BUKU AJAR
KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA
Tim Penyusun
Edward Thomas Lamury Hadjon, SH, LLM
Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan, SH, MHum
Prof. Dr. I Made Subawa, SH, MS
Dr. I Gede Yusa, SH, MH
Komang Pradnyana Sudibya, SH, Msi
UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS HUKUM
2016
1
BAB I
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Pendahuluan
Pembahasan tentang sejarah ketatanegaraan dapat dilakukan berdasarkan
beberapa cara, antara lain; berdasarkan periode berlakunya Undang-undang Dasar
(Konstitusi), pergantian Orde, pergantian pemerintahan dan lain sebagainya. Dalam
tulisan ini, sejarah ketatanegaraan Indonesia didasarkan pada periode berlakunya
Undang-undang Dasar yaitu; Periode Tahun l945 - Tahun 1949 (Undang-undang Dasar
1945), Tahun 1949 - Tahun 1950 (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), Tahun 1950 -
Tahun 1959 (Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950), Tahun 1959 - sekarang
(berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945, yang terbagi menjadi 3 masa yakni
Tahun 1959 - Tahun 1966, Tahun 1966 - Tahun 1999 dan Tahun 1999 - sekarang.
Pembagian dalam 3 masa ini adalah berkaitan dengan pergantian pemerintahan dan
terjadinya amandemen terhadap Undang-undang Dasar 1945.
1. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1945-1949
a. Perencanaan dan Pengesahan Undang-undang Dasar 1945
Sehari setelah kemerdekaan Indonesia, yaitu tanggal 18 Agustus 1945
ditetapkanlah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang lebih dikenal
dengan nama Undang-undang Dasar 1945. Persiapan penyusunan Undang-undang Dasar
1945 telah dilakukan sejak bulan Mei 1945 dengan dibentuknya "Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (BPUPKI), atau dalam Bahasa Jepang
disebut dengan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai1
pada tanggal 29 April 1945. Badan ini
diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat dan R. Pandji Soeroso dan
Itjibangase sebagai wakil ketua. Badan ini dibentuk oleh pemerintah balatentara Jepang
sehubungan dengan kesanggupan pihak Jepang untuk dalam jangka waktu sesingkat-
singkatnya memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
1 Nugroho Notosusanto; 1981, Naskah Proklamasi yang Autentik, Jakarta : PN Balai Pustaka,
hlm. 18.
2
Setelah badan ini dilantik oleh panglima tentara Jepang (Saiko Sjikikan),
kemudian pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945 diadakan sidang pertama untuk
mendengarkan pandangan umum dari anggota. Pada sidang pertama ini pokok
pembicaraan adalah tentang Dasar Negara Indonesia. Pada hari pertama sidang tanggal
29 Mei 1945 Moh. Yamin mengucapkan pidato mengenai "Asas dan dasar kebangsaan
Republik Indonesia" yang terdiri atas Peri kebangsaan, Peri kemanusiaan, Peri
Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat.2 Kemudian pada tanggal 31 Mei
1945, melanjutkan pembicaraan tentang Dasar Negara Indonesia, Daerah Negara dan
Kebangsaan Indonesia. Pada sidang ini Moh. Yamin juga berpidato mengenai "daerah-
daerah Negara Indonesia.3 Pada hari terakhir tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno berpidato
mengenai "dasar Indonesia Merdeka" atau Philosopische Grondslag atau
Weltanschauung dari pada Indonesia merdeka, yang terdiri dari:
1) Kebangsaan Indonesia;
2) Internasionalisme atau perikemanusiaan;
3) Mufakat atau demokrasi;
4) Kesejahteraan sosial.
5) Dan prinsip yang kelima menurut Ir. Soekarno, hendaknya menyusun Indonesia
merdeka dengan "bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa". Kelima prinsip tersebut
disebut dengan Pancasila. Panca artinya lima dan sila artinya asas atau dasar. Di
atas kelima asas atau dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia kekal dan
abadi.4
Pada akhir sidang pertama dibentuk panitia kecil yang beranggotakan 9 orang
yaitu; Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Abikusno Tjokrosujoso Abdul kahar muzakir, H.A.
Salim, Mr. Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim dan Mr. Moh. Yamin untuk merumuskan
pandangan umum dan pendapat para anggota. Panitia ini pada tanggal 22 Juni 1945
berhasil merumuskan Piagam Jakarta. Piagam ini berisi garis-garis pemberontakan
2 Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992, Republik Indonesia Serikatalah
Sidang BPUPKI-PPKI, tanggal 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, Cetakan Ketiga, Jakarta : Sekretariat Negara
Republik Indonesia, hlm. 7. 3 Baca Sekretariat Negara Republik Indonesia II, op.cit., hlm. 39. 4 Abdullah Zaini, 1991, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, hlm.
113.
3
melawan kapitalisme, imperialisme dan fasisme (Belanda dan sekutu-sekutunya serta
Jepang), serta memuat dasar pembentukan negara RI.5
Pada masa sidang kedua tanggal 10-16 Juli 1945 oleh panitia kecil piagam
tersebut dilaporkan ke BPUPKI, dan sidang kemudian membentuk panitia hukum dasar
yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan beranggotakan 19 orang. Panitia ini kemudian
membentuk panitia kecil perancang Undang-undang Dasar (ic. pembukaan) yang
beranggotakan 7 orang yaitu: Prof. Dr. Mr. Soepomo, Mr. Wongsonegoro, AA.
Maramis, A. Soebardjo, R.P. Singgih, H. Agus Salim dan Dr. Sukiman. Pada tanggal 16
Juli 1945 hasil rumusan dari panitia kecil tersebut disahkan oleh BPUPKI, termasuk
pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang isinya berdasarkan Piagam Jakarta.
Dengan selesainya tugas dari BPUPKI, pada tanggal 8 Agustus 1945
dibentuklah Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam
Bahasa Jepang disebut "Dokuritsu Zyunbi Inkai", yang dipimpin oleh Soekarno dan
Moh. Hatta selaku wakil ketua. Tugas dari panitia ini adalah mempersiapkan segala
sesuatu sehubungan dengan kemerdekaan Indonesia.
PPKI tidak dapat melaksanakan tugasnya akibat di bom atomnya Hirosyima
dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 September 1945 oleh sekutu, yang berakibat Jepang
menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Akibat peristiwa
tersebut, pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, kemudian dibentuk oleh bangsa Indonesia
sehari setelah proklamasi kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 Agustus 19456, PPKI
dalam rapatnya kemudian mengesahkan Undang-undang Dasar 1945 yang terdiri dari
Pembukaan (Preambule) dan Batang Tubuh, belum ada penjelasan. Penjelasan yang
terdapat dalam Berita Negara RI tahun II No. 7 merupakan susunan dari Prof. Dr. Mr.
Soepomo yang pernah dikemukakan pada tanggal 15 Juli di depan sidang BPUPKI.
Sesuai dengan asas negara hukum (Rechtstaat) maka Undang-undang Dasar
1945 tersebut merupakan hukum dasar tertulis dari negara RI (Lois fundamentals), dan
dilihat dari sejarah pembentukannya Undang-undang Dasar 1945 merupakan hasil
5 Dalam Abdullah Zaini, op.cit., hlm. 113.
6 Abdullah Zaini, op.cit, hlm. 117.
4
revolusi Bangsa Indonesia yang mencapai titik kulminasinya pada tanggal 17 Agustus
1945.
Proklamasi ditinjau dari segi yuridis merupakan satu-satunya sumber dari
segala peraturan hukum nasional atau menurut Joeniarto7 disebut sebagai Norma
Pertama. Dengan dinyatakannya kemerdekaan Bangsa Indonesia telah memutuskan
ikatan dengan tata hukum sebelumnya yaitu tata hukum Hindia Belanda maupun Jepang.
Dengan kata lain Bangsa Indonesia telah mendirikan tatanan hukum baru yaitu tata
hukum Indonesia, yang berisikan tata hukum nasional yang akan ditentukan dan
dilaksanakan sendiri oleh Bangsa Indonesia.
Muncul pertanyaan apakah Undang-undang Dasar 1945 yang disusun oleh
BPUPKI dan disahkan oleh PPKI merupakan Undang-undang Dasar yang sah?
Mengingat kedua badan tersebut bukanlah lembaga pembentuk Undang-undang Dasar.
Terhadap masalah tersebut, Ismail Suny berpendapat bahwa sahnya Undang-undang
Dasar 1945 harus dipertimbangkan dengan menunjuk pada berhasilnya revolusi
Indonesia. Jadi, karena revolusi Indonesia berhasil maka apa yang telah dihasilkan oleh
revolusi itu Undang-undang Dasar 1945 adalah sah.8 Demikian pula dengan pendapat
Ivor Jennings dalam bukunya "The Constitution" yang menyatakan bahwa revolusi yang
berhasil menciptakan konstitusi baru.9
b. Sifat Undang-undang Dasar 1945
Oleh pembentuknya Undang-undang Dasar 1945 dimaksudkan untuk bersifat
"sementara”. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal III ayat (2) Aturan
Tambahan yang menyebutkan: "dalam enam bulan sesudah MPR dibentuk, majelis itu
bersidang untuk menetapkan Undang-undang Dasar". Demikian pula ketentuan dalam
Pasal 3 yang menyatakan bahwa salah satu tugas MPR adalah menetapkan Undang-
undang Dasar.
7 Joeniarto; 1983, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta : Bina Aksara,
(selanjutnya disebut Joeniarto II) hlm. 39. 8 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; op.cit, hlm. 90.
9 Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Ibid.
5
c. Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan
Bila dilihat ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945, maka
tampak bahwa yang memegang kekuasaan yang tertinggi dan sebagai pelaku kedaulatan
rakyat adalah MPR (Pasal 1 ayat 2). Sebagian kekuasaan itu oleh MPR disalurkan
kepada lembaga-lembaga lain yang ada di bawahnya (Opdracht Van Bevogheid).10
Dengan demikian maka lembaga-lembaga lain seperti DPR, Presiden, BPK, DPA dan
MA berada di bawah majelis (Untergeordnet).
Presiden dan DPR menerima mandat dari majelis di bidang eksekutif, legislatif
dan legislative control, di mana presiden dan DPR harus mampu bekerjasama terutama
dalam melaksanakan kekuasaan pembentukan UU (Pasal 5 ay at 1 jo Pasal 20 ayat 1
Undang-undang Dasar 1945). Presiden sebagai pelaksana kekuasaan pemerintahan harus
benar-benar memperhatikan suara DPR, meskipun presiden tidak bertanggung jawab
kepada DPR dan juga DPR tidak dapat memberhentikan presiden (ic. menteri-menteri
negara), sesuai dengan sistem presidensiil yang dianut oleh Undang-undang Dasar 1945.
Namun, meskipun demikian dewan berhak meminta kepada majelis untuk diadakannya
sidang istimewa jika presiden dianggap melanggar haluan negara sebagaimana pada
Penjelasan Umum Undang-undang Dasar 1945 waktu itu.
Dalam praktik ketatanegaraan kekuasaan presiden pada masa ini sangat luas,
karena selain memegang kekuasaan pemerintahan negara tertinggi juga memegang
kekuasaan terhadap lembaga MPR, DPR dan DPA selama lembaga tersebut belum
terbentuk. Selain itu di bidang eksekutif sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat 2 jo Pasal
17 presiden dibantu oleh wakil presiden, menteri, dan di bidang pelaksanaan kekuasaan
MPR, DPR dan DPA dibantu oleh KNIP (Pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang
Dasar '45). Yang menunjuk menteri dan anggota KNIP adalah Presiden. Sehingga di sini
presiden dengan bantuan KNIP berhak menetapkan haluan negara, UU dan memberikan
10
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1980, Susunan Pembagian Kekuasaan menurut
Sistem Undang-undang Dasar 1945, Jakarta: Djaya Pirusa, hlm. 33.
6
pertimbangan (nasehat), sehingga di sini tampak bahwa kekuasaan presiden dapat
dikatakan sebagai Constitutional Dictatorship.11
Selain itu pada tanggal 16 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Wakil
Presiden No. X dan Maklumat Presiden tanggal 14 Nopember 1945, di mana dengan
maklumat tersebut telah terjadi perubahan sistem pemerintahan dari sistem kabinet
presidensial ke sistem parlementer. Di sini kabinet dipimpin oleh wakil presiden selaku
Perdana Menteri. Menteri negara diangkat dan diberhentikan oleh presiden, namun
mereka bertanggung jawab kepada BP KNIP.
Setelah kekalahan Jepang melawan sekutu Belanda berkeinginan untuk
kembali berkuasa di Indonesia. Belanda mengkonsolidir kekuatan militernya di
Indonesia dan melakukan politik "Devide et impera" atau "Verdeel en heers", yang
artinya memecah belah untuk tetap berkuasa.12
Belanda mencoba untuk mendirikan
negara-negara bagian seperti negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara
Pasundan, Negara Jawa Timur dan sebagainya. Kenyataan bahwa ketika Belanda masuk
kembali ke Indonesia sudah merupakan negara yang merdeka, memaksa Belanda untuk
mengadakan perundingan-perundingan antara lain :
Persetujuan Linggajati
Ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, yang isinya antara lain:
1) Belanda mengakui pemerintahan Republik Indonesia berkuasa de facto atas Jawa,
Madura dan Sumatera.
2) Kedua pemerintah akan bekerjasama untuk dalam waktu singkat membentuk suatu
negara federasi yang berdaulat dan demokratis bernama "Republik Indonesia
Serikat". Republik Indonesia Serikat akan terdiri dari negara Republik Indonesia
(Jawa, Madura dan Sumatera), Kalimantan dan Negara Indonesia Timur.
3) Republik Indonesia Serikat akan bergabung dengan Belanda dalam bentuk "Uni"
dan sebagai kepala uni adalah Ratu Belanda.
11 Abdullah Zaini; Op. Cit, hlm. 127. 12
Wirjono Projodikoro, 1989, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta: Dian
Rakyat, hlm. 23.
7
4) Pembentukan Republik Indonesia Serikat dan uni diusahakan terlaksana sebelum
tanggal 1 Januari 1949.
Persetujuan ini belum dapat terlaksana, karena pada Tanggal 20 Juli 1947
Belanda melaksanakan "Aksi Militer I" (perang kemerdekaan I) terhadap Republik
Indonesia sehingga berhasil menduduki beberapa kota besar seperti Jawa, Madura dan
sumatera.
Atas desakan Dewan Keamanan PBB pada Tanggal 4 Agustus 1947,
pemerintah Belanda menjalankan perintah gencatan senjata. Selanjutnya Tanggal 17
Januari 1948 di kapal "Renville" ditandatangani persetujuan Renville.
Persetujuan Renville
Isi dari persetujuan Renville antara lain:
1) Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai kedaulatan
diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat, yang harus segera dibentuk.
2) Sebelum Republik Indonesia Serikat dibentuk Belanda dapat serahkan sebagian dari
kekuasaannya kepada pemerintah federal sementara.
3) Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat akan
menjadi peserta yang sejajar dengan Kerajaan Belanda dalam Uni Nederland-
Indonesia dengan Ratu Belanda sebagai kepala Uni.
4) Republik Indonesia akan menjadi Negara Bagian dari Republik Indonesia Serikat.13
Persetujuan ini pun tidak dapat dilaksanakan oleh Belanda, dan pada Tanggal
19 Desember 1948 Belanda melakukan "Aksi Militer II" dan berhasil menduduki ibukota
Republik Indonesia Yogyakarta serta menahan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Moh. Hatta serta beberapa pejabat negara lainnya. Atas tindakan Belanda menimbulkan
reaksi di forum internasional, dan karena itu kemudian Dewan Keamanan PBB pada
Tanggal 28 Januari 1949 mengeluarkan resolusi yang beRepublik Indonesia Serikati:
1) Supaya dilakukan "Cease Fire" (pemberhentian tembak menembak).
2) Supaya pemimpin-pemimpin RI segera dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta.
13
Baca Wirjono Prodjodikoro, op.cit., hlm. 26.
8
Dalam rangka itu kemudian di bawah pimpinan Cochran dari Komisi Jasa-jasa
baik PBB pada Tanggal 14 April 1949 diadakan perundingan antara Dr. Van Royen dari
pihak Belanda dan Mohamad Roem, SH dari pihak Indonesia. Pada Tanggal 7 Mei 1949
tercapailah "Persetujuan Roem Van Royen". Isi persetujuan tersebut antara lain:
1) RI akan menghentikan perang gerilya. Bekerjasama keamanan,
2) Belanda menyetujui pengembalian pemerintah RI ke Jogyakarta,
3) Menghentikan operasi militer dan membebaskan pemimpin-pemimpin RI, serta
selekasnya mengadakan Konferensi meja Bundar.
Konferensi Meja Bundar (KMB)
Pada tanggal 23 Agustus 1949 - 2 Nopember 1949 kemudian diadakan
Konferensi Meja Bundar di Den Haag, yang diikuti oleh Belanda, Republik Indone-sia,
BFO (Bjeenkomst voor Vederal Overleg) yang diawasi oleh UNCI (United Nations
Commission for Indonesia). Selama berlangsungnya KMB oleh delegasi-delegasi RI dan
BFO telah membentuk Panitia Perancang konstitusi Republik Indonesia Serikat yang
bertugas untuk merancang naskah konstitusi Republik Indonesia Serikat. Hasilnya
dirumuskan dalam Piagam Persetujuan delegasi RI dan BFO tentang Konstitusi
Sementara Republik Indonesia Serikat14
.
Naskah tersebut kemudian disetujui oleh Pemerintah Belanda, Pemerintah RI,
BFO dan juga oleh KNIP dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat dari BFO, yang mulai
berlaku pada tanggal 27 Desember 1949.
2. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1949 - 195015
Republik Indonesia Serikat (Republik Indonesia Serikat) berdiri tanggal 27
Desember 1949 dan sesuai dengan perjanjian KMB maka: negara RI hanya merupakan
salah satu negara bagian Republik Indonesia Serikat, demikian pula halnya dengan
Undang-undang Dasar 1945 hanya berlaku untuk negara bagian RI, dan wilayahnya
14 Baca dalam Joeniarto, 1986, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Kedua,
Jakarta : Bina Aksara, hlm. 35-38. 15
Baca dalam I Made Sucipta, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid III,
Cetakan Pertama, Singaraja : Petada Pasi Grafika, hlm. 65-75.
9
sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Konstitusi Republik Indonesia Serikat adalah daerah
yang disebut dalam Persetujuan Renville 17 Januari 1948.
Menurut ketentuan Pasal 186 Konstitusi Republik Indonesia Serikat, konstitusi
ini masih bersifat "sementara", yang akan diganti dengan konstitusi yang bersifat tetap,
hasil pembentukan konstituante bersama-sama dengan pemerintah. Tetapi lembaga
tersebut belum dapat dibentuk, Konstitusi Republik Indonesia Serikat telah dirubah
dengan UU Federal No. 7 Tahun 1950 menurut ketentuan Pasal 190, Pasal 127 a dan
Pasal 192 ayat (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat 1 Konstitusi Republik Indonesia Serikat
maka: "Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat adalah negara hukum
yang demokratis dan berbentuk federasi". Berbeda dengan Undang-undang Dasar 1945
Pasal 1 ayat (1) bentuknya adalah "kesatuan" dengan bentuk pemerintahan "Republik".
Kekuasaan negara Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah
bersama-sama dengan DPR dan Senat (Pasal 1 ayat 2 Konstitusi Republik Indonesia
Serikat). Yang dimaksud dengan pemerintah adalah presiden dan seorang/beberapa
orang menteri, yakni menurut tanggung jawab khusus atau tanggung jawab umum
mereka (Pasal 68 ayat 1 dan 2 Konstitusi Republik Indonesia Serikat). Dengan demikian
maka pemerintah, DPR dan Senat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Sesuai
dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat,
presiden ialah Kepala Negara, ia tidak memimpin pemerintahan (eksekutif). Yang
memimpin pemerintahan adalah Perdana Menteri bersama-sama dengan Dewan Menteri.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, kedudukan presiden tidak dapat diganggu
gugat, menteri-menteri yang bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah,
baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya
(departemen) sendiri-sendiri (Pasal 118 Konstitusi Republik Indonesia Serikat), sehingga
kedudukan menteri-menteri di sini adalah tergantung kepada DPR.
Dengan ketentuan tersebut di atas maka jelas Konstitusi Republik Indonesia
Serikat menganut sistem pertanggungjawaban menteri atau lazim disebut dengan "sistem
10
parlementer", hal ini sesuai dengan Sistem Representative and Responsible
Government.16
Lembaga Perwakilan Rakyat menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat
menganut sistem bicameral yang terdiri dari Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Majelis
Tinggi dilakukan oleh senat dan Majelis Rendah oleh DPR. Keanggotaan Senat terdiri
dari wakil negara bagian (masing-masing 2 orang), sedangkan DPR mewakili seluruh
rakyat Indonesia (Pasal 99-111 Konstitusi Republik Indonesia Serikat).
Kekuasaan perundang-undangan federal menurut Pasal 127 Konstitusi
Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan
Senat. Pengesahan suatu perundang-undangan selain ditandatangani oleh presiden juga
ditandatangani oleh menteri yang harus bertanggung jawab terhadap materi UU tersebut
sebagai contrasign.
Bentuk negara federasi dan sistem parlementer yang dianut Konstitusi
Republik Indonesia Serikat tidak sesuai dengan jiwa proklamasi maupun kehendak
sebagian besar rakyat di beberapa daerah/negara bagian, hal ini terbukti dengan
terjadinya penggabungan beberapa daerah/negara bagian dengan negara RI.
Penggabungan tersebut memang dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 44
Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang menyatakan bahwa suatu negara bagian atau
daerah bagian dari Republik Indonesia Serikat, dapat menggabungkan diri dengan negara
bagian lainnya, yang harus dilakukan sesuai dengan UU Federal dan berdasarkan
kehendak rakyat. Untuk mengatasi hal tersebut kemudian diadakan persetujuan antara
pemerintah RI dengan Republik Indonesia Serikat untuk merubah bentuk Negara Federal
menjadi bentuk Negara Kesatuan.
3. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1950 - 195917
Dengan UU Federal No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Republik
Indonesia Serikat menjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat No. 56 Tahun 1950) maka Konstitusi
16 Baca dalam I Dewa Gede Atmadja I, op.cit., hlm. 68-74. 17 Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1950-1964, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 25-
75.
11
Republik Indonesia Serikat berubah menjadi Undang-undang Dasar Sementara. Secara
formil Undang-undang Dasar Sementara 1950 adalah merupakan perubahan dari
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, namun pada hakikatnya Undang-undang
Dasar Sementara 1950 adalah merupakan penggantian dari Konstitusi Republik
Indonesia Serikat. Istilah perubahan dipakai karena berdasarkan Pasal 190 dan 191
Konstitusi Republik Indonesia Serikat dinyatakan bahwa untuk merubah konstitusi
hanya dapat dirubah dengan UU Federal, sedangkan untuk mengganti harus dilakukan
oleh lembaga konstituante (Pasal 186 Konstitusi Republik Indonesia Serikat). UU
Federal No. 7 Tahun 1950 terdiri atas 2 pasal yaitu:
I. Berisi ketentuan perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat menjadi
Undang-undang Dasar Sementara dengan diikuti naskah Undang-undang
Dasar Sementara selengkapnya.
II. 1). Tentang Undang-undang Dasar Sementara berlaku Tanggal 17 Agustus
1950, serta 2). Aturan Peralihan bahwa alat-alat perlengkapan negara
sebelum pengundangan undang-undang ini tetap berlaku.
Dengan Undang-undang Dasar Sementara maka bentuk negara federal berubah
menjadi negara kesatuan (Pasal 1 Ayat (1)). Undang-undang Dasar Sementara sifatnya
adalah sementara, hal ini dapat dilihat dari Pasal 134 Undang-undang Dasar Sementara
yang menentukan bahwa: konstituante bersama-sama pemerintah selekasnya menetapkan
Undang-undang Dasar Republik Indonesia.
Sebagai realisasi Pasal 134 tersebut kemudian dilaksanakan pemilu untuk
memilih anggota DPR pada bulan September 1955 dan memilih anggota konstituante
pada bulan Desember 195518
. Konstituante yang diberi tugas untuk menetapkan Undang-
undang Dasar yang tetap, setelah bersidang selama kurang lebih 2,5 tahun tidak mampu
menyelesaikan tugasnya. Hal ini disebabkan karena konstituante tidak pernah mencapai
quorum, 2/3 dari jumlah anggota seperti yang ditentukan.
Karena keadaan tersebut kemudian pada tanggal 5 Juli 1959 presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden, yang isinya adalah: Pembubaran Konstituante, Undang-
undang Dasar 1945 berlaku kembali untuk seluruh wilayah RI dan tidak berlakunya
18
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; Op. Cit, hlm. 96.
12
Undang-undang DasarS dan pembentukan MPRS/DPRS dan DPAS dalam waktu
sesingkat-singkatnya. Dasar hukum keluarnya Dekrit Presiden ini tidak akan dijumpai
dalam peraturan perundang-undangan yang ada, tetapi keluar didasarkan pada
"'Staatsnoodrecht" (Hukum/Hak Darurat Negara), yaitu hukum yang memberi hak
kepada penguasa untuk mengambil tindakan atau keputusan yang penting demi kesatuan
bangsa dan keselamatan negara. Staatsnoodrecht ada yang bersifat obyektif dan
subyektif. Dikatakan obyektif, bila tindakan penguasa didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan yang subyektif bilamana
tindakan penguasa tidak didasarkan pada peraturan yang sudah ada tetapi didasarkan
pertimbangan subyektif dari penguasa sendiri. Dasar dari penguasa untuk melaksanakan
Hukum Darurat Negara yang ekstra konstitusional adalah pada asas Salus Populi
Suprema Lex (kepentingan rakyat merupakan hukum yang tertinggi).19
Dekrit Presiden
tersebut kemudian dikuatkan dengan TAP MPRS XX/MPRS/1966 tentang Memorandum
DPR GR mengenai Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan Republik Indonesia.
4) Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1959 - sekarang
Sejalan dengan perkembangan ketatanegaraan yang terjadi, maka periode
berlakunya Undang-undang Dasar 1945 pada masa ini akan dibagi menjadi tiga bagian
yaitu:
1). Masa antara 1959 -1966
Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku kembali atas dasar Dekrit Presiden 5
Juli 1959, adalah terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh (16 Bab, 37 Pasal, 4 Aturan
Peralihan dan 2 aturan Tambahan) serta Penjelasan. Sebagaimana halnya dengan
Undang-undang Dasar 1945 yang pertama kali berlaku tanggal 18 Agustus 1945, maka
Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku kembali dengan dekrit ini juga masih bersifat
"sementara", karena tidak ditetapkan oleh MPR sekalipun kemudian telah dibenarkan
oleh TAP MPRS XX/MPRS/ 1966 jo TAP MPR V/MPR/1973.20
Dekrit itu sendiri hanya
menetapkan bahwa Undang-undang Dasar '45 berlaku bagi seluruh Bangsa Indonesia.
19
Ni'matuI Huda III, Op. Cit, hlm. 52. 20
Abdullah Zaini, Op. Cit, hlm. 166
13
Jadi dengan demikian berlaku pulalah ketentuan pasal 3 dan ayat 2 Aturan Tambahan
Undang-undang Dasar'45, di mana berdasarkan kedua pasal tersebut maka Undang-
undang Dasar 1945 masih bersifat sementara.21
Dengan berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945 maka asas
ketatanegaraan dan sistem pemerintahan mengalami perubahan, yaitu dari asas
Demokrasi Liberal menjadi asas Demokrasi Terpimpin, dan dari sistem parlementer
menjadi sistem presidensiil. Tentang asas demokrasi terpimpin, presiden dalam sidang
konstituante tanggal 22 April 1959 menegaskan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah
demokrasi yang didasarkan atas "kerakyatan" yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan. Jadi, inti dari demokrasi terpimpin adalah
permusyawaratan tetapi suatu permusyawaratan yang "dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan", bukan oleh perdebatan dan penyiasatan yang diakhiri dengan pengadaan
kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra.22
Dengan sistem presidensiil yang dianut oleh Undang-undang Dasar 1945,
maka presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif (pemerintahan) tertinggi
(concentration of power and responsibility upon president), yang dalam melaksanakan
kekuasaannya dibantu oleh seorang wakil presiden dan menteri-menteri (Pasal 4 dan 17
Undang-undang Dasar 1945).
Dalam praktik ketatanegaraan yang terjadi sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959
hingga meletusnya G30 S PKI, Undang-undang Dasar 1945 belum dilaksanakan secara
murni dan konsekuen. Banyak penyimpangan (deviasi) yang terjadi baik dari segi
kelembagaan negara, sistem pemerintahan maupun dari segi hukum.
Dilihat dari segi kelembagaan negara, maka lembaga tertinggi atau tinggi
negara kedudukannya tidak neben atau tidak sejajar tetapi undergeordnet dengan
presiden. Hal ini terlihat dari didudukkannya ketua dan wakil ketua lembaga
tertinggi/tinggi negara sebagai pembantu presiden dengan jabatan menteri. Contohnya
adalah pengangkatan anggota DPR GR oleh presiden dengan Penetapan Presiden No. 4
21
JCT Simorangkir, 1983, Hukum dan Konstitusi, Inti Idayu Press, Jakarta, hlm. 8. 22
Abdullah Zaini, Op. Cit, hlm. 167.
14
Tahun 1960, di mana ketua dan wakil ketua Dewan masing-masing menjabat sebagai
Menteri Koordinator dan Menteri.
Dalam sistem pemerintahan kekuasaan presiden sangat besar, di mana di
samping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan juga adalah sebagai Pemimpin
Besar Revolusi yang memegang kekuasaan seumur hidup, sebagaimana diatur dalam
TAP MPRS III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia
Bung Karno menjadi presiden republik Indonesia seumur hidup. Hal ini jelas
bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Dasar 1945. Di bidang hukum banyak
hal yang seharusnya diatur/dibentuk dengan undang-undang tetapi dibentuk dengan
Penetapan Presiden; Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden.
Jadi secara konstitusional, maka seharusnya kekuasaan negara tidak terletak di
tangan "presiden" tetapi MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, namun dalam
praktik ketatanegaraan Undang-undang Dasar 1945 yang menjadi landasan
konstitusional dikesampingkan. Dalam kondisi seperti tersebut, kemudian muncul
pemberontakan G 30 S PKI, yang membawa korban beberapa jenderal, aparatur negara
dan masyarakat Indonesia23
.
Presiden/Kepala Negara/Pemimpin Besar Revolusi tidak mampu
mengendalikan stabilitas politik dan keamanan, sehingga kemudian meletuslah TRI
TURA (Tiga Tuntutan Rakyat) dari angkatan 1966 yang isinya:
1) Pelaksanaan kembali secara murni dan konsekuen Undang-undang Dasar 1945.
2) Pembubaran PKI dan
3) Penurunan harga barang.
2). Masa antara 1966 - 1999
Untuk mengatasi keamanan negara dan kesatuan bangsa pada saat itu,
kemudian oleh presiden Soekarno dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) Tahun 1966, yang memberi wewenang kepada Jenderal Soeharto,
23 Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1965-1974, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 25-
27.
15
Panglima Komando Staf Angkatan Darat untuk mengendalikan situasi. Supersemar
kemudian dikukuhkan dengan TAP MPRS IX/MPRS/1966. Kemudian pada tanggal 12
Maret 1967 dengan TAP MPRS XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan IR.
Soekarno, dan kemudian mengangkat pemegang Ketetapan MPRS IX/MPRS/1966
sebagai pejabat presiden. Soeharto diangkat sebagai pejabat presiden berdasarkan TAP
MPRS No.XLIX/MPRS/1968. 24
Untuk melakukan penertiban terhadap produk peraturan perundang-undangan
kemudian dikeluarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR
GR Mengenai Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, yang terdiri dari;
1. Undang-undang Dasar 1945,
2. Ketetapan MPRS/MPR,
3. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu),
4. Peraturan Pemerintah,
5. Keputusan Presiden dan
6. Peraturan pelaksana lainnya seperti:
a. Peraturan Menteri,
b. Instruksi Menteri,
c. dan lain-lainnya.
Dalam sejarah berlakunya Undang-undang Dasar 1945 kemudian pada
Tanggal 3 Juli 1971 diadakan Pemilihan Umum yang pertama, dan berhasil membentuk
MPR, DPR, dan DPRD yang difinitif sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 19 ayat (1),
dan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945. Kemudian pada Bulan Maret 1973 MPR
mengangkat Jenderal Soeharto sebagai presiden, dan untuk selanjutnya dalam 5 kali
pemilihan presiden, MPR terus menerus memilih Jenderal Soeharto sebagai calon
tunggal.25
Terakhir Soeharto dipilih dan diangkat sebagai presiden pada pemilu yang ke-
6 era orde baru yaitu pada bulan Maret 1998.
24 Abdullah Zaini, Op. Cit, hlm. 183 25
Harun Al Rasyid, 1998, Pengisian Jabatan Presiden, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm.
