12
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan
Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata “pailit”. Dalam
bahasa Belanda, pailit berasal dari istilah “failliet” yang mempunyai arti
ganda, yaitu sebagai kata benda dan juga kata sifat. Dalam bahasa Prancis,
pailit berasal dari kata “faillite” yang artinya pemogokan atau kemacetan
pembayaran. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah “to fail”
dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah “failure”. Di negara-negara
berbahasa Inggris, pengertian pailit dan kepailitan diwakili dengan kata
“bankrupt” dan “bank-ruptcy”.11
Pailit adalah suatu usaha bersama untuk
mendapat pembayaran bagi semua kreditur secara adil dan tertib, agar semua
kreditur bisa mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya
piutang masing-masing agar tidak berebutan.12
Menurut Munir Fuady, yang dimaksud dengan pailit adalah suatu
sitaan umum atas seluruh harta yang dimiliki debitor agar dicapainya
perdamaian antara debitor dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat
dibagi-bagi secara adil dan merata di antara para kreditor.13
Menurut
pendapat Poerwadarminta, pailit artinya “bangkrut” dan “bangkrut” artinya
11Rachmadi Usman.2004.Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia.Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.Hal.11. 12Abdul R. Saliman, Hermansyah, dan Ahmad Jalis.2005. Hukum Bisnis untuk
Perusahaan : teori dan contoh kasus. Jakarta : Penerbit Kencana.Hal.151 13Munir Fuady.2002.Hukum Pailit. Bandung : Citra Aditya Bakti.Hal.8.
13
menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan sebagainya).14
Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary, pailit atau bankrupt adalah ”the
state or condition of a person (individual, partnership, corporation,
municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The
term includes a person against whom an voluntary petition has been filed, or
who has been adjudged a bankrupt.
Berdasaran pengertian yang disebutkan dalam Black’s Law
Dictionar,dapat kita lihat bahwa pengertian pailit yang dihubungkan dengan
keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitur atas utang-utangnya
yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut juga harus disertai dengan
suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela
oleh debitor sendiri maupun permintaan pihak ketiga,suatu permohonan
pernyataan pailit ke pengadilan. Maksud dari adanya pengajuan permohonan
tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan
tidak mampu membayar dari seorang debitur. Perundang-undangan tidak
memberikan arti otentik dari kepailitan atau pailit itu sendiri. Namun, dari
rumusan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dinyatakan bahwa :
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-
undang ini”.
14Jono.2010.Hukum Kepailitan, Cetakan Kedua. Jakarta : Sinar Grafika. Hal.1.
14
Agar dapat diperoleh gambaran yang lebih kompleks mengenai
pengertian kepailitan maka penulis akan mengutip beberapa pengertian
kepailitan menurut beberapa pendapat para ahli, antara lain sebagai berikut :
a. Kartono :
“Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh harta
kekayaan semua krediturnya bersama-sama yang pada waktu
debitur dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah
yang masing-masing kreditur dimiliki pada saat itu”.15
b. E.Suherman :
“Pada hakikatnya kepailitan adalah sita umum yang bersifat
konservatoir dan pihak yang dinyatakan pailit hilang
penguasaannya atas harta benda yang dimilikinya”.16
c. H. M. N. Puwosutjipto :
“kepailitan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
peristiwa pailit. Pailit adalah keadaan berhenti membayar utang-
utangnya”.17
d. R. Subekti :
“kepailitan adalah suatu usaha secara bersama untuk
mendapatkan pembayaran bagi semua orang yang berpiutang
secara adil”.18
15Kartono.2000.Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. Jakarta: PradnyaParamita.
Hal.7. 16 E.Suherman.1997.Failissement. Jakarta : Bina Cipta.Hal.5. 17H.M.N.Purwosutjipto.2004.Pengertian dan Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia.
Jakarta : Djambatan.Hal.28. 18 R.Subekti.1995.Pokok-Pokok Hukum Dagang.Jakarta:Intermasa.Hal.2.
15
Dilihat dari beberapa pengertian kepailitan yang di paparkan di atas
maka esensi dari kepailitan secara singkat dapat dikatan sebagai suatu sita
umum atas harta kekayaan debitur baik yang ada pada waktu pernyataan
pailit maupun diperoleh selama kepailitan telah berlangsung untuk
kepentingan para kreditur yang pada waktu kreditur dinyatakan pailit
mempunyai hutang, yang dilakukan dibawah pengawasan pihak yang
berwajib.19
Konsep dasar kepailitan sebenarnya berasal dari ketentuan Pasal
1131 KUH Perdata. Pasal itu menyatakan bahwa semua barang baik yang
bergerak maupun barang yang tidak bergerak kepunyaan debitor, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi jaminan
bagi perikatan perorangan debitor itu.20
Menurut Pendapat Kartini Muljadi,isi
dari rumusan pasal 1131 KUH Perdata menunjukan bahwa setiap tindakan
yang dilakukan seseorang dalam lapangan harta kakayaan selalu akan
membawa akibat terhadap harta kekayannya baik yang bersifat menambah
jumlah harta kekayaanya maupun yang nantinya akan mengurangi jumlah
harta kekayaan (debit).21
Selama debitor belum dinyatakan pailit oleh pengadilan, selama itu
pula debitor masih dianggap mampu membayar utang-utangnya yang telah
jatuh tempo. Terhadap putusan permohonan pernyataan pailit tersebut
pengadilan niaga dapat menunjuk Kurator untuk melakukan suatu
pengurusan atau pemberesan harta debitor pailit. Kurator kemudian akan
19 Rahayu Hartini.2017.Hukum Kepailitan (Edisi Revisi). Malang : UMM Press.Hal.5. 20 Martiman Prodjohamidjojo.1999. Proses Kepailitan. Bandung :Mandar Maju.Hal.45. 21 Jono.Op.Cit.Hal.3.
