5
Bab II
Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini akan dipaparkan fenomena semikonduktivitas pada material
dalam perspektif mekanika gelombang yang menjadi landasan kemunculan celah
energi pada semikonduktor. Kemudian dijelaskan pula material berstruktur
perovskit, dalam hal ini stronsium titanat (STO), ditinjau dari transormasi fasa
serta aplikasinya. Stronsium titanat (STO) merupakan material semikonduktor
yang cukup banyak dikaji. Kesederhanaan dalam struktur dan komposisi
menjadikan STO mudah untuk dimodifikasi dan dibuat suatu cacat dalam sistem
kristalnya. Adanya cacat ini dapat menjelaskan fenomena luminesens pada
material seperti yang akan dipaparkan pada bagian II.4.
Selanjutnya dijelaskan pula penggunaan irradiasi ultrasonik dalam reaksi kimia.
Meskipun metode ini relatif baru digunakan, akan tetapi penggunaannya sudah
cukup luas. Mekanisme kavitasi yang dijelaskan pada bagian II.5.2 memberikan
pandangan mengenai bagaimana reaksi kimia dapat terjadi dengan adanya
irradiasi ultrasonik.
II.1 Celah Energi Pada $anopartikel
Sudah sejak lama dunia sains molekuler yang berukuran nano (1 nm = 10 Å)
mendapat perhatian besar dalam ilmu kimia. Material dengan skala ukuran yang
terletak pada daerah ‘‘fuzzy interface’’ antara besar dan kecil muncul sebagai
material nano dan telah berkembang menjadi satu bidang kajian yang sangat
menarik. Salah satunya adalah karena aplikasi material nano pada bidang
elektronik, kedokteran, dan lingkungan.
Temuan-temuan material berukuran nano, terutama semikonduktor, menjadi topik
penelitian yang cukup maju. Misalnya untuk transistor yang digunakan dalam
rangkaian elektronika, terutama silikon, merupakan bahan yang terbuat dari bahan
semikonduktor. Selain itu, bahan semikonduktor, terutama jenis senyawa
golongan III dan V, juga dapat dipakai untuk membuat piranti elektronik yang
6
mengeluarkan cahaya seperti laser dan LED (Light Emitting Diode). Bersama
dengan silikon, semikonduktor yang terbuat dari unsur-unsur golongan III-V juga
merupakan salah satu teknologi kunci di bidang teknologi informasi belakangan
ini.(15,16)
Konduktivitas bahan dapat diubah dengan cara sengaja memasukkan elemen lain
ke dalam kristal semikonduktor. Teknik ini biasa disebut dengan istilah doping
atau penyisipan. Kristal nano yang disisipi mampu mengungkapkan sifat-sifat
berbeda, seperti sifat optiknya, pada rentang ukuran yang berbeda.(6)
Konduktivitas pada material kristalin salah satunya ditandai dengan besarnya
celah energi, yaitu celah yang terletak di antara pita valensi yang berisi elektron
penuh dengan pita konduksi yang kosong. Celah energi ini berkaitan dengan sifat
luminesens material: eksitasi tahap pertama pada semikonduktor adalah pada
elektron di bawah pita konduksi dan hole pada pita valensi bagian atas.(16) Ilustrasi
diagram energi pada suatu material semikonduktor dapat di lihat pada
Gambar II.1.
Seperti telah diketahui bahwa solusi Schrödinger untuk elektron bebas (1 dimensi)
merupakan gelombang datar yang diberikan oleh Persamaan:
ψ(x, t) = exp (±ikx − iωt) (II. 1)
Gambar II.1 Diagram energi (kurva dispersi) untuk semikonduktor langsung (a) dan tidak langsung (b). Pada semikonduktor tidak langsung, panjang gelombang cahaya cukup besar, transisi optis ditunjukkan oleh tanda panah vertikal, maka relaksasi tidak terjadi pada daerah yang sama (forbidden zone).
7
k merupakan bilangan gelombang (atau dalam gerak 3 dimensi menyatakan vektor
gelombang). Sementara E = ħω (energi kinetik elektron). Disini kita dapat
menyatakan korelasi antara k dan E (mengingat p = ħk) maka:
E = p2/2m (II. 2)
E = ħ2k2/(2m) (II. 3)
Solusi Schrödinger serta hubungan antara k dan E berlaku juga untuk elektron
pada pita konduksi tetapi massanya harus diganti dengan massa elektron efektif,
mµ, karena sebenarnya interaksi antar elektron dengan potensial periodik dalam
kristal harus dimasukkan ke dalam Persamaan Schrödinger. Selain, itu akan
timbul celah energi pada k = ±n(π/a). Hal ini timbul karena gelombang pantul dari
satu atom dalam kisi yang linier berinterferensi dengan gelombang pantul dari
atom tetangga terdekatnya dengan beda fasa 2π. Berarti dalam daerah ini
solusinya ialah gelombang berdiri.(15)
Lebih lanjut, ada dua gelombang berdiri yang berbeda yang dapat dibentuk dari
gelombang berjalan exp(+iπx/a) dan exp(−iπx/a), yaitu:
ψ (+) = exp(+iπx/a) + exp(−iπx/a) (II. 4)
ψ (−) = exp(+iπx/a) − exp(−iπx/a) (II. 5)
Dari solusi ini, kerapatan elektron dapat dicari:
ρ(+) = | ψ (+)|2 ≈ cos2(πx/a) (II. 6)
ρ(−) = | ψ (−)|2 ≈ sin2(πx/a) (II. 7)
ternyata solusi ini menumpukan elektron pada daerah yang berlainan relatif
terhadap kedudukan ion-ionnya sehingga energi potensialnya berbeda. Hal inilah
yang menimbulkan loncatan energi sehingga timbul celah energi pada k = ±(π/a).
