42
BAB III
PENDIDIKAN KEBANGSAAN MENURUT H.O.S. COKROAMINOTO
A. Biografi H.O.S. Cokroaminoto
A.1. Kondisi Kelurganya
H.O.S. Cokroaminoto lahir pada tanggal 16 Agustus 1882 di desa
Bakur Ponorogo, kelak mempelopori untuk membangun bangsa Indonesia
menggoyang sendi-sendi kolonialisme (Gonggong, 1985: 2). Kyai Bagus
Khasan Besari seorang ulama terkenal dari Ponorogo Jawa Timur yang
memiliki sebuah pondok pesantren di desa Tegalsari. Kyai ini beristerikan
putri Pakubuwono II Surakarta. Rupanya bakat kepemimpinan H.O.S.
Cokroaminoto merupakan keturunan dari kakeknya, Cokronegoro, yang
menjadi bupati Ponorogo dan ayahnya sendiri Cokroamiseno, yang
menjabat sebagai Wedono Kleco Madiun (Jaya, 1966: 762). Tentunya bakat
tersebut dipadu dengan pengalaman-pengalaman H.O.S. Cokroaminoto
sendiri yang sejak kecil telah dididik dengan ajaran-ajaran agama maupun
ilmu-ilmu umum untuk mengasah otak kepemimpinannya baik dilingkungan
rumah, sekolah, maupun masyarakat.
H.O.S. Cokroaminoto merupakan anak kedua dari dua belas
bersaudara. Mereka adalah secara berurutan dari yang tertua yaitu R.M.
Umar Zaman Cokroprawiro, H.O.S. Cokroaminoto, R. Ayu Cokrodisoeryo,
R.M. Poerwadi Cokrosoetijo, R.M.O. Sabib Cokrosupoerjo, R.A. Adiati, R.
Ayu Martowinoto, R.M. Abikusno Cokrosuyoso, R. Ajeng Nestiatin, R.M.
43
Poerwati, R. Ajeng Istijah Cokrosudarmo, dan R.A. Istiroh Muhammad
Subari. Mereka yang mengikuti jejak Cokroaminoto malang melintang
didunia pergerakan adalah Umar Sobib dan R.M. Abikusno Cokrosuyoso.
Sedangkan saudara yang lain mengikuti jejak ayahnya sebagai bupati,
wedono, pegawai tinggi ataupun yang lain (Amelz, 1952: 48-50).
Berikut silsilahnya:
(Amin, 1995: 10).
Kyai Bagus Khasan Besari + Putri Pakubuwono II Surakarta Buyut
Raden Mas Adipati Cokronegoro (bupati Ponorogo) Kakek
Raden Mas Cokroamiseno (Wedono Kleco Madiun) Ayah
1. R. M. Umar Zaman Cokroprawiro 2. H.O.S. Cokroaminoto 3. R. Ayu Cokrodisoeryo 4. R. M. Poerwadi Cokrosutijo 5. R. M. O. Sabib Cokrosoeparjo 6. R. A. Adiati 7. R. Ayu Martowinoto 8. R. M. Abikusno Cokrosoeyoso 9. R. Ajeng Nestiatin 10. R. M. Poerwati 11. R. Ajeng Istijah Cokrosudarmo 12. R.A. Istiroh Muhammad Subari
1. Siti Utari 2. Utarjo 3. Harsono 4. Siti Islamiyah 5. Suyut Ahmad
H.O.S. Cokroaminoto + Roestina
H.O.S. Cokroaminoto + Suharsikin
44
Cokroaminoto sebagai seorang anak priyayi, dijodohkan oleh
orang tuanya dengan anak priyayi pula yaitu Suharsikin, putri seorang patih
wakil Bupati Ponorogo yang bernama Raden Mas Mangoenkusumo. Patih
ini pemberani dan disegani walaupun bertugas di daerah Ponorogo yang
terkenal gawat dengan ulah warok dan prampok-prampok dan yang hampir
setiap hari membuat ricuh di masyarakat. Mertua Cokroaminoto suka
menolong sesama, seperti mendidik maupun memerdekakan pencuri yang
ditawannya dan sering mengobati orang yang digigit ular (Amelz, 1952:
51). Dilingkungan keluarga seperti inilah, istri Cokroaminoto dididik dan
digembleng, sehingga kelak menjadi pendamping yang setia bagi
Cokroaminoto ditengah-tengah medan perjuangan menyadarkan bangsa
Indonesia dari penjajahan.
Raden Ajeng Suharsikin (yang kemudian menjadi Raden Ayu
Cokroaminoto) dikenal sebagai seorang anak yang sangat halus budi
pekertinya, baik perangainya, besar sifat pengampunannya dan cekatan.
Walaupun tidak tinggi didikan sekolahnya, ia sangat gemar terhadap
pengajaran dan pengajian agama. Menurut asal usulnya, ia keturunan
Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir di Madiun.
Keteguhan dan kecintaan Raden Suharsikin dibuktikan sejak awal
masa pernikahannya yang dipaksa memilih antara berpisah dengan orang
tuanya atau dengan Cokroaminoto, bagai memilih buah simalatama. Hal ini
terjadi ketika Cokroaminoto berselisih dengan mertuanya. Perselisihan ini
bermula karena perbedaan pandangan antara keduanya. Cokroaminoto tidak
45
berkehendak menjadi birokrat, sedangkan mertuanya menginginkan
Cokroaminoto menjadi birokrat, sebab mertuanya masih bersikap kolot dan
cenderung elitis (Gonggong, 1985: 12). Perbedaan pandangan ini wajar
mengingat latar belakang pendidikan dan kedudukan mereka dalam
masyarakat.
Perbedaan diantara mertua dan menantu tidak mudah
dipertemukan, bahkan perbedaan ini makin hari makin bertambah tajam.
Jurang pemisah antara keduanya semakin lebar dan semakin sempit untuk
dijembatani. Sadar akan yang dihadapi ini, Cokroaminoto pun mengambil
tindakan nekat. Dia meninggalkan rumah kediaman mertuanya yang
menjadi kediaman walaupun ketika itu istrinya sedang mengandung anak
yang pertama.
Cokroaminoto bertindak nekat, ini menimbulkan kemarahan besar
mertuanya (Mangoenkusumo), bahkan kebencian. Mangoenkusumo
memaksa anaknya (Suharsikin) untuk bercerai dengan Cokroaminoto, sebab
kepergiannya bembuat malu dan mencoreng martabat dan kehormatan
keluarga. Dihadapkan dengan situasi sulit ini, Suharsikin tetap memilih
suaminya Cokroaminoto.
Pilihan Suharsikin membuat kedua orang tuanya tertegun dan tidak
bisa berbuat apa-apa. Ketika Suharsikin melahirkan anak sulungnya, ia
bersama anaknya meninggalkan rumah untuk menyusul Cokroaminoto.
Namun tidak jadi, karena ia berhasil ditemukan oleh pesuruh ayahnya yang
menyusul, terpaksa ia kembali lagi kerumah.
46
Cokroaminoto waktu itu untuk ditemukannya sangat sukar. Karena
dia tidak melarikan diri dalam kota, melainkan merantau mencari guru
agama kebeberapa tempat dan menyendiri dengan beriktikaf di dalam
sebuah gua sampai saatnya ia kembali guna mengambil isterinya (Amelz,
1952: 53-54).
Cokroaminoto dalam pengembaraannya sampai di kota Semarang.
