59
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Uji validitas dan Reliabilitas Penelitian
Validitas instrumen diuji dengan alat analisis
Korelasi Pearson antara item dengan total item. Jika nilai
korelasi di atas 0.30, mengindikasikan item tersebut
valid. Sebaliknya jika nilai korelasi di bawah 0.30
mengindikasikan item tersebut tidak valid, dan layak
untuk tidak diikutsertakan pada tahap selanjutnya.
Sedangkan reliabilitas instrumen diuji dengan alat
analisis Alpha Cronbach.Jika nilai koefisien alpha
cronbach di atas 0.60 mengindikasikan instrumen
reliabel, sebaliknya jika nilai koefisien alpha cronbach di
bawah 0.60 mengindikasikan instrumen tidak reliabel. Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan
pengujian validitas da reliabilitas insrtumen penelitian
pada setiap variable. Berikut disajikan pengujian
selengkapnya. Tabel 4.1. Uji validitas dan Reliabilitas Variable Penelitian
Variabel Indikator
Korelasi
Alpha Keterangan
Beban Kerja X1.1 0.904 0.782
Valid dan Reliabel
( X1) X1.2 0.908
Tingkat Kompetensi Teknologi X2.1 0.658
0.625
Valid dan Reliabel
60
(X2) X2.2 0.718
X2.3 0.731
Technostress Y1.1 0.627 0.727
Valid dan Reliabel
(Y1) Y1.2 0.736
Y1.3 0.363
Kinerja Y2.1 0.535 0.699
Valid dan Reliabel
(Y2) Y2.2 0.633
Y2.3 0.716
Y2.4 0.643
Y2.5 0.571
Y2.6 0.498
Y2.7 0.585 Berdasarkan Tabel 4.1 terlihat bahwa semua item
dari variable beban kerja, tingkat kompetensi teknologi,
technostress, dan kinerja memiliki nilai korelasi
keseluruhan di atas 0.30, sehingga seluruh Indikator
dinyatakan valid.
Demikian pula nilai koefisien alpha cronbach di
atas 0.60 sehingga instrumen variabel Beban kerja,
Tingkat Kompetensi Teknologi, Technostress, dan Kinerja
dinyatakan telah valid dan reliabel
61
4.2. Deskripsi Variabel Penelitian
4.2.1. Deskripsi Variabel Beban Kerja (X1)
Berikut disajikan deskripsi Variabel Beban Kerja
selengkapnya
Tabel 4.2 Persentase Jawaban Responden
Indikator Persentase Jawaban (%)
rata-rata STS TS N S SS
X1.1 0.00 0.00 2.31 54.62 43.08 4.41
X1.2 0.00 0.77 4.62 44.62 50.00 4.44
Rata-rata variable 4.42 Berdasarkan table di atas, dari nilai rata-rata
terlihat bahwa responden lebih mementingkan indicator
kedua (X1.2) daripada indicator pertama (nilai rata-rata
tertinggi sebesar 4.44). Artinya responden menilai Beban
kerja paling utama dari indicator kedua.
4.2.2. Deskripsi Variabel Tingkat Kompetensi Teknologi (X2)
Berikut disajikan dekripsi Variabel Tingkat Kompetensi Teknologi selengkapnya
Tabel 4.3 Persentase Jawaban Responden
Indikator Persentase Jawaban (%)
rata-rata STS TS N S SS
X2.1 0.77 3.08 5.38 59.23 31.54 4.18
X2.2 1.54 5.38 13.85 53.08 26.15 3.97
X2.3 1.54 21.54 13.08 44.62 19.23 3.58
Rata-rata variabel 3.91
62
Berdasarkan table di atas, dari niliai rata-rata
terlihat bahwa responden lebih mementingkan indicator
pertama (X2.1) daripada indicator pertama (nilai rata-rata
terbesar 4.18). Artinya responden menilai Tingkat
Tekonlogi Kompetensi paling utama dari indicator
pertama.
