“SALAT SUNNAH ISTIKHÂRAH DALAM PERSPEKTIF HADIS”
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S, Th.i)
Bahrudin
106034001221
JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M / 1432 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Juni 2011
Bahrudin
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan
semesta alam yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah
memberikan segala nikmat Iman Islam karena atas kehendak dan kuasanya,
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Salat Sunnah Istikharah
Dalam Perspektif Hadis” dengan sebaik-baiknya. Sholawat serta salam tidak
lupa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammmad SAW, suri tauladan dalam
aktivitas kehidupan, serta kepada para keluarga dan sahabatnya.
Dengan penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh
dari kesempurnaan dan tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak baik secara moril maupun materil.
Karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam penulis mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga kepada segenap pihak yang telah membantu
menyelesaikan skripsi ini. Sebagai rasa syukur penulis mengucapkan terima
kasih sedalam-dalamnya kepada :
1. Prof. Dr. Zainul Kamaluddin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Bustamin, M.Si, selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. H. Harun Rasyid, MA., Dosen Pembimbing yang dengan penuh
kesabaran telah banyak memberi semangat dan dorongan serta arahan dalam
membimbing di tengah kesibukan Beliau, sehingga pada akhirnya skripsi ini
menjadi lebih baik dan sempurna.
4. Seluruh Dosen Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang
telah banyak memberikan ilmu dan pembelajaran kepada penulis.
5. Pimpinan dan Seluruh Staf Karyawan Perpusatakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
menyediakan fasilitas berupa sumber-sumber yang berkaitan dengan skripsi
penulis.
6. Ayahanda Drs. Mustafa dan Ibunda Komariah, terima kasih atas segala kasih
sayang, perhatian, pengertian dan motivasinya yang sangat berperan dalam
hidup, semoga Ayahanda dan Ibunda selalu diberi kesehatan, kebahagiaan dan
umur panjang sehingga ananda diberi kesempatan untuk menunjukkan
besarnya cinta ananda pada kalian.
7. Yang tak lupa kekasih tercinta, yang selalu hadir dan mendampingi penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini, yang selalu memberikan masukan,
memberikan waktu tanpa mengenal lelah, letih dan tak lupa selalu
memberikan kasih sayang yang tak ternilai dengan apapun.
8. Sahabatku TH angkatan 2006, khusus nya kawan-kawan yang jomblodet.
Makasih atas kebersamaannya kita saling mengenal, berbagi dan menjalin
persahabatan bahkan persaudaraan.
Mudah-mudahan segala bantuan serta budi baik yang penulis terima selama
menjalani pendidikan mendapatkan ridha dari Allah SWT. Penulis menyadari masih
banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif agar lebih baik lagi.
Akhirnya penulis menyerahkan semuanya kepada Allah SWT. Mudah-mudahan
dapat balasan yang lebih baik. Harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan fikiran dan saran untuk
perkembangan dalam pendidikan khususnya bidang tafsir dan hadis
.
Jakarta, 15 Juni 2011
Bahrudin
Pedoman Transliterasi
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrof ‘ ء
y ye ي
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………. v
TRANSLITERASI …………………………………………………….. viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………. 7
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ………….. 8
D. Metodologi Penelitian ……………………………….. 9
E. Kajian Pustaka ……………………………………..... 10
F. Sistematika Penulisan ……………………………….. 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SALAT
SUNNAH ISTIKHARAH
A. Salat Sunnah
1. Pengertian Salat Sunnah …………………………. 13
2. Macam-macam Salat Sunnah ……………………. 15
3. Fadilah Salat Sunnah ……………………………. 20
B. Salat Sunnah Istikharah
1. Pengertian, Waktu, Hukum, dan Pelaksanaan
Salat Istikharah …………………………………... 25
2. Hajat Apa Yang Dimaksud ……………………… 33
3. Anjuran Salat Istikharah ………………………… 33
4. Syarat-syarat Sebelum Salat Istikharah ………… 34
5. Hikmah Salat Sunnah Istikharah ……………….. 37
BAB III ANALISA KANDUNGAN HADIS TENTANG
SALAT SUNNAH ISTIKHARAH
A. Teks-teks Hadis dalam Al-Kutub Al-Sittah ………… 40
B. Syarah Hadis ………………………………………... 44
C. Pandangan ulama hadis tentang salat Istikharah ……. 56
D. Kandungan Hadis …………………………………… 60
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………. 62
B. Saran-saran ……........................................................ 63
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 65
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibadah dalam Islam bukan semata-mata melaksanakan ritus yang
diwajibkan, tetapi lebih jauh lagi adalah berserah diri sepenuhnya kepada
Allah SWT, melaksanakan kehendak-Nya melalui jalan dan cara yang
ditetapkan-Nya. Ibadah mencakup sekaligus makna sepenuh hati dan
penyembahan yakni, seseorang tidak hanya melaksanakan ritusnya saja,
tetapi juga memahami dan melaksanakan yang terkandung di dalamnya.1
Al-Qur‟an dan hadis sehubungan dengan itu, telah menggambarkan
kepada seluruh umat Islam mengenai taat ibadah kepada Allah SWT, hal ini
dimaksudkan agar dalam pelaksanaannya dilakukan dengan baik dan benar
sesuai dengan kehendak-Nya. Salat adalah salah satu ibadah yang
dimaksudkan, yang tata cara dan ketentuannya telah digariskan lewat syariat.
Ibadah salat memiliki keistimewaan tersendiri sehingga posisinya tidak kalah
penting dengan syahadat. Oleh karenanya, tidak heran bila salat memiliki
konsep yang jelas, tegas dan baik dalam al-Qur‟an maupun hadis, yang
pelaksanaannya tidak cukup hanya dengan memenuhi syarat dan rukun saja.
Salat akan lebih berarti bila nilai yang tertanam di dalamnya dapat
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
1 M. al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, Penerjemah H. M. Rifa‟i, (Semarang :
Wicaksana, 1995), h.10
2
Salat adalah ibadah yang paling awal diwajibkan langsung, yang
diwahyukan oleh Allah SWT, dan diwajibkan tanpa melalui malaikat Jibril.
Salat diwajibkan pada waktu Mi‟raj Nabi Muhammad SAW, berbeda dengan
perintah-perintah yang lain, ketika Allah SWT memerintahkan puasa cukup
dengan menurunkan ayatnya, saat memerintahkan orang yang mampu untuk
melaksanakan haji cukup dengan firman-Nya, waktu Allah SWT
memerintahkan untuk kita membayar zakat juga sekedar menurunkan wahyu-
Nya. Itulah salah satu keistemewaan dari salat.2
Salat bukanlah semata-mata gerakan badan dan bacaan yang hampa dari
makna esensinya, melainkan simbol ajaran hidup dalam kehidupan manusia,
misalnya tentang hakekat keutamaan salat tepat pada waktunya, mengerjakan
bagaimana pentingnya waktu dalam kehidupan, salat dikerjakan dengan
khusyu‟, disini ada pesan tersendiri dalam kesungguhan atau melatih
konsentrasi dalam pekerjaan.
Tak ada satupun yang lebih dipentingkan oleh al-Qur‟an selain salat, al-
Qur‟an mengatakan kewajiban salat dengan berbagai susunan kata-kata
dengan perintah yang tegas, memuji-muji orang salat dan mencela orang
yang meninggalkannya. Supaya kita dapat memahami bahwa salat itu tiang
agama.3
2 Dewan Hisbah Persatuan Islam, Risalah Salat, (Bandung : PT Remaja Rosda,
1996), Cet ke-1, h.74
3 Abu Muhammad Izzudin, Salat Tiang Agama, (Malaysia : Percetakan Ja‟far sdn,
1996), Cet 1, h.38
3
Salat merupakan ibadah paling utama yang membuktikan ke-Islaman
seseorang, dan untuk mengukur keimanan seseorang dapat dilihat dari
kerajinan dan keikhlasan dalam mengerjakan salat. Islam memandang salat
sebagai tiang agama dan intisari Islam terletak dalam salat. Sebab dalam
salat terkumpul seluruh rukun agama. Didalam salat terdapat ucapan
“syahậdataỉn”, kesucian hati terhadap Allah SWT, agama dan manusia.
Salat merupakan rukun Islam yang terbesar dan absolute. Karena
besarnya kedudukan dan posisi salat, maka ia tidak boleh ditinggalkan oleh
seorang Muslim bagaimanapun kondisinya, kecuali bagi mereka yang
kewajiban salatnya telah gugur, seperti orang hilang akal, serta wanita haid
dan nifas. Salat wajib dilakukan baik orang sakit, sehat, fakir, kaya dalam
kondisi takut, aman dan lain-lain.
Selain salat fardu Nabi Muhammad SAW. juga melakukan salat
sunnah, salat itu dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT, dan mengharapkan tambahan pahala. Salat sunnah
banyak macamnya, diantaranya ada yang disunnahkan berjamaah dan ada
pula yang tidak disunnahkan berjamaah. Salat sunnah dianjurkan dalam
beribadah kepada Allah SWT,4 sebagaimana di bawah ini :
4 Muhammad Rifa‟i, Fiqih Islam lengkap, (Kuala Lumpur : Pustaka Jiwa, 1996),
h.195
4
“Menceritakan kepada kami „Alȋ bin Nasir bin „Alȋ al-Juhdamȋ
menceritakan kepada kami Sahl bin Hammâd menceritakan kepada kami
Hammâm berkata : menceritakan kepada kami Qatâdah dari al-Hasan dari
Huraĩts bin Qobȋ sah berkata : Aku mendengar Abȋ Huraȋ rah berkata :
Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya amalan-
amalan manusia yang mula-mula dihisab pada hari kiamat ialah salat.
Jika salatnya sempurna dicatatlah beruntung dan lulus, dan jika terdapat
sesuatu kekurangan Allah berfirman pula : periksalah, apakah hamba-Ku
mempunyai amalan salat sunnah? Jika ia mempunyai amalan salat sunnah
lalu Allah berfirman : sempurnakan salat fardu hamba-Ku yang kurang
dengan salat sunnahnya kemudian diperhitungkan amalan-amalan itu
dengan cara demikian”. (HR. al-Tirmidzȋ )
Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang sangat lemah, mereka
sangat membutuhkan bantuan dari Allah Ta‟ala dalam semua urusan mereka.
Hal itu karena dia tidak mengetahui hal yang ghaib sehingga dia tidak bisa
mengetahui mana amalan yang akan mendatangkan kebaikan dan mana yang
akan mendatangkan kejelekan bagi dirinya. Karenanya, terkadang seseorang
hendak mengerjakan suatu perkara dalam keadaan ia tidak mengetahui akibat
yang akan lahir dari perkara tersebut atau hasilnya mungkin akan meleset dari
perkiraannya. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW mensyariatkan adanya
5 Muhammad bin „Isậ bin Sûrah bin Mûsậ bin al-Dahhak al-Sulam ȋ al-Bugȋ al-
Tirmidzȋ , Sunan al-Tirmidzȋ , Kitab al-Salah, bab Mậ Ja’a anna awwalu mâ yuhasabu
bihi al’abdu yaûmal qiyậmati al-Salah, Juz.1, (Beirut: Dậr al-Fikr, t. th), h.421
5
Istikhậrah yaitu permintaan kepada Allah agar berkenan memberikan
hidayah kepadanya menuju kepada kebaikan. Yang mana doa Istikhậrah ini
dipanjatkan kepada Allah setelah dia mengerjakan salat sunnah dua rakaat.
Allah berfirman dalam surat al-Qashash ayat 68-70
Artinya: “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan
memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha
Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan
(dengan Dia). Dan Tuhanmu mengetahui apa yang
disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka
nyatakan. Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan
di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan Hanya
kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (Q.S. al-Qasas:68-70)
Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubî berkata, “Sebagian ulama
mengatakan ”Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk mengerjakan sesuatu
urusan dari urusan dunia kecuali setelah dia meminta pilihan kepada Allah
dalam urusan tersebut”. Yaitu dengan salat dua rakaat salat Istikhârah.
Menurut Abû Ubaidah Masyhûr ibn Hasan Mahmûd ibn Salmân
menyatakan bahwa para ulama sepakat sesungguhnya orang yang
beristikhârah melakukan apa yang menjadi kelapangan atau kemantapan
dalam hatinya, bukan sekedar melalui mimpi atau orang lain, sebab ia
6
berdo‟a kepada Allah melalui salat, sedangkan salat itu sendiri adalah do‟a
yang dengannya Allah memilihkan sebuah kebaikan dari setiap urusan,
kemudian menyempurnakannya.6
Jika Allah memberikan kelapangan dada dan kemantapan hati maka
Allah memberikan pula kemudahan untuk mendapatkan kebaikan, yang
akhirnya berbuah ridha dan bahagia. Akan tetapi, jika hal itu adalah hal yang
tidak dikehendaki, ketahuilah bahwa sesungguhnya itu juga sebuah kebaikan,
dia harus ridha dengan setiap ketentuan-Nya.7
Yang selama ini yang kita tahu bahwa jika seseorang mengalami
kegundahan dalam memilih sesuatu antara dua hal, yang mana kita ingin
mengetahui diantara kedua hal ini, yang lebih baik kita kerjakan terlebih
dahulu, maka dengan adanya hal tersebut masyarakat meyakini bahwa
dengan Istikhậrah kita akan mendapatkan yang lebih baik.
