SESI 05
Modul Alergi dan Imunologi
Penyakit Kelainan Akibat Reaksi Kerusakan Tipe I
BUKU ACUANMODUL ALERGI IMUNOLOGIPENYAKIT KELAINAN AKIBAT KERUSAKAN TIPE IEDISI I
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH
KEPALA DAN LEHER
2008Buku Acuan Modul THT-KLALERGI IMUNOLOGI
PENYAKIT AKIBAT REAKSI KERUSAKAN JARINGAN TIPE ITUJUAN PEMBELAJARAN
Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan untuk alih pengetahuan yang terkait dengan pencapaian kompetensi yang diperlukan dalam mengenali dan menatalaksana kelainan akibat reaksi kerusakan jaringan tipe I seperti yang telah disebutkan diatas, yaitu:
1. Menguasai patogenesis reaksi kerusakan jaringan tipe I
2. Mampu menjelaskan etiologi, patogenesis dan gambaran klinis dari berbagai jenis kelainan akibat reaksi kerusakan jaringan tipe I
3. Menentukan pemeriksaan penunjang (Skin Prick Test, IgE total, IgE RAST, TFP, timpanometri)
4. Membuat diagnosis penyakit kelainan akibat reaksi tipe I dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
5. Melakukan work-up, menentukan terapi dan memutuskan untuk melakukan rujukan ke spesialis yang relevan
KOMPETENSIMampu membuat diagnosis penyakit kelainan akibat reaksi kerusakan tipe I.KeterampilanSetelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. menjelaskan patogenesis penyakit akibat reaksi kerusakan tipe I.
2. menjelaskan macam-macam penyakit kelainan akibat reaksi kerusakan tipe I.
3. menjelaskan gambaran klinis penyakit kelainan akibat reaksi kerusakan tipe I.4. memutuskan dan terapi pendahuluan serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
REFERENSI 1. Abbas, AK, Lichtman AH, Pillai S. Immediate Hypersensitivity. In: Cellular And Molecular Immunology, International Edition, Sixth edition, Saunder Elsivier, 2007.2. The Allergy Report. Diseases of the Atopic Diathesis. AAAAI. Vol.2.2000.
3. The Allergy Report. Condition That May Have an Allergic Component. AAAAI. Vol.3.2000.4. Krouse JH.Allergic and nonallergic rhinitis. In: Bailey BJ: Head and Neck Surgery Otolaryngology. 2nd . Vol I. Lipppincot-Raven. Philadelphia- New York. 1998. GAMBARAN UMUMPenyakit kelainan akibat reaksi kerusakan jaringan tipe I mempunyai manifestasi klinis berupa rinitis alergi, asma bronkial, urtikaria, alergi makanan, konjungtivitis. Penyakit ini timbul dalam beberapa menit setelah kontak dengan alergen. Hal ini tergantung dari aktivasi sel-sel mastosit atau basofil dan pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi. Apabila penyakit-penyakit ini tidak ditangani dengan baik, akan menyebakan gangguan terhadap kualitas hidup seseorang sehingga mengganggu produktifitas seseorang dan meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan untuk berobat. Sehingga dibutuhkan kemampuan tenaga medik atau profesional kesehatan bidang IK THT-KL dengan tingkat kompetensi dan ketelitian yang tinggiMATERI BAKU Otitis Media Akut Rekurent atau Kronik
Ruang lingkup
Otitis media (OM) merupakan proses inflamasi pada telingan tengah, dapat berupa OM akut, OM akut rekuren, OM akut dengan efusi atau OM kronik dengan efusi. Pasien sering mengalami episode akut rekuren (otitis media rekuren). Faktor yang berperan adanya disfungsi tuba eustasius dan akumulasi cairan serosa atau purulent di dalam rongga telinga tengah. Sering terjadi pada bayi dan anak kurang 4 tahun, namun dapat terjadi pada semua usia dan sering terjadi bersama dengan penyakit rinitis. Penyebabnya bisa infeksi dan/atau alergi. Karakteristik gejala klinik
Gejala awal otitis media akut adalah nyeri dan tidak nyaman pada telinga.
