebagai cetakan, maka terlebih dahulu dilakukan proses transkripsi balik (reverse
transcription) terhadap molekul RNA sehingga diperoleh molekul cDNA
(complementary DNA). Molekul cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai
cetakan dalam proses PCR. Teknik RT-PCR ini sangat berguna untuk mendeteksi
ekspresi gen, untuk amplifikasi RNA sebelum dilakukan kloning dan analisis,
maupun untuk diagnosis agensia infektif maupun penyakit genetik (Yuwono
23
2006). Enzim transkriptase balik (reverse trancriptase) yang digunakan dalam
RT- PCR adalah enzim DNA polimerase dan molekul RNA yang berperan
sebagai cetakan didalam mensintesis molekul DNA (cDNA) yang komplementer.
RT-PCR adalah metode yang sangat sensitif, cepat dan banyak digunakan untuk
mendeteksi virus tanaman seperti ChiVMV, Chysanthemum B carlavirus (CBV)
(Tsai et al., 2008).
Metode RT-PCR adalah metode yang lebih dapat dipercaya dan lebih
sensitif sebagai metode pendeteksian virus atau indexing. Pada kajian biologi,
sering terjadi bahwa virus tidak terdeteksi, tetapi menunjukkan hasil positif
dengan metode serologi dan RT-PCR yang dapat mendeteksi virus pada
konsentrasi rendah (Moury et al., 2011). Metode RT-PCR juga mempunyai
kelemahan yaitu tidak dapat membedakan virus pada pengelompokan virus yang
sama atau tidak dapat mengetahui variabilitas yang terjadi diantara strain-strain
virus itu sendiri.
Keunggulan masing-masing metode deteksi sangat ditentukan oleh
berbagai faktor. Identifikasi virus dengan kajian biologis memerlukan waktu yang
cukup lama karena harus mempersiapkan tanaman indikator, tetapi biaya yang
digunakan tidak banyak. Metode serologi dan RT-PCR adalah metode yang lebih
dapat dipercaya dan lebih sensitif sebagai metode pendeteksi virus atau indexing,
dibandingkan dengan kajian biologi. Sering terjadi bahwa virus tidak terdeteksi
pada kajian biologi, tetapi menunjukkan hasil posistif dengan metode serologi dan
RT-PCR yang dapat mendeteksi virus pada konsentrasi rendah (Ram et al,. 2005).
Namun demikian ELISA dan RT-PCR harus ditunjang dengan laboratorium yang
dilengkapi dengan sarana alat-alat ELISA dan PCR.
24
2.6 Analisis Filogenitika
Filogenetika molekuler mengkombinasikan teknik biologi molekuler
dengan statistik untuk merekonstruksi hubungan filogenetika. Filogenetika
digambarkan sebagai klasifikasi secara taksonomi dari suatu organisme
berdasarkan pada sejarah evolusi yaitu filogeni merupakan bagian integral dari
ilmu pengetahuan yang sistematik yang mempunyai tujuan untuk menentukan
filogeni dari organisme berdasarkan karakteristiknya. Analisis filogenetika sekuen
asam amino dan protein biasanya akan menjadi penting dalam analisis sekuen.
Analisis filogenetika juga digunakan untuk mengikuti perubahan yang terjadi
secara cepat yang mampu mengubah suatu spesies, seperti virus. Pohon evolusi
adalah sebuah grafik dua dimensi yang menunjukkan hubungan diantara
organisme atau lebih spesifik lagi adalah sekuengen dari organisme. Pemisahan
sekuen disebut taxa (atau taxon jika tunggal) yang didefinisikan sebagai jarak
filogenetika unit pada sebuah pohon. Pohon terdiri dari cabang-cabang luar (outer
branches) atau daun-daun (leaves) yang merepresentasikan taxa dan titik-titik
(nodes) dan cabang merepresentasikan hubungan diantara taxa
Dengan pesatnya perkembangan teknik-teknik di dalam biologi molekuler,
seperti PCR (polymerasechain reaction) dan sikuensing DNA, penggunaan sikuen
DNA dalam penelitian filogenetika telah meningkat pesat dan telah dilakukan
pada semua tingkatan taksonomi, misalnya famili, marga, dan species. Sikuen
DNA dijadikan karakter dalam penelitian filogenetika karena beberapa fakta.
Yaitu : (1), sikuen DNA menawarkan data yang akurat melalui pengujian
homologi yang lebih baik terhadap karakter-karakter yang ada. (2), sikuen DNA
25
menyediakan banyak character states karena perbedaan laju perubahan basa-basa
nukleotida di dalam lokus yang berbeda adalah besar. dan (3) sikuen DNA telah
terbukti menghasilkan sebuah hubungan kekerabatan yang lebih alami (natural).
