II-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Menurut penelitian Inggil Katulistiwa dan Yunus (2014)[1], Nilai kekuatan
tarik untuk baja paduan rendah dengan elektroda tungsten EWTh-2 menggunakan
arus 90A adalah sebesar 366 MPa. Arus 110A sebesar 371,3 MPa. Arus 130A sebesar
382,7 MPa. Untuk nilai kekuatan tarik untuk baja paduan rendah dengan elektroda
EWP menggunakan arus 90A sebesar 372,1 MPa. Arus 110A sebesar 367,1 MPa.
Arus 130A sebesar 374,3 MPa. Nilai kekuatan tarik dan tegangan luluh untuk
spesimen kualitas kekuatan tarik baja paduan rendah tertinggi pengelasan TIG baik
menggunakan elektroda tungsten Ewth-2 maupun menggunakan elektroda EWP
adalah kelompok arus 130A. Tetapi di antara kedua kelompok arus tersebut
pengelasan TIG yang menggunakan elektroda tungsten Ewth-2 mempunyai hasil
kekuatan tarik lebih besar yaitu 382,7 MPa dibandingkan dengan pengelasan TIG
menggunakan elektroda tungsten EWP yaitu 374,3 MPa.
Menurut penelitian Sckolastika Ninien dan Ponimin (2011)[2], Harga
kekerasan daerah lasan lebih besar dari daerah butir halus dan daerah logam induk.
Besar arus yang paling optimum untuk pengelasan TIG menggunakan pelat dengan
tebal 3 mm, tungsten Ø 2,4 mm, filler Ø 2,4 mm dengan spesifikasi AWS A5. 18 ER
70S-2, gas argon, gassflow 12 CFH adalah arus 80 A – 100 A. Hal ini sesuai dengan
data spesifikasi alat. Daerah benda uji yang putus pada saat uji tarik adalah daerah
benda uji yang memiliki kekerasan paling rendah jika dibandingkan dengan daerah
lasan dan batas butir, yaitu daerah logam induk. Dari grafik uji tarik dapat dilihat
semakin tinggi arus, maka semakin tinggi tegangan luluhnya dan tegangan
maksimumnya, menunjukkan peningkatan sifat mekanis bila pengelasan dilakukan
dengan arus yang lebih tinggi.
II-2
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pengertian Las TIG
TIG atau yang biasa disebut juga GTAW atau pengelasan busur wolfram
pelindung gas, merupakan proses pengelasan busur listrik elektroda tidak terumpan
dengan menggunakan filler sebagai logam pengisi. Kemudian gas yang digunakan
berfungsi untuk melindungi pengaruh udara luar pada proses pengelasan dan untuk
mengurangi penyebaran panas yang berlebihan pada benda kerja. Gas-gas pelindung
yang biasa digunakan adalah gas Helium (He), gas Argon (Ar), gas Karbondioksida
(CO2) atau campuran dari gas-gas tersebut.
Proses pengelasan TIG memiliki keunggulan dibanding dengan proses
pengelasan lainnya, yaitu : asap yang ditimbulkan dari proses pengelasan ini relatif
rendah, sehingga tidak terlalu membahayakan kesehatan juru las atau welder[3].
Dibawah ini adalah perangkat las TIG.
1. Power Source
Perangkat ini berfungsi menyuplai arus listrik.
Gambar II.1 Perangkat las TIG [4]
II-3
2. Coolant System
Sistem ini berfungsi sebagai media pendingin mesin las.
3. Torch
Berfungsi sebagai penghubung elektroda (tungsten) dengan arus listrik dan
sebagai tempat keluarnya gas pelindung.
4. Work Clamp
Perangkat ini berfungsi untuk mengalirkan arus listrik ke benda kerja. Agar
ketika tungsten disentuhkan ke benda kerja, akan terjadi kontak yang
menyebabkan busur listrik menyala.
5. Shielding Gas Tube
Berfungsi untuk menampung gas mulia yang digunakan sebagai pelindung
lasan.
6. Regulator
Regulator berfungsi untuk mengatur tekanan yang keluar dari tabung gas.
Pada regulator biasanya terdapat manometer tabung dan manometer kerja.
Manometer tabung berfungsi untuk mengukur tekanan gas yang ada didalam
tabung. Sedangkan manometer kerja berfungsi untuk mengukur tekanan gas
yang keluar dari tabung.
7. Flowmeter
Perangkat ini fungsinya sama dengan manometer kerja, yaitu mengukur
tekanan gas yang keluar dari dalam tabung.