4.2.3 Deskripsi Variabel Technostress (Y1) Berikut disajikan dekripsi Variabel Technostress selengkapnya
Tabel 4.4 Persentase Jawaban Responden
Indikator Persentase Jawaban (%)
rata-rata STS TS N S SS
Y1.1 0.00 0.00 1.54 47.69 50.77 4.49
Y1.2 0.00 0.77 2.31 56.15 40.77 4.37
Y1.3 0.00 2.31 6.92 54.62 36.15 4.25
Rata-rata variabel 4.37 Berdasarkan table di atas, dari niliai rata-rata
terlihat bahwa responden lebih mementingkan indikator
pertama (Y1.1) daripada indicator yang lain (nilai rata-rata
terbesar 4.49). Artinya responden menilai Technostress
paling utama dari indicator pertama.
4.2.4. Deskripsi Variabel Kinerja (Y2) Berikut disajikan dekripsi Variabel KInerja selengkapnya
Tabel 4.5 Persentase Jawaban Responden
Indikator Persentase Jawaban (%)
rata-rata STS TS N S SS
63
Y2.1 0.77 3.08 17.69 63.08 15.38 3.89
Y2.2 0.00 0.77 0.77 58.46 40.00 4.38
Y2.3 0.00 0.00 2.31 58.46 39.23 4.37
Y2.4 0.00 0.77 3.08 61.54 34.62 4.30
Y2.5 0.00 0.77 2.31 51.54 45.38 4.42
Y2.6 0.00 0.00 0.00 55.38 44.62 4.45
Y2.7 0.00 0.00 0.77 61.54 37.69 4.37
Rata-rata variabel 4.31 Berdasarkan table di atas, dari niliai rata-rata
terlihat bahwa responden lebih mementingkan indicator
keenam (Y2.6) daripada indicator yang lain (nilai rata-rata
terbesar 4.45). Artinya responden menilai Kinerja paling
utama dari indicator keenam.
4.3 Hasil Analisis SEM 4.3.1. Pengujian Asumsi SEM
Terdapat beberapa pengujian asumsi yang dilakukan dalam SEM, yaitu normalitas, linieritas dan outlier.
a. Normalitas
Berdasarkan Lampiran 3, diperoleh nilai critical
ratio sebesar 1.542 dengan nilai kritis Zhitung untuk 5%
adalah sebesar 1.96. Karena nilai mutlak CR untuk
multivariate sebesar 1.015 < 1.96 maka asumsi
normalitas multivariate terpenuhi.
64
b. Tidak adanya outlier
Pemeriksaan terhadap oultiers multivariat dilakukan menggunakan kriteria mahalanobis pada tingkat p<0.001. Mahalanobis distance dievaluasi menggunakan 2 pada derajat bebas sebesar banyaknya paramter dalam model yang digunakan yaitu=89 dimana dari tabel statistik diperoleh 2
89 = 135.98.
Dari tabel Mahalanobis distance (Lampiran 3) dapat dilihat bahwa titik observasi yang paling jauh adalah responden pertama dengan nilai Md=61.035. Jika dibandingkan dengan nilai 2
89 = 135.98. maka nilai Md titik pertama < 135.98, maka disimpulkan bahwa semua titik observasi bukan merupakan outlier. 4.3.2. Goodnesss of Fit SEM
Hasil pengujian goodness of fit overall model, sesuai dengan hasil analisis SEM pada Lampiran 3, guna mengetahui apakah model hipotetik didukung oleh data empirik, diberikan tabel di bawah ini.
Tabel 4.6 Hasil Pengujian Goodness Of Fit Overall Model
Kriteria Cut-of value Hasil Model Keterangan
CMIN/DF ≤ 2.00 1.511 Model Baik
GFI 0.90 0.804 Model Kurang Baik
AGFI 0.90 0.767 Model Kurang Baik
CFI 0.95 0.840 Model Kurang Baik
RMSEA ≤ 0.08 0.063 Model Baik
65
Hasil pengujian Goodness of Fit Overall berdasarkan
Gambar dan Tabel di atas, Menurut Arbuckle dan
Wothke, dalam Solimun (2009), kriteria terbaik yang
digunakan sebagai indikasi kebaikan model adalah nilai
Chi Square/DF yang kurang dari 2, dan RMSEA yang di
bawah 0.08. Pada penelitian ini, nilai CMIN/DF dan
RMSEA telah memenuhi nilai cut off. Oleh karena itu
model SEM pada penelitian ini cocok dan layak untuk
digunakan, sehingga dapat dilakukan interpretasi guna
pembahahasan lebih lanjut.
