Tinjauan Pustaka
BANTUAN HIDUP JANGKA PANJANG
Oleh:
Nurtyana Utami Dewi
1302006112
Pembimbing:
dr. I Ketut Wibawa Nada, Sp. An, KAKV
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................. 2
BAB II ISI ............................................................................................................... 3
2.1 Penilaian (Gauging) .............................................................................. 3
2.1.1 Henti Jantung ..................................................................... 3
2.1.2 Henti Nafas ........................................................................ 6
2.2 Mentasi Manusia ................................................................................... 6
2.2.1 Homeostasis Ekstrakranium .............................................. 6
2.2.1.1 Terapi Cairan ....................................................... 6
2.2.1.2 Obat – Obatan Vasoaktif ..................................... 8
2.2.1.3 Ventilasi Mekanik ............................................. 11
2.2.1.4 Obat – Obat Pelumpuh Otot .............................. 17
2.2.2 Homeostasis Intrakranium ............................................... 18
2.2.2.1 Diuretik ............................................................. 19
2.2.2.2 Steroid ............................................................... 20
2.2.2.3 Hipotermia......................................................... 20
2.2.2.4 EEG ................................................................... 21
2.3 Perawatan Intensif ............................................................................... 23
2.3.1 Terapi Nutrisi dalam Perawatan Intensif ......................... 24
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat,
pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen ke
otak, jantung, dan alat-alat vital lainnya.1 Resusitasi merupakan suatu tindakan
dalam penanganan kegawatdaruratan, dimana apabila tidak segera ditolong pasien
akan mengalami kecacatan, kehilangan organ tubuh, ataupun meninggal dunia.2
Faktor waktu memegang peranan utama dalam penanganan kondisi darurat,
seperti semboyan “time saving is life saving” atau yang dapat diartikan
pertolongan pertama yang cepat dan tepat dapat mencegah kerusakan yang lebih
parah.2,3
Resusitasi jantung paru otak (RJPO) dibagi menjadi tiga tahap, yaitu
bantuan hidup dasar (Basic Life Support), bantuan hidup lanjut (Advance Life
Support), dan bantuan hidup jangka panjang (Prolonged Life Support). Bantuan
hidup dasar adalah upaya oksigenasi darurat yang terdiri dari penguasaan jalan
nafas (Airway Control), bantuan pernafasan (Breathing Control), dan bantuan
sirkulasi (Circulation Control). Penguasaan jalan nafas dapat dilakukan dengan
membebaskan jalan nafas dari kemungkinan adanya sumbatan jalan nafas, baik
total maupun partial, yang disebebkan karena lidah jatuh ke belakang, benda padat
ataupun benda cair, serta adanya edema jalan nafas. Bantuan pernafasan dapat
dilakukan dengan ventilasi buatan dan oksigenasi pada paru secara darurat.
Bantuan sirkulasi dapat dilakukan dengan menentukan ada tidaknya denut nadi
dan mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung, mengatasi
perdarahan, dan meletakkan pasien dalam posisi syok.4 Bantuan hidup lanjut
adalah kegiatan yang dilakukan untuk memulai kembali sirkulasi yang spontan an
memantapkan sistem paru-jantung dengan cara memulihkan transport oksigen
arteri mendekati normal. Tahap ini meliputi obat-obatan dan cairan (Drugs and
fluids) melalui cairan infus intravena, elektrokardioskopi (Electrocardiography),
dan terapi fibrilasi (Fibrillation treatment) dengan syok balik listrik.4 Pelaksanaan
2
bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjutan hendaknya dilakukan dengan
adekuat dan secepat mungkin, karena sirkulasi buatan dengan menggunakan
kompresi jantung luar hanya menghasilkan 6 – 30% aliran darah normal.
Bantuan hidup jangka panjang merupakan suatu pengelolaan intensif pasca
resusitasi. Tahap ini terdiri dari penilaian (Gauging), yaitu menentukan dan
memberi terapi penyebab kematian dan menilai sampai sejauh mana penderita
dapat diselamatkan; mentasi manusia (Human mentation), yaitu tindakan yang
diharapkan dapat memulihkan keadaan dengan resusitasi otak yang baru; dan
pengelolaan intensif (Intensive care), yaitu resusitasi jangka panjang. Tahap ini
merupakan pengelolaan intensif berorientasikan otak pada penderita dengan
kegagalan organ multipel pasca resusitasi.4 Bantuan hidup jangka panjang
diteruskan sampai sampai penderita sadar kembali.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah tinjauan pustaka
adalah bagaimana penatalaksanaan Bantuan Hidup Jangka Panjang?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan tinjauan pustaka ini
adalah untuk mengetahui penatalaksanaan Bantuan Hidup Jangka Panjang.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini yaitu memberikan kajian
teroritis kepada kalangan medis dan masyarakat mengenai penatalaksanaan
Bantuan Hidup Jangka Panjang.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penilaian (Gauging)
Tahap penilaian (Gauging) pada Bantuan Hidup Jangka Panjang adalah
tahap untuk menentukan dan memberi terapi penyebab kematian, serta menilai
sejauh mana pasien masih bisa diselamatkan.5 Terdapat beberapa definisi
kematian, antara lain:4
a. Mati klinis adalah henti nafas (tidak ada gerak nafas spontan) ditambah
henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti dan
bersifat reversibel. Pemulaian resusitasi dapat dimulai pada kematian klinis
dan dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi sistem organ vital dengan
terai optimum, termasuk fungsi otak normal.
b. Mati serebrum (kematian korteks) adalah kerusakan ireversibel (nekrosis)
serebrum, terutama neokorteks. Mati otak (kematian otak total) adalah mati
serebrum ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum,
otak tengah, dan batang otak. Kematian otak dapat terjadi dalam seminggu
pertama setelah henti jantung.
c. Mati biologis (kematian semua organ) terjadi setelah kematian klinis yang
tidak dilakukan ataupun penghentian resusitasi jantung paru dan
menyebabkan nekrosis semua jaringan tubuh. Kematian biologis dimulai
dengan nekrosis neuron otak setelah kira-kira satu jam tanpa sirkulasi,
diikuti dengan nekrosis jantung, ginjal, paru-paru, dan hati yang menjadi
nekrotik setelah dua jam tanpa sirkulasi.
d. Mati sosial adalah tahap dimana kerusakan otak berat dan irreversibel pada
pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif, tetapi memiliki
elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa reflex yang masih utuh. Mati
sosial merupakan keadaan status vegetatif yang menetap (sindroma apalika).
