Download rtf - BAB IV Revisi Terakhir

Transcript

BAB IV PEMBAHASAN Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Perdagangan dalam Peraturan Pemungutan Pajak di Indonesia ditinjau dari Konsep Pajak Pertambahan Nilai Di dalam bab ini akan dibahas lebih dalam mengenai permasalahan dalam perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut PPN) atas penyerahan jasa perdagangan ditinjau dari konsep PPN. Sebelum membahas perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagangan harus diketahui terlebih dahulu bahwa di dalam konsep PPN terdapat dua prinsip yang berkaitan dengan kewenangan atau yuridiksi suatu negara untuk memungut PPN yaitu prinsip tempat asal (origin principle) dan prinsip tempat tujuan (destination principle). Kedua prinsip ini dalam menentukan kewenangan pemungutan PPN dengan menggunakan konsep yang berbeda. Inti dari destination principle adalah suatu negara berhak mengenakan PPN berdasarkan tempat konsumsi Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak tersebut, untuk origin principle adalah tempat asal produsen Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak. Hampir banyak negara sekarang ini menggunakan prinsip tujuan barang, karena lebih netral untuk perdagangan internasional. Hal ini dilakukan dalam rangka harmonisasi perpajakan demi terciptanya iklim perdagangan internasional yang fair dan netral (Rosdiana 225). Untuk mengetahui Indonesia menganut prinsip yang mana, akan dijelaskan lebih lanjut di dalam bab ini. Berkaitan dengan prinsip pemungutan diatas, Indonesia dalam memungut PPN atas penyerahan jasa perdagangan ada beberapa peraturan pemungutan PPN yang terkait antara lain Undang-undang PPN tahun 2000 (Undang-undang Nomor 18 tahun 2000), Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.04/1989, Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor 08/PJ.52/1996 tentang jasa perdagangan dan beberapa surat penegasan Direktorat Jenderal Pajak. Peraturan pemungutan PPN tersebut di lapangan tidak terpakai semua, melainkan hanya satu atau dua peraturan yang digunakan dengan interprestasi hukum yang berbeda-beda sehingga sering terjadi perselisihan antara Wajib Pajak dan petugas pajak, permasalahan ini pun membuat para akademisi perpajakan menuangkan pendapatnya di berbagai media. Perselisihan pendapat ini yang ingin peneliti bahas di dalam bab ini dengan menyandingkan tiga dasar hukum yang terkait tersebut dengan konsep PPN dalam

kewenangan suatu negara memungut PPN yaitu destination principle dan origin principle. Kesesuaian atau ketidaksesuaian ketiga dasar hukum tersebut dengan konsep PPN, peneliti ambil dari beberapa sumber antara lain: teori PPN pada bab II, peraturan pajak yang tekait pada bab III hasil wawancara dengan pembuat kebijakan (Direktorat Jenderal Pajak), pemeriksa pajak, Wajib Pajak (perusahaan jasa perdagangan), akademisi perpajakan (pakar pajak/PPN). Dalam mempermudah dalam menganalisis dan menjawab pertanyaan penelitian di dalam skripsi ini, peneliti telah membuat operasionalisasi konsep yang ada di dalam bab II. Pada bab IV ini peneliti bagi menjadi 3 sub bab, yaitu: 1. perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagangan di dalam Undang-undang PPN tahun 2000, 2. perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagangan di dalam Surat Edaran Direktorat jenderal pajak nomor 08/PJ.52/1996, 3. perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagangan di dalam Keputusan Menteri Keuangan/ KMK.04/1989. 4. perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagangan di dalam Surat Penegasan Direktoran Jenderal Pajak sebelum tahun 2004 dan sesudah tahun 2004 Ketiga sub-bab inipun akan dipecah lagi menjadi sub-bab-sub bab untuk lebih memperjelas permasalahan-permasalahan dan mendapatkan titik temunya. A. Perlakuan PPN atas Penyerahan Jasa Perdagangan di dalam Undangundang PPN tahun 2000. Untuk membahas perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagangan di dalam Undang-undang PPN tahun 2000, penulis bagi menjadi beberapa sub bab. Sub babsub bab tersebut terbagi menjadi 3 bagian, antara lain: 1. kedudukan Undang-undang PPN tahun 2000, 2. perlakuan PPN atas jasa perdagangan, 3. Rancangan Undang-undang mengenai ekspor Jasa kena Pajak. Penulis bagi menjadi 3 sub bab untuk mempermudah pembaca dalam memahami perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagangan di dalam Undang-undang PPN tahun 2000.

Universitas Indonesia 9 5

A.1. Kedudukan Undang-undang PPN tahun 2000 Peraturan Perundang-undangan Indonesia bersifat hierarki/bertingkat yang mana tidak boleh peraturan yang tingkatnya lebih rendah mengatur mengenai sesuatu hal yang diatur oleh peraturan dibawahnya apabila tidak diberi wewenang oleh peraturan diatasnya. Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Maksud dari Pasal 23A tersebut adalah Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada Undang-undang pajak untuk untuk mengatur pajak dan pungutan lainnya. Salah satu Undang-undang pajak adalah Undang-undang PPN. Undang-undang PPN Indonesia telah mengalami dua kali amandemen. Undangundang PPN tahun 2000 (Undang-undang No.18 tahun 2000) adalah Undang-undang PPN amandemen kedua, sebelumnya amandemen pertama adalah Undang-undang PPN tahun 1994 (Undang-undang No.11 tahun 1994), dan yang paling pertama adalah Undang-undang PPN tahun 1984 (Undang-undang No.8 tahun 1983). Undang-undang PPN meskipun telah di amandemen dua kali akan tetapi tidak pernah ada Undangundang PPN amandemen pertama maupun kedua mencabut Undang-undang PPN sebelumnya. Amandemen Undang-undang PPN hanya mengganti pasal-pasal di dalam Undang-undang PPN tanpa menghilangkan filosofi di Undang-undang PPN sebelumnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan informan sebagai pihak dari akademisi perpajakan, sebagai berikut: Undang-undang nomor 8 tahun 1983 dan Undang-undang nomor 11 tahun 1994, kedua Undang-undang itu khan tidak pernah dicabut. Andaikata dicabut, filosofi tidak bisa dimatikan oleh suatu bentuk hukum karena itu filosofi. Filosofi itu tidak tergantung dia dimuat atau tidak dimuat (wawancara dengan Untung Sukardji, 6 November 2008). Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh salah satu tax partner Konsultan Pajak Hasubuan Bawazier & Purnomo selaku informan dari pihak praktisi perpajakan, sebagai berikut: UU PPN itu ga berubah dari dulu dari tahun 1984 sampai sekarang filosofinya masih sama dan meskipun telah dua kali amandemen tapi belum ada pernah yang dicabut (wawancara dengan Rizal Bawazier, 8 November 2008).Universitas Indonesia 0 6

Peraturan Daerah Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden

Hal ini juga sejalan dengan pernyataan selaku informan dari pihak Direktorat Jenderal Pajak Peraturan I atau praktisi perpajakan, sebagai berikut: Tidak pernah dicabut UU PPN sebelumnya , tapi berubah.. tapi PP nya dicabut menjadi PP 50, PP 50 dicabut dengan PP 143. Jadi karena dicabut maka PPnya jadi tidak berlaku, tapi UU nya tidak, hanya berubah Pasalnya saja, perubahan Pasal nya yang dipakai untuk konteks kekinian, karena tidak mungkin donk karena gak dicabut masih berlaku Pasal yang dihapus tersebut (wawancara dengan Bonar, 20 November 2008). Menurut peneliti, maksud daripada pernyataan Bonar adalah Undang-undang PPN yang telah mengalami perubahan dua kali tersebut tidak mencabut UU PPN sebelumnya melainkan mengganti batang tubuh atau Pasal berikut penjelasannya dan aturan dibawah Undang-undang seperti Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 1988 dicabut PP Nomor 50, PP Nomor 50 mencabut PP Nomor 143, sehingga PP tersebut tidak berlaku lagi akan tetapi Undang-undang PPN sebelumnya tidak dicabut. Untuk memperjelas pembaca, maka peneliti sajikan skema kedudukan Undangundang PPN tahun 2000 di dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia sesuai Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No.10 tahun 2004, sebagai berikut: Bagan hierarki Peraturan Perundang-undangan Indonesia Bagan 4.1

Sumber: diolah oleh peneliti Undang-undang PPN dalam hal tertentu mengamanatkan peraturan dibawahnya

Universitas Indonesia 1 6

Tidak Ya

Diamanatkan oleh UU PPN ?

seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktorat Jenderal Pajak. Setiap peraturan yang diamanatkan oleh Undang-undang PPN maka bersifat mengikat secara hukum meskipun tidak ada di dalam hierarki peraturan perundang-undangan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No.10 tahun 2004 tersebut. Untuk lebih memperjelas pembaca mengenai peraturan yang bersifat mengikat secara hukum yang tidak ada di disebutkan didalam struktur Peraturan Perundang-undangan Indonesia di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No.10 tahun 2004, sebagai berikut: Bagan Peraturan PPN Yang Mengikat Secara Hukum dibawah UU PPN Bagan 4.2