Untuk menyambung hidupnya ia tidak segan-segan untuk menjadi kuli
pelabuhan. Pengalaman yang tidak terlupakan ini mendorongnya untuk
memperhatikan kehidupan kaum buruh baik di perkebunan, kereta api,
pengadilan, pelabuhan, dan sebagainya. Dialah yang mempelopori
berdirinya sarekat pekerja yang bertujuan mengangkat harkat kaum buruh.
Cokroaminoto akhirnya menetap di Surabaya bersama isteri dan
anak-anaknya, yaitu Siti Utari, Utarjo alias Anwar, Harsono alias Mustofa
Kamil, Siti Islamiyah, dan Suyat Ahmad.
Cokroaminoto dan isterinya hidup dalam suasana sederhana,
keluarga ini sangat harmonis dan berbahagia. Raden Ayu Cokroaminoto
memberikan bantuan moral yang sangat besar kepada suaminya. Jika
Cokroaminoto bepergian, sering kali isteri yang sederhana dan setia ini
mengiringi suaminya dengan salat tahajud, puasa dan berdoa untuk
suaminya dalam mengarungi lautan hidup. Banyak orang yang mengakui
bahwa ketinggian derajat yang diperoleh Cokroaminoto adalah sebagian
besar berkat bantuan dari isterinya. Untuk membantu ekonomi keluarga
47
Raden Ayu Suharsikin membuka rumahnya untuk indekos para pelajar di
Surabaya.
Pelajar yang mondok di rumah Cokroaminoto sekitar 20 orang.
Kebanyakan mereka bersekolah di MULO, HBS dan MTS. Mereka tidak
hanya makan dan kos di rumah Cokroaminoto tetapi berdiskusi dengan
sesama teman maupun dengan Cokroaminoto. Mereka saling mempengaruhi
dan memberi wawasan yang lebih luas. Sehingga rumah Cokroaminoto
(1913-1921) adalah ibarat kancah yang terus menerus menggembleng dan
membangunkan idiologi kerakyatan, demokrasi, sosialisme dan anti-
imperialisme. Diantara siswa yang mondok, seperti Soekarno, Soekarmadji
Marijan Kartosoewirjo, Moenawar Musso, Sampoerno, Abikoesno, dan
lainnya (Amelz, 1952: 56). Soekarno melukiskan kehidupan dalam keluarga
Cokroaminoto sebagai berikut:
“Pak Cokro semata-mata bekerja sebagai ketua Sarekat Islam, dan penghasilannya tidak banyak. Dia tinggal di kampung yang padat penduduknya. Letaknya tidak jauh dari sebuah kali ada sebuah gang dan deretan rumah di kiri kanannya (terlalu sempit untuk jalan mobil). Gang kami namanya gang 7 Paneleh. Dari situlah masuk maka akan di dapati rumah sederhana dengan pavilion setengah melekat. Rumah itu dibagi menjadi sepuluh kamar kecil, termasuk loteng. Keluarga Pak Cokroaminoto tinggal di depan. Kami di belakang. Sungguhpun semua kamar sama akan tetapi anak-anak yang sudah bertahun-tahun begitu nyaman tinggal disitu. Kamarku tidak ada jendela sama sekali dan tidak berpintu. Di dalam sangat gelap, sehingga aku terpaksa menghidupkan lampu terus menerus walaupun di siang hari. Kamarku yang gelap ini mempunyai sebuah meja tempatku menyimpan buku, sebuah kursi kayu dan tempat menaruh baju serta sehelai tikar rumput. Tidak ada kasur dan tidak ada bantal”(Gonggong, 1966: 17).
48
Cokroaminoto dan Suharsikin dalam mendidik anak-anaknya
maupun mengatur para pelajar yang indekos sangat disiplin dan akrab.
Anak-anaknya diberi pendidikan dengan sebaik-baiknya. Pendidikan tidak
menyangkut bidang duniawi saja, tetapi pendidikan di bidang agama sangat
diperhatikannya. Anak-anaknya diberi pendidikan di bidang agama terutama
dibidang al-Qur’an dengan cara mendatangkan guru kerumahnya (Amelz,
1952: 17).
Suharsikin mempunyai sikap hidup yang sama dengan suaminya
Cokroaminoto. Tentu hal ini dikarenakan pembawaannya sejak remaja yang
dikenal sangat rajin mengikuti setiap pengajian yang diadakan dikalangan
keluarganya. Ketekunan ini membuahkan sifatnya yang rajin menjalankan
ajaran-ajaran agama. Salat lima waktu tidak pernah ditinggalkannya. Suatu
ajaran yang sering dilakukannya juga adalah puasa sunnah setiap hari senin
dan kamis.
Rumah Cokroaminoto sebagai markas Sarekat Islam banyak
dikunjungi tamu dari berbagai lapisan masyarakat baik priyayi maupun
rakyat jelata, kyai atau intelek, bangsa asing maupun bangsa sendiri.
Apabila kedatangan tamu, biasanya Cokroaminoto memperkenalkan isteri
dan anak-anaknya kepada para tamu terlebih dahulu, meskipun kemudian
mereka ini disuruhnya kebelakang. Kebiasaan ini dijalankan oleh
Cokroaminoto, agar anak-isterinya tidak menjadi penakut terhadap tamu.
Apabila tamu sudah meninggalkan rumah, Cokro kemudian mencari
kesempatan dengan sebaik-baiknya untuk menceritakan dengan sepintas.
49
Dengan cara ini, Cokroaminoto ingin mendidik anak-anaknya dan memberi
pengertian pada isterinya terhadap sepakterjang kegiatan beliau dalam
koncah pergerakan (Amelz, 1952: 61).
Cokroaminoto waktu itu dalam usia 35 tahun semangat
memperjuangkan bangsa Indonesia dari penindasan kolonial Belanda.
Cokroaminoto menjadi pemimpin puncak Sarekat Islam selama beberapa
periode. Tetapi semua gerak langkahnya tidak akan berhasil, jika tidak
mendapat dukungan dari isteri tercinta. Dengan ketaatan seorang isteri
pejuang dan juga ikut membanting tulang mencari nafkah dengan tiada rasa
jerih dan payah. Hidup sang isteri dan didorong dengan hati yang ikhlas dan
jujur itu, akhirnya merupakan faktor yang penting pula, sehingga
Cokroaminoto menjadi manusia besar di Indonesia yang sangat disegani
oleh lawan ataupun kawan.
Pada tahun 1921, isterinya dipanggil kembali kehadirat Allah
SWT., meninggalkan dunia fana serta meninggalkan suami dan lima anak
(Amelz, 1952: 56).
Demikianlah kedukaan itu berlangsung beberapa lamanya. Namun
betapapun kedukaan itu melanda dirinya, Cokroaminoto tetap pada prinsip
yang telah dipegangnya, berjuang untuk pembebasan bangsanya dari
belenggu penjajahan. Untuk itu dia tidak pernah berhenti sampai pada akhir
hayatnya.
Cokroaminoto berjuang dengan tidak mengenal lelah selama 21
tahun (1913-1934), Cokroaminoto akhirnya dipanggil oleh Allah SWT,
50
setelah sakit beberapa lama. Beliau meninggal dalam usia 53 tahun, pada
hari senin kliwon, 10 Ramadlan 1353 H., atau tanggal 17 Desember 1934
(Toto, 1984: 9). Perjuangan beliau kemudian diteruskan oleh teman-teman
maupun anak-anaknya.
