22
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS
TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
2.1. Tinjauan Umum tentang Pajak
2.1.1. Pengertian Pajak
Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu
masyarakat.Tanpa ada masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak.Pajak
sebenarnya adalah utang, yaitu utang anggota masyarakat kepada
masyarakat.34Menurut Kamus Hukum35, pajak adalah pungutan wajib, biasanya
berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada
Negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli
barang, dan sebagainya. Untuk lebih memperjelas mengenai pengertian pajak, dari
beberapa literatur ditemukan pengertian pajak menurut para ahli, diantaranya :36
a. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH.
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum.
b. Prof. Dr. M.J.H Smeets
Pajak adalah prestasi pemerintahan yang terutang melalui norma-norma
umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontraprestasi, yang
34Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Op.cit, h.135Sudarsono, 2005, Kamus Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, Hal.33636 Tunggul Arshari Setia Negara, Op.cit, h.5-6
23
dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adanya
membiayai pengeluaran pemerintah.
c. DR. Soeparman Soemahamidjaja
Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Berdasarkan pada pendapat ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak
merupakan iuran wajib dari masyarakat kepada pemerintah, yang dapat
dipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah yang bersifat umum. Secara normatif, pengaturan
mengenai pajak juga diatur dalam ketentuan pada Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2007 tenang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, yang selanjutnya
disingkat UU No.28 Tahun 2007) disebutkan bahwa : “Pajak adalah kontribusi
wajib kepada Negara yang terhutang oleh pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-
unsur :
a. Iuran dari rakyat kepada Negara. Yang berhak memungut pajak hanyalahNegara, iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
24
b. Berdasarkan Undang-Undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengankekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsungdapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanyakontraprestasi individual oleh pemerintah.
d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.37
Agar dapat terlaksananya pemungutan pajak yang baik, maka diperlukan suatu
pendekatan terhadap pajak yang salah satunya dari segi hukum. Pendekatan inilah
yang sering disebut dengan hukum pajak. Pendekatan ini menitikberatkan pada
hubungan hukumnya, sehingga pajak dapat dipandang dari segi hak dan
kewajibannya. Menurut Rochmat Soemitro, pajak ditinjau dari segi hukum
didefinisikan sebagai berikut :
“Pajak (utang pajak) adalah perikatan yang timbul karena undang-undang(jadi dengan sendirinya), yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat(tatbestand) yang ditentukan dalam undang-undang, untuk membayar suatujumlah tertentu kepada Negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan, dengantidak mendapat imbalan secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakanuntuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara (pengeluaran rutin danpengeluaran pembangunan, fungsi budgeter)”.38
Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut
pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak. Ada 2 macam hukum pajak yakni :
a. Hukum pajak materiil, yaitu memuat norma-norma yang menerangkanantara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objekpajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yangdikenakan (tarif), segala sesuatu yang timbul dan hapusnya utang pajak,dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Contoh :Undang-Undang Pajak Penghasilan
b. Hukum pajak formil, memuat bentuk atau tata cara untuk mewujudkanhukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajakmateriil). Hukum ini memuat antara lain : a) Tata cara penyelenggaraan(prosedur) penetapan suatu utang pajak, b) Hak-hak fiskus untukmengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan,
37Mardiasmo, Op.cit, h.138Rochmat Soemitro, 1990,Asas dan Dasar Perpajakan I,PT. ERESCO, Bandung, h.51
(yang selanjutnya disingkat Rochmat Soemitro I)
25
perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak, c) Kewajibanwajib pajak dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan danbanding. Contoh : Ketentuan umum dan tata cara perpajakan.39
2.1.2. Jenis-jenis Pajak dan Tarif Pajak
Di Indonesia dikenal beberapa jenis pajak yang dapat dikelompokkan
menurut golongan, sifat dan lembaga pemungutnyadiantaranya : 1.) Menurut
golongannya dibagi atas pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri
oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), dan pajak tidak langsung, yaitu pajak yang
pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh :
Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 2) Menurut sifatnya dibagi atas pajak subjektif,
yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), dan
pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan
keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).40
Secara umum mengenai pembagian jenis pajak di Indonesia sendiri
didasarkan atas lembaga pemungutnya. Berdasarkan atas lembaga pemungutannya
dibedakan menjadi dua yaitu :
A. Pajak Pusat, yaitu pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui
sebuah peraturan perundang-undangan, yang wewenang pemungutannya
ada pada pemerintah pusat dan hasil dari pemungutan pajak tersebut
akandigunakan untuk membiayai pengeluaran dan pembangunan
39Mardiasmo, op.cit, h.540Mardiasmo, loc.cit.
