III - 1
BAB III
KAJIAN TEORI, PERATURAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM
3.1 Tinjauan Teoritis
3.1.1 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
Menurut Sorensen dan Mc Creary (1990), yang dimaksud dengan Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Zone Management) adalah
pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan
(environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara
melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assessment) tentang kawasan
pesisir beserta sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di
dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian
merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai
pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini
dilaksanakan secara kontinu dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap
aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir
(stakeholders) serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir
yang mungkin ada. Oleh karena itu, untuk lebih jelasnya disampaikan beberapa
konsep dan definisi yang berkaitan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
di bawah ini.
a. Wilayah Pesisir
Definisi wilayah pesisir yang dapat dikemukakan di antaranya adalah :
• UNCED, Agenda 21, Chapter 17.3 (1992)
“Wilayah pesisir memiliki habitat yang beragam dan produktif yang
penting bagi pemukiman penduduk, pembangunan dan masyarakat lokal”
• Scura et.al. (1992)
“Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan
yang menjadi konsentrasi perhatian dan berbagai kepentingan, dimana
aktifitas manusia saling terkait dengan lingkungan daratan dan laut”
III - 2
• Chua (1993).
“Wilayah pesisir dipandang secara utuh sebagai kawasan geografis
khusus dimana fungsi produktif dan jasa lingkungannya terkait erat
dengan kondisi fisik dan sosial-ekonomi kawasan yang jauh dari batasan
fisiknya.
Hingga saat ini, belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun
demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah
suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
b. Batas Wilayah Pesisir
Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir
memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai
(long-shore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore).
Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang
sejajar dengan garis pantai relatif mudah, misalnya batas wilayah pesisir DKI
Jakarta adalah sungai Dadap di sebelah barat dan Tanjung Karawang di
sebelah Timur.
Akan tetapi, penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus
terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada kesepakatan. Dengan kata lain,
batas wilayah pesisir berbeda dari satu negara ke negara lain. Hal ini dapat
dimengerti, karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumber
daya dan sistem pemerintahan tersendiri yang khas (Dahuri, R. dan Rais, J. ,
2004 : 6).
III - 3
Berikut disajikan ilustrasi wilayah pesisir menurut Ditriech (2003) :
Gambar 3.1 Batasan Wilayah Pesisir menurut Ditriech (2003)
Berdasarkan ilustrasi gambar 3.1 di atas, dapat dijelaskan mengenai
pendekatan batas wilayah pesisir sebagai berikut :
Pendekatan penentuan batas ke arah darat:
1. Ekologis, yaitu kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut
seperti pasang surut, intrusi air laut dan percikan air gelombang
2. Administratif, yaitu batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak
definitif secara arbitrer (2 km, 20 km, dan seterusnya dari garis pantai)
3. Perencanaan, yaitu bergantung pada permasalahan yang menjadi fokus
pengelolaan wilayah pesisir
4. Pencemaran dan sedimentasi, yaitu suatu kawasan darat dimana
pencemaran dan sedimentasi yang ditimbulkan di sini berdampak pada
kawasan pesisir
Pendekatan penentuan batas ke arah laut:
1. Ekologis, yaitu kawasan perairan laut yang masih dipengaruhi proses-
proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan, seperti aliran air sungai,
limpasan air permukaan, sedimen dan bahan pencemar.
III - 4
2. Administratif, yaitu berjarak 4 mil, 12 mil, dan seterusnya dari garis pantai
3. Perencanaan, yaitu bergantung pada permasalahan (kawasan yang masih
dipengaruhi oleh dampak pencemaran, sedimentasi, atau proses-proses
ekologis)
Disamping itu, menurut Sugiharto (1976), definisi wilayah pesisir yang
digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah
darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam
air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan
perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian
laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat
seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh
kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Definisi wilayah pesisir seperti di atas memberikan suatu pengertian bahwa
ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai
kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling
berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar,
wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak
kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun
tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir.
Menurut kesepakatan internasional terakhir, wilayah pesisir didefinisikan
sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup
daerah yang masih terkena pengaruh pecikan air laut atau pasang surut, dan ke
arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Beatley et al.,
1994).
c. Potensi dan Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir
Potensi pembangunan wilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari
tiga kelompok sebagai berikut (Dahuri, R. dan Rais, J., 2004 : 81-124) :
1. Sumber daya dapat pulih (renewable resources), yang meliputi :
• Hutan mangrove
• Terumbu karang
III - 5
• Padang lamun dan rumput laut
• Sumber daya perikanan laut
• Bahan-bahan bioaktif, seperti omega-3, sunchlorela, dan lainnya yang
berpotensi besar sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetika,
pangan, dan industri bioteknologi lainnya.
2. Sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources), yakni meliputi
seluruh mineral dan geologi.
