9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Osteoarthritis (OA)
1. Definis Osteoarthritis
Osteoartritis (OA) berasal dari bahasa Yunani yaitu osteo yang berarti
tulang, arthro yang berarti sendi dan itis yang berarti inflamasi. Osteoartritis
dikenal dengan arthritis degenerative merupakan penyakit degenerative sendi
yang bersifat kronik, secara progresif bersifat lambat, di tandai dengan
adanya inflamasi ringan, adanya deteriorasi dan abrasi kartilago sendi
(Kusuma et al, 2014). Osteoarthritis biasanya melibatkan ketidaknyamanan
yang terus-menerus dan mengenai bantalan sendi, seperti lutut, pinggul dan
tulang belakang, paling sering dialami setelah usia 40 tahun (Norman, 2010).
Gambar 2.1 Kondisi lutut normal dan kondisi osteoarthritis knee
(Sumber : Lespasio et al, 2017).
Osteoarthritis diketahui sebagai penyakit akibat dari proses penuaan
yang tidak dapat dihindari dan bersifat irrevesible. Respon imunologis dan
gangguan homeostasis dari metabolisme cartilago memiliki peran penting
terhadap kejadian osteoarthritis. Lutut adalah area dari tungakai bawah yang
sering mengalami keluhan ketidakmampuan dan nyeri pada sendi dalam
10
kesehariannya dan bahkan setiap bulan, yang mengenai 25% individu usia
lebih dari 50 tahun. Keluhan secara radiologis sebagai gambaran dari OA
knee (Imbawan et al, 2011). Ada tiga kompartemen lutut yang dapat
dipengaruhi oleh OA knee yaitu kompartemen tibiofemoral medial lebih
sering terkena dari pada kompartemen tibiofemoral lateral. Namun hanya
sedikit data yang menunjukkan prevalensi OA patellofemoral
(chondromalacia patellae) dan hubungannya dengan penyakit tibiofemoral
(McAlindon et al, 1992 dalam Chan dan Wu, 2012).
2. Patogenesis Osteoarthritis
Patogenesis osteoarthritis dibagi menjadi 2 yaitu, OA primer dan OA
sekunder. Patogenesis primer yaitu adanya gangguan homeostasis dari
metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago
yaitu ketidakseimbangan antara degradasi dan sintesis tulang rawan sehingga
menyebabkan terjadinya kerusakan tulang rawan yang diikuti oleh perubahan
pada tulang subkondral dan pembentukan osteofit (Lespasio et al, 2017).
Mekanisme utama osteoarthritis yaitu terdapat gangguan biomekanik
dan gangguan biokimia. Perubahan biomekanikal dan biokimia pada sendi
menyebabkan reaksi kompensasi dari sel kondrosit berupa peningkatan
sintesa matriks baru berupa proteoglikan, kolagen untuk memperbaiki
perubahan yang terjadi. MMP-3 (stromelisin-1) merupakan enzim utama
yang paling berperan dalam destruksi rawan sendi pada osteoarthritis.
Respon dari kondrosit akibat adanya perubahan biomekanika dan biokimia
tersebut yaitu terbentuknya MMP-3 yang merupakan enzim degradative yang
tidak diimbangi oleh kerja inhibitornya yaitu TIMPs, sehingga terjadi
pembentukan matriks dengan kualitas yang tidak baik. Perubahan pada tulang
11
rawan ini akan menyebabkan juga perubahan pada tulang subkondral yaitu
berupa penebalan dan peningkatan densitas mineral tulang, yang secara
radiologi akan terlihat pada daerah tulang subkondral berupa sklerosis
(eburnasi), sistem dan gambaran osteofit (Imbawan et al, 2011).
Rawan sendi mengandung 70% air dan sisanya berupa jaringan kolagen
(Kolagen tipe II) dan proteoglikan. Proteoglikan terdiri dari
glikosaminoglikan (mukopolisakarida) yang berikatan dengan inti protein
yang linear. Proteoglikan yang menyusun rawan sendi terdiri dari
Glikosaminoglikans Khondroitin Sulfate-4 (KS-4) dan Khondroitin Sulfate-6
(KS-6). KS-6 terdistribusi terutama pada lapisan permukaan rawan sendi,
sedangkan KS-4 lebih berperan pada kalsifikasi (Rawan, 2008).
Diagram 2.1 Komposisi molekul dari artikular kartilago
(Sumber : Lespasio et al, 2017).
Proses kerusakan rawan sendi melalui dua jalur (pathway) yaitu jalur
intrinsik dimana khondrosit itu sendiri yang merusak matrik ekstraselular dan
jalur ekstrinsik yang diperankan oleh sel lain selain khondrosit seperti
terjadinya jaringan pannus, peradangan sinovium, infiltrasi sel inflamatorik
yang akan merusak matrik ekstraselular terutama melalui cairan sinovium.
Pada dasarnya kedua jalur tersebut akan melibatkan proses aktivasi enzimatik
(Rawan, 2008).
12
Pada rawan sendi penderita OA mengalami peningkatan aktivitas
fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinogenik yang menyebabkan
penumpukan trombus dan kompleks lipid pada pembuluh darah subcondral.
Sehingga terjadi iskemia dan nekrosis jaringan subcondral. Hal ini
menyebabkan mediator seperti prostaglandin dan interleukin dilepas dan
menimbulkan bone agina melalui subcandral yang mengandung ujung saraf
yang menghantarkan rasa nyeri (Soeroso, et al., 2009 dalam Chairunnisa,
2016).
3. Patofisiologis Osteoarthritis
Patofisiologis perkembangan osteoarthritis menurut Rannoun, (2014)
yaitu adamya proses degenerasi kartilago, Perubahan tulang subchondral
dan Peradangan synovial.
a. Degradasi kartilago
Dalam kondisi normal, homeostasis fisiologis tulang rawan artikular
digerakkan oleh chondrocytes, yang menghasilkan matriks struktural yang
mengandung kolagen (kolagen tipe II) dan proteoglikan (Rannoun, 2014).
Pada osteoarthritis, kondrosit di dalam sendi gagal mensintesis matriks
resisten dan elastis sehingga tidak dapat menjaga keseimbangan antara
sintesis dan degradasi matriks ekstraselular. Mediator inflamasi seperti
interleukin (IL) -1 dan stres mekanis kemudian mendorong kondrosit
untuk menghasilkan kolagen yang kurang fungsional (kolagen tipe I), hal
ini menyebabkan rusaknya sirkulasi sehingga kerusakan melebihi sintesis
matriks ekstraselular yang menyebabkan hilangnya kartilago artikular
(Michael et al, 2010 dalam Rannoun, 2014).