2.1.1 Henti Jantung
Henti jantung adalah berhentinya sirkulasi darah secara mendadak pada
pasien yang masih memiliki harapan hidup. Diagnosis henti jantung dapat
4
ditegakkan apabila terdapat tanda dan gejala pasien tidak sadar, tidak
bergerak, tampak pucat ataupun sianosis, dilatasi pupil, dan dengan
diagnosis pasti denyut nadi besar tidak teraba.6
Penyebab henti jantung terbagi menjadi faktor primer dan faktor
sekunder. Faktor primer penyebab henti jantung adalah kelainan sistem
konduksi jantung atau kelainan pada otot jantung, seperti infark, fibrilasi
ventrikel, atau trauma petir. Faktor sekunder penyebab henti jantung adalah
asfiksia akibat gagal nafas akut yang menyebabkan kegagalan pasokan
oksigen ke otak, dan perdarahan akut/ masif akibat trauma yang
menyebabkan kekosongan volume sirkulasi sehingga tidak ada curah
jantung. 6
Henti jantung menyebabkan kegagalan perfusi oksigen ke seluruh
jaringan tubuh, sehingga menimbulkan hipoksia atau anoksia jaringan,
terutama organ – organ vital. Keadaan ini menyebabkan timbulnya
perubahan metabolisme dari siklus aerob ke anaerob yang mengakibatkan
tertumpuknya produk – produk intermediet sehingga terjadi akumulasi asam
laktat dan piruvat yang selanjutnya menyebabkan asidosis metabolik.
Asidosis metabolik dapat menyebabkan disfungsi enzim yang berfungsi
sebagai katalisator dan disfungsi mitokondria sel – sel, serta pada akhirnya
kematian sel irreversibel terjadi. Otak merupakan organ vital yang sangat
rentan dengan keadaan iskemi.6
Pertolongan pertama (resusitasi) yang dapat diberikan pada pasien henti
jantung adalah dengan melakukan kompresi jantng. Kompresi jantung
adalah bantuan sirkulasi yang dapat dilakukan dari luar dan dapat pula
dilakukan dari dalam rongga dada melalui torakotomi, apabila kejadiannya
di kamar operasi.6
Berikut adalah penanganan pasien paska henti jantung (post cardiac
arrest patient).7
a. Pemasangan angiografi koroner pada pasien henti jantung di luar rumah
sakit dengan suspek etiologi henti jantung dan terdapat ST elevasi pada
EKG
5
b. Semua pasien dewasa yang tidak sadar dengan ROSC setelah henti jantung
harus mendapat TTM (Targeted Temperature Management), dengan suhu
target antara 32o – 36o C, dan dipertahankan konstan selama minimal 24
jam.
c. Cegah terjadinya demam setelah dilakukan TTM. Demam setelah
dihangatkan kembali setelah dilakukan TTM berhubungan dengan
perburukan injuri neurologis
d. Cegah dan segera perbaiki hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg,
MAP <65 mmHg) selama penanganan paska henti jantung.
e. Semua pasien yang terresusitasi dari henti jantung namun tidak
menunjukkan adanya kematian atau kematian otak, dapat dievaluasi sebagai
donor organ yang berpotensi.
Tidak adanya tanggapan jantung terhadap usaha resusitasi dibandingkan
dengan tanda – tanda klinis kematian otak merupakan titik dimana
keputusan mengakhiri usaha resusitasi dapat dibuat. Dalam keadaan
darurat, resusitasi dapat diakhiri apabila:6
a. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif
b. Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang bertanggung jawab
meneruskan resusitasi (bila tidak ada dokter)
c. Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tidak ada dokter
sebenernya)
d. Penolong terlalu capai sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi
e. Pasien dinyatakan mati
f. Setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada
dalam stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan atau
hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih (sesudah 30
– 60 menit terbukti tidak adanya denyut nadi pada keadaan normotermia
tanpa RJP).
6
2.1.2 Henti Nafas
Henti nafas disebabkan karena adanya depresi pusat nafas dan
kelumpuhan otot pernafasan. Depresi pusat dapat disebabkan oleh trauma
kapitis, infeksi intrakranial, dan obat – obatan yang memiliki efek depresi
pusat nafas, misalnya beberapa obat anestesia. Kelumpuhan otot pernafasan
dapat disebabkan oleh penyakit infeksi, seperti sindrom Guillan-Barre,
penyakit saraf – otot, seperti Myastenia Gravis, trauma medula spinalis, obat
– obatan, seperti streptomisin, dan penggunaan obat pelumpuh otot.6
Usaha pemberian nafas buatan dapat dilakukan tanpa alat atau dengan
alat bantu nafas, mempergunakan udara ekspirasi penolong atau dengan
udara atmosfir disertai dengan campuran oksigen murni.6
2.2 Mentasi Manusia (Human Mentation)
Hasil resusitasi memengaruhi jenis pengelolaan yang diperlukan pasien
yang telah mendapatkan resusitasi. Apabila pasien tidak memiliki defisit
neurologik dan pasien terpelihara dalam tekanan darah yang normal tanpa aritmia,
pasien jenis ini hanya memerlukan monitor intensif dan observasi terus menerus
terhadap sirkulasi, pernafasan, fungsi otak, hati, dan ginjal. Namun, apabila pasien
memiliki kegagalan satu atau lebih sistem organ, pasien jenis ini memerlukan
bantuan ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia, dialisis atau resusitasi otak.6
Otak merupakan organ yang paling terpengaruh selama henti jantung karena
hipoksemik dan iskemik. Apabila setelah henti jantung dan dilakukan resusitasi
pasien tetap sadar, hendaknya dilakukan usaha untuk memelihara perfusi dan
oksigenasi otak.6
Tahap mentasi manusia adalah tahapan untuk melakukan resusitasi otak.
Tindakan – tindakan bantuan hidup yang berorientasi otak adalah sebagai berikut.
2.2.1 Homeostasis Ekstrakranium
Usaha – usaha yang dapat dilakukan dalam rangka hemeostasis
ekstrakranium antara lain:6,7
a. mengupayakan sistem kardiovaskuler dalam batas normal dengan
pemantauan ketat, sehingga tekanan darah dapat dipertahankan dalam
7
batas-batas normal, baik dengan terapi cairan maupun penggunaan
obat vasoaktif;
b. ventilasi mekanik, diperlukan untuk mempertahankan variabel gas
darah dalam batas nilai pH 7,3 – 7,6 dengan PaO2 = >60 mmHg dan
<300 mmHg dan PaCO2 = 35 – 45 mmHg;
c. immobilisaasi dengan obat-obatan pelumpuh otot, yang juga dikaitkan
dengan usaha ventilasi mekanik;
d. mengupayakan agar variabel darah dalam batas normal, seperti kadar
elektrolit, gula darah, hemoglobin;
e. mempertahankan keadaan normotermia dan mencegah hipotermia;
f. alimentasi yang adekuat, kalau diperlukan dapat diberikan nutrisi
parenteral;
g. pemantauan yang adekuat terhadap semua organ untuk mengetahui
komplikasi sedini mungkin, seperti misalnya gangguan fungsi hati,
ginjal.
2.2.1.1 Terapi cairan
Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dapat dibedakan menjadi:6
a. Cairan pemeliharaan
Cairan pemeliharaan diberikan untuk mengganti kehilangan cairan
tubuh yang dapat dikeluarkan melalu urin, feces, keringat, dan uap air
saat ekspirasi. Jumlah kehilangan cairan tubuh manusia berbeda
berdasarkan umur, dewasa 1,5 – 2 ml/kgBB/jam; anak 2 – 4
ml/kgBB/jam; bayi 4 – 6 ml/kgBB/jam; dan neonatus 3 ml/kgBB/jam.
