BAB II
TRANSPORTASI PERKOTAAN YANG BERKELANJUTAN
Secara konseptual penelitian ini didasari atas beberapa teori yang
berkaitan dengan transportasi berkelanjutan dan penentuan indikator
keberlanjutan transportasi perkotaan yang akan menggambarkan kinerja
transportasi di Kota Soreang. Berbagai teori tersebut akan dipaparkan pada
bagian ini.
2.1 Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan telah menjadi paradigma baru dalam
perencanaan pembangunan. Kata ’sustainable’ pertama kali digunakan dalam
tulisan The Limit of Growth pada tahun 1972 (Meadow et al, 1972 dalam Kurniadi,
2007) mengenai pola pembangunan manusia (human development pattern) yang
merupakan kajian mengenai pemanfaatan sumber daya global. Pada awal tahun
1970-an banyak pula diskusi lain yang mendorong untuk mempertimbangkan
kembali tren pembangunan jangka panjang teruama dalam konferensi Human
Environment yang diselenggarakan di Stockholm oleh PBB pada tahun 1973
mengenai Energy Crisis. Pemerhati etika juga berperan dalam membangun
konsep keberlanjutan pada pertengahan tahun 1970-an yang memfokuskan
pada aspek keadilan sosial. Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an konsep
pembangunan berkelanjutan diakui secara internasional dengan
dipublikasikannya laporan dari World Comission on Environment and
Development – WCED (the Brundtland Comission) pada tahun 1987 dan Earth
Summit yang diselenggarakan PBB pada tahun 1991 (Wheeler, 2000 dalam
Kurniadi, 2007:19)
Dalam laporan tersebut, Brundlant merumuskan pembangunan
berkelanjutan sebagai ’pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi
sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang’. Rumusan
tersebut pada dasarnya memuat dua konsep pokok, yaitu (1) konsep kebutuhan,
(2) gagasan keterbatasan. Konsep kebutuhan memprioritaskan pada pemenuhan
kebutuhan esensial kaum miskin dunia, gagasan keterbatasan menyangkut
keterbatasan teknologi dan organisasi sosial terhadap sumber daya lingkungan
serta oleh kemampuan biosfer mengadopsi dampak dari kegiatan manusia
(WCED, 1987:8).
Sasaran pembangunan berkelanjutan menurut Brundlant yaitu : (1)
mendorong pertumbuhan ekonomi, sekaligus mengubah kualitas pertumbuhan;
(2) memenuhi kebutuhan dasar manusia dengan memprioritaskan pada
pemenuhan kebutuhan penduduk miskin dunia dalam hal pekerjaan, pangan,
pelayanan pendidikan, perawatan kesehatan, air dan sanitasi, dan energi; (3)
menjamin tingkat pertumbuhan penduduk yang dapat dipertanggung jawabkan;
(4) mengkonservasi dan meningkatkan sumber daya dasar; (5) memadukan
pertimbangan lingkungan dan ekonomi ke dalam proses pengambilan keputusan;
(6) menyesuaikan kembali teknologi dan mengelola resiko, dan (7) mendasarkan
pengambilan keputusan dan implementasinya pada partisipasi penduduk secara
luas (Soussan, 1992:25).
Konsep pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh Brundlant
masih bersifat normatif, sedangkan aspek operasionalnya masih mengalami
kendala. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep tersebut dielaborasi oleh
para pakar ke dalam beberapa alternatif pengertian yang lebih operasional.
Istilah keberlanjutan dalam pendidikan perencanaan pun terus
berkembang. Friedmann (1996) (dalam Gunder, 2006) pertama kali menyadari
perlunya ”sustainability” dalam pendidikan perencanaan di Amerika Utara yang
diadopsi dari konsep pembangunan berkelanjutan. Proporsi pengajaran
mengenai konsep ini terus meningkat hingga saat ini. Bahkan di Inggris
pembangunan berkelanjutan lahir sebagai wacana utama selama tahun 1990-an,
terutama berkaitan dengan permintaan akan penyediaan perumahan (Murdoch
dan Abram dalam Gunder, 2006).
Definisi lain mengenai pembangunan berkelanjutan antara lain :
’Pembangunan berkelanjutan : Pembangunan yang berusaha untuk mencapai pemuasan kebutuhan manusia selamanya dan peningkatan kualitas kehidupan manusia’ (Robert Allen, How to Save the World, London: Kogan Page, 1980 dalam Jennifer A. Elliot, 1996) ’Masyarakat yang berkelanjutan adalah masyarakat yang memiliki kehidupan terus menerus dalam batasan lingkungan yang ada. Masyarakat bukan berarti masyarakat yang ’tidak berkembang’, tetapi merupakan masyarakat yang mengenali batas pertumbuhan dan mencari alternatif untuk berkembang’.(J. Coomer, Quest for a Sustainable Society, Oxford: Pergamon, 1979 dalam Jennifer A. Elliot, 1996) ‘Istilah pembangunan berkelanjutan menganjurkan bahwa nilai-nilai ekologis dapat dan harus diterapkan dalam proses ekonomi. (Michael Redclift, Sustainable Development: Exploring the Contradictions, London:
Methuen 1987 dalam Jennifer A. Elliot, 1996) ‘Pembangunan berkelanjutan tidak hanya mencakup konservasi lingkungan; namun juga merujuk pada ‘equity’ (kesamaan/keadilan). Baik intra-generasi equity yang memenuhi kebutuhan minimal pada masyarakat dan inter-generasi equity yang menjamin perlakuan adil untuk generasi mendatang yang harus menjamin perlakuan adil untuk generasi mendatang yang harus dipertimbangkan. (Elkin et al dalam Burton, 2000). ‘Pembangunan berkelanjutan didasarkan pada ketentuan bahwa ketersediaan sumber daya alam (natural capital stock) harus tidak berkurang dari waktu ke waktu’ (David Pearce, 1990 dalam Wheeler, 2000). Meskipun banyak pihak yang telah berusaha mendefinisikan
pembangunan berkelanjutan, misalnya terlalu bersifat antroposentris atau
mengutamakan konsep kebutuhan yang sangat subjektif. Definisi lain juga
mengutamakan hal ekologis yang menekankan pada konsep daya dukung
(carrying capacity), tetapi daya dukung manusia baik dalam skala regional dan
bumi secara keseluruhan sangatlah sulit untuk ditentukan. Definisi dari sudut
pandang ekonomi yang mengutamakan sumber daya alam mengalami
permasalahan dalam pengukuran sumber daya alam dan membutuhkan
kepercayaan yang sangat tinggi terhadap kemampuan konsep ekonomi dalam
mengukur nilai objek-objek non-ekonomi.
Wheeler (2000) (dalam Kurniadi, 2007 : 21) menganjurkan strategi dalam
pendefinisian pembangunan berkelanjutan sebagai ’pembangunan yang
meningkatkan kesehatan manusia dan sistem ekologis jangka panjang’.
Pendekatan ini menekankan perspektif jangka panjang dari pembangunan
berkelanjutan dengan menghindari debat mengenai daya dukung, kebutuhan,
sumber daya alam atau kondisi keberlanjutan.
Dari beberapa definisi di atas dan permasalahan yang ada, terlihat jelas
bahwa definisi yang diberikan sangat bergantung dari sudut pandang mana
suatu pihak mendefinisikan pembangunan berkelanjutan. Sudut pandang yang
seringkali digunakan adalah ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam KTT Rio de
Janerio pada tahun 1992, konsep interaksi antara tiga sistem tersebut dibahas
dan dikembangkan lebih lanjut sehingga menghasilkan kesepakatan tiga pilar
pembangunan berkelanjutan yang saling mengait dan menunjang, yakni
pembangunan ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan hidup (Soussan, 1992
(dalam Kurniadi, 2007)).