Salat Istikhậrah akan memberikan kita inspirasi untuk sampai kepada
keputusan yang membahagiakan itu. Kecemasan dan kegalauan akan
dikendurkan melalui istikhậrah. Rupanya, salat ini diciptakan agar kita
mengalami flow dari masalah yang sedang meruwetkan. Begitu pikiran
6 Masyhûr ibn Hasan Mahmûd ibn Salmân, Al-Qaulu al-Mubĭn Akhtâ’I al-
Muslim, (Bandung: Pustaka Azzam, 2000), h. 63
7 Muhammad Abu Ayyash, Keajaiban Salat Istikhậrah, (Jakarta: Qultum Media,
2008), h. 53-55
7
dipenuhi kebimbangan akan satu masalah atau kebingungan memilih jalan ini
atau itu .8
Dalam salat Istikhârah terdapat perbedaan mengenai jumlah rakaatnya
dikemukakan para ulama hadis dan fiqh tentang pendapatnya berdasarkan
nash yang sama. Sehingga timbul perbedaan mengenai salat Istikhârah dalam
perspektif hadis dan fiqh.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji sebuah
penelitian dengan judul “SALAT SUNNAH ISTIKHÂRAH DALAM
PERSPEKTIF HADIS”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengkaji atau meneliti suatu permasalahan tentunya tidak terlepas dari
pembatasan dalam berbagai aspek terkait dengan permasalahan tersebut.
Untuk lebih mengarahkan penulisan dalam skripsi ini, penulis perlu
memberikan pembatasan dalam penelitian, yaitu :
1. Hadis yang akan penulis teliti adalah hadis-hadis yang termaktub dalam
al-Kutub al-Sittah tentang salat sunnah istikhậrah.
2. Syarah hadis Ibnu Hajar al-Asqalânî
3. Pandangan ulama hadis tentang salat sunnah istikharah
Dengan adanya pembatasan di atas, penulis mengarahkan
pembahasan ini dengan rumusan masalah yang akan menjadi bahasan
dalam skripsi adalah Bagaimana pemahaman Ibnu Hajar al-Asqalânî
8 Qomaruzzaman Awwab, Istikhậrah for Muslimah, (Bandung: DAR! Mizan, 2008),
h.16
8
tentang salat sunnah istikhậrah dalam kehidupan sehari-hari menurut hadis
Nabi SAW?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian dari skripsi ini di bagi pada dua hal yaitu:
a. Tujuan Akademis
Secara akademis tujuan penelitian ini adalah sebagai syarat meraih
gelar sarjana (S1), serta pengembangan dan sumbangan terhadap
hazanah perkembangan ilmu hadis khususnya di Indonesia.
b. Tujuan Umum
Adapun secara umum ialah menjadi bahan wacana terhadap
pengembangan hazanah keilmuan di bidang hadis, juga untuk
mengetahui bagaimana pemahaman Îbnu Hajar al-Asqalânî tentang
salat sunnah istikhậrah dalam kehidupan sehari-hari.
2. Manfaat penelitian ialah memberikan pemahaman tentang maksud hadis-
hadis yang membahas salat Istikhậrah serta menggambarkan pemahaman
tentang salat Istikhậrah itu sendiri dari sudut pandang hadis dan
ungkapan para ulama fiqih. Agar tidak terjebak dalam pemahaman yang
salah karena kurangnya pengetahuan akan hadis.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Penulis memakai metode penelitian dalam skripsi ini adalah metode
penelitian pustakaan (library research) artinya data-datanya berasal dari
sumber keperpustakaan, baik berupa buku-buku, jurnal, ensiklopedi, dan
9
sebagainya, termasuk juga data primer seperti kitab-kitab hadis, maupun data
sekunder, seperti data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji
dalam skripsi ini.
2. Metode Pembahasan
Pembahasan ini pada dasarnya adalah analisa hadis, yaitu studi objek
kajiannya adalah hadis-hadis Nabi SAW. Yang dalam hal ini berkaitan erat
dengan masalah salat sunnah istikharah sebagai studi hadis, studi ini
menggunakan metode pencarian hadis, artinya pembahasan ini berupaya
mencari hadis-hadis yang berkaitan dengan salat sunnah istikharah, kemudian
mengemukakan hadis-hadis yang berkaitan dengan salat sunnah dan
macamnya, setelah itu baru dianalisis kandungan hadis-hadis tersebut.
3. Metode penulisan
Adapun penulisan skripsi merujuk kepada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang disusun oleh Tim UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta9 dengan beberapa pengecualian:
1. Kutipan ayat Al-Qur‟ân tidak diberi catatan kaki dan terjemahannya
diambil dari “Al-Qur‟ ân dan terjemah” yang diterbitkan oleh
Departemen Agama R.I., Jakarta, Proyek Pengadaan.
2. Kutipan yang menggunakan ejaan yang lama diganti dengan ejaan yang
disempurnakan (EYD) kecuali nama orang/pengarang.
9 Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah(Skripsi, Tesis dan
Disertasi), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: CeQda, 2007), cet. Ke-2
10
E. Kajian Pustaka
Berdasarkan hasil pengamatan dan studi di Perpustakaan telah
ditemukan beberapa penelitian sebelumnya. Adapun review studi terdahulu
yang penulis telah kaji adalah:
1. Salat Fajar dalam al-Kutub al-Sittah: Sebuah Kajian Tematik Hadis, ditulis
Oleh Bambang Triatmojo Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2007.
Skripsi diatas menjelaskan waktu dan di anjurkannya salat fajar.
2. Fadilah Salat Sunnah Rawatib dalam Perspektif Hadis, ditulis Oleh
Fitriyah Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2006.
Tema tentang salat banyak dibahas, namun dalam judul berbeda-beda
diantaranya tentang salat sunnah rawatib, dalam skripsi tersebut
menjelaskan tentang fadilah salat sunnah rawatib dan fungsinya. Skripsi
tersebut didapat dari perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Keajaiban Salat Istikhârah, ditulis oleh Muhammad Abu Ayyash
diterbitkan oleh Qultum Media Tahun 2008.
Salat Istikharah ditulis oleh Moh. Rifa‟i.
Buku ini menjelaskan akan fadilah dan hikmah salat sunnah Istikharah
menurut ulama Fiqh.
11
Secara khusus penulis berbeda dengan skripsi dan buku di atas, karena
skripsi ini lebih menjelaskan akan kaîfiyah salat Istikharah daripada fadilah-
nya.
F. Sistematika Penulisan
Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi
dalam penulisan skripsi ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam
sistematika penulisan.
Secara garis besar skripsi ini terdiri dari empat bab. Setiap bab dibagi
menjadi sub bab, dan setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing
yang antara satu dan lainnya saling berkaitan.
Pada bab pertama, merupakan pendahuluan yang di dalamnya
dijelaskan tentang latar belakang munculnya permasalahan penelitian ini.
Setelah itu permasalahan yang muncul dibatasi dan menetapkan
permasalahan yang menjadi masalah utama serta arti penting dan manfaat
yang ingin dicapai dalam penelitian ini bagi studi Islam.
Karena penelitian ini bersifat ilmiah maka diadakan tinjauan pustaka
dengan tujuan untuk memposisikan studi ini diantara studi-studi terkait
lainnya yang pernah dilakukan atau searah dengan penelitian ini. Kemudian
diuraikan metode penelitian yang akan penulis pakai untuk menyelesaikan
penelitian ini. Dan pada pembahasan terakhir dari bab pertama ini, penjelasan
mengenai sistematika pembahasan.
Kemudian Pada bab kedua, memaparkan tentang salat sunnah dan salat
istikharah, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui bahwa salat istikharah
12
adalah termasuk salat sunnah. Dan juga untuk mengetahui pandangan dari
para ulama hadis dan ulama fiqh akan letak perbedaan kedua pendapat
tersebut.
Kemudian pada bab ketiga, bab ini merupakan analisa hadis. Pada
bagian ini dikumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah
beserta syarah hadis Ibnu Hajar al-Asqalânî. Hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui pemahaman Ibnu Hajar al-Asqalânî tentang salat Istikharah
tersebut. Dengan demikian akan ditemukan sebuah kesimpulan yang akan
dipaparkan dalam bab keempat yang juga merupakan penutup.
13
BAB II
SALAT SUNNAH ISTIKHÂRAH
A. Salat Sunnah
1. Pengertian Salat Sunnah
Sesungguhnya salat sunnah itu merupakan saham pelaburan-
pelaburan yang akan mendatangkan keuntungan yang banyak kepada
pengamalnya di samping salat wajib yang merupakan simpanan tetap.10
Diantara sejumlah keutamaan umat Nabi Muhammad SAW, bahwa
Allah SWT menganugerahkan pahala yang besar kepada orang yang
mengamalkan salat-salat nafilah di rumah, bahkan oleh Rasulullah SAW itu
disebut sebagai nur (cahaya). Mengenai hal itu beliau mengatakan bahwa
salat nafilah yang dilakukan orang di rumahnya adalah cahaya terang. Karena
itu hendaklah rumah kalian dengan cahaya itu.
Yang dinamakan cahaya terang ialah cahaya yang menerangi hati agar
dalam khalwat-nya (kesendiriannya di rumah) hati orang yang bersangkutan
lebih merasa tunduk dan khusu’ terhadap Allah SWT, dengan demikian ia
tidak menjadi lengah bahkan lebih mesra hubungan antara seorang hamba
dengan Tuhannya, ia dapat mengutarakan bisikan hatinya kepada Allah SWT
hingga ia benar-benar merasakan betapa agungnya kebesaran Allah SWT. Ia
akan merasa betapa rendah dan hinanya ia berada di hadapan Allah SWT.
10
Abdul Ghani Azmi bin Idris, Pedoman Salat-salat Sunnah, (Kuala lumpur : Dârul
Nu‟mân, 1996), Cet.2, h. 29
14
Menganjurkan agar orang mengamalkan salat-salat nafilah di rumah dengan
maksud agar rahmat Allah SWT melambai-lambai di atasnya lalu meratakan
cahaya iman terang benderang. Selain itu juga dimaksudkan agar orang seisi
rumah itu merasakan kedekatan terhadap Allah SWT. Semua fadĩlah yang
diberikan Allah SWT itu patut dipuji dan disyukuri sebagai nikmat yang
dilimpahkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya. Seseorang dari kalian
jika telah menunaikan salatnya di masjid hendaknya ia mengamalkan salat-
salat nafilahnya agar di rumahnya memperoleh bagian dari salatnya. Allah
akan menjadikan sebagian dari salatnya itu sebagai kebajikan rumahnya.11
Allah akan merahmati rumah yang di dalamnya terdapat ketaatan
kepada Allah SWT. Zikir, ibadah, tasbih dan membaca al-Qur‟an sama
dengan tempat bernaungnya orang-orang yang salat. Rumah yang suasananya
demikian itu penuh kesejahteraan dan keridhaan. Sedangkan rumah yang
kosong dari zikir dan tidak mengingat Allah SWT, maka rumah itu akan
tandus, gersang dan bobrok. Rumah yang penghuninya seperti itu jauh dari
suasana tentram, bahkan penuh dengan hawa nafsu amarah yang diliputi
dengan kedengkian dan kedurhakaan. Di dalam rumah seperti itu setan-setan
berpesta pora, lain halnya dengan rumah yang di dalamnya disebut-sebut
keagungan Allah SWT (zikrullah).
Disamping itu juga terdapat fadilah dalam mengerjakan salat sunnah
yang dilakukan di rumah dibandingkan melakukan salat sunnah di depan
orang banyak. Seseorang yang melakukan salat sunnah di rumah lebih
11
Abdul Ghani Azmi bin Idris, Pedoman Salat-salat Sunnah, Cet.2, h. 30
15
banyak mendatangkan rahmat Allah SWT dan terhindar dari kemungkinan
timbulnya kemunafikan dan jauh dari mata orang-orang yang memujinya,
sedangkan jika kita melaksanakan salat sunnah di depan banyak orang dapat
membangkitkan perasaan riya dan pujian orang lain.
2. Macam-macam Salat Snnah
Salat sunnah terbagi dua macam, yaitu :12
1. Salat Mutlaq
Dalam salat sunnah mutlaq ini, cukuplah seseorang berniat saja.
Jika ia melakukan salat sunnah dan tidak menyebutnya berapa raka‟at
yang akan dikerjakan dalam salatnya itu, ia boleh mengucapkan salam
pada satu raka‟at atau lebih, berapapun jumlahnya baik pada raka‟at
ganjil atau pada raka‟at genap.
2. Salat Muqayyậd
Salat muqayyậd terbagi menjadi dua macam :
a. Yang disyariatkan sebagai salat-salat sunnah yang mengikuti salat
fardu yang disebut salat sunnah rawatib. Seperti salat sunnah zuhur
dan sebagainya.