13
b. Perubahan tulang subchondral pada osteoarthritis
Tulang subchondral sebagai penahan atau penyerap goncangan,
bertugas membantu sendi normal dan memasok nutrisi ke tulang rawan
(Cho et al, 2010 dalam Rannoun, 2014). Pada osteoarthritis awal, tingkat
remodeling mengalami penurunan, namun ketidakseimbangan antara
resorpsi dan pembentukan tulang menyebabkan peningkatan jaringan
dalam pembentukan tulang. Proses ini meningkatkan volume tulang dan
terbentuknya sklerosis tulang subchondral kemudian osteofit dapat
berkembang pada margin sendi (Rannoun, 2014).
c. Peradangan sinovial pada osteoarthritis
Membran sinovial berperan penting dalam fungsi sendi yang normal,
yaitu sebagai pememberi nutrisi pada khondrosit melalui cairan sinovial
dan ruang sendi serta menghilangkan metabolit dan produk degradasi
matrik. Asam hialuronat dan lubricin yang diproduksi di sel lapisan
sinovial membantu melindungi dan mempertahankan tulang rawan
artikular. Peradangan sinovium yang terjadi pada osteoarthritis ditandai
oleh beberapa gejala klinis, termasuk rasa nyeri dan perubahan struktural
lainnya.
Gambar 2.2 Gambaran keterlibatan sinovial pada patofisiologis OA
(Sumber : Rannou, 2014).
14
Produk dari kerusakan kartilago yang dilepaskan ke cairan sinovial
fagositosis oleh sel sinovial yang diaktifkan mengahasilkan mediator
metabolik dan pro-inflamasi, sehingga menyebabkan produksi enzim
proteolitik pada kerusakan kartilago. sinovium dan tulang rawan
menghasilkan sitokin anti-inflamasi, sinovium yang meradang juga
berkontribusi terhadap pembentukan osteofit melalui BMPs (bone
morphogenetic protein).
Gambar 2.3 Proses keterlibatan sinovial pada patofisiologis OA
(Sumber : Rannou, 2014).
4. Faktor Risiko Osteoartritis
Faktor risiko osteoartritis terdiri dari umur, obesitas, trauma, genetik,
hormon, jenis kelamin, penyakit otot, lingkungan (Cooper et al, 2014).
a. Usia
Usia adalah faktor risiko utama pada osteoartritis dan penuaan
berhubungan dengan osteoarthritis karena perubahan penuaan pada sistem
muskuloskeletal diikuti dengan perkembangan osteoartritis disertai oleh
pengaruh faktor-faktor lain, baik dari faktor intrinsik seperti genetika
maupun faktor ekstrinsik seperti kesejajaran dan overloading (Heijink,
2012). Penuaan bukanlah faktor awal dari pengembangan osteoartritis,
15
perubahan terkait usia di dalam chondrocyte, seperti penuaan seluler dan
responsivitas yang berkurang terhadap faktor pertumbuhan, serta faktor
eksternal seperti akumulasi akhir glikasi produksi panas dan stres
oksidatif, yang kemudian mengganggu homeostasis kartilago. Perubahan
ini membuat matriks kartilago lebih rentan terhadap kerusakan dan
menimbulkan osteoarthritis (Rannou, 2014).
b. Jenis kelamin
Tingkat kejadian OA lebih banyak terjadi pada perempuan
dibandingkan laki-laki, dikarenakan pada perempuan memiliki ukuran
tulang lutut yang lebih tipis dibandingkan laki-laki (Rasjad, et al., 2013
dalam Chairunnisa, 2016). Menurut Felson dan Zhang, (1998) dalam
Maharani (2007) mengatakan bahwa prevalensi OA pada laki-laki sebelum
memasuki usia 50 tahun lebih tinggi dibandingkan perempuan. Namun
prevalensi OA pada perempuan lebih besar setelah memasuki usia diatas
80 tahun. Hal ini diperkirakan karena pada wanita usia 50-80 tahun
mengalami penurunan hormon estrogen secara signifikan.
c. Suku bangsa (Ras)
Ras atau perbedaan suku bangsa juga berpengaruh terhadap
perkembangan osteoartritis. Osteoartritis primer dapat menyerang semua
ras meskipun berbeda pola letak sendi yang terkena osteoartritis. Orang
yang berkulit putih lebih sering terkena osteoartritis dibandingkan dengan
orang kulit hitam (Soenarto, 2003 dalam irga, 2008). kejadian ini
diperkirakan berhubungan dengan perbedaan gaya hidup dan perbedaan
frekuensi pada kelainan kongenital dan pertumbuhan.
16
d. Monopouse
Meningkatnya prevalensi osteoarthritis yang terjadi karena faktor
usia setelah monopouse. Kejadian ini diduga bahwa hormon sex, terutama
defisiensi estrogen berperan sebagai predisposisi OA (Cooper et al, 2014).
e. Genetik
Osteoarthritis adalah jenis penyakit multifaktorial dan polygenetic,
yang artinya hasil dari interaksi sejumlah gen. yang mana gen yang
mengkodekan protein matriks ekstraseluler kartilago berperan terhadap
timbulnya kecenderungan osteoarthritis (Roach dan Tilley, 2008).
f. Obesitas
Berlebihan berat badan juga dapat menyebabkan risiko kejadian
osteoarthritis dikarenakan adanya tekanan mekanik pada sendi penahan
berat badan seperti knee joint. Pada pria dan wanita gemuk, dengan indeks
massa tubuh 30-35, risiko perkembangan osteoarthritis meningkat sekitar
empat kali lipat (Roach dan Tilley, 2008). Berat ekstra menempatkan
tekanan mekanis tambahan pada sendi lutut dan pinggul, yang
menyebabkan kerusakan tulang rawan dan ligament. Data juga
menunjukkan bahwa adipokines yang diproduksi oleh sel lemak seperti
lepsi dan restin, yang terlibat dalam metabolisme glukosa dan lipid serta
modulasi respons inflamasi, dapat berperan dalam patofisiologi
osteoartritis (Rannou, 2014).
