9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai prinsip kesantunan dan implikatur yang
menggunakan pendekatan pragmatik sudah banyak dilakukan, akan tetapi
penelitian yang bersumber dari acara infotainment talkshow baru pertama kali
dilakukan. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah
sebagai berikut.
Sarah (2011) dari Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia dengan judul penelitian
“Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Kesantunan dalam
Facebook.” Penelitian tersebut membahas mengenai pematuhan prinsip kerja
sama dan prinsip kesantunan dalam facebook, pematuhan dan pelanggaran prinsip
kerja sama dan prinsip kesantunan dalam facebook, pelanggaran prinsip kerja
sama manakah yang paling banyak ditemukan, pelanggaran prinsip kesantunan
manakah yang paling banyak ditemukan, serta bagaimana hubungan alat kohesi
terhadap pematuhan dan pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan
dalam facebook. Penelitian tersebut menggunakan metode studi kasus. Data
penelitian tersebut adalah status dan wall facebook mahasiswa sastra Indonesia
angkatan 2007. Data penelitian tersebut merupakan data primer. Teknik penelitian
ini menggunakan teknik pengamatan langsung. Hasil penelitian ini adalah maksim
yang paling banyak banyak dilanggar adalah maksim kuantitas, sedangkan
maksim yang paling banyak dipatuhi adalah maksim relevansi. Pada prinsip
10
10
kesantunan, maksim yang paling banyak dilanggar adalah maksim kerendahan
hati, sedangkan maksim yang paling banyak dipatuhi adalah maksim kearifan.
Alat kohesi gramatikal yang paling sering muncul ialah referensi persona gue dan
loe, sedangkan alat kohesi leksikal yang paling sering muncul adalah repetisi.
Ardiansyam (2012) dari Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra
dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret yang menulis skripsi “Tindak Tutur dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam Kolom Komentar Artikel Kompasiana.”.
Penelitian ini mengangkat mengenai realisasi tindak tutur dan pelanggaran prinsip
kesantunan dalam acara kolom komentar artikel Kompasiana. Penelitian tersebut
termasuk jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan pragmatik. Sumber data penelitian ini adalah laman
web Kompasiana yang dapat diakses melalui www.kompasiana.com. Adapun data
dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan ilokusi pada kolom komentar artikel
Kompasiana yang dipublikasikan antara bulan Mei 2011 sampai April 2012
beserta konteks yang melingkupinya. Metode pengumpulan data dalam penelitian
ini menggunakan teknik analisis padan pragmatik dan teknik analisis kontekstual.
Teknik penyajian analisis dalam penelitian ini menggunakan metode penyajian
formal dan informal. Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah
terdapat 5 jenis tindak tutur ilokusi dalam penelitian ini yaitu asertif, direktif,
ekspresif, komisif, dan rogatif. Pelanggaran terhadap maksim kesantunan terdiri
atas maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim
kerendahan hati, dan maksim kesepakatan.
Widyaningrum (2013) dari Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret dengan judul penelitian “Tindak
11
11
Tutur Ekspresif dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan Pembawa Acara Insert
Trans Tv”. Penelitian ini membahas mengenai bagaimana menentukan tindak
tutur ekspresif, bagaimana menentukan pelanggaran prinsip kesantunan serta
bagaimana menentukan implikatur percakapan pembawa acara Trans Tv.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data bebas libat cakap, teknik
rekam, dan teknik catat. Teknik analisis data yang digunakan adalah metode
analisis kontekstual dan teknik cara tujuan (mean-end). Dari analisis tersebut
dapat disimpulkan beberapa hal antara lain: Pertama, dalam tindak tutur pembawa
acara Insert Transtv terdapat tindak tutur ekspresif yang meliputi memuji,
menyalahkan, menyetujui, mengucapkan selamat, mengeluh, mengungkapkan
simpati, berterima kasih, meminta maaf, mendukung, mengungkapkan duka cita,
dan menyayangkan. Tindak tutur ekspresif yang paling sering digunakan oleh
pembawa acara Insert adalah tindak tutur ekspresif memuji. Kedua tuturan
pembawa acara Insert melanggar prinsip kesantunan yang terdiri dari maksim
kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati,
maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian. Pelanggaran prinsip kesantunan
yang paling banyak digunakan oleh pembawa acara Insert adalah pelanggaran
prinsip kesantunan maksim pujian. Ketiga, implikatur percakapan timbul akibat
terjadinya pelanggaran prinsip kesantunan, sehingga ditemukan adanya implikatur
percakapan dalam tuturan pembawa acara Insert Transtv, yaitu implikatur
percakapan menolak, menyindir, tidak setuju, menyatakan pemberitahuan,
mengejek, menyombongkan diri, dan menyuruh. Data implikatur percakapan yang
paling banyak adalah tidak setuju.
