32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi penelitian untuk pengambilan sampel ikan dan air
ditentukan berdasarkan kondisi perairan dan penelitian-penelitian sebelumnya
yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pada penelitian ini. Penelitian dilakukan
di empat lokasi berdasarkan kriteria, tataguna dan pemanfaatan lahan yang
berbeda-beda.
Stasiun 1 (Situ Cisanti) merupakan sebuah situ buatan yang berfungsi
membendung air yang berasal dari mata air alami yang menjadi sumber air untuk
Sungai Citarum. Lokasi stasiun 1 ini berada di Gunung Wayang Desa Cibeureum,
Kecamatan Kertasari, selatan kota Bandung dengan ketinggian sekitar 2000 meter
di atas permukaan laut. Situ Cisanti memiliki ekosistem yang masih alami dan
terjaga (Gambar 4.1).
Gambar 4.1. Stasiun 1, Situ Cisanti
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
Stasiun 2 adalah aliran Sungai Citarum yang terletak di daerah Majalaya
dengan titik koordinat pengambilan sampel S 07º03’02’’, E 107˚45’22’’.
Majalaya merupakan kawasan industri yang sebagian besar adalah industri tekstil
dan diduga mengandung unsur kromium. Aliran Sungai Citarum dikawasan
Majalaya ini mendapat beban cemaran dari saluran pembuangan limbah industri
yang berasal dari industri-industri yang ada di daerah ini, hal tersebut nampak dari
warna air yang lebih gelap dan suhunya yang lebih tinggi (Gambar 4.2).
33
Gambar 4.2. Stasiun 2, Majalaya
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
Stasiun 3 terletak di wilayah Sapan dengan titik koordinat pengambilan
sampel pada S 06º59’16’’, E 107º42’19’’. Stasiun 3 ini merupakan pertemuan tiga
sungai yaitu, sungai Citarik yang membawa air dari daerah industri dan
persawahan, sungai Cikeruh yang mengaliri daerah persawahan dan sungai
Citarum bagian hulu. Air sungai di stasiun ini memiliki beban polutan yang sangat
tinggi akibat pertemuan dua anak sungai tersebut (Gambar 4.3).
Gambar 4.3. Stasiun 3, Sapan
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
Stasiun 4 adalah aliran Sungai Citarum yang terletak di Dayeuhkolot
dengan titik pengambilan sampel pada S 06º59’32’’, E 107º37’52’’. Aliran Sungai
Citarum di daerah ini membawa air dari permukiman penduduk dan industri
(Gambar 4.4).
34
Gambar 4.4. Stasiun 4, Dayeuhkolot
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
4.2 Kualitas Air
Pengambilan titik sampel ditentukan berdasarkan tataguna lahan dan
pemanfaatannya, yakni stasiun 1 terletak di Situ Cisanti dimana ekositemnya
masih alami dan terjaga, stasiun 2 terletak di Majalaya dimana banyak berdiri
industri yang diantaranya banyak industri tekstil, stasiun 3 terletak di daerah
Sapan yang disekitarnya berdiri industri-industri tekstil dan persawahan,
sedangkan stasiun 4 terletak di daerah Dayeuhkolot yang padat penduduk dan
terdapat beberapa industri.
Berdasarkan hasil pemantaun kualitas air dari dua kali pengulangan pada
rentang waktu 2 minggu di bulan Maret 2013 menunjukkan bahwa kandungan
oksigen terlarut (DO) pada beberapa stasiun telah mendekati bahkan ada yang
melebihi baku mutu yang ditetapkan oleh PP No.82 tahun 2001 (Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Rata-Rata Kualitas Air Pada Setiap Stasiun
PARAMETER SATUAN BAKU MUTU
STASIUN
II III 1 2 3 4
Fisik Suhu ˚C ± 3 ± 3 23,217±0,755 23,517±1,842 25,00±1,757 24,167±1,305
Kimiawi pH - 6-9 6-9 7,267 7,417 7,050 7,100
DO mg/L 4 3 6,583 4,757 2,283 2,133
35
4.2.1 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor fisik perairan yang sangat penting bagi
kehidupan organisme atau biota perairan dikarenakan setiap organisme dan biota
perairan memiliki batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu. Nontji
(1984) dalam Erlangga (2007) secara umum suhu berpengaruh langsung terhadap
biota perairan berupa reaksi enzimatik pada organisme dan tidak berpengaruh
langsung terhadap struktur dan dispersal hewan air.
Hasil pengukuran suhu pada setiap stasiun menunjukkan bahwa kisaran
suhu dialiran Sungai Citarum bagian hulu berada pada rentang 21-26ºC. Suhu
terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu Situ Cisanti dan suhu tertinggi pada stasiun
3, yaitu Sapan. Rendahnya suhu di Situ Cisanti berhubungan dengan ketinggian
lokasi yang berada pada daerah pegunungan dengan ketinggian 2000 m di atas
permukaan laut, sedangkan tingginya suhu air di Sapan diperkirakan karena
buangan limbah industri dan keadaan ekosistemnya yang gersang serta merupakan
daratan rendah.
Nybakken (1988) dalam Erlangga (2007) menjelaskan bahwa suhu
merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme. Kaidah umum menyebutkan bahwa reaksi
kimia dan biologi air (proses fisiologis) akan meningkat 2 kali lipat pada kenaikan
suhu 10ºC, selain itu suhu juga berpengaruh terhadap penyebaran dan komposisi
organisme. Budiman (2012) Kisaran suhu yang baik untuk keberlangsungan hidup
organisme perairan adalah antara 18-30ºC. Berdasarkan hal tersebut, maka suhu
perairan dilokasi penelitian masih dalam batas tolerasi bagi keberlangsungan
hidup organisme air.
4.2.2 Derajat Keasaman (pH)
Menurut Erlangga (2007) derajat keasaman (pH) merupakan parameter
yang sangat penting dalam kualitas air, karena pH mengontrol tipe dan laju
kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Selain itu, ikan dan organisme air
lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH,
36
kita dapat mengetahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang
kehidupan organisme perairan.
Nilai pH suatu perairan memiliki ciri yang khusus, adanya keseimbangan
antara asam dan basa dalam air dan yang diukur adalah konsentrasi ion hidrogen,
dengan adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan pH,
sementara adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat dapat menaikkan kebasaan
air. Nilai pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 7-7,5. Hal ini
menunjukkan bahwa kandungan pH di aliran Sungai Citarum bagian hulu masih
sesuai dengan ambang batas baku mutu air kelas II dan III menurut PP No.82
tahun 2001 yaitu 6-9.
Setiap organisme mempunyai toleransi yang berbeda terhadap pH
maksimal, minimal serta optimal dan sebagai indeks keadaan lingkungan. Nilai
pH air yang normal (netral) yaitu antara 6-8, sedangkan pH air yang tercemar
beragam tergantung dari jenis buangannya. Menurut Effendi (2003) dalam
Budiman (2012) batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada
suhu air, oksigen terlarut, adanya berbagai anion dan kation serta jenis organisme.
Pada kandungan pH yang rendah toksisitas logam dapat mengalami peningkatan.
Dengan demikian pH perairan di lokasi penelitian masih dapat mendukung
kehidupan yang ada di dalamnya.
4.2.3 Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut (DO) menyatakan besarnya konsentrasi oksigen yang
terlarut dalam suatu perairan. Intensitas cahaya dan keberadaan fitoplankton dan
mikroba anaerob dalam perairan dapat mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut
dibadan air tersebut.
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan nilai DO bervariasi disetiap
stasiun. Nilai DO tertinggi terletak pada stasiun 1 yaitu Situ Cisanti dengan nilai
7,5 mg/L dan DO terendah terletak pada stasiun 3 yaitu Sapan dengan nilai 1,3
mg/L. Nilai DO yang rendah di Sapan dimungkinkan karena banyaknya limbah
yang masuk ke dalam perairan tersebut. Berdasarkan PP No.82 tahun 2001 untuk
37
baku mutu air kelas II dan III batas minimum kandungan DO berturut-turut adalah
4 mg/L dan 3 mg/L.
4.3 Jenis Ikan Hasil Tangkapan Di Setiap Stasiun
Berdasarkan hasil pengambilan sampel ikan pada empat stasiun yang telah
ditetapkan dengan 3 kali pengulangan dalam rentang waktu 1 minggu disetiap
pengulangan, di peroleh 11 spesies ikan. Ikan-ikan yang tertangkap diantaranya
ikan sapu-sapu, betok, gabus, keting, mujair, nila, lele, sepat dan glosom (Tabel
4.3). Ikan yang didapat selama penelitian memiliki keragaman spesies serta
ukuran panjang dan bobot yang berbeda-beda (Gambar 4.7).