26
pemerintah pusat.41 Pemungutan pajak pusat ini sebagian besar dikelola
oleh Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan salah satu direktorat
jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik
Indonesia, yang hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan rumah tangga
Negara pada umumnya. Pajak pusat tersebut diantaranya :
1. Pajak Penghasilan (PPh). Pajak penghasilan dapat ditarik karena
penghasilan berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan
lain sebagainya. PPh diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah beberapa
kali dengan perubahan terakhir yaitu Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu pajak yang dikenakan atas
konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah
Pabean (dalam wilayah Idonesia). Pajak ini diatur dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah dirubah beberapa
kali dengan perubahan terakhir yaitu Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009.
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), yaitu pajak yang
dikenakan atas konsumsi barang yang tergolong mewah. Beberapa
barang yang tergolong mewah yakni : barang tersebut bukanlah barang
kebutuhan pokok, barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
yang berpenghasilan tinggi, barang tersebut dikonsumsi untuk
41Marihot P. Siahaan , 2010, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Rajawali Pers,Jakarta, h.9 (yang selanjutnya disingkat Marihot P. Siahaan II)
27
menaikkan status. Pajak ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah dirubah
beberapa kali dengan perubahan terakhir yaitu Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2000.
4. Bea Materai, yaitu pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen
seperti surat perjanjian, akta notaries, serta kwitansi pembayaran, surat
berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas
jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan tentang bea materai. Pajak ini diatur dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
5. Bea Masuk, menurut ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, bea masuk adalah
pungutan negara berdasarkan undang-undang ini yang dikenakan
terhadap barang yang diimpor. Jadi tehadap barang-barang yang
diimpor ke Indonesia wajib untuk dikenakan pajak bea masuk yang
dipungut oleh pemerintah pusat.
6. Cukai, menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1995 tentang cukai disebutkan bahwa cukai adalah pungutan
negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang
mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-
28
undang ini. Yang dimaksud dengan karakteristik tersebut adalah
konsumsi akan barang yang perlu dikendalikan, peredarannya perlu
diawasi, pemakaian atas barang tersebut menimbulkan dampak negatif
bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu
pembebanan pungutan Negara demi keadilan dan keseimbangan.
Contoh : minuman-minuman yang mengandung alkohol dan hasil
tembakau seperti rokok.
B. Pajak Daerah, yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh pemerintah daerah
terhadap orang pribadi ataupun badan yang tanpa mendapatkan imbalan
atau kontraprestasi secara langsung yang seimbang, dapat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dalam hal
ini berbentuk peraturan daerah (Perda).42 Selanjutnya dalam ketentuan
Pasal 1 angka 10 UU No. 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa : “Pajak
Daerah yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada
daerah yang terhutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Untuk melaksanakan otonomi daerah secara utuh,
pemerintah pusat kemudian melakukan pengalihan beberapa pajak yang
awalnya merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah. Pemungutan pajak
daerah tersebut didasarkan atas ketentuan UU No.28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan demikian, penyelenggaraan
42Ibid.
29
pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang
seluas-luasnya, serta dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintah negara :
a. bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumberpendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaanpemerintah daerah;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dankemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah danretribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif.43
Selanjutnya pemungutan pajak daerah ini dilaksanakan oleh Dinas
Pendapatan Daerah (Dispenda) yang hasilnya akan digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan dan rumah tangga daerah, serta untuk
pembangunan daerah. Pemerintah daerah terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, sehingga untuk
melaksanakan kewenangan otonomi daerah, pajak daerah dibagi lagi
menjadi 2 (dua) yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Jenis-jenis
pajak dan tarif pajak menurut UU No.28 Tahun 2009, diantaranya :
a. Pajak Daerah Tingkat I atau Pajak Provinsi terdiri dari :
1. Pajak Kendaraan Bermotor, merupakan pajak atas kepemilikan ataupenguasaan kendaraan bermotor. Tarif pajak kendaraan bermotorpaling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dengan rincian :a) Tarif pajak kendaraan bermotor pribadi kepemilikan pertama
ditetapka paling tinggi sebesar 2%, untuk kepemilikan kedua danseterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresifpaling rendahsebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluhpersen).
b) Tarif pajak kendaraan bermotor untuk kendaraan bermotorangkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial
43 Azhari Aziz Samudra, 2015, Perpajakan di Indonesia : Keuangan, Pajak, danRetribusi Daerah, PT RajaGrafindo, Jakarta, h.52-53
30
keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, pemerintah/TNI/polri,pemerintah daerah menetapkan tarif paling rendah sebesar 0,5%(nol koma lima persen) dan paling tinggi 1% (satu persen).
c) Tarif pajak kendaraan bermotor untuk kendaraan bermotor alat-alatberat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nolkoma satu persen) dan paling tinggi 0,2% (nol koma dua persen).
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Tarif bea balik nama kendaraanbermotor pada penyerahan pertama paling tinggi 20% (duapuluhpersen), sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya sebesar1% (satu persen).
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Tarif pajak bahan bakarkendaraan bermotor ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen).