Gambar 2.1 Interaksi Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Sumber : Kurniadi, 2007
2.2 Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan
Konsep keberlanjutan dirasakan sangat penting untuk diterapkan dalam
perencanaan transportasi (Litman dan Burwell, 2004). Dapat dikatakan bahwa
transportasi berkelanjutan (sustainable transportation) merupakan refleksi
pembangunan yang berkelanjutan dalam sektor transportasi. Ada beberapa
faktor pemicu perlunya strategi transportasi berkelanjutan, yaitu :
a. Selama ini kebijakan pemerintah masih berorientasi pada pengembangan
infrastruktur jalan;
b. kurangnya kajian transportasi yang komprehensif;
c. pertumbuhan cepat dalam era ekonomi global lebih menuntut pelayanan
transportasi yang lebih beragam baik kualitas maupun kuantitasnya;
d. kekhawatiran akan ancaman penurunan kualitas lingkungan.
2.2.1 Definisi
Pada dasarnya, tidak terdapat satu pengertian utuh dan bersifat universal
yang dapat mendefinisikan transportasi berkelanjutan (Janic, 2005:83). Bila
KOTA
Positif secara keruangan Berwawasan lingkungan Efisien bagi transportasi
Bermanfaat dari sisi sosial Vitalitas bagi pembangunan
ekonomi
LingkunganMaksimalisasi efisiensi energi; Konservasi Sumber daya alam dan habitat; Minimalisasi kerusakan bencana
Ekonomi Mendorong eksistensi ekonomi lokal; Ketersediaan kesempatan kerja.
Sosial Meningkatkan kualitas hidup; Mendorong kesetaraan sosial.
dikaitkan dengan pengertian pembangunan berkelanjutan, konsep transportasi
yang berkelanjutan pada dasarnya merupakan pengembangan perkotaan dan
sistem transportasinya secara berkelanjutan dengan tidak merugikan generasi
yang akan datang.
Center of Sustainable Transport di Kanada (CST, 1999) mendefenisikan
transportasi berkelanjutan sebagai suatu sistem transportasi yang dapat : (a)
menciptakan keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dengan ekosistem
yang sehat; (b) terjangkau, beroperasi secara efisien, menawarkan berbagai
pilihan moda transportasi dan mendukung pembangunan regional; (c) membatasi
emisi dan pembuangan agar tidak melampaui kemampuan bumi dalam
menyerapnya, meminimalisasi dampak penggunaan lahan dan polusi suara.
Tujuan transportasi berkelanjutan berdasarkan definisi ini adalah untuk menjamin
keterlibatan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dalam merumuskan kebijakan
dalam sektor transportasi.
Definisi transportasi berkelanjutan juga dikemukakan oleh Organization of
Economic Cooperation and Development dan National Round Table on the
Environment and the Economy (OECD,1996; NRTEE,1996) yang mendefinisikan
keberlanjutan transportasi dalam 3 aspek yakni ; (a) lingkungan : transportasi
yang tidak membahayakan kesehatan publik dan ekosistem serta menyediakan
sarana mobilitas dengan memanfaatkan sumber daya yang dapat diperbaharui
atau dengan kata lain transportasi yang tidak menimbulkan polusi air, udara dan
tanah dan menghindari penggunaan sumberdaya yang berlebihan; (b) ekonomi :
transportasi yang dapat menjamin pemenuhan biaya transportasi melalui
pembebanan ongkos yang layak bagi masyarakat pengguna sarana transportasi
dan dapat mewujudkan keadilan dalam sistem transportasi; (c) sosial :
transportasi yang dapat meminimalisasi tingkat kebisingan, kecelakaan, waktu
tempuh, kerugian akibat kemacetan, dan dapat meningkatkan keadilan sosial
dan tingkat kesehatan dalam komunitas (transportasi yang dapat mendukung
terwujudnya lingkungan sosial yang sehat, komunitas yang layak untuk didiami
dan kaya akan modal sosial)
Berdasarkan definisi tersebut, OECD mengindikasikan bahwa tujuan dari
transportasi berkelanjutan adalah menjamin ketersediaan akses, pelayanan, dan
penyediaan sarana yang tidak menggunakan sumberdaya yang membahayakan
lingkungan dan menjamin terwujudnya keadilan bagi masyarakat (OECD:1996).
Transportasi berkelanjutan juga dapat didefinisikan sebagai suatu sistem
transportasi yang penggunaan bahan bakar, emisi kendaraan, tingkat keamanan,
kemacetan, serta akses sosial dan ekonominya tidak akan menimbulkan dampak
negatif yang tidak dapat diantisipasi oleh generasi yang akan datang (Richardson,
1999).
Transportasi yang berkelanjutan merupakan sistem transportasi yang
dapat meminimalisasi dampak terhadap aspek lingkungan, ekonomi dan sosial
dengan memanfaatkan energi dan spasial yang efisien. Keefisienan energi dapat
terwujud melalui pengoptimalan penggunaan energi yang dapat diperbaharui
dalam bidang transportasi atau penggunaan sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui secara efektif misalnya melalui proses transit dan ridesharing.
Sedangkan tingkat efisien dalam aspek spasial dapat dicapai melalui
pemanfaatan lahan secara efektif, mendorong terwujudnya mix used zoning
sehingga dapat meningkatkan akses (Ciuffini, 1995). Oleh karena itu transportasi
berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan akses (bagi semua level mobilitas),
tingkat keamanan, kelestarian lingkungan, kekuatan ekonomi dan mampu
mempersingkat waktu perjalanan (Remiz, 1998)
Lee (Leslee Hamilton, 2002) mendefinisikan transportasi berkelanjutan ke
dalam 5 prinsip yakni : (a) efisien dan seimbang dalam 3 aspek baik ekonomi,
lingkungan dan sosial; (b) self sustain, konsumen sebagai benefator mampu
membayar biaya pengoperasian dan pengembangan sektor transportasi;
(c) mengembangkan moda transportasi yang lebih ramah lingkungan;
(d) meminimalisasi penggunaan kendaraan bermotor; (e) meminimalisasi tingkat
perjalanan; (f) Lebih ramah lingkungan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
transportasi berkelanjutan merupakan sistem transportasi yang berkelanjutan
dalam tiga aspek yaitu lingkungan, ekonomi dan sosial. Keberlanjutan dalam
aspek lingkungan ditandai dengan adanya sistem transportasi yang mampu
meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan, membatasi emisi dan
buangan sesuai dengan kemampuan absorbsi alam, dan meminimalkan
penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Keberlanjutan dalam
aspek ekonomi berkaitan dengan keterjangkauan (akses) masyarakat terhadap
transportasi, keefisienan dan ketersediaan moda transportasi bagi masyarakat.
Sedangkan keberlanjutan dalam aspek sosial lebih ditekankan pada prinsip
keamanan dan perwujudan komunitas yang sehat dan layak huni. Dengan kata
lain, sustainable transport sebagai bagian dari sustainable development secara
umum dikembangkan melalui tiga syarat, yaitu peningkatan kesejahteraan
ekonomi masyarakat (economy), meminimasi dampak pembangunan terhadap
lingkungan hidup (environment), serta keberlanjutan sumber daya (equity).
2.2.2 Aspek dalam Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan
Berpedoman pada definisi transportasi berkelanjutan yang dikemukakan
pada bagian sebelumnya, pada dasarnya terdapat tiga aspek dalam transportasi
berkelanjutan yakni keberlanjutan dalam aspek lingkungan, sosial dan ekonomi.
