4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Umum
Pada dasarnya dalam merencanakan bangunan, contohnya jembatan terdiri
dari perencanaan struktur atas (upper structure) dan perencanaan struktur bawah
(sub structure). Perencanaan struktur atas terdiri dari bagian-bagian jembatan yang
berada di atas permukaan tanah. Perencanaan struktur bawah adalah bangunan yang
terdapat di bawah permukaan tanah, yaitu abutment dan pondasi.
2.2 Bangunan Bawah Jembatan
Bangunan bawah jembatan berfungsi sebagai bangunan yang menerima
beban-beban dari struktur atas dan didistribusikan ke pondasi. Bangunan bawah
jembatan meliputi:
a. Abutment
Abutment atau kepala jembatan berada pada kedua ujung jembatan.
Abutment memiliki fungsi sebagai pendukung bagi bangunan atas, selain itu
abutment juga memiliki fungsi untuk menahan tanah. Dalam merencanakan
bentuk abutment dipengaruhi oleh keadaan di lapangan seperti daya dukung
tanah dasar dan penurunan (settlement) yang terjadi. Pada proses
perencanaan abutment, bahan yang digunakan yaitu batu atau beton
bertulang
b. Plat Injak
Plat injak merupakan bagian dari struktur bawah jembatan yang
memiliki fungsi untuk mendistribusikan beban-beban yang diperoleh dari
bagian atas jembatan secara menyeluruh ke tanah dan untuk melindungi
terjadinya defleksi pada permukaan jalan.
5
c. Pondasi
Pondasi merupakan struktur bawah jembatan yang terletak di dalam
tanah. Pondasi berfungsi sebagai penahan beban bangunan yang berada di
atasnya dan mendistribusikan ke tanah dasar, baik kea rah melintang
maupun memanjang. Dalam perencanaan suatu bangunan, perlu
diperhitungkan beberapa hal untuk memperoleh bangunan yang kuat, stabil
dan ekonomis. Beberapa hal yang perlu diperhitungkan sebagai berikut:
Sifat-sifat dan daya dukung tanah.
Jenis dan ukuran bangunan yang akan dibuat.
Kondisi lingkungan pada lokasi pelaksanaan.
Alat-alat yang tersedia.
Waktu pelaksanaan yang cukup.
2.3 Tanah sebagai Dasar Pondasi
Pada pekerjaan konstruksi, tanah memiliki peran yang sangat penting.
Hardiyatmo (1996) menjelaskan bahwa kondisi tanah di alam merupakan campuran
dari butiran mineral yang mengandung bahan organik, akan tetapi ada juga butiran
mineral yang tidak mengandung bahan organik. Tanah terbentuk dari batuan yang
mengalami pelapukan, seperti pelaukan fisik maupun kimia. Tanah memiliki
berbagai sifat teknis, kecuali sifat dari batuan induk yang berasal dari material asal,
selain pelapukan batuan yang menyebabkan terbentuknya tanah juga disebabkan
oleh unsur-unsur lainnya.
Komponen tanah terdiri dari tiga hal, yaitu udara, air dan bahan padat.
Komponen-komponen tersebut tidak seluruhnya dapat mempengaruhi sifat teknis
tanah, seperti halnya udara yang tidak dapat mempengaruhi sedangkan air sangat
berperan dalam mempengaruhi sifat teknis tanah. Ruang dalam tanah yang terletak
di antara butiran-butiran dapat terisi oleh air atau udara, baik sebagian atau
seluruhnya. Apabila rongga pada tanah terisi oleh air seluruhnya. Apabila rongga
pada tanah terisi air seluruhnya, maka tanah berada pada keadaan jenuh. Akan
tetapi, apabila rongga pada tanah terisi oleh udara dan air, maka tanah berada pada
keadaan jenuh sebagian (partially saturated). Selain pada keadaan jenuh dan jenuh
6
sebagian, tanah juga dapat mengalami keadaan kering dikarenakan tidak adanya
kandungan air atau kadar air pada tanah yang bernilai 0.
2.4 Kekuatan Tanah sebagai Dasar Pondasi
Frick (2001), menjelaskan bahwa tanah sebagai dasar pondasi memiliki
kekuatan yang dipengaruhi oleh kelompok dan struktur lapisan tanah yang
mengalami perubahan akibat air hujan dan cuaca. Perencanaan pondasi bergantung
pada struktur tanah, apabila struktur tanah semakin heterogen maka semakin sulit
dalam merencanakan pondasi.
Dalam melakukan penyelidikan kekuatan tanah dilakukan berdasarkan
beberapa hal, yaitu:
Ketebalan dan kedalaman lapisan bumi, seperti lapisan yang akan
digunakan sebagai tempat peletakkan pondasi.
Tegangan tanah (σ) yang diijinkan.
Kondisi hidrologis tanah.
Selain kekuatan dan kelemahan tanah, kekokohan lapisan tanah dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
a) Pemadatan dan penurunan tanah yang diakibatkan oleh getaran
kendaraan, alat berat dan lain halnya.
b) Penurunan tanah yang diakibatkan oleh perubahan hidrologis, seperti
kadar air tanah atau penurunan muka air tanah, serta erosi pada tepi
sungai dan lain halnya.
c) Pergeseran tanah atau longsor yang diakibatkan oleh tekanan berat,
terendamnya tanah akibat peristiwa banjir atau air pasang.
Beberapa hal di atas mengakibatkan penurunan tanah yang tidak dapat
dihindari, akan tetapi dengan merencanakan pondasi yang baik akan menghambat
atau memperkecil terjadinya penurunan tanah.
2.5 Penyelidikan Tanah
Gunawan, dkk (1983) menjelaskan bahwa penyeledikan tanah di lapangan
perlu dilakukan. Hal ini memiliki tujuan agar sebelum dilakukannya perencanaan
7
bangunan perlu diketahui keadaan dan jenis lapisan tanah sehingga tidak
menimbulkan penurunan (settlement) yang terlalu besar. Oleh karena itu, pondasi
harus dibuat hingga kedalaman lapisan tanah keras.
