75
5 HASIL PENELITIAN
5.1 Profil Lokasi Penelitian
5.1.1 Profil Kabupaten Cilacap
Kabupaten Cilacap terletak di bagian selatan propinsi Jawa Tengah
dengan luas 225 360.4 m2, berhadapan langsung dengan Samudera Hindia
sehingga memiliki potensi yang cukup baik untuk pengembangan usaha
perikanan, baik perikanan pelagis (besar dan kecil) maupun perikanan demersal.
Secara geografis Kabupaten Cilacap berada pada 1080 4’30”–1090 45’30” BT dan
70 30’–750 45’20” LS, dengan batas wilayah sebagai berikut:
- sebelah utara : Kabupaten Banyumas
- sebelah selatan : Samudera Hindia
- sebelah timur : Kabupaten Kebumen
- sebelah barat : Kabupaten Ciamis ( Jawa Barat )
Berdasarkan topografinya, Kabupaten Cilacap terletak pada ketinggian
antara 6–198 m di atas permukaan laut, terdiri dari daerah pantai, dataran
rendah dan dataran tinggi. Keadaan letak wilayah Kabupaten Cilacap juga
didukung dengan dekatnya jarak Pulau Nusakambangan yang dapat meredam
besarnya gelombang Samudera Hindia. Wilayah pantai Cilacap merupakan
dataran rendah dengan perairan laut yang berbentuk teluk dengan dasar
perairan lumpur, lumpur berpasir dan sebagian berbatu karang. Perairan
Kabupaten Cilacap merupakan perairan yang mengalami pasang surut harian
ganda (DPK Cilacap 2002).
Kabupaten Cilacap merupakan salah satu kabupaten terbesar di propinsi
Jawa Tengah yang memiliki jumlah penduduk sampai dengan tahun 2004
sebanyak 1 674 210 jiwa dengan pertumbuhan penduduk 0.31% per tahun.
Berdasarkan mata pencaharian utamanya, penduduk Kabupaten Cilacap terdiri
dari petani, buruh tani, nelayan, pengusaha, pengrajin, buruh industri, buruh
bangunan, perkebunan, perdagangan, angkutan, PNS atau TNI POLRI dan
pensiunan (BPS 2006).
5.1.2 Profil Perikanan Tangkap Cilacap
Berdasarkan hasil penelitian Giyatmi (2005) kawasan pengembangan
Jawa Tengah terbagi atas tiga kawasan pengembangan. Kabupaten Cilacap
terpilih sebagai kawasan pengembangan tiga (kawasan pengembangan selatan
76
Jawa Tengah). Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas diantara 35
kabupaten dan kota di propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Cilacap terbagi dalam
24 kecamatan dan 11 kecamatan diantaranya memiliki wilayah pantai.
Kabupaten Cilacap mempunyai potensi industri besar seperti kilang bahan bakar
minyak Pertamina, pabrik semen, industri pupuk kantong, biji coklat, bahan karet,
tepung terigu, benang tenun, penggergajian kayu dan pasir besi serta sentra
industri jamu tradisional terbesar di Jawa Tengah. Potensi lain adalah pertanian,
perkebunan rakyat dan pariwisata. Giyatmi (2005) menyebutkan bahwa Cilacap
dikategorikan sebagai wilayah potensial. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa Kabupaten Cilacap memiliki potensi produksi perikanan laut yang cukup
besar di wilayah pantai selatan Pulau Jawa.
Sektor perikanan dan kelautan di Kabupaten Cilacap memegang peranan
penting dalam perekonomian regional dan nasional terutama dalam penyediaan
lapangan kerja, sumber pendapatan bagi nelayan dan sumber devisa yang
sangat potensial. Potensi kelautan di Kabupaten Cilacap sangat besar, dengan
garis pantai 201.9 km dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia
sepanjang 80 km. Potensi perikanan pantai Cilacap dan lepas pantai Kabupaten
Cilacap sebesar 60 560 ton (DPK Cilacap 2002). Daerah penangkapan meliputi
perairan Teluk Penyu, Teluk Penunjang (Pangandaran) dan selatan Yogyakarta
sampai Pacitan. Jumlah nelayan di Kabupaten Cilacap 21 348 orang.
Operasi penangkapan yang dilakukan oleh nelayan Cilacap pada
umumnya telah menjangkau daerah perairan di jalur I, II, III, ZEE serta perairan
internasional. Hasil tangkapan yang mendominasi adalah udang, sehingga
Kabupaten Cilacap terkenal sebagai penghasil udang terbesar di selatan Pulau
Jawa. Selain itu hasil tangkapan yang lain adalah ikan tuna, cakalang, ubur-ubur
dan cumi-cumi. Dalam meningkatkan pelayanan proses pemasaran dan tempat
untuk pendaratan hasil tangkapan para nelayan, Kabupaten Cilacap memiliki 11
tempat pelelangan ikan (6 TPI propinsi dan 5 TPI kabupaten), yaitu TPI
Sentolokawat, Padanarang, Lengkong, Tegalkatilayu, Sidakaya, Begawan
Donari, Kawunganten, Tambakreja, Nusawungu dan PPSC, serta sarana dan
prasarana lain yang menunjang kegiatan perikanan dan kelautan di Kabupaten
Cilacap (Tabel 7).
Sarana dan prasarana dalam pengembangan perikanan dan kelautan
yang cukup penting perannya di Kabupaten Cilacap adalah PPSC dengan
kapasitas 250 kapal, pabrik es kapasitas 236 ton sebanyak 5 unit, cold storage
77
kapasitas 75 ton sebanyak 5 unit, serta kawasan industri dan zona
pengembangan seluas 16.81 Ha. Armada penangkapan sebanyak 1 988 buah
yang terdiri 1 141 unit trammel net, 745 unit gillnet dan kapal longline 102 unit
(DPK Cilacap 2002).
Tabel 7 Sarana penunjang usaha perikanan dan kelautan di Kabupaten Cilacap
Jenis sarana Lokasi dan jenis sarana Transportasi • Angkutan umum
• Jalan aspal sampai ke lokasi tempat pendaratan atau pelelangan ikan
Pasar Pasar Gede, Pasar Sariwangi, Pasar Sidodadi, Pasar Tanjung, Pasar Limbangan
Tempat penjualan BBM Damalang, Gumilir, Sentolokawat, Lomanis, Kompleks PPSC
Pabrik es CV. Sari Petojo, PT. Sumber Asrep, PT. Andalan Pelabuhan • Pelabuhan udara Tunggul Wulung
• Pelabuhan laut Tanjung Intan
Sumber : DPK Cilacap (2002)
Pengelolaan pasca panen produksi hasil perikanan di Kabupaten Cilacap
dengan menggunakan teknologi modern dan tradisional. Daerah pemasaran
produk yang dihasilkan adalah pasar lokal sampai ekspor. Jumlah pengolah yang
menggunakan teknologi modern sebanyak 11 perusahaan, sedangkan secara
tradisional yang dikelola oleh kelompok tani wanita nelayan dan perorangan
sebanyak 28 buah. Tahun 2002 perusahaan eksportir yang mendapat sertifikat
kelayakan mutu dari lembaga pengujian mutu hasil perikanan (LPMHP) Cilacap
sebanyak 7 perusahaan.
Hasil pengolahan perikanan secara modern yang umumnya merupakan
produk ekspor, diantaranya produk beku seperti tuna, udang, keong, dan layur;
produk kering atau asin berupa ubur-ubur, teri dan ebi; serta produk kaleng dari
ikan cakalang dan tuna. Negara tujuan utama ekspor produk perikanan Cilacap
adalah Amerika Serikat, Jepang, dan China. Pada jenis ikan dan udang tertentu
untuk komoditas ekspor, tidak diolah di Cilacap, tetapi diolah di luar daerah
seperti Jakarta, sehingga mengurangi nilai jual dari produk tersebut.
5.1.3 Profil PPSC
PPSC terletak di Kelurahan Tegal Kamulyan, Kecamatan Cilacap
Selatan, Kabupaten Cilacap yang terletak pada posisi geografis 1090 01’18.4” BT
dan 070 43’31.2” LS, serta luasnya hingga ± 33 ha, yang statusnya terdiri dari
hak pakai dan hak pengelolaan (HPL). Lahan yang berstatus hak pakai
78
merupakan kawasan untuk digunakan membangun fasilitas-fasilitas yang
terdapat di pelabuhan baik fasilitas dasar, fungsional maupun penunjang.
Sedangkan status Hak Pengelolaan adalah kawasan yang digunakan sebagai
kawasan industri perikanan seperti pabrik es dan tempat pengolahan ikan.
PPSC berawal dari peralihan PPI Sentolokawat yang rencananya akan
dikembangkan menjadi PP pada tahun 1978, namun pihak Pertamina UP IV
Cilacap merasa keberatan akan adanya bahaya kebakaran, sehingga
dipindahkan ke Kelurahan Tegal Kamulyan. Fasilitas yang pertama dibangun dari
biaya Pertamina yaitu fasilitas pokok berupa break water, groin, alur pelayaran,
kolam pelabuhan dan dermaga. Fasilitas fungsional berupa TPI, kantor, dock dan
rambu suar, sedangkan untuk fasilitas penunjang masih dalam tahap
pembebasan tanah untuk kawasan industri.
PPSC mulai dioperasikan pada tanggal 20 Mei 1994 dan pengesahan
status kelembagaannya disahkan sebagai UPT Direktorat Jenderal Perikanan
tanggal 18 Desember 1995, berdasarkan Surat Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara No. B. 964/J/95 tanggal 16 Agustus 1995 termasuk PPN atau
tipe B. Pada tanggal 1 Mei 2001, melalui Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor : Kep. 261/MEN/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja PP
yang berisi bahwa PP di Cilacap termasuk ke dalam PPS yang belum
diusahakan atau masih berupa UPT.
Dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsinya PPSC
mempunyai visi yaitu terwujudnya PP sebagai pusat pertumbuhan dan
pengembangan ekonomi terpadu. Sedangkan misi yang akan dijalankan adalah
sebagai berikut :
(1) Menciptakan lapangan kerja dan iklim usaha.
(2) Pemberdayaan masyarakat perikanan.
(3) Meningkatkan mutu, keamanan pangan dan nilai tambah.
(4) Menyediakan sumber data dan informasi perikanan.
(5) Meningkatkan pengawasan dan pengendalian sumber daya perikanan.
Peranan PPSC bagi perkembangan perikanan di daerah Cilacap cukup
besar (Tabel 8) serta tercapainya sasaran dari penjabaran visi dan misi,
sebagaimana jumlah nelayan yang melakukan aktivitas di PPSC pada tahun
2005 sebanyak 22 516 orang dan jumlah kapal 1 988 buah. Sedangkan untuk
program peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Cilacap, telah
terserap tenaga kerja sebanyak 9 884 orang sehingga dapat mengurangi
79
pengangguran di daerah sekitar. Rata-rata kunjungan kapal lebih dari 30 GT tiap
hari berkisar 10 kapal dan hal tersebut tidak sepadan dengan potensi ZEEI yang
melimpah serta masih jauh dari yang disyaratkan pada Keputusan Menteri
Nomor: KEP.16/MEN/2006, yaitu untuk PPSC digolongkan dalam tipe A, dengan
kriteria yang telah sesuai yaitu PPSC telah melayani kapal-kapal yang
operasional penangkapannya hingga ZEEI, memiliki fasilitas tambat labuh
minimal 60 GT dan kedalaman kolam pelabuhan 3 m LWS, hasil tangkapan yang
didaratkan sebagian untuk tujuan ekspor, luas lahan ± 33 Ha dan mempunyai
kawasan industri perikanan.