Analisis lebih teliti mengenai solusi Persamaan Schrödinger dalam potesial
periodik telah dilakukan oleh Bloch.(17) Ia mendapatkan solusi untuk potensial
periodik 1-dimensi sebagai berikut:
ψ (x) = exp(ik.x) uk(x) (II. 8)
8
dengan k = (2πg/(9a)); g = 0, 1, 2, ....,9 − 1; 9 = banyaknya titik kisi;
uk(x) = fungsi periodik dengan periodisitas potensialnya. Namun, hubungan E dan
k tetap seperti pada Persamaan II.3 dan kesimpulan bahwa terjadi penumpukan
elektron pada daerah yang berlainan relatif terhadap kedudukan ionnya untuk
harga k = ±(π/a) tetap berlaku. Dengan teorema Bloch, fungsi gelombang krisal
dalam skala makroskopik yang jumlah atomnya sama dengan bilangan Avogadro
dapat ditentukan dengan membuat solusi untuk Persamaan Scrödinger ke dalam
satu unit sel.(15)
Dengan memanfaatkan teorema Bloch, kita dapat mempelajari pengaruh dari
potensial periodik pada hubungan E-k pada elektron konduksi. Untuk tujuan ini,
digunakan model Kronig–Penney yang cukup representatif. Model ini
mengasumsikan suatu sumur potensial yang periodik dalam ruang 1-dimensi
(Gambar II.2) di mana elektron memiliki Persamaan gelombang:
(II. 9)
Untuk daerah 0 < x ≤ a, Persamaan ini memiliki solusi sebagai berikut:
(II. 10)
dan
(II. 11)
Gambar II. 2 Sumur potensial periodik dari model Kronig-Penney.
9
Sementara untuk daerah –b < x ≤ 0, tergantung pada besarnya energi elektron
konduksi. Asumsikan bahwa tingginya yang potensial Vo lebih tinggi dibanding
energi dari elektron, Vo > E. Fungsi gelombang ditulis:
(II. 12)
Di mana ħβ= . Dengan cara yang sama, fungsi gelombang pada
daerah 0 < x ≤ a dituliskan sebagai:
(II. 13)
Karena sumur potensial memiliki keperiodikan maka fungsi gelombangnya harus
sesuai dengan teorema Bloch, sehingga untuk dua fungsi gelombang yang
dipisahkan oleh jarak interatomik (a) dihubungkan oleh:
ψ (x+a) = exp(ik.a) ψ (x) (II. 14)
dengan memberikan fungsi gelombang dan membuat derivat dari Persamaan II.14,
maka daerah pada x=0 dan a=0 dapat dihubungkan dengan baik. Dengan
demikian, kita memperoleh empat Persamaan linear homogen dari daerah batas.
Solusi-solusi non-trivial dapat diperoleh jika determinan dari masing-masing
koefisien dihilangkan. Persamaan determinan menghasilkan:
(II. 15)
Persamaan II.15 terlalu kompleks untuk difahami secara fisik. Sumur potensial
yang periodik dapat digantikan oleh suatu fungsi periodik delta dengan
pengambilan batas-batas b�0 dan Vo�0 dengan menjaga β2b terbatas. Dengan
menggunakan suatu parameter yang baru seperti:
(II. 16 )
Maka Persamaan II.15 dapat direduksi menjadi
(II. 17)
Persamaan II.17 adalah suatu Persamaan yang transendental dan tidak dapat
dipecahkan secara analitis.(15) Analisa menggunakan grafik dapat menyaring
10
informasi penting di dalam model Kronig–Penney. Parameter P di dalam
Persamaan II.17 ditentukan sama kepada nilai yang sembarang P=3π/2. Ruas kiri
Persamaan II.17 dilihat pada Gambar II.3 sebagai fungsi αa. Karena ruas kanan
Persamaan II.17 merupakan suatu fungsi kosinus, nilai di dalam ruas kiri harus
berada -1 sampai 1. Dengan kata yang lain, solusi yang diizinkan untuk
Persamaan II.17 hanya ditemukan pada daerah yang ditandai oleh garis tebal
dalam Gambar II.3.(17)
Gambar II.3 Fungsi yang muncul dari Persamaan II.17 pada model Kronig-
Penney. Daerah yang diperbolehkan dibatasi pada daerah -1 sampai 1, oleh karena itu nilai dari αa yang diizinkan hanya pada daerah yang ditandai dengan garis tebal.
Gambar II.4 Hubungan E-K dari model Kronig-Penney. Kurva putus-putus
menunjukkan pita elektron bebas.