8. Remote Control
Berfungsi mengatur arus yang digunakan untuk mengelas. Hanya saja,
perangkat ini digunakan agar welder tidak perlu memutar knop untuk
mengatur arus pengelasan.
2.2.2 Sifat Mekanik
Dalam perencanaan suatu material, sifat-sifat dari material yang dibutuhkan
haruslah tepat agar tidak mengalami kegagalan. Salah satu dari sifat-sifat material
II-4
tersebut adalah sifat mekanis. Sifat mekanis merupakan sifat yang muncul akibat
pembebanan mekanis[5]. Diantaranya :
1. Kekuatan
Kemampuan material logam dalam menerima gaya berupa tegangan tanpa
mengalami patah.
2. Kekerasan
Kemampuan material logam dalam menerima gaya berupa penetrasi.
3. Keuletan
Kemampuan material logam untuk menahan deformasi maksimum
sampai material itu patah.
4. Kelentingan
Besarnya energi yang diserap material selama deformasi elastis
berlangsung.
5. Ketangguhan
Besarnya energi yang diserap sampai material tersebut patah.
6. Modulus Elastisitas
Merupakan ukuran kekakuan material.
2.2.3 Struktur Mikro
Mikrostruktur atau struktur mikro merupakan fasa-fasa yang terdistribusi
pada logam yang dapat diamati melalui mikro test atau metalografi. Dari struktur
mikro, dapat juga dilihat bentuk dan ukuran butir pada baja. Struktur mikro ini
meliputi fasa yang setimbang dan tidak setimbang. Fasa yang setimbang merupakan
fasa yang terbentuk dengan pendinginan yang sangat lambat, sedangkan fasa tidak
setimbang adalah fasa yang terbentuk dengan pendinginan yang cepat. Fasa
setimbang dapat dianalisa dengan menggunakan diagram fasa FeC[6].
Fasa yang tidak setimbang adalah fasa yang terbentuk akibat pendinginan
yang beragam, Fasa ini dapat dianalisis dengan menggunakan diagram CCT
(Continous Cooling Transformation). Pendinginan yang beragam dapat
II-5
mengakibatkan perubahan pada sifat mekanik terutama kekerasan. Diagram CCT
pada pengelasan baja karbon yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
1. Grain Boundary Ferrite
Merupakan struktur mikro yang menempati batas-batas butir dari weld
metal.
2. Sideplate Ferrite
Merupakan struktur mikro yang bentuk strukturnya berorientasi dengan
arah yang sama.
3. Accicular Ferrite
Merupakan struktur mikro yang bentuk strukturnya berorientasi secara
acak dan berukuran kecil.
4. Bainite
Merupakan ferrite yang tumbuh dari batas butir austenite dan memiliki
kekerasan yang lebih rendah dari Martensite.
5. Martensite
Merupakan struktur mikro yang terbentuk apabila proses pendinginan
pada pengelasan dilakukan dengan sangat cepat. Struktur mikro ini
mempunyai sifat yang sangat keras, sehingga ketangguhannya rendah.
Gambar II.2 Diagram CCT Pengelasan Baja Karbon[7]
II-6
Gambar II.3 Proses Radiografi[8]
2.2.4 Pengujian Radiografi
Pengujian Radiografi merupakan salah satu metode dari pengujian tanpa
merusak atau yang biasa disebut dengan NDT (Non Destructive Test). Metode ini
menggunakan radiasi sinar X untuk mendeteksi adanya kerusakan atau cacat pada
material. Cara melakukan pengujian ini adalah menempatkan kertas film radiografi
di belakang spesimen benda kerja, kemudian sinar X atau Gamma ditembakkan ke
spesimen benda kerja. Pada saat sinar X ditembakkan, kertas film radiografi yang
ditempatkan dibelakang spesimen benda kerja akan menampilkan bayangan adanya
kerusakan atau kecacatan pada benda kerja. Apabila ada cacat pada benda kerja,
bayangan yang ditampilkan pada film akan berwarna lebih gelap dari warna benda
kerjanya[8]. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar II.3 dibawah ini.
