Ksatria secara etimologi adalah sebuah kata sifat yang memiliki tiga makna. Yang pertama artinyamemerintah, artinya ksatria adalah pelaku-pelaku kekuasaan. Makna yang kedua adalah kekuasaan yangdiberkati. Makna yang ketiga adalah kuda merah. Hal ini dikarenakan banyaknya representasi lambangkekuasaan, kekuatan dan kegagahan digambarkan dengan kuda. Menurut Cak Nun, ksatria adalah seseorangyang menunaikan tugas yang diamanahkan kepadanya sampai selesai. Dari keempat makna ksatria yangdijabarkan ini, bisa disimpulkan bahwa keunggulan seorang ksatria adalah bahwa dia mampu menyelesaikanpekerjaannya sampai tuntas.
Ada sesuatu yang nampak berbeda dari Kenduri Cinta bulan Juni 2014 ini. Selain hari yang dipilih merupakan
hari yang tidak umum sebagaimana Kenduri Cinta biasa diselenggarakan, yakni secara rutin diadakan pada
hari Jum’at minggu kedua, sedangkan kali ini dipilih hari Senin tanggal 16 Juni 2014. Juga setting panggung
yang sedikit berbeda, dibuat lebih luas dari biasanya. Rangkaian janur (daun muda dari beberapa jenis palma
besar, terutama kelapa, enau, dan rumbia) disusun menjadi berbagai bentuk kemudian digantung dengan
jumlah yang cukup banyak, tersebar di berbagai sudut menjadi pemanis dekorasi sederhana namun apik.
Disudut lain tampak potongan gedebok pisang lengkap dengan
wayang yang dipasang, namun kali ini bentuk dan karakter
wayang berbeda dari yang biasa kita lihat pada pagelaran
wayang kulit. Tak ketinggalan seperangkat gamelan sudah
tersusun rapi memenuhi panggung.
Pemandangan kesibukan tersebut sudah tampak dari senin
siang. Persiapan berbagai keperluan dilakukan, mulai dari
pemasangan tenda, kelengkapan panggung, sound system,
juga termasuk dekorasi panggung tersebut. Itu semua
dipersiapkan dalam rangka memperingati 14 tahun Kenduri
Cinta yang secara rutin sejak tahun 2000 di setiap bulannya
menemani masyarakat dan titik lingkar Maiyah yang ada di
Jakarta dan sekitarnya. Hari senin menjadi pilihan bagi
Kenduri Cinta untuk memperingati kelahirannya, dan malam itu diadakan pagelaran kesenian dari Komunitas
Lima Gunung yang terdiri dari seniman pekerja kesenian tradisional dan sekaligus mereka adalah para petani
yang ada didaerah sekitar lima gunung diseputaran Magelang, yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing,
Andong, dan Menoreh. Jumlah rombongan yang mereka keluarkan untuk pagelaran Kenduri Cinta malam itu
sekitar 53 orang, dengan komposisi orang dewasa dan anak-anak yang menampilkan sembilan nomer
pagelaran.
Selain itu KiaiKanjeng juga turut memeriahkan pagelaran kesenian tersebut, dimana pada Kenduri Cinta
malam itu, KiaiKanjeng sudah melakukan perjalanan Maiyah yang ke-3.567, walaupun jumlah tersebut masih
ragu bagi personelnya sendiri, mengingat mereka melakukan perjalanan Maiyah lebih dari jumlah yang dapat
dihitung, dengan jam terbang pelayanan mereka yang dijadwalkan oleh masyarakat begitu tinggi. Dari lingkar
Maiyah Papperandang Ate Mandar Sulawesi Barat, turut menampilkan Teater Flamboyant yang kebetulan
BAYANG-BAYANG PARA KSATRIA
Jun 23, 2014
Editorial Kenduri (http://kenduricinta.com/v4/category/editorial-kenduri/)
Reportase KenduriCinta (http://kenduricinta.com/v4/category/editorial-kenduri/reportase-kenduricinta/)
0 (http://kenduricinta.com/v4/reportase-bayang-bayang-para-ksatria/#comments) 4360
Reportase Forum Maiyah Kenduri Cinta edisi Juni 2014 | Redaksi: KC/Fahmi Agustian - Foto: Agus Setiawan
(http://kenduricinta.com/v4)
sedang mengikuti lomba teater tradisi di Gedung Kesenian Jakarta. Teater Flamboyant ini merupakan generasi
keenam, sejak dirintis dari tahun 1970 oleh Ali Syahbana (alm), kemudian mengajak Cak Nun untuk
bertandang ke Mandar memberi semangat bagi tumbuhnya teater rakyat disana, yang menjadi embrio Maiyah
rutin bernama Papperandang Ate.