2.5.1 Uji Sondir (Cone Penetratipn Test)
Penyelidikan tanah salah satunya yaitu dengan melakukan uji sondir yang
bertujuan untuk mendapatkan parameter-parameter perlawanan penetrasi lapisan
taanh di lapangan menggunakan peralatan sondir. Parameter-parameter tersebut
yaitu perlawanan konus (qc), perlawanan geser (fs), angka banding geser (Rf) dan
geseran total tanah (Tf) yang digunakan sebagai pemahaman teoritis terhadap
lapisan tanah yang merupakan bagian dari suatu desain pondasi.
Alat sondir yang umum digunakan dan telah diterima secara luas tercantum
dalam ASTM D 3441-75T yaitu sondir yang mempunyai luas proyeksi ujung konus
sebesar 10 cm2 dan luas selimutnya sebesar 150 cm2, penetrasi yang dilakukan
dengan manual atau hidrolik dengan kecepatan tidak lebih dari 2 cm/detik. Alat
sondir terdiri dari konus atau bikonus yang dihubungkan dengan batang dalam
penyanggah (casting). Kemudian alat sondir ini ditekan kedalam tanah dengan
bantuan mesin sondir hidrolik yang digerakkan secara manual.
Terdapat dua tipe ujung konus pada sondir mekanis yang digunakan dalam
melakukan pengambilan data, yaitu:
1. Konus biasa, yaitu tipe konus pada sondir mekanis yang diukur adalah
perlawanan ujung konus. Tipe ini umumnya digunakan pada jenis
tanah berbutir kasar dan memiliki besar perlawanan lekatnya kecil.
2. Bikonus, yaitu tipe ujung konus pada sondir mekanis yang diukur
adalah perlawanan ujung konus. Tipe ini umumnya digunakan pada
jenis tanah berbutir halus dan memiliki hambatan lekatnya yang biasa.
Kegunaan uji sondir dalam penyelidikan tanah menurut Sihotang (2009)
sebagai berikut:
Untuk mengetahui jenis dan karakteristik tanah.
Untuk memperoleh data-data mengenai pengeboran tanah.
Untuk menentukan daya dukung dari pondasi.
8
Untuk mengetahui kedalaman dari suatu lapisan tanah keras serta daya
dukung tanah maupun daya lekat pada tiap-tiap kedalaman.
Untuk mengetahui jenis tanah secara berskala.
Sebagai evaluasi atau tinjauan kembali mengenai karakteristik teknis
pada tanah.
Pada pengujian sondir yang dilakukan untuk memperoleh data tanah,
memiliki 2 tujuan umum, yaitu:
1. Tujuan praktis yaitu untuk mengetahui kekuatan dan kedalaman dari
lapisan-lapisan tanah.
2. Tujuan teoritis yaitu untuk mengetahui penetrasi konus dan jumlah
dari hambatan lekat tanah.
2.5.2 Uji SPT (Standard Penetration Test)
Penyelidikan tanah dengan menggunakan metode SPT (Standard
Penetration Test) merupakan metode yang dilakukan dengan menancapkan ujung
batang pemancangan ke dalam tanah dengan memberikan tekanan berupa pukulan
palu dan mengukur kedalaman penetrasi per jumlah pukulan. Uji SPT (Standard
Penetration Test) terdiri astas dua langkah pengujian yaitu uji pemukulan tabung
belah dinding tebal ke dalam tanah yang disertai dengan pengukuran kedalaman
penetrasi per jumlah pukulan untuk memasukkan tabung belah dengan kedalaman
300 mm secara vertikal. Dalam sistem beban jatuh, palu yang digunakan memiliki
berat sebesar 63,5 kg yang dijatuhkan secara berkala dengan tinggi jatuh palu yaitu
0,76 m.
Berdasarkan SNI 4153-2008, tahapan dalam pelaksanaan pengujian dibagi
menjadi tiga tahapan. Pada tahapan pertama dicatat sebagai dudukan, sedangkan
pada tahapan kedua dan ketiga yaitu dengan memasukkan jumlah pukulan,
kemudian ditotal untuk mendapatkan nilai pukulan sebanyak N atau perlawanan
SPT yang ditetapkan pada setiap pukulan /0,3 m.
Lembaran drilling log merupakan hasil dari pekerjaan bor dan SPT yang
berisis data-data sebagai berikut:
9
a. Penjelasan mengenai tanah seperti jenis dan warna tanah, serta tingkat
elastisitas dan ketebalan dari tiap lapisan tanah.
b. Pengambilan sampel contoh tanah asli atau Undisturbed Sample
(UDS).
c. Hasil uji SPT.
d. Letak muka air tanah.
e. Tanggal pekerjaan dimulai dan berakhir.
Jumlah pukulan sebanyak N bertujuan untuk mendapatkan petunjuk
mengenai kerapatan relatif di lapangan, umumnya untuk jenis tanah berpasir atau
kerikil dan hambatan dari jenis tanah terhadap penetrasi. Pengujian ini umumnya
dilakukan pada tanah keras.
Hubungan nilai N dengan kerapatan relatif (Dr) yang diusulkan oleh
Terzaghi dan Peck (1948), untuk tanah pasir disajikan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Hubungan N dengan kerapatan relative (Dr) tanah pasir (Terzaghi dan
Pack, 1998)
Nilai N Kerapatan relatif (Dr)
< 4 Sangat tidak padat
4 – 10 Tidak padat
10 – 30 Kepadatan sedang
30 – 50 Padat
> 50 Sangat padat Sumber: Christady, H. 2014. Hal: 49
Tujuan penyelidikan tanah dengan pengujian SPT (Standard Penetration
Test) menurut Sihotang (2009) yaitu:
Untuk mengetahui kepadatan relatif dari lapisan tanah berdasarkan
pengambilan sampel tanah menggunakan tabung sehingga dapat
diketahui ketebalan dan jenis tanah dari setiap lapisan kedalaman
tanah.
Untuk mendapatkan data yang bermutu pada perlawanan penetrasi
tanah serta menentukan kepadatan dari tanah yang tidak memiliki
keterikatan yang umumnya sulit diperoleh sampel tanahnya.
