Download pdf - BANGKA

Transcript

DAFTAR ISI

BAB 1 BAB 2 BAB 3 BAB 4 BAB 5

PULAU BANGKA PENDATANG PEMULA DI PULAU BANGKA DAN NAMA PEMBERIANNYA ORANG YANG MULA-MULA MENGENAL PENDUDUK PULAU BANGKA PULAU BANGKA DIBAWAH PEMERINTAH KERAJAAN MAJAPAHIT PULAU BANGKA DISERANG OLEH MELUKUT

BAB 6 PULAU BANGKA DIBAWAH PEMERINTAHAN SULTAN JOHOR DAN RAJA MINANGKABAU BAB 7 PULAU BANGKA DISERANG OLEH BAJAK LAUT DARI LAMPUNG BAB 8 PULAU BANGKA DIBAWAH PEMERINTAHAN BANTEN Bab 9 KERAJAAN BANTEN BERPERANG DENGAN KERAJAAN PALEMBANG BAB 10PULAU BANGKA DIBAWAH PEMERINTAH SULTAN PALEMBANG BAB 11KERAJAAN PALEMBANG TERBAGI DUA DAN SULTAN RATU MAHMUD BADARUDDIN I MELARIKAN DIRI KE JOHOR BAB 12SRI SULTAN RATU MAHMUD BADARUDDIN I DUDUK DI PULAU SIANTAN DAN MENIKAH DISANA BAB 13AWAL MULA BERDIRINYA NEGERI DI MUNTOK BAB 14ASAL USUL KETURUNAN BANGSAWAN DI MUNTOK BAB 15PULAU BANGKA DIKEPALAI OLEH SEORANG MENTERI RANGGA BAB 16PULAU BANGKA DIKEPALAI OLEH SEORANG TEMENGGUNG BAB 17PEMERINTAHAN DI PULAU BANGKA MENJADI RUSAK DILANDA BENCANA BAB 18KERJAAN PALEMBANG BERPERANG DENGAN GUBERNUR INGGERIS BAB 19KERAJAAN PALEMBANG BERPERANG DENGAN GUBERNUR BELANDA BAB 20RESIDEN BANGKA, TUAN M.A.P. SMISSAERT TERBUNUH BAB 21 PERANG DI PALEMBANG UNTUK KEDUA KALINYA

BAB 22PEPEREANGAN DI PULAU BANGKA

BAB 23ASAL USUL KETURUNAN ABANG ARIFIN TEMENGGUNG KERTA NEGARA, NAMA YANG KESOHOR DISELURUH PULAU BANGKA BAB 24PERUSUH TUAN AMIR BAB 25PENANGKAPAN BATIN TIKAL DAN DIBUANG KE MENADO BAB 26ABANG ARIFIN TEMENGGUNG KERTA NEGARA I, MENINGGAL DUNIA BAB 27PENJAGAAN PARA BAJAK LAUT OLEH PERAHU KERUIS PEMERINTAHAN BAB 28ZAMAN AKHIR BAB 29MASA TUAN RESIDEN ENGELENBERG

BAB 1

Pulau bangka dan belitung, menrut letak geografisnya sangat dimungkinkan pada mulanya bersatu dengan pulau-pulau lain-lainya, seperti kepulauan daratan riau-lingga, pulau singapura maupun tanah malaka. Hal ini dapat kita ketahui dari jenis ataupun ragam dari tumbuhtumbuhan, struktur tanah juga kandungan minereal logam, seperti misalnya timah. Memang untuk membuktikan secara ilmiah sejauh ini belum dapat kita peroleh, mengingat literatur atau pustaka yang mendukung data tersebut tidak lengkap, mungkin pula para ahli belum tertarik mengupas masalah ini secara lebih detail/rinci. Hanya dapat dikatakan pada zaman dahulu pulau bangka ditemukan oleha para pendatang, yang hanya mengetahui pulau yang mereka singgahi dengan kondisi beberapa bukit kecil serta diantaranya adajuga yang cukup tinggi, dengan hamparan daratn yang cukup luas serta ditumbuhi pepohonan dan hutan belukar serta rimba yang lebat. Pulau yang terletak pada posisi 1-30--3 Lintang Selatan serta 45-107 Bujur timur, dengan bentangan dari Barat Laut menuju ke Tenggara, yang memiliki kepanjangan sekitar 180 Km. Luas daratan yang diperkirakan mencapai 11.614.125 Km dengan berbatasan : Laut Cina Selatan (Laut Natuna) disebelah Utara dan Timur Laut. Selat Gaspar yang memisahakan dengan pulau Belitung disebelah Timur. Selat Bangka yang memisahkan dengan pulau Sumatera disebelah Barat Laut Jawa (Hindia Belanda) disebelah Selatannya.

BAB 2

Pada dahulu kala yang belum dapat dipastikan di abad keberapa, dimana dikisahkan bahwa ada seorang putra raja dari bugis dengan nama SRI GADING, yang hendak mempersunting saudara perempuannya sendiri yang bernama PUTERI DADAENG. Namun puteri tersebut menolak lamaranya, dan hal itu disampaikan kepada ayahanda yang dikenal dengan nama RAJA TUMPU AWANG. Berita itu sangat membuat Baginda murka, sehingga SRI GADING diusir keluar istana dan dititahkan/diperintahkan untuk tidak diperkenalkan kembali sebelum dapat mempersunting seorang isteri yang soleh diluar. Untuk mewujudkan maksud tersebut SRI GADING telah berusaha menyiapkan sebuah perahu kayu yang cukup besar, yang juga dilengkapi persenjataan serta pengikutnya/anak buahnya, yang juga dilengkapi pesenjataan serta pengikutnya/anak buahnya, terdiri dari laki-laki maupun perempuan. Kemudian, mereka mulai berlayar meninggalkan tanah menuju kearah Barat, melintasi pulau Jawa jauh sampai ke tanah Malaka atau Melayu. Untuk membekali keperluan perjalanan, setiap kesempatan pada daerah yang disinggahi, mereka sering melakukan perampokan/perampasan yang lebih kenal dengan dengan Bajak Laut.

Dengan hasil bajakan rampasan yang dimuatkan pada perahu mereka berlebihan sehingga untuk melakukan perjalanan selanjutnya menjadi terganggu dan akhirnya keadaan perahu terombang ambing dilautan lepas serta terbawa arus sampai terdampar di negeri Johor. Dengan demikian, waktu itu SRI GADING berkesempatan pergi dan menghadap SRI SULTAN JOHOR guna mendapatkan pertolongan dan bantuan bagi perbaikan perahu mereka. Ternyata di tanah Johor juga banyak dijumpai anggota masyarakatnya dari keturunan Raja yang berasal dari Bugis. Suasana yang demikian, yang membuat persahabatan cepat bertambah akrab dan dengan perantaraan mereka pula bantuan untuk perbaikkan perahu SRI GADING dapat diselesaikan. Tapi hal itu tidak membuat dan anak buahnya lantas melanjutkan perjalanan mereka, karena kesempatan yang terbina secara cepat serta bantuan SRI SULTAN JOHOR pula, akhirnya SRI GADING menemukan tambatan hatinya di Johor. Perempuan yang dipersunting menjadi isterinya adalah seorang keturunan Cina, dank arena perkawinan itu menjadikan SRI GADING menetap di tanah JOHOR dalam kurun waktu yang cukup lama. Kondisi itu pula mengharuskan perahu SRI GADING diperbaiki lagi setelah timbul niatnya kembali ke negeri asalnya. Namun untuk menempuh perjalan pulang yang paling aman dan dekat, oleh SULTAN JOHOR diberikan bantuan sebagai petunjuk yaitu seorang juragan dari keturunan Bugis pula yang bernama : NACHODA RAGAM. Dalam perjalanan kembali, perahu layar mereka mengalami musibah, dimana mereka dihantam ombak dan angin ribut yang membuat mereka kehilangan arah, serta trgisnya NACHODA RAGAM sampai meninggal dunia sewaktu kepanikan terjadi diatas kapal. NACHODA RAGAM tidak tertolong nyawanya yang diakibatkan tertusuknya dia oleh isteri SRI GADING dengan jarum jahit. Kepanikan semakin menjadi diatas perahu akibat meninggalnya NACHODA RAGAM yang disangka dibunuh, sehingga terjadi pecekcokan yang mengarah pada perkelahian yang menyebabkan banyak pula yang meninggal dan mengalami luka-luka. Sementara perahu tetap melaju tanpa arah tujuan pasti, akhirnya terdampar lagi disuatu tempat/pulau yang diketahui waktu itu memiliki bukit yang cukup tinggi (sekarang dikenal dengan nama Gunung MARAS), kemudian SRI GADING dengan sisa anak buahnya yang masih hidup meneruskan perjalanan/mendarat untuk menuju bukit tersebut. Sesampainya diatas bukit itu, ditemui sebuah pondok tua yang perkarangannya (halamannya) ditumbuhi serumpun pohon bamboo/buluh Aur dan didekatnya didapati sepasang mayat manusia (laki-laki dan perempuan). Dan dari tempat itulah terlontar pertama kali kata BANGKAI, yang kemudian dikenal dengan nama BANGKA. Oleh masyarakat Bangka dianggap sebagai riwayat dari pulau Bangka sendiri. Menurut ceriteranya yang dapat dipercaya bahwa pasangan itu berasal dari daratan Sumatera sebagai putera raja. Karena berbuat serong/zinah maka oleh raja, ayahandanya, mereka dengan rakit di laut sehingga terdampar dipulau yang bukitnya dijadikan tempat tinggal mereka (Gunung Maras). Mereka berusaha mengarungi hidup mereka sebagai suami-isteri, berladang, bercocok tanamsayur mayor serta memelihara ternak diatas bukit tersebut. Semuanya itu mereka peroleh sayur-mayur serta memelihara ternak diatas bukit tersebut. Semuanya itu mereka peroleh sewaktu mereka mulai dihukum, maka dibekali bibit sayuran dan ternak untuk di bawa serta dengan rakit mereka. Setelah selang beberapa tahun kemudian, suatu ketika mereka digigit oleh ular yang berbisa yang dikenal dengan banyak waktu itu, sehingga mereka menemui ajalnya dan mereka menghembuskan napas di dekat rumpun pohon bamboo/buluh tersebut, makanya buluh/bamboo tersebut diberi nama : BULUH MEERINDU atau AUR MERINDU. Tidak berapa jauh dari pondok itu, oleh SRI GADING ditemui lagi sebuah kandang ternak, dimana, dimana ternak didalamnya juga dalam keadaan mati semuanya, bahkan telah menjadi tulang belulang beserakan/bertambun-tambun. Maklumlah, sejak tuanya meninggal, ternakternaknya tadi tidak ada lagi yang memberikan makan. Oleh kondisinya yang demikian, Sri

gading menamakan bukit bukit tersebut dengan bukit TAMBUN TULANG. (Dekat Gunung Maras) Kemudian kedua mayat tersebut, dikuburkan oleh SRI GADING dan rombongan sebagai tempat tinggal mereka. Dari peristiwa yang dimaksudkan itu, penghuni pertama manusia di pulau Bangka adalah pasangan yang telah dikuburkan tersebut. Yaitu anak atau putra raja dari daratan Sumatera. Sementara SRI GADING dan rombongan menempati daratan pulau itu, mereka mulai melakukan kegiatan harian, selain itu juga berusaha membuatkan perahu lagi sebagai niat semula untuk kembali ke negeri Asalnya, setelah sekian lama menanti tidak ada perahu yang singgah/bersandar. Setelah rampung perahunya, SRI GADING dengan istrinya serta sebagian kecil anak buahnya, melanjut perjalanan (berlayar) kearah Timur menuju tempat asalnya. Sementara anak buahnya yang lain ditinggalkan dengan janji bahwa kemnudian hari akan dijemput kembali. Namun, setelah dinantikan sekian lamanya belum ada yang menjemput, maka diperkirakan bahwa SRI GADING mengalami musibah dalam perjalanan/pelayarannya. Sehingga tinggalah mereka dipulau tersebut tanpa ada yang memimpin atau mengepalainya. Dengan bergesernya waktu, maka pertumbuhan dan perkembangan kelompok ini bertambah banyak dalam bentuk kelompok-kelompok. Mengingat pertumbuhan masyarakat kecil itu tanpa diatur seorang pemimpin, membuat tidak teratur dan condong lebih bersifat liar, terputus dengan dunia luar, serta sandangnya pun masih terbuat dari kulit kayu mengingat masyarakat kecil itu terbentuk dari berbagai suku yang dibawa serta dari hasil rampasan/pereampokan sepanjang menelusuri perjalanan yang dilakukan SRI GADING tersebut, menjadi asal muasal penduduk asli pulau ini (pulau Bangka). Perampasan/perampokan waktu itu juga melibatkan pengambilan orang-orang yang dirampok.