Kehilangan cairan melalui urin, feces, keringat, dan uap air saat
ekspirasi sedikit sekali mengandung elektrolit, oleh sebab itu cairan
pengganti yang digunakan adalah cairan hipotonis – isotonis, dengan
perhatian khusus untuk natrium, contohnya cairan dextrose 5% dalam
NaCl 0,9%, dextrose 5% dalam ringer laktat. Selain cairan hipotonis –
isotonis dapat pula digunakan cairan nonelekterolit, contohnya
maltose 5%.
8
b. Cairan pengganti
Tujuan diberikan cairan pengganti adalah untuk mengganti
kehilangan caiaran tubuh yang disebabkan oleh sekuestrasi atau proses
patologi lain, contohnya drainase lambung, dehidrasi, dan perdarahan.
Cairan pengganti yang digunakan adalah cairan kristaloid, misalnya
NaCl 0,9%, atau cairan kristaloid, misalnya dextrans 40.
Cairan kristaloid diindikasikan untuk mengganti cairan dan
eletrolit, namun dapat juga digunakan untuk ekspansi cairan. Elektrolit
pada kristaloid akan terdistribusi dengan mudah melalui cairan
ekstraselular, yang akan diikuti oleh berpindahnya air karena gradien
osmotik. Hal ini menyababkan distribusi cairan kristaloid pada seluruh
cairan ekstravaskuler dengan menyisakan hanya 20% pada
intravaskuler.8 Edema jaringan, seperti pada paru, lambung, dan
jaringna lunak, akan meningkat apabila cairan kristaloid diberikan
pada pasien dengan normovolum.8
c. Cairan untuk tujuan khusus
Cairan tujuan khusus diberikan untuk mengoreksi khusus terhadap
gangguan keseimbangan elektolit, misalnya dengan pemberian
natrium bikarbonat 7,5%.
d. Cairan nutrisi
Cairan nutrisi diberikan untuk memberikan nutrisi parenteral pada
pasien yang tidak dapat, tidak boleh, dan tidak bisa makan per oral.
2.2.1.2 Obat – obatan vasoaktif
Tujuan diberikannya obat-obatan vasoaktif adalah untuk memelihara
tekanan darah sistemik agar dalam batas normal.5,9
a. Epinefrin
Epinefrin merupakan katekolamin endogen yang disintesa di
medulla adrenal. Stimulasi lansung reseptor ß1 miokakardium oleh
epinefrin akan meningkatkan tekanan darah, curah jantung (cardiac
output), dan permintaan oksigen miokardial dengan meningkatkan
kontraktilitas jantung dan denyut jantung (peningkatan laju
9
depolarisasi spontan fase IV). Stimulasi α1 akan menurunkan aliran
darah ginjal dan limfa, namun akan meningkatkan tekanan perfusi
koroner dengan meningkatkan tekanan diastol aorta. Tekanan darah
sistolik meningkat, walaupun stimulasi ß2 yang memediasi terjadinya
vasodilatasi pada otot-otot skeletal akan menurunkan tekanan darah
diastol.
Dosis epinefrin dalam keadaan emergensi adalah 0,05 – 1 mg
intravena dengan pemberian bolus, bergantung seberapa kompromi
kardiovaskuler. Dalam upaya peningkatan kontraktilitas jantung atau
denyut janutng, infus kontinu disiapkan dengan 1 mg epinefrin dalam
250 mL dan diberikan dengan laju 2 – 2 mcg/menit.
b. Norepinefrin
Stimulasi langsung α1 dengan sedikit aktivitas ß2 menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah vena dan arteri. Peningkatan
kontraktilitas miokardial akibat efek dari stimulasi ß1 bersamaan
dengan vasokonstriksi perifer berkontribuasi dalam peningkatan
tekanan darah arteri. Tekanan sistolik dan diastolik mengalami
peningkatan namun peningkatan afterload dan refleks bradikardia
mencegah peningkatan curah jantung. Ekstravasasi noreinefrin pada
daerah injeksi intravena dapat menyebabkan nekrosis jaringan.
Noreponefrin dapat diberikan melalui bolus (0,1 mcg/kg) atau
menggunakan infus kontinu dengan laju 2 – 20 mcg/menit.
c. Methoxamine
Methoxamine secara farmakologi bekerja seperti phenylephrin dan
bekerja langsung pada agonis reseptor α1. Methoxamine akan
memperpanjang peningkatan tekanan darah karena vasokonstriksi, dan
menyebabkan bradikardi yang yang dimediasi oleh refleks vagal.
Methoxamine tersedia dalam sediaan untuk pemberian parenteral,
namun jarang digunakan.(#)
d. Dopamin
Dopamin merupakan adrenergik direk dan indirek yang nonselektif
dan juga dopaminergikagonis. Penggunaan dopamine dosis rendah
10
(0,5 – 3 mg/kgBB/menit) mengaktivasi reseptor dopaminergik,
dimana stimulasi reseptor dopaminergik ini mengakibatkan
vasodilatasi pembuluh darah ginjal sehingga terjadi diuresis dan
natriuresis. Penggunaan dopamin dosis sedang (3 – 10
mcg/kgBB/menit) menstimulasi reseptor ßyang menyebabkan
peningkatan kontraktilitas miokardium, denyut jantung, tekanan darah
sistolik, dan curah jantung. Penggunaan dopamin dosis tinggi (10 – 20
mcg/kgBB/menit) memberikan efek pada reseptor α1, yang
menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler perifer (peripheral
vascular resistance) dan penurunan tekanan darah ginjal.
Dopamin sering digunakan pada penanganan kasus syok, untuk
meningktakan curah jantung, support tekanan darah, dan menjaga
fungsi ginjal. Dopamin juga sering dikombinasikan dengan
vasodilator, misalnya nitrogliserin, dengan tujuan mengurangi
afterload yang selanjutnya dapat meningkatkan curah jantung.
e. Dobutamin
Dobutamin merupakan campuran rasemat dari dua isomer dengan
afinitas pada kedua reseptor ßdan ß, dengan selektivitas yang relatif
lebi tinggi untuk resepto ß Efek dobutamin pada sistem
kardiovaskuler adalah peningkatan curah jantung sebagai akibat dari
peningkatan kontraktilitas mikardium. Tekanan pengisian ventrikel
kiri menurun sedangkan aliran darah koroner meingkat.
Pemilihan dobutamin sering digunakan pada pasien dengan gagal
jantung kongestif dan pada pasien dengan coronary artery disease,
walaupun terjadi penningkatan tahanan vaskuler perifer.
Dobutamin diberikan secara infus kontinu dengan laju 2 – 20
mcg/kgBB/menit.
f. Vasopressin
Vasopresin merupakan hormon peptida yang dihasilkan oleh
pituitari posterior sebagai respon terhadap peningkatan tonisitas
plasma atau penurunan tekanan darah. Vasopresin mengaktivasi dua
subtipe reseptor G protein – coupled, dimana reseptor V1 ditemukan di
11
sel vaskular otot polos dan memediasi vasokonstriksi, dan reseptor V2
ditemukan di sel tubulus ginjal dan menurunkan diuresis melalui
peningkatan permeabilitas air dan reabsorpsi air di tubulus kolektifus
ginjal.