3. Jasa-jasa lingkungan (environmental services), yang sangat potensial bagi
kepentingan pembangunan dan bahkan kelangsungan hidup manusia. Jasa-
jasa lingkungan yang dimaksud meliputi : tempat rekreasi dan pariwisata,
media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan
penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim
(climate regulator), kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi),
dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya.
Adapun permasalahan pembangunan di wilayah pesisir di Indonesia secara
garis besar meliputi : (1) pencemaran, (2) degradasi habitat fisik, (3) over-
eksploitasi sumber daya alam, (4) abrasi pantai, (5) konversi kawasan lindung
menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan (6) bencana alam.
d. Pengelolaan Wilayah Pesisir
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk kepentingan pengelolaan adalah
kurang begitu penting untuk menetapkan batas-batas fisik suatu wilayah
pesisir secara kaku (rigid). Akan lebih berarti, jika penetapan batas-batas suatu
wilayah pesisir didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi
pembangunan (pemanfaatan) dan pengelolaan ekosistem pesisir dan lautan
beserta segenap sumber daya yang ada di dalamnya, serta tujuan pengelolaan
itu sendiri.
Jika tujuan pengelolaan adalah untuk mengendalikan atau menurunkan tingkat
pencemaran perairan pesisir yang dipengaruhi oleh aliran sungai, maka batas
wilayah pesisir ke arah darat hendaknya mencakup suatu daratan DAS
III - 6
(Daerah Aliran Sungai) dimana buangan limbah disini akan mempengaruhi
kualitas perairan pesisir.
Jika tujuan pengelolaan suatu wilayah pesisir adalah untuk mengendalikan
erosi (abrasi) pantai, maka batas ke darat cukup hanya sampai pada lahan
pantai yang diperkirakan terkena abrasi, dan batas ke arah laut adalah daerah
yang terkena pengaruh distribusi sedimen akibat proses abrasi, yang biasanya
terdapat pada daerah pemecah gelombang (breakwater zone) yang paling
dekat dengan garis pantai.
Dengan demikian, meskipun untuk kepentingan pengelolaan sehari-hari (day-
to-day management) kegiatan pembangunan di atas lahan atau di laut lepas
biasanya ditangani oleh instansi tersendiri, namun untuk kepentingan
perencanaan pembangunan wilayah pesisir, segenap pengaruh-pengaruh atau
keterkaitan tersebut harus dimasukkan pada saat menyusun perencanaan
pembangunan wilayah pesisir.
e. Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan
pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber
daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated)
guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam
konteks ini, ketepaduan mengandung tiga dimensi : sektoral, bidang ilmu, dan
keterkaitan ekologis.
Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas,
wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada
tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); antar tingkatan
pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai
tingkat pusat (vertical integration).
Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam
pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan
interdisiplin ilmu, yang melibatkan bidang ilmu : ekonomi, ekologi, teknik,
sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar karena wilayah pesisir
III - 7
pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang terjalin secara kompleks dan
dinamis.
Seperti diuraikan di atas, bahwa wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari
berbagai macam ekosistem (mangroves, terumbu karang, estuaria, pantai
berpasir, dan lainnya) yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri.
Perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula
ekosistem lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai
macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di
lahan atas (upland areas) maupun laut (oceans). Kondisi empiris semacam ini
mensyaratkan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu
(PWPLT) harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological
linkages) tersebut, yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir.
Mengingat bahwa suatu pengelolaan terdiri dari tiga tahap utama :
perencanaan, implementasi, dan monitoring dan evaluasi, maka jiwa/ nuansa
keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai
evaluasi.
3.1.2 Pembangunan Infrastruktur
a. Pengertian Pembangunan Infrastruktur
Infrastruktur merupakan salah sektor pembangunan yang sangat penting dalam
strategi pembangunan nasional maupun daerah. Selain pengaruhnya terhadap
pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas, pembangunan infrastruktur juga
berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan. Prasarana perhubungan yang
memadai selain akan meningkatkan produktivitas juga akan mengurangi faktor
congestion dan polusi udara yang berlebihan. Prasarana limbah dan sampah yang
mencukupi akan mengurangi secara berarti pencemaran lingkungan baik di
perkotaan maupun di perdesaan. Lebih lanjut pembangunan infrastruktur
termasuk aspek kualitasnya juga harus didasarkan atas prinsip permintaan dan
penawaran yang realistis. Pembangunan infrastruktur harus diarahkan untuk
mengatasi kelangkaan pada sektor-sektor dan wilayah yang benar-benar
membutuhkannya. Ini perlu dipahami karena selain melibatkan dana investasi
yang relatif besar, pembangunan infrastruktur juga mengandung resiko yang
III - 8
tinggi. Kesalahan dan ketidaktepatan dalam pengalokasian dapat mempengaruhi
kestabilan ekonomi makro. Infrastruktur pembangunan terdiri dari dua jenis, yaitu
infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi adalah
infrastruktur fisik baik yang digunakan dalam proses produksi maupun yang
dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Dalam pengertian ini meliputi semua
prasarana umum seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air
bersih dan sanitasi, serta pembuangan limbah. Sedangkan infrastruktur sosial
antara lain meliputi prasarana pendidikan dan kesehatan (Ramelan, 1997).
