1
BAB IV
GAMBARAN UMUM EKONOMI PERDAGANGAN ANTARA
INDONESIA-AMERIKA SERIKAT DALAM KERANGKA
TIFA
4.1. Sejarah dan Hubungan Ekonomi Bilateral Indonesia-Amerika Serikat
dalam kerangka TIFA.
Indonesia merupakan sebuah negara yang unik, karena seluruh wilayah
Indonesia tersusun oleh gugusan pulau yang jumlahnya lebih dari tujuh belas ribu
pulau. Wilayah Indonesia sendiri terletak di kawasan benua Asia bagian Tenggara.
Selain itu, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat
di dunia, yaitu lebih dari 261 juta jiwa. Indonesia juga merupakan negara dengan
jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia dengan persentase lebih dari delapan
puluh lima persen dari total jumlah penduduk Indonesia (Census Government,
2017). Berbeda dengan Indonesia, Amerika Serikat merupakan sebuah negara
daratan yang terletak di benua Amerika bagian Utara. Amerika Serikat merupakan
sebuah negara federal yang tersusun dari lima puluh negara bagian dan merupakan
negara dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia, yaitu lebih dari 326 juta
jiwa (Census Government, 2017).
2
Gambar 2. Peta lokasi Indonesia (hijau) dan Amerika Serikat (oranye).
Sumber : BlankMap-World6-Google Maps.
Pada dasarnya hubungan atau kontak awal antara Indonesia (Hindia
Belanda) dan Amerika Serikat telah dimulai sejak tahun 1801 di mana Amerika
Serikat memiliki Konsulat di Batavia Jakarta, hingga kemudian ditutup tahun 1942.
Hubungan kedua negara kemudian dilanjutkan ketika Indonesia merdeka di tahun
1945 hingga saat ini (US Government, 2017). Dalam hal ini, dinamika hubungan
bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat mengalami pasang surut sejak awal
kemerdekaan hingga saat ini. Hal ini dapat digambarkan seperti misalnya pada
masa pemerintahan awal, Presiden Soekarno bersikap anti Barat (AS) baik di dalam
penerapan politik luar negeri maupun dalam negerinya karena beberapa alasan,
seperti keinginan pemerintah Indonesia sebagai negara yang baru merdeka untuk
mandiri dari pengaruh-pengaruh Barat (Bunnel, 1996). Keadaan ini tentu saja
berubah drastis tatkala Presiden Soekarno lengser dan digantikan oleh rezim
Soeharto yang sangat pro terhadap Barat (AS) di dalam penerapan politik luar
negeri maupun dalam negerinya (Smith, 2003).
Dengan adanya penerapan sikap anti Barat oleh Presiden Soekarno, ternyata
hal tersebut memberikan dampak buruk terhadap perekonomian Indonesia.
Keadaan inilah yang kemudian coba dirubah oleh Presiden Soeharto yang mulai
menjabat menjadi Presiden Indonesia sejak tahun 1967. Dengan adanya warisan
3
hutang yang begitu banyak dari pemerintahan sebelumnya, Soeharto memutuskan
untuk beralih pandangan dengan pro terhadap blok Barat guna dapat menyelesaikan
permasalahan finansial keuangan Indonesia. Soeharto berpandangan bahwa kunci
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah dengan menjadikan Amerika
Serikat sebagai mitra kerjasama. Melalui tindakan dan sikap Presiden Soeharto
inilah, hubungan antara Indonesia dengan Amerika Serikat berangsur-angsur
membaik (Smith, 2003). Di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, perekonomian
Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan melalui Repelita
(Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang dicanangkan oleh Presiden Soeharto.
Keberhasilan-keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia inilah yang
kemudian menjadikan kerjasama bilateral Indonesia-Amerika Serikat di bidang
perekonomian semakin meningkat (Kemendag, 2017). Salah satu wujud nyata dari
kerjasama perekonomian antara kedua negara adalah dengan ditandatanganinya
komitmen kerjasama bilateral kedua negara melalui Trade and Investment
Framework Agreements (TIFA) di tahun 1996 (Kemendag, 2017).