10
2.5.3 Uji Laboratorium
Uji laboratorium memiliki fungsi untuk memeperoleh sifat-sifat tanah dari
setiap lapisan tanah yang dilakukan pengujian bor. Sampel tanah diperoleh dari
setiap lapisan tanah yang kemudian dilakukan uji triaksial untuk memperoleh nilai
dari sudut geser dalam (ϕ), berat volume tanah (γ) serta kohesi tanah (C).
Pengujian laboratorium untuk perhitungan daya dukung tanah ujung
dilakukan berdasarkan empat metode, yaitu metode Terzaghi, Meyerhof, metode
Tomlinson dan metode Lamda. Metode Terzaghi, Meyerhof dan Tomlinson
digunakan untuk menghitung daya dukung pondasi berdasarkan data laboratorium.
Sedangkan metode Lamda digunakan untuk menghitung daya dukung selimut
pondasi.
2.6 Aksi Lingkungan
a. Beban Angin
Tekanan angin yang digunakan ditetapkan berdasarkan angin rencana
dengan kecepatan dasar (VB) sebesar 90 hingga 126 km/jam. Beban angin harus
diasumsikan tersebar secara merata pada permukaan yang terkena angin. Luas area
yang dihitung merupakan luas are dari semua bagian yaitu berupa sistem lantai dan
railing yang diambil tegak lurus terhadap arah angin. Besarnya nilai tekanan angin
rencana dengan satuan Mpa dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut.
PD = 𝑷𝑩 (𝑽𝑫𝒁
𝑽𝑹)
𝟐
(ton)…………………………………………………………..(2.1)
Sumber: SNI 1725: 2016 Hal: 56
Keterangan:
VDZ = kecepatan angin rencana pada elevasi rencana, Z (km/jam)
VB = kecepatan angin rencana, dengan kecepatan 90 – 126 km/jam pada elevasi
1000 mm
PB = nilai tekanan angin dasar yang disajikan pada Tabel 2.2
11
Tabel 2.2 Tekanan Angin Dasar Komponen Bangunan Atas Angin Tekan
(MPa)
Angin Hisap
(MPa)
Rangka, Kolom, Pelengkung 0,0024 0,0024
Balok 0,0024 N/A
Permukaan Dasar 0,0019 N/A
Sumber: SNI 1725: 2016 Hal: 56
Gaya total beban angin tidak boleh menggunakan nilai kurang dari 4,4
kN/mm pada bidang tekan dan 2,2 kN/mm pada bidang hisap struktur rangka dan
pelengkung. Selain itu, gaya total beban angin juga tidak boleh menggunakan nilai
kurnag dari 4,4 kN/mm pada balok atau gelagar.
b. Pengaruh Gempa
Pada perencanaan jembatan sangat penting untuk untuk meminimalisir
keruntuhan yang dapat terjadi tetapi dapat mengalami kerusakan dan gangguan
akibat terjadinya gempa. Beban gempa diperoleh dengan menggunakan
perhitungan pada persamaan berikut.
EQ = 𝑪𝒔𝒎
𝑹𝒅 × 𝑾𝒕………………………………………………………………...(2.2)
Sumber: SNI 1725: 2016 Hal: 58
Keterangan:
EQ = gaya gempa yang bekerja secara horizontal statis (kN)
Csm = koefisien respon gempa elastis
Rd = faktor modifikasi respon
Wt = berat keseluruhan pada struktur, yaitu berupa beban mati dan beban hidup
yang sesuai (kN)
Koefisien respon elastis (Csm) didapat berdasarkan peta percepatan batuan
dasar dan spectra percepatan yang sesuai dengan daerah gempa dan periode ulang
gempa rencana. Berdasarkan peta gempa, maka koefisien percepatan dikalikan
dengan nilai dari faktor amplifikasi yang sesuai pada kondisi tanah hingga
mencapai kedalaman tanah sedalam 30 m pada bagian bawah struktur jembatan.
Adapun koefisien respon gempa elastis yaitu sebagai berikut:
12
a. Untuk periode yang lebih kecil dari T0, koefisien respon gempa elastis
(Csm) diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut.
Csm = (SDS – As)𝑻
𝑻𝟎+ As………………………………………….(2.3)
b. Untuk periode yang lebih besar dari dan/atau sama dengan T0 dan
lebih kecil dari dan/atau sama dengan Ts, respon spektra percepatan,
Csm sama dengan SDS.
c. Untuk periode lebih besar dari Ts, koefisien respon gempa elastis Csm
diperoleh berdasarkan persamaan berikut.
Csm = 𝑺𝑫𝟏
𝑻………………………………………………………..(2.4)
Nilai faktor modifikasi respon untuk bangunan bawah dikategorikan
berdasarkan kepentingan bangunannya yang dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Faktor Modifikasi Respon untuk Bangunan Bawah
Bangunan Bawah Kategori Kepentingan
Sangat Penting Penting Lainnya
Pilar tipe dinding 1,5 1,5 2,0
Tiang/kolom beton bertulang
Tiang vertikal
Tiang miring
1,5
1,5
2,0
1,5
3,0
2,0
Kolom tunggal 1,5 2,0 3,0
Tiang baja dan komposit Tiang vertikal
Tiang miring
1,5 1,5
3,5 2,0
5,0 3,0
Kolom majemuk 1,5 3,5 5,0
Sumber: SNI 2833: 2013
Sedangkan nilai faktor modifikasi respon untuk hubungan antar elemen
struktur yang didasarkan pada semua kategori kepentingan dapat dilihat pada Tabel
2.4.
Tabel 2.4 Faktor Modifikasi Respon untuk Hubungan antar Elemen Struktur Hubungan Elemen Struktur Semua Kategori Kepentingan
Bangunan atas dengan kepala jembatan 0,8
Sambungan muai (dilatasi) pada bangunan atas 0,8
Kolom, pilar, atau tiang dengan bangunan atas 1,0
Kolom atau pilar dengan pondasi 1,0
Sumber: SNI 2833: 2013
13
2.7 Abutment Jembatan
Abutment atau kepala jembatan merupakan struktur bawah jembatan yang
berada pada ujung-ujung jembatan. Abutment memiliki fungsi untuk memikul
seluruh beban-beban yang bekerja pada ujung luar batang, pinggir dan gaya-gaya
lainnya, serta meneruskan ke bagian pondasi. Apabila syarat keamanan dari daya
dukung tanah yang terletak pada bagian bawah abutment tidak terpenuhi maka daya
dukungnya harus ditambah, yaitu dengan melakukan perencanaan pondasi dalam,
contohnya pondasi caisson atau pondasi sumuran.