197.
16
Pada masa pemerintahan Soeharto, dikeluarkan UU yang mengatur mengenai
lembaga negara antara lain; UU No. 5 Tahun 1973 tentang BPK, UU No. 16 Tahun 1969
tentang Susunan dan Kedudukan MPR. DPR dan DPRD.
Dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan pada masa Soeharto berkuasa
terjadi pula deviasi baik di bidang politik maupun hukum. Antara lain dengan pelemahan
fungsi MPR, yang diawali dengan adanya konsensus nasional Tahun 1967 sebagai hasil
kesepakatan partai politik dan Golongan Karya, yang disahkan dengan Keputusan
pimpinan DPR-GR tanggal 16 Desember 1967 dengan adanya anggota MPR yang
diangkat di samping melalui pemilu. Isi Keputusan tersebut antara lain:
1) Adanya anggota MPR/DPR yang diangkat, di samping yang dipilih melalui pemilu,
2) Yang diangkat adalah perwakilan ABRI dan Non ABRI, untuk Non ABRI harus non
massa,
3) Jumlah anggota yang diangkat untuk MPR adalah 1/2 dari jumlah seluruh anggota
DPR.26
Konsensus tersebut merupakan titik awal pelemahan anggota MPR melalui
penentuan komposisinya.
Puncak restrukturisasi politik adalah keluarnya serangkaian UU politik yaitu
UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilu, UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai politik dan
Golkar, UU No. 8 Tahun 1985 tentang organisasi masyarakat. UU No. 1 Tahun 1985
dengan tegas mencantumkan harus adanya pengangkatan jumlah anggota MPR/ DPR.
Paket UU inilah menurut Ni’Matul Huda merupakan sumber masalah politik di tanah air,
yaitu berkaitan dengan masalah komposisi keanggotaan MPR, DPR dan DPRD.
Keanggotaan lembaga tersebut ada yang dipilih melalui pemilu dan ada yang diangkat
dengan kriteria yang tidak jelas. Anggota MPR yang diangkat27
(ABRI, Utusan Daerah
dan Golongan) jauh lebih banyak dibandingkan yang dipilih, sehingga pengangkatan
tersebut lebih banyak tergantung dari selera presiden. Hal tersebut menyebabkan posisi
26
Bondan Gunawan S, 2000, Indonesia Menggapai Demokrasi, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hlm. 33 27 Menurut UU No. 2 Tahun 1985 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD,
jumlah anggota MPR dua kali lipat jumlah anggota DPR, jumlah anggota DPR 500 orang (400 dipilih dan 100
diangkat). Sisanya yang 500 orang diangkat oleh Presiden dari unsur ABRI, Utusan Daerah dan Utusan
Golongan.
17
MPR sebagai lembaga tertinggi negara berada di bawah presiden/eksekutif, bukan
sebaliknya. MPR menjadi lembaga elastis yang lebih banyak menyuarakan kepentingan
penguasa.28
Penyimpangan lainnya adalah berkaitan dengan perubahan Undang-undang
Dasar 1945, di mana Undang-undang Dasar 1945 dianggap final dan merupakan karya
agung The Founding Fathers yang harus dilaksanakan Bangsa Indonesia. Undang-
undang Dasar tidak dapat dirubah, karena merubah Undang-undang Dasar negara akan
kacau dan merubah Undang-undang Dasar berarti membubarkan negara proklamasi 17
Agustus 1945. Keinginan untuk tidak merubah tampak dari ketentuan Pasal 115 TAP
MPR I/MPR/1978 tentang Peraturan Tata Tertib MPR/DPR yang menyatakan bahwa;"
majelis tidak akan merubah Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila dan tidak
berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakan
secara murni dan konsekwen". Peraturan tersebut sangat kontradiktif dengan semangat
Pasal 37 Undang-undang Dasar 1945 dan terlalu dipaksakan.29
Hal tersebut dipertegas
lagi dalam TAP MPR IV/MPR/1983 tentang Referendum, di mana untuk merubah
Undang-undang Dasar 1945 harus dilakukan referendum. Ketetapan ini dimaksudkan
agar Pasal 37 Undang-undang Dasar 1945 tidak mudah digunakan. Jadi, pada era
pemerintahan Soeharto Asas Kedaulatan Rakyat sebagaimana ditentukan dalam Undang-
undang Dasar 1945 tidak pernah dilaksanakan, yang dilaksanakan adalah kedaulatan
penguasa.30
Akibat pendekatan kekerasan yang dilakukan dan terpuruknya ekonomi
Indonesia sejak 1997, menimbulkan gelombang aksi mahasiswa yang menghendaki
mundurnya Soeharto sebagai presiden. Akibatnya pada Tanggal 21 Mei 1998 Soeharto
yang sudah memegang jabatan selama 7 periode mengundurkan diri sebagai presiden
dan digantikan oleh BJ. Habbie yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden.
3). Masa 1998 - sekarang
Pemerintahan pada masa Habibie disebut sebagai pemerintahan Transisional,
yang menurut Mulyoto Mulyosudarmo terdapat dua pemahaman tentang pemerintahan
28 Ni'Matul Huda III, op.cit, hlm. 163. 29
Ni’matul Huda III, op.cit., hlm. 146. 30
A. Ramlan Surbakti, 1998, Reformasi Kekuasaan Presiden, Gramedia, Jakarta, hlm. 84.
18
transisi. Pertama, pemerintahan transisi digunakan untuk merujuk "pemerintahan
sementara" yang masa jabatannya dibatasi sampai terbentuknya pemerintahan baru hasil
pemilu. Kedua, pemerintahan transisi merupakan pemerintahan yang otoriter dan
sentralistik menjadi pemerintahan yang desentralistik dan demokratis.31
Pada masa Habibie terjadi perubahan ketatanegaraan yang lebih demokratis,
yakni dengan keluarnya beberapa ketetapan yang penting, Undang-undang serta
dilakukannya amandemen I (pertama) terhadap Undang-undang Dasar 1945. Dalam
bidang politik dikeluarkan undang-undang yang menggantikan undang-undang
sebelumnya yaitu; UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999
tentang Pemilu dan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan kedudukan MPR, DPR dan
DPRD. Dengan keluarnya undang-undang tersebut maka terdapat sejumlah perubahan
yakni; Pertama, dari sistem politik kepartaian, di mana jumlah partai yang ikut pemilu
tidak lagi terbatas PDI. PPP dan Golkar tetapi multi partai, Kedua, diakhirinya peran
militer secara bertahap di MPR, ketiga, Asas tunggal partai tidak berlaku lagi. Masing-
masing partai bebas menentukan asas yang dipakai, keempat, pemilu dilaksanakan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Setelah terbentuknya MPR hasil pemilu 1999 kemudian dilakukan perubahan
pertama terhadap Undang-undang Dasar 1945 dalam sidangnya tanggal 14-21 Oktober
1999. Beberapa pasal yang diamandemen antara lain; Pasal 5 ayat 1, Pasal 7, 9, 13 ayat
2, 14, 15, 17 ayat 2 dan 3, 20 serta Pasal 2132
.
Perubahan terhadap Pasal 5 ayat 1 jo Pasal 20 adalah berkaitan dengan
kekuasaan pembentukan UU, bila sebelum amandemen kekuasaan membentuk UU ada
pada presiden maka kemudian beralih kepada DPR. RUU tersebut dibahas oleh presiden
bersama dengan DPR untuk mendapat persetujuan bersama, dan jika tidak mendapat
persetujuan bersama maka tidak boleh diajukan dalam persidangan masa itu (pasal 20
ayat 2 dan 3 amandemen I Undang-undang Dasar 1945). Yang mengesahkan RUU
tersebut adalah presiden (Pasal 20 ayat 4). Masalahnya kemudian adalah jika RUU
tersebut ternyata kemudian tidak disahkan oleh presiden maka bagaimana status RUU
31 Suwoto Mulyosudarmo, 3 Juli 1999, Dinamika Hukum Tata Negara di Era Pemerintahan
Transisi (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga), Surabaya (selanjutnya
disebut Suwoto Mulyosudarmo II). 32
Baca dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 11.
19
tersebut, apakah langsung menjadi UU atau batal?33
Bila dahulu sebelum amandemen
maka: RUU tersebut tidak boleh diajukan dalam persidangan DPR masa itu (Pasal 21
ayat 2), maka dengan amandemen ketentuan tersebut dihapus. Amandemen juga
dilakukan terhadap Pasal 7 yaitu berkaitan dengan pembatasan masa jabatan persiden,
yakni maksimal hanya untuk dua kali masa jabatan. Sedangkan dalam Pasal 9 yaitu
menyangkut sumpah presiden, ditambah satu ketentuan lagi yaitu bahwa jika MPR/DPR
tidak mengadakan sidang, maka: presiden dan atau wakil presiden bersumpah/berjanji di
hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan MA. Pasal 13 berkaitan
dengan pengangkatan/penerimaan duta bila dahulu sepenuhnya adalah merupakan hak
presiden selaku kepala negara, maka dengan amandemen presiden harus memperhatikan
pertimbangan DPR. Demikian pula dengan ketentuan Pasal 14 ayat 2 dalam hal
pemberian Amnesti dan Abolisi. Sedangkan dalam hal pemberian Grasi dan Rehabilitasi
harus memperhatikan pertimbangan MA.
Sidang Umum MPR bulan Oktober 1999 mengakhiri pula masa pemerintahan
BJ. Habibie yakni dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya di depan Sidang
Umum MPR dengan TAP MPR III/MPR/1999. Kemudian dalam Sidang Umum MPR
tanggal 20 dan 21 Oktober 1999 Bangsa Indonesia menorehkan sejarah penting bagi
perkembangan demokrasi, yakni dengan terpilihnya presiden dan wakil presiden yaitu
Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri melalui voting sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945. Pengangkatan tersebut
kemudian dikukuhkan dengan TAP MPR VII/MPR/1999 dan TAP MPR
VIII/MPR/1999. Dalam sidang tahunannya tanggal 7-18 Agustus 2000 MPR melakukan
amandemen ke-II terhadap Undang-undang Dasar 1945 yang meliputi perubahan dan
atau penambahan yaitu; Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, mencakup pasal 18, 18A,
18 B; Bab VII tentang DPR, mencakup pasal 19, 20 ayat 5, 20A, 22 A dan 22 B;: Bab IX
tentang Wilayah Negara, mencakup pasal 25 E; Bab X tentang Warga: Negara dan
Penduduk, mencakup pasal 26 ayat 2 dan 3, pasal 27 ayat 3; Bab XII tentang HAM,
33
Dalam Amandemen ke-II Undang-undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18
Agustus 2000, hal tersebut sudah diatur dengan dicantumkannya Pasal 20 ayat (5) yang menyebutkan bahwa,
Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam jangka waktu 30 hari
semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan. Baca dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 12.
20
mencakup pasal 28 A-J dan Bab XII tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta
Lagu Kebangsaan, mencakup pasal 36 A-C34
.
Beberapa hal penting berkaitan dengan amandemen tersebut di atas adalah
ketentuan pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah, di mana dengan tegas ditentukan
bahwa daerah Indonesia terbagi atas daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota serta
diakuinya dan dihormatinya satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan
istimewa.
Perubahan terhadap Pasal 19 Ayat (1), berkaitan dengan penyusunan anggota
DPR di mana dalam amandemen ditentukan bahwa "anggota DPR dipilih melalui
pemilu", jadi tidak lagi dikenal adanya mekanisme pengangkatan sebagaimana yang
terjadi sebelumnya.
Dalam amandemen ke-III Pasal 20 ditambah satu ayat lagi yaitu ayat (5), yang
menentukan bahwa bilamana RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh
presiden, maka dalam jangka waktu 3 bulan sejak RUU tersebut disetujui ,sah menjadi
UU.
Selama pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid tuntutan reformasi berjalan
lambat dan gejolak disintegrasi bangsa di berbagai daerah belum berhasil diatasi, terakhir
adalah terjadinya skandal Bulloggate dan Bruneigate,35
yang berakibat pada tanggal 1
Februari Tahun 2001 DPR mengeluarkan Memorandum I36
dan diikuti dengan
Memorandum II pada Tanggal 30 April 2001.37
Kewenangan DPR mengeluarkan
Memorandum tersebut didasarkan pada TAP MPR No.III/MPR/1978 tentang Kedudukan
dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-
34
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat II, op.cit., hlm. iv-v. 35
Skandal Bulloggate adalah tentang penggunaan uang Yayasan Dana Yanatera Bullog
sejumlah Rp. 35 Milyar, di mana Presiden diduga berperan dalam pencairan dana tersebut untuk diberikan
kepada Suwondo. Sedangkan Bruneigate adalah tentang pemberian bantuan dari pemerintah Brunei Darussalam
kepada pemerintah RI. 36
Memorandum I DPR dituangkan dalam Surat Keputusan DPR No 36 Tahun 2001, yang
berisi: a. Presiden diduga terlibat dalam kasus Bullogate dan Bruneigate, b. Melakukan kebohongan publik, c.
Inkonsistensi dalam memberikan pernyataan, d. Sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara, e. Melanggar
Pasal 9 Undang-undang Dasar 1945 tentang Sumpah Jabatan Presiden, dan f. Melanggar TAP MPR No.
XI/MPR/1998 (Bali Post Edisi 28 Maret 2001) 37Memorandum II DPR Dituangkan dalam Surat Keputusan DPR No. 47/IV/2001 yang berisi:
a. Presiden telah melanggar GBHN, b. Dalam waktu 3 bulan, presiden tidak memperhatikan Memorandum I,
dan c. Memberikan waktu 1 bulan kepada presiden menanggapi hal tersebut.
21
lembaga Tinggi Negara, di mana dalam Pasal 7 ayat (2) disebutkan: Apabila DPR
menganggap presiden melanggar Haluan Negara, maka DPR menyampaikan
memorandum untuk mengingatkan presiden. Kemudian dalam Pasal 7 ayat (3)
disebutkan: Apabila dalam waktu 3 bulan presiden tidak memperhatikan Memorandum
DPR tersebut pada ayat (2) maka DPR akan menyampaikan Memorandum kedua. Jika
dalam waktu 1 bulan, Memorandum II tidak diindahkan, DPR dapat meminta MPR
mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban presiden.
Konflik antara presiden dan DPR terus berlanjut, dan presiden pada Tanggal
22 Juli 2001 mengeluarkan Maklumat yang berisi38
:
1) Pembekuan MPR/DPR,
2) Mengembalikan kedaulatan rakyat dan melaksanakan pemilu dalam waktu satu
tahun,
3) Membekukan Partai Golkar.
Keluarnya Maklumat tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, dan
akhirnya atas permintaan MPR, MA mengeluarkan fatwa mengenai substansi maklumat
tersebut yaitu bahwa; Maklumat tersebut bertentangan dengan konstitusi (penjelasan),
demikian pula presiden tidak berwenang membubarkan Golkar karena yang berwenang
adalah MA sesuai dengan ketentuan dalam UU tentang Parpol. Dari segi kelembagaan
tindakan presiden juga tidak tepat, karena MPR adalah merupakan lembaga tertinggi
negara oleh karena itu tidak dapat dibubarkan oleh lembaga tinggi negara lainnya.
Akhirnya melalui Sidang Istimewa tanggal 22 Juli 2001 MPR mencabut
mandatnya dan mengangkat Megawati Soekarno Putri sebagai presiden RI ke-V dan
Hamzah Haz sebagai wakil Presiden. Kemudian pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun
2001, MPR mengeluarkan 12 Ketetapan dan melakukan amandemen ke III terhadap
Undang-undang Dasar 1945. Dalam amandemen ke III ini, beberapa pasal yang dirubah
atau ditambah adalah; Pasal 1 ayat (2 dan 3), 3 ayat (1, 3 dan 4), 6 ayat ( 1 dan 2), 6A
ayat ( 1, 2, 3 dan 5), 7A, 7B ayat (1, 2, 3, 5, 6 dan 7), 7C, 8 ayat (1 dan 2), 11 ayat (2 dan
3), 17 ayat (4), 22C ayat (1, 2, 3 dan 4), 22D ayat (1, 2, 3 dan 4), 22E ayat (1, 2, 3, 4, 5
38
Baca dalam Mahfud MD., 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama,
Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 115-135.
22
dan 6), 23 ayat ( 1, 2 dan 3), 23A, 23C , 23E ayat (1, 2 dan 3), 23F ayat (1 dan 2), 23G
ayat (1 dan 2), 24 ayat (1 dan 2), 24A ayat (1, 2, 3, 4 dan 5), 24B ayat (1, 2, 3 dan 4) dan
Pasal 24C ayat (1, 2, 3, 4, 5 dan 6)39
.
Perubahan yang penting dalam amandemen ke-III ini antara lain berkaitan
dengan Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa: "kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar" Jadi tidak lagi dilaksanakan oleh MPR.
Demikian pula dalam ayat 2-nya yang menegaskan bahwa "Indonesia adalah negara
hukum". Berdasarkan amandemen ke III ini maka perubahan yang mendasar terjadi pada
lembaga MPR, yang dahulu adalah merupakan lembaga tertinggi negara sekarang
kedudukannya sama dengan lembaga lainnya. Selain itu diatur pula beberapa lembaga
baru seperti DPD (Pasal 22 C dan D), Komisi Yudisial (Pasal 24 B), Mahkamah
Konstitusi (Pasal 24 C), dan sebagainya.
Kemudian pada Agustus 2002 dalam sidang tahunannya, MPR melakukan
amandemen yang ke IV terhadap Undang-undang Dasar 1945. Perubahan dan atau
penambahan meliputi Pasal 2 ayat (1), 6A ayat (4), 8 ayat (3), 11 ayat (1), 16, 23B , 23D,
24 ayat (3), BAB XIII, Pasal 31 ayat (1, 2, 3 dan 4), 37 ayat (1, 2, 3, 4 dan 5), Aturan
Peralihan Pasal 1, 11 dan III, Aturan Tambahan Pasal I dan II40
.
Dalam amandemen ke IV ini salah satu perubahannya adalah: mencakup
susunan lembaga MPR, di mana keanggotaannya terdiri atas anggota DPR dan DPD
yang dipilih melalui pemilu, serta dihapuskannya lembaga DPA. Dengan amandemen ini
juga ditegaskan bahwa Undang-undang Dasar 1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-
pasal (Aturan Tambahan Pasal II), sehingga penjelasan tidak termasuk lagi sebagai
bagian dari Undang-undang Dasar 1945.
Dengan diamandemennya Undang-undang Dasar 1945 tersebut, maka
kemudian dikeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksana dari
Undang-undang Dasar 1945, yaitu antara lain; UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum, UU No. 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik, UU No. 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, UU No. 23 Tahun 2003 tentang
39
Baca Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 13. 40
Baca dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 14.
23
pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan sebagainya.
Dalam Pemilu Legislatif Tahun 2004 yang dilaksanakan pada Tanggal 5 April
2004 telah berhasil memilih anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD. Hasil Pemilu Tahun
2004 ini, menghasilkan 10 partai yang mendapat suara terbanyak dari 24 partai politik
yang ikut pemilu. Partai tersebut antara lain: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) memperoleh suara (18,53%), Partai Golkar (21,58%), Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) memperoleh (10,57 %), PPP (8,15%), Partai Demokrat (7,45%), PAN (6,44%),
PBB (2,62%), PER (2,44%) dan PDS (2,13%).41
Dengan perolehan suara tersebut maka itu berarti bahwa pada pemilu Tahun
2009 silam, partai yang berhak ikut pemilu adalah 7 partai yang memperoleh suara
terbanyak.42
Pemilu 2004 ini menunjukkan terjadinya perubahan dominasi dan
pemerataan kekuatan, misalnya PDIP dan Golkar hanya menguasai 20% dan 23% kursi.
Hal tersebut disebabkan karena:43
1) Pertambahan kursi di DPR, dari 500 pada pemilu Tahun 1999 menjadi 550 kursi,
sehingga ada 50 kursi tambahan yang diperebutkan.
2) Dikosongkannya kursi ABRI di DPR, hal ini berarti ada 38 kursi yang diperebutkan
dalam pemilu 2004.
3) Merosotnya perolehan suara PDIP dalam Pemilu 2004 di mana kehilangan 44 kursi
di DPR, hal ini berarti bahwa ada 132 kursi yang akan diperebutkan.
Berdasarkan hasil Pemilu Legislatif Tahun 2004 tersebut, maka pada Tanggal
5 Juli Tahun 2004 kemudian dilakukan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung oleh rakyat dan ini merupakan hal yang baru bagi Bangsa Indone-sia karena
41
I Made Leo Wiratma, Perkembangan Politik Triwulan Kedua (April-Juni) 2004; Dari
Pemilu Legislatif menuju Pemilu Presiden, Analisis CSIS Mencermati Hasil Pemilu 2004, Vol 33, No. 2 Juni
2004 42
Dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu disebutkan bahwa untuk
dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus a. memperoleh sekurang-kurangnya 3%
jumlah kursi DPR, b. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar
sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah Provinsi seluruh Indonesia, c. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah
kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2 jumlah Kabupaten/ Kota seluruh Indonesia. 43
Anies Rasyid Baswedan, Sirkulasi Suara dalam Pemilu 2004, Analisis CSIS, Ibid, hlm. 175
24
sebelumnya pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh MPR.44
Dalam
Pemilu Tahun 2004 ini, Calon Presiden (capres) dan Calon wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik/gabungan partai politik pemenang pemilu (Pasal 6A ayat (2) Undang-
undang Dasar 1945) jo Pasal 25 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden. Kemudian berdasarkan ketentuan Peralihan Pasal 101 UU No. 23 Tahun
2003, maka untuk pemilu Tahun 2004 partai politik/gabungan partai politik yang berhak
mengajukan capres dan cawapres adalah yang memenuhi persyaratan perolehan suara
pada pemilu anggota DPR sekurang-kurangnya 3% dari jumlah kursi DPR atau 5% dari
perolehan suara sah secara nasional hasil pemilu anggota DPR Tahun 2004.
Atas dasar ketentuan tersebut maka pada awalnya terdapat 6 pasangan capres
dan cawapres yaitu: (a). Wiranto dan Salahudin Wahid dari Golkar, (b) Megawati dan
Hasyim Muzadi dari PDIP, (c) Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo dari PAN, (d)
Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla dari Partai Demokrat, (e) Hamzah Haz dan
Agum Gumelar dari PPP dan (f) Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Marwah Daud
Ibrahim dari PKB. Namun pasangan Gus Dur dan Marwah Daud Ibrahim dinyatakan
gugur oleh KPU karena tidak memenuhi persyaratan.
Gugurnya pasangan ini akibat terganjal ketentuan Pasal 6 huruf d UU No. 23
Tahun 2003 yang menyatakan: "mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan
tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden",45
Dan SK KPU No. 31 Tahun
2004 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Kemampuan Rohani dan Jasmani Calon
Presiden dan Wakil Presiden yang dalam salah satu klausulnya menyebutkan bahwa
:"Capres atau cawapres memenuhi syarat apabila tidak ditemukan disabilitas dalam
kesehatan jasmani, termasuk di dalamnya perihal penglihatan".46
Pada pemilu putaran pertama yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004
tersebut, ternyata dari 5 pasangan capres dan cawapres tidak ada pasangan yang
memenuhi syarat peroleh suara untuk dapat dilantik sebagai presiden dan wakil
44 Pasal 6A ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 amandemen ke-3 menyatakan bahwa,
Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. 45
Made Leo Wiratma, Op. Cit, hlm. 150. 46 Akibat SK KPU tersebut PKB kemudian minta fatwa ke MK, namun ditolak karena MK
tidak berwenang mengeluarkan fatwa atas SK KPU, selain itu pula judicial review terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah UU adalah merupakan kewenangan MA. MA pun kemudian menolak uji materiil
yang diajukan oleh Gus Dur bersama PKB (baca lebih jauh Made Leo Wiratma, analisis CSIS, Ibid, hlm. 151).
25
presiden.47
Karena itu kemudian atas dasar Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945
jo Pasal 66 UU No. 23 Tahun 2003, maka 2 pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua yang akan maju pada pemilu putaran kedua. Hasil pemilu
putaran pertama ini membawa pasangan Megawati Soekarno Putri dan Kiai Hasyim
Muzadi serta pasangan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf kalla maju pada pemilu
putaran kedua.
Pemilu putaran kedua yang dilaksanakan pada Tanggal 5 Oktober 2004,
memenangkan Susilo Bambang yudoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden wakil
presiden RI periode Tahun 2004-2009. Hal tersebut berdasarkan Keputusan KPU No.
28/MK/KPU/2004 tentang Penetapan hasil rekapitulasi pemilu. KPU memutuskan dan
menetapkan bahwa pasangan Megawati-Hasyim Muzadi memperoleh suara sebanyak
44.990.704, sedangkan Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kalla memperoleh suara
sebanyak 69.266.350.48
Pelantikan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla sebagai
presiden dan wakil presiden dilakukan dalam Rapat Paripurna MPR pada Tanggal 20
Oktober 2004.
Kemudian, terjadinya pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2009, dimana
dengan dasar hukum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Nomor 200849
,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 200750
, Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 200951
serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42
Tahun 200852
, dilaksanakan Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 dengan 5 Partai
47
Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menentukan bahwa pasangan capres dan
cawapres yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara
di setiap Provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah Provinsi di Indonesia, dilantik menjadi; presiden
dan wakil presiden. 48
Bali Post, Tanggal 21 Oktober 2004, hlm. 1. 49
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik,
diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801. 50
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721. 51 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5043. 52
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November 2008, diumumkan ke dalam
26
Besar di Indonesia dengan kemenangan dari Partai Demokrat (20,81%), Partai Golkar
(14,45%), PDI-P (14,01%), PKS (7,89%), PAN (6,03%)53
serta Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden Tahun 2009 dengan kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dan
Boediono mengalahkan rivalnya yakni Megawati Soekarno Putri dan Prabowo Subianto,
serta Jusuf Kalla dan H. Wiranto54
.
Dan terakhir, pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2014 lalu, dimana dengan
dasar hukum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Nomor 2008 juncto Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 201155
, Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 201156
, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 201457
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
201458
serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 200859
, dilaksanakan
Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 dengan Hasil rekapitulasi resmi KPU
menunjukkan perolehan suara setiap partai sebagai berikut: Partai Nasdem 6,72 persen,
PKB 9,04 persen, PKS 6,79 persen, PDI-P 18,95 persen, Golkar 14,75 persen, Gerindra
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924. 53
Baca dalam Leo Agustino,”Pemilihan Umum di Indonesia, 2014“ dalam PRepublik
Indonesia Serikatma Vol. 33, No. 1, 2014, hlm. 116. 54
Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff, “Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih:
Analisis Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia”, dalam Poelitik 5 (10), 2009, hlm. 575, 577-579. 55
Baca dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Partai Politik, diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801
dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, diundangkan pada 15 Januari 2011, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5189. 56 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, diundangkan pada 16 Oktober 2011, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5246. 57 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5568. 58
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, diundangkan pada 15 Desember 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 383 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5650. 59 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November 2008, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924.
27
11,81 persen, Partai Demokrat 10,19 persen, PAN 7,57 persen, PPP 6,53 persen, Hanura
5,26 persen, PBB 1,46 persen, dan PKPI 0,91 persen60
, serta Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden Tahun 2014 dengan kemenangan Ir. H. Joko Widodo dengan H.M. Jusuf
Kalla mengalahkan Prabowo Subianto dengan M. Hatta Radjasa berdasarkan hasil
penghitungan suara di Komisi Pemilihan Umum sendiri melakukan penghitungan suara
secara berjenjang mulai dari tingkat TPS hingga nasional. Di tingkat nasional, KPU
melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara (real count) dan hasil
pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2014 sejak 20 Juli sampai 22 Juli
2014. Sekitar pukul 20.00 WIB, KPU mengumumkan hasil finalnya. Dimana Ketua KPU
Husni Kamil Manik membacakan Keputusan KPU Nomor 535/KPP4/KPU/201461
tentang penetapan hasil perolehan suara dan hasil Pemilihan Presiden 2014, dimana
pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla memenangi kontestasi pemilihan umum Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019.
E. Kesimpulan
Telah diuraikan berkaitan dengan sumber hukum dalam Hukum Tata Negara
baik segi materiil di Indonesia dengan adanya Proklamasi 17 Agustus 1945, Supersemar,
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, serta segi formil di Indonesia baik berupa Undang-undang
Dasar Tahun 1945, Undang-undang, Konvensi Ketatanegaraan, Hukum Adat
Ketatanegaraan, Doktrin Ketatanegaraan, maupun perihal lainnya, yang dalam konteks
ini tidak dapat dipisahkan dengan konsep asas-asas Hukum Tata Negara yang terdiri atas
Negara Hukum, Asas Musyawarah Mufakat, Asas Kekeluargaan, maupun Prinsip
Checks and Balances di dalam ketatanegaraan Indonesia pasca Amandemen Undang-
undang Dasar Tahun 1945.
60 Baca dalam Leo Agustino, op.cit., hlm. 114-115. 61
Keputusan KPU Nomor 535/KPP4/KPU/2014 yakni pada butir ketiga surat
keputusan itu dirumuskan kalimat-kalimat, “Menetapkan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden Tahun 2014 sebagai berikut: a) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
Nomor Urut 1 Sdr. H. PRABOWO SUBIANTO dan Sdr. Ir. H.M. HATTA RAJASA sebanyak
62.576.444 (Enam Puluh Dua Juta Lima Ratus Tujuh Puluh Enam Ribu Empat Ratus Empat Puluh
Empat) suara atau sebanyak 46,85% dari suara sah nasional; b) Pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden Nomor Urut 2 Sdr. Ir. H. JOKO WIDODO dan Sdr. Drs. H.M. JUSUF KALLA
sebanyak 70.997.833 (Tujuh Puluh Juta Sembilan Ratus Sembilan Puluh Tujuh Ribu Delapan Ratus
Tiga Puluh Tiga) suara atau sebanyak 53,15% dari suara sah nasional.”. Baca dalam Leo
Agustino, op.cit., hlm. 125.
28
29
DAFTAR BACAAN
Buku
Al Rasyid, Harun; 1998. Pengisian Jabatan Presiden, Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta.
Dekker, Nyoman; 1993. HTN Republik Indonesia, IKIP Malang
Ekatjahjana, Widodo dan Totok Sudaryanto; 2001. Sumber HTN Formal, di
Indonesia, Bandung: Citra Aditya.
Gunawan S, Bondan; 2000. Indonesia Menggapai Demokrasi, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
Joeniarto, tt. Selayang Pandang Sumber-sumber HTN Indonesia, Yogyakarta:
Liberty.
Juniarto; 1983. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta Bina Aksara.
Kusnardi. Moh. dan Bintan R. Saragih; 1980, Susunan Pembagian Kekuasaan
menurut Sistem Undang-undang Dasar 1945, Jakarta: Djaya Pirusa.
M. Mangunsong, Parlin; 1992. Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Sarana
Perubahan Undang-undang Dasar, Bandung: Alumni
Manan, Bagir dan Kuntanan Magnar; 1987. Peranan peraturan Perundang-
undangan dalam pembinaan Hukum Nasional, Armico,
Manan, Bagir; 1987. Konvensi Ketatanegaraan, Bandung: Armico.
Maria Farida Indrati Soeprapto; 1998, llmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar
dan Pembentukannya, Jakarta : Kanisius.
Mulyosudarmo, Suwoto. Peralihan Kekuasaan Kajian RetoRepublik Indonesia
Serikat Yuridis terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta
Mulyosudarmo, Suwoto; 3 Juli 1999. Dinamika Hukum Tata Negara di Era
Pemerintahan Transisi (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Air
Langga), Surabaya.
Notosusanto, Nugroho; 1981. Naskah Proklamasi yang Autentik, Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Pide, Andi Mustari; 1999. Pengantar HTN, Jakarta: Gaya Media Pratama,
Projodikoro, Wiryono; 1989. Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta:
Dian Rakyat.
30
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, Republik Indonesia Serikatalah
Sidang BPUPKI-PPKI, tanggal 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, Jakarta : Sekretariat Negara
Republik Indonesia.
Simorangkir, JCT; 1983. Hukum dan Konstitusi, Inti Idayu Press, Jakarta.
Suny, Ismail, 1978, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara
Baru.
Suny, Ismail; 1983. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru.
Suny, Ismail; 1992. Sistem Pemilu Yang Menjamin Hak-Hak Demokrasi Warga
Negara.
Surbakti, A., Ramlan; 1998. Reformasi Kekuasaan Presiden, Gramedia, Jakarta.
Tambunan. A.S.S.; 2002, Politik Hukum Berdasarkan Undang-undang
Dasar 1945, PopuRepublik Indonesia Serikat Publishers .
Zaini, Abdullah; 1991. Pengantar Hukum Tata Negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Jurnal Penelitian, Makalah, Laporan dan Artikel Ilmiah Terkait
Bali Post, Tanggal 21 Oktober 2004.
