BAB IV
ANALISIS
A. Problem Sosial Pada Kumpulan Buku Sajak, Balada Aku dan Rantai
1. Kemiskinan
Kemiskinan sebagai masalah dalam kehidupan kemasyarakatan karena
adanya ketidakmampuan oleh suatu masyarakat dalam mencukupi kebutuhan
hidupnya. Masyarakat yang dikategorikan miskin di dalam masyarakat adalah
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Di dalam Buku Kumpulan sajak, balada Aku dan Rantai karya Ciu
Cahyono terdapat sajak/puisi yang menggambarkan suatu kelas masyarakat
tersebut, antara lain.
a. Berumahlah Di sana
Dalam puisi Berumahlah Di Sana karya Ciu Cahyono berisi tentang
respon atau suatu tanggapan terhadap dewan yang terhormat yakni para anggota
DPR yang menginginkan pembangunan gedung parlemen yang baru, yang
ditunjang dengan fasilitas yang serba ada dan mewah. dengan alasan bahwa
gedung yang lama sudah tidak layak pakai. Dalam konteks ini pengarang
menempatkan dirinya sebagai wakil masyarakat yang mewakili untuk
menyuarakan aspirasi dari masyarakat itu sendiri.
Pada bait I. baris 1-4
Wahai, jelata Indonesia
Telah datang kabar gembira bagi kalian
Bersiaplah tinggalkan rumah kardus
dan gang becek
26
27
( Ciu Cahyono, 2011 )
Pada bait I baris 1-4 terlihat jelas sekali pemaparan potret kehidupan
masyarakat Indonesia yang masih miskin. Disebutkan Wahai Jelata Indonesia ! di
sini ditegaskan dimana rakyat yang masih bingung memikirkan nasib mereka
untuk hidup sehari- hari sedangkan para pejabat tinggi negeri ini dengan gagahnya
yang ingin membangun tempat mereka dengan habis-habisan, bukankah ini
tikaman perlahan untuk rakyat miskin.
Pada bait I baris ke 3 dan 4
Bersiaplah tinggalkan rumah kardus
dan gang becek
(Ciu Cahyono, 2011)
Pada puisi diatas dipaparkan bahwa tempat tinggal masyarakat miskin
berada pada lingkungan yang tidak layak pakai, sedangkan para anggota DPR atau
pejabat tinggi negeri ini tinggal dengan sangat layak. Fenomena yang terjadi di
Indonesia ini menjadi sebuah ironi yang sangat sering terjadi di bangsa yang
sangat besar ini.
Keinginan yang yang disuarakan pertama kali pada tahun 2011 tersebut
langsung mendapat respon negatif dari hampir semua lapisan masyarakat
indonesia. Mengingat gedung DPR/MPR yang masih sangat layak dipakai. dan
mengingat pula kinerja para anggota dewan yang tidak memuaskan termasuk di
dalamnya banyak kasus korupsi, manipulasi, gratifikasi, di tengah kemiskinan
yang terus melanda rakyat indonesia. dan banyak pula kalangan yang mencurigai
keinginan membangun gedung baru tersebut adalah sebagai jalan pihak-pihak
tertentu dapat berkesempatan mengeruk uang negara melalui proyek-proyek
pembangunan parlemen.
28
b. Kami Tidak Lebih Baik
Puisi yang ditulis pada tahun 2010 untuk menyuarakan nasib sebagian rakyat
Indonesia yang kurang beruntung, yakni: anak jalanan, buruh dan guru honorer,
serta fakir-miskin dan orang terlantar.
Pada Bait I baris 2-4
saat kami terlempar ke jalanan
sedang anjing dan kucing
punya rumah saat terkencing
(Ciu Cahyono, 2010)
Maksud di dalam bait I baris 2-4 adalah bahwa penulis ingin membandingkan
nasib rakyat miskin di Indonesia dengan seekor kucing dan anjing milik orang
kaya, pada puisi ini berisi tentang rakyat miskin saja tidak mempunyai rumah
sampai harus hidup dijalanan, sedangkan orang kaya menyediakan rumah untuk
kucing dan anjingnya.
Pada bait ke II baris 2-4
saat kami terseok kelelahan
sedang babi dan burung
punya harap meski terkurung
(Ciu Cahyono, 2010)
Pada penggalan puisi diatas dimana penulis ingin memaparkan mengenai
sosok para buruh atau pekerja yang bekerja keras hanya untuk mendapatkan
sesuap nasi. Penulis menyamakan posisi buruh dengan babi dan burung, dimana
mereka tidak perlu bekerja susah payah banting tulang dalam hidup mereka guna
29
mendapatkan penghidupan yang cukup, mereka tidak memiliki beban, tetapi
mereka tetap menjalani hidup mereka dengan cukup.
Pada bait III baris ke 2-4
saat kami lemas kelaparan
sedang cacing dan lalat
punya makan tanpa bergulat
(Ciu Cahyono, 2010)
Pengarang memaparkan mengenai kehidupan rakyat miskin yang rela
bergulat dengan kerasnya kehidupan hanya untuk mengenyangkan perut mereka,
tetapi penulis menyuguhkan sebuah ironi dengan memaparkan perbandingannya
dengan cacing dan lalat, dimana mereka tidak harus bergulat dengan persaingan
hanya untuk mencukupi kebutuhan makan mereka sehari-hari
“Di mana kalian” adalah kalimat awal pada tiap paragraf dalam puisi ini yang
bermaksud bertanya pada penyelenggara negara atau pejabat; turut hadirkah
negara dalam kehidupan rakyat. Kalimat pembuka tiap paragraf tersebut
digunakan penyair untuk menyorot kepedulian para pejabatnya menyangkut nasib
rakyat. Sebab, bisa jadi para pejabat itu dekat secara fisik dengan rakyat, tapi tidak
mau tahu dengan nasibnya. Dan tidak peduli pada nasib rakyat, padahal para
pejabat digaji serta difasilitasi oleh uang rakyat, dan rakyat indonesia masih harus
mencengkeram kemiskinan.
