11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persalinan
2.1.1 Definisi Persalinan
Persalinan adalah proses pergerakan keluar janin, plasenta, dan membran dari
dalam uterus (rahim) melalui jalan lahir. Saat persalinan terjadi proses membuka
dan menipisnya serviks dan janin turun ke dalam jalan lahir. Persalinan yang normal
terjadi pada umur kehamilan cukup bulan (37-42 minggu) (Bobak, 2012; Sukarni
& Wahyu, 2013). Menurut Rohani et al (2011) persalinan merupakan proses
pergerakan keluarnya janin, plasenta, dan membran dari dalam rahim melalui
jalan lahir. Proses ini berawal dari pembukaan dan dilatasi serviks sebagai akibat
kontraksi uterus dengan frekuensi, durasi, dan kekuatan yang teratur.
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persalinan
Terdapat lima faktor esensial yang mempengaruhi proses persalinan dan kelahiran.
Faktor-faktor tersebut dikenal dengan lima P: passenger (penumpang, yaitu janin
dan plasenta), passageway (jalan lahir), powers (kekuatan), position (posisi ibu),
dan psychologic respons (respon psikologis) (Bobak, 2012).
1) Passanger (Penumpang)
Passenger atau janin bergerak sepanjang jalan lahir merupakan akibat interaksi
beberapa faktor, yakni ukuran kepala janin, presentasi, letak, sikap, dan posisi janin.
Karena plasenta juga harus melewati jalan lahir, maka plasenta dianggap juga
12
sebagai bagian dari passenger yang menyertai janin. Namun plasenta jarang
menghambat proses persalinan pada kehamilan normal (Sumarah et al, 2009)
2) Passageway (Jalan Lahir)
Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yakni bagian tulang padat, dasar panggul,
vagina, dan introitus (lubang luar vagina). Lapisan-lapisan otot dasar panggul ikut
menunjang keluarnya bayi meskipun itu jaringan lunak, tetapi panggul ibu jauh
lebih berperan dalam proses persalinan. Janin harus berhasil menyesuaikan dirinya
terhadap jalan lahir yang relatif kaku. Oleh karena itu ukuran dan bentuk panggul
perlu diperhatikan sebelum persalinan dimulai (Sumarah et al, 2009)
3) Power (Kekuatan)
Kekuatan yang mendorong janin dalam persalinan adalah his, kontraksi otot-oto
perut, kontraksi diafragma, dan aksi dari ligamen. Kekuatan primer yang diperlukan
dalam persalinan adalah his yaitu kontraksi otot-otot rahim, sedangkan sebagai
kekuatan sekundernya adalah tenaga meneran ibu (Rohani et al.2011).
4) Position (Posisi Ibu)
Posisi ibu mempengaruhi adaptasi anatomi dan fisiologi persalinan. Menurut
Melzack, dkk tahun 1991 dalam Bobak (2012) mengubah posisi membuat rasa letih
hilang, memberi rasa nyaman, dan memperbaiki sirkulasi. Posisi yang baik dalam
persalinan yaitu posisi tegak yang meliputi posisi berdiri, berjalan, duduk, dan
jongkok. Posisi tegak dapat memberikan sejumlah keuntungan, hal itu dikarenakan
posisi tegak memungkinkan gaya gravitasi membantu penurunan janin, dapat
mengurangi insiden penekanan tali pusat, mengurangi tekanan pada pembuluh
darah ibu dan mencegah kompresi pembuluh darah serta posisi tegak dapat
13
membuat kerja otot-otot abdomen lebih sinkron (saling menguatkan) dengan rahim
saat ibu mengedan (Bobak, 2012).
5) Psychologic Respons (Psikologis)
Psikologis adalah kondisi psikis klien dimana tersedianya dorongan positif,
persiapan persalinan, pengalaman lalu, dan strategi adaptasi/coping (Sukarni &
Wahyu, 2013). Psikologis adalah bagian yang krusial saat persalinan, ditandai
dengan cemas atau menurunnya kemampuan ibu karena ketakutan untuk mengatasi
nyeri persalinan. Respon fisik terhadap kecemasan atau ketakutan ibu yaitu
dikeluarkannya hormon katekolamin. Hormon tersebut menghambat kontraksi
uterus dan aliran darah plasenta (Manurung, 2011).
Faktor psikologis tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: Melibatkan psikologis
ibu, emosi, dan persiapan intelektual; Pengalaman melahirkan bayi sebelumnya;
Kebiasaan adat; Dukungan dari orang terdekat pada kehidupan ibu (Rohani et al,
2011).
2.1.3 Tahap-tahap Persalinan
Tahap-tahap persalinan dibagi menjadi empat yaitu:
1) Kala I
Kala satu persalinan dimulai sejak awal kontraksi uterus yang teratur dan meningkat
(frekueni, intensitas dan durasi) hingga servik menipis dan membuka lengkap (10
cm). Kala I terdiri dari atas dua fase, yaitu fase inisial (laten) dan fase aktif. Fase
laten berlangsung hingga serviks membuka kurang dari 4 cm dan fase aktif dari
pembukaan 4 cm hingga mencapai pembukaan lengkap atau 10 cm. face aktif dibagi
dalam tiga fase lagi, yakni: fase akselerasi yaitu pembukaan 3 cm menjadi 4 cm
14
dalam waktu 2 jam; fase dilatasi maksimal yaitu pembukaan 4 cm menjadi 9 cm
dalam waktu 2 jam; dan fase deselerasi yaitu pembukaan lambat kembali, dari
pembukaan 9 cm sampai pembukaan lengkap (10 cm) dalam waktu 2 jam. Fase-
fase tersebut dijumpai pada primigravida, sedangkan dalam multigravida juga
terjadi fase tersebut, akan tetapi fase laten, fase aktif dan fase deselerasi lebih
pendek (Sukarni & Wahyu, 2013; Wiknjosastro, 2008).
2) Kala II
Kala dua persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan
berakhir dengan lahirnya bayi. Kala dua juga disebut sebagai kala pengeluaran bayi.
Proses ini biasanya berlangsung 2 jam pada primi dan 1 jam pada multi
(Wiknjosastro, 2008).
3) Kala III
Persalinan kala tiga dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban. Tahap ini berlangsung tidak lebih dari 30 menit.
Karakteristik pelepasan plasenta ditandai dengan uterus bulat dan keras, tiba-tiba
darah keluar dan tali pusat memanjang (Manurung, 2011 & Wiknjosastro, 2008).