Tabel 8 Keadaan umum di PPSC pada tahun 2005
No Keadaan Umum Jumlah 1 Jumlah kapal di PPSC 1 988 buah 2 Rata-rata produksi 18 ton/hari 3 Jumlah tenaga kerja yang diserap 9 884 orang 4 Rata-rata kunjungan kapal > 30 GT 10 buah/hari 5 Jumlah unit usaha perikanan 56 buah 6 Jumlah bakul di TPI PPSC 861 orang
Sumber : PPSC (2006)
Kawasan PPSC merupakan tempat konsentrasi nelayan yang terbesar di
Kabupaten Cilacap bahkan di pantai selatan Jawa Tengah. Hal ini disebabkan
potensi penangkapan ikan di laut dan perkembangan aktifitas perikanan baik
penangkapan dan produksi hasil tangkapan, pemasaran, logistik hingga
tersedianya fasilitas yang lengkap dan cukup memadai.
5.2 Verifikasi dan Validasi Model
Pengembangan PPSC yang direkayasa melalui model SISBANGPEL
ditujukan untuk membantu para pengambil keputusan yang terlibat dalam
pengembangan PPSC. Penggunaan model SISBANGPEL dapat mengikuti
langkah-langkah pada Lampiran 18. Informasi yang dapat diperoleh dari keluaran
model SISBANGPEL antara lain:
(1) Potensi SDI
Sub model analisis potensi SDI. Sub model analisis potensi SDI
menggunakan metode surplus produksi model Schaefer dan Fox, dengan
menganalisis data hasil tangkapan (catch) utama dan upaya penangkapan
(effort). Keluaran sub model analisis potensi SDI adalah informasi tentang
status pemanfaatan SDI di suatu wilayah, yaitu: tingkat pemanfaatan, tingkat
pengupayaan, trend catch per unit effort (CPUE), MSY dan FMSY.
80
Berdasarkan informasi potensi SDI, maka pengembangan suatu PP akan
diarahkan untuk melayani kapal-kapal yang sesuai dengan potensi SDI.
Informasi SDI juga akan membantu pengambil kebijakan dalam
mengembangkan suatu PP yang sesuai dengan jenis SDI yang potensial,
sehingga penyediaan fasilitas untuk pendaratan, pengolahan serta
pemasaran ikan akan diarahkan untuk jenis-jenis ikan yang potensial dengan
kata lain outcomes dari sub model analisis potensi SDI adalah rancangan
pengembangan PP berupa rencana pengembangan fasilitas dasar,
fungsional dan penunjang serta kebutuhan pelayanan operasional di PP yang
perhitungannya didasarkan dari nilai MSY dan FMSY yang merupakan output
sub model analisis potensi SDI.
(2) Prakiraan tingkat kegiatan perikanan
Sub model analisis prakiraan aktivitas di PP. Sub model analisis prakiraan
aktivitas di PP dirancang dengan metode prakiraan (forecasting), yaitu suatu
teknik yang menduga atau memperkirakan apa yang terjadi pada masa yang
akan datang. Keluaran sub model prakiraan aktivitas PP adalah informasi
tingkat kegiatan perikanan di PP yang meliputi tingkat produksi, jumlah kapal
dan nelayan, serta proyeksi tingkat kebutuhan pelayanan. Outcomes dari sub
model analisis prakiraan aktivitas di PP adalah rancangan pengembangan
terhadap kebutuhan pelayanan dan manajemen di PP berupa prakiraan
terhadap jumlah dan jenis kapal yang melakukan aktivitas di PP, kebutuhan
logistik dan jumlah nelayan.
(3) Aspek biaya dan manfaat
Sub model analisis biaya dan manfaat. Sub model analisis biaya dan
manfaat mengintegrasikan berbagai operasi dalam penentuan kriteria
kelayakan seperti NPV, EIRR dan Net B/C. Selain itu, sub model ini juga
telah dilengkapi dengan operasi untuk prakiraan arus uang, analisis
sensitivitas, optimasi peubah kritis dan perencanaan produksi, sehingga
operasi-operasi yang cukup rumit untuk mengantisipasi resiko-resiko
kelayakan dapat dilakukan dengan cepat.
(4) Tingkat pemanfaatan fasilitas PP
Sub model analisis tingkat pemanfaatan fasilitas. Sub model analisis
tingkat pemanfaatan fasilitas digunakan untuk mengetahui optimalisasi
pemanfaatan fasilitas di PPSC. Untuk fasilitas yang tingkat pemanfaatannya
sudah mencapai 100% perlu dilakukan pengembangan. Outcomes sub model
81
analisis tingkat pemanfaatan fasilitas adalah rancangan pengembangan
fasilitas yang pemanfaatannya sudah melebihi 100% serta rancangan upaya
untuk optimalisasi pemanfaatan fasilitas yang belum mencapai 100%.
(5) Prioritas pengembangan fasilitas
Sub model analisis prioritas pengembangan fasilitas. Sub model analisis
prioritas pengembangan fasilitas dirancang dengan pendekatan Fuzzy-AHP.
Pengguna dapat melakukan input hirarki. Hirarki yang terlalu panjang atau
elemen yang terlalu banyak dapat menimbulkan kejenuhan dalam proses
penilaian. Untuk itu, diperlukan seleksi awal terhadap elemen-elemen penting
di masing-masing hirarki yang dapat dilakukan melalui grup diskusi dan
pendapat pakar. Outcomes sub model prioritas pengembangan fasilitas
adalah rancangan prioritas pengembangan PP berupa urutan alternatif
pengembangan PP.
(6) Aspek kelembagaan
Sub model analisis kelembagaan dalam pengembangan suatu PP. Sub
model analisis kelembagaan dalam pengembangan suatu PP dirancang
dengan metode ISM dan digunakan untuk melakukan identifikasi struktur
elemen (unsur) dalam sistem. Penetapan elemen yang mengacu pada
rumusan Saxena diacu dalam Eriyatno (2003) dan Marimin (2004) meliputi 9
elemen, yaitu pelaku atau lembaga yang terlibat dalam pengembangan,
kebutuhan dari program, kendala, tolok ukur untuk menilai pencapaian tujuan
dan aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan rasional dan kemudahan operasional dalam pengelolaan
kelembagaan yang terkait dengan pengembangan PP terutama pelaku usaha
atau investor dan pemerintah daerah dalam proses pengambilan keputusan
berusaha dan pengembangan wilayah.
(7) Strategi pengembangan
Sub model analisis strategi pengembangan suatu PP. Sub model analisis
strategi pengembangan suatu PP dirancang dengan menggunakan
pendekatan SWOT. Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunity) namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman
(threats). Outcomes dari sub model analisis strategi pengembangan suatu PP
adalah rancangan strategi pengembangan PP.
82
5.2.1 Verifikasi Model SISBANGPEL
Verifikasi dilakukan untuk dapat menjawab apakah model sudah
melakukan apa yang diinginkan oleh perancang model tersebut. Verifikasi pada
penelitian ini dilakukan pada saat penyusunan model. Verifikasi model dilakukan
dengan memasukkan data dan informasi tentang variabel-variabel ataupun
peubah-peubah yang terkait dengan rencana pengembangan PPSC.
5.2.1.1 Sistem Manajemen Basis Data
Pengguna paket model SISBANGPEL dapat mengisi, mengedit,
menghapus, menampilkan, meng-update dan menyimpan data melalui sistem
manajemen basis data sesuai dengan kebutuhan.
(1) Sub Model Analisis Potensi SDI
Sub model analisis potensi SDI merupakan sub model yang dirancang
untuk menganalisis hasil tangkapan (catch) utama dan upaya penangkapan
(effort) dengan menggunakan model surplus produksi yang dikembangkan oleh
Schaefer dan Fox (Sparre dan Venema 1999; Imron 2000; Supardan et al. 2006;
Murdiyanto 2004b; Tinungki 2005). Tujuan pendekatan ini adalah untuk
mengetahui potensi lestari ikan yang terdapat di wilayah perairan. Potensi lestari
dapat diduga melalui MSY dan CPUE.
Pada sub model analisis SDI menyimpan data series produksi dan jumlah
trip alat tangkapnya (effort). Data series produksi dapat terdiri dari masing-
masing jenis ikan ataupun per kelompok ikan, tergantung kebutuhan pengguna.
Masukan data dimulai dari data produksi dan effort. Rincian masukan data sub
model analisis potensi SDI dijelaskan berikut ini:
Potensi SDI Pelagis Besar di Cilacap
Potensi SDI pelagis yang ditangkap di perairan Cilacap dibagi menjadi
dua, yaitu kelompok ikan pelagis besar dan kelompok ikan pelagis kecil. Jenis
ikan pelagis besar yang tertangkap di perairan Cilacap dan sekitarnya adalah
tuna, cakalang, tengiri, tongkol dan cucut. Masukan data untuk sub model
analisis potensi SDI pelagis besar yang tertangkap di perairan Cilacap
ditunjukkan pada Tabel 9.
Jenis teknologi penangkapan ikan pelagis besar yang beroperasi di
perairan Cilacap adalah rawai tuna, rawai hanyut, rawai tetap, jaring insang
tetap, jaring insang hanyut dan payang. Kemampuan dari keenam jenis teknologi
83
penangkapan tersebut berbeda-beda. Oleh karena itu sebelum dilakukan
penjumlahan upaya penangkapan (effort) dilakukan standarisasi terlebih dahulu.
Upaya penangkapan standar didasarkan atas alat tangkap yang mempunyai
CPUE terbesar.
Tabel 9 Masukan data jumlah produksi dan effort ikan pelagis besar di Cilacap pada sub model analisis SDI
Tahun Produksi (Ton) Effort (Trip) 1998 10 870.10 192.31 1999 4 967.90 6 595.61 2000 7 022.80 3 088.66 2001 6 383.60 2 999.66 2002 4 811.30 1 272.77 2003 4 782.20 3 623.36
Potensi SDI Pelagis Kecil di Cilacap
Jenis ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan Cilacap dan
sekitarnya adalah lemuru dan layaran. Masukan data untuk sub model analisis
potensi SDI pelagis kecil yang tertangkap di perairan Cilacap disajikan dalam
Tabel 10.
Tabel 10 Masukan data jumlah produksi dan effort ikan pelagis kecil di Cilacap pada sub model analisis SDI
Tahun Produksi (Ton) Effort (Trip) 1998 1 820.70 28 556.65 1999 425.72 57 917.74 2000 0.61 119 381.63 2001 15.58 82 739.57 2002 358.00 98 742.78 2003 228.53 83.48 2004 108.42 2 871.76 2005 121.59 2 117.84
Jenis teknologi penangkapan ikan pelagis kecil yang beroperasi di
perairan Cilacap adalah rawai tuna, rawai hanyut, rawai tetap, pancing lain, jaring
insang tetap, jaring insang hanyut dan payang. Sama halnya dengan analisis
potensi SDI pelagis besar sebelum dilakukan penjumlahan upaya penangkapan
(effort) dilakukan standarisasi terlebih dahulu. Upaya penangkapan standar
didasarkan atas alat tangkap yang mempunyai nilai CPUE terbesar.
Potensi SDI Demersal di Cilacap
Jenis ikan demersal yang tertangkap di perairan Cilacap dan sekitarnya
adalah layur, manyung, bawal putih, bawal hitam, pari dan gulamah. Masukan
84
data untuk sub model analisis potensi SDI demersal yang tertangkap di perairan
Cilacap dan sekitarnya disajikan dalam Tabel 11.