Dari data hasil tangkapan ikan selama penelitian jenis ikan yang paling
banyak tertangkap ialah ikan sapu dan sepat, ikan sapu dan sepat hampir disetiap
stasiun terkecuali di Situ Cisanti dapat ditemukan, hal ini mungkin disebabkan
keadaan ekosistem di Majalaya, Sapan dan Dayeuhkolot sudah mengalami
pergeseran (ketidak seimbangan) sehingga ikan-ikan yang memiliki kemampuan
adaptasi terhadap lingkungan yang mengalami penurunan kualitas yang masih
dapat bertahan hidup dan berkembang biak. Sementara itu, di Situ Cisanti masih
dapat ditemukan ikan dari famili Cyprinidae, hal ini diduga karena spesies dari
famili Cyprinidae dapat bertahan hidup dan berkembang biak di lingkungan
perairan yang masih baik dan terjaga keseimbangan ekosistemnya.
38
Gambar 4.5. Jenis ikan-ikan yang tertangkap selama penelitian
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
ikan betok
(Anabas Testudineus)
ikan mas
(Cyprinus carpio)
ikan glosom
(Aequidens goldsaum)
ikan gabus
(Chana striata)
ikan keting
(Mystus nigriceps)
ikan sepat
(Trichogaster
trichopterus)
ikan mujair
(Oreochromis
mossambicus)
ikan sapu
(Hyposarcus pardalis)
ikan lele
(Clarias sp.)
ikan nila
(Oreochromis niloticus)
ikan paray
(Rasbora argyrotaenia)
39
T
abel
4.2
. Ik
an H
asil
Tan
gkap
an P
ada
Set
iap S
tasi
un P
enel
itia
n
Sta
siu
n
4
U-3
1
1
2
1 - - - - - - - 5
Ket
eran
gan
: U
-1=
ula
ng
an k
e-1
; U
-2=
ula
ng
an k
e-2
; U
-3=
ula
ng
an k
e-3
U-2
- 1
5 - - - 3 - - - - 9
U-1
2 - - - - - - - - - - 2
3
U-3
2
1
2
1
1 - 1 - - 1 - 8
U-2
1 - 2 - - - 1 - 1 - - 5
U-1
2 - - - - - - - - - - 2
2
U-3
4
2
2 - - - - - - 1
1
10
U-2
2
3
3 - - - - - - - 2
10
U-1
2
1 - - - - - - - - - 3
1
U-3
- - - 1 - 1 - 3 - - - 5
U-2
- - - - - 5 - - - - - 5
U-1
- - - 4 - - - - - - - 4
Jen
is I
kan
Nam
a
lok
al
Sap
u
Bet
ok
Sep
at
Gab
us
Glo
som
Nil
a
Muja
ir
Mas
Par
ay
Lel
e
Ket
ing
tota
l sp
esie
s
Nam
a l
ati
n
Hyp
osa
rcus
pard
ali
s
Anabas
test
udin
eus
Tri
cho
ga
ster
tri
cho
pte
rus
Chana s
tria
ta
Aeq
uid
ens
gold
saum
Ore
och
rom
is n
iloti
cus
Ore
och
rom
is m
oss
am
bic
us
Cyp
rinus
carp
io
Rasb
ora
arg
yrota
enia
Cla
rias
sp.
Mys
tus
nig
rice
ps
Fam
ili
Lori
cari
idae
Anab
anti
dae
Osp
hro
nem
idae
Chan
nid
ae
Cic
hli
dae
Cypri
nid
ae
Cla
rid
ae
Bag
ridae
40
4.4 Logam Berat
Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh adanya bahan pencemar
yang mengandung logam berat, dapat membahayakan bagi keberlangsungan
hidup dan kehidupan, baik secara langsung (ekosistem perairan) maupun tidak
langsung (manusia). Keberadaan logam berat di lingkungan perairan sangat perlu
diuji keberadaannya baik pada badan perairan tersebut maupun pada organisme
yang mendiaminya. Untuk itu maka pengujian kandungan logam berat pada
penelitian ini dilakukan terhadap air dan ikan sebagai organisme uji.
Logam berat yang diamati adalah kromium (Cr), Cr yang masuk ke dalam
badan perairan sebagai dampak dari aktivitas kehidupan manusia ada dalam
bermacam bentuk. Menurut Yuniarti (2012) secara alamiah kromium merupakan
elemen yang ditemukan dalam konsentrasi yang rendah di batuan, hewan, tanah,
debu vulkanik dan juga gas. Kromium yang terkandung di alam dalam bentuk
senyawa yang berbebeda. Agung (2006) dalam Yuniarti (2012) mengemukakan
bentuk yang paling umum adalah kromium (0), kromium (III) dan kromium (VI).
Wahyuadi (2004) dalam Bramandita (2009) mengemukakan kromium banyak
digunakan oleh berbagai macam industri, salah satunya adalah industri tekstil.
Industri tekstil merupakan industri yang mengolah serat menjadi bahan pakaian
dengan kromium sebagai zat pengoksidasi pada proses penyempurnaan tekstil.
Karena itu pula limbah cair dari industri tekstil mengandung kromium dengan
konsentrasi tinggi. Limbah tersebut dapat membahayakan lingkungan karena
kromium, terutama kromium heksavalen yang merupakan jenis bahan berbahaya
dan beracun (B3).
4.4.1 Kandungan Cr Dalam Air
Kromium (Cr) termasuk salah satu golongan logam berat, logam Cr dapat
terkandung di dalam air limbah yang dihasilkan oleh suatu industri terutama
industri tekstil dari proses pewarnaan. Logam berat dapat masuk ke badan
perairan dari berbagai macam kegiatan baik secara langsung maupun dari hasil
sampingan dari aktivitas lainnya. Masuknya bahan pencemar berupa kandungan
logam berat sangat merugikan bagi kehidupan, baik langsung maupun tidak
41
langsung. Berdasarkan dampak yang ditimbulkan dari pencemaran oleh logam
berat tersebut terutama di badan perairan, maka sangat diperlukan kisaran
konsentrasi atau nilai ambang batas dari konsentrasi logam berat yang
direkomendasikan untuk masuk dan berada di lingkungan perairan. Hasil analisis
kandungan logam Cr dalam air dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.6.
Tabel 4.3. Hasil Analisis Kandungan Logam Cr Dalam Air
Ulangan Jenis
Logam Satuan
Baku mutu Stasiun
II III 1 2 3 4
1
Cr ppm 0,05 0,05
0,0426 0,0085 0,1223 0,0111
2 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001
Gambar 4.6. Grafik hasil analisis kandungan logam Cr pada sampel air
Dari hasil analisis dalam penelitian ini terlihat bahwa kandungan Cr paling
tinggi terletak pada stasiun 3 yaitu Sapan, sedangkan di stasiun lainya nilai Cr
masih dapat dikatakan di bawah ambang batas baku mutu air untuk kelas II dan III
0,000
0,020
0,040
0,060
0,080
0,100
0,120
0,140
Situ Cisanti (1) Majalaya (2) Sapan (3) Dayeuhkolot (4)
kon
sen
tras
i (p
pm
)
Stasiun Pengamatan
Kandungan Logam Cr pada Sampel Air
logam berat Cr
42
sesuai PP No.82 tahun 2001. Tingginya kandungan Cr di Sapan diduga karena
terdapat beberapa pabrik tekstil yang dimungkinkan masih membuang limbah
produksinya langsung ke aliran Sungai Citarik, tingginya kandungan Cr di Sapan
juga berkorelasi dengan hasil pemantauan kualitas air pendukungnya yaitu suhu
yang tinggi, DO dan pH yang paling rendah dibandingkan tiga stasiun yang
lainnya.
Logam berat dalam perairan akan lebih rendah dibandingkan dengan
logam berat pada sedimen, hal ini terjadi karena sifat dari bahan logam tersebut.
Sesuai dengan pendapat Hutagalung (1984) dalam Erlangga (2007) bahwa logam
berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan,
pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di
perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena
adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Logam berat mempunyai sifat yang
mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan berikatan
dengan partikel-partikel sedimen, sehingga konsentrasi logam berat dalam
sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air. Menurut Wilson (1988) dalam
Erlangga (2007) logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam
sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang
melapisi permukaan sedimen dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel
sedimen.
Menurut Erlangga (2007), kapasitas asimilasi didefinisikan sebagai
kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai
peruntukannya. Konsentrasi dari partikel polutan yang masuk ke perairan akan
mengalami tiga macam fenomena yaitu pengenceran (dillution), penyebaran
(dispersion) dan reaksi penguraian (decay of reaction). Pengenceran terjadi pada
arah vertikal ketika air limbah sampai di permukaan air. Peristiwa penyebaran
pada permukaan perairan akan tercapai karena gelombang.
Menurut Metclaff and Eddy (1978) dalam Erlangga (2007) tingkat
pencemaran atau pencampuran bahan organik dan anorganik yang masuk ke
dalam perairan sungai, danau, estuari dan laut adalah berbeda karena kondisi
43
hidrodinamika yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut berkaitan dengan model
percampuran (mixing) dan penyebaran (dispersion) suatu bahan, yang
berhubungan dengan kandungan bahan pencemar, laju penguraian dan laju
reaerasi.
4.4.2 Hubungan Logam Berat Pada Air dengan Parameter Kualitas Air
Lainnya
Menentukan kualitas air terhadap konsentrasi logam dalam air sangat sulit,
karena erat hubungannya dengan partikel tersuspensi yang terlarut di dalamnya.