Nilai minima dan maksima dari nilai αa yang diizinkan berasal dari kondisi
cos kα=±1, yang menghasilkan k=nπ/a, (n=±1, ±2,…). Gambar II.4 menunjukkan
hubungan E–k menyimpang dari parabola elektron bebas yang diberikan oleh
11
Persamaan gelombang untuk tiga dimensi dan satu diskontinuitas energi muncul
pada setiap k=nπ/a, (n=±1, ±2,…). Dapat dilihat bahwa terdapat daerah energi di
mana elektron tidak diizinkan berada pada daerah itu. Setiap daerah energi ini
disebut pita energi terlarang. Pita energi terlarang ini muncul sebagai suatu hasil
dari interaksi dari elektron konduksi dengan potensial periodik dari kisi kristal.
Stronsium titanat (STO) merupakan material keramik dengan fasa paraelektrik
yang baik. Material ini memiliki celah energi sekitar 3,4 eV dan memiliki struktur
dasar perovskit. STO dapat digunakan sebagai material induk dalam komponen
elektronik seperti LED. Kita bisa mendapatkan sifat optik (luminesens) yang
berbeda dengan pengaturan ukuran atau penyisipan luminofor berupa kation dari
golongan logam tanah jarang. Dalam material berukuran nano, berkurangnya
ukuran partikel berdampak pada beberapa hal, di antaranya:(16)
1. Diskritisasi keadaan energi pada pita konduksi dan pita valensi.
2. Pergeseran biru (blue shift) pada transisi optis, yang meningkat seiring
dengan confinement.
II.2 Quantum Confinement
Perhatian besar pada struktur material berdimensi rendah (low-dimensional
semiconductor) seperti quantum well (2D), quantum wire (1D) dan quantum dot
(0D) mulai berkembang pesat. Struktur seperti ini adalah pembuka jalan ke era
fabrikasi nanoteknologi dan divais kuantum.
Quantum confinement terjadi ketika satu atau lebih dimensi dari nanokristal dibuat
sangat kecil sehingga mendekati ukuran eksiton dalam bulk kristal, yang disebut
jari-jari eksiton Bohr. Pada material semikonduktor, quantum confinement
elektron dan hole dalam ukuran nano menyebabkan kebergantungan celah pita
energi partikel terhadap ukuran. Makin kecil ukuran partikel maka makin besar
celah pita energinya.(18)
Telah diketahui bahwa bila elektron dikurung dalam daerah potensial dengan
dimensi yang sama dengan panjang gelombangnya maka akan muncul sifat
12
gelombang elektron dan berbagai fenomena kuantum akan dapat diamati.
Beberapa fenomena kuantum dapat mengurangi performa dari perangkat,
sedangkan fenomena yang lain dapat memacu terciptanya divais kuantum yang
baru. Beberapa perangkat kuantum seperti wire-transistor dan single-elektron
transistor sudah berhasil dibuat dan menunjukkan kinerja yang tinggi.
Permasalahan yang timbul dari perangkat yang dibuat berdasarkan struktur
semikonduktor dimensi rendah ini adalah arus drive yang rendah sehingga masih
sulit untuk diaplikasikan. Secara umum, permasalahan yang dihadapi perangkat
kuantum ini adalah operasi kerjanya yang masih harus dilakukan pada temperatur
rendah (seperti temperatur helium cair : 4,2 K) agar dapat diamati fenomena
kuantum secara jelas.(18) Material STO misalnya mengalami transisi fasa
feroelastik pada temperatur -168 oC. BaTiO3 juga mengalami transisi
paraelektronik pada temperatur 2 oC.(6) Hal ini tentunya akan menaikkan ongkos
pembuatan sehingga belum menarik untuk diproduksi.
II.3 Perovskit
II.3.1 Pendahuluan
Oksida berstruktur perovksit merupakan salah satu material yang banyak dikaji
dalam kimia dan fisika padatan, sains material dan geologi. Gustav Rose,
kimiawan asal Jerman, pada tahun 1893 menemukan mineral CaTiO3 yang
kemudian dinamai Perovskit untuk menghormati Lev Alexeievitch Perovsky.
Meskipun perovskit awalnya hanya untuk CaTiO3, akan tetapi dalam
perkembangan ilmu sintesis, maka istilah perovskit diterapkan untuk senyawa
hasil sintesis yang secara stoikiometri dan struktur memiliki kesamaan dengan
CaTiO3. Orang yang pertama kali berhasil mensintesis senyawa berstruktur
perovskit adalah V.M Goldschmidt pada tahun 1927.
Perovskit sederhana dan ideal, seperti SrTiO3, memiliki simetri kubus (grup ruang
Pm3m, ap = 3,9 Å) ditunjukkan pada Gambar II.5. Secara stoikiometri perovskit
ditulis dengan AMX3, di mana A merupakan kation besar dengan biloks rendah,
M kation yang lebih kecil dan berkoordinasi oktahedral, sementara X merupakan
anion seperti F- atau O2-.