Dalam masa peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto di akhir tahun
1990-an, Indonesia seperti banyak negara-negara di Asia Timur menderita akibat
adanya Krisis Finansial. Krisis Ekonomi di tahun 1997 (dimulai di Thailand dan
kemudian dengan cepat menyebar ke beberapa negara, termasuk Indonesia)
kemudian berimbas pada adanya depresiasi nilai rupiah. Keadaan seperti inflasi,
banyaknya perusahaan yang bangkrut (disebabkan oleh adanya hutang jangka
pendek perusahaan dan perilaku bisnis yang korup), serta hampir runtuhnya sistem
perbankan Indonesia. Pada tahun 1998, GDP riil Indonesia berkurang sebanyak
13.2 persen, dengan perincian ekspor dan impor berkurang sebanyak 13.2 persen
dan 34.5 persen. Pada akhirnya, kemiskinan yang diakbatkan oleh pengangguran
bertumbuh pesat pada pertengahan 1997 dan di akhir 1998 (Congresional Research
Service, 2004).
4
Tabel 4.1. Grafik ekonomi Indonesia tahun 1997-2003.
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Rata-rata Kurs mata uang
(Rupiah per US$
2,909
10,014
7,855
8,422
10,261
9,321
8,571
Pertumbuhan GDP riil (%)
4,5 -13,2 0,8 4,9 3,5 3,6 4,1
GDP (Miliar US$) 216 95 141 152 145 178 215
Ekspor (Miliar US$)
53,4 48,8 48,7 62,1 56,3 57,2 59,8
Impor (Miliar US$)
41,7 27,3 24,0 33,5 31,0 31,3 32,9
Stok Investasi Langsung Asing (FDI) dalam (%) dari GDP (Miliar
US$)
68,8
68,5
65,2
60,6
57,4
53,9
54,8
Hutang dalam (%) dari GDP
72,5 55,2 76,9 102,4 90,1 78,1 70,7
Pengangguran (%) 4,6 5,5 6,4 6,1 8,1 8,3 8,7
Sumber : Data diolah dari Intelejen Ekonomi dan Pemerintah Indonesia.
Keadaan politik yang tidak stabil dalam hal ini menyebabkan munculnya
krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang mana berdampak pada mundurnya
Presiden Soeharto pada Mei 1998. Runtuhnya rezim Soeharto, Indonesia memasuki
babak baru, yaitu politik demokrasi di Indonesia di bawah pemerintahan berikutnya
B. J. Habibie (21 Mei 1998-20 Oktober 1999) dan kemudian digantikan oleh Gus
Dur (20 Oktober 1999-23 Juli 2001) yang mana kemudian keadaan politik ekonomi
Indonesia mengalami masa yang lebih stabil tatkala Megawati Soekarnoputri (23
Juli 2001-20 Oktober 2004) mulai menjabat (Presiden RI, 2017). Tidak dapat
dielakkan bahwa sebagaimana digambarkan oleh GDP (Gross Domestic Product /
Produk Domestik Bruto / Pendapatan kotor suatu negara) Indonesia melalui tabel
4.1., dapat dikatakan bahwa perekonomian Indonesia mengalami penurunan
signifikan selama tahun 1997-1998.
5
Dapat dilihat juga melalui persentase pertumbuhan GDP, Indonesia baru
mengalami peningkatan setelah tahun 1999, di mana pada periode 1997-1998,
Indonesia mengalami penurunan sebanyak 13.2 persen. Perubahan atau
peningkatan GDP baru terjadi di tahun 2002, ketika masa pemerintahan Megawati
Soekarnoputri. Adanya peningkatan perekonomian Indonesia menjadi lebih baik
tidak lain karena adanya bantuan dari pinjaman asing seperti Bank Dunia, IMF
(International Monetary Fund), Bank Pembangunan Asia, maupun bentuk
pinjaman luar negeri lainnya (Congresional Research Service, 2004). Dengan
adanya ketidakstabilan perekonomian dan politik Indonesia pada masa peralihan
rezim Soeharto ke era Demokrasi, TIFA antara Indonesia dan Amerika Serikat baru
efektif digunakan pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, walaupun
memang penandatanganan Nota Kesepahaman antara kedua negara telah dilakukan
pada 16 Juli 1996 (Kemendag, 2017).
Tabel 4.2. Mitra dagang utama Indonesia tahun 2002.
(Miliar US$)
Mitra dagang Total perdagangan
Ekspor Impor Keseimbangan (Balance)
Jepang 16.4 12.0 4.4 7.6
Amerika Serikat 10.2 7.6 2.6 5.0
Singapura 9.4 5.3 4.1 1.2
Korea Selatan 5.7 4.1 1.6 2.5
Tiongkok 5.3 2.9 2.4 0.5
Sumber : Data diolah dari PBB-Perdagangan dan Pembangunan.