Logam-logam dalam lingkungan perairan umumnya berada dalam bentuk ion.
Ion-ion itu ada yang merupakan ion-ion bebas, pasangan ion organik, ion-ion
kompleks dan bentuk-bentuk ion lainnya.
Menurut Erlangga (2007) derajat keasaman (pH) akan mempengaruhi
konsentrasi logam berat di perairan, dalam hal ini kelarutan logam berat akan
lebih tinggi pada pH rendah, sehingga menyebabkan toksisitas logam berat
semakin besar. Nilai pH pada aliran Sungai Citarum bagian hulu menunjukkan
bahwa nilai pH 7-7,5. Kenaikan pH pada badan perairan biasanya akan diikuti
dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawa-senyawa logam tersebut.
Umumnya pada pH yang semakin tinggi, maka kestabilan akan bergeser dari
karbonat ke hidroksida. Hidroksida-hidroksida ini mudah sekali membentuk
ikatan permukaan dengan partikel-partikel yang terdapat pada badan perairan.
Lama-kelamaan persenyawaan yang terjadi antara hidroksida dengan partikel-
partikel yang ada di badan perairan akan mengendap dan membentuk lumpur .
Suhu perairan mempengaruhi proses kelarutan akan logam-logam berat
yang masuk ke perairan. Dalam hal ini semakin tinggi suatu suhu perairan
kelarutan logam berat akan semakin tinggi. Pada stasiun 3 yaitu Sapan suhu
perairan menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan tiga stasiun lainnya,
sehingga kelarutan akan bahan pencemar di perairan semakin pekat/tinggi,
sehingga kandungan akan logam Cr di Sapan lebih tinggi dibandingkan di Situ
Cisanti, Majalaya dan Dayeuhkolot. Hal ini sesuai dengan pendapat Darmono
(2001) dalam Erlangga (2007) yang menyatakan bahwa suhu yang tinggi dalam
44
air menyebabkan laju proses biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri pengurai
aerobik menjadi naik dan dapat menguapkan bahan kimia ke udara.
Menurut Tebbut (1992) dalam Erlangga (2007), keberadaan logam berat
yang berlebihan di perairan akan mempengaruhi sistem respirasi organisme
akuatik, sehingga pada saat kandungan oksigen terlarut rendah dan terdapat logam
berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik menjadi lebih menderita. Pada
siang hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses
fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar dari pada
oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kandungan oksigen terlarut dapat
melebihi kandungan oksigen jenuh, sehingga perairan mengalami supersaturasi.
Sedangkan pada malam hari, tidak ada fotosintesa, tetapi respirasi terus
berlangsung. Pola perubahan kandungan oksigen ini mengakibatkan terjadinya
fluktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Kandungan oksigen
maksimum terjadi pada sore hari dan minimum pada pagi hari.
Menurut Palar (2004) dalam Erlangga (2007) tingkah laku logam-logam di
dalam badan perairan juga dipengaruhi oleh interaksi yang terjadi antara air
dengan sedimen (endapan). Keadaan ini terutama sekali terjadi pada bagian dasar
dari perairan. Dalam hal ini pada dasar perairan, ion logam dan kompleks-
kompleksnya yang terlarut dengan cepat akan membentuk partikel-partikel yang
lebih besar, apabila terjadi kontak dengan partikulat yang melayang-layang dalam
badan perairan. Partikel-partikel tersebut terbentuk dengan bermacam-macam
bentuk ikatan permukaan.
4.4.3 Kandungan Cr Dalam Organ Insang, Hati dan Ginjal Ikan
Menurut Darmono (1995) dalam Bangun (2005) kebanyakan logam berat
secara biologis terkumpul dalam tubuh organisme, menetap untuk waktu yang
lama dan berfungsi sebagai racun kumulatif. Keberadaan logam berat dalam
perairan akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota. Logam berat yang
terikat dalam tubuh organisme yaitu pada ikan akan mempengaruhi aktivitas
organisme tersebut.
45
Darmono (2001) dalam Erlangga (2007) menyebutkan bahwa logam berat
masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan yaitu,
saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit. Di dalam tubuh
hewan, logam diabsorpsi darah berikatan dengan protein darah yang kemudian
didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi
biasanya dalam organ dektoksifikasi (hati) dan organ ekskresi (ginjal).
Untuk membuktikan adanya akumulasi logam berat pada ikan di aliran
Sungai Citarum, maka dilakukan uji kandungan logam Cr pada ikan gabus di Situ
Cisanti (stasiun 1) dan Sapan (stasiun 3), ikan sapu di Majalaya (stasiun 2) dan
ikan betok di Dayeuhkolot (stasiun 4). Dipilihnya ikan gabus di Situ Cisanti
dikarenakan ikan gabus tergolong ikan karnivora. ikan sapu dipilih untuk uji
kandungan logam Cr di Majalaya dikarenakan ikan sapu mendominasi hasil
tangkapan. ikan gabus di stasiun 3 dan ikan betok di stasiun 4 dipilih untuk uji
kandungan logam Cr pada organ selain karena tergolong ikan karnivora juga
dikarenakan ukuran yang lebih besar dibandingkan jenis ikan lainnya yang
tertangkap dan masih bertahan hidup.
Hasil analisis uji kandungan logam Cr pada organ insang, hati dan ginjal
ikan dalam penelitian ini berkisar antara 2,55 – 76,73 ppm. Konsentrasi logam Cr
tertinggi terdapat pada ikan yang diperoleh dari Situ Cisanti (stasiun 1) dan
kandungan terendah terdapat pada ikan yang diperoleh dari Majalaya (stasiun 2).
Rendahnya nilai kandungan logam Cr di Majalaya hal ini selain didukung karena
kandungan logam Cr pada air di Majalaya yang rendah, juga dikarenakan ikan
sapu adalah ikan pemakan alga atau tergolong pada ikan herbivora. Sedangkan
tingginya kandungan logam Cr pada ikan gabus di Situ Cisanti dikarenakan
kandungan logam Cr pada air yang cukup tinggi walaupun belum melebihi
ambang batas baku mutu kelas II dan III PP N0. 82 tahun 2001 dan ikan gabus
juga tergolong ikan karnivor. Hasil pengamatan terhadap kandungan logam Cr
pada organ ikan yang tertangkap di aliran Sungai Citarum bagian hulu dapat
dilihat pada Lampiran 2 dan Gambar 4.7.
46
Gambar 4.7. Grafik analisis kandungan logam Cr pada insang, hati dan ginjal ikan
Dilihat dari nilai rerata pada setiap organ nilai kandungaan logam Cr pada
organ insang lebih rendah dibandingkan pada organ hati dan ginjal. Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan Darmono (2001) dalam Bangun (2005) bahwa akumulasi
logam yang tertinggi biasanya terdapat dalam organ dektoksifikasi (hati) dan
organ ekskresi (ginjal).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi kandungan logam berat dalam tubuh
ikan adalah tingkah laku makan ikan. Ikan yang spesiesnya berbeda umumnya
memiliki pola tingkah laku makan dan penyebaran habitat yang berbeda pula.
Penyebaran habitat dan pola tingkah laku makan ini akan berpengaruh terhadap
interaksi ikan yang bersangkutan terhadap kandungan logam berat yang
tersuspensi di dasar perairan. Lodenius and Malm (1998) dalam Simbolon, dkk
(2010) telah menganalisis dampak penambangan logam berat terhadap ikan di
perairan. Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan logam berat tertinggi
ditemukan pada kelompok ikan karnivora, kemudian menyusul pada ikan
pemakan plankton (planktivora) dan omnivora, dan kandungan terendah
ditemukan pada ikan herbivora. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini,
ikan gabus yang tertangkap di Situ Cisanti dan Majalaya, serta ikan betok di
29,06
2,55
9,62 10,6
76,73
7,19
16,14
7,85
28,88
9,54 12,63
18,68
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Situ Cisanti (1) Majalaya (2) Sapan (3) Dayeuhkolot (4)
kon
sen
tras
i (p
pm
)
Stasium Pengamatan
Hasil Analisis Logam Berat Pada Organ Ikan
insang hati ginjal
47
Dayeuhkolot adalah termasuk ikan karnivor memiliki nilai akumulasi logam Cr
tertinggi pertama, kedua dan ketiga secara berurutan. Akumulasi terendah yaitu
pada ikan sapu di Majalaya (stasiun 2) yang tergolong ikan herbivora.
Pengaruh toksisitas logam pada ikan, pertama akan berpengaruh pada
insang. Insang selain sebagai alat pernafasan ikan, juga digunakan sebagai alat
pengatur. Dinata (2004) dalam Erlangga (2007) mengatakan terdapat beberapa
tekanan antara air dan dalam tubuh ikan (osmoregulasi). Oleh sebab itu, insang
merupakan organ yang penting pada ikan dan sangat peka terhadap pengaruh
toksisitas logam. Dalam hal ini, logam-logam seperti Cd, Pb, Hg, Cu, Zn dan Ni
sangat reaktif terhadap ligan sulfur dan nitrogen, sehingga ikatan logam tersebut
sangat penting bagi fungsi normal metaloenzim dan juga metabolisme terhadap
sel. Di samping adanya gangguan biokimiawi tersebut, perubahan struktur
morfologi insang juga terjadi.