12
12
Nurhayati (2014) dari Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan
Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul penelitian
“Kesantunan dan Implikatur Percakapan dalam Acara Yuk Keep Smile Trans Tv.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah bentuk
pematuhan prinsip kesantunan dalam acara Yuk Keep Smile Trans Tv? (2)
bagaimana bentuk pelanggaran prinsip kesantunan dalam acara Yuk Keep Smile
Transtv? (3) bagaimana bentuk implikatur percakapan yang digunakan untuk
menciptakan kelucuan dalam acara Yuk Keep Smile Trans Tv?. Jenis penelitian ini
adalah penelitian kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah percakapan atau
dialog dalam tayangan humor YKS di Trans TV. Data dalam penelitian ini adalah
tuturan beserta konteks yang mengandung prinsip kesantuanan dan implikatur
percakapan dalam acara Yuk Keep Smile pada bulan Januari 2014. Pengumpulan
data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode simak, dengan beberapa teknik
lanjutannya yakni teknik simak libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat.
Metode analisis data yang digunakan menggunakan analisis cara-tujuan dan
metode analisis kontekstual. Penelitian ini menghasilkan bahwa dalam acara Yuk
Keep Smile pematuhan maksim kesantunan yan paling sering digunakan adalah
maksim pujian untuk menyenangkan perasaan dari mitra tutur agar humor tidak
terkesan selalu menyinggung perasaan. Bentuk pelanggaran yang paling sering
dilakukan adalah pada pelanggaran maksim pujian dan maksim kearifan. Penutur
cenderung melakukan kecaman, hinaan, dan celaan terhadap mitra tutur sebagai
bahan lelucon atau humor.
Wijayanti (2014) dengan judul penelitian “Pelanggaran Prinsip
Kesantunan dan Implikatur Percakapan dalam Talkshow Ada-Ada Aja di Global
13
13
Tv. Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana wujud pelanggaran
prinsip kesantunan dalam talkshow Ada-Ada Aja di Global Tv dan (2) Bagaimana
wujud implikatur percakapan dalam talkshow Ada-Ada Aja di Global TV. Jenis
penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data dalam
penelitian ini adalah media internet youtube yang menayangkan talkshow Ada-
Ada Aja di Global Tv episode dari bulan Agustus sampai bulan Oktober 2014.
Data dalam penelitian ini adalah tuturan yang mengandung pelanggaran prinsip
kesantunan dan implikatur percakapan dalam takshow Ada-Ada Aja di Global Tv.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik simak bebas libat
cakap, teknik rekam, dan teknik catat. Teknik analisis yang digunakan adalah
metode padan pragmatik dan kontekstual. Penelitian ini menghasilkan bahwa
dalam acara Ada-Ada Aja terdapat pelanggaran maksim kearifan sebanyak 16
data, maksim pujian 11 data, maksim kerendahan hati 8 data, maksim kesepakatan
7 data, maksim kedermawanan 7 data, dan yang terakhir maksim simpati 2 data.