Pada bait IV baris 2-4
saat kami hilang teriakan
sedang ular dan kepik
punya daulat dengan berbisik
(Ciu Cahyono, 2010)
Dipaparkan mengenai rakyat jelata yang tidak memiliki hak untuk berbicara
dan mengemukakan pendapat mereka untuk hidup layak, maka dari itu kehidupan
30
mereka pun tidak dapat berkembang. Mereka hanya berjalan di satu arah
kehidupan tanpa adanya perkembangan, pemenuhan keinginan, penyampaian
aspirasi untuk hidup layak. Penulis membandingkannya dengan ular dan kepik
yang tidak perlu adanya batasan dalam mengemukakan pendapat atau keinginan
dalam kehidupan mereka.
Sejatinya, kondisi rakyat yang tidak lebih baik tersebut mengingatkan kita
semua. Ada yang tidak beres dalam penyelenggaraan negara kita. Dan puisi ini
mengajak serta mengingatkan pada para pejabat agar meneliti kembali sampai di
mana kepeduliannya serta apa strategi yang dipunyai agar bisa menyelesaikan
persoalan nasib rakyat terutama nasib mereka yang ada dalam puisi ini.
c. Mas Kawin Mas Kaboer
Puisi ini ditulis dengan tema plagiasi atau usaha mengaku-aku karya cipta
orang lain dalam hal ini puisi. Seperti yang kita semua pahami, bahwa plagiasi
adalah salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan karena seseorang mencuri
kekayaan intelektual orang lain serta mengambil alih hak orang lain atas hasil
yang bisa diperoleh dari kekayaan intelektual tersebut.
Pada bait II baris ke 1-4
Hidup melarat dilakoninya
Tumpang tindih hutang tak apa
Semua maklum harga puisi
sekedar untuk makan sehari
(Ciu Cahyono, 2011)
31
Bahwa penulis memaparkan mengenai kehidupan seorang penyair yang
berada pada kondisi miskin, di bait ini dipaparkan bahwa penyair adalah orang
yang tidak punya kehidupan jauh dari kata layak, banyak hutang dan hanya
mengandalkan puisi-puisi yang ia buat hanya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari, khususnya dalam urusan perut. Padahal karya puisi tidak
seberapa dan mungkin tidak bernilai di era seperti sekarang ini.
Pada bait IV baruis ke 3
Dengan mas kawin sebuah puisi
Masalah kemiskinan dipaparkan dalam bentuk mas kawin. Penulis
memaparkan kemiskinan dalam baris tersebut, karena seorang penyair hanya
memberikan sang istri sebuah puisi sebagai mas kawin. Itu menandakan bahwa
penyair adalah orang tidak berpunya.
Pada bait 8 baris ke 2-4
kesana kemari tanpa daya
Isi kepala tak juga nyata
padahal perut tak bisa ditunda
(Ciu Cahyono, 2011)
Di dalam bait ini penulis menggambarkan keadaan penyair yang terlunta-
lunta karena tidak memiliki rumah dan keahlian atau kepintaran sehingga mereka
hidup di dalam kemiskinan.
Pada baris 9 baris ke 3-4
Lapar dan demam berhari-hari
Keduanya pun menemu mati
(Ciu Cahyono, 2011)
32
`Dalam bait ini penulis ingin menggambarkan kondisi kemiskinan sang
penyair karena kehidupan mereka yang ada pada taraf yang amat sangat miskin.
Mereka berdua hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, berhari-hari mereka
tidak bisa makan, mereka pasrah pada kejamnya dunia dan berakhir mati.
Pada bait 10 baris ke 1-2
Mayat mereka sungguh nestapa
teronggok biru di sudut TPA
(Ciu Cahyono, 2011)
Pemaparan kemiskinan oleh penulis adalah saat penjelasanpada akhir
kehidupan penyair dan istrinya. Mereka meninggal dunia dalam keadaan yang
memprihatinkan dan diacuhkan begitu saja oleh masyarakat. Karena merak tidak
memiliki nama ataupun derajat yang tinggi di dalam masyarakat.
Masih seringnya terdengar kabar tentang dugaan atau indikasi plagiasi
dalam dunia sastra menginspirasi penyair menulis puisi Mas Kawin Mas Kaboer
ini. Karena tema ini bukan tema umum yang biasa digarap dalam penulisan puisi,
maka penyair memilih menggunakan bentuk balada atau puisi yang bercerita
dengan gaya bahasa sederhana agar isi dan pesan bisa tersampaikan pada publik
pembaca dengan mudah tapi tetap asyik karena pembaca berkesempatan
mengikuti kisah berikut gambaran-gambaran kehidupan dalam puisi ini.
Motif atau dasar plagiasi yang dilakukan tokoh Jaka dalam puisi ini adalah
ambisi manusia dalam mencapai kehendaknya serta didorong pula oleh
kemiskinan, seperti halnya kemiskinan yang membelit tokoh Kaboer yang adalah
korban tindak plagiasi.