Tabel 11 Masukan data jumlah produksi dan effort ikan demersal di Cilacap pada sub model analisis SDI
Tahun Produksi (Ton) Effort (Trip) 1990 3 512.80 28 106.71 1991 2 888.20 15 595.62 1992 2 365.20 19 543.43 1993 3 482.50 26 938.57 1994 5 984.80 88 344.45 1995 3 246.60 168 014.66 1996 3 395.90 93 161.06 1997 4 045.10 277 737.75 1998 4 913.80 67 037.38 1999 6 204.80 272 193.47 2000 3 338.10 150 670.97 2001 3 237.10 198 323.27 2002 2 369.80 8 542.46 2003 2 249.70 3 216.47
Jenis teknologi penangkapan ikan demersal yang beroperasi di perairan
Cilacap adalah jaring insang tetap, rawai tetap, trammel net dan dogol. Sebelum
dilakukan penjumlahan upaya penangkapan (effort) dilakukan standarisasi
terlebih dahulu. Hal tersebut dikarenakan kemampuan dari keempat jenis
teknologi penangkapan tersebut berbeda-beda. Upaya penangkapan standar
didasarkan atas alat tangkap yang mempunyai nilai CPUE terbesar.
Potensi Udang di Cilacap
Udang merupakan andalan sektor perikanan kabupaten Cilacap, karena
merupakan jenis komoditas penting untuk ekspor. Masukan data untuk sub
model analisis potensi SDI untuk kelompok udang yang tertangkap di perairan
Cilacap dan sekitarnya disajikan dalam Tabel 12.
Jenis teknologi penangkapan udang yang beroperasi di perairan Cilacap
adalah trammel net dan dogol. Kemampuan dari kedua jenis teknologi
penangkapan tersebut berbeda. Oleh karena itu sebelum dilakukan penjumlahan
upaya penangkapan (effort) dilakukan standarisasi terlebih dahulu. Upaya
penangkapan standar didasarkan atas alat tangkap yang mempunyai CPUE
terbesar.
85
Tabel 12 Masukan data produksi dan upaya penangkapan (effort) udang di Cilacap pada sub model analisis SDI
Tahun Produksi (Ton) Effort (Trip) 1990 1 591.00 16 326.57 1991 1 653.60 10 608.95 1992 982.60 15 440.53 1993 2 518.40 22 522.47 1994 3 509.30 52 434.14 1995 2 007.10 120 265.04 1996 2 197.30 73 533.90 1997 2 598.30 176 119.45 1998 2 316.60 30 821.20 1999 3 731.70 116 052.42 2000 2 498.50 88 537.01 2001 2 279.20 119 117.72 2002 2 115.50 4 891.18 2003 1 739.00 1 587.00
(2) Sub Model Analisis Prakiraan Aktivitas PP
Pada sub model prakiraan aktivitas di PP menyimpan data series
operasionalisasi suatu PP. Pengertian tentang operasionalisasi PP dan PPI
adalah tindakan atau gerakan sebagai pelaksanaan rencana yang telah
dikembangkan untuk memanfaatkan fasilitas pada PP atau PPI agar berdaya
guna dan bernilai guna (efektif dan efisien) secara optimal bagi “fasilitas itu
sendiri” atau “fasilitas lainnya yang terkait”. Sebagai prasarana dan sarana
perikanan tangkap, PP atau PPI mempunyai fungsi dan fasilitas yang telah
ditetapkan sesuai dengan perencanaan yang dibuat.
Operasionalisasi adalah implementasi dari segala kegiatan dan pekerjaan
yang dilakukan di PP atau PPI dalam melayani kebutuhan masyarakat pengguna
yang memerlukannya. Kegiatan operasional PP atau PPI yang dilakukan
hendaknya berorientasi pada kepentingan masyarakat pengguna jasa PP atau
PPI, yang dikenal sebagai pelayanan prima (Murdiyanto 2004). Menurut DJPT
(2003), operasional PP merupakan indikator utama yang dapat dijadikan
parameter keberhasilan pembangunan PP yang diindikasikan dengan:
(1) Jumlah kapal yang keluar-masuk PP.
(2) Jumlah ikan yang didaratkan di PP.
(3) Jumlah nelayan yang memanfaatkan PP.
(4) Jumlah penyaluran bahan bakar, air tawar dan es.
(5) Harga ikan di PP.
(6) Jumlah tenaga kerja yang diserap.
86
(7) Jumlah pendapatan dan penerimaan PP.
(8) Jumlah perusahaan dan swasta di PP.
Uraian masukan data series dan keluaran dari sub model analisis prakiraan
aktivitas diuraikan sebagai berikut:
Pendaratan Ikan
Semua jenis ikan yang didaratkan di PPSC, sebelum dipasarkan akan
melalui proses pelelangan terlebih dahulu. Jenis ikan yang didaratkan terdiri dari
5 kelompok antara lain ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal,
udang dan cumi-cumi. Hasil tangkapan tersebut didaratkan di TPI PPSC
kemudian dilakukan pelelangan dan pencatatan.
Pencatatan data dilakukan saat kapal bongkar ikan di dermaga bongkar
kemudian dihitung jumlahnya dengan cara yaitu jika menggunakan keranjang
maka dihitung jumlah keranjangnya, jika menggunakan blong maka dihitung
jumlah blongnya, jika ikan berukuran > 70 cm misalnya ikan tuna maka dihitung
jumlah ekor. Setelah melalui perhitungan tersebut kemudian diproses melalui
pelelangan atau penimbangan dan sekaligus pencatatan di TPI PPSC. Masukan
data volume dan nilai produksi di PPSC dalam bentuk tahunan tampak seperti
pada Tabel 13 dan 14. Untuk masukan volume produksi di PPSC dalam bentuk
bulanan disajikan pada Lampiran 2.
Tabel 13 Masukan data produksi di PPSC tahun 1996-2005
Produksi per Kelompok Ikan (Ton)
Tahun Pelagis Besar
Pelagis Kecil
Demersal Cumi-Cumi
Udang
1996 6 594.45 497.37 2 560.66 0.00 488.12 1997 12 067.07 506.61 2 145.30 363.89 395.61 1998 5 619.86 437.57 1 331.14 392.16 464.74 1999 4 189.06 384.87 594.43 133.72 346.23 2000 3 532.22 323.06 393.21 60.35 397.70 2001 3 549.70 242.66 203.55 35.68 270.77 2002 4 441.73 288.46 185.98 62.82 236.22 2003 3 157.29 210.15 150.17 54.44 128.04 2004 1 267.13 298.35 154.53 98.89 126.58 2005 1 348.84 300.89 103.60 99.10 116.48
Sumber: PPSC (2006)
87
Tabel 14 Masukan data nilai produksi ikan dan udang di PPSC tahun 1996-2005
Tahun Ikan ( Juta Rp ) Udang ( Juta Rp ) 1996 9 500.00 6 470.00 1997 16 450.00 7 350.00 1998 16 720.00 29 670.00 1999 16 610.00 17 250.00 2000 18 960.00 25 410.00 2001 21 560.00 14 700.00 2002 22 210.00 10 920.00 2003 12 040.00 5 830.00 2004 55 760.00 56 710.00 2005 68 370.00 57 060.00
Sumber : PPSC (2006)
Armada Perikanan
Kapal-kapal yang beroperasi di PPSC terdiri dari kapal yang berukuran
<10 GT, 10-20 GT, 20-30 GT dan >30 GT. Kapal ikan yang dominan di PPSC
tahun 1999-2005 adalah jenis kapal gill net, trammel net, compreng dan long line,
walaupun ada jenis kapal ikan dengan alat tangkap yang lainnya. Masukan data
series armada perikanan di suatu PP bisa dalam bentuk bulanan yang secara
langsung diproses oleh software untuk dijumlahkan dalam bentuk tahunan. Jika
suatu PP hanya tersedia data tahunan, maka data juga bisa dimasukkan dalam
bentuk tahunan. Masukan data series jumlah armada perikanan di PPSC dalam
bentuk tahunan tampak seperti pada Tabel 15, 16 dan 17. Rincian data kapal
masuk di PPSC dalam bentuk bulanan dapat dilihat pada Lampiran 3, kapal
keluar dalam bentuk bulanan pada Lampiran 4.
Tabel 15 Masukan data jumlah armada perikanan di PPSC berdasarkan alat tangkap tahun 1999-2005
Tahun Kapal Gill net
Kapal Trammel net
Kapal Long line
Kapal jenis lain Total
1999 258 158 72 65 488 2000 231 188 199 60 678 2001 231 188 199 60 678 2002 245 178 203 53 679 2003 223 243 213 49 728 2004 71 130 64 55 320 2005 147 443 161 60 811
Sumber : PPSC (2006)
Setiap satu unit kapal yang masuk ke PPSC belum tentu melakukan
bongkar hanya sekali setiap harinya, namun terkadang melakukan bongkar lebih
dari satu kali, tergantung berapa banyak operasi penangkapan yang dilakukan
88
setiap harinya. Berdasarkan wawancara pada saat penelitian dijelaskan bahwa
kapal yang masuk PPSC belum tentu melakukan kegiatan bongkar. Kapal-kapal
tidak melakukan bongkar disebabkan faktor harga ikan yang rendah dan adanya
retribusi yang terlalu tinggi. Selain itu alasan kenapa nelayan tidak melakukan
bongkar adalah bahwa ikan yang seharusnya dibongkar ternyata hanya titipan
dari nelayan lain sehingga kapal tersebut tidak mau melakukan kegiatan
bongkar.
Tabel 16 Masukan data jumlah kunjungan kapal masuk di PPSC tahun 1996-2005
Ukuran Kapal Masuk Tahun
< 10 10 -20 20 - 30 > 30 Jumlah
1996 263 3 394 2 279 1 430 7 366 1997 287 3 565 2 346 1 632 7 830 1998 570 4 591 2 570 1 690 9 421 1999 383 3 821 2 448 1 543 8 195 2000 324 3 451 2 153 1 361 7 289 2001 208 2 877 1 981 1 474 6 540 2002 81 1 881 1 679 560 4 201 2003 36 1 163 1 222 329 2 750 2004 253 1 096 948 352 2 649 2005 387 802 1 049 354 2 592
Sumber : PPSC (2006)
Tabel 17 Masukan data jumlah kapal keluar dari PPSC tahun 1996-2005
Ukuran Kapal Keluar Tahun
< 10 10 -20 20 - 30 > 30 Jumlah
1996 285 3 288 2 198 1 456 7 227 1997 280 3 305 2 092 1 466 7 143 1998 513 4 182 2 243 1 536 8 474 1999 358 3 666 2 308 1 409 7 741 2000 306 3 434 2 138 1 348 7 226 2001 192 2 831 1 981 1 468 6 472 2002 72 1 415 1 479 759 3 725 2003 39 1 021 1 244 302 2 606 2004 423 878 401 72 1 774 2005 387 802 1 129 94 2 412
Sumber : PPSC (2006)
89
Alat tangkap yang mempunyai prospek bagus dan digunakan nelayan di
PPSC ada tiga jenis alat tangkap, nilai jual dari hasil tangkapannya sangat tinggi
dan berkomoditas ekspor yaitu alat tangkap kelompok gill net, trammel net dan
long line. Masukan data series jumlah armada perikanan di PPSC dalam bentuk
tahunan tampak seperti pada Tabel 18. Rincian data kapal yang melakukan
aktivitas bongkar dalam bentuk bulanan di PPSC dapat dilihat pada Lampiran 5.
Tabel 18 Masukan data series armada perikanan yang melakukan aktivitas bongkar berdasarkan alat tangkap di PPSC tahun 1996-2005
Jenis Kapal Penangkapan Tahun
Trammel net Gill net Long line Jumlah
1996 4 178 3 371 0 7 549 1997 3 641 7 549 0 11 190 1998 5 470 2 430 252 8 152 1999 4 160 1 858 597 6 615 2000 5 304 1 290 2 494 9 088 2001 4 188 2 742 3 653 10 583 2002 2 734 1 761 429 4 924 2003 1 477 1 354 127 2 958 2004 1 087 704 116 1 907 2005 1 141 745 102 1 988
Sumber : PPSC (2006)
Penyaluran Perbekalan Kapal
Distribusi logistik atau perbekalan di PPSC dilakukan di dermaga tambat
maupun dermaga pendaratan. Kebutuhan logistik yang disediakan oleh
pengelola PPSC adalah solar, es dan air tawar. Perbekalan makanan untuk
awak kapal, ada yang telah disediakan oleh pemilik kapal dan ada juga yang
membeli dari warung serba ada (WASERDA) KUD Mino Saroyo yang terletak
dekat dengan dermaga tambat atau pasar di sekitar TPI B, sedangkan untuk
perbekalan logistik didistribusikan oleh pengelola PPSC yang bekerja sama
dengan pihak-pihak swasta serta KUD Mino Saroyo adalah solar, air tawar yang
diproduksi oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Cilacap dan
es. Masukan data series distribusi logistik bisa dalam bentuk bulanan maupun
tahunan tergantung ketersediaan data tersebut di suatu PP. Rincian masukan
data series distribusi logistik dalam bentuk tahunan tampak seperti pada Tabel
19. Sedangkan rincian masukan kebutuhan logistik bulanan dapat dilihat pada
Lampiran 6.