Hasil analisis kandungan logam berat Cr pada organ insang ikan yang
tertangkap di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 2,55 – 29,06 ppm.
Nilai tertinggi di Situ Cisanti dan terendah di Majalaya. Kandungan logam Cr
pada insang memiliki nilai yang lebih kecil bila dibandingkan dengan yang
terdapat di ginjal dan hati. Menurut Darmono dan Arifin, (1989) dalam Bangun
(2005) dibandingkan dengan organ tubuh ikan yang lain, logam berat yang
terakumulasi dalam insang lebih sedikit karena logam berat yang terabsorpsi dan
terakumulasi di insang akan mengalami metabolisme dan akan diekskresikan dari
tubuh bersama sisa metabolisme lainnya.
Pada organ hati kandungan logam Cr yang diperoleh berkisar antara 7,19
– 76,73 ppm. Nilai tertinggi kandungan logam Cr terdapat pada Situ Cisanti dan
terendah di Majalaya. Hal ini diduga karena kandungan Cr yang ada pada badan
air di Majalaya memiliki nilai yang terendah dan ikan sapu yang tergolong ikan
herbivora. Kandungan logam Cr pada hati di Situ Cisanti dan Majalaya memiliki
nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan kandungan Cr yang terkandung pada
ginjal. Hal ini dapat terjadi karena logam berat yang masuk ke dalam hati ikan
akan menyebabkan gangguan fisiologis, sehingga ikan berusaha mengeluarkannya
sebagai bagian dari proses dektoksifikasi. Purwanti (1995) dalam Bangun (2005)
48
salah satu mekanisme dektoksifikasi adalah mengubah zat menjadi bentuk
senyawa yang mudah dikeluarkan dari dalam tubuh. Akumulasi logam Cr di
dalam hati dapat menyebabkan kerusakan dan gangguan pada organ tersebut.
Logam berat yang masuk ke dalam hati ikan menyebabkan gangguan fisiologis,
sehingga ikan berusaha mengeluarkannya sebagai bagian dari dektoksifikasi.
Ginjal ikan berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang
biasanya tidak dibutuhkan tubuh, termasuk bahan racun seperti logam berat. Hal
ini menyebabkan ginjal sering mengalami kerusakan akibat daya toksik logam.
Kandungan logam Cr dalam ginjal berkisar antara 9,54 – 28,88 ppm kandungan
Cr tertinggi terdapat di Situ Cisanti dan terendah di Majalaya. Tingginya
kandungan logam Cr pada ginjal di Situ Cisanti terjadi karena kandungan logam
Cr di perairan Situ Cisanti juga cukup besar setelah perairan Sapan. Besarnya nilai
kandungan logam Cr pada ginjal, dapat terjadi karena menurut Dinata (2004)
dalam Bangun (2005) ginjal ikan berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan
bahan yang biasanya tidak dibutuhkan tubuh, termasuk bahan beracun seperti
logam berat. Sehingga banyak bahan beracun seperti logam berat terdapat di
dalam ginjal tersebut.
4.4.4 Batas Aman Konsumsi Logam Cr
Berdasarkan hasil analisis kandungan logam Cr yang dilakukan dalam
penelitian ini pada organ yang meliputi organ insang, hati dan ginjal dari beberapa
jenis ikan yang berbeda di empat stasiun pengamatan, kandungan logam Cr
tertinggi terdapat pada ikan gabus di stasiun 1 (Situ Cisanti) dan terendah pada
ikan sapu di stasiun 2 (Majalaya).
Kandungan logam Cr pada organ insang, hati dan ginjal ikan dalam
penelitian ini cukup besar berkisar antara 2,55 – 76,72 mg/kg dibandingkan
dengan rekomendasi batas aman Cr masuk kedalam tubuh menurut FAO/WHO
adalah 200 µg/Kg/hari atau bila dikonversi menjadi 0,2 mg/kg/hari. Menurut
rekomendasi Miller-Ihli (1992) dalam Jalaluddin dan Ambeng (2005), batas aman
kromium dalam makanan manusia yaitu 50 sampai 200 μg /hari atau 0,05-0,2
ppm/ hari.
49
The Environmental Protection Agancy (EPA) menetapkan batas aman
kadar Cr (III) dan Cr (VI) dalam air minum sebesar 100 mg/l. The Occupational
Safety and Health Administration (OSHA) menetapkan batas kadar Cr (III) di
udara tempat kerja sebesar 1.000 mh/m3, kadar senyawa Cr (VI) sebesar 52 mg/m
3
bagi pekerja dengan lama kerja 8 jam/hari atau 40 jam/minggu. Menurut EPA,
konsentrasi Cr (VI) di udara yang aman bagi manusia adalah sebesar 0,000008
mg/m3, paparan per oral Cr (VI) sebesar 0.003 mg/kg/hari aman bagi manusia.
Paparan Cr (III) per oral sebesar 1,5 mg/kg/hari aman dan tidak menunjukkan
gejala maupun kelainan pada tikus.
Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah
struktur jaringan dari organ-organ tersebut. Maka gambaran histopatologi organ
ikan dapat dijadikan indikasi dan memperkuat bukti ada atau tidak adanya
pencemaran.
4.5 Analisis Histopatologi Organ Ikan yang Tertangkap Di Aliran Sungai
Citarum Bagian Hulu
Gambaran histopatologi organ ikan yang tertangkap di aliran Sungai
Citarum bagian hulu ini dapat dijadikan indikasi ada atau tidak adanya
pencemaran. Hal ini disebabkan analisis histopatologi organ insang, hati dan
ginjal ikan akan dapat menunjukkan kerusakan jaringan yang beragam, sehingga
dapat dijadikan indikasi terjadinya pencemaran perairan Sungai Citarum
khususnya bagian hulu oleh logam berat maupun oleh substansi lainnya yang
menyebabkan struktur jaringan mengalami kerusakan.
4.5.1 Organ Insang
Organ insang memiliki peranan yang penting. Insang merupakan salah satu
media pertama jalan masuknya berbagai macam partikel tersuspensi yang ada di
perairan, selain melalui kulit dan sistem pencernaan. Menurut Erlangga (2007)
semakin lama paparan akan suatu bahan pencemar akan berpengaruh pada
kerusakan organ insang ikan yang akan terlihat jelas melalui pengamatan
histologi.
50
Organ insang pada ikan yang tertangkap di aliran Sungai Citarum bagian
hulu mengindikasikan bahwa lokasi penelitian sudah tercemar. Hal ini terlihat dari
kelainan yang terjadi pada struktur organ insang tersebut. Dalam hal ini pada
insang terjadi MMC, edema, hiperplasia, kongesti dan nekrosis (Tabel 4.4).
Nabib dan Pasaribu (1989) dalam Ersa (2008) menyampaikan bahwa
lapisan epitel insang yang tipis dan berhubungan langsung dengan lingkungan luar
menyebabkan insang berpeluang besar terpapar penyakit. Insang juga berfungsi
sebagai pengatur pertukaran garam dan air serta pengeluaran limbah-limbah yang
mengandung nitrogen. Kerusakan struktur yang ringan sekalipun dapat sangat
mengganggu pengaturan osmosa dan kesulitan pernafasan.
Tabel 4.4. Perubahan Histologi Insang Ikan yang Tertangkap Di Aliran Sungai
Citarum Bagian Hulu
Stasiun Insang Cr (ppm) Keterangan
I MMC (melano
makrofag center)
E (Edema)
H (hiperplasia)
K (kongesti)
N (nekrosis)
29,06
Hiperplasia: pembesaran kelenjar suatu
jaringan atau organ yang disebabkan
oleh bertambahnya jumlah sel
Edema: penimbunan cairan secara
berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di
dalam berbagai rongga tubuh
Melano makrofag center: akumulasi
makrofag-makrofag yang berisi
hemosiderin, lipofuchsin dan ceroid
sama seperti pigmen melanin yang
diakibatkan oleh peradangan.
Nekrosis: kematian sel
Kongesti (hipermia): keadaan dimana
terdapat darah secara berlebihan
(peningkatan jumlah darah) di dalam
pembuluh darah pada daerah tertentu.