Sumber: Diolah oleh Peneliti

Universitas Indonesia 2 6

Undang-undang Dasar 1945 memberi amanat untuk mengatur PPN kepada Undangundang PPN, maka dapat dikatakan Undang-undang PPN menduduki hierarki tertinggi di bawah Undang-undang Dasar 1945. Dapat peneliti katakan bahwa peraturan dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang PPN yang memiliki kedudukan lebih tinggi. A.2. Perlakuan PPN atas Jasa Perdagangan Untuk membahas perlakuan PPN atas jasa perdagangan di dalam Undang-undang PPN tahun 2000, peneliti bagi menjadi beberapa sub-bab. Sub bab-sub bab tersebut, antara lain: 1. Jasa perdagangan termasuk Jasa Kena Pajak 2. PPN adalah Pajak atas Konsumsi di Dalam Negeri 3. Penentuan tempat konsumsi 4. Pergeseran kata-kata yang dilakukan di dalam Pasal 4 huruf c Penliti bagi menjadi empat sub-bab ini untuk memudahkan pembaca untuk mengerti permasalahan dan jawaban atas perlakuan PPN atas jasa perdagangan di dalam Undang-undang PPN tahun 2000. A.2.1 Jasa Perdagangan termasuk Jasa Kena Pajak Perlakuan PPN atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Undang-undang PPN telah mengalami beberapa perubahan susunan, di dalam Undang-undang No.8 tahun 1983 hanya menyebutkan positive list Jasa Kena Pajak yang terutang PPN dan semua jasa tidak disebutkan didalam positive list Jasa Kena Pajak tidak terutang PPN, seperti yang tercantum di dalam Pasal 4 ayat 2 huruf b Undang-undang No.8 tahun 1983 atau Undang-undang PPN tahun 1984, bahwa: dengan Peraturan Pemerintah, diatur penyerahan jenis-jenis jasa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Pendapat peneliti ini seperti yang dikemukakan oleh Kepala Seksi Peraturan PPN Perdagangan II Direktorat Peraturan I selaku informan dari pihak Direktorat Jenderal Pajak atau praktisi perpajakan, sebagai berikut: UU no 8 tahun 1983, jasa kena pajak ada positif listnya, sedangkan yang tidak disebutkan tidak kena PPN. Tapi sekarang tidak lagi, semua terutang kecuali negative list (wawancara dengan Bonar, 20 November 2008).Universitas Indonesia 3 6

Pada amandemen Undang-undang PPN pertama yaitu Undang-undang PPN No.11 tahun 1994, tidak lagi menyebutkan positive list Jasa Kena Pajak yang terutang PPN melainkan menyebutkan negative list Jasa Kena Pajak atau jasa yang tidak terutang PPN dan semua jasa yang tidak disebutkan di dalam negative list Jasa Kena Pajak maka terutang PPN, seperti yang tercantum di dalam Pasal 4A Undang-undang PPN No.11 tahun 1994, sebagai berikut: Jenis Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b dan jenis Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e yang tidak dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah." Pada amandemen Undang-undang PPN kedua yaitu Undang-undang PPN No.18 tahun 2000, sama seperti Undang-undang PPN No.11 tahun 1994 yaitu menyebutkan negative list Jasa Kena Pajak atau jasa yang tidak terutang PPN dan semua jasa yang tidak tercantum di dalam negative list Jasa Kena Pajak adalah terutang PPN seperti yang tercantum di dalam Pasal 4A ayat (1) Undang-undang PPN No.18 tahun 2000, sebagai berikut: Jenis barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan jenis jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 5 yang tidak dikenakakan pajak berdasarkan Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Untuk memperjelas pembaca mengenai perubahan susunan di dalam Undangundang PPN tahun 1984, Undang-undang PPN tahun 1994, Undang-undang PPN tahun 2000 yang mengatur mengenai Jasa Kena Pajak atau jasa yang terutang PPN, maka peneliti sajikan gambar, sebagai berikut:

Bagan Aturan Jasa Kena Pajak Bagan 4.3Universitas Indonesia 4 6

UU PPN Tahun 1994 = UU PPN tahun 2000 (negative list JKP)

Sumber: Diolah oleh Peneliti Perlakuan PPN atas Jasa perdagangan tidak diatur secara khusus di dalam Undang-undang PPN tahun 2000, akan tetapi dapat dikategorikan Jasa Kena Pajak karena tidak masuk dalam kategori jasa yang tidak dikenakan PPN atau negative list Jasa kena Pajak sebagaimana diatur di dalam Pasal 4A ayat 3 Undang-undang PPN tahun 2000. Penyerahan jasa perdagangan di dalam Daerah Pabean dikenakan PPN sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 huruf c Undang-undang PPN. Untuk lebih memperjelas maka penulis sajikan yang termasuk jasa-jasa yang tidak dikenakan PPN di dalam Pasal 4A ayat 3 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai jo Pasal 5 Peraturan Pemerintah No.144 tahun 2000 tentang jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, sebagai berikut: Penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok-kelompok, jasa sebagai berikut: a) jasa di bidang pelayanan kesehatan medik; b) jasa di bidang pelayanan sosial; c) jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko; d) jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi; e) jasa di bidang keagamaan; f) jasa di bidang pendidikan; g) jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan; h) jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan; i) jasa di bidang angkutan umuim di darat dan di air; j) jasa di bidang tenaga kerja; k) jasa di bidang perhotelan; l) jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum. Untuk memperjelas pembaca dalam memahami pembahasan di dalam sub-bab jasa

Universitas Indonesia 5 6

Jasa Perdagangan

perdagangan termasuk Jasa Kena Pajak, peneliti membuat skema sebagai berikut: Bagan Jasa Perdagangan Termasuk Jasa Kena Pajak Bagan 4.4

Sumber: diolah oleh Peneliti A.2.2 PPN adalah Pajak atas Konsumsi di Dalam Negeri Untuk mengetahui prinsip pemungutan PPN yang dianut di dalam Undang-undang PPN tahun 2000, kita harus kembali ke filosofi awal pada saat pertama kali Indonesia menerbitkan Undang-undang PPN yaitu Undang-undang PPN tahun 1984. Filosofi Undang-undang PPN tidak pernah berubah, dijelaskan bahwa PPN sebagai pajak atas konsumsi di dalam negeri tertera di dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1983 atau Undang-undang PPN tahun 1984 pada penjelasan bagian umum paragraph 6 yang menyatakan bahwa: Dengan mengingat pada sistemnya, undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah untuk memperlihatkan bahwa dua macam pajak yang diatur disini merupakan satu kesatuan sebagai pajak atas konsumsi di dalam negeri. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh salah satu penulis buku PPN selaku informan dari pihak akademisi perpajakan, sebagai berikut: Untuk penyerahan JKP dan BKP yang melintasi batas wilayah Negara Indonesia yang menentukan bukan tempat penyerahan

Universitas Indonesia 6 6

barang dan atau tempat kegiatan jasa dilakukan tapi melihat tempat di mana barang dan atau jasa akan dimanfaatkan atau dikonsumsi, dan itu yang dinamakan destination principle dan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai kita menganut destination principle. Itu ada di bagian umum penjelasan UU nomor 8 tahun 1983 dan UU nomor 11 tahun 1994 disana jelas disebut, bahwa kita menggunakan bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi di dalam negeri. Ada kalimat pajak atas konsumsi di dalam negeri itu memberi indikasi UU PPN Indonesia menganut destination principle (wawancara dengan Untung Sukardji, 6 November 2008). Hal ini sejalan dengan pernyataan informan dari pihak Direktorat Jenderal Pajak atau praktisi perpajakan, sebagai berikut: Di dalam Undang-undang PPN kita itu menganut destination principle yaitu dimana barang dan atau jasa itu dimanfaatkan seperti yang dijelaskan di dalam penjelasan bagian umum Undangundang PPN No.8 tahun 1983 (wawancara dengan Bonar, 20 November 2008). Hal ini senada dengan pernyataan salah satu tax partner Ernest & Young selaku informan dari pihak akademisi perpajakan dan praktisi perpajakan, sebagai berikut: Nah, kalo misalnya kita kembali kepada Undang-Undang PPN tahun 83 itu di dalam pengantarnya itu jelaskan bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi sehingga dapat dikatakan kita menganut destination principle (wawancara dengan Rachmanto Surahmat, 21 November 2008). Peneliti dapat menyimpulkan bahwa Indonesia menganut destination principle berkaitan dengan yuridiksi atau kewenangan Negara Indonesia dalam mengenakan PPN. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh ahli perpajakan internasional, sebagai berikut; Under the destination principle, VAT is imposed on goods and services consumed in the taxing jurisdiction, regardless of where they are produces. VAT is imposed on imports for consumption in the United States, and VAT is rebated on exports to be consumedUniversitas Indonesia 7 6