A.2. Pengalaman Pendidikan dan Pekerjaannya
Cokroaminoto sebagai seorang yang berkultur santri dan priyayi,
mendapat pendidikan keislaman dan pendidikan model barat. Suasana
keislamannya mewarnainya sejak kecil dalam lingkungan keluarga. Sedang
fasilitas pendidikan Belanda diperolehnya karena ia adalah anak wedono.
Namun sebagaimana biasa dialami anak cerdas, Cokroaminoto sejak kecil
terkenal sebagai anak yang nakal, sehingga ia sering pindah sekolah karena
dikeluarkan dari sekolah satu kesekolah yang lain. Berkat kecermalangan
daya pikirnyalah, akhirnya ia dapat lulus dengan baik dan kemudian dapat
diterima di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandche Ambtenaren), sebuah
sekolah untuk calon pegawai negeri putra di Magelang (Lhutfi, 1978: 43).
Cokroaminoto pada tahun 1902, lulus dari sekolah OSVIA.
Dengan ijazah sekolah ini, ia dapat bekerja sebagai pegawai pamong-praja
yaitu sebagai juru tulis di kepatihan Ngawi. Semangat kerakyatannya,
membuat ia tidak betah menjadi birokrat. Hanya dalam tiga tahun (1902-
1905) ia menjadi jurutulis. Lantas ditinggalkan pekerjaan itu dan pergi ke
Surabaya.
Cokroaminoto kemudian bekerja di perusahaan yang bernama
Firma Cooy & Co di Surabaya. Selain bekerja diperusahaan ini, ia juga
51
kursus di permesinan pada malam hari di Burgrlijke Avendschool Afdeking
Wertuigkundige. Setelah menamatkan kursus malam hari, Cokroaminoto
pindah kerja menjadi juru mesin (learning Mechenist) dan kemudian
menjadi ahli kimia (chamicher) di pabrik gula Rogojampi Surabaya.
Cokroaminoto menggemari pekerjaan karang mengarang
(jurnalistik). Cokroaminoto memasukkan tulisan-tulisan keberbagai surat
kabar di Indonesia, serta sebagai pembantu pada surat kabar di Surabaya
(1907-1910). Melalui surat kabar beliau mengemukakan pendapat-
pendapatnya mengenai keadaan bangsanya yang sengsara akibat penjajahan
dan eksploitasi kaum pemodal asing. Dari sinilah ia terkenal sebagai
pemimpin yang menyuarakan kepentingan rakyat banyak.
Sarekat Islam setelah terbentuk sebagai cabang Surabaya, ia sekali
lagi berhenti dari pekerjaannya di pabrik gula tersebut. Ia kemudian menjadi
pemimpin gerakan yang sukses. Ia mendharma bhaktikan seluruh waktunya
untuk Sarekat Islam, sehingga tidak bekerja ditempat lain, seluruh hidupnya
hanya diperuntukkan untuk pergerakan. Nafkah yang diperoleh hanyalah
melalui sepakterjangnya sebagai ketua sarekat Islam dan mengusahakan
sebuah koperasi Setia Usaha. Dialah orang pertama kali berkarir sebagai
ahli politik professional, dalam arti ia secara serius mengurusi politik dan
menjadikan politik sebagai profesi bagi dirinya (Shiraishi, 1990: 53).
A.3. Bakat, Kepribadian dan Kecakapannya
Cokroaminoto sejak kecil sudah menampakkan tabiat yang
berbeda. Walaupun ia seorang yang nakal, ia tetap disegani anak-anak
52
dalam desanya, karena ia seorang anak wedana. Kesukaan beliau dalam
bermain, baik dengan anak desa maupun dengan saudara-saudaranya sendiri
adalah bermain kuda-kudaan dan ayam-ayaman, anak-anak yang lain
dijadikan kudanya dan dimasukkannya kedalam kurungan. Dengan itu
beliau seolah-olah sudah hendak menanamkan kesadaran hati anak-anak itu
betapa sengsaranya manusia yang dalam hidupnya dijadikan seperti
binatang tunggangan yaitu ditempatkan dalam kurungan penjajahan.
Cokroaminoto ketika berada di bangku sekolah, sudah
mengembangkan bakat kepemimpinannya. Watak dan sifat beliau sebagai
orang yang ingin maju diterapkan tidak hanya pada dirinya sendiri dengan
disiplin keras, tetapi tetap membela kawan-kawannya menuju perbaikan
nasib. Beliau juga sudah memperhatikan persoalan-persoalan
kemasyarakatan dan kerakyatan dengan sangat mendalam. Upaya untuk
membongkar kerusakan-kerusakan yang ada di masyarakat telah dirintis,
walaupun ia seorang anak wedono, sifat kerakyatannya masih tetap lebih
menonjol. Sejak usia muda, beliau tidak suka pada kehormatan lahir, dia
tidak suka memakai gelar kebangsawanannya. Hanya Oemar Said
Cakroaminoto (Shiraishi, 1990: 15).
Hamka yang pernah menjadi murid Cokroaminoto melukiskan hal
itu:
“Badannya sedikit kurus, tetapi matanya bersinar. Kumisnya melentik keatas, badannya tegak dan sikapnya penuh keagungan, sehingga walaupun beliau telah tidak memperdulikan lagi titel Raden Mas yang tersunting dihadapan namanya, namun masuknya kedalam majlis tetap membawa kebesaran dan kehormatan,
53
sehingga segala wajah mesti tunduk kepadanya, tunduk dengan penuh cinta”(Shiraishi, 1990: 37). Cokroaminoto teguh dalam pendirian dan berani menaggung
resiko. Hal ini dibuktikannya ketika beliau berani keluar dari jabatannya
sebagai pegawai bumi putera, padahal beliau belum mempunyai jaminan
untuk dapat pekerjaan di tempat yang lain. Namun karena praktek sembah
dan jongkok yang ada di tempat kerjanya sebagai pamong praja, yaitu
dianggapnya merendahkan martabat orang dan tidak sesuai dengan jiwa
kerakyatannya. Maka ia keluar dari tempat kerja tersebut, walaupun ia
mempunyai prospek yang cerah untuk menjadi priyayi agung.
Cokroaminoto selalu berpenampilan rapi, bahkan dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam kehidupan rumah tangga misalnya beliau berusaha agar
senantiasa menjadi contoh yang utama. Beliau biasanya keluar dari kamar
tidur dengan mengenakan baju serapi-rapinya, tidak satu kancing yang tidak
dimasukkan kelubangnya. Rambut tersisir rapi. Cara membawa kain handuk
ke kamar mandi, senantiasa menandakan orang dalam keadaan dinas.
Terutama bila di meja makan untuk bersantap, jangankan dengan orang luar
denagn anak sendiri saja, beliau senantiasa menggunakan ikat kepala
(udeng) atau kopyah (Ammelz, 1952: 61). Cokroaminoto tetap
berpenampilan dengan memakai pakaian identitas nasional, walaupun
teman-temannya banyak yang bertingkah keberatan, ia tidak ikut arus.
Pakaiannya adalah jawa asli, yaitu pakaian sarung, jas tertutup, peci atau
54
belangkon dan sandal yang dipakai dimana saja dan kapan saja tanpa rasa
rendah diri.
Cokroaminoto berkeinginan untuk menambah pengetahuan dan
pengalaman sangat besar, beliau tidak segan-segan dalam belajar, walaupun
sambil bekerja diwaktu malam, beliau tidak merasa capek dalam belajar,
yang terpenting adalah dapat meraih kemajuan yang setinggi-tingginya.