Sumber karakter DNA dapat diperoleh dari inti (nDNA), kloroplas (cpDNA), dan
mitokondria (mtDNA). Paling sedikit, ada tiga tahap penting dalam analisis
filogenetika molekuler, yaitu sequence alignment, rekonstruksi pohon
filogenetika, dan evaluasi pohon filogenetika dengan uji statistik.
Saat ini terdapat dua program komputer utama yang sering digunakan
untuk merekonstruksi pohon filogenetika, yaitu PAUP dan Mr Bayes. PAUP
(Phylogeny Analysis of Using Parsimony) merupakan paket yang menyediakan
banyak program untuk menyelesaikan berbagai aspek dalam analisis filogenetika
molekuler yang antara lain terdiri dari program untuk menyusun format data
sikuen DNA atau protein, untuk merekonstruksi pohon filogenetika (berdasarkan
metode parsimoni), dan untuk evaluasi pohon filogenetika. Perlu dicatat bahwa
program PAUP dapat me-run set data selain molekuler, misalnya morfologi.
Program PAUP dapat dijalankan baik dengan menggunakan computer ber-OS
(operating system) Macintosh maupun Windows. Program MrBayes merupakan
program multi fungsi untuk merekonstruksi pohon filogenetika (berdasarkan
metode Bayesian).
26
2.7 Penularan Virus
2.7.1 Penularan Virus Secara Mekanis
Secara umum, virus tumbuhan hanya dapat masuk ke dalam sel melalui
luka, oleh sebab itu virus tumbuhan sangat tergantung pada agensia eksternal yang
membantu membawa virus sampai ke tanaman inang. Manusia melalui kegiatan
pemanenan, penumbuhan tunas dan kegiatan budidaya lainnya dapat
memindahkan virus dari satu tanaman ke tanaman lain (Wahyuni, 2005).
Penularan secara mekanis banyak dipakai sebagai metode penularan untuk
percobaan di laboratorium.Virus yang menginfeksi tanaman hanya terbatas pada
floem atau pembuluh tapis tidak dapat ditularkan secara mekanis, karena inokulasi
itu hanya dapat mengintroduksi virus pada sel epidermis tanaman. Inokulasi
secara mekanik dilakukan dengan cara mengoleskan sap (ekstrak daun) pada
permukaan daun tanaman yang mengalami luka. Inokulasi virus dapat dilakukan
dengan penambahan karborundum (silicon karbida) ke dalam sap atau ditaburkan
pada permukaan daun. Karborundum berfungsi sebagai agensia abrasi saat ekstrak
dioleskan pada daun tanaman (Hidayat, 2007).
Keberhasilan inokulasi secara mekanis tergantung pada konsentreasi virus
dalam sap, sumber inokulum, metode penyiapan inokulum, ketahanan virus dalam
sap dan tanaman inang. Kondisi lingkungan sebelum dan sesudah inokulasi
seperti cahaya dan suhu juga mempengaruhi keberhasilan inokulasi (Sulandari, et
al., 2006).
Metode penyiapan inokulum juga menjadi faktor penentu keberhasilan
penularan virus secara mekanis. Selama penggerusan daun, berbagai metabolit
27
dari sel daun akan terlepas secara bersamaan dengan virus. Beberapa senyawa itu
dapat merusak virion atau dapat menghambat keinfektifan virus. Oleh sebab itu
ekstrak daun yang akan digunakan sebagai inokulum harus dikondisikan pada pH
yang sesuai untuk virus yang ditularkan (Harjosudarmo, 2008).
Prosedur umum pembuatan inokulum dilakukan dengan menggerus
jaringan tanaman yang terinfeksi dalam larutan potassium posphat pada pH 7-7,5.
Tingkat keasaman sangat penting diperhatikan karena pada umumnya pH optimal
untuk aktivitas beberapa enzim ribonuklease berada pada pH 5-6. Penggunaan pH
yang lebih tinggi akan mengurangi aktivitas nuclease yang dapat merusak virus.
Penggunaan pH 8-9 banyak digunakan untuk partikel virus yang mudah rusak.
Kehilangan infektifitas virus akibat adanya senyawa tannin dapat dihindari dengan
menggerus daun dalam suasana basa (Sulandari et al., 2006)
2.7.2 Penularan Virus Melalui Benih
Sampai saat ini telah diketahui 21 genus virus tumbuhan yang dapat
ditularkan melalui benih dan sekitar 18% dari virus itu dapat ditularkan melalui
benih dari satu atau lebih spesies tanaman inang. Walaupun hanya sebagian kecil
saja dari virus yang menginfeksi tanaman dan mengakibatkan biji tanaman
mengandung virus, tetapi biji yang membawa virus tersebut sangat besar
peranannya dalam penyebaran virus melalui benih yang secara ekonomi akan
sangat merugikan petani (Susetio, 2011).