4. Pajak Air Permukaan. Tarif pajak air permukaan ditetapkan palingtinggi 10% (sepuluh persen)
5. Pajak Rokok. Tarif rokok ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluhpersen)
b. Pajak Daerah Tingkat II atau Pajak Kabupaten/Kota
1. Pajak Hotel, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluhpersen);
2. Pajak Restoran, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluhpersen);
3. Pajak Hiburan, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 35% (tiga puluhlima persen);
4. Pajak Reklame, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluhlima persen);
5. Pajak Penerangan Jalan, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10%(sepuluh persen);
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, dengan tarif ditetapkanpaling tinggi 25% (dua puluh lima persen);
7. Pajak Parkir, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 30% (tiga puluhpersen);
8. Pajak Air Tanah, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluhpersen);
9. Pajak Sarang Burung Walet, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10%(sepuluh persen)
10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dengan tarifditetapkan paling tinggi 0,3% (nol koma tiga persen);
11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dengan tarif ditetapkanpaling tinggi 5% (lima persen)
Terdapat beberapa perubahan dalam pajak daerah tersebut diantaranya
perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan untuk Pajak Kendaraan
31
Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga
mencakup kendaraan Pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga mencakup
seluruh persewaan di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga mencakup
pelayanan catering. Dan juga terdapat penambahan pajak baru bagi daerah
diantaranya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan
pajak pusat, serta Pajak Sarang Burung Walet sebagai pajak
kabupaten/kota dan Pajak Rokok yang merupakan pajak baru bagi
provinsi.
2.2. Tinjauan Umum tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB)
2.2.1. Pengertian Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Pajak BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanag
dan/atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.44 Pengertian tentang BPHTB
dapat dijumpai dalam ketetuan UU No. 28 Tahun 2009 pada Pasal 1 angka 41
disebutkan bahwa “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah
pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan”. Pada Pasal 1 angka 42
selanjutnya disebutkan bahwa “Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak
atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan”. Selanjutnya
dijelaskan lagi pada Pasal 1 angka 43 disebutkan bahwa “Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di
44Marihot P.Siahaan I, op.cit,h.40
32
atasnya, sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan
dan bangunan”.
2.2.2. Dasar Hukum Pajak BPHTB
Dasar hukum pajak tertuang dalam ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang
menyatakan bahwa “Segala pajak untuk kegunaan kas Negara berdasarkan
undang-undang”. Walaupun Pasal 23A UUD 1945 merupakan dasar hukum
pungutan pajak, tapi pada hakekatnya dalam ketentuan ini tersirat falsafah pajak.
Pajak harus berdasarkan undang-undang.45 Dengan diundangkannya pengaturan
pajak dalam suatu undang-undang, maka pajak dapat dipungut dari masyarakat
dan secara hukum pemungutan pajak tersebut telah memiliki legalitas yang
menjamin wewenang Negara dalam pemungutan pajak tersebut dari masyarakat,
serta menjamin hak dan kewajiban masyarakat dalam pemungutan pajak. Hal ini
juga berlaku pada pemungutan pajak BPHTB, dalam pemungutannya BPHTB
berdasarkan kepada dasar hukum yang jelas melalui Undang-Undang, serta
Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jendral
Pajak dan Keputusan Pejabat yang berwenang lainnya.
Mengenai dasar hukum dari pada BPHTB ini dapat dijelaskan melalui
sejarah singkat mengenai dasar hukum pemungutan pajak BPHTB sebelum di
undangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688,
yang selanjutnya disingkat UU No.21 Tahun 1997). Sebelumnya sejak tahun
45Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT.Eresco, Bandung, h.13
33
1924, setiap perolehan hak atas tanah dibebani pajak, yang disebut Bea Balik
Nama Harta Tetap, sebagaimana diatur dalam Ordonasi Bea Balik Nama Tetap
1924 (Staatblad 1924 Nomor 291). Bea Balik Nama ini dipungt atas setiap
perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia,
termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang
yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Yang dimaksud dengan harta tetap
dalam Ordonasi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas
tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan perbuatan akta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1934
Nomor 27.46 Pada tahun 1960 setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2043, yang selanjutnya disingkat UUPA), hak-hak
kebendaan yang dimaksud dalam Ordonasi tersebut tidak berlaku lagi, hal ini di
karenakan semua hak tersebut sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur
dalam UUPA sehingga Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah
tidak dipungut lagi. Dengan pertimbangan hal tersebut di atas dan sebagai
pengganti Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak
dipungut lagi sejak diundangkannya UUPA, perlu diadakan pungutan pajak atas
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan nama BPHTB dengan
membentuk Undang-Undang tentang BPHTB. Oleh karena itu, pada tanggal 29