g. Pekerjaan
Seseorang yang melakukan kegiatan fisik tertentu selama massa
kerja memiliki risiko tinggi terhadap OA lutut dan nyeri lutut. Beberapa
aktivitas pekerja seperti berjongkok dan berlutut telah diketahui sebagai
17
faktor risiko terkena OA. Pekerjaan dalam bidang pertanian dan konstruksi
merupakan faktor yang signifikan terhadap kejadian OA (Silverwood et al,
2014 dalam Chairunnisa, 2016). Penelitian HANES I mendapatkan bahwa
pekerja yang banyak membebani sendi lutut akan mempunyai risiko
terserang osteoartritis lebih besar dibanding yang tidak banyak
membebani lutut (Cooper, et al., 2014).
h. Cidera sendi (trauma)
Tingginya kejadian meniscectomy dan cidera ligament crusiatum,
yang mana cidera sendi tersebut dapat menyebabkan ketidakstabilan atau
sublaksinasi sendi, disertai dengan dampak abnormal dan distribusi beban
faktor cidera berdampak terhadap kejadian osteoarthritis knee (Roach dan
Tilley, 2008). Orang yang memiliki riwayat cidera lutut akut seperti cidera
karena kerusakan atau robeknya meniscus dan ligamentum pada sendi
lutut, penderita yang sebelumnya fraktur, riwayat tersebut dapat
meningkatkan risiko kejadian osteoarthritis (Cooper et al, 2014).
Menurut Thomas et al, (2017) mengatakan bahwa post-traumatic
osteoarthritis mempengaruhi lebih dari 5 juta orang dewasa di Amerika
Serikat. Post-traumatic OA muncul setelah cidera dan trauma sendi
berulang mempengaruhi ketidakstabilan sendi, terutama pada sendi lutut
dan pergelangan kaki. Cidera sendi mengubah kontrol neuromuskular dan
biomekanik di sekitar sendi yang menyebabkan degradasi kartilago.
i. Aktivitas fisik
Meningkatnya intensitas dari aktivitas fisik yang dilakukan oleh
seseorang berisiko terhadap kejadian osteoarthritis. Efek dari aktivitas
18
fisik yang tinggi berkaitan dengan perubahan yang terlihat pada radiografi
OA knee (Suri et al, 2012 dalam Chairunnisa, 2016).
j. Olahraga
Orang yang berpartisipasi dalam bidang olahraga termaksud lari dan
sepak bola, berhubungan dengan meningkatkan risiko OA lutut, dengan
prevalensi terbanyak dijumpai pada atlet elit dengan riwayat olahraga yang
lebih intens (Ezzat, 2012 dalam Chairunnisa, 2016).
k. Kelainan kongenital dan pertumbuhan
Risiko meningkatnya perkembangan osteoarthritis juga
diakibatkan oleh kelainan kongenital. Kelainan ini mengakibatkan
distribusi beban abnormal di dalam sendi. Vaskular dan malalignment
berkaitan dengan adanya OA lutut pada kompatement medial dan lateral.
OA knee dengan malformasi varus memiliki peningkatan risiko tiga
hingga empat kali lipat lebih banyak terhadap penyempitan ruang sendi
pada kompartemen medial, sedangkan malaligment valgus jauh lebih
meningkatnya penyempitan sendi di kompartemen lateral (Cooper et al,
2014).
5. Prevalensi Osteoarhtritis
Osteoartritis mempunyai dampak sosial dan ekonomi yang besar baik
di negara maju maupun di negara berkembang, seperti di negara Indonesia.
Berdasarkan prevalensi data WHO, penduduk Indonesia yang menderita
osteoarthritis tercatat sebanyak 8,1% dari total jumlah penduduk. Sebanyak
29% telah melakukan pemeriksaan dan sebesar 71% penderita mengonsumsi
obat bebas peredah nyeri (Lestari, 2014). Prevalensi lansia di Indonesia yang
menderita cacat karena osteoartritis diperkirakan mencapai 2 juta orang.
19
kejadian osteoartritis di Malang mulai dari usia 49-60 tahun mencapai 21,7%,
yang terdiri dari 6,2% laki-laki dan 15,5% perempuan (Arissa, 2012).
kejadian osteoarthritis knee meningkat seiring dengan usia. kejadian
osteoarthritis di Amerika Serikat pada orang dewasa berusia lebih dari 65
tahun, dengan prevalensi sebesar 33,6% atau sekitar 12,4 juta orang. Wanita
memiliki prevalensi yang lebih besar sebanyak 42,1% dibandingkan laki-laki
yaitu sebesar 31,2% (Lespasio et al, 2017). Prevalensi osteoarthritis
berdasarkan letak sendinya menurut Stitik, (2010) dalam Arissa (2012),
mengatakan bahwa usia 18-24 tahun sekitar 7% laki-laki dan 2% perempuan
yang mengalami OA pada tangan. Memasuki usia 55-64 tahun sebanyak 28%
laki-laki dan perempuan terkena osteoartritis lutut dan 23% osteoartritis pada
panggul. Usia antara 65-74 tahun sekitar 39% laki-laki dan perempuan
menggambarkan osteoartritis pada lutut dan 23% menggambarkan
osteoartritis pada panggul. Pada usia diatas 75 tahun, sekitar 100% laki-laki
dan perempuan mempunyai gejala osteoartritis. Berdasarkan prevalensi
tersebut dapat disimpulkan bahwa kejadian osteoarthritis terbesar terdapat
pada sendi lutut dibandingkan osteoarthritis pada sendi tangan dan panggul.