2.2.2.1 Aspek Lingkungan
Keberlanjutan transportasi dalam aspek lingkungan dapat diidefinisikan
dalam hal membatasi emisi dan buangan agar tidak melampaui kemampuan
absorbsi bumi, meminimumkan penggunaan energi dari sumber yang tak
terbarukan, menggunakan komponen yang terdaur ulang, dan meminimalisasi
penggunaan lahan serta memproduksi polusi suara yang sekecil mungkin (CST,
1999) atau transportasi yang tidak membahayakan kesehatan publik dan
ekosistem dan menyediakan sarana mobilitas dengan memanfaatkan sumber
daya yang dapat diperbaharui. Dengan kata lain transportasi yang tidak
menimbulkan polusi air, udara dan tanah dan menghindari penggunaan
sumberdaya yang berlebihan (OECD,1996; NRTEE,1996).
Beberapa hal yang akan dilihat lebih lanjut yang berkaitan dengan
keberlanjutan transportasi dalam aspek lingkungan ini antara lain pencemaran
udara, tingkat kebisingan, polusi air, tingkat penggunaan sumber daya yang tidak
dapat diperbaharui, penurunan kualitas lahan, dan kerusakan ekosistem yang
ditimbulkan dari sektor transportasi (Litman, 2005).
2.2.2.2 Aspek Sosial
Dalam aspek sosial, keberlanjutan transportasi perkotaan dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem yang menyediakan akses terhadap kebutuhan
dasar individu atau masyarakat secara aman dan dalam cara yang tetap
konsisten dengan kesehatan manusia dan ekosistem, dan dengan keadilan
masyarakat saat ini dan masa datang (CST, 1999) atau transportasi yang dapat
meminimalisasi tingkat kebisingan, kecelakaan, waktu tempuh, kerugian akibat
kemacetan, dan dapat meningkatkan keadilan sosial dan tingkat kesehatan
dalam komunitas (transportasi yang dapat mendukung terwujudnya lingkungan
sosial yang sehat, komunitas yang layak untuk didiami dan kaya akan modal
sosial) (OECD,1996; NRTEE,1996).
Keberlanjutan transportasi perkotaan dalam aspek sosial dapat dilihat
melalui dampak sosial yang timbul akibat sistem transportasi yang ada. Dampak
sosial ini berkaitan dengan kesetaraan (equity), kesehatan manusia, interaksi
dalam suatu komunitas, nilai dan tradisi budaya dan unsur estetika (Forkenbrock
dan Weisbrod, 2001; Litman, 2004; VTPI, 2005).
2.2.2.3 Aspek Ekonomi
Keberlanjutan transportasi dalam aspek ekonomi adalah transportasi
yang terjangkau, beroperasi secara efisien, mampu menyediakan berbagai
alternatif pilihan moda transportasi dan mendukung laju pertumbuhan ekonomi
(CST, 1999) atau transportasi yang dapat menjamin pemenuhan biaya
transportasi melalui pembebanan ongkos yang layak bagi masyarakat pengguna
sarana transportasi (OECD,1996; NRTEE,1996)
Secara umum pembangunan ekonomi menyangkut peningkatan
pendapatan, ketenaga kerjaan, produktivitas dan kesejahteraan sosial. Hal ini
juga terkait dengan sektor transportasi. Bagian yang akan dilihat untuk
mengidentifikasi keberlanjutan transportasi dalam aspek ekonomi berhubungan
dengan ketersediaan moda, aksesibilitas, dan besarnya biaya yang harus
dikeluarkan untuk sektor transportasi (Litman, 2005).
2.2.3 Penerapan Konsep Transportasi Berkelanjutan di Negara
Berkembang
Penerapan konsep transportasi berkelanjutan di negara berkembang
masih menghadapi tantangan besar. Meskipun demikian, beberapa kota di
negara berkembang telah banyak yang menerapkan konsep transportasi
berkelanjutan dalam pembangunan wilayahnya. Salah satunya, Kota Curitiba,
Brazil menunjukkan adanya usaha mengadopsi konsep ini dengan beberapa
penyesuaian. Curitiba merupakan sebuah kota di Brazil yang merupakan ibukota
Parana. Wilayah metropolitan Curitiba menjadi salah satu wilayah perkotaan
yang berkembang pesat selama 30 tahun terakhir. Saat ini Curitiba dianggap
sebagai salah satu contoh terbaik dari perencaan kota. Pada tahun 1996, para
perencana yang hadir pada Habitat II Summit memcerikan Curitiba predikat
sebagai ’kota yang terinovatif di dunia’. Curitiba mampu mengantisipasi
perkembangan yang pesat sehingga dapat menfasilitasi pertumbuhan dengan
menyediakan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang mampu meningkatkan
kualitas hidup masyarakat kota. Antisipasi terhadap perkembangan ini dimulai
sejak tahun 1960-an. Walikota Curitiba memimpin sebuah tim Universidade
Federal do Parana yang merekomendasikan pada kontrol pertumbuhan kota
acak (urban sprawl), mengurangi kemacetan lalu lintas di pusat kota, dan
mengembangkan sistem transportasi publik (Mulyanto, 2005). Sistem infrastruktur
Curitiba membuat perjalanan bus menjadi lebih cepat dan nyaman sehingga
secara efektif mendorong orang untuk menggunakan bus, sedangkan sistem
infrastruktur sebelumnya mendorong penduduk untuk menggunakan kendaraan
pribadi (Rosyidie, 2004).
Kunci utama dalam perencanaan kota di Curitiba adalah manajemen tata
lahan dan perencanaan jaringan jalan dan transportasi. Curitiba cenderung untuk
membangun wilayah sekitar pusat kota dengan kerangka utama pembangunan
sepanjang koridor arteri. Aktivitas perkotaan tidak hanya di pusat kota tetapi juga
di wilayah sekitar karena daerah sekitarnya perlu juga untuk dibangun. Curitiba
juga membangun pusat kota menjadi kawasan kegiatan sosial dan ekonomi yang
nyaman untuk berjalan kaki dan terdapat mall, perpustakaan umum dan lain-lain
(Mulyanto, 2005). Kota Curitiba telah memberikan contoh kepada dunia suatu
model bagaimana mengintegrasikan pertimbangan transportasi berkelanjutan ke
dalam pengembangan bisnis, pengembangan prasarana dan pengembangan
masyarakat serta peningkatan kualitas lingkungan (Rosyidie, 2004).
2.3 Indikator Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan
Hal penting dalam mengidentifikasi keberlanjutan transportasi perkotaan
adalah dengan melihat karakteristik sistem transportasi berdasarkan indikator
tertentu. Indikator keberlanjutan transportasi perkotaan secara tidak langsung
dapat menggambarkan kinerja transportasi di suatu kota
2.3.1 Definisi Indikator Transportasi Perkotaan yang Berkelanjutan
Indikator merupakan sesuatu yang diukur untuk mengevaluasi sejauh
mana tujuan yang ingin dicapai dari suatu kegiatan (Litman, 2005). Indikator dapat
menggambarkan trend yang terjadi, memprediksi permasalahan, dan melihat
kinerja suatu wilayah atau organisasi. Indikator memiliki pengaruh yang cukup
signifikan dalam proses perencanaan. Karena itu, sangat penting untuk lebih
cermat dalam memilih dan menentukan indikator yang akan digunakan. Indikator
dapat digunakan untuk melihat beberapa hal, yaitu :
a. Proses perencanaan, untuk melihat apakah perencanaan dan investasi
yang dilakukan telah bersifat komprehensif, tidak bias atau inklusif;
b. Opsi dan insentif, untuk melihat apakah masyarakat mempunyai alternatif
pilihan yang cukup dan melihat tingkat keefisienan kondisi di lingkungan
masyarakat;
c. Budaya berkendara masyarakat, misalnya kepemilikan kendaraan, tingkat
perjalanan, pilihan moda;
d. Dampak fisik, misalnya emisi kendaraan, tingkat kecelakaan,
penggunaan lahan;
e. Dampak terhadap sosial dan lingkungan sekitar, misalnya tingkat
kematian dan degradasi lingkungan;
f. Dampak terhadap perekonomian, seperti penurunan produktivitas,
peningkatan beban kebutuhan masyarakat;
g. Target yang ingin dicapai.