Terdapat pula implikatur yang sering muncul yaitu implikatur menghina sebanyak
21 data, implikatur sindiran 13 data, implikatur menyuruh 13 data, implikatur
kecewa 7 data, implikatur keraguan 7 data 6 data, serta implikatur ketidaksetujuan
dan implikatur ketidakpercayaan sebanyak 2 data.
Penelitian “Prinsip Kesantunan dan Implikatur dalam Acara Biang Rumpi
No Secret Trans Tv” ini berbeda dengan penelitian-penelitian di atas. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas terletak pada objek yang diteliti.
Objek penelitian ini adalah pematuhan prinsip kerjasama, pelanggaran prinsip
kerjasama, dan implikatur dalam acara BRNS Trans Tv.
14
14
Penelitian mengenai prinsip kesantunan dan implikatur memang pernah
dilakukan, namun tidak sama dengan penelitian ini. Penelitian yang pernah
dilakukan oleh Julia Sarah meneliti prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan
serta menyertakan pembahasan mengenai alat kohesi yang muncul dalam
pematuhan maupun pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan.
Perbedaan dengan penelitian ini adalaha dari segi teori yang digunakan, data dan
sumber datanya, teknik pengumpulan data, dan teknik analisisnya. Selain itu
terdapat pula penelitian Hendry Ardiansyam mengenai tindak tutur dan prinsip
kesantuan serta implikatur dalam kolom kompasiana. Perbedaan dengan
penelitian ini adalah dari segi teori yang digunakan, penelitian ini tidak
memasukkan pembahasan mengenai tindak tutur dan penelitian ini menggunakan
data lisan, bukan data tulis. Selain itu penelitian oleh Maria Ana Widyanigrum
juga berbeda dengan penelitian ini. Penelitian ini dengan penelitian Ana sama-
sama menggunakan data lisan namun berbeda dari segi teori yang digunakan.
Selain tidak membahas mengenai tindak tutur, peneliti melakukan penelitian
terhadap pematuhan prinsip kesantunan yang tidak dilakukan oleh Maria.
Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ratna Nurhayati yang
membahas mengenai kesantunan dan implikatur dalam acara Yuk Keep Smile.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratna dapat
dilihat dari objek dan metode yang digunakan. Objek penelitian yang dilakukan
oleh Ratna adalah pematuhan, pelanggaran maksim kesantunan, dan implikatur
dalam acara komedi Yuk Keep Smile. Meskipun rumusan masalahnya sama,
namun hasilnya akan berbeda terutama terletak pada alasan dibalik penggunaan
pematuhan, pelanggaran, dan implikatur karena acara yang diteliti sangat berbeda
15
15
yaitu infotainment talkshow. Selain itu, teknik analisis yang digunakan juga
berbeda, penelitian ini menggunakan teknik analisis heuristik, teknik analisis cara-
tujuan dan teknik analisis kontekstual. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Reni
Wijayanti yang meneliti mengenai kesantunan dan implikatur dalam acara
talkshow. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Reni terletak pada masalah
yang diangkat. Penelitian ini juga membahas mengenai pematuhan maksim
kesantunan yang tidak dibahas dalam penelitian yang dilakukan oleh Reni. Selain
itu metode yang digunakan juga berbeda.
B. Landasan Teori
1. Pragmatik
Pragmatik sebagai salah satu cabang linguistik mulai berkembang dalam
perkembangan linguistik di Amerika sejak tahun 1970-an. Pragmatik semakin
berkembang dengan banyaknya teori-teori yang dikeluarkan oleh para ahli
linguistik. Istilah linguistik sudah dikenal sejak masa hidupnya seorang filsuf
terkenal bernama Charles Morris (dalam Rahardi, 2005: 45). Charles Morris
membagi ilmu tanda dan ilmu lambang itu ke tiga dalam cabang ilmu yaitu (a)
Sintaktika (Syntactic) “studi relasi formal tanda-tanda”, (2) semantika (semantic)
“studi relasi tanda-tanda dengan objeknya, (3) pragmatika (pragmatic) “studi
relasi antara tanda-tanda dengan penafsirannya.” (dalam Rahardi, 2005: 47).