II H (hiperplasia)
K (kongesti) 2,55
III E (edema)
H (hiperplasia)
K (kongesti)
9,62
IV E (edema) 10,62
51
Gambar 4.8. Analisis histopatologi insang ikan gabus pada stasiun 1 (Situ
Cisanti), gambar A, (H) hiperplasia pada lamela sekunder; gambar B, (K) kongesti
pada lamela primer: gambar C, (N) nekrosis pada lamela sekunder (pembesaran
100x)
Gambar 4.9. Analisis histopatologi insang ikan nila pada stasiun 1 (Situ Cisanti),
gambar A, (H) hiperplasia; gambar B, (MMC) melano makrofag center; gambar
C, (E) edema pada lamela sekunder, (K) kongesti pada lamela primer (pembesaran
400x)
Gambar 4.10. Analisis histopatologi insang ikan mas pada stasiun 1 (Situ Cisanti),
(K) kongesti pada lamela primer (pembesaran 100x)
Gambar 4.11. Analisis histopatologi insang ikan betok pada stasiun 2 (Majalaya),
(H) hiperplasia (pembesaran 400x)
52
Gambar 4.12. Analisis histopatologi insang ikan keting pada stasiun 2
(Majalaya), (K) kongesti (pembesaran 100x)
Gambar 4.13. Analisis histopatologi insang ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), (E)
edema pada bagian epitel (pembesaran 400x)
Gambar 4.14. Analisis histopatologi insang ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), (H)
hiperplasia lamela sekunder (pembesaran 100x)
Gambar 4.15. Analisis histopatologi insang ikan glosom pada stasiun 3 (Sapan),
gambar A, (H) hiperplasia; gambar B, (K) kongesti (pembesaran 100x)
53
Gambar 4.16. Analisis histopatologi insang ikan sapu pada stasiun 4
(Dayeuhkolot). (E) edema pada lamela sekunder (pembesaran 400x)
Berdasarkan hasil analisis histopatolgi insang ikan gabus dan ikan nila di
Situ Cisanti, ikan betok di Majalaya dan ikan sapu di Sapan jaringan insang
mengalami pembengkakan/perlekatan lamela atau dinamakan hiperplasia
(Gambar 4.8 (A), Gambar 4.9 (B), Gambar 4.11 dan Gambar 15(A)). Menurut
Ersa (2008) hiperplasia sel dapat terjadi bersamaan dengan peningkatan sel-sel
penghasil mukus yang berfungsi melapisi permukaan insang. Pada keadaan
normal mukus yang dihasilkan berupa glikoprotein basa yang berfungsi sebagai
pelindung pertama, dengan adanya gangguan berupa parasit atau zat toksik maka
terjadi proliferasi sel-sel penghasil mukus sebagai bentuk reaksi pertahanan.
Bentuk tidak normal dari sel-sel lamela ini juga dapat terjadi akibat reaksi
terhadap gangguan kimia misalnya perubahan pH yang menjadi lebih asam di
perairan sehingga terjadi penumpukan gas karbondioksida (CO2), amonia (NH3)
dan zat-zat atau gas lain sisa metabolisme. Selain bersumber dari hasil
metabolisme, cemaran pada air juga dapat berasal dari lingkungan perairan seperti
sampah atau buangan industri.
Edema nampak pada hasil analisis hitopatologis insang ikan nila di Situ
Cisanti, ikan sapu di Sapan dan di Dayeuhkolot (Gambar 4.9 (C), Gambar 4.13
dan Gambar 4.16). Menurut Hibiya and Fumio (1995) dalam Ersa (2008) edema
adalah suatu akumulasi cairan yang abnormal di dalam rongga-rongga tubuh atau
di dalam ruang-ruang interstitial dari jaringan dan organ yang dapat
mengakibatkan kebengkakan. Edema mengindikasikan adanya suatu
ketidakseimbangan tekanan hidrostatik atau kesalahan pada tekanan osmotis
darah, peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, limfe, obstruksi atau
54
disfungsi ginjal. Kondisi-kondisi ini dapat dihubungkan dengan bahan-bahan
toksik kimia, virus, bakteri dan penyakit parasitik.
Hasil analisis histopatologi insang ikan gabus, nila dan mas di Situ Cisanti,
ikan keting di Majalaya dan ikan glosom di Sapan, menunjukkan lamela primer
ikan mengalami pembendungan atau kongesti (Gambar 4.8 (B), Gambar 4.9 (C),
Gambar 4.10, Gambar 4.12, dan Gambar 4.15 (B))). Kongesti dapat ditandai
dengan adanya penumpukan sel-sel darah merah yang sangat padat pada
pembuluh darah. Hal ini menunjukkan kondisi tidak normal dari insang ikan.
Terjadinya kongesti diakibatkan antara lain trauma fisik, adanya parasit atau
gangguan sistem peredaran darahnya.
Selain hiperplasia dan edema, pada ikan gabus di Situ Cisanti hasil pada
insang terdapat nekrosis (Gambar 4.8 (C)). Nekrosis secara histopatologis ditandai
dengan terlihatnya batas-batas sel tidak jelas atau bahkan menghilang. Menurut
Plumb (1994) dalam Ersa (2008), nekrosis adalah kematian sel-sel atau jaringan
yang menyertai degenerasi sel pada setiap kehidupan hewan dan merupakan tahap
akhir degenerasi yang irreversibel. Sel yang baru mengalami nekrosis akan
mengalami pembengkakan. Nekrosis dapat disebabkan oleh trauma, agen-agen
biologis (virus, bakteri, jamur dan parasit), agen-agen kimia atau terjadinya
gangguan terhadap penyediaan darah pada suatu daerah khusus. Kausa nekrosa
hati dapat dibagi dalam kausa toksopatik dan kausa trofopatik. Kerusakan-
kerusakan toksopatik disebabkan karena pengaruh langsung agen yang bersifat
toksik (zat-zat kimiawi atau toksin kuman-kuman). Juhryyah (2008)
mengemukakan kerusakan trofopatik disebabkan oleh kekurangan langsung atau
tidak langsung faktor-faktor yang penting untuk kehidupan sel-sel.
Pada ikan nila di Situ Cisanti hasil analisis histopatologi juga
menunjukkan adanya MMC atau melano makrofag center (Gambar 4.9 (B)).
Menurut Agius and Robert (1981) dalam Ersa (2008) melano makrofag center
(MMC) adalah kumpulan-kumpulan dari makrofag yang berisi hemosiderin,
lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin. MMC banyak ditemukan di
dalam jaringan limfoid kebanyakan teleost yang diakibatan oleh peradangan.
55
Hoole, et al. (2001) dalam Susanto (2008) mengatakan bahwa kondisi
seperti hiperplasia sel-sel epitel, peningkatan sel-sel penghasil mukus,
pembendungan, edema dan infiltrasi sel-sel radang akan mengurangi efisiensi
difusi gas dan dapat berakibat fatal atau kematian.
4.5.2 Organ Hati
Purwanti (1995) dalam Bangun (2005) mengatakan logam berat yang
masuk ke dalam hati ikan menyebabkan gangguan fisiologis, sehingga ikan
berusaha mengeluarkannya sebagai bagian dari dektoksifikasi. Di samping adanya
gangguan fisiologis pada hati akibat adanya akumulasi logam berat, kerusakan
organ juga dapat terjadi seperti melano makrofag center (MMC), kongesti,
degenerasi dan nekrosis (Tabel 4.5).
Tabel 4.5. Perubahan Histologi Hati Ikan yang Tertangkap Di Aliran Sungai
Citarum Bagian Hulu
Stasiun Hati Cr
(ppm) Keterangan
I MMC (melano makrofag center)
N (nekrosis) 76,73
Melano makrofag center:
akumulasi makrofag-
makrofag yang berisi
hemosiderin, lipofuchsin dan
ceroid sama seperti pigmen
melanin yang diakibatkan oleh
peradangan
Nekrosis: kematian sel
Kongesti (hipermia):
keadaan dimana terdapat
darah secara berlebihan
(peningkatan jumlah darah) di
dalam pembuluh darah pada
daerah tertentu.