elsewhere (Tait 65). Maksud penjelasan pendapat Schenk mengenai destination principle atau prinsip tujuan bahwa berdasarkan prinsip tujuan, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas barang-barang dan jasa yang dikonsumsikan di dalam Daerah Pabean (Taxing Jurisdiction), tanpa memperhatikan dimana barang dan jasa tersebut diproduksi. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas impor untuk konsumsi di dalam negeri dan tidak dikenakan atas ekspor untuk dikonsumsi di negara lain. Dapat penulis katakan bahwa Undang-undang PPN menganut destination principle karena sesuai dengan definisi yang diutarakan oleh Schenk, bahwa destination priciple menkankan kepada tempat konsumsi. Untuk lebih mempertegas lagi peneliti bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi, peneliti melihat definisi PPN atau Value Added Tax (VAT) yang didefinisikan oleh Pakar-pakar PPN Internasional, sebagai berikut: Despite its name, The VAT is not generally intended to be a tax on value added as such; rather it is usually intended as a tax on consumptions (Ebril 1). Penjelasan mengenai Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax) yang dikatakan oleh Ebrill dan Keen adalah meskipun namanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PPN tidak secara keseluruhan dimaksudkan untuk dipajaki pada pertambahan nilai semata, tetapi biasanya lebih dimaksudkan kepada sebuah pajak atas konsumsi. Dapat penulis simpulkan bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi. Di dalam bukunya salah satu akademisi perpajakan Indonesia, ditegaskan bahwa PPN Indonesia mengenakan PPN atas konsumsi umum dalam negeri, PPN hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena pajak yang dilakukan di dalam negeri (Sukardji). Hal ini tidak bisa berhenti sampai disini, karena untuk menentukan tempat konsumsi harus ditelaah lebih lanjut di dalam Pasal Undang-undang PPN tahun 2000 ini dengan mencocokkan dengan teori ahli perpajakan internasional. A.2.3 Penentuan Tempat konsumsi Untuk mengetahui penentuan tempat konsumsi di dalam Undang-undang PPN, kita harus telah satu-satu di dalam Pasal 4 mengenai peristiwa yang menyebabkan suatu objek pajak terutang PPN. Di dalam Pasal 4 Undang-undang PPN tahun 2000 diatur mengenai objek pajak. Ada enam hal objek pajak dikenakan PPN, yaitu atas: 1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan olehUniversitas Indonesia 8 6

pengusaha (Pasal 4 huruf a); 2. Impor Barang Kena Pajak (Pasal 4 huruf b); 3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha (Pasal 4 huruf c); 4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 huruf d); 5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 huruf e); 6. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (Pasal 4 huruf f). Di dalam Pasal 4 ini, terbagi menjadi dua kelompok yaitu untuk kelompok pertama adalalah Pasal 4 huruf a dan huruf c, dan kelompok kedua adalah Pasal 4 huruf b, d, dan f. Kelompok kedua ini muncul dikarenakan transaksi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut melibatkan pihak yang berkedudukan di luar wilayah Negara Indonesia. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh informan dari pihak akademisi perpajakan, sebagai berikut: Pasal 4 UU PPN itu bisa dikelompokkan menjadi 2 yaitu, itu Pasal 4 huruf a dan c khusus mengatur mengenai penyerahan JKP dan BKP di dalam Daerah Pabean dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean atau dikonklusi di Daerah Pabean, yang kedua menyangkut cross border area yaitu Pasal 4 huruf b (impor BKP, penjual di Luar negeri), huruf d , huruf e dan f (ekspor, penjual di dalam negeri) dan tempatnya beda. (wawancara dengan Untung Sukardji, 6 November 2008). Untuk memperjelas pembaca, maka peneliti sajikan tabel pengelompokkan Pasal 4 menjadi dua bagian: Tabel Dua Kelompok di dalam Pasal 4 UU PPN tahun 2000 versi Untung Sukardji Tabel 4.1 Dasar hukum atas transaksi Jasa Kena Dasar hukum atas transaksi Jasa Kena Pajak dan atau Barang Kena Pajak di Pajak dan atau Barang Kena Pajak lintas dalam Daerah Pabean wilayah Negara Indonesia Pasal 4 huruf a (penyerahan Pasal 4 huruf b (impor Barang Barang Kena Pajak di dalam Kena Pajak) Daerah Pabean yang dilakukan Pasal 4 huruf d (pemanfaatan oleh Pengusaha) Barang Kena Pajak tidak Pasal 4 huruf c (penyerahan Jasa berwujud dari luar Daerah Pabean Kena Pajak di dalam Daerah di dalam Daerah Pabean)

Universitas Indonesia 9 6

Undang-undang PPN menganut destination Principle yaitu tempat konsumsi ???

Pabean yang Pengusaha)

dilakukan

oleh

Pasal 4 huruf e (pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean) Pasal 4 huruf f (ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak)

Sumber: diolah oleh Peneliti Di dalam menentukan tempat konsumsi, pertama-tama kita bahas mengenai Barang Kena Pajak terlebih dahulu sebelum membahas mengenai Jasa Kena Pajak khususnya jasa perdagangan. Ada dua indikator dalam menentukan tempat konsumsi untuk suatu negara mengenakan PPN atas Barang Kena Pajak, yaitu tempat Barang Kena Pajak diserahkan secara fisik atau tempat dimana pihak yang memanfaatkan barang tersebut berkedudukan atau berdomisili. Untuk lebih memperjelas pembaca, maka peneliti sajikan gambar penentuan tempat konsumsi, sebagai berikut: Bagan Penentuan Tempat Konsumsi atas Barang Kena Pajak Ada Dua Bagan 4.5

Sumber:diolah oleh peneliti

Untuk menentukan tempat konsumsi atas barang tersebut harus kita lihat di dalam Pasal 4 huruf a dikatakan bahwa: PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. adapun dijelaskan di dalam penjelasan di dalam Pasal huruf a mengenai persyaratan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat kumulatif sebagai berikut: 1. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak, 2. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak berwujud, 3. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabea, dan 4. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Universitas Indonesia 0 7

Apabila syarat kumulatif itu terpenuhi semua maka atas penyerahan barang tersebut terutang PPN. Kata kunci untuk menentukan tempat konsumsi dari Pasal 4 huruf a adalah penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Dapat peneliti katakan apabila seperti itu penentuan tempat konsumsi untuk Barang Kena Pajak adalah penyerahan fisik Barang Kena Pajak tersebut. Untuk memperjelas pembaca, maka peneliti sajikan ilustrasi contoh transaksi yang menunjukkan bahwa penentuan tempat konsumsi untuk Barang adalah penyerahan fisik barang tersebut, sebagai berikut:

Gambar Ilustrasi Tempat Konsumsi adalah Penyerahan Fisik Barang Kena Pajak Gambar 4.1

Mrs.Lin

Universitas Indonesia 1 7

Singapore Indonesia Daihatsu Pondok Indah (PKP) Dedi/anaknya Mrs.LIn

Sumber: Diolah Peneliti Dari gambar diatas peneliti jelaskan, pertama Mrs.Lin memesan mobil balap daihatsu ke showroom Daihatsu (Pengusaha Kena Pajak/PKP) di Indonesia dan minta diserahkan mobil tersebut ke anaknya/Didi yang berada di Indonesia, maka sesuai Pasal 4 huruf a terutang PPN sebesar 10% sesuai Pasal 7 ayat (1) dan yang memungut adalah Daihatsu Pondok Indah dan yang memikul beban pajak adalah Mrs.Lin sebagai pihak yang memesan atau membayar mobil Daihatsu tersebut. Sangat jelas sekali di dalam ilustrasi diatas bahwa penentuan tempat konsumsi untuk barang adalah tempat penyerahan barang secara fisik dilakukan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh ahli perpajakan Internasional mengenai tempat terutangnya PPN, bahwa to be liable to VAT, the supply of goods or services must be made within the country (Tait 371). Maksud dari penjelasan ahli perpajakan internasional tersebut mengenai terutangnya Pajak Pertambahan Nilai adalah untuk dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, penyerahan barang atau jasa harus dilakukan di dalam suatu negara. Dengan demikian, dalam menentukan suatu penyerahan barang terutang PPN atau tidak, harus ditentukan terlebih dahulu tempat terjadinya penyerahan barang tersebut. Untuk memperjelas jawaban peneliti bahwa penentuan tempat konsumsi untuk barang adalah

Universitas Indonesia 2 7

Undang-undang PPN menganut destination Principle yaitu tempat konsumsi ???

tempat penyerahan barang secara fisik dilakukan, maka peneliti sajikan gambar sebagai berikut: Bagan Penentuan Tempat Konsumsi atas Barang Kena Pajak Bagan 4.6

Sumber: diolah oleh Peneliti Apabila diganti permintaan Mrs. Lin, mobilnya dikirim ke tempat dia berdomisili/ berkedudukan yaitu ke rumahnya di Singapura, maka atas transaksi ini masuk ke Pasal 4 huruf f yaitu ekspor Barang Kena Pajak terutang PPN 0% sesuai Pasal 7 ayat 1. Atas ilustrasi ini pasti ada pertanyaan mengapa terutang PPN 0%, padahal katanya Indonesia berhak mengenakan PPN hanya atas penyerahan barang secara fisik di dalam Daerah Pabean. Kebijakan ini membuat dilema Direktorat Jenderal Pajak selaku pembuat kebijakan PPN, di satu sisi Direktorat Jenderal Pajak harus melindungi eksportir dengan mengenakan PPN 0% berarti eksportir dapat mengkreditkan pajak masukkannya karena Indonesia dalam sistem pemungutan PPN menganut non cumulative stage levies karena hanya mengenakan PPN atas nilai tambah saja (Rosdiana 202) kecuali barang yang dibebaskan PPN tidak bisa dikreditkan berikut:Universitas Indonesia 3 7