Struktur dari abutment secara umum terdapat tiga bentuk yang disajikan
pada Gambar 2.1. Sedangkan untuk tinggi abutment sebaiknya disesuaikan seperti
pada Tabel 2.5.
Gambar 2.1 Bentuk Umum dari Abutment Sumber: Sosrodarsono, dkk. 2000. Hal: 303
Tabel 2.5 Tinggi Abutment untuk Berbagai Bentuk
Macam
Kepala
Abutment
Tinggi pemakaian (m)
0 5 10 15 20 25
Tipe
dengan
penopang
8 meter
Bentuk T
terbalik 12 meter
Tipe semi
gravitasi 7 meter
Tipe
gravitasi 5 meter
Sumber: Sosrodarsono, dkk. 2000. Hal: 303
14
Pengertian abutment menurut Child (1993), abutment dapat diartikan
sebagai dinding penahan tanah yang memiliki fungsi untuk mendistribusikan gaya-
gaya vertikal dan horizontal dari struktur atas ke pondasi dengan tujuan tambahan,
yaitu untuk melakukan perubahan tumpuan dari oprit ke bagian struktur atas
jembatan. Apabila abutment dalam perencanaannya dibuat semakin tinggi, maka
berat tanah timbunan dan tekanan tanah aktif akan semakin tinggi pula, hal inilah
yang sering kali dilakukan pembuatan bermacam-macam bentuk untuk mengurangi
pengaruh-pengaruh yang terjadi. Untuk perencanaan abutment yang aman faktor
keamaan dapat diperbesar yaitu dengan melakukan pengurugan tanah setinggi
elevasi peletakkannya. Penambahan faktor keamanan juga memberikan akses yang
baik pada konstruksi plat jembatan.
2.7.1 Kriteria dalam Perencanaan Abutment
Pada perencanaan abutment, hal pertama yang harus dilakukan adalah
menentukan dimensi abutment. Penentuan dimensi abutment yang didasarkan pada
Perencanaan Jembatan oleh Direktorat Jembatan dan Direktorat Jenderal Bina
Marga, maka dimensi abutment yang dapat digunakan yaitu seperti pada Gambar
2.2 di bawah ini.
Gambar 2.2 Perencanaan Dimensi pada Abutment
Sumber: Direktorat Jembatan dan Direktorat Jenderal Bina Marga. Hal: 122
15
Pada perencanaan abutment jembatan, perlu dilakukan perhitungan gaya-
gaya dan beban yang bekerja pada abutment tersebut. Pada Gambar 2.3 merupakan
penjelasan mengenai perletakkan gaya-gaya yang bekerja pada abutment.
Gambar 2.3 Gaya yang Bekerja pada Abutment
Sumber: Supriadi, B., & Muntohar, A. S., 2007
Keterangan:
Pa1, Pa2, Pa3 = gaya tekan aktif tanah pada bagian belakang abutment
Pp1, Pp2 = gaya tekan pasif tanah pada bagian depan abutment
G = berat sendiri abutment
G1 = gaya gempa akibat struktur atas
Hg = gaya gesek akibat tumpuan bergerak
Hrm = gaya akibat rem
Rvd = gaya tekan akibat beban dari atas
Gaya horizontal tanah
Beban Tekanan Tanah
Untuk menghitung koefisien tanah nominal perlu mengetahui
sifat-sifat tanah. Dari hasil pengukuran dan oengujian tanah
didapat sifat-sifat tanah yaitu kepadatan, kadar kelembaban,
16
kohesi sudut geser dalam, dan lain-lainnya. Dalam kondisi
normal, tekanan tanah belakang dan depan abutment dapat
dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
1) Tekanan Tanah Aktif
Beban bekerja pada ketinggian 2/3 H
Ka = [𝒕𝒂𝒏 (𝟒𝟓 −𝝋
𝟐)]
𝟐
atau Ka = 𝒕𝒈𝟐 × (𝟒𝟓° −𝝋
𝟐)…(2.5)
Pa1 = Ka x q x h1 x L………………………………….(2.6)
Pa2 = 0,5 x x H2 x Ka x L…………………………..(2.7)
Keterangan:
Ka = koefisien dari tekanan tanah aktif
φ = nilai sudut geser dalam
Pa = tekanan tanah aktif (ton)
γ = berat jenis tanah urug (ton/m3)
L = panjang melintang pada abutment (m)
H = tinggi pada abutment (m)
Sumber: Christady H. 2014. Hal: 451
2) Tekanan Tanah Pasif
Beban bekerja pada ketinggian 2/3 H
Kp = [𝒕𝒂𝒏 (𝟒𝟓 −𝝋
𝟐)]
𝟐
atau Kp = 𝒕𝒈𝟐 × (𝟒𝟓° −𝝋
𝟐)…(2.8)
Pp = 0,5 x x H2 x Kp x L…………………………….(2.9)
Keterangan:
Kp = koefisien dari tekanan tanah pasif
Pp = tekanan tanah pasif (ton)
Sumber: Christady H. 2014. Hal: 456
3) Tekanan Tanah Akibat Beban Lalu Lintas
Beban bekerja pada ketinggian 2/3 H
Pq = Q x Ka x H x L…………………………………(2.10)
Keterangan:
17
Pq = tekanan tanah akibat beban lalu lintas (ton/m)
Q = beban lalu lintas (ton/m)
Sumber: Christady H. 2014.