Metode pengujian ini memiliki beberapa keuntungan dan kerugian
diantaranya :
1. Keuntungan :
1) Radiografi berlaku untuk hampir semua jenis material
2) Mampu mendeteksi cacat pada bagian dalam material
3) Menghasilkan gambar secara permanen yang mudah untuk
diperoleh kembali pada masa yang akan datang
4) Mampu mendeteksi dengan jelas dari cacat pada material
2. Kerugian :
1) Tidak bisa digunakan pada objek yang berbentuk kompleks
II-7
2) Radiasi sinar X dan Gamma yang digunakan berbahaya bagi tubuh
manusia dan lingkungan sekitar
3) Biaya peralatan yang digunakan relatif mahal
4) Para pekerja yang melakukan pengujian ini harus sangat terlatih
demi alasan keselamatan
2.2.5 Pengujian Makro
Pengujian makro adalah pengujian yang bertujuan untuk melihat struktur
makro dari material pengelasan. Agar struktur dapat terlihat dengan jelas dilakukan
proses machining, grinding, dan polishing. Kemudian pada daerah lasan di etcha
dengan cairan kimia dan dilihat menggunakan mikroskop dengan perbesaran
kurang dari 10x agar bentuk dari lasan antara weld metal, HAZ (Heat Affected Zone)
dan base metal terlihat jelas. Dari hasil pengujian ini akan terlihat kualitas dari
pengelasan.
2.2.6 Pengujian Mikro (Metalografi)
Pengujian mikro adalah pengujian mengenai struktur mikro logam melalui
pembesaran dengan menggunakan mikroskop khusus pengujian mikro. Dengan
pengujian mikro, dapat diamati bentuk dan ukuran butir logam, kerusakan logam
akibat proses deformasi, proses perlakuan panas, dan perbedaan komposisi. Untuk
mengetahui struktur mikro, diperlukan proses pengujian mikro. Proses ini bertujuan
untuk melihat struktur mikro suatu bahan. ada beberapa tahap yang harus dilakukan.
Tahapan yang harus dilalui adalah mounting, grinding, polishing, dan etching.
1. Mounting
Pada tahap ini spesimen dimasukkan kedalam pembingkai dengan tujuan
untuk mempermudah saat melakukan grinding dan polishing. Bahan yang
digunakan biasanya adalah bakelit dan resin.
2. Grinding
Spesimen yang telah di mounting kemudian digosok dengan amplas agar
permukaannya rata dan halus.
3. Polishing
II-8
Pada tahap ini, permukaan spesimen dipoles pada mesin poles. Agar
mendapatkan permukaan spesimen mengkilap dan tidak ada goresan.
4. Etching (Etsa)
Tahap ini merupakan tahap terakhir yaitu pemberian larutan kimia pada
permukaan spesimen. Larutan etsa dapat dilihat pada tabel etching
dikarenakan setiap material memiliki larutan etsa yang berbeda-beda.
Kemudian setelah di etsa, spesimen diamati struktur mikronya dengan
mikroskop.
2.2.7 Pengujian Kekerasan
Pengujian kekerasan dilakukan bertujuan untuk mengetahui ukuran ketahanan
material terhadap deformasi plastis.
Metoda pengujian kekerasan :
1. Pengujian kekerasan Brinell
2. Pengujian kekerasan Rockwell
3. Pengujian kekerasan Vickers
4. Pengujian kekerasan Mikro
2.2.7.1 Pengujian Kekerasan Brinell
Metoda pengujian ini ditemukan oleh Johan August Brinell pada tahun 1900.
Biasanya digunakan untuk menguji kekerasan logam-logam yang lunak. Metoda
pengujian ini dilakukan dengan menggunakan identor bola baja (tungsten carbide).
Pengujian dilakukan dengan memberikan gaya pada indentor dengan waktu
penekanan 10 – 30 detik. Kemudian diameter bekas indentornya diukur dengan
menggunakan alat yang bernama Profil Proyektor[9].
………………………………………. (1)
II-9
Tabel II.1 Hubungan gaya dengan diameter indentor[9]
A = . D . h
= 0,5. . D. ( D - D2 - d2 ) …………………………………… (2)
Contoh penulisan hasil kekerasan Brinell : 105 HB 2,5 /187,5/15.
105 = Kekerasan bahan
HB = Kekerasan Brinell
2,5 = Indentor yang digunakan
187,5 = Gaya penekanan
15 = Waktu pengujian
Hubungan antara penetrator dengan bahan yang digunakan untuk pengujian
kekerasan dengan metoda Brinell, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
II-10
Gaya dari rumus kekerasan Brinell ditentukan dengan melihat tabel diatas.
Misal F/D2 yang digunakan 30, kemudian diameter penetrator atau indentor yang
digunakan 5 mm, maka F = 30 . D2 = 30 . 52 = 750 kg.