Degenerasi: kehilangan
struktur normal sel
Degenerasi hidropis:
sitoplasma menyerupai sel
II MMC (melano makrofag center)
D (degenerasi)
K (kongesti)
7,19
III D(degenerasi)
K (kongesti)
N (nekrosis)
16,14
IV MMC (melano makrofag center)
Dh (degenerasi hidropis)
D (degenerasi)
N (nekrosis)
7,85
56
Gambar 4.17. Analisis histopatologi hati ikan gabus pada stasiun 1 (Situ Cisanti),
(MMC) melano makrofag center pada hati dan hepatopankreas (pembesaran 100x)
Gambar 4.18. Analisis histopatologi hati ikan nila pada stasiun 1 (Situ Cisanti),
gambar A, (S) sinusoid, (N) nekrosis; gambar B, (MMC) melano makrofag center
pada pankreas (pembesaran 1000x)
Gambar 4.19. Analisis histopatologi hati ikan betok pada stasiun 2 (Majalaya),
gambar A, (K) kongesti; gambar B, (MMC) melano makrofag center di hati;
gambar C, MMC) melano makrofag center di pankreas; gambar D, (MMC)
melano makrofag center di hati, (S) sinusoid, (Vc) vena centralis (pembesaran
400x)
57
Gambar 4.20. Analisis histopatologi hati ikan sapu pada stasiun 2 (Majalaya),
gambar A, (D) degenerasi; gambar B, (MMC) melano makrofag center
(pembesaran 100x)
Gambar 4.21. Analisis histopatologi hati ikan keting pada stasiun 2 (Majalaya),
(K) kongesti (pembesaran 100x)
Gambar 4.22. Analisis histopatologi hati ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), (N)
nekrosis (pembesaran 400x)
Gambar 4.23. Analisis histopatologi hati ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), (D)
degenerasi (pembesaran 100x)
58
Gambar 4.24. Analisis histopatologi hati ikan glosom pada stasiun 3 (Sapan), (D)
degenerasi, (K) kongesti, (S) sinusoid, (Vc) vena centralis (pembesaran 100x)
Gambar 4.25. Analisis histopatologi hati ikan gabus pada stasiun 4 (Dayeuhkolot),
gambar A, degenerasi hidropis; gambar B, (MMC) melano makrofag center di
hati, (N) nekrosis (pembesaran 400x)
Gambar 4.26. Analisis histopatologi hati ikan sapu pada stasiun 4 (Dayeuhkolot),
(D) degenerasi (pembesaran 100x)
Gambar 4.27. Analisis histopatologi hati ikan betok pada stasiun 4 (Dayeuhkolot),
(MMC) melano makrofag center (pembesaran 100x)
Menurut Jubb and Peter (1970) dalam Juhryyah (2008) hati adalah organ
yang sangat sensitif terhadap adanya zat toksik yang masuk. Hal ini berhubungan
dengan fungsi metabolik di dalam sel hati. Zat toksik yang masuk dapat
59
menyebabkan serangkaian perubahan irreversibel. Hasil analisis histopatologi
jaringan hati pada ikan nila di Situ Cisanti, ikan sapu di Sapan dan ikan gabus di
Dayeuhkolot menunjukkan terjadinya nekrosis atau kematian sel (Gambar 4.18
(A), Gambar 4.22 dan Gambar 4.25 (B)). Nekrosis secara histopatologis ditandai
dengan terlihatnya batas-batas sel tidak jelas atau bahkan menghilang. Menurut
Plumb (1994) dalam Ersa (2008), nekrosis adalah kematian sel-sel atau jaringan
yang menyertai degenerasi sel pada setiap kehidupan hewan dan merupakan tahap
akhir degenerasi yang irreversibel. Sel yang baru mengalami nekrosis akan
mengalami pembengkakan. Sitoplasma sel yang nekrosis akan memiliki warna
yang lebih merah, namun warna inti tidak jelas bahkan tidak terwarnai sama
sekali. Nekrosis dapat disebabkan oleh trauma, agen-agen biologis (virus, bakteri,
jamur dan parasit), agen-agen kimia atau terjadinya gangguan terhadap
penyediaan darah pada suatu daerah khusus. Kausa nekrosa hati dapat dibagi
dalam kausa toksopatik dan kausa trofopatik. Kerusakan-kerusakan toksopatik
disebabkan karena pengaruh langsung agen yang bersifat toksik (zat-zat kimiawi
atau toksin kuman-kuman). Menurut Juhryyah (2008) kerusakan trofopatik
disebabkan oleh kekurangan langsung atau tidak langsung faktor-faktor yang
penting untuk kehidupan sel-sel.
Pada ikan gabus dan nila di Situ Cisanti, ikan betok dan ikan sapu di
Majalaya dan ikan gabus dan betok di Dayeuhkolot dari hasil analisis
histopatologi hati menunjukkan adanya melano makrofag center (MMC) baik di
hati (Gambar 4.17, Gambar 4.19 (B), Gambar 4.20 (B), Gambar 4.25 dan Gambar
4.27), maupun di hepatopankreas (Gambar 4.18 (B) dan Gambar 4.19 (C)).
Melano makrofag center (MMC) adalah kumpulan-kumpulan dari makrofag,
(Agius and Robert, 1981 dalam Ersa, 2008) yang berisi hemosiderin, lipofuchsin
dan ceroid sama seperti pigmen melanin. MMC banyak ditemukan di dalam
jaringan limfoid kebanyakan teleost yang diakibatan oleh peradangan.
Selain mengalami nekrosis dan MMC, hasil analisis histopatologi hati ikan
betok dan keting di Majalaya serta ikan glosom di Sapan, juga menunjukkan
jaringan hati mengalami kongesti (Gambar 4.19 (A), Gambar 4.21 dan Gambar
4.24). Kongesti adalah perubahan yang ditemukan pada interstisium. Kongesti
60
pada jaringan hati dapat ditandai dengan adanya penumpukan sel-sel darah merah
yang sangat padat pada pembuluh darah. Hal ini menunjukkan kondisi tidak
normal dari hati ikan. Saleh (1979) dalam Juhryyah (2008) kongesti adalah suatu
keadaan yang disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang
melebar pada suatu alat atau bagian tubuh. Harada, et al. (1999) dalam Juhryyah
(2008) menjelaskan bahwa zat toksik dapat mengganggu sistem sirkulasi sehingga
sel-sel kekurangan oksigen dan zat-zat makanan. Terjadinya kongesti diakibatkan
antara lain karena trauma fisik adanya parasit atau gangguan sistem peredaran
darahnya.
Pada hasil analisis histopatologis hati ikan sapu di Majalaya, ikan sapu dan
glosom di Sapan, dan ikan sapu di Dayeuhkolot dinyatakan bahwa jaringan
mengalami degenerasi (Gambar 4.20, Gambar 4.23 dan Gambar 4.24). Degenerasi
dalam patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur dan
fungsi normal, biasanya progresif, yang tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan
neoplasia. Spector (1993) dalam Juhryyah (2008) degenerasi sel sering diartikan
sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum kematian sel. Menurut Harada, et
al. (1999) dalam Juhryyah (2008), perubahan ini merupakan tanda awal kerusakan
sel yang disebabkan oleh toksin.
Hasil analisis histopatologi hati ikan gabus di Dayeuhkolot mengalami
degenerasi hidropis (Gambar 4.25 (A)). Menurut Jones, et al. (1997) dalam
Juhryyah ( 2008) degenerasi hidropis adalah terjadinya peningkatan jumlah air di
dalam sel yang menyebabkan sitoplasma dan organel sel tampak membengkak
dan bervakuola. Ada faktor yang mengganggu kemampuan membran sel untuk
melakukan transport aktif ion natrium keluar sel yang berakibat masuknya air
dalam jumlah yang berlebihan ke dalam. Paparan zat toksik menyebabkan
hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel. Menurut Price and
Lorraine (2006) dalam Juhryyah (2008) untuk mempertahankan kekonstanan
lingkungan internalnya, suatu sel harus menggunakan energi metabolik untuk
memompa ion natrium keluar dari sel. Underwood (1992) dalam Juhayyah (2008)
degenerasi hidropis umumnya disebabkan oleh gangguan metabolisme seperti
hipoksia atau keracunan bahan kimia. Rusmiati dan Lestari (2004) dalam
61
Juhryyah (2008) gangguan metabolisme sel biasanya didahului oleh berkurangnya
oksigen karena pengaruh senyawa toksik ke dalam tubuh.
Menurut Darmono (1995) dalam Damayanti (2010) tingkat kerusakan hati
dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat. Pembengkakan termasuk
dalam kerusakan ringan. Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan hemoragi,
sedangkan tingkat berat adalah nekrosis.
4.5.3 Organ Ginjal
Menurut Dinata (2004) dalam Bangun (2005) ginjal ikan merupakan organ
yang berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang biasanya tidak
dibutuhkan tubuh, termasuk bahan beracun seperti logam. Sehingga banyak bahan
beracun seperti logam berat terdapat di dalam ginjal tersebut. Organ ginjal pada
ikan yang terdapat dan tertangkap di aliran Sungai Citarum bagian Hulu
mengindikasikan bahwa lokasi penelitian sudah tercemar. Hal ini terlihat dari
kelainan yang terjadi pada struktur sel ginjal ikan-ikan yang tertangkap. Dalam
hal ini pada ginjal terjadi melano makrofag center (MMC), edema, degenerasi,
kongesti dan nekrosis (Tabel 4.6).
62
Tabel 4.6. Perubahan Histologi Ginjal Ikan yang Tertangkap Di Aliran Sungai
Citarum Bagian Hulu
Stasiun Ginjal Cr
(ppm) Keterangan
I MMC (melano makrofag
center)
E (edema)
D (degenerasi)
K (kongesti)
N (Nekrosis)
28,88
Melano makrofag center:
akumulasi makrofag-makrofag
yang berisi hemosiderin,
lipofuchsin dan ceroid sama
seperti pigmen melanin. MMC
diakibatkan oleh peradangan
Nekrosis: kematian sel
Kongesti (hipermia): keadaan
dimana terdapat darah secara
berlebihan (peningkatan jumlah
darah) di dalam pembuluh
darah pada daerah tertentu.
Edema: penimbunan cairan
secara berlebihan di antara sel-
sel tubuh atau di dalam
berbagai rongga tubuh.
Degenerasi: kehilangan
struktur normal sel.