6. Gejala dan Tanda klinis Osteoarthritis
Osteoarthritis merupakan sindrom dengan presentasi klinis heterogen,
disertai dengan tanda dan gejala berupa nyeri sendi dan berbagai tingkat
perubahan fungsional (Chan dan Wu, 2012).
a. Nyeri sendi
Gejala nyeri pada osteoarthritis disebabkan oleh synovial dan
degradasi kartilago yang berhubungan dengan degradasi kolagen dan
proteoglikan oleh enzim autolitik seluler. Secara makroskopis tampak
20
iregularitas pada permukaan tulang rawan yang dilanjutkan dengan
ulserasi dan penurunan kandungan glikosaminoglikan yang terdiri dari
kondroitin sulfat, keratin sulfat dan asam hialuronat. Fibrilasi atau
iregularitas terjadi karena mikrofraktur pada permukaan rawan sendi
yang memiliki serabut saraf C berdiameter kecil dan tidak bermielin
nocireseptor. Nocireseptor ini mampu melepaskan substansi P lalu
calcitonin gene related peptide (CGRP) menstimulasi respon nyeri dan
inflamasi (Potter, 2005 dalam Masyhurrosyidi et al, 2014).
b. Kekakuan sendi
Kondisi kekakuan merupakan sensasi keketatan pada persendian,
jaringan lunak peri artikular dan otot-otot menyebabkan sendi sulit dan
lambat bergerak. Kekakuan ini terbatas hanya pada daerah sekitar sendi
yang terkena. Ciri khas kekakuan sendi pada OA terjadi setelah masa
imobilisasi yang berkepanjangan, tidak hanya di pagi hari dan biasanya
berlangsung kurang dari 30 menit. Seiring perkembangan penyakit ini,
kekakuan yang berkepanjangan semakin bertambah parah. Hal ini
disebabkan adanya incongruity sendi dan fibrosis capsule akibat proses
osteoarthritis (Chan dan Wu, 2012).
c. Unstabil sendi
Pasien dengan osteoarthritis sendi di tungkai bawah sering
mengalami sensasi ketidakstabilan pada sendi. Unstabil bisa terjadi karena
keterampilan otot peri-artikular, kelelahan otot karena otot peri artikular
harus bekerja lebih keras untuk menggerakkan sendi karena koefisien
gesekan meningkat akibat kehilangan integritas tulang rawan sendi dan
21
ligamenitas ligamen karena penyempitan ruang sendi akibat hilangnya
integritas kartilago (Chan dan Wu, 2012).
d. Krepitasi
Kondisi ini merupakan retakan yang terdengar dan teraba atau
berderak diatas sendi selama gerakkan aktif dan pasif. Diduga disebabkan
oleh permukaan articular yang tidak beraturan akibat proses degenerative.
tingkat krepitasi dapat berkolaborasi dengan proses degenerative (Ike dan
O'Rourke, 1995 dalam Chan dan Wu, 2012).
e. Keterbatasan gerak
Kondisi ini disebabkan oleh nyeri, efusi, kontraktur pada capsule,
spasme otot, kelemahan otot, elastisitas intra-artikular, hambatan mekanik
akibat hilangnya kartilago sendi dan ligament sendi (Cyriax dan Cyriax,
1993 dalam Chan dan Wu, 2012).
f. Tenderness sendi
Adanya tenderness dengan penekanan sepanjang margin sendi
merupakan tanda khas pada OA. Namun, struktur peri artikular juga dapat
memberikan kontribusi terhadap nyeri sendi, misalny atendonitis dan lesi
entrenopati ligament (Chan dan Wu, 2012).
g. Inflamasi
Tingkat sinovitis yang bervariasi dapat ditemukan pada persendian
dengan osteoarthritis, yang menyebabkan adanya suhu hangat yang teraba
di sekitar sendi yang terkena, efusi dan penebalan sinovial. kondisi Ini juga
bisa menjadi salah satu sumber nyeri sendi, biasanya berselang dan
muncul bersamaan dengan flare-up di sendi osteoarthritis (Chan dan Wu,
2012).
22
h. Deformitas sendi
Penyebab pembesaran tulang pada OA karena pembentukan osteofit
dan proses remodeling mengarah ke hipertrofi tulang peri-artikularis dan
pembentukan kista subkondral. Degenerasi sendi berkontribusi pada
angulasi sendi dan ketidakseimbangan (Chan dan Wu, 2012).
i. Atrofi otot
Kelemahan otot yang terkait akan menurunkan stabilitas sendi dan
sekelompok otot di sekitar sendi yang semakin membahayakan integritas
sendi (Hurley, 1999 dalam Chan dan Wu, 2012).
7. Diagnosa dan Pemeriksaan Osteoarthritis
Menurut Indonesia Rheumatism Association (IRA) tahun 2014, dalam
(Rosihan, 2017) pada seseorang yang dicurigai OA direkomendasikan
melakukan pemeriksaan berikut ini untuk menegakkan diagnosis:
a. Anamnesis
1) Nyeri dirasakan berangsur-angsur (onset gradual)
2) Tidak disertai adanya inflamasi
3) Tidak disertai gejala sistemik
4) Nyeri sendi saat beraktivitas
5) Sendi yang sering terkena seperti sendi pada tangan, lulut, panggul
6) Faktor risiko penyakit yaitu usia, aktivitas fisik yang berat, obesitas,
trauma sebelumnya atau adanya deformitas pada sendi yang
bersangkutan.
7) Penyakit yang menyertai, sebagai pertimbangan dalam pilihan terapi,
seperti ulkus peptikum, perdarahan saluran pencernaan, penyakit liver,
penyakit kardiovaskular dan lain-lain.
23
8) Faktor-faktor lain yang memengaruhi keluhan nyeri dan fungsi sendi
yaitu nyeri saat malam hari, gangguan pada aktivitas sehari- hari,
kemampuan berjalan dan lain-lain.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Tentukan IMT
2) Perhatikan gaya berjalan
3) Adanya kelemahan atau atrofi otot
4) Tanda-tanda inflamasi atau efusi sendi
5) Lingkup gerak sendi
6) Nyeri saat pergerakan atau nyeri di akhir gerakan
7) Krepitus
8) Deformitas (bentuk sendi berubah)
9) Gangguan fungsi (keterbatasan gerak sendi)
10) Nyeri tekan pada sendi dan peri artikular
11) Penonjolan tulang
12) Pembengkakan jaringan lunak
13) Instabilitas sendi
c. Pendekatan untuk menyingkirkan diagnosis penyakit lain.
1) Adanya infeksi
2) Adanya fraktur
3) Kemungkinan keganasan
4) Kemungkinan rheumatoid arthritis
Diagnosis banding yang menyerupai OA yaitu Inflammator
arthropaties, artritis kristal (gout atau pseudogout), bursitis, sindroma
24
nyeri pada soft tissue, referred pain, penyakit lain dengan manifestasi
artropati (penyakit neurologi, metabolik dan lain-lain).
d. Pemeriksaan radiograph
Ada beberapa klasifikasi osteoarthritis menurut Kellgren dan
Lawrence tahun 1957 dalam Cooper et al, (2014) membagi lima skala
sistem klasifikasi osteoarthritis secara radiologis yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi osteoarthritis menurut skala Kellgren dan Lawrence
Skala Perubahan dilihat dari radiograph
0 Tidak ada tanda-tanda adanya knee osteoarhtrtitis pada radiograph
1 Di indikasikan adanya penyempitan ruang sendi dan diperkirakan
adanya lipping osteopic,terlihat pada gambar A.