33
2. Kejahatan kemanusiaan
Pada awal Orde Baru mulai tampak adanya pertumbuhan kembali iklim
kebebasan berserikat dan berpendapat. Pemerintah mulai merasa perlu adanya
legitimasi dan partisipasi. Terasa bahwa ada semacam hubungan yang dekat
antara pemerintah dan rakyat. Hanya saja kedekatan itu hanyalah kedekatan semu,
setelah itu ketika pemerintah sudah mulai berbicara soal pembangunan dulu , baru
pembangunan pelita-pelita, hubungan keduanya retak. Kebebasan berserikat mulai
dibatasi tidak saja bagi pegawai negeri tetapi justru bagi masyarakat yang melalu,
kebijakan floating mass ( Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 1994:110).
Dalam hal menyatakan pendapat banyak ditemui batasan-batasan yakni
ada semacam kebijaksanaan agar menggunakan saluran-saluran institusional
dalam menyatakan pendapat. Jika masyarakat ingin memakai saluran non-
institusional maka haruslah lebih moderat, lebih tepo sliro ( Bambang Sunggono
dan Aries Harianto, 1994:111). Masyarakat tetap diminta toleran membiarkan
pembangunan lebih dulu, dan belakangan baru berbicara soal pemerataan dan
HAM. Pemerintah betul-betul serius dengan kebijaksanaannya. Hal ini bisa
dibuktikan dengan adanya tindakan keras pemerintah terhadap pers yang berani
berpendapat lain dengan pemerintah.
Dalam kumpulan sajak Aku dan Rantai karya Ciu Cahyono, ditemui
beberapa sajak/ puisi yang menggambarkan keadaan tersebut diantaranya adalah.
a. Jaringan Maling
Burung yang kini nangkring
di atas kepala botakku
adalah burung kesayangan bapakmu
34
yang sedang membangun sarang
dengan rambut
yang baru saja kaucabut
dari batok kepala
mereka
( Ciu Cahyono, 2010 )
puisi ini penggambaran tentang korupsi sekaligus nepotisme yang merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sebelum sampai pada penulisan puisi Jaringan Maling ini, penyair merasa
perlu menunjukkan pada publik pembaca bagaimana praktek korupsi dan
nepotisme telah menyengsarakan masyarakat. Dengan gaya imajinatif, dikisahkan
ada lima (5) tokoh dalam puisi ini: 'aku', 'burung', 'bapakmu', 'kau', dan 'mereka'.
Pada bait I baris ke 1-8
Burung yang kini nangkring
di atas kepala botakku
adalah burung kesayangan bapakmu
yang sedang membangun sarang
dengan rambut
yang baru saja kaucabut
dari batok kepala
mereka
( Ciu Cahyono, 2010 )
Penulis di dalam bait ini ingin menguraikan pemaparan bahwa adanya
penindasan akan hak rakyat kecil yang dilakukan oleh petinggi negara atau orang
35
yang memiliki jabatan dalam kehidupan bermasyarakat dengan cara korupsi,
nepotisme. Secara tidak langsung, tiu sudah menggambarkan mengenai
perampasan hak kehidupan mereka, dan itu adalah tindakan kejahat kepada
manusia.
Tokoh 'aku' dengan kepala botaknya dihinggapi 'burung' yang sedang
beraksi dengan membangun sarang (baca: korupsi). 'Burung' tersebut adalah
burung kesayangan 'bapakmu'. Dari sini pembaca akan tahu ada relasi (baca:
kroni) antara 'burung' dan 'bapakmu' yang merupakan nepotisme. Nepotisme
terjadi pula antara 'bapakmu' dengan 'kau', yang mana tokoh 'kau' juga melakukan
aksinya yakni mencabut rambut dari batok kepala tokoh 'mereka'. Sementara,
rambut 'mereka' yang dicabut oleh 'kau' digunakan 'burung' untuk membangun
sarang. ini artinya ada relasi juga antara 'burung' dengan 'kau'.
Dengan demikian relasi antara 'burung', 'bapakmu', 'kau' adalah relasi
dalam hal korupsi sekaligus nepotisme. Penyair menggunakan frasa "mencabut
rambut" sebagai ganti untuk istilah korupsi, dan relasi antar ketiga tokoh tersebut
untuk menunjukkan nepotisme. Maka, korupsi sekaligus nepotisme seperti ini bisa
disebut sebagai sebuah jaringan maling. Dengan korban yakni tokoh 'aku' dan
'mereka'.
Gambaran seperti apa korupsi sekaligus nepotisme, secara imajinatif. Ada
kejahatan kemanusiaan di sana. Lebih jauh lagi, ini menjadi waspada atau
pengingat bagi kita semua bahwa kejahatan yang dilakukan secara bersama
(jaringan) tentu lebih dahsyat dan membabi-buta serta lebih susah untuk dibasmi.
Bahkan, saking kuatnya jaringan tersebut, sampai-sampai 'aku' yang sudah botak
alias tidak punya rambut masih dihinggapi 'burung'. Nah, apalagi yang hendak
36
diambil paksa oleh 'burung' dari kepala botak tokoh 'aku'? Mari bersama-sama
mewaspadai tindak korupsi sekaligus nepotisme dimulai dari diri-sendiri.
b. Aku dan Rantai
Pada bait I baris ke 1-3
Temanku yang bernama Tukas
masih berkeliling negeri. Ia memburu seekor nyamuk
pembunuh Kilah, teman baiknya.
(Ciu Cahyono, 2010)
Berisi tentang terinspirasi oleh kasus terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen
yang membelit mantan KPK, Antasari Azhar, sebagai tersangka utama. Namun
begitu puisi ini sama sekali bukanlah puisi yang menggambarkan seperti apa
kasus tersebut.