Beberapa virus tumbuhan dapat ditularkan melalui biji atau polen. Kultivar
kentang yang baru hasil penyilangan dari tanaman yang terinfeksi virus, ternyata
tidak mengandung virus. Hal ini dianggap sebagai ketidakmampuan virus menular
28
melalui biji. Namun pada tahun 1910, TMV dapat ditularkan melalui biji. Pada
tahun 1918, telah dibuktikan pula bahwa BCMV tanaman kacang kacangan dapat
ditularkan melalui biji Phaseolus (Shukla et.al., 1994).CMV ditemukan dalam biji
mentimun liar (Echinocystis lobata), LMV (lettuce mosaicvirus) dalam biji selada
(1923) dan virus kedelai dalam biji kedelai ( 1924). Lebih dari 100 jenis virus
telah diketahui sebagai virus yang tular benih. Setiap biji yang terinfeksi dapat
menghasilkan sumber infeksi baru pada musim berikutnya atau tempat lain
(Shukla et.al., 1994).
Penularan virus melalui biji terjadi tepat di dalam biji atau pada jaringan
embrio. Kecuali untuk beberapa virus yang sangat stabil seperti TMV (Tobbaco
mosaic virus) dan CGMMV (Cucumber green mottle mosaic virus) dapat menular
walaupun berada pada kulit biji. Namun kebanyakan virus tidak dapat bertahan
pada kondisi kering sehingga akan hilang sejalan dengan pemasakan biji (Suryadi,
2003).
Tanaman kacang panjang di Thailand dilaporkan dapat ditularkan melalui
benih sebesar 75% yang diperoleh secara langsung di lapangan (Sorensen, 1996).
Penularan benih yang terinfeksi BCMV dapat terjadi melalui tanaman induk yang
terinfeksi pada saat kondisi tanaman masih muda. Efisiensi penularan akan
meningkat sebesar 83% melalui perantara vektor spesies kutu daun (Shukla et,al.,
1994).
29
2.7.3 Penularan Virus Melalui Vektor
Secara alami atau dalam praktek, virus dapat ditularkan atau
ditransmisikan oleh vektor serangga. Ada 3 jenis virus yang dapat ditularkan oleh
serangga vektor yaitu:
1. Virus nonpersisten. Serangga dengan tipe mulut menghisap membawa virus
pada stiletnya disebut virus nonpersisten. Serangga virus nonpersisten
umumnya mendapatkan virus melalui stilet setelah makan pada tumbuhan
sakit hanya selama beberapa detik (30 detik atau kurang) dan dapat
mentransmisi virus tersebut setelah pindah dan makan pada tumbuhan sehat
dalam waktu yang pendek, beberapa detik. Salah satu vektor virus
nonpersisten adalah aphis (kutu daun). Panjang waktu aphis tetap bersifat
viruliverous (menularkan virus) setelah mendapatkan virus bervariasi dari
beberapa menit sampai beberapa jam, setelah itu serangga tersebut tidak dapat
lagi mentransmisi virus. Kutu daun merupakan serangga vektor virus
tumbuhan yang sangat penting dan sebagian besar (kira-kira 160 jenis)
mentransmisi semua virus. Pada vektor stilet-borne, nampaknya virus tersebut
terbawa pada ujung stilet, dengan mudah hilang melalui penggosokan yang
terjadi selama menusuk sel inang dan tidak dapat bertahan melalui pergantian
kulit atau telur. Spesies kutu daun yang sama dapat mentransmisi beberapa
jenis virus, tetapi pada banyak kasus vektor virus bersifat agak spesifik. Yang
termasuk dalam virus nonpersisten antara lain: Potyvirus misalnya Bean
common mosaic virus, Carlavirus, Caulimovirus (Wahyuni, 2005).
30
2. Virus semipersisten. Pada virus semipersisten virus dapat bertahan dalam
vektornya lebih lama. Virus ini ditelan ke dalam saluran pencernaan
serangga dan peroide waktu makan agak lama dibandingkan dengan virus non
persisten (dari beberapa menit sampai beberapa jam). Kemampuan penularan
akan meningkat dengan meningkatnya periode makan akuisisi (priode yang
dibutuhkan serangga vektor untuk menghisap cairan sel dan memindahkan
virus ke tanaman sehat). Beberapa virus yang termasuk virus semipersisten
adalah Clasterovirus, misalnya Beet yellow virus dan Citrus tristeza virus
(Wahyuni, 2005).