4.3.3. Model Pengukuran
Model pengukuran diukur dari nilai loading factor
(standardize coefficient) pada setiap indikator ke variabel
laten. Nilai loading factor menunjukkan bobot dari setiap
indikator sebagai pengukur dari masing-masing variabel.
Indikator dengan loading factor besar menunjukkan
bahwa indikator tersebut sebagai pengukur variabel yang
terkuat (dominan).
Hasil analisis faktor konfirmatori terhadap
indikator-indikator dari keempat variabel disajikan
sebagai berikut :
66
Tabel 4.7. Hasil Pengujian Measurement Model Variabel Beban Kerja (X1)
Indikator Standardize P-Value X1.1 1.077 fix X1.2 0.596 0.001
Sumber: Data Penelitian Diolah, 2012 (Lampiran 3)
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa pada
indikator pertama (X1.1) dan kedua (X1.2), memiliki nilai
koefisien standardize atau loading factor dengan indikator
dinyatakan fix dan memiliki p-value < 0.05, sehingga
dapat disimpulkan bahwa kedua indikator signifikan
mengukur variabel Beban Kerja (X1). Dari nilai
standardize terbesar yaitu pada indicator pertama
menunjukkan variable Beban Kerja (X1) diukur paling
dominan ole indicator pertama (X1.1) yaitu Persepsi
karyawan mengenai jumlah pekerjaan yang harus
diselesaikan, seperti work-orde, trouble shooting, proyek,
trial produk baru.
Tabel 4.8 Hasil Pengujian Measurement Model Variabel
Tingkat Kompetensi Teknologi (X2) Indikator Standardize P-Value
X2.1 0.840 fix X2.2 0.804 0.001 X2.3 0.741 0.001
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa pada
indikator pertama (X2.1), kedua (X2.2), dan ketiga (X2.3)
memiliki nilai koefisien standardize atau loading factor
67
dengan indikator dinyatakan fix dan memiliki p-value <
0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga indikator
signifikan mengukur variabel Tingkat Kompetensi
Teknologi (X2). Dari nilai standardize terbesar yaitu pada
indicator pertama menunjukkan variable Tingkat
Kompetensi Teknologi (X2) diukur paling dominan ole
indicator pertama (X2.1) yaitu Kompetensi Teknologi
Mekatronika.
Tabel 4.9 Hasil Pengujian Measurement Model Variabel Yechnostress (Y1)
Indikator Standardize P-Value Y1.1 0.455 0.001 Y1.2 0.391 0.001 Y1.3 0.508 0.001
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa pada
indikator pertama (Y1.1), kedua (Y1.2), dan ketiga (Y1.3)
memiliki nilai koefisien standardize atau loading factor
dengan p-value < 0.05, sehingga dapat disimpulkan
bahwa ketiga indikator signifikan mengukur variabel
technostress (Y1). Dari nilai standardize terbesar yaitu
pada indicator ketiga menunjukkan variable technostress
(Y1) diukur paling dominan oleh indicator ketiga (Y1.3)
yaitu perubahan watak dan kepribadian.