Kembali disebutkan bahwa ceriterea tentang kedua mayt tersebut yang ditemukan oleh SRI GADING dan dikuburkan di dekat serumpun bambu/buluh peerindu itu. Hingga sekarang menjadi semacam legenda atau seritera rakyat atas BULUH PERINDU tersebut. Cereritera rakyat itu berkembang, dimana pada masa itu ada dua bersaudara dari tanah Sumatera (Palembang), tersebut dalam pelayaranya dan perahu mereka terdampar pada sebuah bukit (Gunung Maras), serta diatas bukit itu terdapat/di jumpai seekor ular, lalu secara spontan itu di bunuhnya menjadi dua bagian atau terpotong menjadi dua bagian. Setelah itu, saudara tuanya tertidur arena kecapaian, sementara adikny atetap menunggu sambil duduk didekat saudara tuanya itu. Tiba-tiba diluar kesadarannya, didatangiseorang kakek (Dewa) dan menanyakan peristiwa yang baru saja yang dilakukan saudaranya (membunuh ular itu). Lantas potongan dari bagian yang lain membentuk seperti semula yang menyatukan, serta pada kubung, selanjutnya diolesi dengan minyak yang dibawa. Dalam sekejab ular yang semula telah mati, menjadi bergerak lagi lalu ular tadi dapat hidup kembali dan ular itu diangkat serta dilepaskan di hutan sekitar itu. Kemudian orang tua (kakek) itu lenyap dari pandangan tetapi minyak yang dibawa nya tadi tertinggal. Stelah kakaknya terbangun dan menanyakan kemana ularr yang dibunuhnya itu, oleh adiknya diceriterakan kejadian yang baru dialami, tetapi kakanya tidak percaya sama sekali. Untuk meyakinkan kakaknya itu, adiknya lalu mengambil sepotong kayu dan memotongnya menjadi dua bagian, lalu dihubungkan kembali serta mengusapkan dengan daun mengnkubung dan mengolesnya dengan minyak tadi, maka tadi kembali menyatu seperti sediakala. Namun kakanya yang semula diharapkan dapat dipercaya, tidak pula bergeming maupun berubah pendirianya untuk percaya begitu saja. Tetapi oleh adiknya tidak menyerah begitu saja, dan timbul akalnya untuk menyuruh kakaknya duduk berdua dengan saling

membelakangi (bertemu punggung) secara rapat satu sama lainnya, selanjutnya dia mulai mengusap daun mengkubung dan memoles minyak tadi kepunggung mereka yang sedang merapat itu. Dan apa yang terjadi, kakak beradik itu ternyata menjadi lengket dan tidak dapat dipisahkan sampai mereka meninggal. Merupakan takdir Tuhan rupanya mayat kakak adik itu akhirnya menjadi serumpun bambu. Dan rumpun bambu/aur inilah yang kemudian disebutkan sebagai BULUH PERINDU. Bagamianadan apa sebanya dinamakan BULUH PERINDU/MERINDU? *) Alkisah dari legenda rakyattadi bahwa buluh merindu itu diartikan dengan pandai menyanyi memakai kata-kata indah atau pandai berpantun. Sehingga buluh merindu yang mengeluarkan suara yang indah nan merdu akibat dari terpaan angin yang membuat batang-batang buluh saling bergesekan. Karena suara yang ditimbulkan sangat indah dan meerdu juga kedengarannya diantara langit dan bumi, bergaung merdu di angkasa, dapat berakibat menjadi fasik bagi orang beriman tipis, yang telah bersahabat dapat menjadi musuh, jyuga demikian sebaliknya musuh dapat menjadi teman, arus hilir dapat berbalik ke mudik, burung terbang pundapat sekonyong-konyong terjatuh dari angkasa. Demikianlah ceritera rakyat yang beredar disebagian masyarakat Bangka, sehingga dapat disimpulkan bahwa sebetulnya sebelum mayat suami-isteri yang ditemukan oleh SRI GADING tadi sudah dianggap sebagai manusia pertama penghuni pulau Bangka, ternyata masih ada pula yang mendahuluinya sebagai penghuni pertama. Terlepas benar atau tidaknya sangatlah sulit dibuktikan.

BAB 3ORANG YANG MULA- MULA MENGENAL PENDUDUK PULAU BANGKA

Seiring dengan berjalannya waktu dan ini telah berlangsung beberapa puluh tahun lamanya meninggal SRI GADING yang telah di ungkapkan diatas, maka pada suatu ketika, sebuah perahu yang berlayar dari tanah Arab dengan Nahkodanya bernama Soelaiman. Setelah berlangsung beberapa lama menempuh perlayaran, akhirnya ditemukan lagi dartan dengan berbukitan yang menonjol cukup tinggi. Lalu diputuskan untuk singgah gunan keperluan mengambil air tawar pada mulanya. Kemudian keinginan untuk mengetahui lebih jauh situasi daratan ini dilaksanakan, khususnyabukit yang cukup tinggi tersebut. Dengan demikian oleh Soelaiman demikian oleh Soelaiman bukit itu diberi nama : MANOEMBINA (Dalam Bahasa Arab, yang diartikan adalah DATANG BERULANG KALI), hingga sekarang bukit itu biasanya dipanggil dengan sebutan : GUNUNG MENUMBIN atau GUNUNG MENUMBING. Petualangan Soelaman tetap dilanjutkan dan kali ini dia dan rombongan pergi kebukit lainnya. Dan disana dapat dijumpai sekelompok manusia yang kehidupanya sangat memprihatinkan, merana, liar dan kurang beradab, disamping itu sebagian dari mereka sedang terjangkit penyakit seperti demam, sakit kepala, yang terlantar tanpa ada perawatan, seolah-olah menunggu ajal atas panggilan Tuhan. Melihat kejadian itu, Soelaiman berusaha membantu

memelihara dan merawat mereka yang sakit sebisa mungkin serta mencarikan ramuan obatnya. (Waktu itu, katanya konon obat tersebut di buat dari daun mengkujang yang diremaskan dengan tangan, dicampur dengan kelopak pisang dan air perasannya diambil dan dibalurkan ke seluruh tubuh yang sakit. Berkat anugerah Tuhan pula, sebagian besar dapat tertolong dan sembuh dengan obat tersebut serta mereka sangat bersyukur dan berterima kasih kepada tuan Soelaiman, akhirnya beliau dihormati dan disegani mereka. Sementara bukit yang dijumpai itu, oleh Soelaiman dinamakan Maras yang berarti SUKA atau KESUKAAN/KEGEMBIRAAN. Sedangkan bukit yang bersebelahan itu tetap disebut Bukit Tambun Tulang sebagaimana yang dijelaskan dimuka. Selanjjutnya tuan Soelaiman berusaha dengan segenap kemampuanya, memperbaiki dan mengajarkan aturan dan tata cara hidup bermasyarakat serta agama Islam, namun tidak semua dari anggota masyarakat tadi mematuhinya dan mau mengikuti ajarannya. Sebagian dari mereka yang tidak mau mengikuti ajarannya. Sebagian dari mereka yang tidak mau mengikuti ajaran itu, yang diperkirakan lari dan membentuk masyarakat MAPUR, yang sampai saat ini dikenal sebagai kelompok masyarakat yang animisme. (tidak beragama) dan hidupnya selalu terpencil dan mengasingkan diri dari dunia luar serta mereka menempati suatu daerah yang masih masuk dalam kecamatn Belinyu (Bangka Utara). Sementara itu, tuan Soelaiman mulai menyelidiki asal usul kelompok masyarakat itu, diantaranya dengan mendapatkan seorang remaja yang diselidiki memiliki garis keturunan yang baik dan pemuda itu akhirnya diangkat sebagai anaknya yang diberikan nama : BANUR. Pemuda inilah yang kemudian hari menjadi seorang yang berwawasan luas, pandai dan berdedikasi tinggi, atas dari binaan dan tempaan tuan Soelaiman selama bertahun-tahun. Atas anjuran dan saran dari tuan Syeikh Soelaiman serta kesepakatan masyarakatnya, akhirnya BANUR menjadi Kepala Masyarakat disitu serta dikenal sebagai seorang pemimpin yang arif dan bijaksana dalam mengayomi masyarakat pada waktu itu.

BAB 4PULAU BANGKA DIBAWAH PEMERINTAHAN KERAJAAN MAJAPAHIT(DIPERKIRAKAN KEJADIAN SEKITAR TAHUN 1320 M.)

Setelah menetap sekian tahun, akhirnya tuan Soelaiman melanjutkan lagi perjalanannya dengan berlayar menuju pulau Jawa, dan mengenai pulau Bangka dengan segala sesuatunya dipersembahkan sebagai laporan paduka Raja Majapahit. Kemudian oleh Raja Majapahit diutuskan seorang Mantri yang bergelar Patih Gajahmada, bersama tuan Soelaiman kembali lagi ke pulau Bangka dan meneruskan penyelidikannya. Sesampainya di pulau Bangka, mereka memilih tempat sebagai tujuanya awalnya dikaki gunung Menumbing, disana memiliki daratan yang cukup baik bagi tempat tinggal sementara. Dan di tempat itu ditemui sebuah kayu besar yang sudah mati dan mongering. Hanya tinggal ponggornya saja (batang dan dahannya), maka untuk penghargaan dan mengenagntempat itu sebagai penampungan mereka, dinamakan

daerah itu dengan : PONGGOR, yang selanjutnya menjadi sebuah perkampungan serta diangkat pula seorang kepalanya. Dalam misi menyelidiki pulau Bangka, tetap diteruskan dan kali ini mereka pergi ke gunung Maras. Ditengah perjalanan mereka mendapatkan lagi sebuah perkampungan kecil yang mana melihat kedatangan mereka secara spontan mendirikan panjipanji guna menyambut dan menghormati kedatangan Patih Gajahmada, tuan Soelaiman dan rombongan. Peristiwa itu kemudian diabadikan sebagai nama kampung mereka dengan sebutan KAMPUNG PANJI, dan disitu pula dicarikan seseorang yang mampu bertindak selaku Kepala kampung. Setelah menetap beberapa waktu, kembali mereka melanjutkan perjalanannya menuju Maras serta ketemu lagi dengan BANUR, anak angkat dari tuan Soelaiman dahulu. Tidak jauh dari gunung Maras, masih termasuk bersebelahan ditemukan pula sebidang tanah datar yang cukup luas, yang ada ditumbuhi pohon jeruk. Pada lokasi ini pula oleh mereka didirikan lagi sebuah perkampungan kecil dengan mendatangkan beberapa kelompok masyarakat dari kampung yang dikepalai Banur, serta kampung yang baru tersebut dinamakan kampung JEROK, dengan dicarikan pula seorang kepalanya. Bersama-sama dengan Patih Gajahmada, tuan Soelaiman dan kepala kampung yang baru diangkat, mereka mencoba untuk mengadakan rapat musyawarah guna menetapkan batasbatas bagian tanah kampung masing-masing, juga dibuatkan aturan-aturan yang mengatur masyarakat kampung, baik yang ditentukan dari adat yang telah berlaku maupun cara-cara baru dari hasil kesepakatan dalam musyawarah tadi. Untuk lebih memberikan bobot atas pengakuan wilayah masing-masing dengan kekuasaannya, setipa kepala kampung diberikan semacam sertifikat (piagam) yang terbuat dari lembaran tembaga yang diberikan cap dan tulisan arab. Setelah misi mereka selesai, patih Gajahmada dan tuan Soelaiman kembali lagi ke pulau Jawa untuk menyampaikan laporan kepada baginda Raja Majapahit. Sementara rakyat di pulau Bangka yang sudah mulai berkembang kearah yang lebih baik dengan bimbingan dari kepala kampungnya masing-masing, disamping itu juga semakin bertambah kampung-kampung baru dengan aturan yang ada, yakni harus slalu mengangkat kepala kampungnya serta memberikan nama dari manusia, binatang, pohon, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Sekian lama setelah Patih Gajahmada dan tuan Soelaiman meninggalkan pulau Bangka, maka pada suatu saat Raja Majapahit mengutuskan lagi seorang Pangeran untuk memeriksa serta mengetahui perkembangan yang terjadi di pulau Bangka selama itu. Pangeran yang diutus kali ini bernama pangeran TEMANGGUNG DINTA. Semula pangeran TEMANGGUNG DINTA dan pengikutnya mendarat di pulau Bangka melalui sungai Batilan dan menempuh perjalanan darat, mereka menerobos hutan belantara serta sampai di kampung Menduk dan Jerok. Pada kedua kampung itu, dibentuk dan diangkat lagi seorang patih yang bergelar PATIH TALI untuk kampung Menduk PATIH PANJANG JIWA untuk kampung Jerok dan untuk membantu kerja para Patih diangkat pula bebrapa pembantunya sebagai hulubalangnya. Selama Pangran TEMANGGUNG DINTA melaksanakan tugasnya di pulau Bangka, disamping itu tetap berusaha pula mengajarkan kepada para Patih, aturan aturan yang kurang tepat serta memperbaiki adat di masyarakat. Selain itu tugas yang diemban oleh Pangeran Temanggung DINTA juga berupaya mengumpulkan hasil dari rakyat yang kiranya dapat dimanfaatkan di luar pulau Bangka, namun usahanya itu tidak selalumendatang hasil, karena masyarakat Bangka waktu itu tidak selalu mendatangkan hasil, karena masyarakat Bangka waktu itu hanya brcocok tanam, khususnya pagi, menganyamsumpit maupun tikar dadri pandan mangkuang (pandan hutan), sehingga hasilnya kurang memenuhi syarat untuk dibawa keluar, mengingat rakyat di