13
Tabel II. 1 Jenis kation pada oksida berstruktur Perovskit. Muatan Kation A Muatan kation B Contoh
+3 +2 +1
+3 +4 +5
LaCrO3 SrTiO3 NaWO3
Kation A menempati lubang kuboktahedral (bilangan koordinasi = 12) yang
dihasilkan dari penggunaan bersama sudut oktahedral. Oksida logam berstruktur
perovskit tidak terbatas pada jenis kation, tetapi juga pada ukuran relatif kation A
dan kation B. Dengan kata lain selain pada CaTiO3, perovskit ditemukan pula
pada oksida terner ABO3 yang lain yang terbentuk dari satu kation besar dan satu
kation kecil. Beberapa contoh ditunjukkan pada Tabel II. 1. Kation A biasanya
lebih besar daripada kation B, misalnya pada SrTiO3 di mana r(Sr2+) = 1,52 Å dan
r(Ti4+) = 0,745 Å, maka kation Sr menempati posisi A sedangkan Ti sebagai
kation B.(19)
(a) (b) (c)
Gambar II.5 (a-c) menunjukkan sel satuan struktur perovskit di mana kation A
berkoordinasi 12 (rocksalt) sementara kation B berkoordinasi 6 membentuk
oktrahedral.
II.3.2 Diagram Fasa (Ca,Sr)TiO3
Kajian larutan padat antara CaTiO3 dan SrTiO3 pada temperatur ruang yang
dilakukan oleh Ball, hasilnya ditunjukkan pada Gambar II.6. Gambar tersebut
memperlihatkan diagram fasa perovskit (Ca,Sr)TiO3 sebagai fungsi temperatur
Gambar II.5 Sel satuan untuk perovskit sederhana ideal (group ruang Pm3m). Struktur Perovskit SrTiO3 dengan pusat sel satuan pada kation Sr (a) dan Ti (b) serta susunan oktahedral pada perovskit (c). (Sr= bola biru, Ti= bola kuning, O= bola hijau).
14
yang diperoleh dari hasil kajian in situ sampel yang berbeda-beda komposisi
dalam larutan padat.
Gambar II.6 Diagram fasa (Ca,Sr)TiO3 sebagai fungsi komposisi Ca (mol%) pada berbagai temperatur. Sampel dipreparasi dengan sintering selama 96 jam pada 1400 oC kemudian dipanaskan ulang pada temperatur 1550 oC selama 85 jam telah dikaji pada berbagai komposisi.
Dari Gambar II.6 dapat dilihat adanya transisi fasa dari grup ruang Pm3m ↔
Bmmb, ketika komposisi kation Sr2+ digantikan oleh Ca2+ sebanyak 50%. Hal ini
juga menunjukkan adanya transisi dari keadaan kubus sempurna menjadi geometri
tetrahedral atau ortorombik. Sementara pada komposisi Ca2+ sebanyak 70 %
transisi terjadi dari Bmmb ↔ I4/mcm.
Carpenter mengajukan sebuah Persamaan yang menunjukkan kecenderungan
transisi ditentukan oleh temperatur penjenuhan Θs.
(II. 18)
Di mana Tck adalah temperatur transisi kubik ↔ tetragonal pada komposisi x,
x adalah proporsi SrTiO3 dalam mol% dan Θs = 274 K, Tc = 1621, k = 0,05.(21)
Diagram fasa lainnya diungkapkan oleh McQuarrie yang mengindikasikan
perubahan fasa tetragonal ↔ ortorombik pada temperatur ruang dengan adanya
15
perubahan komposisi Ca-Sr Gambar II.7 Pada konsentrasi Ca yang lebih besar,
perovskit berfasa ortorombik mendominasi, sebaliknya pada konsentrasi yang
rendah, fasa dominan adalah tetragonal.(22)
Gambar II.7 Diagram fasa (Ca,Sr,Ba)TiO3. K (kubik), T (tetragonal), dan O
(ortorombik). Titik-titik dan garis menunjukkan komposisi dari sampel yang dikaji oleh Kyomen.
Parameter sel perovskit pada (Ca,Sr)TiO3 yang disisipi kation praseodimium
(Pr3+) pada site A, di ungkapkan pula oleh Kyomen sebagaimana terlihat pada
Tabel II.2.
Tabel II.2 Komposisi, parameter sel perovskit (ap), grup ruang (S.G.), simetri titik (P.S.) pada site alkali tanah sistem ABO3, serta jumlah operasi simetri (N.S.O.) pada Prz(Ca1-xSrx)0.997TiO3. x z a (A) SG PS $SO
1,00 0,0024 3,905 Pm3m Oh 48
0,80 0,0024 3,892 I4/mcm D2d 8
0,60 0,0023 3,876 Bmmb C2v 4
0,50 0,0025 3,869 Bmmb C2v 4
0,40 0,0023 3,860 Pnma C1h 2
0,00 0,0024 3,824 Pnma C1h 2
Parameter sel perovskit didefinisikan sebagai ap = V1/3, di mana V merupakan
volume sel satuan ABO3. Parameter sel perovskit menurun dengan penurunan
nilai x sebagai konsekuensi dari ukuran kation Ca2+ yang lebih kecil daripada
kation Sr2+.(22)
Tidak larut
K
T
T
O
BaTiO3 CaTiO3
SrTiO3
16
II.3.3 Aplikasi Material Berstruktur Perovskit
Perovskit dapat bervariasi dalam jenis dan muatan kation. Oleh karena itu material
ini sangat menarik untuk dikaji. Misalnya SrTiO3 yang banyak diaplikasikan
dalam material dielektrik dan fotoelektrik, sementara BaTiO3 merupakan
komponen utama dalam material dielektrik seperti kapasitor dan termistor
keramik.(23) Material berstruktur perovskit dapat digunakan sebagai anoda dalam
sel bahan bakar (SOFC’s, Solid Oxide Fuel Cells).(24) SrTiO3 dan BaTiO3 juga
merupakan material yang sangat sering digunakan dalam preparasi komponen
elektronik berupa lapis tipis, dan material optoelektrik.(10) Sifat luminesens dari
material berstruktur perovskit, misalnya dari lapis tipis BaTiO3 yang disisipi
europium, cukup menarik untuk dikaji.(9)
Senyawa (Ca,Sr)TiO3 memiliki fungsi-fungsi yang juga cukup penting dalam
bidang teknologi. Kyomen menggunakan ion logam praseodimium sebagai
penyisip dalam material (Ca,Sr,Ba)TiO3 untuk mengamati fotoluminesens pada
temperatur kamar. Sifat luminesens ini sangat menarik karena kemungkinan untuk
aplikasinya dalam perangkat elektronik seperti pada display.(22)
II.4 Luminesens
II.4.1 Pendahuluan
Luminesens didefinisikan sebagai fenomena emisi cahaya oleh suatu zat.