Pasien irritable
Anak sering menarik-narik telinga
Bayi tidak mau makan
Mendengkur, bernafas mulut, atau sumbat hidung (Obstruksi adenoidal)
Gangguan dengar + atau -
Gejala nonspesifik: demam, nyeri kepala, apatis, anoreksia, vomiting, diare
Patogenesis otitis media
Faktor alergi mempunyai peran besar pada otitis media rekuren atau kronik
Lebih dari 50% anak usia > 3 tahun dengan otitis media kronik berhubungan dengan rinitis alergi
Disfungsi tuba eustacius memberi kontribusi penting terjadi otitis media akut
Disfungsi tuba sering terjadi pada bayi dan anak-anak
Disfungsi tuba semakin memberat bila disertai rinitis alergi
Disfungsi tuba sering terjadi pada bayi dan anak-anak akibat:
Suportive kartilago pada tuba eustacius kurang
Tuba eustacius lebih mendatar dan pendek
Fungsi otot tensor veli palatini kurang efisien
Adanya interaksi antara virus dan alergen serta respons imun atau inflamasi merupakan predisposisi terjadinya otits media
Diagnosis otitis media Anamnesa dan pemeriksaan fisik lengkap ( pnematik otoskopi)
Consider:
Durasi gejala
Sejak kapan gejala
Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
Riwayat keluarga atopi
Keterlibatan penyakit alergi lain ( seperti rinitis alergi)
Anamnesa lingkungan: Identifikasi faktor penyebab (Alergen atau iritan)
Informasi faktor resiko:
Tempat penitipan anak
Kebiasaan minum susu dari botol susu sambil tidur
Perokok
Evaluasi faktor-faktor yang mendasari (Terapi preventive) :
Allergi
Rinosinusitis
Hipertrofi adenoid
Imunodefisiensi
Food intolerance reaction
Evaluasi faktor alergi Apakah terdapat riwayat alergi personal atau keluarga (rinitis, asma, atopic dermatitis) Bersin-bersin, beringus dan sumbat hidung yang prominent dan menahun atau musiman. Mengganggu aktifitas sehari-hari, namun membaik dengan medikamentosa (antihistamin, intranasal cromolyn sodium, intranasal kortikosteroid) Penderita sering terpapar alergen (cat, dog, dust mite, pollens) Mukosa hidung tampak pucat dan edemaPenatalaksanaan otitis mediaPreventif
OM rekurent
Antibiotik profilaksis
Insersi timpanostomi tube (grommet) dengan atau tanpa adenoidektomi
Terapetik
Bila otitis media berhubungan dengan rinitis alergi ( kontrol rinitis alergi dengan baik ( resolusi otitis media
Terapi alergi intensif:
Penghindaran alergen
Anthistamin
Intranasal kortikosteroid dan atau oral kortikosteroid jangka pendek (reduksi inflamasi dan obstruksi tuba eustacius)
Intanasal cromolyn sodium
Imunoterapi Alergen Dekongestan ( terapi disfungsi tuba eustacius, meskipun efikasi klinik masih kontroversi.
Asma
Definisi :Penyakit kronik inflamasi saluran nafas ditandai adanya sumbatan jalan nafas yang bersifat parsial reversibel dengan atau tanpa pengobatan, dan terjadinya peningkatan resposifitas bronkial oleh berbagai rangsangan.Asma berhubungan erat dengan alergi : Faktor resiko terjadinya asma adalah Sensitisasi indoor alergen (Tungan debu rumah, serpih kulit binatang, kecoa)
Sensitisasi outdoor alergen (Jamur)
Usia dini terpapar asap rokok
Respon alergi pada saluran nafas didahului oleh meningkatnya proses inflamasi dan hiperresposif saluran nafas.
Proses inflamasi pada rinitis dan asma melibatkan mukosa respirasi yang sama : Asma berhubungan erat dengan rinitis menahun dan musiman dan rinosinusitis
Pasien dengan rinitis alergi dilaporkan meningkat gejala asma-nya selama musim serbuk bunga
Inflamasi memainkan peran penting pada patogenesis terjadinya rinitis alergi dan asma
Reaksi alergi pada mukosa hidung meningkatkan hiperesponsif saluran nafas bawah pada asma.