16
membagikan harta debitor pailit kepada para kreditor sesuai dengan jumlah
piutangnya masing-masing.
1. Pengertian Berhenti Membayar
Pengertian berhenti membayar tidak dijumpai
perumusannya secara jelas di dalam Undang-Undang,
yurisprudensi maupun pendapat para sarjana. Berikut ini
diuraikan pengertian keadaan berhenti membayar menurut
peraturan di dalam hukum kepailitan.
a. Menurut Faillissmentsverodening
Berlakunya Faillissmentsverodening di Indonesia
pada tanggal 1 November tahun 1906 berdasarkan Stb.1906-
348 mencabut peraturan kepailitan sebelumnya yaitu
Wetboek van koophandel Buku III dan Reglement op de
Rechtverordering Buku III bab VII.
Faillissmentsverodening ini hanya berlaku bagi golongan
Eropa saja. Hal ini sesuai dengan adanya asas diskriminasi
hukum yang telah diberlakukan oleh Pemerintah Hindia
Belanda pada waktu itu.22
Gambaran pailit yang ada dalam
Faillissmentsverodening ini tidak dilengkapi dengan definisi
apa yang menjadi kriteria dari keadaan berhenti membayar.
Hal ini dengan sendirinya akan melahirkan keputusan yang
beragam tentang standar terjadinya keadaan berhenti
22Adrian Sutedi.2009.Hukum Kepailitan.Bogor : Ghalia Indonesia.Hal.2.
17
membayar. Berbagai macam pengertian tentang berhenti
membayar dapat dilihat dari putusan-putusan pengadilan
dibawah ini :
I. Putusan Hoge Raad 17 Desember 1920 N.J. 1921
No.276 yang berbunyi “Bahwa keadaan berhenti
membayar dapat ada bilamana kredit-kredit yang lain
tidak mendesak dibayarnya atau memiliki eksekusi di
luar pengadilan.
II. Putusan Hoge Raad 3 Juni 1920 N.J. 1921 Bahwa
membayar tidak selalu berarti menyerahkan sejumlah
uang.membayar juga berarti memenuhi suatu perikatan
ini dapat diperuntukan untuk menyerahkan barang.
III. Putusan Hoge Raad 15 Mei 1925 N.J. 1925 No.995
berbunyi Keadaan bahwa aktiva booedel kemudian
terbukti cukup untuk membayar semua hutangnya itu
tidak menghalangi bahwa debitur sekarang dalam
keadaan berhenti membayar.
IV. Putusan Hoge Raad 6 Desember 1946 N.J. 1946 No
233,berbunyi bahwa keadaan berhenti membayar tidak
sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor tidak
cukup untuk membayar seluruh hutang-hutangnya
yang sudah dapat ditagih.Melainkan bahwa debitor
tidak membayar hutang-hutang itu.
18
V. Putusan Hoge Raad 10 April 1959 N.J 1959 No.232
berbunyi, Bahwa tidak membayar hutang pemohon
yang sudah dapat ditagih dan disangping itu adanya
hutang-hutang yang lain yang terbukti dari laporan
curator telah membuktikan adanya keadaan berhenti
membayar.
Berdasarkan keputusan pengadilan tersebut diatas
dapat kita simpulkan bahwasanya tidak ada pertimbangan
oleh hakim bahwa debitor baru sekali atau dua kali tidak
membayar utangnya.Jadi dengan adanya bukti sumir
terhadap debitor tidak membayar utangnya yang telah jatuh
temponya dapat dijatuhkan pailit.23
b. Menurut UU No.4 tahun 1998
Pada Juli 1997, telah terjadi krisis moneter di
Indonesia yang membuat utang menjadi membengkak
sehingga mengakibatkan banyak debitur tidak mampu
membayar utangnya. Dengan kondisi krisis ekonomi
tersebut,maka jumlah perusahaan dan perorangan yang tidak
mampu membayar utaang bukan main banyaknya. IMF juga
berpendapat bahwa untuk dapat mengatasi krisis moneter di
Indonesia tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian
utang luar negeri dan upaya penyelesaian kredit macet
23 Habiba Hanum.2008. Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi dalam Hukum
Kepailitan.Tesis.Medan: Universitas Sumatera Utara.
19
perbankan Indonesia. IMF mengharapkan supaya sarana
hukum yang mengatur soal pemenuhan kewajiban oleh
debitor kepada kreditur yaitu Faillissmentsverodening dapat
diperbaiki,karena dianggap kurang memadai dan masih
merupakan peinggalan zaman colonial.24
Oleh karena itu,
IMF pun mendesak pemerintah agar segera mengganti atau
dapat mengubah peraturan kepailitan yang sedang berlaku.