Beberapa pendapat tentang salat sunnah rawatib menurut para
ulama, yaitu :
Menurut Mazhab Syafi’iyah, salat sunnah rawatib ada sebelas
raka‟at, yaitu dua raka‟at sebelum subuh, dua raka‟at sebelum zuhur dan
12
Muhammad Jawad Mugniyah, al-Fiqh ‘alâ al-Madzahib al-Khamsah, (Beirut :
Dâr al-Jawad), h.72
16
dua raka‟at sesudahnya. Dua raka‟at setelah maghrib dan dua raka‟at
setelah isya‟.
Menurut Mazhab Hanbali, sepuluh raka‟at, yaitu dua raka‟at
sebelum dan sesudah zuhur, dua raka‟at sesudah maghrib, dua raka‟at
setelah isya‟ dan dua raka‟at sebelum salat subuh.
Menurut Mazhab Hanafiyah, salat rawatib itu terbagi menjadi
kepada sunnah masnunah dan salat sunnah mandudah.13
Salat
masnunah ada lima salat, yaitu: dua raka‟at sebelum subuh, empat
raka‟at sebelum zuhur dan dua raka‟at setelahnya selain hari jum‟at, dua
raka‟at setelah maghrib dan empat raka‟at setelah isya‟. Sedangkan
salat-salat yang mandudah ada empat salat, yaitu empat raka‟at sebelum
aşar, dan kalau mau dua raka‟at saja, enam raka‟at setelah maghrib,
empat raka‟at sebelum isya‟ dan empat raka‟at setelahnya.
Menurut Mazhab Mâlikiyah, untuk salat-salat sunnah rawatib
tidak ada batas tertentu dan tidak ada pula jumlah khusus, hanya yang
paling utama adalah empat raka‟at sebelum zuhur dan enam raka‟at
setelah maghrib.
13
Mazhab Hanafiyah mempunyai istilah-istilah tentang apa yang wajib
dikerjakannya dan yang tidak boleh ditinggalkannya, yang sama dibagi dua, yaitu : fardu
apabila perbuatan itu ditetapkan berdasarkan dalil qat’I (pasti), seperti al-Qur‟an, hadis
yang mutawattir dan ijma‟. Kedua, wajib apabila ditetapkan berdasarkan dalil Danni
(perkiraan), seperti qiyas dan hadis yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan
perbuatan yang lebih baik (kuat) untuk dikerjakannya dari pada ditinggalkan di bagi
kedalam dua bagian juga, yaitu masnun : perbuatan yang dilakukan oleh Nabi,
Khulafa’ur Rasyidîn, yang kedua mandud, perbuatan yang diperintahkan oleh Nabi tetapi
tidak bisa dilakukan oleh beliau sendiri. Juga perbuatan yang wajib ditinggalkannya dan
tidak boleh dilakukannya, kalau ia ditetapkan berdasarkan dalil qat’I (pasti), maka
perbuatan yang dilarang itu adalah haram. Bila perbuatan yang ditetapkan berdasarkan
dalil Danni (perkiraan), maka larangan tersebut adalah makruh yang mendekati haram.
17
Menurut Mazhab Imâmiyah, salat rawatib itu setiap hari ada tiga
puluh empat raka‟at, yaitu : delapan raka‟at sebelum zuhur, delapan
raka‟at sebelum aŝar, empat raka‟at sesudah maghrib dan dua raka‟at
sesudah isya‟, tetapi dua raka‟at yang terakhir ini (dua raka‟at sesudah
isya‟) dilakukan sambil duduk, dan ia hitung satu raka‟at serta
dinamakan salat witir, dan delapan raka‟at salat malam, dua raka‟at
untuk meminta syafa’at, satu raka‟at untuk witir14
dan dua raka‟at untuk
salat subuh, yang dinamakan salat fajar.
Salat sunnah rawatib terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Salat Sunnah Muakkad (sangat dianjurkan)
Salat sunnah muakkad adalah salat sunnah yang sering
dikerjakan Rasulullah dan jarang sekali ditinggalkan. Salat sunnah
rawatib yang muakkad terdiri dari sepuluh raka‟at, yaitu: dua
raka‟at sebelum subuh, dua raka‟at sebelum dan sesudah zuhur, dua
raka‟at sesudah maghrib dan dua raka‟at sesudah isya‟.
2. Salat Sunnah Ghairu Muakkad
Salat sunnah ghairu muakkad adalah salat sunnah yang
jarang dikerjakan dan yang sering ditinggalkan. Yaitu dua raka‟at
sebelum salat zuhur dan raka‟at sesudahnya. Jadi, salat sunnah
zuhur yaitu empat raka‟at sebelumnya dan empat raka‟at
sesudahnya ; dua raka‟at penting, sedangkan dua raka‟at lagi kurang
14
Salat witir menurut Hanafiah ada tiga rakaat dengan satu salam. Waktunya
berlaku mulai tenggelamnya syafaq ahmar (awan merah ) sampai terbitnya fajar.
18
penting. Empat raka‟at sebelum Asar dan dua raka‟at sebelum
maghrib.15
Sabda Rasulullah SAW :
“Menceritakan kepada kami Abû Bakar Muhammad bin Ishaq al-
Baghdâdȋ , menceritakan kepada kami „Abdullâh bin Yûsuf al-Tinĭsĭ
al-Sya‟mĭ, menceritakan kepada kami al-Hārits bin Humȋ d,
memberitahukan kepadaku al-„Alậ yaitu Ibn al-Hârits dari al-Qâsim
Abĭ „Abdurrahmân dari „Anbasah bin Abĭ Sufyân, berkata : Aku
mendengar saudara perempuanku Ummî Habîbah istri Rasulullah
SAW berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :”Siapa
orang yang mengerjakan salat empat raka‟at sebelum zuhur dan empat
raka‟at sesudahnya, Allah mengharamkan api neraka baginya”.(HR.
al-Tirmidzĭ).
Sabda Rasulullah SAW :
15 Sulaiman Rasjid, Fiqhul Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2006), Cet.
Ke-36, h. 144-145
16
Muhammad bin „Isậ bin Sûrah bin Mûsậ bin al-Dahhak al-Sulam ȋ al-Bugȋ
al-Tirmidzȋ , Sunan al-Tirmidzȋ , Juz.1, (Beirut: Dậr al-Fikr, t. th), h.213
19
“Menceritakan kepada kami Yahâya bin Mûsậ dan Mahmûd bin
Ghaȋ lận dan Ahmad bin Ibrahîm al-Dauraqĭ, mereka berkata :
Menceritakan kepada kami Abû Dâwud al-Tayalisî menceritakan
kepada kami Muhammad bin Muslim bin Mihran kakeknya mendengar
dari Ibn „Umar, Nabi SAW bersabda:“Allah memberi rahmat kepada
seorang manusia yang salat empat raka‟at sebelum asar”.(HR. al-
Tirmidzĭ)
b. Yang terkait dengan waktu tertentu, seperti : salat sunnah duha, witir dan
lain sebagainya.
Salat sunnah tatawwu adalah salat duha yang hukumnya
sunnah. Waktunya dimulai sejak matahari sudah naik kira-kira
sepenggalah sampai dengan tergelincir. Tetapi yang lebih utama
ialah dikerjakan sesudah lewat seperempat siang hari.
Zaîd bin Arqam meriwayatkan yang artinya :
“Rasulullah keluar menuju penduduk Qubâ yang sedang
mengerjakan salat duhâ, lalu katanya : salat Awwabin (salat yang
kembali kepada Allah) ialah salat yang dilakukan di waktu anak-
17 Muhammad bin „Isậ bin Sûrah bin Mûsậ bin al-Dahhak al-Sulam ȋ al-Bugȋ
al-Tirmidzȋ , Sunan al-Tirmidzȋ , Juz.2, h.276
18
Muhammad bin „Isậ bin Sûrah bin Mûsậ bin al-Dahhak al-Sulam ȋ al-Bugȋ
al-Tirmidzȋ , Sunan al-Tirmidzȋ , Juz.1, h. 113
20
anak unta bangkit Karena kepanasan waktu duha. (HR. al-
Tirmidzĭ).
Selain sunnah duhâ, yang termasuk salat tatawwu adalah
salat witir yang terikat dengan waktu, hukumnya adalah sunnah
muakkad. Menurut Mazhab Hanafiah, witir adalah wajib, dan yang
dimaksud dengan wajib disini adalah fardu „amâlî suatu kewajiban
yang bersifat perbuatan, bukan keyakinan : dalam arti orang yang
mengingkarinya tidak dianggap kafir.
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abŭ Basrah :
“Menceritakan kepada kami „Alĭ bin Ishâq menceritakan kepada kami
„Abdullah- yaitu „Ibn al-Mubārak- memberitahukan kepada kami Sa‟ĭd bin
Yazĭd menceritakan kepadaku Ibn Hubairah dari Abĭ Tamĭm al-Jaisyānî,
„Umar bin al-„As berkata : sesungguhnya Ayah Basrah menceritakan
kepadaku bahwa Rasulullah SAW bersabda :”Allah telah menambahkan
kepadamu suatu salat, yakni witir. Karena itu, kerjakanlah salat itu di
antara salat isya‟ sampai dengan salat fajar”. (HR. Ahmad)
3. Fadilah Salat Sunnah
Salat sunnah memiliki banyak fadĭlah atau keutamaan. Berbagai
keutamaan tersebut merupakan bagian dari ungkapan kasih sayang Allah
19
Abdullah Ibn Muhammad Ibn Hanbâl, Musnad Ahmad Ibn Hanbâl, Juz 9, no.
23912, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1991/1411), hal. 225
21
terhadap hamba-hamba-Nya yang gemar beribadah dan mendekatkan diri
kepada-Nya dengan mendirikan salat-salat sunnah selain salar fardu. Diantara
keutaman-keutamaan salat sunnah adalah :20
1. Menyempurnakan Nilai Salat Fardu
Untuk memperbaiki nilai salat fardu yang dilaksanakan kurang
sempurna, maka Allah SWT memberikan solusi yakni salat sunnah.
Salat sunnah ini, khususnya salat sunnah rawatib dapat menjadi
penyempurna salat fardu kita.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Menceritakan kepada kami „Alĭ bin Nasĭr bin „Alĭ al-Juhdamî
menceritakan kepada kami Sahl bin Hammâd menceritakan kepada
kami Hammâm berkata : menceritakan kepada kami Qatâdah dari al-
Hasan dari Harĭts bin Qubaidah berkata: Aku mendengar Abĭ Hurairah
berkata Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya
amalan manusia yang mula-mula dihisab pada hari kiamat ialah salat.
20
Firdaus Wajdi, Salat Sunnah Favorit Nabi, (Jakarta : Alifbata, 2006), Cet.1, h. 3
21 Muhammad bin „Isậ bin Sûrah bin Mûsậ bin al-Dahhak al-Sulam ȋ al-Bugȋ al-
Tirmidzȋ , Sunan al-Tirmidzȋ , Juz.1, h.322
22
Jika salatnya sempurna dicatatlah sempurna, dan jika terdapat sesuatu
kekurangan Allah berfirman pula : periksalah, apakah hamba ku
mempunyai amalan salat sunnah? Jika ia mempunyai amalan salat
sunnah lalu Allah berfirman : sempurnakanlah salat fardu hambaku
dengan salat sunnahnya. Kemudian diperhitungkan amalan-amalan itu
dengan cara demikian. (HR. Al-Tirmidzĭ)
2. Mengurangi Dosa yang Telah Lalu
Banyak dosa-dosa kecil yang tidak sengaja kita lakukan dalam
aktivitas kita sehari-hari. Dengan membiasakan diri untuk melaksanakan
salat sunnah maka dosa-dosa tersebut dapat dikurangi. Hal ini
diinformasikan melalui hadis Nabi Muhammad SAW :
“Menceritakan kepada kami Abŭ „Âmir menceritakan kepada kami
Hisyâm yaitu Ibn Sa‟ad dari Zaĭd yaitu Ibn Aslam dari „Atâ bin Yasâr
dari Zaĭd bin Khâlid al-Juhanî bahwa Rasulullah SAW bersabda: siapa
yang berwudu dan ia membaguskan wudunya kemudian salat (sunnah)
dua raka‟at ia tidak lupa/lalai akan keduanya maka Allah ampuni dosa-
dosanya yang telah lalu”.(HR. Ahmad)
22
Abdullâh Ibn Muhammad Ibn Hanbâl, Musnad Ahmad Ibn Hanbâl, Juz 8, hal. 365
23
3. Mengangkat Derajat
Allah SWT mengangkat derajat hamba-hamba-Nya yang
melaksanakan salat-salat sunnah dengan rutin disertai niat ikhlas
beribadah kepada Allah.23
4. Mendapatkan Rumah di Surga
Dalam sebuah hadis dikatakan :
“Menceritakan kepada kami Muhammad bin „Abdullâh bin Numaîr,
menceritakan kepada kami Abû Khâlid yaitu Sulaîmân bin Hayyân dari
Dâwud bin Abî Hindi dari al- Nu‟mân bin Sâlim dari „Amr bin Aûs,
berkata : Menceritakan kepadaku „Anbasah bin Abĭ Sufyân ketika
beliau dalam keadaan sakit, berkata : aku mendengar Ummi Habîbah, ia
berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda Ummu Habîbah
berkata : aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : siapa yang salat
12 raka‟at dalam sehari semalam akan dibangun baginya sebuah rumah
di surga”.(HR. al-Bukhârî)
Adapun manfaat salat sunnah secara umum untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT dan menjadikan sipelakunya sebagai orang-orang yang
dicintai-Nya. Meningkatkan derajat dan martabat serta menjernihkan akal
23 Firdaus Wajdi, Salat Sunnah Favorit Nabi, h. 5
24
Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al- Bukhârî, Juz 4, (Beîrût: Dâr al-
Fikr, 1995), h. 154
24
pikiran dan untuk mencegah dari perbuatan yang keji dan munkar.