2 Adanya osteofit dan penyempitan ruang sendi pada anteroposterior
pada radiograph, terlihat pada gambar B.
3 Adanya beberapa osteofit, penyempitan ruang sendi, sclerosis dan
kemungkinan ada deformitas pada tulang, terlihat pada gambar C.
4 Adanya osteofit yang besar, penyempitan ruang sendi, sclerosis
yang parah dan adanya deformitas pada tulang, terlihat pada gambar
D.
Gambar 2.4 Kriteria penilaian OA menurut Kellgren dan Lawrence
(Sumber : Waddel, 2016).
Kriteria klasifikasi untuk mendiagnosa osteoarthritis knee, menurut
American Rheumatism Association (1986), dalam Lespasio et al, (2017)
bertujuan untuk membakukan dan mengklarifikasi definisi klinis
25
osteoartritis idiopatik, dengan menggunakan teknik diagnostik yang umum
tersedia. Hal ini mengakibatkan tiga rangkaian kriteria, yaitu pemeriksaan
klinis dan temuan laboratorium dan pemeriksaan secara radiografi.
Tabel 2.2 Kriteria klasifikasi osteoarthritis knee
Klinis & Laboraturium Klinis & Radiografi Pemeriksaan Klinis
Nyeri lutut + minimal 5
yang diikuti dengan:
- Usia >50 tahun
- Kekakuan <30 menit
- Crepitus
- Tenderness pada
tulang
- Pembesaran tulang
- Tidak teraba suhu
hangat
- ESR <40 mm / jam
- RF <1:40
- SF OA
Nyeri lutut + minimal
1 yang diikuti dengan:
- Usia >50 tahun
- Kekakuan <30
menit
- Crepitus
- Osteofit
Nyeri lutut + minimal 3
yang diikuti dengan:
- Usia >50 tahun
- Kekakuan <30 menit
- Crepitus
- Tenderness pada
tulang
- Pembesaran tulang
- Tidak teraba suhu
hangat
8. Intervensi pada Osteoarthritis
Manajemen osteoarthritis tidak hanya berpusat pada terapi
farmakologis dan bedah, namun cenderung dikombinasikan dengan
fisioterapi dan terapi latihan. Penanganan fisioterapi yang sering dilakukan
antara lain meliputi thermal dan hydrotherapy, electromagnetic therapy dan
manual therapy (Arovah, 2007). Menurut penelitian Huang et al, Ultra sound
dapat memperbaiki jaringan tulang rawan karena dapat menstimulasi
poliferasi kondrosit dan produksi matriks kartilago (Armagan, 2010 dalam
Sugiyanti, 2015).
Menurut Garrison dan Foreman, (1994) dalam Kuntono et al, (2013)
mengatakan bahwa transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) dapat
mengurangi nyeri lutut dimana aktifitas sel nosiseptor di kornu dorsalis saat
TENS diaplikasikan pada area somatik dalam bentuk inhibisi pre dan post
26
sinapsis. TENS dengan segmental simpatis dapat mengurangi nyeri kronis
pada OA lutut melalui antidromik yang bermanfaat untuk memperbaiki dan
meningkatkan proses recovery jaringan lunak melalui respon
vasodilatasikapiler dan efek prodomik yang bermanfaat terhadap aktivasi
beta endorphin, serotonin untuk membantu menurunkan keluhan nyeri pada
kondisi musculoskeletal termasuk OA lutut. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Jametvedt dan Law (2004) yang menunjukkan TENS yang
dikombinasikan dengan latihan dapat mengurangi nyeri pada osteoarthritis
lutut (Kuntono, e t al, 2013).
Kombinasi short ware diathermy (SWD) dan cold therapy merupakan
program fisioterapi yang direkomendasikan pada rehabilitasi osteoarthritis.
Terapi latihan yang dilakukan yaitu latihan fleksibilitas untuk memulihkan
jangkauan sendi, strengthening, untuk memulihkan kekuatan dan latihan
aerobik untuk meningkatkan kebugaran secara keseluruhan. Terapi latihan
pada osteoarthritis dilakukan dalam lima tahap. Tahap I meliputi latihan
terkontrol, sedangkan tahap II dan III meliputi latihan yang bersifat open
kinetic-chain sampai dengan close kinetic-chain. Tahap IV difokuskan pada
latihan untuk meningkatkan kemampuan fisik. Pada tahap V memasuki fase
pemeliharaan dilakukan latihan untuk memperkuat otot penunjang persendian
sehingga meminimalisir risiko terjadinya cidera ulang (Arovah, 2007).
B. Konsep Anatomi Sendi Lutut
Sendi lutut atau disebut dengan Knee joint adalah sendi yang paling besar
di dalam tubuh atau sendi sinovial yang kompleks, yang disebut juga sebagai
sendi engsel atipikal. Sendi ini bergerak pada sumbu fleksi, ekstensi dan rotasi
(Baechle dan Westcott, 2010).
27
Gambar 2.5 Anatomi knee joint
(Sumber: Jeffery, 2010)
1. Permukaan Artikulasi Sendi Lutut
Menurut Hartigan et al, (2011) Knee joint terdiri dari dua artikulasi
sendi yang berbeda terletak di dalam capsulesingle joint, yaitu tibiafemoral
joint dan patellofemoral joint.
a. Tibiafemoral joint
Sendi ini merupakan artikulasi antara femur distal dan tibia
proksimal. Tibiafemoral joint adalah sendi condyloid ganda dengan tiga
derajat kebebasan sudut gerakan. Gerakkan fleksi dan ekstensi terjadi pada
bidang sagital sekitar sumbu koronal melalui epicondylus distal femur,
gerakkan internal dan eksternal rotasi terjadi pada bidang transversal
sumbunya membujur melalui sisi lateral tibia condylus medial dan
gerakkan abduksi dan adduksi terjadi pada knee joint condyloid ganda
yang disebut sebagai kompartemen medial dan lateral knee.