Akibat dari desakan tersebut, lahirlah kemudian Perpu No.1
tahun 1998 jo. Undang-undang No.4 tahun 1998 tentang
Undang-undang Kepailitan dan Perpu tersebut mengubah
dan menambah Peraturan Kepailitan
(Faillissmentsverodening).25
Timbulnya dasar insolvensi
menurut Undang-undang No.4 tahun 1998 tertuang dalam
pasal 1 ayat (1) yaitu :
“debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih,dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan yang berwenang sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 2,baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.”
Dasar insolvensi dapat diartikan sebagai “ keadaan
tidak membayar”, Pradjoto mengartikannya sebagai:26
24 R.Anton Suyatno.2012.Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Jakarta : Kencana.Hal.21. 25 Adrian Sutedi.Loc.cit.Hal.5. 26Pradjoto.”RUU Kepailitan ditinjau dari aspek perbankan “.Makalah disampaikan dalam
seminar proposal sosialisasi RUU tentang Kepailitan oleh BPHN dan ELLIPS PROJECT.Jakarta
27-28 Juli 1999.Hal.5.
20
1. Menolak untuk membayar.
2. Cidera janji atau wanprestasi.
3. Keadaan tidak membayar tidak sama dengan
keadaan bahwa kekayaan debitor tidak cukup
untuk melunasi seluruh utang-utangnya.
4. Tidak diharuskannya debitor memiliki
kemampuan untuk membayar dan memikul
seluruh utang- utangnya.
5. Istilah tidak membayar harus diartikan sebagai
Naar de letter ,yaitu debitor pada saat diajukan
permohonan pernyataan pailit sama sekali
berhenti membayar utangnya.
c. Menurut UU No.37 tahun 2004
Pada 18 November 2004 Pemerintah telah
mengeluarkan Undang-Undang No.37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU dengan tujuan untuk memperbaiki
,menambah, dan meniadakan ketentuan yang dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan
hukum dalam masyarakat, karena jika ditinjau dari segi
materi yang diatur, masih terdapat beberapa kekurangan dan
kelemahan. Undang-undang baru tentang Kepailitan dan
PKPU mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi
norma,ruang lingkup materi,maupun proses penyelesaian
21
utang-piutang.Cakupan yang lebih luas tersebut diperlukan,
karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum di
masyarakat sedangan ketentuan yang selama ini telah
berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk
menyelesaikan masalah utang piutang secara adil,cepat,
terbuka dan efektif.27
Dasar insolvensi menurut UU No.37 tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) yaitu:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur
dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan Putusan Pengadilan, baik atas
permohonan sendiri maupun atas permohonan satu
atau lebih krediturnya.”
Dasar insolvensi diartikan sebagai “tidak membayar
lunas” utang- utangnya. Ketentuan tidak membayar lunas
menurut Undang –undang tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang pada prinsipnya sama dengan
keadaan berhenti membayar utang-utangnya menurut
Faillissmentsverodening, karena berhenti membayar berarti
sudah pernah membayar namun suatu saat berhenti.
2. Tujuan dan Akibat Hukum Kepailitan
a. Tujuan Hukum Kepailitan
27 Rahayu Hartini.Loc.cit.Hal.11.
22
Tujuan utama dari adanya kepailitan yaitu untuk
melakukan pembagian antara para kreditor atas harta
kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan
untuk dapat menghindari terjadinya sitaan terpisah atau
eksekusi terpisah oleh kreditor dan menggantikannya dengan
mengadakan sitaan bersama. Sehingga kekayaan debitur
dapat dibagikan kepada semua kreditornya sesuai dengan
jumlah dan hak mereka masing-masing. Adrian Sutedi
mengatakan, bahwa tujuan adanya hukum kepailitan adalah:
1. Melindungi Kreditur Konkuren agar dapat
memperoleh haknya.Hal ini sehubung dengan
adanya asas jaminan sebagaimana yang telah diatur
dalam ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata (Kitab
Undang-Undang Perdata). Hukum kepailitan dapat
menghindari terjadinya rebutan diantara para
Kreditor terhadap harta Debitor.
2. Menjamin pembagian harrta kekayaann Debitur
diantara para Kreditor sesuai dengan adanya asas
Pari Passu Pro Rata Parte atau membagi secara rata
atau proporsional harta kekayaan Debitor kepada
para Kreditor berdasarkan perimbangan besarnya
tagihannya masing-masing, sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata.
23
3. Mencegah Debitur agar tidak melakukan suatu
perbuatann yang dapat merugikan kepentingan para
Kreditornya, karena dengan dinyatakan pailit maka
Debitor tidak memiliki lagi wewenang untuk
mengurus dan memindahtangankan harta
kekayaannya, putusan pailit memberikan status
hukum dari harta kekayaan Debitor yaitu berada di
bawah sita umum.