Leo Wiratma, I Made, Perkembangan Politik Triwulan Kedua (April-Juni 2004;
Dari Pemilu Legislatif menuju Pemilu Presiden, Analisis CSIS Mencermati Hasil Pemilu
2004, Vol 33, No. 2 Juni 2004.
Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff, “Pemilihan Umum dan Perilaku
Pemilih: Analisis Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia”, dalam Poelitik 5 (10), 2009.
Leo Agustino,”Pemilihan Umum di Indonesia, 2014“ dalam Prisma Vol. 33, No. 1,
2014.
31
32
BAB II
LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA
A. Pengertian Sistem Pemerintahan dan Lembaga Negara
Sebagaimana telah diuraikan dalam kajian mata kuliah Ilmu Negara62
terkait
dengan pokok bahasan bentuk Negara, bentuk pemerintahan serta sistem pemerintahan
di dunia, serta berdasarkan penelusuran bahan hukum dibidang Hukum Tata Negara
yang berkaitan dengan sistem pemerintahan dan lembaga negara, maka dapat ditemukan
konsep dan pengertian mendasar dari sistem pemerintahan dan lembaga-lembaga negara.
Pertama, didalam bahan hukum primer yakni pada bagian Penjelasan Undang-
Undang Dasar Tahun 194563
, yakni penjelasan dari Undang-undang Dasar Indonesia
sebelum perubahan, ditegaskan berkaitan dengan tujuh kunci pokok sistem
pemerintahan Negara atau yang dalam nomeklaturnya disebut sebagai “Sistem
pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar...”64
sebagai
rujukan mendasar membahas dimensi sistem pemerintahan di Indonesia pada masa
sebelum amandemen Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang meliputi hal-hal berikut
ini.65
1) Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2) Sistem Konstitusional, artinya pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi
(hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
62 Baca dalam Abu Dauh Busroh, 2010, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ketujuh,
Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 125-135. 63
Berkaitan dengan pembahasan pada bab ini, dapat dikaitkan dengan tujuh kunci
pokok sistem pemerintahan Nasional di Indonesia sebagaimana telah dirumuskan oleh Soepomo dan
beberapa tokoh nasional lainnya yang merumuskan Penjelasan Undang-undang Dasar Tahun 1945,
dimana mulanya sebagai bagian terpisah dari Naskah Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang
disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945. Lihat
dalam Sekretariat Negara, 1995, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI Tahun 1945, Jakarta :
Sekretariat Negara Republik Indonesia, h. 126-145. 64 Lihat dan baca dalam Bagian Penjelasan Undang-undang Dasar Tahun 1945 dalam
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia,
Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia, h.
39. Untuk selanjutnya disebut sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat I. 65 Undang-undang Dasar ‘45 Amandemen ke-4 Tahun 2002; 2002, Semarang : Penerbit Aneka
Ilmu, hlm. 38-39. Baca juga Chairul Anwar, 1999, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta : Penerbit CV.
Novindo Pustaka Mandiri, hlm. 104-105.
33
3) Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die
gezamte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis), sebagaimana dirumuskan pada
Penjelasan Undang-undang Dasar, disebutkan maknanya ialah66
kedaulatan rakyat
dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des
Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan
garis-garis besar haluan negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden)
dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang
kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan
negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden
yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia
ialah “mandataris” dari Majelis. Ia berwajib menjalankan putusan-putusan
Majelis. Presiden tidak “neben” (sejajar, tambahan dari penulis), akan tetapi
“untergeordnet” (pada hierarkis, tambahan dari penulis) kepada Majelis. Perlu
dicatat, bahwa terhadap sistem kekuasaan negara tertinggi berada di tangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 pada Pasal 1 Ayat (2) ditentukan bahwa,"Kedaulatan adalah di
tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat”67
, namun kemudian pasca Amandemen, bunyi dari Pasal 1 Ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjadi,"Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”.68
4) Presiden ialah penyelenggara Pemerintahan negara yang tertinggi di bawah
Majelis, bahwa di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah
penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dan di dalam menjalankan
pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden
(concentration of power and responsibility upon the President)69
.
5) Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat artinya
bahwa disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat (yang
mengindikasikasikan kedudukan yang sederajat antara Presiden dengan Dewan
66 Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 40-41. 67 Undang-undang Dasar’45 Amandemen Ke-4 Tahun 2002, op.cit., hlm. 2. 68
Ibid. 69
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 41.
34
Perwakilan Rakyat). Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat untuk membentuk undang-undang (Gesetzgebung) dan untuk menetapkan
anggaran pendapatan dan belanja negara (Staatsbegrooting). Oleh karena itu,
Presiden harus bekerja bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, akan
tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat,
artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari pada Dewan Perwakilan
Rakyat70
.
6) Menteri negara ialah pembantu Presiden, Menteri negara tidak bertangung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat artinya bahwa Presiden mengangkat dan
memperhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidak
bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak
tergantung dari pada Dewan akan tetapi tergantung dari pada Presiden. Mereka
ialah pembantu Presiden71
.
7) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas bermakna meskipun Kepala Negara
tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Kepala Negara bukan
“diktator”, artinya kekuasaan tidak tak terbatas72
.
Kedua, dalam bahan hukum sekunder Mohammad Mahfud MD73
, memaparkan
bahwa sistem Pemerintahan landasannya adalah pembagian kekuasaan negara, di
samping itu, materi Konstitusi tentang wewenang dan bekerjanya lembaga-lembaga
negara juga disebut sebagai sistem pemerintahan negara. Dipandang dari sudut penataan
kekuasaan negara selanjutnya ditegaskan bahwa sejarah pembagian kekuasaan negara
adalah bermula dari pemisahan kekuasaan.
Mohammad Mahfud MD menjelaskan bahwa wacana mengenai pemisahan
kekuasaan dan pembagian kekuasaan telah berkembang sejak dahulu. Di tahun 1690-an,
John Locke menulis ajaran mengenai pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam
bukunya "Two Treaties on Civil Government"74
. Menurut John Locke, kekuasaan Negara
meliputi 3 (tiga) kekuasaan yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan
70
Ibid. 71
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 41-42. 72 Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 42-43. 73 Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta :
Rineka Cipta, h. 65-67. 74
Baca dalam Abu Daud Busroh, op.cit., h. 45-55.
35
kekuasaan federatif yang masing-masing terpisah satu sama lain. Kekuasaan legislatif
ialah membuat Undang-undang, kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan
Undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan pengadilan,75
oleh karenanya,
dalam konteks ini, John Locke memandang mengadili itu sebagai "Uitvoering" yakni
pelaksanaan Undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang
berhubungan dengan keamanan negara dalam kaitan hubungan luar negeri.76
Setengah abad kemudian, Montesquieu menulis sebuah buku yang berjudul "L’
Esprit Des Lois". Dalam Bab keenam pada buku karangan Montesquieu tersebut,
diuraikan tentang tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain, baik dari segi fungsinya
maupun dari segi organnya. Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan harus
dipisahkan dari kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif termasuk dalam kekuasaan
eksekutif.77
Kemudian dalam rangka menelusuri dan menjelaskan penataan kekuasaan
negara di Indonesia, maka kedua teori tersebut di atas dapat dipakai untuk
mengklarifikasi apakah di Indonesia dianut teori pemisahan kekuasaan ataukah teori
pembagian kekuasaan. Mohammad Mahfud MD mengemukakan bahwa ditinjau dari
segi cara bekerja dan berhubungan, ketiga kekuasaan negara tersebut dapat disebut
sebagai sistem pemerintahan negara. Dengan demikian yang dimaksud sistem
pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga
negara.78
Philipus Mandiri Hadjon79
berpendapat bahwa sistem Pemerintahan Indonesia
sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan sistem yang "unik".
Dikatakan "unik" dikarenakan sistem yang dianut Indonesia tidak ada duanya di dunia,
meskipun tidak diingkari bahwa dalam beberapa hal terdapat kesamaan dan
kemiripannya dengan sistem dan praktik ketatanegaraan di negara lain.
75
Hans Kelsen, 1945, General Theory of Law and State, New York: Russel & Russel, hlm.
225. 76
Miriam Budiardjo, 1981, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, hlm. 152. 77
Ismail Suny, 1983, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta : Bina Cipta, hlm. 6. 78 Moh. Mahfud MD, op.cit., hlm. 74. 79 Philipus M. Hadjon, 1987, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan, Surabaya: Penerbit PT. Bina
Ilmu, hlm. ix.
36
Adapun setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 194580
ditegaskan
bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem Presidensial. Penegasan yang
dimaksud telah meng”amin”kan apa yang telah disepakati sebagai lima kesepakatan
dasar dalam amandemen atas Undang-undang Dasar Tahun 1945 tersebut81
. Penegasan
tersebut menyatakan bahwa Presiden dipilih langsung oleh rakyat, masa jabatan Presiden
yang pasti dan Presiden tidak dapat dijatuhkan di tengah-tengah masa jabatannya82
.
Perlu dicatat demi mendapatkan pemahaman yang utuh dan menyeluruh,
sehingga patut digunakan penelusuran mengenai sejarah perumusan dan pembahasan
Undang-Undang Dasar oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia83
, proses
perdebatan pada Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia84
dalam melakukan perubahan terhadap batang tubuh dan penjelasan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945, dan bilamana dinilai perlu, dapat digunakan pendekatan
perbandingan Hukum Tata Negara untuk mendapat hasil yang lebih tajam dan
maksimal85
.
80
Terjadi empat kali amandemen terhadap Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang
kemudian dituangkan ke dalam Lembaran Negara, masing-masing yakni Amandemen Pertama
dituangkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 11, Amandemen
Kedua dituangkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 12,
Amandemen Ketiga dituangkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
13, serta Amandemen Keempat dituangkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 14. Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, op.cit., h. i-vii. 81
Baca Majelis Permusyawaratan Rakyat, op.cit., h. v-vii. 82
Lihat Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945, mengenai Presiden dipilih
langsung oleh rakyat dalam rumusan Pasal 6A Ayat (1), masa jabatan Presiden yang pasti melalui rumusan
Pasal 7 serta dasar dan mekanisme pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden melalui rumusan Pasal 7 A yang
berbunyi,”Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden” serta Pasal 7 B Ayat (1) yang berbunyi,”Usul Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan
terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan
memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa Pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Baca lebih lanjut dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 13 dan Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 116-118. 83
Lihat lebih lanjut dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, op.cit., h. iii-vi. 84
Baca dalam Jimly Asshidiqie, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi
Revisi, Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 275-279. Untuk selanjutnya disebut sebagai Jimly
Asshidiqie I. 85
I Dewa Gede Atmadja, 2006, Hukum Konstitusi : Hukum Konstitusi, Perubahan Konstitusi
Sudut Pandang Perbandingan, Denpasar : Bali Aga, hlm. 1-3.
37
Ditinjau dari sejarah ketatanegaraan sebelum perubahan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 tidak terdapat ketentuan yang menentukan penggunaan nomeklatur
lembaga negara. Istilah lembaga negara tersebut mulai dikenal sejak ditetapkannya
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/Majelis
Permusyawaratan Rakyat/1978 dengan menggunakan istilah Lembaga Tertinggi Negara
untuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Lembaga Tinggi Negara untuk penyebutan
Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan Wakil Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan,
Dewan Pertimbangan Agung dan Mahkamah Agung.86
Sedangkan dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat menggunakan istilah "alat-alat perlengkapan Federal" dan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menggunakan istilah "alat-alat perlengkapan
Negara". Dalam kedua konstitusi tersebut87
, disebutkan secara rinci siapa saja alat-alat
perlengkapan Negara yang dimaksud.
Dipandang dari tujuan pembentukannya, lembaga negara adalah merupakan
perwujudan dari kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar. Kemudian dibentuklah dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945
lembaga-lembaga negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa
Keuangan dan lembaga negara yang lainnya. Dan kepada lembaga-lembaga negara
tersebut88
, diberikan fungsi, kedudukan dan wewenang pemerintahan yang meliputi
berbagai segi.
Lembaga negara sebelum dan setelah Undang-Undang Dasar Tahun 1945
mengalami pengamandemenan, terdapat perbedaaan, yakni ada beberapa yang dihapus
dan ada pula pembentukan beberapa lembaga negara baru.
86
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/Majelis
Permusyawaratan Rakyat/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata kerja Lembaga Tertinggi Negara
dengan /atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, merupakan salah Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang masuk ke dalam katagori Ketetapan yang dicabut melalui Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 2003. Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011,
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/Majelis Permusyawaratan Rakyat/2003, Cetakan
Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, hlm. 15-17. Untuk selanjutnya
disebut sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat II. 87
Lihat dalam Bab III Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Pasal 44 Undang-
Undang Dasar Sementara 1950. Baca dalam Joeniarto, 1986, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta : Bina
Aksara, hlm. 45-57. 88 Ide pemikirannya diambil dari H. Abubakar Busro dan Abu Daud Busroh, 1984, Hukum
Tata Negara, Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm. 36 dan paparannya disesuaikan dengan perubahan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945.
38
Adapun sebelum Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diamandemen89
,
dipandang dari kedudukannya, terdapat lembaga tertinggi negara yakni Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan lembaga tinggi negara yakni meliputi Dewan Perwakilan
Rakyat, Presiden, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Dewan
Pertimbangan Agung.
Pasca Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diamandemen, Majelis
Permusyawaratan Rakyat berubah kedudukannya sebagai lembaga negara, sedangkan
mengenai Dewan Pertimbangan Agung dihapuskan90
, secara khusus melalui perubahan
keempat Undang-Undang Dasar Tahun 1945, adapun ketentuan Pasal 16 sebelum
amandemen mengalami perubahan menjadi rumusan perbandingan sebagai berikut.
BAB IV
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG91
Pasal 16
1) Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan undang-undang.
2) Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak
memajukan usul kepada pemerintah.
BAB IV
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG ****) (Dihapuskan)92
Pasal 16
Presiden membentuk suatu Dewan Pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat
dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang93
.
89
Baca dalam Joeniarto, op.cit., h. 47-50. 90
Periksa Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, mengenai penghapusan Dewan
Pertimbangan Agung, pembentukan Dewan Pertimbangan Daerah dan Mahkamah Konstitusi, serta kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga negara dan tidak lagi sebagai lembaga negara tertinggi. Baca
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 12, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 13 dan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 14. 91 Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 14. 92
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 132. 93
Pasal 16 Ayat (2) tersebut telah dituangkan ke dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden, diundangkan pada tanggal 28 Desember 2006,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 108 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4670, lihat dan bandingkan dengan rumusan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
Angka (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006 tersebut.
39
Di samping itu, dalam perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga
terdapat pembentukan lembaga negara baru yakni Dewan Perwakilan Daerah
sebagaimana dirumuskan dalam Bab VII A tentang Dewan Perwakilan Daerah pada
Pasal 22C dan 22D Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
BAB VIIA***)94
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22C
1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan
umum. ***)
2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan
jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga
jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. ***)
4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-
undang. ***)
Pasal 22 D95
1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. ***)
2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas
rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
***)
3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti. ***)
94
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 140-141. 95
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 141-142.
40
4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang
syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang. ***)
Dalam perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pula terdapat
penambahan pada Kekuasaan Kehakiman Nasional yaitu dengan munculnya Mahkamah
Konstitusi sebagaimana dirumuskan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 24
Ayat (2) dan Pasal 24C Ayat (1) sampai (6) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
BAB IX
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 2496
2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi".
Pasal 24C97
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. ***)
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar. ***)
3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang
oleh Presiden. ***)
4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi. ***)
5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara. ***)
6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. ***)
96
Lihat Undang-undang Dasar '45 Amandemen ke-4 Tahun 2002, op.cit., hlm. 20. 97
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 148-150.
41
Masalah pokok yang dibahas dalam bab ini yakni mengenai lembaga-lembaga
negara menurut Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 194598
. Penataan kekuasaan
Negara di Indonesia baik sebelum maupun pasca Perubahan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 "sarat akan diskusi dan pembahasan" dan “menjadi wacana baru”.
Disebut "sarat akan diskusi dan pembahasan", dikarenakan dipandang dari
pembagian kekuasaan negara beserta lembaga-lembaga negaranya sebelum maupun
sesudah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diamandemen, tidaklah mengikuti ajaran
pemisahan kekuasaan dari Montesquieu99
yang lazim dikenal melalui ajaran "Trias
politica", tidak pula mengikuti pola dan praktik Amerika Serikat, dan tidak pula
mengikuti pola dan praktik negara-negara Eropa khususnya Belanda yang pernah
menjajah Indonesia100
. Terlebih lagi, penataan lembaga-lembaga Negara setelah
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, menjadi wacana baru yang kemudian
menjadi hal substansial dalam kajian ketatanegaraan.
Dikatakan “menjadi wacana baru” akibat dari adanya lembaga negara yang
dihapus dan terdapat pembentukan lembaga negara yang baru101
. Sehingga, sangat tepat
pembahasan mengenai lembaga-lembaga negara ini diangkat, khususnya dalam konteks
sebagai bahan perkuliahan.
Di Indonesia sejak runtuhnya kekuasaan Orde Baru102
, runtuhnya sakralisasi
pandangan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang didesak dan dimotori oleh
paradigma pemikiran reformasi, dan seiring dengan semangat reformasi tersebut
menjadikan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia melakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap batang tubuh Undang-
Undang Dasar 1945103
.
98
Lihat dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 189-191. 99
Baca dalam Ismail Suny, Loc.cit. 100
Philipus M. Hadjon, Loc.cit. 101 Baca Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat Undang-Undang Dasar Tahun 1945
dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 1-275. Disamping itu, beberapa literatur terkait seperti
halnya Ni’matul Huda, 2008, Undang-undang Dasar 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Cetakan Pertama,
Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 1-25. 102 Lihat dalam Denny Indrayana, 2011, Indonesia Optimis, Cetakan Pertama,
Jakarta : Kompas Gramedia Group, hlm. 1-5. 103
Dalam Jimly Asshidiqie I, op.cit., hlm. 275-276.
42
Salah satu wacana penting yang patut ditindaklanjuti setelah perubahan
Undang-undang Dasar 1945, bahwa ketatanegaraan negara Republik Indonesia telah
berubah. Perubahan Ketatanegaraan tersebut akan membawa implikasi pada perubahan
atas paradigma berpikir dan praktik ketatanegaraan di Indonesia, khususnya yang
berkaitan dengan lembaga-lembaga negara pasca perubahan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945.
B. Mengidentifikasi Lembaga-lembaga Negara pada Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam rangka melakukan identifikasi terhadap lembaga-lembaga negara pasca
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dapat dilakukan pendekatan melalui
beberapa sudut pandang berikut ini.
1. Teori Pemisahan dan Teori Pembagian Kekuasaan
Teori yang berkaitan dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan
adalah "teori pemisahan kekuasaan" yang dipopulerkan oleh Montesquieu104
dan "teori pembagian kekuasaan" yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen105
.
Kedua teori tersebut merupakan cikal bakal pembentukan lembaga negara (atau
dengan nama lain penyebutannya) lahirnya lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Ditinjau dari segi fungsinya, ketiga lembaga negara tersebut
berfungsi melaksanakan kedaulatan rakyat.
Di Indonesia, ketiga kategori lembaga negara tersebut dikenal dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945106
, terdapat Bab III mengenai
kekuasaan Pemerintahan Negara, yang lazim disebut sebagai kekuasaan
eksekutif, Bab VII mengenai Dewan Perwakilan Rakyat, yang lazim disebut
sebagai kekuasaan legislatif, serta Bab IX mengenai Kekuasaan Kehakiman
yang lazim dikenal sebagai kekuasaan yudikatif.
104 Ismail Suny, Loc.cit. 105
Baca dalam Hans Kelsen, op.cit., hlm. 250-253. 106
Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 121-149.
43
Dalam konteks perkembangan ketatanegaraan Indonesia pasca
perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, secara eksplisit ditentukan lebih
dari 3 (tiga) mengenai lembaga negara, malahan dengan penyebutan atau
penamaan yang berbeda.
2. Penamaan dan Dasar Hukum Atribusi Wewenang dalam Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Berdasarkan penamaan dan atribusi wewenang mengenai lembaga-lembaga
negara dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka dapat diidentifikasi
sebagai berikut107
.
a) Majelis Permusyawaratan Rakyat, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 3 Ayat (1) dan (2),
Pasal 7A, Pasal 7B Ayat (7), dan Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang
Dasar Tahun 1945.
b) Presiden, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 4 Ayat (1), Pasal 5 Ayat (1), dan (2),
Pasal 10, Pasal 11 Ayat (1), Pasal 12, Pasal 13 Ayat (1), pasal 14 Ayat (1), dan (2),
Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 Ayat (2), Pasal 20 Ayat (2), dan (4), Pasal 22 Ayat (1),
Pasal 23 Ayat (2), Pasal 23F Ayat (1), Pasal 24A Ayat (3), Pasal 24B Ayat (3), dan
Pasal 24C Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
c) Dewan Perwakilan Rakyat, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 20 Ayat (1) dan (2),
Pasal 22 Ayat (2), Pasal 22D Ayat (1) dan (2), Pasal 23 Ayat (2), Pasal 20A Ayat
(1) dan Pasal 22D Ayat (3), Pasal 22F Ayat (1), Pasal 22E Ayat (2) dan (3), Pasal
24B Ayat (3), Pasal 24A Ayat (3), Pasal 24C Ayat (3), Pasal 13 Ayat (3) dan (4),
Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
d) Dewan Perwakilan Daerah, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 22D Ayat (1), (2),
(3) dan Pasal 22F Ayat (l) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
107
Lihat dan bandingkan dalam Ni’matul Huda, 2015, Hukum Tata Negara
Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 189-253.
44
e) Mahkamah Agung, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24 A Ayat
(1), dan Pasal 24 C Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
f) Mahkamah Konstitusi, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 24C Ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945.
g) Komisi Yudisial, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 24A Ayat (3), dan Pasal 24B Ayat
(1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
h) Badan Pemeriksa Keuangan, dengan dasar hukum Atribusi wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 23E Ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
i) Pemerintah Daerah, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5), ayat (6)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
j) Komisi Pemilihan Umum, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 22E ayat (l),(2), dan (5)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
k) Bank Sentral, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 23 D Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
l) Tentara Nasional Indonesia, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 30 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945.
m) Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan dasar hukum atribusi wewenang
dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 30 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
n) Dewan Pertimbangan, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 16 Undang-Undang Dasar Tahun
1945.
45
Terminologi atau istilah yang digunakan dalam Perubahan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 untuk menyebut lembaga-lembaga negara108
tersebut tidak seragam.
Sebagai lembaga-lembaga negara disebutkan yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,
Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan ada pula
Komisi Yudisial. Selain itu, ada pula disebut Pemerintahan Daerah, Kepolisian Republik
Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Komisi Pemilihan Umum dan Bank Sentral.
Bila dikaji lebih mendalam maka dalam Perubahan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 terdapat lembaga yang menggunakan nomenklatur atau nama komisi, yaitu
Komisi Yudisial dan Komisi Pemilihan Umum. Adapun diluar ketentuan Undang-
Undang Dasar, keberadaan lembaga komisi yang merupakan lembaga-lembaga
pembantu (state auxiliary agencies), yang dibentuk berdasarkan Undang-undang
maupun Peraturan lainnya dibawah Undang-undang109
. Pembentukan lembaga-lembaga
yang disebut komisi ini sangat pesat perkembangannya sejak reformasi. Lembaga-
lembaga tersebut diposisikan setingkat lembaga negara, idealnya bersifat "independen"
dan secara khusus ditujukan untuk menjalankan fungsi dan kewenangan tertentu.110
Dalam kenyataannya di Indonesia telah dibentuk beberapa komisi111
yakni
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran (KPI), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
(KPPU), Komisi Nasional untuk Anak (Komnas Anak), Komisi Nasional Perempuan
(Komnas Perempuan), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi untuk Kebenaran
dan Rekonsiliasi, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi untuk Perlindungan
Saksi dan Korban serta Komisi Hukum Nasional (KHN).
108
Jimly Asshidiqie, 2010, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 1-69. Untuk selanjutnya disebut sebagai
Jimly Asshidiqie II. Baca juga Jimly Asshidiqie I, op.cit., hlm. 11-76, 281-342. 109 Baca dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 277-279. 110
Periksa Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Peraturan Perundang-undangan
Nasional yang terkait. Agar lebih jelas pemahamannya bandingkan dengan Firmansyah Arifin et.al., Hasil
Penelitian Sementara tentang Lembaga Negara, 2004, Jakarta dan Firmansyah Arifin, Hukum dan Kuasa
Konstitusi: Catatan-catatan untuk Pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Cetakan
Pertama, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2004, hlm. 13-43. 111
Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 13-15.
46
Dalam waktu mendatang112
, diperkirakan masih akan ada lagi beberapa Komisi
yang akan dibentuk, seperti Komisi Pengawas Kejaksaan dan Komisi untuk Kebebasan
Informasi.
Adapun hingga saat ini113
, komisi yang telah dibubarkan adalah Komisi
Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Konstitusi.
C. Tata Cara Pembentukan, Susunan, dan Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara
Pasca Perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat
Ditinjau dari segi tata cara pembentukannya dikaitkan dengan dasar hukumnya
yakni pada Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasal 2 dan Pasal 3
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan perundang-undangan nasional yakni
dikaitkan beberapa peraturan perundang-undangan pasca Amandemen atas Pasal 2 dan
Pasal 3 tersebut, yakni melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2003114
, kemudian diubah dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2009115
, dan terakhir dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2014116
, Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dirumuskan dalam Bab I
Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (1) dari ketiga peraturan perundang-undangan tersebut
yakni,”...Majelis Permusyawaratan Rakyat yang selanjutnya disingkat Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945...”
112
Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 17. 113 Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 18. 114 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4310. 115
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5043. 116
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5568.
47
yang dikaitkan dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, merupakan lembaga Negara yang terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-undang117
.
Dengan ketentuan baru ini, Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa
eksistensi utusan golongan dihapus dari sistem perwakilan yang berpilar tiga tersebut pra
Amandemen, yakni perwakilan politik melalui sistem kepartaian di Dewan Perwakilan
Rakyat (Political Representatives), perwakilan daerah atau utusan daerah (Regional
Representatives), dan perwakilan golongan fungsional berupa utusan daerah (Functional
Representatives) seperti yang diadopsi dalam naskah asli Undang-Undang Dasar 1945118
.
Adapun susunan dan keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat
dikaji dari rumusan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, merupakan lembaga Negara yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum
dan diatur lebih lanjut dengan Undang-undang119
, demikian pula dalam Pasal 2 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 ditentukan bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum, selanjutnya dalam Pasal 3
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 ditentukan bahwa
Keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat diresmikan dengan Keputusan
Presiden120
.
Kemudian pula ditegaskan kembali dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 dan terakhir dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 yang menentukan bahwa Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan Majelis Permusyawaratan Rakyat
117
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat dalam
Undang-undang Dasar '45 Amandemen ke-4 Tahun 2002, Loc.cit. 118 Jimly Asshiddiqie, 2002, Konsolidasi Naskah Undang-undang Dasar 1945 Setelah
Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas lndonesia, (selanjutnya
disebut Jimly Asshidqie III), hlm. 3. 119 Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lihat dalam Undang-undang Dasar '45 Amandemen ke-4 Tahun 2002, Loc.cit. 120
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, tentang Susduk, Bandung:
Penerbit "Citra Umbara", 2003, hlm. 4.
48
merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga
negara serta Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009
dan Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 yang
menyatakan bahwa Keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat diresmikan dengan
Keputusan Presiden.
Kemudian berkaitan dengan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, baik
pada Pasal 7 Ayat (1) dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003
disebutkan bahwa pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas seorang Ketua
dan tiga orang wakil ketua yang mencerminkan unsur Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih dari dan oleh anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kemudian dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2009 disebutkan bahwa pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat
terdiri atas terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua
berasal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal
dari anggota Dewan Perwakilan Daerah, yang ditetapkan dalam sidang paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat, serta Pasal 15 Ayat (1), (2) dan (5) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan bahwa Pimpinan Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari
dan oleh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dipilih dari dan oleh anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat dalam satu paket yang bersifat tetap yang berasal dari fraksi
dan/atau kelompok anggota disampaikan di dalam sidang paripurna, yang dapat
mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Berkaitan dengan tugas Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
disebutkan dalam Pasal 8 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2003 menentukan bahwa tugas Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah
sebagai berikut.
49
a) Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil
keputusan.
b) Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan
wakil ketua.
c) Menjadi juru bicara Majelis Permusyawaratan Rakyat.
d) Melaksanakan dan memasyarakatkan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
e) Mengadakan konsultasi dengan Presiden dan Pimpinan lembaga negara lainnya
sesuai dengan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
f) Mewakili Majelis Permusyawaratan Rakyat dan/atau alat perlengkapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat di Pengadilan.
g) Melaksanakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat berkenaan dengan
penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
h) Menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran Majelis
Permusyawaratan Rakyat, dan
i) Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam sidang Paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sedangkan dalam Pasal 15 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2009 menentukan bahwa tugas Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat
adalah sebagai berikut.
a) memimpin sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dan menyimpulkan hasil
sidang untuk diambil keputusan;
b) menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan
wakil ketua;
c) menjadi juru bicara Majelis Permusyawaratan Rakyat;
d) melaksanakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
e) mengoordinasikan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk
memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
f) mewakili Majelis Permusyawaratan Rakyat di pengadilan;
g) menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran Majelis Permusyawaratan
Rakyat; dan
h) menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat pada akhir masa jabatan.
Serta dalam Pasal 16 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2014 menentukan bahwa tugas Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah
sebagai berikut.
50
a) memimpin sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dan menyimpulkan hasil
sidang untuk diambil keputusan;
b) menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan
wakil ketua;
c) menjadi juru bicara Majelis Permusyawaratan Rakyat;
d) melaksanakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
e) mengoordinasikan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk
memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
f) mewakili Majelis Permusyawaratan Rakyat di pengadilan;
g) menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran Majelis Permusyawaratan
Rakyat; dan
h) menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat pada akhir masa jabatan.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 Pasal 8
Ayat (2), Pasal 15 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009,
dan Pasal 16 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014
tersebut ditegaskan mengenai tugas dan tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) lebih lanjut diatur dalam Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
Berkaitan dengan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dirumuskan
dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 3
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, serta Pasal 3 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, yang menentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan
lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
Kemudian, berkaitan dengan tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, berdasarkan ketentuan Pasal 3 Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945121
serta Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, bahwa
Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut.
121
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 121.
51
a) Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b) Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil Pemilihan umum,
dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c) Memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam
Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat;
d) Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya
dalam masa jabatannya;
e) Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila
terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya
selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
f) Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara
bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan
Wakil Presiden yang diusulkan oleh Partai politik atau gabungan partai
politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presiden meraih suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis
masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari;
g) Menetapkan Peraturan Tata Tertib dan Kode etik Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Sedangkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2009, disebutkan bahwa tugas dan wewenang dari Majelis
Permusyawaratan Rakyat yakni sebagai berikut.
a) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
c) memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden;
d) melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e) memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila
terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan
f) memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
52
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon
Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Dan pada Pasal 5 merupakan tata cara pelaksanaan dari Pasal 4 sebagaimana
telah dirumuskan berikut ini.
1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
Majelis Permusyawaratan Rakyat menyusun anggaran yang dituangkan dalam
program dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Dalam menyusun program dan kegiatan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, Majelis
Permusyawaratan Rakyat dapat menyusun standar biaya khusus dan
mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.
3) Pengelolaan anggaran Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan
Rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4) Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan
anggaran Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam peraturan Majelis
Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
5) Majelis Permusyawaratan Rakyat melaporkan pengelolaan anggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui Sekretariat Jenderal Majelis
Permusyawaratan Rakyat kepada publik pada akhir tahun anggaran.
Sedangkan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan bahwa wewenang dari Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang secara terpisah dijabarkan sebagai berikut.
a) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
c) memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden;
d) melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;
53
e) memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila
terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan
f) memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon
presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Sedangkan Pasal 5 terkait dengan tugas dari Majelis Permusyawaratan Rakyat
yakni sebagai berikut.
a) memasyarakatkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
b) memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
c) mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan
d) menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dan ditinjau dari segi hak dan kewajiban Majelis Permusyawaratan
Rakyat ditegaskan dalam Pasal 12 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003, bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 pada undang-undang tersebut, anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai hak sebagai berikut.
a) Mengajukan usul perubahan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar;
b) Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;
c) Memilih dan dipilih;
d) Membela diri;
e) Imunitas;
f) Protokoler; dan
g) Keuangan dan administratif.
Ditegaskan pada Pasal 12 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003 Tata cara penggunaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat.
54
Dalam Pasal 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003
ditentukan bahwa anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kewajiban
sebagai berikut.
a) Mengamalkan Pancasila;
b) Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
dan Peraturan Perundang-undangan;
c) Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Kerukunan
Nasional;
d) Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan; dan
e) Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
Sedangkan hak dan kewajiban Majelis Permusyawaratan Rakyat
kembali ditegaskan dalam Pasal 9 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2009, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai
hak sebagai berikut.
a. mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;
c. memilih dan dipilih;
d. membela diri;
e. imunitas;
f. protokoler; dan
g. keuangan dan administratif.