4) Kala IV
Persalinan kala empat dimulai setelah lahirnya plasenta dan berakhir dua jam
pertama post partum. Tahap ini disebut juga dengan tahap pemulihan (Bobak,
2012). Hal yang perlu dievaluasi dalam kala IV yaitu tanda-tanda vital, kontraksi
uterus, perdarahan pervaginam dan kondisi vesika urinaria (Manurung, 2011 &
Wiknjosastro, 2008).
15
2.1.4 Psikologi Saat Persalinan Kala I
Perubahan psikologi dapat terjadi pada ibu dalam persalinan Kala I, terutama bagi
ibu yang pertama kali melahirkan, perubahan-perubahan tersebut diantaranya:
1) Perasaan tidak enak
2) Takut dan ragu-ragu akan persalinan yang akan dihadapi
3) Ibu dalam menghadapi persalinan sering memikirkan antara lain apakah
persalinan berjalan normal
4) Menganggap persalinan sebagai cobaan
5) Apakah penolong persalinan dapat sabar dan bijaksana dalam menolongnya
6) Apakah bayinya normal atau tidak
7) Apakah ia sanggup merawat bayinya
8) Ibu merasa cemas (Sumarah et al, 2009).
Menurut Sukarni & Wahyu (2013) menyatakan bahwa pada kala I tidak jarang ibu
akan mengalami perubahan psikologi diantaranya, rasa takut, stress,
ketidaknyamanan, cemas, marah-marah dan lain-lain.
2.1.5 Dukungan Saat Persalinan
Dukungan dalam persalinan dapat dilakukan oleh Ayah (Pasangan), Kakek-Nenek
(orang tua ibu), dan saudara kandung bayi (Bobak, 2012). Kakek-Nenek atau orang
tua ibu yang melahirkan dapat dilibatkan sebagai dukungan terhadap ibu yang akan
menghadapi persalinan. Mereka mungkin memiliki cara untuk meredakan nyeri
ataupun meningkatkan kenyaman orang tua bayi berdasarkan pengalaman mereka.
Selain itu mereka dapat menggantikan ayah/pasangan ibu yang bersalin. Dukungan
dari saudara kandung bayi/anak yang lebih besar juga dapat dilibatkan, selain untuk
16
membantu persiapan anak menerima perubahan yang akan terjadi dengan kehadiran
anak baru juga dapat memberi semangat pada ibu (Bobak, 2013). Kehadiran suami
atau pasangan sangat dianjurkan untuk mendampingi ibu selama persalinan karena
pendekatan langsung dapat mendorong komunikasi diantara pasangan sehingga
dapat mengatasi semua kekhawatiran (Liu, 2007).
Chapman (1992) dalam buku Bobak (2012) menyatakan ada tiga peran yang dapat
dilakukan oleh pria selama proses persalinan dan melahirkan, yakni peran sebagai
pelatih, teman satu tim, dan saksi. Sebagai pelatih suami secara aktif membantu istri
selama dan sesudah kontraksi persalinan. Suami bertindak sebagai teman satu tim
akan membantu istri selama proses persalinan dan melahirkan dengan berespon
terhadap permintaan istri akan dukungan fisik atau dukungan emosi atau keduanya.
Dalam berperan sebagai saksi, suami bertindak sebagai teman dan memberikan
dukungan emosi dan moral serta hadir disamping istri untuk memperhatikan segala
tindakan yang diberikan kepada istri selama persalinan (Bobak, 2012).
Seorang pendamping harus dilibatkan dalam persiapan pra-persalinan dan
pembuatan keputusan berpartisipasi dalam menyusun rencana melahirkan serta
kemungkinan perubahan rencana jika situasi berubah. Selama persalinan,
pendamping tersebut dapat terus menemani ibu berjalan-jalan dengannya jika ibu
dapat berjalan terutama di awal persalinan, mendukung keputusannya tentang
pereda nyeri, dan mendorong mekanisme koping apapun yang ibu pilih (Fraser et
al, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Mukhoirotin dan Khusniyah pada tahun
2010 menunjukan bahwa ada pengaruh pendampingan suami terhadap kecemasan
17
ibu pada proses persalinan kala I. Dengan data yang diperoleh menunjukan bahwa
sebagian besar responden mengalami penurunan kecemasan yaitu kecemasan
ringan sebanyak 4 (40%) responden dan tidak mengalami kecemasan sebanyak 5
(50%) responden. Sedangkan yang mengalami peningkatan kecemasan menjadi
cemas sedang sebanyak 1 (10%) responden.
2.2 Kecemasan
2.2.1 Definisi Kecemasan
Kecemasan atau ansietas adalah ketegangan, rasa tidak aman, dan kekhawatiran
yang timbul karena dirasakan akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi
sumbernya sebagian besar tidak diketahui (Maramis, 2009). Kecemasan sebagai
emosi tanpa obyek yang spesifik, penyebabnya tidak diketahui dan didahului oleh
pengalaman baru. Kecemasan berbeda dengan rasa takut. Takut mempunyai sumber
yang jelas dan obyeknya dapat didefinisikan. Takut merupakan penilaian terhadap
stimulasi yang mengancam dan cemas merupakan respon emosi terhadap penilaian
tersebut (Stuart dan Sundeen, 2006). Cemas adalah sebuah emosi dan pengalaman
subjektif dari seseorang dan merupakan suatu keadaan yang membuat seseorang
tidak nyaman yang terbagi dalam beberapa tingkatan (Kusuma & Hartono, 2011).
2.2.2 Tanda Dan Gejala Cemas
Tanda dan gejala umum yang berkaitan dengan kecemasan dapat dibagi menjadi
gejala somatik dan psikologis (Conley, 2006):
1) Gejala somatik yang timbul diantaranya: 1) keringat berlebih; 2) ketegangan
pada otot skelet: sakit kepala, kontraksi pada bagian belakang leher atau dada,
18
suara bergetar, nyeri punggung; 3) sindrom hiperventilasi: sesak nafas, pusing,
parestesi; 4) gangguan fungsi gastrointestinal: nyeri abdomen, tidak nafsu
makan, mual, diare, konstipsi; 5) iritabilitas kardiovaskuler: hipertensi,
takikardi; 6) disfungsi genitourinaria: sering buang air kecil, sakit saat
berkemih, impoten, sakit pelvis pada wanita, kehilangan nafsu seksual.