2.7.2 Stabilitas Abutment
Dalam mengontrol kestabilan Abutment dari segi guling, geser,
eksentrisitas, serta tegangan dengan mempertimbangkan dua kondisi, yaitu kondisi
normal dan pada kondisi gempa seperti persamaan dibawah ini:
1. Syarat Aman terhadap Geser
Pengecekan keamanan abutment terhadap geser dapat diketahui
dengan melakukan perhitungan menggunakan persamaan berikut:
SF = 𝚺𝐕 . 𝐭𝐚𝐧
𝟐
𝟖𝛗˚+𝐜.𝐁
𝚺𝐇 ≥ FK………………………………………..(2.11)
Keterangan:
FK = Faktor Keamanan
FK ≥ 1,5 (kondisi normal)
FK ≥ 1,2 (kondisi gempa)
2. Syarat Aman terhadap Guling
Pengecekan keamanan abutment terhadap guling dapat diketahui
dengan melakukan perhitungan menggunakan persamaan berikut:
SF = 𝚺𝐌𝐱
𝚺𝐌𝐲 ≥ FK…………………………………………………(2.12)
Keterangan:
FK = Faktor Keamanan
FK ≥ 1,5 (kondisi normal)
FK ≥ 1,2 (kondisi gempa)
3. Syarat Aman terhadap Eksentrisitas
Gaya-gaya resultan yang bekerja pada konstruksi harus diusahakan
berada pada daerah inti, yaitu dari bagian tengah dan dasar dinding
18
dengan jarak kiri dan kanan sebesar 1/6 lebar dasar. Cek keamanan
terhadap eksentrisitas dapat menggunakan rumus:
e = 𝐁
𝟐−
𝚺𝐌𝐱−𝚺𝐌𝐲
𝚺𝐕 <
𝐁
𝟔…………………………………………….(2.13)
4. Kontrol terhadap Tegangan
Pengecekan keamaan abutment terhadap tegangan dapat diketahui
dengan melakukan perhitungan menggunakan persamaan berikut:
σ = 𝚺𝐕
𝐁.𝐋− (𝟏 ±
𝟔𝐞
𝐁) ≤ Qijin……………………………………...(2.14)
Jika σmaks = Qall (OK)
Jika σmin ≤ Qall (OK)
Dalam melakukan perhitungan, apabila nilai e > B/6 maka nilai qmin akan
bertanda negatif sehingga lebar dasar dari dinding penahan perlu diperbesar.
Perencanaan abutment harus dilakukan dengan baik dan teliti agar beban yang
bekerja pada abutment tidak menyebabkan terjadinya tekanan yang besar ke tanah
di bawahnya. Hal ini dikarenakan, tekanan yang besar dapat menyebabkan
terjadinya penurunan yang besar pula bahkan dapat menyebabkan terjadinya
keruntuhan pada abutment.
Pada Gambar 2.4 merupakan penjelasan mengenai perletakkan gaya-gaya
luar yang bekerja pada abutment.
19
Gambar 2.4 Gaya Luar yang Bekerja pada Abutment
Sumber: Sosrodarsono, dkk. 2000. Hal: 308
Keterangan:
R1 = beban hidup akibat bangunan atas (t/m)
Rd = beban mati akibat bangunan atas (t/m)
Hs = gaya mendatar akibat gesekan dari penahanan gerak (t/m)
q = beban pembebanan, yaitu 1 t/m2
Pa = gaya tekanan tanah (t/m)
Ws = berat tanah (t/m)
F = gaya angkat (t/m)
q1, q2 = reaksi tanah (t/m2)
2.7.3 Penulangan Abutment
Perhitungan mengenai batas-batas penulangan abutment dapat dilakukan
dengan berdasarkan rumus yang sama seperti rumus pada perhitungan penulangan
pada struktur, yaitu:
ρb = (𝟎,𝟖𝟓 𝒙 𝜷𝟏 𝒙 𝒇′𝒄
𝒇𝒚) 𝒙 (
𝟔𝟎𝟎
𝟔𝟎𝟎+𝒇𝒚)……………………………………….. (2.15)
ρmax = 0.75 x ρbln………………………………………………………..(2.16)
20
ρmin = 𝟏,𝟒
𝒇𝒚 ………………………………………………………………..(2.17)
m = 𝒇𝒚
𝟎,𝟖𝟓 𝒙 𝒇′𝒄…………………………………………………………..(2.18)
Mn = 𝑴𝒖
∅………………………………………………………………..(2.19)
Rn = 𝑴𝒏
𝒃 . 𝒅𝟐……………………………………………………………...(2.20)
ρperlu = 𝟏
𝒎{1-√𝟏 − (
𝟐.𝒎.𝑹𝒏
𝒇𝒚)}……………………………………………... (2.21)
Luas tulangan: As = ρmin x b x d…………………………………………….(2.22)
Tulangan bagi: As bagi = 20% x Aspokok……………………………………(2.23)
Kontrol Tulangan Geser
Vc = (𝟏
𝟔√𝐟′𝐜) 𝐱 𝐛 𝐱 𝐝…………………………………………............(2.24)
Φ x Vc < Vu < 3 x ϕ x Vc………………………………......................(2.25)
Vs perlu = 𝐕𝐮−𝚽.𝐕𝐜
𝚽……………………………………………………...(2.26)
Av = 2 .¼ .π . d2………………………………………........................(2.27)
S = 𝐀𝐯 .𝐟𝐲 . 𝐝
𝐕𝐬………………………………………………………….(2.28)
Jarak Sengkang Maksimum Tulangan Geser
Smax = 𝐝
𝟐………………………………………………………...(2.29)
Vs ada = 𝐀𝐯 . 𝐟𝐲 . 𝐝
𝐒…………………………………………………(2.30)
Syarat: Vs ada > Vs perlu → aman
Sumber: Santoso. 2009. Hal: 16 – 17
2.8 Pondasi pada Jembatan
Pondasi merupakan suatu komponen utama pada konstruksi yang berada
pada bagian paling bawah dari suatu struktur atua bangunan (sub structure) yang
bertujuan untuk menyalurkan beban dari bagian atas struktur atau bangunan (sub
structure) ke lapisan tanah yang berada di bawahnya tanpa menyebabkan
keruntuhan geser tanah dan penurunan (settlement) tanah atau pondasi yang
21
berlebihan. Pondasi pada jembatan merupakan bagian dari struktur bawah jembatan
yang memiliki fungsi untuk memikul beban-beban yang bekerja pada pilar atau
abutment dan gaya-gaya lainnya kemudian melimpahkan ke lapisan tanah
pendukung.