pulau Bangka tidak mendapat pengarahan lagipula setelah ditinggalkan begitu lama dan tidak ada hubungan dan pengawasan langsung dari kerajaan dari kerajaan Majapahit. Ini juga dapat dibuktikan dari peradaban mereka yang belum maju waktu itu, untuk berpakaian saja masih memanfaatkan kulit kayu dan tengkuluknya dari sumpit (anyaman dari pandan mangkuang) serta tempat minum atau makan dari upih pinang. Dengan pertimbangan bahwa pulau Bangka belum dapat menyumbangkan hasil sebagaimana yang diarapkan, maka pangeran TEMENGGUNG DINTA memutuskan untuk kembali ke tanah Jawa. Semua kejadian, pengalaman maupun upayanya, lalu sampaikan kepada Baginda Raja Majapahit. Sementara untuk mengatur segala sesuatu kepentingan di pulau Bangka, diserahkan kepada ke-dua Patih tersebut, dan kerajaan Majapahit tidak melakukan pengawasan lagi untuk bebrapa waktu. Waktu terus berjalan, sepeninggalan Pangeran TEMENGGUNG DINTA, masyarakat Bangka terus berkembang, sepeninggalan Pangeran TEMENGGUNG DINTA, masyarakat Bangka terus berkembang, demikian pula untuk jabatan Patih silih berganti. Rakayt telah dilibatkan pada proses pengangkatan Patih, seperti yang dilakukan di kampung Jerok, yang telah diangkat lagi seorang pengganti Patih yang bernama : RAKSA KUNING dengan hulubalangnya bernama SELANGGUR. Di Menduk yaitu Patih NGINCER, Di Depak, Patih GAMBIR dengan 4 orang hulubalangnya, bernama : LAYANG SEDEPA, MENGANDUN, MANG SIRAT, dan MANG KEPOSIT di Cepurak bernama PATIH NGEBAI. Di lain tempat juga ada Patih yang bernama Patih SINGA PANJANG JONGOR, dengan wilayah kekuasaanya di sebuah kampung dekat muara sungai Menduk. (sekarang dikenal dengan kampung Kotakapur) Perkembangan yang cukup pesat ini berdampak kurang baik, dimana hubungan hubungan antara kampung kurang terjalin dan lebih lebih condong bergaul hanya antara penduduk kampung saja, terutama dari suku keturunan Bugis. Sebetulnya pada masa itu sudah 5 (lima) orang yang mejabat Patih dengan para pembantunya di pulau Bangka.

BAB 5PULAU BANGKA DISERANG RAJA MELUKUT.

Sebelum mengetahui ceritera peprangan di pulau Bangka, ada baiknya mengenal dulu apa yang dimaksud dengan suku Melukut. Memang ada 2 (dua) versi yang mengidentifikasikan suku Melukut itu, dimana sebagian beranggapan bahwa: Suku Melukut berasal dari Sumatera Utara atau lebih dikenal dengan suku batak. Ada pula yang beranggapan dan percaya menurut riwayat dari buku peninggalan kuno, bahwa suku ini muncul di daerah Depak dengan Perawak an yang kecil kecil, anya setinggi hulu tangkai keris, dan mereka umumnya tinggal didalam hutan rimba tua (kelekak). Mereka biasanya mempersenjatai diri dengan pisau rencong yang kecil dikenal sangat tajam dan berbisa. Mereka inilah kemudian dianggap menyerbu k eke kampung serta banyak membinasakan penduduknya.

Dari versi yang ada dan yang paling masuk akal adalah mereka yang berasal dari suku Batak atau disebut bajak laut yang datangdari kepulauan Melukut mereka itulah yang lebih sesuai dan mewakili suku Melekut dan pada dasarnya mereka tidak mempunyai maksud untuk merebut kekuasaan pemerintah saat itu, diman suku Melekut yang dipimpin oleh rajanya bernama : TIDONGmulai menyerang masyarakat di pulau Bangka. Mula-mula menaklukan patih di Menduk dan patih di Cempurak. Hal itu disebabkan karena Raja Tidong dan pasukannya lebih berpengalaman dan lebih terlatih dengan bersemangat dan gagah bereani, akhirnya dengan mudah dapat meruntuhkan kekuasaan ke dua Patih tadi. Sementara yang masih tersisa berusaha menyelamatkan diri dengan lari memasuki hutan belantara. Kemudian kekuasaan Patih di Jerok juga diserang, tetapi Patih dan para hulubalangnya bernama Selanngor dapat menyelamatkan diri serta sebagian rakyat yang masih tersisa menyingkir dan masuk ke hutan guna berlindung didaerah yang aman. Tetapi kampung yang ditinggalkan menjadi binasa dan dapat dikuasai oleh Raja Tidong beserta pengikutnya. Setelah sekian lama Patih Jerok bertahan dengan kondisi di hutan belantara menyebabkan banyak pula dari pengikutnya menemui ajal disana, karena kondisi yang tidak menentu didalam hutan dimana tidak memiliki tempat penampungan yang layak dalam pengembaraan mereka dihutan-hutan. Disamping itu sambil berharap suatu saat mendapat bantuan, terutama dari Patih Singa Panjang Jongor tetapi harapan itu tetap siasia sebab sekalipun apa yang dinantikan tak pernah kunjung tiba. Dilain pihak Patih Singa Panjang Jongor tidak mau turut ikut campur tangan mengingat kampungnyakebetulan tidak mendapat gangguan dari Raja Tidong. Dengan keadaan yang serba kacau serta seringnya terjadi peperangan di pulau Bangka maka pada suatu waktu Nampak sebuah peraehu merapat di pulau Bangka dari tanah Johor dengan Nahkodanya bernama SARAH berasal dari Arab. Mengetahui dan melihat kejadian yang sedang melanda pulau Bangka dimana kekacauan dan penderitaan itu akibat ulah dari serangan Raja Tidong dengan penuh kekejaman, maka tuan Sarah sangat prihati dan kasihan, tetapi sebaliknya untuk menolong rakyat Bangka sangatlah tidak mungkin mengingat kondisinya saat itu dengan jumlah anak buahnya yang sedikit dimuatkan dalam peraehu yang berukuran kecil serta diantara mereka banyak yang sedang sakit, sementara di pihak Raja Tidong pasukannya cukup banyak dengan kondisi yang lebih baik dan sehat. Dengan kepedihan dan kedudukan yang mendalam, akhirnya tuan sarah memutuskan untuk kembali ke Johor serta melaporkan berita duka itu kehadapan Sri Sultan Johor dengan semua pengalaman dan pengamatan beliau serta untuk selanjutnya memohon agar kesudian dari Sri Sultan mengirimkann bala bantuannya guna menyelamtakan rakyat dipulau Bangka.

BAB 6Pulau Bangka dibawah Pemerintahan Sultan Johor dan Raja Minangkabau

Begitu mendengar sari tuan Sarah, maka SRI SULTAN langsung mengambil suatu sikap yang mula-mula melakukan hubungan bagi pelaksanaan misi bersama dalam penyerangan dan pengisiran Raja Tidong dari Puklau Bangka. (Saat itu hubungan Sultan Johor dengan Raja Minangkabau sangat skrab bahkan sudah terjalin sebelumnya terutama pada tahun 1641, dimana pihak Belanda menaklukan Malaka, orang-orang Minangkabau di Negeri Sembilan sudah mencari perlindungan pada Sri Sultan Johor, peristiwa itu terjadi pada abad ke 17). Setelah kesepakatan telah tercapai dari hasil rembukan tadi, maka diputuskan bahwa dari pihak Sri Sultan Johor mengutus angkatan lautnya di bawah pimpinan laksamananya Tuan Sarah, sementara dari pihak Raja Minangkabau mengutus angkatan daratnya dengan dipimpin oleh hulubalangnya yang bernama RAJA ALAM HARIMAU GARANG. Tetapi yang tettap menjadi pimpinan misi itu atau sebagai komandan perangnya yakni Tuan alias Panglima Sarah. Ketika persiapan dan pemantapan pasukan perangnya yang telah selesai dilakukan, maka perjalanan dengan peraehu pun dilaksanakan untuk menuju pulau Bangka. Memasuki perairan pulau Bangka oleh Panglima Sarah diatur dengan strategi dengan memanfaatkan pasukan angkatan laut yang berpencadr diperairan laut mengelilingi pulau Bangka guna menahan musuh yang lari dari darat ke laut maupun musuh yang datang dari seberang lautan. Sementara pasukan angkatan darat yang dikepalai oleh tuan Raja Alam Harimau Garang bersama Panglima Sarahmasuk dan mendarat dengan menelusuri sungai. Selanjutnya Tuan Raja Alam Harimau Garang bersama Panglilma Sarah masuk dan mendarat dengan menelusuri sebuah sungai di sebelah Timur (sekarang dikenal dengan Sungai Kota Beringin). Tatkala perahu-perahu tadi melintasi sungai sempat terlihat oleh sebagian penduduk pulau Bangka yang disangkanya perahu musuh, lantas mereka menyelamatkan diri masuk ke hutan untuk berlindung. Melihat gelagat itu, oleh Panglima Sarah cepat diambil tindakan untuk membujuk dan mengabarkan maksud dan tujuan mereka kepada beberapa orang penduduk tadi, yang kebetulan ada yang berani dan cobacoba untuk mengetahui maksud kedatangan mereka. Setelah misi mereka sebenarnya, sebagai utusan dari Sri Sultan Johor dan Raja Minangkabau maka dari pada itu pula mereka mendapat simpatisan dari penduduk setempat, mengingat tujuan mereka membantu rakyat Bangka melepaskan diri dari belenggu dan penindasan secara keji akibat berkuasanya Raja Tidong. Sambutan suka cita dan kegembiraan penduduk itu dituangkan dengan ulah menaiki peraehu-peraehu tadi secara beramai-ramai baik laki-laki maupun perempuan, sehingga perahu yang ditumpangi Panglima Sarah menjadi oleng dan akhirnya rusak dan tenggelam di dasar sungai. *). Konon diberitakan bahwa bangkai/lunas perahu Panglima Sarah sampai saat ini maasih terbenam di dasar kota beringin di muka berok. Pernah dikabarkan bahwa sekitar 1910, bangkai lunas perahu itucoba diangkat oleh Haji Abdul Rahman Sidik bersama penduduk kampung disana. Selama bangkai/lunas berada di darat, dimana buaya-buaya penghuni sungai itu menjadi beringas dan sering memangsa manusia sehingga untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, maka bangkai/lunas perahu itu dikembalikan ke tempat semula sampai sekarang ini. Pada kesempatan itu, panglima Sarah sempat berdialog dan menanyakan kepada penduduk mengenai siap dan dimana Raja serta Kepala Kampung mereka saat itu. Informasi yang diperoleh menyatakan bahwa keberadaan pimpinan mereka tidak ada yang tahu atau apakah mereka terbunuh, serta mereka pun mengatur segala sesuatunya bersama-sama.

Lain halnya dengan di daerah sekitar sungai Jerok, tempat dimana tuan Raja Alam Harimau Garang pergi, ada kepalanya yang bernama Patih Raksakuning serta hulubalangnya yang bernama Selanggur, sekalipun pernah mengungsi ke dalam hutan akibat dikejar-kejar musuh. Kemudian Panglima Sarah dengan Tuan Raja Alam Harimau Garang dapat berkumpul kembalidan membuat kesepakatan menyuruh masyarakat menemui Patih Raksakuning dengan hulubalangnya Selanggur beserta pengikutnya masing-masing, menjadikan suasana hanyut dalam kegembiraan dan suka cita yang mendalam. Selanjutnya, Panglima Sarah memerintahkan untuk untuk membuat permukiman baru, yang bahanbahanya dari pohon beringin sebagaimana banyak tersebar didaerah itu. (Kemudian permukiman itu dikenal orang sebagai kampung kota-beringin). Dari tempat itulah diadakan perembukan untuk mengatur strategi guna memerangi atau mengusir Raja Tidong. Tugas yang diatur seperti semula, dimana tuan Raja Alam Harimau Garang memerangan pasukan Raja Tidong yang berada di darat, sementara Panglima Sarah untuk pasukan yang berada di laut atau pesisir pantai. Untuk mendirikan penampungan bagi pasukan Panglima Sarah, kemudian mereka menelusuri sebuah sungai dan pada suatu daerah yang cukup baik di tepi sungai, mereka diperintahkan untuk mendirikan daerah yang cukup baik di tepi sungai, mereka diperintahkan untuk mendirikan sebuah kubu pertahanan, dan sekarang berkembang serta menjadi kampung yang dikenal dengan kampung Bangka Kota atau Kute. Konon diceriterakan bahwa pertempuran yang berlangsung sangat sengit dan banyak mennelan korban dari kedua belah pihak pasukan. Tetapi Raja Tidong beserta pasukannya dapat dipukul mundur, karena secara materi dan tehnis, beserta pasukannya dari gabungan Panglima Sarah dan tuan Raja Alam Harimau Garang berjumlah lebih besar dan cukup terlatih saat itu. Akhirnya Raja Tidong dengan sisa pasukannya terpaksa ditarik mundur dan mereka mengungsi di tempat yang lebih jauh dan aman untuk bertahan, yaitu di daerah Sambung Giri di dekat Merawang, Sungailiat. Tetapi dalam pengungsian tersebut tidaklah bertahan lama karena tempat persembunyian mereka sempat tercium oleh Panglima Sarah dan Tuan Raja Alam Harimau Garang serta selang beberapa waktu mereka lantas dikepung kembali dan terjadilah pertempuran lagi. Mengingat pertemuran kali ini kurangberimbang sehingga dalam beberapa hari saja Raja Tidong dan sisa pasukannya dapat dilumpuhkan serta pada peristiwa itu Raja Tidong terbunuh. Seusai pertempuran itu, maka dapat dikatakan sebagian besar daratan di pulau Bangka relative aman serta kepala-kepala anak negeri yang mendengar berita tersebut berbondong-bondong pergi untuk menhadap Panglima Sarah dan Tuan Raja Alam Harimau Garang sekedar mengucapkaan rasa sukur dan terima kasih atas bantuannya. Dari seluruh yang hadir, hanya Patih Singa Panjang Jongor yang berada di kota Kapur yang tidak Nampak diantara mereka. Sekalipun telah diupayakan untuk diundang beberapa kali. Kemudian oleh Panglima Sarah, Tuan Raja Harimau Garang beserta Patih Raksakuning diadakan penyelidikan, akhirnya dipeoleh keterangan bahwa sesungguhnya Patih Singa Panjang Jongor dengan Raja Tidong, tadinya ada membuat kesepakatan guna melicinkan jalan bagi Raja Tidong untuk menguasai pulau Bangka. Ini terbukti Raja Tidong didalam melaksanakan rencananya Panjang Jongor. Karena itu membuat Panglima Sarah dan Tuan Raja Alam Harimau Garang menginstruksikan pasukannya untuk menyerang Patih Singa Panjang Jongor. Mendengar berita tersebut, oleh Patih Singa Panjang Jongor juga mempersiapkan pasukan perangnya. Diperbatasan kampung dijaga oleh Selikur yang artinya memiliki jumlah 21 (dua puluh satu) personil sebagai hulubalangnya dengan cukup terampil dan kenamaan. Sementara itu Patih Singa Panjang Jongor juga mempersiapkan perangnnya. Diperbatasannya kampung dijaga oleh Selikur yang artinya memiliki jumlah 21 (dua puluh satu) personil sebagai hulubalangnya dengan cukup terampil dan kenamaan. Sementara itu Patih Singa Panjang