2) Gejala psikologis antara lain: 1) gangguan mood: sensitive sekali, cepat marah,
mudah sedih; 2) kesulitan tidur: insomnia, mimpi buruk, mimpi yang berulang-
ulang; 3) kelelahan, mudah capek; 4) kehilangan motivasi dan minat; 5)
perasaan-perasaan yang tidak nyata; 6) sangat sensitive terhadap suara: merasa
tak tahan terhadap suara-suara yang sebelumnya biasa saja; 7) berpikiran
kosong, tidak mampu berkonsentrasi, mudah lupa, bingung; 8) kikuk,
canggung, koordinasi buruk; 9) tidak bisa membuat keputusan, tidak bisa
menentukan pilihan bahkan untuk hal-hal kecil; 10) gelisah, resah, tidak bisa
diam; 11) kehilangan kepercayaan diri; 12) kecenderungan untuk melakukan
segala sesuatu berulang-ulang; 13) keraguan dan ketakutan yang mengganggu;
14) terus menerus memeriksa segala sesuatu yang telah dilakukan.
2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan
Faktor yang mempengaruhi kecemasan dalam menghadapi persalinan dapat dibagi
menjadi faktor presipitasi dan faktor predisposisi antara lain:
1) Faktor Presipitasi:
(1) Faktor biologi: rasa nyeri persalinan
(2) Faktor psikologi: ketakutan akan menjadi orang tua baru, hubungan
keluarga yang tidak harmonis, adanya trauma akan persalinan yang lalu
19
(3) Faktor sosial: tidak adanya dukungan dalam keluarga (Susanti, 2008).
2) Faktor Predisposisi
(1) Tingkat Pengetahuan dan Pendidikan
Pengetahuan yang rendah mengakibatkan seseorang mudah mengalami kecemasan.
Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi tentang persalinan baik dari orang
terdekat, keluarga, tenaga kesehatan, maupun dari berbagai media seperti majalah
dan lainnya. Pasangan suami istri yang berpendidikan tinggi dan mengikuti kelas
ibu hamil serta banyak membaca buku tentang kelahiran mereka lebih tenang dan
siap dalam proses persalinan (Bobak, 2012).
(2) Usia
Usia ibu dapat memberikan dampak terhadap perasaan cemas saat persalinan. Ibu
usia di bawah 20 tahun kesiapan mental masih sangat kurang sehinngga dalam
menghadapi kelahiranpun masih belum mantap. Ibu berusia di atas 35 tahun
meskipun secara fisik risiko terjadinya komplikasi lebih besar, tetapi secara mental
mereka lebih siap (Musbikin, 2007).
(3) Paritas
Paritas juga dapat mempengaruhi kecemasan. Pada primigravida merasakan
kecemasan karena tidak adanya bayangan mengenai apa yang akan terjadi saat
bersalin nanti dan mendengar cerita mengerikan dari teman atau kerabat tentang
pengalaman saat melahirkan seperti ibu atau bayi meninggal dan hal ini dapat
mempengaruhi pikiran ibu mengenai proses persalinan yang menakutkan. Pada
multigravida muncul perasaan cemas biasanya diakibatkan oleh bayangan rasa sakit
yang dideritanya dulu sewaktu melahirkan (Musbikin, 2007).
20
(4) Keadaan fisik ibu
Seseorang yang menderita penyakit akan lebih mudah mengalami kecemasan
dibandingkan dengan orang yang tidak menderita sakit. Jika seorang ibu yang hamil
disertai dengan suatu penyakit penyerta maka ibu tersebut akan lebih cemas lagi
karena berisiko terjadi hal-hal yang patologis (Morgan, 2005).
(5) Pendamping Persalinan
Pendamping persalinan merupakan faktor pendukung dalam lancarnya persalinan
karena dukungan orang terdekat terutama suami sangat mempengaruhi kecemasan
ibu saat persalinan. Kehadiran suami membuat ibu merasa lebih tenang dan siap
menghadapi proses persalinan (Musbikin, 2007).
2.2.4 Tingkat Kecemasan
Menurut Stuart dan Sundeen (2006) cemas terdiri dari empat tingkatan yaitu:
1) Kecemasan ringan
Kecemasan ringan berkaitan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan
menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan persepsinya. Orang
yang mengalami kecemasan ringan masih mampu menghadapi situasi yang
bermasalah, dapat mengintegrasikan pengalaman masa lalu, saat ini dan yang akan
datang. Perasaan relative aman dan nyaman. Tanda-tanda vital normal, ketegangan
otot minimal, pupil normal atau kontriksi. Pada tingkat ini dapat memotivasi belajar
dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
2) Kecemasan Sedang
Pada kecemasan sedang dapat menyebabkan persepsi sempit dan terfokus pada hal
yang penting dan mengesampingkan yang lain, namun dapat melakukan sesuatu
21
yang lebih terarah dan kesulitan dalam berkonsentrasi. Pandangan pengalaman
pada saat ini berkaitan dengan masa lalu dan dapat mengabaikan kejadian dalam
situasi tertentu; kesulitan dan membutuhkan usaha yang lebih dalam beradaptasi
dan menganalisa. Tanda-tanda vital normal atau sedikit meningkat, tremor,
bergetar.
3) Kecemasan Berat
Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terkini dan spesifik serta tidak
dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi
ketegangan. Orang yang mengalami kecemasan berat memerlukan banyak
pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain. Pembelajaran sangat
terganggu; sangat kebingungan dan tidak mampu berkonsentrasi. Pandangan
pengalaman saat ini berkaitan pada masa lalu. Hampir tidak mampu mengerti
situasi yang dihadapi saat ini. Tanda-tanda vital meningkat, diaphoresis, ingin
kencing, nafsu makan turun, pupil dilatasi, otot-otot tegang, pandangan menurun,
sensasi nyeri meningkat.
4) Panik
Tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan
terror. Rincian terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali,
orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan
pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Panik dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan aktiftas motorik, menurunnya kemampuan
untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan
22
pemikiran yang rasional. Seseorang mungkin menjadi pucat, tekanan darah
menurun, hipotensi, koordinasi otot-otot lemah, nyeri, sensasi pendengaran
minimal. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika
berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan yang sangat
bahkan kematian.