Berdasarkan data PBB dan WTO (World Trade Organization), pada tahun
2002, Indonesia merupakan negara eksportir terbesar ke-28 dan merupakan negara
importir terbesar ke-39 di dunia. Melalui gambar di atas, beberapa negara mitra
dagang dari Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Korea Selatan
dan Tiongkok. Amerika Serikat adalah mitra dagang terbesar kedua Indonesia di
tahun 2002 dan merupakan negara importir terbesar Indonesia (Congresional
Research Service, 2004). Dalam hal ini sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
6
TIFA antara Indonesia dan Amerika Serikat baru mulai digunakan di awal tahun
2000-an, yaitu pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Salah
satu bentuk kerjasama melalui TIFA yang kemudian diwujudnyatakan oleh kedua
negara adalah dengan adanya peningkatan kualitas perdagangan kedua negara. Hal
ini tercermin dengan adanya peningkatan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat baik
migas maupun non-migas (Kemendag, 2017).
Peningkatan ekonomi perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat melalui
TIFA pada awal tahun 2000-an mengalami peningkatan dan penurunannya
tersendiri. Amerika Serikat di awal tahun 2000-an mengindikasikan bahwa
Indonesia bukanlah merupakan negara utama yang menjadi mitra dagang Amerika
Serikat. Pada tahun 2003, Indonesia merupakan negara tujuan ekspor terbesar ke-
37 dengan nilai 2.5 miliar dolar AS dan negara impor terbesar ke-26 dengan nilai
9.5 miliar dolar AS. Walaupun Indonesia bukan merupakan salah satu mitra utama
dagang dari Amerika Serikat, akan tetapi keseriusan kedua negara dalam
meningkatkan hubungan dagang bersifat positif. Seperti misalnya, Amerika Serikat
meningkatkan nilai ekspor terhadap Indonesia melalui kedelai, tekstil, peralatan
telekomunikasi dan crude rubber. Sebaliknya, Indonesia pada tahun 2003
melakukan ekspor utama ke Amerika Serikat melalui minyak sawit dan petroleum.
Nilai positif perdagangan kedua negara terlihat mengalami peningkatan di tahun
2003. Hal ini dapat dilihat melalui tabel 4.3. di bawah bahwa ekspor Indonesia ke
Amerika Serikat mengalami peningkatan pada tahun 2003 hingga tahun 2005, dan
mengalami penurunan pada tahun 2006 hingga meningkat kembali hingga tahun
2008, serta menurun kembali di tahun 2009 akibat adanya krisis global
(Congresional Research Service, 2004).
7
Tabel 4.3. Grafik ekspor non-migas Indonesia ke Amerika Serikat tahun 2000-2010.
Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia dan Kementerian Perekonomian.
Dalam tabel 4.3. dapat dilihat bahwa nilai ekspor non-migas Indonesia
mengalami peningkatan sebesar 12.25 persen pada 2008, lalu turun sebesar 16.77
persen pada 2009, namun disusul kemudian dengan kenaikan di tahun 2010 sebesar
31.49 persen (Kemendag, 2012). Dengan adanya dampak dari krisis global di tahun
2008, pemerintah kedua negara melalui Kemendag dan USTR melakukan
pembahasan mengenai permasalahan perdagangan kedua negara melalui kerangka
TIFA. Beberapa pembahasan yang dilakukan adalah mengenai penghapusan biaya
non-tarif, regulasi FDI (foreign direct investment atau investasi asing langsung)
yang semakin dipermudah dan pelibatan pihak dalam pemberian masukan terkait
kebijakan kedua negara (Kemendag, 2012).
Pada era saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa Amerika Serikat masih
menjadi kekuatan utama baik politik maupun ekonomi dunia. Hal inilah yang
kemudian menjadi dasar bahwa Amerika Serikat hingga saat ini masih menjadi
mitra dagang utama Indonesia, selain Tiongkok dan Jepang. Dapat dilihat melalui
gambar di bawah bahwa Amerika Serikat masih mendominasi kekuatan ekonomi
dunia dengan tolok ukur GDP suatu negara, yang mana kemudian di susul oleh Uni
Eropa dan Tiongkok. Gambar di bawah menunjukkan besarnya GDP suatu negara
8
terhitung periode tahun 2015-2016 (World Bank, 2017). Dapat dipahami bahwa
kestabilan perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat menjadi salah satu
kekuatan ekonomi yang memberikan keuntungan pada keduanya, seperti misalnya
memberikan pangsa pasar ekspor yang besar terhadap kedua negara.
Tabel 4.4. Ranking negara berdasarkan GDP tertinggi pada tahun 2016.