Jongor mempunyai anak gadis sebanyak 6 (enam) orang. Pada suatu malam salah satu dari anak gadisnya turun dari rumah panggung mereka untuk menumbuk padi guna persediaan buat mereka pada pagi harinya serta selagi asyiknya menumbuk padi tiba-tiba ada seekor ular, sejenis ular mati ekor, menggigitnya dan seketika itu pula gadis belia itu meninggal dunai tanpa diketahui penghuni rumah, sedangkan ular tersebut masi berkeliarandi sekitar itu. Tak lama kemudian salah seorang dari saudaranya yang lain menyusul turun untuk membantunya. Ketika melihat kejadian itu, saudaranya terkejut dan menjerit sejadi-jadinya, dia berteriak mengatakan saudaranya telah digigit ular mati ekor. Namun jeritan itu terdengar oleh bapak mereka dengan tanggpan yang salah, dimana kiranya anaknya mati terbunuh oleh hulubalangnya sendiri (yaitu pasukan Selikur yang disuruh menjaga perbatasan). Kejadian itu sangat mengejutkan Bapak mereka, Patih Singa Panjang Jongor. Dianggapnya pembunuhan itu diakibatkan karena para hulubalangnya (selikur) telah dipengaruhi dan menyebrang kearah musuh. Tanpa berpikir panjang lagi dia berlari masuk ke hutan dan bersembunyi di daerah Payabesar, sungai Menduk. Dari tanggapan yang salah tersebut kebetulan menjadi kenyataan juga, yang waktu diperbatasan dimana rakyatnya telah dibuat kalang kabut akibat diserang oleh pasukan Panglima Sarah dan Tuan Raja Alam Harimau Garang. Dan benar pula dugaanya dimana pasukan Selikurnya telah berkompromi pula untuk berpihak ke musuh. Dalam pertempuran itu banyak dari pasukan Patih Singa Panjang Jongor yang masih setia gugur dimedan perang, sementara yang masih tersisa bertahan dengan tidak seimbang lagi, akhirnya berpencar dan masih tersisa bertahan dengan tidak seimbang lagi, akhirnya berpencar dan lari keluar kota dan sebagiannya lagi dapat tertawan atau menyerahkan diri. Kemudian keadaan dapat terkendali lagi serta kampung dapat kembali tenang lagi. Singkatnya, putri-putri dari Patih Singa Panjang Jongor di jodohkan oleh Panglima Sarah dengan kepala yang diangkatnya sebagai bawahan. Sementara Patih Singa Panjang Jongir menjadi buron, oleh Panglima Sarah tetap diperintahkan untuk dicari, sekalipun hasilnya tetap saja nihil. Kemungkinan beliau telah wafat dalam pengembaraannya di hutan-hutan. (ini dapat diketahui sekarang bahwa dekat kampung Jeriji, Toboali dapat ditemui sebuah kuburan keramat, yang banyak disebutkan orang sebagai Keramat Dentelor atau Keramat Panjang Jongor, maka diperkirakan mereupakan kuburan beliau). Dengan berakhirnya peperangan tadi, seluruh pulau Bangka dapat menjadi aman kembali dan kekuasaan sekarang berada dibawah pemerintahan Sri Sultan Johor. Yang diangkatnya maenjadi wakilnya saat itu yakni Raja Muda alias Panglima Sarah, berkedudukan kota Bangka, sedangkan Tuab Raja Alam Harimau Garang, berkedudukan di wilayah Beringin. Dalam menjalankan tugas pemerintahannya, Panglima Sarah banyak membuat aturan adatistiadat dan peraturan pemerintahan serta menyebarkan agama Islam. Kerjasama antara Panglima Sarah , Tuan Raja Alam Harimau Garang maupun Patih Raksa Kuning, juga telah menghasilkan pemufakatan untuk memutuskan bahwa anggota masyarakat dari rakyat di Bangka yang sebagian besar rakyat melayu, dibebaskan bekerja dalam negeri, tetapi bila suatu waktu ada peperangan maka mereka di wajibkan menjadi serdadu. Keputusan tersebut ada pula dari sebagian rakyat yang tidak setuju, sehingga diperintahkan bagi yang tidak setuju untuk kembali ke negerinya masing-masing. Sejak pulau Bangka berada dibawah pemerintahan Sri Sultan Johor, keadaan relative terkendali, aman dan stabil serta rakyat pun telah banyak yang bercocok tanam, berladang padi dan berkebun untuk keperluan sendiri. Keadaan ini berlangsung sampai akhirnya menjadi suratan takdir dimana Panglima Sarah mangkat di Bangka kota dan juga dimakamkan disana. (sampai sekarang makam itu disebut orang sebagai Keramat tuan Sarah).

Pada masa itu, pulau Bangka belum ditemukan hasil yang berharga (rempah-rempah, timah dll) sehingga bagi Sri Sultan Johor kurang menarik untuk menguasai dalam jangka panjang, maka kemudian pulau Bangka diserahkan kepada Raja Minangkabau. Oleh Raja Minangkabau lalu mengangkat tuan Raja Alam Harimau Garang menjadi Raja Muda berkedudukan masih tetap di kota Beringin dan wakilnya waktu itu adalah Patih Raksakuning. Setelah beberapa tahun lamanya, pulau Bangka dibawah pemerintahan dari Raja Minangkabau, maka pada suatu hari meletuslah gunung Maras yang mengeluarkan lahar abu, seta bencana itu banyak menelan korban jiwa, rumah, maupun binatang disekitar gunung itu. Akibat letusan gunung tersebut dan sesudahnya diperoleh orang, sejenis benda yang menempel di batu yang hancur serta bergumpal-gumpal, tetapi benda tersebut masih asing bagi mereka dan belum ada yang tahu. Kemudian benda tersebut dibawa menghadap Tuan Raja Alam Harimau Garang yang selanjutnya oleh beliau dan staff-nya diketahuilah bahwa benda tadi berupa sejenis logam besi atau timah. Dengan diketahui jenis logam itu, maka diperkirakan tanah di pulau Bangka ini mengandung hasil logam. Selanjutnya Patih Raksakuning dengan kepala-kepala lainnya diminta untuk mencari lokasi-lokasi yang mengandung logam tersebut dan pencarian itu berhasil ditemuukan disekitar tanah Pakok yang kebetulan mau dijadikan lading menanam padi yang sudah dibakar. Penggalian segera dilakukan dan hasilnya diolah dengan cara yang sangat sederahan untuk dibuat bermacam-macam alat bagi pekerjaan diladang mereka. Inilah kejadian yang dianggap sebagai awal, orang-orang dipulau Bangka mengenal perkakas sebagai peralatan pekerjaan diladang. Tuan Raja Alam Harimau Garang memerintah di pulau Bangka setelah sekian tahun lamanya, akhirnya beliau meninggal dunia dan dikebumikan dikampung kota Beringin. (makam itu sampai sekarang masih dihoramti dan disebut orang dengan keramat Garang Panjang). Lalu tampuk pemerintahan dipulau Bangka diserahkan oleh Raja Minangkabau kepada Patih Raksakuning sampai beliau meninggal. Sejak peristiwa itu, Raja Minangkabau tidak lagi mengirim maupun mengangkat wakilnya untuk memerintah di pulau Bangka, karena selama itu pula pemerintahan di pulau Bangka belum pernah mendatangkan hasil bagi Raja Minangkabau. Sepeninggal Patih Raksakuning, kembali kekuasaan dipulau Bangka dilanjutkan oleh masing-masing kepalanya. Dan sejak saat itu pula kekuasaan pemerintahan di pulau Bangka menjadi terpecah dan tidak bersatu lagi, karena masing-masing kepala tidak ada yang mengaturnya lagi seperti sebelumnya, ditambah lagi bajak laut sering beroperasi dan membuat keonaran. Kejadian itu banyak yang membuat penduduk kembali hidup di hutan-hutan tanpa tujuan yang pasti. Dilain pihak anggota dari pasukan Panglima Sarah dan Tuan Raja Alam Harimau Garang yang beberapa waktu pulang ke tempat asalnya, rupanya sebagian masih ada yang bertahan di kota Bangka dan kota Beringin, juga sebagian dari pasukan angkatan lautnya bertahan menempati perahu-perahu di pesisir pantai seputar pulau Bangka atau yang sekarang lebih dikenal sebagai orang sekak, yang dapat kita jumpai sebagai nelayan dan mereka tinggal di perahu-peraehu sekitar pantai.

BAB 7

Pulau Bangka Diserang Oleh : Bajak Laut Dari Lampung

Tidak beberapa lama setelah wafatnya Patih Raksakuning, di pulau Bangka kedatangan lagi sebuah perahu yang cukup besar dari Lampung. Perahu itu berisikan bajak laut dan mereka berlabuh di pantai Panji (Belinyu). Waktu itu yang menjadi Batin Kepala disana bernama Pa Mail untuk berbincang-bincang serta dilanjutkan dengan berjudi sambung ayam didaerah pantai Roe (Bakek). Dalam pertaruhan itu Pa Mail kalah serta merta harta kekayaan beliau yang dipertaruhkan juga ludes semuanya yang hanya tinggal yang melekat di badan saja. Keadaan ini membuat Pa Mail naik pitam dan timbul niatnya yang jahat untuk mengatur siasat bersama anak buahnya merampas kembali harta yang telah berpindah tangan itu. Pengaturan selanjutnya telah ditentukan maka aksi untuk melakukan itu segera dimulai dan dalam penyerangan itu membawakan hasil yang cukup memuaskan serta dapat menguasai kembali harta miliknya. Dalam penyerangan tadi dapat membuat pihak musuh kehilangan banyak anggotanya serta yang sempat menyelamatkan diri berlayar kembali ke Lampung sekalian melaporkan kejadian yang dialami mereka. Di Lampung, kepala bajak laut mereka sangat marah tatkala mendengar apa yang dialami anak buahnya kemudian mereka menggalang kekuatan lagi dengan semua temantemannya untuk menyerang pulau Bangka lagi. Saat persiapan sudah mateng, berangkatlah mereka menuju pulau Bangka dan berlabuh di pantai Panji (Belinyu). Lalu mereka mendarat serta bersiap-siap untuk menyerang rakyat di Panji hingga sampai ke Maras. Dalam penyerangan balik ini, banyak rakyat yang terbunuh dan dirampas hartanya. Sebagian yang masih bias bertahan hidup, mengungsi lagi kedalam hutan untuk bersembunyi, sedangkan Pa Mail mengungsi dan bersembunyi di daerah Payo Adap. Patih di daerah Maras yang waktu itu bernama Cermin Jati Suara, bersama-sama tiga orang kepala bawahanya juga rakyatnya lari ke bakong sekalian untu memohon bantuan Batin Kepal di Bakong, bernama nateng Pahlawan. Ditempat itulah penduduk Bangka yang masih tersisa mencoba bertahan dan melawan musuhnya yang kali ini dipimpin oleh seorang hulubalangnya yang cukup gagah dan berani, bernama Mintuh. Tetapi sayangnya Mintuh ini belum berpengalaman dalam berperang membuat banyak dari anak buahnya terbunuh dalam setiap kali berperang maupun saling membunuh diantara mereka terbunuh dalam selisih paham diantara mereka. Kemudian tidak beberapa lama datanglah bantuan dari orang-orang Melayu yang tinggal di kota Beringin. Dalam pada itu musuh hamper dapat dipukul mundur, namun tetapi Kepala dari bajal laut tidak mau mengalah begitu saja, dengan kecerdikan dan tipu muslihatnya. Dan waktu itu keadaan cukup genting dan gawat, karena semua harta yang diperoleh dari rampasan perang telah berpindah tangan. Oleh karena itu, diajaknya Patih Cermin Jati Suara untuk bermusyawarah dan berdamai. Sebagai symbol perdamaian itu, Kepala bajak laut menghadiahkan sebilah pedang kepada Patih Cermin Jati Suara dan sebaliknya Kepala bajak laut dan serta merta dengan mulus dapat kembali ke negerinya dengan membawah harta rampasan yang tersisa. Sementara itu, Patih Cermin Jati Suara tidak mau kembali lagi ke daerah Maras, melainkan memilih tempat tinggalnya yang baru di Bakong, sedangkan rakyat pulau Bangka yang berada di tempat lain bertahun-tahun hidup dalam suasana yang tidak menentu mengingat

saat itu tidak memiliki pemimpin yang dapat mengatur mereka, sehingga membuat kehidupan mereka menjadi liar kembali tanpa dibatasi aturan dan bertindak penuh kebrutalan.