Definisi pembangunan, baik dalam wacana kontekstual teoritik maupun praktik,
relatif bervariasi bahkan tidak jarang diantara berbagai konsep dan
implementasinya satu sama lain saling bertentangan. Namun demikian, secara
umum dapat disebutkan bahwa definisi pembangunan adalah segenap upaya
(efforts) yang teratur, konsisten, bertahap, dan berkelanjutan yang dikoordinasikan
oleh pemerintah dalam kerangka penyelesaian permasalahan (problems solving) di
suatu lokasi tertentu (negara, propinsi, kabupaten, dan kota). Definisi
pembangunan juga dapat berupa kegiatan investasi. Dalam hal ini, investasi
adalah pemanfaatan sumber daya (seperti uang/dana) pada saat ini untuk
mendapatkan manfaat (termasuk keuntungan) pada masa akan datang.
Merujuk pada pengertian atau definisi mengenai infrastruktur dan pembangunan
di atas, selanjutnya pengertian pembangunan infrastruktur atau kegiatan investasi
infrastruktur adalah kegiatan memanfaatkan sumber daya pada saat ini untuk
mendapatkan manfaat berupa peningkatan kegiatan ekonomi dan sosial suatu
masyarakat pada masa akan datang.
b. Masalah dan Tantangan Pembangunan Infrastruktur
Secara umum, masalah-masalah pokok yang dihadapi oleh negara-negara
berkembang di bidang infrastruktur adalah : kekurangefisienan dalam pemberian
jasa pelayanan kepada masyarakat, kekurangmampuan dalam memelihara
prasarana yang telah ada, ketergantungan yang sangat tinggi pada dana
pemerintah, kekurangtanggapan terhadap keinginan dari pengguna jasa, dan
keterbatasan untuk memberi manfaat yang positif bagi masyarakat kurang
mampu.
III - 9
Pemeliharaan adalah salah satu kegiatan yang sangat penting terutama untuk
menjaga dan mempertahankan fungsi infrastruktur yang sudah ada. Pemeliharaan
prasarana di negara-negara berkembang umumnya kurang mendapat perhatian
yang memadai dari pemerintah. Ini dapat dilihat dari kondisi jalan yang cepat
memburuk dan kapasitas tenaga listrik yang menurun drastis.
Kekurangmampuan untuk memperhitungkan baik secara kuantitas dan kualitas
jasa infrastruktur yang diinginkan masyarakat merupakan tantangan lain yang
dihadapi negara-negara berkembang terutama yang mengalami pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Kekurangmampuan untuk memperhitungkan tenaga listrik
yang dibutuhkan misalnya telah mengakibatkan tertundanya peluang-peluang
usaha yang seharusnya dapat diraih. Agar dapat meraih peluang secara cepat,
sektor swasta harus memasang pembangkit tenaga listrik sendiri. Investasi
pembangkit tenaga listrik yang dilakukan secara terpisah akan menciptakan
banyak fixed cost yang sebenarnya dapat ditekan apabila dibangun secara terpusat.
Tantangan lain yang harus dihadapi oleh pemerintah di negara-negara
berkembang adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar infrastruktur yang
dibangun dapat dinikmati oleh masyarakat luas termasuk golongan masyarakat
kurang mampu. Ada dua kesalahpengertian yang banyak dilakukan oleh
perencana pembangunan dalam merancang kebijakan yang mampu menjangkau
masyarakat kurang mampu. Pertama, masyarakat kurang mampu sering
diidentikkan dengan ketidakmampuan untuk membeli jasa pelayanan. Survai yang
dilakukan di Brasil menunjukkan bahwa kemauan masyarakat untuk membayar
sambungan air bersih adalah empat kali lipat dari biaya yang dibutuhkan. Di
Bandung, rumah tangga miskin yang harus membeli air bersih dari pedagang
keliling ternyata membayar sekitar 60 kali lebih besar dibandingkan harga air dari
PAM dan hampir 20 kali lebih besar seperti yang terjadi di Manila dan Ho Chi
Mint. Kedua, sebagai akibat dari kesalahan cara berpikir ini kapasitas pelayanan
yang dibangun menjadi terbatas, tarif jasa prasarana ditetapkan jauh di bawah
biaya yang dikeluarkan, dan subsidi yang diberikan justru dinikmati oleh kalangan
menengah dan atas.