Dalam Pasal 10 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009
ditentukan bahwa anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kewajiban
sebagai berikut.
55
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan; dan
e. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
Sedangkan hak dan kewajiban Majelis Permusyawaratan Rakyat
kembali ditegaskan dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai
hak sebagai berikut.
a. mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;
c. memilih dan dipilih;
d. membela diri;
e. imunitas;
f. protokoler; dan
g. keuangan dan administratif.
Dalam Pasal 11 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009
ditentukan bahwa anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kewajiban
sebagai berikut.
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
menaati peraturan perundang-undangan;
c. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
56
e. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan; dan
f. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
Hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Lembaga Negara
selain Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah adalah hubungan
dengan Presiden dan Wakil Presiden, yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden,
memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang-Undang Dasar serta memilih Wakil Presiden dalam hal kekosongan jabatan
Wakil Presiden122
.
Sedangkan, hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan
Mahkamah Konstitusi dalam kaitan Putusan Mahkamah Konstitusi atas dugaan Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden seperti yang ditentukan
dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945123
termasuk peraturan perundang-
undangan dibawah Undang-undang Dasar Tahun 1945 yakni peraturan perundang-
undangan terkait Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia124
.
Prof. Jimly Asshiddiqie berpendapat dalam konteks hubungan seperti itu,
bahwa jika dengan pola seperti itu maka dalam kerangka pemikiran Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 pasca amandemen, yang terjadi adalah kekuasaan legislatif berada di
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan
122
Lihat dalam Pasal 7A, Pasal 7B dan Pasal 8 Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 114-
120. 123
Lihat Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm.148. 124 Dalam Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2003, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4316, sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada 20
Juli 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226 dan terakhir melalui Peraturan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2013,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 167 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5456. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada 15 Januari
2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493.
57
Dewan Perwakilan Daerah secara personal, kemudian bersifat permanen dan berdiri
sendiri di samping pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah,
maka sistem parlemen dengan gaya tersebut merupakan "trikameralisme"125
dan
menjadikan Indonesia adalah negara pertama di dunia yang menggunakan sistem
parlemen seperti model tersebut.
2. Dewan Perwakilan Rakyat
Ditinjau dari segi tata cara pembentukannya dikaitkan dengan dasar
hukumnya yakni pada Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 19,
Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22A dan Pasal 22B Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan perundang-undangan nasional yakni
dikaitkan beberapa peraturan perundang-undangan pasca Amandemen atas Pasal
19, Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 tersebut, yakni melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003126
, kemudian diubah dalam Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009127
, dan terakhir dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014128
yang telah diubah
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014129
, dinyatakan
125
Jimly Asshiddiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Mahkamah
Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 138-141. Lihat juga
Firmansyah Arifin, et.al., op.cit., hlm. 20. 126 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4310. 127
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5043. 128
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5568. 129
Adapun substansi perubahannya terkait dengan Pasal 74 Ayat (3), Ayat (4), Ayat
(5), serta Ayat (6) yang dihapus, Pasal 97 Ayat (2) yang diubah bunyinya, Pasal 98 Ayat (7), Ayat
(8) dan Ayat (9) dihapus, Pasal 104 Ayat (2) yang diubah bunyinya, Pasal 109 Ayat (2) yang juga
diubah bunyinya, Pasal 115 Ayat (2) yang juga diubah bunyinya, Pasal 121 Ayat (2) yang juga
diubah bunyinya, Pasal 152 Ayat (2) yang juga diubah bunyinya, diantara Pasal 425 dengan Pasal
426 disisipkan Pasal 425 A dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014. Lihat
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
58
bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui Pemilihan Umum dan
susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan Undang-Undang.
Adapun susunan dan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dapat
dikaji dari rumusan Pasal 19 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta Pasal 16 dan Pasal 17 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 67 dan Pasal 74 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, serta Pasal 67, Pasal 68 dan Pasal 76 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, Dewan Perwakilan Rakyat
merupakan lembaga Negara yang terdiri atas anggota partai politik peserta
pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum, yang
berjumlah lima ratus lima puluh orang pada Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003 dan menjadi lima ratus enam puluh dalam Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, yang kemudian diresmikan
keanggotaannya dengan Keputusan Presiden, serta berdomisili di ibukota
negara Republik Indonesia.
Kemudian, berkaitan dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, baik pada
Pasal 21 Ayat (1) dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003
disebutkan bahwa pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas seorang ketua dan
tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.
Sedangkan dalam Pasal 82 Ayat (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 disebutkan bahwa pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat terdiri atas seorang ketua dan empat orang wakil ketua yang
ditentukan dalam Ayat (2) hingga Ayat (5) bahwa yang berasal dari partai
politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak pertama langsung menjadi
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan bagi partai politik berdasarkan urutan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 15 Desember 2014, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 383 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5650.
59
perolehan kursi terbanyak kedua hingga kelima menjadi Wakil Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014,
tugas Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat disebutkan pada Pasal 84 disebutkan
bahwa pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas seorang ketua dan empat
orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, kemudian ditentukan dalam Ayat (2) bahwa pimpinan dipilih dari
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam satu paket yang bersifat tetap yang
berasal dari fraksi dan diumumkan di dalam sidang paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana disebutkan Ayat (3), kemudian setiap fraksi
hanya dapat mengajukan 1 (satu) bakal calon pimpinan saja, dan tidak seperti
halnya dirumuskan dalam Pasal 82 Ayat (1) hingga Ayat (5) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, bahwa pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak
pertama langsung menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan bagi partai
politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak kedua hingga kelima
menjadi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.
Berkaitan dengan tugas Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat,
disebutkan dalam Pasal 22 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 2003 menentukan bahwa tugas Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
adalah sebagai berikut.
a) Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil
keputusan;
b) Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan
wakil ketua;
c) Menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Rakyat;
d) Melaksanakan dan memasyarakatkan putusan Dewan Perwakilan Rakyat;
e) Mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya
sesuai dengan putusan Dewan Perwakilan Rakyat;
f) Mewakili Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat di Pengadilan;
g) Melaksanakan putusan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan penetapan
sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
60
h) Menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran Dewan
Perwakilan Rakyat; dan
i) Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam sidang Paripurna
Dewan Perwakilan Rakyat.
Sedangkan tugas Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang disebutkan dalam
Pasal 22 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 adalah
sebagai berikut.
a. memimpin sidang Dewan Perwakilan Rakyat dan menyimpulkan hasil sidang
untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja pimpinan;
c. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan
materi kegiatan dari alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat;
d. menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Rakyat;
e. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat;
f. mewakili Dewan Perwakilan Rakyat dalam berhubungan dengan lembaga negara
lainnya;
g. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya
sesuai dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat;
h. mewakili Dewan Perwakilan Rakyat di pengadilan;
i. melaksanakan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan penetapan
sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
j. menyusun rencana anggaran Dewan Perwakilan Rakyat bersama Badan Urusan
Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna; dan
k. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
yang khusus diadakan untuk itu.
Dan tugas pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat menurut Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 dapat disimak pada Pasal 86
Ayat (1) sebagai berikut.
a. memimpin sidang Dewan Perwakilan Rakyat dan menyimpulkan hasil sidang untuk
diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja pimpinan;
61
c. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi
kegiatan dari alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat;
d. menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Rakyat;
e. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat;
f. mewakili Dewan Perwakilan Rakyat dalam berhubungan dengan lembaga negara
lainnya;
g. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya
sesuai dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat;
h. mewakili Dewan Perwakilan Rakyat di pengadilan;
i. melaksanakan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan penetapan
sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
j. menyusun rencana anggaran Dewan Perwakilan Rakyat bersama Badan Urusan
Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna; dan
k. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
yang khusus diadakan untuk itu.
Serta dalam ketiga peraturan perundang-undangan tersebut baik pada
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 Pasal 22 Ayat (2),
Pasal 84 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009,
dan Pasal 86 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2014 tersebut ditegaskan mengenai tugas dan tata cara pelaksanaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih lanjut diatur dalam Peraturan Tata
Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
Berkaitan dengan kedudukan dari Dewan Perwakilan Rakyat
dirumuskan dalam Pasal 24 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2003, Pasal 68 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2009, serta Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014
yang menentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga
perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara, sedangkan
fungsi Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 25
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 69 dan Pasal
70 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, serta Pasal 69
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 ditentukan bahwa
62
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan
pengawasan, ditambahkan pula penegasan baik pada Pasal 69 Ayat (2) dan
Pasal 70 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 maupun
Pasal 69 Ayat (2) serta Pasal 70 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2014 perihal ketiga fungsi tersebut dan tujuannya dalam kerangka
representasi rakyat.
Kemudian, berkaitan dengan tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat,
berdasarkan ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal
22A dan Pasal 23F Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945130
serta Pasal 26
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut.
a. Membentuk Undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama;
b. Membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti
Undang-undang;
c. Menerima dan membahas usulan rancangan Undang-undang yang
diajukan Dewan Perwakilan Daerah yang berkaitan dengan bidang
tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan;
d. Memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah atas rancangan
Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama;
e. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama Presiden
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;
f. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta kebijakan pemerintah;
g. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh
Dewan Perwakilan Daerah terhadap pelaksanaan Undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
pajak pendidikan, dan agama;
h. Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;
i. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas
pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan;
j. Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan
pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
130
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 131-133.
63
k. Memberikan persetujuan calon hakim Agung yang diusulkan Komisi
yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim Agung oleh Presiden;
l. Memilih tiga orang calon anggota hakim Konstitusi dan mengajukannya
kepada Presiden untuk ditetapkan;
m. Memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta,
menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan
dalam pemberian amnesti dan abolisi;
n. Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang,
membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara dan/atau pembentuk undang-undang;
o. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat; dan
p. Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam
Undang-undang.
Sedangkan tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dalam Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 dikaitkan dengan Pasal 72 dalam
undang-undang tersebut, sebagaimana rumusan berikut ini.
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama;
b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan
pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi
undang-undang;
c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan
Daerah berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
d. membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam huruf c
bersama Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah sebelum diambil persetujuan
bersama antara Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden;
e. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau Dewan
Perwakilan Daerah yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah
sebelum diambil persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden;
f. memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah atas rancangan
undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
64
g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh Presiden;
h. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
i. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh Dewan
Perwakilan Daerah terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat
dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan
agama;
j. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;
k. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan
abolisi;
l. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar
dan menerima penempatan duta besar negara lain;
m. memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;
n. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
o. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian
anggota Komisi Yudisial;
p. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden;
q. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden
untuk diresmikan dengan keputusan Presiden;
r. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi
kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara;
s. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
dan
t. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam undang-undang.
65
Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014,
terkait dengan tugas dan wewenang disebutkan secara terpisah, yang dapat disimak dari
kutipan Pasal 71 terkait wewenang Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut.
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama;
b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan
pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi
undang-undang;
c. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau Dewan
Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah sebelum
diambil persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden;
d. memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah atas rancangan undang-
undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh Presiden;
f. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh Dewan
Perwakilan Daerah atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama;
g. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang dan membuat
perdamaian dengan negara lain;
h. memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang;
i. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi;
j. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan
menerima penempatan duta besar negara lain;
k. memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;
l. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian
anggota Komisi Yudisial;
66
m. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan
n. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk
diresmikan dengan keputusan Presiden.
Kemudian, dalam Pasal 72 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2014 disebutkan perihal tugas dari Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana
kutipan berikut.
a. menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan program legislasi
nasional;
b. menyusun, membahas, dan menyebarluaskan rancangan undang-undang;
c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan
Daerah berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, dan kebijakan pemerintah;
e. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
f. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi
kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara;
g. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
dan
h. melaksanakan tugas lain yang diatur dalam undang-undang.
Dan ditinjau dari segi hak dan kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat
ditegaskan dalam Pasal 27 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2003, Pasal 77 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, dan
Pasal 79 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 bahwa
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak sebagai
berikut.
a. interpelasi;
67
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
Ditegaskan pada Pasal 12 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003 tata cara penggunaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan tata cara
penggunaan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tersebut dalam Pasal 77 Ayat (2)131
, Ayat (3)132
dan Ayat (4)133
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009.
Demikian halnya, bila dikaji dalam peraturan perundang-undangan terbaru
terkait Dewan Perwakilan Rakyat yakni pada Pasal 79 Ayat (2)134
, Ayat (3)135
maupun
pada Pasal 79 Ayat (4)136
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014.
131
Lihat dalam Pasal 77 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009
yang berbunyi,”Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak Dewan Perwakilan
Rakyat untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan
strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara“. 132
Lihat dalam Pasal 77 Ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009
yang berbunyi,”Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak Dewan Perwakilan
Rakyat untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan“. 133 Lihat dalam Pasal 77 Ayat (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009
yang berbunyi,”Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak Dewan
Perwakilan Rakyat untuk menyatakan pendapat atas:
a. kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia
internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana
dimaksud pada ayat (3); atau
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.“. 134
Lihat dalam Pasal 79 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014
yang berbunyi,”Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak Dewan Perwakilan
Rakyat untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan
strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. 135
Lihat dalam Pasal 79 Ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2014 yang berbunyi,”Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak
Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-
undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan“. 136 Lihat dalam Pasal 79 Ayat (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014
yang berbunyi,”Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak Dewan
Perwakilan Rakyat untuk menyatakan pendapat atas:
a. kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia
internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana
dimaksud pada ayat (3); atau
68
Serta, secara terperinci untuk ketiga hak tersebut juga dijabarkan baik pada Bagian
Kesepuluh Pelaksanaan Hak Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 173 sampai dengan Pasal
176 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Hak
Interpelasi, kemudian Pasal 177 sampai dengan Pasal 183 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Hak Angket serta Pasal 184 sampai dengan
Pasal 189 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Hak
Menyatakan Pendapat, dan pada Pasal 194 sampai dengan Pasal 198 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 mengenai Hak Interpelasi, Pasal 199 sampai
dengan Pasal 209 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Hak Angket, serta Pasal 210 sampai dengan Pasal 216 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 khusus mengenai Hak Menyatakan Pendapat.
Kemudian, dalam Pasal 28 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2003, Pasal 78 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009,
maupun Pasal 80 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014,
ditentukan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak anggota yang
dapat disimak dalam kutipan berikut.
a. mengajukan rancangan Undang-undang;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.
Serta dalam Pasal 29 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2003 ditentukan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewajiban
sebagai berikut.
a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.“.
69
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara
kesatuan Republik Indonesia;
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan
daerah pemilihannya;
i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat; dan
j. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
Sedangkan dalam Pasal 79 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2009 maupun pada Pasal 81 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2014, ditentukan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai
kewajiban sebagai berikut.
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara
berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di
daerah pemilihannya.
Maka, dapat disimpulkan bahwasanya Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
Representasi Politik dari rakyat Indonesia “Political Representatives”137
tidaklah dapat
bergelut hanya dengan sebuah peraturan perundang-undangan namun dengan dinamika
137
Lihat dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 189-192.
70
yang ada telah terjadi perubahan peraturan perundang-undangan atas kelembagaannya
pula.
3. Dewan Perwakilan Daerah
Dalam tinjauan tata cara pembentukan Dewan Perwakilan Daerah yang
merupakan salah satu Lembaga Negara baru pasca Amandemen Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945138
, dapat dikaitkan dengan dasar
hukumnya yakni pada Bab VII A tentang Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal
22C dan Pasal 22D Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Disamping
itu, terdapat peraturan perundang-undangan nasional terkait dengan Dewan
Perwakilan Daerah, yakni melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 2003139
, yang kemudian diubah dalam Undang-undangRepublik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2009140
, dan terakhir dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014141
.
Adapun dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 maupun pada ketiga peraturan perundang-undang tersebut baik
pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003142
, Undang-
138 Baca dalam Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah KoMajelis Permusyawaratan
Rakyatehensif Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku II Lembaga
Perwakilan, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, hlm. 13-16. 139 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4310. 140
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5043. 141
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5568. 142 Baca lebih lanjut terkait dengan Bab IV Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 32
dan Pasal 33 pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
71
undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009143
, serta Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014144
dinyatakan bahwa Anggota Dewan
Perwakilan Daerah dipilih dari setiap Provinsi melalui Pemilihan Umum, dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap Provinsi jumlahnya sama dan
jumlah seluruh Dewan Perwakilan Daerah tidak lebih dari sepertiga jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan ditentukan pula bahwa Dewan
Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun, serta segala hal
perihal susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan
Undang-Undang145
.
Adapun susunan dan keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah dapat
dikaji dari rumusan Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 40 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 222 dan Pasal 227 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, serta Pasal 246, Pasal 247
dan Pasal 252 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014,
Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga Negara yang terdiri atas wakil-
wakil daerah Provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum, dimana Anggota
Dewan Perwakilan Daerah tersebut berasal dari setiap Provinsi ditetapkan
sebanyak empat orang, dimana jumlah seluruh Anggota Dewan Perwakilan
Daerah tidak melebihi dari 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, yang kemudian keanggotaannya diresmikan dengan
Keputusan Presiden, berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang
bertempat tinggal di ibukota negara Republik Indonesia, dan dengan masa
143
Baca lebih lanjut dalam Bab IV Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 221 dan
Pasal 227 dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. 144
Baca lebih lanjut dalam Bab IV Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 246 dan
Pasal 252 dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. 145
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 139.
72
jabatan 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota Dewan Perwakilan Daerah
yang baru mengucapkan sumpah/janji146
.
Kemudian, berkaitan dengan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah,
disebutkan dalam Pasal 37 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2003, ditentukan sebagai berikut.
1) Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas seorang ketua dan sebanyak-
banyaknya dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Dewan
Perwakilan Daerah dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah.
2) Selama Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) belum terbentuk, Dewan Perwakilan Daerah dipimpin oleh Pimpinan
Sementara Dewan Perwakilan Daerah.
3) Pimpinan Sementara Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) terdiri atas seorang ketua sementara dan seorang wakil ketua sementara
yang diambilkan dari anggota tertua dan anggota termuda usianya.
4) Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda usianya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berhalangan, sebagai penggantinya adalah anggota
tertua dan/atau anggota termuda berikutnya.
5) Ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah diresmikan dengan Keputusan
Dewan Perwakilan Daerah.
Sedangkan dalam Pasal 235 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2009, maupun Pasal 260 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa pimpinan Dewan Perwakilan
Daerah disebutkan sebagai berikut.
1) Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua)
orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah
dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah.
2) Dalam hal pimpinan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) belum terbentuk, Dewan Perwakilan Daerah dipimpin oleh pimpinan
sementara Dewan Perwakilan Daerah.
146 Perihal masa jabatan telah ditegaskan dalam ditambahkan dalam Pasal 227 Ayat
(5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 maupun Pasal 252 Ayat (5) Undang-
undang Republik Indonesia. Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus
2009, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043 dan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada
tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.
73
3) Pimpinan sementara Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) terdiri atas 1 (satu) orang ketua sementara dan 1 (satu) orang wakil ketua
sementara yang merupakan anggota tertua dan anggota termuda usianya.
4) Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) berhalangan, sebagai penggantinya adalah anggota tertua dan/atau
anggota termuda berikutnya.
5) Ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah diresmikan dengan keputusan
Dewan Perwakilan Daerah.
6) Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah sebelum memangku jabatannya
mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229
(dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009) atau Pasal 258 (dalam
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014) yang dipandu oleh Ketua Mahkamah
Agung.
Kemudian berkaitan dengan tata cara pemilihan Pimpinan Dewan
Perwakilan Daerah diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan
Daerah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 37 Ayat (6) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 235 Ayat (7) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, dan Pasal 260 Ayat (7) Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014.
Kemudian, terkait dengan tugas pimpinan Dewan Perwakilan Daerah
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 Ayat (1) dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 yakni sebagai berikut.
a) Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil
keputusan;
b) menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan
wakil ketua;
c) menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Daerah;
d) melaksanakan dan memasyarakatkan putusan Dewan Perwakilan Daerah;
e) mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya
sesuai dengan putusan Dewan Perwakilan Daerah;
f) mewakili Dewan Perwakilan Daerah dan/atau alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Daerah di Pengadilan;
g) melaksanakan putusan Dewan Perwakilan Daerah berkenaan dengan penetapan
sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
h) menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran Dewan
Perwakilan Daerah; dan
i) pelaksanaan tugasnya dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah.
74
Bilamana dilihat dari perspektif Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2009 maupun dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014,
disebutkan dalam Pasal 236 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2009 maupun dalam Pasal 261 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014, bahwa tugas pimpinan Dewan Perwakilan Daerah yakni sebagai
berikut.
a) memimpin sidang Dewan Perwakilan Daerah dan menyimpulkan hasil sidang
untuk diambil keputusan;
b) menyusun rencana kerja pimpinan;
c) menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Daerah;
d) melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan Dewan Perwakilan Daerah;
e) mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya
sesuai dengan keputusan Dewan Perwakilan Daerah;
f) mewakili Dewan Perwakilan Daerah di pengadilan;
g) melaksanakan keputusan Dewan Perwakilan Daerah berkenaan dengan
penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
h) menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran Dewan Perwakilan Daerah; dan
i) menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan
Daerah yang khusus diadakan untuk itu.
Dan berkaitan dengan ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tata cara
pelaksanaannya sebagaimana dimaksud diatas, diatur dalam Peraturan Tata Tertib
Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 38 Ayat (2) Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 236 Ayat (2) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, maupun Pasal 261 Ayat (2) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014.
Kemudian berkaitan dengan kedudukan dari Dewan Perwakilan Daerah
ditentukan dalam Pasal 40 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003,
Pasal 222 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, maupun Pasal
247 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan perihal
kedudukannya yakni bahwa Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga perwakilan
daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
75
Berkaitan dengan fungsi Dewan Perwakilan Daerah ditentukan dalam Pasal 41
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 yang mana menyebutkan
bahwa Dewan Perwakilan Daerah mempunyai fungsi sebagai berikut.
a. pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan
yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu;
b. pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang tertentu.
Dalam Pasal 223 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor
27 Tahun 2009 maupun dalam Pasal 248 Ayat (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan perihal fungsi dari Dewan
Perwakilan Daerah yakni sebagai berikut.
a. pengajuan usul kepada Dewan Perwakilan Rakyat mengenai rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
c. pemberian pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan
d. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan
agama.
Dengan catatan, bahwa keseluruhan fungsi Dewan Perwakilan Daerah
tersebut ditujukan dalam kerangka perwakilan daerah sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 223 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2009 maupun dalam Pasal 248 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014.
Disamping itu, terkait dengan tugas dan wewenang dari Dewan
Perwakilan Daerah ditentukan dalam Pasal 42 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 yang mana dikutip sebagai berikut.
76
1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan Otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2) Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan Rancangan Undang-undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat mengundang Dewan Perwakilan Daerah untuk
membahas sesuai tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Pembahasan Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sebelum Dewan Perwakilan Rakyat membahas Rancangan Undang-
undang dimaksud pada ayat (1) dengan Pemerintah.
Kemudian dilihat dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2009 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014,
tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah ditentukan pada Pasal 224 Ayat
(1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 maupun Pasal
249 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014, yakni
sebagai berikut.
a) dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b) ikut membahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c) ikut membahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden rancangan
undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau Dewan Perwakilan Rakyat,
yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d) memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak,
pendidikan, dan agama;
f) menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
77
pajak, pendidikan, dan agama kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
g) menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari Badan Pemeriksa
Keuangan sebagai bahan membuat pertimbangan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
h) memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemilihan
anggota Badan Pemeriksa Keuangan; dan
i) ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dan berkaitan dengan hak dari Dewan Perwakilan Daerah ditentukan
dalam rumusan Pasal 48 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2003 yang berbunyi sebagai berikut.
a. mengajukan Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat;
b. ikut membahas Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 ayat (1).
Kemudian, bilamana dilihat dari Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2009 maupun dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014, dilihat pada Pasal 231 Ayat (1) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 dan Pasal 256 Ayat (1) Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 yang berbunyi sebagai
berikut.
a. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah;
c. memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan
rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
78
d. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama.
Sedangkan, disebutkan dalam Pasal 49 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003, berkaitan dengan hak yang dimiliki oleh tiap-tiap anggota
Dewan Perwakilan Daerah yakni sebagai berikut.
a. menyampaikan usul dan pendapat;
b. memilih dan dipilih;
c. membela diri;
d. imunitas;
e. protokoler; dan
f. keuangan dan administratif.
Dalam Pasal 232 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2009, dan Pasal 257 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014
disebutkan perihal hak yang dimiliki oleh tiap-tiap anggota Dewan Perwakilan
Daerah yakni sebagaimana rumusan berikut ini.
a. bertanya;
b. menyampaikan usul dan pendapat;
c. memilih dan dipilih;
d. membela diri;
e. imunitas;
f. protokoler; dan
g. keuangan dan administratif.
Pembahasan terakhir terkait dengan kewajiban yang dimiliki oleh tiap-
tiap anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 50
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 yang dikutip sebagai
berikut.
a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-undang Dasar negara RI tahun 1945 dan mentaati segala
peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;
79
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara
kesatuan RI;
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
dan daerah;
g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan
daerah pemilihannya;
i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah; dan
j. menjaga etika dan moral adat daerah yang diwakilinya.
Sedangkan dalam Pasal 233 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2009, maupun dalam Pasal 258 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, terjadi perubahan frasa dalam konteks
kewajiban dari anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai berikut.
a) memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b) melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan menaati peraturan perundang-undangan;
c) mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
d) mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok,
golongan, dan daerah;
e) menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
f) menaati tata tertib dan kode etik;
g) menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
h) menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
i) memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada masyarakat di
daerah yang diwakilinya.
Dan terakhir, Dewan Perwakilan Daerah sebagai Perwakilan atau
Representasi Daerah di tingkat nasional atau “Regional Representatives”147
, merupakan
lembaga Negara yang baru yang juga merupakan bagian dari Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan diatur dengan dasar hukum Bab VII A Dewan Perwakilan Daerah pada
Pasal 24C dan Pasal 24D serta Undang-undang tentang Majelis Permusyawaratan
147
Lihat dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 193.
80
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
81
4. Lembaga Kepresidenan dan Wakil Presiden
Berbicara lembaga kepresidenan di Indonesia, dari awal kemerdekaan
menjadi satu-satunya lembaga Negara yang pembentukannya tidak diatur dengan
Undang-undang tertentu dan hanya dalam batang tubuh Undang-undang Dasar sebelum
terjadinya Amandemen terhadap Undang-undang Dasar Tahun 1945148
, sehingga lazim
disebut sebagai masa “executive heavy”149
.
Kemudian setelah terjadinya Amandemen atas Undang-undang Dasar Tahun
1945, mulai terjadi perubahan yang sangat mendasar terkait dengan lembaga
kepresidenan, yang lazim disebut sebagai pergeseran kekuasaan eksekutif yang
“executive heavy” menjadi “legislative heavy”150
.
Pertama, dalam Amandemen Pertama atas Undang-undang Dasar Tahun
1945, disebutkan terjadi perubahan atas pasal-pasal dengan fokus pada lembaga
kepresidenan yakni melalui perubahan pada Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13
Ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, maupun Pasal 17 Ayat (2) dan (3) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945151
, yang berfokus pada pergeseran “executive
heavy” menjadi “legislative heavy” dan mulai diadopsinya konsep “checks and balances
systems” dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia152
.
Kemudian, dalam Amandemen Ketiga atas Undang-undang Dasar Tahun
1945153
, disebutkan pula perihal perubahan pasal-pasal terkait lembaga kepresidenan
yakni diantaranya Pasal 6 Ayat (1) dan (2), Pasal 6A Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat
(4) dan Ayat (5), Pasal 7A, Pasal 7B Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5),
Ayat (6), dan Ayat (7), Pasal 7C, Pasal 8 Ayat (1) dan (2), Pasal 11 Ayat (2) dan Ayat
(3), serta Pasal 17 Ayat (4) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
148
Hanya dirumuskan terkait lembaga kepresidenan hanya pada Bab III Kekuasaan
Pemerintahan Negara pada Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 6
Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14,
hingga Pasal 15 Undang-undang Dasar Tahun 1945. Baca lebih lanjut dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 20-24. 149
Baca dalam Jimly Asshidiqie III, op.cit., hlm. 25-55. 150 Baca lebih dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 225-235. 151 Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 59-66. 152
Baca dalam Jimly Asshidiqie IV, op.cit., hlm. 289-293. 153
Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 83-102.
82
Dalam hal ini, penting untuk mengkaji bagaimana dalam Amandemen tersebut
terjadi perubahan terkait cara pengisian jabatan kepresidenan. Dimana dalam Undang-
undang Dasar Tahun 1945, lembaga kepresidenan menjadi satu-satunya lembaga Negara
yang tidak dipilih secara langsung namun melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat154
.
Dan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, ditentukan dalam Pasal 6
Ayat (1)155
bahwa Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus warga negara
Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena
kehendaknya sendiri, tidak pernah menghianati negara, serta mampu secara rohani dan
jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden,
adapun berkaitan dengan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang
diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003156
maupun
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008157
yang menjadi hukum
positif terkait pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Adapun berkaitan dengan kedudukan, tugas dan wewenang dari Lembaga
Kepresidenan, dimana Lembaga Kepresidenan yang dipimpin oleh seorang Presiden dan
seorang Wakil Presiden, pada masa sesudah amandemen Undang-undang Dasar Tahun
1945, terdapat pembedaan kedudukannya (dalam hal ini kedudukan Presiden), dimana
Presiden berkedudukan sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan.
Di samping kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan dan sebagai Kepala
Negara, Presiden Republik Indonesia juga berhak mengajukan Rancangan Undang-
Undang, membahas rancangan undang-undang bersama-sama Dewan Perwakilan
154
Baca dalam Bagir Manan, 1999, Lembaga Kepresidenan, Cetakan Pertama,
Jakarta : Gramedia Widiasarana, hlm. 35-60. 155 Lihat dan bandingkan dengan Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945
Pra- Amandemen dan baca lebih lanjut penjelasannya dalam Jimly Asshidiqie, 2010, Komentar atas
Pasal-pasal Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama,
Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 138-140. 156 Baca dalam Pasal II Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pasal 6 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003. Lihat lebih lanjut dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
diundangkan pada 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 93. 157
Baca lebih lanjut dalam Bab III Persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil
Presiden dan Tata Cara Penentuan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Pasal 5 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24
November 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
176 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.
83
Rakyat, mengesahkan, mengundangkan Undang-Undang dalam Lembaran Negara dan
beberapa kewenangan di bidang legislatif. Dalam hal ini, berdasarkan paparan di atas
maka kekuasaan Presiden dapat dikelompokkan menjadi empat yakni kekuasaan
Penyelenggaraan Pemerintahan, kekuasaan di bidang Perundang-undangan, kekuasaan
di bidang Yudisial, dan pula kekuasaan dalam hubungan luar negeri.158
Sehingga, dilihat dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa betapa
besar kekuasaan seorang Presiden menurut Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 meskipun telah terjadi pergeseran dari “executive heavy” menjadi “legislative
heavy” setelah terjadi Amandemen atas Undang-undang Dasar Tahun 1945159
.
5. Kekuasaan Kehakiman (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi)
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman160
di Indonesia, terdapat dua
kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dan berikut
akan dipaparkan lebih lanjut terkait kedua lembaga Negara tersebut.
a. Mahkamah Agung
Adapun dasar hukumnya dapat ditelusuri pada Bab IX Kekuasaan Kehakiman
dalam Pasal 24 Ayat (1), Pasal 24 Ayat (2), dan Pasal 24A Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang intinya menentukan bahwa Kekuasaan
kehakiman Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan Peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, disamping oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi161
.
158
Baca sebagai perbandingan dalam Bagir Manan, op.cit., hlm. 115, lihat pula Sri Soemantri,
1979, Persepsi terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh Undang-Undang
Dasar 1945, Bandung : Alumni, hlm. 113, dan Philipus M. Hadjon, op.cit., hlm. 42-43. 159 Sebagai perbandingan, baca dalam Pasal 4, Pasal 10 sampai dengan 15 Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I,
op.cit., hlm. 121, 130-131. 160
Adapun dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 Ayat (1) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa,”Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan”. Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 145. 161 Adapun Pasal 24 Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi,”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
84
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh Undang-undang162
. Dan dalam Mahkamah Agung, para
Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum163
.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman juncto Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung164
, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004165
dan
terakhir, dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009166
, Mahkamah
Agung tidak hanya melaksanakan fungsi Peradilan saja, namun berbagai fungsi lainnya
yakni fungsi peradilan, fungsi mengatur, fungsi penasihat, fungsi pengawasan dan fungsi
administratif.167
Dalam hal ini, berbicara konsep “Negara Hukum”, maka perlu adanya
Mahkamah Agung, sebagai badan atau lembaga yang mempunyai tugas menegakkan
tertib hukum, di samping Mahkamah Agung merupakan peradilan kasasi, mengawasi
kegiatan-kegiatan peradilan bawahan dan melakukan hak uji material peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-undang.