3. Virus persisten. Virus persisten adalah virus yang dapat terbawa dari stilet ke
dalam alat pencernaan serangga vektor, kemudian masuk ke dalam darah,
kelenjar ludah, ke ludah dan melalui stilet lagi masuk ke dalam tanaman
sehat, ini artinya virus tetap persisten dalam tubuh vektor. Pada beberapa
kasus kutu daun mentransmisi virus sirkulatif, kutu daun tertentu tidak dapat
mentransmisi virus dengan segera tetapi harus menunggu beberapa jam
setelah mendapatkannya dengan makan pada tumbuhan sumber virus, tetapi
setelah kutu daun dapat mentransmisi virus, maka mereka terus dapat
mentransmisi virus dalam beberapa hari (transmisi persisten). Beberapa virus
yang termasuk virus persisten adalah Carrot Mottle Virus, Beet Western
Yellow (Sulandari, et al., 2006).
31
2.7.4 Peran Kutu Daun Sebagai Serangga Vektor Virus
Vektor patogen adalah organisme yang bertindak sebagai agens pembawa
patogen, dan dapat menularkannya ke tumbuhan lain. Serangga vektor virus yang
terbanyak termasuk dalam ordo Hemiptera dan Thysanoptera. Serangga vektor
yang termasuk ordo Hemiptera diantaranya kutudaun, kutu kebul, wereng daun
yang merupakan vektor utama virus dan menjadi vektor hampir 400 spesies virus.
(Fereres and Moreno, 2009).
Jumlah vektor dan ketergantungannya pada musim merupakan faktor
penting dalam epidemiologi penyakit virus. Efisiensi penularan virus oleh kutu
daun erat kaitannya dengan konsentrasi virus dan jumlah kutu daun,
karenasemakin banyak koloni kutudaun pada pertanaman maka proses kecepatan
multiplikasi virus semakin meningkat dan mempercepat perkembangan epidemic
penyakit. Faktor lain yang mempengaruhi diantaranya kemampuan kutu daun
dalam membawa dan menularkan virus, periode yang diperlukan kutu daun untuk
memperoleh cairan sel tanaman, periode untuk menghisap cairan sel dan untuk
memindahkan virus ke tanaman sehat, dan periode makan akuisisi selesai sampai
kutu daun mampu menularkan virus ke tanaman sehat (Bos ,1994).
2.7.4.1 Aphis craccivora
Menurut Borror et al. (1992) Aphis craccivora diklasifikasikan sebagai
Berikut:
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Insekta
32
Ordo : Hemiptera
Famili : Aphididae
Genus : Aphis
Spesies : Aphis craccivora
Siklus hidup A.craccivora pada kondisi lingkungan yang sesuai berkisar
antar 5-6 hari, dengan rata-rata 5,5 hari. Di daerah yang beriklim sedang
keperidian dapat mencapai 60 ekor. Walaupun demikian mortalitas pada nimfa
cukup besar, Serangga bersayap hanya menghasilkan kira-kira separuh dari
jumlah keturunan yang dapat dihasilkan serangga tidak bersayap (Jurgen et al.
1977).
Nimfa yang baru lahir panjangnya 0,35 mm dan lebarnya 0,18 mm
(Sutarjo, 1978). Serangga dewasa A. craccivora yang partonegenesis terdiri dari
dua bentuk, yakni bentuk tidak bersayap (apterae) dan bentuk bersayap (alateae)
(Cottier 1953; Eastop 1961).
Imago yang tidak bersayap kepalanya berwarna hitam dengan mata
berwarna merah gelap hampir hitam dan sepasang antena yang panjangnya dua
pertiga panjang tubuh dan terdiri dari 6 ruas. Antena tidak mempunyai sensorial
sekunder (Cottier 1953; Eastop 1961). Tubuhnya berukuran + 1,5-2 mm,
berwarna hitam (biasanya mengkilat) dan kadang – kadang sedikit bertepung
putih.
Bentuk imago bersayap dewasa hampir sama dengan serangga tidak
bersayap. Rata-rata ukuran tubuhnya lebih kecil dibandingkan serangga yang
33
tidak bersayap (Cottier, 1953). A.craccivora biasanya menyerang tanaman
Leguminoceae dengan kepadatan populasi yang berbeda-beda, tetapi pada musim
kemarau A craccivora dapat bertahan pada gulma. Serangga-serangga ini
menghuni permukaan bawah daun pada bagian atas tanaman. Pada saat
pembentukan bunga, populasi akan berkurang (Jurgen et al. 1997).