III - 10
3.1.3 Keterkaitan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pembangunan
Infrastruktur
Keunikan dan beragamnya sumberdaya wilayah pesisir dan laut serta interaksi
yang erat namun cukup kompleks antara lingkungan dan aktivitas manusia di
wilayah pesisir (Gambar 2) mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu, tidak terkotak-kotak atau sektoral. Secara empiris, terdapat
keterkaitan ekologis dan hubungan fungsional baik antar ekosistem di dalam
wilayah pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas.
Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir
(mangrove, misalnya), cepat atau lambat, akan mempengaruhi ekosistem lainnya.
Begitu pula halnya, jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian,
permukiman, dan lain-lain) di lahan atas dari suatu sistem DAS (daerah aliran
sungai) tidak dilakukan secara arif (berwawasan lingkungan), maka dampak
negatifnya akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir dan laut.
Gambar 3.2 Interaksi Lingkungan & Aktivitas Manusia di Kawasan Pesisir
Dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir, pusat perhatian adalah pada kawasan
interseksi (peralihan) daratan dan lautan dimana terdapat aktivitas manusia yang
berinterkasi baik dengan lingkungan lautan maupun daratan (Scura et al. 1992),
sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3.
Gambar 2. Interaksi Antara Lingkungan dan Aktivitas Manusiadi Wilayah Pesisir (Chua, 1993)
AktivitasManusia
PelayaranPengembangan
pelabuhanPerikanan
Budidaya lautEksplorasi minyak dan gas
Pariwisatarekreasi
Pembangunan perkotaaPembuangan limbah
PerlindunganPenelitian
Pemantauan
ingkunganPesisir
LINGKUNGAN FISIK
GeomorfologiArus & Pasut
IklimHidrologiGeokimia
LINGKUNGAN FISIK
Produksi biologisLokasi reproduksi
Sumberdaya hayatiKeanekaragaman
hayati
InteraksiLingkungan &
AktivitasManusia
di KawasanPesis ir
AktivitasManusia
PelayaranPengembangan
pelabuhanPerikanan
Budidaya lautEksplorasi minyak dan gas
Pariwisatarekreasi
Pembangunan perkotaaPembuangan limbah
PerlindunganPenelitian
Pemantauan
AktivitasManusia
PelayaranPengembangan
pelabuhanPerikanan
Budidaya lautEksplorasi minyak dan gas
Pariwisatarekreasi
Pembangunan perkotaaPembuangan limbah
PerlindunganPenelitian
Pemantauan
ingkunganPesisir
LINGKUNGAN FISIK
GeomorfologiArus & Pasut
IklimHidrologiGeokimia
LINGKUNGAN FISIK
Produksi biologisLokasi reproduksi
Sumberdaya hayatiKeanekaragaman
hayati
ingkunganPesisir
LINGKUNGAN FISIK
GeomorfologiArus & Pasut
IklimHidrologiGeokimia
LINGKUNGAN FISIK
Produksi biologisLokasi reproduksi
Sumberdaya hayatiKeanekaragaman
hayati
InteraksiLingkungan &
AktivitasManusia
di KawasanPesis ir
BIOLOGI
III - 11
Gambar 3.3 Interaksi Daratan, Lingkungan & Aktivitas Manusia di Kawasan
Pesisir
Dua alasan utama mengapa diperlukan pendekatan yang terpadu, dan juga
menyeluruh, dalam mengelola lingkungan dan sumberdaya pesisir, yaitu: (1)
pemanfaatan ruang dan sumberdaya wilayah pesisir, juga kegiatan serupa pada
wilayah daratan, dapat berdampak pada lingkungan pesisir; dan (2) suatu sektor
kegiatan (pemanfaatan ruang dan sumberdaya) wilayah pesisir dapat berdampak
pada sektor kegiatan wilayah pesisir lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka konsep keterkaitan pengelolaan wilayah pesisir
terpadu dengan pembangunan infrastruktur didasarkan atas definisi masing-
masing sebagai berikut :
• Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan
pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber
daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated)
guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.
• Pembangunan infrastruktur merupakan kegiatan memanfaatkan sumber daya
pada saat ini untuk mendapatkan manfaat berupa peningkatan kegiatan
ekonomi dan sosial suatu masyarakat pada masa akan datang.
Dengan demikian, pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan pembangunan
infrastruktur memiliki keterkaitan terutama berupa :
Lingkungan Daratan
Lingkungan Lautan
Aktivitas Manusia
Wilayah pesisir
Sistem sumberdaya wilayah pesisir
Gambar 3. Hubungan antara wilayah pesisir dan sistem sumberdaya wilayah pesisir (Scura, et al. 1992)
III - 12
• Adanya kesamaan tujuan antara pengelolaan wilayah pesisir dan
pembangunan infrastruktur yaitu untuk pencapaian pemanfaatan sumber daya
pesisir dan lautan secara berkelanjutan (optimal dan lestari). Dalam konteks
ini, pembangunan infrastruktur harus dipandang sebagai salah satu bagian
terpenting dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
• Adanya keterkaitan yang bersifat sistematis dan sinergis, yakni bahwa
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dapat tercipta apabila ditunjang
oleh pembangunan infrastruktur yang sistematis dan bersinergi dengan
berbagai aspek pembangunan wilayah pesisir lainnya (keseimbangan ekologi,
sosial budaya, ekonomi, fisik, dan kelembagaan).