Terapi terhadap gejala saluran nafas atas memberikan manfaat untuk penatalaksanaan asma
Intranasal kortikosteroid dapat digunakan untuk terapi pasien kronik rinitis dengan asma persisten. Oral nonsedasi antihistamin dan kombinasi antihistamin-dekongestan memberikan perbaikan pada banyak pasien asma
( Terapi penyakit saluran nafas atas saja tidak adekuat untuk terapi
Asma
Patogenesis :Gambaran proses inflamasi pada asma : Aktifasi sel mastosit
Infiltrasi sel inflamasi
Eosinofil
Makrofag saluran nafas
Neutrofil
Limposit
Edema
Mukus hipersekresi
Denudation dan disruption epitel bronkial
Inflamasi saluran nafas pada asma memberi kontribusi pada:
Hiperesponsif saluran nafas
Gejala gangguan respirasi
Kronisitas penyakit
Airflow limitation Remodeling dinding saluran pernafasan akibat :1. Doposit kolagen pada membran basalis2. Hiperplasia kelenjar mukus3. Hipertrofi otot bronkial4. Proliferasi vaskuler5. Kehilangan serabut elastikDiagnosis :1. Riwayat Penyakit:
Gejala episodik obstruksi saluran nafas:
Batuk
Whezing
Nafas pendek atau cepat
Chest tightness Aliran udara nafas berkurang
Alrenatif diagnosa sudah disingkirkan
2. Pemeriksaan Fisik: Hiperekspansi torak tu. anak-anak
Suara whezing saat nafas normal atau dalam
Tanda fisik rinitis alergi, rinosinusitis, dan polip hidung
Atopik dermatitis/eksema
3. Pemeriksaan Penunjang Objektif:
Spirometri (FEV-1) sebelum dan 15 menit setelah inhalasi short-acting bronkodilator
PEF (Peak Flow Meter)
Penatalaksanaan meliputi 4 komponen :
Komponen 1. Penilaian dan monitoring
Reguler monitoring:
Tanda dan gejala asma
Fungsi paru-paru
Timbulnya gejala eksasebasi
Farmakoterapi
Status gangguan kualitas hidup
Kepuasan pasien (dan keluarga) terhadap terapi
Pengertian pasien (dan keluarga) terhadap asma dan strategi terapi
Evaluasi jenis medikasi dan dosis
Spirometri berkala (Awal, gejala membaik, setiap 1 2 tahun)
PEF berkala di rumah
Komponen 2. Kontroling faktor penyebab asma
Hindari faktor penyebab ( olah raga, udara dingin, alergen, infeksi virus, merokok, polusi industri atau udara)
Hindari lingkungan dengan paparan alergen tinggi
Kontrol lingkungan
Alergen penyebab utama
Identifikasi alergen
Tes alergi kulit atau serum IgE antibodi
Imunoterapi alergen
Alergen teridentifikasi dan sulit dihindari
Gejala menetap sepanjang tahun atau hampir sepanjang tahun
Medikasi kurang efektif
Multimedikasi sudah diberikan
Pasien atau keluarga menolak medikasi
Pasien tertarik dengan keuntungan modifikasi sistem imun dari imunoterapi alergen
Komponen 3. Terapi farmakologi Ditentukan oleh derajat berat-ringannya asma dan umur
Sistem Step-care therapy Long term control medications
Medikasi: Inhalan kostikosteroid Cromolyn sodium
Leukotrien reseptor antagonis (montelukast, zafirlukast) Long acting Beta 2 agonis
Methylxanthines
Oral kortikosteroid
Komponen 4. Edukasi
Sasaran: penderita, keluarga, relawan, masyarakat
Penyuluhan di sekolah
Melibatkan peran serta swasta dan masyarakat
Rinosinusitis dan Nasal Polip
Definisi:
Rinosinusitis adalah suatu inflamasi dari sinus paranasal dan hidung ditandai dengan 2 atau lebih gejala.
Satu gejala:
Sumbat/obstruksi/kongesti hidung atau
Hidung beringus (anterior/posterior nasal drip) atau
Nyeri/rasa tertekan wajah atau
Hiposmia/anosmia.