Beberapa fungsi dari pondasi pada konstruksi bangunan yaitu:
Sebagai kaki pada bangunan atau alas bangunan.
Sebagai penahan struktur bagian atas bangunan dan mendistribusikan
beban-beban dari atas ke dasar tanah yang cukup kuat.
Sebagai penahan agar kondisi suatu bangunan stabil.
Secara umum, macam-macam pondasi dibagi menjadi dua yaitu pondasi
dangkal dan pondasi dalam. Pondasi dangkal merupakan pondasi yang digunakan
untuk perencanaan bangunan yang berada di atasnya tidak terlalu besar. Pondasi
dalam merupakan jenis pondasi yang digunakan untuk perencanaan bangunan
dengan kondisi tanah lembek, selain itu dapat juga untuk bangunan bertingkat dan
memiliki bentang cukup besar yaitu dengan jarak antar kolom adalah 6 meter.
Beberapa syarat utama perencanaan pondasi yaitu:
Pondasi harus cukup kokoh untuk menahan beban geser yang diakibatkan
beban vertikal ke bawah.
Dapat mengikuti pergerakan tanah yang tidak stabil.
Memiliki ketahanan terhadap pengaruh dari perubahan cuaca.
Memiliki ketahanan terhadap pengaruh dari bahan kimia.
Oleh karena itu, pondasi harus kokoh, aman dan stabil. Hal ini bertujuan
agar penurunan pada pondasi tidak terjadi serta pondasi tidak mengalami patah.
Apabila pondasi mengalami penuruna dan patahan, maka akan sulit untuk
memperbaikinya.
Beberapa hal yang akan terjadi apabila pondasi mengalami penurunan dan
patahan adalah sebagai berikut.
Kerusakan seperti retak pada dinding-dinding pondasi.
Lantai dan plat mengalami keretakan dan bergelombang.
Terjadinya penurunan pada struktur atas jembatan.
22
Terdapat tiga macam kriteria yang harus dilakukan dalam merencanakan
pondasi, yaitu:
Perencanaan pondasi harus tepat agar pondasi tidak mengalami longsor
yang disebabkan oleh pengaruh luar.
Pondasi harus direncanakan dengan baik agar aman sehingga terhindar
dari longsoran akibat daya dukung.
Pondasi harus aman dari penurunan yang terjadi secara berlebihan.
2.9 Pondasi Sumuran
Pondasi sumuran seperti yang disajikan pada Gambar 2.5 adalah peralihan
antara pondasi dangkal dan pondasi tiang. Umumnya, pondasi sumuran terbuat dari
beton bertulang atau pracetak. Pada kondisi tanah yang kurang baik dan lapisan
tanah kerasnya yang berada pada kedalaman lebih dari 5 m, maka pondasi sumuran
sangatlah tepat untuk digunakan.
Gambar 2.5 Pondasi Sumuran
Sumber: Fathin. 2017. Hal: 5
Pondasi sumuran berbentuk lingkaran yang menerus ke bawah, hal ini
dikarenakan dalam pengerjaannya membuat lubang-lubang seperti sumur. Lubang
ini kemudian digali hingga mencapai tanah keras dan dicor menggunakan beton dan
batu belah sebagai pengisinya. Pada kondisi tanah lempung pondasi sumuran sangat
23
cocok untuk mencegah ketidakstabilan pondasi. Adapun kelebihan dari pondasi
sumuran sebagai berikut:
Memiliki daya dukung lebih besar.
Dimensinya bisa dibuat bervariasi.
Tidak menimbulkan suara berisik.
Tidak menyebabkan getaran keras.
Diameter tiang memungkinkan dibuat besar, bila perlu ujung bawah
tiang dapat dibuat lebih besar guna mempertinggi kapasitas
dukungnya.
Tidak ada risiko kenaikan muka tanah.
Bentuk pondasi sumuran seperti yang terjadi pada Gambar 2.6 dapat
bermacam-macam sesuai dengan beban yang akan bekerja dan kuat daya dukung
tanah dasar pondasi. Pondasi sumuran umumnya memiliki bagian-bagian yang
sama. Berikut tampak pondasi sumuran pada umumnya:
Lingkaran tunggal
Segi empat
Lingkaran/hexagonal/octagonal ganda
Sumuran ganda
Bentuk D ganda
Gambar 2.6 Tampak Pondasi Sumuran
Sumber: Adrianus. 2014. Hal: 21
24
2.9.1 Daya Dukung Kelompok Tiang Pondasi Sumuran
Dalam menghitung daya dukung pondasi terdapat beberapa hal yang harus
diketahui, yaitu data tanah, momen yang bekerja dan beban yang diterima. Dalam
merencanakan pondasi sumuran, perhitungan mengenai daya dukung tiang pondasi
sumuran dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
Qu = Qp + Qs – Wp……………………………………………………...(2.32)
Keterangan:
Qu = daya dukung ultimit tiang
Qp = daya dukung pada ujung tiang (ton)
Qs = daya dukung selimut yaitu 0 (ton)
Wp = berat tiang
Qp = qp x Ap → qp = qca x k……………………………………………...(2.33)
Keterangan:
Qp = daya dukung pada ujung tiang (ton)
Ap = luas penampang ujung tiang (cm2)
qp = tahanan pada ujung tiang (kg/cm2)
qca = tahanan pada konus pada ujung tiang (kg/cm2)
kc = faktor ujung konus
Qs = ∑fs x As……………………………………………………………...(2.34)
Keterangan:
fs = tahanan gesek pada selimut tiang (kg/m2)
As = luas penampang tiang (m)
2.9.2 Daya Dukung Izin untuk Kelompok Tiang Pondasi Sumuran
Dalam perencanaan pondasi sumuran umumnya menggunakan tiang
berkelompok. Penggunaan tiang berkelompok bertujuan agar dapat menahan
beban-beban yang bekerja secara bersama. Berikut rumus daya dukung izin
kelompok tiang pada pondasi sumuran.