sesuai yang dikemukakan oleh ahli perpajakan Internasional sebagai

Not all VAT is necessarily refunded on the zero-rated export; if some of the inputs are produced by exempt suppliers (for example, financial institutions, agriculture), then the VAT charge on the inputs of those exempt suppliers is not recovered by the VAT refund on export (Tait 390). Maksud dari penjelasan Tait di atas behwa tidak semua pajak masukan dapat dikreditakan atas ekspor terutang 0% tersebut, jika barang yang diekspor termasuk barang yang dibebaskan PPN maka tidak bisa mengkreditkan pajak masukkannya. Selain barang yang dibebaskan PPN dapat mengkredikan atas barang yang diekspor tersebut sehingga atas perolehan barang tersebut sehingga harga produk barang yang diekpor ke luar negeri bisa bersaing dengan negara lain dan di sisi lain terjadi ketidak konsistenan Direktorat Jenderal Pajak dalam menerapkan destination principle. Pertimbangan ekonomi ini yang membuat ekspor Barang Kena Pajak terutang 0%, akan tetapi dari sisi akademis hal tersebut tidak bisa menjadi alasan karena tujuan tidak bisa mengalahkan cara, seperti yang dikemukakan oleh informan, selaku pihak dari akademisi perpajakan, sebagai berikut: Jika kita melihat Pasal 4 huruf f tentang ekspor BKP dikenakan PPN, itu penyimpangan.. Itu tidak bisa menjadi sebagai pedoman meskipun nol persen (0%), harusnya kan tidak kena PPN karena barangnya kan akan dikonsumsi di luar negeri bukan di dalam negeri, tapi klo tidak dikenakan PPN kan pajak masukan eksportir tidak bisa dikreditkan, dan hal tersebut dikarenakan semata-mata pertimbangan masalah ekonomi. Ini yang sering ekonom itu kurang teguh memegang prinsip, tapi mereka lebih mengutamakan tujuan, saya katakan katanya tujuan tidak boleh mengalahkan cara. Jangan karena tujuan itu segala cara kita tempuh (wawancara dengan Untung Sukardji, 6 November 2008). Melihat atas ekspor Barang Kena Pajak tersebut terutang PPN 0%, sebenarnya itu hanya untuk menjaga asas netralitas PPN. Asas netralitas yang dimaksud adalah PPN hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean sehingga atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di luar Daerah Pabean tidak terutang PPN hanya dikarenakan kita tidak mengenal ekspor Jasa Kena Pajak maka atas konsumsi Jasa Kena Pajak di luar DaerahUniversitas Indonesia 4 7

Pabean tidak terutang PPN dan untuk ekspor Barang Kena Pajak terutang PPN 0%. Tidak ada unsur PPN di dalam ekspor Barang Kena Pajak karena hanya terutang 0%, dimana letak pajaknya dan eksportir bisa mengkreditkan pajak masukannya sehingga tidak ada unsur pajak di dalam harga barang yang diekspor tersebut dan ini yang namanya menjaga asas netralitas PPN. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh informan selaku pihak Direktorat Jenderal Pajak, sebagai berikut: Jadi makanya, adakan dari salah satu prinsip daripada PPN itu adalah asas netralitas, artinya apa, dia hanya dikenakan atas konsumsi barang dan atau jasa di dalam Daerah Pabean, nah.. kalo misalnya kita ekspor barang, kenapa sieh dibuat 0%? Itu khan untuk membuat menjaga asas netralitas itu saja, artinya begitu kita jual barang itu ke luar Daerah Pabean dan akan dikonsumsi disana tidak selayaknya itu kita kenakan PPN,. berarti pajak masukannya yang kamu bayar atas perolehan barang dan atau jasa itu yang akan diekspor itu menjadi creditable atau bisa dikreditkan, sehingga tidak ada lagi unsur pajak di dalam harga pokok penjualan yang akan dikonsumsi di luar Daerah Pabean (wawancara dengan Bonar, 20 November 2008). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh pakar perpajakan Internasional, sebagai berikut: Pengertian Netralitas dalam kaitannya dengan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor dan impor menurut salah satu ahli perpajakan internasional, sebagai berikut: If the exclusion of Indirect taxes on exports adjusts price solely by the amount of the tax, and imports bear the same tax as similiar domestically produced goods.The border tax mechanism would be neutral (Leaontiades 173). Yang dimaksud dari penjelasan ahli perpajakan mengenai pengenaan PPN atas ekspor dan impor tersebut adalah apabila Pajak tidak langsung (Indirect Taxes) tidak dikenakan atas ekspor, dan impor dikenakan pajak yang sama dengan barang-barang yang diproduksi didalam negeri. Melanjutkan dari ilustrasi kasus Mrs.Lin, apabila kasusnya dibalik Mrs.Lin berkedudukan atau berdomisili di Indonesia sedangkan show room Daihatsu Tokyo berkedudukan atau berdomisili di Jepang. Mrs.Lin memesan mobil Daihatsu dariUniversitas Indonesia 5 7

showroom Daihatsu Tokyo untuk dikirim mobil tersebut ke Indonesia. Atas transaksi tersebut maka terutang PPN sesuai Pasal 4 huruf b tentang impor Barang Kena Pajak sebesar 10% sesuai Pasal 7 ayat (1). Di dalam kasus Barang Kena Pajak tidak relevan apabila pengusaha luar negeri yang menyerahkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean harus Pengusaha Kena Pajak, karena bukan wewenang Indonesia untuk dikukuhakan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Untuk lebih jelas mengenai perlakuan PPN atas impor Barang Kena Pajak, lihat penjelasan Pasal 4 huruf b, sebagai berikut: Pajak juga di pungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak tersebut pada huruf a, maka siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenakan pajak. Dari penjelasan perlakuan PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Undangundang PPN tahun 2000 dapat ditarik 5 poin, sebagai berikut: 1. di dalam Pasal 4 diatur di dalam tiga poin yang pertama Pasal 4 huruf a, huruf b, dan huruf f, 2. penentuan tempat konsumsi adalah tempat penyerahan Barang Kena Pajak secara fisik, 3. Barang Kena Pajak dapat melintasi batas wilayah Negara Indonesia/cross border area karena barang dapat dilihat kasat mata, 4. atas ekspor Barang Kena Pajak hanya terutang 0% dan eksportir dapat mengkreditkan pajak masukkannya dan tidak ada unsure pajak di dalam harga barang yang diekspor, 5. atas impor Barang Kena Pajak terutang PPN 10%, yang mungut dan bayar adalah pembeli Barang Kena Pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Setelah membahas mengenai penentuan tempat konsumsi untuk Barang Kena Pajak, maka baru kita bisa membahas mengenai penentuan tempat konsumsi untuk Jasa Kena Pajak supaya mendapatkan benang merahnya yang jelas tidak lari ke manamana pemahamannya tersebut. Di dalam menentukan tempat penyerahan jasa terutang PPN sangat sulit karena harus dibagi menjadi dua indikator, seperti yangUniversitas Indonesia 6 7

Undang-undang PPN menganut destination Principle yaitu tempat konsumsi ???

dikemukakan oleh ahli perpajakan Internasional, sebagai berikut: basically, there are two options: first, where the supply is received and, second, where the supply is performed (Tait 391). Dari penjelasan Tait diatas, dapat peneliti simpulkan ada dua indikator dalam menentukan tempat konsumsi untuk suatu negara mengenakan PPN atas Jasa Kena Pajak, yaitu tempat Jasa Kena Pajak diserahkan/dilakukan secara fisik atau tempat dimana pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak tersebut berkedudukan atau berdomisili. Untuk lebih memperjelas pembaca, maka peneliti sajikan gambar penentuan tempat konsumsi, sebagai berikut:

Bagan Penentuan Tempat Konsumsi atas Jasa Kena Pajak Bagan 4.7

Sumber:diolah oleh peneliti Untuk menentukan tempat konsumsi atas barang tersebut harus kita lihat di dalam Pasal 4 huruf c dikatakan bahwa: PPN dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. adapun dijelaskan di dalam penjelasan di dalam Pasal 4 huruf c mengenai persyaratan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat kumulatif sebagai berikut: 1. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak,Universitas Indonesia 7 7

2. penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean, 3. penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan Pengusaha yang bersangkutan. Apabila ketigas syarat terpenuhi maka atas penyerahan Jasa Kena Pajak khususnya jasa perdagangan terutang PPN. Kata-kata penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Pasal 4 huruf c dan karakteristik jasa di dalam Pasal 1 angka 5 UU PPN tahun 2000, sebagai berikut: jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Dapat peneliti katakan atas kata-kata setiap kegiatan pelayanan, maka dapat dikatakan penentuan tempat konsumsi suatu negara dalam mengenakan pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak adalah tempat dimana penyerahan Jasa Kena Pajak itu secara fisik dilakukan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh ahli perpajakan Internasional, sebagai berikut: services that can be deemed to be supplied where they are physically performed, these include cultural, artistic, sporting, adneducational services, as well as activities connected with the transfer of goods (for example, loading, handling, and temporary storage), the valuation of goods, and cottage industries (Tait). Maksud dari penjelasan Tait diatas mengenai tempat terutangnya PPN adalah penyerahan jasa terjadi di negara tempat dilakukan/diserahkan jasa secara fisik, termasuk kebudayaan, kesenian, olahraga, jasa pendidikan, sama seperti kegiatankegiatan yang berhubungan dengan pengiriman barang seperti contohnya pemuatan, pengurusan, penyimpanan sementara. Hal ini dipertegas dengan pendapat ahli perpajakan Internasional bahwa dalam prakteknya di negara-negara Eropa dan banyak negara selain Eropa, mengenakan PPN dengan tarif 0% ketika jasa dilakukan secara fisik, atas jasa-jasa dibawah ini: 1. Jasa yang berhubungan dengan tanah dan bangunan yang terletak di luar negeri (Service relating to land and buildings overseasi);

Universitas Indonesia 8 7

2. Jasa sewa transport untuk digunakan diluar negeri (The hire of transport for use oversease); 3. Jasa-jasa yang berhubungan dengan barang-barang dan kegiatan-kegiatan di luar negeri (Services relating to goods and activities overseas); 4. Pekerjaan atas barang-barang yang diimpor untuk sementara waktu (work on temporarily imported goods); 5. Jasa-jasa yang dilakukan untuk barang-barang yang akan diekspor (Services for producing exports of goods) (Tait 100).