4. Kepada Debitor perorangan (individual debtor atau
persoon, bukan badan hukum) yang beritikad baik
diberikan perlindungan dari para Kreditor dengan
cara diberikannya pembebasan utang. Debitor akan
dibebaskan dari utangnya setelah selesainya
tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap
kekayaannya meskipun harta kekayaan Debitor tidak
mencukupi untuk dapat melunasi seluruh utangnya,
Debitor diberi kesempatan memperoleh financial
fresh start. Namun hal tersebut tidak berlaku dalam
Hukum kepailitan di Indonesia, hal tersebut berlaku
di Negara Amerika Serikat, sedangkan di Indonesia
Debitor masih memiliki kewajiban untuk melunasi
sisa utangnya.
24
5. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya
telah mengakibatkan perusahaan mengalami
keadaan keuangan yang buruk dan keadaan
insolvensi sehingga dapat dinyatakan pailit oleh
pengadilan.
6. Memberikan kesempatan kepada Debitor dan para
Kreditornya untuk dapat berunding dan membuat
suatu kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-
utang Debitor.
b. Akibat Hukum Kepailitan
Mengenai Akibat Kepailitan dalam Undang-Undang
No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang diatur pada bagian tersendiri
dalam bab II. Bagian kedua dimulai dari pasal 21 sampai
dengan pasal 64. Sesuai dengan pasal 21 Undang-Undang
No.37 tahun 2004 bahwa sejak ditetapkannya putusan
pernyataan kepailitan ,debitur pailit demi hukum kehilangan
haknya untuk dapat menguasai dan mengurus kekayaannya
yang dimaksud dalam kepailitatan, termasuk juga
kepentingan perhitungan dari pernyataan itu sendiri. Namun
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 21 tidak
berlaku,terhadap :
25
1) Benda, termasuk juga hewan yang benar-benar
dibutuhkan Debitor sehubungan dengan pekerjaannya,
perlengkapannya, alat medis yang dipergunakan untuk
kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang
dipergunakan oleh debitor dan bahan makanan untuk 30
hari bagi debitor dan keluarganya,yang terdapat
ditempat itu.
2) Segala sesuatu yang telah diperoleh debitor dari
pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu
jabatan atau jasa,sebagaimna yang ditentukan oleh
hakim pengawas.
3) Uang yang diberi kepada debitur untuk memenuhi
kewajibannya dalam hal memberi nafkah menurut
undang-undang.
Pada saat putusan pernyataan pailit telah diucapkan,
maka akan terjadi hal-hal sebagaimnaberikut :28
1) Seluruh harta kekayaan debitur pailit jatuh dalam
keadaan penyitaan umum yang sifatnya konservator.
2) Si pailit telah kehilangan hak untuk mengurus dan
menguasai harta kekayaannya sendiri.
28 H.M.N Purwosutjipto.Op.cit Hal.37-38.
26
3) Harta kekayaan debitur pailit diurus dan dikuasai oleh
Balai Harta Peninggalan(BHP) atau kurator untuk
kepentingan semua para Kreditor.
4) Dalam putusan hakim tersebut ditunjuk seorang hakim
komisaris yang tugasnya untuk memimpin dan
mengawasi pelaksanaan dari jalannya kepailitan.
5) Kepailitan itu semata-mata hanya mengenai harta
kekayaan debitur pailit saja dan tidak mengenai diri si
pailit yang bersangkutan.
3. Syarat Pengajuan Pailit dan Dasar Hukumnya
a. Syarat-syarat Kepailitan
Berdasarkan yang termaktub dalam Pasal 2 Ayat (1)
UUK-PKPU yang menyebutkan bahwa Debitor yang
mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak dapat
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dapat dinyatakan pailit dengan
putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
Berdasarkan ketentuan dari Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU di
atas maka syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan
pailit terhadap debitor adalah sebagai berikut:
27
1) Debitor memiliki dua kreditor atau lebih
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU
Kepailitan dan PKPU, seorang debitor dapat dinyatakan
pailit oleh pengadilan niaga apabila mempunyai dua
kreditor atau lebih. Syarat ini merupakan pelaksanaan
dari ketentuan yang ada dalam Pasal 1132 KUH Perdata
yang menyebutkan bahwa harta kekayaan debitor
merupakan jaminan bersama bagi para kreditor dan
hasil dari penjualan harta debitor harus dibagikan secara
merata kepada kreditor sesuai dengan jumlah
piutangnya, kecuali jika diantara kreditor itu
berdasarkan undang-undang harus didahulukan dalam
pembagiannya.29
Namun, apabila debitor hanya
memiliki seorang kreditor, maka harta kekayaan debitor
menurut ketentuan pasal 1131 KUHPdt merupakan
jaminan utangnya tidak perlu diatur mengenai
pembagian penjual harta kekayaan karena seluruh hasil
penjualan harta kekayaan tersebut merupakan sumber
dari pelunasan bagi kreditor satu-satunya. Tidak akan
ada ketakutan terjadi perlombaan kekayaan debitor
karena hanya ada satu jumlah kreditor.30
29 Rachmadi Usman.Op.cit.Hal.15. 30 Setiawan.2001.”Ordonansi Kepailitan serta Aplikasi Kini”dalam Lontoh,Rudy
A.,dkk,Penyelesaian Utang-Piutang : Melalui Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.Bandung : Penerbit Alumni.Hal 122.