Leech mendefinisikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam
hubungannya dengan situasi-situsi ujar (speech situations). Leech melihat
pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan
semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat semantik sebagai
bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari
16
16
semantik; dan komplementarisme, yaitu melihat semantik dan pragmatik sebagai
dua bidang yang saling melengkapi (2011: 8).
George Yule menyebutkan empat definisi pragmatik antara lain pragmatik
sebagai studi tentang maksud penutur, pragmatik sebagai studi tentang makna
kontekstual, pragmatik sebagai studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang
disampaikan daripada yang dituturkan, serta pragmatik sebagai studi tentang
ungkapan dari jarak hubungan (Yule, 1996: 4).
Menurut I Dewa Putu Wijana, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang
mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan
digunakan dalam komunikasi. Jadi, makna yang dikaji pragmatik adalah makna
yang terikat konteks (context dependent) atau dengan kata lain mengkaji maksud
penutur. Pragmatik dapat dimanfaatkan oleh setiap penutur untuk memahami
maksud lawan tutur. Penutur dan lawan tutur dapat memanfaatkan pengalaman
bersama (background knowledge) untuk memudahkan pengertian bersama
(Wijana, 1996: 1-2).
Asim Gunarwan berpendapat, pragmatik adalah cabang linguistik yang
mempelajari maksud ujaran, bukan makna atau daya (force) ujaran. Pragmatik
juga mempelajari fungsi ujaran, yaitu untuk apa suatu ujaran ini dibuat atau
diujarkan (1994: 83-84).
2. Situasi Tutur
Situasi tutur dalam suatu tuturan sangat diperhitungkan. Maksud tuturan
yang sebenarnya hanya dapat didefinisikan melaui situasi tutur yang
mendukungnya. Leech menjelaskan bahwa pragmatik mengkaji makna dalam
hubungannya dengan situai-situasi ujar (speech situation) (Leech, 2011: 19).
17
17
Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan, pernyataan ini sejalan
dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur
merupakan sebabnya (Rustono, 1999: 26).
Leech menjelaskan mengenai aspek-aspek ujar untuk mengetahui apakah
suatu percakapan tersebut merupakan fenomena atau sistematis (2011: 19-21).
Berikut ini adalah aspek situasi ujar menurut Leech:
a. Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa)
Orang yang menyapa akan diberi simbol n „penutur‟, orang yang
disapa diberi simbol t „petutur‟. Simbol-simbol ini merupakan singkatan
untuk „penutur/penulis‟ dan „petutur/pembaca‟. Jadi penggunaan penutur
dan petutur tidak membatasi pragmatik pada bahasa lisan saja. Istilah
„penerima‟ (orang yang menerima atau menafsirkan pesan) dan „yang
disapa‟ (orang yang seharusnya menerima dan menjadi sasaran pesan)
juga perlu dibedakan. Si penerima bisa saja seorang yang kebetulan lewat
dan pendengar pesan, dan bukan orang yang disapa.
b. Konteks sebuah tuturan
Konteks diartikan sebagai aspek-aspek yang menyangkut dengan
lingkungan fisik dan sosial sebagai tuturan. Leech (2011: 20) mengartikan
konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama
dimiliki oleh penutur dan membantu petutur menafsirkan makna tuturan.
c. Tujuan sebuah tuturan
Tujuan sebuah tuturan adalah tujuan atau fungsi daripada makna
yang dimaksud atau maksud penutur mengucapkan sesuatu. Istilah tujuan
dianggap lebih netral daripada maksud, karena tidak membebani
18
18
pemakainya dengan suatu kemauan atau motivasi yang sadar, sehingga
dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi
tujuan.
d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan tindak ujar.