Ditambah gejala lain seperti:
Nasoendoskopi ditemukan polip dan/atau sekret mukopurulent berasal meatus media dan/atau edema/obstruksi mukosa meatus media
CT scan mukosa patologi pada osteomatal kompleks dan/atau sinus
Untuk pasien rinosinusitis alergi:
Identifikasi tanda dan gejala alergi
Penatalaksaan rinitis alergi yang baik akan memperbaiki gejala rinosinusitis dan
asma pasien
Lebih dari 50% pasien asma sedang-berat disertai rinosinusitis
Klasifikasi:
Rinosinusitis Akut
Kurang 3 minggu
Terjadi setelah infeksi saluran nafas atas (Memburuk setelah 5 hari atau menetap setelah 7 hari)
Rinosinusitis Akut Rekurent
4 episode atau lebih rinosinusitis akut per tahun dengan interval 8 minggu bebas gejala
Subakut
Antara 3-12 minggu
Rinosinusitis Kronik
Lebih 12 minggu
Gejala menetap, respon terapi minimal, positif pemeriksaan imaging
Eksaserbasi akut berulang
Diagnosis:
Gejala:
2 atau lebih gejala onset mendadak, satu gejala harus sumbat/obtruksi/kongesti hidung atau hidung beringus (anterior/posterior nasal drip):
Nyeri wajah/tertekan
penciuman menurun/hilang
Pemeriksaan Fisik:
Hidung: mukosa hiperemis, edema, sekret purulent
Orofaring: posterior nasal drip
Ekslusi infeksi gigi
Pemeriksaan penunjang
Waters, caldwell
CT scan coronal
Indentifikasi faktor alergi
Skin Prick Test
IgE spesifik
Penatalaksaan:
Paliatif
Cuci hidung dengan air garam
Inhalasi uap hangat
Medikamentosa
Antibiotik
Kortikosteroid intranasal
Dekongestan oral atau topikal
Mukolitik
Bila terapi medikamentosa adekuat gagal ( Bedah sinus
Penatalaksaan Alergi:
Hindari alergen
Medikamentosa
Pertimbangkan Imunoterapi Edukasi dan follow upKonjungtivitis Alergi
Pendahuluan:
Suatu proses inflamasi pada konjungtiva diakibatkan oleh alergi.
Mata sering merupakan target organ dari gangguan proses inflamasi alergi, karena:
Kaya vaskuler
Sensitivitas vaskuler konjungtiva
Mudah kontak langsung lingkungan
Konjungtiva mempunyai respon morfologi bervariasi terhadap variasi stimulus
Patogenesis:
Alergen airbone ditangkap lapisan film air mata, tranfer ke konjungtiva, dan
dipecah menjadi peptida alergenik, berikatan dengan IgE reseptor sel mast di
konjungtiva, terjadi degranulasi sel mast atau sebagai akibat proses degranulasi
sel mast di jaringan lain, pelepasan mediator inflamasi, memberikan respon alergi
okuler
Klasifikasi: Konjungtivitis Musiman:
Berhubungan dengan rinitis alergi
Sering terjadi
Bilateral
Gejala: gatal mata atau sekitar mata, berair, rasa panas, konjungtiva keruh
Konjungtivitis Menahun:
Sensitivitas alergen sepanjang tahun
Lebih jarang
Gejala lebih ringan Keratokonjungtivitis Atopik:
Berhubungan dengan dermatitis atopik di area mata dan wajah
Gejala: mata merah, gatal, panas, berair, kotoran mata
Tanda klinik: hipertropi papilari konjungtiva tarsal atas dan bawah, vaskularisasi kornea, ulserasi dan scarring, katarak, keratitis punktata
Usia 10 -20 tahun
Riwayat atopi pasien kuat (asma, rinitis alergi)
Konjungtivitis Vernal:
Khas penyakit pada anak
Laki-laki > wanita
KEPUSTAKAAN MATERI BAKU
1. The Allergy Report. Condition That May Have an Allergic Component. AAAAI.
Vol.3.2000.2. Krouse JH.Allergic and nonallergic rhinitis. In: Bailey BJ: Head and Neck Surgery Otolaryngology. 2nd . Vol I. Lipppincot-Raven. Philadelphia- New York. 1998. Ch.25, p:351-63.
3. The Allergy Report. Associated Disease: Chronic or recurrent Otitis Media in Diseases of The Atopic Diathesis..American Academy of Allergy, Asthma & Immunology. Vol.2. 2000: 155-60.
4. The Allergy Report. Asthma in Diseases of The Atopic Diathesis..American Academy of Allergy, Asthma & Immunology. Vol.2. 2000: 33-105. 5. The Allergy Report. Asthma in Diseases of The Atopic Diathesis..American Academy of Allergy, Asthma & Immunology. Vol.2. 2000: 137-53.
6. European Position Paper on Rhinosinusitis and nasal Polyps. Rhinology. Supplement 20. 2007.
7. Abbas, AK, Lichtman AH, Pillai S. Immediate Hypersensitivity. In: Cellular And Molecular Immunology, International Edition, Sixth edition, Saunder Elsivier, 2007. p: 441-60.8. The Allergy Report. Diseases of the Atopic Diathesis. AAAAI. Vol.2.2000. PAGE 2