Urutan/Ranking Negara GDP (US$ Miliar)
Dunia 75,543,543
1. Amerika Serikat 18,569,100
- Uni Eropa 16,397,980
2. Tiongkok 11,199,145
3. Jepang 4,939,384
4. Jerman 3,466,757
5. Britania Raya (UK) 2,618,886
6. Perancis 2,465,454
7. India 2,263,522
8. Italia 1,849,970
9. Brazil 1,796,187
10. Kanada 1,529,760
11. Korea Selatan 1,411,246
12. Rusia 1,283,162
13. Spanyol 1,232,088
14. Australia 1,204,616
15. Meksiko 1,045,998
16. Indonesia 932,259
17. Turki 857,749
9
18. Belanda 770,845
19. Swiss 659,827
20. Arab Saudi 646,438
Sumber : Data diolah dari Bank Dunia.
Tabel 4.5. Grafik nilai perdagangan Indonesia-AS tahun 2000-2015.
Keterangan : Merah ( Ekspor Amerika Serikat ke Indonesia), Biru
( Impor Amerika Serikat dari Indonesia/Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat).
Sumber : Kamar dagang Amerika-Indonesia.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, walaupun Indonesia saat ini
(2015) bukan merupakan mitra dagang utama Amerika Serikat (negara mitra
terbesar ke-27), namun Amerika Serikat adalah mitra dagang utama dari Indonesia.
Amerika Serikat merupakan salah satu negara tujuan ekspor terbesar Indonesia,
10
selain Tiongkok dan Jepang, atau dengan kata lain adalah Amerika Serikat
merupakan salah satu importir terbesar Indonesia (US Trade Government, 2017).
Dalam hal ini tentu saja ekspor yang dilakukan oleh Indonesia baik migas maupun
non-migas sangat dibutuhkan oleh Amerika Serikat, sehingga dapat menjadikan
Amerika Serikat sebagai salah satu tujuan utama ekspor Indonesia. Hal ini terbukti
dengan adanya nilai ekspor Indonesia yang selalu lebih besar dibandingkan dengan
nilai impor Amerika Serikat (US Chamber of Commerce, 2016). Dapat dilihat
melalui gambar di atas bahwa nilai ekspor-impor kedua negara menunjukkan
dinamika perdagangan kedua negara yang memberian keseimbangan positif
terhadap Indonesia.
Dalam hal ini peran TIFA dalam hubungan perdagangan Indonesia-
Amerika Serikat adalah berusaha memberikan tren positif dalam ekonomi
perdagangan kedua negara. Kedua negara menitikberatkan pembahasan mengenai
TIFA di tahun-tahun riskan seperti pada saat krisis global di tahun 2008 yang
memberikan dampak negatif terhadap perdagangan kedua negara pada tahun 2009
(Kemendag, 2017). Melalui tabel 4.5., dapat dipahami bahwa tren negatif
ditunjukkan oleh perdagangan kedua negara pada paruh waktu 2009, yang mana
hal ini disebabkan oleh krisis global di tahun 2008. Langkah yang kemudian
ditunjukkan atau diambil oleh kedua negara melalui TIFA adalah dengan
mengeluarkan beberapa kebijakan seperti penghapusan hambatan non-tarif,
pemberian regulasi yang semakin dipermudah maupun meningkatkan investasi
asing. Perlu diketahui juga bahwa peran TIFA antara pemerintah Indonesia dan
Amerika Serikat dalam membangun hubungan ekonomi bilateral kedua negara
hingga saat ini adalah langkah positif untuk meningkatkan nilai perdagangan dari
tahun ke tahun. TIFA bukan sebagai instrumen intervensi pemerintah untuk
meningkatkan nilai perdagangan, bukan sebagai alat yang digunakan sebagai
penghambat perdagangan bebas sebagaimana ditakutkan oleh liberalisme klasik.
Pada dasarnya, walaupun kedua negara baik Indonesia maupun Amerika
Serikat memiliki beberapa perbedaan, seperti bentuk pemerintahan maupun lokasi
geografis kedua negara yang berbeda. Namun, atas dasar kepentingan nasional, tiap
11
negara berusaha untuk menjalin hubungan bilateral yang semakin meningkat dari
tahun ke tahun, serta atas adanya fakta bahwa kondisi perekonomian dunia semakin
tergantung satu dengan yang lainnya, maka hubungan ekonomi bilateral yang kuat
semakin terjalin dalam perkembangannya. Diketahui bahwa saat ini (2015)
Indonesia merupakan mitra dagang urutan ke-27 bagi Amerika Serikat, mitra
dagang urutan ke-13 terbesar di Asia, dan mitra dagang terbesar urutan ke-6 di Asia
Pasifik bagi Amerika Serikat. Dalam hal ini walaupun fakta mengatakan bahwa
Indonesia bukan merupakan negara mitra utama bagi ekspor produk Amerika
Serikat, akan tetapi Indonesia memiliki posisi strategis dalam kestabilan ekonomi
politik Amerika Serikat di wilayah Asia, terutama wilayah Asia Pasifik (US Trade
Government, 2017).