Mei tahun 1997 diundangkanlah UU No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan
46Muhammad Rusjdi, 2005, PBB, BPHTB, dan Bea Materai, Indeks, Jakarta, h.17
34
Hak Atas Tanah dan Bangunan. Semula undang-undang ini ditetapkan mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 1998.47 Namun karena adanya gejolak moneter
yang terjadi di Indonesia, maka masa berlakunya UU No.21 Tahun 1997 ini
ditangguhkan selama 6 bulan terhitung sejak tanggal 1 Januari 1998 sampai
dengan 30 Juni 1998. Mengenai penangguhan ini diatur dalam Peratuan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 yang kemudian
ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1998.48
Selanjutnya dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap UU No.21
Tahun 1997 tersebut dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang
perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988, yang selanjutnya
disingkat UU No.20 Tahun 2000). Untuk melaksanakan otonomi daerah yang
seutuhnya sebagai bentuk nyata adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, dilakukanlah pengalihan beberapa jenis pajak
yang awalnya merupakan pemungutan pajak yang kewenangannya dilakukan oleh
pusat, kemudian dialihkan kewenangan pemungutan dan pemanfaatannya ke
pemerintah daerah. Pengalihan beberapa jenis pajak ini kemudian oleh pemerintah
diundangkan ke dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Reribusi
Daerah. Gambaran secara umum dari pengaturan mengenai objek pajak, subjek
pajak, serta tata cara perhitungan dan dasar dari pengenaan BPHTB yang terdapat
47Ibid,h.1848Marihot P.Siahaan I,op.cit,h.38
35
dalam ketentuan UU No.28 Tahun 2009, adalah sama dengan pengatuan BPHTB
sebagaimana yang diatur sebelumnya dalam UU No.21 Tahun 1997 yang
kemudian dirubah dengan UU No.20 Tahun 2000.49
2.2.3. Objek dan Subjek Pajak BPHTB
BPHTB merupakan salah satu pajak objektif atau pajak kebendaan di
mana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi objek pajak
baru kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subyek pajak.50 Sesuai dengan
ketentuan Pasal 85 ayat (1) UU No.28 Tahun 2009, yang disebutkan bahwa
“Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan hak
atas tanah dan/atau bangunan”. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang
menjadi objek pajak ada 15 (lima belas) jenis yang terbagi dalam 2 (dua)
golongan besar, yaitu yang terjadi karena pemindahan hak dan karena pemberian
hak baru.51 Pada ketentuan pasal 85 ayat (2) UU No.28 Tahun 2009 disebutkan
bahwa “Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. Pemindahan hak karena:1) Jual beli;2) Tukar menukar;3) Hibah;4) Hibah wasiat;5) Waris;6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;8) Penunjukkan pembeli dalam lelang;9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;10) Penggabungan usaha;11) Peleburan usaha;
49Harry Hartoyo dan Untung Supardi, 2010, Membedah Pengelolaan Administrasi PBBdan BPHTB, Mitra Wacana Media, Jakarta,h.24
50 Marohot P. Siahaan I,op.cit, h.5751Ibid,h.64
36
12) Pemekaran usaha;13) Hadiah.
b. Pemberian hak baru karena:1) Kelanjutan pelepasan hak; dan2) Di luar pelepasan hak.
Mengenai hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 85 ayat
(1) tersebut, hak yang menjadi objek BPHTB diantaranya :52
a. Hak Milik, yaitu suatu hak yang secara turun menurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dimiliki oleh orang pribadi atau badan-badan hukum
tertentu yang kemudian ditetapkan oleh pemerintah.
b. Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan oleh
perundang-undangan yang berlaku.
c. Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka
waktu yang ditetapkan dalam UUPA.
d. Hak Pakai, yaitu hak yang menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain,
yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputsan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-
menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
52Ibid,h.65-66
37
e. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yaitu hak milik atas satuan yang
bersifat perseorangan dan terpisah. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
meliputi pula hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama
yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
satuan yang bersangkutan.
f. Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara
lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan
tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian
dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan/atau bekerja sama dengan
pihak ketiga.
Pada ketentuan Pasal 85 ayat (4) disebutkan bahwa “Objek Pajak yang
tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh :
a. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbalbalik;
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaanpembangunan guna kepentingan umum;
c. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan denganPeraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha ataumelakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilanorganisasi tersebut;
d. Orang pribadi atau Badan karena konvensi hak atau karena perbuatanhukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. Orang pribadi atau Badan karena wakaf; danf. Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Dengan adanya ketentuan pasal tersebut, maka apabila sebuah perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan diperoleh oleh orang pribadi atau badan sebagaimana
yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 85 ayat (4), maka oleh penerima dari
38
perolehan hak atas tanah dan/atau banguan tersebut tidak dikenakan pajak
BPHTB.