14 tahun Kenduri Cinta menyengajakan diri untuk menyuguhkan pagelaran kesenian murni yang tumbuh dari
masyarakat, rakyat Indonesia. Dari sudut-sudut terpencil Indonesia muncul manusia-manusia yang tangguh
dan bersungguh-sungguh dalam berkesenian, menjadi suguhan yang jauh berbeda dari hiburan yang miris
dilayar televisi kita saat-saat ini.
MukadimahWaktu menunjukkan pukul 20:00 WIB, pelan-pelan mulai terdengar lantunan surat Yaasin bersama-sama
yang dibacakan oleh para penggiat Kenduri Cinta dan jamaah yang hadir, sebagai penanda Kenduri Cinta
dimulai. Setelah pembacaan Surat Yaasin, jamaah diajak bersama-sama untuk melafalkan Sholawat ‘Indal
Qiyam yang dipimpin oleh Ustad Noorsofa.
Usai sholawat Indal Qiyam dilanjutkan dengan pembahasan tema 14 tahun Kenduri Cinta, yaitu “Bayang-
bayang Para Ksatria”. Ustad Noorsofa mencoba menjelaskan makna ksatria dari sudut pandang Islam. Dalam
sebuah hikayah, Rasulullah berkumpul dengan para sahabat tiba-tiba malaikat Jibril datang menghampiri dan
memerintahkan Rasulullah untuk berdiri dan menengadahkan kepala. Yang dilihat oleh Rasulullah kemudian
bukanlah apa yang ada disekitarnya saat itu yaitu para sahabat, namun Rasulullah justru melihat
pemandangan yangakan terjadi di padang mahsyar. Satu pertanyaan yang ditanyakan oleh Rasulullah adalah
“aina ummatii”, dimana ummatku? Inilah ciri pertama ksatria dalam Islam. Ia mengutamakan ummatnya
daripada dirinya sendiri. Jibril kemudian menunjukkan sebuah kumpulan manusia dan mengatakan “itulah
ummatmu ya Rasulullah, dan diantara ummatmu itu terdapat 70 ribu manusia yang akan masuk surga tanpa
dihisab”.
Ustad Noorsofa menambahkan, ciri-ciri ksatria dalam Islam setidaknya ada tiga; Pertama, orang-orang yang
apabila merasakan penderitaan, tetapi mampu menikmati penderitaan tersebut. Kedua, orang-orang yang
tidak pernah merasa berjasa kepada manusia lainnya didalam hidupnya. Ketiga, orang-orang yang tidak
menggantungkan hidupnya kecuali kepada Allah SWT.
Erik Supit menambahkan penjelasan tentang ksatria yang
pernah menjadi perdebatan di awal abad ke-20 ketika negeri
ini masih bernama Hindia-Belanda, saat itu muncul
pelopor-pelopor yang terdidik secara Eropa dan
memperoleh akses pendidikan bagus yang disediakan oleh
Belanda. Dulu kita mengenal Cipto Mangunkusumo,
Cokroaminoto dan kawan-kawan, saat itu mereka berjuang
melalui jalannya masing-masing untuk meraih sebuah
idealisme agar mereka dianggap sebagai ksatria oleh rakyat. Definisi ksatria saat itu adalah seseorang yang
melawan kebijakan-kebijakan kolonial saat itu hingga akhirnya mereka dibuang atau diasingkan. Hampir
semua orang pada saat itu berlomba untuk dibuang atau diasingkan. Setelah tahun 1920, orang-orang
berlomba bukan hanya untuk diasingkan atau dibuang melainkan dibunuh. Pada saat itu, untuk mencapai
tingkat dibuang, diasingkan, dipenjara bahkan dibunuh karena mempertahankan perlawanan mereka
terhadap pemerintahan kolonial bukanlah hal yang mudah untuk dicapai. Setelah Indonesia merdeka, kata
ksatria ini mengalami kemunduran makna menjadi perjuangan-perjuangan yang bersifat intelektualitas,
sehingga sudah tidak ada lagi keinginan untuk dibuang atau diasingkan apalagi dibunuh. Artinya dalam
beberapa zaman sebelum kita sekarang, kata ksatria ini sudah menjadi cita-cita bagi sebagian orang, karena
pada saat itu untuk dibuang, diasingkan bahkan dibunuh demi memertahankan idealismenya dan membela
rakyat atas kebijakan kolonial saat itu bukanlah hal yang gampang. Dan setelah orde lama, ksatria mengalami
penurunan makna. Dia hanya sebagai sebuah kata yang digunakan untuk menyebutkan kelas sosial dan mitos.