Dalam hal ini bahkan pemerintah Amerika Serikat menyebut Indonesia
sebagai “the cornerstone of regional security in Southeast Asia and a key trading
partner” atau dapat dikatakan sebagai kunci dalam kesuksesan kepentingan
keamanan Amerika Serikat di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik sekeligus sebagai
salah satu mitra dagang terpenting Amerika Serikat (Department of State, 2004).
Alasan Indonesia menjadi salah satu negara yang dianggap penting bagi Amerika
Serikat walaupun Indonesia bukan merupakan negara tujuan ekspor utama bagi
Amerika Serikat (ke-27) adalah bahwa Indonesia merupakan negara pemasok
barang (ekspor) terbesar ke-4 di wilayah Asia Pasifik setelah Vietnam, Malaysia
dan Thailand (US Trade Government, 2017). Dalam hal ini yang perlu menjadi
landasan utama dalam perdagangan internasional adalah bukan hanya bertumpu
pada seberapa besar nilai perdagangan yang dihasilkan, namun juga bertumpu pada
kestabilan perdagangan dari waktu ke waktu. Selain itu dalam konteks ekonomi,
hubungan ekonomi bilateral kedua negara memang sejak awal dilandasi tujuan
untuk menciptakan kondisi perekonomian yang sehat dan kondusif agar mampu
memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, mengurangi
pengangguran, maupun meningkatkan kualitas hidup masyarakat kedua negara,
yang mana kedua negara percaya bahwa hal ini akan memberikan dampak yang
12
baik terhadap kualitas demokrasi dan kestabilan politik dalam relasi kedua negara
(Congresional Research Service, 2004).
4.2. Gambaran mengenai Trade and Investment Framework Agreements
(TIFA) antara Indonesia-Amerika Serikat.
Pada dasarnya TIFA adalah kerangka kerjasama (pakta perdagangan) di
bidang investasi dan perdagangan yang diinisiasikan oleh United States Trade
Representative (USTR) Amerika Serikat. USTR sendiri didirikan pada tahun 1962,
pada masa pemerintahan Presiden John F. Kennedy dan kemudian dipakai dan
dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden-presiden Amerika Serikat
berikutnya. USTR secara umum merupakan agen yang berada di dalam tubuh
pemerintahan federal Amerika Serikat yang secara umum merekomendasikan
kebijakan perdagangan kepada Presiden Amerika Serikat dan mengurus segala
sesuatu yang berhubungan dengan negosiasi perdagangan, baik pada level bilateral
maupun multilateral (USTR, 2016).
Pada dasarnya, USTR memiliki misi untuk membuka pasar di seluruh dunia
untuk menciptakan peluang baru dalam perekonomian Amerika Serikat bersama
dengan mitra kerjasama Amerika Serikat. Selain misi tersebut, USTR juga
berfungsi untuk mengkoordinasikan perdagangan internasional, kebijakan investasi
langsung Amerika Serikat, serta mengawasi negosiasi dengan negara lain.
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, USTR merupakan bagian dari Badan
Eksekutif Presiden, yang mana melalui struktur antar agensi di dalam pemerintahan
federal Amerika Serikat, USTR memiliki tugas untuk berkoordinasi mengenai
masalah perdagangan, menyelesaikan permasalahan perdagangan dan memberikan
saran kepada Presiden Amerika Serikat terkait isu perdagangan. Selain hal tersebut,
USTR juga memiliki tanggungjawab mengenai perjanjian bilateral, regional,
multilateral maupun masalah investasi, perluasan pasar Amerika Serikat juga
menjadi hal utama di dalam tugas USTR (USTR, 2016). Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa USTR merupakan agen yang berperan penting dalam
mengusulkan saran perdagangan kepada Presiden Amerika Serikat yang kemudian
13
bertanggungjawab kepada Kongres. Hal ini kemudian menjadi dasar penting yang
secara tidak langsung mengatakan bahwa kerjasama ekonomi merupakan salah satu
bentuk politik luar negeri yang sangat dijunjung oleh Amerika Serikat. Kerjasama
bilateral dalam bidang ekonomi terlihat memberikan dasar yang kuat bagi Amerika
Serikat melalui terbentuknya USTR di tahun 1962 dan masih digunakan sebagai
badan yang penting bagi Presiden Amerika Serikat hingga saat ini untuk mengambil
kebijakan bagi politik luar negerinya.