II MMC (melano makrofag
center)
E (edema)
D (degenerasi)
N (nekrosis)
9,54
III MMC (melano makrofag
center)
E (edema)
K (kongesti)
N (nekrosis)
12,63
IV MMC (melano makrofag
center)
E (edema)
D (degenerasi)
N (nekrosis)
18,68
63
Gambar 4.28 Analisis histopatologi ginjal ikan gabus pada stasiun 1 (Situ
Cisanti), gambar A, (K) Kongesti; gambar B, (E) edema pada tubulus, (N)
nekrosis (pembesaran 100x)
Gambar 4.29. Analisis histopatologi ginjal ikan nila pada stasiun 1 (Situ Cisanti),
gambar A, (K) kongesti; gambar B, (MMC) melano makrofag center, (E) edema
pada tubulus (pembesaran 400x)
Gambar 4.30 Analisis histopatologi ginjal ikan mas pada stasiun 1 (Situ Cisanti),
(N) nekrosis, (E) edema pada tubulus, (K) kongesti, (MMC) melano makrofag
center, (D) degenerasi (pembesaran 100x)
Gambar 4.31. Analisis histopatologi ginjal ikan betok pada stasiun 2 (Majalaya),
gambar A, (N) nekrosis, (D) degenerasi; gambar B, (N) nekrosis, (E) edema pada
tubulus, (Pd) pembuluh darah (pembesaran 400x)
64
Gambar 4.32. Analisis histopatologi ginjal ikan keting pada stasiun 2 (Majalaya),
N (nekrosis), (MMC) melano makrofag center (pembesaran 100x)
Gambar 4.33. Analisis histopatologi ginjal ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan),
(MMC) melano makrofag center, (E) edema (pembesaran 400x)
Gambar 4.34. Analisis histopatologi ginjal ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan),
gambar A, (K) kongesti; gambar B, (N) nekrosis, (E) edema pada tubulus
(pembesaran 100x)
Gambar 4.35. Analisis histopatologi ginjal ikan gabus pada stasiun 4
(Dayeuhkolot), (N) nekrosis, (E) edema, (MMC) melano makrofag center
(pembesaran 400x)
65
Gambar 4.36. Analisis histopatologi ginjal ikan sapu pada stasiun 4
(Dayeuhkolot), (E) edema pada tubulus (pembesaran 100x)
Pada ikan gabus, ikan nila dan ikan mas di Situ Cisanti, serta ikan sapu di
Sapan analisis histopatologi menunjukkan adanya pembendungan sel darah atau
kongesti (Gambar 4.28 (A), Gambar 4.29 (A), Gambar 4.30 dan Gambar 4.34).
Menurut Saleh (1979) dalam Juhryyah (2008) kongesti adalah suatu keadaan yang
disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada
suatu alat atau bagian tubuh. Harada, et al. (1999) dalam Juhryyah (2008)
menjelaskan bahwa zat toksik dapat mengganggu sistem sirkulasi sehingga sel-sel
kekurangan oksigen dan zat-zat makanan. Terjadinya kongesti diakibatkan antara
lain karena trauma fisik adanya parasit atau gangguan sistem peredaran darahnya.
Pada ikan gabus, ikan nila dan ikan mas di Situ Cisanti, ikan betok di
Majalaya, ikan sapu di Sapan dan ikan gabus juga ikan sapu di Dayeuhkolot hasil
analisis histopatologis ginjal menunjukkan adanya edema pada tubulus (Gambar
4.28 (B), Gambar 4.29 (B), Gambar 4.30, Gambar 4.31 (B), Gambar 4.35 dan
Gambar 4.36). Menurut Saleh (1979) dalam Juhryyah (2008) edema adalah
meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler disertai dengan
penimbunan cairan ini di dalam sela-sela jaringan dan rongga serosa. Edema dapat
bersifat lokal atau umum. Menurut Jones, et al. (1997) dalam Juhryyah (2008),
secara mikroskopis tampak ruang antar sel-sel yang berdekatan, serabut-serabut
dan struktur lainnya membesar. Warna cairan merah muda atau homogen, sedikit
lebih merah, bergantung pada banyaknya protein. Menurut Juhryyah (2008)
edema terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan normal antara kompartemen
cairan darah, interstisium dan limfatik.
Selain kongesti, edema dan nekrosis pada ikan nila dan ikan mas di situ
Cisanti, ikan keting di Majalaya, ikan sapu di Sapan dan ikan gabus di
66
Dayeuhkolot hasil analisis histopatologi menunjukkan adanya melano makrofag
center (MMC) atau kumpulan-kumpulan sel makrofag yang berisi hemosiderin,
lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin (Gambar 4.29, Gambar 4.30
dan gambar 4.30). MMC banyak ditemukan di dalam jaringan limfoid kebanyakan
teleost yang diakibatan oleh peradangan. Fungsi melanin di dalam jaringan tidak
jelas. Hal ini mungkin didasarkan atas material radikal bebas yang stabil dari
melanin dan kemampuannya untuk menetralkan reaksi radikal bebas. Ellis (1981)
dalam Ersa (2008), menyatakan bahwa melanin pada organ viscera dapat sebagai
alat perlindungan dari kerusakan akibat radikal bebas.
4.6 Hubungan Kulitas Air, Logam Cr Pada Air , Logam Cr Pada Organ
dan Kerusakan Pada Organ
Adanya pencemaran yang mengandung logam berat pada badan air dapat
membahayakan keberlangsungan hidup dan kehidupan baik secara langsung
(ekosistem perairan) maupun tidak langsung (manusia). Keberadaan logam berat
dalam perairan akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota. Logam berat
yang terikat dalam tubuh organisme tersebut akan mempengaruhi aktivitas
organisme tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian dimasing-masing
stasiun dapat digambarkan hubungan dari parameter kualitas air, logam Cr pada
air, logam Cr pada organ dan kerusakan yang ditimbulkan serta kaitanya dengan
batas aman konsumsi manusia (Tabel 4.7).
67
Tabel 4.7. Hubungan Kulitas Air, Kandungan Cr Pada Air dan Organ serta
Kerusakan yang Ditimbulkan
Parameter Satuan Standar Stasiun Pengamatan
II III 1 2 3 4
Kualitas
air
fisik Suhu ˚C ± 3 ± 3 23,217±
0,755
23,517±
1,842
25,00±1
,757
24,167±
1,305
kimia DO mg/L 4 3 6,583 4,757 2,283 2,133
pH - 6-9 6-9 7,267 7,417 7,050 7,100
Logam Cr
Air
ppm
0,05 0,05 0,0426 0,0085 0,1223 0,0111
Insang
- -
29,08 2,55 9,62 10,6
Hati 76,73 7,19 16,14 7,85
Ginjal 28,88 9,54 12,63 18,68
Batas aman Logam Cr
masuk tubuh mg/kg/hari 0,05-0,2
Tidak
aman
Tidak
aman
Tidak
aman
Tidak
aman
Organ
Insang
Perubahan struktur jaringan
(kerusakan)
MMC
E
H
K
N
H
K
E
H
K
E
Tingkat kerusakan +++ ++ ++ +
Hati
Perubahan struktur jaringan
(kerusakan)
MMC
N
MMC
D
K
D
K
N
MMC
D
Dh
N
Tingkat kerusakan +++ ++ +++ +++
Ginjal
Perubahan struktur jaringan
(kerusakan)
MMC
E
D
K
N
MMC
E
D
N
MMC
E
K
N
MMC
E
D
N
Tingkat kerusakan +++ +++ +++ +++
Keterangan:
MMC= melano makrofag center
E= edema
H= hiperplasia
K= kongesti
D= degenerasi
Dh= degenerasi hidropis
N= nekrosis
+= ringan
++= sedang
+++= berat
Standar kualitas air= PP No.82 tahun 2001
Standar batas aman konsumsi logam Cr=
FHO/WHO dan Miller-Ihli (1992) dalam,
Jalaluddin dan Ambeng (2005)
Tingkat kerusakan= metode tandjung 1982,
Ressang (1986) dan Sudiono (2003),
Darmono (1995)
68
Situ Cisanti (stasiun 1) memliki suhu terendah dibandingkan dengan tiga
stasiun pengamatan lainnya. Rendahnya suhu pada stasiun ini berhubungan
dengan ketinggian lokasi yang berada pada daerah pegunungan dengan ketinggian
2000 m di atas permukaan laut dan terjaganya ekosistem dan hutan disekeliling
danau. Selain suhu yang rendah, kandungan oksigen terlarut (DO) pada stasiun ini
merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya dan nilai pH yang
netral, serta kandungan logam Cr yang masih dibawah ambang batas baku mutu
air kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001. Dengan demikian dapat
dinyatakan kualitas air di Situ Cisanti masih dalam batas toleransi bagi
keberlangsungan hidup organisme air.