b. Patellafemoral joint
Patellafemoral joint terletak dalam otot quadriceps, sendi ini
merupakan artikulasi antara patellae posterior dan femur. Patellae terbagi
menjadi tiga bagian yaitu basis patellae, apex patella dan facies
28
articularis. Fungsi utama patellae untuk mengontrol anatomis otot
quadriceps. Kemampuan patellae untuk menjalankan fungsinya tanpa
membatasi gerak lutut bergantung pada mobilitas sendi dan stabilitas
patellae serta struktur statis dan dinamis. Stabilitas patellae dipengaruhi
oleh posisi vertikal patellae pada sulkus femoralis, karena aspek superior
sulkus femoralis lebih dangkal dari aspek inferior. Posisi vertikal patellae,
pada dasarnya berhubungan dengan panjang tendon patellae. Biasanya,
rasio panjang tendon patellae dengan panjang patellae kira-kira 1:1
disebut sebagai insall-salvati indeks. Jika tendon lebih panjang daripada
patellae maka posisi patellae menjadi tidak normal pada sulcus femoralis
yang dikenal sebagai patellae alta, sehingga menyebabkan ketidakstabilan
patellae (Hartigan et al, 2011).
Gambar 2.6 Patellae tampak dari depan dan belakang
(Sumber : Sabotta, 2011).
2. Ligamen
Knee joint mengandung ligament yang membantu mengontrol gerakkan
dan menghubungkan tulang serta menjaga sendi dari gerakkan yang abnormal
(Mitchell, 2015). Ada beberapa ligamentum yang terdapat pada sendi lutut di
antaranya:
a. Anterior crusiatum ligament (ACL), ligamen yang berjalan dari depan
eminentia intercondyloidea tibia ke permukaan medial condylus lateralis
femur.
29
b. Posterior crusiatum ligament (PCL), ligamen yang berjalan dari facies
lateralis condylus medialis femoris, menuju fossa intercondyloidea tibia.
c. Lateralle collateral ligament (LCL), ligamen yang berjalan dari
epicondylus lateralis ke capitulum fibulla.
d. Mediale collateral ligament (MCL) berjalan dari bidang posterior melekat
ke meniscus medial.
e. Ligamentum popliteum abligum, berasal dari condylus lateralis femoris
menuju ke insertio musculus semi membranosus melekat pada fascia
musculus popliteum (Baechle dan Westcott, 2010).
Gambar 2.7 Ligamen pada knee joint
(Sumber: Jeffery, 2011)
3. Meniscus
Knee joint mengandung meniscus yang merupakan sebuah
fibrokartilaginous berbentuk baji di antara tulang femur dan tulang tibia yang
berfungsi untuk mengalasi lutut, membantu menyerap hentakan selama
gerakkan dan untuk membantu pelumasan dengan sirkulasi cairan sinovial di
dalam sendi lutut (Mitchell, 2015). Meniscus dengan struktur anatomi yang
kompleks, membantu berbagai fungsi biomekanik, seperti bantalan beban,
memperbaiki area kontak, bergerak rotasi dan stabilisasi kearah translasi.
Meniscus medial lebih luas daripada meniscus lateral, meskipun bentuknya
sedikit lebih tipis. Memiliki derajat intercondylar yang lebih luas dan
30
permukaan bawah yang relatif datar. Hal ini berlabuh di daerah posterior
pusat tulang belakang intercondylaris dekat fovea centralis dan anterior ke
ligamentum intermeniscal anterior yang kemudian menjadi konfluen dengan
ligamentum capsul lateral midthird. Kemudian disekitarnya, berlabuh melalui
segmen meniscotibial dari ligament capsuler ke tepi artikular tibialis sekitar
5 mm distal ke margin artikular (Flandry dan Hommel, 2011).
Bagian posterior dari meniskus lateral melekat pada posterior tibia,
eminensia intercondylar lateral dan pada permukaan anterior-posterior dari
meniskus medialis. Kedua ligamen meniskofemoral yaitu ligament humphry
dan wrisberg terletak pada badan posterior meniskus lateralis sampai
ke condylus femoral medialis, berdekatan dengan ligament cruciatum
posterior. Meniskus lateralis mencakup persentase yang lebih besar dari
permukaan artikular dibandingkan dengan meniskus medialis. Bagian perifer
dari meniskus lateralis memiliki perlekatan yang longgar dengan kapsul sendi
(Flandry dan Hommel, 2011).
Gambar 2.8 Meniscus pada knee joint
(Sumber: Jeffery, 2011)
4. Muscle
Otot terbesar yang melewati sendi lutut adalah quadricep dan
hamstring, quadriceps berada di depan lutut dan hamstring berada di
31
belakang lutut. Otot-otot ini membantu meluruskan (m.Hamstring) dan
menekuk lutut (m.Quadriceps) (Jeffery, 2011). Menurut Pertiwi, et al (2016),
otot-otot yang bekerja pada sendi lutut terdiri dari:
a. Bagian anterior adalah m.rektus femoris, m.vastus lateralis, m.vastus
medialis, dan m.vastus intermedialis.
b. Bagian posterior adalah m. Biceps femoris, m. semitendinosis, m. semi
membranosis, dan m.gastrocnemius.
c. Bagian medial adalah m.sartorius dan m. gracilis.
d. Bagian lateral m.tensorfacialatae.
Gambar 2.9 Otot-otot sekitar sendi lutut, articulatio genu tampak medial
(Sumber : Sabotta, 2011).
Gambar 2.10 Otot-otot sekitar sendi lutut, articulatio genu tampak belakang
(Sumber : Sabotta, 2011).
32
C. Konsep Cidera Lutut
1. Definisi Cidera
Cidera adalah peristiwa yang dialami oleh suatu individu yang
disebabkan oleh berbagai kesalahan teknis, benturan, aktivitas fisik yang
berlebihan atau latihan yang terlalu berat sehingga menimbulkan rasa sakit
dan rusaknya jaringan pada tubuh baik jaringan lunak maupun jaringan kasar
seperti otot dan tulang, sehingga jaringan tersebut tidak lagi dalam keadaan
anatomisnya (Cava, 1995 dalam Fitriani, 2012).
Gambar 2.11 Cidera lutut
(Sumber: Jeffery, 2011)
Segala jenis aktivitas fisik menyebabkan kemungkinan terjadinya suatu
cidera. Biasanya mantan atlet memiliki tingkat cidera sendi yang tinggi.