3.2 Tinjauan Peraturan dan Kebijakan/ Program tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Kaitannya dengan Pembangunan Infrastruktur
a. Peraturan yang Terkait
Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dan mempengaruhi
kewenangan daerah dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir
terpadu sebagaimana diuraikan pada Tabel 3.1 di bawah ini
III - 13
Tabel 3.1
Daftar Perundang-undangan terkait dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir
No Perundang-undangan Nomor/
Tahun
Perihal
1 UU Pokok Perairan 4/1960*)
6/1996
Mengatur Semua Sumber Daya Perairan Pesisir Di
Bawah Yurisdiksi Pemerintah Pusat dan Digunakan
untuk Kesejahteraan Masyarakat
2 UU Pokok Kehutanan 5/1967 Ketentuan Pokok Mengenai Pengelolaan Hutan
3 UU Pokok Pertambangan 11/1967 Ketentuan Pokok Mengenai Pengelolaan Tambang
4 UU Tentang Minyak Dan
Gas
8/1971 Ketentuan Pokok Mengenai Perusahaan Umum dan Gas
5 UU Tentang Landas
Kontinen
1/1973 Tentang Landas Kontinen Indonesia
6 UU Tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah
5/1974 Devolusi Kewenangan Pemerintah Pusat Dan Jurisdiksi
Pemerintah Daerah Tingkat I Dan II serta Sistem
Pemerintahan Daerah
7 UU Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
4/1982* Ketentuan Pokok tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
8 UU Pokok Pertahanan Dan
Keamanan Nasional
20/1982 Ketentuan Pokok tentang Pertahanan Dan Keamanan
Nasional serta Mobilisasi Penduduk
9 UU Tentang ZEE 5/1983 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
10 UU Pokok Perindustrian 5/1984 Aturan Dasar Pembangunan Industri
11 UU Pokok Perikanan 9/1985 Aturan Dasar Pengelolaan Perikanan
12 UU Pokok Listrik 15/1985 Aturan Dasar Tentang Pengelolaan Sumber Daya Listrik
13 UU Konservasi Sumber
Daya Hayat
5/1990 Ketentuan Pokok tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
serta Konservasi Sumber Daya Hayati Dan
Ekosistemnya
14 UU Tentang Pariwisata 9/1990 Ketentuan Pokok tentang Pembangunan Pariwisata
15 UU Tentang Pertanian 12/1992 Ketentuan Pokok tentang Sistem Pertanian dan Budidaya
16 UU Tentang Karantina
Ternak, Ikan, Tanaman
16/1992 Ketentuan Pokok Tentang Prosedur Karantina Hewan
Ternak, Ikan Dan Hasil Pertanian
17 UU Tentang Summber 7/ 2004 Ketentuan Pokok Tentang Perencanaan Dan
III - 14
Daya Air Pengelolaan, Pemanfaatan, Pengendalian Sumber Daya
Air .
18 UU Tentang Pelayaran 21/1992 Ketentuan Pokok Tentang Sistem Pelabuhan Dan
Pelayaran
19 UU Tentang Penataan
Ruang
24/1992 Ketentuan Pokok Tentang Perencanaan Dan Pengelolaan
Ruang Dan Komprehensif Dengan Pendekatan
Pengelolaan Spasial Dan Sumber Daya Daratan
20 UU Tentang
Keanekaragaman Hayati
5/1994 Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati
21 UU Pemerintahan Daerah 22/1999*)
32/2004
Menetapkan Kewenangan Propinsi Untuk Mengelola 12
Mil Laut Dari Garis Pantai, Dan 1/3 Untuk Kabupaten/
Kota
22 UU Perimbangan
Keuangan Pemerintah
Pusat Dan Daerah
25/1999*)
33/2004
Penerimaan Negara Dari SDA Sektor Kehutanan,
Pertambangan Umum, Dan Perikanan Dibagi 80% Ke
Daerah Dan 20% Ke Pusat
23 Peraturan Pemerintah 17/1974 Pengendalian Implementasi Ekksplorasi Dan Eksploitasi
Minyak Dan Gas Lepas Pantai
24 Peraturan Pemerintah 29/1986 Analisa Dampak Lingkungan
25 Peraturan Pemerintah 28/1985 Perlindungan Hutan
26 Peraturan Pemerintah 6/1988 Koordinasi Perencanaan Pemerintahan Daerah Dan
Sektor
27 Peraturan Pemerintah 20/1990 Pengendalian Dan Pencemaran Air
28 Peraturan Pemerintah 51/1993 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Bagi Setiap
Usaha Atau Kegiatan Baru Yang Membahayakan
Lingkungan.