Sebagaimana yang diterangkan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya surat
al-Ankabut ayat 45 :
Artinya: “Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al
Kitab (Al-Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.
dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih
besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Ankabut : 45)
Allah SWT memberi petunjuk kepada kita terutama kepada umatnya
kepada jalan yang lurus bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang lebih tawar
atau manis bagi seorang manusia melebihi dari bermunajat kepada Tuhannya
berdiri dihadapan-Nya dan dekat dengan Tuhannya.
Seorang manusia ketika melanggengkan makan dengan satu menu
makanan maka dengan segera ia merasakan bosan meskipun kenikmatan
makanan itu sangatlah nikmat. Adapun jika berganti-ganti dari satu menu ke
menu yang lainnya, maka ia akan menemukan kenikmatan menyantap tanpa
ada rasa bosan, inilah sesuatu yang hampir menjadi tabi‟at bagi semua
manusia karena itulah Allah menganjurkan salat sunnah (nafilah) baik
sebelum ataupun sesudah salat wajib agar ia dapat berganti-ganti dari salat
fardu yang telah diwajibkan. Agar itu semua menjadi faktor pendorong untuk
lebih giat lagi menunaikan salat wajib dengan hati yang ikhlas tanpa ada
paksaan dan rasa bosan.
25
Ada hikmah yang lain lagi yaitu bahwa salat wajib yang telah
ditetapkan kepada manusia untuk dikerjakan pada saat melakukannya hati
diharuskan untuk dapat menjadi seperti cermin yang tercetak di dalamnya
hal-hal yang dapat dilihat sesuai dengan gambar alaminya. Sedangkan salat
sunnah yang dilakukan sebelum salat wajib itu menjadi seperti
kemengkilapan bagi hati sampai ia mengerjakan salat fardu. Setelah
melakukan salat sunnah kotoran-kotoran dan noda was-was serta segala
urusan dunia yang mengganggu pada hatinya itu akan hilang. Ia pun akan
dapat sepenuhnya menghadapkan untuk bermunajat kepada Tuhannya dan
bersih hatinya dari semua yang selainnya.
B. Salat Istikharah
1. Pengertian, Waktu dan Hukum Salat Istikhârah
a. Pengertian Salat Istikharah
Istikharah secara bahasa dari kata خار– خير ت- اختاره artinya
“memilih” atau “ minta dipilihkan”. Ketika ada tambahan huruf Alif, Sĩn
dan Ta menjadi طلب الخيرة– استخار maka dalam tata bahasa Arab berubah
menjadi mencari pilihan.25
Menurut istilah salat sunnah Istikhârah ialah salat sunnah dua
raka‟at untuk memohon kepada Allah ketentuan pilihan yang lebih baik
diantara dua hal atau lebih yang belum jelas ketentuan baik buruknya.26
25 Ahmad Marson Munawwir, Kamus Lengkap al-Munawwir Arab Indonesia,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. Ke-14, h. 32
26 M. Abdul Mujib dan Mabrur Tholhah. Said, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta, Pustaka
Firdaus, 1995), h. 132
26
Arti Istikhârah menurut syariat Islam, disebutkan ada dua makna
Istikhârah, yaitu meminta kepada Allah suatu kebaikan, sedangkan yang
kedua meminta pilihan yang terbaik kepada Allah.27
Yakni apabila seseorang berhajat atau bercita-cita akan
mengerjakan sesuatu maksud, sedang ia ragu-ragu dalam pekerjaan atau
maksud itu, apakah dilakukan terus atau tidak. Maka memilih salah satu
dari dua hal diteruskan atau tidak, disunahkan salat Istikhârah dua
raka‟at.28
Rasulullah SAW memberitahukan kepada umat Islam tentang
tanda-tanda kebahagiaan, jalan menuju kebaikan serta keselamatan
dengan menyandarkan dan menyerahkan segala persoalan kepada Allah
SWT. Sebagaimana sabda beliau:
“Sa‟ad Ibn Abî Waqqâs ra. Berkata, Rasulullah bersabda: “ salah satu dari
kebahagian anak Adam adalah menyerahkan pilihannya kepada Allah
„Azza wa Jalla”. (HR. Ahmad)
Salat sunnah Istikhârah bukan berarti mencari mimpi, yakni
sesudah salat Istikhârah kemudian tidur untuk mendapatkan impian yang
27
Muhammad Abu Ayyash, Keajaiban Salat Istikhârah, h. 16
28 Mawardi Labay El-Sulthani, Zikir dan Do’a Mendirikan Salat yang Khusyu
Mencegah Manusia dari Perbuatan Keji dan Mungkar, (Jakarta: Al-Mawardi Prima,
1999), cet. Ke-2, h. 217
29
Abdullâh Ibn Muhammad Ibn Hanbâl, Musnad Ahmad Ibn Hanbâl, Juz 8, hal.
519
27
memberikan alamat tentang maksud hajat itu. Salat Istikhârah ialah
mencari kebaikan, artinya kalau kita mempunyai hajat, lalu
melaksanakan salat Istikhârah, maka jika maksud hajat itu dilaksanakan
kita akan memperoleh barakah dan jika tidak dilaksanakan juga akan
memperoleh barakah.30
Di dalam hadis menerangkan tentang salat Istikhârah tidak
disebutkan surat apa yang dibaca pada setiap raka‟atnya. Akan tetapi
mengingat bahwa dalam salat sunnah yang terdiri dari dua raka‟at,
Rasulullah SAW biasa membaca surat al-Kâfirûn di raka‟at yang
pertama sesudah surat al-Fâtihah, dan surat al-Ikhlâs, di raka‟at yang
kedua, maka alangkah baiknya jika kita meneladani Rasulullah SAW.
Imam Al-Nawâwî menjelaskan, Ia membaca pada rakaat pertama
sesudah al-Fâtihah adalah al-Kâfirûn dan rakaat kedua al-Ikhlâs. Beliau
bahkan menegaskan, Jika berhalangan mendirikan salat, maka boleh ber-
Istikhârah dengan berdo‟a saja. Dan disunnahkan memulai do‟a tersebut
dan menutupnya dengan Alhamdulillah, shalawat dan salam. Untuk
Rasulullah SAW Istikhârah itu disunnahkan dalam segala urusan,
sebagaimana diterangkan oleh nas hadis diatas yang shahih. Dan jika
telah ber-Istikhârah, lakukanlah menurut yang kuat dorongannya di
dalam hati.31
30
T.A. Lathief Rousydiy, Salat-Salat Sunnah Rasulullah SAW, Cet. 1, (Medan:
Firma “Rimbou” Medan, 1984), hal. 208
31 Zaîd Huseîn al-Hamîd, Terjemahan al-Adzkâr al-Nawâwî: Intisari Ibadah dan
Amal, (Bandung: Pustaka Azzam, 1994), cet. 1, h. 84
28
Dalam mengerjakan salat Istikhârah tidak terdapat suatu bacaan
tertentu sebagaimana juga tidak perlu dikerjakan berulang-ulang. Salat
Istikhârah dilakukan seperti halnya kita melakukan salat sunnah lainnya,
yaitu dengan niat cukup di dalam hati untuk melakukan Istikhârah.
Dalam salat, niat cukup dilafalkan dalam hati seperti halnya Rasulullah
SAW mengajarkan. Dalam Islam, setiap amalan ibadah seperti salat
tidak ada pelafalan niat kecuali pada ibadah-ibadah tertentu yang sudah
ada nasnya.32
Demikian seorang mu‟min yang tidak pernah putus hubungannya
dengan Allah SWT yang Maha Mengetahui segala sesuatu, maka setiap
kali ia menghadapi sesuatu persoalan dan setiap kali ia melakukan
sesuatu tindakan atau perbuatan, terlebih dahulu ia beristikhârah
(meminta pilihan) kepada Allah SWT, apakah yang harusnya dan
bagaimana sebaiknya langkah yang harus diambil. Sampai-sampai ketika
hendak melakukan sesuatu perjalanan untuk mencari rezeki dan karunia
Allah di muka bumi, ia tetap melakukan istikhârah terlebih dahulu.
Bukan seperti orang-orang zaman jahiliyah dahulu yang selalu mengundi
nasib atau meminta tolong dengan mendatangi tukang tenun dan tukang
sihir.33
Allah menamakan sebagai perbuatan fasik karena beralih kepada
orang yang mengaku-ngaku mengetahui barang yang ghaib. Mereka
32
Muhammad Abu Ayyash, Keajaiban Salat Istikhârah, h. 51
33 Latief Rousydi, Salat-salat Sunnah Rasulullah SAW, h. 209-213
29
menempuh jalan Kahanah atau tenung, mereka meminta petunjuk
kepada tukang ramal.
Rasulullah SAW bersabda:
“Menceritakan kepada kami Muhammad Ibn al-Mutsannâ al-„Anazî,
Menceritakan kepada kami Yahyâ yaitu Ibn Saîd dari „Ubaîdillah dari
Nâfi‟ dari Safiyyah dari salah satu istri Nabi SAW bersabda : “Barang
siapa yang mendatangi tukang ramal dan meminta sesuatu kepadanya,
maka salatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari”. (HR.
Muslim)
b. Waktu Salat Istikhârah
Ketahuilah bahwa salat istikhârah itu tidak ada waktu yang khusus
seperti halnya salat fardu. Karenanya, maka boleh dikerjakan pada siang
hari atau malam hari asal tidak pada waktu yang dilarang. Akan tetapi
karena salat istikhârah itu merupakan permohonan, maka sebaiknya di
kerjakan pada waktu yang mustajab. Misalnya di waktu sepertiga malam
yang terakhir atau di setiap selesai salat fardu. Sebab, pada saat-saat
tersebut terdapat waktu yang sangat mustajab untuk memohon kepada
Allah.
30
Rasulullah SAW bersabda:
34
“Menceritakan kepada kami Yahyâ Ibn Abî Katsĭr dari Abî Salamah dari
Abî Huraîrah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila telah lewat
sebagian malam atau dua sepertiganya (tinggal yang sepertiga) Allah
yang Maha Tinggi akan turun ke langit dunia, lalu berfirman: Tiada
seorang pun yang meminta, pasti akan kuberi. Tiada seorang pun yang
berdo‟a. pasti akan Ku kabulkan do‟anya dan tiada seorang pun yang
memohon ampun pasti Ku ampuni, sehingga datang waktu subuh”. (HR.
al-Bukhârî)
Sedangkan menurut al-Nawawi, do‟a istikharah itu disunnahkan
meskipun setelah salat fardu maupun salat sunnah lainnya. Yang jelas,
ketika mendapatkan masalah atau ingin melakukan sesuatu maka
beristikhârahlah.
Sedangkan menurut al-„Iraqî menyebutkan jika perkaranya datang
sebelum salat sunnah yang lain maka jangan melakukannya, akan tetapi
lakukanlah istikhârah itu setelah melakukan salat sunnah tersebut.
Dalam riwayat al-Tirmidzî disebutkan bahwa di suatu hari ada
seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah,
do‟a manakah yang sangat didengar oleh Allah? Beliau menjawab:
34 Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al- Bukhârî, Juz 4, hal. 59
31
35
“Menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Yahyâ al-Tsaqafĭ al-
Marwazî, menceritakan kepada kami Hafs Ibn Ghiyâts dari Ibn Juraîj
dari „Abdurrahmân Ibn Sâbit dari Abî Umâmah berkata: Rasulullah
bersabda: “Pada waktu tengah malam dan sesudah salat fardu”. (HR. Al-
Tirmidzî )
Melihat kedudukan salat Istikhârah begitu penting, Rasulullah
mengajarkan para sahabat dan kepada kita untuk tidak meninggalkannya,
ketika datang sebuah masalah, pilihan atau akan melakukan sesuatu.