Luminesens merupakan proses yang non-kesetimbangan di mana untuk dapat
berlangsung harus menggunakan sumber eksitasi seperti laser. Luminesens terjadi
ketika elektron pada material target kembali ke keadaan dasarnya setelah
dieksitasi oleh energi dari sumber eksitasi dan kehilangan energi sebagai foton
seperti diilustrasikan pada Gambar II.8.
Luminesens dapat disebabkan oleh beberapa faktor sebagai contoh, reaksi kimia,
energi listrik, pergerakan pada tingkat sub atomik, atau peregangan dalam kristal.
Berdasarkan sumber eksitasinya, dikenal beberapa jenis luminesens seperti
fotoluminesens jika digunakan sumber eksitasi optis, sementara istilah
elektroluminesens digunakan jika eksitasi terjadi akibat arus listrik. Jenis lainnya
17
yakni jika terjadi akibat pembombardiran material target yang dikenal dengan
katodoluminesens.(25)
Gambar II.8 Transisi elektron dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi terjadi ketika elektron dikenai energi. Kemudian terjadi relaksasi di mana sejumlah energi diemisikan ketika elektron kembali ke keadaan dasar dan dikenal sebagai luminesens.
Fotoluminesens (PL) merupakan bidang yang banyak dikaji terutama dalam
mempelajari material semikonduktor dengan celah energi yang lebar. PL terbagi
atas dua kelompok utama yaitu luminesens intrinsik dan ekstrinsik. Pada
luminesens intrinsik terbagi lagi menjadi tiga jenis luminesens, yaitu:(25)
1. luminesens dari pita-ke-pita
2. luminesens eksiton
3. luminesens silang (cross-luminescence)
Sementara luminesens ekstrinsik dihasilkan akibat ketidakmurnian yang secara
sengaja atau tidak disengaja seperti terlihat pada Gambar II.9. Jenis pengotor
dalam material ini dikenal sebagai aktivator. Ditinjau dari aktivator dalam
semikonduktor dikenal dua jenis luminesens ekstrinsik yaitu tipe terlokalisasi dan
Vib.Relaksasi
Fluoresensi
Absorbsi
Keadaan dasar
Keadaan
tereksitasi
En
erg
i
18
tidak terlokalisasi. Defek (cacat) dalam semikonduktor dipelajari dari spektrum
fotoluminesens. Adapun jenis-jenis cacat dalam semikonduktor di antaranya
adalah: (26)
1. Kekosongan kisi, kekosongan atom pada kisi kristal.
2. Interstisi, pengotor terisolasi dan menempati posisi pengganti.
3. Cacat Schottky, adanya kekosongan anion dan kation yang akan
memenuhi kesetimbangan muatan.
4. Cacat Frenkel, kekosongan diseimbangkan oleh atom interstisi dari
jenis yang sama.
Untuk kekosongan kisi dan atom interstisi, biasanya padatan ionik bermuatan
karena muatan akibat gangguan ini tidak diseimbangkan oleh ion dari tipe yang
berbeda. Pada kristal umum, penambahan muatan ini tidak dapat ditoleransi,
karena dapat menimbulkan potensial elektrostatis yang cukup besar. Cacat yang
menimbulkan muatan ini terjadi, jika muatan itu diimbangi dengan cacat lain
seperti pada cacat Schottky dan Frenkel.