Puisi Aku dan Rantai ini ditulis untuk menggambarkan secara umum
tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dengan menghalalkan segala cara dan
dalam hal ini secara konspirasi. Adalah kejahatan yang dilakukan oleh manusia-
manusia yang didorong ambisi beroleh kekuasaan, pengkhianatan, serta motif-
motif lainnya.
Pada bait II baris ke 1-4
Tetanggaku yang bernama Dalih
belum selesai diinterogasi polisi. Ia mengatakan bahwa
otak pembunuhan Kilah tak lain adalah Tukas,
dengan seekor nyamuk sebagai eksekutornya.
Di jelaskan pada bait ini menggunakan serta menggabungkan tokoh-tokoh
imajinatif orang dengan hewan seperti 'nyamuk' dan 'ketonggeng', yang
37
menggambarkan adanya sebuah rekayasa demi menghilangkan nyawa satu tokoh
serta konspirasi untuk menjebak tokoh lain.
Pada bait III baris ke 1-4
Pacarku yang tak mau namanya kusebut
mengabari pagi ini. Ia mengaku pernah melihat
seekor nyamuk satu meja dengan seekor ketonggeng,
di sebuah kafe di ibukota.
Bait ini menerangkan tentang tokoh-tokoh hewan dalam puisi ini untuk
mempertegas bahwa orang pun dapat melakukan hal-hal musykil, menggunakan
segala macam cara, demi memenuhi rencana jahatnya.
Dari puisi Aku dan Rantai ini, pembaca/publik dapat menangkap pesan
tentang kewaspadaan dalam puisi ini, sebab, betapa banyak di sekitar kita orang-
orang yang siap-sedia melancarkan kejahatan dengan cara terencana.
c. Kami Bukan Rakyat
Puisi Kami Bukan Rakyat ini berusaha mengajak publik pembaca dan
rakyat Indonesia untuk menyadari sepenuhnya bahwa mereka tidak lebih dari alat
bagi parpol dan politikus mendapat kekuasaan, yang mana setelah kekuasaan
didapat maka parpol dan politikus dengan mudah melupakan janji-janjinya yang
pernah terucap saat kampanye.
Sungguh ironis, sebab janji-janji parpol dan politikus selalu dan biasanya
kemudian terbukti sebagai tipu-daya belaka. Namun, rakyat tetap berpawai
membela parpol dan politikus, bahkan sering dengan cara berdarah-darah, rela
bentrok dengan pendukung parpol dan politikus lainnya. Padahal, pada akhirnya
38
toh mereka sendiri yang bekerja keras demi melakoni hidup yang makin sulit.
Seperti pada paragraf pertama:
Kami cuma jelata
yang terhisap dan tertipu
topeng seribu wajah
mulut bisa, nafasnya fitnah
Kami digiring. Berkeliling
Kami tajamkan cakar dan taring
demi kursi dan panji-panji terhormat
Lalu kami dibiarkan melarat
berebut nasi dan garam tinggal sekerat
Dengan puisi ini saya ingin bersama-sama dengan publik pembaca dan
rakyat untuk memberi kesadaran pada diri kita masing-masing, bahwa kita
sebagai rakyat jangan mau lagi hanya dimanfaatkan suaranya saja. Jika kita mau
menyadari akan hal ini dan bersatu-tekad berpandangan kritis terhadap parpol dan
politikus, maka kita bisa benar-benar berperan sebagai rakyat yang berdaulat dan
mendapat haknya. Dan bukan sebagai pihak yang melulu diperalat kemudian
diabaikan.
Puisi ini pun, seperti pada puisi-puisi sebelumnya, menyiratkan tentang persoalan
kejahatan terhadap kemanusiaan, lebih tepatnya menciderai rasa keadilan, dengan
rakyat sebagai korbannya.
39
d. Kupanggil Nenek Moyang
Sambil kubayangkan mereka ditendang
dan buahdada ditepuk serupa gendang
kupanggili kau, wahai, nenekmoyang
Dengarlah ya dengarlah!
Cucumu mengerang dengan dada terbelah
Lihatlah ya lihatlah!
Cucumu terjengkang tak bisa tengadah
Tolonglah mereka, wahai, nenekmoyang
tolonglah!
( Ciu Cahyono, 2010 )
Puisi Kupanggili Nenekmoyang ini penyair tulis sebagai respon atas
maraknya tindak kekerasan yang diterima oleh TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di
negeri Malaysia.
Gagasan Dasar
Penyair merasa perlu mengungkapkan perasaan dan empati untuk TKI
yang mendapat perlakuan kekerasan dan juga pelecehan seksual di Malaysia.
Sebab tindak kekerasan yang kerap dialami oleh TKI tersebut adalah kejahatan
atas kemanusiaan dalam hal ini disebabkan oleh perbedaan kelas sosial.
Penyair menggunakan judul Kupanggili Nenekmoyang, sebab, setelah
waktu berlalu nyatanya kekerasan demi kekerasan tetap diterima para TKI, seolah
pemerintah Indonesia pun Malaysia tidak mengambil tindakan untuk melindungi
40
para pekerja dari ulah para majikan yang tidak bertanggung-jawab, atau dengan
kata lain pemerintah kedua negara tidak bisa diharapkan. Sementara pemilihan
kata „nenek-moyang‟ untuk menyindir Malaysia sekaligus mengingatkan kembali
bahwasannya bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia adalah serumpun.
Dengan puisi ini penyair ingin menyampaikan perasaan empati dan
pembelaan kepada para TKI sekaligus menyampaikan protes baik kepada para
majikan dan juga pemeritahan Malaysia serta pemerintahan Indonesia. Agar
tindak kekerasan, termasuk di dalamnya pelecehan seksual, tidak lagi menimpa
para TKI.