Subjek pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat
subjektif. Subjek pajak pajak baru menjadi wajib pajak kalau ia sekaligus
memenuhi syarat-syarat objektif. Subjek pajak tidak identik dengan subjek
hukum, sehingga firma, perkumpulan, warisan yang belum terbagi sebagai suatu
kesatuan, dapat menjadi subjek pajak.53Sesuai dengan namanya, BPHTB adalah
pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan,
pengertian ini menunjukkan bahwa pajak dikenakan kepada pihak yang
memperoleh hak.54 Berdasarkan Pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa “Subjek
Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan”. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 86 ayat (2) disebutkan
bahwa “Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan”.
1.2.4. Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak BPHTB
Dasar pengenaan pajak BPHTB sebagaimana yang ditentukan Pasal 87
ayat (1) disebutkan bahwa “Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP)”. Dalam ketentuan Pasal 87 ayat (2) UU No.28 Tahun 2009
disebutkan bahwa “dalam hal NPOP sebagiamana yang ditentukan pada ayat (1),
adalah sebagai berikut:
53H.Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, op.cit,h.5954Ibid,h.70
39
Tabel 2.1.Tarif dan Dasar Pengenaan BPHTB
No. Sumber Perolehan hak atas Tanah dan/atauBangunan
Dasar Pengenaan Pajak
1. Jual Beli Harga Transaksi2. Tukar Menukar Nilai Pasar3. Hibah, Hibah Wasiat dan Waris Nilai Pasar4. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum
lainnyaNilai Pasar
5. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihanhak
Nilai Pasar
6. Penunjukan pembeli dalam lelang Harga transaksi yangtercantum dalam Risalah
Lelang7. Peralihan hak karena karena pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyai kekuatanhukum
Nilai Pasar
8. Pemberian hak baru atas tanah sebagaikelanjutan dari pelepasan hak
Nilai Pasar
9. Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasanhak
Nilai Pasar
10. Penggabungan, Peleburan dan PemekaranUsaha
Nilai Pasar
11. Hadiah Nilai Pasar
Meskipun terdapat lima belas jenis perolehan hak yang mempunyai NPOP
tesendiri, namun pada dasarnya hanya terdapat tiga jenis harga atau nilai yang
menjadi NPOP, yaitu harga transaksi, nilai pasar, dan harga transaksi yang
tercantum dalam risalah lelang. Menurut penjelasan Pasal 5 ayat (2) huruf a Perda
Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 yang dimaksud dengan harga transaksi
adalah harga yang terjadi dan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang
bersangkutan (dalam hal ini pembeli dan penjual). Pada penjelasan Pasal 5 ayat
(2) huruf a Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 yang dimaksud dengan
nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi
di sekitar letak tanah dan/atau bangunan. Sedangkan menurut Keputusan Menteri
40
Keuangan Nomor 304/KMK.01/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang pada
Pasal 1 angka 13 disebutkan bahwa harga transaksi yang tercantum dalam risalah
lelang adalah harga riil yang ditentukan oleh pejabat lelang atas tawaran harga
tertinggi yang diajukan oleh peserta lelang.
Dalam pengenaan pajak, untuk meringankan orang pribadi atau badan
yang menerima setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan ditentukan
dalam Nilai Objek Pajak Tidak Kena Pajak (selanjutnya disingkat NPOPTKP).
NPOPTKP adalah suatu besaran tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak.
Apabila NPOP yang menjadi dasar pengenaan pajak suatu objek BPHTB kurang
dari NPOPTKP yang ditetapkan, atas objek tersebut tidak ada BPHTB yang harus
dibayar atau tidak terhutang BPHTB. Sementara itu, apabila NPOP besarnya lebih
dari NPOPTKP yang ditetapkan, besarnya pajak terutang dihitung dari selisih
antara NPOP dan NPOPTKP.55 Dalam Pasal 87 ayat (4) UU No.28 Tahun 2009
disebutkan bahwa “Besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak”. Selanjutnya
pada ayat (5) ditentukan bahwa “Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah
wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan
pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan paling rendah
sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta). Selanjutnya NPOPTKP ini akan
ditetapkan dengan peraturan daerah oleh pemerintah daerah. Untuk penetapan
tarif pajak, menurut Pasal 88 ayat (1) tarif pajak BPHTB ditetapkan paling tinggi
55Marihot P. Siahaan I, op.cit, h.172
41
5% (lima persen) dan menurut ayat (2) penetapan tarif pajak BPHTB ini harus
ditetapkan dalam peraturan daerah.
1.2.5. Saat Terhutang Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB)
Pengaturan mengenai saat terhutangnya pajak BPHTB ditentukan dalam
ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU No.28 Tahun 2009 yaitu :
a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuatnya dan ditandatanganinya akta;b. Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanginya akta;c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;d. Hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;e. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke kantor bidang pertanahan;f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah seja tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta;h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap;i. Pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;j. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;k. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;l. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;m. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;n. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dano. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.