Indikator bukanlah data, perbedaan utama antara indikator dan jenis data
yang lain adalah keterkaitan dengan kebijakan yang eksplisit. Indikator adalah
interface antara kebijakan dan data. Kaitan antara data dan indikator dapat
dilihat pada gambar 2.2. Data merupakan input dasar yang dapat digunakan
dalam perhitungan-perhitungan statistik sehingga dapt membentuk indikator-
indikator. Indikator merupakan sebuah model yang menyederhanakan subjek
yang kompleks dalam angka-angka sederhana yang dapat ditangkap dan
dimengerti oleh pengambil kebijakan dan publik. Indikator harus user driven dan
biasanya merupakan agregat secara umum, berupa angka tunggal atau rasio,
sehingga perubahan atau perbedaan nilai sebuah indikator mungkin lebih
penting bila dibandingkan dengan nilai mutlaknya. Perumusan indikator harus
mempertimbangkan ketersediaan data dan perhitungan statistik yang dapat
digunakan. Pada akhirnya gabungan komposit dari beberapa indikator-indikator
dapat membentuk indeks.
Gambar 2.2 Segitiga Data
Indeks
Indikator
Statistik
Data
Sumber : Kurniadi, 2007
2.3.2 Pertimbangan Pemilihan Indikator Transportasi Berkelanjutan
Pada dasarnya tidak semua indikator dapat dikatakan baik dan dapat
digunakan untuk melihat tingkat keberlanjutan transportasi perkotaan (Janic,
2003). Menurut Litman (2003) terdapat beberapa pertimbangan dalam memilih
indikator transportasi berkelanjutan, yaitu ;
a. Beragam (diversity) : indikator yang dipilih adalah indikator yang dapat
mencerminkan semua aspek baik ekonomi, lingkungan maupun sosial;
b. berguna (usefulness) : indikator yang dapat digunakan dalam proses
pengambilan keputusan dalam perencanaan;
c. mudah dimengerti (ease of understanding) : indikator yang mudah
dimengerti oleh ahli dan masyarakat banyak;
d. ketersediaan data dan biaya (data availability and collection cost) :
indikator yang berdasarkan pada data yang mudah diperoleh dan
tersedia;
e. dapat dibandingkan (comparability) : indikator yang dapat digunakan
sebagai bahan perbandingan dalam membuat keputusan;
f. tujuan pelaksanaan (performance targets) : indikator yang dapat
digunakan dalam pencapaian tujuan yang diinginkan.
Sementara itu, Kely (1998) mengidentifikasikan beberapa kriteria indikator
transportasi berkelanjutan yang baik, yakni :
a. Indikator dikumpulkan dengan pertimbangan ketersediaan data dan
mengandung informasi yang dibutuhkan;
b. mudah dimengerti dan tidak tumpang tindih (overlap);
c. mampu menggambarkan hal penting yang terkandung di dalamnya;
d. dapat dikumpulkan dalam waktu yang singkat;
e. dapat dijadikan bahan perbandingan dalam lingkungan geografis, skala
kegiatan dan aktor yang berbeda;
f. fleksibel;
g. relevan dengan kebijakan yang ada;
h. cakupan yang luas.
Mineta Transportation Institute (2005) mendefinisikan indikator yang baik
tersebut sebagai berikut :
a. Menggambarkan elemen dasar komunitas dan wilayah tertentu;
b. jelas, mudah dimengerti dan mudah dikomunikasikan;
c. menggambarkan nilai dan berguna untuk komunitas dan wilayah;
d. data selalu bisa dievaluasi dengan menggunakan alat ukur statistik;
e. data bersifat time series;
f. data mudah dikumpulkan dan dianalisis;
g. data berasal dari sumber yang dapat dipercaya;
h. informasi yang dikumpulkan harus didukung dengan ilmu dan
pengetahuan terkait;
i. menggunakan alat uji statistik yang tepat;
j. lebih menggambarkan output daripada input.
Dalam penelitian ini, pertimbangan pemilihan indikator lebih didasari atas
ketersediaan data, kegunaan dalam pengambilan keputusan (perumusan solusi
permasalahan transportasi), tidak tumpang tindih (overlap) dan mudah untuk
dimengerti, mengingat data yang dikumpulkan melibatkan masyarakat pengguna
jasa transportasi sebagai responden utama.
2.4 Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Perkotaan yang
Berkelanjutan
Konsep dan prinsip transportasi berkelanjutan yang telah dipaparkan di
atas telah dkembangkan oleh para peneliti hingga menurunkan indikator-
indikator transportasi perkotaan yang berkelanjutan. Dengan demikian derajat
keberlanjutan (sustainable) dari transportasi di suatu wilayah perkotaan dapat
diukur dengan menggunakan indikator-indikator tersebut. Indikator-indikator
transportasi perkotaan yang berkelanjutan yang dikembangkan oleh setiap
peneliti memiliki perbedaan penekanan dan sudut pandang karena disesuaikan
dengan latar belakang peneliti, maksud kajian dan kondisi lokal wilayah studi.
Maka dalam pengembangan indikator transportasi perkotaan yang berkelanjutan
dalam mengidentifikasi karakteristik sistem transportasi di Kota Soreang ini pun
perlu disesuaikan dengan konteks lokal wilayahnya. Pada sub bab ini akan
dibahas mengenai indikator-indikator transportasi perkotaan yang berkelanjutan
berdasarkan tinjauan literatur dan pengembangan indikator tersebut yang
digunakan dalam kajian keberlanjutan transportasi di Kota Soreang.
2.4.1 Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Perkotaan yang
Berkelanjutan Berdasarkan Tinjauan Literatur
Pada dasarnya terdapat perbedaan antara negara maju dan berkembang
dalam memandang pembangunan berkelanjutan (Mitchel, 2000). Konsep
pembangunan berkelanjutan pada negara maju cenderung lebih berorientasi
pada kelestarian lingkungan, sedangkan negara berkembang masih berkutat
pada pemenuhan kebutuhan dasar, sehingga pertimbangan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat masih memiliki prioritas tinggi dibandingkan
kelestarian lingkungan. Pertimbangan ini tentunya berlaku juga untuk sektor
transportasi.
Berbagai organisasi tingkat internasional telah mengeluarkan berbagai
bentuk indikator keberlanjutan transportasi dalam aspek ekonomi. Berikut
merupakan indikator ekonomi dalam transportasi berkelanjutan.