2.2.5 Penatalaksanaan Kecemasan
Untuk menangani kecemasan dapat dilakukan dengan metode farmakologi dan non-
farmakologi. Menurut Hawari (2008) penatalaksanaan cemas memerlukan suatu
metode pendekatan yang bersifat holistic, yaitu mencakup fisik (somatik),
psikologik/psikiatrik, psikososial dan psikorelegius. Terapi psikofarmaka untuk
mengatasi cemas menggunakan anticemas (anxiolytic) seperti diazepam,
chlordiazepoxide HCL, oxazolam, hydroxine HCL, dan karva-karva rhizome.
Terapi komplementer/alternatif juga dapat dilakukan untuk mengurangi
kecemasan, seperti musik, aromaterapi, terapi tertawa, relaksasi otot progresif,
meditasi dan lain-lain (Elliot et al, 2011). Di Amerika Serikat terapi musik sudah
banyak dilakukan untuk mengatasi kekurangan dalam aspek fisik, emosi, kognitif
dan sosial pada orang dewasa. Musik dan ritme-ritme tertentu dimainkan dengan
berbagai alat dan diyakini dapat membawa ketenangan pikiran dan memberikan
kenyamanan fisik. Denggan mendengarkan musik seseorang menjadi rileks
(Djohan, 2006).
23
2.2.6 Alat Ukur Kecemasan
Mengukur kecemasan dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan langsung,
mendengarkan cerita serta mengobservasi baik perilaku maupun verbalnya.
Perilaku non verbal dapat sebagi signal atau tanda mengalami kecemasan.
Kecemasan seseorang dapat diketahui dengan menggunakan alat ukur (instrumen)
kecemasan. Terdapat beberapa instrumen kecemasan yang sudah teruji validitass
dan reabilitasnya, misalnya Hamilton Rating Scale for Anxiety (HaRS-A),
Depression Anxiety and Stress Scales (DASS), Beck Anxiety Inventory (BAI) dan
Tailor Manifest Anxiety Scale (T-MAS).
Instrumen HaRS-A merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada
munculnya symptom pada individu yang mengalami kecemasan. Skala HaRS-A
pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang diperkenalkan oleh Max Hamilton
dan sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran kecemasan terutama pada
penelitian trial clinic. Skala HaRS-A telah dibuktikan memiliki validitas dan
reliabilitas cukup tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian
trial clinic yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran
kecemasan dengan menggunakan skala HaRS-A akan diperoleh hasil yang valid
dan reliable (Nursalam, 2008; Stuart dan Sunden, 2006).
Skala HaRS-A yang sudah dianggap baku memiliki 14 item symptom pertanyaan
meliputi perasaan cemas, ketegangan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan,
perasaan depresi/murung, gejala somatik/fisik, gejala sensorik, gejala
kardiovaskuler, gejala pernapasan, gejala gastrointestinal, gejala urogenitalia,
24
gejala vegetative atau autonomy, gejala perilaku (Stuart dan Sunden, 2006).
Memiliki lima tingkatan skor yaitu skor 0= Tidak ada gejala (keluhan), skor 1= Satu
dari gejala yang ada, skor 2= Dua atau separuh dari gejala yang ada, skor 3= Lebih
dari separuh gejala yang ada, skor 4= Semua gejala ada. Dengan penentuan derajat
kecemasan nilai dari item 1-14 maka skor terendah adalah 0 dan skor tertinggi 56,
dan hasilnya sebagai berikut skor < 14= tidak ada kecemasan, skor 14-20=
kecemasan ringan, skor 21-27= kecemasan sedang, skor 28-41= kecemasan berat,
skor 42-56= panik (Stuart dan Sunden, 2006).
DASS digunakan untuk menilai keparahan gejala inti depresi, kecemasan dan
stress. Intrumen ini terdiri atas 42 pertanyaan atau seperangkat skala subjektif yang
dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan
stress. Setiap skala subjektif tersebut terdiri dari 14 butir pernyataan. Masing-
masing pernyataan yang akan diukur dipilih dengan pilihan jawaban (skor) 0= tidak
pernah dialami sama skali, 1= jarang dialami, 2= sering dialami, 3= selalu dialami.
Setelah responden menjawab pernyataan tersebut, skor dijumlahkan dan
diinterpretasikan. Untuk kecemasan 0-7= normal, 8-9= ringan, 10-14= sedang, 15-
19= berat dan > 20= sangat berat (McDowell, 2006).
BAI digunakan untuk mengetahui tingkat kecemasan sesuai dengan keluhan pasien
dan dirancang khusus untuk meminimalkan perancu dengan gejala depresi. BAI
terdiri dari 21 item pertanyaan yang mengukur kejala somatik terdiri dari 14 item
dan tujuh item mencerminkan aspek subjektif dari kecemasan tersebut. Kuesioner
BAI dapat diisi sendiri oleh pasien atau melalui wawancara oleh peneliti. Masing-
25
masing item pertanyaan dijawab oleh responden jika gejala tidak dialami diberi skor
nol, gejala dirasakan ringan atau tidak merasa terganggu skornya satu, gejala
dirasakan sedang atau cukup merasa terganggu skornya dua dan gejala dirasakan
berat atau sangat merasa terganggu skornya tiga. Skor setiap item kemudian
dijumlahkan dari hasil penjumlahan dapat diketahui tingkat kecemasan seseorang.
Skor 0-7= normal, 8-15= cemas ringan, 16-25= cemas sedang, 26-63= cemas berat
(McDowell, 2006).
T-MAS modifikasi Ginting (2001) merupakan instrumen kecemasan untuk
mengukur skala kecemasan ibu bersalin. Alat ukur ini biasanya digunakan peneliti
dengan teknik wawancara secara langsung kepada responden. Terdiri dari 24
pernyataan, masing-masing pernyataan diberi nilai “Ya” atau “Tidak”, jika
tanggapan “Ya” mendapat skor satu sedangkan “Tidak” mendapat skor nol.
Penjumlahan skor dapat dikategorikan jika < 6= cemas ringan, 7-12= cemas sedang,
13-18= cemas berat, 19-24= panik (Saryono, 2010).
2.2.7 Dampak Kecemasan saat Kala I Persalinan
Kecemasan pada saat persalinan akan memicu pembentukan katekolamin atau
hormon stres. Peningkatan kadar katekolamin pada kala I dapat menyebabkan aliran
darah yang semestinya ke rahim dan plasenta beralih ke organ-organ penting seperti
jantung, paru-paru, otak dan otot rangka sehingga aliran darah ke rahim dan
plasenta menurun. Penurunan aliran darah ke rahim dan plasenta dapat
memperlambat kontraksi rahim dan mengurangi pasokan oksigen ke janin. Dengan
26
demikian kecemasan dapat berpotensi memperpanjang kala I sehingga
memperlambat kemajuan proses persalinan (Simkin, 2005).