90
Tabel 19 Masukan data distribusi logistik per tahun di PPSC tahun 1996-2005
Penyaluran
Es BBM Air Tahun
(Balok) (Ton) (m3) 1996 454 260.00 5 984.00 10 913.10 1997 282 835.00 5 853.00 6 823.40 1998 222 384.00 8 272.00 8 497.10 1999 262 572.00 9 562.00 7 420.80 2000 259 288.00 14 294.00 6 673.53 2001 370 397.00 15 056.00 6 601.60 2002 332 842.00 13 341.00 5 208.10 2003 50 198.00 11 194.00 4 524.87 2004 126 299.00 13 787.00 2 455.00 2005 159 518.00 12 428.00 3 676.28
Sumber : PPSC (2006)
Pemasaran atau Pelelangan Ikan
Hampir seluruh ikan yang didaratkan di PPSC dipasarkan melalui lelang
murni berdasarkan Perda No. 10 tahun 2003. Perda tersebut mengatur tentang
pungutan retribusi. Masukan data retribusi lelang di PPSC tertera pada Tabel 20.
Tabel 20 Masukan data perkembangan retribusi lelang di TPI PPSC dari tahun 1996-2005
Tahun Retribusi lelang (x Rp 1 000.00) 1996 1 276 955 1997 1 566 597 1998 2 313 739 1999 1 693 049 2000 2 216 787 2001 1 813 296 2002 1 650 000 2003 880 000 2004 1 656 810 2005 1 813 290
Sumber : PPSC (2006)
Docking
Docking di PPSC dikelola oleh swasta dengan sistem kerja sama
operasional (KSO) yaitu PT. Tegal Shipyard Utama. Masukan data jumlah kapal
yang menggunakan jasa docking di PPSC ditunjukkan pada Tabel 21. Rincian
kapal yang melakukan docking dalam bentuk bulanan dapat dilihat pada
Lampiran 7.
91
Tabel 21 Masukan data jumlah kapal yang menggunakan jasa docking di PPSC tahun 1996-2005
Tahun Jumlah kapal 1996 289 1997 321 1998 282 1999 326 2000 311 2001 286 2002 209 2003 178 2004 208 2005 252
Sumber : PPSC (2006)
Nelayan yang Beraktivitas di PPSC
Masyarakat di sekitar PP merupakan masyarakat pesisir yang
menyandarkan hidupnya dari usaha perikanan laut baik aktivitas penangkapan,
pengawetan, maupun pengolahan. Nelayan sebagai pelaku utama dalam usaha
perikanan tangkap mempunyai peran dalam pengembangan PPSC. Dari 13 TPI
di Cilacap, sebagian besar nelayan berpusat di PPSC, disebabkan pelayanan
dan penyediaan logistik hingga penyediaan fasilitas cukup lengkap dan
memadai. Pedagang atau bakul ikan yang aktif di PPSC diklasifikasikan menjadi
tiga yaitu pedagang besar, sedang dan kecil. Masukan data untuk jumlah
nelayan tertera pada Tabel 22.
Tabel 22 Masukan data series jumlah nelayan yang melakukan aktivitas di PPSC pada tahun 1996-2005
Tahun Jumlah Nelayan 1996 82 236 1997 81 264 1998 93 828 1999 86 293 2000 80 828 2001 74 870 2002 43 530 2003 28 360 2004 16 163 2005 22 516
Sumber : PPSC (2006)
Selain nelayan ABK di PPSC juga terdapat pedagang atau bakul ikan.
Jumlah pedagang atau bakul ikan periode tahun 1999-2001 adalah tetap
92
sebanyak 861 orang. Pedagang atau bakul yang masih aktif di PPSC tersebut
rata-rata berasal dari daerah yang masih termasuk dalam kawasan Kabupaten
Cilacap antara lain Tegal Kamulyan, Menganti, Kampung Laut, Kebon Baru,
Tambak Reja dan Sentolokawat.
(3) Sub Model Analisis Kondisi dan Tingkat Pemanfaatan Fasilitas
Sub model analisis tingkat pemanfaatan fasilitas menyimpan data jenis
fasilitas dan kapasitas serta pemakaian fasilitas di suatu PP. Keluaran dari sub
model ini adalah tingkat pemanfaatan fasilitas di suatu PP. Rincian masukan data
jenis dan tingkat pemanfaatan fasilitas di PPSC ditunjukkan pada Tabel 23-24.
Tabel 23 Masukan data jenis fasilitas yang tersedia di PPSC
No. Jenis Fasilitas Luas (m2) A. Fasilitas pokok
1. Kolam pelabuhan 77 400.002. Breakwater
• Utara 1 395.00 • Selatan 563.36
3. Dermaga • Pendaratan 35.60 • Tambat 315.20 • Lapor 240.00
4. Groin 436.005. Revetmen 32 823.006. Jalan
• Komplek 10 500.00 • Menuju balai pertemuan nelayan 684.00 • Kantor 241.00
B. Fasilitas fungsional 1. Slipway 3 120.002. TPI di depan kolam pelabuhan 1 264.003. TPI di depan kali Yasa 420.004. Shelter nelayan 120.005. MCK umum 66.006. Tangki air atas dan bawah 36.007. Rumah pompa 7.008. Rambu suar 43.009. Kantor syahbandar 36.00
10. Kantor pelabuhan 544.0011. Pagar kompleks 2 465.0012. Tempat parkir 168.0013. Balai pertemuan nelayan 400.0014. Tempat perbaikan dan penjemuran jaring 1 000.00
C. Fasilitas penunjang 1. Mess operator 540.002. Kawasan industri 18 500.003. Zona pengembangan 149 800.00
93
Tabel 24 Masukan data tingkat pemanfaatan fasilitas di PPSC tahun 2004
No. Jenis Fasilitas Kapasitas Pemakaian/Kebutuhan saat ini
1. Dermaga bongkar 85.60 m 59.28 m2. Dermaga tambat 313.60 m 195.84 m3. Kolam pelabuhan 77 400.00 m2 10 990.00 m2
4. TPI Pertama * 1 264.00 m2 89.83 m2
5. TPI Kedua ** 42.00 m2 15.64 m2
6. Area Parkir 168.00 m2 100 m2
7. Tempat perbaikan dan penjemuran jaring 1 000.00 m2 500 m2
8. Dock/Slipway 2 unit 1 unit9. Rumah/Mess 14 unit 14 unit
* : TPI yang menghadap ke kolam pelabuhan ** : TPI yang menghadap ke kolam Kali Yasa
Jenis-jenis fasilitas seperti balai pertemuan nelayan, kantor pelabuhan,
kantor syahbandar, MCK umum dan lain sebagainya ditentukan secara subyektif
atau deskrifit dilihat dari tingkat kepadatan aktivitas yang ada di PP.
(4) Sub Model Analisis Manfaat dan Biaya Pengembangan PP
Sub model analisis manfaat dan biaya pengembangan PP menyimpan
data jenis-jenis manfaat dan biaya suatu PP. Rincian masukan data manfaat dan
biaya pengembangan PP dijelaskan berikut ini.
Manfaat langsung (direct benefit)
Dalam pembangunan PPSC penggunaan fasilitas yang dikenakan biaya
pemakaian merupakan manfaat yang diterima secara langsung dalam bentuk
nilai manfaat. Seluruh penerimaan yang dikenakan dalam penggunaan maupun
penerimaan dana modal investasi merupakan arus kas masuk. Fasilitas yang
memberikan manfaat berupa penerimaan antara lain tambat labuh kapal, TPI,
sewa tanah dan gedung, slipway atau docking, pas masuk, listrik, air bersih,
solar, keranjang ikan dan penggunaan jasa dari fasilitas fungsional. Masukan
data manfaat langsung dan asumsi dasar penilaian jenis manfaat langsung
(direct benefit) ditunjukkan pada Tabel 25. Masukan data manfaat yang diterima
dari fasilitas yang ada di PPSC berdasarkan Indeks Harga Konsumen Gabungan
(IHKG) dapat dilihat pada Tabel 26.
Manfaat tidak langsung (indirect benefit)
Keberadaan PPSC dirasa sangat penting, terutama bagi masyarakat,
PPSC merupakan sumber pendapatan yang merupakan manfaat tidak langsung
94
bagi PPSC. Pendugaan nilai manfaat tidak langsung perlu dilakukan agar semua
pihak mengetahui betapa besarnya manfaat ekonomi yang dapat dihasilkan
dengan adanya PPSC. Masukan data asumsi dasar penilaian jenis manfaat tidak
langsung (indirect benefit) dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 25 Masukan data asumsi dasar penilaian jenis manfaat langsung
Fasilitas PPSC No Jenis Manfaat
Asumsi Dasar Penilaian Manfaat Aktual 1. Jasa tambat labuh Penerimaan dari tambat labuh
Rp. 20 071 563.00. 2. Penerimaan dari sewa
tanah Luas tanah 32 911 m2 (3.3 ha), tarif sewa tanah Rp 1 500/m2/tahun, penerimaan dari sewa tanah Rp. 76 706 800.00.
3. Penerimaan dari jasa pas masuk
Tarif pas masuk pelabuhan (mobil Rp. 500.00, bus atau truk Rp. 1 000.00, truk gandeng Rp. 1 500.00, penerimaan dari jasa pas masuk sebesar Rp. 6 251 100.00.
4. Penerimaan dari retribusi pelelangan
Luas bangunan 1 666 m2; volume lelang 3 700.09
ton; penerimaan dari retribusi pelelangan ikan sebesar Rp. 562 Milyar.
5. Penerimaan dari SHU dock
Jumlah 1 unit, penerimaan SHU dock kapal sebesar Rp. 6 411 365.00.
6. Penerimaan dari jasa listrik
Jumlah 1 unit, kapasitas 64 kwh, penerimaan dari jasa listrik Rp. 305 250.00.
7. Penerimaan dari jasa penggunaan air tawar dan es
Kapasitas air tawar 190 m2, kapasitas es 20 ton/hari; tarif Rp. 2.2/liter, pendapatan dari air tawar Rp. 1 255 157.00.
8. Penerimaan dari sewa bangunan
Tarif bangunan permanen Rp. 8 000/m2/tahun; penerimaan sewa bangunan Rp. 1 152 000.00.
9. Penerimaan jasa penggunaan keranjang ikan
Tarif Rp. 150/jam, jumlah 50 buah keranjang dan penerimaan dari jasa penggunaan keranjang ikan Rp. 281 900.00.