Dosis pemberian vasopresin adalah 10 – 40 mcg (0,1 – 0,4 ml)
dibagi dalam dua sampai tiga dosis diberikan via nasal spray atau via
tablet oral. Vasopresin dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
pemberiannya harus dilakukan secara hati – hati terhadap pasien
dengan penyakit jantung koroner.
2.2.1.3 Ventilasi Mekanik
Venitilasi mekanik merupakan pemberian alat bantu mekanik yang
dapat mempertahankan udara sehingga dapat mengalir ke paru – paru.
Tujuan utama penggunaan ventilator mekanik adalah untuk menormalkan
kadar gas darah arteri dan keseimbangan asam basa dengan memberi
ventilasi yang adekuat.10 Ventilasi mekanik memiliki prinsip yang
berlawanan dengan fisiologi ventilasi, yaitu dengan menghasilkan
tekanan positif sebagai pengganti tekanan negatif untuk mengembangkan
paru – paru.11 Kriteria obyektif penggunaan ventilasi mekanik adalah:11
a. Laju nafas > 35x per menit
b. Volume tidal < 5 ml/kgBB
c. Kapasitas < 15 ml/kgBB
d. Oksigenasi: PaO2 < 50 mmHg dengan fraksi oksigen 60%
e. Ventilasi: PCO2 > 50 mmHg
Pola – pola ventilasi pada pemberian ventilasi mekanik yaitu:11,13
a. Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV)
Intermittent Positive Pressure Ventilation atau pernafasan tekanan
positif intermiten merupakan pola umum berupa pengembangan paru
oleh pernerapan tekanan positif ke jalan nafas dan dapat mengempis
secara pasif pada kapasitas fungsi residu. Variabel utama yang
dikendalikan pada pola ventilasi ini meliputi volume tidal, frekuensi
12
nafas, durasi inspirasi versus ekspirasi, kecepatan aliran inspirasi, dan
konsentrasi oksigen inspirasi.
b. Positive End – Expiratory Pressure (PEEP)
PEEP memungkinkan konsentrasi oksigen inspirasi diturunkan
sehingga mengurangi resiko toksisitas oksigen. PEEP sering berguna
untuk meningkatkan PO2 arterial pada pasien dengan gagal nafas.
Terkadang, penambahan PEEP yang terlalu besar menurunkan PO2
arteri, bukan meningkatkannya. Mekanisme yang mungkin terjadi
meliputi curah jantung sangat menurun sehingga menurunkan PO2
dalam darah vena campuran, penurunan ventilasi daerah dengan
perfusi baik (karena peningkatan ruang mati dan ventilasi ke daerah
dengan perfusi buruk), dan peningkatan aliran darah dari daerah
dengan ventilasi ke daerah tidak dengan ventilasi oleh peningkatan
tekanan jalan nafas. Efek membahayakan PEEP pada PO2 jarang
terjadi.11,14
Pola ventilasi ini cenderung menurunkan curah jantung dengan
menghambat aliran balik vena ke toraks, terutama jika volume darah
yang bersirkulasi menurun karena perdarahan atau syok. Pemasangan
PEEP dalam keadaan tertentu menyebabkan penurunan seluruh
konsumsi oksigen pasien. Konsumsi oksigen menurun karena perfusi
di beberapa jaringan sangat marginal sehingga jika aliran darahnya
menurun lagi, jaringan tidak dapat mengambil oksigen. Selain itu,
PEEP tingkat tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada kapiler paru
akibat regangan tinggi pada dinding alveolar. Tegangan tinggi ini
meningkatkan stres pada dinding kapiler alveolar yang dapat
menyebabkn robekan pada epitel alveolar, endotel kapiler, atau semua
lapisan dinding kapiler alveolar.
Metode PEEP diaplikasikan apabila dengan FiO2 sampai 60%
pasien tidak mampu mencapai PaO2 >60 mmHg, misalnya pada kasus
edema paru akut diberikan metode PEEP dengan tujuan untuk
melawan tekanan hidrostatik/ mendorong cairan dari alveoli menuju
kapiler. Tekanan yang digunakan adalah 5 – 15 cm H2O, apabia
13
diberikan lebih tinggi dari 15 cm H2O akan meningkatkan tekanan
intratoraks sehingga menyebabkan aliran darah balik menurun dan
drainase cairan likuor terhambat. Oleh sebab itu, aplikasi metode
PEEP perlu dipertimbangkan pada kasus hipovolemik dan hipertensi
intrakranial.6
c. Continous Positive Airway Pressure (CPAP)
CPAP berguna untuk menangani gangguan pernafasan saat tidur
yang disebabkan oleh obstruksi jalan nafas atas. Peningkatan tekanan
diberikan melalui masker wajah. Perbaikan oksigenasi pada pola
ventilasi ini sama dengan PEEP.11
CPAP hanya digunakan pada penderita dengan nafas spontan dan
hanya dapat dikombinasikan dengan metode IMV.6
d. Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)
Pola ventilasi IMV merupakan modifikasi dari pola IPPV dimana
pemberian volume tidal besar pada interval yang relatif jarang kepada
pasien diintubasi yang bernafas spontan. IMV sering dikombinasikan
dengan pola ventilasi PEEP atau CPAP. Pemberian IMV berguna
untuk menyapih ventilator dari pasien, dan mencegah oklusi jalan
nafas atas pada apnea tidur obstruktif dengan menggunan CPAP nasal
pada malam hari.11
Pola ventilasi ini dapat digunakan sebagai alternatif lain dari nafas
kendali. Apabila digunakan sebagai alternatif nafas kendali, dimulai
dengan pemberian volume semenit 100 ml/kgBB dengan frekuensi 8 –
10 kali per menit, selanjutnya diatur berdasarkan hasil evaluasi analisi
gas darah dan respons pasien.6
e. Ventilasi Frekuensi Tinggi
Gas darah dapat dipertahankan normal dengan ventilasi tekanan
positif berfrekuensi tinggi (±20 siklus/detik) dengan volume sekuncup
yang rendah (50 – 100 ml). Paru digetarkan bukan dikembangkan
seperti cara konvensional, dan transpor gas terjadi melalui kombinasi
difusi dan konveksi. Salah satu pemakaian pola ventilasi ini adalah
14
pada pasien yang mengalami kebocoran gas dari paru melalui fistula
bronkopleura.11
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan
pasien dengan ventilator, antara lain:6
a. Intubasi endoktrakeal dan trakeostomi
Pasien yang akan diberikan ventilator mekanik harus dilakukan
intubasi endotrakeal baik nasal ataupun oral dengan pipa endotrakea
yang memiliki balon bertekanan rendah. Trakeostomi dilakukan pada
pasien dengan pemasangan ventilator mekanan lebih dari 5 – 7 hari.
b. Penataan (setting) awal ventilator
Setelah pemasangan intubasi endotrakeal atau trakeostomi telah
dilaksanakan, selanjutnya diberikan nafas buatan dengan pompa
manual, sambil menilai masalah sistem organ yang lain. Selanjutnya,
diberikan metode nafas kendali dengan penataan ventilator:
1) Volume tidal awal = 10 – 15 ml/kgBB, dengan tujuan untuk
membuka alveoli yang sempat kolaps (atelektasis) agar pertukaran
gas lebih baik.