Ksatria tidak lagi menjadi sebuah idealisme dari sebuah perjuangan. Ksatria bukan lagi sebagai jiwa, bukan lagi
sebagai sifat dan target-target pencapaian kehidupan. Jika dahulu ksatria itu identik dengan orang yang
konsisten untuk menyelesaikan pekerjaannya sampai tuntas, maka sekarang kita akan merasa aneh jika
menyematkan kata ksatria kepada tokoh-tokoh yang kita lihat sekarang di Indonesia pada umumnya. Karena
kebanyakan dari mereka saat ini lebih bernafsu untuk memuaskan hawa nafsunya sendiri daripada
menyelesaikan cita-cita dan pekerjaan yang sedang ia hadapi.
Ksatria-Ksatria Lima GunungPukul 21.00 WIB, Cak Nun dan Mas Tanto Mendut (Presiden Komunitas Lima Gunung) naik keatas panggung
untuk langsung memandu pagelaran kesenian dari Komunitas Lima Gunung. Pada kesempatan ini, Komunitas
Lima Gunung mementaskan beberapa jenis kesenian khas dari daerahnya masing-masing, seperti: Tembang
Gunung, Soreng Anak Gadis, Karawitan Tari, Warok Anak Hip-hop, Puisi Atika dan Teater Kawan Taufik,
Kipas Mego, Wayang Gunung dengan dalang Pak Sih Agung, Gupolo Gunung, dan Kuda Lumping.
Mas Tanto Mendut sebelum Komunitas Lima Gunung memulai
pagelarannya diminta oleh Cak Nun untuk merespon secara singkat
tentang Kenduri Cinta. Mas Tanto menjelaskan bahwa saat ini kita
melihat banyak wajah di Indonesia ini. Wajah-wajah yang
bermunculan saat ini justru lebih terkesan sebagai wajah yang tidak
orisinal. Tema “Bayang-bayang Para Ksatria” yang diusung Kenduri
Cinta memang mencoba menggali lebih dalam makna ksatria dalam
kehidupan saat ini, terutama di Indonesia. Pak Sih Agung sebagai
dalang Wayang Gunung menjelaskan bahwa seorang ksatria adalah
sesorang yang konsisten dalam menyelesaikan pekerjaan yang
sedang ia kerjakan, tidak perduli dengan kesulitan yang ia hadapi, ia
tetap berusaha untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, singkatnya
ia memiliki konsistensi untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Yang diperdebatkan oleh banyak orang saat ini hanya satu-dua wajah
saja saat ini, sedangkan ribuan wajah lainnya justru tersingkirkan.
Mas Tanto menambahkan, bahwa Komunitas Lima Gunung sejak
tahun 2002 mereka konsisten mengadakan festival 5 gunung disetiap
tahunnya.
“Jangan mengalami apapun tanpa mendapatkan kunci maknanya,”
ungkap Cak Nun. Dari tari kita bisa menarik benang merahnya ke dalam kehidupan, dari gerak bisa kita
terjemahkan ke manajemen, dari pose badan bisa diterjemahkan ke dalam nasionalisme jika anda memiliki
kemampuan asosiasi dan intelektualisme yang baik.
Tembang Gunung (Tembang Desa Kuno) yang dibawakan oleh teman-teman dari Lereng Merbabu menjadi
suguhan pertama dari Komunitas Lima Gunung, orang dewasa maupun anak-anak berjejer gagah dengan
kostum yang berwarna cerah lengkap dengan wajah yang dirias sedemikian rupa sesuai dengan karakter yang
dimainkan, membawakan Tembang Gunung secara serempak. Kemudian langsung disambung oleh pemuda-
pemudi yang membawakan Soreng Anak Gadis dengan luwes. Karawitan Tari persembahan dari lereng
gunung Menoreh tak luput untuk dibawakan. Kolaborasi antara gunung Menoreh dan Andong membawakan
Warok Anak Hip-Hop, dengan perpaduan tradisi dan modern, dimana tampak anak-anak menggunakan kaos
garis-garis lengkap dengan kupluk berwarna putih dengan dadanan yang lucu dibawakan sembari
menggelembungkan mulut sepanjang menari, bergerak riang, jenaka, dan lincah, satu orang karakter
berkostum lebih modern lengkap dengan kacamata hitam menari ala breakdance, sungguh perpaduan yang
unik menyegarkan memberi oase baru ditengah-tengah keringnya kesenian murni disekitar kita terutama di
ibukota ini.