Bagir Manan memaparkan bahwa Mahkamah Agung merupakan badan
kekuasaan kehakiman tertinggi atau badan pengadilan Negara tertinggi. Sebagai
penyelenggara negara, Mahkamah Agung adalah lembaga Tinggi Negara seperti
sebuah Mahkamah Konstitusi“. Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 145-
146. 162
Baca dalam Pasal 24A Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi,”Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang“. Lihat lebih lanjut dalam
Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 146. 163
Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 146-
147. 164 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
diumumkan ke dalam Lembaran Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316. 165
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 9 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359. 166
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diundangkan 12
Januari 2009, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958. 167
Philipus M. Hadjon, op.cit, hlm. 59.
85
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Badan Pemeriksa
Keuangan (pada masa sebelum Undang-undang Dasar Tahun 1945 diamandemenkan).
Berbicara dari segi hubungan kelembagaan (institusional), Mahkamah Agung
hanya memiliki hubungan kelembagaan dengan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan lembaga negara yang lain, hanya ada hubungan kepenasihatan. Dan perlu
dicatat, hubungan tersebut ada yang bersifat searah dan ada yang dua arah. Adapun
hubungan dengan Presiden bersifat dua arah, dimana dari Presiden hubungan berkaitan
dengan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung, sedangkan dari Mahkamah
Agung kepada Presiden terdapat hubungan kepenasihatan yaitu memberikan nasihat atau
pertimbangan hukum kepada Presiden. Demikian juga, hubungan Mahkamah Agung
dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang bersifat dua arah, dimana dari Dewan
Perwakilan Rakyat, terdapat hubungan berkaitan dengan pencalonan Hakim Agung,
sedangkan dari Mahkamah Agung berkaitan dengan kepenasihatan.168
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa Mahkamah Agung memiliki peranan yang
penting dan fundamental dalam lingkup kekuasaan kehakiman nasional di Indonesia
dengan pengembangan hal-hal yang terkait dengan Mahkamah Agung dalam Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun Undang-undang terkait
dengan Mahkamah Agung.
b) Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga Negara yang baru dimunculkan
pasca terjadinya Amandemen atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945169
. Secara eksplisit disebutkan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dan secara jelas disebutkan pada Pasal 24 Ayat
(2)170
serta Pasal 24C Ayat (1) sampai dengan Ayat (6) pada Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
168 Bagir Manan, 1995, Memahami Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Secara
Historis, dalam H. Mashudi dan Kuntana Magnar, ed.al., Pertumbuhan dan Perkembangan
Konstitusi Suatu Negara, Bandung : Mandar Maju, hlm. 33-34. 169 Baca dalam Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm. 5-9. 170
Adapun Pasal 24A Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
berbunyi sebagai berikut,”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
86
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang diatur secara tegas dalam
Pasal 24C Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945171
yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang
Dasar, memutus pembubaran Partai Politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
Pemilihan Umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-undang Dasar.
Adapun Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan Orang anggota Hakim
Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga Orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga Orang oleh
Presiden. Dimana ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh
Hakim Konstitusi172
.
Dicatatkan pula bahwa Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai Konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dan terakhir, berkaitan
dengan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-Undang173
.
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi “. Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 145-
146. 171 Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 147-
148. 172
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 148. 173
Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 13
Agustus 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4316, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
diundangkan pada tanggal 20 Juli 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 70 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2013,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 167 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5456, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
87
Dalam tinjauan sejarah ketatanegaraan di Indonesia, ide awal munculnya
pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah sejak dilontarkannya usul Yamin dalam
sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada Juli 1945
yakni agar Mahkamah Agung “Balai Agung” diberikan wewenang membanding
Undang-Undang, tetapi usul Yamin tersebut ditolak oleh Soepomo dengan alasan
Undang-undang Dasar yang dibentuk tidak menganut "Trias Politika" dan jumlah
Sarjana Hukum pada saat itu jumlahnya sedikit174
.
Kemudian ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini berkembang terus,
sekitar tahun 1980-an muncul ide pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang yang
diajukan oleh para Sarjana Hukum terutama dari Pengacara. Namun, usul pengujian
konstitusionalitas Undang-Undang seperti usul IKADIN ditolak dengan alasan tidak
tepat berdasarkan Undang-undang Dasar 1945175
.
Kemudian dikaitkan dengan tujuan pembentukannya, pembentukan Mahkamah
Konstitusi dilandasi oleh pemikiran pertama, Perubahan struktur Ketatanegaraan dari
"sistem Supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat" ke pemisahan kekuasaan
berdasarkan prinsip "Checks and Balances System" di mana mekanisme demokrasi dapat
dikontrol dan diimbangi dengan "nomokrasi", serta kedua, Penegasan dan penguatan
prinsip negara hukum di mana "rule of the Constitution and Constitutional democracy"
diutamakan serta ingin dijalankan secara nyata dengan cara melakukan pengawalan
terhadap Undang-undang Dasar melalui Mahkamah Konstitusi176
.
Dan bilamana dibandingkan dengan negara lain maka ditemukan istilah
sebagai berikut, pertama, dalam sistem Perancis disebut Dewan Konstitusi, sedangkan
dalam sistem Jerman dikenal Mahkamah Konstitusi. Kedua, dalam tradisi "Common
Law" dan sistem Konstitusi Amerika Serikat, lembaga Mahkamah Konstitusi yang
tersendiri tidak dikenal, tetapi fungsinya langsung ditangani oleh Mahkamah Agung
yang disebut "the Guardian of American Constitution". Di Eropa Kontinental disebut
diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 5 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493. 174
Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid
I, Jakarta: Yayasan Prapanca, hlm. 341 – 342. 175 Jimly Asshidiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Jakarta : Konpress, (untuk selanjutnya disebut sebagai Jimly Asshidiqie III), hlm. 1. 176
Baca dalam Mahkamah Konstitusi, op.cit., hlm. 7-8.
88
demikian adalah Mahkamah Konstitusi. Serta ketiga, di negara-negara komunis dan
negara lainnya yang menganut sistem supremasi Parlemen, Mahkamah Konstitusi juga
tidak dikenal. Dalam sistem komunis ataupun tradisi Inggris dan Belanda yang menganut
doktrin "king or queen in Parliament.177
6. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
Berbicara terkait dengan Badan Pemeriksa Keuangan memiliki Kekuasaan
Eksaminatif yang telah diamanatkan dalam Bab VIII A tentang Badan Pemeriksa
Keuangan pada Pasal 23E sampai dengan Pasal 23G Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945178
.
Adapun tujuan adanya Badan Pemeriksa Keuangan yakni untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara yang diadakan melalui satu
Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri, dalam hal ini, hasil pemeriksaan
keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan Undang-undang,
kemudian hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau
badan sesuai dengan Undang-undang179
.
Adapun anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan
oleh Presiden, dalam hal ini180
, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan
oleh anggota, dimana baik pimpinan maupun anggota dari Badan Pemeriksa Keuangan
berkedudukan di ibukota Negara, dan memiliki perwakilan di setiap Provinsi, yang mana
segala ketentuan lainnya lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur
dengan Undang-Undang.
Menurut Philipus M. Hadjon, Badan Pemeriksa Keuangan negara merupakan
kelanjutan dari badan semacam itu yang pernah ada pada zaman Hindia Belanda181
.
177
Baca dalam Jimly Asshiddiqie III; op.cit, hlm. 2. 178
Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 144-
145. 179 Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 144. 180
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 145. 181
Baca Philipus M. Hadjon, op.cit, hlm. 54.
89
Dimana Prof. Soepomo pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
mengatakan: "... ada lagi satoe badan keuangan (rekenkamer) yang mengontrol
keuangan negara..."182
. Perlu diketahui, pada zaman Hindia Belanda, terdapat Algemene
Reken Kamer yang semula adalah alat eksekutif dengan tugas mengurus pembukuan.
Badan ini pertama kali di Hindia Belanda didirikan oleh Herman William Daendels
dengan nama "Generate Reken Kamer". Dan kemudian, dengan ditetapkan "Indische
Comtabilitaits Wet" pada Tahun 1864, Parlemen Belanda menyerahkan tugas untuk
mengadakan pemeriksaan dan penelitian tentang pelaksanaan anggaran negara yang
telah ditentukan, maka didirikanlah "Algemene Reken Kamer" yang terlepas dari
pengaruh kekuasaan eksekutif.183
Hingga kemudian, terbentuklah Badan Pemeriksa Keuangan pasca
ditetapkannya Undang-undang Dasar Tahun 1945 pada 18 Agustus 1945, yang
melanjutkan tugas badan "Algemene Reken Kamer" tersebut, dan kemudian pasca
Amandemen Undang-undang Dasar Tahun 1945, terdapat penegasan hukum dalam Bab
VIII A tentang Badan Pemeriksa Keuangan184
.
D. Hubungan Antar Lembaga Negara
1. Hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah
Adapun pasca perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah sebagai Lembaga Negara, tidak lagi sebagai
Lembaga Tertinggi Negara185
.
Bilamana dilihat dari perspektif kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai Lembaga Negara, pasca Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maka
seharusnya tugas dan wewenangnya sejajar dengan Lembaga Negara yang lainnya.
182
Lihat dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, Risalah Sidang
BPUPKI dan PPKI Tanggal 29 Mei-18 Agustus 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat
Negara Republik Indonesia, hlm. 125-128. 183 Baca lebih lanjut dalam Sri Soemantri, op.cit., hlm. 158-159. 184
Baca dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 125-135. 185
Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 35-55, 105-110.
90
Akan tetapi, bilamana dipandang dari segi Pasal 3 Ayat (1), Pasal 3 Ayat (2)
dan Pasal 3 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
maka tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat sesungguhnya masih
seperti yang dahulu dengan alasan bahwasanya Majelis Permusyawaratan Rakyat
berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik Presiden
dan/atau Wakil Presiden serta hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar, dan hanya berkurang
kekuasaannya yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat tidaklah lagi memilih Presiden
dan Wakil Presiden, dan memberikan "mandat" kepada Presiden. Oleh karena ditegaskan
bahwa kedaulatan adalah berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar serta Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh Rakyat.
2. Hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Presiden
Adapun hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Presiden
dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni sebagai
berikut186
.
a) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden
(Pasal 3 Ayat (2) Perubahan Undang-undang Dasar 1945)
b) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut
agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat (Baca sumpah atau Janji
Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 9 Ayat (1) Perubahan Undang-undang Dasar
1945).
c) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat
mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Pimpinan Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung (Pasal 9 Ayat (2)
Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
186
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 120-129.
91
d) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 3
Ayat (3) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
e) Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pelanggaran
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7A Perubahan Undang-undang Dasar
1945).
3. Hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
Adapun hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dapat
ditelusuri dalam bidang legislasi nasional sebagai dikutip dari Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut187
.
a) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.
(Pasal 20 Ayat (1) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
b) Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (Pasal 5 Ayat (1) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
c) Setiap Rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 Ayat (2) Perubahan
Undang-undang Dasar 1945).
d) Presiden mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi Undang-Undang. (Pasal 20 Ayat (4) Perubahan Undang-undang
Dasar 1945).
e) Dalam hal Rancangan Undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari, semenjak Rancangan
Undang-undang tersebut disetujui, Rancangan Undang-undang tersebut sah
menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
f) Rancangan Undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh
Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan
187
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 136-137.
92
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 23 Ayat (2)
Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
g) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang
pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah
menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. (Pasal 23
Ayat (3) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
h) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang. (pasal 22 Ayat (1)
Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
i) Peraturan Pemerintah tersebut harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan masa itu. (Pasal 22 Ayat (2) Perubahan Undang-undang
Dasar 1945).
j) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
(Pasal 22 Ayat (3) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
k) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. (Pasal 11 Ayat (1)
Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
l) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-
undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 11 Ayat (2)
Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
m) Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya
ditetapkan dengan Undang-Undang. (Pasal 12 Perubahan Undang-undang Dasar
1945).
n) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat. (Pasal 13 Ayat (2) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
o) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 13 Ayat (2), (3) Perubahan
Undang-undang Dasar 1945).
p) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 14 Ayat (2) Perubahan Undang-undang Dasar
1945).
93
4. Hubungan antara Presiden dan Dewan Pertimbangan Agung
Adapun sebelum Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diamandemen,
ditentukan dalam Bab IV Dewan Pertimbangan Agung pada Pasal 16 Undang-undang
Dasar Tahun 1945, Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden
dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah188
.
Kemudian, setelah terjadi Amandemen atas Undang-Undang Dasar Tahun
1945, dimana Bab IV Dewan Pertimbangan Agung dihapus189
, maka Dewan
Pertimbangan Agung dihapuskan sebagai salah satu lembaga Negara di Indonesia, dan
kemudian fungsinya digantikan dengan adanya suatu Dewan Pertimbangan yang
dibentuk oleh Presiden, dan memiliki tugas memberikan nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang.
5. Hubungan Presiden dan Kementerian Negara
Adapun dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 sebelum diamandemen190
,
disebutkan bahwa hubungan antara Presiden dengan kementerian Negara terlihat
dengan adanya ketentuan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara yang
mana diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan dalam hal membantu Presiden,
maka menteri-menteri tersebut memimpin departemen pemerintahan.
Kemudian setelah Undang-undang Dasar 1945 diubah191
, terjadi perubahan
hanya pada Pasal 17 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menjadi,”Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”
dan dalam hal ini, dipertegas pula berkaitan dengan pembentukan, pengubahan dan
pembubaran kementerian negara diatur dalam Undang-undang192
.
188 Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 23. 189
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 104-118, 132. 190
Baca dalam Bab V Kementerian Negara pada Pasal 17 Ayat (1), Ayat (2) dan
Ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945. Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I,
op.cit., hlm. 24. 191
Baca dalam Bab V Kementerian Negara pada Pasal 17 Ayat (1), Pasal 17 Ayat
(2), Pasal 17 Ayat (3), dan Pasal 17 Ayat (4) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 132-133. 192 Adapun perihal Penjabaran Pasal 17 Ayat (4) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 telah dirumuskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, diundangkan pada 6 November 2008, diumumkan ke
94
6. Hubungan Presiden/Pemerintah dengan Mahkamah Agung
Adapun menurut Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, hubungan
antara Presiden/Pemerintah dengan Mahkamah Agung terdapat dalam konteks
melakukan peradilan, mengadakan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan, serta
dalam konteks memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Presiden tentang
permohonan grasi193
, sebagaimana telah ditegaskan kemudian dalam Pasal 14 Ayat (1)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945194
ditentukan bahwa
Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung.
7. Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa Keuangan
Ditinjau dari Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa Keuangan,
terdapat dalam konteks hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
sesuai dengan Undang-Undang, yang kemudian hasil pemeriksaan tersebut
ditindaklanjuti oleh Lembaga Perwakilan dan/atau badan sesuai dengan Undang-
Undang195
.
Kemudian, menurut Mohammad Kusnardi dan Bintan R. Saragih196
, dalam
bukunya Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-undang Dasar 1945
dikemukakan bahwa hubungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa
Keuangan yakni meliputi perihal mengikuti dan memeriksa penggunaan anggaran
belanja oleh pemerintah, memberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
hasil pemeriksaannya sebelum pemerintah memberikan nota keuangan beserta rancangan
anggaran belanja tahun berikutnya, serta berdasarkan penilaian tersebut Dewan
Perwakilan Rakyat memberikan pertimbangan-pertimbangan penetapan rancangan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4916. 193
Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, 1994, Susunan Pembagian
Kekuasaan Menurut Sistem Undang-undang Dasar 1945, Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara,
hlm. 174. 194 Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 22. 195
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 144. 196
Baca dalam Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, op.cit., hlm. 175.
95
anggaran belanja negara tahun berikutnya, dan memberikan penjelasan tambahan tentang
laporan penilaian tersebut serta memberikan nasihat-nasihat teknis kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
E. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, makin jelaslah bahwa dalam konteks Lembaga
Negara di Indonesia dari awal kemerdekaan hingga pada masa Reformasi ini terjadi
perubahan yang signifikan mengingat perkembangan dan dinamika ketatanegaraan
sebagai ekses dari Amandemen atas Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan mengarah
pada terciptanya politik hukum nasional dengan pembentukan peraturan perundang-
undangan terkait dengan tugas, fungsi, konsep, peranan dan wewenang, kedudukan,
susunan, maupun konstruksi dari keseluruhan Lembaga Negara di Indonesia.
96
97
DAFTAR BACAAN
PB.III LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA
Sumber Literatur
Anonymous, 2002, Undang-undang Dasar ‘45 Amandemen ke-4 Tahun
2002; Semarang : Penerbit Aneka Ilmu.
__________, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003,
tentang Susduk, Bandung: Penerbit "Citra Umbara", 2003.
Anwar, Chairul, 1999, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta :
Penerbit CV. Novindo Pustaka Mandiri.
Asshiddiqie, Jimly, 2002, Konsolidasi Naskah Undang-undang Dasar 1945
Setelah Perubahan Keempat, Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas
Hukum Universitas lndonesia.
________________, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia,
Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta.
________________, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara, Jakarta : Konpress.
________________, 2010, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga
Negara Pasca Reformasi, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar Grafika.
________________, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar
Grafika.
________________, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi
Revisi, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
Atmadja, I Dewa Gede, 2006, Hukum Konstitusi : Hukum Konstitusi,
Perubahan Konstitusi Sudut Pandang Perbandingan, Denpasar : Bali Aga.
Budiardjo, Miriam, 1981, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT.
Gramedia.
Busro, H. Abubakar, dan Abu Daud Busroh, 1984, Hukum Tata Negara, Jakarta :
Ghalia Indonesia.
Busroh, Abu Dauh, 2010, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ketujuh, Jakarta :
Sinar Grafika.
98
Hadjon, Philipus M., 1987, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan,
Surabaya: Penerbit PT. Bina Ilmu.
Huda, Ni’matul, 2008, Undang-undang Dasar 1945 dan Gagasan Amandemen
Ulang, Cetakan Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
_____________, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi,
Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
Indrayana, Denny, 2011, Indonesia Optimis, Cetakan Pertama, Jakarta :
Kompas Gramedia Group.
Joeniarto, 1986, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta : Bina Aksara.
Kelsen, Hans, 1945, General Theory of Law and State, New York: Russel &
Russel.
Koesnardi, Mohammad, dan Bintan R. Saragih, 1994, Susunan Pembagian
Kekuasaan Menurut Sistem Undang-undang Dasar 1945, Jakarta : Pusat Studi
Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.
Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku II Lembaga
Perwakilan, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
___________________, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis
Permusyawaratan Rakyat Indonesia.
______________________________, 2011, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003, Cetakan Kesepuluh, Jakarta :
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Manan, Bagir, 1995, Memahami Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Secara
Historis, dalam H. Mashudi dan Kuntana Magnar, ed.al., Pertumbuhan dan Perkembangan
Konstitusi Suatu Negara, Bandung : Mandar Maju.
____________, 1999, Lembaga Kepresidenan, Cetakan Pertama, Jakarta :
Gramedia Widiasarana.
99
MD, Moh. Mahfud, 2001, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta :
Rineka Cipta.
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI
Tanggal 29 Mei 1945 sampai 18 Agustus 1945, Jakarta : Sekretariat Negara Republik
Indonesia.
Suny, Ismail, 1983, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta : Bina Cipta.
Soemantri, Sri, 1979, Persepsi terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan
Konstitusi dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Bandung : Alumni.
Yamin, Muhammad, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
Jilid I, Jakarta: Yayasan Prapanca.
Jurnal, Makalah dan Karya Tulis Ilmiah Terkait
Arifin, Firmansyah et.al., Hasil Penelitian Sementara tentang Lembaga Negara,
2004, Jakarta.
Arifin, Firmansyah, Hukum dan Kuasa Konstitusi: Catatan-catatan untuk
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Jakarta:
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2004.
Peraturan Perundang-undangan Terkait
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
III/Majelis Permusyawaratan Rakyat/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata
kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan /atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, diumumkan ke dalam Lembaran Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985
Nomor 73 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310.
100
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 31 Juli 2003,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2003, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4316.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4359.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan
Pertimbangan Presiden, diundangkan pada tanggal 28 Desember 2006, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 108 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4670.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara, diundangkan pada 6 November 2008, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November
2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diundangkan
12 Januari 2009, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043.
101
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada 20
Juli 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, diundangkan pada 15 Januari 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5493.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 15 Desember 2014,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 383 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5650.
Peraturan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 17
Oktober 2013, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
167 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5456.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 11.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 12.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 13.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 14.
102
PB. III
OTONOMI DAERAH
A. Otonomi Daerah
Dalam pokok bahasan ini, akan dibahas terkait konsep Otonomi Daerah dalam
konteks Pemerintahan Daerah, yang akan membahas sub bahasan terkait Prinsip Negara
Kesatuan, kemudian berkaitan dengan asas-asas penyelenggaraan Pemerintahan di
Daerah, serta kajian yuridis terkait Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2004, serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Berikut akan dipaparkan secara komprehensif terkait keseluruhan
pokok bahasan terkait Otonomi Daerah.
1. Prinsip Negara Kesatuan
Berkaitan dengan konsep Negara Kesatuan, Indonesia secara konsisten
mempertahankan prinsip Negara Kesatuan melalui ketentuan yang secara eksplisit tetap
dipertahankan yakni melalui Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945197
yang menyatakan bahwa,“Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan, yang berbentuk Republik”198
dan mengindikasikan Indonesia sebagai suatu
Negara Kesatuan bukan sebagai Negara Federal dan menjadi kunci pokok dalam
membahas Otonomi Daerah dalam Ketatanegaraan di Indonesia.
197 Berdasarkan kesepakatan dasar dalam pengamandemenan Undang-undang Dasar
Tahun 1945, salah satunya yakni tetap mempertahankan prinsip Negara Kesatuan. Lihat dalam
Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Buku I Bentuk Negara dan Pemerintahan, Cetakan Pertama,
Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 11-
15 dan lihat pula dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. iii-iv. 198
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. iii-v, 3, 122.
103
Bilamana dengan keilmuan hukum kenegaraan khususnya dalam Ilmu
Negara, ditinjau dari perspektif struktur kedaulatan (sovereignty structure)199
dalam kajian Ilmu Negara tersebut, Republik Indonesia dapat dikatagorikan
sebagai Negara Kesatuan (Unitary Government) dalam konteks suatu negara
kedaulatannya berada pada pemerintah pusat yang berbentuk negara kesatuan
yang didesentralisasikan dengan asas otonomi, asas tugas pembantuan serta
asas dekonsentrasi.
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, menurut Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 baik sebelum maupun sesudah amandemen menentukan bentuk negara
Indonesia yakni republik sementara untuk bentuk susunan negara Indonesia yakni
Negara Kesatuan.
Menurut Joeniartho, digunakan istilah “bentuk susunan negara” untuk
menunjukkan negara kesatuan/ federasi.200
Pendapat yang sama juga dianut oleh
Mohammad Kusnardi dan Harmaily Ibrahim yang menyatakan bahwa “susunan negara”
ditujukan untuk negara kesatuan atau federasi, sedangkan “bentuk Negara” ditujukan
paba bentuk republik atau monarki, dan ditambahkan oleh mereka bahwasanya ciri
negara kesatuan dapat dilihat dengan membandingkannya dengan negara serikat.
Mohammad Koesnardi dan Harmaily Ibrahim mencoba mengidentifikasinya
dengan menggunakan kriteria yang digunakan oleh CF. Strong dan kriteria dari KC.
Wheare sebagai berikut.201
199 Secara umum menurut Muchtar Pakpahan, berdasarkan struktur kedaulatan
(sovereignty structure), negara dapat dibagi menjadi tiga yakni Negara Kesatuan (Unitary
Government), yaitu suatu negara yang kedaulatannya berada pada pemerintah pusat yang
berbentuk negara kesatuan yang didesentralisasi dengan asas otonomi, asas tugas pembantuan,
dan asas dekonsentrasi. Contohnya adalah negara Indonesia, Imperium (Empire Colony
dependency), yaitu suatu negara yang sebagian urusan negaranya masih diatur di bawah negara
yang menjajahnya atau yang pernah menjajahnya. Contohnya, Irlandia Utara “The Northern
Ireland” serta Wales (di bawah “Inggris Raya” atau dalam satu Great Britain), serta Negara
Serikat (Federal Government), yaitu suatu negara yang pemerintahannya terikat pada bentuk
negara serikat atau federal. Contohnya, Malaysia. Baca dalam Muchtar Pakpahan, 2010, Ilmu
Negara dan Politik, Jakarta : Bumi Intan Sejahtera, hlm. 94-98. 200
Joeniartho, 1967, Seri Ilmu Hukum Tatanegara : Pemerintah Lokal, Yogyakarta :
Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, hlm. 8. 201 Mohammad Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, 1981, Pengantar Hukum
Tatanegara Indonesia, Cetakan Keempat, Jakarta : Pusat Studi Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, hlm. 166.
104
Menurut KC. Wheare, pada negara serikat, negara bagian mempunyai
kewenangan untuk membuat Undang-Undang Dasarnya sendiri, di samping adanya
Undang-Undang Dasar Federal. Sedangkan, dalam negara kesatuan hanya ada satu
Undang-Undang Dasar, provinsi tidak memiliki wewenang membentuk atau memiliki
undang undang dasarnya sendiri.
Sedangkan menurut CF. Strong, pada negara federasi wewenang pemerintahan
federal ditentukan secara rinci, sedangkan kekuasaan atau kewenangan sisa (residu
power)-nya ada pada negara bagian. Sebaliknya, pada negara kesatuan, residu power-nya
ada pada pemerintah federal. Adapun ukuran tersebut, pada umumnya dapat diterima,
namun kemungkinan dalam prakteknya berbeda tergantung pada konstitusi tiap-tiap
negara, contohnya Kanada sebagai negara serikat, namun residu power-nya ada pada
negara-negara bagian.202
Di Indonesia, saat berada di bawah rezim Undang-undang Pemerintahan
Daerah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah203
, justru menunjukkan hal yang sebaliknya, berdasarkan Pasal 7
sampai Pasal 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom dirinci secara
tegas, dimana residu power-nya ada pada Kabupaten atau Kota, walaupun Indonesia
negara kesatuan, hal tersebut tetap berlangsung sampai dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tersebut
dicabut dan kemudian digantikan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah204
, yang kemudian telah diubah melalui
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005205
, dan kemudian terakhir
202
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 169-170, juga bandingkan
dengan Padmo Wahjono, 1966, Diktat Ilmu Negara, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, hlm. 147. 203
Lihat lebih lanjut dalam Bab IV Kewenangan Daerah pada Pasal 7 sampai
dengan Pasal 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, diundangkan pada tanggal 7 Mei 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor ... dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839. 204
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437. 205
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
105
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah206
yang masih
berlangsung hingga Tahun 2014.
Hingga kemudian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah207
yang kemudian dua kali telah mengalami perubahan
yakni melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2014208
, yang kemudian menjadi Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2015209
, serta terakhir melalui Undang-undang Republik Indonesia
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548. 206
Substansi Perubahan Kedua atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2004 yakni pada Pasal 26 ditambahkan 4 (empat) Ayat yakni Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6) dan Ayat (7), Pasal 42
Ayat (1) huruf i dihapus dan penjelasan Ayat (1) huruf e diubah, Pasal 56 Ayat (2) diubah, Pasal 58 huruf d dan
huruf f diubah, huruf l dihapus serta ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf q, Pasal 59 ayat (1) diubah, di antara
ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 5 (lima) ayat, yakni ayat (2a), ayat (2b), ayat (2c), ayat (2d), dan ayat (2e), ayat
(3) dihapus, di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a), dan di antara ayat (5) dan
ayat (6) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (5a) dan ayat (5b), Di antara Pasal 59 dan Pasal 60 disisipkan 1 (satu)
pasal, Yakni Pasal 59A, Pasal 60 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) diubah, dan di antara ayat (3) dan ayat (4)
disisipkan 3 (tiga) ayat, yakni ayat (3a), ayat (3b), dan ayat (3c), serta ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6),
Pasal 62 62 ayat (1) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 3 (tiga) ayat, yakni ayat (1a), ayat
(1b), dan ayat (1c), serta ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3), Pasal 63 ayat (1) dan ayat (3) diubah, dan di
antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (1b), serta ditambah 4 (empat) ayat,
yakni ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 64 ayat (2) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat
(3), Pasal 75 ayat (3) diubah, Pasal 107 ayat (2) dan ayat (4) diubah, di antara ayat (5) dan ayat (6) Pasal 108
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a), Pasal 115 ditambah 3 (tiga) ayat, yakni ayat (7), ayat (8), dan ayat (9),
Pasal 233 ayat (1) dihapus, ayat (2) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3), Pasal 235 diubah dan
ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (2), Di antara Pasal 236 dan Pasal 237 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal
236A, Pasal 236B, dan Pasal 236C, serta Di antara Pasal 239 dan Pasal 240 disisipkan 1(satu) pasal, yakni
Pasal 239A. Lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 28 April
2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844. 207 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5587. 208 Lihat dalam Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 246 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5589. 209
Substansi Perubahan Pertama atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2014 yakni Pasal 101 Ayat (1) huruf d, dan Pasal 154 Ayat (1) huruf d. Lihat dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
diundangkan pada tanggal 2 Februari 2015, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 24 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5657.
106
Nomor 9 Tahun 2015210
, telah mempertahankan dengan konsisten konsep Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa tetap
mempertahankan residu power kepada pihak pemerintah pusat dan tidak kepada
pemerintah daerah, sebagaimana bila di dalam negara Federal, pemerintah negara bagian
diberikan residu power dari kekuasaan asli Pemerintah Pusat Negara Federal tersebut211
.
Kriteria lain untuk membedakan suatu negara kesatuan dan federasi adalah
pada kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam negara. Menurut Jean Bodin212
,
kedaulatan adalah wewenang tertinggi yang tidak dibatasi oleh hukum dari penguasa
atau warga negara dan orang-orang lain dalam wilayahnya. Kedaulatan adalah atribut
dari negara, negara tanpa kedaulatan bukanlah negara. Ciri-ciri khusus yang merupakan
bagian pelengkap dari konsep kedaulatan menurut Jean Bodin adalah sebagai berikut213
.
1) Membuat undang-undang atau hukum untuk warga negara tanpa dibatasi oleh
sesuatu kekuasaan lain yang sederajat atau yang lebih rendah
2) Wewenang membuat uang, memaklumkan perang, menentukan badan-badan
peradilan, wewenang pengawasan dan lain-lain.
Sarjana Jerman menyebut nya dengan kompetenz-kompetenz dan dalam bahasa
Perancis disebut de la competence de la competence yaitu wewenang yang menentukan
segala wewenang yang ada di dalam negara atau kekuasaan untuk menentukan segala
hukum yang ada dalam negara.214
210
Substansi dalam Perubahan Kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yakni Pasal 63 Ayat (1), Pasal 65 Ayat (1) huruf f
dihapus, Pasal 66 Ayat (3) diubah menjadi satu Ayat yakni Ayat (4), Pasal 88 diubah bunyinya,
Pasal 101 diantara huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1, serta Pasal 154 antara Ayat (1) diantara
huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1. Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 18 Maret 2015, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5679. 211
Baca dalam Ni’matul Huda, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi,
Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 315-330. 212 Jhr.Dr.JJ von Schmid, 1980, Groot Denker Over Staats En Rechts (van Plato tot
Kant), Terjemahan oleh Wiranto, R. Djamaluddin Dt Singomangkuto dan Djamadi, dengan judul:
Ahli-Ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum. Cetakan Kelima, Jakarta : PT. Pembangunan,
hlm. 109. 213 Baca dalam Busroh Abu Daud, 2010, Ilmu Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta :
Sinar Grafika, hlm. 125-129. 214
Padmo Wahjono, op.cit., hlm. 162.
107
Pada negara kesatuan, kedaulatan bersifat bulat dan tunggal atau monistis yang
dipegang oleh Pemerintah Pusat, sedangkan pada negara federasi, kedaulatan yang
dianut adalah kedaulatan yang bersifat pluralistik artinya dapat dibagi-bagi yaitu
sebagian pada pemerintah federal dan sebagian pada negara-negara bagian.215
Kriteria ini
tampak lebih jelas untuk dapat membedakan antara negara yang bersusunan kesatuan
dan federasi yang mirip dengan kriteria KC Wheare di atas.
Prinsip Negara Kesatuan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum
Amandemen, ditentukan dengan tegas dalam Pasal 1 Ayat (1) dan dipertegas lagi dalam
penjelasan Pasal 18 Romawi I yang berbunyi sebagai berikut216
.
“Oleh karena Negara Indonesia itu suatu”eenheidstaat”, maka Indonesia
tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat ”staat”juga. Daerah
Indonesia akan dibagi dalam daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi akan di
bagi-bagi pula dalam daerah-daerah yang lebih kecil.
Daerah ini bersifat otonom (streek dan locale rechtgemeenschaps) atau
bersifat administrative belaka, semua menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-
undang”.
Prinsip ini tetap dipegang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, bahwa dalam kesepkatan dasar dalam Amandemen Undang-
undang Dasar Tahun 1945, dimana Penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang
bersifat normatif tidak dihapus dan dituangkan substansinya ke dalam batang tubuh
Undang-undang Dasar.