Kesederhanaannya tercermin ketika ia bekerja walaupun sebagai kuli,
pekerjaan yang dipandang hina terutama oleh orang yang bermental priyayi.
Keinginannya untuk mencari pengalaman dan belajar menyebabkannya
pindah-pindah dari satu pekerjaan kepekerjaan lain.
Cokroaminoto dinilai oleh teman seperjuangannya sebagai orang
yang berani, tidak takut mati. Sarekat Islam di masa pergerakan, dialah yang
menggetarkan bangsa Indonesia. Cokroaminoto bergerak keseluruh pelosok
Indonesia, dari kota sampai desa dari lembah sampai bukit dilaluinya.
Pedoman hidupnya tampak jelas dikemukakan dalam majalah Barisan
Pemuda PSII, SIAP dan PMII (1934).
Keutamaan, kebesaran, kemuliaan dan keberanian hanyalah bisa
tercapai dengan tauhid, tegasnya menetapkan lahir batin tidak ada
sesembahan melainkan Allah SWT saja (Suryomiharjo, 1991: 2).
Keteguhan pada prinsip dipegangnya walaupun menghadapi
penguasa Kolonial Belanda. Seperti ketika menjelang tahun 1914
direncanakan oleh Budi Oetomo dan Sarekat Islam untuk mengadakan
konggres mengenai pertanian. Kedua organisasi itu meminta bantuan
55
pemerintah untuk biaya yang diperlukan dan pemerintah menyambut baik
hal itu, dengan syarat agar konggres tidak memperbincangkan masalah
“Siapakah yang mempunyai tanah di Indonesia ini?”. Tentu saja
Cokroaminota dan teman-teman seperjuangannya tidak mau, karena justru
hal itulah yang dibicarakan dalam konggres. Mereka tidak mau disuap
dengan bantuan keuangan untuk melaksanakan yang tidak sesuai dengan
kepentingan rakyat banyak (Amelz, 1952: 3).
Gambaran keberanian yang di bawa Cokroaminoto dapat dilihat
dalam peristiwa pengadilan baginya karena fitnah yang menyebabkan dia
ditahan selama 9 bulan. Hakim pengadilan seorang Belanda, ketika itu
bertanya dengan angkuhnya:”Tuan Cokro, apakah tuan tahu dihadapan siapa
tuan sekarang berdiri?”. Karena pertanyaan itu tidak segera dijawab, hakim
Belanda itu bertanya lagi setengah membentak:” Tahukah tuan, bahwa tuan
berdiri didepan Voorzitter Raad Van Juztitie (Ketua Pengadilan Tinggi
Belanda?. Cokroaminoto tidak segera menjawab; tetapi tidak lama
kemudian dengan tenang ia membalas sikap angkuh hakim Belanda itu
dengan balik bertanya: ”Tuan Voorzitter Raad Van Juztitie, tahukah tuan
dihadapan siapa tuan sekarang duduk?” Tuan duduk dihadapan ketua sentral
dari Sarekat Islam seluruh Indonesia! Kata Cokroaminoto dengan keras dan
tegas.
Kepandaian Cokroaminoto dalam mengemukakan pendapat baik
melalui pengajaran maupun pidato sangat mengagumkan. Hamka bercerita:
”Bila giliran H.O.S. Cokroaminoto mengajar, mulailah majlis tenang dan
56
diam dan mulailah timbul kegembiraan diwajah tiap-tiap peserta” (Amelz,
1952: 36) sedangkan Wondoameseno mempunyai pengalaman senada:
“Bersoal jawab dengan ketua Cokro tidak cukup satu dan dua kali bahkan
beratus-ratus kali, kita tentunya tertarik akan perkataan-perkataan ketua
Cokro. Dan dengan sendirinya bergerak dan memimpin bangsa” (Amelz,
1952: 127).
Sedangkan kecakapan beliau dalam berpidato sangat terkenal.
Dalher, seorang nasionalis keturunan Indo-Belanda melukiskan:
“Perawakannya mengagumkan. Pekerja yang keras dan tidak mengenal lelah. Mempunyai suara yang indah dan berat. Mudah didengar oleh beribu-ribu pendengar, yang seolah terpaku dalam bibirnya apabila ia berpidato dengan lancar dan keyakinan yang sungguh-sungguh”. Hamka juga mempunyai pengalaman serupa:
“Sebagai orator, agitator yang besar suaranya lantang besar, memancar dari sinar dan sanubari sendiri menguasai akan perjalanan rapat. Segala perhatian manusia terpaut Kediri beliau seorang, suaranya berbahana”(Amelz, 1952: 37). Shiraishi menyebutkan sebagai depenetraiting baritone Voice
(suara baritone yang sangat berpengaruh) yang dapat didengarnya tanpa
microphone oleh beribu-ribu manusia (Shiraishi, 1990: 53).
Menurut Wondoameseno, kepandaian bung Karno berpidato belum
seperti Cokroaminoto, ia melukiskan sebagai berikut:
“Ketua Cokro, kalau bicara tidak banyak agitasi. Bicaranya lempang, lurus, tegas, dan jitu (tepat), alasan-alasannya mengandung dalil-dalil yang haq (benar), sehingga sukar dibantah. Kecuali daripada itu, bicaranya mengandung semangat menyala-nyala. Mereka yang mendengar selalu terbakar hatinya. Pihak musuh tunduk karena tepat dan benar” (Amelz, 124).
57
Cokroaminoto selain tajam ucapannya, juga tajam penanya.
Tulisan-tulisannya sangat berpengaruh baik terhadap penguasa kolonial
Belanda maupun bangsa Indonesia, terutama kaum kebangsaan. Karir
sebagai seorang penulis dirintisnya sejak ia berada di Surabaya dengan
memasukkan beberapa artikel yang berbobot dibeberapa surat kabar. Ia
kemudian menjadi wartawan sebagai pembantu surat kabar ”Suara
Surabaya”. Ketika Sarekat Islam secara nasional berada dibawah
kepemimpinannya, maka didirikan surat kabar “Utusan Hindia”, surat kabar
“Fajar Asia” dan majalah “Al-Jihad” bersama kawan-kawan
seperjuangannya (Amelz, 1952: 27).
Cokroaminoto juga rasional dalam menghadapi realitas pada
masanya. Menghadapi persoalan milisi (wajib militer) misalnya, ia tidak
setuju karena usaha itu dianggapnya akan menambah beban masyarakat
saja. Ketika Dr. Rajiman Widyodiningrat mengingatkannya tentang ucapan
Prabu Ramajaya dalam kitab Ramayana, bahwa “Jerbasuki Mowo Bea”
(meraih kewejahteraan membutuhkan biaya), dengan tangkas Cokroaminoto
menjawab “Itulah perkataan Prabu Rama, tidak dapat digunakan untuk soal
kita”. Ini berarti, ungkapan yang arif sekalipun nerasal dari masa lalu,
mestilah disertai penalaran dalam hubungan masalah kekinian, karena
realitas yang dihadapi setiap generasi berbeda (Suryamiharjo, 1991: 2).