Pragmatik berurusan dengan tindak-tindak atau performasi-
performasi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. Dengan
demikian, pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih
konkret daripada tata bahasa.
e. Tuturan sebagai produk tindakan verbal
Selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal itu sendiri, dalam
pragmatik kata „tuturan‟ dapat digunakan dalam arti yang lain, yaitu
sebagai produk suatu tindak verbal (sentence-instance) atau tanda
kalimat (sentence-token), tetapi bukanlah sebuah kalimat. Dalam artian
yang kedua ini tuturan-tuturan merupakan unsur-unsur yang maknanya
dikaji dalam pragmatik, sehingga dengan tepat pragmatik dapat
digambarkan sebagai suatu ilmu yang mengkaji makna tuturan.
3. Tindak Tutur
Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L
Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1959. Teori yang
berasal dari materi kuliah ini kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965)
dengan judul How to Do Things with Word? Teori tersebut baru menjadi terkenal
dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech
Act and Essay in The Philoshopy of Language (Wijana, 1996:50).
19
19
Rustono berpendapat, tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral.
Tindak tutur bersifat pokok di dalam pragmatik. Mengujarkan sebuah tuturan
tertentu bisa dipandang sebagai melakukan tindakan (mempengaruhi, menyuruh)
di samping memang mengucapkan atau mengujarkan tuturan itu (Rustono, 1999:
31).
Menurut I Dewa Putu Wijana, tindak tutur merupakan gejala individual,
bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa
si penutur dalam menghadapi situasi tertentu (Wijana, 1996: 50).
Austin dan Searle mengemukakan bahwa setidaknya ada tiga jenis
tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi
(melakukan tindakan dalam mengatakan sesuatu), dan tindak ilokusi (melakukan
tindakan dalam megatakan sesuatu), dan tindak perlokusi (melakukan tindakan
dengan mengatakan sesuatu) (Leech, 2011: 316).
Searle membagi tindak tutur menjadi lima jenis (Searle, 1996: 147-149),
yaitu:
a. Asertif (Assertives)
Tindak tutur asertif adalah tindak tutur yang mengikat
penuturnya kepada kebenaran preposisi atas hal yang
dikatakannya. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak
tutur ini adalah tindak tutur menyatakan, melaporkan,
mempredikisi, menunjukkan, dan menyebutkan.
b. Direktif (Directives)
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan
oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan
20
20
tindakan yang disebutkan dalam tuturan itu atau berharap lawan
tutur melakukan sesuatu. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam
jenis tindak tutur ini misalnya tindak tutur menyuruh, memohon,
menuntut, menyarankan, memerintah, meminta, dan menantang.
c. Komisif (Commisives)
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur untuk mengikat
penuturnya pada suatu tindakan yang dilakukannya pada masa
mendatang dan melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam
tuturan. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur
ini adalah berjanji, bersumpah, berkaul, menawarkan, menyatakan
kesanggupan, dan mengancam.
d. Ekspresif (Expressive)
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan
dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang
hal yang disebutkan dalam tuturan untuk mengungkapkan sikap
psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Tuturan yang termasuk
ke dalam jenis tindak tutur ini adalah memuji, mengucapkan terima
kasih, meminta maaf, mengucapkan selamat, mengkritik, dan
mengeluh.
e. Deklarasi (Declaration)
Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dilakukan
penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan,
dan sebagainya). Tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak
21
21
tutur ini adalah memutuskan, membatalkan, melarang,
mengizinkan, mengangkat.
4. Prinsip Kesantunan
Beberapa pakar yang membahas kesantunan berbahasa antara lain Lakoff
(1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), serta Leech (1983). Teori
keempat pakar tersebut beranjak dari pengamatan yang sama, yaitu bahwa di
dalam komunikasi yang sebenarnya, penutur tidak selalu mematuhi prinsip kerja
sama Grice (Gunarwan, 1994:87).
Lakoff berpendapat bahwa ada tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan
itu santun, yaitu formalitas, ketidaktegasan, dan persamaan atau kesekawanan.