Sumber : PPSC (2006)
Tabel 26 Masukan data manfaat proyek fasilitas PPSC
Tahun Total Manfaat Riil (Rp) Indeks *) Harga Konstan (Rp) 1994 942 454 598.00 163.17 942 454 598.00 1995 1 365 383 620.00 177.83 1 252 823 738.00 1996 1 327 110 098.00 101.38 1 327 110 098.00 1997 1 618 233 408.00 111.79 1 467 541 845.00 1998 2 381 220 005.00 198.47 1 216 345 463.00 1999 1 746 906 515.00 202.45 874 790 726.00 2000 2 264 545 200.00 259.53 884 597 512.00 2001 1 851 539 400.00 290.74 645 625 178.00 2002 1 683 304 420.00 317.29 537 846 771.00 2003 958 279 130.00 313.92 309 474 828.00
Sumber : PPSC (2006) *) IHKG dengan tahun dasar 1996 =100
95
Tabel 27 Masukan data asumsi dasar penilaian jenis manfaat tidak langsung
Fasilitas PPSC No Jenis Manfaat
Asumsi Dasar Penilaian Manfaat Aktual 1. Pemasaran hasil
perikanan oleh nelayan dan sebagai sarana dalam mempertahankan mutu ikan
- peningkatan harga ikan (adanya pelelangan) - pembeli (bakul ikan) banyak - lokasi dermaga bongkar dan TPI dekat (±10 m) - akses ke pasar ikan dan ke industri pengolahan
dekat - produksi ikan segar meningkat - penanganan ikan yang baik seperti cara
pengangkutan dengan memperhatikan kualitas ikan yang akan dipasarkan
- tersedianya sarana dan prasarana transportasi agar distribusi ikan secara cepat sampai ke konsumen
2. Memudahkan dalam memenuhi kebutuhan operasional nelayan
- ketersediaan kebutuhan operasional nelayan (es, solar, air tawar, serta perbekalan melaut lainnya)
- harga kebutuhan operasional terjangkau - dekat dengan kapal nelayan (adanya dermaga
muat) 3. Adanya multiplier effect
seperti peningkatan pendapatan pada sektor lain
- bertambahnya usaha di luar kawasan PPSC (warung makan dan minum 27 buah), tingkat kebutuhan nelayan yang berhubungan dengan kegiatan penangkapan ikan
4. Adanya economic of scale seperti peningkatanskala usaha
- peningkatan usaha dari skala kecil menjadi besar sebanyak 56 jenis usaha (6 pembekuan, 1 pengalengan, 8 pengolahan ikan tradisional, 1 pengepakan, 7 pergudangan, 4 perbengkelan, 27 pujasera, 2 logistik).
5. Adanya dynamic secondary effect seperti terbukanya kesempatan kerja bagi masyarakat dan peningkatan produktivitas tenaga kerja
- waktu kerja, motivasi kerja, kemampuan kerja - jumlah nelayan 22 516 orang, rata-rata waktu
kerja 3-5 hari, rata-rata ukuran kapal > 10 GT, rata-rata penerimaan Rp. 870 000.00/bulan
- pegawai pelabuhan (koperasi) 35 orang, 6 hari kerja dalam 1 minggu dan rata-rata penerimaan Rp. 890 000.00/bulan
- pedagang eceran atau kaki lima 11 orang, waktu kerja 312 hari dan rata-rata penerimaan Rp. 25 000.00/hari
- karyawan bengkel 5 orang, waktu kerja 312 hari dan rata-rata penerimaan Rp. 30 000.00/hari
- penjual makanan dan minuman 32 orang, waktu kerja 360 hari dan rata-rata penerimaan Rp. 50 000.00/hari
- penjaga toko (waserda) 34 orang, waktu kerja 358 hari dan rata-rata penerimaan Rp. 65 000.00/hari
- karyawan perusahan perikanan (pengumpulan dan pengolahan ikan) 76 orang, waktu kerja 312 hari dan rata-rata penerimaan Rp. 20 000.00/hari
- karyawan pabrik es 30 orang, waktu kerja 312 hari dan rata-rata penerimaan Rp. 27 000.00/hari
- bakul ikan 72 orang, waktu kerja 360 hari dan rata-rata penerimaan Rp. 55 000.00/hari
Sumber : Hasil Penelitian 2006 (Diolah)
96
Berdasarkan hasil prediksi nilai manfaat ekonomi PPSC, diketahui bahwa
total nilai manfaat ekonomi Rp. 3 511 704 716 807.00/tahun, terbagi atas nilai
manfaat langsung yaitu Rp. 17 013 785 382.00/tahun dan manfaat tidak
langsung sebesar Rp. 3 494 690 931 425.00/tahun (Tabel 28). Hal ini
menunjukan bahwa manfaat tidak langsung yang diberikan oleh PPSC lebih
besar dibandingkan dengan manfaat langsung dari fasilitas PPSC, dan hal
tersebut membuktikan keberadaan PPSC sangat penting, untuk itu pemerintah
perlu lebih meningkatkan peran tersebut melalui pengembangan PP.
Tabel 28 Masukan data prediksi nilai manfaat ekonomi PPSC
No. Jenis Manfaat Ekonomi Manfaat Ekonomi (Rp)
Manfaat langsung 1. Penerimaan dari tambat labuh 222 383 3172. Penerimaan dari sewa tanah 354 470 2003. Penerimaan dari retribusi pelelangan ikan 16 256 850 0004. Penerimaan dari jasa pas masuk 57 050 7845. Penerimaan dari jasa listrik 7 915 9906. Penerimaan dari jasa penggunaan tangki BBM
atau solar 31 557 460
7. Penerimaan dari jasa penggunaan air tawar 18 603 0438. Penerimaan dari sewa bangunan 1 929 6009. Penerimaan dari penjualan SHU Dock 45 630 48810. Penerimaan dari jasa penggunaan keranjang ikan 17 394 50011 Penerimaan dari penjualan dokumen lelang 1 660 000 Total manfaat langsung 17 013 785 382 Manfaat tidak langsung 1. Pemasaran hasil perikanan oleh nelayan dan
sebagai sarana dalam mempertahankan mutu ikan 1 254 328 000 0002. Memudahkan dalam memenuhi kebutuhan
operasional nelayan 1 898 784 000 0003. Adanya multiplier effect 226 800 0004. Adanya Economic of scale 156 467 031 4255. Adanya dynamic secondary effect 2 923 186 220 000 Total manfaat tidak langsung 3 494 690 931 425 Total manfaat ekonomi 3 511 704 716 807
Sumber : Hasil Penelitian (2006)
Manfaat yang tidak dapat dinilai dengan uang (intangible benefit)
Menurut Ibrahim (1998) dan Choliq et al. (1999), intangible benefit
merupakan manfaat yang diperoleh dari kegiatan proyek yang tidak dapat
dihitung atau dinilai dengan uang. Adanya fasilitas di PPSC maka intangible
benefit yang diharapkan adalah pengembangan wilayah dan penambahan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat di Kabupaten Cilacap.
97
Manfaat bagi pengembangan wilayah di sekitar PPSC
Keberadaan PP diharapkan dapat membuat kawasan daerah sekitarnya
menjadi sentra kegiatan baru yang akan meningkatkan kegiatan perekonomian di
daerah ini, misalnya munculnya pedagang dan toko yang memenuhi kebutuhan
sehari-hari, pedagang makanan dan minuman.
Manfaat bagi penambahan lapangan pekerjaan
(a) Lapangan kerja yang langsung terkait dengan operasional PPSC.
Adanya kegiatan di PPSC antara lain kegiatan penangkapan ikan di laut,
proses pengolahan dan pemasaran ikan maka dalam operasionalnya
diperlukan tenaga kerja, misalnya: ABK, kuli angkut barang, sopir angkutan
barang, pengolah dan bakul ikan.
(b) Lapangan kerja yang tidak langsung terkait dengan operasional PPSC.
Adanya penambahan kegiatan di PPSC berdampak pada terbukanya
lapangan kerja baru untuk melayani kebutuhan para pegawai atau pekerja
pelabuhan, misalnya pedagang makanan dan minuman serta tukang ojek.
Identifikasi Biaya
Modal investasi
Menurut Umar (2003), untuk merealisasikan proyek dibutuhkan dana
untuk investasi seperti tanah, bangunan dan mesin-mesin serta biaya-biaya
pendahuluan sebelum operasi. Modal investasi yang digunakan dalam
pembangunan PPSC berasal dari sumber dana proyek yang disediakan oleh PT.
Pertamina. Dana keseluruhan yang digunakan dalam pembangunan PPSC
disediakan Pertamina sebesar Rp. 46 635 057.00. Biaya yang termasuk dalam
modal investasi adalah sebagai berikut:
(1) Tanah
Tanah yang digunakan untuk lahan pembangunan fasilitas fungsional
PPSC antara lain tanah makam milik negara dan tanah milik Kodam
IV/Diponegoro. Tanah milik merupakan tanah darat yang dimiliki oleh perorangan
dan digunakan oleh masyarakat untuk pekarangan atau dibangun rumah di atas
tanah milik tersebut. Tanah negara merupakan tanah darat tidak berpenghuni
dan dimiliki negara. Makam merupakan tanah darat yang digunakan untuk lahan
pembangunan PPSC yang merupakan tanah tidak produktif (tidak digunakan
98
untuk lahan kegiatan ekonomi dan tidak menghasilkan) dan tidak termasuk
dalam nilai netto produksi yang hilang, dengan demikian tidak dihitung dalam
NPV.
(2) Tenaga kerja
Menurut Gray et al. (1993) dan Khotimah et al. (2002), penentuan harga
bayangan untuk upah tenaga kerja khususnya tenaga kerja terdidik (skilled
labour) dan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled labour) agak sulit. Sifat pasar
tenaga kerja terdidik (skilled labour) pada umumnya agak kompetitif sehingga
upah yang diterima tenaga kerja dapat dikatakan setingkat atau seimbang
dengan tingkat upah yang berlaku di pasaran tenaga kerja. Pemakaian tenaga
tidak terdidik (unskilled labour) akan menimbulkan biaya-biaya lain yang harus
dikeluarkan proyek antara lain biaya pengangkutan tenaga dari daerah tempat
tinggalnya ke lokasi proyek (biaya transport) dan biaya makan yang diperlukan
oleh tenaga kerja.
Dari laporan hasil akhir pelaksanaan proyek PPSC (1994), tenaga kerja
yang dipakai dalam pelaksanaan proyek ini berasal dari daerah Cilacap dan
sekitarnya. Tenaga kerja yang bekerja dalam pelaksanan proyek PPSC termasuk
dalam tenaga kerja tanpa keterampilan khusus. Tenaga kerja yang dipekerjakan
sebagian besar adalah nelayan Cilacap yang sedang mengalami masa paceklik,
sehingga tidak melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut.
(3) Biaya peralatan dan bahan-bahan konstruksi
Menurut Kadariah (1986) pengadaan barang yang diperdagangkan
merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan biaya peralatan dan
bahan-bahan konstruksi. Jika barang tersebut dapat diperdagangkan maka yang
diperhitungkan sebagai biaya adalah harga perbatasan (border prices), artinya
harga bahan untuk diimpor atau untuk bahan diekspor. Hal yang perlu
diperhatikan apakah biaya ini harus dibebankan pada saat dikeluarkan sebagai
investasi atau saat pembayaran kembali angsuran pinjaman dan bunganya.
Peralatan dan bahan-bahan konstruksi yang digunakan dalam
pelaksanaan proyek pembangunan PPSC merupakan peralatan yang telah ada
tetapi bahan-bahan yang diperlukan masih banyak didatangkan dari Jakarta.
Peralatan dan bahan-bahan konstruksi yang diperlukan disediakan dalam jumlah
banyak untuk memenuhi kebutuhan konstruksi dengan kualitas cukup baik.
99
(4) Biaya operasi dan pemeliharaan
Biaya operasi dan pemeliharaan merupakan biaya yang harus
dikeluarkan secara rutin dalam setiap tahunnya selama proyek mempunyai umur
ekonomi (Khotimah et al. 2002). Biaya operasi dan pemeliharaan fasilitas
fungsional di PPSC diantaranya yaitu biaya renovasi. Biaya operasi dan
pemeliharaan dikeluarkan tiap tahunnya dengan nilai hampir sama, namun
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi fasilitas yang telah dipergunakan. Hal
ini ditujukan agar fasilitas-fasilitas yang telah dibangun mendapatkan perawatan
yang baik. Masukan data besarnya total biaya proyek fasilitas PPSC ditunjukkan
Tabel 29.