Pada ketentuan Pasal 90 ayat (2) ditegaskan bahwa pajak yang terhutang harus
dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana yang dimaksud dalam
ketentuan ayat (1). Jadi pelunasan pajak BPHTB dilaksanakan pada saat orang
pribadi atau badan memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
42
2.3. Tinjauan Umum tentang Jual Beli Tanah
Sebelum berlakunya UUPA, hukum tanah bersifat dualistis yaitu
berlakunya hukum tanah barat berdampingan dengan hukum adat tanah.Hukum
tanah barat berlaku bagi tanah-tanah denga hak-hak barat seperti hak eigendom,
tanah erfpacht, tanah postal, dan lain sebagainya.Sedangkan hukum adat tanah
berlaku bagi tanah-tanah yang dikenal dengan hak-hak Indonesia seperti tanah
milik, tanah usaha, tanah Bangkok, dan lain sebagainya.56Begitu juga halnya
mengenai jual beli tanah di Indonesia yang mempergunakan 2 (dua) sistem
hukum, yaitu sistem hukum barat bagi golongan Eropa dan sistem hukum adat
bagi gologan bumiputera.Hal tersebut dipengaruhi oleh sistem hukum yang
bersifat kolonial dan feodal sebagai akibat selama ratusan tahun dijajah oleh
Belanda.
Dalam masyarakat hukum adat jual beli tanah di laksanakan secara terang
dan tunai. Terang berarti perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar
dilaksanakan di hadapan kepala adat atau kepala desa, sedangkan tunai berarti
adanya dua perbuatan yang dilaksanakan secara bersamaan, yaitu pemindahan hak
atas tanah yang menjadi objek jual beli dari penjual kepada pembeli dan
pembayaran harga dari pembeli kepada penjual terjadi serentak secara
bersamaan.57 Sedangkan jual beli tanah menurut hukum barat adalah suatu
perjanjian seperti yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1457 Burgerlijk
Wetboek voor Indonesie (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yaitu : “Jual beli
56Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, LembagaDokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum UNUD, Denpasar, h.124.
57Effendi Perangin, 1994, Hukum Agraria di Indonesia : Suatu Telaah dari SudutPandang Praktisi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.15
43
adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan.” Objek dari jual beli disini adalah hak atas tanah yanga akan dijual.
Dalam praktek disebut jual beli tanah, namun hak atas tanah yang dijual, bukan
tanahnya.Memang benar dengan tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya
pembeli dapat secara sah menguasai dan mempergunakan tanah tersebut, tetapi
yang dibeli (dijual) bukan tanahnya, tetapi hak atas tanahnya.58
Setelah adanya UUPA, hukum adat menjadi dasar dari hukum tanah
Nasional.Jual beli tanah sekarang memiliki pengertian, yaitu dimana pihak
penjual menyerahkan tanah dan pembeli membayar harga tanah, maka
berpindahlah hak atas tanah itu kepada pembeli.Perbuatan hukum ini bersifat
tunai, terang dan riil.59 Tunai berarti dengan dilakukannya perbuatan hukum
tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain untuk
selama-lamanya, dengan disertai pembayaran sebagian atau seluruh harga tanah
tersebut. Terang berarti perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi.Riil
atau secara nyata adalah menunjuk kepada akta PPAT yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak.Jadi jual beli tanah secara singkat merupakan peralihan hak
atas tanah yang menjadi objek jual beli tanah telah terjadi sejak ditandatanganinya
akta jual beli di hadapan PPAT yang berwenang dan dibayarnya harga oleh
pembeli kepada penjual.
58Effendi Perangin, 1994, Jual Beli Tanah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.859Boedi Harsono, 2003, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi Pelaksanaanna, Hukum Tanah
Nasional Jilid 1, Djamban, Jakarta, h.333
44
2.4. BPHTB sebagai Sumber PAD di Kabupaten Badung
Negara Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip federalism, salah
satunya seperti otonomi daerah.Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.60Pada prinsipnya, kebijakan
otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan
yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses
desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke
pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran
kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika
dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke
tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi
daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke
daerah.61Ketentuan ini dimaksudkan bahwa daerah diberikan kebebasan untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diberikan oleh
pemerintah pusat namun masih dalam rangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 18 UUD 1945 merupakan dasar hukum pembentukan pemerintah
daerah dan penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan
yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab.Prinsip otonomi daerah
menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, yang mengandung arti bahwa
60 Pheni Chalid, 2005, Otonomi Daerah : Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik,Kemitraan, Malang, h.5
61H.M. Busrizalti, 2013, Hukum Pemda : Otonomi Daerah dan Implikasinya, TotalMedia, Yogyakarta, h.62
45
daerah diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah
pusat.Sedangkan prinsip otonomi nyata merupakan suatu prinsip bahwa dalam
menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan
kewajiban yang senyatanya telah ada dan perpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang.62Pada tahun 1956 diundangkannya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 77) bertujuan untuk pelaksanaan otonomi
yang seluas-luasnya bagi daerah-daerah yang berhak mengurus umah tangganya
sendiri, di mana pengurusan keuangan diberikan pula secara luas. Secara garis
besar undang-undang ini menetapkan 4 (empat) aturan pokok, yakni :
1. Sumber pendapatan daerah terdiri dari pajak daerah dan retribusi daerah.2. Daerah dalam hal-hal tertentu dapat diberikan subsidi, sumbangan dan
ganjaran.3. Beberapa pajak negara diserahkan sebagai pajak daerah.4. Daerah memperoleh bagi hasil dari penerimaan pajak pusat tertentu.63
Oleh karena undang-undang menekankan pada otonomi daerah, maka
penyelenggaraan keuangan daerah diatur sebagai berikut :
1. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, yata danbertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggalisumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuanganantara pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dankabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintahandaerah.
2. Dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah kernangan keuanganyang melekat pada setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangandaerah.64
62Jantje D. South, 2013, Kewenangan Daerah Mengelola Bea Perolehan Hak Atas Tanahdan Bangunan, Jurnal Hukum Universitas Sam Ratulangi vol.1 No.5, Oktober-Desember,h.80
63Azhari Aziz Samudra, op.cit, h.4164Ibid, h. 50
46
Sebagai realisasi dari pengaturan tersebut, semula kewenangan perpajakan
jenis baru merupakan kewenangan pemerintah pusat selanjutnya diserahkan
menjadi kewenangan pemerintah daerah, pada semua daerah otonom ditentukan
isi dan jenisnya adalah sama. Pengalihan kewenangan ini bertujuan untuk
meningkatkan PAD di masing-masing daerah.Peran PAD sangat penting sebagai
sumber pembiayaan pemerintah daerah, hal tersebut dikarenakan PAD merupakan
tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah. PAD merupakan pendapatan
daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleuasaan kepada daerah
dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai
perwujudan asas desentralisasi.65Adanya penyerahan kewenangan dalam
pemungutan pajak daerah menunjukkan bahwa pangkal dari otonom daerah
bukanlah pada daerah Provinsi, melainkan pada kabupaten/kota.
BPHTB sebagai salah satu jenis pajak daerah dilandasi oleh beberapa
indikator utama maupun penunjangnya seperti luas tanah sebagai objek pajak
BPHTB, transaksi tanah sebagai objek pajak BPHTB, penyerahan hak-hak tanah
dan bangunan sebagai objek pajak BPHTB, yang semuanya berintikan pada :
a. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan karena pemberian hak baru,misalnya jual beli tanah, hak mewarisi atas tanah, dan lain-lain.
b. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan karena pemberian hak baru,misalnya sebagai bentuk kelanjutan pelepasan hak.
c. Sejumlah hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA.66
65 Nurlan Darise, 2006, Pengelolaan Keuangan Daerah, PT Indeks, Jakarta, h.3866Ibid, h.81
47
Semula mengenai pajak BPHTB diatur sendiri dalam UU No.20 Tahun 2000.
Sama halnya dengan pajak BPHTB, pengaturan mengenai pajak daerah dan
retribusi daerah juga diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.Dengan adanya peralihan kewenangan dalam
pemungutan pajak, maka pemerintah pusat melakukan pembenahan terhadap
pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.Pembenahan ini
dilaksanakan dalam rangka memberikan sumbangan APBD yang lebih banyak
untuk pemanfaatan di daerah. Untuk mempermudah penggabungan serta dalam
penggolongan pajak daerah dan retribusi daerah, maka diundangkanlah UU No.28
Tahun 2009 yang merupakan pengaturan secara khusus mengenai jenis-jenis
pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, kantor pusat dalam hal ini
Direktorat Jenderal Pajak memungut BPHTB sampai dengan 31 Desember 2010,
sedangkan mulai tahun 2011, Direktorat Jenderal Pajak tidak berwenang
memungut BPHTB lagi.67Dispenda kemudian memiliki kewenangan dalam
pelaksanaan dan pengelolaan pajak BPHTB.Selanjutnya dalam pelaksanaan
pemungutan pajak BPHTB diatur dalam Peraturan Daerah sebagai bentuk payung
hukum atas kewenangan daerah dalam melakukan pemungutan pajak daerah.