Karena itu, merupakan bentuk penyerahan kepada Allah, agar Dia
menuntun langkah kita dan memilihkan yang terbaik untuk dunia dan
akhirat kita.36
c. Hukum Salat Istikhârah
Hukum salat sunnah istikhârah ialah Sunnah Mu‟akkad bagi yang
sedang menghajatkan petunjuk itu. Anjuran sunnah istikharah, itu sesuai
dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
35 Muhammad bin „Isậ bin Sûrah bin Mûsậ bin al-Dahhak al-Sulam ȋ al-Bugȋ
al-Tirmidzȋ , Sunan al-Tirmidzȋ , Juz.2, hal. 256
36 Muhammad Abu Ayyash, Keajaiban Salat Istikhârah, h. 47
32
“Tidak akan kecewa bagi orang yang melaksanakan salat istikhârah, dan
tidak akan menyesal bagi orang yang suka bermusyawarah, dan tidak
akan kekurangan bagi orang yang suka berhemat”. (HR. Al-Tabrânî)
Dalam Kitab Sahih al-Bukhâri dimuat hadis yang menganjurkan
salat istikhârah jika menghadapi sesuatu hal, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad Saw. Sebagai berikut:
Anjuran beliau dinyatakan dalam hadis sebagai berikut yang
artinya: “Jika kamu menghendaki sesuatu perkara, hendaklah kamu salat
dua raka‟at (bukan salat fardhu) lalu berdo‟alah ……….”.
37 Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al- Bukhârî, Juz 4, h. 154
33
2. Hajat yang di Istikhârahkan
Hajat yang dimaksud dalam istikharah ialah sesuatu yang bersifat
mubah. Sedang urusan-urusan yang wajib atau sunnah, kita disuruh
mengerjakannya, sedangkan yang haram atau makruh, kita disuruh
meninggalkannya. Andaikata kita memenuhi syarat diwajibkannya
mengerjakan ibadah haji, maka untuk melaksanakan kewajiban ini kita juga
disunnahkan beristikharah, tetapi bukan untuk memilih apakah jadi
melaksanakan atau tidak, akan tetapi istikharah yang dimaksud ialah untuk
memperoleh barakah dan ketenangan dalam menunaikannya.38
3. Anjuran Salat Istikharah
Salat istikharah dianjurkan berdasarkan hadis riwayat Bukhâri yang
bersumber dari Jâbir Ibn Abdullah r.a. bahwa ia berkata:
38
Moh. Rifa‟I, Salat Istikharah: Arti Salat Istikharah, Waktunya, Dasar Hukumnya,
Hajat apa yang dimaksud, Hasilnya serta Tata Caranya dan Do’a-do’anya, hal. 8
39 Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al- Bukhârî, Juz 4, h. 154
34
“Adalah Rasulullah SAW mengajarkan salat istikharah kepada kami dalam
beberapa perkara yang penting, beliau bersabda: “Apabila salah seorang
diantara kalian ragu terhadap sesuatu perkara, maka hendaklah ia salat
istikharah dua raka‟at, kemudian berdo‟a: Wahai Tuhanku, Sesungguhnya
aku memohon kepada-Mu memilih mana yang baik menurut pengetahuan-
Mu dan aku memohon kepada-Mu untuk memberi ketentuan dengan
kekuasaan-Mu dan aku memohon anugerah-Mu yang agung, karena
sesungguhnya Engkau Yang Berkuasa dan aku tidak kuasa, Engkau Maha
Mengetahui dan aku tidak mengetahui akan hal yang ghaib. Wahai Tuhanku
……” (HR. Bukhârî)
4. Syarat-syarat sebelum di Istikhârahkan
Ada dua hal yang mendasarkan mengapa kita melakukan salat
istikharah, yaitu ketika menghadapi masalah berupa pilihan dan ketika akan
melakukan sesuatu hal. Maka, hendaknya setiap kita memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:40
1) Yang pertama ketika masalah yang kita hadapi berupa pilihan maka
syaratnya antara lain:
a. Ketika ada pilihan maka dipastikan sebelum melakukan salat
istikhârah kedua pilihan tersebut sudah melewati proses analisis
terkait dengan baik dan buruk kedua hal tersebut, efek negatif dan
positifnya dan besarnya prosentase antara maslahat dan mudaratnya.
b. Ketika kebaikan lebih banyak dari pada keburukannya, ketika efek
positif lebih banyak dari pada efek negatifnya, dan maslahat lebih
banyak dari pada mudaratnya, hal yang harus dilakukan adalah
memilih yang lebih baik tadi. Berarti dianjurkan baginya untuk
beristikhârah ketika akan melakukan sesuatu. Tinggal bagaimana ia
40
Moh. Rifa‟I, Salat Istikharah: Arti Salat Istikharah, Waktunya, Dasar Hukumnya,
Hajat apa yang dimaksud, Hasilnya serta Tata Caranya dan Do’a-do’anya, hal. 10
35
bertekad, setelah bertekad tinggal meningkatkan ketawakalannya
pada Allah. Allah SWT berfirman pada surat al-„Imran (2): 159,
yang berbunyi:
ا
Artinya:“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya”. (Q.S. al-„Imran (2): 159,)
c. Ketika akan melakukan salat istikhârah dan sudah melewati proses
analisis, dipastikan keduanya mempunyai poin fifty-fifty, tidak ada
kecenderungan pada salah satu dari keduanya. Karena dikhawatirkan
jika hal ini terjadi, hawa nafsunyalah yang memilih. Imam al-
Nawawi menyampaikan, “Hendaknya seseorang itu melakukan apa
yang sudah menjadi kemantapan hatinya setelah Istikharah, bukan
berdasarkan atas pilihan pada salah satu diantara keduanya sebelum
Istikharah. Jika hal itu terjadi, bukanlah ia beristikharah kepada
Allah, akan tetapi beristikharah kepada hawa nafsunya, dan
terkadang sering terjadi tidak ada kejujuran”.41
41
Muhammad Abu Ayyash, Keajaiban Salat Istikharah, h. 44
36
2) Yang kedua, Istikhârah dilakukan ketika kita akan melakukan sesuatu
maka syarat yang harus dilakukan sebagai berikut:42
a. Niatkan segala sesuatunya kepada Allah, karena segala sesuatu itu
tergantung niatnya, seperti dalam sebuah hadis yang sering kita
dengar, diriwayatkan dari Amîr al-Mu‟minîn Abû Hafs Umar Ibn
Khattâb r.a. berkata, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung dari niatnya dan setiap-
setiap orang berada pada apa yang ia niatkan, barangsiapa yang
hijrahnya pada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang
hijrahnya kepada dunia yang akan diperolehnya atau kepada wanita
yang akan dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.”
(HR. Mutafaq ‘Alaih)
b. Sudah mengalami proses penilaian dan manajemen yang baik.
maksudnya adalah mengambil pilihan yang terbaik ketika ada
beberapa pilihan. Contohnya adalah ketika seseorang mau menikah,
kemudian dihadapkan pada sebuah pilihan terhadap beberapa calon
42
Nasruddin Razak, Ibadah Salat Menurut Sunnah Rasulullah, (Bandung: PT. Al-
Ma‟arif, 1993), Cet. VIII, hal. 87
37
pendamping hidupnya43
. Maka, perlu jika suatu diantara mereka
lebih baik agama dan akhlaknya berarti lebih baik menjatuhkan
pilihan padanya. Berbeda halnya jika keduanya mempunyai potensi
yang sama bagi agama dan akhlaknya maka perlu untuk melakukan
Istikharah.
c. Bukan suatu kekurangan jika kita meminta pendapat orang lain yang
lebih berpengalaman untuk memberikan masukan tentang baik
buruknya sesuatu.44
5. Hikmah Salat Istikhârah
Hikmah kenapa kita harus beristikharah kepada Allah,45 diantaranya
sebagai berikut:
a. Keridhaan46 Terhadap Apa pun yang Allah Berikan47
Menurut Syaikh Muhammad Ibn Salih al-Utsaimin dalam kitabnya
al-Qaulul Mufia „ala Kitab al-Tauhih, membagi sabar menjadi tiga
bagian:
43
Al-Ghazali, Rahasia-rahasia Salat, Penerjemah: Moh. Al-Baqir, (Bandung:
Karisma, 1984), hal. 79
44 Muhammad Abu Ayyash, Keajaiban Salat Istikharah, h. 42-46
45 Muhammad Abu Ayyash, Keajaiban Salat Istikharah, h. 32-38
46 Keridhaan merupakan buah dari kesabaran yang bertahta di dada. Bersabar atas
segala ketentuan Allah SWT.
47 Muhammad Abu Ayyash, Keajaiban Salat Istikharah, h. 33
38
1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah
Bersabar dalam menjalankan segala ketaatan, bersabar menjalankan
semua kewajiban yang telah dibebankan kepada kita. Seperti dalam
firman-Nya pada surat Taha: 132
2. Bersabar terhadap kemaksiatan
Bersabar untuk tidak melakukan kemaksiatan, seperti halnya
kesabaran Nabi Yusuf terhadap godaan Zulaikha, permaisuri tuannya.
Seperti dalam firman-Nya pada surat Yusuf : 33.
3. Bersabar dan beriman terhadap takdir Allah
Beriman terhadap takdir Allah merupakan urutan keenam dalam
rukun iman. Sedangkan faidahnya diantaranya sebagai berikut :
1) Merupakan ciri kenabian
2) Akan membuat hati menjadi tenang
3) Menghilangkan kesedihan jika musibah datang
4) Sesungguhnya Allah tidak menciptakan takdir, melainkan atas
sebab yang dilakukan manusia itu sendiri.
b. Mendapatkan jiwa yang tenang48
Ketika semua persoalan dan pilihan sudah kita serahkan kepada
Allah, akan ada ketenangan dalam jiwa. Karena itulah sebuah pilihan
terbaik yang Allah pilihkan kepada kita. Di sinilah pentingnya percaya
kepada Allah, percaya terhadap setiap skenario Allah. Setidaknya,
keteladanan ibu Nabi Musa mengajarkan kita tentang hal ini.
48
Muhammad Abu Ayyash, Keajaiban Salat Istikharah, h. 36
39
c. Akan di lapangkan dada kita terhadap pilihan yang Allah pilihkan49
Itulah buah Istikhârah kepada Allah. Salah satu ciri yang diberikan
adalah dilapangkan dada dan dimantapkan hati terhadap pilihan kita
setelah melakukan Istikhârah. Seperti dalam firman-Nya pada surat al-
Takwir :29
d. Tidak menyesal dengan pilihan yang Allah berikan kepada Kita
49
Muhammad Abu Ayyash, Keajaiban Salat Istikhârah, h. 37
40
BAB III
ANALISA KANDUNGAN HADIS TENTANG
SALAT SUNNAH ISTIKHÂRAH
A. Teks-teks Hadis dalam Al-Kutub Al-Sittah
Hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari
Sahîh al-Bukhârî hadis ke-1096
Sahîh al-Bukhârî Hadis ke- 5903
50
Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al- Bukhârî, Juz 4, (Beîrût: Dâr al-Fikr,
1995), hal. 347
41
51
Sahîh al-Bukhârî Hadis ke- 6841
52
51
Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al- Bukhârî, Juz 4, hal. 480
52 Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al- Bukhârî, juz 22, hal. 389
42
Hadis yang diriwayatkan Abû Dâud
Sunan Abû Dâud hadis ke-1315
53
Hadis yang diriwayatkan al-Tirmidzî
Sunan Al-Tirmidzî hadis ke-442
53
Sulaîmân Ibn al-Asy‟ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud, (Beîrut: Dâr al-Fikr,
t.th), juz 4 hal 337
43
54
Hadis yang diriwayatkan Al-Nasâi
Sunan Al-Nasâi hadis ke-3201
54
Moh. Zuhri, Tarjamah Sunan al-Tirmidzî, (Semarang: CV As-syifa), juz 2, hal
298.
44
55
Hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah
Sunan Ibnu Mâjah hadis ke-1373
56
B. Syarah Hadis
55
Ahmad Ibn Syu‟aib Abû „Abdurrahmân al-Nasâî, Sunan Al-Nasâî, (Beîrut: Dâr al-
Fikr, t.th), juz 10, hal 368
56 Muhammad Ibn Yazîd al-Qazwînî Ibn Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, (Riyadh:
Dârussalâm, 1999), juz 4, hal 293.
45
Dari Jabir ra, dia berkata, “ Nabi SAW mengajarkan Istikhârah kepada
kami dalam segala urusan sebagaimana beliau mengajarkan sûrah al-
Qur‟an kepada kami. (Beliau bersabda), “Apabila seseorang di antara
kalian hendak mengerjakan suatu urusan, maka hendaklah dia shalat dua
rakaat selain shalat fardhu, kemudian berdoa, „Ya Allah, sesungguhnya
aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku
memohon kekuatan dari-Mu dengan kekuasaan-Mu. Aku memohon
kepada-Mu dari anugerah-Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Mengetahui sedang aku
tidak mengetahui dan Engkau Mengetahui hal-hal yang ghaib. Ya Allah,
jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini adalah baik bagiku dalam
agamaku dan kehidupanku serta akibatnya terhadap diriku atau beliau
menyebutkan : di dunia atau di akhirat – maka mudahkanlah untukku.