28
2) Syarat adanya utang
Pihak yang akan mengajukan permohonan pernyataan
pailit harus dapat membuktikan bahwa debitor itu
mempunyai utang kepadanya. UU Kepailitan dan
PKPU sudah mendefinisikan utang dalam Pasal 1 angka
6 yakni sebagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang. Baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan nantinya timbul
dikemudian hari karena perjanjian atau undang-undang
dan yang wajib terpenuhi oleh debitor, bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk
mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan
debitor.
3) Salah satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
Dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU
menyebutkan bahwa syarat utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih. Penjelasan Pasal 2 Ayat (1)
UU Kepailitan dan PKPU yaitu kewajiban untuk
membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena
telah diperjanjikan, percepatan waktu penagihannya
sebagaimana diperjanjikan, pengenaan sanksi atau
29
denda oleh instansi yang berwenang maupun karena
putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.
b. Dasar Hukum Kepailitan
Peraturan Hukum Kepailitan pertama kali diatur di
Indonesia dengan lahirnya Faillissementsverordening tahun
1906. Berlakunya peraturan tersebut sampai lahirnya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang kemudian
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diciptakan
untuk melindungi kepentingan dari pada Kreditor dan
Debitor. Undang-Undang ini bertujuan untuk melindungi
Debitor dari niat tidak baik para Kreditor yang
menginginkan Debitor dipailitkan kemudian utangnya
dibayar. UU Kepailitan dan PKPU ini mempunyai cakupan
lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi,
maupun proses penyelesaian piutang.
Beberapa macam materi baru yang diatur dalam UU
Kepailitan dan PKPU ini diatur secara tegas mengenai
adanya batasan dalam pengertian utang dan pengertian jatuh
waktu, mengenai syarat dan prosedur permohonan
pernyataan pailit dan permohonan PKPU termasuk juga
pemberian jangka waktu secara pasti bagi pengambilan
30
putusan atas permohonan pernyataan pailit dan PKPU, oleh
karena itu, maka undang-undang ini masih berlaku sampai
sekarang karena telah sesuai dengan kebutuhan hukum
masyarakat. Dasar hukum bagi suatu kepailitan,menurut
Munir Fuady, adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undangg Nomor 37 Tahunn 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU.
b. KUHPerdata.
c. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
d. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia
e. Perundang-undangan di bidang Pasar Modal,
Perbankan, BUMN.
B. Tinjauan Umum Tentang Insolvensi Test Dalam Hukum Kepailitan
1. Tentang Insolvensi
Menurut Dictionary Business of Term, Insolvensi dapat diartikan
sebagai Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika
telah jatuh waktu seperti layaknya dalam bisnis atau Kelebihan
kewajiban dibandingkan dengan kepemilikan asetnya dalam waktu
tertentu. Secara prosedural, dalam suatu proses kepailitann harta pailit
dianggap telah berada dalam keadaan tidak mampuu membayar jika :31
31 Pasal 178 ayat (1) UUK dan PKPU.
31
a. Pengesahan perdamaiann tersebut dengan pasti telah ditolak
b. Dalam rapat verivikasi tidak ditawarkannya perdamaiann.
c. Jika perdamaian yang telah ditawarkan telah ditolak.
Dengan kata lain,bahwa Debitor dilekatkan status insolvensi
ketika telah memenuhi syarat sebagaimana yang termaktub dalam
Pasal 178 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU. Hal tersebut tentu sangat bertentangan dengan
pengertian insolvensi itu sendiri, dimana kemampuan Debitor untuk
membayar utang- utangnya tidak dapat dilihat melalui suatu rencana
perdamaian, akan tetapi dapat dilihat melalui kondisi keuangan dari
Debitor itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka cara yang tepat
untuk meletakkan status insolvensi kepada Debitor adalah dengan cara
melihat kemampuan keuangannya, hal tersebut hanya dapat dibuktikan
dengan menggunakan Insolvency Test.
Debitor tidak dapat dikatakan telah berada dalam keadaan
insolvensi apabila hanya kepada seorang Kreditor saja Debitor tidak
dapat membayar utang- utangnya, sedangkan kepada Kreditor lainnya
Debitor tetap melaksanakan kewajibannya dengan baik, hal ini
menunjukkan bahwasanya belum tentu Debitur tersebut tidak mampu
melunasi utangnya, mungkin saja Debitor tidak mau melunasi utangnya
karena ada alasan tertentu, sehingga tidaklah dapat dikatakan bahwa
32
Debitor telah berada dalam keadaan insolvensi.32
Berikut adalah
beberapa pengertian insolvensi :
a. Menurut Faillissmentsverodening
menurut Faillissmentsverodening,insolvensi diartikan sebagai
keadaan berhenti membayar yang terdapat pada Pasal 1 ayat
(1). Tidak ada pertimbangan oleh hakim bahwa debitor baru
sekali ataupun dua kali tidak membayar utangnya yang telah
jatuh temponya dapat dijatuhkan putusan pailit. Menurut
Pendapat Tirtaatmidjaja bahwa debitor yang baru sekali saja
menolak pembayaran maka hal itu belumlah pasti merupakan
suatu keadaan berhenti membayar.33
Berkaitan dengan syarat
untuk mengajukan permohonan pailit,dalam rumusan Pasal 1
ayat (1) Faillissementverordening lebih tepat untuk digunakan
atau diterapkan, karena dalam Pasal 1 ayat (1) mensyaratkan
Debitor berada dalam keadaan tidak mampu dan telah berhenti
membayar utang-utangnya.34
Istilah “berhenti membayar”
tidak semata-mata dapat diartikan bahwa debitor berhenti sama
sekali untuk membayar utangnya, melainkan bahwa Debitor
32 Sutan Remy Sjahdeini, dalam Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum
Kepailitan Di Indonesia, (Jakarta: Sofmedia, 2010), Hal. 318. Dikutip oleh Mulyani Zulaeha,
Mengevaluasi Pembuktian Sederhana Dalam Kepailitan Sebagai Perlindungan Terhadap Dunia
Usaha Di Indonesia, Hal. 174. Dalam Jurnal Hukum Acara Perdata (Asosiasi Dosen Hukum Acara
Perdata - ADHAPER), Vol. 1. No. 2, Juli – Desember 2015, (Universitas Airlangga Press). 33M.H.Tirtaarmadjaja.1970.Pokok - pokokHukumPerniagaan.Jakarta:Djambatan.Hal.128. 34 H.M.N Purwosutjipto.Loc.cit, hlm 28.