Kandungan logam Cr pada air di Situ Cisanti walaupun masih memenuhi
standar akan tetapi hanya berbeda tipis dengan ambang batas, ini dimungkinkan
adanya sumber kromium yang berasal dari alam seperi dari tumbuhan, tanah dan
batuan vulkanik, hal tersebut berdampak pada tingginya akumulasi logam Cr pada
organ insang, hati dan ginjal ikan yang tertangkap di Situ Cisanti. Akumulasi
logam Cr pada ikan di Situ Cisanti merupakan akumulasi yang tertinggi
dibandingkan tiga stasiun lainnya yaitu, pada insang 29,06 ppm, hati 76,73 ppm
dan ginjal 28,88 ppm dengan akumulasi rata-rata 44,89 ppm. Bila dibandingkan
dengan rekomendasi batas aman Cr masuk kedalam tubuh menurut FAO/WHO
yaitu 200 µg/Kg/hari atau bila dikonversi menjadi 0,2 mg/Kg/hari dan menurut
rekomendasi Miller-Ihli (1992) dalam, Jalaluddin dan Ambeng (2005) batas aman
kromium dalam makanan manusia yaitu 50 sampai 200 μg/hari atau 0,05 – 0,2
ppm/hari dapat dinyatakan kandungan logam Cr pada organ ikan dari Situ Cisanti
sudah melebihi batas aman konsumsi.
Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah
struktur jaringan dari organ-organ tersebut. Kandungan logam Cr pada organ
insang ikan di Situ Cisanti yaitu 29,06 ppm menunjukkan adanya tingkat
kerusakan yang berat hal ini ditandai dengan adanya perubahan struktur jaringan
berupa MMC, edema, hiperplasia, kongesti dan nekrosis. Pada organ hati ikan di
Situ Cisanti kandungan logam Cr 76,72 ppm tingkat kerusakan tergolong berat
dengan ditandai adanya MMC dan nekrosis. Kandungan logam Cr pada organ
69
ginjal ikan di Situ Cisanti yaitu 28,88 ppm menunjukkan tingkat kerusakan yang
tergolong berat dikarenakan adanya perubahan struktur berupa MMC, edema,
kongesti, degenerasi dan nekrosis.
Stasiun 2 (Majalaya) memiliki kualitas air yang masih memenuhi standar
baku mutu air untuk kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001 dilihat dari
parameter suhu, DO, pH dan logam Cr pada air. Dari keempat parameter yang
diamati dapat dinyatakan kualitas air di stasiun pengamatan 2 (Majalaya) masih
dalam batas toleransi bagi keberlangsungan hidup organisme air, namun bila
dibandingkan dengan stasiun pengamatan 1 (Situ Cisanti) kandungan oksigen
terlarut (DO) cukup jauh berbeda, namun masih memenuhi batas minimal untuk
baku mutu air kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001.
Kandungan logam Cr pada air di Majalaya adalah yang terendah, hal ini
berdampak pula pada rendahnya kandungan logam Cr pada organ ikan yang
tertangkap di stasiun ini. Rendahnya kandungan logam Cr pada Organ ikan di
Majalaya juga dikarenakan volume dan arus air di aliran Sungai Citarum yang
berada di wilayah pengamatan ini cukup besar dan kencang sehingga
dimungkinkan logam Cr yang masuk kedalam jaringan tubuh baik melalui
pernafasan, penetrasi kulit dan makanan tidak terlalu besar. Akumuluasi logan Cr
pada organ ikan di Majalaya yaitu, di insang 2,55 ppm, di hati 7,19 dan di ginjal
9,54 ppm. Meskipun kandungan logam Cr di Majalaya ini terendah dengan rata-
rata 6,34 ppm bila dibandingkan dengan rekomendasi batas aman Cr masuk
kedalam tubuh yaitu 0,2 mg/kg/per hari (FAO/WHO) dan batas aman kromium
dalam makanan manusia yaitu 0,05–0,2 ppm/hari (Miller-Ihli, 1992 dalam
Jalaluddin dan Ambeng, 2005) sudah melebihi, sehingga dapat dinyatakan
kandungan logam Cr pada organ ikan dari Majalaya sudah melebihi batas aman
konsumsi.
Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah
struktur jaringan dari organ-organ tersebut. Kandungan logam Cr pada organ
insang ikan di Majalaya yaitu 2,55 ppm menunjukkan adanya tingkat kerusakan
yang sedang hal ini ditandai dengan adanya perubahan struktur jaringan berupa
hiperplasia dan kongesti. Pada organ hati ikan di Majalaya kandungan logam Cr
70
7,19 ppm tingkat kerusakan tergolong sedang dengan ditandai adanya MMC,
kongesti dan degenerasi, hal ini dapat terjadi karena logam berat yang masuk ke
dalam hati ikan menyebabkan gangguan fisiologis, sehingga ikan berusaha
mengeluarkannya sebagai bagian dari proses dektoksifikasi. Kandungan logam Cr
pada organ ginjal ikan di Majalaya yaitu 9,54 ppm menunjukkan tingkat
kerusakan yang tergolong berat dikarenakan adanya perubahan struktur berupa
edema, MMC, degenerasi dan nekrosis.
Kualitas air pada stasiun 3 (Sapan) ditinjau dari parameter suhu, DO dan
kandungan logam Cr pada air telah melebihi ambang batas baku mutu air kelas II
dan kelas III menurut PP No. 82 tahun 2001, sehingga dengan demikian dapat
dinyatakan kualitas air di Sapan kurang mendukung untuk keberlangsungan hidup
organisme air, sesuai dengan cerita masyarakat disekitar lokasi pengamatan ini,
bahwa sering terjadi ikan mati secara bersamaan dalam jumlah yang banyak
(mabuk). Kualitas air yang buruk di Sapan ini dimungkinkan karena industri-
industri (tekstil) yang berdiri di sekitar wilayah Sapan masih membuang limbah
berbahayanya secara langsung ke aliran sungai Citarik.
Kandungan logam Cr pada air di Sapan adalah yang tertinggi dan sudah
melebihi ambang batas standar, tingginya kandungan logam Cr pada air juga
menyebabkan akumulasi logam Cr pada organ ikan di Stasiun ini. Kandungan
logam Cr pada organ ikan di Sapan bukan yang paling tinggi namun kedua
tertinggi setelah Situ Cisanti (stasiun 1) yaitu pada insang 9,62 ppm, hati 16,14
ppm dan ginjal 12,63 ppm dengan rata-rata 12,80 ppm bila dibandingkan dengan
rekomendasi batas aman Cr masuk kedalam tubuh yaitu 0,2 mg/kg/hari
(FAO/WHO) dan batas aman kromium dalam makanan manusia yaitu 0,05 –0,2
ppm/hari (Miller-Ihli 1992 dalam Jalaluddin dan Ambeng, 2005), dapat
dinyatakan kandungan logam Cr pada organ ikan dari wilayah Sapan sudah
melebihi batas aman konsumsi.
Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah
struktur jaringan dari organ-organ tersebut. Pada ikan di Sapan dengan kandungan
logam Cr di insang 9,62 ppm menunjukkan adanya tingkat kerusakan yang sedang
hal ini ditandai dengan adanya perubahan struktur jaringan berupa edema,
71
hiperplasia dan kongesti, di hati dengan kandungan logam Cr 16,14 ppm tingkat
kerusakan tergolong berat dengan di tandai adanya degenerasi, kongesti dan
nekrosis dan di ginjal dengan kandungan logam Cr 12,63 ppm menunjukkan
tingkat kerusakan yang tergolong berat dikarenakan adanya perubahan struktur
berupa MMC, edema, kongesti dan nekrosis.
Pada stasiun pengamatan 4 (Dayeuhkolot) ditinjau dari parameter
kandungan oksigen terlarut (DO) kualitas air distasiun ini telah melebihi baku
mutu kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001. Namun, kandungan logam Cr
di air, suhu dan pH di Dayeuhkolot masih dalam batas aman baku mutu.
Kandungan logam Cr pada air di Dayeuhkolot masih di bawah batas baku
mutu kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001, akan tetapi logam Cr sudah
terakumulasi cukup tinggi di organ ikan yaitu, 10,60 ppm di insang, 7,85 ppm di
hati dan 18,68 ppm di ginjal. Kandungan Cr pada organ ikan di Dayeuhkolot
cukup tinggi dengan rata-rata 12,38 ppm namun masih lebih rendah dibandingkan
ikan di Situ Cisanti (stasiun 1) dan Sapan (stasiun 3) dan lebih tinggi
dibandingkan ikan di Majalaya (stasiun 2) serta lebih tinggi dibandingkan
rekomendasi batas aman Cr masuk kedalam tubuh yaitu 0,2 mg/kg/hari
(FAO/WHO) dan batas aman kromium dalam makanan manusia yaitu 0,05-0,2
ppm/hari (Miller-Ihli, 1992 dalam Jalaluddin dan Ambeng, 2005), sehingga dapat
dinyatakan kandungan logam Cr pada organ ikan dari wilayah Dayeuhkolot sudah
melebihi batas aman konsumsi.
Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah
struktur jaringan dari organ-organ tersebut. Pada ikan di Dayeuhkolot dengan
kandungan logam Cr di insang 10,60 ppm menunjukkan adanya tingkat kerusakan
yang tergolong masih ringan hal ini ditandai dengan adanya edema, di hati dengan
kandungan logam Cr 7,85 ppm tingkat kerusakan tergolong berat dengan di tandai
adanya MMC, degenerasi hidropis dan nekrosis. Di ginjal dengan kandungan
logam Cr 18,68 ppm menunjukkan tingkat kerusakan yang tergolong berat
dikarenakan adanya perubahan struktur berupa MMC, edema, degenerasi dan
nekrosis.