Tabel 4.10 Hasil Pengujian Measurement Model Variabel Kinerja (Y2)
Indikator Standardize P-Value Y2.1 0.327 0.005 Y2.2 0.588 0.001 Y2.3 0.645 0.001
68
Y2.4 0.480 0.001 Y2.5 0.521 0.001 Y2.6 0.408 Fix Y2.7 0.484 0.001
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa pada
ketujuh indikator memiliki nilai koefisien standardize
atau loading factor dengan indikator dinyatakan fix dan
memiliki p-value < 0.05, sehingga dapat disimpulkan
bahwa ketujuh indikator signifikan mengukur variabel
Kinerja (Y2). Dari nilai standardize terbesar yaitu pada
indicator ketiga menunjukkan variable Kinerja (Y2) diukur
paling dominan oleh indicator ketiga (Y2.3) yaitu Target
jumlah proyek yang bisa diselesaikan.
4.3.4. Model Struktural
Dalam model struktural ini, diuji sebelas hipotesis
hubungan antar variabel (pengaruh langsung). Berikut
disajikan secara lengkap hasil pengujian hubungan antar
variabel penelitian sebagai berikut:
Tabel 4.11 Pengujian Hipotesis SEM
Hubungan Antar Variabel
Koefisien P-value
Keterangan
Beban Kerja (X1) Technostress (Y1)
0.415 0.002 Signifikan
Tingkat Kompetensi Teknologi (X2) Technostress (Y1)
-0.454 0.001 Signifikan
Technostress (Y1) -0.940 0.001 Signifikan
69
Kinerja (Y2) Beban Kerja (X1)
Technostress (Y1) Kinerja (Y2)
-0.390 - Signifikan
Tingkat Kompetensi Teknologi (X2)
Technostress (Y1) Kinerja (Y2)
0.427 - Signifikan
Keterangan: tanda * menyatakan signifikan pada tingkat kesalahan 5%s Secara grafis disajikan sebagai berikut:
Berdasar atas tabel dan gambar di atas, maka hasil
pengujian model struktural disajikan sebagai berikut :
1. Pengaruh Beban Kerja terhadap Technostress memiliki
koefisien sebesar 0.415 dengan p-value < alfa (0.05)
sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh
signifikan antara Beban Kerja terhadap Technostress.
Karena koefisien bertanda positif (0.415) mengindikasikan
70
hubungan keduanya searah. Artinya semakin tinggi
Beban Kerja, semakin tinggi pula Technostress.
2. Pengaruh Tingkat Kompetensi Teknologi terhadap
Technostress memiliki koefisien sebesar -0.454 dengan p-
value < alfa (0.05) sehingga dapat dikatakan bahwa
terdapat pengaruh signifikan antra Tingkat Kompetensi
Teknologi terhadap Technostress. Karena koefisien
bertanda negatif (-0.454) mengindikasikan hubungan
keduanya berbanding terbalik. Artinya semakin tinggi
Tingkat Kompetensi Teknologi, semakin rendah
Technostress.
3. Pengaruh Technostress terhadap Kinerja memiliki
koefisien sebesar -0.940 dengan p-value < alfa (0.05)
sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh
signifikan antra Technostress terhadap Kinerja Karyawan
bagian engineering. Karena koefisien bertanda negative (-
0.940) mengindikasikan hubungan keduanya berbanding
terbalik. Artinya semakin tinggi Technostress, semakin
rendah Kinerja Karyawan bagian engineering.
4. Pengaruh Technostress sebagai variabel mediasi dalam
hubungan pengaruh Beban Kerja terhadap Kinerja pada
karyawan yang bekerja pada industri yang mempunyai
keharusan untuk mempergunakan peralatan produksi
berteknologi tinggi memiliki koefisien sebesar -0.390
(0.415x-0.940). Sehingga hal ini dapat dikatakan bahwa
71
terdapat pengaruh yang signifikan antara Beban Kerja
terhadap Kinerja melalui Technostress sebagai variable
mediasinya. Selanjutnya, karena koefisien bertanda
negative (-0.390) maka hal tersebut mengindikasikan
hubungan berbanding terbalik. Artinya semakin tinggi
Beban Kerja, semakin rendah Kinerja karyawan
engineering jika Technostress tinggi.