Dengan puisi ini pula, penyair bermaksud menegaskan kembali bahwa
nasib TKI di luar negeri adalah cermin bagi martabat bangsa dan negara
Indonesia. Nasib TKI yang tidak dihormati di luar negeri bisa menjadi pertanda
bahwa bangsa dan negara Indonesia sedang direndahkan. Dan itu tak boleh
terjadi.
e. Ancaman
Awas kalau kau
jadi awas
Puisi Ancaman ini penyair tulis sebagai potret sosial tentang problem
sosia,l masih seringnya terjadi intimidasi bahkan tindak kekerasan yang dialami
oleh orang-orang yang berpikiran kritis terhadap laju pemerintahan.
Setelah jatuhnya Soeharto dan diganti oleh era reformasi yang diharapkan oleh
rakyat sebagai era kebebasan mengeluarkan pendapat, nyatanya intimidasi dan
tindak kekerasan masih terus berlanjut dan menimpa mereka yang berpikiran
41
kritis. Di era reformasi masih banyak intimidasi dan tindak kekerasan yang
dialami oleh aktifis dan juga golongan pekerja pers. Khususnya aktifis lingkungan
hidup dan pekerja pers yang memberitakan kasus-kasus lokal atau menyangkut
pejabat-pejabat daerah.
Hal itu, selain bertentangan dengan semangat reformasi juga bertentangan
dengan hak asasi manusia dalam hal kebebasan berpendapat yang adalah suatu
kejahatan terhadap kemanusiaan. Bahkan bisa pula berakibat pada tindak kriminal
sebab pembungkaman terhadap mereka yang berpikiran kritis tak jarang memakan
korban nyawa.
Atas dasar kondisi inilah penyair menggagas puisi Ancaman untuk
mengingatkan kembali pada negara tentang semangat kebebasan berpendapat,
kebebasan pers, dan peran negara dalam menjamin terpenuhinya hak rakyat
mengeluarkan pendapat.
Dalam puisi ini, kata ‘awas’ pada baris pertama menunjukkan suatu
peringatan atau ancaman, yakni bagi mereka yang memiliki „awas‟ pada baris ke
dua. „awas‟ pada baris ke dua mempunyai arti „mengetahui‟, dan bisa juga
diartikan sebagai „waspada‟.
Jika pejabat mengatakan “Awas kalau kau jadi awas.” Maka itu adalah
ancaman atau intimidasi dan usaha pembungkaman bagi mereka yang berpikiran
kritis dan hendak mengeluarkan pendapatnya. Dan itu adalah tindak kejahatan
kemanusian yang tidak main-main akibatnya.
Maka, dengan puisi ini penyair secara singkat ingin mengingatkan kembali
pada publik pembaca, bahwa ancaman bagi mereka yang berpikiran kritis
42
terhadap laju pemerintahan, masih terus berlanjut bahkan setelah Soeharto
beserta Orde Baru tumbang. Dengan puisi ini pula penyair berharap negara
berperan penuh dan aktif dalam menjamin terpenuhinya hak rakyat
mengeluarkan pendapat.
B. Tanggapan Pengarang terhadap masalah- masalah Sosial
1. Tanggapan pengarang terhadap kemiskinan
Kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang serba kurang atau
berpenghasilan minimum atau rendah. Di dalam buku Kumpulan sajak aku dan
rantai karya ciu cahyono, penyair menaganggap potret kemiskinan adalah sebagai
dampak dari ketidakseriusan dan kesewang-wenangan pemerintah. Hal ini tampak
pada Puisi Berumahlah disana, Sebagai berikut.
Wahai, jelata Indonesia
Telah datang kabar gembira bagi kalian
Bersiaplah tinggalkan rumah kardus
dan gang becek
Sebentar lagi negara membangun
gedung mewah menjulang
di jantung negeri tercinta kalian
Semua itu untuk kalian
( Ciu Cahyono, 2011)
Di dalam isi dari pusi berumahlah disana, pengarang menganggap bahwa
kemiskinan adalah bagian dari permainan kekuasaan pemerintah. Dari sudut
43
pandang pengarang kemiskinan terjadi adanya kebijaksanaan dari pemerintah
yang kurang memperhatikan nasib rakyat. Pemerintah Cuma sibuk dengan urusan
mereka, pemerintah hanya ingin memfasilitasi diri mereka dengan apa yang
mereka inginkan tanpa melihat dibawah mereka masih membutuhkan.
Penyair menggunakan gagasan dasarnya didalam menuliskan puisi ini
karena sikap menyindir, yakni menyindir pemerintah khususnyapara anggota
dewan yang terhormat agar mengevaluasi diri sendiri sebelum menuntut. Dalam
bahasa yang sederhana : “Kerja tidak bagus aja masih dibayar pakai uang rakyat,
kok malah minta lagi tambahan fasilitas gedung megah pada rakyat yang dilanda
kemiskinan”.
Soekanto ( 1994:406 ) mengemukakan bahwa yang menjadi faktor yang
menyebabkan masyarakat benci terhadap kemiskinan adalah kesadarannya bahwa
mereka telah gagal dalam memperoleh lebih dari pada apa yang telah dimilikinya
dan perasaan akan adanya tindak ketidakadilan.
Kemiskinan bagi pengarang bukannlah sebuah takdir, melainkan akibat
dari permainan penguasa yang mengatasnamakan kebijaksanaan. Kebijaksanaan
pemerintah dalam melakukan pembangunan gedung gedung megah dan segala
fasilitasnyamenjadikan sebab salah satu kemiskinan yang ada pada rakyat.