2.2.8 Konsep Kecemasan Dalam Menghadapi Persalinan
Persalinan merupakan proses alamiah yang dialami seorang ibu hamil akan tetapi
tidak setiap ibu hamil akan selalu siap menghadapi parsalinan karena persalinan
disertai rasa nyeri dan pengeluaran darah. Ketidaksiapan akan menimbulkan rasa
takut dan cemas pada ibu terutama pada wanita yang baru pertama kali melahirkan
karena pada umumnya belum memiliki gambaran mengenai kejadian yang akan
dialami pada persalinan (Maramis, 2009). Disamping itu masyarakat juga masih
memiliki paradigma persalinan merupakan pertaruhan hidup dan mati, sehingga ibu
yang akan melahirkan mengalami ketakutan dan kecemasan, umumnya takut mati
baik terhadap dirinya sendiri ataupun bayi yang akan dilahirkannya (Kartono,
2007).
Kecemasan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses
persalinan dan berakibat pembukaan kurang lancar. Dampak dari kecemasan dapat
menimbulkan rasa sakit pada persalinan dan berakibat timbulnya kontraksi uterus
dan dilatasi serviks yang tidak baik. Kecemasan menyebabkan vasokontriksi di
uterus sehingga vaskularisasi uterus berkurang dan hal ini menyebabkan kontraksi
uterus berkurang akibatnya persalinan bertambah lama (Mochtar, 2002).
Berdasarkan penelitian yang berkaitan dengan kejadian persalinan lama, 65%
disebabkan karena kontraksi uterus yang tidak efisien. Terdapat disfungsional
kontraksi uterus sebagai respon terhadap kecemasan sehingga menghambat
27
aktifitas uterus. Respon tersebut merupakan bagian dari komponen psikologis,
sehingga dapat dinyatakan bahwa faktor psikologis mempunyai pengaruh terhadap
terjadinya gangguan proses persalinan (Old et al, 2000).
Proses persalinan tidak hanya bersifat somatis, akan tetapi juga bersifat
psikosomatis, sebab banyak elemen psikis ikut mempengaruhi kelancaran atau
kelambatan proses melahirkan bayi tersebut. Peristiwa melahirkan bayi secara
simultan menimbulkan banyak ketegangan, ketakutan, kecemasan, dan emosi-
emosi penting lainnya. Pada proses melahirkan bayi pengaruh-pengaruh psikis bisa
menghambat dan memperlambat proses kelahiran atau bisa juga mempercepat
kelahiran bayi, maka fungsi biologis dari reproduksi itu sangat dipengaruhi oleh
kehidupan psikis dan kehidupan emosional ibu yang bersangkutan (Dahro, 2012).
2.3 Nyeri
2.3.1 Definisi Nyeri Persalinan
Nyeri persalinan adalah pengalaman subjektif tentang sensasi fisik yang terkait
dengan kontraksi uterus, dilatasi dan penipisan serviks, serta penurunan janin
selama persalinan dan kelahiran (Stright, 2004). Terdapat pernyataan yang sama
dari Arifin (2008) bahwa nyeri persalinan merupakan pengalaman subyektif tentang
sensasi fisik yang terkait dengan kontraksi uterus, dilatasi dan penipisan serviks
serta penurunan janin selama persalinan.
2.3.2 Mekanisme Nyeri Persalinan
Nyeri persalinan pada kala I persalinan disebabkan oleh dua hal yaitu, kontraksi
rahim yang menyebabkan dilatasi dan penipisan serviks serta iskemia rahim
28
(penurunan aliran darah sehingga oksigen lokal mengalami defisit) akibat kontraksi
myometrium. Impuls rasa nyeri pada kala I persalinan ditranmisi melalui segmen
saraf spinalis T11-12 dan saraf-saraf asesori torakal bawah serta saraf simpatik
lumbar atas. Saraf-saraf ini berasal dari korpus uterus dan servik. Nyeri ini mulai
dari bawah abdomen dan menyebar ke daerah lumbar punggung dan menurun ke
paha (Bobak, 2004).
Nyeri akibat perubahan servik dan iskemia rahim merupakan nyeri viseral. Pada
dasarnya, semua nyeri viseral dijalarkan melalui serabut saraf nyeri kecil tipe C,
sehingga hanya dapat menjalarkan rasa nyeri tipe pegal dan pedih. Nyeri viseral
akibat iskemia rahim terbentuk dari produk akhir metabolik yang asam atau produk
yang dihasilkan oleh jaringan, seperti bradykinin dan enzim proteolitik atau bahan
lain yang merangsang ujung saraf nyeri. Nyeri yang timbul akibat viskus spastik
dicetuskan dalam bentuk kram dengan rasa nyeri yang menghebat dan kemudian
menghilang. Proses ini berlanjut secara berulang, timbulnya setiap beberapa menit
sekali. Timbulnya siklus berulang tersebut disebabkan oleh perulangan kontraksi
otot polos (Guyton & Hall, 2007). Biasanya ibu mengalami rasa nyeri ini hanya
selama kontraksi dan bebas dari rasa nyeri pada interval antara kontraksi (Bobak,
2004).
2.3.3 Komponen Rasa Nyeri Persalinan
Rasa nyeri memiliki tiga komponen yaitu stimulus (penyebab nyeri), ambang nyeri
(tingkat dimana intensitas nyeri terasa), dan reaksi (bagaimana seseorang
menginterpretasikan nyeri dan berespon terhadap nyeri tersebut) (Farrer, 2001).
29
Stimulus nyeri dalam persalinan tidak dapat dihilangkan. Beberapa abnormalitas
seperti malpresentasi, dapat meningkatkan atau memperpanjang stimulus tersebut
sehingga menambah potensi keluhan nyeri. Ambang nyeri dalam persalinan dapat
diturunkan oleh rasa takut, kurangnya pengertian dan berbagai permasalahan
jasmani seperti demam, kelelahan, asidosis dehidrasi, ketegangan. Reaksi ini
tergantung pada kepribadian, kondisi emosional serta tingkat pemahaman pasien,
latar belakang kultural, keluarga serta pendidikannya, dan pengalaman sebelumnya
(Farrer, 2001).