Individu dengan riwayat dahulu terkait cidera akibat olahraga yang berat
kemungkinan memiliki peningkatan risiko pengembangan degenerasi
artikular kartilago. Beban mekanis sangat penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan pada artikular kartilago. Sementara jika beban mekanisnya
terlalu tinggi akan merusak artikular rawan sendi yang normal, maka
diperlukan beberapa stimulasi untuk pengembangan chondrogenesis (Geli
dan Verdie, 2012).
33
Beberapa orang tentunya memiliki sendi yang gerakannya terganggu
karena luka parah pada otot, tendon, atau ligament. Cidera tersebut
kemungkinan terjadi bertahun-tahun yang lalu dan jika otot yang terkena
tidak pernah mendapatkan rehabilitasi yang tepat, pada kebanyakan kasus,
otot tidak mengalami kerusakan, tetapi otot tersebut kehilangan kemampuan
untuk berfungsi dengan baik karena lama tidak digunakan (Norman, 2010).
Diagnosis cidera lutut yang parah meliputi luka kontusi, subkondral atau
chondral dengan dan meniscal tear serta dengan dan tanpa cidera ligamen
atau Complete tear (Ratzlaff & Liang, 2010).
2. Jenis-Jenis Cidera
Jenis cidera secara umum menurut pendapat yang dikemukakan oleh
Paul dan Diare (1993) dalam Budi (2015), cidera yang mungkin dapat terjadi
pada saat latihan atau pertandingan olahraga, antara lain:
a. Cidera memar
Memar merupakan cidera yang disebabkan oleh benturan pada area
yang keras dan kasar dan disebabkan oleh pukulan langsung pada kulit.
Biasanya terlihat kerusakan pada jaringan epidermis, pembuluh darah yang
pecah dan cairan seluler menyebar ke jaringan disekitar.
b. Cidera pada otot atau tendon dan ligament
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Hadianto (1993) dalam
Budi (2015), ada dua jenis cidera yang dapat terjadi pada otot atau tendo
dan ligamentum, yaitu strain dan sprain. Menurut pendapat yang
dikemukakan oleh Giam dan The, (1993) dalam Budi (2015), strain adalah
bentuk cidera pada otot atau tendon akibat dari kesalahan teknis,
penggunaan otot yang berlebihan, beban yang terlalu besar, serta stress
34
yang berlebihan. Sprain adalah cidera pada persendian yang mengenai
ligament, sehingga menimbulkan kerusakan atau robeknya ligament
disekitarnya, disebabkan oleh jatuh atau terpelintir dan tekanan pada
tubuh.
c. Dislokasi
Dislokasi adalah cidera pada persendian akibat pergeresaran antara
tulang dengan tulang, sehingga sendi tidak dalam keadaan anatomisnya
dan menyebabkan robeknya jaringan disekitar persendian. Gejala-gejala
yang terlihat biasanya terdapat pembengkakan dan terasa adanya nyeri
sedang hingga nyeri berat.
d. Fracture
Fraktur atau patah tulang adalah hilangnya kontinuitas dari jaringan
tulang yang biasanya disebabkan oleh adanya kekerasan yang timbul
secara spontan (Budi, 2015). Fraktur dapat dibagi menjadi tiga macam
menurut Bernard, (1978: 3-5) dalam Budi (2015), yaitu :
1) Patah tulang tertutup (simpleks fracture) yaitu fraktur yang tidak
menembus jaringan otot dan jaringan kulit disekitarnya.
2) Patah tulang terbuka (compound fracture) yaitu fraktur yang
menembus jaringan otot hingga menembus kulit, ditandai dengan
robeknya kulit akibat tekanan dari luar.
3) Patah tulang kompikata (kompleks fracture) yaitu fraktur yang ikut
mengenai persendian, syaraf, pembuluh darah atau organ viscera.
e. Kram otot
Kram otot adalah suatu keadaan kontraksi pada otot bahkan
sekompok otot terjadi secara terus-menerus hingga mengakibatkan rasa
35
nyeri. Kondisi ini biasanya terjadi karena kelelahan yang berlebihan atau
akibat overtraining, kekurangan garam dan mineral serta kurangnya
pemanasan (steaching) (Gabe dan Marshall dalam Budi, 2015).
f. Pendarahan
Pendarahan adalah kondisi yang terjadi karena pecahnya pembuluh
darah akibat dari trauma pukulan, tendangan, dan terjatuh. Proses
terjadinya pendarahan ada dua macam, yaitu pendarahan dalam dan
pendarahan luar (Sarwoto dan Aminah, 1982 dalam Budi, 2015).
Menurut Ratzlaff & Liang, (2010) cidera yang sering terjadi pada pada
lutut yang memicu terjadinya OA knee yaitu ACL dan meniscus tear.
a. Rupture ACL (Anterior Cruciate Ligament)
Rupture ACL dalah cidera yang sering terjadi dalam dunia olahraga.
Fungsi utama ACL adalah untuk mencegah gerakan rotasi dari lutut. Salah
satu komplikasi cidera ACL yaitu meniscus tear, yang mana ACL
mengalami overstretch kemudian menarik meniscus sampai lepas dari
lutut, apabila cidera ini cukup parah maka akan terkena double injury
(Matias, 2012 dalam Budi, 2015). Sekitar seperempat pasien dengan
osteoartritis lutut telah ditemukan mengalami ruptur pada ACL, yang
biasanya berfungsi untuk stabilisasi anterior/posterior. Sebuah studi
terperinci tentang efek penuaan dan osteoarthritis pada ACL menemukan
degenerasi ACL akut dan kronik pada lutut yang hanya memiliki sedikit
kerusakan tulang rawan. Kemungkinan degenerasi ACL lanjut meningkat
seiring bertambahnya usia (Hasegawa, 2012 dalam Rannoun 2014).