Gambar II. 9 Skema komponen material luminesens
Semua cacat yang terjadi pada kristal akan merubah susunan dari kisi kristal ideal,
di mana akibatnya adalah dihasilkannya panjang gelombang elektron dengan nilai
vektor gelombang, k, yang berbeda. Sehingga perjalanan elektron melalui kristal
akan disebarkan ke dalam rute yang berbeda (Gambar II.9). Hal yang sama juga
terjadi pada semikonduktor, di mana elektron dan hole yang tereksitasi secara
Absorbsi fotonAbsorbsi fotonAbsorbsi fotonAbsorbsi foton
Foton yang diemisikanFoton yang diemisikanFoton yang diemisikanFoton yang diemisikan SintetizerSintetizerSintetizerSintetizer
AktivatorAktivatorAktivatorAktivator
19
termal juga disebarkan oleh cacat ini. Bagaimanapun juga pada padatan non-
logam, cacat dan ketidakmurnian dapat mempunyai efek yang lebih penting,
karena dihasilkannya tingkat energi elektronik ekstra di dalam celah energi antara
pita valensi dan konduksi. Faktor yang paling penting dalam penentuan dampak
elektronik dari cacat kristal adalah besarnya energi pada tingkat energi serta
banyaknya elektron yang menempati tingkat energi tersebut.(26)
Senyawa-senyawa dengan struktur perovskit, sifat luminesens telah banyak
dilaporkan. Seperti senyawa SrTiO3 yang menunjukkan kecenderungan
berluminesens dengan mengemisikan warna hijau pada fasa amorf, sebaliknya
ketika kristalin senyawa ini tidak berluminesens seperti ditunjukkan pada Gambar
II.10.(2)
Gambar II. 10 Fotoluminesens lapis tipis SrTiO3 yang di eksitasi dengan laser 488 nm. (1) fasa amorf pada suhu kamar (2) fasa kristalin pada suhu kamar (3) fasa kristalin pada suhu 10 K.
II.4.2 Pengukuran Fotoluminesens (PL)
Fotoluminesens merupakan emisi yang dihasilkan dari eksitasi foton (biasanya
laser) dan umumnya menggunakan material semikonduktor III-V. Analisis ini
20
memungkinkan karakterisasi non-destruktif pada semikonduktor (komposisi
material dan pengujian kualitatif). Skema spektrofluorometer ditunjukkan pada
Gambar II.11.
Secara garis besar, komponen utama dalam spektrofluorometer terdiri dari bagian-
bagian sebagai berikut:
a) Sumber sinar untuk eksitasi, dapat berupa laser He-Cd atau Xenon. Lampu
dengan monokromator atau laser dengan pengatur panjang gelombang
digunakan unuk eksitasi PL.
b) Sampel holder, biasanya material cryostat optis.
c) Filter dan pengumpul optik. Satu filter untuk memilih emisi laser, filter
lainnya untuk memecahkan hamburan sinar laser.
d) Elemen dispersive untuk analisis spektra PL, berupa grating
monokromator.
e) Detektor optik.
Berkas laser argon difokuskan pada sampel yang diletakkan pada sebuah
compartment. Jika energi foton dari sumber laser lebih besar daripada celah energi
pada semikonduktor, maka sampel akan mengabsorpsi foton. Semua berkas
dikumpulkan dan dianalisis dengan dual flat field spectrograph. Pada
spektrofotometer ini digunakan dua detektor CCD dan InGaAs. Kondisi ini
memungkinkan untuk mengamati energi antara 0,75 sampai dengan 4 eV.
Gambar II. 11 Skema spektrofotometer fotoluminesens
Laser
Sampel Spektrometer Detektor
Lensa
PL
21
Sifat luminesens material memiliki banyak manfaat (Kirti, 2007).(27) Beberapa di
antaranya adalah:
1. Material luminesens dapat digunakan dalam system scintillation counters
di mana nukleon dapat dideteksi.
2. Material luminesens juga digunakan dalam fabrikasi plat untuk x-ray
imaging.
3. X-ray fluorescence digunakan dalam pengujian non-destruktif pada roket
dan material untuk bahan pesawat.
4. Material ini ditemukan pula sebagai tabung fluoresen, lampu hemat energi,
dan lainnya.
5. Sifat katodoluminesens material digunakan pada layar televisi, osiloskop
sinar katoda, radar, dan lainnya.
6. Semikonduktor berbahan material luminesens dapat juga digunakan dalam
fabrikasi LED dan laser.
II.5 Sonokimia
II.5.1 Gelombang Ultrasonik
Istilah ultrasonik berkaitan dengan segala sesuatu yang berada di atas frekwensi
yang dapat didengar, umumnya lebih besar dari 20 kHz. Ultrasonik juga lazim
digunakan untuk keperluan pengobatan dengan frekwensi yang biasa digunakan
adalah pada kisaran 10 MHz.
Gelombang ultrasonik dihasilkan dari sebuah alat yang disebut pembangkit
gelombang ultrasonik. Pada Gambar II.12 dapat dilihat bahwa secara umum
pembangkit gelombang ultrasonik terdiri atas beberapa bagian penting,
diantaranya sumber tegangan, rangkaian pembangkit gelombang, dan pemancar.
Fungsi pemancar (transmiter) adalah melepaskan pulsa-pulsa listrik kearah sensor
kristal piezoelektrik di dalam transduser sehingga mengakibatkan transmisi paket
gelombang ultrasonik di dalam pancarannya. Skema rangkaian pemancar
pembangkit gelombang ultrasonik disajikan pada Gambar II.12.
22
Gambar II.12 Skema rangkaian pemancar pembangkit gelombang ultrasonik.
Rangkaian pemancar gelombang ultrasonik ini terdiri power supply sebagai
pembangkit sumber tengangan dan rangkaian pembangkit gelombang ultrasonik
yang menggunakan IC CMOS sebagai dasar pembangkit gelombang ultrasonik.