Kaidah formalitas maksudnya jangan memaksa atau jangan angkuh. Kaidah
ketidaktegasan maksudnya buatlah sedemikian buatlah sedemikian buatlah
sedemikian rupa sehingga mitra tutur dapat menentukan pilihan. Kaidah
persamaan atau kiesekawanan maksudnya penutur hendaklah membuat mitra tutur
merasa senang (dalam Gunarwan, 1994: 87-88)
Fraser lebih mendasarkan konsep kesantunannya atas dasar strategi,
namun tidak merinci bentuk dan strategi kesantunannya. Fraser membedakan
kesantunan dari penghormatan. Menurutnya, kesantunan adalah properti yang
diasosiasikan dengan ujaran, dan menurut pendengar si penutur tidak melampaui
hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya. Di antara hak-hak
penutur di dalam sebuah interaksi adalah hak untuk bertanya. Sementara itu, di
antara kewajiban-kewajiban pendengar atau lawan bicara adalah kewajiban
menjawab. Di samping itu, ada hak dan kewajiban penutur-pendengar yaitu
menyangkut apa yang boleh diujarkan serta cara bagaimana mengujarkannya.
22
22
Dari sini dapat diketahui, bahwa pembedaan kesantunan dari penghormatan
seperti yang dibuat oleh Fraser sebenarnya terlalu dicari-cari, karena kewajiban
seorang penyerta percakapan dapat saja mencakup juga kewajiban untuk
menunjukan penghormatan (Gunarwan, 1994: 88-89).
Brown Levinson merumuskan prinsip kesantunan berkisar atas nosi muka,
yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif adalah muka yang mengacu
pada citra diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang
dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya, diakui orang
sebagai sesuatu hal yang baik, menyenangkan, dan patut dihaurgai. Sementara itu,
muka negatif adalah muka yang mengacu pada citra diri setiap orang (yang
rasional) yang berkeinginan agar dia dapat dihargai dengan jalan membiarkannya
bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu (dalam Gunarwan, 1994:90).
Menurut Brown dan Levinson, sebuah tindak tutur dapat mengancam
muka mitra tuturnya. Tindak tutur tersebut disebut sebagai face-threatening act
(FTA). Untuk mengurangi ancaman terhadap muka mitra, maka penutur
hendaknya menggunakan prinsip kesantunan. Karena ada dua sisi muka yang
terancam yaitu muka negatif dan muka positif, maka kesantunan pun dibagi dua,
yaitu kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif
(untuk menjaga muka positif). Berkenaan dengan hal tersebut, Brown dan
Levinson mengusulkan tesis dasar yaitu bahwa penutur “menghitung” derajat
keterancaman sebuah tindak tutur (yang akan dituturkan) dengan
mempertimbangkan jarak sosial, kekuasaan, satus relatif jenis tindak tutur di
dalam kebudayaan yang bersangkutan (dalam Gunarwan, 1994:90).
23
23
Brown dan Levinson kemudian mengemukakan strategi-strategi yang
dapat digunakan oleh penutur antara lain, melakukan tindak tutur secara apa
adanya, tanpa basa-basi, dengan mematuhi prinsip kerja sama Grice, melakukan
tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif, melakukan tindak tutur
dengan menggunakan kesantunan negatif, melakukan tindak tutur secara off
record (berkata dengan tuturan tidak langsung), tidak melakukan tindak tutur atau
diam saja (Levinson, 1987:66).
Berbeda dengan Brown dan Levinson yang mendasarkan kesantunannya
pada nosi muka, Geoffrey Leech mendasarkan konsep kesantunannya pada empat
nosi yaitu biaya, keuntungan, kesetujuan, pujian, dan simpati/antipati (Gunarwan,
1994: 91). Leech juga mengemukakan bahwa prinsip kesantunan itu berhubungan
dengan dua pihak, yaitu diri dan lain. Diri adalah penutur, dan lain adalah mitra
tutur atau juga dapat menunjuk kepada pihak ketiga, baik yang hadir maupun
yang tidak hadir dalam situasi tutur (Leech, 2011: 206).