Akan tetapi jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini buruk bagiku
dalam agamaku, kehidupanku serta akibatnya terhadap diriku. Atau
beliau menyebutkan : di dunia atau di akhirat – maka palingkanlah
perkara itu dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan mudahkanlah
kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian
ridhakanlah aku dengannya‟. Kemudian menyebutkan hajatnya”.
Imam al-Tirmidzî mengatakan, kami tidak mengetahuinya kecuali dari
hadis Ibnu Abî al-Mawwal. Dia orang Madinah, dan lebih dari satu orang
yang meriwayatkan darinya. Mengenai masalah ini ada juga riwayat Ibnu
Mas‟ûd dan Abû Ayyûb.
Ibnu Hajar mengatakan, ada juga riwayat dari Abû Sa‟îd, Abû
Huraîrah, Ibnu „Abbâs dan Ibnu Umar. Hadis Ibnu Mas‟ûd dinukil al-
Tabarânî dan dinyatakan sahih oleh al-Hâkim. Hadis Abû Ayyûb dinukil oleh
al-Tabarânî dan dinyatakan sahih oleh Ibnu Hibbân dan al-Hâkim. Hadis Abû
57
Muhammad Ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al- Bukhârî, Juz 4, hal. 480
46
Sa‟îd dan Abû Huraîrah dinukil Ibnu Hibbân dalam kitab sahih-nya. Hadis
Ibnu Umar dan Ibnu Abbâs adalah sama, yang dinukil al-Tabarânî dari jalur
Ibrâhîm bin Abî Albah, dari Ata‟ dari keduanya. Dari hadis ini tidak
menyebutkan salat kecuali pada hadis Jâbir, hanya saja redaksi riwayat Abû
Ayyûb adalah, ء ثن صل ها متة الله لل ض ضا فاحسي ال ت Sembunyikan) امتن الخطثح
lamaran dan berwudhulah, lalu baguskanlah wudhu-mu, kemudian
laksanakanlah salat yang telah Allah wajibkan kepada kamu). Disebutkannya
dua raka‟at adalah khusus dalam hadis Jabir. Penyebutan Istikhârah
dicantumkan dalam hadis Sa‟ad secara marfu’ , الله هي سؼادج اتي ادم استخاست (Di
antara kebahagiaan anak Adam adalah beristikhârah [meminta pilihan yang
terbaik] kepada Allah), dinukil Imam Ahmad dan Sanad-nya hasan. Asalnya
terdapat dalam riwayat al-Tirmidzî namun dengan menyebutkan “keridhaan
dan kemurkaan”, bukan “Istikhârah”. Disebutkan dalam hadis Abû Bakar al-
Siddiq, سلن ماى إرا أساد اهشا قال صلى الله ػل اختشلى : أى الث ن خشلى ألل (bahwa
Nabi SAW apabila menghendaki sesuatu perkara, Beliau mengucapkan, Ya
Allah baikkanlah untukku dan pilihkanlah yang baik untukku), yang dinukil
al-Tirmidzi dengan sanad yang lemah. Disebutkan dalam hadis Anas secara
marfu’, ها خاب هي استخاس (tidak akan kecewa orang yang beristikhârah), hadis
ini dinukil al-Tabarânî dalam al-Mu‟jam al-Saghîr dengan sanad yang
lemah.58
58
Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî, Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009),
Jilid 30, hal. 631
47
ا الاستخاسج ؼلو سلن ػل صلى الل Nabi SAW mengajarkan) ماى سسل الل
Istikhârah kepada kami), Dalam riwayat Ma‟an disebutkan dengan redaksi,
ؼلن اصحات (mengajarkan kepada sahabatnya). Demikian juga dalam jalur
Bisyr bin Umar.
ا “ ,Ibnu Abî Hamzah mengatakan .(Dalam segala urusan) ف الأهس مل
ini redaksi umum tapi yang dimaksud adalah khusus, karena untuk perkara
yang wajib dan sunnah tidak perlu Istikhârah untuk melakukannya, demikian
juga yang haram dan makruh tidak perlu Istikhârah untuk meninggalkannya.
Jadi masalahnya terbatas pada hal-hal yang mubah saja, yaitu bila ada dua
perkara mubah dan ingin menetapkan mana yang harus dilakukan terlebih
dahulu atau mana yang dipilih.59
-sebagaimana halnya [beliau mengajarkan] sûrah al) ما لسسج هي القشآى
Qur‟an). Disebutkan dalam riwayat Qutaîbah dari „Abdurrahmân yang telah
dikemukakan pada bab salat malam, ا السسج هي القشآى ؼلو (sebagaimana beliau
mengajarkan surah al-Qur‟an kepada kami). Ada pendapat menyebutkan
bahwa letak keserupaannya adalah perlunya segala urusan terhadap
Istikhârah seperti perlunya salat terhadap al-Qur‟an.
ن أحذمن Pada kalimat ini .(apabila seseorang di antara kalian hendak) إرا
ada kalimat yang tidak disebutkan secara redaksional, ن أحذمن اقائلا إرا ؼلو :
(mengajarkan kepada kami dengan mengatakan, apabila seseorang di antara
seseorang hendak). Redaksi ini disebutkan dalam riwayat Qutaibah, ن إرا
59
Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî, Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, Jilid 30, hal. 632
48
ل :ق (Beliau bersabda, “Apabila hendak"). Dalam riwayat Abû Dâud dari
Qutaîbah ada tambahan, ا .(kepada kami) ل60
Ibnu Abî Jamrah mengatakan, “Urutan yang terbesit dalam hati adalah
di mulai dari kehendak, langkah, pikiran, niat, keinginan dan tekad. Tiga
yang pertama tidak diperhitungkan, beda halnya dengan tiga yang lainnya.
Jadi sabda beliau, ن mengisyaratkan untuk Istikhârah (apabila hendak) إرا
pada proses pertama yang terbesit dalam hati, sehingga dengan keberkahan
salat dan do‟a tersebut akan tampak yang baik baginya. Beda halnya dengan
suatu perkara sudah mantap dalam hatinya, keinginannya sudah kuat dan
tekadnya pun telah bulat, sehingga petunjuk yang telah tergambar
dikhawatirkan akan samar karena didominasi oleh kecenderungannya”.61
ي شمغ سمؼت Kalimat ini .(Maka hendaklah ia salat dua raka‟at) فل
membatasi hadis Abu Ayyub yang menyebutkan, صل ها متة الله لل
(Laksanakanlah salat yang diwajibkan Allah kepadamu). Bisa juga
dipadukan, bahwa yang dimaksud adalah tidak hanya satu raka‟at, karena
nashnya menyebutkan dua raka‟at, sehingga penyebutan dua raka‟at ini
sebagai pemberitahuan tentang jumlah minimal. Seandainya melaksanakan
lebih dari dua raka‟at, maka itu diperbolehkan. Secara zhahir disyaratkan
salam pada setiap dua raka‟at sehingga tercapailah sebutan dua raka‟at.
60
Al-Nawawi, Syarah Sahih al-Muslim, Penerjemah Hazim Muhammad, (Jakarta:
Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 149
61 Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî, Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 633
49
Dengan begitu, tidak sah jika salat empat raka‟at – misalnya - dengan satu
salam. Namun, pendapat al-Nawâwî menunjukan itu sah.
ش الفشضح هي غ (Selain salat Fardu). Ini mengeluarkannya dari salat
Subuh. Kemungkinan juga bahwa yang dimaksud dengan faridah adalah yang
fardu dan yang terkait dengannya, sehingga tidak termasuk salat sunnah
rawatib, seperti dua raka‟at salat fajar. Tampaknya yang lebih tepat adalah
jika seseorang meniatkan salat tersebut (salat sunnah tersebut) dan salat
Istikhârah bersamaan, maka itu sah. Ini berbeda halnya jika tidak diniatkan
demikian. Hal ini juga dibedakan dari salat Tahiyatul Masjid, karena
maksudnya adalah mengisi tempat dengan do‟a, sedangkan yang dimaksud
dengan salat Istikhârah adalah menempatkan do‟a setelahnya atau di
dalamnya. Jika melaksanakan salat sebelum adanya perkara yang dimaksud,
maka tidak sah, karena konteks kalimatnya menunjukan bahwa salat dan do‟a
itu setelah adanya perkara yang dimaksud.
Al-Nawâwî menyatakan bahwa pada dua raka‟at salat Istikhârah
dibacakan surat Al-Kâfirûn dan surat al-Ikhlâs. Guru kami mengatakan dalam
Syarh Al-Tirmidzî, “Aku tidak menemukan dalilnya. Kemudian
mengaitkannya dengan dua raka‟at fajar dan dua raka‟at setelah maghrib”.
Al-Nawâwî mengatakan, “Kedua surat itu sangat cocok dengan kondisinya
karena mengandung keikhlasan dan tauhid, sementara orang yang
beristikharah memang memerlukan hal itu”. Guru kami mengatakan,
“Cocoknya adalah dengan membaca misalnya surah Al-Qasas ayat 68, ستل
ختاس Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan) خلق ها شاء
50
memilihnya) dan surah Al-Ahzâb ayat 36, ح ٳرا قضى الل لا هؤه ها ماى لوؤهي
ٲهشا ٲى سسل (Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang lain])”62
.
Saya (Ibnu Hajar) katakan, yang lebih sempurna adalah membaca surah dan
ayat pertama tadi pada raka‟at pertama dan yang lainnya pada raka‟at
kedua.63
Disimpulkan dari sabda beliau, ش الفشضح ,(selain yang fardu) هي غ
bahwa perintah melaksanakan dua raka‟at salat Istikhârah adalah tidak wajib.
Guru kami mengatakan dalam Syarh Al-Tirmidzî, “Saya belum pernah
melihat orang yang menyatakan wajibnya Istikhârah dengan alasan adanya
perintah untuk melakukannya diserupakannya dengan mengajarkan surah al-
Qur‟an, sebagaimana dia berdalil yang seperti itu dalam mewajibkan
tasyahhud dalam salat karena adanya perintah ungkapan, قل hendaklah) فل
mengucapkan) yang juga diserupakan dengan mengajarkan surah al-Qur‟an.
Jika ada yang mengatakan bahwa perintah tersebut terikat dengan syarat
(condition), yaitu ucapan beliau, ن أحذمن تالأهش Apabila seseorang dari) ٳرا
kalian hendak [melakukan] suatu perkara), maka kami katakana, Demikian
juga tasyahhud, karena itu juga diperintahkan bagi orang yang salat. Jadi
62
Muhyiddin Abî Zakariyyâ Yahya Ibn Syaraf al-Nawâwî, Al-Adzkâr, (Surabaya: al-
Hidayah, 1995), h. 111
63 Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî, Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 635
51
walaupun keduanya serupa tapi bisa dibedakan, karena tasyahhud merupakan
bagian dari salat, maka landasan yang mewajibkannya adalah sabda beliau
SAW, ٲصل تو ا موا سأ Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku) صل
salat), sedangkan yang menunjukan tidak wajibnya salat Istikharah adalah
dalil yang menunjukan tidak wajibnya salat selain yang lima waktu, yaitu
yang disebutkan dalam hadis, ا؟ قال ش غ ع, :ل ػل إلا أى تط (Adakah yang
wajib atasku selain itu? Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali engkau mau
bertatawwu”). Walaupun dapat menggunakan dalil tersebut untuk
menyatakan tidak wajibnya dua raka‟at Istikhârah, namun tidak menghalangi
untuk dijadikan dalil akan wajibnya doa Istikhârah.64
Tampaknya yang
mereka pahami bahwa perintah itu sebagai anjuran sehingga mereka
mengalihkannya dari status wajib, tetapi karena mengandung zikir kepada
Allah dan menyerahkan perkara kepada-Nya, maka itu menjadi sunnah.
Kami katakan, secara zhahir menunjukan untuk berdo‟a setelah salat,
tapi bila do‟a itu di tengah, maka itu pun sah. Jadi kemungkinan maksud
pengurutannya adalah memulai salat sebelum do‟a, karena letak do‟a setelah
salat adalah saat sujud atau tasyahhud. Ibnu Abî Jamrah mengatakan,
“Hikmah mendahulukan salat daripada do‟a, adalah karena tujuan Istikhârah
adalah tercapainya kebaikan dunia dan akhirat, maka perlu mengetuk pintu
Yang Maha Raja. Untuk itu, tidak ada yang lebih manjur daripada salat yang
64
Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî, Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 636
52
di dalamnya mengandung pengagungan Allah, pujian kepada-Nya dan
menampakan kebutuhan terhadap-Nya”65
شك تؼلول أستخ ن أ Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan) الل
kepada-Mu dengan ilmu-Mu). Huruf ba di sini berfungsi menunjukan alasan.
Maksudnya, (aku minta pilihan kepada-Mu) karena Engkau lebih
mengetahui. Demikian juga pada kalimat تقذستل (dengan kekuasan-Mu), bisa
juga berfungsi untuk meminta pertolongan seperti firman-Nya dalam surah
Huud ayat 41, ا هجشا Dengan menyebut nama Allah di waktu) تسن الل
berlayar), dan bisa juga sebagai penggabung seperti pada firman-Nya sûrah
al-Qasas ayat 17, ؼوت ػل Musa berkata, “Ya Tuhanku, demi) قال سب توا أ
nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku ).