Tabel 29 Masukan data biaya proyek fasilitas PPSC
Tahun Total Biaya Riil (Rp) Indeks *) Harga Konstan (Rp) 1990-1993 13 973 597 275.00 153.98 13 973 597 275.00
1994 - 163.17 - 1995 198 500 000.00 177.83 171 877 804.00 1996 38 838 000.00 101.38 38 838 000.00 1997 261 588 000.00 111.79 237 228 655.00 1998 9 500 000.00 198.47 4 852 672.00 1999 70 395 800.00 202.45 35 251 796.00 2000 70 033 000.00 259.53 27 356 935.00 2001 12 940 000.00 290.74 4 512 131.00 2002 1 094 694 000.00 317.29 349 774 899.00 2003 34 755 000.00 313.92 11 224 075.00
Sumber : Hasil Penelitian (2006)
*) IHKG dengan tahun dasar 1996 =100
Aliran kas (cash flow)
Aliran kas yang berhubungan dengan suatu proyek bisa dikelompokkan
menjadi 3 bagian antara lain: aliran kas permulaan (initial cash flow), aliran kas
operasional (operational cash flow) dan aliran kas terminal (terminal cash flow).
Pengeluaran-pengeluaran untuk investasi pada awal periode mungkin tidak
hanya sekali dan merupakan initial cash flow. Aliran kas yang timbul selama
operasi proyek disebut sebagai operational cash flow. Aliran kas yang diperoleh
pada waktu proyek tersebut berakhir disebut sebagai terminal cash flow.
Umumnya initial cash flow adalah negatif, operational cash flow dan terminal
cash flow umumnya positif. Aliran-aliran kas ini harus dinyatakan dengan dasar
setelah pajak.
100
(a) Aliran kas permulaan (initial cash flow)
Dalam menentukan aliran kas permulaan, pola aliran yang berhubungan
dengan pengeluaran investasi harus diidentifikasi seperti mengetahui bagaimana
pengeluaran biaya untuk tahap pembangunan sampai dengan siap beroperasi.
Misalnya tahap pengeluaran untuk biaya prakonstruksi, pembelian material dan
peralatan, konstruksi, termasuk juga penyediaan-penyediaan modal kerja. Oleh
karena itu aliran kas permulaan pada proyek pembangunan fasilitas fungsional
PPSC tidak hanya terjadi pada awal periode tetapi terjadi beberapa kali yaitu
pada tahun ke-1, tahun ke-2 dan seterusnya.
(b) Aliran kas operasional (operational cash flow)
Penentuan tentang berapa besarnya aliran kas operasional setiap
tahunnya merupakan titik permulaan untuk penilaian profitabilitas usulan
investasi tersebut. Aliran kas operasional diperhitungkan berdasarkan aliran kas
(aliran kas masuk) yang bersifat continue seperti penerimaan dari pelayanan
serta penggunaan jasa dari fasilitas fungsional PPSC, sedangkan aliran kas
keluar (cash outflow) yang bersifat tidak continue atau intermittent seperti
pengeluaran biaya operasional dan pemeliharaan.
(c) Aliran kas terminal (terminal cash flow)
Aliran kas terminal umumnya terdiri dari aliran kas nilai sisa (residu)
investasi tersebut dan pengembalian modal kerja. Aliran kas terminal dalam
aliran kas proyek fasilitas fungsional PPSC, yang biasa dipergunakan dalam
aliran kas proyek masuk dalam biaya. Dana pembangunan PPSC murni dari
APBN. Oleh karena itu, dana pembangunan PPSC merupakan manfaat yang
diterima oleh pemerintah dan masyarakat dan tidak termasuk dalam biaya
proyek. Untuk mengetahui aliran kas fasilitas PPSC dapat dilihat pada Lampiran
14.
Tidak adanya nilai sisa (residu) dan penjualan barang-barang proyek
PPSC dalam aliran kas terminal, hal ini dikarenakan tidak adanya perhitungan
dalam analisis manfaat dan biaya. Untuk pengembalian modal kerja tidak
termasuk aliran kas terminal dalam perhitungan analisis manfaat dan biaya. Hal
ini karena pengembalian modal kerja termasuk dalam manfaat yang diterima,
kalau proyek tersebut memerlukan modal kerja dan umumnya proyek-proyek
memang membutuhkan maka kalau proyek tersebut berakhir modal kerjanya
tidak lagi diperlukan. Dengan demikian modal kerja ini akan kembali sebagai
101
aliran kas pada akhir usia proyek. Aliran kas fasilitas PPSC berdasarkan IHKG
dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30 Masukan data total aliran kas fasilitas PPSC
Tahun Total Aliran Kas (Rp) Indeks *) Harga Konstan (Rp) 1990-1993 13 973 597 275.00 15 398.00 13 973 597 275.00
1994 942 454 598.00 163.17 889 374 021.00 1995 1 166 883 620.00 177.83 1 010 384 861.00 1996 1 288 272.098.00 101.38 1 288 272 098.00 1997 1 356 645 408.00 111.79 1 230 313 190.00 1998 2 371 720 005.00 198.47 1 211 492 790.00 1999 1 676 510 715.00 202.45 839 538 929.00 2000 2 194 512 200.00 259.53 857 240 576.00 2001 1 838 599 400.00 290.74 641 113 046.00 2002 588 610 418.00 317.29 188 071 871.00 2003 923 524 130.00 313.92 298 250 752.00
Sumber : Hasil Penelitian (2006)
*) IHKG dengan tahun dasar 1996 =100
Berdasarkan Tabel 30 total aliran kas pada tahun 2002 dan 2003 sangat
minimum. Pada tahun 2002 PPSC mengadakan pembangunan fasilitas dalam
rangka peningkatan status dari PPNC menjadi PPSC. Hal ini mengakibatkan
PPSC mengeluarkan banyak biaya sedangkan pemasukan hanya sedikit karena
kapal-kapal yang dapat memanfaatkan fasilitas PPSC terbatas jumlahnya. Pada
tahun 2002 dilakukan penambahan pembangunan fasilitas untuk melengkapi
fasilitas yang sudah ada dan total manfaat yang diterima PPSC mengalami
penurunan.
(5) Sub Model Analisis Prioritas Pengembangan PP
Sub model analisis prioritas pengembangan PP menyimpan data jenis-
jenis fasilitas yang akan dikembangkan dan rincian kriteria penilaian. Masukan
data meliputi input statis dan input dinamis. Input statis adalah input yang telah
tersedia dalam sistem, nilai tingkat kepentingan dan bobot kriteria penentuan
prioritas pengembangan suatu fasilitas PP. Input dinamis adalah input yang
harus dimasukkan oleh pengguna saat pengisian, yaitu pilihan-pilihan parameter-
parameter dari setiap kriteria penentuan prioritas dengan tingkat keyakinan
masing-masing. Rincian masukan data prioritas pengembangan diuraikan dalam
penjelasan berikut ini.
Pada struktur hirarki ini terdapat tiga level yang membangun, yaitu :
1. Level 1: Prioritas pengembangan PPSC.
102
2. Level 2: Kriteria yang mempengaruhi pengembangan PPSC. Kriteria yang
terdapat dalam hirarki ini adalah :
a. Potensi SDI, produksi ikan.
b. Ketersediaan anggaran.
c. Manfaat.
d. Kebutuhan masyarakat dan nelayan.
e. Jenis industri yang ada.
f. Kebutuhan bakul, pedagang, dan pengolah.
3. Level 3: Sub kriteria dari kriteria yang mempengaruhi pengembangan
PPSC. Sub kriteria yang terdapat hirarki kriteria ini adalah :
a. Pengembangan kawasan industri di PPSC.
b. Perbaikan atau pengerukan alur masuk ke pelabuhan.
c. Pengembangan dermaga bongkar dan tambat.
d. Pengembangan TPI I dan TPI II.
e. Penambahan fasilitas SPBU dan logistik.
Informasi mengenai fokus (sasaran), kriteria dan alternatif tersebut
tersusun dalam bentuk diagram seperti pada Gambar 14.
Gambar 14 Hirarki prioritas pengembangan PPSC.
(6) Sub Model Analisis Kelembagaan Pengembangan PPSC
Sub model analisis kelembagaan dalam pengembangan suatu PP
dirancang dengan metode ISM dan digunakan untuk melakukan identifikasi
103
struktur elemen (unsur) dalam sistem pengembangan PPSC. Pada sub model
analisis kelembagaan menyimpan data jenis elemen dan sub elemen. Data jenis
elemen dari program yang dikaji dijabarkan menjadi sejumlah sub elemen.
Setelah itu, ditetapkan hubungan kontesktual antara sub elemen yang
terkandung adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi dengan
penilaian perbandingan berpasangan. Adapun penilaian hubungan sudah
ditetapkan dalam sub model yang diberi simbol VAXO. Rincian masukan data
elemen dan sub elemen dalam analisis kelembagaan pengembangan PPSC
ditampilkan pada Tabel 31.
Tabel 31 Masukan data pada sub model analisis kelembagaan
No Jenis Elemen Jenis Sub Elemen 1 Sektor masyarakat
yang terpengaruh dari pengembangan PPSC
Nelayan, masyarakat sekitar, buruh (tenaga kerja di PPSC), pedagang (bakul), pedagang sarana penangkapan, pengusaha (tenaga kerja agroindustri hasil laut), pengusaha transportasi, pengolah ikan, pengusaha (penyedia jasa perbaikan kapal dan alat tangkap), eksportir.
2 Kebutuhan untuk pelaksanaan program pengembangan PPSC
Dukungan dan komitmen pemerintah pusat, dukungan dan komitmen pemerintah daerah, dukungan dan komitmen masyarakat sekitar dan nelayan, suasana kondusif dan aman, potensi SDI, kemudahan birokrasi (ijin), tersedia lahan pengembangan, ketersediaan anggaran pengembangan PPSC.
3 Kendala dalam pengembangan PPSC
Keterbatasan dana pengembangan, rendahnya kualitas SDM, hambatan birokrasi dan kelembagaan, banyaknya fasilitas yang belum layak mendukung produksi yang didaratkan.
4 Perubahan yang mungkin terjadi dari pengembangan PPSC
Peningkatan PAD, peningkatan investasi, optimalisasi pemanfaatan potensi SDI, peningkatan motorisasi dan teknologi alat tangkap, pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan, peningkatan industri yang berbasis di PPSC, pengembangan wilayah (ekonomi wilayah), peningkatan aktivitas pelayanan di PPSC, keterjaminan pasar produk perikanan, peningkatan jumlah nelayan dan pendapatan nelayan.
5 Tujuan dari program pengembangan PPSC
Peningkatan PAD, peningkatan investasi, optimalisasi pemanfaatan potensi SDI, peningkatan motorisasi dan teknologi alat tangkap, pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan, peningkatan industri yang berbasis di PPSC, pengembangan wilayah (ekonomi wilayah), peningkatan aktivitas pelayanan di PPSC, keterjaminan pasar produk perikanan, peningkatan jumlah nelayan dan pendapatan nelayan.
104
No Jenis Elemen Jenis Sub Elemen 6 Tolok ukur
pengembangan Peningkatan investasi, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, peningkatan pendapatan nelayan, peningkatan PAD dan PNBP dari PPSC, peningkatan volume dan nilai produksi, optimalisasi fasilitas di PP, peningkatan pangsa pasar domestik, peningkatan pangsa pasar ekspor, optimalisasi pemanfaatan SDI, peningkatan jumlah kunjungan kapal bongkar dan hasil tangkapan.
7 Pelaku pengembangan PPSC
Pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten, UPT pelabuhan, nelayan, KUD, kesyahbandaran, POLAIRUD, lembaga keuangan, HNSI, perguruan tinggi, LSM.