Hal ini pun sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh informan dari pihak konsultan pajak perpajakan sebagai berikut: Kalo menurut saya gini, UU PPN itu ga berubah dari dulu dari tahun 1984 sampai sekarang filosofinya masih sama dan meskipun telah di tiga kali amandemen tapi belum ada pernah yang dicabut, sama, yaitu jasa yang dilakukan di Indonesia (wawancara dengan Rizal Bawazier, 8 November 2008). Dapat penulis katakan di dalam prakteknya Indonesia menentukan tempat konsumsi yaitu dimana jasa itu diserahkan secara fisik, karena kalau tidak seperti itu Wajib Pajak banyak yang akan berkelit bahwa penyerahan jasa ke luar negeri padahal sebenarnya dilakukan di Indonesia. Sebelum masuk ke contoh jasa perdagangan, peneliti sajikan terlebih dahulu ilustrasi atas penentuan tempat konsumsi itu sebenarnya tempat jasa itu diserahkan secara fisik pada gambar, sebagai berikut:

Universitas Indonesia 9 7

Gambar Ilustrasi Tempat Konsumsi adalah Penyerahan Fisik Jasa Kena Pajak Gambar 4.2

Mrs.Lin Singapore Indonesia Gerry Cleaning Services (PKP) Rumah Mrs.LIn

Universitas Indonesia 0 8

Sumber: Diolah Peneliti Hal ini pun seperti yang dialami sendiri oleh informan selaku konsultan pajak dalam menyerahkan jasa konsultasi ke kliennya yang berada di luar negeri, sebagai berikut: Misalnya, jangankan jasa perdagangan misalnya kita gitu yah, jasa konsultan ngasih advise ke Singapura/perusahaan-perusahaan di Philipines itu kita bilangnya kena PPN karena kita pakenya konservatif Iya, kita ngikutin UU aja, yaitu jasa yang dilakukan di Indonesia (sudah titik). Kecuali kalo kita bicara orang kita datang kesana, melakukannya disana (jasanya) terus kita pulang kesini cuman menginvoice aja dan kita bisa buktikan bahwa itu jasanya benar2 dilakukan di Luar Negeri. Jadi, itu ga bertentangan dengan UU (wawancara dengan Rizal Bawazier, 8 November). Di dalam membuktikan jika jasa itu dilakukan di luar negeri,yaitu dengan menunjukkan ada kontrak/agreement dengan kliennya di luar negeri bahwa staf kita akan melakukan jasa konsultasi pajak di luar negeri tersebut selama beberapa waktu sesuai dengan kontrak yang akan disepakati. Permasalahan timbul apabila kita harus membuktikan bahwa kontrak tersebut benar adanya karena dengan bukti kontrak maka petugas pajak dapat mengatakan bisa saja kontrak itu palsu atas kesepakatan bersama. Menurut peneliti, mudah saja memberikan bukti kepada petugas pajak bahwa konsultasi dilakukan di luar negeri dengan menunukkan bahwa staf/orang yang dikirim berada di Iuar negeri sesuai dengan pas port mereka dan bukti bahwa PPN dikenakan di luar negeri tersebut dalam kasus luar negri tersebut mengenakan PPN atas penyerahan fisik jasa di dalam Daerah Pabean luar negeri tersebut. Hal ini seperti

Universitas Indonesia 1 8

yang dikemukakan oleh informan selaku pihak konsultan pajak, sebagai berikut: Kalo misalnya kita bicara jasa yang dilakukan di Luar Negeri kita bisa buktikan jasanya disana, ada agreement bahwa orang-orang kita stafnya akan berada disana, melakukan service atau jasa beberapa hari, misalnya 5 hari, dan tidak email-emailan dari sini atau gimana. Cuman itu kan susah approvenya gimana? Sampai sekarang sih belum pernah ada pemeriksaan, teorinya bisa masuk akal, apabila jasa dilakukan di Luar negeri, tidak ada dalam UU sehingga tidak dikenakan PPN, itu teorinya, (wawancara dengan Rizal Bawazier, 8 November 2008). Menurut peneliti, untuk memperjelas perlakuan PPN atas transaksi jasa perdagangan yang beragam tersebut kita harus memegang teguh prinsip bahwa tempat konsumsi adalah tempat penyerahan jsa secara fisik. Dalam kasus transaksi jasa perdagangan hanya melibatkan pihak yang berkedudukan/ berdomisili di dalam Daerah Pabean semua dan jasa perdagangan itu diserahkan secara fisik maka sesuai pasal 4 huruf c terutang PPN 10%, yang memungut PPN adalah yang menyerahkan pihak yang menyerahkan jasa perdangan dan yang menanggung beban PPN nya adalah pihak yang memanfaatkan jasa tersebut. Di dalam kasus lain apabila transaksi jasa perdagangan tersebut melibatkan pihak yang berkedudukan di luar negeri tetap saja yang menjadi patokan tempat konsumsis adalah tempat penyerahan jasa secar fisik dilakukan. Misal perusahaan jasa perdagangan berada di luar negeri, dan pihak yang memanfaatkan jasa perdagangan berada di Indonesia terutang PPN, sesuai Pasal 4 huruf e yang menyebutkan bahwa PPN dikenakan atas: pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Sesuai Pasal 4 huruf e tersebut, terutang PPN apabila jasa perdagangan tersebut dilakukan secara fisik di dalam Daerah Pabean. Kata pemanfaatan di dalam Pasal 4 huruf e tersebut, ditujukan untuk pihak yang menerima jasa, sedangkan kata penyerahan di dalam Pasal 4 huruf a tersebut ditujukan untuk pihak yang memberikan jasa. Akan muncul pertanyaan bahwa mengapa tidak disebut impor Jasa Kena Pajak saja seperti layaknya impor Barang Kena Pajak seperti di dalam Pasal 4 huruf b. Menurut peneliti ini disebabkan perbedaan karakteristik antara barang dengan jasa, barang bersifat dapat dilihat oleh kasat mata sehingga atas ekspor maupuin impor Barang Kena Pajak Direktorat Jenderal Pajak dapat mudah mengawasinyaUniversitas Indonesia 2 8

karena jelas yang mana penentuan tempat konsumsi barang adalah tempat penyerahan barang secara fisik dilakukan yang melintasi wilayah Negara Indonesia mudah diawasi, hal ini berbeda dengan jasa yang mana bersifat invisible atau tidak dapat dilihat oleh kasat mata sehingga apabila ada ekspor dan impor Jasa Kena Pajak maka Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak bisa melihat apakah jasa itu melintasi wilayah Negara Indonesia atau tidak, dan dapat dikatakan tidak mungkin makanya tidak ada istilah lintas wilayah negara Indonesia untuk penyerahan jasa dari dalam ke luar Daerah Pabean dan sebaliknya. Untuk memperjelas pembaca maka peneliti sajikan ilustrasi contoh transaksi jasa perdagangan, sebagai berikut:

Gambar Ilustrasi Transaksi Jasa Perdagangan Gambar 4.3

Mrs.Lin/penjual barang/yang memanfaatkan Jasa Perdagangan Singapore Indonesia Perusahaan Jasa Perdagangan/PT.ABC

Universitas Indonesia 3 8

(PKP)

Mr..Salaudin/pembeli barang

Sumber: Diolah Peneliti A.2.4 Pergeseran kata-kata yang dilakukan di dalam Pasal 4 huruf c Pasal 4 huruf c Undang-undang PPN pada amandemen 1994 dan 2000 terdapat terjadi pergeseran yang dilakukan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel Pergeseran Kata-kata yang dilakukan Pada Amandemen 1994 dan 2000 Tabel 4.2 Undang-undang PPN amandemen pertama tahun 1994 Pasal 4 huruf c: Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha. Sumber: diolah oleh Peneliti Pergeseran kata-kata yang dilakukan tersebut memberi pengaruh terhadap perlakuan PPN atas penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean melihat surat-surat jawaban/penegasan Direktorat Jenderal Pajak yang Undang-undang PPN amandemen kedua tahun 2000 Pasal 4 huruf c: Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha

Universitas Indonesia 4 8

dikeluarkan berdasarkan Undang-undang PPN amandemen 1994, dijelaskan bahwa penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam ke luar Daerah Pabean adalah tidak terutang PPN. Sementara pada surat-surat penegasan Direktorat Jenderal Pajak yang dikeluarkan berdasarkan Undang-undang PPN amandemen 2000, adalah sebaliknya, yaitu terutang PPN 10% (Damian edition 11, p. 15). Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh informan dari pihak akademisi perpajakan, sebagai berikut: Tidak ada pengaruh apa-apa atas pergeseran kata-kata yang dilakukan karena tidak mungkin perubahan suatu Pasal di dalam Undang-undang dapat mengubah filosofi dalam suatu Undangundang (wawancara dengan Untung Sukardji, 6 November 2008). Menurut peneliti, sejalan dengan pendapat Sukardji benar bahwa tidak terdapat pengaruh apa-apa atas pergeseran kata-kata yang dilakukan karena tidak mungkin pergeseran kata tersebut mengubah filosofi Undang-undang PPN Indonesia. Apabila penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean dikenakan PPN 10% dalam hal penyerahan jasa secara fisik dilakukan di luar Daerah Pabean atas konsekuensi pergeseran kata-kata yang dilakukan tersebut, maka dapat dikatakan filosofi di dalam Undang-undang PPN tahun 2000 Indonesia menganut konsep origin principle atau negara tempat asal. Menurut peneliti banyak akademisi perpajakan yang salah mengartikan konsep di dalam destination principle, dapat dikatakan destination principle apabila mengenakan pajak atas tempat konsumsi, dan penentuan tempat konsumsi adalah tempat penyerahan Barang Kena pajak dan/atau Jasa Kena secara fisik dilakukan, berbeda halnya dengan origin principle yang mengenakan PPN atas tempat asal produsen berkedudukan/berdomisili baik dilakukan di di dalam Daerah Pabean maupun luar Daerah Pabean dikenakan PPN di dalam Daerah Pabean atau tempat asal, sangat jelas berbeda konsep tersebut. A.3 Rancangan Undang-undang PPN atas Ekspor Jasa Kena Pajak Untuk mengatasi fenomena-fenomena yang terjadi mengenai pengenaan PPN atas penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean atau transaksi Jasa Kena Pajak yang melibatkan pihak dari luar negeri, salah satu solusi yang dibuat Pemerintah adalah dengan membuat aturan mengenai ekspor Jasa Kena Pajak. Solusi ini masih dalam bentuk Rancangan Undang-undang (RUU) PPN sehingga belum tentu ditetapkan seperti itu. Peneliti ingin membahas aturan eksporUniversitas Indonesia 5 8

Jasa Kena Pajak tersebut dengan maksud ingin mengetahui aturan tersebut dapat menjawab permasalahan yang ada atau menambah kebimbangan Wajib Pajak atas pengenaan PPN atas Jasa Perdagangan dalam menentukan tempat konsumsi yaitu tempat dilakukan secara fisik atau tempat pemanfaatan. Pertama kali peneliti melihat definisi ekspor Jasa Kena Pajak di dalam Pasal 1 angka 29 RUU PPN sebagai berikut: kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak yang seluruhnya dilakukan di luar Daerah Pabean yang batasan kegiatannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Menurut peneliti dilihat dari kata-kata yang seluruhnya dilakukan di luar Daerah Pabean di dalam pendefinisian ekpor Jasa Kena Pajak di RUU PPN, maka dapat dikatakan RUU yang terbaru ini menekankan bahwa Undang-undang PPN kita dalam menentukan tempat konsumsi adalah tempat penyerahan jasa secara fisik dilakukan diman sama seperti filosofi Undang-undang PPN tahun 2000, sehingga dapat penulis katakan Direktorat Jenderal Pajak belum memahami makna dari filosofi PPN itu sendiri karena akan menambah duri di dalam kebijakan PPN. Melihat ekspor Barang Pajak saja Wajib Pajak masih banyak yang menggelapkan pajak dengan membuat faktur pajak fiktif, apalagi jasa yang tidak terlihat oleh kasat mata, maka dengan mudah Wajib Pajak mengelabui petugas pajak dengan faktur pajak fiktif sehingga lama-kelamaan kas negara habis, hal ini sama saja kita memasang bom waktu. Sekali lagi peneliti tekankan, RUU ini masih dalam bentuk wacana dan belum tentu kebijakanny seperti itu. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh informan dari pihak Direktorat Jenderal Pajak atau praktisi perpajakan, sebagai berikut: Iya, karena kalo definisi itu dipakai maka jadi terutang karena dianggap penyerahan masih di dalam Daerah Pabean karena diserahkan di dalam Daerah Pabean itu diasumsikan masih dikonsumsi di dalam Daerah Pabean secara ilmiah kan asumsi itu bisa dipakai jadi itu alasannya, tapi itu masih wacana loh. Jangan kamu bilang pasti begitu kebijakannya, tidak pasti juga karena saya mau membahas ini karena ini kepentingan akademis (wawancara dengan Bonar, 20 November 2008). Direktorat Jenderal Pajak tidak mungkin tanpa alasan membuat definisi ekspor JKP di dalam RUU PPN, hal pertama yang perlu kita perhatikan adalah Direktorat Jenderal Pajak selaku institusi pemerintah yang bertugas mengawasi perpajakan di Indonesia diberi amanat sebagai penyumbang terbesar ke kas negara sehinggaUniversitas Indonesia 6 8

berbagai cara untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Salah satu cara memenuhi tuntuntan sebagai sumber penerimaan negara Indonesia adalah dengan membatasi pengertian ekspor Jasa Kena Pajak yaitu dapat dikatakan ekspor apabila jasa itu seluruhnya dilakukan di luar Daerah Pabean sehingga lebih mudah bagi Direktorat Jenderal pajak mengawasinya jasa yang bersifat invisible atau tidak terlihat tersebut. Pembatasan itu supaya tidak adanya celah bagi Wajib Pajak yang memanfaatkan ekspor Jasa Kena Pajak tersebut sehingga hilang potensi penerimaan PPN ke kas negara. Hal ini seperti yang dikemukan oleh informan dari pihak Direktorat Jenderal pajak atau praktisi perpajakan, sebagai berikut: .. nah seluruhnya dilakukan di luar Daerah Pabean itu sebenaranya semata-mata adalah untuk konteks pengawasan, artinya apa? Supaya jangan nanti banyak orang berkilah dia melakukan usaha itu di dalam Daerah Pabean sebagian diserahkan disini sebagaian diserahkan di luar Daerah Pabean gimana kamu ngawasinya? Jadi ini kan, sebenernya hanya untuk memberikan kemudahan kepada pengusaha agar dia bisa mengkreditkan PM nya, ya kita coba memilah mana kira-kira yang masih bisa kita kontrol lah, kita tidak loose gitu khan (wawancara dengan Bonar, 20 November 2008). Asal mula munculnya RUU PPN tentang ekspor Jasa Kena Pajak tersebut sebenarnya adalah desakan dari KADIN (Kamar Dagang dan Industri) dan pengusaha-pengusaha eksportir tertentu. Mereka menginginkan semuanya jasa yang diserahkan ke luar negeri adalah termasuk ekspor Jasa Kena Pajak, mau dilakukan di dalam atau di luar Daerah Pabean yang penting pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak berada di luar Daerah Pabean tanpa melihat ada BUT di Indonesia. Untuk memperjelas pembaca maka penulis sajikan usul KADIN atas ekspor Jasa Kena Pajak untuk RUU PPN, sebagai berikut: Tabel Usul KADIN atas RUU PPN Tabel 4.3 Pasal 1 angka 29 atas RUU PPN versi Pasal 4 huruf h: KADIN Ekspor Jasa Kena Pajak adalah kegiatan Syarat-syarat untuk dikenakan PPN pemanfaatan JKP di dalam Daerah untuk ekspor JKP adalah: Pabean di luar Daerah Pabean a. Jasanya harus JKP, b. Pemberi jasa (PKP) berada (berdomisili) di dalam Daerah Pabean. c. Penerima jasa yang memanfaatkan JKP berada (berdomisili) di luarUniversitas Indonesia 7 8

Daerah Pabean tanpa memperhatikan adanya BUT atau tidak di dalam Daerah Pabean. d. Pembayarannya atas penggantian JKP langsung dari Penerima JKP yang berdomisili di luar Daerah Pabean Faktur Pajaknya yang dibuat harus ditujukan kepada penerima JKP yang berada di luar Daerah Pabean Sumber: Inside Tax edisi 11, September 2008 Jelas sekali usul KADIN atas RUU PPN ini tidak bisa diterima langsung oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak karena akan sangat sulit mengawasinya dan akan banyak sekali kehilangan potensi PPN. Peneliti berikan suatu kasus, misalnya saja PT.A di luar negeri punya BUT di Indonesia dan memanfaatkan jasa perdagangan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atau perusahaaan jasa perdagangan Indonesia di dalam Daerah Pabean maka dapat dipastikan jasa perdagangan tersebut sebenarnya yang memanfaatkan adalah BUT PT.A di Indonesia karena pasti ada hubungannya dengan kegiatan BUT di Indonesia tapi dengan kedok yang bayar atau yang memanfaatkan jasa perdagangan adalah PT.A di luar negeri padahal penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang sesuai dengan Pasal 4 huruf c Undangundang PPN tahun 2000 terutang PPN. Menurut peneliti, tidak perlu dibuat aturan mengenai ekspor Jasa Kena Pajak karena akan menambah penyimpangan filosofi lagi di dalam Undang-undang PPN kita seperti ekspor Barang Kena Pajak terutang PPN nol persen (0%) hanya untuk semata-mata dengan alasan memberikan kemudahan kepada eksportir sebagai Pengusaha Kena Pajak untuk bisa mengkreditkan Pajak Masukkannya sehingga harga Barang Kena Pajak yang diekspor bisa bersaing dengan negara lain. Kebijakan ekspor atas Barang Kena Pajak nol persen (0%) juga untuk menjaga netralitas PPN yang artinya PPN hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Dapat dikatakan bahwa apabila Barang Kena Pajak atau Jasa Kena pajak di konsumsi di luar Daerah Pabean tidak terutang PPN, namun tujuannya Barang Kena Pajak terutang nol persen supaya tidak ada unsur pajak di dalam Barang Kena Pajak yang di ekspor tersebut. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh informan dari pihak Direktorat Jenderal Pajak atau praktisi perpajakan, sebagai