Gelombang ultrsonik yang dipancarkan oleh transduser merupakan sebaran medan
akustik fraunhofer (wilayah jauh, r > ro) yang medan tekanannya merupakan
perpanjangan linear sumbernya yaitu suatu berkas radiasi yang tegak lurus dengan
permukaan pemancar. Pengaturan ini dimaksud untuk menyederhanakan hasil
gemanya dengan menyingkirkan hamburan yang terjadi di daerah maksimum
sekunder. Di dekat sumber (transduser) terdapat maksimum dalam arah ke depan
dan dua maksimum sekunder. Makin jauh dari sumber hanya maksimum
tengahnya saja yang tertinggal.
II.5.2 Pengaruh radiasi ultrasonik dalam reaksi kimia
Suslick dan para peneliti di Universitas Illonois telah menciptakan bola nano
berongga dan kristal nano berongga yang pertama mengunakan ultrasonik
berintensitas tinggi. Bola nano ini dapat digunakan pada mikroelektronik,
panghantar obat, dan sebagai katalis dalam pembuatan bahan bakar ramah
lingkungan.(28)
Pada sintesis partikel nano molibdenum disulfida dan molibdenum oksida
misalnya, kedua material ini masing-masing dapat diikatkan pada permukaan
silika kecil yang berukuran jauh lebih kecil dari sel darah merah. Proses
pengikatan ini menggunakan radiasi ultrasonik. Kemudian untuk membentuk bola
berongga, material tersebut dipanaskan untuk menghasilkan pelapisan yang
23
seragam, dan lapisan silika dihilangkan dengan menggunakan asam fluorida.(29) Di
sini dapat disimpulkan bahwa prosedur sonokimia dapat dengan mudah
diaplikasikan pada sistem bahan yang berbeda untuk menghasilkan tambahan tipe
rongga lainnya dengan berukuran nano.
Istilah sonokimia muncul dari kekosongan akustik – pembentukan, pertumbuhan
dan pecahnya gelembung kecil gas dalam sebuah cairan yang dipecahkan oleh
suara, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar II.13. Ketidakstabilan gelembung
ini menghasilkan pemanasan lokal yang intensif, membentuk titik panas pada
cairan dingin dengan temperatur 5.000 K, dan tekanan 1.000 atm yang hanya
memiliki lifetime sepermilyar detik.(29)
Untuk memahami bagaimana cara tumbukan kavitasi dapat mempengaruhi
perubahan kimia, harus dipertimbangkan berbagai kemungkinan akibat dari
tumbukan ini di dalam sistem yang berbeda. Di dalam kasus dari reaksi-reaksi
fasa cair yang homogen, ada dua pengaruh besar. Pertama, rongga yang dibentuk
tidak mungkin berupa suatu ruang hampa (dalam wujud rongga) pasti berisi uap
air dari media cair atau bahan reaktan atau gas-gas mudah menguap.
Selama tumbukan, uap ini akan diperlakukan dalam kondisi yang ekstrim
temperatur dan tekanan yang tinggi (seperti dapat dilihat pada Gambar II.13),
menyebabkan molekul-molekul untuk terpecah dan menghasilkan jenis radikal
reaktif. Bagian radikal ini kemudian bereaksi di manapun di dalam gelembung
yang pecah atau setelah migrasi ke dalam cairan ruahnya. Kedua, tumbukan yang
mendadak dari gelembung juga mengakibatkan satu aliran masuk tiba-tiba dari
cairan itu untuk mengisi kekosongan menghasilkan gaya geser di dalam
melingkupi cairan ruah yang dapat memecahkan ikatan kimia dalam segala
material, yang kemudian larut dalam cairan atau mengganggu lapisan batas
(baundary layer) yang menjembatani pengangkutan.
Kondisi reaksi untuk suatu proses kavitasi harus mempertimbangkan pemilihan
temperatur operasi dari bahan pelarut. Setiap peningkatan tekanan uap pelarut
mengurangi temperatur dan tekanan maksimum untuk tumbukan gelembung.
Dengan demikian, untuk suatu reaksi di mana tumbukan kavitasi di mana
24
penyebab utamanya adalah pengaktifan, temperatur operasi yang rendah
direkomendasikan terutama jika suatu pelarut memiliki titik didih yang rendah.
Dan sebaliknya, untuk suatu reaksi yang memerlukan temperatur terelevasi,
penggunaan pelarut yang memiliki titik didih tinggi lebih direkomendasikan. Hal
ini sangat penting untuk mengendalikan mekanisme dalam reaksi kimia.
Gambar II.13 Ilustrasi Efek kavitasi pada irradiasi ultrasonik. Gelombang ultrasonik menyebabkan terbentuknya tekanan akustik di sekitar cairan/medium.