BAB 8PULAU BANGKA DIBAWAH PEMERINTAHAN SULTAN BANTEN

Masa-masa suram yang masih berlangsung di pulau Bangka akibat tidak adanya pemimpin mereka, maka pada suatu ketika masuk lagi sebuah sebuah perahu dagang dan merapat. Kali ini membawa orang-orang dari Banten. Nahkoda dan anak buah perahu itu dapat diterima dan bereamah tamah dengan penduduk pulau Bangka yang mereka temui. Setelah Nahkoda tersebut mengetahui bahwa rakyat pulau Bangka saat itu tidak memiliki pimpinan, maka sekembalinya dia ke Banten dipersembahkan peristiwa itu kepada Sri Sultan Banten, juga termasuk semua keadaan dan kejadian yang dialami di pulau Bangka. Mendengar laporan tersebut, Sri Sultan Banten berusaha untuk memperoleh keterangan lebih lanjut mengenai pulau Bangka. Akhirnya didapati pula keterangan yang cukup lengkap dari Sultan Mataram, bahwa dahulunya pulau Bangka pernah dikuasai oleh Raja Majapahit, Johor dan Minangkabau. Selanjutnya oleh Sri Sultan Banten direncanakan untuk mengutus seorang Pangeran Panembahan Serpu sebagai kepercayaan, disertai seorang Bupati ryang bernama : Nusantara guna diduduki sebagai penguasa atau raja muda di pulau Bangka. Ketika mereka mendarat di pulau Bangka, tidak menjumpai seorang pun dari penduduk setempat, tapi dapat terlihat disana bekas untuk istirahat melepas lelah serta berusaha mencari air tawar guna penawar dahaga, tetapi air yang dicari sangatlah sulit didaerah tersebut sehingga diputuskan untuk menggali sumur oleh para pengikutnya. *). Sumur itu sampai sekarang masih ada dan berada di kampung Sukal dan airnya masih digunakan oleh penduduk setempat. Sumur itu biasanya disebut Telaga Sukal. Pada keesokan harinya, barulah mereka berjumpa dengan salah seorang penduduk yang kebetulan ingin mencarikan di laut. Pangerean dan Bupati menyapa dan bertanya dengan sopan kepada orang itu agar kiranya dapat dibantu menunjuk serta membawa mereka menuju kampung-kampung disekitar itu. Dalam dialognya dengan penduduk kampung sekitar itu, Pangeraen berharap agar dapat memaklumkan bahwa pulau Bangka saat itu sudah berada di bawah pemerintahan Sri Sultan Banten dan sebagai wakil syah ditunjuk raja muda dari Sri Sultan Banten yaitu Bupati Nusantara. Dengan penuh kearifan dan bijaksana akhirnya rakyat dapat menerima secara sukarela kepimimpinan Sri Sultan Banten, yaitu Bupati Nusantara, berkedudukan di Bangka kota. Kemudian Pangeran dan Bupati tidak melantik dan mengangkiat pula kepala-kepala dari bangda anak negeri yang selanjutnya memeepoleh gelar Patih dan tetap bawahanya sebagai sebagai pengandang yang bergelar Batin, yang diangkat dan ditetapkan sebaghai pembantu mereka adalah sebagai berikut :

1. Patih untuk daerah Punggur dengan 2 Batin Pengandang. 2. Patih untuk daerah Jebus dengan 3 Batin Pengandang. 3. Patih untuk daerah Panji dengan 2 Batin Pangandang 4. Patih untuk daerah Jeruk dengan 3 Batin Pengandang. 5. Patih untuk daerah Menduk untuk dengan 5 Batin Pengandang 6. Patih untuk daerah Balar dengan 5 Batin batin Pengandang. 7. Patih untuk daerah Pakok dengan 5 Batin Pengandang. Sebagai tanda pangkatnya, masing-masing Patih dikaruniakan piagam dengan berlogo dan diberi cap. Setelah itu baru mereka mengadakan rapat musyawarah untuk menetapkan batas-batas daerah kekuasaannya masing-masing. Selesai penetapan itu, mereka selanjutnya mengatur kembali adat-istiadat yang kala itu sudah bercampur antara adat Bugis, Jawa, Melayu, Minangkabau, Johor dan lain-lain serta diusahakan pula menata kembali peraturan pemerintahan negeri dan pekerjaanya bahwa orang-orang Melayu tetap dibebaskan dari tugas pemerintahan kecuali bilamana negeri dalam keadaan darurat dan terancam peperangan maka mereka wajib membela dan menjadi serdadu. Selesai menjalankan tugas yang diembankan untuk mengatur pemerintahan dipulau Bangka, maka Pangeran Panembahan Serpu selanjutnya kembali lagi ke Banten dan Bupati Nusantara tetap berada di pulau Bangka untuk memerintah. Berkat keterampilan dan kebijaksanaan yang dimiliki dalam kurun waktu itu pula keadaan di pulau Bangka relative aman dan damai. Setiap tahun para Patih dan Batin Pengandang berkumpul dan menghadap Bupati Nusantara. Mereka biasanya membawa upeti berupa hasil usaha dari anak negeri untuk dipersembahakan kepada Bupati, baik berupa kerajinan tikar, kulit kayu untuk dinding rumah, kulit kepur, upeh pinang, air pinang muda dan daun simpur. Hasil-hasil tersebut dikumpulkan oleh bupati dan selanjutnya dibawa kehadapan Sri Sultan Banten, rupanya hasil-hasil tersebut kurang berkenan bagi Sri Sultan Banten mengingat nilai dari hasil tersebut tidak cukup berharga, sekalipun adakalanya hasil tadi berupa logam yang dipersembahkan dari rakyat. Meskipun jumlahnya sangat sedikit, lagi pula hasil logam itu masih sangat dibutuhkan anak negeri untuk dijadikan perkakas mereka di ladang.

BAB 9KERAJAAN BANTEN BERPERANG DENGAN KERAJAAN PALEMBANG

Menurut sejarah bahwa kerajaan di Palembang, yaitu Sri Sultan Palembang yang bergelar Sultan Sesuhunan ABDUL RAHMAN, yang memerintahkan dari tahun 1653-1702 dan makamnya berada di daerah Jandibalang. Baginda mengutuskan seorang Pangeran pergi

untuk meminang seorang puteri dari sri sultan Banten. Tatkala mereka tiba dipelabuhan Banten, tiba-tiba terjadi kerusuhan dengan orang-orang perahu Banten yang sedang berlabuh disitu. Dalam kerusuhan itu sempat pula menelan korban dan sebagian menderita luka-luka, sehingga kejadian itu berakibat cukup fatal dimana Sri Sultan Banten menolak utusan tersebut menghadapnya. Karena penolakan itu membuat mereka menjadi marah dan sakit hati serta akhirnya mereka melakukan perampasan perahu sebanyak 2 (dua) buah beserta harta benda yang ada didalamnya untuk dibawa pulang ke Palembang. Setibanya di Palembang, kejadian tadi disampaikan kepada sri Sultan Sesuhunan yang begitu mendengar berita itu menjadi sangat bersedih hati. Dilain pihak, sri Sultan Banten pun menjadi marah ketika mengetahui bahwa Pangeran telah merampas perahu dan membawanya serta kembali ke Palembang. Tak lama setelah itu, Sri Sultan Banten memerintahkan anaknya yang bernama Ratu Bagus bersama pasukannya dalam jumlah yang cukup banyak untuk bersiap-siap menyerang Palembang. Selama kurang lebih 2 (dua) bulan, Ratu Bagus memerangi Palembang dan keadaan itu membuat Sri Sesuhunan Palembang nyaris mengalami kekalahan. Bersama itu pula secara kebetulan mendapat bala bantuan yang datang dari anak-anak raja-raja yang bertapa diatas bukit seguntang, untuk bergabung bersama, sehingga Ratu Bagus beserta pasukannya dapat dipukul mundur kembali, seterusnya mereka pergi berlayar pulang ke Banten guna mendapatkan tambahan bantuan pula. Dalam perjalanan pulang, mereka terlebih dulu mampir disebuah pulau yang kemudian diketahui memiliki hamparan pasir putih yang luas dan jarang ditumbuhi pepohonan yang letaknya dimuara sungai Bangka kota. Mendapat kabar bahwa Ratu Bagus telah menarik diri dan berlabuh dipulau itu, maka Bupati Nusantara berangkat dengan beberapa orang pengikutnya untuk menemui Ratu Bagus dengan membawa perbekalan berupa makanan dan beberapa jenis buah-buahan hasil dari pulau Bangka. Kesempatan itu dimanfaatkan pula oleh Ratu Bagus untuk berembuk dengan Bupati Nusantara guna menyerang kekuasaan di Palembang kembali. Hasil dari perembukan itu disepakati untuk mengirim sebuah perahu berlayar kembali ke Banten guna mengantar sepucuk surat kepada Sri Sultan Banten. Isinya berupa laporan atas kejadian yang dialami dalam peperangan tadi dan tindakan yang telah diambil dalam bertahan dan mundur, dikarenakan kekuatan pasukan yang tidak berimbang serta memohon batuan dan tambahan pasukan agar dapat melanjutkan peperangan lagi. Setelah utusan tadi berangkat, maka Ratu Bagus bersama Bupati Nusantara dan pasukan Banten berlayar memasuki sungai menuju Bangka kota, sambil menantikan balasan surat dan tambahan bantuan dari ayahanda beliau, sekian pula memperbaiki dan menyediakan peralatan untuk perang. Sebelum mendapatkan balasan suratnya maupun bantuan tambahan dari Banten, tiba-tiba Ratu Bagus terserang sakit sehingga tak lama kemudian beliau pun menemui ajalnya serta dimakamkan di daerah itu juga. Pada saat itu, kebetulan sungai di pinggiran kampung meraka (Bangka kota) hanyut sepotongan kayu jati dan menyangkut di tepi sungai tadi, lalu Bupati Nusantara kayu jati itu dimanfaatkan sebagai nisan untuk makam Ratu Bagus. (oleh sebab itu, makamnya kemudian disebut orang sebagai keramat Ratu Bagus atau Keramat Jati Sari). Atas kejadian atau musibah itu oleh Bupati Nusantara lalu diutus lagi ke Banten untuk menyampaikan kabar tentang mangkatnya Ratu Bagus di Bangka kota serta telah dimakamkan dengan sebuah upacara kehormatan. Mendengar berita tersebut Sri Sultan Banten sangat berduka dan kemudian membatalkan semua bala bantuanya serta

mengabarkan bahwa peperangan yang disepakati beberapa waktu lalu untuk tidak dilanjutkan kembali.

BAB 10PULAU BANGKA DIBAWAH PEMERINTAHAN SULTAN PALEMBANG.