Tabel II.1 Kompilasi Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Berkelanjutan Dari Berbagai Literatur
Indikator Sumber
Janic, 2003
Schade, 2003
Litman, 2005
Pembina Institute, 2001
CST, 2005
WBC, 2001
TERM, 2001
SUMMA, 2005
LYON REG, 2003
OECD, 1999
EEA, 2002
WB, 2003
ORTEE, 1999
PROSPECTS, 2001
Transport demand and
intensity √ √ √ √ √ √ Accessibility √ √ √ √ √ √ Supply of transport
infrastructure and services √ √ √ √ √ √ Transport costs and prices √ √ √ √ √ √ Macroeconomic Model √ Regional Economic Model: √ Commute Time √ Land Use Mix √ √ √ √ √ Electronic communication √ Congestion delay √ Freight efficiency √ √ Delivery services √ Commercial transport √ Planning quality √ Mobility management √ Pricing reforms √ √ √ Economy, GDP and Trade √ √ √ √ √ Money, Debt, Assets and Net
Worth √ √
Income Inequality, Wealth,
Poverty and Living Wages √ Public and Household
Infrastructure √ Employment √ √ √ √ Transport activity √ √ √ √ √ User concern √ √ Social concern √ Business concern √ Productivity/Efficiency √ Costs to economy √ √ Benefits to economy √ √ Service provided √ Organization of urban mobility √ Taxation and subsidies √ √ √ Investment in transport
infrastructures √ Fuel price √ √ Expenditure for personal
mobility per person √ √ √ Paved roads √ √ √ Economic efficiency √
Sumber : Analisis Kajian Literatur, 2008
Dari berbagai indikator yang dikeluarkan oleh organisasi/ahli tersebut,
dapat disimpulkan bahwa set indikator keluaran Center for Sustainable
Transportation (CST), 2005 yang lebih lengkap. Karena indikator-indikator
tersebut terlebih dahulu dikelompokkan ke dalam beberapa kategori utama dan
telah memiliki tolok ukur indikator yang lebih jelas. Berikut merupakan set
indikator keluaran CST yang dilengkapi dengan tolok ukur pada masing-masing
indikator.
Tabel II.2 Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Perkotaan Yang Berkelanjutan
Keluaran Center for Sustainable Transportation
Kategori/Dimensi Indikator Tolok Ukur
Kondisi Ekonomi Masyarakat
● Besarnya PDRB per kapita
● Tingkat kemiskinan
● Tingkat pengangguran
● Terjadinya peningkatan jumlah PDRB tiap tahunnya (Gifford, 2004)
● Terjadinya penurunan tingkat kemiskinan tiap
tahunnya (Gifford, 2004) ● Terjadinya penurunan tingkat pengangguran tiap
tahunnya (Gifford, 2004)
Supply dan Demand
● Ketersediaan moda transportasi
● Kapasitas jaringan jalan ● Kondisi jaringan jalan
● Kapasitas terminal
● ≥ 50 % masyarakat menyatakan jumlah angkutan
yang tersedia cukup untuk mengangkut penumpang dan barang yang ada (Winston, 2003)
● ≥ 50 % masyarakat menyatakan kapasitas
jaringan jalan yang tersedia telah memadai (Winston, 2003)
● Persentase jaringan jalan dengan kondisi baik
lebih besar daripada jaringan jalan dengan kondisi rusak (Litman, 2004)
● ≥ 50 % masyarakat menyatakan kapasitas
terminal yang ada telah mencukupi (Winston, 2003)
Aksesibilitas
● Akses ke basic service
(tempat kerja, sekolah, pasar, pusat kesehatan)
● Akses untuk
mendapatkan pelayanan transportasi
● Mixed use lahan
● ≥ 50 % masyarakat menyatakan mudah untuk
menjangkau tempat kerja, sekolah, pasar dan pusat kesehatan (Winston, 2003)
● ≥ 50 % masyarakat menyatakan mudah untuk
mendapatkan pelayanan transportasi (Winston, 2003)
● Terdapatnya mixed use lahan &Terjadinya
peningkatan mixed use lahan dari tahun ke tahun. (Litman, 2004)
Aktivitas Transportasi (Transport Activity)
● Rata-rata frekuensi perjalanan harian
● Rata-rata waktu tempuh
perjalanan ● Jarak tempuh perjalanan
● Mengindikasikan tingkat tarikan antar zona (attractiveness by zone)
● Mengindikasikan tingkat kedekatan antar zona.
Biaya Transportasi (Transport Cost)
● Alokasi income yang diperoleh untuk transportasi
● Travel Cost
(ongkos/biaya perjalanan)
● Facility & Crash Cost (biaya parkir, harga bahan bakar, pajak, dan biaya pemeliharaan/perbaikan kendaraan akibat kerusakan )
● ≥ 50 % masyarakat menyatakan alokasi pengeluaran untuk sektor transportasi masih proporsional. (Winston, 2003)
● ≥ 50 % masyarakat menyatakan biaya
transportasi (travel cost, facility cost dan crash cost) yang harus ditanggung ringan dan terjangkau. (Winston, 2003)
Sumber : Kajian Literatur, 2008
Hasil dari identifikasi indikator-indikator di atas akan dijadikan acuan
dalam mengidentifikasi indikator transportasi perkotaan yang berkelanjutan
dalam aspek ekonomi yang akan digunakan lebih lanjut untuk dilihat aplikasinya
di Kota Soreang. Penyesuaian terhadap indikator –indikator ini mutlak diperlukan
dengan mempertimbangkan kondisi dan permasalahan lokal yang ada.
Pengembangan terhadap indikator-indikator juga masih perlu melihat hal-hal lain
yang menjadi acuan dalam penetapan indikator-indikator agar memiliki makna
dan relevan dengan wilayah dan studi yang dilakukan.
2.4.2 Penentuan Indikator Untuk Mengidentifikasi Kinerja Sistem
Transportasi di Kota Soreang
Seringkali dalam menentukan kebijakan perkotaan, pemerintah
menemukan kendala karena kurangnya data yang dapat dijadikan landasan
dalam pengambilan kebijakan. Kebijakan dalam hal pengelolaan pertumbuhan
kota yang terjadi begitu pesat, dimana ketersediaan sumber daya pemerintah
yang terbatas, harus dilakukan secara optimal untuk mengarahkan dan
mengantisipasi pertumbuhan dalam rangka mencari solusi permasalahan
perkotaan yang terjadi baik saat ini maupun di masa datang. Dalam melakukan
kajian transportasi perkotaan yang berkelanjutan ini dikembangkan indikator-
indikator yang sesuai dan relevan untuk digunakan dalam mengidentifikasi
karakteristik sistem transportasi di Kota Soreang.
Penentuan indikator ini merupakan hal yang penting karena pada
dasarnya pengembangan sistem indikator diperlukan dalam mengukur berbagai
macam aspek sesuai dengan kepentingannya. Jenis indikator yang umumnya
digunakan dalam kebijakan adalah :
a. Indikator Kinerja (Performance Indicators), yang mengukur aspek
kinerja organisasi, sektor atau kota-kota dan dimaksudkan untuk
mengidentifikasi departemen, distrik atau kebijakan yang mencapai tujuan
yang diinginkan.
b. Indikator Berdasarkan isu (issue-based indicators), yang dimaksudkan
untuk memberikan perhatian pada isu-isu tertentu. Contoh umum dari
indikator ini meliputi kriminalitas dan keamanan, penganguran, urban
sprawl, kualitas udara, dll.
c. Indikator kebutuhan (needs indicators), yang mengukur kebutuhan atau
kerugian, dan secara umum bertujuan untuk mengalokasikan sumber
daya untuk kelompok-kelompok yang benar-benar membutuhkan.
Indikator kemiskinan dan kerugian adalah contoh utama indikator jenis ini.