Pengaktifan kavitasi di dalam sistem heterogen merupakan suatu konsekuensi dari
efek mekanis peronggaan. Dalam suatu sistem yang heterogen, tumbukan dari
gelembung berongga mengakibatkan cacat-cacat mekanis dan struktur. Tumbukan
dekat permukaan akan menghasilkan aliran masuk tiba-tiba yang asimetris dari
cairan itu untuk mengisi pembentukan kekosongan di permukaan. Pengaruh ini
setara dengan pancaran cairan bertekanan tinggi, dan inilah alasan mengapa
ultrasonik digunakan untuk membersihkan permukaan logam. Tumbukan pada
permukaan, terutama sekali dari material serbuk, menghasilkan energi yang cukup
untuk menyebabkan pemecahan menjadi kepingan kecil (bahkan untuk
penghalusan logam). Dengan demikian, di dalam situasi ini, ultrasonik dapat
meningkatkan luas permukaan untuk suatu reaksi dan menyediakan energi
pengaktifan tambahan melalui pencampuran yang efisien serta peningkatan
Lapisan
cairan
Gelembung
bertekanan
-
T
eka
na
n a
ku
stik
25
transfer massa. Untuk reaksi-reaksi yang heterogen, harus dijaga antara
keseimbangan peronggaan agar cukup untuk pengaktifan prekursor tanpa
mengganggu termodinamika dari reaksi.(30)
II.6 Difraksi Sinar-X Serbuk
Sinar-X adalah gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang
terbentang dan sekitar 0,1 sampai 100 x 10-10 m. Gelombang ini dihasilkan ketika
elektron bergerak dengan cepat mengenai suatu target yang padat dan tenaga
gerak yang diubah menjadi radiasi. Panjang gelombang dan radiasi dipancarkan
tergantung dan energi elektron.
Gambar II.14 Skema Tabung Sinar-X
Gambar II.14 menunjukkan skema suatu tabung sinar-X sederhana. Suatu
tegangan yang sangat tinggi diberikan pada bagian elektroda. Sementara dalam
tabung diberikan tekanan rendah sekitar 10-3 mmHg. Arus mengalir antara kedua
elektroda dan elektron yang menuju target logam itu, menyebabkan pancaran dan
Sinar-X.
Pendekatan paling awal pada analisis pola difraksi yang dihasilkan oleh suatu
kristal, adalah dengan menganggap bidang kisi pada kristal sebagai cermin dan
kristal sebagai tumpukan bidang kisi pemantul dengan jarak d seperti terlihat pada
Gambar II.15.
26
Gambar II.15 Difraksi sinar-X pada kisi kristal. λ adalah panjang gelombang sinar-X, d adalah jarak antar kisi kristal, θ adalah sudut datang sinar.
Sesuai dengan hukum Bragg bahwa jika ada dua berkas sinar-X yang paralel
mengenai bidang-bidang kisi kristal yang sama dengan jarak antar bidang d, maka
perbedaan jarang yang ditempuh kedua berkas sinar tersebut berbanding langsung
dengan panjang gelombangnya.
AB + BC = nλ (II. 19)
AB = BC = d sin θ (II. 20)
2 d sin θ = λ (II. 21)
2 d sin θ = n. λ (II. 22)
Persamaan II.22 lebih dikenal sebagai Persamaan Bragg dengan n = 1, 2, 3, dan
seterusnya adalah orde difraksi. Persamaan Bragg tersebut digunakan untuk
menentukan parameter sel kristal. Sedangkan untuk menentukan struktur kristal
secara lengkap dengan menggunakan metoda komputasi kristalografik, data
intensitas digunakan untuk menentukan posisi-posisi atomnya.
II.7 Scanning Electron Microscope (SEM)
Untuk dapat mengamati tipologi suatu material diperlukan suatu alat untuk
mencitrakan dengan baik, salah satunya adalah dengan mikroskop elektron.
Scanning Electron Microscope, SEM, memiliki kemampuan untuk memindai
permukaan suatu material dengan resolusi yang sangat tinggi. Tekstur serta
topografi bahan dapat diamati dengan baik. Prinsip alat ini sama dengan
27
mikroskop binokuler, hanya saja menggunakan sumber radiasi yang berbeda. Jika
sinar pantul dari mikroskop binokuler membentuk Gambar dari sinar yang
dipantulkan permukaan sampel, sedangkan SEM menggunakan elektron untuk
membentuk Gambar.
Perbedaan panjang gelombang dari sumber radiasi ini menghasilkan tingkat
resolusi yang berbeda, elektron memiliki panjang gelombang yang jauh lebih
pendek dibandingkan foton sinar tampak, dan panjang gelombang yang lebih
pendek ini dapat menghasilkan informasi dengan resolusi yang lebih tinggi.
Resolusi tambahan ini nantinya memungkinkan pembesaran yang lebih tinggi
tanpa kehilangan detail.
Umumnya SEM hanya dapat digunakan untuk mencitrakan material yang bersifat
konduktif. Akan tetapi, untuk material yang non-konduktif pencitraan permukaan
harus melalui proses pelapisan permukaan untuk memberikan konduktivitas
sampel. Pelapisan permuaan dilakukan dengan material konduktivitasnya baik
seperti Au, Pt dan Pd. Teknik pelapisan dilakukan dengan metode sputtering.
Perangkat SEM terdiri dari empat sistem yang terintegrasi, yaitu:(31)
1. Sistem iluminasi yang menghasilkan berkas elektron dan
mengarahkannya ke sampel.
2. Sistem informasi, yang meliputi data yang dilepaskan oleh sampel
selama penembakan elektron. Sinyal data ini dipisah-pisahkan dan
dianalisis oleh suatu detektor.
3. Sistem layar, terdiri dari satu atau dua tabung sinar katoda untuk
mengamati dan memotret permukaan yang diinginkan.
4. Sistem vakum, yang berfungsi untuk menghilangkan gas dari kolom
mikroskop agar tidak berinteraksi dengan berkas elektron sehingga
mengganggu dalam pembentukan Gambar.