Berselang 13 (tiga belas) tahun sepeninggal Ratu Bagus, maka Sri Sultan Banten pun meninggal dunia pula. Lalu sebagai pengantinya diangkat puteranya yang lain. Akan tetapi dilain pihak kekuasaan di Palembang tetap masih berlangsung dan dipegang oleh Sri Sesuhunan Abdul Rahman. Ketika tersiar kabar berita bahwa Bupati Nusantara yang merupakan wakil dari Sri Sultan Banten untuk kekuasaannya di pulau Bangka mempunyai seorang gadis nan rupawan , maka Sri Sesuhunan Abdul Rahman berupaya dapat meminang gadis tersebut. Diantaranya mengirimkan utusannya dengan 3 (tiga) buah perahu kerajaan ke Bangka kota dengan tujuan pokok meminang gadis anak Bupati tersebut serta selanjutnya akan dijadikan permaisurinya yang kedua. Kedatangan utusan itupun disambut oleh Bupati Nusantara dengan penuh segala keramahan dan penghormatan. Didalam pertemuannya dengan utusan dari Palembang, Bupati Nusantara belum dapat meluluskan permintaan atas pinangan itu, karena kesetian Bupati Nusantara belum dapat meluluskan permintaan atas pinangan itu, karena kesetiaan Bupati terhadap Sri Sultan Banten, sehingga peminangan itupun harus sepengetahuan dan seijin dari Sri Sultan Banten terlebih dahulu. Bilamana ijin itu telah diberikan, tiadalah menjadi keberatan bagi Bupati Nusantara untuk mengabulkan permintaan dari Sri Sesuhunan Palembang tersebut. Setelah pertemuan dan kabar itu, kemudian utusan tadi kembali ke Palembang untuk menyampaikan semua permasalahan dan penyambutan ats mereka. Sepeninggalnya utusan itu, Bupati Nusantara berkirim surat pula melalui utusanya menghadap Sri Sultan Banten yang baru guna menyampaikan maksud dan kehendak dari Sri Sesuhunan Palembang itu. Di Palembang sendiri tatkala mendengar laporan dari utusanya, menjadi Sri Sesuhunan Abdul Rahman sangatlah gelisah dan khawatir, jangan-jangan niatnya meminang itu tidak dikabulkan oleh Sri Sultan Banten dan malahan dapat menjadi picu bagi timbulnya peperangan kembali. Akan tetapi berita itu tidaklah membuat Sri Sesuhunan Abdul Rahman sangatlah gelisah dan khawatir, jangan-jangan niatnya meminang itu tidak dikabulkan oleh Sri Sultan Banten dan malahan dapat menjadi picu bagi timbulnya peperangan kembali. Akan tetapi berita itu tidaklah membuat Sri Sesuhunan menjadi larut dalam ketidak pastian dan putus asa, kemudian dicarikan akal dengan mengirimkan pula utusan dengan menempati 7 (tujuh) buah perahu guna menemui Bupati Nusantara untuk mengadakan pembicaraan lebih lanjut dan sekaligus mengundang Bupati pergi ke Palembang sebab ada

niat dari Sri Sesuhunan untuk meminang langsung kehadapan Bupati Nusantara atas puterinya. Peristiwa itu membuat Bupati menjadi serba salah dan dalam posisinya serba sulit untuk menentukan sikap mengingat kesetiaan dan kepatuhan beliau dengan selalu berpegang teguh pada janji yang pernah diucapkan bersama almarhum Ratu Bagus, dimana jangan masuk ke Palembang, minum air yang mengalir dari sungai yang ada di Palembang pun tidak diperbolehkan. Lalu Bupati Nusantara menyampaikan pesan itu kepada utusan agar dijadikan maklum buat disampaikan kepada Sri Sesuhunan nantinya bahwa dia tidak dapat memenuhi undangan itu ke Palembang yang merupakan jani atau sumpah dari beliau dahulu. Sesampainya utusan itu kembali di Palembang serta menyampaikan hal-hal yang mengenai pesan dari Bupati Nusantara, sehingga membuat Sri Sesuhunan lebih banyak berdiam diri. Setelah berselang beberapa hari kemudian, maka Sri Sesuhunan memerintahkan seseorang untuk mencari suatu lokasi yang baik di daerah seputar Palembang atau kalau bisa berhadapan dengan Bangka kota tetapi air sungainya tidak dialiri langsung dari sungai yang ada di Palembang. Sesudah memperoleh lokasi tersebut, kembalilah menunjukam letak lokasinya yang berada ditepian sungai Pesugen. Selanjutnya Sri Sesuhunan memerintahkan lagi untuk mendirikan sebuah istana dengan ukuran yang lebih kecil serta komplek perumahan rakyat di tempat yang telah ditentukan itu. Pekerjaan yang memakan waktu cukup lama tetapi membuahkan hasil yang cukup mengembirakan dimana telah dibentuk sebuah kerajaan kecil suasana yang asri, sesudah itu Sri Sesuhunan dengan para menteri dan hulubalangnya, juga sebagian rakyatnya serta segenap seperangkat peralatan dan persenjataan untuk pindah ke tempat yang baru itu. Pereistiwa itu terjadi di tahun 1666. Sri Sesuhunan menetap di tempat itu cukup lama sambil menata peraturan negeri hingga baik, maka pada suatu hari Sesuhunan kembali memerintahkan lagi utusannya untuk memberikan undangan kepada Bupati Nusantara disertai penjelasan bahwa pemenuhan undangan kali ini tidak mengambil tempat di Palembang melainkan ditempat di luar Palembang dan juga air sungai yang mengalir tidak berhubungan dengan sungai yang ada di Palembang. Tempat yang ditentukan adalah berupa negeri baru yang terletak di tepi sungai Pesugen. Semuanya ini dimaksudkan untuk menghindari pelanggaran janji atau sumpah dari almarhum Ratu Bagus. Mendengar keterangan dan undangan atas perintah Sri Sesuhunan tersebut, maka bagi Bupati Nusantara bertambah sulit, mengingat bilamana tidak dipenuhi undangan tadi, takut akhirnya menimbulkan salah pengertian yang berakibat terjadinya perselisihan maupun peperangan. Dilain pihak juga belum memiliki alasan yang tepat untuk diberikan dibandingkan dengan usaha pengorbanan yang begitu besar dari niat Sri Sesuhunan di Palembang guna dapat meminang anaknya. Akhirnmya oleh Bupati diambil keputusan untuk memenuhi undangan tersebut dan menghadap Sri Sesuhunan di Pasugen. Di tengah persiapan memenuhi undangan itu, utusan dari Banten juga kebetulan tiba dengan membawa surat balasan buat Bupati Nusantara, yang memuat pesan sebagai berikut : A. Sri Sultan Banten tidak keberatan atas Sri Sesuhunan Palembang, asal saja pihak Bupati Nusantara dan puterinya sudi menerima arti maksud itu. B. Pulau Bangka mutlak diserahkan kepada Bupati Nusantara secara otonom dan tidak berada lagi dibawah pemerintah Sri Sultan Banten. Selesai membaca surat itu, maka Bupati sangatlah gembira dan keraguanya selama ini sirnalah sudah, ibarat pepatah : Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Na cincin gelang diperoleh. Persiapan yang semula mendekati rampung, sisanya dikerjakan dengan lebih cepat dan siap semuanya maka berangkatlah Bupati dengan membawa anak gadisnya serta pengikut untuk

menghadap Sri Sesuhunan Abdul Rahman di negeri barunya, ditepi sungai Pasugen itu. Ketika mendengar kabar itu, Sri Sesuhunan menyuruh diadakan acara penyambutan yang meriah menurut adat kehormatan kerajaan bagi Bupati Nusantara bersama anak gadisnya. Pada upacara dan perayaan itu sekaligus diadakan akad nikah Sri Sesuhunan dengan anak puteri tunggal Bupati Nusantara, yang dilangsungkan pestanya selamanya 7 (tujuh) hari dan malam. Rakyat terbawa arus kegembiraan dan membuat atraksi dan permainan yang meriah. Selesai perayaan itu barulah Sri Sesuhunan bersama isterinya kembali lagi ke Palembang dan Bupati Nuusantara bersama rombongan kembali ke Bangka kota. Tak lama kemudian, rupanya takdir bagi Bupati Nusantara untuk di panggil mengahadap Tuhan YME. Di Bangka kota, selanjutnya kekuasaan di pulau Bangka diserahkan kepada ahli warisnya yaitu anaknya yang saat itu menjadi isteri dari Sri Sesuhunan di Palembang tadi mengingat anaknya hanya tunggal maka semenjak itu pulau Bangka dibawah pemerintahan kerajaan Palembang, namun tetapi tidak memiliki wakil seperti layaknya raja muda melainkan diserahkan pemerintahan negeri kepada para Patih dan Batinnya. Dan pelengggaraan peraturan pemerintah diatur dari Palembang.

BAB 11KERAJAAN PALEMBANG TERBAGI DUA DAN SULTAN RATU MAHMUD BADARUDDIN I MELARIKAN DIRI KE JOHOR.

Dari perkawinan Sri Sesuhunan Abdul Rahman dengan anak Bupati Nusantara, mereka memperoleh 2 (dua) orang putera, masing-masing yang sulungnya bernama : Ratu Mahmud Mansur dan adiknya bernama : Ratu Anum Kamaruddin. Akhirnya Sri Sesuhunan, Ratu Muhammad Mansur sebagai Sultan di Palembang. Beliau berkuasa memegang tampuk kerajaan Palembang berlangsung dari tahun 1702 sampai 1714. Pada masa Badaruddin. Tetapi untuk pegawai kerajaan sudah memaklumi maksud dari wasiat Sri Baginda Sultan tersebut. Dan ini merupakan sebuah kelaziman yang di pahami benar oleh mereka sebagai adat maupun hukum kerajaan yang sudah berlangsung turun temurun. Jika seorang Sultan atau Raja mangkat, maka penggantinya ialah putera sulung atau putera yang lainnya serta tidak secara langsung menjadi hak saudara atau kaum keluarga yang lain. Kecuali ada halhal lain yang mendesak maupun sesuatu sebab yang amat penting, barulah Sultan dapat digantikan saudara maupun kaum keluarga dekatnya, seperti tidak mempunyai keturunan, belum cukup umur atau cacat sehingga tidak dapat mengemban tugas negeri maupun pula ada pertimbangan lain untuk hal-hal yang lebih penting. Oleh karena itu, Sri Sultan Muhammad Mansur ttetap mengeluarkan wasiat tersebut, kendati pun semua rakyat sudah mengerti aturan kerajaan, ini tiada lain adalah untuk mempertegas sekaligus memperingatkan saudaranya, Ratu Anoem Kamaruddin yang semenjak dulu mempunyai ambisi menggantikanya. Hal ini bukan tidak dimengerti oleh Ratu Anom Kamaruddin, bahkan beliau telah mendapat peringatan dan nasehat berulang kali, maka gelagat ini oleh Sri Sultan Muhammad Mansur sengaja dibuatkan wasiat untuk mencegah hal-hal yang tidak diingini atau paling tidak hatinya dapat tersentuh menerima wasiat tersebut. Waktu itu, nampaknya memang Ratu Anom kamaruddin dengan senang hati dan memaklumi keadaan

dirinya dengan maksud Baginda. Dengan berpulangnya Sri Sultan Mansur Muhammad Mansur pada tahun 1714, tak lama kemudian terjadilah angin ribut dan badai secara tibatiba melanda wilayah kerajaan yang menyebabkan rakyat jadi kalang kabut, seolah-oilah memberi firasat yang kurang baik akan melanda sistem kekuasaan kerajaan. Ini terbukti dari sikap Ratu Anoem Kamaruddin yang semula seolah-olah menerima surat wasiat tadi, tetapi sekonyong-konyongnya berubah pikir dan melanggar adat kerajaan. Beliau mungkir dari wasiat Baginda dulu yang sempat disaksikan kerabat dan pegawai kerajaan serta memproklamirkan diri naik ke tahta kerajaan sebagai Sultan di Palembang dari tahun 1714 sampai dengan tahun 1724. Sedangkan pengganti yang resminya yakni Ratu Mahmud Badaruddin tetap dinobatkan pula oleh pegawai-pegwai, handai taulan dan keluarga kerajaan yang masih setia menjadi Sultan pula di kerajaan Palembang, sehingga masa itu kerajaan Palembang terbagi menjadi dua. (Ratu Mahmud Badaruddin yang dinobatkan itu dikemudian hari beliau lebih dikenal dengan gelar Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I). Sekalipun Ratu Anoem Kamaruddin telah menjadi Sultan, tetapi beliau kurang populer dan dicintai Rakyat Palembang sehingga memaksa dia berusaha dan menyusun strategi untuk menjatuhkan Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I (pertama) dari tahta kereajaan serta mengusirnya meninggalkan Palembang melalui cara dengan menghasut rakyat agar membencinya serta tidak mematuhi peraturan yang telah dibuatnya. Lambat laun rupanya hasutan itu merasuki rakyat dan Sri Sultan Ratu Mahmud Badarudin I sangat sakit hatinya atas perbuatan saudaranya itu sehingga bersama saudara lainya bernama : Ratu Alamuddin menyiapkan 8 (delapan) buah perahu dengan beberapa orang menteri, hulubalang serta sebagaian rakyat yang masih setia kepada Baginda Sultan lalu melakukan pelayaran yang mula-mula menuju pulau Bangka dan mengambil tempat di kampung permis untuk menetap beberapa lama. Selama mereka berada di kampung Permis, pernah mendapatkan kiriman satu kaleng minyak sapi dari Palembang untuk Baginda Sultan. Sesudah Ratu Alumuddin mencoba memakan minyak sapi itu beberapa saat kemudian langsung jatuh sakit dan akhitnya mengantar kematian bagi dirinya. Ratu jenasah Ratu Alamuddin terpaksa disebrangkan Baginda Sultan oleh Sultan oleh beberapa pengikutnya untuk dimakamkan di Palembang. *). Konon kabarnya minyak sapi itu mengandung racun yang sengaja ditaburi selesai acara pemakaman Ratu Alamuddin, mereka kembali lagi menuju ke Permis dan tak lama kemudian dari Permis mereka mulai melakukan pengembaraannya. Kali ini mereka menuju ke Koba, tak lama berada di Koba mereka pindah lagi ke Belinyu. Ketika rombongan Baginda Sultan tiba di Belinyu, terlihat banyak diantara rakyat disana sedang terserang penyakit, yang rupanya saat itu di Belinyu lagi mewabah penyakit yang juga banyak merenggut nyawa manusia. Melihat kejadian itu, Baginda Sultan memerintahkan tabibnya untuk membantu masyarakat yang lagi tertimpa musibah itu untuk segera diobati. Memang Baginda Sultan selalu menyediakan dan membawa banyak ramuan obat-obatan dan mantera-manteranya. Karena waktu itu, mereka beranggapan bahwa sembunhya penyakit tesebut selain ramuan obat yang diberikan, juga akibat takut akan tuah atau daulat dari Sri Sultan Palembang itu. *). Sisa peninggalan dan bukti sejarah ini dapat kita jumpai sekarang pada masyarakat Mapur yang menetap di daerah Belinyu, dimana kalau mereka membuat ramuan obat dan membacakan mantera-mantera selalu diiringi penutupnya : Dengan berkat dan daulat sultan Palembang, kabullah obat ini. Demikian pula bila mereka mau melakukan sesuatu usaha atau pekerjaan, pada awal dan akhir doa mereka, selalu mengucapkan kata-kata :