Cokroaminoto juga halus perasaannya, beliau menyukai musik
tradisi Jawa. Sebagai orang Islam, Cokroaminoto terkenal pembawa
58
kebudayaan Jawa. Dalam hal ini Ki Hajar Dewantoro menulis kesan-
kesannya mengenai Cokroaminoto:
“Kanda Cokroaminoto, tidak asing dalam hal kesusastraan dan wayang (drama) serta karawitan (musik), kebudayaan asli yang masih hidup di daerah Jawa. Itulah pribadi almarhum Cokroaminoto sebagai seorang Islam nasionalis adalah gambarannya Sultan Agung pula sebagai “Raja Aulia” dikalangan orang-orang Jawa yang menyebabkan rakyat jelata dan rakyat yang bertingkat menaruh pekerjaan terhadap Cokroaminoto yang menyebabkan “Sarekat Islam” dalam waktu setengah tahun saja sudah beranggotakan setengah juta orang” (Amelz, 1952: 30).
Sekilas Kepribadian ini dianggap memuji dan seolah-seolah ketika
masa kepemimpinannya dalam Sarekat Islam tidak ada celah-celah
kelemahannya. Akan tetepi yang menunjukkan kelemahannya itu ternyata
memang memiliki keyakinan politik lain dan dalam melemahkan kedudukan
Sarekat Islam. Mereka yang mengkritik Cokroaminoto adalah berasal dari
unsure marxis-komunis seperti Darsono, Semaoen, H. Misbach, dan Alimin.
Darsono mengkritik politik keuangan Sarekat Islam yang dipegangnya
sendiri, Semaoen mengkritik sikap Cokroaminoto yang kurang tegas dan
radikal menghadapi Kolonial Belanda, H. Misbach mencela disiplin partai
yang menerapkan Cokro terhadap unsur-unsur komunis, sedangkan Alimin
mencela Cokroaminoto yang kurang agresif menghadapi kapitalisme
kolonialisme.
Walaupun demikian, mereka tidak dapat menghilangkan sama
sekali respek dan kekagumannya pada Cokroaminoto, Alimin, misalnya
memuji Cokroaminoto:
59
“Sepanjang saya bergaul dengan Cokroaminoto, saya mendapat kesan bahwa ia adalah orang yang sederhana dalam kehidupannya. Ia berbudi lembut, pendiam, dan jujur serta gemar membaca. Sekarang saya dapat mengerti Cokroaminoto termasuk dalam golongan pemimpin yang revolosioner dan anti-imperialisme” (Korver,1985: 168)
A.4. Karya-karya H.O.S. Cokroaminoto
Cokroaminoto tidak hanya sebagai orator atau organisator
pergerakan belaka, melainkan juga sebagai penulis yang tajam dan
produktif. Hal ini karena Cokroaminoto aktif dalam dunia pers. Di antara
tulisan yang sampai ditangan peneliti berkaitan dengan pendidikan
kebangsaan adalah:
1. Islam dan Sosialisme
Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian dan
keselamatan. Islam artinya menurut kepada Allah kepada utusan-Nya
dan kepada pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai Islam. Apabila
orang Islam bersungguh-sungguh menjalankan perintah agama Islam
maka ia akan mendapat keselamatan baik di dunia maupun di akherat.
Islam mengajarkan kepada manusia untuk hidup rukun. Seseorang yang
menjalankan agama Islam maka ia akan memperoleh derajat yang tinggi.
Sosialisme berasal dari bahasa latin ”socius”, maknanya dalam
bahasa Belanda “maker”, dalam bahasa Arab sahabat. Faham sosialisme
adalah berakar angan-angan (fikiran) yang nikmat yaitu untuk
bertemanan. Sosialisme menghendaki cara hidup satu buat semua dan
semua buat satu, yaitu cara hidup untuk menunjukkan kepada manusia
60
mempunyai pertanggungjawaban terhadap manusia lain untuk tidak
bersifat individualisme yaitu memikirkan diri sendiri. Sosialisme
mengajarkan seseorang tentang sesuatu pengaturan pergaulan hidup
bersama dan mengembangkan kerjasama berdasarkan Islam.
Di dalam faham sosialisme terdapat tiga ajaran yaitu:
a. Kemerdekaan, yaitu setiap orang Islam tidak boleh takut terhadap
penjajah tetapi takutlah kepada Allah.
b. Persamaan, yaitu tidak membeda-bedakan antara golongan yang satu
dengan yang lain. Orang Islam bagaikan satu badan satu jiwa harus
bersatu untuk melawan penjajah.
c. Persaudaraan, yaitu sesama Islam tidak boleh berpecah belah harus
saling cinta mencintai dan kasih sayang antar sesama (Cokroaminoto,
1952: 31-33).
2. Program Asas dan Program Tandhim Partai Sarekat Islam Indonesia
Buku ini ditulis untuk memenuhi amanat konggres di Surabaya,
tujuannya untuk menyamakan wawasan langkah dikalangan aktifis partai
yang dipimpinnya.
Dalam program asas dikupas:
a. Persatuan umat Islam yaitu Kaum Sarekat Islam percaya bahwa untuk
mempersatukan umat Islam, perlu lebih dahulu dibangun suatu
organisasi persatuan umat yang tidak terpecah belah dan bercerai
berai.
61
b. Kemerdekaan Umat yaitu membebaskan bangsa dari penindasan
penjajah.
c. Sifat pemerintahan yaitu pemerintahan yang demokratis berdasarkan
musyawarah mufakat untuk mencapai kesejahteraan.
d. Penghidupan ekonomi yaitu basis ekonomi yang kuat sebagai modal
dasar dalam perombakan sosial dan politik.
e. Keadaan dan drajat manusia yaitu kedudukan manusia dihadapan
hukum sama tidak ada perbedaan untuk mendapatkan suatu keadilan.
f. Kemerdekaan yang sejati yaitu kebebasan untuk melakukan sesuatu
tanpa adanya tekanan dengan menjiwai sikap persamaan dan
persaudaraan.
Dan didalam program tandhim dikupas tentang:
a. Sandaran gerak perjuangan yaitu umat Islam harus bersandar kepada
sebersih-bersih tauhid, setinggi-tinggi ilmu pengetahuan dan sepandai-
pandainya berpolitik.
b. Hal syare’at dan ibadah yaitu tidak menghendaki adanya perselisihan
di dalam umat Islam, tidak boleh mencampuri urusan lain, dan
menolak peraturan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam
c. Hal siyasah yaitu umat Islam harus berpolitik untuk mencapai
kemerdekaan.
d. Hal penghidupan rakyat yaitu peraturan pajak hendaklah memakai
suatu asas, bahwa pajak itu harus menurut kemampuan orang yang
memikulnya.
62
e. Hal pergaulan hidup bersama yaitu menempatkan orang Islam laki-
laki dan perempuan untuk mengembangkan sikap toleransi dan saling
menghargai.
f. Hal pengajaran dan pendidikan yaitu mendirikan sekolah-sekolah
dengan mementingkan pendidikan kebangsaan meliputi bela negara
cinta tanah air dan ditanamkan jiwa kemandirian yang
bertanggungjawab (Cokroaminoto, tt: 37).