أستقذ سك ( Dan aku mohon kekuatan dari-Mu). Maksudnya, aku
memohon dari-Mu agar memberikan kemampuan/kekuatan untuk
menghadapi perkara tersebut. Bisa juga maknanya adalah “Aku memohon
dari-Mu agar memudahkan perkara itu untukku”.
لا أػلن تؼلن لا أقذس، ل تقذس Karena sesungguhnya Engkau Maha) فئ
Kuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui sedang aku tidak
mengetahui). Ini mengisyaratkan bahwa ilmu dan kekuasaan hanyalah milik
Allah semata, tidak ada hamba yang memiliki itu kecuali apa yang telah
ditetapkan Allah untuknya. Seakan-akan dia mengatakan, “Engkau wahai
65
Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî, Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 637
53
Tuhanku, telah menetapkan sebelum Engkau menciptakan kemampuan
padaku, ketika menciptakan padaku dan setelah menciptakannya”.66
زا الأهش ت تؼلن أى ن إى م Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa) الل
perkara ini). Dalam riwayat ini dan yang lainnya disebutkan, زا ت تؼلن أى م
Abû Dâud menambahkan dalam .(jika Engkau mengetahui perkara ini) الأهش
riwayat Abdurrahmân bin Muqatil dari Abdurrahmân bin Abî al-Mawwal,
ذ ش ,dan menambahkan dalam riwayat Ma‟an ,(yang hendak) الزي تؼ سو ثن
(kemudian menyebutkan perkaranya), ini juga disebutkan di akhir hadis bab
ini. Secara zhahir konteks redaksinya menunjukan bahwa apa yang menjadi
hajatnya itu diucapkan. Bisa juga hanya dengan menghadirkannya dalam hati
saat berdo‟a. Berdasarkan pendapat pertama, maka yang jadi hajatnya itu
diucapkan setelah do‟a, dan berdasarkan pendapat kedua, maka diucapkan
saat berdo‟a. Kalimat ت تؼلن disini pernah (Jika Engkau mengetahui) إى م
ditanyakan kepada al-Karmani karena bernada ragu, padahal tidak boleh
keraguan karena Allah Maha Mengetahui. Ia menjawab, bahwa keraguannya
karena pengetahuan itu terkait dengan kebaikan atau keburukan.
هؼاش (Dan kehidupanku). Abu Daud menambahkan, هؼا دي (Dan
tempat kembaliku), ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan الوؼاش
disini adalah اج الوؼاش Mungkin juga dimaksud dengan .(kehidupan) الح
adalah kehidupan yang dijalani, karena itulah yang disebutkan dalam hadis
Ibnu Mas‟ud pada salah satu jalur periwayatannya yang dikemukakan oleh
66
Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî, Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 638
54
al-Tabarânî di dalam al-Mu’jam al-Aûsat, اي د dalam agamaku dan) ف د
duniaku). Disebutkan dalam hadis Abû Ayyûb yang dinukil oleh al-Tabarânî,
آخشت اي Ibnu Hibbân menambahkan .(dalam duniaku dan akhiratku) ف د
dalam riwayatnya, د (dan agamaku), dan dalam hadis Abû Sa‟îd, ف د
هؼشت (dalam agamaku dan penghidupanku).67
– ػاقثح أهشي آجل قال ف ػاجل أهشي أ (Serta akibatnya terhadap diriku -
atau beliau mengatakan: di dunia atau akhirat). Ini keraguan dari riwayat dan
tidak ada perbedaan pada jalur-jalur periwayatannya. Sementara dari hadis
Abû Sa‟îd hanya disebutkan, ػاقثح أهشي, demikian juga pada hadis Ibnu
Mas‟ûd. Ini menguatkan salah satu kemungkinannya, bahwa الؼاجل dan اجل
Disebutkan sebagai ganti ketiga kata itu, atau pengganti kata terakhir.
Berdasarkan ini al-Karmanî mengatakan, “Tidaklah seseorang yang berdo‟a
dengan do‟a Rasulullah SAW dianggap serius, kecuali dia berdo‟a tiga kali,
yaitu sekali mengucapkan هؼاش ف د ػاقثح أهشي , dan sekali lagi dengan
mengucapkan, ػاجل أهشي ف آجل ”.
ل Abû al-Hasan al-Qabisî .(Maka mudahkan untukku) فاقذس
mengatakan, “Orang-orang negeri kami mengucapkan Faqdir, sedangkan
orang-orang Masyriq al-Faqdur‟. Al-karmanî mengatakan, “Maknanya adalah
‟jadikanlah itu ditetapkan untukku, atau tetapkanlah itu”. Ada juga yang
mengatakan, bahwa maknanya adalah „Mudahkanlah untuk-ku‟. Ma‟an
67
Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî, Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 639
55
menambahkan dalam riwayatnya, تاسك ل ف ل سش (Dan mudahkan itu
untuku, serta berkahilah aku padanya)
ػ اصشف ػ Maka palingkanlah perkara itu dariku, dan) فاصشف
palingkanlah darinya). Maksudnya, sampai hatiku tidak terpaut dengan
perkara itu. Ini sebagai dalil bagi Ahlussunnah, bahwa keburukan itu
termasuk takdir Allah terhadap hamba, karena jika hamba itu bisa
membuatnya, tentu dia pun bisa memalingkannya sendiri.
ث ماى ش ح الخ اقذس ل (Dan takdirkanlah[mudahkanlah] kebaikan
untukku di mana saja ia berada). Dalam hadis Abu Sa‟id, setelah redaksi
ث ماى ش ح الخ اقذس ل disebut ج إلا تالل لا ق ل tidak ada daya dan upaya) لا ح
kecuali dengan [kehendak] Allah).
Dalam riwayat Qutaibah .(kemudian jadikanlah aku ridha) ثن أسض
disebutkan, Pada .(Jadikanlah aku ridha [rela] dengannya) ثن اسض ت
sebagian jalur periwayatannya hadis Ibnu Mas‟ud yang dinukil al-Thabarani
dalam al-Mu’jam al-Ausath disebutkan, سض تقضا ءك (Dan jadikanlah aku
ridha dengan ketetapan-Mu). 68
Dalam hadis Abû Ayyûb disebutkan, سض تقذسك (Dan jadikanlah aku
ridha dengan takdir-Mu). Rahasia yang terkandung adalah, agar hatinya tidak
terus terpaut dengan perkara itu sehingga perasaannya tidak tenteram.
Keridhaan adalah ketenangan jiwa terhadap qadha‟.69
68
Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî, Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 639
69 Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî, Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 640
56
Hadis ini menunjukan kasih sayang Nabi SAW terhadap umatnya
sehingga beliau mengajarkan kepada mereka semua yang bermanfaat bagi
agama dan dunia. Pada salah satu jalur periwayatannya yang dinukil al-
Tabarânî pada hadis Ibnu Mas‟ûd disebutkan bahwa Nabi SAW berdoa
dengan doa ini bila hendak membuat suatu keputusan. Hadis ini juga
menunjukan bahwa seorang hamba tidak akan memiliki kemampuan dan
kekuatan kecuali disertai perbuatan. Allah-lah yang menciptakan
pengetahuan tentang sesuatu pada hamba-Nya, keinginannya terhadap
sesuatu itu dan keberhasilannya meraih sesuatu itu, maka sudah seharusnya
seorang hamba mengembalikan segala urusan kepada Allah dan menyatakan
bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kehendak Allah, serta
senantiasa memohon kepada Allah dalam segala urusan.70
Hadis ini sebagai dalil bahwa perintah melakukan sesuatu bukan
sebagai larangan melakukan yang sebaliknya. Sebab jika demikian, maka
cukuplah dengan ungkapan, شل خ ت تؼلن أ Jika Engkau mengetahui) إى م
bahwa itu baik untukku) dan tidak perlu menyatakan ungkapan, ت تؼلن أ إى م
karena jika tidak ,(dan jika Engkau mengetahui bahwa itu buruk bagiku) ششل
baik sudah pasti buruk.
Kemudian ada perbedaan pendapat mengenai apa yang dilakukan
setelah melakukan salat Istikhârah. Ibnu Abdussalâm mengatakan,
“melakukan apa yang sesuai dengannya”. Dia berdalil dengan redaksi pada
70
Syihaduddin Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî, Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 641
57
salah satu jalur periwayatan hadis Ibnu Mas‟ûd, yang dibagian akhir
disebutkan, ؼزم yang di awal hadisnya ,(kemudian hendaklah bertekad) ثن
disebutkan, قل Apabila seseorang diantara kalian hendak) إرا أساد أحذمن أهشا فل
[melakukan] suatu perkara, maka hendaknya mengucapkan). Al-Nawawi
mengatakan, Setelah ber-Istikhârah hendaknya melakukan apa yang
menentramkan hatinya. Hal ini berdasarkan hadis anas sunni, ووت تاهش إرا
ش ف سثق ف قلثل، فئى الخ ظش إلى الزي Jika engkau hendak) فاستخش ستل سثؼا، ثن ا
[melakukan] suatu perkara, maka beristikharahlah kepada Tuhanmu tujuh
kali, kemudian lihatlah apa yang muncul di hatimu, karena di situ ada
kebaikan). Jika hadis ini akurat tentu bisa dijadikan sandaran, sayangnya
sanad-nya sangat lemah. Adapun yang bisa dijadikan sandaran, hendaknya
tidak melakukan apa yang terdetik dalam hatinya yang berupa keinginan kuat
sebelum melakukan Istikhârah. Itulah yag diisyaratkan dengan ucapan, لا
ج ٳلا تا لل لا ق حل (tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan [kehendak]
Allah) di akhir hadis Abû Sa‟îd. 71
C. Pandangan Ulama
Menurut Sayyid Sâbiq berkata sesudah beristikhârah haruslah
mengerjakan apa yang dirasa lebih baik untuk diri dan hendaklah bebas dari
kehendak pribadi.72
Jadi jangan sampai lebih mengutamakan sesuatu yang
71
Muhyiddin Abî Zakariyyâ Yahya Ibn Syaraf al-Nawâwî, Al-Adzkâr, (Surabaya: al-
Hidayah, 1995), h. 113
72 Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: Pustaka al-Ma‟arif), cet. 14 hal. 67
58
demikian baik pada waktu sebelum beristikhârah, sebab kalau demikian
maka sama halnya dengan tidak beristikhârah kepada Allah atau kurang
menyerah terhadap pengetahuan serta kekuasaan Allah. Karena itu, haruslah
ia mempercayai benar-benar kehendak Allah yang akan ditetapkan hingga
dengan demikian terlepaslah ia dari usaha, kekuatan atau pilihan dirinya
pribadi.
Menurut Allamah Sayyid M. Husaîn Tabatabâ‟i apabila seseorang
berniat untuk melakukan suatu langkah atau tindakan tertentu, maka ia tak
memiliki pilihan selain melakukan investigasi mengenai langkah atau
tindakan yang ia ingin lakukan, dan sejauh kemampuannya ia harus berfikir
keras apabila ia harus melakukan atau tidak melakukan tindakan itu. Bila ia
tidak mampu untuk mengembil keputusan, maka ia meminta nasihat orang
lain, jika cara ini tidak berhasil maka ia tidak memiliki alternatif lain kecuali
berada memohon kepada Allah dan meminta petunjuk dari-Nya tentang apa
yang benar-benar terbaik kepadanya. Singkatnya tidak berdosa seseorang
melakukan Istikhârah, karena Istikhârah tidak bermakna apa-apa selain
untuk menentukan pilihan mana yang harus seseorang tempuh. Salat tidak
mengubah aturan-aturan Allah. Istikhârah juga tidak menginformasikan
hamba Allah tentang apa yang tersembunyi di balik tirai-tirai pengetahuan
Allah SWT.73
73
M. Baqir Haideri, Istikharah Cara Praktis Meminta Petunjuk dan Jalan Keluar
dari Allah SWT., (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), cet. 1, hal. 57
59
Dari riwayat-riwayat autentik telah dinyatakan bahwa Rasulullah
senantiasa memohon yang terbaik dan mendorong orang-orang di sekitarnya
(keluarga dan sahabat) untuk melakukan Istikhârah. Rasulullah melarang
banyak orang yang memandang remeh Istikhârah dengan sabdanya
“walaupun kadang-kadang hasil Istikhârah yang dilakukan oleh orang-orang
adalah buruk, namun hal itu menunjukan bahwa mereka telah bergantung
kepada Allah dan tetap melakukan pekerjaaannya. Oleh sebab itu, tidak ada
masalah dengan Istikhârah entah melalui al-Qur‟an atau melalui cara-cara
lain. Karena jika hasil suatu Istikhârah akan melaksanakan yang ia
Istikhârah-kan dengan hati yang puas dan jiwa yang murni dan jika hasil
Istikhârah itu buruk, maka berarti ia telah bergantung kepada Allah dan tetap
melakukan hidupnya seperti biasa.74
Menurut Abû „Ubaîdah Masyhûr Ibn Hasan Mahmûd Ibn Salmân
dalam menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa sesungguhnya orang
yang beristikharah melakukan apa yang menjadi kelapangan dan kemantapan
dalam hatinya, bukan sekedar melalui mimpi atau orang lain, sebab ia telah
berdo‟a kepada Allah melalui salat, sedangkan salat itu sendiri adalah do‟a
yang dengannya Allah memilihkan sebuah kebaikan dari setiap urusan,
kemudian menyempurnakannya.75
74
M. Baqir Haideri, Istikhârah Cara Praktis Meminta Petunjuk dan Jalan Keluar
dari Allah SWT., hal. 58-59
75 Masyhûr ibn Hasan Mahmûd ibn Salmân, Al-Qaulu al-Mubĭn Akhtâ’I al-
Muslim, h. 98
60
Jika Allah memberikan kelapangan dada dan kemantapan hati maka
Allah akan memberikan pula kemudahan untuk mendapatkan kebaikan, yang
akhirnya berbuah ridha dan bahagia. Akan tetapi, jika hal itu adalah hal yang
tidak di kehendaki, ketahuilah bahwa sesungguhnya itu juga sebuah
kebaikan, dia harus ridha dengan setiap ketentuannya.