Dengan berkat daulat sultan Palembang. Setelah mereka menetap di Belinyu untuk beberapa lama, kemudian Baginda Sultan melanjutkan lagi perjalanannya dengan menyebbrang menuju Johor, serta menemui dan menghadap sultan Johor. Dalam pertemuan itu, Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I mencereriterakan pengalaman Beliau sampai mereka dapat tiba di Johor. Dengan kejadian itu membuat Sri Sultan Johor menerima mereka dengan rasa penuh persaudaraan serta selanjutnya tali persaudaraan antara keduanya semakin akrab saja layaknya seperti saudara kandung sendiri. Selang beberapa lama Baginda Sultan dan rombongan berada di Johor, maka pada suatu hari Baginda Sultan memohon kepada sultan Johor untuk diberikan bantuan guna memerangi kerajaan di Palembang. Namun tetapi permohonan tersebut tidak di kabuli oleh Sri Sultan Johor, mengingat sultan di Palembang saat itu, bagaimana pun masih merupakan ayah mudanya sendiri (paman). Tidak demikian halnya kalau bantuan yang dihendaki guna memerangi kerajaan lain, maka Sri Sultan Johor tidak keberatan membantunya atau sekiranya Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin bersedia menjadi Raja dengan senang hati akan dibantu untuk mendirikan sebuah kerajaan kecil di bawah kerajaan Johor yang diperuntukan bagi Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I. Karena permohonannya di tolak, maka Bagainda Sultan mengurungi niatnya dan bersabar diatas istana Johor. Dengan hubungan yang terbina baik itu, akhnirnya membuat kecemburuan dan iri hati para menteri dan hulubalang dari Sri Sultan Johor, karena selain itu Sri sultan Johor sangat memperhatikan, menghormati dan mengasihinya. Demikian pula sebaliknya, Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I membalas semua niat itu dengan penuh rasa hormat, halus budi bahasanya sehingga beliau mendapat pula rasa simpati dari rakyat Johor. Hubungan timbal balik itu membuat sebagian dari para menteri dan hulubalang Sri Sultan Johor menjadi lebih iri, cemburu, karena sebagian dari diantara mereka merasa kurang mendapat perlakuan yang sama dari Sri Sultan Johor, sehingga secara rahasia mereka bermufakat untuk mencari jalan keluar agar dapat mengusir Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I pergi dari Johor. Kemudian keputusan dari kemufakatan rahasia mereka akhirnya disampaikan juga kepada Sri Sultan Johor agar supaya Sri Sultan dari Palembang dapat dikeluarkan dari kerajaan Johor, tetapi permohonan itu tidak mendapat persetujuan dari Baginda, sebab menurut Sri Sultan Johor bahwa Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I tidak pernah berbuat kesalahan maupun kekhilafan selama mereka berada di Johor, lagi pula kedatangan mereka diterima secara baik-baik dan direstui oleh rakyat, maka sepatutnyalah kepergian mereka juga harus menjadi kehendak mereka sendiri. Mendengar jawaban Baginda mereka demikian, maka seluruh menteri dan hulubalangnya menjadi bertambah sedih, sakit hati dan sangat kecewa, sekalipun tidak sampai membuat mereka putus asa serta mereka tetap berusaha mencari akal dan daya upaya. Mereka pada suatu hari, menghadap lagi ke Baginda untuk menyampaikan kebulatan tekad mereka tentang maksud mereka untuk tetap memohon sudi kiranya yang mulia Sri Sultan Johor untuk meluluskan permintaan mereka agar Sri Sultan dari Palembang dapat pergi dari kerajaan Johor bilamana mereka kali ini tetap ditolak maka para menteri dan hulubalangnya memohon untuk dipecat atau mereka yang keluar dari kerajaan Johor untuk berpindah di kereajaan lain. Mendengar permohonan yang serius disertai kebulatan tekad dari para bawahannya, membuat Sri Sultan Johor menjadi serba salah, bungung dan sedih. Akhirnya dengan penuh perhitungan politis, keberanian dan kebijaksanaan Baginda Sri Sultan Johor terpaksa mengabulkan permohonan tersebut serta memerintahkan secara rahasia agar disiapkan segala sesuatu bagi keperluan itu. Selain disiapkan perahu, peralatan perang dan makanan secukupnya, juga disiakan segala kemungkinan kalau seandainya Sri Sultan dari

Palembang tidak menerima keputusan tersebut dan melakukan perlawanan di kerajaan Johor. Disamping itu juga disuatu tempat diadakan pula persiapan untuk menyediakan perbekalan bagi Sri Sultan Ratu Mahmud Bsadaruddin I dan rombongannya, bilamana nantinya ketika diperintahkan untuk meninggalkan negeri Johor, Sri Sultan tetap mau bertahan di Johor atau paling tidak untuk beberapa waktu. Setelah persiapan sudah rampung, maka Sri Sultan Johor memerintahkan perdana menterinya untuk menyampaikan berita kepada Sri Sultan dari Palembang, bahwa atas nama Sri Sultan Johor diharapkan Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I wajib meninggalkan tanah Johor secepatnya atau terhitung dalam tempo sehari dan semalam (1X24 jam) dan tidak dapat ditangguhkan dari waktu yang telah ditentukan. Persiapan ini memang telah dilaksanakan jauh hari sebelumnya secara rahasia, sehingga pelaksanaan instruksi surat itu tidak menjadi masalah termasuk segala perbekalan dan keperluannya yang lain, termasuk sampai pengadaan untuk perahu telah siap ditempat. Selain itu juga, Sri Sultan Johor memerintahkan kepada laksamanya, jika Sri Sultan dari Palembang mulai berangkat nantinya, maka wajib baginya mengawal dengan perahu-perahu perang kerajaan sampai ke laut lepas. Laksamana tadi selaku kepala dari angkatan laut kerajaan, juga berkewajiban untuk mentaati 3 (tiga) hal antara lain : 1. Waktu yang telah ditetapkan sebagai batas waktu keberangkatan bagi Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I bersama rombongan harus dilaksanakan meninggalkan tanah kerajaan Johor. 2. Bilamana perintah ini tidak dilaksanakan dan sehingga menimbulkan perlawanan maka mereka tidak diperbolehkan untuk segera melakukan pembalasan, jika keadaan tidak terlalu bahaya dan mendesak sekali. 3. Tidak dibenarkan, jika terpaksa melakukan pembalasan untuk menembaki perahu yang lagi ditempat oleh Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I maupun perahu yang lagi ditempati oleh perempuan. Perahu-perahu tadi dilarang untuk diserang, ditembaki apalagi dimusnahkan. Begitu menerima perintah itu, lantas Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I memohon agar beliau dapat bertemu dan mengahdap Sri Sultan Johor, selain untuk mengucapkan terima kasih, juga agar dapat ditangguhkan keberangkatannya beberapa hari lagi. Akan tetapi permohonan penangguhan itu tidak mendapatkan restu dari Baginda Sri Sultan Johor. Dengan penuh kekecewaan dan luka hati yang mendalam, Sri Sultan dari Palembang beserta rombongannya bersiap diri untuk menaiki 18 (delapan belas) buah perahu dan langsung memulai perjalanan mereka ketika batas waktu hampir sampai untuk meninggalkan tanah Johor yang dikawal oleh beberapa perahu dari angkatan perang kerajaan Johor. Ketika memasuki lautan lepas, secara mendadak Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I memerintahkan supaya perahu-perahu perang kerajaan Johor diserang. Sekalipun sudah diserang dan ditembaki, namun dari Johor belum juga melakukan aksi balasan, sebab pesan dari Sri Sultan Johor tetap dipegang teguh. Setelah ada 5 (lima) buah perahu dari angkatan perang kerajaan Johor nyaris mengalami kecelakaan, barulah mereka melakukan pembalasan dan seketika itu pula pecahnya perang yang berlangsung siang dan malam hingga beberapa hari. Dalam pertempuran itu banyak juga yang menelan korban dan luka-luka dari kedua belah pihak. Namun yang menjadi sedikit heran dari Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I, mengapa perahu yang ditumpangi serta perahu yang ditumpangi pihak perempuan tidak sedikitpun mengalami penyerangan. Dan dalam pada

itu, beliau jadi teringat dan maklum atas pesan yang dikeluarkan tadi, tidak semata-mata dari kehendak Sri Sultan Johor, tetapi lebih-lebih atas kesetian dari bawahannya yang bertindak sangat terbatas pada sikap mereka yang berjaga-jaga dan sebagai pengawal. Dengan demikian, Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I segera yang sedang berlangsung itu. Melihat reaksi tersebut, pasukan dari angkatan perang kerajaan Johor mengambil sikap yang sama serta mengambil posisi menjauh dan akhirnya memutar haluan dan selanjunya kembali menuju ke tanah Johor. Sementara perahu-perahu dari rombonga Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I melanjutkan lagi perjalanan mereka dan akhirnya dapat tiba di daratan Siantan serta berlabuh disana. Waktu itu Siantan dibawah keresidenan Riau.

BAB 12SRI SULTAN RATU MAHMUD BADARUDDIN I DUDUK DI PULAU SIANTAN DAN MENIKAH DISANA.

Pada saat Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I mendarat di Siantan, kala itu yang menjadi Kepala Negeri disitulah adalah : ENCE WAN AKUB BIN ENCE WAN AWANG kedatangan Sri Sultan Johor dari Palembang itu disambut oleh Ence Wan Akub dengan segala kehormatan dan senang hati, lalu mereka dipersilahkan menempati sebuah rumah untuk beristirahat beserta seluruh pengikutnya. Selang beberapa hari menempati rumah tersebut, suatu malam beliau bermimpi yang memberikan isyarat bahwa di kampung Ence Wan Akub ada seorang gadis nan cantik serta amat bertuah(sangat beradat, lembut dan penuh sopan santun) melalui petunjuk mimpi tadi, oleh Sri Sultan diselidiki secara diam-diam, lalu diperolehnya keterangan bahwa memang betul dikampung itu ada seorang gadis seperti diisyaratkan dalam mimpi itu, yakni puteri dari Ence Wan Abdul Jabar, yang bernama BANIAH ATAU ZAMNAH, yang saat itu ayahnya lagi berada di Mekkah guna menunaikan ibadah Haji dan Zamnah dititipkan kepada Ence Wan Akub. Setelah meyakinkan dalam penyelidikan itu maka beliau bermaksud melihat sendiri dengan menyamar seperti seorang kuli yang miskin dan berpura-pura membeli ingin membeli ayam dirumah Ence Wan Akub. Sesampainya beliau dirumah Ence Wan Akub, berteriaklah beliau seolah-olah ingin membeli ayam, tak lama kemudian keluarlah seorang gadis muda yang cantik dan menawan parasnya serta sambil menenteng seekor ayam. Disitu terjadi percakapan sekedar untuk transaksi lalu terjadi kesepakatan dengan harga pembayaran yang diberikan beliau melebihi dari harga yang diminta Zamnah. Kejadian itu sempat membuat Zamnah menjadi terkejut dan heran, sambil melanglah masuk ke rumah, sementara beliaupun berlalu kembali untuk pulang. Dilain kesempatan, Baginda Sultan sudah bermaksud meminang dengan hormat kepada Ence Wan Akub, gadis itu akan dijadikan permaisurinya nanti. Mengingat ayahanda Zamnah lagi tidak berada ditempat, maka Ence Wan Akub mengadakan musyawarah dengan kaum keluarga Ence Wan Abdul Jabar. Dalam pertemuan pertemuan itu ada pihak yang setuju dan ada juga yang menolak. Tetapi bagi Ence Wan Akub sangat menyukai Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I, asal saja mendapat restu terlebih dahulu dari Sri Sultan Johor. Lalu Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I berkirim surat kepada Sri Sultan Johor