B. Arti Penting Pendidikan Kebangsaan
1. Pendidikan sebagai paradigma pembebasan
Bangsa Indonesia telah lama dijajah oleh bangsa Belanda, namun
dalam waktu yang cukup lama ini kolonial Belanda tidak banyak berbuat
untuk Indonesia khususnya dalam bidang pendidikan. Sistem pendidikan
yang dilaksanakan oleh pemerintah Belanda sangat tidak menguntungkan
bagi bangsa Indonesia, karena pada dasarnya bertujuan untuk menjadikan
warga negara yang mengabdi kepada kepentingan kolonial. Sehingga ini
pendidikannya hanya sekedar pengetahuan dan kecakapan yang dapat
membantu dan mempertahankan kekuasaan penjajah tersebut. Disamping
itu juga usaha pendidikan yang dilakukan oleh misi Zending, ada
kecenderungan kearah penetralisasi agama sebagai salah satu langkah untuk
memperkuat penjajahan Belanda, sehingga dari maksud yang terselubung
itu telah menimbulkan rasa tidak senang bangsa Indonesia (Susanto, 1986:
42). Akibatnya mayoritas bangsa Indonesia tidak dapat membaca dan
menulis. Oleh karena itu mereka selalu ditemani oleh kebodohan dan
63
keterbelakangan. Pemerintah kolonial Belanda selalu berusaha agar dapat
hidup langgeng di daerah jajahannya. Untuk mewujudkan keadaan yang
demikian itu maka perlu disusun suatu strategi yang menurut bangsa
Indonesia sangat merugikan, yakni bangsa Belanda sangat lamban dalam
meningkatkan pendidikan bangsa Indonesia yang sangat membutuhkan.
Maka sarana yang tepat untuk membebaskan adalah melalui pendidikan
(Cokroaminoto, 1952: 166).
Pendidikan kebangsaan mampu membebaskan manusia dari
kungkungan yang melilitnya. Namun dalam proses tersebut harus dilandasi
oleh nilai-nilai Islam. Sehingga tetap dalam lingkaran dalam bingkai iman
dan Islam (Cokroaminoto, tt: 166). Oleh karena itu yang dijadikan sandaran
H.O.S. Cokroaminoto yaitu tri logi pendidikan yaitu setinggi-tinggi ilmu
pengetahuan dan sepandai-pandai siyasah hanya akan dapat terwujud
apabila dilandasi sebersih-bersih tauhid.
Pendidikan kebangsaan sebagai praktek pembebasan dari
kedloliman, mengoptimalkan keadilan di dalam semua konteks kehidupan,
tidak ada diskriminasi dalam dunia pendidikan. Maka pendidikan
kebangsaan mampu menjadi alat untuk membebaskan diri dari belenggu
penjajah (Cokroaminoto, tt: 44).
2. Pendidikan kebangsaan sebagai proses penyadaran
Perjuangan H.O.S. Cokroaminoto tidak lepas dari problema rakyat
terutama umat Islam. Terdapat ketimpangan dalam hubungan sosial
masyarakat yang ditimbulkan oleh Belanda. Sebagai hal yang tidak wajar
64
dan menyinggung rasa harga diri bangsa, seperti cara menghormati terhadap
Belanda, membuat sembah, duduk bersila, yang pada saat itu terdapat
adanya diskriminasi dalam segala aspek kehidupan bahkan terdapat pula
kereta serta kamar stasiun khusus bagi orang pribumi putra (Rais, 1986: 63).
Dengan menggunakan kekuatan pikiran, manusia akan mampu membuka
jalan menuju masa depan. Oleh karena itu H.O.S. Cokroaminoto
berkeinginan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan termasuk dalam hal
pemerintahan desa dengan meningkatkan pendidikan terutama untuk dapat
diangkat menjadi kepala desa sedikit-sedikitnya harus lulus sekolah bumi
putera kelas dua (Suminto, 1984: 99) dan kepala desa harus tunduk kepada
dewan desa yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil penduduk desa. Jelas
sekali penekanan konsep yang ingin dikehendaki dalam metode
pendidikannya yakni konsep penyadaran kepada rakyat.
Pendidikan sebagai proses penyadaran, yaitu menitik beratkan
perjuangan kepada usaha mempersatukan bangsa secara menyeluruh dari
segenap lapisan masyarakat baik antara umat Islam dengan umat yang
beragama lain. Perbedaan agama antara suku-suku bangsa di Indonesia
sama sekali tidak menjadi alasan bagi umat Islam untuk tidak bersatu.
Persatuan dan kesatuan bangsa merupakan syarat mutlak bagi perjuangan
bangsa secara menyeluruh. Menumbuhkan kesadaran eksistensial manusia
pada gilirannya dapat menumbuhkan kemampuan kritis, aktif, berintegrasi
dengan dunia, mendinamisir, menguasai dan memanusiakan realitas dengan
memberikan arti temporal terhadap ruang geografisnya dan mencipta
65
kebudayaan tersendiri (Gani, 1985: 256). Semuanya hanya dapat
ditumbuhkembangkan apabila manusia telah mempunyai kesadaran kritis
dan aktif. Sebuah konsep pendidikan yang realistis, dari kondisi sosial
kultural masyarakat yang terbelenggu oleh sistem kolonial dan tradisi
kebangsawanan yang feodalistik. H.O.S. Cokroaminoto mampu
memberikan alternatif bagi gerakan kerakyatan dengan pendidikan yang
bertumpu pada asas-asas penyadaran akan persamaan hak, rasa kemanusiaan
dan kemerdekaan yang dilandasi oleh idiologi keislaman sebagai satu-
satunya idiologi pembebasan (Gani, 1985: 256).
B.1. Dasar Pendidikan Kebangsaan Menurut H.O.S. Cokroaminoto
Pendidikan harus berdasarkan pada sumber Islam yakni al-Qur’an
dan al-Hadits. Konsep apapun harus menggunakan ajaran Islam sebagai
dasar utama. H.O.S. Cokroaminoto dalam melaksanakan pendidikan
berdasarkan kepada kedua sumber tersebut. H.O.S. Cokroaminoto mengutip
salah satu ayat al-Qur’an surah az-Zumar ayat 9 yaitu:
وي أم من هو قانت آناء الليل ساجدا وقائما يحذر اآلخرة ويـرجو رحمة ربه قل هل يست
ر أولو األلباب ( الذين ما يـتذكذين ال يـعلمون إن۹يـعلمون وال( Artinya:
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang
yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia
takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-
66
orang yang tidak mengetahui?". Sesungguhnya orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran” (Gani, 1985: 42).
Hadits yang dijadikan dasar dalam melaksanakan pendidikannya
adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yaitu:
ا�� ھ���ة ����� ��ر��ل هللا ��� هللا ��� و��� ل��ل ��ر�� هللا � �! ط�� ا
.ه %$��)�� '& %$�� و%$�# (روا
Artinya: “ Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “
Menuntut ilmu wajib bagi setiap laki-laki dan perempuan” (HR. Muslim).
H.O.S. Cokroaminoto mengambil contoh pada masa Rasulullah
SAW banyak orang yang berdatangan dengan maksud untuk mendapatkan
ilmu secara langsung dari Rasul. Sebagimana yang dikutip oleh H.O.S.
Cokroaminoto:
“Barang siapa menuntut ilmu pada jalan Allah, sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan kebajikan. Barang siapa membicarakan ilmu, ialah memuji kepada Allah. Barang siapa mencari ilmu, ialah menyembah Allah. Barang siapa menyiarkan ilmu, ialah memberikan shadaqah. Barang siapa memberikan ilmu ialah melakukan perbuatan ibadah kepada Allah. Ilmu itulah menyebabkan orang yang mempunyainya dapat membedakan apa yang terlarang dan apa yang tidak terlarang. Ilmu adalah menerangi jalan ke surga Ilmu menjadi sahabat dalam padang pasir, taman pergaulan di alam kesunyian, sebagai kawan apabila ditinggalkan sahabat. Ilmu adalah memimpin kepada kebahagiaan. Ilmu menguatkan dalam menghadapi kemalangan. Ilmu merupakan perhiasan di dalam pergaulan dengan sahabat. Ilmu dapat dipergunakan terhadap musuh. Dengan ilmu, hamba Allah akan naik kepada ketinggian kebajikan dan keadaan yang mulia, dapat berhubungan dengan raja-raja di dunia dan mencapai kesempurnaan kebahagiaan di akherat” (Cokroaminoto, tt: 47).