Kemudian dalam Amandemen Kedua pada Tahun 2000217
, substansinya
dituangkan dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar dalam Bab VI tentang
Pemerintah Daerah yang dapat dikutip sebagai berikut.
Pasal 18 **)218
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
215 Padmo Wahjono, op.cit., hlm. 256. 216
Penjelasan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan bagian terpisah dari
Naskah Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang kemudian diumumkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia Nomor II Tahun 1946. Untuk kutipan lihat dalam Majelis Permusyawaratan
Rakyat I, op.cit., hlm. 47. 217
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. iii-vi, 84-103. 218
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 133-134.
108
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang. **)
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. **)
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum. **)
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah
Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. **)
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat. **)
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. **)
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-
undang. **)
Pasal 18A **)219
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. **)
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.**)
Pasal 18B **)220
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. **)
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang. **)
219
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 134-135. 220
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 135.
109
Sehingga ditinjau dari segi hukum dasar negara yakni Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun Undang-undang terkait Pemerintahan
Daerah, tampak jelas prinsip Negara Kesatuan tetap dipertahankan dengan mengacu
hanya ada satu Pemerintahan Pusat dengan satu konstitusi dan seluruh provinsi yang ada
tunduk pada konstitusi negara dengan tidak memiliki kewenangan memiliki konstitusi
sendiri, dan yang paling substansial, bahwa residu power ada di tangan pemerintah pusat
bukan pada pemerintah daerah sebagaimana terjadi dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah
Logemann menyatakan bahwa negara adalah organisasi jabatan-jabatan,
struktur jabatan dalam sebuah negara memiliki hubungan horizontal maupun vertikal221
.
Pembagian jabatan secara horizontal akan melahirkan sistem pemerintahan, sedangkan
pembagian jabatan secara vertikal berkaitan erat dengan hubungan pemerintah pusat
dengan pemerintahan di daerah, sehingga akan menyangkut sistem pemerintahan di
daerah. Hubungan vertikal tersebut diselenggarakan dengan asas dekonsentrasi, asas
desentralisasi dan asas medebewind atau tugas pembantuan.
Berikut akan dipaparkan lebih lanjut terkait hal-hal yang bersambungan
dengan objek dan titik berat kajian Otonomi Daerah dalam tinjauan yuridis keilmiahan
dari beberapa literatur terkait Otonomi Daerah.
A. Asas Desentralisasi
Adapun yang dimaksud dengan asas desentralisasi adalah lawan dari asas
sentralisasi. Asas sentralisasi sendiri merupakan suatu asas yang memusatkan seluruh
kebijakan negara atau kewenangan mengatur ada pada pemerintah pusat sampai pada
masalah sekecil-kecilnya dan tidak ada penyerahan wewenang untuk mengatur pada
aparatur di daerah. Sebaliknya pada asas desentralisasi yang artinya tidak sentralisasi,
berarti ada penyerahan wewenang untuk mengatur berdasarkan inisiatif aparat
pemerintah daerah, dan kewenangan untuk mengatur inilah yang disebut dengan
221
Usep Ranawijaya, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta
: Ghalia Indonesia, hlm. 13-14.
110
otonomi. Desentralisasi berarti ada penyerahan wewenang kepada aparat daerah daerah
otonom, yang intinya adalah pembagian kekuasaan222
.
B. Daerah Otonom
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom (Gemeente) merupakan
suatu persekutuan penduduk yang disatukan oleh hubungan setempat atau sedaerah,
yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut.223
1. Adanya wilayah atau lingkungan yang lebih kecil dari pada negara.
2. Adanya penduduk yang mencukupi.
3. Adanya kepentingan-kepentingan yang coraknya sukar dibedakan dengan
kepentingan negara.
4. Adanya organisasi yang memadai untuk menyelenggarakan kepentingan-
kepentingan itu.
5. Adanya kemampuan untuk menyediakan biaya yang diperlukan.
C. Arti Otonomi dan Otonomi Daerah
Kemudian, kata otonomi sendiri berasal dari kata Latin yakni “auto” yang
bermakna “sendiri” dan “nomoi” yang bermakna “undang-undang”, sehingga otonomi
daerah berarti membuat undang-undang sendiri224
. Namun, pengertian tersebut terlalu
sempit, dikarenakan dalam kenyataannya Pemerintah Daerah tidak hanya membuat
undang-undang atau menjalankan fungsi legislatif saja, melainkan menjalankan fungsi
penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif) daerah.
Dilihat dari sejarah perkembangan pemerintahan daerah225
, adapun istilah
daerah otonom disebut dengan daerah swatantra dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1957226
dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18
222
Joeniartho, op.cit., hlm. 15-21. 223
J. Wajong, 1975, Azas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Jakarta : Penerbit
Djambatan, hlm. 8. 224 Lihat dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 307-308. 225
Pelajari lebih lanjut terkait pula dengan politik hukum yang melingkupi
perjalanan sejarah perkembangan Undang-undang Pemerintahan Daerah dari awal Kemerdekaan
hingga saat ini dalam Mahfud MD., op.cit., hlm. 35-118 dan Jimly Asshidiqie, op.cit., hlm. 345-
450. 226
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 18 Januari 1957, diumumkan ke dalam Lembaran
111
Tahun 1965227
, atau swapraja dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948228
, yang
berarti menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Namun, kemudian dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974229
dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 menggunakan nama daerah otonom, dan kemudian
terakhir dengan rezim Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Republik Indonesia disebut Propinsi dan daerah yang lebih kecil
disebut Kabupaten/ Kota mengikuti rumusan Bab VII Pemerintah Daerah Pasal 18 Ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
D. Asas Dekonsentrasi
Sedangkan yang dimaksud dengan asas dekonsentrasi adalah lawan dari asas
konsentrasi. Asas konsentrasi sendiri berarti seluruh penyelenggaraan administrasi
pemerintahan diselenggarakan oleh pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota
negara, dimana semua diselenggarakan di pusat. Sedangkan asas dekonsentrasi artinya
tidak konsentrasi, yang berarti dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat
menempatkan pejabat-pejabatnya didaerah yang bertugas sebagai tangan pemerintah
pusat di daerah, dan hal yang paling inti dan substansial dari asas dekonsentrasi adalah
pelimpahan tugas penyelenggaraan atau administrasi saja, bukan penyerahan
wewenang230
.
E. Asas Medebewind atau Asas Tugas Pembantuan
Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 6 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1143. 227 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 1 September 1965, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 83 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2778. 228 Banyak pakar ketatanegaraan menyatakan bahwa Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 1948 merupakan Undang-undang pertama di bidang Pemerintahan
Daerah, namun banyak yang menyatakan bahwa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1945 sebagai Undang-undang pertama di bidang Pemerintahan Daerah, meskipun
substansinya hanya terkait pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah. Baca dalam Mahfud
MD., op.cit., hlm. 45-50. Lihat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1945 tentang
Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, diundangkan pada tanggal 23 November
1945. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan
Pokok mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus
Rumah Tangganya Sendiri, diundangkan pada tanggal 10 Juli 1948. 229
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah, diundangkan pada tanggal 23 Juli 1974, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3037. 230
Baca Joeniartho, op.cit., hlm. 21-25.
112
Serta asas medebewind atau asas tugas pembantuan adalah suatu asas yang
memungkinkan pemerintah pusat untuk meminta bantuan aparat pemerintah daerah
otonom untuk mengurus atau melaksanakan urusan pemerintah pusat didaerah.
Dengan demikian, pemerintah daerah otonom hanya bertugas melaksanakan
sesuai dengan perintah atau petunjuk pemerintah pusat231
.
Untuk lebih jelas dapat membedakan antara asas desentralisasi dengan
dekonsentrasi dan medebewind, dapat dilihat dari perbedaan ciri-ciri masing-masing
sebagai berikut.232
Tabel 1. Perbedaan Ciri-ciri dari Asas Desentralisasi, Asas Dekonsentrasi, dan Asas
Medebewind/ Tugas Pembantuan
Nomor Ciri-ciri asas
Desentralisasi
Ciri-ciri asas
Dekonsentrasi
Ciri-ciri
Medebewind/ Tugas
Pembantuan
1
Adanya penyerahan
wewenang untuk
mengatur dan
mengurus urusan-
urusan tertentu
sebagai urusan rumah
tangga sendiri (hak
otonomi).
Urusan yang
diselenggarakan
adalah urusan
pemerintah pusat di
daerah.
Urusan yang
diselenggarakan
adalah urusan
pemerintah pusat.
231
Lihat Joeniartho, op.cit., hlm. 25-27. 232
Joeniartho, op.cit., hlm. 15-27.
113
2
Aparatur yang
diserahi wewenang
itu adalah aparatur
pemerintah daerah
otonom.
Aparat yang
menyelenggarakan
urusan itu adalah
pejabat pemerintah
pusat yang ada di
daerah.
Yang ditugaskan
adalah pemerintah
daerah otonom.
3
Penyelenggaraan
urusan-urusan
otonom itu dilakukan
atas dasar inisiatif
sendiri atau kebijakan
pemerintah daerah
otonom.
Sifat
penyelenggaraan itu
hanya menjalankan
kebijaksanaan
pemerintah pusat,
inisiatif ada pada
pemerintah pusat.
Aparat di daerah
hanya bersifat
administratif belaka.
Dalam
penyelenggaraan
urusan itu
berdasarkan petunjuk
pemerintah pusat.
4
Hubungan antara
pemerintah pusat
dengan daerah
otonom adalah
hubungan
pengawasan.
Hubungan antara
pemerintah pusat
dengan aparat di
daerah adalah
hubungan
menjalankan
perintah.
Hubungan antara
yang memberi tugas
dan yang ditugaskan
adalah hubungan
menjalankan
perintah.
5
Sumber pembiayaan
urusan otonom itu
adalah keuangan
daerah otonom itu
sendiri yang
dituangkan dalam
Anggaran Pendapatan
Sumber
pembiayaanya adalah
dari pemerintah
pusat (APBN).
Sumber pembiayaan
urusan tersebut
berasal dari yang
memberi tugas, dan
yang ditugasi
berkewajiban
memberi
114
dan Belanja Daerah
(APBD).
pertanggungjawa-
ban.
Sumber : Diolah dari Buku Tatanegara Seri Pemerintah Lokal, Joeniartho, 1967.
Ketiga asas penyelenggaraan pemerintahan secara vertikal ini selalu ada
terutama dalam negara yang memiliki wilayah yang luas, termasuk di Indonesia sejak
kemerdekaan sampai sekarang. Yang kemungkinan berbeda-beda adalah pada substansi
wewenang yang diserahkan kepada pemerintah daerah otonom, dan perihal tersebut
berkaitan dengan otonomi daerah.
F. Ajaran tentang Pengisian Otonomi Daerah
Berikut ini dibahas mengenai ajaran tentang pengisian otonomi daerah.
Terdapat tiga macam ajaran otonomi daerah yakni ajaran otonomi materiil, ajaran
otonomi formil dan ajaran otonomi riil atau otonomi nyata. Berikut akan dijabarkan
secara singkat perihal ketiga ajaran tersebut.
1) Ajaran Otonomi Materiil
Ajaran ini pada pokoknya bertitik tolak pada pandangan bahwa ada perbedaan
kakekat yang prinsipil antara tugas yang dilakukan oleh pemerintah pusat dengan apa
yang dilakukan oleh pemerintah daerah otonom. Adapun perlu digarisbawahi bahwa
berkaitan dengan urusan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat dengan segala
urusan yang dapat dikerjakan oleh daerah otonom secara materiil sangat berbeda.233
Urusan-urusan yang diserahkan pada daerah otonom harus dirinci dengan tegas dalam
undang-undang pembentukan daerah otonom tersebut, sehingga tidak mungkin untuk
ditambah atau dikurangi.
2) Ajaran Otonomi Formil
Ajaran ini adalah kebalikan dari ajaran otonomi materiil yang didasarkan pada
pandangan bahwa tidak ada perbedaan hakiki antara urusan yang dapat dilakukan oleh
pemerintah pusat dengan urusan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah
233
Joeniartho, op.cit., hlm. 30 dan bandingkan pula dengan Mohammad Koesnardi
dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 254.
115
otonom, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dapat saja melakukan urusan
tersebut, namun atas dasar pertimbangan daya guna dan hasil guna , maka urusan-urusan
tertentu diserahkan kepada daerah otonom, dengan menekankan bahwa urusan tersebut
harus dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang jelas. Jadi,
pertimbangan utama ditekankan pada efisiensi dan efektivitas pemerintahan,
kemungkinan untuk menambah atau mengurangi urusan yang diserahkan kepada daerah
otonom tetap ada berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitasnya.234
3) Ajaran Otonomi Riil atau Otonomi Nyata
Ajaran ini menekankan pada suatu prinsip bahwa pemberian otonomi kepada
daerah otonom didasarkan atas pertimbangan kondisi nyata, kebutuhan serta kemampuan
daerah otonom untuk menyelenggarakan urusan tertentu, di samping pertimbangan
efisiensi dan efektivitas. Penerapan ajaran tersebut ditempuh dengan cara pemberian
urusan pangkal pada saat terbentuknya daerah otonom tersebut, kemudian berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan keadaan dan kebutuhan nyata, urusan tersebut dapat
ditambah atau ditarik kembali oleh pemerintah pusat.235
Adapun prinsip otonomi nyata tersebut sudah dianut Indonesia dalam beberapa
peraturan perundang-undangan sebagai berikut236
.
� Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1957 dengan otonomi yang
seluas-luasnya.
� Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 dengan prinsip
otonomi nyata dan bertanggungjawab237
.
� Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 dengan prinsip
otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab238
.
234
Baca dalam Joeniartho, op.cit., hlm. 31. 235
Lihat Joeniartho, op.cit., hlm. 32. 236
Lihat dalam Mahfud MD., op.cit., hlm. 75-103. 237 Lihat dalam Penjelasan Bagian I Umum huruf f dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 1999 yang berbunyi,”Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah
pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dengan penekanan pada
otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak,...“. Baca dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal diundangkan pada tanggal 7
Mei 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor ... dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839.
116
� Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004239
, sebagaimana telah
diubah melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005240
dan
terakhir, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008241
dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya242
.
� Demikian halnya dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2014243
sebagaimana telah diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014244
yang kemudian
menjadi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015245
dan terakhir,
238
Lihat dalam Penjelasan Bagian I Umum huruf f dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 1999 yang berbunyi,”Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah
pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dengan penekanan pada
otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam Undang-undang ini pemberian
kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja
dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab ...“. Baca dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal diundangkan pada
tanggal 7 Mei 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor ... dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839. 239
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437. 240
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548. 241 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada
tanggal 28 April 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844. 242 Baca dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Angka (2) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2004 juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 juncto Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 yang berbunyi,”Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya ...“. 243
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5587. 244
Lihat dalam Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 246 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5589. 245
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 2
Februari 2015, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 24
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5657.
117
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015246
dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya247
.
3. Konsep Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Dalam membahas Konsep Otonomi Daerah pada pokok bahasan ini akan
dibatasi dengan melihat dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014.
Dimana kedua peraturan perundang-undangan tersebut merupakan
implementasi dari Amanat Pasal 18 dan Pasal 18 A Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945248
, baik Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan undang-undang perubahannya serta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, sebagaimana menjadi hukum positif menggantikan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 beserta undang-undang perubahannya.
1) Konsep Otonomi Daerah dari Perspektif Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2004249
Adapun yang dimaksud dengan Otonomi Daerah menurut Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 yakni dapat dilihat dari Bab I Ketentuan
246
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada
tanggal 18 Maret 2015, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679. 247
Baca dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Angka (2) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015
juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 yang berbunyi,”Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan
perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya ...“. 248 Lihat dalam Bab VI Pemerintahan Daerah Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 133-
134. 249 Lihat lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437 serta baca dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 335-340.
118
Umum Pasal 1 Angka (5) yang berbunyi,”hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom250
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan“, yang dalam hal
dapat dilihat erat kaitannya dengan tiga asas pemerintahan daerah yakni Asas
Desentralisasi251
, Asas Dekonsentrasi252
serta asas tugas pembantuan253
dengan tidak
meniadakan asas otonomi yang dianut yakni asas otonomi seluas-luasnya254
, yang bila
ditelusuri lebih lanjut dapat dikaitkan juga dengan urusan pemerintahan sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 10 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tersebut.
Berikut adalah paparan terkait Pasal 10 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang ditentukan sebagai berikut.
(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini
ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
250
Lihat Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Angka (6) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi,”Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia“. 251
Lihat dalam Pasal 1 Angka (7) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
yang berbunyi,”Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia“. 252
Lihat dalam Pasal 1 Angka (8) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
yang berbunyi,”Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu”. 253
Lihat dalam Pasal 1 Angka (9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
yang berbunyi,”Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu “. 254
Lihat dalam rumusan definisi Pemerintahan Daerah dijelaskan secara eksplisit terkait
prinsip otonomi daerah yakni prinsip seluas-luasnya sebagaimana kutipan Pasal 1 Angka (2) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi,”Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“.
119
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian
urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di
daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau
pemerintahan desa.
Dilihat dari ketentuan Pasal 10 Ayat (1), (2) dan (3) pada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, sering kali orang menafsirkan
bahwa urusan pemerintahan yang lain merupakan kewenangan Pemerintah Daerah255
.
Dalam hal ini, prinsip Otonomi yang seluas-luasnya dibuka dengan catatan bahwa
Pemerintah Daerah mampu melaksanakan sesuai dengan prinsip yang ditentukan dalam
Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 sebagai berikut.
(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar
susunan pemerintahan.
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan pelaksanaan, hubungan kewenangan antara Pemerintah dan
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan
daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu system
pemerintahan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang
diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang, bersifat wajib yang berpedoman
pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan
oleh Pemerintah.
255
Baca dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 330-331.
120
Sementara untuk urusan pemerintahan selain 6 (enam) urusan Pemerintahan
tersebut, Pemerintah memiliki kewenangan menentukan urusan pemerintahan seperti
yang diatur dalam Pasal 10 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2004 sebagai berikut.
(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat:
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah; atau
c. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau
pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
2) Konsep Otonomi Daerah dari Perspektif Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2014256
Kemudian, selang satu dasawarsa pelaksanaan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 dengan undang-undang perubahannya, muncul
perubahan pasca gejolak dimasyarakat, dengan kemunculan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyangkut
pelaksanaan Pasal 18 khususnya Bab VI Pemerintahan Daerah dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui kajian pasal-pasal berikut dari
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014.
Adapun yang dimaksud dengan otonomi daerah pada Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 ini dapat disimak pada Bab I Ketentuan
Umum Pasal 1 Angka (6) yang berbunyi,”Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia“ yang dalam hal ini erat kaitannya dengan tiga asas otonomi257
daerah
sebagaimana juga dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
256 Lihat lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587. 257 Lihat dalam Pasal 1 Angka (7) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
yang berbunyi,”Asas Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan
Otonomi Daerah“.
121
yakni asas Desentralisasi258
, asas Dekonsentrasi259
, serta asas Tugas Pembantuan260
dan
Dalam hal ini, prinsip Otonomi yang seluas-luasnya261
, sehingga tidaklah dapat
dipisahkan dengan urusan pemerintahan yang mana dalam Undang-undang ini
dirumuskan dalam Bab IV Urusan Pemerintahan yang dimulai dari Pasal 9 sampai
dengan Pasal 25 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 yang akan
dibahas dalam kajian ini.
Berikut adalah terkait Pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang ditentukan sebagai berikut.
BAB IV
URUSAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Klasifikasi Urusan Pemerintahan262
Pasal 9
(1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan
pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.
258
Lihat dalam Pasal 1 Angka (8) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
yang berbunyi,”Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah
otonom berdasarkan Asas Otonomi“. 259
Lihat dalam Pasal 1 Angka (9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
yang berbunyi,”Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan
umum“. 260 Lihat dalam Pasal 1 Angka (11) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
yang berbunyi,”Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk
melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari
Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi“. 261 Lihat dalam rumusan definisi Pemerintahan Daerah dijelaskan secara eksplisit
terkait prinsip otonomi daerah yakni prinsip seluas-luasnya sebagaimana kutipan Pasal 1 Angka (2)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi,”Pemerintahan Daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan
rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
(ditebalkan oleh penulis) dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“. 262 Lihat dalam Pasal 1 Angka (5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
yang berbunyi,”Urusan Pemerintahan adalan kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden
yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk
melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat“.
122
(2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan
Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota.
(4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar
pelaksanaan Otonomi Daerah.
(5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Dalam hal ini, Pemerintah Daerah memiliki urusan pemerintahan yang kembali
dijabarkan menjadi tiga yakni urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan
konkuren serta urusan pemerintahan umum, yang ditentukan dalam Pasal 10 sampai
dengan Pasal 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014.
Berikut akan dipaparkan kutipan dari Pasal 10 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 yang berkaitan dengan urusan Pemerintahan Absolut,
yakni sebagai berikut.
Bagian Kedua
Urusan Pemerintahan Absolut
Pasal 10
(1) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah Pusat:
a. melaksanakan sendiri; atau
b. melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.
123
Kemudian berkaitan dengan urusan pemerintahan konkuren, berikut adalah
kutipan dari Pasal 11 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2014 sebagai berikut.
Bagian Ketiga
Urusan Pemerintahan Konkuren
Pasal 11
(1) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud dalam Pasal ayat (3) yang
menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib263
dan Urusan
Pemerintahan Pilihan264
.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan
Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
(3) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya
merupakan Pelayanan Dasar.
Pasal 12
(1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
f. sosial.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. tenaga kerja;
b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
c. pangan;
263
Lihat dalam Pasal 1 Angka (14) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
yang berbunyi sebagai berikut,”Urusan Pemerintahan Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh semua Daerah“. 264 Lihat dalam Pasal 1 Angka (15) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
yang berbunyi,”Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh
Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah“.
124
d. pertanahan;
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olah raga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan.
(3) Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pariwisata;
c. pertanian;
d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Pasal 13
(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah
provinsi serta Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3)
didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan
strategis nasional.
125
(2) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah provinsi
atau lintas negara;
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau
e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.
(3) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah
kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh Daerah Provinsi.
(4) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah
kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.
Pasal 14
(1) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi
dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi.
(2) Urusan Pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota.
(3) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
126
(4) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas bumi
dalam Daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
(5) Daerah kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Penentuan Daerah kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan
adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
(7) Dalam hal batas wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
kurang dari 4 (empat) mil, batas wilayahnya dibagi sama jarak atau diukur sesuai
dengan prinsip garis tengah dari Daerah yang berbatasan.
Pasal 15
(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah
provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(2) Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam Lampiran Undang-
Undang ini menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang
penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan
konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan peraturan presiden.
(4) Perubahan terhadap pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah
Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang tidak berakibat terhadap pengalihan urusan pemerintahan konkuren pada
tingkatan atau susunan pemerintahan yang lain ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
(5) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 16
(1) Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk:
a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan; dan
b. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(2) Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah
127
Pusat sebagai pedoman dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang menjadi kewenangan Daerah.
(3) Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian.
(4) Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah nonkementerian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dikoordinasikan dengan kementerian
terkait.
(5) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah
mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan.
Pasal 17
(1) Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(2) Daerah dalam menetapkan kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib berpedoman pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal kebijakan Daerah yang dibuat dalam rangka penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tidak mempedomani norma, standar,
prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat
membatalkan kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (5) Pemerintah Pusat belum menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria,
penyelenggara Pemerintahan Daerah melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah.
Pasal 18
(1) Penyelenggara Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan Urusan
Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (3).
(2) Pelaksanaan Pelayanan Dasar pada Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 19
(1) Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
diselenggarakan:
a. sendiri oleh Pemerintah Pusat;
128
b. dengan cara melimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat atau
kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah berdasarkan asas Dekonsentrasi; atau
c. dengan cara menugasi Daerah berdasarkan asas Tugas Pembantuan.
(2) Instansi Vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibentuk setelah
mendapat persetujuan dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(3) Pembentukan Instansi Vertikal untuk melaksanakan urusan pemerintahan absolut
dan pembentukan Instansi Vertikal oleh kementerian yang nomenklaturnya secara tegas
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak
memerlukan persetujuan dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Penugasan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah berdasarkan asas Tugas
Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan peraturan
menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian.
(5) Peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri.
Pasal 20
(1) Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah provinsi
diselenggarakan:
a. sendiri oleh Daerah provinsi;
b. dengan cara menugasi Daerah kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan;
atau
c. dengan cara menugasi Desa.
(2) Penugasan oleh Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota berdasarkan asas
Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan kepada Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan peraturan gubernur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota
diselenggarakan sendiri oleh Daerah kabupaten/kota atau dapat ditugaskan sebagian
pelaksanaannya kepada Desa.
(4) Penugasan oleh Daerah kabupaten/kota kepada Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan dengan peraturan bupati/wali kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diatur
dalam peraturan pemerintah.
Pasal 22
(1) Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah dalam melaksanakan Tugas
Pembantuan.
129
(2) Kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terkait dengan
pengaturan mengenai pelaksanaan Tugas Pembantuan di Daerahnya.
(3) Anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan disediakan oleh yang menugasi.
(4) Dokumen anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan disampaikan oleh
kepala daerah penerima Tugas Pembantuan kepada DPRD bersamaan dengan
penyampaian rancangan APBD dalam dokumen yang terpisah.
(5) Laporan pelaksanaan anggaran Tugas Pembantuan disampaikan oleh kepala daerah
penerima Tugas Pembantuan kepada DPRD bersamaan dengan penyampaian laporan
keuangan Pemerintah Daerah dalam dokumen yang terpisah.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 24
(1) Kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian bersama Pemerintah Daerah
melakukan pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang diprioritaskan oleh setiap
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
(2) Hasil pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan peraturan menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri.
(3) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan intensitas
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar
berdasarkan jumlah penduduk, besarnya APBD, dan luas wilayah.
(4) Pemetaan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk menentukan Daerah yang mempunyai Urusan Pemerintahan Pilihan
berdasarkan potensi, proyeksi penyerapan tenaga kerja, dan pemanfaatan lahan.
(5) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan oleh Daerah dalam penetapan kelembagaan, perencanaan, dan
penganggaran dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah.
(6) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan oleh kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian sebagai dasar
untuk pembinaan kepada Daerah dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang
tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan secara
nasional.
130
(7) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan serta pembinaan kepada Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6) dikoordinasikan oleh Menteri.
Kemudian berkaitan dengan Urusan Pemerintahan Umum dapat dilihat pada
kutipan Pasal 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 berikut.
Bagian Keempat
Urusan Pemerintahan Umum
Pasal 25
(1) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5)
meliputi:
a. pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam rangka
memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan
dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
c. pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan
lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional;
d. penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan yang ada di wilayah
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang
timbul dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila; dan
g. pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan
Daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal.
(2) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
gubernur dan bupati/wali kota di wilayah kerja masing-masing.
(3) Untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), gubernur dan bupati/wali kota dibantu oleh Instansi Vertikal.
(4) Dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum, gubernur bertanggung jawab
kepada Presiden melalui Menteri dan bupati/wali kota bertanggung jawab kepada
Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(5) Gubernur dan bupati/wali kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum
dibiayai dari APBN.
131
(6) Bupati/wali kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) pada tingkat Kecamatan melimpahkan pelaksanaannya kepada
camat.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (6) diatur dalam peraturan
pemerintah.
Sehingga dengan demikian tampak perkembangan dan dinamika terkait konsep
Otonomi Daerah khususnya berkaitan dengan urusan pemerintahan yang disebutkan
secara eksplisit dalam Bab VI Pemerintahan Daerah Pasal 18 dan Pasal 18A Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan kemudian dijabarkan dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, namun demikian telah
diubah lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014.
3) Konsep Otonomi Daerah dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 38 Tahun 2007265
Konsep Otonomi Daerah yang dikaji dari Peraturan Pemerintah ini266
yakni
mengenai pembagian kewenangan antara Pemerintah (Pusat), Propinsi, dan
Kabupaten/Kota, bahwa Pemerintah Pusat sebagai pemerintahan tertinggi di Negara
Kesatuan Republik Indonesia, tetap memiliki kewenangan menentukan seperti ketentuan
Pasal 10 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004.
Adapun yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi
pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi
kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan
265
Baca lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82. 266
Penulis mendasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tetap dicantumkan dalam buku ini dikarenakan masih menjadi peraturan perundang-undangan pemerintahan
daerah yang masih berlaku, dimana belum ada Peraturan Pemerintah terkait yang menjadi penjabaran dari
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014, yakni melalui Pasal 407 yang berbunyi,”Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung
dengan Daerah wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini.“ dan Pasal
408 yang berbunyi sebagai berikut,”Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.“.
132
menyejahterakan masyarakat267
, dimana urusan pemerintahan tersebut dibagai menjadi
urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi pertama, kewenangan Pemerintah baik
urusan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional, dan agama serta kedua, urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan268
. Adapun urusan pemerintahan yang dibagi
bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan adalah terdiri atas 31 (tiga
puluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi bidang-bidang berikut yang
divisualisasikan melalui tabel dibawah ini.
Tabel 2. Urusan Pemerintahan yang Dibagi Bersama Antar Tingkatan Dan/Atau
Susunan Pemerintahan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2007
No. Jenis
Urusan No.
Jenis
Urusan No.
Jenis
Urusan No.
Jenis
Urusan
1 pendidikan
9 Pertanahan 17
Kebuda-
yaan dan
pariwisata
25 Perpusta-
kaan
2 kesehatan 10
Kependu-
dukan dan
catatan
sipil
18
Kepemu-
daan dan
olah raga
26
Komuni-
kasi dan
informa-
tika
3 pekerjaan
umum 11
Pemberda-
yaan
perempuan
dan
19
kesatuan
bangsa dan
politik
dalam
27
pertanian
dan
ketaha-
nan
267
Baca dalam Pasal 1 Angka (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 268 Lihat dalam Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
133
perlindu-
ngan anak
negeri pangan
4 perumahan 12
keluarga
berencana
dan
keluarga
sejahtera
20
otonomi
daerah,
pemerin-
tahan
umum,
adminis-
trasi
keuangan
daerah
28 Kehuta-
nan
5 penataan
ruang 13 sosial 21
perangkat
daerah,
kepega-
waian, dan
persandian
29
energi
dan
sumber
daya
mineral
6
Perenca-
naan
pembangu-
nan
14
Ketenaga-
kerjaan dan
ketransmigr
asian
22
Pemberda-
yaan
masyara-
kat dan
desa
30
kelautan
dan
perikana
n
7 Perhubu-
ngan 15
koperasi
dan usaha
kecil dan
menengah
23 statistik 31
Perda-
gangan
dan
perin-
dustrian
8 lingkungan 16 Penana- 24 kearsipan
134
hidup man modal
Dalam hal ini, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945269
.
C. Kesimpulan
Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwasanya dalam konteks wilayah
negara dalam perspektif Hukum Tata Negara dapat dilihat dari kajian lazimnya termasuk
dari pandangan Hukum Internasional yang terdiri dari wilayah daratan, wilayah udara,
serta wilayah perairan. Dimana ketiga wilayah tersebut bila dikaitkan dengan Indonesia,
tetap mengacu pada konsep Negara Kepulauan yang telah diamanatkan secara khusus
dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta dalam
Peraturan Perundang-undangan terkait yang dapat dijadikan rujukan bilamana berbicara
terkait konsep kewilayahan Nasional di Indonesia.
Kemudian diuraikan pula perihal konsep otonomi daerah, Negara Kesatuan
Republik Indonesia tetap memegang teguh prinsip Negara Kesatuan dan secara
konsekuen melaksanakan Otonomi Daerah baik asas-asas terkait, prinsip yang dianut
maupun praktik ketatanegaraan dalam tinjauan yuridis pada produk peraturan
perundang-undangan terkait sebagaimana telah dirumuskan dalam Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Peraturan Perundang-undangan
terkait dengan Pemerintahan Daerah di Indonesia yang mengkhusus berkembang dari
awal kemerdekaan hingga masa dewasa ini.
269 Baca dalam Pasal 1 Angka (2) dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
135
DAFTAR BACAAN
PB III. OTONOMI DAERAH
Sumber Literatur
Anonymous, 2003, Indonesia Membangun Jilid I, Jakarta : Duta Sari Warna.
__________, 2003, Indonesia Membangun, Jilid II, Jakarta : Duta Sari Warna.
__________, 2003, Indonesia Membangun Jilid III, Jakarta : Duta Sari Warna.
Asshidiqie, Jimly, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan
Pertama, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia.
_______________, 2008, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan
Kedua, Jakarta : Bhuana Inti Populer.
_______________, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar
Grafika.
Busroh, Abu Daud, 2010, Ilmu Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta : Sinar Grafika.
Diantha, I Made Pasek, 1993, Seri Hukum Laut Internasional, Analisis
Negara Kepulauan dan Landas Kontinen dalam Perspektif Indonesia, Denpasar :
Kayumas Agung.