(http://kenduricinta.com/v4/wp-content/uploads/2014/06/cover01.jpg)
Setelah jamaah terhibur dengan penampilan Warok Anak Hip-Hop, kini jamaah diajak masuk ke ruang
perenungan dengan pembacaan Puisi Atika dan Teater Kawan Taufik dari studio Mendut Menoreh, dengan
suara yang lantang puisi dibacakan oleh seorang gadis belia, dipadu padankan dengan gerak teatrikal juga
musikalisasi yang mendukung sebagai visualisasi dari puisi tersebut, membuat jamaah terdiam mengikuti bait
demi bait yang dibacakan. Setelah pembacaan puisi, ibu-ibu dari lereng Merbabu tampil membawakan Kipas
Mego, dengan anggun membawakan gerakan dengan rasa kebanggaan tersendiri mereka tumbuh sebagai ibu-
ibu dari pedesaan yang tangguh.
Ditengah-tengah paggelaran, Cak Nun meminta jeda dan mengajak beberapa pelaku kesenian dari Komunitas
Lima Gunung untuk mempraktekan pose-pose/patrap-patrap kekhusyukan, kegagahan, kekuatan, dsb.
Patrap-patrap inilah yang sebenarnya orisinal milik Indonesia. Sehingga seharusnya Indonesia memiliki sikap
kegagahan ketika menghadapi bangsa lain. Menurut Cak Nun, Indonesia sekarang sudah kehilangan aura
ksatria dalam kehidupan sosial, politik dan budaya. Dan sekarang, menurut Cak Nun kita berada di puncak
hari-hari yang penuh kepalsuan, namun kehadiran Komunitas Lima Gunung di Kenduri Cinta malam ini
adalah bukti bahwa kita dihadirkan sesuatu yang orisinal dari Indonesia yang sebenarnya.
Komunitas Lima Gunung kemudian melanjutkan dengan mementaskan Wayang Gunung dengan dalang Pak
Sih Agung, wayang yang ditampilkan tampak unik, tidak seperti tokoh wayang pada umumnya yang sering
kita saksikan, wayang yang dimunculkan menjadi sebagai tokoh yakni berbentuk serangga, mengangkat lakon
“konsistensi”, disuguhkan dengan jenaka dan menghibur. Dalam pementasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa sejatinya semua makhluk di dunia ini hanya dituntut konsistensinya sebagai makhluk Tuhan. Yang
menajdi orong-orong harus konsisten menjadi orong-orong yang hidup dialam tanah, tidak boleh melanggar
aturan dengan melenceng dari apa yang digariskan, misalnya memilih hidup di air. Begitu juga dengan
manusia, kita dituntut untuk konsisten menjadi manusia.
“Universitas Maiyah itu bukanlah satu rumah dengan banyak ruangan, melainkan satu ruangan yang samadengan pintu yang banyak. Banyak orang pintar, tapi kepintarannya adalah kepintaran sekolahan bukan
kepintaran kehidupan,” lanjut Cak Nun.
Cak Nun kemudian meminta seorang jamaah untuk merespon tema yang diangkat dalam Wayang Gunung
tersebut. Jamaah tersebut mengatakan bahwa beberapa waktu yang lalu Cak Nun saat acara Maiyahan di
Malang mengatakan bahwa setiap kita harus mengetahui siapa diri kita. Jangan kemudian kita mengira diri
kita burung, padahal sebenarnya kita adalah ayam. Ayam tidak akan bisa terbang, sehingga ia tidak bisa
berangan-angan bahwa dirinya adalah burung.
Pak Sih Agung menambahkan bahwa orong-orong adalah orong-orong yang harus konsisten sebagai orong-orong. Pak Sih Agung mengatakan bahwa saat ini semua orang di Indonesia dipaksa untuk tidak konsisten
agar menjadi satu jenis yang sama. Padahal setiap manusia memiliki kelebihan masing-masing yang berbeda
satu sama lain. Bahkan dalam segala hal semua orang dipaksakan untuk sama.
Cak Nun merespon pernyataan Pak Sih Agung dengan menjelaskan bahwa itu semua terkait tentang konsep
kurikulum pendidikan yang seharusnya mampu mengetahui bahwa setiap murid memiliki sifat dan kelebihan
yang berbeda satu sama lain. Namun yang terjadi sekarang adalah, setiap murid dipaksakan untuk menguasai
semua mata pelajaran. Pak Sih Agung mengatakan bahwa pengalaman dirinya sebagai seorang Guru, beliau
tidak setuju dengan konsep Ujian Nasional yang ada saat ini. Ujian Nasional yang ada sekarang memaksa
semua murid untuk menguasai semua mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional. Bukankah setiap
murid memiliki kemampuan masing-masing yang berbeda. Ada yang hanya menguasai matematika saja, ada
yang hanya menguasai bahasa Indonesia saja dan seterusnya. Padahal, jika Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan ditantang untuk mengerjakan semua soal tersebut pun belum tentu mampu mengerjakan soal-
soal Ujian Nasional tersebut.