agar memaklumkan niatnya untuk meminang Zamnah. Apabila niat ini direstui dan dikabulkan maka beliau akan berjanji membawa serta ibu, bapak dan kaum keluarganya Zamnah yang setuju atas dirinya, kembali ke Palembang. Tidak beberapa lama kemudian, surat balasan dari Sri Sultan Johor sudah dapat diterima, yang berisikan pernyataan bahwa semua permohonan beliau direstui dengan segala senang hati, asal saja yang bersangkutan tidak keberatan. Syarat yang harus dipenuhi nantinya, apabila kemudian hari ada sesuatu sebab sehingga ada pihak dari mereka tidak menyukai beliau maka mereka tidak boleh disakiti atau dipenjara, melainkan kembali lagi ke negeri asalnya. Selain itu pula didalam suratnya ditandaskan bahwa Sri Sultan Johor sangat menghormati, mencintai dan menyangi beliau, serta kejadian tempo hari itu bukanlah niat kemauan dari Sri Sultan Johor sematamata untuk menyuruh keluar dari tanah Johor, melainkan atas kehendak para pembesar istana dengan ancaman boikot. Selesai beliau membaca surat itu hatinya sangat bergembira dan bahagia, karena semua niat dan permohonannya dikabulkan oleh Sri Sultan Johor. Dengan memperhitungkan peredaran hari di almanak untuk menentukan hari tepat dan baik sesuai dengan kepercayaan mereka, maka Sri Sultan Johor Ratu Mahmud Badaruddin I dan Ence wan Akub mengadakan pesta dan perjamuan sesuai dengan adat kerajaan untuk menghormati hari menjelang pernikahan baginda. Dan Ridhoi Allah SWT, maka hari penyelenggaraan pernikahan pun dapat dilangsungkan serta disaat pembacaan akad nikah oleh penghulu kerajaan, tiba-tiba muncul Abdul Jabar dengan 7 (tujuh) orang temannya menggunakan rakit yang terbuat dari pohon kelapa serta bersenjatakan sebilah sekin (semacam pedang) yang ditancapkan sebagai tiang layar dan pakaian mereka digunakan untuk kain layarnya. Sebab perahu yang mereka tumpangi dari Mekkah telah pecah dan karam dihantam badai besar dilautan dekat pulau Lengkawai. Dengan kejadian itu sempat terlihat oleh hadirin yang lagi menghadiri perjamuan itu, dibuatnya tertekun dan takjud, juga tidak ketinggalan rakyat yang lagi menyaksikan pesta tersebut. Perjalanan yang biasanya ditempuh dengan memakan waktu 8 (delapan) hari dengan perahu layar, tetapi oleh Ence Wan Abdul Jabar dan temannya hanya ditempuh dalam waktu sehari dan semalam dengan rakitnya dari laut di dekat pulau Lengkawai. Oleh sebab itu, masyarakat Siantan menganggap Ence Wan Abdul Jabar memiliki kesaktian, sehingga pohon kelapa yang dijadikan rakit itu diambil oleh sebagian masyarakat untuk disimpan sebagai jimat. Tanpa ada penangguhan lagi, malam itu juga dilangsungkan segera hari perayaan pernikahan anaknya Zamnah dengan Sri Sultan Mahmud Badaruddin I dan Ence Wan Abdul Jabar mengmabil alih selaku walinya. Selesai acara perayaan pernikahan itu, kemudian diadakan acara pemberian gelar sesuai adat raja waktu itu, dimana Zamnah digelari dengan nama MAS AYU RATU dan Ence Wan Abdul Jabar mendapat gelar MERTUA DALAM yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama DATO DALAM. Selang beberapa lama sesudah Baginda Sultan menikah, maka mereka berembuk yang kali ini membahas untuk mengajukan permohonan kepada Ence Wan Akub agar ditolong untuk dicarikan pimpinan yang pandai dan dapat membantu mereka dalam memerangi kerajaan di Palembang saat itu, atau lagi dipegang oleh Sultan Ratu Anoem Kamaruddin, dengan perjanjian apabila nantinya berhasil menguasai Palembang kembali, bagi pihak yang membantunya akan diberikan hadiah berupa sebagian wilayah yang ada di pulau Bangka. Maka dari itu, Ence Wan Akub berusaha mencarikan beberapa orang Melayu dan juga keturunan Bugis. Diantaranya terdapat seorang yang bernama DAENG BERANI, yang sekaligus bertindak sebagai pimpinannya, karena dinilainya cukup trampil dan berpengalaman, namun permintaan itu belum dapat disanggupi sepenuhnya bilamana belum mendapat persetujuan dari Sri Sultan Johor. Atas kendala itu maka Sri Sultan Ratu

Mahmud Badaruddin I berkirim surat lagi kepada Sri Sultan Johor untuk mengizinkan dan memaklumi kehendak mereka guna memperoleh bantuan dari Daeng Berani dijadikan pimpinan pasukan. Tak lama kemudian, balasan surat pun tiba yang berisikan bahwa Sri Sultan Johor belum dapat memberikan keputusan yang pasti, sikap Sri Sultan Johor belum dapat memberikan keputusan yang pasti, sikap Sri Sultan dalam balasannya seolah-olah bernadakan abstain (menyuruh tidak, melarangpun tidak). Itu semuanya tergantung dari kehendak mereka sendiri untuk memutuskan. Pada tahun 1723 berangkatlah Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I dengan isterinya Mas Ayu Ratu bersama kaum keluarga dari keturunan Ence Wan Abdul Jabar dari pulau Siantan, juga segenap pasukannya. Yang masih tinggal saat itu adalah Ence Wan Abdul Jabar dengan 5 (lima) orang anaknya di Siantan. Rombongan itu berangkat lengkap dengan peralatan perangnya yang selurunya ada berjumlah 40 (empat puluh) buah perahu, diluar dari jumlah perahu dari angkatan Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin sendiri. Perjalanan itu ditempuh dalam bebrapa hari, maka tibalah mereka di Bangka kota, sementara perahu dari pasukan Daeng Berani sebanyak 2 (dua) buah dan juga beberapa buah lainnya terpaksa merapat di pulau Nangka dekat dengan pulau Bangka untuk memperbaiki dua perahu yang mengalami kerusakan sekalian memperbaiki pula peralatan perang mereka. Pada kesempatan lain, Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I secara rahasia mengirim berita kepada bawahannya dan kepala-kepala negeri di Palembang yang sejak dahulu masih setia kepada baginda Sultan untuk menyampaikan bahwa beliau saat itu sudah berada kembali di Bangka kota, juga menanyakan perkembangan yang sudah terjadi selama ini. Kembali kedalam negeri Palembang sendiri, setelah Sri Sultan Mahmud Badaruddin I meninggalkan negeri Palembang beberapa tahun silam, maka Sri Sultan Anoem Kamaruddin lebih berkuasa, namun sesudahnya beliau nampak semakin gelisah dan takut, sewaktu-waktu adanya serangan balik dari Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I. Jadi beliau memerintahkan untuk mendirikan beberapa benteng disepanjang kiri dan kanan sungai Musi sampai ke daerah Sunsang (Muara sungai Musi). Dan juga menyiagakan pasukan dari angkatan darat maupun laut lengkap dengan peralatan perangnya, serta menempatkan para menteri dan hulubalangnya ditempat-tempat yang telah ditentukan. Di kesempatan lain pula, perahu dari Ence Wan Akub bersama saudaranya yang bernama Ence Wan Seren tertinggal jauh dibelakang dan mereka sengaja menelusuri beberapa anak sungai di pulau Bangka. Didalam pelayarannya, mereka sambil mengamati keadaan tanah ditepi sungai dan setelah sekian lama dalam pengamatan mereka betul dugaan mereka bahwa keadaan tanah di pulau Bangka mirip dengan keadaan tanah yang di Johor, yang menurut mereka waktu itu kemungkinan ada mengandung biji timah. Sebab Ence Wan Akub sudah terbiasa melihat orang melimbang timah di Johor, sehingga timbul niat Beliau untuk mencoba menggali tanah tebing di tepi sungai itu dan ternyata tidak meleset dari dugaan semula, begitu tanah-tanah tersebut diamati secara seksama, memeng persis dengan tanah di Johor yang banyak mengandung timah. Untuk meyakinkan lebih lanjut, contoh tanah-tanah tadi diambilnya dan sesampainya di Bangka kota, tanah tadi dibawa menghadap ke Sri Sultan untuk dimintai pendapatnya juga, yang rupanya sependapat dengan apa yang diamati oleh Ence Wan Akub bahwa tidak salah lagi tanah itu mengandung biji timah sehingga membuat suasana penuh kegembiraan dan suka cita. Lalu baginda memerintahkan Ence Wan Akub bersama para para patih dan orang-orang Melayu yang sudah berpengalaman tentang masalah timah di Johor untuk memeriksa lagi tempattempat dimana tanahnya banyak mengandung timah. Pekerjaan itu dilakukan secara

rahasia dan hasil dari pemeriksaan mereka ternyata lebih menguatkan lagi bahwa tanah Bangka sangat banyak yang mengandung timah. (Riwayat inilah yang dianggap sebagian masyarakat pulau Bangka sebagai era Akub, terjadi sekitar 1733). Setelah beberapa lama Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I menetap di Bangka kota, maka pada suatu malam sekitar 03.00 pagi, tiba-tiba baginda dibangunkan isterinya, Mas Ayu Ratu untuk menyampaikan kepada baginda gahwa jika menghendaki pengambilan kembali kekuasaan di Palembang berangkatlah saat ini juga. Sebab isterinya baru saja bermimpi dimana menelan seluruh tanah Palembang. Yang artikan sebagai saat yang tepat untuk kembali menjadi Sultan memerintah atas seluruh negeri Palembang. Mendengar penuturan isterinya itu, baginda hanya tersenyum sambil mengamati wajah isterinya dengan perasaan kurang percaya. Melihat dia diamati, lalu Mas Ayu Ratu menundukkan kepalanya sambil menyembah, jikalau tuanku tidak percaya, guncanglah kepala patek ini dan ketika dilakukan memang berbunyi seperti air didalam buah kelapa tua (berkucek), sehingga kejadian itu membuat Baginda menjadi yakin dan percaya. Tetapi dipihak lain, baginda sempat khawatir karena peralatan perangnya banyak yang belum siap, namun hal itu dapat diredakan Mas Ayu Ratu serta diyakini lagi untuk segera berangkat saja mengingat waktu baiknya adalah saat itu saja, sementara pasukan perangnya dapat menyusul bilama semuanya sudah siap. Dengan dorongan semangat dan dukugan isterinya itu, lantas baginda keluar dengan membawa sebilah sekin (semacam pedang) kepunyaan mertua baginda, Ence Wan Abdul Jabar, yang banyak dikenal orang sebagai sosok yang sakti. Kemudian baginda memerintahkan agar sebagian anggota pasukannya ikut serta saat itu juga,

Akan bergelar : YANG, dan pangkatnya disejajarkan sama tinggi dengan pangkat Mas ayu di Palembang. 2. Tidak dibenarkan dan melarang orang lain menggunakan gelar itu, selain dari keturunan Ence Wan Abdul Haiyat. 3. Selain Sultan Palembang, juga tidak dibenarkan dari seorangpun pegawai di kereajaan Palembang maupn kaum keluarga sendiri menikah dengan perempuan berasal dari keturunan tersebut, kecuali apabila bersedia pergi ke keluar dari kerajaan Pelrmban g dengan isterinya dan kaum eluarganya atau menetap dinegeri lain. Kemudian undang-undang nomor 3 (tiga) itu dipertegas lagi melalui pasal 9 (sembilan) yang berbunyi sbb: Dilarang keras dan waspadai sungguh-sungguh oleh meneteri Rangga agar semua rajaraja atau menteri-menteri, hulubalangnya dan bangsawan dari Palembang, supaya tidak menikah atau bersahabat dengan bangsawan orang-orang bangsawan Muntok.

Sri Sultan Ratu Mahmud Badaruddin I memberlakukan undang-undang tersebut dengan tegas dan keras, karena Baginda Sultan selama ini merasa khawatir dan tidak sepenuhnya percaya kepada kaum keluarga dari Ence Wan Abdul Haiyat berasal dari Siantan itu. Menurut baginda Sultan, bilamana hal itu dibiarkan terus, dalam arti bebas bergaul dan bersahabat dengan akrab, maka lambat atau cepat akan ketahuan pula rahasia-rahasia dari kerajaan Palembang. Kerana hal ini tidak terlepas dari pengalaman baginda Sultan sendiri, sewaktu dahulupernah dihasut dan difitnah dari para menteri dan hulubalang di Johor maupun dari pamannya, Sri Sultan Ratu Anoem Kamaruddin, sehingga peristiwa itu sangat membekas pada diri baginda Sultan yang menimbulkan perasaan untuk selalu curiga dan khawatir, jika sewaktu-waktu kejadian itu terulang kembali, yang akan berakibat fatal kepada kedudukan selaku Raja di Palembang. Selesai menentukan tugas tertentu, lalu baginda Sultan berembuk dengan Mas Ayu Ratu, meminta pertimbangannya kira-kira dimana lokasi yang baik bagi tempat tinggal orang tua dan sanak keluarganya nanti. Maka Mas Ayu Ratu mengusulkan agar mereka dapat ditempatkan di daerah pulau Bangka, yang juga tidak terlalu jauh dan masih berdekatan dengan Palembang. Lalu baginda Sultan pun memerintahkan seorang menteri dan Ence Wan Akub dan beberapa pengikutnya untuk mencarikan lokasi bagi sebuah pemukiman yang baik di pulau Bangka, sebagaimana yang diusulkan Mas Ayu Ratu. Tatkala menteri bersama rombongan baru berada di daerah Muara Sunsang,


Recommended