Puisi ini di buat oleh penyair pada tahun 2011 bermaksud mengajak dan
mengingatkan juga menyindir para anggota dewan agar tidak sedikitpun dan tidak
lupa pada kondisi rakyat yang masih di cengkeram kemiskinan. Seharusnya para
pejabat termasuk didalamnya para anggota dewan memiliki sikap mau dan
mampu mengedepankan kepentingan rakyat.
44
2. Kami Tidak Lebih Baik
Di mana kalian
saat kami terlempar ke jalanan
sedang anjing dan kucing
punya rumah saat terkencing
Di mana kalian
saat kami terseok kelelahan
sedang babi dan burung
punya harap meski terkurung
(Ciu Cahyono, 2010)
Pada Bait I baris 1-4
Dala bait ini berisi Kondisi rakyat Indonesia setelah sepuluh tahun dalam
iklim reformasi ternyata tidak lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Fenomena
anak-jalanan dan pengemis mencuat di era reformasi; satu era yang digadang-
gadang menjadi awal kemakmuran negeri dengan dibenahinya sistem
pemerintahan dengan pejabat yang peduli dengan kondisi rakyatnya.
Di mana kalian
saat kami hilang teriakan
sedang ular dan kepik
punya daulat dengan berbisik
(Ciu Cahyono, 2010)
45
“Di mana kalian” adalah kalimat awal pada tiap paragraf dalam puisi ini
yang bermaksud bertanya pada penyelenggara negara atau pejabat; turut hadirkah
negara dalam kehidupan rakyat. Kalimat pembuka tiap paragraf tersebut
digunakan penyair untuk menyorot kepedulian para pejabatnya menyangkut nasib
rakyat. Sebab, bisa jadi para pejabat itu dekat secara fisik dengan rakyat, tapi tidak
mau tahu dengan nasibnya. Dan tidak peduli pada nasib rakyat, padahal para
pejabat digaji serta difasilitasi oleh uang rakyat, dan rakyat indonesia masih harus
mencengkeram kemiskinan.
3. Mas Kawin Mas Kaboer
Takdirnya Kaboer jadi penyair
jidat botak kebanyakan mikir
Ciri khas tak dapat ditiru
begitu lahir sudah begitu
Puisi ini penyair tulis dengan tema plagiasi atau usaha mengakui karya
cipta orang lain dalam hal ini puisi. Seperti yang kita semua pahami, bahwa
plagiasi adalah salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan karena seseorang
mencuri kekayaan intelektual orang lain serta mengambil alih hak orang lain atas
hasil yang bisa diperoleh dari kekayaan intelektual tersebut.
kemiskinan yang membelit tokoh Kaboer yang adalah korban tindak
plagiasi.
Dengan puisi Mas Kawin Mas Kaboer ini penyair berharap publik
pembaca bisa menyerap pesan moral tentang seberapa bahaya ambisi manusia
yang tidak dibarengi dengan kemampuan bisa menjerumuskan seseorang berlaku
46
jahat bahkan dengan mematikan rasa dan nurani. Seperti yang tergambar dalam
bait terakhir:
Penyair muda bernama Jaka
sambar kertas tak ada rasa
Biarkan mayat busuk sekalian
pulang kampung jadi tujuan:
Sumi! Sumi! Sumi!
Maukah kau kunikahi
dengan mas kawin puisiku ini?
Dengan puisi ini pula penyair bermaksud mengajak publik pembaca selalu
berusaha menghargai karya cipta orang lain serta meningkatkan kemampuannya
sendiri dalam dunia penulisan sastra agar tidak tergoda melakukan tindak plagiasi
yang adalah termasuk kejahatan kemanusiaan.
A. Tanggapan Pengarang Terhadap kejahatan kemanusiaan
a. Tanggapan pengarang terhadap Korupsi yang terjadi di kalangan elit politik
Kejahatan di dalam penelitian ini mencakup beberapa hal yaitu tentang
Korupsi, Nepotisme, Kemudian tentang perampasan hak kemerdekaan bersuara,
dan juga tentang pelecehan seksual. Berikut ini merupakan tanggapan pengarang
terhadap kejahatan kemanusiaan.
47
Kejahatan kemanusian yang pertama adalah tentang korupsi. Terdapat di
dalam puisi yang berjudul Aku dan Rantai. Sebagai berikut.
Temanku yang bernama Tukas
masih berkeliling negeri. Ia memburu seekor nyamuk
pembunuh Kilah, teman baiknya.
( Ciu Cahyono, 2011 )
Penulisan puisi ini terinspirasi oleh kasus terbunuhnya Nasrudin
Zulkarnaen yang membelit mantan ketua KPK, Antasari Azhar, sebagai tersangka
utama. Namun begitu puisi ini sama sekali bukanlah puisi yang menggambarkan
seperti apa kasus tersebut.
Puisi Aku dan Rantai ini ditulis untuk menggambarkan secara umum
tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dengan menghalalkan segala cara dan
dalam hal ini secara konspirasi. Adalah kejahatan yang dilakukan oleh manusia-
manusia yang didorong ambisi beroleh kekuasaan, pengkhianatan, serta motif-
motif lainnya.
Puisi ini menggunakan serta menggabungkan tokoh-tokoh imajinatif orang
dengan hewan seperti 'nyamuk' dan 'ketonggeng', yang menggambarkan adanya
sebuah rekayasa demi menghilangkan nyawa satu tokoh serta konspirasi untuk
menjebak tokoh lain.