5. Pengaruh Technostress sebagai variabel mediasi dalam
hubungan pengaruh kompetensi teknologi otomasi
terhadap kinerja pada karyawan yang bekerja pada
industri yang mempunyai keharusan untuk
mempergunakan peralatan produksi berteknologi tinggi
memiliki koefisien sebesar -0.427 (-0.454x-0.940).
Sehingga hal ini dapat dikatakan bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan antara Tingkat Kompetensi
Teknologi terhadap Kinerja melalui Technostress. Karena
koefisien bertanda positif (0.427), maka mengindikasikan
hubungan searah. Artinya semakin tinggi Tingkat
Kompetensi Teknologi, semakin tinggi Kinerja karyawan
engineering jika Technostress tinggi.
4.5. Pembahasan Perubahan penggunaan teknologi yang sangat cepat
pada sebuah perusahaan multinasional yang
memproduksi non diary creamer telah membawa
perubahan dalam tuntutan kinerja organisasi agar
mampu bertahan dan bahkan memenangkan persaingan
72
(Rhenald Kasali: 2010). Hal ini telah membawa dampak
pada setiap individu yang bekerja dalam sebuah
organisasi untuk juga menghasilkan kinerja yang lebih
baik secara berkelanjutan, baik dari kuantitas maupun
kualitasnya. Kinerja individu yang lebih baik menurut
Prawirosentono (1999), hanya akan bisa dihasilkan oleh
individu yang mempunyai keahlian yang tinggi dan
kesediaannya untuk bekerja. Artinya, setiap individu
harus menjadi semakin ahli dan semakin bekerja keras
jika menginginkan pencapaian kinerja yang lebih baik
secara berkelanjutan agar terus bisa bekerja di organisasi
tersebut, dan bahkan mendapatkan kenaikan jabatan
atau imbalan lainnya. Namun demikian, tidak selamanya
proses untuk menjadi seorang ahli tersebut bisa
dilakukan dengan lancar dan tanpa hambatan apapun.
Sebaliknya, berbagai batasan dan penghalang seringkali
harus dihadapi oleh individu mengingat keterbatasan
sumber daya yang ada. Hal ini semakin diperparah
dengan adanya persaingan di kalangan individu tersebut
untuk memperebutkan kesempatan yang terbatas.
Kondisi tekanan ini menurut Robbins (2001:563) akan
menimbulkan stress yang juga dapat diartikan sebagai
suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang
dalam mencapai suatu kesempatan dimana untuk
mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau
penghalang.
73
Menurut pengamatan Peneliti, pada tahap awal
nampak jelas kondisi lingkungan kerja yang kurang
harmonis dan kinerja yang menurun dibandingkan
dengan kondisi lingkungan kerja sebelum penggunaan
peralatan industri otomasi pada unit produksi. Perbedaan
kondisi ini tercermin pada meningkatnya angka absen,
angka kunjungan ke poliklinik perusahaan, angka
prosentase pengunduruan diri karyawan dan angka
lembur yang meningkat. Kondisi menurut pengamatan
Peneliti ini rupanya juga tercermin dalam jawaban dari
responden atas pertanyaan kuesioner yang diberikan
sebagaimana tertera dalam hasil pengujian model
structural pada table 4.3.4 di atas.
Berdasarkan hasil analisis terbukti bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan antara Beban Kerja terhadap
Technostress. Dengan koefisien yang bertanda positif
mengindikasikan semakin tinggi Beban Kerja karyawan,
akan meningkatkan Technostress. Sebaliknya semakin
rendah beban Kerja karyawan, akan mengakibatkan
semakin rendah pula Technostress. Individu yang
diharuskan mencapai target tertentu yang telah
ditetapkan, dengan menggunakan peralatan otomasi
baru, akan merasakan peningkatan technostress yang
cenderung mengakibatkan individu tersebut cenderung
menyalahkan perubahan sistem produksi yang ada. Hal
ini diperparah dengan sering terjadinya product defect
74
akibat kesalahan operasional mesin, yang akan
meningkatkan beben kerja individu tersebut karena harus
bekerja lebih lama (lembur).