Leech mengungkapkan skala pengukur tingkat kesantunan sebuah tuturan
(dalam Rahadi, 2005: 66), antara lain:
a. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada
besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah
tuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin
dianggap santun lah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu
menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah
tuturan itu. Begitupula sebaliknya apabila dilihat dari kacamata si mitra
tutur.
24
24
b. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau
sedikitnya pilihan (option) yang disampaikan si penutur kepada si
mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin petuturan itu
memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang
banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
Sebaliknya, apabila petuturan itu sama sekali tidak memberikan
kemungkinan memilih bagi si penutur dan mitra tutur, tuturan
tersebut akan dianggap tidak santun.
c. Inderectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada
peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.
Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak
santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya. Semakin tidak
langsung maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah
tuturan itu.
d. Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk pada hubungan
status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam
petuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara
penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung
santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat sosial status
sosial antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat
kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.
e. Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada
peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang
terlibat dalam sebuah petuturan. Ada kecenderungan bahwa
25
25
semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan
menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian
sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial di antara keduanya,
akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Dengan kata
lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dan mitra tutur
sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.
Leech merumuskan prinsip kesantunan ke dalam enam maksim, sebagai
berikut:
a. Maksim Kearifan (Tact Maxim)
Maksim kearifan menasihatkan peserta tutur untuk (1)
membuat kerugian orang lain sekecil mungkin, dan (2) membuat
keuntungan orang lain sebesar mungkin (Leech, 2011:206).
b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)
Maksim kedermawanaan menasihatkan peserta tutur untuk
saling menghormati dengan (1) membuat keuntungan diri sendiri
sekecil mungkin, dan (2) membuat kerugian diri sendiri sebesar
mungkin (Leech, 2011: 206).
c. Maksim Pujian (Approbation Maxim)
Maksim pujian menasihatkan peserta tutur untuk (1)
mengecam orang lain sedikit mungkin, dan (2) memuji orang lain
sebanyak mungkin (Leech, 2011: 207).
d. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
26
26
Maksim kerendahan hati menasihatkan peserta tutur untuk
(1) memuji diri sendiri sedikit mungkin, dan (2) mengecam diri
sendiri sebanyak mungkin (Leech, 2011: 207).
e. Maksim Kesepakatan
Maksim kesepakatan menasihatkan peserta tutur untuk (1)
mengusahakan agar ketidaksepatkan antara diri dan orang lain
terjadi sesedikit mungkin, dan (2) mengusahakan agar kesepakatan
antara diri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin (Leech, 2011:
207).
f. Maksim Simpati
Maksim simpati menasihatkan peserta tutur untuk (1)
mengurangi rasa antipati antara diri dengan orang lain hingga
sekecil mungkin, dan (2) meningkatkan rasa simpati sebanyak-
banyaknya antara diri dengan orang lain (Leech, 2011: 207).
5. Implikatur
Implikatur adalah preposisi yang terimplikasi dalam suatu ujaran
meskipun preposisi tersebut bukan merupakan bagian atau akibat dari apa yang
dikatakan. Grize membedakan implikatur menjadi dua, yaitu implikatur
conventional dan implikatur conversational. Implikatur konvensional adalah
implikatur yang bersifat umum, sehingga maksud atau pengertian mengenai suatu
hal tertentu berdasarkan konvensi yang telah ada. Implikatur percakapan adalah
implikasi pragmatik yang terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai
akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Implikatur percakapan adalah
27
27
adalah preposisi atau pernyataan implikatif yaitu apa yang mungkin diartikan,
disiratkan atau dimaksudkan oleh penutur yang berbeda dari apa yang sebenarnya
dikatakan oleh penutur di dalam suatu percakapan (dalam Gadzar, 1979:49).