2.3.4 Pengukuran Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh
individu (Tamsuri, 2006). Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang
dipengaruhi oleh psikologis, kebudayaan, dan hal lainnya. Ada beberapa metode
yang digunakan untuk mengukur intensitas nyeri tersebut, antara lain:
1) Verbal Rating Scale (VRS)
Metode ini suatu word list untuk mendeskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien
diminta memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri
yang dirasakan dari word list yang ada. Metode ini dapat digunakan untuk
mengetahui intensitas nyeri saat pertama kali muncul hingga tahap penyembuhan.
Penilaian ini terbagi menjadi beberapa kategori nyeri, yaitu: tidak nyeri (none),
nyeri ringan (mild), nyeri berat (servere), nyeri sangat berat (very severe) (Benzon,
2005).
30
2) Numerical Rating Scale (NRS)
Metode ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas
nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari
0-10, 0 menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan 10 menggambarkan nyeri berat
(Benzone, 2005). Skala ini merupakan skala paling efektif yang digunakan saat
mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapiutik (Potter & Perry,
2005). Skala numerik dapat digunakan mulai anak-anak usia dari 9 tahun, dewasa
hingga tua (McCaffery dan Beebe, 1993 cit National Institut of Health Grant
Magnuson Clinical Centre, 2003). Penilaian dengan menggunakan skala numeric
ini dapat dibagi menjadi beberapa kategori nyeri yaitu: tidak nyeri (0), nyeri ringan
(1-3), nyeri sedang (4-6), nyeri berat (7-9), nyeri yang tidak tertahankan (10) (Potter
& Perry, 2005).
3) Visual Analogue Scale (VAS)
Metode VAS sering digunakan dalam mengukur intensitas nyeri. Metode ini
menggunakan garis panjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri
sampai nyeri yang sangat berat. Keuntungan menggunakan metode ini adalah
sensitive untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan
dikerjakan, serta dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya
adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah delapan tahun dan mungkin
susah diterapkan pada pasien nyeri hebat (Potter & Perry, 2005).
31
2.3.5 Nyeri Persalinan Kala I
Pada kala satu persalinan terjadi dilatasi dan penipisan servik. Mekanisme
membukanya servik berbeda antara primipara dan multipara. Pada primipara
ostium uteri internum akan membuka lebih dahulu, sehingga servik akan mendatar
dan menipis. Baru kemudian ostium uteri eksternum membuka. Pada multipara
ostium uteri internum dan eksternum membuka secara bersamaan. (Winkjosastro,
2007).
Dilatasi servik primipara pada kala I fase aktif 1,2 cm/jam, sedangkan pada
multipara 1,5 cm/jam. Rata-rata durasi total kala I persalinannya berkisar 3,3 jam
sampai 19,7 jam pada primipara dan 0,1 jam sampai 14,3 jam pada multipara.
Durasi persalinan yang semakin panjang atau lama, membuat ibu merasa semakin
letih. Hal ini membuat peningkatan nyeri seperti suatu lingkaran setan (Bobak,
2004)
2.3.6 Penatalaksanaan Nyeri Persalinan
Penatalaksanaan nyeri persalinan meliputi penatalaksanaan farmakologi dan non
farmakologi (Bobak, 2004)
1) Penatalaksanaan Nyeri Farmakologi
Pengontrolan farmakologi terhadap nyeri persalinan pada kala satu meliputi
analgesia sitemik dan anastesia blok saraf. Yang termasuk analgesia sistemik yaitu
senyawa analgesic narkotik, senyawa antagonis-agonis narkotik campuran, agens
pembangkit efek analgesic. Sedangkan yang termasuk anastesia blok saraf yaitu
32
analgesia epidural lumbar dan blok paraservikal. Pemberian analgesia sistemik
harus dengan hati-hati kepada wanita yang mengalami ketergantungan substansi,
karena hal ini dapat menimbulkan gejala putus obat. Sedangkan penggunaan
analgesia epidural lumbar dapat menyebabkan hipotensi, kejang, atau paratesia,
serta ibu tidak bisa mengedan secara efektif. Anastesia blok paraservikal dapat
menimbulkan intoksikasi janin akibat penyerapan obat yang cepat, karena
kemungkinan komplikasi ini, blok paraservikal mungkin bukan metode pilihan
untuk persalinan (Bobak, 2004).
2) Penatalaksanaan Nyeri Non Farmakologi
Berbagai metode non farmakologi untuk mengontrol rasa nyeri diterapkan, yang
meliputi metode Dick-Read, metode Lamaze, metode Bradley, tehnik relaksasi dan
pernafasan, effleurage dan tekanan sacrum, yoga, umpan balik biologis, sentuhan
terapiutik, terapi aroma. Metode ini dikembangkan untuk mengurangi nyeri pada
wanita tanpa meningkatkan risiko pada janin atau pada ibu atau mempengaruhi
kemajuan persalinan (Bobak, 2004).
2.4 Terapi Musik
2.3.1 Definisi Terapi Musik
Musik adalah ilmu atau seni menyusun nada atau suara di urutan, kombinasi, dan
hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi yang mempunyai kesatuan dan
kesinambungan. Nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga
mengandung irama, lagu, dan keharmonisan terutama yang menggunakan alat-alat
33
yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi tersebut (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2008).
Terapi musik merupakan serangkaian aktivitas terapiutik dengan menggunakan
media musik yang bertujuan memperbaiki, memelihara, mengembangkan mental,
fisik, dan kesehatan emosi (Djohan, 2009). Menurut Federasi Terapi Musik Dunia
(WMFT) terapi musik adalah “penggunaan musik dan/atau elemen musik (suara,
irama, melodi dan harmoni) oleh seorang terapis musik yang telah memenuhi
kualifikasi, terhadap pasien atau kelompok dalam proses membangun komunikasi,
meningkatkan relasi interpersonal, belajar, meningkatkan mobilitas,
mengunakapkan ekspresi, menata diri atau untuk mencapai berbagai tujuan terapi
lainnya. Proses ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosi, mental,
sosial maupun kognitif, dalam rangka upaya pencegahan, rehabilitasi, atau
pemberian perlakuan” Djohan (2006).
2.3.2 Fisiologi Dasar Terapi Musik
Musik sebagai gelombang suara diterima dan dikumpulkan oleh daun telinga
kemudian masuk ke dalam meatus akustikus eksternus hingga ke membran timpani.