33
tersebut pada waktu diajukan permohonan pailit berada dalam
keadaan tidak dapat membayar utang-utangnya tersebut35
b. Menurut UU No. 4 tahun 1998
Menurut UU No. 4 Tahun 1998,Insolvensi diartikan sebagai
keadaan tidak membayar,hal ini ada dalam Pasal 1 angka (1).
Dasar insolvensi diartikan sebagai keadaan tidak membayar.
Prajoto mengartikannya sebaga keadaan,sebagai berikut:
menolak untuk membayar, cidera janji atau wanprestasi,
keadaan tidak membayar tidak sama dengan keadaan kekayaan
debitor tidak cukup untuk melunasi seluruh utangnya., tidak
diharuskan debitor memiliki kemampuan untuk membayar dan
memikul seluruh utangnya., atau istilah tidak membayar harus
diartikan sebagai naar de letter yakni debitor pada saat
diajukan permohonan pernyataan pailit telah sama sekali
berhenti membayar utangnya.
c. Menurut UU No. 37 Tahun 2004
Dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004
Pengertian insolvensi dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal
57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Yang dimaksud Insolvensi adalah keadaan tidak mampu
membayar. Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
35 Ibid.Hal.29.
34
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, sama sekali tidak memasukkan Insolvensi sebagai
persyaratan agar debitor dapat diputus pailit. Adapun syarat
penjatuhan pailit diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 yang menyatakan :
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
Putusan Pengadilan, baik atas permohonan sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.”
Berdasarkan unsur tersebut diatas, maka dapat
diketahui bahwa syarat agar debitur pailit sudah sangat jelas
dalam ketentuan kepailitan di Indonesia. Hal ini dipertegaskan
kembali dalam Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa :
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan
apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti
secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan
pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 telah
dipenuhi.”
Artinya, apabila debitur telah terbukti memiliki
minimal satu utang yang telah jatuh tempo terhadap salah satu
krediturnya, maka debitur sudah dapat memenuhi syarat untuk
dapat dijatuhi putusan pailit oleh pengadilan niaga tanpa
35
melihat latar belakang utang ataupun kondisi harta debitur
yang masih tergolong solven atau tidak.36
Sutan Remy Syahdeini juga bependapat, bahwa hukum kepailitan itu
sejatinya bukan untuk mengatur kepailitan debitor yang tidak membayar
kewajibannya pada salah satu kreditor saja,akan tetapi debitor itu harus
berada dalam keadaan insolven. Seorang debitor yang berada dalam keadaan
insolven hanyalah apabila debitor yang tidak mampu secara finansial untuk
membayar utang-utangnya kepada sebagian kreditornya. Seorang debitor
tidak dapat dikatakan berada dalam keadaan insolven apabila hanya kepada
seorang kreditor saja debitor itu tidak membayar hutangnya. Sedangkan
kepada kreditor lainnya debitor tetap dapat melaksanakan kewajibannya
secara baik.37
Jika seperti ini, bisa jadi debitor tersebut bukannya tidak
mampu untuk membayar melainkan debitor tidak mau membayar dengan
alasan tertentu dan kreditor tidak dapat mengajukan permohonan ke
Pengadilan Niaga melainkan langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri.
2. Tentang Insolvency Test
a. Pengertian Insolvency Test
Insolvency Test merupakan suatu audit keuangan yang
dilakukan oleh suatu kantor akuntan publik independen untuk dapat
menentukan apakah keadaan keuangan debitor yang akan diputus
36 Lili Naili Hidayah.”Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum
Kepailitan Indonesia”.Jurnal Hukum Vol.7.No.1.Maret 2016. 37 Sunarmi.2010.Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan DiIndonesia. Jakarta :
PT. Softmedia.Hal.318.
36
pailit bener-benar telah berada dalam keadaan tidak mampu membayar
utang-utangnya atau dengan kata lain debitor tersebut telah dalam
keadaan insolven atau justru masih berada dalam keadaan solven(sehat).
Akuntan publik akan melakukan pemeriksaan serta pengujian atas
catatan pembukuan (atau sekarang disebut dokumen perusahaan) dan
dokumen pendukung lainnya yang terkait, yang berhubungan dengan
harta kekayaan perseroan, yang dituangkan dalam sebuah auditing
report.