Penggunaan tokoh-tokoh hewan dalam puisi ini untuk mempertegas bahwa
orang pun dapat melakukan hal-hal musykil, menggunakan segala macam cara,
demi memenuhi rencana jahatnya.
48
Dari puisi Aku dan Rantai ini, pembaca/publik dapat menangkap pesan
tentang kewaspadaan dalam puisi ini, sebab, betapa banyak di sekitar kita orang-
orang yang siap-sedia melancarkan kejahatan dengan cara terencana.
Kemudian ada lagi puisi yang berjudul Jaringan maling, Sebagai berikut.
Burung yang kini nangkring
di atas kepala botakku
adalah burung kesayangan bapakmu
yang sedang membangun sarang
dengan rambut
yang baru saja kaucabut
dari batok kepala mereka
( Ciu Cahyono, 2010 )
puisi ini penggambaran tentang korupsi sekaligus nepotisme yang
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sebelum sampai pada penulisan puisi Jaringan Maling ini, penyair merasa
perlu menunjukkan pada publik pembaca bagaimana praktek korupsi dan
nepotisme telah menyengsarakan masyarakat. Dengan gaya imajinatif, dikisahkan
ada lima (5) tokoh dalam puisi ini: 'aku', 'burung', 'bapakmu', 'kau', dan 'mereka'.
Tokoh 'aku' dengan kepala botaknya dihinggapi 'burung' yang sedang
beraksi dengan membangun sarang (baca: korupsi). 'Burung' tersebut adalah
burung kesayangan 'bapakmu'. Dari sini pembaca akan tahu ada relasi (baca:
kroni) antara 'burung' dan 'bapakmu' yang merupakan nepotisme. Nepotisme
terjadi pula antara 'bapakmu' dengan 'kau', yang mana tokoh 'kau' juga melakukan
49
aksinya yakni mencabut rambut dari batok kepala tokoh 'mereka'. Sementara,
rambut 'mereka' yang dicabut oleh 'kau' digunakan 'burung' untuk membangun
sarang. ini artinya ada relasi juga antara 'burung' dengan 'kau'.
Dengan demikian relasi antara 'burung', 'bapakmu', 'kau' adalah relasi
dalam hal korupsi sekaligus nepotisme. Penyair menggunakan frasa "mencabut
rambut" sebagai ganti untuk istilah korupsi, dan relasi antar ketiga tokoh tersebut
untuk menunjukkan nepotisme.
Maka, korupsi sekaligus nepotisme seperti ini bisa disebut sebagai sebuah
jaringan maling. Dengan korban yakni tokoh 'aku' dan 'mereka'.
Gambaran seperti apa korupsi sekaligus nepotisme, secara imajinatif. Ada
kejahatan kemanusiaan di sana. Lebih jauh lagi, ini menjadi warning atau
pengingat bagi kita semua bahwa kejahatan yang dilakukan secara bersama
(jaringan) tentu lebih dahsyat dan membabi-buta serta lebih susah untuk dibasmi.
Bahkan, saking kuatnya jaringan tersebut, sampai-sampai 'aku' yang sudah botak
alias tidak punya rambut masih dihinggapi 'burung'. Nah, apalagi yang hendak
diambil paksa oleh 'burung' dari kepala botak tokoh 'aku'? Mari bersama-sama
mewaspadai tindak korupsi sekaligus nepotisme dimulai dari diri-sendiri.
b. Tanggapan pengarang terhadap perampasan kebebasan atau kemerdekaan
bersuara
Perampasan kebebasan bersuara merupakan salah satu dari tindak
kejahatan kemanusiaan . hal tersebut merupakan pelanggaran hukum dalam hak
mengajukan pendapat. Sesuai dengan UUD, Pasal 44 nomor 39, yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak menyatakan pendapat, permohonan, pengaduan dan
50
atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintah yang bersih,
efektif dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan.
Dalam buku kumpulan sajak aku dan rantai karya Ciu Cahyono ini ada puisi
yang menggamparkan keadaan itu. Yaitu berjudul Kami bukan Rakyat, Sebagai
berikut.
Kami bukan rakyat
karena rakyat sudah mampus
sejak lama
Kami cuma jelata
yang terhisap dan tertipu
topeng seribu wajah
mulut bisa, nafasnya fitnah
Kami digiring. Berkeliling
Kami tajamkan cakar dan taring
( Ciu Cahyono, 2003 )
Puisi Kami Bukan Rakyat ini berusaha mengajak publik pembaca dan
rakyat Indonesia untuk menyadari sepenuhnya bahwa mereka tidak lebih dari alat
bagi parpol dan politikus mendapat kekuasaan, yang mana setelah kekuasaan
didapat maka parpol dan politikus dengan mudah melupakan janji-janjinya yang
pernah terucap saat kampanye.
Sungguh ironis, sebab janji-janji parpol dan politikus selalu dan biasanya
kemudian terbukti sebagai tipu-daya belaka. Namun, rakyat tetap berpawai
membela parpol dan politikus, bahkan sering dengan cara berdarah-darah, rela
bentrok dengan pendukung parpol dan politikus lainnya. Padahal, pada akhirnya
51
toh mereka sendiri yang bekerja keras demi melakoni hidup yang makin sulit.