Nadar dalam bukunya “Pragmatik dan Penelitian Pragmatik” mengartikan
implikatur sebagai sesuatu yang diimplikasikan dalam suatu percakapan (2009:
60). Sementara itu, Mey menyatakan bahwa implikatur “implicature” berasal dari
kata kerja “to imply”, sedangkan kata bendanya adalah implication. Kata kerja itu
berasal dari bahasa Latin plicare yang berarti to fold “melipat” sehingga untuk
mengerti apa yang dilipat atau disimpan harus dilakukan dengan cara
membukanya. Artinya. Untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh penutur,
mitra tutur harus melakukan interpretasi terhadap tuturan-tuturannya (dalam
Nadar, 2009: 60).
Ahli lain Levinson, menyatakan bahwa implikatur merupakan salah satu
gagasan atau pemikiran terpenting dalam pragmatik. Adapun salah satu alasan
penting yang diberikan Levinson ialah bahwa implikatur memberikan penjelasan
eksplisit tentang cara bagaimana dapat mengimplikasikan lebih banyak dari apa
yang dituturkan (dalam Nadar, 2009: 61).
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh peneliti
untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka pikir yang terkait
dalam penelitian ini secara garis besar dilukiskan pada bagan di bawah ini.
28
28
Biang Rumpi No Secret Trans Tv
TTV
Tuturan Biang Rumpi dan Anabel
Tujuan
1. Mendiskripsikan realisasi pematuhan prinsip
kesantunan
2. Mendiskripsikan realisasi pelanggaran prinsip
kesantunan dan implikatur
Prinsip Kesantunan
1. Maksim Kearifan
2. Maksim Kedermawanan
3. Maksim Pujian
4. Maksim Kerendahan Hati
5. Maksim Kesepakatan
6. Maksim Simpati
Pematuhan Kesantunan Pelanggaran Kesantunan
Implikatur
Hasil Analisis:
1. Realisasi pematuhan prinsip kesantunan dalam Biang Rumpi No
Secret Trans Tv
2. Realisasi pelanggaran prinsip kesantunan dan implikatur dalam
Biang Rumpi No Secret Trans Tv
3
29
29
Bagan di atas menggambarkan bahwa sumber data pada penelitian ini adalah
acara BRNS Trans Tv. Data dalam penelitian ini adalah percakapan atau dialog
antara Biang Rumpi dan Anabel dalam acara tersebut. Permasalahan yang diteliti
dalam penelitian ini adalah realisasi pematuhan prinsip kesantunan, pelanggaran
prinsip kesantunan, dan implikatur yang merupakan akibat dari realisasi
pelanggaran prinsip kesantunan yang dituturkan oleh Biang Rumpi dan Anabel
dalam acara BRNS Trans Tv.
Tuturan yang disampaikan oleh penutur memiliki tujuan tertentu. Tujuan
tersebut disampaikan melalui tuturan yang disadari maupun tidak mengandung
nilai-nilai yang menguntugkan mitra tutur, merendahkan mitra tutur, maupun
merugikan mitra tutur. Berdasarkan hal tersebut tuturan dapat diklasifikasikan ke
dalam pematuhan dan pelanggaran maksim kesantunan.
Pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan dapat dipahami dengan
memperhitungkan konteks yang melingkupinya. Begitu pula tuturan yang
mengandung pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan oleh Biang Rumpi
dan Anabel BRNS dapat dipahami dan diketahui alasan di balik penggunaannya
dengan memahami konteks tuturan dalam acara tersebut. Oleh karena itu, tuturan-
tuturan tersebut akan dianalisis secara mendasar dengan memperhitungkan dan
mengaitkan dengan konteks yang ada sehingga akan diketahui pula tujuan
penggunaan pematuhan maupun pelanggaran prinsip kesantunan tersebut. Selain
memahami bentuk atau realisasi pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan,
30
30
akan dipahami pula realisasi implikatur sebagai akibat dari penggunaan tuturan
yang mengandung pelanggaran prinsip kesantunan.