Cak Nun menambahkan, bahwa filosofi pendidikan nasional kita sekarang ternyata tidak mengenal filosofi
serangga seperti yang dipentasakan oleh Pak Sih Agus dalam Wayang Gunung tadi. Dalam Islam, ada
kewajiban dari Tuhan yang manusia bisa memilih untuk melakukan atau tidak. Namun ada juga perintah dari
Tuhan yang mau tidak mau harus dilakukan oleh manusia. Hal ini berlawanan dengan fakta yang ada di
Indonesia saat ini. Tayangan di televisi mengarahkan kita untuk menjadi bukan kita yang sebenarnya. Kita
dijauhkan dari aslinya kita sendiri untuk kemudian dipaksa menjadi orang lain.
Sebagai pemuncak pagelaran dari Komunitas Lima Gunung, menampilkan tarian Gupolo Gunung dan Kuda
Lumping. Dengan mengenakan kostum layaknya seorang raksasa, dilengkapi tata rias yang sangar, menari
dengan bahu yang membusung dada, setiap gerakan penuh kepastian, tidak ada keragu-raguan. Menunjukkan
kebesaran bangsa Indonesia, menggambarkan watak-watak manusia nusantara yang gagah, yang itu semua
saat ini sudah sukar untuk didapati.
Setelah rangkaian pagelaran kesenian Komunitas Lima Gunung, Teater Flamboyant Mandar mementaskan
lakon “Koayang”. Tema ini diangkat oleh Teater Flamboyant sebagai gambaran menghadapi situasi politik
Indonesia saat ini, dimana Indonesia sedang menyambut pesta demokrasi pemilihan presiden. Dimana setiap
kandidat mengumbar janji-janji mereka dihadapan para rakyat untuk mendulang suara agar mereka terpilih
pada hari pemilihan presiden. Koayang adalah seni tradisi dari tanah Mandar diilhami dari seekor burung
besar yang berpatuk panjang yang terbang dengan sekuat tenaga, yang diwujudkan dalam kostum para
pemain, juga tak lepas irama musik Mandar yang kental menjadi pelengkap pementasan tersebut. Dalam
pementasan tersebut, Koayang yang kuat tadi, oleh Tuhan diruntuhkan seluruh bulunya dan
mentakdirkannya jatuh sebelum menggapai arsy. Seni tradisi ini sering dimainkan malam sebelum hajatan
besar.
Teater Flamboyan yang hadir di Kenduri Cinta malam itu adalah generasi keenam dari Teater Flamboyant.
Cak Nun kemudian mengajak para pemain berdialog, mengenang sejenak beberapa kali perjalanannya ke
Mandar. Dimana dulu orang tua dari pada pemain-pemain Teater Flamboyant merupakan saksi hidup dari
beberapa pengalaman Cak Nun selama di Mandar.
“Pemerintah adalah petani yang menanam benih kepada rakyatnya, bukan justru mengambil buah dari rakyat
sementara benihnya dijual ke Negara lain. Hidup itu sangat luas dengan dimensi yang berlapis-lapis. Lapisan
tersebut jangan dibayangkan secara materiil,” sambung Cak Nun.
“Pendidikan kita saat ini menanam buah, bukan menanam benih. Seharusnya pendidikan itu menanambenih dimana muridnya adalah tanah-tanah yang akan ditanami benih. Namun sekarang pendidikan kita
menanam buah kepada murid-muridnya. Maka seorang murid sekarang itu pintarnya karena pintarsekolahan, bukan pintar kehidupan. Kesalahan kita bersama sekarang adalah menanam buah,” lanjut Cak
Nun.
(http://kenduricinta.com/v4/wp-content/uploads/2014/06/cover04.jpg)
Laa Indonesia, Illa NusantaraMemasuki tengah malam, jamaah masih tampak memenuhi pelataran parkir Taman Ismail Marzuki,
mengenai hari penyelenggaraan Kenduri Cinta yang berubah menjadi hari senin tidak menjadi kendala bagi
mereka untuk tetap antusias mengikuti Kenduri Cinta. Belum lagi sejak magrib Jakarta diguyur hujan deras,
dan hanya disekitar Taman Ismail Marzuki yang terang, sesekali gerimis datang, lalu pergi sepanjang Kenduri
Cinta, itu pun tak mengganggu jamaah, seolah jamaah sudah paham bagaimana menyikapinya, hanya perlu
sedikit mengatur duduk, lalu kembali menyimak rangkaian demi rangkaian Maiyahan.