29 Peraturan Pemerintah 25/2000 Kewenangan Pemerintah Untuk Pengaturan Batas-Batas
Maritim, Penetapan Standar Pengelolaan Pesisir Pantai
Dan Pulau-Pulau Kecil, Penegakan Hukum Di Laut
30 Keputusan Presiden 32/2000 Pengelolaan Kawasan Lindung Dan Kawasan
Penyangga.
31 Keputusan Presiden 77/1995 Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan
32 Keputusan Presiden 77/1996 Keputusan Tentang Dewan Kelautan Nasional
III - 15
Berdasarkan tinjauan berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan
pengelolaan wilayah pesisir di atas, nampak bahwa dari berbagai peraturan
tersebut penjelasan tentang kaitan langsung pengelolaan wilayah pesisir dengan
pembangunan infrastruktur masih terbatas pada listrik. Pengelolaan wilayah
pesisir lebih banyak berkaitan langsung dengan kegiatan-kegiatan sektoral (seperti
perairan, kehutanan, pertambangan, dan pariwisata) yang di dalamnya terdapat
infrastruktur yang dibangun sesuai kebutuhan kegiatan-kegiatan tersebut secara
sektoral. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan yang ada belum mengkaitkan
secara langsung dan terpadu antara pengelolaan wilayah pesisir dengan
pembangunan infrastruktur.
b. Kebijakan dan Program
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan
(United Nations Conference on Environment and Development – UNCED) 1992
di Rio de Janeiro dengan rencana aksi globalnya yang dikenal dengan Agenda 21,
khususnya Bab 17 tentang rencana aksi “Protection of Oceans, All Kind of Seas,
including Closed and Semi-Closed Seas, and Coastal Areas and the Protection,
Rational Uses and Development of Their Living Resources” telah keluar dengan
suatu kesepakatan, bahwa untuk menangani dan menyelesaikan permasalahan
yang bersifat multi dimensi (sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan) di wilayah
pesisir, diperlukan suatu pendekatan yang bersifat menyeluruh (holistic) dan
terpadu (integrated). Konsepsi pengelolaan dimaksud selanjutnya dikenal dengan
”Pengelolaan Pesisir Terpadu (PPT)” atau ”Integrated Coastal Management
(ICM)”, sebagai paradigma yang komprehensif dalam pengelolaan lingkungan
dan sumberdaya wilayah pesisir untuk menjamin keseimbangan antara
pemanfaatan dan pelestarian lingkungan dan sumberdaya wilayah pesisir.
Di Indonesia, kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan pada dasarnya
mengacu pada tujuan jangka panjang yang antara lain meliputi :
1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan
kesempatan usaha
III - 16
2. Pengembangan program dan kegiatan yang mengarah pada peningkatan
pemanfaatan secara optimal dan lestari sumber daya di wilayah pesisir dan
lautan
3. Peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pantai dalam pelestarian
lingkungan
4. Peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah pesisir
dan lautan
Adapun sasaran pembangunan wilayah pesisir dan lautan dalam pembangunan
jangka panjang 25 tahun kedua (PJP II) adalah terwujudnya kedaulatan atas
wilayah perairan Indonesia dan yurisdiksi nasional dalam wawasan nusantara,
terciptanya industri kelautan yang kukuhdan maju yang didorong oleh kemitraan
usaha yang erat antara badan usaha koperasi, negara dan swasta serta
pendayagunaan sumber daya laut yang didukung oleh sumber daya manusia yang
berkualitas, maju dan profesional dengan iklim usaha yang sehat, serta
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga terwujud kemampuan
untuk mendayagunakan potensi laut guna peningkatan kesejahteraan rakyat secara
optimal, serta terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan wilayah pesisir dan kelautan di
atas, selanjutnya dijabarkan menjadi program Pengelolaan Pesisir Terpadu (PPT)
yang bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan
laut, menekan resiko atau kerentanan wilayah pesisir serta masyarakat berikut
infrastruktur dan kegiatan sosial-ekonominya baik terhadap berbagai ancaman
bencana alam (natural hazard), seperti badai gelombang (tsunami), erosi pantai
dan banjir, maupun dari dampak negatif aktivitas sosial-ekonomi masyarakat
(pembangunan) itu sendiri, serta untuk memelihara proses ekologis dasar, sistem
pendukung kehidupan, dan keanekaragaman hayati wilayah pesisir dan laut.
Gambar 2.1 menunjukkan skema fungsi PPT sebagai jembatan menuju
keberlanjutan pembangunan wilayah pesisir.