Studi ini lebih menekankan pada bentuk indikator berdasarkan kinerja
(performance indicators) yang berkaitan dengan kinerja sektor transportasi.
Pertimbangan yang digunakan dalam menentukan indikator untuk digunakan
dalam kajian ini adalah :
a. Kesesuaian dengan konsep transportasi perkotaan yang berkelanjutan
dalam aspek ekonomi
Indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini akan mengacu
pada prinsip dan konsep keberlanjutan transportasi perkotaan dalam
aspek ekonomi yang selanjutnya akan digunakan untuk melihat
karakteristik permasalahan transportasi di Kota Soreang berdasarkan
indikator tersebut. Kompilasi indikator-indikator dari berbagai sumber
yang telah diulas pada bagian sebelumnya akan dijadikan pertimbangan
utama dalam penentuan indikator yang terpilih.
b. Kesesuaian dengan konteks wilayah studi
Kondisi wilayah memiliki karakteristik berbeda satu sama lain, sehingga
dalam penentuan indikator ini dipertimbangkan pula karakteristik Kota
Soreang sehingga indikator-indikator yang digunakan dapat bermakna
dalam konteks lokal. Beberapa indikator disesuaikan agar dapat
digunakan dalam studi ini.
c. Ketersediaan data
Indikator sangat terkait erat dengan data yang tersedia dan terkumpul,
oleh karena itu ketersediaan data juga merupakan hal yang perlu untuk
dipertimbangkan. Hal ini terkait juga bahwa indikator haruslah dapat
diukur dan mudah untuk diperoleh sehingga pemutakhiran data dapat
dilakukan dengan mudah di masa datang.
Dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk mengelompokkan indikator
transportasi berkelanjutan dalam aspek ekonomi tersebut ke dalam 5 kategori.
Pengelompokan dalam 5 kategori ini lebih mengacu pada indikator yang
dikeluarkan oleh Center of Sustainable Transportation (2005), karena set
indikator yangyang dikeluarkan oleh CST ini lebih lengkap dan jelas
dibandingkan dengan set indikator yang dikeluarkan oleh ahli atau organisasi
lain. Namun set indikator dari CST ini dilengkapi terlebih dahulu disesuaikan dan
dilengkapi dengan indikator lainnya. Selain itu, hal ini didasari atas terdapatnya
beberapa indikator yang mengarah kepada kategori yang sama dan dapat
mempermudah proses analisis lebih lanjut mengingat cukup banyaknya jumlah
indikator yang dapat digunakan dan untuk mencegah terjadinya overlapping
indikator. Dalam hal ini banyak indikator yang dieliminir karena terlebih dahulu
disesuaikan dengan konteks wilayah studi.
Kategori indikator tersebut, meliputi :
a. Kondisi Ekonomi Masyarakat
b. Supply dan Demand
c. Aksesibilitas
d. Aktivitas Transportasi (Transport Activity)
e. Biaya Transportasi (Transport Cost)
2.4.2.1 Kondisi Ekonomi Masyarakat
Kondisi perekonomian masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan
sektor transportasi di suatu wilayah, begitupun sebaliknya. Masyarakat yang
memiliki kondisi perekonomian yang baik akan mempunyai daya mobilitas dan
tingkat aktivitas transportasi yang lebih tinggi. Sedangkan kondisi transportasi
yang baik secara langsung akan dapat meningkatkan taraf perekonomian
masyarakat di suatu daerah. Kondisi ekonomi masyarakat ini digambarkan
melalui 3 indikator yaitu :
a. Besarnya PDRB per kapita
Pada dasarnya jumlah PDRB per kapita memperlihatkan taraf
perekonomian masyarakat di suatu wilayah. Semakin tinggi tingkat PDRB
per kapita, semakin baik kondisi perekonomian di daerah tersebut. Dalam
hal ini, diharapkan terjadinya peningkatan jumlah PDRB perkapita pada
tiap tahunnya.
b. Tingkat kemiskinan
Kondisi ekonomi masyarakat yang baik dapat dilihat berdasarkan
rendahnya tingkat kemiskinan yang terdapat di daerah yang
bersangkutan.
c. Tingkat pengangguran
Sama halnya dengan kemiskinan, rendahnya tingkat pengangguran juga
merupakan indikator baiknya kondisi perekonomian di suatu wilayah.
2.4.2.2 Supply dan Demand
Keseimbangan Supply dan Demand menggambarkan baiknya kualitas
sarana dan prasarana sektor transportasi. Supply di sini berkaitan erat dengan
penyediaan moda transportasi, jaringan jalan dan simpul jaringan transportasi
yang akan menentukan kelancaran arus barang dan jasa, serta penghubung
antar sistem kegiatan. Dengan kata lain supply menyangkut kapasitas dan
kualitas sarana dan prasarana transportasi yang tersedia. Sedangkan demand
menunjukkan jumlah permintaan/kebutuhan transportasi yang akan diangkut.
Transportasi yang ideal pada dasarnya harus memiliki
keseimbangan/kesesuaian antara supply dan demand. Indikator yang termasuk
ke dalam kategori ini adalah :
a. Ketersediaan moda transportasi
Moda transportasi sebagai sarana utama dalam sektor transportasi harus
memiliki tingkat ketersediaan yang memadai dan mampu melayani
aktivitas pergerakan masyarakat.
b. Kapasitas dan kondisi jaringan jalan
Jaringan jalan yang tersedia di setiap kota juga harus mempunyai kondisi
dan kapasitas yang memadai sehingga mampu menampung mobilitas
yang terjadi.
c. Kapasitas terminal
Terminal sebagai simpul utama transportasi dan wadah bongkar muat
penumpang dan barang sebaiknya memiliki kapasitas yang memadai dan
mampu mendukung kelancaran aktivitas transportasi masyarakat.
2.4.2.3 Aksesibilitas
Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan
mengenai cara lokasi guna lahan berinteraksi satu sama lain, dan mudah atau
susahnya lokasi tersebut dicapai dengan sistem jaringan transportasi
(Black,1981). Konsep yang paling sederhana aksesibilitas dinyatakan dalam jarak.
Edmonds (1998) dan Parikesit, dkk (2004) menyatakan bahwa indikator
aksessibilitas adalah suatu nilai yang mengindikasikan mudah atau sulitnya
mencapai tempat tertentu. Jika jarak di antara dua tempat berdekatan maka
dikatakan aksesibilitas di antara kedua tempat tersebut tinggi, sebaliknya jika
jaraknya jauh maka aksesibilitasnya rendah.
Tingkat aksesibilitas yang akan dilihat lebih lanjut dalam penelitian ini
terdiri atas 3 indikator, yaitu:
a. Akses ke basic sevice (tempat kerja, sekolah, pasar, pusat kesehatan)
Burwell (2004) menyatakan yang lokasi yang termasuk ke dalam basic
services dalam lingkungan perkotaan adalah tempat kerja, sekolah, pasar
dan pusat kesehatan. Dalam segi aksesibilitas, sistem transportasi
dikatakan memiliki kinerja yang baik apabila masyarakatnya memiliki
akses yang mendukung ke basic service yang ada.
b. Akses untuk mendapatkan pelayanan transportasi
Produktivitas akan meningkat apabila semua lapisan masyarakat telah
mendapatkan pelayanan transportasi secara merata. Akses untuk
mendapatkan pelayanan transportasi ini dilihat berdasarkan kemudahan
bagi masyarakat untuk memperoleh layanan angkutan umum dalam
melakukan pergerakan internal dan eksternal. Pergerakan internal
merupakan pergerakan yang mempunyai zona asal dan tujuan yang
berada di dalam daerah kajian/ pergerakan yang dilakukan masyarakat di
dalam Kota Soreang. Sedangkan pergerakan eksternal merupakan
pergerakan yang mempunyai salah satu zona (asal dan tujuan) yang
berada di luar daerah kajian/ yang menghubungkan Kota Soreang
dengan daerah sekitarnya.
c. Mixed use lahan
Mixed use penting untuk dilihat dalam menentukan tingkat aksesibilitas di
suatu wilayah. Semakin banyak mixed use lahan yang terjadi, semakin
tinggi pula tingkat aksesibilitas yang ada di tempat tersebut.