Setelah jamaah diajak masuk ke ruang pagelaran dari Komunitas Lima Gunung dan Teater Flamboyant.
Dimana sembilan suguhan dari Komunitas Lima Gunung memiliki pintu-pintu yang berbeda, memasuki
suasana yang berbeda pula, seolah mengajarkan dan mengingatkan kita akan kekayaan bangsa ini melalui
karya-karya murni dari manusia nusantara. Wahyu kemudian membawakan Puisi karya Cak Nun yang
berjudul “La Indonesia illa Nusantara (http://kenduricinta.com/v4/la-indonesia-illa-nusantara/)“, sebagai
penghantar ke ruang selanjutnya.
Kenduri Cinta malam itu kian lengkap dengan penampilan dari Inna
Kamarie and Jasm Project membawakan beberapa nomor Jazz
bersama Beben Jazz, seperti Summer Time, Julia, dan beberapa
nomer lainnya. Beben Jazz dan Inna Kamarie bercerita mengenai
pengalaman-pengalamannya selama berMaiyah, yang hampir selalu
berhubungan dengan keluarga Maiyah Nusantara. Seringkali Beben
Jazz dan Inna Kamarie bertemu dengan sahabat-sahabat Maiyah di
berbagai tempat.
Cak Nun mencoba untuk mencari tautan dari semua suguhan malam
ini melalui penjelasan tentang surat Al An’am ayat 32. “Dan tiadalah
kehidupan di dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau
belaka. Dan sungguh akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu
memahaminya?”
Cak Nun memberikan sebuah perumpamaan dengan pertandingan sepakbola. Sejatinya, sepakbola itu
hanyalah permainan namun dalam permainan tersebut kita tidak boleh main-main. Permainan sepakbola
harus dimainkan dengan serius. Kemudian Cak Nun meminta Zainul KiaiKanjeng membacakan tilawah surat
Al An’am ayat 32.
Kiai Muzammil, Habib Anis, dan Ustad Noorsofa bergabung bersama Cak Nun, Novia Kolopaking, Beben Jazz
juga Inna Kamarie. KiaiKanjeng dan Novia Kolopaking yang sudah sejak awal ditunggu-tunggu oleh jamaah
tampil dengan membawakan beberapa nomor; Lukaku-Lukamu, Manusia, Sholawat Nabi dan Give me oneReason.
Kembali kepada pembahasan surat Al An’am ayat 32, Habib Anis kemudian diminta oleh Cak Nun untuk
mengungkapkan refleksi dari surat tersebut. Menurut Habib Anis, ketika kita menikmati musik yang
dibawakan KiaiKanjeng, Habib Anis merasakan semburan cahaya yang sangat kuat yang muncul dari interaksi
seluruh jama’ah yang hadir.
Dalam tasawuf terdapat terminologi “Sama’”, yaitu mendengar. Ketika kita berinteraksi mendengarkan musik,
setiap kita melakukan proses pelepasan-pelepasan energi yang kemudian terjadi proses pensucian dan
pembersihan. Hal ini seharusnya yang menjadi pola dasar dalam kehidupan kita. Dalam Surat Al An’am ayat
32 kenapa setelah main-main dan senda gurau berakhir di akhirat, bukankah kehidupan hanya main-main?
Habib Anis melanjutkan, dalam sebuah permainan ada interaksi dua fihak, ada suka ada duka, ada nikmat ada
derita, ada siang ada malam dan seterusnya. Dalam sebuah permainan akan menjadi bermakna seperti seekor
burung yang memiliki sayap yang kemudian digunakan untuk terbang. Setiap kita sebagai manusia harus bisa
terbang dengan dua fihak dalam permaian itu tadi. Menurut Habib Anis, dinamisnya kehidupan dengan
adanya nikmat dan derita, suka dan duka, siang dan malam, disitulah manusia akan memahami arti kehidupan
yang sebenarnya. Sehingga akhirnya, kita mampu memahami bahwa akhirat adalah tempat yang lebih
bermakna dari dunia yang sekarang kita tempati ini.