2.2.7.2 Pengujian Kekerasan Rockwell
Dalam pengujian kekerasan Rockwell, digunakan indentor berbentuk bola
baja dan kerucut intan dengan sudut 120o dan 1/16 in untuk bola baja[9]. Harga
kekerasan Rockwell dinyatakan dengan skala dan beban mayor yang digunakan
seperti tabel dibawah ini.
Pengujian kekerasan Rockwell dilakukan dengan memberikan beban minor
± 10 kg, dilanjutkan dengan beban mayor sesuai skala yang dipilih. Harga kekerasan
dinyatakan dengan angka 80 HRB, 60 HRC dan seterusnya. Harga kekerasan
Rockwell dapat juga dinyatakan dengan Superficial misalnya 60 HR 30 W, 30 W
menyatakan beban mayor 30 kg.
2.2.7.3 Pengujian Kekerasan Vickers
Pengujian ini menggunakan indentor piramid intan dengan sudut 136o. Cara
melakukan pengujian ini sama dengan metoda Brinnell, yaitu dengan mengukur
bekas indentasi dengan alat yang bernama Profil Proyektor[9].
Tabel II.2 Simbol skala, indentor, dan beban mayor Rockwell[9]
II-11
136o
Luas A = 4 x Luas segitiga
…………………………………….. (3)
………………………………………(4)
d =
2.2.7.4 Pengujian Kekerasan Mikro
Pengujian kekerasan mikro dapat dilakukan dengan metode Vickers. Hanya
saja, beban yang digunakan untuk pengujian ini antara 1 - 1000 g. Untuk melakukan
pengujian ini dilakukan persiapan dengan memoles benda uji agar bekas indentasi
dapat dengan jelas diamati pada mikroskop. Harga kekerasan dapat dinyatakan
dengan HV[9]. Keuntungan dari pengujian kekerasan mikro adalah benda hasil uji
dapat digunakan kembali, dikarenakan bekas titik pengujian berukuran sangat kecil.
½ d
√2
¼ d √2
𝑑√2
4. sin68
Gambar II.4 Penampang Indentor Vickers[9]
d1 + d2
2
II-12
2.2.8 Uji Tarik
Uji tarik merupakan pengujian untuk mengetahui kekuatan tarik dari suatu
material. Kekuatan tarik merupakan tegangan maksimum yang bisa ditahan oleh
suatu material ketika ditarik atau direnggangkan.
1. Gaya Penarikan dan perubahan panjang ( F dan ΔL )
Pada mesin uji tarik, data yang didapat adalah gaya penarikan (F) dan
perubahan panjang spesimen (∆L). Dari hubungan hubungan antara gaya
penarikan dan perubahan panjang dapat diperoleh parameter lainnya
seperti tegangan dan regangan teknis, tegangan dan regangan sebenarnya,
dan juga faktor pengerasan regang.
2. Tegangan dan regangan teknik
Tegangan dan regangan teknik disebut juga dengan tegangan dan
regangan rata-rata[9].
Rumus regangan teknik (e) : 𝑒 =(∆𝐿)
Lo=
(𝐿−𝐿𝑜)
Lo
Rumus tegangan teknik (S) : 𝑆 =F
Ao
3. Tegangan dan regangan sebenarnya
Kurva tegangan dan regangan teknis bukanlah kurva tegangan dan
regangan yang sebenarnya . Hal ini disebabkan bahwa selama penarikan
terjadi pengecilan luas penampang[9].
1) Rumus regangan sebenarnya (ε ) :
= n
i
dst 2
23
1
121L
LL
L
LL
Lo
LoL
Atau
L
lO LoLLn
L
dl
Sedangkan
…………………………..(5)
II-13
Gambar II.5 Spesimen ASTM E8M-09[10]
e = 1
Lo
L
Lo
LoL
Lo
l
e + 1 = Lo
L ................................................(6)
dari persamaan 5 dan 6 diperoleh ε = Ln (e + 1)
2) Rumus tegangan sebenarnya (σ) :
) 1 e ( S atau Lo Ao.
P.L 1
4. Kekuatan Luluh ( y)
Kekuatan luluh material terjadi pada saat dimulainya deformasi plastis
5. Spesimen
Spesimen uji tarik pada kajian ini dibuat sesuai dengan standar ASTM –
E8M - 09 seperti pada gambar II.7. Pengujian dilakukan untuk melihat
perbandingan kekuatan tarik dan kekuatan luluh dari logam pengelasan
dengan variasi arus antara 120 A, 140 A, 160 A.
G = 25 mm R = 6 mm B = 30 mm
W = 6 mm L = 100 mm C = 10 mm
T = 4 mm A = 32 mm