III - 17
Gambar 3.4 PPT : kerangka kerja dari ”Blueprint” Pembangunan
Berkelanjutan Wilayah Pesisir (Chua, 1993)
Dengan kata lain, karakteristik program PPT hendaknya memiliki enam
karakteristik utama yaitu :
1. PPT hendaknya memiliki batas fisik (geografis) yang jelas dari kawasan yang
akan dikelolanya, baik batas yang tegak lurus maupun yang sejajar garis
pantai. Batasan wilayah pesisir dapat ditentukan menurut kepentingan
perencanaan dan untuk kepentingan pengelolaan sehari-hari (day-to-day
management). Biasanya batas wilayah pesisir untuk kepentingan perencanaan,
daerahnya lebih luas daripada batas wilayah pesisir untuk kepentingan
pengelolaan sehari-hari.
2. PPT bertujuan untuk meminimalkan konflik kepentingan dan konflik
pemanfaatan sumber daya, sehingga diperoleh keuntungan (manfaat) secara
optimal dan berkesinambungan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat
Transisi menuju
keberlanjutan
Pembangunan tak berkelanjutan Kerusakan lingkungan Deplesi sumberdaya Konflik pemanfaatan sumberdaya
Pembangunan berkelanjutan Perlindungan lingkungan dan keanekaragaman hayati Pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan Minimisasi konflik pemanfaatan sumberdaya Peningkatan kualitas hidup
III - 18
3. PPT merupakan suatu proses yang terus-menerus dalam jangka panjang. PPT
bersifat dinamis, sehingga umumnya memerlukan perbaikan dan penyesuaian
rencana dan programnya. Dengan kata lain, PPT adalah bukan program sesaat
(one time program)
4. Perencanaan dan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir disusun
berdasarkan pada karakteristik dan dinamika (the nature) termasuk keterkaitan
ekologis dari kawasan pesisir, baik yang bersifat biogeofisik kimiawi maupun
sosial-ekonomi-budaya dan politik.
5. Pelaksanaan PPT tidak mungkin didekati secara monodisiplin, tetapi harus
menggunakan pendekatan interdisiplin keilmuan: ekologi, ekonomi,
keteknikan (engineering), sosiologi, dan lainnya.
6. Harus ada tatanan kelembagaan yang khusus menangani pengelolaan kawasan
pesisir, terutama untuk mengamankan tahap perencanaan dan pemantauan
serta evaluasi.
Agar suatu program PPT dapat diimplementasikan, maka PPT harus bersifat
praktis, dan harus menghasilkan keluaran (output) yang nyata secara
berkelanjutan bagi masyarakat pengguna (stakeholders). Untuk memperoleh
dukungan masyarakat pengguna, maka program PPT harus dijabarkan dari
permasalahan dan potensi sumber daya yang ada di kawasan pesisir tersebut.
Menurut Dahuri, R. dan Rais, J. (2004 : 243-244), pengalaman Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu di negara-negara Asia dan juga
seluruh dunia, telah menunjukkan bahwa beberapa faktor yang harus diperhatikan
dalam program PTT adalah :
a. Memahami bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan lautan adalah mutlak perlu
diupayakan oleh pemerintah
b. Menggunakan cara kerja yang transparan, partisipasi aktif, dan demokrasi,
serta melibatkan orang-orang yang dapat berperan serta dalam perencanaan
dan implementasinya.
c. Menggunakan suatu strategi isu yang sedang berkembang dan dengan
pendekatan terpadu.
III - 19
d. Kerja pada tingkat nasional dan lokal, dengan hubungan yang erat di antara
kedua tingkat tersebut.
e. Dirancang dan diimplementasikan dalam bentuk lingkaran, sehingga
komponen perencanaan, implementasi, dan evaluasi dapat secara terus-
menerus berlangsung.
f. Membangun suatu kelompok masyarakat para pendukung yang dapat secara
aktif menyokong, menggunakan, dan memberi masukan dalam pengelolaan
pesisir yang efektif.
g. Membangun kemampuan untuk pengelolaan tingkat lokal
h. Menggunakan sumber informasi terbaik yang tersedia untuk membuat
keputusan.
Berdasarkan tinjauan kebijakan dan program yang berkaitan dengan pengelolaan
wilayah pesisir yang terpadu di atas, nampak bahwa walaupun tidak dinyatakan
secara eksplisit, pembangunan infrastruktur merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kebijakan dan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
Bahkan, jika keterpaduan pembangunan antar sektor (permukiman, industri,
kehutanan, pertambangan, dan pariwisata) menjadi tujuan dalam rangka
terwujudnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, maka pembangunan
infrastruktur yang sistematis seyogyanya menjadi alternatif terbaik yang lebih
tepat untuk dipriotitaskan dibandingkan pembangunan sektor yang salah satunya
lebih cenderung mengundang konflik kepentingan.
3.3 Penyususnan Rencana Pengembangan Pembangunan Infrastruktur
Setelah analisa identifikasi potensi, kondisi, isu dan permasalahan selesai
dilaksanakan, maka tahap kegiatan berikutnya adalah penyusunan Rencana
Pengembangan Infrastruktur yang merupakan acuan dalam pengembangan Daerah
Aliran Sungai di Kawasan Pesisir Teluk Palabuhanratu.