Prevalensi osteoarthritis menurut Lohmander dkk, dalam Ratzlaff
dan Liang, (2010) memperkirakan bahwa risiko populasi kumulatif dari
36
cidera ACL antara usia 10-64 tahun adalah sekitar 5% berdasarkan temuan
MRI dari lutut yang terluka parah dan untuk meniscus tear yang mengarah
ke operasi sebanyak 15%. Selama dua dekade terakhir telah terjadi
peningkatan cidera ACL yang parah pada wanita muda di Indonesia
akibat olahraga yang melibatkan lompat dan berputar. Risiko risiko OA
knee dari cidera sendi lutut diperkirakan 50% individu dengan ACL atau
meniskus tear.
b. Meniscus tear
Meniscus tear adalah cidera yang cukup parah, kondisi ini
disebabkan ketika ACL tertarik secara keras sehingga meniscus akan ikut
rusak, akibat dari full fleksi knee dan pergerakan yang salah seperti over
rotasi pada lutut. meniscus merupakan bagian dari tulang yang membantu
menstabilkan lutut saat gerakkan fleksi knee. Pemulihan secara konservatif
memakan waktu yang cukup lama yaitu antara 3-6 bulan pada cidera
ringan (Matias Ibo, 2012 dalam Budi, 2015). Traumatis pada meniscus
tear biasanya terjadi pada dewasa muda, sehingga meningkatkan risiko
OA dan tampaknya merupakan kejadian awal dalam proses penyakit.
(Ratzlaff & Liang, 2010).
3. Etiologi Cidera
Penyebab cidera menurut Wibowo (1994) dalam Budi, (2015) di bagi
menjadi dua, yaitu:
a. Faktor risiko internal
Penyebab cidera dari faktor internal terjadi karena koordinasi antara
otot-otot dan persendian yang kurang sempurna, sehingga menimbulkan
gerakan yang salah bahkan menimbulkan cidera. Penyebabnya akibat dari
37
ukuran tungkai yang tidak sama panjangnya, kekuatan otot-otot yang
bersifat antagonistis tidak seimbang dan sebagainya. Hal itu juga bisa
terjadi karena kurang pemanasan, kurang konsentrasi dan kelemahan fisik.
b. Faktor risiko eksternal
Eksternal violence adalah cidera yang terjadi karena pengaruh atau
sebab yang berasal dari luar, misalnya disebabkan oleh body contact sport
(sepak bola, tinju, karate dan lain-lain), alat-alat olahraga (stick hockey,
bola, raket dan lain-lain) dan keadaan lingkungan disekitar yang memicu
terjadinya cidera.
4. Klasifikasi Cidera
Ada dua macam tipe cidera pada sendi lutut menurut Australian
Physiotherapy Association, (2003) dalam Fitriani (2012) yaitu tipe akut dan
tipe overuse.
a. Cidera akut
Cidera akut merupakan hasil dari trauma atau benturan yang
mendadak, seperti jatuh tiba-tiba, collision atau sendi lutut terpuntir.
Cidera akut khususnya terjadi pada garis tegak lurus pada ruang gerakan
alami lutut (Taylor, 1997: 139 dalam Fitriani, 2012).
b. Cidera overuse
Cidera overuse merupakan cidera yang dikenai beban berulang pada
sendi dan jaringan pendukungnya, sehingga menimbulkan rusaknya
jaringan karena terbatasnya waktu untuk pulih sebelum mengalami siklus
pembebanan lain. Cidera overuse disebut juga sebagai repetitive injury,
syndrome overuse, repetitive motion disorder, repetitive strain injury
(Curwin, 2011). Cidera overuse dapat mengakibatkan kerusakan pada
38
tendon, ligament, bursa, saraf, kartillago dan otot. Efek aditif dari
repetitive menyebabkan mikrotrauma, yang kemudian memicu proses
inflamasi dan mengakibatkan pembengkakan. Jaringan yang paling sering
terkena cidera overuse adalah unit musculotendinous. Otot dan tendon
mengalami kelelahan dengan beban repetitive submaksimal. Saraf dapat
mengalami cidera tekan oleh hipertropi otot, elastisitas menurun dan
mekanika sendi yang berubah (Chleboun, 2011).
D. Hubungan Riwayat Cidera Lutut terhadap Osteoarthritis Knee
Cidera sendi lutut meningkatkan risiko osteoarthritis yang meningkat pada
area kontak tibiofemoral dan tekanan pada cidera meniscal, menyebabkan
unstabil sendi pada ligament sprain dan oleh lesi pada chondral atau dengan
mengganggu sistem neuromuskular. Meniscus berfungsi untuk load bearing,
shock absorption, joint stability, joint lubrication dan joint congruity (King,
1936 dalam Ratzlaff dan Liang, 2010). Semua fungsi ini saling berkaitan dengan
tulang rawan artikular, yang mungkin terluka saat terjadi cidera meniscal.
Meniscal tear dapat diklasifikasikan dalam acute traumatic atau kronis
degenerative. Cidera acute traumatic terutama terjadi pada orang muda, yang
biasanya berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, yang meningkatkan risiko
pengembangan osteoartritis knee (Englund et al, 2003 dalam Ratzlaff dan Liang,
2010).
Repetitive injury pada pasien dengan meniscus tear yang tidak ditangani
segera akan meningkatkan risiko pengembangan osteoarthritis (Ratzlaff dan
Liang, 2010). Penelitian Cooper dan Colleagues menemukan bahwa pasien
dengan riwayat cidera lutut memiliki risiko 3 kali lebih banyak terkena OA lutut
dibandingkan dengan subjek yang tidak cidera. Risiko ini meningkat 4 kali lipat
39
jika tidak diberikan tindakan pengobatan (Cooper, et al., 1994 dalam Ratzlaff
dan Liang, 2010). Usia yang lebih tua pada saat cidera memprediksi
perkembangan yang lebih cepat pada OA lutut. Kejadian Ini mungkin
menunjukkan hubungan potensial antara predisposisi genetik dan osteoarthritis
(Ratzlaff dan Liang, 2010).
ACL tears lebih sering terjadi pada pasien muda, biasanya pada usia di
bawah 30 tahun. Dalam hal ini sejumlah besar kasus knee osteoarthritis yang
diawali dengan nyeri, keterbatasan fungsional dan penurunan kualitas hidup pada
individu antara usia 30 dan 50 tahun serta kejadian OA knee secara radiografi
akibat dari cidera ACL berkisar antara 10%-90% pada usia 10-20 tahun. Secara
keseluruhan, ada konsensus yang jelas bahwa meniscal, ligament dan chondral
injury meningkatkan risiko OA lutut. Ligamentum anterior dan cidera meniscus
meningkatkan risiko degenerasi sendi baik yang diobati dan pembedahan
(Lohmander et al, 2004; Porat et al, 2004 dalam Ratzlaff dan Liang, 2010).