(http://kenduricinta.com/v4/wp-content/uploads/2014/06/DSC_7018.jpg)Kiai
Muzammil mencoba menjelaskan tentang taqwa. Selama ini taqwa selalu
dikonotasikan dengan kata takut kepada Allah. Menurut Kiai Muzammil, kata
taqwa berasal dari waqoo-yaqii kemudian berkembang menjadi ittaqoo-yattaqii.Lebih tepat artinya adalah waspada. Dari ayat ini kita harus menyadari bahwa
benar-benar dalam kehidupan ini adalah main-main. Kiai Muzammil
mencontohkan bahwa sepakbola adalah sebuah permainan, namun kita harus
bisa mengambil pelajaran spiritualisnya dari sepakbola itu sendiri. Dalam
sepakbola ada kalah dan menang. Dimana dalam permainan tidak ada
seorangpun yang bisa mengontrol hasil akhirnya. Kalah atau menang akan
ditentukan oleh siapa yang lebih waspada. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa
kehidupan hanyalah main-main dan senda gurau, namun akhirat adalah hasil
akhir yang terbaik bagi mereka yang waspada.
Cak Nun menarik garis lurus dari kalimat “main-main” dan “senda gurau” dengan kalimat taqwa dalam ayat
Al An’am 32 tadi, bahwa kehidupan ini memang sejatinya adalah main-main dan senda gurau, namun setiap
kita harus memiliki semacam kuda-kuda yang namanya taqwa, karena pada akhirnya nanti kita akan menuju
akhirat yang kekal. Menurut Cak Nun, taqwa adalah sebuah sikap dimana kuda-kuda kita berada dalam
kondisi yang tepat.
Habib Anis menambahkan bahwa sejatinya, setiap pekerjaan yang dikerjakan oleh manusia adalah permainan.
Dalam permainan tersebut, manusia harus menyadari bahwa dia sedang bermain atau berperan sebagai apa
yang ia perankan. Habib Anis mencontohkah, seorang Presiden seharusnya menyadari bahwa dia sedang
bermain dan berperan sebagai seorang Presiden. Bukan merasa menjadi Presiden. Jika dia terlalu serius
merasa menjadi Presiden, dia akan lupa bahwa dia hanya sedang berperan sebagai Presiden. Sehingga dia
berpotensi berbuat dhzolim ketika menjadi Presiden.
Cak Nun bercerita tentang pertemuannya dengan Indra Sjafri pelatih Timnas Indonesia U-19. Dihadapan Cak
Nun, Indra Sjafri mengungkapkan ketersinggungannya ketika permainan U-19 dianggap menyerupai
Barcelona. Indra Sjafri membantah pernyataan banyak orang tersebut bahwa permainan U-19 mirip dengan
Barcelona. Pelatih Indra Sjafri menjawab dengan ilmiah dan ideologis. Secara ilmiah, permainan sepakbola
yang sebenarnya adalah memang seperti yang dimainkan oleh Timnas U-19 saat ini, tidak ada urusan dengan
Barcelona. Secara ideologis, Sepakbola Indonesia menurut Indra Sjafri tidak mengalami kemajuan karena
sepakbola Indonesia selama ini tidak menjadi dirinya sendiri. Selama ini PSSI berkiblat pada Eropa dan
Amerika Latin untuk dijadikan patokan sepakbola Indonesia. Sehingga sepakbola Indonesia tidak menjadi
dirinya sendiri.
Indra Sjafri menolak cara itu, sehingga ia blusukan hingga pelosok-pelosok desa untuk mencari pemain yang
mau menjadi dirinya sendiri, bukan berkiblat kepada sepakbola bangsa lain. Hebatnya Timnas U-19 saat ini
karena mereka benar-benar menjadi dirinya, bukan menjadi Eropa atau Amerika Latin. Menurut Cak Nun, hal
seperti ini yang harus dilakukan oleh Indonesia saat ini, bukan hanya dibidang sepakbola. Selama NKRI masih
berkiblat kepada bangsa lain dan tidak mau menjadi dirinya sendiri, maka Indonesia tidak akan mencapai
puncak kejayaan karena dirinya penuh dengan kepalsuan yang bukan dirinya sendiri. “Orang hidup itu harus
dengan akal dan ilmu. Pada saatnya nanti akal dan ilmu sudah tidak berguna, dan yang dibutuhkan adalah
Taqwa. ” lanjut Cak Nun.
KiaiKanjeng kemudian membawakan “Ingsun amemuji asmaning Allah” karya Cak Nun, Assalamu ‘alaikaaransemen Mandar dan sebuah lagu dari Filipina, Ang Bayan Po.