Menbran timpani bersama dengan rantai osikule dengan aksi hidrolik dan
mengungkit, memperbesar energi bunyi menjadi 25-30 kali (rata-rata 27 kali) untuk
menggerakkan medium cair perilimf dan endolimf. Kemudian getaran diteruskan
ke organ korti dalam kokhlea dimana getaran akan diubah dari sistem konduksi ke
sistem saraf melalui nervus auditorius (N. VIII) sebagai impuls saraf (Prasetyo,
2009).
34
Impuls saraf terdiri dari suatu gelombang depolarisasi membran yang disebut
Potensial Aksi dan merambat sepanjang sel saraf. Impuls saraf diteruskan menuju
korteks auditorius kemudian jaras berlanjut ke sistem limbik. Dari korteks limbik,
jaras pendengaran dilanjutkan ke hipokampus dimana tempat salah satu ujung
hipokampus berbatasan dengan nuklei amigdaloid (Prasetyo, 2009).
Amigdala yang merupakan area perilaku kesadaran yang bekerja pada tingkat
bawah sadar, menerima sinyal dari korteks limbik kemudian menjalarkannya ke
hipotalamus. Hipotalamus yang merupakan tempat pengaturan sebagian fungsi
vegetative dan fungsi endokrin tubuh seperti pengarturan aspek perilaku emosional,
meneruskan jaras pendengaran ke formatio retikularis sebagai penyalur impuls
menuju serat saraf otonom. Serat saraf tersebut mempunyai dua sistem saraf yaitu
sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Kedua sistem saraf ini
mempengaruhi kontraksi dan relaksasi organ-organ. Relaksasi dapat merangsang
pusat rasa ganjaran sehingga timbul ketenangan (Prasetyo, 2009). Midbrain sebagai
ejektor dari rasa rileks dan ketenangan akan mengeluarkan gamma amino butyric
acid (GABA), enkhephalin, beta endorphin. Zat tersebut dapat menimbulkan efek
analgesia yang akan mengeliminasi neurotransmitter rasa nyeri pada pusat tingkat
dan interpretasi sensorik somatik otak (Prasetyo, 2009).
2.3.3 Manfaat Terapi Musik
Terapi musik merupakan salah satu terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah ataupun kekurangan dalam aspek fisik, emosi, kognitif, dan sosial baik
pada anak-anak maupun dewasa, dengan demikian terapi musik dapat dikatakan
35
sebagai terapi yang bersifat humanistik (Djohan, 2006). Secara umum terapi musik
digunakan untuk memperbaiki kesehatan fisik, interaksi sosial, hubungan
interpersonal, ekspresi emosi, dan meningkatkan kesadaran diri (Djohan, 2009).
Terdapat beberapa manfaat terapi musik menurut Pusat Riset Terapi Musik dan
Gelombang Otak diantaranya: (a) relaksasi, mengistirahatkan tubuh dan pikiran; (b)
meningkatkan kecerdasan; (c) meningkatkan motivasi; (d) pengembangan diri; (e)
meninngkatkan kemampuan mengingat; (f) kesehatan jiwa; (g) mengurangi rasa
sakit; (h) menyeimbangkan tubuh; (i) meningkatkan kekebalan tubuh.
2.3.4 Durasi Terapi Musik
Waktu yang diperlukan dalam pemberian terapi musik untuk menghasilkan efek
yang diinginkan belum memiliki pedoman yang baku. Menurut Kate Mucci &
Richard Mucci (2004) pemberian terapi musik dengan jenis musik yang tepat tidak
akan membahayakan meskipun dalam jangka waktu agak lama, bahkan terapi
musik yang diberikan dalam jangka waktu singkat sudah dapat menghasilkan efek
terapiutik atau efek positif bagi klien. Musik dapat di dengarkan selama 10 menit
atau lebih untuk dapat membuat seseorang rileks. Tubuh memiliki ritme tersendiri,
musik dengan tempo konstan dan melodi sederhana yang diulang secara teratur
dapat memberikan efek rileks pada pasien (Mucci, 2004). Pada penelitian yang
dilakukan Ferrer (2007) tentang efek terapi musik terhadap pengurangan
kecemasan pada pasien yang menjalani kemoterapi yang diberikan terapi musik
selama 20 menit terjadi penurunan pada kecemasan, ketakutan, kekhawatiran,
frekuensi nadi dan tekanan darah pada kelompok eksperimen yang diberikan terapi
36
musik. Sedangkan menurut Dofi (2010) terapi musik untuk setiap klien idealnya
dilakukan tidak kurang 30 menit mampu menurunkan tekanan darah, frekuensi
jantung, dan stress pada klien.
2.3.5 Jenis Musik untuk Terapi
Pemilihan jenis musik juga penting dalam memberikan efek relaksasi. Perlu diingat
bahwa musik yang dipilih hendaknya yang sederhana, menenangkan dan
mempunyai tempo yang teratur. Musik yang kurang cocok dipilih sebagai media
terapi adalah musik jazz yang rumit, heavy rock dan musik klasik yang menggelora.
Musik relaksasi merupakan musik yang sederhana, menenangkan dan mempunyai
tempo teratur yang dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengatasi stess,
cemas dan menimbulkan kondisi rileks pada seseorang. Musik relaksasi yang
terbaik adalah musik instrumental, musik alam sekitar atau musik mediatif (Mucci,
2004).
Menurut Wigram et al (2001) dalam Djohan (2009) menyebutkan elemen-elemen
musik yang dapat mempengaruhi relaksasi diantaranya: tempo yang stabil;
stabilitas atau perubahan secara bertahap pada volume, irama, timbre, pitch, dan
harmoni; testur yang konsisten; garis melodi yang terprediksi; pengulangan materi;
struktur dan bentuk yang tetap; timbre yang mantap.
Menurut Elliot et al (2011) musik yang dapat menyebabkan rileks dan mengurangi
kecemasan adalah musik instrumental yang merupakan musik yang hanya
dimainkan dengan alat-alat musik dengan harmonisasi yang indah. Subyek tidak
37
perlu berfokus pada kata-kata yang ada pada lagu dengan mendengarkan musik
instrumental hanya berfokus pada musik.
2.3.6 Teknik Pemberian Terapi Musik
Pusat Riset Terapi Musik dan Gelombang otak, membagi teknik pemberian terapi
musik menjadi 2 jenis yaitu terapi musik aktif dan terapi musik pasif.