Pengembangan ini ditujukan untuk mengidentifikasi dan merumuskan pemecahan
yang efektif berdasarkan semua informasi terkait yang tersedia, menganalisa
kelayakannya secara umum, dan menyajikannya dalam suatu bentuk yang dapat
ditindak lanjuti. Sedangkan sasaran yang hendak dicapai dalam rencana
pengembangan ini adalah tercapainya optimasi pemanfaatan sumber daya alam,
III - 20
khususnya sumber daya air dan lahan dengan memperhatikan aspek kelestarian
lingkungan.
Metode yang akan dipakai didalam penyusunan Rencana Pengembangan
Infrastruktur diii kawasan Pesisir Teluk Palabuhanratu adalah Dari beberapa
model matematis yang telah dikembangkan, dipilih model Analytic Hierarchy
Process (AHP) yang mampu mengakomodir berbagai kriteria yang saling
mempengaruhi (kriteria majemuk). Kriteria majemuk adalah suatu metode
pengambilan keputusan terhadap suatu masalah atau tujuan berdasarkan beberapa
kriteria yang berpengaruh terhadap masalah tersebut. Mengingat tujuan masih
bersifat umum, maka perlu dijabarkan dalam beberapa kriteria yang masing-
masing mempunyai sub kriteria dan sub sub kriteria hingga diperoleh suatu hirarki
dari tujuan tersebut. Analis Hirarki dimaksudkan untuk penyusunan bobot
berdasarkan hirarki tujuan dalam kriteria dan sub kriterianya.
Secara teknis AHP merupakan pendekatan nilai karakteristik pada perbandingan
pasangan membentuk cara untuk melakukan kalibrasi dari skala numerik,
terutama pada daerah baru yang tidak memiliki pengukuran perbandingan
kuantitatif. Pengukuran konsistensi memungkinkan untuk mengembalikan
modifikasi pertimbangan menjadi bentuk semula dan menambah konsistensi
keseluruhan. Peran serta beberapa orang memungkinkan untuk membuat
kesamaan di antara perbedaan pendapat. Hal ini dapat menimbulkan adanya
dialog keinginan apa yang terbentuk. Kesepakatan di antara beberapa
pertimbangan menggambarkan adanya pengalaman yang berbeda.
Secara garis besar prosedur AHP dilakukan dalam empat langkah yaitu :
1. Melakukan pembobotan kriteria
2. Melakukan pembobotan alternatif
3. Menyusun bobot terhadap keseluruhan susunan
4. Memeriksa konsistensi
III - 21
Tabel 3.2 Skala Penilaian Tingkat Kepentingan Pasangan Faktor.
Nilai Dengan
Angka
Skala
Kepentingan
Definisi Keterangan
1 Equally
Important
Sama penting Kedua faktor mempunyai
dukungan yang sama
pentingnya terhadap
tujuan
3 Moderately
more Important
Sedikit lebih penting Terlihat nyata pentingnya
faktor tersebut dibanding
faktor lainnya, tetapi
tidak meyakinkan
5 Strongly more
Important
Perlu dan kuat
kepentingannya
Jelas dan nyata faktor
tersebut lebih penting
dari yang lainnya
7 Very Strongly
more Important
Menyolok
kepentingannya
Jelas, nyata dan terbukti
faktor tersebut jauh lebih
penting dari yang lain
9 Extremely more
Important
Mutlak penting Jelas, nyata dan terbukti
secara meyakinkan faktor
tersenbut sangat penting
dalam permufakatan
2, 4, 6, 8 Nilai tengah antara dua
pertimbangan di atas
yang berdekatan
Jika diperlukan nilai
kompromistis
Pembuatan Struktur Hirarki Model Ahp :
Struktur hirarki dibuat sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pada
umumnya, langkah pembuatan struktur AHP adalah sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan dari proses Analytical Hierarchy yang ingin dicapai.
III - 22
2. Membuat kriteria yang akan digunakan.
3. Menentukan sub kriteria dari masing-masing kriteria.
4. Menentukan pilihan model yang akan disusun.
Ada tiga pilihan model yang dapat dikerjakan yaitu :
- Model Library, artinya menyusun model dari contoh yang telah ada lalu
mengganti kriteria dan alternatifnya.
- Structuring, artinya menyusun model dari struktur dasar seperti identifikasi
beberapa tujuan, kelebihan dan kekurangan tersebut, identifikasi alternatif
dan sebagainya sehingga dipilih beberapa alternatif yang akan dievaluasi.
- Direct, artunya menyusun model langsung dengan hierarki dan alternatif
yang telah ditentukan.
5. Memasukkan alternatif program yang akan ditinjau prioritasnya.
6. Setelah semua alternatif program dimasukkan, maka struktur hirarki akan
terbentuk. Langkah selanjutnya adalah pembobotan pada masing-masing
kriteria, sub kriteria dan alternatif itu sendiri.