Tingkat aksessibilitas dalam penelitian ini diukur berdasarkan persepsi
masyarakat sebagai pengguna jasa transportasi.
2.4.2.4 Aktivitas Transportasi (Transport Activity)
Aktivitas transportasi yang dimaksud berkaitan dengan rata-rata
pergerakan harian masyarakat, yang dilihat berdasarkan beberapa indikator :
a. Rata-rata frekuensi perjalanan
b. Rata-rata waktu tempuh
c. Jarak perjalanan
Hal ini penting untuk dilihat sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan
kebijakan dalam sektor transportasi yang akan ditetapkan.
2.4.2.5 Biaya Transportasi (Transport Cost)
Biaya transportasi menunjukkan besarnya beban yang harus ditanggung
masyarakat dalam melakukan kegiatan transportasi. Sistem transportasi yang
baik adalah yang dapat dijangkau harganya oleh seluruh masyarakat sehingga
masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan pelayanan
transportasi. Selain itu besarnya income yang dialokasikan untuk sektor
transportasi ini jumlahnya harus proporsional. Biaya transportasi ini terdiri atas 3
indikator, yaitu:
a. Alokasi income untuk transportasi
Alokasi pendapatan yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk sektor
transportasi haruslah bersifat proporsional.
b. Travel cost : Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perjalanan
(ongkos)
c. Facility & crash cost : Besarnya yang dikeluarkan untuk biaya parkir,
harga bahan bakar, pajak dan biaya yang dikeluarkan untuk
pemeliharaan / perbaikan kendaraan apabila terjadi kerusakan.
Indikator-indikator yang terdapat pada bagian di atas, selanjutnya
digunakan untuk menilai keberlanjutan sistem transportasi di Kota Soreang dalam
sektor ekonomi. Menurut Howe (2004), sektor transportasi di suatu kawasan dapat
dikatakan berkelanjutan bila memenuhi kriteria ideal pada semua indikator pada
satu set indikator yang telah dipilih untuk digunakan. Parameter yang digunakan
untuk melakukan penilaian terhadap masing-masing indikator bisa dilakukan
secara kuantitatif ataupun kualitatif tergantung pada ketersediaan data. Data
kuantitatif bisa dilihat berdasarkan trend yang terjadi. Sedangkan data kualitatif
dilihat berdasarkan persepsi masyarakat sebagai pengguna utama sarana
transportasi. Khusus untuk data kualitatif, opsi yang disediakan sebagai pilihan
bagi masyarakat harus mudah dimengerti (Litman, 2003).
Lebih lanjut, penjelasan dan rasionalitas dari indikator-indikator yang
digunakan dalam studi ini diberikan pada tabel II.3, tolok ukur indikator yang
digunakan terdapat pada tabel II.4. Sedangkan indikator-indikator yang digunakan
dalam studi ini dapat dilihat pada tabel II.5.
Tabel II.3
Rasionalitas Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Perkotaan Yang Berkelanjutan
Kategori/Dimensi Indikator* Rasionalitas
Kondisi Ekonomi Masyarakat
Keberadaan sektor transportasi akan mempengaruhi tingkat perekonomian masyarakat. Begitupun sebaliknya. Kondisi transportasi yang baik secara tidak langsung akan dapat menunjang tingkat perekonomian masyarakat tersebut. Sedangkan kondisi ekonomi masyarakat yang baik, akan dapat pula menunjang perkembangan dan kemajuan sektor transportasi di daerahnya. Kondisi ekonomi masyarakat akan dilihat berdasarkan besarnya PDRB per kapita yang ada, tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan.
Supply dan Demand
Dimensi supply demand mengukur keseimbangan antara supply yang tersedia dengan demand yang akan dilayani. Supply yang dimaksud menyangkut varietas moda baik untuk penumpang maupun barang, dan kapasitas dan kualitas infrastruktur transportasi (jalan,terminal). Sedangkan demand berkaitan dengan jumlah penumpang dan barang yang harus diangkut. Supply dan demand merupakan hal utama yang harus dilihat dalam mengukur ketersediaan sarana dan prasarana termasuk dalam sektor transportasi. Keseimbangan antara supply dan demand akan menunjukkan kinerja yang baik dari sektor transportasi.
Aksesibilitas
Aksessibilitas sangat erat kaitannya dengan sektor transportasi. Dimensi ini melihat tingkat akses ke basic service,akses untuk mendapatkan pelayanan transportasi dan ada atau tidaknya mixed use guna lahan. Semakin baik persepsi masyarakat dalam menilai akses ke basic service dan pelayanan transportasi, dan semakin banyak terdapatnya mixed use guna lahan, menunjukkan tingkat aksessibilitas yang semakin tinggi. Dengan demikian, aksessibilitas yang tinggi, menunjukkan kinerja sektor transportasi yang baik pula.
Aktivitas Transportasi (Transport Activity)
Aktivitas/kegiatan yang berkaitan dengan transportasi itu sendiri merupakan parameter penentu kebijakan yang akan dilaksanakan dalam sektor transportasi ini. Semakin tinggi aktivitas yang terjadi menyebabkan semakin tinggi pula permintaan akan kinerja sektor transportasi yang baik. Aktivitas transportasi yang dimaksud berkaitan dengan rata-rata frekuensi perjalanan, waktu/lama perjalanan, dan jarak perjalanan.
Biaya Transportasi (Transport Cost)
Transportasi juga sangat erat kaitannya dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk sektor ini. Biaya transportasi yang dimaksud menyangkut travel cost, facility cost dan crash cost. Biaya transportasi yang ideal besarnya akan terjangkau oleh masyarakat. Semakin kecil/ringan biaya transportasi yang dibebankan, akan semakin terjangkau bagi masyarakat dan alokasi income untuk sektor ini akan semakin proporsional.
Sumber : Hasil Analisis, 2008 *) : Klasifikasi kategori/dimensi secara umum mengacu pada Center for Sustainable Transportation, 2005
Tabel II.4 Rasionalitas dan Tolok Ukur Indikator Ekonomi
Dalam Transportasi Perkotaan Yang Berkelanjutan
Kategori/Dimensi Rasionalitas Indikator Tolok Ukur
Kondisi Ekonomi Masyarakat
Keberadaan sektor transportasi akan mempengaruhi tingkat perekonomian masyarakat, begitupun sebaliknya. Kondisi transportasi yang baik secara tidak langsung akan dapat menunjang tingkat perekonomian masyarakat tersebut. Sedangkan kondisi ekonomi masyarakat yang baik, akan dapat pula menunjang perkembangan dan kemajuan sektor transportasi di daerahnya
● Besarnya PDRB per kapita
● Tingkat kemiskinan
● Tingkat pengangguran
● Terjadinya peningkatan jumlah PDRB
tiap tahunnya (Gifford, 2004) ● Terjadinya penurunan tingkat
kemiskinan tiap tahunnya (Gifford, 2004) ● Terjadinya penurunan tingkat
pengangguran tiap tahunnya (Gifford, 2004)
Supply dan Demand
Supply dan demand merupakan hal utama yang harus dilihat dalam mengukur ketersediaan sarana dan prasarana termasuk dalam sektor transportasi. Keseimbangan antara supply dan demand akan menunjukkan kinerja yang baik dari sektor transportasi.