1) Terapi musik aktif
Terapi musik aktif merupakan jenis terapi musik yang melibatkan klien secara aktif
dalam musik. Kegiatan yang termasuk terapi musik aktif antara lain bernyanyi,
belajar memainkan alat musik, menirukan nada, bahkan menciptakan lagu singkat.
Terapi jenis ini membutuhkan bimbingan dari seorang terapis yang kompeten
dalam bidang tersebut.
2) Terapi musik pasif
Terapi musik pasif merupakan pilihan terapi yang mudah, murah, dan efektif.
Kegiatan yang termasuk terapi musik pasif adalah mendengarkan musik. Terapi ini
dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan dan permasalahan yang dialami oleh
klien.
Menurut Elliot et al (2011) musik untuk mengatasi kecemasan dibagi menjadi dua
metode pendekatan yaitu pemusatan pada pasien dan pemusatan pada terapis.
Metode pemusatan pada pasien dimana pasien diminta untuk memilih musik yang
disukai kemungkinan mempunyai bias yang lebih dalam mengetahui efek musik.
Sedangkan metode pemusatan pada terapis dimana terapis yang memilih musik
yang sesuai untuk terapi yang dilakukan walaupun juga mempunyai kemungkinan
38
bias akan tetapi musik yang dipilih oleh terapis dapat mencakup keseluruhan,
mempertimbangkan karakteristik musik yang sesuai serta dapat menilai efektifitas
musik tersebut.
Menurut Lai dan Good (2005) dalam Yanti (2011) hal yang perlu dilakukan klien
saat terapi musik berlangsung sebaiknya memejamkan mata, posisi berbaring atau
duduk dengan kepala ditopang, mengikuti tempo dan irama musik serta rileks
sampai musik berhenti. Mendengarkan musik dapat dilakukan dengan
menggunakan earphones yang menutupi seluruh telinga, sehingga pasien dapat
menerima efek dari frekuensi yang ditimbulkan dalam musik tersebut. Alat
earphones dapat menghalangi suara dari luar yang menyebabkan detidakserasian
dari musik yang diperdengarkan (Mucci, 2004).
2.5 Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Kecemasan dan Nyeri
Respon sistem saraf saat terjadi cemas adalah mengaktifkan saraf simpatis yang
menimbulkan efek peningkatan tanda-tanda vital, serta kelenjar adrenal akan
mengeluarkan epinephrine dan nor epinephrine yang menyebabkan tubuh
mengambil oksigen lebih banyak sehingga dapat menimbulkan efek peningkatan
kecepatan pernapasan (Videbeck, 2008).
Musik dapat menghasilkan efek menenangkan pada aktivitas sistem saraf yang
berlebihan akibat stress dengan cara menutup stimulus pada saat terjadinya cemas
(Djohan, 2009). Saat mendengarkan musik, getaran konduksi diubah menjadi
impuls saraf di organ korti kemudian diteruskan menuju hipotalamus. Di
hipotalamus jaras pendengaran diteruskan ke formation retikularis yang sebagai
39
penyalur impuls menuju serat saraf otonom parasimpatis. Serabut saraf
parasimpatis meninggalkan medulla spinalis melalui sakral spinal, kemudian
serabut-serabut tersebut menyebar menuju jantung, kolon desenden, rectum,
kandung kemih, dan bagian bawah ureter. Kerja parasimpatis berlawanan dengan
simpatis, ujung saraf terminal parasimpatis menskresi asetilkolin yang mempunyai
efek inhibisi. Pengeluaran asetilkolin merangsang neuron postganglion
parasimpatis yang bersifat kolinergik menyebabkan penurunan kontraksi jantung
dan dilatasi pembuluh darah. Efek parasimpatis juga dapat menyebabkan
penurunan frekuensi pernapasan, penurunan produksi saliva dan kelenjar keringat
dimana meningkat pada saat respon stress. Dengan menurunnya gejala-gejala
tersebut menyebabkan timbulnya perasaan rileks. Impuls saraf yang diteruskan
menuju hipotalamus menyebabkan perangsangan yang terjadi pada bagian nucleus
ventromedial. Perangsangan pada nucleus ventromedial dapat menyebabkan
terjadinya respon tenang. Impuls saraf yang diteruskan menuju hipotalamus
mengaktifkan serabut nuklei rafe yang ada di hipotalamus bagian ventromedial
untuk mensekresikan serotonin. Pelepasan serotonin dapat menimbulkan perasaan
senang, rasa puas, dan ketenangan sehingga berperan dalam penurunan cemas
(Guyton dan Hall, 2008).
Musik yang telah masuk ke hipotalamus dan kemudian ke hipofisis akan
memberikan tanggapan terhadap emosional melalui feedback negative ke kelenjar
adrenal untuk menekan produksi hormone kortisol, epinefrin, norepinefrin, dan
dopamin sehingga menimbulkan rasa rileks (Guyton & Hall, 2008). Musik juga
dapat merangsang pengeluaran endorphin (Djohan, 2009). Endorphin memiliki
40
efek narkotika alami yaitu mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kegembiraan.
Impuls saraf yang dihasilkan saat mendengarkan musik diteruskan menuju
hipotalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF). CRF
merangsang kelenjar pituitary untuk meningkatkan produksi
Proopioidmelanocortin (POMC) sehingga produksi endorphin oleh medulla adrenal
meningkat. Endorphin yang disekresikan ke dalam peredaran darah mempengaruhi
suasana hati menjadi rileks (Ganong, 2008). Midbrain yang merupakan sistem
limbik pada bagian korteks serebri yang berfungsi sebagai ejektor dari rasa rileks
yang timbul, akan mengeluarkan gamma amino butyric acid (GABA), encephalin
dan beta endorphin. GABA merupakan neurotransmitter inhibitor, berfungsi
sebagai agens antiansietas alami tubuh (Prasetyo, 2005 & Videbeck, 2008).
Musik dapat berperan sebagai distraksi yang kuat. Intervensi musik dapat
memberikan suatu stimulus yang meningkatkan rasa nyaman. Seseorang yang
mendengarkan musik dapat memfokuskan perhatian kepada musik dari pada
pikiran-pikiran yang menegangkan atau stimuli lingkungan lainnya. Musik dapat
memecah siklus kecemasan dan ketakutan serta memindahkan perhatian pada
sensasi yang menyenangkan (Prasetyo, 2005).