Merujuk pada ketentuan Insolvency Test yang diatur dalam
UU Kepailitan di Negara Amerika Serikat, sebuah perusahaan yang
hendak dimohonkan pailit harus melewati mekanisme Insolvency
test terlebih dahulu.Dimana, perusahaan baru bisa dimohonkan pailit
jika perusahaan sudah berada dalam keadaan bangkrut. Untuk itu,
dengan adanya ketentuan Insolvency Test, perusahaan dapat selamat
dari kreditor yang nakal. Sementara,Hukum Kepailitan di Indonesia
tidak dikenal adanya konsep Insolvensy Test sebagai permohonan
kepailitan debitor sehingga besarannya asset tidak dipertimbangkan
sama sekali untuk menolak ataupun menerima permohonan kepailitan.
Hukum kepailitan di Indonesia membuka kesempatan yang luas
kepada Kreditor untuk dapat mempailitkan suatu Debitor, asalkan
permohonan kepailitan tersebut telah memenuhi Pasal 2 ayat (1) juncto
Pasal 8 ayat (4). Debitor dapat diputus pailit tanpa melihat
kemampuannya untuk menyelesaikan utang.
37
Teddy Anggoro,Mengatakan bahwa Konsep Insolvency Test
dalam Hukum kepailitan lebih menekankan kepada ketidakmampuan
perusahaan dalam membayar utangnya, sedangkan Simply Doesn’t Pay
adalah suatu proses dalam menagih utang asalkan terpenuhi syarat
permohonan kepailitan, dan Indonesia menganut konsep yang kedua
yaitu Simply Doesn’t Pay.38
b. Insolvency Test dalam Rangka Permohonan Kepailitan di
Beberapa Negara
1) Insolvency Test di Amerika Serikat
Amerika Seritkat sebagai negara yang bersistem hukum
Common Law, sering menjadi acuan dalam pembuatan undang-
undang di negara lainnya, tidak terkecuali mengenai Undang-undang
Kepailitannya atau yang disebut dengan Bankruptcy Reform Act of
1978 atau dikenal dengan sebutan Bankruptcy Code.
Bankruptcy Code telah mengadopsi metode insolvency test,
namun pada faktanya, masih mengalami perdebatan mengenai
metode insolvency test apa yang pailing cocok untuk diterapkan
dalam setiap permohonan kepailitan yang ada. Sebelum Bankruptcy
Code ini, Amerika menggunakan The Bankruptcy Act of 1898 yang
memberikan kesan ambigu terhadap penerapan dari insolvensi tes
38Teddy Anggoro. 2012. Revisi UU Kepailitan Untuk Melindungi Debitor.
http://www.hukumonline.com. sebagaimana dikutip dari Hukumonline.com.
38
ini.39
Hal ini dipertegas dengan keberatan dari berbagai pihak praktisi
yang ketika itu merasa adanya ketidakpastian dari penerapan
insolvency test yang mana berakibat pada kesulitan bagi mereka
untuk memberikan saran dalam hal restrukturisasi perusahaan.40
Sebelum Bankruptcy Code berlaku, di Negara Bagian di Amerika
Serikat turut mendefinisikan insolvensi menurut tes yang berbeda
standar dari insolvensi yang ada di dalam Bankruptcy Code, dan
mencipatakan insolvency-based liens. Penerapan tes ini berbeda
dengan syarat- syarat yang ditentukan dalam Bankruptcy Code.41
Sebagai contoh, dengan menggunakan equitable insolvency test, suatu
Negara Bagian dapat melakukan sita jaminan ketika debitor tidak lagi
mampu melunasi utangnya dalam waktu yang sudah ditentukan, dan
pada saat yang bersamaan, Bankruptcy Code diterjemahkan sebagai
undang-undang yang mengadopsi balance sheet test.
Dengan adanya latar permasalahan yang seperti itu, Bankruptcy
Code bersama dengan undang-undang lainnya seperti Uniform
Commercial Code, Uniform Fraudulent Transfer Act (UFTA)
berusaha menjawab dengan memberikan solusi mengenai
kemungkinan adanya beberapa insolvensi test yang dapat diterapkan
dalam hal membuktikan suatu debitor yang telah insolven untuk
dimohonkan dan diputuskan permohonan pailit. Bahkan ada beberapa
39 Randi Ikhlas Sardoni, 2011, “Instrumen Insolvensi Tes Pada Perkara Kepailitan di
Indonesia“, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, hal.37. 40 Ibid, hal. 38. 41 Ibid, hal. 38.
39
pendapat dari para praktisi hukum dan konsultan finansial yang
menyatakan bahwa untuk dinyatakan solven/sehat, maka debitor
harus melewati ketiga proses mekanisme insolvency test.42
Secara garis besar terdapat tiga tes untuk dapat menentukan
keadaan insolvensi dalam kepailitan dan hukum perusahaan di
Amerika Serikat yakni:
1. The balance sheet solvency test yang secara umum dapat
dikatakan sebagai test yang menentukan apakah nilai aset
yang wajar dari suatu debitor dapat menutupi dari
kewajibannya hutang yang dimilikinya.