8 Aktivitas Pengembangan PPSC
Koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan PP, perumusan perda untuk mendukung pengembangan PPSC, identifikasi jenis-jenis fasilitas yang akan dikembangkan, menciptakan iklim kondusif dalam mendukung pengembangan PPSC, pengembangan pendidikan dan pelatihan SDM yang terlibat dalam pengembangan PP, kemudahan akses informasi dan teknologi.
(7) Sub Model Analisis Strategi Pengembangan PP
Analisis ini menggunakan matriks SWOT untuk mendapatkan strategi
yang diurutkan berdasarkan nilai skornya. Nilai skor didapat dari hasil
pengumpulan pendapat responden ahli yang diminta mengisi kuisioner
berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor yang terdapat
dalam kuisioner tersebut didapat dari wawancara. Dari hasil wawancara dan
studi pustaka serta laporan-laporan akhir tahun lembaga-lembaga yang terkait
diketahui beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kebijakan
pengembangan PPSC. Dari faktor-faktor tersebut kemudian dilakukan
penyusunan kuisioner untuk disebarkan kepada para ahli (pakar).
Setelah mengidentifikasi faktor-faktor internal-eksternal, maka dilanjutkan
dengan memberikan rating dan bobot pada faktor tersebut sehingga dapat
diketahui apakah posisi internal dan eksternal kuat, sedang atau lemah. Rating
menunjukkan apakah faktor tersebut merupakan kekuatan, kelemahan, peluang
dan ancaman yang besar atau kecil. Bobot menunjukkan prioritas kepentingan
faktor tersebut. Pembobotan dilakukan dengan menggunakan matriks
perbandingan berpasangan (fuzzy pairwise comparison). Prinsip pembobotan
terhadap faktor peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan adalah berdasarkan
besarnya prioritas yang diberikan pada faktor-faktor tersebut. Faktor yang
105
memiliki prioritas besar akan memiliki bobot yang besar dan sebaliknya faktor
yang tidak diprioritaskan akan memiliki bobot yang lebih kecil.
Tabel 32 Masukan data jenis variabel internal faktor evaluasi (IFE) dan eksternal faktor evaluasi (EFE)
No Uraian Faktor-faktor Internal dan Eksternal Kekuatan 1 Potensi sumber daya perikanan di Samudera Hindia. 2 Komitmen pemerintah pusat dan daerah yang tinggi dibidang
pengembangan perikanan dan kelautan. 3 Kewenangan dan tugas pokok serta fungsi PP yang luas dan jelas. 4 Tersedianya SDM dalam jumlah yang memadai dan dapat didayagunakan
serta didukung dengan biaya operasional. 5
Tersedianya sarana dan prasarana yang terus dikembangkan dan disempurnakan sesuai dengan master plan.
6 Tersedia dan telah operasionalnya prasarana pengawasan terpadu di kawasan PPSC.
Kelemahan 1 Kemampuan manajemen maupun teknis SDM yang kurang memadai. 2 Fasilitas yang belum layak mendukung kualitas produksi perikanan yang
didaratkan. 3 Terbatasnya biaya operasional dan pemeliharaan fasilitas prasarana
pelabuhan. 4 Sarana dan prasarana pengawasan perikanan belum memadai. 5 Pengurusan perijinan yang belum sepenuhnya menjadi kewenangan UPT
PP. 6 Sistem (software) informasi perikanan belum memadai. Peluang 1 Tumbuh dan berkembangnya iklim usaha sejalan dengan kebijakan
pemerintah daerah yang mendorong peningkatan investasi. 2 Semakin menguatnya nilai mata uang asing terhadap rupiah akan
mendorong pengembangan ekspor dan peningkatan devisa. 3 Semakin meningkatnya pangsa pasar produk perikanan baik lokal maupun
nasional, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat yang semakin meningkat untuk mengkonsumsi produk pangan yang bergizi dan menyehatkan.
Ancaman 1 Kebijakan pemerintah dalam penentuan harga BBM yang belum berpihak
pada nelayan dan industri perikanan. 2 Duplikasi peraturan dan beragamnya jenis pungutan perikanan yang
membingungkan dan menghambat pengembangan usaha perikanan. 3 Maraknya IUU fishing di perairan teritorial dan ZEEI. 4 Semakin meningkatnya akses produk-produk asing terhadap pasar dalam
negeri sebagai konsekuensi dari pelaksanaan perdagangan bebas, hal ini menyebabkan persaingan produk-produk perikanan semakin ketat.
5 Usaha perikanan masih didominasi nelayan kecil dan pemanfaatan yang bertumpu pada perairan pantai.
6 Rendahnya kualitas SDM perikanan khususnya nelayan yang bisa dilihat dari rendahnya tingkat pendidikannya menyebabkan proses alih teknologi dan ketrampilan tidak sesuai dengan yang diharapkan, sehingga berdampak pada kemampuan pengembangan usaha.
7 Rendahnya mutu ikan yang menyebabkan nilai jual ikan menjadi rendah.
106
5.2.1.2 Sistem Manajemen Basis Model
Analisis yang terdapat pada sistem manajemen basis model
SISBANGPEL terdiri dari analisis potensi SDI, analisis prakiraan aktivitas,
analisis tingkat pemanfaatan fasilitas, analisis biaya dan manfaat, analisis
prioritas pengembangan PP, analisis kelembagaan pengembangan PP, dan
analisis strategi pengembangan.
(1) Sub Model Analisis Potensi SDI
Keluaran dari sub model analisis potensi SDI antara lain : prakiraan MSY,
tingkat pemanfaatan dan tingkat pengupayaan CPUE. Potensi SDI yang di
analisis adalah SDI perkelompok ikan, yaitu kelompok ikan pelagis besar, ikan
pelagis kecil, demersal, dan udang. Berikut akan diuraikan keluaran dari sub
model analisis potensi SDI di Cilacap.
Potensi SDI Pelagis Besar di Cilacap
Keluaran sub model SDI selain berupa nilai-nilai dalam bentuk tabel, juga
berupa grafik-grafik yang akan membantu pengguna mendapatkan gambaran
perkembangan effort, CPUE tahunan serta gambaran MSY (apakah sudah
pernah terlampaui atau belum). Berikut ini adalah grafik-grafik keluaran untuk
potensi SDI pelagis besar di Cilacap.
0,00
1000,00
2000,00
3000,00
4000,00
5000,00
6000,00
7000,00
1998 1999 2000 2001 2002 2003
TAHUN
EFFO
RT (T
RIP)
Gambar 15 Kecenderungan upaya penangkapan tahunan ikan pelagis besar di
Cilacap.
Secara garis besar, perkembangan effort pada aktivitas penangkapan
ikan pelagis besar yang terjadi di Cilacap cenderung stabil. Upaya penangkapan
terendah terjadi pada tahun 1998. Penurunan upaya penangkapan ikan pelagis
107
besar, kemungkinan disebabkan oleh kelangkaan dan tingginya biaya produksi
untuk melakukan aktivitas penangkapan. Untuk lebih jelasnya, perkembangan
trend effort penangkapan ikan pelagis besar tampak pada Gambar 15. Trend
CPUE perikanan pelagis besar di Cilacap tahun 1998 hingga tahun 2003 tampak
pada Gambar 16. Terlihat bahwa tahun 1998 memiliki nilai CPUE tertinggi.
Berdasarkan nilai koefisien determinasi (R), maka model pendugaan potensi ikan
pelagis besar terpilih adalah model Fox. Hubungan antara effort dan produksi
dapat dilihat pada Gambar 17.
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
1998 1999 2000 2001 2002 2003
TAHUN
CPUE
(TO
N/TR
IP)
Gambar 16 Grafik fluktuasi CPUE tahunan ikan pelagis besar di Cilacap.
1993
1992
1990
1994 1995
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
0 1000 2000 3000 4000 5000
EFFORT (TRIP)
PRO
DU
KSI
(TO
N)
Gambar 17 Hubungan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan ikan pelagis
besar di Cilacap.
108
Potensi SDI Pelagis Kecil di Cilacap Pada Gambar 18, 19 dan 20 ditunjukkan gambaran trend tahunan effort,
CPUE dan posisi MSY pelagis kecil di Cilacap yang merupakan keluaran dari sub
model analisis potensi SDI.
0.00
20000.00
40000.00
60000.00
80000.00
100000.00
120000.00
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
TAHUN
EFF
ORT
(TR
IP)
Gambar 18 Kecenderungan upaya penangkapan tahunan ikan pelagis kecil di Cilacap.
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
TAHUN
CP
UE
(TO
N/T
RIP
)
Gambar 19 Grafik fluktuasi CPUE tahunan ikan pelagis kecil di Cilacap.
Perkembangan effort pada aktivitas penangkapan ikan pelagis kecil yang
terjadi di Cilacap mengalami fluktuasi. Tahun 1998 hingga 2000 effort mengalami
kenaikan, hal tersebut dikarenakan nelayan banyak mengalihkan usaha
penangkapan ke wilayah yang lebih dekat sebagai akibat dari tingginya biaya
109
operasional. Upaya penangkapan tahun 2001 dan 2002 masih tetap tinggi,
namun menurun drastis sejak tahun 2003 hingga 2005. Untuk lebih jelasnya,
perkembangan trend effort penangkapan ikan pelagis kecil tampak pada
Gambar 18. Trend CPUE perikanan pelagis kecil di Cilacap tahun 1998 hingga
tahun 2005 tampak pada Gambar 19. Selanjutnya berdasarkan nilai R, maka
model pendugaan potensi ikan pelagis kecil terpilih adalah model Fox. Hubungan
antara effort dan produksi dapat dilihat pada Gambar 20.
1997
1996
1995
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000
EFFORT (TRIP)
PRO
DU
KSI
(TO
N)
Gambar 20 Hubungan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan ikan
pelagis kecil di Cilacap.
Analisis Potensi SDI Demersal
Pada Gambar 21, 22 dan 23 ditunjukkan gambaran trend tahunan effort,
CPUE dan posisi MSY ikan demersal di Cilacap yang merupakan keluaran dari
sub model analisis potensi SDI. Perkembangan effort pada aktivitas
penangkapan ikan demersal yang terjadi di Cilacap cenderung naik (Gambar 21).
Trend CPUE perikanan demersal di Cilacap tahun 1990 hingga tahun 2003
cenderung stabil (Gambar 22). Terlihat bahwa tahun 2003 memiliki CPUE
tertinggi. Berdasarkan nilai R, maka model pendugaan potensi ikan demersal
terpilih adalah model Fox. Hubungan antara effort dan produksi dapat dilihat
pada Gambar 23.
110
0,00
50000,00
100000,00
150000,00
200000,00
250000,00
300000,00
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
TAHUN
EFFO
RT
(TRI
P)
Gambar 21 Kecenderungan upaya penangkapan tahunan ikan demersal di
Cilacap.
0.00
0.03
0.06
0.09
0.12
0.15
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
TAHUN
CPU
E (T
ON
/TRI
P)
Gambar 22 Grafik fluktuasI CPUE tahunan ikan demersal di Cilacap
20022003
19931991 1992
1990
19981994
19962000 1995 2001
0
1000
2000
30004000
5000
6000
7000
8000
0 50000 100000 150000 200000 250000
EFFORT (TRIP)
PRO
DU
KSI
(TO
N)
Gambar 23 Hubungan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan ikan
demersal di Cilacap.
111
Analisis Potensi SDI Udang
Pada Gambar 24, 25 dan 26 ditunjukkan gambaran trend tahunan effort,
CPUE dan posisi MSY sumber daya udang di Cilacap yang merupakan keluaran
dari sub model analisis potensi SDI.
0,00
20000,00
40000,00
60000,00
80000,00
100000,00
120000,00
140000,00
160000,00
180000,00
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
TAHUN
EFFO
RT (T
RIP)
Gambar 24 Kecenderungan effort tahunan penangkapan udang di Cilacap.