Universitas Indonesia 8 8

berikut: Jadi makanya, adakan dari salah satu prinsip daripada PPN itu adalah asas netralitas, artinya apa, dia hanya dikenakan atas konsumsi barang dan atau jasa di dalam Daerah Pabean, nah.. kalo misalnya kita ekspor barang, kenapa sieh dibuat 0%? Itu khan untuk membuat menjaga asas netralitas itu saja, artinya begitu kita jual barang itu ke luar Daerah Pabean dan akan dikonsumsi disana tidak selayaknya itu kita kenakan PPN, nah tapi selama ini jasa itu kan tidak mengenal ekspor jasa sehingga kita sebut saja tidak terutang PPN atau tidak dikenakan tarif 0%, tapi sama-sama tidak ada unsur PPN disana tapi implikasinya itu berbeda, bedanya kenapa? Kalo kita mengenakan 0%, ya.. berarti pajak masukannya yang kamu bayar atas perolehan barang dan atau jasa itu yang akan diekspor itu menjadi creditable atau bisa dikreditkan, sehingga tidak ada lagi unsur pajak di dalam harga pokok penjualan yang akan dikonsumsi di luar Daerah Pabean (wawancara dengan Bonar, 20 November 2008) Dengan diperbolehkannya mengkreditkan pajak masukan atas ekspor Barang kena Pajak akan menimbulkan restitusi dimana sering terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh eksportir tersebut dengan membuat faktur pajak fiktif sehingga dapat menguras kas negara yang bukan haknya eksportir yang terjadi belakangan ini oleh pengusaha-pengusaha ternama di Indonesia. Pengawasan untuk Barang Kena Pajak yang terlihat oleh kasat mata saja sulit untuk mengawasinya apalagi harus mengawasi Jasa Kena Pajak yang bersifat invisible atau tidak terlihat oleh kasat mata. Penyimpang filosofi di Pasal 4 huruf f tentang ekspor Barang Kena Pajak meskipun hanya terutang nol persen (0%) tersebut, tidak perlu ditambah lagi dengan keberadaan ekspor Jasa Kena Pajak. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Pakar PPN selaku informan dari pihak akademisi perpajakan (Pakar PPN), sebagai berikut: Yap, meskipun nol persen (0%), harusnya kan tidak kena PPN karena barangnya kan akan dikonsumsi di luar negeri bukan di dalam negeri, tapi klo tidak dikenakan PPN kan pajak masukan eksportir tidak bisa dikreditkan, dan hal tersebut dikarenakan semata-mata pertimbangan masalah ekonomi (wawancara dengan Untung Sukardji, 6 November 2008).Universitas Indonesia 9 8

Jika Direktorat Jenderal Pajak memberikan sosialisasi serentak dan maksimal kepada Wajib Pajak, petugas pajak, institusi pendidikan, KADIN dan semua pihak yang terlibat mengenai prinsip pemungutan PPN didasarkan pada tempat konsumsi destination principle dan penentuan tempat konsumsi yaitu dimana penyerahan jasa secara fisik dilakukan, semuanya tidak perlu dipermasalahkan lagi karena itu prinsip yang harus kita pegang. Prinsip destination ini harus kita pegang teguh dan jangan sampai kita melanggar prinsip ini demi necapai suatu tujuan pemasukkan penerimaan ke kas negara karena akan timbul banyak masalah lagi dan tetap menjadikan Undangundang PPN sebagai pedoman. Istilah ekspor untuk sesuatu yang tidak berwujud merupakan suatu istilah yang tidak lazim di dalam dunia internasional. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh informan dari pihak akademisi perpajakan (Pakar PPN), sebagai berikut: Iya benar, makanya alasannya ada 2 (dua) saya yang saya katakan, yang pertama istilah ekpor untuk sesuatu yang tidak berwujud adalah istilah yang tidak lazim di dunia Internasional sehigga kita menganut sesuatu yang tidak lazim Yang kedua itu tadi, ekspor itu menimbulkan restitusi,untuk yang berwujud saja Dirjen Pajak tidak sanggup mengawasi dengan cermat, apalagi yang tidak berwujud. Jangan hanya dengan alasan equal treatment karena jika alasannya atas Pajak Masukan Jasa Kena Pajak itu relatif kecil, jadi itu jangan mengutamakan November 2008). yang kecil kita melanggar prinsip (wawancara dengan Untung Sukardji, 6

B. Perlakuan PPN atas Penyerahan Jasa Perdagangan di dalam KMK Nomor: 302/KMK.04/1989 Kedudukan KMK Nomor 302/KMK.04/1989 tentang Jasa Kena Pajak selain jasa yang dilakukan oleh pemborong, jasa angkutan udara dalam negeri dan jasa telekomunikasi di dalam peraturan perundang-undang perpajakan Indonesia berada di bawah Undang-undang PPN dan dari sisi hukum bersifat mengikat atau dapat dijadikan dasar hukum selama belum dicabut. KMK Nomor 302 /KMK.04/1989 adalah peraturan pelaksanaan daripada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2008 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Barang KenaUniversitas Indonesia 0 9

Pajak Yang Dilakukan oleh Pedagang Besar dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Disamping Jasa yang dilakukan oleh Pemborong. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh informan dari pihak akademisi perpajakan (Pakar PPN) , sebagai berikut: kep men 302 itu merupakan pelaksanaan PP no 28 tahun 1988, dan PP 28 tahun 1988 itu hanya menetapkan mulai 1 April 1989 penyerahan BKP sebagian besar kena PPN kemudian seluruh penyerahan Jasa kena PPN kecuali 13 kelompok jasa dan gitu hanya bunyinya.1 Menurut peneliti KMK No.302/KMK.04/1989 menganut PPN atas tempat konsumsi atau destination principle dan dalam menentukan tempat konsumsi sangat jelas ditegaskan bahwa hanya dikenakan PPN atas penyerahan jasa secara fisik yang dilakukan di dalam Daerah Pabean. KMK ini dicabut karena PPN No.28 tahun 1988 telah dicabut juga, karena terjadi perbedaan aturan sewaktu amandemen pertama kali dari mengatur positive list Jasa Kena Pajak sekarang menjadi negative list Jasa Kena Pajak, itu saja tidak ada kesalahan berarti dalam KMK 302 ini seperti yang dituangkan oleh akademisi perpajakan di media massa. C. Perlakuan PPN atas Penyerahan Jasa Perdagangan di dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor 08/PJ.52/1996 tentang Jasa Perdagangan C.1 Kedudukan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak tidak masuk di dalam Peraturan Perundang-undangan Perpajakan Indonesia sehingga tidak bersifat mengikat secara hukum. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak adalah peraturan yang bersifat intern bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk bawahannya dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan informan, sebagai berikut: SE itu sebagai petunjuk pelaksanaan DJP kepada bawahannya, karena kalau kita lihat SE selalu ada kata yang terhormat Kakanwil se-Indonesia, Kepala KPP, Kepala Pemeriksaan.. udah.. nggak ada kepada Wajib Pajak. Jadi SE itu, disebut atau tidak disebut bersifat1 Hasil wawancara dengan Untung Sukardji di Pusdiklat Perpajakan, Pada tanggal 6 November 2008 Pukul 09.00 WIB Universitas Indonesia 1 9

intern, SE selalu intern (wawancara dengan Untung Sukardji, 6 November 2008). Wajib Pajak tetap mengacu kepada Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak meskipun tidak mengikat karena petugas pajak dalam pelaksanaanya mengacu kepada Surat Edaran Direktorat jenderal Pajak tersebut. Wajib Pajak berhak tidak mengikuti Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak tersebut apabila isinya menyimpang dari Undangundang PPN. Hal ini sejalan dengan pernyataan informan, sebagai berikut: Kenapa masyarakat melihat SE, karena itulah yang dipegang petugas. Ternyata SE itu menyimpang dari Undang-undang, Wajib Pajak tidak wajib mengikuti SE (wawancara dengan Untung Sukardji, 6 November 2008). C.2 Perlakuan PPN atas Penyerahan Jasa Perdagangan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak 1. pengertian jasa perdagangan, 2. jenis-jenis kegiatan jasa perdagangan, 3. dan pengenaan PPN atas penyerahan jasa perdagangan baik yang kena PPN maupun yang tidak kena PPN. Pengertian jasa perdagangan pada butir satu (1) di dalam SE-08/PJ.52/1996 adalah Jasa yang diberikan oleh orang atau badan kepada pihak lain, karena menghubungkan pihak lain tersebut kepada pembeli barang pihak lain itu atau menghubungkan pihak lain tersebut kepada penjual barang yang akan dibeli pihak lain itu. Jenis Jasa perdagangan dapat berupa jasa perantara, jasa pemasaran, maupun jasa mencarikan penjual. Berdasarkan butir dua (2) dijelaskan bahwa pengusaha pemberi jasa perdagangan dan penerima jasa perdagangan dapat berada didalam Daerah Pabean atau diluar Daerah Pabean, dengan demikian jasa perdagangan tersebut dapat terutang PPN atau tidak terutang. Penyerahan jasa perdagangan yang terutang PPN diatur di dalam butir 2.1, sebagai berikut: a. Pengusaha jasa Perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean; b. Pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean;Universitas Indonesia 2 9