2. The ability to pay solvency test atau biasanya dikenal
dengan cash flow solvency test, atau equitable solvency test
yang secara umum dapat dikatakan sebagai test yang dapat
menentukan apakah suatu debitor dapat membayar utangnya
ketika utangnya telah dinyatakan jatuh tempo.
3. The capital adequacy solvency test atau biasanya dikenal
juga dengan sebutan analisis transaksional yang secara
umum dapat dikatakan sebagai suatu tes yang menentukan
apakah perusahaan memiliki kapital yang sudah memadai
untuk membayar utangnya. Namun tes ini sangat jarang
untuk digunakan dalam pembuktian solven atau insolvennya
seorang debitor di Amerika Serikat.
42 Ibid, hal. 39.
40
2) Insolvency Test di Jepang
Melalui adanya berbagai pengaruh perkembangan hukum
dari negara maju, tahap pertama dari penyusunan dan pelembagaan
hukum insolvensi di Jepang dimulai dari tahun 1920-an dan
pertengahan 1930-an.43
Hukum insolvensi ini telah dipengaruhi
oleh hukum insolvensi dan kepailitan dari berbagai negara seperti
Jerman, Austria, Inggris dan Amerika, ketika itu para pembuat
hukum di Jepang mengambil sepotong demi sepotong dari hukum
negara yang telah dianggap sebagai bagian yang terbaik untuk
disatukan menjadi hukum insolvensi di Jepang.44
Dalam ketentuan hukum insolvensi, Jepang sendiri tidak
memiliki suatu Undang-undang Kepailitan yang terkonsolidasi
secara sempurna dan menyeluruh seperti hal-nya yang telah
dimiliki oleh Negara Amerika Serikat. Hukum insolvensi di Jepang
terdiri dari lima prosedur peradilan berbeda yang dibentuk oleh
empat jenis produk yang berbeda. Dua dari prosedur yang ada di
deskripsikan sebagai prosedur yang bertipe likuidasi, yaitu:
Undang- undang Kepailitan dan Undang-undang Likuidasi Spesial.
Tiga dari prosedur tersebut dapat di deskripsikan sebagai prosedur
yang bertipe rekonstruksi dan reorganisasi, yaitu Undang-undang
Rehabilitasi Perdata, Undang-undang Pengaturan dan Reorganisasi
Perusahaan.
43 Ibid, hal. 50. 44 Ibid, hal. 50.
41
Sebagai pelengkap terhadap adanya prosedur utama
tersebut, terdapat prosedur khusus yang berkaitan dengan keadaan
insolven dari suatu perusahaan finansial, sekuritas dan asuransi
dan peraturan yang mana berhubungan dengan keputusan
kepailitan dari luar negeri. Selanjutnya, prosedur khusus juga
terdapat pada tahap mediasi dari kesulitan finansial antara debitor
dan kreditor yang diatur dalam Civil Conciliation Law
sebagaimana yang dilengkapi dengan Special Mediation Law.45
Berbagai macam prosedur tersebut memiliki objek yang berbeda-
beda dan juga persyaratan yang berbeda-beda dan diterapkan pada
entitas yang berbeda pula. Ada dua unsur utama dari seorang
debitor untuk dapat dimohonkan dan diputuskan untuk pailit di
Negara Jepang, yaitu:
1. Ketika debitur tersebut tidak dapat membayarr utangnya.
2. Ketika debitr tersebut telah menghentikan atau menunda
pembayaran utang. Maka debitor dapat dianggap tidak
mampu dalam membayar utang-utangnya.
Ketika salah satu dari dua unsur tersebut telah terpenuhi, maka
seorang kreditor dapat dengan langsung mengajukan permohonan
kepailitan di Pengadilan.
Keadaan tidak mampu membayar utang merupakan suatu keadaan
dimana debitor secara terus-menerus tidak lagi mampu membayar
45 Ibid, hal. 51.
42
utangnya ketika utangnya telah dinyatakan jatuh tempo.
Berdasarkan adanya keadaan ini, maka dapat disimpulkan bahwa
debitor dalam keadaan insolven atau tidak mampu dalam
membayar utangnya merupakan kunci utama dalam persyaratan
untuk dapat dipailitkannya suatu debitor di Jepang.46
Keadaan insolven ini dianggap sebagai suatu keadaan
ketika debitor tidak mampu lagi membayar utang dengan penuh
walaupun sudah menggunakan seluruh harta kekayaan yang
dimilikinya. Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan dasar
bahwa keadaan debitor yang insolven merupakan syarat utama
untuk dapat diputuskan pailitnya suatu debitor. Hal ini dapat
membuktikan bahwa hukum kepailitan di Jepang menganut asas
persyaratan insolven sebagai mana negara penganut insolvency test
lainnya.
Melalui persyaratan insolven ,maka dalam prakteknya
untuk diputuskan pailitnya suatu debitor yang dalam konteks ini
debitornya adalah perseroan atau badan hukum, tentu pemohon
atau termohon mendalilkan bahwa debitor yang dimohonkan
tersebut telah berada dalam keadaan insolven, dan untuk
membuktikan dalilnya tersebut tentu diperlukan suatu komponen
Insolvency Test yang diakui di pengadilan.
46
Ibid, hal. 53.