67
Menurut H.O.S. Cokroaminoto ilmu harus diperoleh dengan akal,
tetapi tidak boleh dipisahkan dari pendidikan budi pekerti dan pendidikan
rohani (Cokroaminoto, tt: 45). Ia mengakui bahwa Islam yang bersumber al-
Qur’an dan al-Hadits itulah yang memajukan berbagai ilmu (Cokroaminoto,
1955: 48). Oleh karena itu pendidikan harus berdasar dan tidak menyimpang
dari sumber Islam tersebut.
B.2. Tujuan Pendidikan Kebangsaan Menurut H.O.S. Cokroaminoto
Masyhur Amin dalam H.O.S. Cokroaminoto Rekonstruksi dan
Perjuangannya. Beliau mengatakan bahwa Tujuan pendidikan kebangsaan
yang ingin dicapai menurut H.O.S. Cokroaminoto adalah untuk
menjadikan anak didik sebagai seorang muslim yang sejati dan sekaligus
menjadi seorang nasionalis yang berjiwa besar penuh kepercayaan kepada
diri sendiri (Amin, 1995: 50).
Sebagai muslim yang sejati dan sekaligus nasionalis hendaknya
mempunyai keseimbangan baik ilmu duniawi maupun ilmu agama. Maka di
samping mempunyai akal yang cerdas juga harus mempunyai budi pekerti
yang utama, hidup sederhana punya keberanian dan kemandirian, serta
mencintai rasa cinta tanah air (Amin, 1995: 51).
C. Prinsip Pendidikan Kebangsaan H.O.S. Cokroaminoto
Pendidikan kebangsaan yang dikehendaki oleh H.O.S. Cokroaminoto
secara garis besar dilaksanakan dengan prinsip:
68
C.1. Cinta tanah air (nasionalis)
H.O.S. Cokroaminoto dengan sekuat tenaga mengadakan
pendidikan untuk menanamkan perasaan kebangsaan, mencintai negeri
tumpah darah (Cokroaminoto, tt: 56). Oleh karena itu dalam praktek
pendidikannya sejak dasar (lager onderwijs), menengah (middelbaar
onderwijs), sampai pada jenjang tinggi (Hoger onderwijs), diberikan
pelajaran bahasa negeri sendiri yaitu bahasa Indonesia dan sejarah bangsa
dalam negeri sendiri (Amelz, 1952: 170).
Cinta tanah air harus didasarkan kepada akhlak mulia karena
merupakan kekuatan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati,
pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan yang menyatu membentuk satu
kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup sehari-
hari. Melaksanakan moralitas islami sebagai mana yang diteladankan
lewat tingkah laku dan sepak terjang kehidupan nabi SAW
(Cokroaminoto, 1952: 26). Pendidikan dan pengajaran cinta tanah air
bukanlah hanya memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu,
tetapi juga mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah,
membiasakan rasa kesopanan yang tinggi dan mempersiapkan suatu
kehidupan yang seluruhnya ikhlas dan jujur. Dengan demikian
pendidikan kebangsaan untuk cinta tanah air harus mendidik budi
pekerti (Cokroaminoto, tt: 87).
H.O.S. Cokroaminoto melancarkan kampanye untuk cinta tanah air
dalam mendidik bangsa dengan akhlak yaitu sejak tahun 1913 wujudnya
69
membasmi bukan hanya lima M atau molimo, tetapi malahan tujuh M
atau tupitu, yaitu main (judi) madon (mengumbar nafsu seks), minum
(mabuk), madat (candu), mangani (makan yang berlebih-lebihan), maling
(mencuri), dan misuh (memaki) (Dahlan, 1987: 27). Hal itu sempat
menjadi isu dalam setiap pertemuan di desa-desa dan menjadi ukuran
untuk mematuhi pimpinan daerah setempat. Bahkan ia memandang
berbuat baik atau menjauhi perbuatan buruk itu juga dipandang telah
memberikan shadaqah (Cokroaminoto, tt: 27).
C.2. Memiliki keberanian
H.O.S. Cokroaminoto selalu menanamkan rasa keberanian
terutama jihad (bekerja keras mempropagandakan dan melindungi Islam)
karena hal itu termasuk bagian dari iman. Keberanian yang
dikehendakinya bukan seperti pada masa jahiliyah, yang tidak ada
landasannya dan tanpa arah. Keberanian bukan membabi buta dan
dorongan hati yang tak dikendalikan. Keberanian adalah kemuliaan yang
ditata baik dengan tujuan yang agung yakni untuk berbakti pada usaha
agama yang benar yakni keberanian di jalan Allah (Cokroaminoto, 1931:
49).
Sifat keberanian harus dibekali dengan keseimbangan ilmu
pengetahuan karena manusia dalam paham Islam tersusun dalam dua
unsur jasmani dan rohani. Pendidikan jasmani harus disempurnakan
dengan pendidikan rohani. Dengan demikian pengembangan daya-daya
jasmani dan rohani akan mempunyai keseimbangan (Cokroaminoto, 1931:
70
50). Rohani manusia mendapatkan latihan sebagaimana jasmani manusia.
Sedangkan pendidikan jasmani ditempuh manusia melalui seluruh aspek
pendidikan yang didapatkan selama hidupnya. Pendidikan rohani manusia
senantiasa didapatkan umat Islam selama pendidikan jasmani dilakukan.
Manusia akan mencapai kebahagiaan dalam hidup ini karena adanya
kecerdasan atau kepandaian jasmaniah dan kebajikan rohaniah. Pendidikan
haruslah memberikan pelajaran yang seimbang baik pelajaran umum
maupun agama, jasmani rohani agar mampu memberikan pertumbuhan
yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual,
intlektual, rasional, perasaan, dan kepekaan tubuh manusia. H.O.S.
Cokroaminoto menghendaki adanya keseimbangan dan tidak menghendaki
berat sebelah dalam rangka menumbuhkan sifat keberanian
(Cokroaminoto, 1934: 20).
C.3. Harus menanamkan sifat kemandirian
H.O.S. Cokroaminoto berpendapat setiap orang harus berusaha
dengan sungguh-sungguh dan pantang memakan hasil pekerjaan orang lain
yaitu mampu mandiri tidak menggantungkan kepada orang lain
(Cokroaminoto, 1985: 23). Masa depan janganlah menggantungkan nasib
kepada orang lain, melainkan harus mampu melepaskan diri terhadap
siapapun juga (Cokroaminoto, 1985: 8).
Kegiatan pendidikan harus mengarahkan atau membimbing
manusia agar mempunyai ketrampilan dan kemandirian sehingga mampu
mengelola pelestarian dan pembudayaan terhadap alam. Sehingga ia
71
hendak mempersiapkan anak dengan sebaik-baiknya agar pada usia 15
tahun mereka telah terbekali iman, ilmu dan amal atau ketrampilan agar
mampu hidup secara mandiri (Noer, 1982: 115). Akal manusia harus
dicerdaskan untuk mencapai kemandirian agar mampu mengolah isi alam
semesta untuk keperluan hidupnya.