2.7.4.2 Myzus persicae
Menurut Borror et al. (1992) Myzus persicae diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Hemiptera
Famili : Aphididae
Genus : Myzus
Spesies : Myzus persicae
M. persicae adalah kutu daun yang berwarna kuning kehijauan atau
kemerahan. Baik kutu muda (nimfa atau aptera) maupun dewasa (imago)
mempunyai antena yang relatif panjang, kira-kira sepanjang tubuhnya. Panjang
tubuh ± 2 mm, tubuh lunak seperti buah pir (Tarumingkeng, 2001). M. persicae
ada yang bersayap dan ada yang tidak bersayap. Siklus hidup serangga ini adalah
± 18 hari. Kutu daun dewasa dapat menghasilkan keturunan (nimfa) tanpa melalui
perkawinan. Sifat ini disebut parthenogenesis, satu ekor dewasa dapat
menghasilkan kira-kira 40 ekor nimfa. Selama tidak mengalami gangguan dan
makanan cukup tersedia, kejadian tersebut berlangsung terus menerus sampai
populasi menjadi padat (Tarumingkeng 2001). Lama stadium tersebut tergantung
34
pada suhu udara, yaitu pada suhu 25°C dan 3 minggu pada suhu 15°C
(Ditlin, 2008).
Hidup M. persicae berkelompok pada bagian bawah helaian daun atau
pada pucuk tanaman. Nimfa dan imago mempunyai sepasang tonjolan pada ujung
abdomen yang disebut kornikel. Ujung kornikel pada kutu daun berwarna hitam.
Perkembangan M. persicae dapat tumbuh secara optimal pada saat tanaman
bertunas (Ditlin, 2008).
M. persicae adalah hama penting pada beberapa tanaman budidaya. Hal itu
disebabkan karena sifatnya yang polifag, reproduksi partenogenetik dan siklus
hidup pendek. Ketiga sifat itu menyebabkan kutu daun tersebut berkembang pesat
dan dapat ditemukan di berbagai tempat (Blackman & Eastop, 2000; Hill, 1995).
Di samping itu kutu daun tersebut merupakan vektor berbagai penyakit virus
tanaman (Harris & Maramorosch, 1997). M. persicae merupakan vektor lebih dari
150 strain virus (Pracaya, 2007), hal tersebut sesuai dengan Departemen Pertanian
(2009) bahwa M. persicae merupakan salah satu vektor penyakit virus mosaik
pada tanaman cabai.
2.7.4.3 Aphis gossypii
Menurut Borror et al. (1992) Aphis gossypii diklasifikasikan sebagai
berikut:
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Hemiptera
35
Famili : Aphididae
Genus : Aphis
Spesies : Aphisgossypii
Di daerah tropis penyebaran A.gossypii cukup luas, termasuk di beberapa
kepulauan daerah pasifik (Blackman & Eastop, 2000). A.gossypii bersifat
kosmopolit dan merupakan spesies yang sangat polifag (Kalshoven, 1981). Stadia
nimpa A.gossypii bervariasi dari 3-20 hari dengan rata-rata 7,3 hari, masa
reproduksi 2-31 hari dengan rata-rata 15,6 hari, masa pasca reprodukdi 0-21 hari
dengan rata-rata 5,3 hari dan lama hidup 9-29 hari dengan rata-rata 28,4 hari.
Seekor imago dapat melahirkan 1-14 ekor nimfa dengan rata-rata 4,3 ekor nimfa
per hari, sedang keperidian dengan rata-rata imago 67 nimfa (Ebeling, 1959).
Pada umumnya kutu daun yang ditemukan di lapangan tidak bersayap,
(Kalshoven, 1981).
Dilaporkan oleh Romoser (1998) kutu daun tidak hanya menghisap sari
makanan tanaman, tetapi juga sebagai agen penyebar penyakit virus. Penularan
virus dilakukan secara nonpersisten yaitu kutu daun dapat langsung menularkan
virus ke tanaman sehat segera setelah makan akuisisi pada tanaman sakit sumber
virus. Namun demikian kutu daun akan hilang kemampuannya untuk menularkan
virus setelah makan inolukasi pada tanaman sehat. Kutu daun infektif (membawa
virus) yang mendatangi pertanaman cabai akan segera menularkan virus pada
tanaman yang baru dihinggapinya, sehingga walaupun kutu daun tersebut mati
akibat pestisida yang diaplikasikan namun tanaman sudah terlanjur tertular virus
(Eka, 2011).