Menurut Abû Bakar Jâbir al-Jazaîrî berkata salat istikhârah tidak
dilakukan kecuali karena urusan-urusan yang diperbolehkan, bukan urusan-
urusan yang wajib. Karena, urusan-urusan yang wajib itu diperintahkan, dan
urusan-urusan yang haram dilarang. Jadi orang muslim tidak dituntut
mengerjakan salat istikhârah karena urusan yang diperintahkan
mengerjakannya atau karena urusan yang diperintahkan meninggalkannya.
Menurut Syaîkh Ibn Taîmiyah mengatakan boleh membaca do‟a
istikhârah ketika dalam salat atau sesudah salam. Menurut Syaîkh Jibrîl
dalam mengatakan bukan suatu keharusan do‟a ini harus dihafal, boleh
dibaca dengan membaca teks do‟a tersebut.
Muhammad Harun mengatakan bahwa hendaknya setiap seseorang
melakukan Istikhârah dalam memilih sebuah pilihan yang sama, jangan
memilih terlebih dahulu sebelum melakukan Istikhârah atau memaksakan
pilihannya dalam do‟anya, karena di khawatirkan ketika ia memilih
pilihannya kemudian terjadi kesalahan maka akan timbul kekecewaan atau
bahkan akan menyalahkan takdir Allah SWT.
61
D. Kandungan Hadis
Hadis yang diriwayatkan oleh Anas dan dikeluarkan oleh al- Nasâî
sebagai berikut:
“Memberitahukan kepada kami Suwaîd Ibn Nasr berkata:
memberitahukan kepada kami „Abdullah, berkata: memberitahukan
kepada kami Sulaîmân Ibn al-Mugîrah dari Tsâbit dari Anas ra. Berkata:
“ketika masa iddah Zaîd telah habis, maka Rasulullah SAW berkata
kepada Zaîd: “tolong lamarkan dia untukku, wahai Zaîd”. Maka Zaîd
segera pergi kerumah Zaînab dan berkata: “wahai Zaînab bergembiralah
Rasulullah SAW telah mengutusku melamar dirimu untuk beliau”. Kata
Zaînab: “aku tidak dapat berbuat apa-apa hingga aku menyerahkan
urusanku kepada Allah”. Kemudian ia salat di musholah rumahnya. Maka
turunlah ayat ke-37 surat al-Ahzab. Lalu Rasulullah datang kepadanya
dan menikahinya tanpa ada masalah. (HR. al-Nasâî)
Kandungan hadis di atas berkenaan dengan kasus Zaînab Ibn Jahesî
yang dipinang oleh Rasulullah SAW untuk mantan anak yang di adopsinya
yakni Zaîd Ibn Haritsah. Zaînab pada mulanya menolak demikian juga
saudara Zaînab, Abdullah. Keduanya merasa memiliki garis keturunan
76
Ahmad Ibn Syu‟aib Abû „Abdurrahmân al-Nasâî, Sunan Al-Nasâî, h. 174
62
terhormat dari suku Quraisy, sedang status Zaîd sebelum di posisi Nabi
adalah seorang budak. Ada beberapa riwayat tentang sikap Zaînab ketika itu.
Ada yang mengatakan bahwa dia meminta agar diberi waktu untuk
Istikhârah, dia menerima pinangan Rasulullah walau dengan berat hati.
Maka turun ayat al-Qur‟an surat Al-Ahzâb (33) ayat 36 , yaitu
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-
Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al-Ahzâb
(33): ayat 36).
Ayat diatas menegaskan bahwa, “Dan tidaklah kepatutan bahkan tidak
akan ada wujudnya bagi laki-laki yang mukmin siapapun dia dan akan pula
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan hukum, tiadalah bagi mereka pilihan yang lain
tentang urusan mereka yang bersifat pribadi sekalipun setelah ketetapan
Allah dan Rasul-Nya. Ini bila Allah dan Rasul-Nya tidak memberi pilihan
lain. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dengan menolak
ketetapan-Nya maka sesungguhnya ia telah sesat, kesesatan yang nyata”.77
Al-Biqâ‟I berpendapat bahwa ketaatan Zaînab ra. Kepada Allah dan
Rasul-Nya itu, mendapatkan imbalan yang luar biasa, yakni perkawinan
77
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian, Jilid
11(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 276-277
63
beliau dan Rasul setelah dicerai oleh Zaîd dan ini juga yang mengantar beliau
akan bersama Rasulullah SAW di surga kelak.78
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan segala hal yang telah penulis kemukakan dalam bab I
hingga bab III penulis dapat menyimpulkan beberapa poin penting dalam
memahami salat sunnah istikhârah yaitu:
Jumlah raka‟at salat sunnah istikhârah tidak terbatas. Walaupun nash
hadis menyebutkan dua raka‟at, akan tetapi penyebutan ini sebagai
pemberitahuan tentang jumlah minimalnya. Adapun waktu mengerjakannya
tidak ditentukan, sehingga dapat dikerjakan kapan saja, baik siang maupun
malam. Namun yang lebih utama dikerjakan pada malam hari sebagaimana
salat Tahajjud, yaitu pada sepertiga malam yang terakhir.
a. Di dalam hadis terkandung pengertian bahwa salat istikhârah itu
disyariatkan dalam segala urusan, baik urusan itu besar maupun kecil.
b. Para ulama berpendapat bahwa salat sunnah istikhârah hukumnya sunah
mu‟akad bagi yang sedang menghajatkan petunjuk itu.
c. Bahwa hadis-hadis tentang salat Istikharah dapat dipertanggungjawabkan,
karena tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan hadis lain.
78
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian, hal. 277
64
B. Saran-saran
Studi-studi literatur hadis sangat membutuhkan ketelitian yang
mendalam dan pemahaman yang menyeluruh. Dalam hal ini dibutuhkan
pengetahuan dari berbagai sisi baik itu dalam hal sisi sosial historis dan
kultur budaya yang berkembang. Hal ini karena lahirnya sebuah teks seperti
hadis tidak terlepas dari kultur dan budaya masyarakat sekelilingnya.
Karena kemudian, para pelajar studi literatur hadis harus sangat
familiar dengan sejarah, budaya yang baerkembang bersamaan dengan
lahirnya teks hadis. Jadi dalam hal ini penguasaan akan kaedah dan teori
tentang analisis memang penting. Namun, penguasaan dalam sisi kesejarahan
juga tidak bias dielakan kepentingannya.
Selanjutnya, sudah menjadi kewajiban kita sebagai generasi yang lahir
jauh setelah masa kenabian untuk menggali lebih dalam hal yang belum
tersentuh oleh ulama terdahulu. Karena masih banyak yang harus dilakukan
untuk membenahi pengetahuan kita akan pemahaman yang sebenarnya dari
permasalahan keagamaan yang telah diajarkan oleh Nabi kepada sahabatnya.
Ketahuilah tanpa pembelajaran dan pencarian kita seperti orang buta yang
65
mencari jalan pulang. Akhirnya, semoga Tuhan membimbing kita dalam
pencarian ini. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ayyash, Muhammad. Keajaiban Salat Istikhârah. Jakarta: Qultum Media,
2008.
Al-Asqalânî, Ahmad Ibn „Alî Ibn Hajar. Fath al-Bârî: Syarah Sahih al-Bukhârî.
Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009.
Al-Bukhârî, Muhammad Ibn Ismâ‟îl. Sahîh al- Bukhârî. Beîrût: Dâr al-Fikr. 1995.
Al-Ghazali. Rahasia-rahasia Salat. Penerjemah: Moh. Al-Baqir. Bandung:
Karisma. 1984.
Al-Ghazali, Muhammad,. Akhlak Seorang Muslim. Penerjemah H. M. Rifa‟i,
Semarang: Wicaksana. 1995.
Al-Hamîd, Zaîd Huseîn, Terjemahan al-Adzkâr al-Nawâwî: Intisari Ibadah dan Amal,
Bandung: Pustaka Azzam, 1994
Al-Nasâî Abû, „Abdurrahmân. Sunan Al-Nasâî. Beîrut: Dâr al-Fikr, t.th.
Al-Nawâwî, Muhyiddin Abî Zakariyyâ Yahya Ibn Syaraf, Al-Adzkâr, Surabaya: Pustaka
al-Hidayah, 1995
Al-Sulthani, Mawardi Labay. Zikir dan Do’a Mendirikan Salat yang Khusyu
Mencegah Manusia dari Perbuatan Keji dan Mungkar. Jakarta: Al-
Mawardi Prima, 1999.
Al-Tirmidzȋ , Muhammad bin „Isậ bin Saûrah bin Mûsậ bin al-Dahhak al -
Sulam ȋ al-Bugȋ . Sunan al-Tirmidzȋ . Beîrût: Dậr al-Fikr, t.th.
66
Awwab, Qomaruzzaman. Istikharah for Muslimah. Bandung: DAR! Mizan, 2008.
Azmi, Abdul Ghani bin Idris. Pedoman Salat-salat Sunnah. Kuala lumpur: Darul
Nu‟man, 1996, Cet.2.
Dewan Hisbah Persatuan Islam. Risalah Salat. Bandung : PT Remaja Rosda,
1996, Cet ke-1.
Haideri, M. Baqir. Istikharah Cara Praktis Meminta Petunjuk dan Jalan Keluar
dari Allah SWT.. Jakarta: Pustaka Zahra, 2003, cet. 1.
Ibn Mâjah, Muhammad Ibn Yazîd al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah, Riyadh:
Dârussalâm, 1999.
Ibnu Hanbâl, Abdullah Ibn Muhammad. Musnad Ahmad Ibn Hanbâl. Beirut:
Dâr al-Fikr. 1991/1411.
Ibnu Salmân, Masyhûr ibn Hasan Mahmûd, Al-Qaulu al-Mubĭn Akhtâ’I al-
Muslim, Bandung: Pustaka Azzam, 2000.
Izzudin, Abu Muhammad. Salat Tiang Agama. Malaysia: Percetakan Ja‟far sdn.
1996, Cet 1.
Labib MZ. Pelajaran Salat Istikharah. Surabaya: Bintang Usaha Jaya, t.th.
Mugniyah, Muhammad Jawâd. al-Fiqh ‘alâ al-Madzahib al-Khamsah.
Penerjemah Maykur, Baîrut: Dâr al-Jawâd, t. th.
Muh. Said, Thohuri. Salat Malam Sebagai Pengobat Jiwa. Surabaya: PT. Bina
Ilmu. 1993.
M. Abdul Mujib dan Mabrur Tholhah. Said. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta, Pustaka
Firdaus. 1995.
Munawwir, Ahmad Marson. Kamus Lengkap al-Munawwir Arab Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progressif. 1997.
Rasjid, Sulaiman. Fiqhul Islam. Bandung : Sinar Baru Algesindo. 2006, Cet. 36.
Razak, Nasruddin. Ibadah Salat Menurut Sunnah Rasulullah. Bandung: PT. Al-
Ma‟arif. 1993, Cet. VIII.
Rifa‟I, Muhammad. Fiqih Islam lengkap. Kuala Lumpur: Pustaka Jiwa. 1996.
Rousydiy, T.A. Lathief. Salat-salat Sunnah Rasulullah SAW. Medan: Firma
“Rimbou” Medan. 1984, Cet. 1.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian. Jakarta:
Lentera Hati. 2002.
67
Al-Sijistânî, Sulaîmân Ibn al-Asy‟ats al-Asha., Sunan Abû Dâud. Beîrut: Dâr al-
Fikr, t.th.
Wajdi, Firdaus. Salat Sunnah Favorit Nabi. Jakarta : Alifbata. 2006, Cet.1.
Zuhri, Moh.. Tarjamah Sunan al-Tirmidzi. Semarang: CV As-Syifa. t.th.