2) Frekuensi nafas pada orang dewasa 12 – 15 kali per menit.
Frekuensi ini relatif lebih lambat untuk mencegah keniakan rasio
VD/VT.
3) Waktu inspirasi (I) : waktu ekspirasi (E) = 1 : 2 menit.
4) Fraksi inspirasi oksigen FiO2= 100% selama 15 – 30 menit.
5) Tekanan inflasi <35 – 40 cm H2O, untuk mencegah barotrauma
atau goncangan kardiovaskular.
6) Pemberian volume inspirasi ±2x atau lebih (sigh) pada periode
tertentu, untuk mencegah atelektasis paru.
Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan setelah 15 – 30 menit
setelah pengaplikasian alat. Hasil yang diperoleh digunakan untuk
menentukan metode ventilasi mekanik yang diberikan.
15
c. Pemantauan
Pemantauan dilakukan secara ketat dan kontinu pada pasien dan
pada alat. Pemantauan terhdapat beberapa penyulit yang mungkin
terjadi, misalnya barotrauma, juga harus dilakukan. Kejadian penyulit
yang berhubungan dengan masalah ventilasi paling sering disebabkan
karena diskoneksi antara penderita dan mesin atau kebocoran pada
sirkuit pernafasannya.
d. Kebersihan saluran nafas
Pipa endotrakeal dan aplikasi ventilasi mekanik menimbulkan
hipersekresi kelenjar saluran nafas. Timbunan hipersekresi ini, apabila
tidak dibersihkan, dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas dan
atelektasis yang dapat menyebabkan gangguan pertukaran gas dan
media infeksi.
Upaya cuci bronkus merupakan merupakan tindakan rutin dalam
upaya pemeliharaan kebersihan jalan nafas. Pembersihan jalan nafas
dapat dilakukan dengan melakukan hiperinflasi manual dengan
oksigen 100% memakai alat bantu nafas manual selama 2 – 3 menit.
Sputum yang didapat kemudian dibiakkan dan dilakukan uji
sensitivitas antibiotika minimal satu minggu sekali.
e. Penderita melawan mesin (fighting)
Fighting menunjukkan keadaan dimana penderita dan mesin sudah
tidak padu lagi. Ketidakpaduan ini dapat disebabkan oleh pasien tidak
nyaman, nyeri, hipoksemia, hiperkarbia, pneumotoraks, atau
kerusakan pada mesin ventilator. Perlawanan ini menyebabkan proses
ventilasi – oksigenasi tidak teratur, kebutuhan oksigen meningkat, dan
resiko komplikasi meningkat.
f. Penyulit
1) Infeksi nosokomial
Resiko terjadinya infeksi nosokomial pada pasien dengan
ventilator mekanik sangat tinggi. Resiko inu berkaitan dengan
lamanya aplikasi dan manipulasi yang dilakukan pada jalan nafas
dan manipulasi lain yang tidak mempertahankan asepsis.
16
VAP (Ventilator Associated Pneumonia) merupakan infeksi
nosokomial kedua tersering dan menempati urutan pertama
penyebab kematian akibat infeksi nosokomial pada pasien
perawatn intensif. Angka mortalitas penderita VAP berkisar 24% –
76% dengan resiko kematian dua sampai sepuluh kali lipat
dibandingkan dengan penderita tanpa pneumonia. Kuman tersering
penyebab terjadinya VAP adalah Pseudomonas aeruginosa,
Acetinobacter spp, dan Stenophomonas maltophilia.12
2) Pneumotoraks
Kecurigaan terhadap pneumotoraks dimulai saat pasien mulai
melawan mesin, bentuk dan gerak dada tidak simetris, suara nafas
tidak simetris antara paru kanan dan kiri, dan terdapat hipotensi
tanpa penyebab yang jelas.
3) Atelektasis
Penyulit ini terjadi karena sumbatan sputum dalam waktu cukup
lama dan immobilisasi dalam waktu yang lama. Pencegahan
terhadap kondisi ini dapat dilakuka dengan mobilisasi, fisioterapi
dada, drainase postural, dan penghisapan sputum. Apabila belum
berhasil, bisa dihisap dengan bantuan bronkoskop lewat pipa
endotrakeal atau trakeostomi.
4) Luka dekubitus
Luka dekubitus disebabkan oleh immobilisasi yang lama.
Kejadian ini dapat dihindari dengan perubahan posisi sessering
mungkin dan dengan pemakaian kasur anti dekubitus.
g. Tunjangan nutrisi
Pasien dengan pemasangan ventilator mekanik tidak dapat makan
sendiri. Oleh karena itu, kebutuhan nutrisinya harus dipenuhi melalui
pipa nasogastrik. Penderita yang tidak boleh makan karena fungsi
saluran cerna tidak berfungsi normal, kebutuhan nutrisi dipenuhi
melalui parenteral.
Kebutuhan kalori per hari berkisar antara 30 – 40 kal/kgBB, protein
1 – 2 g/kgBB dan kebutuhan elemen – elemen lain seperti mineral dan
17
vitamin. Apabila kebutuhan kalori tidak tercukupi, pasien akan
mengalami kelaparan yang dapat menyebabkan otot – otot mengecil,
enzim – enzim sebagai katalisator berkurang, dan immunoglobulin
serta fraksi protein juga menurun. Hal ini menyebabkan daya tahan
tubuh menurun, sehingga mudah terkena infeksi, penyembuhan luka
terhambat, dan kesulitan dalam proses penyapihan karena otot nafas
yang lemah.
2.2.1.4 Obat – Obat Pelumpuh Otot
a. Succinylcholine
Succinylcholine (diacetylcholine atau suxamethonium) terdiri dari
dua molekul acetylcholine yang bergabung menjadi satu. Obat ini
bekerja cepat (30 – 60 detik) dan dengan durasi yang singkat (<10
menit). Pemanjangan waktu paralisis oleh succinylcholine akibar dari
abnormalitas pesudocholinesterase (atypical cholinesterase) dapat
ditangani dengan melanjutkan penggunaan ventilasi mekanik dan
pemberian obat – obatan sedasi sampai fungsi otot kembali normal.
Dosis dewasa succinylcholine untuk intubasi adalah 1 – 1,5
mg/kgBB intravena. Penggulangan pemberian dengan bolus kecil (10
mg) atau dengan titrasi 1 g pada 500 ml atau 1000 ml dapat diberikan
selama durante operasi.
Pemberian succinylcholine dosis kecil dapat menghasilkan efek
negatif kronotropik dan inotropik, namun pemberian dengan dosis
tinggi dapat meningkatkan laju jantung, kontraktil jantung, serta
meningkatkan level katekolamin di sirkulasi15
b. Rocuronium
Rocuronium dieliminasi di hati dan sebagian kecil dieliminasi di
ginjal. Durasi kerja dari rocuronium tidak secara signifikan
dipengaruhhi oleh penyakit ginjal, namun durasi kerja rocuronium
dapat memanjang apabila pasien memiliki kegagalan fungsi hati dan
kehamilan. Rocuronium merupakan pilihan terbaik, dibandingkan
18
vecuronium, untuk pemilihan obat – obat pelemas otot untuk pasien
yang membutuhkan infus lama di ruang terapi intensif.15
Dosis awal rocuronium untuk intubasi adalah 0,45 – 0,9 mg/kgBB
intravena dengan dosis pemeliharaan 0,15 mg/kgBB secara bolus.