Nomor 08/PJ.52/1996 tentang jasa

perdagangan, menjelaskan secara spesifikasi dan jelas mengenai:

c. Pengusaha jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedang penjual barang selaku penerima jasa perdagangan dan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean; d. Pengusaha jasa perdagangan berada diluar Daerah Pabean, sedang pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean; e. Pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di luar Daerah Pabean, sedang pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean; f. Pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di luar Daerah Pabean, sedang penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean. Untuk memperjelas pembaca maka peneliti sajikan skema penyerahan jasa perdagangan yang terutang PPN pada butir 2.2, sebagai berikut: Gambar Penyerahan Jasa Perdagangan Terutang PPN di dalam SE-08/PJ.52/1996 Gambar 4.4 a. A b. A c. A Bx d. A Cx e. A Cx f. A C B B C Cx Bx LN DN LN DN LN DN LN DN LN DN LN

Universitas Indonesia 3 9

Bx

DN

Catatan: A = Pengusaha jasa perdagangan Bx = Penjual barang (selaku penerima jasa perdagangan) Cx = Pembeli barang (selaku penerima jasa perdagangan) Sumber: diolah oleh peneliti Penyerahan jasa perdagangan yang tidak terutang PPN diatur didalam butir 2.2, sebagai berikut: a. Pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean, sedang penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada diluar Daerah Pabean sepanjang penjual barang tersebut tidak mempunyai BUT di Indonesia dan pembayaran jasa tersebut dilakukan secara langsung oleh penjual barang tersebut kepada pengusaha jasa perdagangan. b. Pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean, sedang pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean sepanjang pembeli barang tersebut tidak mempunyai BUT di Indonesia dan pembayaran jasa tersebut dilakukan secara langsung oleh pembeli barang tersebut kepada pengusaha jasa perdagangan. c. Pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedang pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean; d. Pengusaha jasa perdagangan dan pembeli selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedang penjual barang berada di dalam Daerah Pabean. Di dalam butir 2.3 dijelasakan bahwa Apabila penjual tersebut pada butir 2.2.a atau pembeli tersebut pada butir 2.2.b mempunyai BUT di Indonesia, maka sekalipun pembayaran atas penggantian jasa tersebut dibayarkan langsung oleh pengusaha yang berarti tidak melalui BUT-nya di Indonesia, penyerahan jasa tersebut merupakan penyerahan jasa di dalam Daerah Pabean dan oleh karena itu terutang PPN. Untuk memperjelas pembaca maka peneliti sajikan skema penyerahan jasa perdagangan yang tidak terutang PPN, sebagai berikut:

Universitas Indonesia 4 9

Gambar Penyerahan Jasa Perdagangan Tidak Terutang PPN Gambar 4.5 a. (Bx tidak punya BUT di Indonesia, komisi bayar langsung ke Indonesia) Bx A b. Bx A c. d. A C A B Cx LN DN B Bx C LN DN LN DN LN

(Cx tidak punya BUT di Indonesia, komisi bayar langsung ke Indonesia)

Catatan: A = Pengusaha jasa perdagangan Bx = Penjual barang (selaku penerima jasa perdagangan) Cx = Pembeli barang (selaku penerima jasa perdagangan) Sumber: diolah oleh peneliti Menurut peneliti, melihat skema butir 2.1 dan 2.2 yang mengatur penyerahan jasa perdagangan terutang PPN atau tidak, dapat dikatakan prinsip pengenaan PPN di dalam SE-08/PJ.52/1996 ini adalah destination principle karena mengenakan PPN atas tempat konsumsi, akan tetapi terdapat kesalahpahaman dalam menentukan tempat konsumsi tidak sesuai dengan pendapat ahli perpajakan internasional, sebagai berikut:

Universitas Indonesia 5 9

services that can be deemed to be supplied where they are physically performed, these include cultural, artistic, sporting, adneducational services, as well as activities connected with the transfer of goods (for example, loading, handling, and temporary storage), the valuation of goods, and cottage industries. Maksud dari penjelasan Tait diatas adalah penyerahan jasa terjadi di negara tempat dilakukan/diserahkan jasa secara fisik, termasuk kebudayaan, kesenian, olahraga, jasa pendidikan, sama seperti kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengiriman barang seperti contohnya pemuatan, pengurusan, penyimpanan sementara. Dapat penulis simpulkan dalam penentuan tempat konsumsi seharusnya adalah tempat jasa diserahkan secara fisik dilakukan bukan seperti di dalam SE ini. D. Perlakuan PPN atas Penyerahan Jasa Perdagangan di dalam Surat Penegasan Direktorat Jenderal Pajak sebelum dan sesudah tahun 2004 Perlakuan PPN atas penyerahan jasa perdagangan di dalam jawaban Surat penegasan Direktorat Jenderal Pajak sebelum tahun 2004 dan sesudah tahun 2004 mengalami perbedaan jawaban. Menurut peneliti hal ini merupakan bentuk upaya petugas pajak atas kelakuan Wajib Pajak yang memanfaatkan prinsip tempat pemanfaatan di dalam SE-08/PJ.52/1996 dengan mengatakan jasa perdagangan dimanfaatkan di luar negeri padahal sebenarnya jasa perdagangan tersebut yang memanfaatkan adalah perusahaan yang berkedudukan di Indonesia atau di dalam Daerah Pabean, sehingga setelah tahun 2004 lebih menekankan kepada tempat secara fisik jasa itu dilakukan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh informan yang bergerak di bidang konsultan pajak yang yang kegiatannya termasuk Jasa Kena Pajak juga seperti Jasa Perdagangan yaitu jasa konsultasi, sebagai berikut: jangankan jasa perdagangan misalnya kita gitu yah, jasa konsultan ngasih advise ke Singapura/perusahaan2 di Philipines itu kita bilangnya kena PPN karena kita pakenya konservatif (wawancara dengan Rizal Bawazier, 8 November 2008). Menurut peneliti, Direktorat Jenderal Pajak dipaksa oleh pemerintahan Indonesia bahwa pajak dalam kasus ini PPN sebagai sumber penerimaan negara, sehingga petugas pajak menjaga jangan sampai ada potensi PPN yang hilang atau loose. Hal ini sejalan dengan pendapat informan, sebagai berikut: Sebenernya kalau kasarnya adalah itu masalah ketakutan karenaUniversitas Indonesia 6 9

DJP takut peluang itu hilang. Sama seperti 3 in 1 misalnya sudah diterapkan tapi masih ada saja yang mengambil loopholes nya, itulah orang-orang Indonesia. Bukan ke tax planningnya tapi kebanyakan di cari loopholesnya atau celahnya. Kalo misalnya diterapkan UU secara kasar bilang ekspor jasa tidak kena pajak, udah langsung droop penghasilan yang bersumber dari PPN. Di mana orang misalnya nagih PPN ke lokal, tapi dia bisa aja bilangnya ke luar supaya gak kena PPN (wawancara dengan Rizal Bawazier). Transaksi jasa perdagangan memiliki karakteristik yang beragam sehingga barang tentu jawaban atas Surat Wajib Pajak tersebut dapat berbeda-beda, jadi kita harus melihat terlebih dahuku pertanyaan si Wajib Pajak baru jawabannya dan masuk dalam karakterisik transaksi jasa perdagangan di dalam Daerah Pabean atau transaksi jasa perdagangan lintas wilyah Negara Indonesia atau cross border area. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh informan selaku pihak Direktorat Jenderal Pajak, sebagai berikut: kalo kita bicara tentang jasa perdagangan ini, sebenarnya kalo kita kembali ke aturan yang umum, aturan tentang pengenaan PPN seharusnya itu tidak ada masalah sebenarnya, hanya saja memang kenapa ada beberapa variasi jawaban atas surat Wajib Pajak itu dimungkinkan karena apa? Karena kita menjawab surat itu kan berdasarkan pertanyaannya, walaupun misalnya yang ditanya adalah jasa perdagangan tapi dengan karakteristik yang sangat complicated sebenarnya jasa perdagangan tersebut, sehingga dimungkinkan ada jawaban yang berbeda, tapi secara prinsip kita itu sama, jadi yang penting yang kita pegang di sini adalah dalam menentukan apakah jasa atau barang itu terutang PPN itu khan ada prinsip-prinsip yang harus kita anut atau kita pegang. Di dalam Undang-undang PPN kita itu menganut destination principle yaitu dimana barang dan atau jasa itu dimanfaatkan seperti yang dijelaskan di dalam penjelasan bagian umum Undang-undang PPN

Universitas Indonesia 7 9

No.8 tahun 1983 (wawancara dengan Bonar, 20 November 2008). Menurut peneliti dapat dikatakan, apabila kita memegang teguh filosofi PPN di dalam Undang-undang PPN seharusnya permasalahan ini tidak perlu terjadi baik petugas pajak maupun Wajib Pajak di dalam prakteknya atas pengenaan PPN atas transaksi jasa perdagangan. Pemahaman mengenai destination principle harus ditelaah lebih dalam.

Universitas Indonesia 8 9