Berdasarkan Gambar 24 terlihat bahwa perkembangan upaya
penangkapan udang sejak tahun 1990 hingga 1995 mengalami kenaikan,
kemudian sedikit menurun tahun 1996 dan naik kembali dan merupakan upaya
penangkapan tertinggi terjadi pada tahun 1997. Pada tahun 1998 perkembangan
upaya penangkapan udang turun dibandingkan tahun 1995-1997, namun pada
tahun 1999-2001 mengalami peningkatan upaya penangkapan. Sementara sejak
tahun 2002 hingga 2003 upaya penangkapan mengalami penurunan.
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
TAHUN
CP
UE (T
ON/
TRIP
)
Gambar 25 Fluktuasi CPUE tahunan udang di Cilacap.
CPUE dapat digunakan untuk memprediksi kelimpahan udang di
perairan. Pada tahun 1992 kelimpahan udang di perairan Cilacap dan sekitarnya
112
masih tinggi, sedangkan pada tahun 1995-1997 kelimpahan udang menurun
drastis. Hal itu karena penambahan jumlah trip yang sangat besar, yaitu 100 621
trip namun produksi udang sedikit, yaitu sebesar 937.1 ton. Tampak di grafik
terdapat penurunan tajam dari tahun 1995-2001, tapi pada tahun 2002 dan 2003
CPUE udang mengalami peningkatan (Gambar 25). Berdasarkan nilai R, maka
model pendugaan potensi udang terpilih adalah model Fox. Hubungan antara
effort dan produksi dapat dilihat pada Gambar 26.
1999
2002
2003
1993
1991
1992
1990
1998
1994
19962000
1995
2001
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
0 20000 40000 60000 80000 100000 120000
EFFORT (TRIP)
PRO
DU
KSI
(TO
N)
Gambar 26 Hubungan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan udang di
Cilacap.
Rekapitulasi Keluaran Sub Model Potensi SDI
Berdasarkan hasil analisis potensi SDI secara umum, tingkat
pemanfaatan SDI masih dibawah potensi lestari yang tersedia, maka peluang
pengembangan perikanan di Cilacap masih terbuka luas. Untuk itu
pengembangan PPSC diarahkan untuk pelayanan kapal-kapal yang melakukan
penangkapan untuk jenis-jenis kelompok ikan pelagis kecil, demersal, dan
udang. Informasi tentang potensi SDI yang ada di Cilacap juga di bandingkan
dengan data potensi SDI WPP 9 yang dikeluarkan oleh KOMNAS KAJIKANLUT
(1998; 2001;2002) dan DJPT (2004). Berdasarkan data dari KOMNAS
KAJIKANLUT (1998; 2001;2002) dan DJPT (2004) pada WPP 9 ikan pelagis
besar pemanfaatannya baru 51.41 %, pelagis kecil 5.04 % ikan demersal 99.78
%, udang 95.70 % (lihat Tabel 1)
Berdasarkan Tabel 33, semua jenis SDI di wilayah ini masih
memungkinkan untuk ditingkatkan produksinya. Sementara berdasarkan Tabel 1
untuk WPP 9 pemanfaatanya menunjukkan trend yang sama dengan hasil
113
analisis di wilayah Cilacap dengan pendekatan Scaefer dan Fox. Untuk kelompok
ikan pelagis besar perlu dilakukan beberapa upaya untuk meningkatkan
pemanfaatan SDI antara lain :
(1) Mengarahkan penangkapan ke perairan lepas pantai dan ZEEI.
(2) Mendorong investor swasta untuk mengembangkan usaha perikanan skala
besar.
(3) Pengembangan industri pengolahan hasil perikanan.
(4) Pengembangan teknologi penangkapan yang mampu melakukan
penangkapan di perairan lepas pantai.
Upaya tersebut diatas perlu didukung dengan adanya PP yang memadai
dan berstandar internasional. Dalam kaitannya dengan potensi SDI yang ada,
maka PPSC perlu mempersiapkan sarana yang sesuai dengan armada
penangkapan yang umum digunakan oleh nelayan untuk masing-masing target
penangkapan. Pengembangan PPSC diarahkan untuk kapal-kapal bertonase
sesuai dengan potensi SDI tersebut.
Tabel 33 Keluaran hasil analisis potensi SDI Cilacap tahun 2005
Komponen Kelompok Ikan MSY
(Ton/tahun)FMSY
(Trip/tahun)
Tingkat Pemanfaatan
(%)
Tingkat Upaya (%)
Nilai R
Schaefer Demersal 13 172.07 109 961.04 25.34 137.02 0.58Udang 9 694.64 60 945.87 25.77 145.27 0.50Pelagis besar 35 613.99 2 327.59 13.43 155.67 0.65Pelagis kecil 2 725.30 47 838.80 4.46 4.43 0.61Fox Demersal 6 710.27 91 930.51 49.75 163.89 0.88Udang 4 068.02 52 797.35 61.42 167.69 0.84Pelagis besar 11 293.41 1 710.79 42.34 211.79 0.85Pelagis kecil 842.07 14 815.82 14.44 14.29 0.89
Pada Tabel 34 tampak informasi yang terkait dengan jumlah hari dalam
trip beberapa alat tangkap. Alat tangkap tuna long line merupakan alat tangkap
yang paling efisien untuk penangkapan kelompok ikan pelagis besar, drift gill net
untuk penangkapan kelompok ikan pelagis kecil, sedangkan untuk penangkapan
demersal dan udang alat tangkap trammel net merupakan alat tangkap yang
paling efisien. Untuk mencapai produksi optimum sesuai jumlah tangkap
diperbolehkan (JTB) atau total allowable catch (TAC) di Cilacap, maka jumlah
armada penangkapan tuna long line yang ideal adalah 165 unit, sedangkan
114
armada drift gill net adalah 308 unit, untuk armada trammel net jumlah yang ideal
untuk sasaran demersal dan udang adalah sebesar 679 unit, sehingga
diperkirakan jumlah armada dan produksi perhari tampak pada Tabel 35.
Tabel 34 Nilai CPUE dan lama trip untuk masing-masing alat tangkap per kelompok ikan
Kelompok Ikan Jenis Alat Tangkap CPUE (Ton/tripdays) Lama Trip (Hari)Pelagis Besar Set Gill Net 0.14 10.00 Drift Gill Net 0.26 10.00 Set Long Line 0.10 45.00 Tuna Long Line 6.76 45.00 Payang 0.06 15.00 Pelagis Kecil Set Gill Net 0.01 10.00 Tuna Long Line 0.01 45.00 Drift Gill Net 0.06 10.00 Set Long Line 0.02 45.00 Pancing lain 0.02 1.00 Payang 0.02 15.00 Dogol 0.01 3.00 Demersal Set Gill Net 0.14 10.00 Set Long Line 0.10 45.00 Trammel Net 0.24 7.00 Dogol 0.03 3.00 Udang Dogol 0.03 3.00 Trammel Net 0.25 7.00
Tabel 35 Prakiraan jumlah kapal dan produksi di Cilacap
Kelompok Ikan Jenis Alat Tangkap GT
Jumlah Kunjungan/hari
(Unit)
Produksi/ hari (Ton)
Pelagis Besar Tuna Long Line >30 GT 6.00 37.49 Pelagis Kecil Drift Gill Net 10- 30 GT 47.00 11.96 Demersal Trammel Net 5-30 GT 82.00 19.74 Udang Trammel Net 5-30 GT 48.00 2.80
Rancangan pengembangan PPSC ditinjau dari potensi SDI
Berdasarkan prakiraan terhadap armada penangkapan yang melakukan
bongkar dan produksi harian di PPSC, maka rencana pengembangan PPSC
ditampilkan pada Tabel 36.
115
Tabel 36 Rincian rencana pengembangan PPSC ditinjau dari potensi SDI
Pengembangan Jenis Fasilitas
Jumlah/ Volume/
Luas Perlu Tidak
Rencana Pengembangan
A. Fasilitas pokok Kolam pelabuhan I 7.74 ha √ Kebutuhan hanya
2.13 ha Kolam Pelabuhan II 11.00 ha √ Kebutuhan hanya
3.69 ha Kedalaman Kolam -3.00 m √ - 3.71 m Dermaga
• Pendaratan 2 bh @ 42.80 m
√ Lebih 227.00 m
• Tambat 8 bh @ 39.40 m
√ 1 334.00 m
B. Fasilitas fungsional TPI I 1 264 m2 √ Menjadi 1 616 m2
TPI II 420 m2 √ Menjadi 1 890 m2 Kebutuhan air tawar 143 m3/hari - Kapal trammel net √ 650 m3/hari - Kapal drift gill net √ 470 m3/hari - Kapal long line √ 120 m3/hari Kebutuhan solar 36 550 L/hari - Kapal trammel net √ 52 000 L/hari - Kapal drift gill net √ 470 000 L/hari - Kapal long line √ 72 000 L/hari Kebutuhan es 912 Balok/hari - Kapal trammel net √ 3 900 Balok/hari - Kapal drift gill net √ 6 110 Balok/hari - Kapal long line √ 2 400 Balok/hari
(2) Sub Model Analisis Prakiraan Aktivitas di PP
Keluaran dari sub model ini antara lain: informasi tingkat kegiatan
perikanan yang meliputi tingkat produksi, jumlah kapal dan nelayan, serta
proyeksi tingkat kebutuhan pelayanan. Berikut akan diuraikan keluaran dari sub
model analisis prakiraan aktivitas di PPSC.
Pendaratan Ikan
Keluaran sub model analisis prakiraan volume produksi di PPSC dapat
dilihat pada Tabel 37. Tampilan grafik prakiraan volume produksi tahunan dan
rata-rata bulanan di PPSC tampak pada Gambar 27 – 36.
116
Tabel 37 Keluaran sub model analisis prakiraan volume produksi di PPSC tahun 2006-2010
Kelompok Ikan Tahun Pelagis
Besar Pelagis
Kecil Demersal Udang Cumi-cumi
2006 1 318.20 299.94 122.70 194.09 99.02 2007 1 323.31 300.10 119.52 201.67 99.03 2008 1 320.75 300.02 121.11 197.88 99.03 2009 1 322.03 300.06 120.31 199.78 99.03 2010 1 321.39 300.04 120.71 198.83 99.03
0.00
500.00
1000.00
1500.00
2000.00
2500.00
3000.00
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
TAHUN
PRO
DUKS
I (TO
N)
Aktual Prakiraan
Gambar 27 Prakiraan produksi ikan demersal.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des
BULAN
PRO
DU
KSI
(TO
N)
Gambar 28 Kecenderungan rata-rata produksi ikan demersal bulanan di PPSC
tahun 1996-2005.
117
0.00
2000.00
4000.00
6000.00
8000.00
10000.00
12000.00
14000.00
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
TAHUN
PR
OD
UKS
I (TO
N)
Aktual Prakiraan
Gambar 29 Prakiraan produksi ikan pelagis besar.
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des
BULAN
PRO
DUK
SI (T
ON
)
Gambar 30 Kecenderungan rata-rata produksi ikan pelagis besar bulanan di
PPSC tahun 1996-2005.
0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
600.00
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
TAHUN
PRO
DUKS
I (TO
N)
Aktual Prakiraan
Gambar 31 Prakiraan produksi ikan pelagis kecil.
118
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des
BULAN
PRO
DUK
SI (T
ON
)
Gambar 32 Kecenderungan rata-rata produksi ikan pelagis kecil bulanan di
PPSC tahun 1996-2005.
0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
600.00
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
TAHUN
PRO
DUK
SI (
TON)
Aktual Prakiraan
Gambar 33 Prakiraan produksi udang.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des
BULAN
PRO
DUK
SI (T
ON
)
Gambar 34 Kecenderungan rata-rata produksi udang bulanan di PPSC tahun
1996-2005.