Kerja rocuronium dapat memanjang pada pasien tua, karena massa
hati pasien tua berkurang. Rocuronium memiliki onset aksi yang
menyerupai succinylcholine (60 – 90 detik) dan dapat digunakan pada
rapid-sequence induction.15
c. Atracurium
Atracurium memiliki struktur benzylisoquinolone. Obat ini
termasuk obat – obatan pelumpuh otot nondepolarisasi.
Dosis yang diberikan untuk intubasi adalah 0, 5 mg/kg intravena.
Relaksasi intraoperatif dapat diberikan dengan dosis awal 0,25 mg/kg.
Kemudian diberikan dengan dosis pemeliharaan 0,1 mg/kg setiap 10 –
20 menit. Atracurium bekerja lebih singkat pada anak dan balita
dibanding pada dewasa.15
Atracurium memicu pelepasan histamin dosis dependen dengan
dosis >0,5 mg/kg. Atracurium sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan asma karena dapat menyebabkan bronkospasme.
d. Pancuronium
Pancuronium dimetabolisme di hati, dimana hasil sisa metabolisme
dapat memblok aktivitas neuromuskular. Obat ini diekskresi di ginjal.
Dosis pancuronium untuk intubasi 2 – menit adalah 0,08 – 0,12
mg/kgBB. Relaksasi otot intraoperatif dapat dicapai dengan
memberikan dosis awal 0,04 mg/kgBB dengan dosis pemeliharaan
0,01 mgkgBB.15
Efek samping pemberian pancuronium antara lain hipertensi,
takikardi, aritmia, dan reaksi alergi.
2.2.2 Homeostasis Intrakranium
Usaha – usaha yang dapat dilakukan dalam rangka hemeostasis
intrakranium antara lain: 6
19
a. monitor tekanan intrakranium. Setelah cedera kepala dan pada pasien
dengan ensefalitis dianjurkan untuk memonitor tekanan intrakranium
dengan menggunakan baut tengkorak berongga, untuk pasien koma
bukan karena trauma, atau dengan menggunakan kateter ventrikel,
untuk pasien koma karena trauma.
b. mengendalikan tekanan intrakranium pada tekanan ≤15 mmHg
dengan:
1) hiperventilasi lebih lanjut (PaCO2 sampai 20 mmHg)
2) drenase CSS ventrikel
3) manitol 0,5 g/kg IV ditambah dengan 0,3 g/kg/jam intravena
4) obat-obatan diuretik, misalnya furosemid 0,5 – 1,0 mg/kg intravena
5) tiopenton atau pentobarbital 2 – 5 mg/kg intravena, diulangi
seperlunya
6) kortikosteroid, misalnya metilprednisolon 5 mg/kgBB intravena
diikuti dengan 1 mg/kgBB tiap 6 jam intravena, atau deksametason
1 mg/kgBB intrevena diikuti dengan 0,2 mg/kgBB tiap 6 jam
selama 2 – 5 hari
7) hipotermia (32o – 36oC) jangka pendek (dengan ventilasi kendali,
pelumpuh otot, anestetika, vasodilator).
8) Obat – obatan sedatif, hipnotik, atau analgetik narkotik apabila
diperlukan
c. Monitor fungsi otak, dengan:
1) EEG
2) EEG komputer (monitor fungsi otak = “cerebral function monitor”)
2.2.2.1 Diuretik
a. Mannitol
Mannitol merupakan obat – obatan osmotik diuretik. Penyerapan
mannitol sangat buruk pada sistem pencernaan saat diberikan per oral,
sehingga menyebabkan diare osmotik. Mannitol diberikan secara
intravena apabila ingin mendapatkan efek sistemik. Obat ini tidak
20
dimetobolisme dan disekresikan melalui filtrasi glomerulus setelah 30
– 60 menit tanpa adanya reabsorpsi tubular ataupun sekresi.
Sifat osmotik diuretik yang dimiliki oleh mannitol menyebabkan
cairan meninggalkan sel sehingga menurunkan volume intraselular.
Sifat inilah yang digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial
pada pasien dengan kondisi neurologis. Dosis mannitol yang diberikan
1 – 2 kg/kgBB intravena. Tekanan intrakranial harus dimonitor selama
60 – 60 menit.16
2.2.2.2 Steroid
Beberapa penelitian menunjukkan steroid mampu menurunkan
vasogenik serebral edema. Penurunan tekanan intrakranial akan menurun
dalam dua sampai lima hari. Regimen yang sering digunakan adalah
deksamethasome 4 mg tiap 6 jam. Pemberian steroid pada kelainan
neurologis, seperti traumatic brain injury atau spontaneous intracerebral
hemorrhage, tidak memberikan suatu keuntungan.14
2.2.2.3 Hipotermia
Hipotermia adalah keadaan dimana suhu tubuh <36oC. Keadaan ini
mampu mengurangi kebutuhan oksigen yang dimetabolisme dan dapat
menjadi faktor protektif dalam keadaan iskemi otak dan jantung.
Hipotalamus mempertahankan suhu inti tubuh dalam kondisi normal.
Kenaikan suhu inti tubuh dapat memicu berkeringat dan vasodilatasi,
sebaliknya penurunan suhu inti tubuh dapat menyebabkan vasokonstriksi
dan menggigil.
Hipotermia dapat menjadi faktor neuro protektif dengan menurunkan
kadar rangsangan asam amino. Selain itu, hipotermia memiliki efek
antioksidan dan efek antiinflamasi. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa hipotermia efektif dalam penanganan hipoksia/ iskemia pada
dewasa dan neonatus.18 Mekanisme protektif hipotermia terhadap
penurunan tekanan intrakranial berhubungan dengan penurunan
konsumsi energi dengan menghambat sinyal intraseluler, seperti
pergerakan kalsium yang dapat mencegah kehabisan ATP dan produksi
21
radikal bebas. Hipotermia memodulasi kaskade apoptosis dan inflamasi,
sehingga menyebabkan sintesa protein apoptotic dan trofik, sehingga
terjadi penurunan eksitasi neurotransmitter dan respons inflamasi.19
2.2.2.4 EEG
Electroencephalogram (EEG) menunjukkan aktifitas elektrik neuron
otak yang ditunjukkan dengan sinyal elektik. Aktifitas elektrik otak
ditangkap oleh elektroda yang dipasangkan pada kulit kepala dan
teramplikasi pada mesin EEG yang ditunjukkan sebagai gelombang otak.