Mengacu kepada hasil analisis di atas, terbukti
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara Tingkat
Kompetensi Teknologi terhadap Technostress. Dengan
koefisien yang bertanda negatif mengindikasikan semakin
tinggi Tingkat Kompetensi Teknologi, akan mengakibatkan
semakin rendah Technostress. Sebaliknya semakin
rendah Tingkat Kompetensi Teknologi, akan
mengakibatkan semakin tinggi Technostress. Pada tahap
awal digunakannya peralatan otomasi tersebut, mayoritas
individu pada lingkungan kerja tersebut merasakan
kebingungan dan tidak memahami bagaimana
mengoperasikan sistem produksi, melakukan perawatan
dan modifikasi peralatan guna menghasilkan barang
sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan. Pelatihan juga
sangat dirasakan kurang mengingat waktu yang terbatas
akibat beban kerja yang tinggi. Kekurangan pelatihan ini
menjadi salah satu kendala dalam upaya peningkatan
kompetansi otomasi pada masing-masing individu.
Melihat hasil analisis diatas terbukti bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara Technostress
terhadap Kinerja Karyawan. Dengan koefisien yang
bertanda negative mengindikasikan semakin tinggi
Technostress, akan mengakibatkan semakin rendah
75
Kinerja Karyawan. Sebaliknya semakin rendah
Technostress, akan mengakibatkan semakin tinggi Kinerja
Karyawan. Kondisi ini mencerminkan bahwa individu
teresebut mengalami distress atau stress yang negatif.
Menurut pengamatan Peneliti, hal ini terjadi pada periode
awal perubahan penggunaan system produksi baru.
Kondisi tersebut jika dihubungan dengan kedua kondisi
pada dua alenia di atas adalah semakin menguatkan
bukti adanya penurunan kinerja pada periode awal
perubahan system produksi pada perusahaan tersebut
akibat penggunaan peralatan teknologi otomasi. Namun
demikian , di lain pihak Peneliti juga menjumpai beberapa
individu yang melihat perubahan ini adalah merupakan
sebuah tantangan baru dan kesempatan baru untuk
diperlajari lebih lanjut guna terus meningkatkan
kompetensi mereka pada bidang tersebut. Individu dalam
kelompok ini termasuk dalam inividu yang mengalami
eustress atau stress positif. Walaupun jumlahnya sangat
sedikit pada tahap awal, namun setelah dilakukan
coaching & counceling melalui program Change Execution
Methodology (CEM) , jumlahnya telah mengalami
peningkatan secara bertahap.
Hasil analisis di atas membuktikan bahwa terdapat
terdapat pengaruh yang signifikan antara Beban Kerja
terhadap Kinerja Karyawan melalui Technostress sebagai
76
interventing variabel. Dengan koefisien yang bertanda
negative mengindikasikan semakin tinggi Beban Kerja
karyawan, akan mengakibatkan semakin rendah Kinerja
Karyawan jika Technostress tinggi. Hal ini menjadi bukti
bahwa variable Technostress bersifat interventing pada
pengaruh Beban Kerja terhadap Kinerja Karyawan.
Semakin tinggi beban kerja individu yang bekerja pada
peralatan otomasi tersebut menjadikan berkurangnya
waktu untuk mempelajari peralatan barunya lebih dalam
dan mendetail. Hal tersebut, menurut pengamatan
Peneliti, telah membuat individu tersebut mengalami
tingkat technostress yang lebih tinggi sehingga telah
berdampak pada kinerja invdividu tersebut.
Berdasarkan hasil analisis terbukti bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan antara Tingkat Kompetensi
Teknologi terhadap Kinerja Karyawan melalui
Technostress sebagai interventing variablenya. Dengan
koefisien yang bertanda positif mengindikasikan semakin
tinggi Tingkat Kompetensi Teknologi, akan mengakibatkan
semakin tinggi Kinerja Karyawan jika Technostress tinggi.
Hal ini menjadi bukti bahwa variable Technostress
bersifat interventing pada pengaruh Tingkat Kompetensi
Teknologi terhadap Kinerja Karyawan.