H.O.S. Cokroaminoto mengajarkan untuk bersifat mandiri
maksudnya non-koperatif menolak dan tidak mahu bekerjasama dengan
pemerintah kolonial Belanda, tidak mahu menerima bantuan Belanda
apalagi guru dari Belanda yang sudah dipastikan non-muslim, apalagi ada
aturan pada saat itu bahwa guru agama Islam harus minta ijin lebih dahulu
kepada Belanda lewat kantor For Inlandcshe yang menambah bencinya
terhadap Belanda.
Kemandirian akan membuahkan sikap kesederhanaan, alasannya
bahwa dengan hidup sederhana itu adalah sebab yang menjadikan
mashurnya umat Islam masa lalu (Cokroaminoto, 1950: 66). Masa pra-
Islam seseorang yang memiliki sifat mulya harus tidak memperdulikan
hari esok, artinya bahwa ia harus melakukan perbuatan yang bebas. Agar
dapat memperoleh tingkat kekaguman yang besar dari orang lain, maka
kebebasan itu harus benar-benar merupakan pemborosan yang tidak
terpikirkan. H.O.S. Cokroamonoto menolak semua perbuatan murah hati
yang disebabkan karena ingin pamer, adapun yang penting adalah niat
yang mendasarinya. Sikap pemurah itu merupakan sebuah kebajikan
72
namun ia tidak lagi sebagai kebajikan bahkan menjadi kejahatan apabila
yang dilakukan berlebih-lebihan (Cokroaminoto, tt: 26).
D. Jenjang dan Sistem Pendidikan Kebangsaan
Jenjang pendidikan menurut H.O.S. Cokroaminoto melalui tiga tahap
yaitu:
D.1. Jenjang pendidikan dasar (Lager Onderwijs)
Pendidikan pada jenjang ini lama pengajarannya memerlukan
waktu 5, 6 sampai 7 tahun. Pada jenjang ini selain diberikan pelajaran
modern (duniawi) juga diberikan pendidikan agama.
Pertama-tama yang diajarkan kepada murid adalah pelajaran al-
Qur’an, dari cara pembacaan yang benar (ilmu tajwid) juga diterpkan
maknanya kedalam bahasa Indonesia (melayu) atau menggunakan bahasa
tertentu yang dapat dimengerti murid, sehingga murid mampu memahami
pelajaran yang disampaikan oleh guru.
Pelajaran yang diajarkan berikutnya adalah bahasa Arab yang
merupakan dasar untuk dapat membantu kecakapan murid dalam
memahami makna al-Qur’an. Selain itu murid diajarkan pula beberapa
do’a dan ucapan atau lafadz dalam salat, sehingga diharapkan pada usia
12-13 tahun sudah mengerti lafadz yang diucapkan dalam salat. Juga
sekaligus diberikan praktek ibadah (salat) murid pada jenjang ini juga
mendapatkan pelajaran tentang rukun iman, rukun Islam berupa buku-
buku dalam bahasa anak negeri. Juga mendapatkan pelajaran tentang
tarikh (sejarah) Islam, dan tarikh bangsa negeri sendiri.
73
Pelajaran bahasa Arab selama 3 tahun dibuat sama lamanya dengan
pelajaran bahasa Belanda. Sistem yang digunakakannya yakni berusaha
agar murid tidak jenuh dalam menerima pelajaran. Maka pelajaran harus
bersifat mendidik dan berupaya agar murid termotivasi untuk belajar,
sehingga murid merasa senang dalam menerima pelajaran (Cokroaminoto,
1934: 4).
D.2. Pendidikan Menengah (Middelbaar Onderwijs)
Pelajaran pada jenjang ini lamanya 4 sampai 5 tahun dan
diterapkan oleh komisi yang ahli. Selain pelajaran modern (duniawi), juga
diberikan pelajaran al-Qur’an secara mendalam dan diajarkan al-Hadits.
Pada jenjang ini diupayakan agar pelajaran bahasa Arab diajarkan sebagai
bahasa yang hidup, artinya murid dapat menulis, membaca, berbicara atau
berkomunikasi dengan memakai bahasa Arab sama dengan pelajaran
bahasa Belanda. Juga diberikan pelajaran nahwu dan sorof, agar mendapat
pengertian yang seharusnya tentang al-Qur’an dan bukannya bahasa Arab
pada umumnya. Juga diajarkan beberapa ratus dari ayat al-Qur’an yang
terpilih, agar murid mendapatkan pengertian dalam ilmu syair (puisi)
Arab. Diajarkan pula pelajaran aqaid, fikh, ibadah, akhlak, tarekh nabi dan
khulafaur-rasyidin.
Sistem pengajarannya harus sesuai dengan kemampuan dan
kepentingan murid sehingga sistem pelajarannya disampaikan secara
bertahap, agar murid mudah memahami dan senang dalam menerima
pelajaran.
74
Sirah (sejarah hidup nabi) hendaklah dikemukakan kejadian-
kejadian yang penting dari nabi Muhammad SAW dan Khulafaur-Rasyidin
dan memberikan keterangan benar tentang kejadian itu. Tetapi juga
menanamkan pengertian kepada murid, bahwa karena benarnya Islam
itulah mengakibatkan tercapainya kebahagiaan diperoleh kaum muslimin
pada zaman dahulu. Untuk terwujudnya kembali kemuliaan muslim yang
telah lenyap itu, maka hanya akan tercapai dengan berpegang kuat kepada
Islam.
Pelajaran tarikh Islam pada jenjang ini bertujuan agar mendapat
kebenaran terhadap hubungan atau kejadian-kejadian umat Islam masa
lalu, yang merupakan cermin untuk dijadikan pedoman pada masa kini dan
masa yang akan datang, sebagaimana bentuk perjuangan yang telah
dicontohkan Rasul dan Khulafaur-Rasyidin.
Jenjang ini memberikan pelajaran tentang ilmu aqaid, fikh dan
sirah. Di ajarkan sebagai pelajaran yang istimewa dalam bahasa Arab, dan
berupaya memudahkan murid agar dapat mencerna atau memahami
pelajaran yang diberikan oleh guru (Amelz: 1934: 5-6).
D.3. Jenjang Pendidikan Tinggi (Hager Onderwijs)
Pelajaran pendidikan tinggi ditempuh selama 3-4 tahun. Jenjang ini
diadakan suatu pendidikan Islami yakni sistem yang memperdalam ilmu-
ilmu Islam, sehingga pemuda pemudi yang telah menyelesaikan
pendidikan dan pengajaran modrn model barat harus meneruskan pelajaran
tafsir, hadits, fikh, aqaid, ilmu kalam, sirat dan tarikh Islam.
75
Pendidikan jenjang ini ilmu pengetahuan umum dan ilmu
pengetahuan agama Islam sejalan parelel sebanding menurut ketentuan-
ketentuan kurikurer yang diatur oleh para ahli pada bidangnya masing-
masing. Dengan sistem ini setiap anak didik setelah mencapai target yang
hendak dicapai pada masing-masing tingkatan akan akam mampu terampil
dalam ilmu pengetahuan keduniaan dan ilmu pengetahuan agama Islam.
Murid sekitar berumur 20-21 tahun dapat menyelesaikan jenjang ini.
Mereka diakui kecakapannya baik ilmu-ilmu agama atau ilmu-ulmu
keduniaan. Sehingga murid yang menyelesaikan pada jenjang ini patut
diberi gelar guru agama atau kyai (Cokroaminoto, 1934: 7).
Penghayatan dan pengamalan terhadap prinsip-prinsip Islam yang
telah dimiliki, maka jiwa raganya mencerminkan seorang muslim sejati
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.