Huda, Ni’matul, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta
: Rajawali Grafindo Press.
Koesnardi, Mohammad dan Harmaily Ibrahim, 1981, Pengantar Hukum
Tatanegara Indonesia, Cetakan Keempat, Jakarta : Pusat Studi Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku I Bentuk Negara dan Pemerintahan,
Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
136
____________________________, 2011, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003, Cetakan
Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Mauna, Boer, 2011, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam
Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Bandung : Alumni.
MD., Mahfud, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Pertama,
Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
Irawan, Budi, 1986, Wawasan Nusantara, Cetakan Pertama, Jakarta : Bina Cipta.
Joeniartho, 1967, Seri Ilmu Hukum Tatanegara : Pemerintah Lokal,
Yogyakarta : Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada.
_________, 1986, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Cetakan Kedua,
Jakarta : Penerbit Aksara Baru.
Pakpahan, Muchtar, 2010, Ilmu Negara dan Politik, Jakarta : Bumi Intan
Sejahtera.
Prodjodikoro, Wirjono, 1989, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta:
Dian Rakyat.
Ranawijaya, Usep, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta
: Ghalia Indonesia.
Schmid, Jhr.Dr.JJ von, 1980, Groot Denker Over Staats En Rechts (van
Plato tot Kant), Terjemahan oleh Wiranto, R. Djamaluddin Dt Singomangkuto dan
Djamadi, dengan judul: Ahli-Ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum.
Cetakan Kelima, Jakarta : PT. Pembangunan.
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-
1949, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
__________________________________, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka,
1950-1964, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
__________________________________, 1975, 30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1965-1974, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
__________________________________, 1995, Risalah Sidang BPUPKI dan
Sidang PPKI Tanggal 29 Mei-18 Agustus 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat
Negara Republik Indonesia.
__________________________________, 1995, 50 Tahun Indonesia
Merdeka, 1975-1995, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
137
Wahjono, Padmo, 1966, Diktat Ilmu Negara, Jakarta : Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Wajong, J., 1975, Azas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Jakarta :
Penerbit Djambatan.
Artikel, Makalah dan Sumber Ilmiah Terkait
Makalah, Dr. Putu Sukaatmadja, SE., MP., et.al. dalam Seminar Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan Fakultas Hukum Universitas
Udayana, dan Diskusi dengan Prof. Dr. John Pieris serta I Gede Pasek Suardika, SH.,
MH. bertema “Peningkatan Kesejahteraan Rakyat melalui Kinerja Dewan
Perwakilan Daerah“ di Hotel Inna Grand Bali Veteran, Denpasar pada 8 Juni 2016.
Peraturan Perundang-undangan Terkait
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1945 tentang
Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, diundangkan pada tanggal
23 November 1945.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948 tentang
Penetapan Aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah
yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, diundangkan pada
tanggal 10 Juli 1948.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 18 Januari 1957, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 6 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1143.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 1 September 1965,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 83
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2778.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan di Daerah, diundangkan pada tanggal 23 Juli 1974, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 7 Mei 1999, diumumkan ke dalam
138
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor ... dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
diundangkan pada tanggal 28 April 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5587.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Februari 2015, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 24 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5657.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, diundangkan pada tanggal 18 Maret 2015, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5679.
139
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
V/MPR/1999.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
I/MPR/2003.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif
Negara di Luar Produk MPRS yang Tidak Sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945.
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 246 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5589.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi,
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 1959 dan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 75.
Berita Negara Republik Indonesia Nomor II Tahun 1946.
Maklumat Nomor 18 Tahun 1946 tanggal 18 Mei 1946.
Konvensi Internasional dan Produk Hukum Internasional Terkait
Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone (Konvensi tentang
Laut Teritorial dan Zona Tambahan).
Convention on the High Seas (Konvensi tentang Laut Bebas).
Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the
High Seas (Konvensi tentang Pengambilan Ikan serta Hasil Laut dan Pembinaan
Sumber-sumber Hayati Laut Bebas).
Convention on the Continental Shelf (Konvensi tentang Dataran
Kontinental).
UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea).
140
141
PB. IV
PARTAI POLITIK
A. Konsep Kekuasaan Negara dan Pembagian Kekuasaan Negara dalam Tinjauan
Ketatanegaraan
Negara dilihat dari sudut kekuasaan atau politik merupakan suatu sistem
kekuasaan. Pengertian kekuasaan adalah suatu kemampuan seseorang atau kelompok
manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok orang lain
sedemikian rupa sehingga tingkah laku seseorang atau kelompok orang tersebut menjadi
sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kemampuan itu270
. Gejala
kekuasaan itu adalah gejala yang lumrah terdapat pada setiap masyarakat.
Menurut K.F Flechthiem, yang dimaksud dengan kekuasaan yakni sebagai
berikut271
.
“Kekuasaan adalah keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan, dan
proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan yang ditetapkan
oleh pemegang kekuasaan”.
Sedangkan, RM. Mac Iver, memberikan definisi dari kekuasaan dari segi
konsep kekuasaan sosial sebagai berikut272
.
“Kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku
orang lain baik secara langsung dengan cara memberi perintah maupun tidak langsung
dengan mempergunakan alat dan cara yang tersedia”.
270
Baca dalam Abu Daud Busroh, 2010, Ilmu Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta :
Sinar Grafika, hlm. 134-135. 271 Baca lebih lanjut dalam Miriam Budiardjo, 1981, Dasar-dasar Ilmu Politik,
Jakarta : Gramedia, hlm. 155-156. 272
Lihat Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 157.
142
Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum
(pemerintah) baik dalam proses terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan
tujuan-tujuan pemegang kekuasaan itu sendiri. Dalam hal ini, kekuasaan pada dasarnya
adalah suatu hubungan yang didasarkan atas ketidaksamaan, dimana kekuasaan dalam
Negara selalu berbentuk piramida, yang diakibatkan oleh karena adanya kenyataan
bahwa kekuasaan yang satu lebih unggul dari kekuasaan yang lain, dan kekuasaan yang
unggul selalu mengsubordinasi kekuasaan- kekuasaan lain273
.
Adapun sumber-sumber Kekuasaan bisa didasarkan pada perihal berikut yakni
Kekuasaan Fisik, Kedudukan atau jabatan, Kekayaan, Kepercayaan, sementara bentuk
lain kekuasaan sering dikenal istilah-istilah tertentu diantaranya pengaruh, dominasi,
hubungan atau relasi, kontrol dan lain-lain yang mirip dengan itu.
Kemudian, ciri-ciri dari kekuasaan Negara yakni sebagai berikut274
.
Adanya unsur kekuatan memaksa, misalnya memungut pajak, menghukum mati
orang, memenjarakan orang dan perihal lain sebagainya.
Negara memiliki monopoli kekuasaan dalam menetapkan tujuan bersama dalam
masyarakat termasuk melarang suatu keyakinan atau paham tertentu seperti
komunisme ataupun tergabung dalam Partai Komunis Indonesia275
.
Sifat kekuasaan Negara mencakup semua orang tanpa kecuali, dimana setiap
peraturan negara berlaku bagi semua orang.
273 Baca dalam Abu Daud Busroh, op.cit., hlm. 136-137. 274
Simak lebih lanjut dalam I Made Sucipta, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan,
Jilid I, Edisi Revisi, Singaraja : Petada Pasi Grafika, (selanjutnya disebut sebagai I Made Sucipta I),
hlm. 19-21. 275 Ketentuan tersebut ditegaskan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik
Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau
Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme, yang dalam hal ini tergolong
Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomr I/MPR/2003 yakni
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada Pasal tersebut dinyatakan tetap berlaku.
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis
Permusyawaratan Rakyat, hlm. 8-9, 37-46.
Kemudian, berbicar
menjadi dua bagian besar ya
Suprastruktur politik
ditentukan dalam Kon
Rakyat, Dewan Perwa
Kepala Desa yang m
Sehingga sering juga
pemerintahan.
Infrastruktur politik ada
dalam masyarakat. K
Kelompok Kepentingan
Alat komunikasi politi
(Political figure).
Dalam hal ini, hubu
saling mempengaruhi277
, dim
melalui peraturan perundang
politik sangat mempengaruhi
negara demokrasi. Adapun h
pemilihan umum yang diselen
Gambar 1. Struktur kekuas
276
Baca dalam I Ma
Revisi, Singaraja : Petada Pasi Grafi277
Dalam Miriam Bu
erbicara tentang struktur Kekuasaan Negara, maka
ar yakni sebagai berikut276
.
adalah struktur di atas permukaan yang keb
Konstitusi Negara seperti halnya Majelis Permu
erwakilan Rakyat, Presiden, Mahkamah Agung, s
ang merupakan lembaga-lembaga negara dan pe
juga disebut sebagai Struktur formal atau sebag
adalah struktur di bawah permukaan yang keberad
at. Komponennya antara lain yakni Partai-par
ntingan (interest groups), Kelompok Penekan (Pressu
politik (media massa atau mass media), Tokoh-
ubungan antara suprastruktur politik dan infrastru
dimana suprastruktur politik mengatur infrastru
ndang-undangan atau kebijakan lainnya, sementara i
garuhi berjalannya suprastruktur politik, terutama dal
apun hubungan yang paling nyata yakni pada adan
diselenggarakan secara periodik.
ekuasaan negara
I Made Sucipta, 2012, Pendidikan Kewarganegaraan, J
Grafika, (selanjutnya disebut sebagai I Made Sucipta II)
m Budiardjo, op.cit., hlm. 158.
143
aka dapat dibagi
g keberadaannya
ermusyawaratan
, sampai pada
an pemerintahan.
sebagai struktur
eberadaannya ada
partai politik,
ressure groups),
-tokoh Politik
frastruktur politik
frastruktur politik
ntara infrastruktur
ma dalam konteks
adanya lembaga
n, Jilid II, Edisi
ta II), hlm. 35-39.
144
Dari uraian tersebut di atas, nampak bahwa partai politik berada pada struktur
kemasyarakatan dan pemilihan umum merupakan jembatan antara suprastruktur politik
dengan infrastruktur politik.
B. Partai Politik
1) Definisi Partai Politik
Partai politik pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terorganisir, di
mana para anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama, dengan
tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dengan merebut jabatan-jabatan politik
secara konstitusional lewat pemilihan umum278
.
Menurut Carl J. Friederich279
, Partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan
terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini
memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.
Kemudian menurut R.H. Soltau280
, yang dimaksud dengan Partai politik
adalah sekelompok warganegara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak
sebagai suatu kesatuan politik dan yang “dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk
memilih” bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan
umum mereka.
Sedangkan, Sigmund Newmann281
memberikan definisi dari Partai politik
yakni sebagai organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai
278 Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 160. 279 Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 160-161. 280
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 161. 281
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 161-162.
145
kekuaaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan
suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
Dan menurut I Dewa Gede Atmadja282
, Partai Politik adalah organisasi yang
dibentuk secara sukarela oleh sekelompok warga negara berdasarkan persamaan
ideologi, cita-cita atau persamaan orientasi pada program.
Bilamana ditinjau dari perspektif peraturan perundang-undangan, maka dapat
disimak dari Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Angka (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1999283
, yang berbunyi,”Dalam undang-undang ini yang
dimaksud dengan Partai adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara
Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk
memperjuangkan baik kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara melalui
pemilihan umum“.
Kemudian, bilamana ditinjau dari Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002284
yang berbunyi,”Partai Politik
adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik
Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui
pemilihan umum“.
Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Angka (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2008285
sebagaimana diubah dalam Undang-undang Republik
282
Baca lebih lanjut dalam I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara, Dimensi
Historis Ketatanegaraan, Malang : Setara Press, (selanjutnya disebut sebagai I Dewa Gede Atmadja
I), hlm. 118-119. 283 Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3809. 284 Lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik, diundangkan pada 27 Desember 2002, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4251. 285 Baca Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik, diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 2 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801.
146
Indonesia Nomor 2 Tahun 2011286
yang berbunyi,”Partai Politik adalah organisasi yang
bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela
atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“.
2) Perbedaan Parpol dengan Gerakan dan Kelompok Kepentingan atau Kelompok
Penekan
Perbedaan partai politik dengan suatu gerakan yakni bahwa suatu gerakan
merupakan kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang malahan ingin menciptakan suatu tatanan
masyarakat yang baru sama sekali, dengan memakai cara-cara politik. Dibandingkan
partai politik, gerakan memiliki tujuan yang lebih terbatas dan bersifat fundamental, dan
kadang-kadang bersifat ideologis. Gerakan dalam memperjuangkan tujuannya biasanya
tidak melalui pemilihan umum287
.
Kelompok Penekan sebenarnya adalah sama dengan kelompok kepentingan,
perbedaannya terletak dalam cara memperjuangkan kepentingannya lebih keras/gencar
dengan melancarkan tekanan kepada pemerintah agar mendapat keputusan yang
menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan kepentingan
kelompoknya288
.
286
Hal-hal perubahan mencakup Pasal 1 Angka (7), ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (5)
diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (1a) dan ayat (1b) serta pada ayat (4)
ditambahkan 4 (empat) huruf yakni huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf m, ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat
(2) huruf c, huruf d, dan huruf e diubah, ketentuan Pasal 4 Ayat (1) diubah, ketentuan Pasal 5 diubah, ketentuan
Pasal 16 Ayat (2) diubah, Diantara Pasal 19 ayat (3) dan ayat (4) Pasal 19 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat
(3a), ketentuan Pasal 23 Ayat (2) diubah, ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d serta ayat (2) diubah,
dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), ketentuan Pasal 32 diubah, ketentuan
Pasal 33 Ayat (1) diubah, diantara Pasal 34 ayat (3) dan ayat (4) Pasal 34 disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3a)
dan ayat (3b) serta ayat (4) diubah, di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A,
ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf c diubah, ketentuan Pasal 39 diubah, ketentuan Pasal 45 diubah, ketentuan
Pasal 47 Ayat (1) diubah, Ketentuan Pasal 51 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah, ayat (3) dihapus, di antara
ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 3 (tiga) ayat yakni ayat (1a), ayat (1b), dan ayat (1c). Baca dalam Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, diundangkan pada 15 Januari 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189. 287
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 158-159. 288
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 159-160.
147
Perbedaan Kelompok kepentingan dengan Partai politik adalah di dalam
melancarkan pengaruhnya kelompok kepentingan tidak berusaha merebut jabatan-
jabatan politik bagi anggotanya, melainkan cukup hanya mempengaruhi beberapa partai
politik, pejabat pemerintah, menteri-menteri agar kepentingannya mendapat perhatian289
.
3) Fungsi Partai Politik
Adapun 4 (empat) fungsi utama partai politik dalam negara yakni sebagai
berikut290
.
1)Partai sebagai sarana komunikasi politik dimana partai politik bertugas sebagai alat
komunikasi dua arah yakni menyalurkan aspirasi anggotanya kepada pemerintah
dan sebaliknya menginformasikan segala kebijaksanaan yang telah diambil
pemerintah kepada para anggotanya. Dimana proses penyaluran aspirasi melalui
langkah penggabungan aspirasi (interest aggregation), kemudian diolah dan
dirumuskan dalam bentuk yang teratur (interest articulation), hasil perumusan
kepentingan ini kemudian disampaikan kepada pemerintah.
2)Partai Politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik (Instrument of political
socialization). Sosialisasi politik merupakan suatu proses melalui mana seseorang
memperoleh sikap dan orientasi mengenai suatu fenomena politik, yang umumnya
berlaku dalam masyarakat di mana ia berada, Proses ini berjalan secara berangsur-
angsur dari masa anak-anak sampai dewasa, melalui mana orang-orang
mentransfer norma-norma dan nilai-nilai dari generasi ke generasi berikutnya.
Partai politik inilah sebagai salah satu sarana.
3)Partai Politik sebagai sarana recruitment politik. Partai politik berfungsi mencari dan
mengajak orang yang berbakat untuk aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota
partai. Caranya yakni melalui kontak pribadi, persuasi dan lain-lain. Melalui
proses seleksi akan melahirkan kader-kader pemimpin bangsa di kemudian hari.
289
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 160. 290
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 163.
148
4)Partai Politik sebagai sarana manajemen konflik. Dalam suatu negara demokrasi
perbedaan pendapat adalah wajar terjadi. Jika sampai terjadi konflik dalam
masyarakat, partai politik berkewajiban menengahi atau menyelesaikan konflik.
Mengenai perlunya partai politik di dalam negara ada dua kelompok pendapat
ada yang menyatakan sangat perlu dan ada yang mengatakan tidak perlu.291
Adapun yang menganggap perlu, baik Woodrow Wilson (mantan Presiden
AS), A.D. Lindsay, R.M. Mac Iver, Joseph Schumpeter dan Maurice Duverger menilai
eksistensi atau keberadaan Partai Politik secara teoritis sangat diperlukan,
mengemukakan alasan sebagai berikut292
.
(1) Partai politik membuka seluas-luasnya bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam
kegiatan politik dan pemerintahan.
(2) Paratai Politik dapat mewujudkan pemerintahan yang bertanggungjawab
(Responsible government).
(3) Partai Politik dapat memperjuangkan kepentingan umum.
(4) Partai Politik dapat mencegah kesewenang-wenangan perilaku atau tindakan
pemerintah.
Disisi lain, yang menganggap tidak perlu diantaranya yakni M. Ostrogorsky,
James Bryce, Robert Crowley, dan Puffet, dimana mereka tidak setuju pada eksistensi
partai politik, dengan alasan sebagai berikut293
.
1) Kata “partai” berarti sebaian (part), sehingga adanya partai politik cenderung
menjurus ke arah separatisme, artinya daerah pemilihan masyarakat (electorate)
dipisah-pisahkan, dan loyalitas rakyat terhadap negara menjadi terbelah.
291
I Dewa Gede Atmadja, tanpa tahun, Rangkuman Studi Ilmu Politik (Diktat),
Denpasar : Fakultas Hukum Universitas Udayana, (selanjutnya disebut sebagai I Dewa Gede
Atmadja II), hlm. 77. 292
Lihat lebih lanjut dalam A.S.S. Tambunan, 1976, Undang-Undang RI, No.3 Tahun 1975
tentang Partai Politik dan Golongan Karya, Latar Belakang, Beserta Proses Pembentukannya; Bandung :
Binacipta, hlm. 4. 293 I Dewa Gede Atmadja, 1989, Partai Politik Dan Golongan Karya Dalam Lintasan
Perundang-Undangan, Denpasar : Penerbit Setia Kawan, (selanjutnya disebut sebagai I Dewa Gede Atmadja
III), hlm. 24.
149
2) Partai Politik sebagai organisasi cenderung bersifat hirarkhis, birokratis dan
berdisiplin sempit.
3) Partai politik dalam merealisasi ideologi politiknya memerlukan dana yang
biasanya diperoleh dari donatur (investor) sebagai imbalannya partai memberikan
komitmen-komitmen (janji-janji) tetentu, sehingga sering menimbulkan
manipulasi dan korupsi.
4) Partai politik dalam mengurus dan mengendalikan partainya memerlukan tenaga
dan pegawai-pegawai tetap (full timer). Apabila partainya menang dalam
pemilihan umum, maka tenaga tetap itu biasanya melakukan transaksi politik
(politic transaction).
Akan tetapi, dalam negara modern partai poliik dipandang sebagai salah satu
pilar demokrasi dalam rangka pemilihan umum, maka eksistensi partai politik dipandang
suatu keniscayaan.
4. Klasifikasi Sistem Kepartaian
Pengelompokan partai politik ada bermacam-macam kriteria. Ada 3 (tiga)
macam kriteria untuk mengadakan klasifikasi, yakni sebagai berikut294
.
1) Klasifikasi menurut jumlah dan fungsi anggotanya; terdapat partai massa dan
partai kader.
Partai Massa yakni partai yang selalu mendasarkan kekuatannya pada jumlah
anggotanya. Hubungan antara anggota sangat longgar, disiplin dan kualitas
anggota partai tidak atau kurang mendapat perhatian dan pembinaan.
Partai Kader yakni partai yang mementingkan kualitas, loyalitas dan disiplin
anggotanya. Karena itu, untuk menjadi anggota partai perlu seleksi yang ketat, dan
adanya sanksi yang tegas terhadap anggotanya dari pimpinan partai yang
menyimpang dari garis kebijakan partai serta disiplin partai sangat tegas dan
konsekuen, dimana jumlah anggota tidak dijadikan target partai.
294
Lihat dalam Miriam Budiardjo, op.cit. hlm. 166-170.
150
2) Klasifikasi berdasarkan sifat dan orientasi partai; dimana partai dapat dibedakan
atas 3 (tiga) macam yakni sebagai berikut295
.
Partai Lindungan (Patronage Party).
Umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor. Maksud utama adalah
memenangkan pemilihan umum dengan mencari dukungan dan kesetiaan
anggotanya terutama menjelang pemilihan umum.
Partai asas/Ideologi.
Biasanya mempunyai pandangan hidup (ideologi) yang digariskan dalam kebijakan
pimpinan dan berpedoman pada doktrin dan disiplin partai yang kuat dan mengikat.
Dengan demikian hubungan antar anggota sangat kuat/erat dan ideologinya sangat
kuat.
Partai program.
Merupakan partai yang berorientasi pada program-program yang kongkrit untuk
diperjuangkan menjadi program nasional.
Diakui bahwa klasifikasi atas dasar 1) dan 2) di atas tidak memuaskan karena
bisa saja satu partai politik sekaligus merupakan partai kader dan partai massa, dan
orientasi merupakan partai kader selakigus partai program.
3) Klasifikasi atas dasar Jumlah Partai yang berpengaruh dalam Badan
Perwakilan, bahwa menurut Maurice Duverger, terdiri atas tiga (3) sistem, yakni
sebagai berikut296
.
Sistem satu partai atau Partai Tunggal/Mono Partai.
295
Baca dalam I Made Sucipta I, op.cit., hlm. 144-145. 296
Baca dalam I Made Sucipta I, op.cit., hlm. 145-147.
151
Di mana konsentrasi kekuasaan ada pada satu partai; hanya ada satu partai yang
berkuasa secara dominan. Bilamana ada partai politik lain sifatnya non kompetitif
(tidak boleh bersaing secara bebas). Sistem ini biasanya dianut oleh Negara-negara
komunis.
Sistem dua Partai/Dwi Partai.
Dalam sistem dwi partai diartikan sebagai adanya dua partai atau lebih, tetapi
dengan peranan dominan dari dua partai. Contohnya Inggris dan Amerika Serikat.
Di Inggris ada 3 partai yakni Partai Buruh, Partai Konservatif dan Partai Liberal.
Namun yang dominant adalah partai Buruh dan Konservatif. Sistem dwi partai
akan lebih menjamin stabilitas pemerintahan, karena fungsi partai dalam Badan
Perwakilan adalah sangat jelas. Partai yang menang dalam pemilihan Umum akan
menduduki pemerintahan, dan partai yang kalah akan menjadi oposisi yang loyal.
Menurut Miriam Budiardjo, sistem dwi partai akan berjalan dengan baik bila
didukung oleh adanya Komposisi Masyarakat yang homogen (social
homogeneity), Konsensus dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial yang
pokok adalah kuat, dan adanya kontinuitas sejarah. Di samping itu sistem dwi
partai pada umumnya diperkuat dengan sistem pemilihan distrik (single member
constituency), karena sistem pemilihan distrik cenderung menghambat tumbuh dan
berkembangnya partai kecil.
Sistem Multi Partai.
Di mana dalam sistem multi partai ada lebih dari dua partai politik yang
berpengaruh di badan perwakilan rakyat. Sistem ini tumbuh dalam masyarakat
yang komposisinya heterogen. Di mana perbedaan ras, suku, agama adalah sangat
kuat, sehingga kelompok-kelompok dalam masyarakat cenderung mengikatkan
diri pada ikatan-ikatan terbatas (primordial), dan menyalurkan aspirasinya lewat
ikatan-ikatan terbatas tersebut. Contohnya di Indonesia. Sistem multi partai
apabila digandengkan dengan sistem pemerintahan parlementer akan cenderung
menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan karena eksekutif merupakan
pemerintahan koalisi (gabungan lebih dari satu partai) untuk memperoleh
dukungan mayoritas di parlemen. Pemerintah koalisi ini mudah pecah bila ada
sedikit saja perbedaan pendapat antara partai yang berkoalisi. Di samping itu,
152
tugas partai dalam parlemen menjadi tidak jelas karena suatu saat ia menjadi partai
pemerintah dan saat koalisi pecah ia berubah menjadi partai oposisi. Contoh nyata
dapat dilihat dari pengalaman Indonesia dari Tahun 1950-1959, di bawah Undang-
undang Dasar Sementara Tahun 1950, dalam jangka waktu 9 (sembilan) tahun ada
tujuh kali pergantian kabinet, yang membuktikan eksekutif menjadi labil297
.
Sistem multi partai akan terus berkembang bila didukung oleh sistem pemilihan
proporsional, karena memberi kemungkinan kepada partai kecil terus hidup,
walaupun hanya memperoleh sedikit sekali kursi di dalam parlemen.
5. Sejarah Pengaturan Kepartaian di Indonesia
Adapun sejarah pengaturan partai politik di Indonesia dapat dikelompokkan
dalam penjabaran berikut ini298
.
a) Masa Penjajahan299
Partai politik dibentuk berdasarkan adanya gerakan ethische politiek
dengan memberikan kesempatan di wilayah jajahan membentuk dewan perwakilan
rakyat (Volksraad) Tahun 1939. Partai politik dibentuk dan melakukan perjuangan
lewat Volksraad adalah sebagai berikut.
Indonesiche Nationale Groep dipimpin Moh. Yamin.
Fraksi National di bawah Husni Thamrin.
Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera di bawah Pimpinan Parwoto.
Di luar Volksraad pula terdapat usaha-usaha untuk menggabungkan partai
politik dengan membentuk beberapa organisasi politik berikut.
297
Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1950-1964, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 65-
70. 298 Baca dalam Mahfud MD., 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama,
Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 135-245. 299
Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 171.
153
GAPI (Gabungan Partai Politik) yang merupakan gabungan dari partai partai
politik yang beraliran nasional, tahun 1939.
MIAI (Majelis Islam Ala’a Indonesia), yang merupakan gabungan partai-
partai yang beraliran Islam, tahun 1937.
MRI (Majelis Rakyat Indonesia) adalah gabungan partai dari organisasi
buruh.
Massa penjajahan Jepang, partai politik dilarang, hanya golongan-
golongan Islam diberi kebebasan membentuk Partai Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia). Namun, secara keseluruhan pada masa ini, ditandai dengan
adanya sistem kepartaian yang menganut pola sistem Multi Partai.
b) Masa Kemerdekaan Indonesia, yang dapat diklasifikasi menjadi bagian berikut ini.
� Masa Maklumat Pemerintah Republik Indonesia pada 3 Nopember 1945300
.
Pada masa ini, merupakan cikal-bakal Partai Politik di Indonesia sesudah
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, yang diwarnai oleh dua pemikiran
pendiri negara (founding fathers), yakni pertama, pemikiran Bung Karno, yang
mengajukan gagasan pola “partai tunggal” (mono party system) yakni “partai
pelopor”, dengan ditetapkannya Partai Nasional Indonesia sebagai satu-satunya
partai politik yang berperan menggerakkan potensi rakyat, memperkukuh persatuan,
dan pelopor menegakkan kemerdekaan, serta kedua, Sutan Sjahrir (Bung Sjahrir),
gagasannya yakni adanya pola “banyak partai” (multiparty systems), dengan
argumentasi, bahwa partai politik yang ideal untuk menggerakan rakyat dalam
relevansi demokrasi adalah partai politik revolusioner, berideologi, rapi
terorganisasi secara modern, dan efisien. Dan dengan demikian, bagi Bung Sjahrir
yang dibutuhkan Indonesia “partai kader” bukan “partai massa”301
.
Dan dari kedua pemikiran tokoh pendiri negara (founding fathers)
tersebut, gagasan Sutan Sjahrir yang dipandang lebih cocok bagi negara
demokrasi, sehingga pemerintah menganjurkan berdirinya parati-partai politik,
300 Baca I Dewa Gede Atmadja III, op.cit., hlm. 84. 301 Baca dalam I Dewa Gede Atmadja I, op.cit., hlm. 119, dan lihat lebih lanjut dalam Rusli
Karim, 1983, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut, Jakarta : CV. Rajawali, hlm.
43.
154
dengan Maklumat Pemerintah No.X (baca eks) yang ditandatangani oleh Wakil
Presiden Republik Indonesia, Drs.Moh.Hatta (Bung Hatta), sehingga lebih dikenal
dengan sebutan Maklumat Wakil Presiden No. X. (3 November 1945), yakni
sebagai dasar hukum sistem multi partai bagi Negara Indonesia.
Maklumat ini merupakan pengumuman dari pemerintah yang berisi usulan
dari Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), untuk mendirikan
partai-partai politik dengan alasan partai politik akan dapat memperkuat barisan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Adapun is dari maklumat tersebut adalah
sebagai berikut.
1) Pemerintah menyukai pembentukan partai-partai politik
2) Pemerintah berharap partai-partai itu terbentuk sebelum pemilihan Badan
Perwakilan Rakyat.
Dari himbuan ini, memunculkan 10 partai politik yakni Masyumi, Partai
Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jelata, Partai Kristen Indonesia, Partai Komunis
Indonesia, Partai Rakyat Sosialis, Partai Sosialis Indonesia, Partai Katolik Republik
Indonesia, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia302
.
Dengan demikian lahirlah pola sistem kepartaian di Indonesia yang multipartai.
� Masa Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Umum.
Pada masa ini, dapat dilihat dari hasil penelitian Herbert Feith, yang
menunjukkan terjadi perkembangan atas sistem kepartaian di Indonesia yang multi
partai sebagaimana yang digagas oleh Bung Sjahrir pada awal kemerdekaan, dan
Herbert Feith dikatakan diwarnai oleh lima aliran, yakni sebagai berikut303
.
1) Tradisi Jawa, diantaranya diwakili Partai Indonesia Raya (PIR-
Wongsonegoro).
302
Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1945-1949, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 35-
37. 303
Baca dalam Alfian, 1978, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta : PT.
Gramedia, hlm. 8-10.
155
2) Islam, diwakili Partai Majelis Syuro Indonesia (Masyumi) dan Partai
Nahdhatul Ulama (NU).
3) Nasionalisme radikal, diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai
Rakyat Nasional (PRN).
4) Komunis, diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (melakukan
pemberontakan Madiun pada 18 September 1948 dan 30 September 1965
yang lazim dikenal sebagai Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia
atau G 30 S/PKI).
5) Sosial demokrat, yang diwakili oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Pada masa ini pula ditandai dengan kemunculan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1953304
, berkaitan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum
Tahun 1955, dan pada undang-undang tersebut, diadakan Pemilihan Umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 29 September 1955 serta memilih
Anggota Konstituante pada 18 Desember 1955, dengan jumlah Partai Politik yang
mengikuti Pemilihan Umum tersebut adalah 24 partai politik, untuk merebut 272
kursi, dan pada akhir Pemilihan Umum, perolehan suara terbesar diraih oleh empat
besar yakni Partai Nasional Indonesia dengan 57 kursi, Masyumi dengan 57 kursi,
Nahdatul Ulama dengan 47 kursi, serta Partai Komunis Indonesia dengan 32 kursi,
dan sisa kursi sebesar 75 kursi diperebutkan partai-partai kecil lainnya, dan
kemudian dilantik pada 1 Maret 1956 untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat
serta pada 10 November 1956 untuk anggota Dewan Konstituante yang bekerja
hingga pada munculnya Dekrit Presiden Republik Indonesia pada 5 Juli 1959.
� Masa Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959
Dari sejarah ketatanegaraan Indonesia, terjadinya kegagalan Badan
Konstituante menetapkan Undang-undang Dasar baru memicu keluarnya Dekrit
304 Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953
tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante, diundangkan pada
7 April 1953, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 29.
156
Presiden Republik Indonesia pada 5 Juli 1959305
, dan terjadi perubahan
ketatanegaraan dari Undang-undang Dasar Sementara 1950 dengan memberlakukan
Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang dikenal dengan sistem Demokrasi
Terpimpin. Selang beberapa minggu, Presiden Jang Mulia (PJM) Dr. (H.C.) Ir.
Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 Tahun 1959306
yang
intinya mencakup perihal berikut ini.
Partai politik harus menerima asas Negara Kesatuan Republik Indonesia
menurut Undang-undang Dasar 1945.
Dalam Anggaran Dasar Partai harus dicantumkan dengan tegas partai politik
menerima dan mempertahankan Pancasila.