Setelah adanya pengalihan pajak pusat menjadi pajak daerah, pajak
BPHTB dipercaya sebagai salah satu sumber PAD dan dapat meningkatkan local
taxing power, yang memiliki potensi cukup besar dibandingkan dari keseluruhan
67Iwan Mulyawan, 2010, Panduan Pelaksanaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah danBangunan (BPHTB) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang PajakDaerah dan Retribusi Daerah, Mitra Wacana, Jakarta, h.9
48
penerimaan pajak-pajak daerah yang ada. Pengalihan pajak BPHTB ini,
mengharuskan setiap daerah untuk mendata kembali berapa potensi pajak BPHTB
yang dimiliki daerahnya. Pada saat pajak BPHTB masih dipungut oleh pemerintah
pusat dan sebelum adanya pengalihan yang dipungut oleh pemerintah daerah,
penerimaan pajak BPHTB dibagi menjadi tiga yaitu Pemerintah Pusat
memperoleh 20% dari penerimaan, Pemerintah Provinsi memperoleh 16% dan
sisanya 64% diberikan kepada Pemerintah Daerah. Namun setelah adanya
pengalihan pajak BPHTB, penerimaan pajak BPHTB 100% atau sepenuhnya
diserahkan kepada Pemerintah Daerah sebagai salah satu sumber PAD, berikut
grafik perbandingan penerimaan pajak BPHTB sebelum dan sesudah adanya
pengalihan.
Gambar 1.
Sumber : Kementerian Keuanga Republik Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak 201268
Sebagai salah satu daerah otonom, kabupaten Badung telah menetapkan
Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 tentang BPHTB sebagai salah satu
sumber PAD. Perda tersebut mengatur mengenai dasar ketentuan dalam
68http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan, diakses pada1 April 2016
48
penerimaan pajak-pajak daerah yang ada. Pengalihan pajak BPHTB ini,
mengharuskan setiap daerah untuk mendata kembali berapa potensi pajak BPHTB
yang dimiliki daerahnya. Pada saat pajak BPHTB masih dipungut oleh pemerintah
pusat dan sebelum adanya pengalihan yang dipungut oleh pemerintah daerah,
penerimaan pajak BPHTB dibagi menjadi tiga yaitu Pemerintah Pusat
memperoleh 20% dari penerimaan, Pemerintah Provinsi memperoleh 16% dan
sisanya 64% diberikan kepada Pemerintah Daerah. Namun setelah adanya
pengalihan pajak BPHTB, penerimaan pajak BPHTB 100% atau sepenuhnya
diserahkan kepada Pemerintah Daerah sebagai salah satu sumber PAD, berikut
grafik perbandingan penerimaan pajak BPHTB sebelum dan sesudah adanya
pengalihan.
Gambar 1.
Sumber : Kementerian Keuanga Republik Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak 201268
Sebagai salah satu daerah otonom, kabupaten Badung telah menetapkan
Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 tentang BPHTB sebagai salah satu
sumber PAD. Perda tersebut mengatur mengenai dasar ketentuan dalam
68http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan, diakses pada1 April 2016
48
penerimaan pajak-pajak daerah yang ada. Pengalihan pajak BPHTB ini,
mengharuskan setiap daerah untuk mendata kembali berapa potensi pajak BPHTB
yang dimiliki daerahnya. Pada saat pajak BPHTB masih dipungut oleh pemerintah
pusat dan sebelum adanya pengalihan yang dipungut oleh pemerintah daerah,
penerimaan pajak BPHTB dibagi menjadi tiga yaitu Pemerintah Pusat
memperoleh 20% dari penerimaan, Pemerintah Provinsi memperoleh 16% dan
sisanya 64% diberikan kepada Pemerintah Daerah. Namun setelah adanya
pengalihan pajak BPHTB, penerimaan pajak BPHTB 100% atau sepenuhnya
diserahkan kepada Pemerintah Daerah sebagai salah satu sumber PAD, berikut
grafik perbandingan penerimaan pajak BPHTB sebelum dan sesudah adanya
pengalihan.
Gambar 1.
Sumber : Kementerian Keuanga Republik Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak 201268
Sebagai salah satu daerah otonom, kabupaten Badung telah menetapkan
Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 tentang BPHTB sebagai salah satu
sumber PAD. Perda tersebut mengatur mengenai dasar ketentuan dalam
68http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan, diakses pada1 April 2016
49
pemungutan pajak BPHTB serta cara menghitung dan besar pajak BPHTB yang
harus di bayar oleh wajib pajak. Mengenai implementasi pemungutan pajak
BPHTB sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Perda adalah sama dengan
yang tertuang dalam UU No.28 Tahun 2009, yaitu dalam Pasal 19 Perda
Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 yang mengatur mengenai dibentuknya
peraturan Bupati untuk mengatur tentang tata cara pembayaran dan penagihan
pajak BPHTB, sehingga oleh Bupati Badung dikeluarkanlah Peraturan Bupati
Badung Nomor 72 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemungutan BPHTB (Berita
Daerah Kabupaten Badung Tahun 2014 Nomor 72, yang selanjutnya disingkat
Perbup Badung No.72 Tahun 2014). Dengan adanya pengaturan tersendiri
mengenai BPHTB, Pemerintah Kabupaten Badung (yang selanjutnya disingkat
Pemkab Badung) telah siap dalam menggali potensi sumber PAD pada pajak
BPHTB.Sehingga dengan adanya pengaturan mengenai pajak BPHTB dapat
memaksimalkan penerimaan pajak BPHTB demi membangun Kabupaten Badung
yang lebih baik.