Ustad Noorsofa kemudian menjabarkan tentang taqwa, beliau memberikan kunci “sami’na wa atho’na”. Ustad
Noorsofa mencontohkan tentang Nabi Musa yang sebenarnya tidak tahu bahwa tongkatnya tidak bisa
membelah lautan, namun setelah Nabi Musa mencapai tingkatan taqwa, maka Allah memberikan tanda bahwa
tongkatnya tersebut bisa membelah lautan. Seperti halnya Nabi Nuh yang diperintahkan membangun bahtera
diatas gunung, juga Nabi Ibrahim yang sebelumnya tidak pernah tahu bahwa akhirnya Nabi Ismail ketika akan
disembelih kemudian digantikan dengan seekor domba. Dalam kehidupan yang penuh permainan ini
seringkali kita mendapatkan kejutan-kejutan yang tidak kita sangka-sangka sebelumnya. Ketika kita sudah
“sami’na wa atho’na”, maka Allah akan meberikan kejutan-kejutan yang tidak kita sangka-sangka sebelumnya.
Merespon uraian Ustad Noorsofa, Cak Nun mengatakan bahwa hal tersebut akan sedikit menyulitkan ketika
yang dihadapi adalah masalah “madaniyah”. Jika dalam urusan “makkiyah”, kita sudah sangat faham bahwa
yang akan kita taati adalah Allah. Berbeda jika sudah berhubungan dengan urusan “madaniyah” atau urusan
mu’amalah sesama manusia. Dalam Pilpres misalkan, kita tidak bisa menentukan akan taat kepada siapa untuk
memilih calon presiden yang tepat. Berbeda dengan Nabi yang memiliki previledge untuk melakukan sesuatu
seperti Nabi Musa ketika diperintahkan membelah lautan misalnya.
(http://kenduricinta.com/v4/wp-content/uploads/2014/06/cover031.jpg)
Iswan berbagi pandangannya mengenai politik Indonesia saat ini. Menurut Iswan, di Maiyah Kenduri Cinta
ini jamaah akan belajar banyak hal. Dalam surat At Tiin dikatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan
yang sebaik-baiknya penciptaan. Tentang fenomena politik di Indonesia saat ini Iswan mengingatkan jamaah
bahwa demokrasi tidak akan melahirkan seorang pemimpin yang sempurna. Indonesia saat ini akan
mendapatkan Presiden yang tidak sempurna. Kedua kandidat memiliki kelemahan masing-masing. Dari
kedua kandidat tersebut tidak ada yang sempurna. Maka, sebagai rakyat kita akan dituntut untuk memaklumi
ketidak sempurnaan Presiden Indonesia yang akan datang. Dan ini semua terjadi tidak hanya di Indonesia. Di
Kanada, Perdana Menteri yang terpilih adalah seorang wanita yang lesbian. Namun, rakyat di Provinsi Otario
memilihnya menjadi Perdana Menteri.
Permasalahan di Indonesia adalah kenapa di negeri yang sebesar ini hanya memunculkan dua pasang calon
yang kita lihat sekarang ini. Ibarat makanan, rakyat sekarang ditawarkan dua jenis makanan yang sama-sama
tidak enaknya dan tidak sehatnya namun harus dimakan agar mampu bertahan hidup.
Cak Nun menjelaskan, dalam hidup ada orang yang tugasnya adalah mendobrak. Orang ini jangan diminta
untuk memperbaiki. Ada orang yang tugasnya mencetuskan, mempelopori. Orang ini jangan diperintah untuk
mendirikan. Ada orang yang tugasnya mendirikan dan ada orang yang tugasnya memelihara.
Tak terasa waktu mengarah pukul 03:27 WIB, pagelaran dalam rangka 14 tahun Kenduri Cinta ini mencapai
puncaknya, Cak Nun membawakan nomor Hubbu Ahmadin bersama KiaiKanjeng, yang ditutup dengan doa
yang dipimpin oleh Ustad Noorsofa. Dan jamaah menikmati ambengan yang sudah disediakan oleh penggiat
Kenduri Cinta. ++
PREVIOUS ARTICLE
Tasyakur Emas Dies Natalies Universitas Negeri Jakarta ke-50 (http://kenduricinta.com/v4/tasyakur-emas-universtas-negeri-jakarta/)
NEXT ARTICLE
La Indonesia illa Nusantara (http://kenduricinta.com/v4/la-indonesia-illa-nusantara/)
735Like Share
Facebook social plugin
Comment
Add a comment...
SumurPeople live as if they were players in a football match; everyone should have an adequate understanding of
who he is, what his position, so he knows where to go and how.
Emha Ainun Nadjib
Terkini
Animisme, Dinamisme dan Litererisme (http://kenduricinta.com/v4/animisme-dinamisme-dan-
litererisme/)