TIFA antara Indonesia dengan Amerika Serikat ditandatangani pada 16 Juli
1996 oleh Menteri Perdagangan Indonesia T. Ariwibowo dan perwakilan USTR
Charlene Barshefsky di Kota Christchurch, Negara Bagian Virginia, Amerika
Serikat. Dapat dikatakan bahwa TIFA sendiri merupakan bentuk kerjasama di
bidang ekonomi perdagangan yang dikembangkan di era Presiden Soeharto dengan
era Presiden Clinton. Akan tetapi, efektivitas dari TIFA sendiri kemudian belum
dapat dicapai di era pembentukannya (Soeharto-Clinton), karena permasalahan
politik Indonesia di tahun 1998 dan masa peralihan dari masa Orde Baru ke masa
Reformasi. Sehingga hal ini mengakibatkan TIFA baru efektif digunakan pada era
Presiden Megawati Soekarnoputri. Dengan mulai efektifnya TIFA di masa
pemerintahan Presiden Megawati tersebut, kemudian TIFA menjadi agenda
tahunan kedua negara untuk saling bertemu dan membicarakan mengenai
permasalahan perdagangan antar kedua negara, yang mana Indonesia diwakili oleh
Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan AS diwakili oleh USTR (Kemendag,
2017).
Adapun beberapa tujuan utama dari TIFA sendiri yang dijelaskan dalam
Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/ MoU) kedua negara tentang
TIFA antara Indonesia dan Amerika Serikat antara lain adalah bahwa Indonesia dan
Amerika Serikat sangat berkeinginan untuk melakukan peningkatan kualitas
persahabatan kedua negara dengan adanya kerjasama ekonomi perdagangan
melalui TIFA. Selain itu, dapat dipahami bahwa kedua negara sangat berkeinginan
untuk mengembangkan lebih lanjut hubungan bilateral dalam perdagangan dan
14
ekonomi antara kedua belah pihak berdasarkan persamaan dan keuntungan bersama
(USTR, 2016).
Dalam permasalahan Nota Kesepahaman yang disetujui oleh kedua negara
dan dengan memperhatikan keanggotaan mereka dalam GATT / Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO), dipahami bahwa Nota Kesepahaman ini tidak
mengurangi hak dan kewajiban para pihak berdasarkan GATT 1994, bersama-sama
dengan persetujuan, pengertian, dan instrumen lainnya, dan komitmen mereka
untuk menerapkan sepenuhnya dan setia terhadap hasil Putaran Negosiasi
Perdagangan Multilateral Uruguay. Selain itu, kedua pihak juga mengakui
pentingnya membina hubungan dalam lingkungan yang terbuka dan predictable
untuk investasi perdagangan internasional (USTR, 2016).
Dengan adanya Nota Kesepahaman yang disetujui oleh kedua negara, maka
kedua negara mengakui bahwa Nota Kesepahaman tersebut bertujan untuk
mengakui manfaat bagi masing-masing pihak akibat adanya peningkatan
perdagangan dan investasi internasional, dan menyetujui bahwa langkah-langkah
investasi dan proteksionisme yang bersifat distortif dapat menghalangi pihak-pihak
yang memanfaatkannya. Kedua negara juga menyadari adanya peran penting
investasi swasta, baik domestik maupun asing, dalam pertumbuhan yang lebih besar
untuk menciptakan lapangan kerja, memperluas perdagangan, memperbaiki
teknologi serta meningkatkan pembangunan ekonomi (USTR, 2016).
Dalam Nota Kesepahaman yang disetujui oleh kedua pihak, maka keduanya
menyadari bahwa investasi asing langsung (Foreign Direct Investment) memberi
manfaat positif pada masing-masing pihak dan menyadari bahwa peningkatan
layanan di bidang ekonomi dan hubungan bilateral sangat penting bagi kedua belah
pihak. Selain itu, kedua pihak percaya bahwa pertimbangan kebutuhan untuk
menghilangkan hambatan non-tarif guna memfasilitasi akses yang lebih besar ke
pasar kedua negara sangat diperlukan. Di dalam permasalahan standar perlindungan
produk, kedua negara juga menyadari pentingnya perlindungan dan penegakan hak
kekayaan intelektual secara memadai dan efektif, dan dengan mempertimbangkan
15
standar perlindungan yang ditetapkan oleh Perjanjian tentang TRIPs (Trade Related
Aspect of Intellectual Property Rights atau Aspek-Aspek Perdagangan yang
Berhubungan dengan Hak Milik Intelektual), dan konvensi hak kekayaan
intelektual (USTR, 2016).