Seperti pada paragraf pertama:
Kami cuma jelata
yang terhisap dan tertipu
topeng seribu wajah
mulut bisa, nafasnya fitnah
Kami digiring. Berkeliling
Kami tajamkan cakar dan taring
demi kursi dan panji-panji terhormat
Lalu kami dibiarkan melarat
berebut nasi dan garam tinggal sekerat
Dengan puisi ini penyair ingin bersama-sama dengan publik pembaca dan
rakyat untuk memberi kesadaran pada diri kita masing-masing, bahwa kita
sebagai rakyat jangan mau lagi hanya dimanfaatkan suaranya saja. Jika kita mau
menyadari akan hal ini dan bersatu-tekad berpandangan kritis terhadap parpol dan
politikus, maka kita bisa benar-benar berperan sebagai rakyat yang berdaulat dan
mendapat haknya. Dan bukan sebagai pihak yang melulu diperalat kemudian
diabaikan.
Puisi ini pun, seperti pada puisi-puisi sebelumnya, menyiratkan tentang
persoalan kejahatan terhadap kemanusiaan, lebih tepatnya menciderai rasa
keadilan, dengan rakyat sebagai korbannya.
52
Ancaman
Awas kalau kau
jadi awas
Puisi Ancaman ini penyair tulis sebagai potret sosial tentang masih
seringnya terjadi intimidasi bahkan tindak kekerasan yang dialami oleh orang-
orang yang berpikiran kritis terhadap laju pemerintahan.
Setelah jatuhnya Soeharto dan diganti oleh era reformasi yang diharapkan
oleh rakyat sebagai era kebebasan mengeluarkan pendapat, nyatanya intimidasi
dan tindak kekerasan masih terus berlanjut dan menimpa mereka yang berpikiran
kritis. Di era reformasi masih banyak intimidasi dan tindak kekerasan yang
dialami oleh aktifis dan juga golongan pekerja pers. Khususnya aktifis lingkungan
hidup dan pekerja pers yang memberitakan kasus-kasus lokal atau menyangkut
pejabat-pejabat daerah.
Hal itu, selain bertentangan dengan semangat reformasi juga bertentangan
dengan hak asasi manusia dalam hal kebebasan berpendapat yang adalah suatu
kejahatan terhadap kemanusiaan. Bahkan bisa pula berakibat pada tindak kriminal
sebab pembungkaman terhadap mereka yang berpikiran kritis tak jarang memakan
korban nyawa.
Atas dasar kondisi inilah penyair menggagas puisi Ancaman untuk
mengingatkan kembali pada negara tentang semangat kebebasan berpendapat,
kebebasan pers, dan peran negara dalam menjamin terpenuhinya hak rakyat
mengeluarkan pendapat.
Dalam puisi ini, kata „awas‟ pada baris pertama menunjukkan suatu
peringatan atau ancaman, yakni bagi mereka yang memiliki „awas‟ pada baris ke
53
dua. „awas‟ pada baris ke dua mempunyai arti „mengetahui‟, dan bisa juga
diartikan sebagai „waspada‟.
Jika pejabat mengatakan “Awas kalau kau jadi awas.” Maka itu adalah
ancaman atau intimidasi dan usaha pembungkaman bagi mereka yang berpikiran
kritis dan hendak mengeluarkan pendapatnya. Dan itu adalah tindak kejahatan
kemanusian yang tidak main-main akibatnya.
Maka, dengan puisi ini penyair secara singkat ingin mengingatkan kembali
pada publik pembaca, bahwa ancaman bagi mereka yang berpikiran kritis
terhadap laju pemerintahan, masih terus berlanjut bahkan setelah Soeharto beserta
Orde Baru tumbang. Dengan puisi ini pula penyair berharap negara berperan
penuh dan aktif dalam menjamin terpenuhinya hak rakyat mengeluarkan
pendapat.
c. Tanggapan pengarang terhadap kejahatan kemanusiaan tentang pelecehan
seksual.
Dari puisi yang ditulis penyair ini adalah sebuah penggambaran tentang pelecehan
seksual yang terjadi pada salah satu rakyat Indonesia yang berada di luar negeri.
Berjudul Kupanggili Nenek Moyang.
Sambil kubayangkan mereka ditendang
dan buahdada ditepuk serupa gendang
kupanggili kau, wahai, nenekmoyang
Dengarlah ya dengarlah!
Cucumu mengerang dengan dada terbelah
Lihatlah ya lihatlah!
Cucumu terjengkang tak bisa tengadah
54
( Ciu Cahyono, 2010 )
Puisi Kupanggili Nenek Moyang ini penyair tulis sebagai respon atas
maraknya tindak kekerasan yang diterima oleh TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di
negeri Malaysia.
Gagasan Dasar
Penyair menggunakan judul Kupanggili Nenek Moyang, sebab, setelah
waktu berlalu nyatanya kekerasan demi kekerasan tetap diterima para TKI, seolah
pemerintah Indonesia pun Malaysia tidak mengambil tindakan untuk melindungi
para pekerja dari ulah para majikan yang tidak bertanggung jawab, atau dengan
kata lain pemerintah kedua negara tidak bisa diharapkan. Sementara pemilihan
kata „Nenek Moyang‟ untuk menyindir Malaysia sekaligus mengingatkan kembali
bahwasannya bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia adalah serumpun.
Dengan puisi ini penyair ingin menyampaikan perasaan empati dan
pembelaan kepada para TKI sekaligus menyampaikan protes baik kepada para
majikan dan juga pemeritahan Malaysia serta pemerintahan Indonesia. Agar
tindak kekerasan, termasuk di dalamnya pelecehan seksual, tidak lagi menimpa
para TKI.
Dengan puisi ini pula, penyair bermaksud menegaskan kembali bahwa
nasib TKI di luar negeri adalah cermin bagi martabat bangsa dan negara
Indonesia. Nasib TKI yang tidak dihormati di luar negeri bisa menjadi pertanda
bahwa bangsa dan negara Indonesia sedang direndahkan. Dan itu tak boleh
terjadi.