25
Qpg = Eg x n x Qall…………………………………………......................(2.35)
Keterangan:
Qpg = Daya dukung yang diizinkan untuk kelompok tiang (kg)
Qall = Daya dukung izin vertikal untuk tiang tunggal (kg)
Eg = Efisiensi kelompok tiang
n = Jumlah tiang
2.9.3 Efisiensi Kelompok Tiang
Pada sub bab 2.9.1 mengenai daya dukung kelompok tiang yang dibutuhkan
masih belum sempurna dikarenakan daya dukung kelompok tidak sama dengan
daya dukung pada satu tiang dikalikan dengan jumlah tiang. Hal tersebut dikatakan
tidak sama karena intervensi (tumpang tindih) garis-garis tegangan dari tiang-tiang
yang letaknya saling berdekatan (group action). Oleh karena itu, terdapat angka
efisiensi yang menyatakan mengenai pengurangan dari daya dukung kelompok
tiang yang terjadi akibat group action.
Berdasarkan Converse – Labarre dari Uniform Building Code AASHTO
diperoleh efisiensi kelompok tiang dengan persamaan sebagai berikut:
Eg = 1 - ϴ(𝒏−𝟏)𝒎+(𝒎−𝟏)𝒏
𝟗𝟎 𝒎𝒏………………………………………......................(2.36)
Daya dukung vertikal kelompok = Eg x Jumlah pile x daya dukung ijin tiang
Keterangan:
Eg = Efisiensi kelompok tiang
ϴ = Arc tg (D/s) (derajat)
D = Ukuran penampang tiang
s = Jarak antara tiang (as ke as)
m = Jumlah tiang dalam 1 kolom
n = Jumlah tiang dalam 1 baris
Syarat: daya dukung kelompok tiang harus memiliki nilai yang lebih besar
daripada gaya aksial yang terjadi
Sumber: Pamungkas, dkk., Hal: 55
26
2.9.4 Penurunan Kelompok Tiang
Penurunan tiang yang terjadi pada kelompok tiang adalah jumlah dari
penurunan elastis atau penurunan yang terjadi dalam waktu dekat (immediate
settlement), Si dan penurunan yang terjadi dalam jangka waktu yang lama (long
term consolidation settlement), Sc.
S = Si + Sc………………………………………………………………(2.37)
Keterangan:
S = penurunan total (m)
Si = immediate settlement (m)
Sc = consolidation settlement (m)
Sumber: Pamungkas, dkk., Hal: 79
1. Penurunan Segera (Immediate Settlement)
Penurunan segera merupakan penurunan yang diakibatkan adanya
penyimpangan massa tanah yang tertekan dan terjadi pada saat volume konstan.
Perhitungan mengenai penurunan segera dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan dari Janbu, Bjerrum dan Kjaernsli (1959) sebagai berikut:
𝑺𝒊 = 𝝁𝟏𝝁𝟎 𝒒𝑩
𝑬……………………………………………………………….(2.38)
Keterangan:
Si = penurunan segera (immediate settlement) (m)
B = lebar kelompok tiang (m)
q = tekanan yang terjadi (Pu/A)
E = modulus elastisitas tanah (kN/m2)
1 = Faktor koreksi untuk lapisan tanah dengan tebal terbatas H
o = Faktor koreksi untuk kedalaman pondasi
2. Penurunan Konsolidasi (Consolidation Settlement)
Pengertian penurunan konsolidasi menurut Leonard (1962), penurunan
konsolidasi yaitu penurunan yang dapat terjadi pada jenis tanah berbutir halus yang
berada di bawah muka air tanah. Penurunan ini terjadi dalam jangka waktu lama
27
tergantung keadaan dari lapisan tanahnya. Perhitungan mengeani penurunan
konsolidasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
Sc = 𝐇
𝟏+𝐞 . 𝐂𝐜 𝐥𝐨𝐠
𝐏𝟎+𝚫𝐩
𝐏𝟎………………………………………….....................(2.39)
Keterangan:
Sc = penurunan konsolidasi (consolidation settlement) (m)
H = ketebalan lapisan tanah (m)
Cc = indeks pemampatan
e = angka pori tanah
Po = tegangan efektif sebelum beban bekerja (kN/m2)
∆p = tambahan tegangan yang disebabkan oleh beban pondasi (kN/m2)
2.9.5 Penulangan Pondasi Sumuran
Untuk menghitung tulangan pondasi dapat dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Menentukan Momen Nominal (Mn)
𝑴𝒏 = 𝑴𝒖
𝝋………………………………………………......................(2.40)
Keterangan:
Mn = Momen nominal yang bekerja
Mu = Momen maksimum yang bekerja pada tiang
= Faktor reduksi kekuatan tekan menggunakan tulangan spiral, yaitu
bernilai 0,7
2. Menghitung min, b, dan max
ρmin = 𝟏,𝟒
𝒇𝒚……………………………………………………………..(2.41)
ρb = (𝟎,𝟖𝟓 × 𝜷 ×𝒇′𝒄
𝒇𝒚) × (
𝟔𝟎𝟎
𝟔𝟎𝟎+𝒇𝒚)…………………………………….(2.42)
ρmax= 0,75 x ρb……………………………………………………..(2.43)
Keterangan:
ρmin = rasio tulangan minimum
ρb = rasio tulangan seimbang (balance)
28
ρmax = rasio tulangan maksimum
Apabila nilai f’c 30 MPa maka nilai β yaitu 0,85
Apabila nilai f’c 30 MPa maka nilai β yaitu 0,85 - 0,05 (𝒇′𝒄−𝟑𝟎
𝟕)
3. Menghitung Rasio Tulangan yang Diperlukan (ρ)
Ρperlu = 𝟏
𝒎{𝟏 − √(
𝟏−𝟐.𝒎.𝑹𝒏
𝒇𝒚)}…………………………………............(2.44)
m = 𝒇𝒚
𝟎,𝟖𝟓 𝒙 𝒇′𝒄……………………………………………………….(2.45)
Rn = 𝑴𝒏
𝒃 . 𝒅𝟐……………………………………………......................(2.46)
Keterangan:
ρ = Rasio tulangan yang diperlukan
4. Menghitung Luas Tulangan
As = ρ x b x d…………………………………………………………(2.47)
As tulangan = ¼ π (diameter tulangan)……………….....................(2.48)
Keterangan:
As = Luas tulangan
b = Diameter pondasi
d = Lebar efektif pondasi (b x selimut pondasi x (1/2 ∅))
As tulangan = Luas tulangan
5. Menghitung Jumlah Tulangan
𝒏 = 𝑨𝒔
𝑨𝒔 𝒕𝒖𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏……………………………………………………………………………..(2.49)
6. Menghitung Tulangan Geser
Vc = (1+𝑽𝒖
𝟏𝟒𝒙𝑨𝒈 ) x (
√𝒇′𝒄
𝟔) x bw x d……………………………………...(2.50)
Vu < ø x Vc…………………………………………………………...(2.51)
Vu < 0,7 x Vc…………………………………………………............(2.52)
29
Keterengan:
Vc = Tegangan izin geser beton
Ag = Luas penampang pondasi tiang
f’c = Mutu beton yang digunakan
bw = Diameter pondasi
d = Lebar efektif pondasi
Vu = Gaya geser yang bekerja
2.10 Perencanaan Pile Cap
Pile cap adalah suatu cara yang dilakukan untuk mengikat tiang-tiang dan
menyalurkan beban-beban yang berada di antara kolom dan tiang. Pada dasarnya
pile cap terbuat dari beton bertulang yang memiliki fungsi agar kolom terletak tepat
di tengah titik pondasi sehingga dapat menahan gaya geser dari beban-beban yang
bekerja.