Tujuan utama dari Nota Kesepahaman atau TIFA itu sendiri selain daripada
yang telah diulas sebelumnya juga memiliki tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan pekerja dan memberikan persyaratan dan ketentuan kerja yang lebih
baik. Selain itu, kedua negara juga menyadari keinginan untuk menyelesaikan
masalah perdagangan dan investasi sesegera mungkin jika memang ada
permasalahan yang harus dibahas. Bahkan dalam hal ini, kedua negara juga
berkeinginan untuk menimbang bahwa akan menjadi kepentingan bersama untuk
membentuk mekanisme bilateral antara para pihak untuk mendorong liberalisasi
dan promosi perdagangan, investasi dan arus sains dan teknologi di antara mereka,
dan juga untuk konsultasi mengenai masalah perdagangan dan investasi bilateral.
Dari adanya dasar penjelasan Nota Kesepahaman kedua negara tersebut,
dapat dipahami bahwa secara umum tujuan utama dari TIFA sendiri adalah untuk
membentuk sebuah perjanjian perdagangan dengan kerangka kerja untuk
memperluas perdagangan serta menyelesaikan hambatan-hambatan perdagangan
yang ada. Konsep yang dimiliki oleh TIFA sendiri adalah sebuah bentuk kerjasama
bilateral yang memiliki fokus untuk meningkatkan nilai perdagangan kedua belah
pihak. Selain itu, dalam Nota Kesepahaman yang ditandatangani Indonesia dan
Amerika Serikat pada 16 Juli 1996 juga menghasilkan beberapa persetujuan yang
dimuat ke dalam peraturan perundang-undangan oleh kedua negara.
4.3. Peraturan Undang-Undang mengenai Trade and Investment Framework
Agreements (TIFA) antara Indonesia-Amerika Serikat.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang dihasilkan maupun
disepakati oleh kedua negara, diantaranya adalah para pihak (Indonesia dan
Amerika Serikat, dalam Nota Kesepahaman yang berlaku antara kedua negara,
kedua negara setuju untuk menyebut Indonesia dan/atau Amerika Serikat sebagai
16
pihak) sepakat untuk membentuk Dewan Perdagangan dan Investasi (Pasal 1,
USTR, 2016). Adapun kemudian, Dewan Perdagangan dan Investasi terdiri dari
perwakilan kedua pihak. Pihak dari Indonesia akan diketuai oleh Departemen
Perindustrian dan Perdagangan / Kementerian Perdagangan Republik Indonesia,
dan pihak Amerika Serikat akan diketuai oleh Kantor Perwakilan Perdagangan
Amerika Serikat (USTR). Dalam menjalankan kegiatan kerjasama antara kedua
belah pihak, biasanya Dewan akan memasukkan beberapa pihak yang dirasa
penting untuk ikut dalam pembahasan, seperti misalnya kementerian lain yang
terkait maupun agensi-agensi tertentu (Pasal 2a, USTR, 2016). Dalam menjalankan
tugasnya, bahkan Dewan TIFA yang telah dibentuk oleh kedua negara dapat
membentuk kelompok kerja yang bersifat ad hoc dan dapat bertemu secara
bersamaan atau terpisah untuk memfasilitasi pekerjaannya (Pasal 2b, USTR, 2016).
Dewan yang telah dibentuk oleh Indonesia-Amerika Serikat dalam
menjalankan tugasnya melalui kerangka kerjasama TIFA dapat bertemu pada waktu
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak (Pasal 3, USTR, 2016). Berkaitan
dengan pertemuan Dewan dalam melakukan pembahasan ekonomi perdagangan
melalui kerangka kerjasama TIFA, para pihak dapat meminta nasehat dari sektor
swasta di negara masing-masing mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan
Dewan. Perwakilan sektor swasta dapat juga diminta untuk berpartisipasi dalam
pertemuan Dewan, bilamana memang kedua belah pihak sepakat untuk
mengikutsertakan pihak-pihak terkait lainnya (Pasal 4, USTR, 2016).