Batasan EEG terkait sensitifitasnya meliputi: 1) aktifitas abnormal
otak tidak dapat terdeteksi saat lokasi keabnormalitasan terlalu sempit
pada permukaan otak (keterlibatan permukaan korteks ±4 cm2), foci
terletak terlalu dalam di otak (mesial aspect and inferior aspect of the
cortex), dan keterbatasan waktu pengambilan sampel; 2) kualitas teknik
yang buruk; dan 3) interpretasi signifikasi abnormalitas EEG pada setting
klinis. Batasan EEG terkain spesifitasnya meliputi: 1) ditemukan sampai
10% abnormalitas EEG non spesifik pada orang normal; 2) aktifitas
paroxysmal epileptiform tanpa adanya tanda klinis kejang; 3) benign
focal epileptiform dilepaskan pada anak-anak tanpa kejang.20
Gambar 1. Pemasangan elektroda EEG pada kulit kepala
Ritme Frekuensi Deskripsi
Alfa 8 – 13 Hz Ritme posterior dominan
22
Beta >13 Hz
normal, ditemukan ketika
tidur, terutama pada bayi
dan anak – anak
Theta 4 – 7 Hz ditemukan ketika kantuk
dan tidur
Delta < 4 Hz tidur tahap IV Tabel 1. Ritme EEG
Respon mioklonik berhubungan dengan cemas, alkohol, drug
withdrawal, dan sindrom parkinsonisme. Respon ini termasuk respon
normal. Respon fotoparoxymal paling sering dijumpai pada tingkat
kilasan 15 – 20 Hz dan dijumpai pada orang dengan epilepsi generalisasi
primer, namun dapat juga dijumpai pada pasien dengan keadaan drug
withdrawal (± 2% ditemukan pada orang normal).20
Gambar 2. Respons fotomyoklonik
Gambar 3. Respon fotoparoxymal
23
2.3 Perawatan Intensif (Intensive Care)
Kriteria pasien masuk perawatan intensif berdasarkan parameter obyektif
terbagi menjadi:6
a. Tanda vital
Pasien yang layak masuk perawatan intensif memiliki tanda – tanda vital
sebagai berikut:
1) Nadi <40x/menit atau >140x/menit
2) Tekanan darah sistolik arteri <80 mmHg atau 20 mmHg di bawah
tekanan darah pasien sehari – hari
3) Mean arterial pressure <60 mmHg
4) Tekanan darah diastolik arteri >120 mmHg
5) Frekuensi nafas >35x/menit
b. Nilai laboratorium
Pasien yang layak masuk perawatan intensif memiliki nilai laboratorium
sebagai berikut:
1) Natrium serum <110 mEq/L atau >170 mEq/L
2) Kalium serum <2,0 mEq/L atau 7,0 mEq/L
3) PaO2 <50 mmHg
4) pH <7,1 atau >7,7
5) Glukosa serum >800 mg/dl
6) Kalsium serum >15 mg/dl
7) Kadar toksik obat atau bahan kimia lain dengan gangguan
hemodinamik dan neurologis
c. Radiografi/ ultrasonografi/ tomografi
Pasien yang layak masuk perawatan intensif memiliki gambaran
radiografi/ ultrasonografi/ tomografi sebagai berikut:
1) Perdarahan vaskular otak, kontusio atau perdarahan subarchnoid
dengan penurunan kesadaran atau tanda defisit neurologis fokla
2) Ruptur organ dalam, kandung kemih, hepar, varises esophagus atau
uterus dengan hemodinamik tidak stabil
3) Diseksi aneurisma aorta
d. Elektrokardiogram
24
Pasien yang layak masuk perawatan intensif memiliki gambaran
elektrokardiogram sebagai berikut:
1) Infark miokard dengan aritmia kompleks, hemodinamik tidak stabil
atau gagal jantung kongestif
2) Ventrikel takikardi menetap atau fibrilasi
3) Blokade jantung komplit dengan hemodinamik tidak stabil
e. Pemeriksaan fisik (onset akut)
Pasien yang layak masuk perawatan intensif memiliki hasil pemeriksaan
fisik sebagai berikut:
1) Pupil anisokor pada pasien tidak sadar
2) Luka bakar >10% BSA
3) Anuria
4) Obstruksi jalan nafas
5) Koma
6) Sianosis
7) Kejang berlanjut
8) Tamponade jantung
2.3.1 Terapi Nutrisi dalam Perawatan Intensif
Peningkatan pelepasan mediator – mediator inflamasi, seperti IL-1, IL-6,
dan TNF, dan peningkatan produksi counter regulatory hormone, seperti
katekolamin, kortisol, dan glukagon, pada pasien dalam keadan kritis
menimbulkan efek pada status metabolik dan nutrisi pasien.21
Level serum albumin merupakan jenis protein yang sering diukur. Level
albumin yang rendah merefleksikan status nutrisi penderita yang
dihubungkan dengan proses penyakit dan atau proses pemulihan. Penurunan
sintesesa albumin, pergeseran distribusi dari ruangan intrvaskular ke ruang
interstitial, dan pelepasan hormon yang meningkatkan destruksi
metabolisme albumin dapat dijumpai apabila level albumin rendah. Level
serum hemoglobim dan trace elements, seperti Mg2+ dan fosfor merupakan
indikator tambahan biokimia. Hemoglobin digunakan sebagai indikator
kapasitas angkut oksigen, sedangkan magnesium dan fosfor digunakan
25
sebagai indikator gangguan jantung, saraf, dan neuromuskular. Selain itu,
Delayed Hypersensitivity dan Total Lymphocyte Count dapat digunakan
untuk mengukur fungsi imun.21
Keseimbangan nitrogen dapat digunakan untuk menegakkan keefektifan
terapi nutrisi. Nitrogen secara kontinu terakumulasi dan hilang melalui
pertukaran yang bersifat homeostatik pada jaringan protein tubuh.
Keseimbangan nitrogen dapat dihitung dengan menggunakan formula yang
mempertimbangkan nitrogen urin 24 jam, dalam bentuk nitrogen urea urin
(NUU), dan nitrogen dari protein dalam makanan:
Keseimbangan Nitrogen = {(dietary protein : 6,25) – (NUU : 0,8) + 4}
Keseimbangan nitrogen positif menunjukkan asupan nitrogen melebihi
ekskresi nitrogen, dan menggambarkan bahwa asupan nutrisi ukup untuk
terjadinya anabolisme dan mempertahanakn lean body mass. Keseimbangan
nitrogen negatif ditandai dengan ekskresi nitrogen yang melebihi oksigen.
Kebutuhan kalori dapat juga dihitung menggunakan rumus ”role of
thumb”, yaitu 25 – 30 kkal/kgBB/hari. Penetapan Resting Energy
Expenditure (REE) atau Basal Metabolic Rate (BMR) harus dilakukan
sebelum pemberian nutrisi. REE merupakan pengukuran jumlah energi yang
dikeluarkan untuk mempertahankan kehidupan pada kondisi istriahat dan 12
– 18 jam setelah makan.
Gambar perhitungan Basal Energy Expenditure
26
Karbohidrat merupakan sumber energi yang penting. Setiap gram
karbohidrat menghasilkan ±4 kalori. Asupan karbohidrat di dalam makanan
sebaiknya berkisar 50% - 60% dari kebutuhan kalori. Kecepatan pemberian
glukosan pada pasien dewasa maksimal 5 mg/kgBB/menit.