● Ketersediaan moda transportasi Angkutan penumpang (internal) Angkutan penumpang (eksternal) Angkutan barang ● Kapasitas jaringan jalan ● Kondisi jaringan jalan
● ≥ 50 % masyarakat menyatakan jumlah angkutan yang tersedia cukup untuk mengangkut penumpang dan barang yang ada (Winston, 2003)
● ≥ 50 % masyarakat menyatakan
kapasitas jaringan jalan yang tersedia telah memadai (Winston, 2003)
● Persentase jaringan jalan dengan
kondisi baik lebih besar daripada jaringan jalan dengan kondisi rusak(Litman, 2004)
● Kapasitas terminal ● ≥ 50 % masyarakat menyatakan kapasitas terminal yang ada telah mencukupi (Winston, 2003)
Aksesibilitas
Aksessibilitas sangat erat kaitannya dengan sektor transportasi. Aksessibilitas yang tinggi, menunjukkan kinerja sektor transportasi yang baik, demikian sebaliknya.
● Akses ke basic service (tempat kerja,
sekolah, pasar, pusat kesehatan)
● Akses untuk mendapatkan pelayanan
transportasi (pergerakan internal & eksternal)
● Mixed use lahan
● ≥ 50 % masyarakat menyatakan mudah untuk menjangkau tempat kerja, sekolah, pasar dan pusat kesehatan (Winston, 2003)
● ≥ 50 % masyarakat menyatakan mudah
untuk mendapatkan pelayanan transportasi (Winston, 2003)
● Terdapatnya mixed use lahan.
Terjadinya peningkatan mixed use lahan dari tahun ke tahun. (Litman, 2004)
Aktivitas Transportasi (Transport Activity)
Aktivitas/kegiatan yang berkaitan dengan transportasi itu sendiri merupakan parameter penentu kebijakan yang akan dilaksanakan dalam sektor transportasi ini. Semakin tinggi aktivitas yang terjadi menyebabkan semakin tinggi pula permintaan akan kinerja sektor transportasi yang semakin baik. Melalui aktivitas transportasi dapat mengindikasikan tingkat tarikan zona, dan tingkat kedekatan antar zona.
● Rata-rata frekuensi perjalanan harian ● Rata-rata waktu tempuh perjalanan (pergerakan internal & eksternal) ● Jarak tempuh perjalanan (pergerakan internal & eksternal)
● Mengindikasikan tingkat tarikan antar zona (attractiveness by zone)
● Mengindikasikan tingkat kedekatan
antar zona.
Biaya Transportasi (Transport Cost)
Transportasi juga sangat erat kaitannya dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk sektor ini. Biaya transportasi yang ideal, besarnya akan terjangkau oleh masyarakat.
● Alokasi income yang diperoleh untuk
transportasi ● Travel Cost (ongkos/biaya perjalanan) ● Facility & Crash Cost (biaya parkir, harga
bahan bakar, pajak, dan biaya pemeliharaan/perbaikan kendaraan akibat kerusakan )
● ≥ 50 % masyarakat menyatakan alokasi pengeluaran untuk sektor transportasi masih proporsional. (Winston, 2003)
● ≥ 50 % masyarakat menyatakan biaya
transportasi (travel cost, facility cost dan crash cost) yang harus ditanggung ringan dan terjangkau. (Winston, 2003)
Sumber : Hasil Analisis, 2008
Tabel II.5 Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Perkotaan Yang Berkelanjutan Untuk Mengidentifikasi Kinerja Sektor Transportasi di Kota Soreang
Kategori/Dimensi Indikator Keterangan
Kondisi Ekonomi Masyarakat Besarnya PDRB per kapita Data tahun terakhir (2005-2007) Tingkat pengangguran tahun 2000-2005 Tingkat kemiskinan tahun 2000-2005
Supply dan Demand
Ketersediaan moda transportasi (Angkutan penumpang (internal), Angkutan penumpang (eksternal), Angkutan barang) persepsi masyarakat Kapasitas jaringan jalan persepsi masyarakat Kondisi jaringan jalan data tahun terakhir Kapasitas terminal persepsi masyarakat
Aksesibilitas
Akses ke basic service (tempat kerja, sekolah, pasar, pusat kesehatan )
persepsi masyarakat
Akses untuk mendapatkan pelayanan transportasi (pergerakan internal, eksternal) persepsi masyarakat Mixed use guna lahan hasil observasi
Aktivitas Transportasi (Transport Activities)
Rata-rata frekuensi perjalanan per hari/persepsi masyarakat Rata-rata waktu perjalanan (pergerakan internal, eksternal) per hari/persepsi masyarakat Jarak perjalanan (pergerakan internal, eksternal) per hari/persepsi masyarakat
Biaya Transportasi (Transport Cost)
Alokasi income untuk transportasi persepsi masyarakat Travel Cost (ongkos/biaya perjalanan) persepsi masyarakat Facility & Crash Cost (biaya parkir, harga bahan bakar, pajak biaya pemeliharaan/perbaikan kendaraan)
persepsi masyarakat
Sumber : Hasil Analisis, 2008
2.5 Metode Chi Kuadrat ( Chi Square)
Untuk menganalisis hubungan antar setiap indikator yang digunakan
untuk melihat keberlanjutan transportasi perkotaan berdasarkan persepsi
masyarakat, maka perlu dilakukan pengujian secara statistik. Ada beberapa cara
untuk menguji hubungan antara dua variabel, antara lain chi kuadrat, korelasi
dan regresi (M. Sinagrimbun, 1985). Metode Korelasi dan regresi digunakan jika
datanya berbentuk interval-rasio (data yang terbilang merupakan ukuran
sebenarnya), sedangkan chi-kuadrat digunakan untuk data yang berbentuk
nominal (data yang hanya merupakan label/pembilang dari sekumpulan objek)
dan data ordinal (data yang terbilang merupakan urutan yang bermakna
tingkatan).
Hipotesis yang akan diuji dengan chi-kuadrat merupakan hipotesa
asosiatif yang menunjukkan hubungan antara dua variabel atau lebih. Asosiasi
ini menunjukkan interdependensi antar variabel yang diamati. Hipotesis yang
akan diuji berdasarkan data statistik adalah sebagai berikut :
Ho : kedua faktor bersifat bebas statistik (independen)
H1 : kedua faktor bersifat tidak bebas statistik (dependen)
Harga chi-kuadrat yang didapat kemudian dibandingkan dengan chi-
kuadrat dalam tabel. Dengan derjat kebebasan dan selang kepercayaan tertentu,
dua variabel dinyatakan independen secara statistik apabila nilai chi kuadrat
yang dihitung lebih kecil dari chi kuadrat yang diharapkan yang dapat dilihat
dalam tabel nilai chi kuadrat, dan dengan taraf signifikan yang sangat kecil. Pada
umumnya selang taraf signifikansi (taraf kesalahan 5 % maka taraf signifikan
yang terhitung harus kurang dari sama dengan 0.05). Demikian jika terjadi
sebaliknya maka dua variabel tersebut dinyatakan dependen.
Kelemahan uji chi-kuadrat adalah tidak diketahui arah hubungan (positif
atau negatif), bagaimana hubungan tersebut (linier atau non linier) dan keeratan
hubungan tersebut (M. Sinagrimbun, 1985).