Dalam menjalankan tugas dan tujuannya, Dewan yang telah dibentuk oleh
kedua negara pada dasarnya memiliki beberapa tujuan, seperti untuk memonitor
hubungan perdagangan dan investasi maupun untuk mengidentifikasi peluang guna
memperluas perdagangan dan investasi (Pasal 5a, USTR, 2016). Selain itu, Dewan
juga memiliki tugas untuk mengadakan konsultasi mengenai urusan perdagangan
dan investasi tertentu yang menarik bagi para pihak dan untuk menegosiasikan
kesepakatan yang sesuai (Pasal 5b, USTR, 2016). Dewan juga memiliki kewajiban
untuk mengidentifikasi dan bekerja untuk menghilangkan hambatan arus
perdegangan dan investasi yang ada dalam kerjasama kedua negara (Pasal 5c,
17
USTR, 2016). Dalam menjalankan tugasnya, Dewan yang dibentuk oleh kedua
negara juga dapat mendiskusikan hal-hal terkait lainnya yang disepakati oleh kedua
belah pihak (Pasal 5d, USTR, 2016).
Berkaitan dengan tugas konsultasi yang akan dilakukan oleh Dewan,
masing-masing pihak dapat mengajukan konsultasi dalam hal investasi
perdagangan di antara para pihak. Permintaan konsultasi harus disertai dengan
penjelasan tertulis tentang masalah yang akan dibahas dan konsultasi harus
diadakan dalam waktu 30 hari setelah permintaan, kecuali jika pihak tertentu
(pemohon) setuju untuk berubah (Pasal 6a, USTR, 2016). Konsultasi yang akan
dilakukan oleh kedua belah pihak melalui Dewan pada awalnya akan dilakukan di
negara dengan praktek yang akan menjadi subyek diskusi, namun dapat dirubah
jika kedua belah pihak setuju untuk melakukannya (Pasal 6b, USTR, 2016). Dalam
menegaskan peraturan perundang-undangan yang disetujui oleh para pihak, kedua
negara setuju bahwa hal-hal yang berkaitan dengan perundang-undangan tersebut
tidak akan mengurangi hak-hak salah satu pihak berdasarkan undang-undang dan
peraturan yang berlaku di masing-masing negara anggota WTO maupun perjanjian
terkait lain di mana kedua negara dijadikan pihak yang bersangkutan (Pasal 6c,
USTR, 2016).
Dalam permasalahan terkait dengan konsultasi yang sifatnya melibatkan
perselisihan mengenai tindakan praktek perdagangan dan investasi, maka para
pihak berusaha menyelesaikan permasalahan tersebut mulai dari tingkat terendah
terlebih dahulu, yaitu para pekerja. Selanjutnya permasalahan yang dihadapi oleh
kedua negara dapat dibahas ke dalam agenda yang lebih tinggi melalui Dewan
(Pasal 7, USTR, 2016). Dalam hal ini, Dewan akan segera memulai pekerjaan
dengan mempertimbangkan hal-hal yang termasuk ke dalam subyek bahasan
‘agenda aksi’ masalah perdagangan dan investasi yang terdapat di dalam lampiran
Nota Kesepahaman kedua negara (Pasal 8, USTR, 2016). Dalam
perkembangannya, Nota Kesepahaman yang telah dibuat oleh Indonesia dan
Amerika Serikat dapat ditambahkan atau diubah setiap saat dengan persetujuan
bersama para pihak (Pasal 9, USTR, 2016). Masa berlaku Nota Kesepahaman yang
18
ditandatangani oleh kedua negara berlaku pada saat tanda tangan perwakilan kedua
negara diberikan di dalamnya dan akan berakhir dengan persetujuan bersama oleh
kedua pihak atau salah satu pihak pada 180 hari pemberitahuan tertulis kepada
pihak lainnya.
Dalam hal ini, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, TIFA antara
Indonesia dan Amerika Serikat menjadi salah satu agenda kerjasama perekonomian
dalam kerangka kerjasama bilateral kedua negara yang semakin ditingkatkan dari
masa ke masa. Walaupun memang kemudian TIFA baru efektif digunakan pada
masa pemerintahan Presiden Megawati, namun TIFA kemudian menjadi agenda
tahunan antara kedua negara yang kemudian memberikan peningkatan kualitas
kerjasama kedua negara (Kemendag, 2017). Peningkatan kualitas kerjasama dalam
kerangka TIFA tersebut selain didasarkan pada pemberian solusi atas hambatan-
hambatan perdagangan yang ada diantara kedua negara, juga dilandasi fakta bahwa
kerangka kerjasama TIFA telah menghasilkan dampak terhadap ekonomi
perdagangan antara Indonesia dan AS.