Komponen lemak dapat diberikan dalam bentuk nutrisi enteral maupun
parenteral sebagai emulsi lemak. Pemberian lemak dapat mencapai 30% -
50% dari total kebutuhan. Satu gram lemk menghasilkan 9 kalori.selama
hari – hari pertama pemberian emulsi lemak khususnya pada pasien yang
mengalami stress, pemberian infus dianjurkan selambat mungkin, yaitu
pemberian emulsi Long Chain Triglyseride (LCT) <0,1 g/kgBB/mjam dan
emulsi campuran Medium Chain Triglyseride (MCT) / Long Chain
Triglyseride (LCT) dengan kecepatan pemberian < 0,15 g/kgBB/jam.
Pemberian protein (asam – asam amino) menurut Recommended Dietary
Allowance (RDA) adalah 0,8 g/kgBB/hari atau ±10% dari total kebutuhan
kalori. Rata – rata kebutuhan protein dewasa muda sebesar 0,75
g/kgBB/hari. Namun, selama masa kritis, kebutuhan protein meningkat
menjadi 1,2 – 1,5 g/kgBB/hari.
Pasien perawatan intensif membutuhkan vitamin – vitamin A, E, K, B1
(thiamin), B3 (niasin), B6 (piridoksia), C, asam pantotenat, dan asam folat
lebih banyak dibandingkan kebutuhan normal sehari –hari. Pemberian
thiamin, asam folat, dan vitamin K mudah menyebabkan infeksi.
Nutrisi tambahan berupa growth hormone, glutamine, branched – chain
amino acids, novel lipids, omega-3 fatty acid, arginine, dan nucleotides
dapat diberikan untuk memodulasi respon metabolik dan sistem imun.
Imunonutrisi dapat menurunkan komplikasi infeksi, tapi tidak berhubungan
dengan mortalitas secara umum.
Rute pemberian nutrisi dipilih rute yang mampu menyalurkan nutrisi
dengan morbiditas minimal. Penggunaan nutrisi parenteral di Inggris sudah
mulai dikurangi sejak 15 tahun yang lalu. Hal ini disebabkan karena terjadi
perubahan sistem imun dan gangguan pada usus melalui jalur GALT (Gut
27
Associated Lymphatic System), yang merupakan stimulasi proinflamasi
selama kelaparan usus. Abnormalitas sekuner lainnya adalah perubahan
permeabilitas atau bahkan translokasi kuman. Meskipun rute pemberian
melalui enteral lebih dipilih, namun nutrisi enteral tidak selalu tersedia, dan
untuk kasus tertentu kurang aman.
Pemberian nutrisi enteral, pipa nasal lebih dianjurkan daripada oral,
kecuali pasien dengan fraktur basis cranii, dimana dapat terjadi resiko
penetrasi ke intrakranial. Pipsa naso-jejunal dapat digunakan jika terjadi
kelainan pengosongan lambung yang menetap dengan pemberian obat
prokinetik. Alternatif lain untuk pemberian nutrisi enteral jangka panjang
adalah dengan gastrotomi dan jejuunum perkutans. Pemberian nutrisi enteral
adalah faktor resiko independen pneumonia nosokomial yang berhubungan
dengan ventilasi mekanik. Cara pemberian sedini dan benar akan
menurunkan kejadian pneumonia.
Pemberian nutrisi parenteral diindikasikan bila asupan enteral tidak dapat
dipenuhi dengan baik. Pemberian nutrisi parenteral bertujuan untuk dapat
beralih ke nutrisi enteral secepat mungkin. Infeksi dapat terjadi pada
pemberian nutrisi parenteral.
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dijelaskan, maka dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Penanganan Bantuan Hidup Jangka Panjang terbagai menjadi beberapa
tahap, yaitu Gauging (Penilaian), mentasi manusia (Human mentation), dan
pengelolaan intensif (Intensive care).
2. Tahap penilaian (Gauging) dapat dilakukan dengan tahap untuk menentukan
dan memberi terapi penyebab kematian, serta menilai sejauh mana pasien
masih bisa diselamatkan.
3. Tahap mentasi manusia (Human Mentation) adalah tahapan untuk
melakukan resusitasi otak. Tahapan ini dapat dilakukan dengan cara
menjaga homeostasis intrakranium dan homeostasis ekstrakranium.
4. Tahap pengelolaan intensif (Intensive care), yaitu resusitasi jangka panjang.
Tahap ini merupakan pengelolaan intensif berorientasikan otak pada
penderita dengan kegagalan organ multipel pasca resusitasi.
cDAFTAR PUSTAKA
1. Saifuddin, Abdul Bari. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. 10th ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2002.
2. Lantip R. Lab. Ketrampilan Medik PPD Unsoed [Internet]. Purwokerto;
[cited 7 April 2017]. Available from: http://fk.unsoed.ac.id/sites/default/
files/img/modul%20labskill/genap%20II/Genap%20II%20%20Resuitasi%2
0Jantung%20Paru%20dan%20otak.pdf.
3. Pertolongan Pertama, Save Life [Internet]. Rsudrsoetomo.jatimprov.go.id.
2017 [cited 7 April 2017]. Available from:http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.
id/id/index.php/2014-11-20-16-51-43/2014-11-24-13-37-43/245-pertolong
an-pertama-save-life.
4. Safar P. Resusitasi Jantung Paru Otak. 1st ed. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 1984.
5. Yang dari dr ronald
(*) buku dr cok
(&) miller
(%) AHA 2015
(#) katzung
(^)Franzon D, Kache S. MANAGEMENT OF HEAD INJURY &
INTRACRANIAL PRESSURE [Internet]. 1st ed. California; [cited 20 April
2017]. Available from:
http://peds.stanford.edu/Rotations/picu/pdfs/7_ICP.pdf
($) andresen M, Gazmuri J, Marín A, Regueira T, Rovegno M. Therapeutic
hypothermia for acute brain injuries. Scandinavian Journal of Trauma,
Resuscitation and Emergency Medicine [Internet]. 2015 [cited 20 April 2017];23(1).
Available from:
http://www.immediatecaretraining.ie/assets/Therapeutic_hypothermia_for_acute
_brain_injuries.pdf
(.)Castillo L, Gopinath S, Robertson C. Management of Intracranial Hypertension.
National Incstitute of Health [Internet]. 2008 [cited 20 April 2017];26(2):521 - 541.
Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2452989/pdf/nihms56358.pdf
Grossbach I, Stanberg S, Chlan L. Promoting effective communication for patients
receiving mechanical ventilation. Pubmed [Internet]. 2010 [cited 22 April
2017];31(3):46 - 60. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20807893
(;) usu
(w)
(b) Pranggono E. VENTILASI MEKANIK [Internet]. 1st ed. Bandung: RS dr. Hasan
Sadikin/ FK Unpad; [cited 21 April 2017]. Available from:
http://repository.unpad.ac.id/8382/1/ventilasi_mekanik.pdf
(o) Tat O. EEG Basics and Interpretation. Lecture presented at; University
Children’s Medical Institute National University Health System Singapore.