2.10.1 Dimensi Pile Cap
Jarak tiang sangat mempengaruhi untuk perencanaan ukuran pile cap.
Umumnya, jarak yang diambil pada kelompok tiang adalah 2,5D – 3D, di mana D
ialah dimensi tiang. Pada Gambar 2.7 dijelaskan mengenai perhitungan jarak tiang
pada kelompok.
Gambar 2.7 Jarak tiang pada Kelompok Tiang
Sumber: SNI 03-2847-2002
30
2.10.2 Tinjauan terhadap Geser
2.10.2.1 Kontrol terhadap Geser yang Bekerja Satu Arah
Kekuatan yang disalurkan beton adalah jika hanya geser dan lentur yang
bekerja.
Vc = 𝟏
𝟔× √𝒇′𝒄 × 𝒃𝒘 × 𝒅……………………………………………...(2.53)
Gaya geser nominal penampang dengan jarak sebesar d dari muka
kolom harus direncanakan bernilai lebih kecil atau sama dengan nilai dari kekuatan
geser beton sehingga Vn ≤ Vc.
𝑽𝒖
ф ≤
𝟏
𝟔√𝒇′𝒄 x bw x d……………………………………………………….(2.54)
Keterangan:
Vu = Gaya geser sejarak d dari muka kolom
Vc = Geser beton
bw = Lebar pondasi (m)
d = h – d’ (h adalah tinggi pelat dan d’ adalah selimut beton)
ф = 0,6 (reduksi kekuatan untuk geser)
2.10.2.2 Kontrol terhadap Geser yang Bekerja Dua Arah
Vc = (1 + 𝟐
𝜷𝟎) 𝟐 . √𝒇′𝒄 x bo x d…………………………………………..(2.55)
Keterangan:
bo = keliling daerah kritis, bo = 2 (h + d) + 2 (b + d)
b = panjang penampang kolom
h = lebar penampang kolom
d = tinggi efektif pile cap
Vc = gaya geser dua arah pile cap
f’c = mutu beton
Gaya geser nominal penampang:
𝑽𝒖
ф= 𝑽𝒏 ≤ 𝑽𝒄 + 𝑽𝒔 ≤ 𝟒 × √𝒇′𝒄 x bw x d……………………………….(2.56)
31
Keterangan:
Vs = Kuat tulangan geser
Vu = 𝑃𝑢
𝐴(ho2 – bo2)
Pu = Beban berfaktor pada kolom
A = Luas pondasi (B x L)
2.10.3 Penulangan Pile Cap
1. Lebar (b) dan Tinggi Efektif (d) Perencanaan Balok Persegi
Kperlu = 𝑴𝒖
𝒃 .𝒅𝟐……………………………………………………(2.57)
Keterangan:
Mu = Momen yang terjadi pada balok
b = Lebar balok (m)
h = Tinggi balok (m)
d = Tinggi efektif (m) = h – 60 mm
2. Menghitung min, b, dan max
ρmin = 𝟏,𝟒
𝒇𝒚……………………………………………………..(2.58)
ρb = (𝟎,𝟖𝟓 × 𝜷 ×𝒇′𝒄
𝒇𝒚) × (
𝟔𝟎𝟎
𝟔𝟎𝟎+𝒇𝒚)…………………………….(2.59)
ρmax = 0,75 x ρb……………………………………………..(2.60)
Keterangan:
ρmin = rasio tulangan minimum
ρb = rasio tulangan seimbang (balance)
ρmax = rasio tulangan maksimum
Apabila nilai f’c 30 MPa maka nilai β yaitu 0,85
Apabila nilai f’c 30 MPa maka nilai β yaitu 0,85 - 0,05 (𝒇′𝒄−𝟑𝟎
𝟕)
3. Menghitung Rasio Tulangan yang Diperlukan (ρ)
Ρperlu =𝟏
𝒎{𝟏 − √(
𝟏−𝟐.𝒎.𝑹𝒏
𝒇𝒚)}…………………………................(2.61)
32
m = 𝒇𝒚
𝟎,𝟖𝟓 𝒙 𝒇′𝒄…………………………………………………(2.62)
Rn = 𝑴𝒏
𝒃 . 𝒅𝟐…………………………………………….............(2.63)
Keterangan:
ρ = Rasio tulangan yang diperlukan
4. Menghitung Luas Tulangan
As = ρ x b x d…………………………………………………...(2.64)
As tulangan = ¼ π (diameter tulangan)………………............(2.65)
Keterangan:
d = h – selimut beton – øsengkang – ½ øtulangan