Partai Politik harus menegaskan bahwa program kerjanya adalah Manifesto
Politik Pidato Presiden 17 Agustus 1959 sebagai penjelasan dari
dikeluarkannya Dekrit Presiden.307
Kemudian di masa ini308
, Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan
Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1960309
, yang
kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia
Nomor 440 Tahun 1961310
, bahwa dalam kedua peraturan tersebut, diakui 10
(sepuluh) partai politik dan memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat–Gotong
Royong (DPR-GR) yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdhatul Ulama (NU),
Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik
Republik Indonesia (PKRI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Islam
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba),
Partai Indonesia (Partindo), serta Golongan Karya, yang merupakan wakil golongan
fungsional yakni tani, buruh, Angkata Bersenjata Republik Indonesia, Alim Ulama,
305
Baca dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1959
tentang Dekrit Presiden Republik Indonesia, diundangkan pada 5 Juli 1959, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 150. 306
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-
syarat Penyederhanaan Kepartaian. Baca lebih lanjut dalam Mahfud MD., op.cit., hlm. 175-177. 307 Lihat dalam Lampiran pada I Dewa Gede Atmadja III, op.cit., hlm. 64-120. 308
Baca lebih lanjut dalam Jimly Asshidiqie, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara, Edisi Revisi, Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 408-412. 309 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan,
Pengawasan, dan Pembubaran Partai. 310
Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 440 Tahun 1961
tentang Pengakuan Partai-partai Politik.
157
Wanita, Cendekiawan, Koperasi, Pengusaha nasional, Veteran, Wartawan, serta
Angkatan 1945.
Sedangkan Partai-partai yang dibubarkan pada masa ini diantaranya Partai
Masyumi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 200 Tahun
1960311
serta Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 201 Tahun 1960312
, disamping itu, terdapat beberapa partai politik
lainnya yang ditolak dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129
Tahun 1961313
tgl 14 April 1961 diantaranya Partai Syarikat Islam Indonesia
Abikusno Tjokrosuyoso, Partai Rakyat Nasional Bebas Lalung Dalo, Partai Rakyat
Indonesia, dan Partai Rakyat Nasionalis Djodi Gondokoesoemo.
Dan hal tersebut masih terjadi hingga terjadi konstelasi perpolitikan
nasional pada Tahun 1965 dengan terjadinya Pemberontakan Gerakan 30 September
1965, dan kemudian munculnya Surat Perintah Sebelas Maret Tahun 1966 hingga
pada runtuhnya masa Orde Lama di Indonesia, dengan kebangkitan masa Orde Baru
di Indonesia.
� Masa Pemilihan Umum Tahun 1971
Dengan adanya Surat Perintah Sebelas Maret Tahun 1966, Letjen. (TNI)
Soeharto sebagai pelaksana presidium kabinet mengeluarkan Keputusan Tanggal 12
Maret 1966 yakni dengan membubarkan Partai Komunis Indonesia beserta ormas-
ormasnya, yang kemudian, pembubaran ini diperkuat dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXV/MPRS/1966314
tentang
Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya, serta larangan
penyebarluasan ajaran Marxisme–Leninisme, sehingga muncul semboyan di masa
Orde Baru yakni“melaksanakan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen”.
311 Baca Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 200 Tahun 1960,
diundangkan pada 17 Agustus 1960. Baca dalam Mahfud MD., op.cit., hlm. 180-181. 312
Baca Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 201 Tahun 1960,
diundangkan pada 17 Agustus 1960. Baca dalam Mahfud MD., op.cit., hlm. 181. 313 Baca Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1961,
diundangkan pada 14 April 1961. Baca dalam Jimly Asshidiqie, op.cit., hlm. 410-411. 314
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, Loc.cit.
158
Dan pada masa ini, kemudian dikeluarkan sejumlah peraturan perundang-
undangan khususnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1969315
serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969316
, dan kemudian
diadakanlah Pemilihan Umum pada tanggal 3 Juli 1971 yang diikuti oleh sepuluh
(10) Partai Politik, yaitu Nahdatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),
Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI),
Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Musyawarah Rakyat
Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Indonesia (IPKI), serta Golongan Karya
(Golkar).
Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum Tahun 1971
tersebut, kemudian melakukan fusi/penggabungan dalam fraksi-fraksi yakni adanya
Fraksi Persatuan Pembangunan yang terdiri atas Nahdhatul Ulama, Partai Muslimin
Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Islam Persatuan Tarbiyah
Islamiyah; Fraksi Demokrasi Indonesia yang terdiri Partai Nasional Indonesia,
Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik Republik Indonesia, Partai Musyawarah
Rakyat Banyak, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia; serta Fraksi Karya
Pembangunan yakni Golongan Karya, dan adanya dua Fraksi Fungsional yang
melalui pengangkatan yaitu Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan
Fraksi Utusan Daerah317
.
� Masa Undang-undang Partai Politik dan Golongan Karya pada Tahun 1975-
1998.
Fusi ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor
3 Tahun 1975318
, yang menyederhanakan jumlah partai (organisasi sosial politik)
menjadi tiga, yakni Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan dan
315
Lihat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1969 tentang
Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. 316
Simak Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. 317
Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1965-1974, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 65-
73 . 318
Lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya.
159
Golongan Karya. Dimana ketiga Organisasi Sosial Politik ini selain harus menerima
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai asas, juga masih diakui asas ciri
partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan berasaskan Islam, Partai
Demokrasi Indonesia berasaskan Nasionalisme serta Keadilan Sosial, dan Golongan
Karya yang berasaskan Kerakyatan untuk kesejahteraan bangsa dan keadilan sosial.
Namun, asas ciri ini dihapus dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1985319
, serta dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1985320
, yang hanya mengenal asas Pancasila sebagai satu-satunya asas partai
politik dan organisasi kemasyarakatan, dan partai diarahkan menjadi partai program,
sehingga dengan kondisi demikian, telah berhasil diadakan pemilihan umum
legislatif setiap lima tahun sekali secara periodik, yaitu tahun 1971, tahun 1977,
tahun 1982321
, tahun 1987322
, tahun 1992, dan terakhir pada tahun 1997323
dengan
hasil pemilihan umum yang senantiasa didominasi oleh Golongan Karya, hingga
pada masa Orde Baru runtuh pada pertengahan Mei 1998.
� Masa Reformasi pada Tahun 1998 sampai saat ini
Diawali oleh krisis moneter, Indonesia dilanda krisis kepercayaan (moral)
terhadap pemerintahan dalam arti luas bersamaan dengan isu penegakan hak asasi
manusia dan penegakan hukum. Khusus terhadap kehidupan partai politik
319
Lihat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. 320 Baca Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan. 321
Terjadi perubahan pengaturan diantaranya dengan Undang-Undang No.2 Tahun
1980 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum
Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah Dengan
Undang-Undang No.4 Tahun 1975. 322
Diantaranya diatur dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1985 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum
Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-
Undang No.4 Tahun 1975 Dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1980, Undang-
Undang No.2 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomer 16 Tahun 1969 Tentang
Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1980, serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. 323 Diatur dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1995 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir Undang-undang Nomor 2 Tahun 1985
160
dikeluarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999324
Tentang
Partai Politik, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999325
dan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999326
.
Perlu dicatat bahwa dengan adanya Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1999 tersebut, menjadi kunci utama untuk membuka kembali
kebebasan membentuk Partai politik dan boleh mencantumkan asas ciri masing-
masing partai, sehingga akhirnya muncul sistem banyak partai, dan pada Pemilihan
Umum Tahun 1999 terdapat 48 Partai peserta Pemilihan Umum, demikian juga
berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002327
, berkurang secara signifikan
sebanyak 24 partai, dari 80 partai politik yang mendaftar, karena ditentukan syarat-
syarat partai politik yang dapat menjadi peserta pemilihan umum yang ikut serta
dalam Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2004.328
Kondisi tersebut masih berlangsung dengan adanya rezim Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008, dan menghasilkan peserta Pemilihan
Umum Legislatif Tahun 2009 menjadi 36 partai politik dan 6 partai lokal di
Nangroe Aceh Darussalam329
.
Menjelang Pemilihan Umum Tahun 2014, terjadi perubahan atas Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011, sehingga menghasilkan peserta
324
Baca dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 Tentang
Partai Politik, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3809. 325
Lihat lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
1999 Tentang Pemilihan Umum, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3810. 326
Lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang
Tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3811. 327
Baca lebih lanjut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002
Tentang Partai Politik, diundangkan pada 27 Desember 2002, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4251. 328
Komisi Pemilihan Umum, 2003, Partai Politik Peserta Pemilu 2004 Perjalanan
dan Profilnya. Jakarta : Komisi Pemilihan Umum, Desember 2003, hlm. 4-5. 329 Baca dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
161
Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 menjadi hanya 12 partai politik dan 4 partai
lokal di Nangroe Aceh Darussalam.
Perlu dicatat, bahwa kondisi sistem multi partai di masa Reformasi
tersebut muncul karena masyarakat Indonesia sangat heterogen, mereka cenderung
melakukan ikatan-ikatan terbatas/primordial, baik berdasarkan kelompok/golongan,
agama, ras maupun kedaerahan.
162
DAFTAR BACAAN
Buku
Alfian, 1978, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta : PT.
Gramedia.
Asshidiqie, Jimly, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi
Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
_______________, 2010, Konsolidasi dan Perkembangan Lembaga-
lembaga Negara, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar Grafika.
_______________, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar
Grafika.
_______________, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi
Revisi, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
Atmadja, I Dewa Gede, 1989, Partai Politik Dan Golongan Karya Dalam
Lintasan Perundang-Undangan, Denpasar : Penerbit Setia Kawan.
__________________, tanpa tahun, Rangkuman Studi Ilmu Politik (Diktat),
Denpasar : Fakultas Hukum Universitas Udayana.
__________________, 2012, Ilmu Negara, Dimensi Historis
Ketatanegaraan, Malang : Setara Press.
Budiardjo, Miriam, 1981, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia.
Busroh, Abu Daud, 2010, Ilmu Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta : Sinar
Grafika.
________________, 2013, Ilmu Negara, Cetakan Kesepuluh, Jakarta :
Sinar Grafika.
Huda, Ni’matul, 2008, UUD 1945 & Gagasan Amandemen Ulang, Cetakan
Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
Kaelan, 2014, Pendidikan Kewarganegaraan, Edisi Revisi, Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Karim, Rusli, 1983, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret
Pasang Surut, Jakarta : CV. Rajawali.
163
Koesnardi, Mohammad, dan Harmaily Ibrahim, 1981, Pengantar Hukum
Tatanegara Indonesia. Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Universitas
Indonesia dan CV Sinar Bhakti.
Koesnardi, Mohammad dan Bintan R. Saragih, 1993, Ilmu Negara, Jakarta :
Gaya Media Pertama.
Komisi Pemilihan Umum, 2003, Partai Politik Peserta Pemilu 2004
Perjalanan dan Profilnya. Jakarta : Komisi Pemilihan Umum, Desember 2003.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003, Cetakan Kesepuluh, Jakarta :
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat.
MD., Mahfud, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta :
Rajawali Grafindo Press.
Saragih, Bintan R., 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia;
Jakarta : Gaya Media Pratama.
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-
1949, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
___________________________________, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka,
1950-1964, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
___________________________________, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka,
1965-1974, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Sucipta, I Made, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid I, Edisi Revisi,
Singaraja : Petada Pasi Grafika.
_____________, 2012, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid II, Edisi Revisi,
Singaraja : Petada Pasi Grafika.
Soemantri, Sri, 1971, Himpunan Kuliah Perbandingan (Antar) Hukum Tata
Negara, Bandung : Alumni.
Suny, Ismail, 1978, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta : Aksara Baru.
Tambunan, A.S.S., 1976, Undang-Undang RI, No.3 Tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golongan Karya, Latar Belakang, Beserta Proses Pembentukannya; Bandung :
Binacipta.
164
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953 tentang
Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante,
diundangkan pada 7 April 1953, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1953 Nomor 29.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956 tentang
Pengubahan Undang-undang Pemilihan Umum (Undang-Undang No. 7 Tahun 1953,
Lembaran-Negara No. 29 Tahun 1953).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1969 tentang
Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golongan Karya.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1980 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum
Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah
Diubah Dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1975.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1985 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum
165
Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Sebagaimana Telah Diubah
Dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1975 Dan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 1980.
Undang-Undang No.2 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomer 16 Tahun 1969 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1980.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1995 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah,
Terakhir Undang-undang Nomor 2 Tahun 1985.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai
Politik, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3809.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 Tentang
Pemilihan Umum, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Tentang
Susduk MPR, DPR dan DPRD, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3811.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai
Politik, diundangkan pada 27 Desember 2002, diumumkan ke dalam Lembaran
166
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4251.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum, diundangkan pada 11 Maret 2003, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4310.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 31 Juli 2003,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4721.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik, diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4801.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November
2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009,
167
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
diundangkan pada 15 Januari 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5189.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, diundangkan pada 16 Oktober 2011, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik
Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk
Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-
Leninisme.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Nomor XLII/MPRS/1968 tentang Perubahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan
Umum.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1998 tentang
Pemilihan Umum.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
I/MPR/2003.
168
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1959 tentang
Dekrit Presiden Republik Indonesia, diundangkan pada 5 Juli 1959, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 150.
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang
Syarat-syarat Penyederhanaan Kepartaian.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1960 tentang
Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 200 Tahun 1960,
diundangkan pada 17 Agustus 1960.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 201 Tahun 1960,
diundangkan pada 17 Agustus 1960.
Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 440 Tahun 1961
tentang Pengakuan Partai-partai Politik.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1961,
diundangkan pada 14 April 1961.
169
BAB V
PEMILIHAN UMUM
A. Pemilihan Umum
1) Masalah Perwakilan
Demokrasi menurut J.J. Rousseau dalam bukunya “Du Contract Social”
adalah suatu demokrasi langsung di mana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan
kehendak umum (volonte generale) atau sebagian besar dari warga negara. Dalam
praktik, ajaran Rousseau ini sulit diterapkan karena luasnya wilayah negara, banyaknya
penduduk dengan kepentingan yang beragam, sangat menyulitkan untuk
penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan demokrasi langsung tersebut, dan jalan
keluarnya adalah melalui sistem perwakilan330
. Negara Swiss mencoba menerapkan
ajaran Rousseau dengan sistem referendum. Pada umumnya negara-negara menganut
sistem perwakilan.
Adapun pengertian Pemerintahan dengan sistem perwakilan, menurut
Konferensi International Commission of Jurist di Bangkok 1965 yakni sebagai
berikut331
.
”Representative Government is a government deriving its power and authority
from the people, which power and authority are exercised through representative freely
chosen and responsible to them”.
Yang dialihbahasakan yakni menjadi,”Pemerintahan Perwakilan adalah
pemerintahan yang memperoleh kekuasaan dan kewenangan dari rakyat, di mana
kewenangan dan kekuasaan itu diperoleh melalui perwakilan yang dipilih secara bebas
dan bertanggung jawab kepada pemilihnya”.
Adapun syarat-syarat Pemerintahan dengan sistem perwakilan tersebut harus
mencakup perihal berikut ini332
.
330 Baca dalam I Dewa Gede Atmadja I, op.cit., hlm. 96-97, 108. 331
Baca dalam Kaelan, 2014, Pendidikan Kewarganegaraan, Edisi Revisi,
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, hlm. 92-93.
170
1) Proteksi Konstitusional.
2) Pengadilan-pengadilan yang bebas dan tidak memihak.
3) Pemilihan-pemilihan yang bebas.
4) Kebebasan menyatakan pendapat.
5) Kebebasan berserikat dan tugas oposisi.
6) Harus ada pendidikan civics.
Dan bila ditinjau dari rumusan dalam Pasal 35 Undang-undang Dasar
Sementara Tahun 1950, berbunyi,“Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa,
kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala dan jujur dan dilakukan berdasarkan
hak pilih yang bersifat umum, kebersamaan, serta dengan pemungutan suara yang
rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.”333
Adapun konsekuensi dari Representative Government adalah sebagai
berikut334
.
1) Keharusan adanya lembaga perwakilan rakyat.
2) Keharusan adanya seleksi, baik melalui pemilihan umum yang bebas dan rahasia,
maupun dengan cara lain.
3) Keharusan adanya partai politik.
4) Keharusan adanya lembaga yang mempunyai tugas pelaksanaan dan bertanggung
jawab kepada rakyat melalui badan perwakilan rakyat.
Berikut adalah uraian mengenai hubungan antara “si wakil” dengan “yang
diwakili” dengan beberapa teori berikut ini335
.
332
Baca dalam Ismail Suny, 1978, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta :
Aksara Baru, hlm. 19-24. 333 Baca Ismail Suny, op.cit., hlm. 21. 334
Lihat lebih lanjut dalam Sri Soemantri, 1971, Himpunan Kuliah Perbandingan
(Antar) Hukum Tata Negara, Bandung : Alumni, hlm. 33-34.
171
1) Teori Mandat
Menurut teori mandat si wakil dianggap duduk di lembaga perwakilan karena
mendapat mandat dari rakyat, sehingga disebut mandataris, seperti yang diajarkan oleh
Rousseau. Teori mandat berkembang menjadi tiga yakni sebagai berikut336
.
a) Mandat Imperatif, dimana si wakil bertugas dan bertindak di lembaga perwakilan
sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh yang diwakili, si wakil tidak boleh
bertindak di luar instruksi tersebut dan apabila ada hal-hal yang baru yang tidak
terdapat dalam instruksi tersebut, maka si wakil harus mendapat instruksi baru dari
yang diwakilinya, sehingga ia baru dapat melaksanakannya. Dengan kelemahan
yakni dapat menghambat tugas lembaga perwakilan.
b) Mandat Bebas, dimana Ajaran ini dianut oleh Abbe Sieyes (Perancis) dan Black
Stone (Inggris). Ajaran ini berpendapat bahwa si wakil dapat bertindak bebas
tanpa tergantung dari instruksi yang diwakilinya. Si Wakil adalah orang-orang
terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang
diwakilinya, sehingga si wakil dapat bertindak atas nama yang diwakilinya.
c) Mandat Representatif, di mana si wakil dianggap bergabung dengan badan
perwakilan (Parlemen). Rakyat memilih dan memberikan mandat pada lembaga
perwakilan, sehingga si wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan
pemilihnya, apalagi pertangungjawabannya. Lembaga perwakilan inilah yang
bertanggung jawab kepada rakyat.
2) Teori Organ
Ini dianut oleh Von Gierke dan juga Jellinek dan Paul Laband. Menurut
teori ini negara merupakan organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapan
dengan fungsinya masing-masing dan saling tergantung satu dengan lainnya. Setelah
rakyat memilih lembaga perwakilan rakyat, maka rakyat tidak perlu mencampuri
lembaga tersebut, dan lembaga itu bebas berfungsi sesuai dengan wewenang yang
335 Baca dalam Abu Daud Busroh, 2013, Ilmu Negara, Cetakan Kelima, Jakarta :
Sinar Grafika, hlm. 147-148. 336
Baca dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 109.
172
diberikan Undang-Undang Dasar337
. Masalah hubungan wakil dengan yang diwakili
tidak perlu dipersoalkan dari segi hukum.
3) Teori Sosiologis dari Rieker
Rieker menganggap bahwa lembaga perwakilan bukan merupakan
bangunan politis, tetapi merupakan bangunan sosial (masyarakat). Si pemilih akan
memilih wakilnya yang benar-benar ahli dalam bidang kenegaraan dan yang akan
benar-benar mewakili kepentingan si pemilih sehingga terbentuk lembaga
perwakilan dari kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat338
. Lembaga
perwakilan akan mencerminkan lapisan-lapisan kepentingan dalam masyarakat.
4) Teori Hukum Objektif dari Leon Duguit339
.
Menurut teori ini dasar dari pada hubungan antara rakyat dengan parlemen
adalah solidaritas. Wakil rakyat dapat melaksanakan tugas kenegaraannya atas nama
rakyat, sedangkan rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya
tanpa mendukung wakilnya dalam menentukan kewenangan pemerintahan. Jadi,
terdapat pembagian kerja. Keinginan untuk berkelompok yang disebut solidaritas
merupakan dasar hukum objektif yang timbul. Hukum objektif inilah yang
membentuk lembaga perwakilan sebagai suatu bangunan hukum. Akibatnya, yakni
sebagai berikut.
a) rakyat atau kelompok yang diwakili harus ikut serta dalam pembentukan
badan perwakilan dan cara terbaik adalah melalui pemilihan umum yang
menjamin adanya solidaritas sosial.
b) Kedudukan hukum antara pemilih dan yang dipilih adalah semata-mata
berdasarkan hukum objektif. Jadi tidak ada persoalan hak-hak dari masing
masing, mereka harus menjalankan kewajibannya sesuai dengan hasrat
mereka untuk berkelompok dalam Negara atas dasar solidaritas sosial.
337
Baca dalam Abu Daud Busroh II, op.cit., hlm. 149 dan I Dewa Gede Atmadja,
op.cit., hlm. 110. 338 Lihat dalam Abu Daud Busroh II, op.cit., hlm. 159-150 dan I Dewa Gede
Atmadja, op.cit., hlm. 110-111. 339
Baca dalam Abu Daud Busroh II, op.cit., hlm. 150.
173
c) Si wakil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus menyesuaikan
tindakannya dengan kehendak pemilihnya bukan karena adanya hukum
objektif yang didasarkan pada solidaritas sosial yang mengikat, melainkan
karena rasa solidaritasnya.
5) Teori Gilbert Abcarian
Menurut Gilbert Abcarian, dalam bukunya “Contemporary Political
System” (1970), Gilbert Abcarian melihat hubungan antara “si wakil” dengan
“yang diwakili” dari segi kebebasan bertindak “si wakil” dalam lembaga
perwakilan, yang mengemukakan 4 (empat) tipe hubungan, yakni sebagai
berikut340
.
1. Tipe Wali, dimana “si wakil” bertindak sebagai “wali” (trustee). Dalam
hubungan ini, “si wakil” bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut
pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya
(konstituen).
2. Tipe Utusan, dimana “si wakil” bertindak sebagai utusan (delegate). Dalam
hubungan ini “si wakil” tidak memiliki kebebasan bertindak, karena “si
wakil” hanya merupakan duta, sehingga ia harus selalu mengikuti instruksi
dan petunjuk dari yang diwakilinya dalam melaksanakan atau menjalankan
fungsi lembaga perwakilan. Jadi, tipe utusan atau delegasi ini identik dengan
“teori mandat”.
3. Tipe Politico, dimana “Si Wakil” bertindak kadang-kadang sebagai wali
(trustee) dan ada kalanya sebagai utusan (delegate). Tindakannya tergantung
dari isu (materi) yang dibahas.
4. Tipe Partisan, dimana “Si wakil” bertindak sebagai “partisan”. Dalam
hubungan ini, “si wakil”, tidak memiliki kebebasan bertindak dalam
menjalankan fungsi lembaga perwakilan, tetapi “si wakil” terikat pada
instruksi atau pada program partainya. Dengan demikian, setelah “si wakil”
dipilh oleh pemilihnya atau konstituennya (“yang diwakilinya”), maka
340
Baca dalam Bintan R. Saragih, 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di
Indonesia; Jakarta : Gaya Media Pratama, hlm. 85.
174
lepaslah hubungannya dengan pemilihnya tersebut, dan mulailah
hubungannya dengan partai (organisai) yang mencalonkanya dalam
pemilihan umum. Tampaknya di Indonesia “tipe partisan” inilah yang dianut
dalam hubungan antara “si wakil” dengan “yang diwakili”, sehingga lembaga
perwakilan yakni DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) diidentikkan dengan
“Lembaga Perwakilan Partai” .
6) Teori Prof. Dr. A. Hoogerwerf
Hoogewerf, dalam bukunya “Politikologi” (terjemahan),
mengemukakan berkaitan dengan ”hubungan antara “si wakil” dengan “yang
diwakili” dipandang atas dasar apa “si wakil” tersebut bertindak dan mewakili
siapa dalam lembaga perwakilan. Atas dasar itu, Hoogewerf, mengemukakan 5
(lima) model hubungan antara “si wakil” dan “yang diwakili”, yakni sebagai
berikut341
.
a. Si wakil bertindak sebagai atas nama yang diwakilinya, disebut “model
delegate”. Dalam model ini “si wakil bertindak atas “perintah seorang kuasa
usaha” yang harus menjalankan perintah dari “yang diwakili”.
b. Si wakil bertindak sebagai “orang yang diberi kuasa”, yang disebut “model
trustee”. Dalam model ini, “si wakil” bertindak sebagai orang yang
memperoleh kuasa penuh dari yag diwakilinya, sehingga ia dapat bertindak
atau mengambil keputusan berdasarkan pendirian atau pendapatnya sendiri.
c. “Model politicos”. Dalam model ini, “si wakil” bertindak, kadang-kadang
sebagai delegasi, menyuarakan instruksi “yang diwakili”, dan kadang-kadang
bertindak sebagai kuasa penuh. Hal ini tergantung dari isu yang dibicarakan
dalam lembaga perwakilan, yakni apabila isunya menyangkut “kebutuhan
primer”, seperti sandang, pangan dan papan,”si wakil” bertindak sebagai
delegasi, sedangkan di luar itu “si wakil” berindak sebagai kuasa penuh.
341
Baca dalam I Dewa Gede Atmadja I, op.cit., hlm. 112-114.
175
d. “Model kesatuan”, dimana dalam model ini “si wakil” dipandang sebagai
anggota parlemen secara utuh atau merupakan satu kesatuan wakil-wakil
rakyat. Jadi, bertindak atas nama lembaga perwakilan atau Parlemen.
e. Model diversifikasi, dimana dalam model ini “si Wakil” dipandang sebagai
wakil kelompok teritorial, sosial, tertentu atau wakil partai politik.
Demikian pendapat-pendapat teoritisi mengenai hubungan antara wakil dengan
yang diwakili. Materi ini relevan dengan masalah apakah perlu hak recall atau tidak bagi
fraksi/parpol di Dewan Perwakilan Rakyat342
Demikian juga analisis terhadap fakta
bahwa seorang wakil rakyat sering dipaksa menandatangani kontrak politik oleh
sekolompok masa, seperti fenomena menjelang pelantikan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hasil Pemilihan Umum tahun 2004.
Perlu dicatat, dari model diversifikasi Hoogewerf tersebut, dapat dikatakan
bahwa “karakter” atau sifat khas dari lembaga perwakilan343
, mencakup pertama,
perwakilan Politik (political representation), di sini “si wakil” direkrut atau dicalonkan
oleh paratai politik melalui pemilihan umum. Kelemahan dari “perwakilan poliik” ini,
biasanya yang terpilih hanyalah mereka yang memiliki “popularitas” politiknya, bukan
karena keahlian atau penguasaannya di bidang teknis pemerintahan. Dengan demikian
para sulit untuk terpilih melalui “perwakilan politik”. Mengatasi kelemahan ini muncul
sifat perwakilan yang kedua, yakni perwakilan fungsional (functional atau occupational
representation), “si wakil” direkrut biasanya melalui pengangkatan berdasarkan pada
fungsi/ jabatan atau keahlian dalam masyarakat, serta ketiga, perwakilan daerah,
biasanya dalam negara federal atau negara kesatauan yang wilayah atau teitorialnya luas,
seperti Indonesia. “Si wakil” terpilih dalam pemilihan umum mewakili daerahnya.
Contohnya pada DPD (Dewan Perwakilan Daerah), maupun di Amerika Serikat dengan
adanya Senat, mewakili “Negara-negara Bagian”.
Kemudian, macam-macam lembaga perwakilan pada umumnya ada dua (2)
yaitu sistem monocameral dan sistem bicameral. Umumnya Negara monarchi dan
negara serikat menganut sistem bicameral sedangkan Negara Kesatuan menganut sistem
Monocameral. Di Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah hasil Pemilihan
342
Baca Abu Daud Busroh, op.cit., hlm. 147-168. 343
Baca dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 113-114.
176
Umum Tahun 2004, Tahun 2009 serta Tahun 2014 menganut sistem yang cenderung
bicameral, dari adanya Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat344
.
Bilamana berbicara fungsi Lembaga perwakilan, menurut Miriam
Budiardjo345
, terdapat dua fungsi yakni sebagai berikut.
Menentukan policy atau kebijaksanaan, misalnya dengan membuat Undang-
undang, hak Amandemen, hak inisiatif, hak budget dan meratifikasi traktat.
Mengontrol atau mengawasi badan eksekutif, dengan hak interpelasi, hak
bertanya, hak angket, hak bertanya, hak amandemen.
Sedangkan menurut Abu Daud Busroh, terdapat tiga fungsi yakni mencakup
fungsi Legislasi, fungsi pengawasan, serta fungsi sebagai sarana pendidikan politik.
Serta Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih346
, menyebutkan pada
umumnya lembaga perwakilan memiliki 3 (tiga) fungsi, yakni sebagai berikut.
1) Fungsi perundang-undangan, dalam arti membentuk:
� Undang-Undang Pemilihan Umum, Undang-Undang Pajak dan sebagainya.
� Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
� Ratifikasi terhadap perjajian-perjanjian internsional.
2) Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan,adalah fungsi yang dijalankan oleh Parlemen untuk
mengawasi eksekutuif, agar berfungsi menurut undang-undang yang dibentuk oleh
344
Walaupun istilah tersebut tidak tepat, dimana terdapat istilah “trikameralisme”,
“sistem monokameral bercirikan bikameral” dalam ketatanegaraan Indonesia. Baca dalam Jimly
Asshidiqie, 2010, Konsolidasi dan Perkembangan Lembaga-lembaga Negara, Cetakan Pertama,
Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 112-114 dan Ni’matul Huda, 2008, UUD 1945 & Gagasan Amandemen
Ulang, Cetakan Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 145-150. 345 Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 151-152. 346 Lihat dalam Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, 1993, Ilmu Negara, Jakarta :
Gaya Media Pertama, hlm. 258-263.
177
Parlemen. Dalam konteks melaksanakan fungsi pengawasan ini, Parlemen diberi
beberapa hak, antara lain hak bertanya, hak interpelasi (meminta keterangan), hak
angket (mengadakan penyelidikan), hak mengajuan mosi tdak percaya (dalam
sistem pemerintahan parlementer), dan “impeachment” dalam sistem pemerintahan
presidensial, seperti Amerika Serikat dan Indonesia, maupun hak amendemen
yakni hak melakukan perubahan atas Undang-undang.
3) Sarana pendidikan politik
Fungsi pendidikan politik yaitu melalui pembhasan kebijakan Pemerintah di
Dewan Perwakilan Rakyat, dan dimuat, ditulis oleh media massa. Rakyat
mengikuti persoalan yang menyangkut kepentingan umum dan menilai menurut
kemampuan masing-masing dan secara tidak langsung mereka dididik ke arah
warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya347
. Fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai satu lembaga perwakilan rakyat, menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mencakup fungsi legislasi
(membentuk dan membahas Rancangan Undang-Undang bersama Presiden),
fungsi pengawasan (melakukan pengawsan terhadap tindakan dan kebijakan
pemerintah); dan fungsi anggaran berkaitan dengan hak budget, Dewan
Perwakilan Rakyat berhak menolak atau menerima atau menolak rancangan
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan
Presiden/Pemerintah.
2) Sistem Pemilihan Umum
Pemilihan umum merupakan satu cara untuk menentukan wakil-wakil rakyat
yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Sistem pemilihan ini sangat dipengaruhi oleh
cara pandang terhadap individu atau masyarakat dalam negara. Apakah mereka
dipandang sebagai individu yang bebas untuk memilih wakilnya atau dipilih sebagai
wakil rakyat atau mereka dipandang sebagai satu kesatuan kelompok sehingga tidak
347
Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, op.cit., hlm. 261-262.
178
dapat menentukan pilihan atau mencalonkan diri untuk dipilih. Atas kriteria ini, maka
dikenal dua sistem pemilihan yakni sebagai berikut348
.
1) Sistem pemilihan Mekanis: memandang rakyat sebagai massa individu-individu
yang sama sebagai satu kesatuan otonom dan negara/masyarakat dipandang
sebagai kompleks hubungan-hubungan antar individu. Setiap individu memiliki
hak dipilih dan memilih aktif yang mengeluarkan satu suara dalam setiap
pemilihan. Sifat perwakilan yang dihasilkan adalah perwakilan politik.
2) Sistem pemilihan Organis: menempatkan masyarakat sebagai satu kesatuan
individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam kesatuan hidup
berdasarkan: hubungan genealogis, fungsi ekonomi, industri, lapisan-lapisan sosial
seperti: buruh, cendekiawan, pengusaha, dsb. Kesatuan-kesatuan hidup inilah yang
mengendalikan hak memilih dan dipilih, atau mengutus wakil-wakilnya yang
duduk di badan perwakilan rakyat. Prosedurnya biasanya melalui pengangkatan,
sehingga sifat perwakilan yang dihasilkan adalah perwakilan fungsional.349
Cara
pandang inipun berkaitan dengan soal apakah perlu atau tidak adanya partai politik
dalam Negara. Menurut sistem pemilihan mekanis, maka partai politik mutlak
diperlukan dan perlu adanya pemilihan umum.
Pada umumnya Negara demokrasi menganut sistem pemilihan mekanis, atau
kombinasi kedua sistem ini, seperti Parlemen Inggris yang bersifat bicameral di mana
House of Lord diisi dengan pengangkatan dan House of Common diisi lewat pemilihan
umum350
.
Dan bilamana melihat sistem pemilihan mekanis, maka dapat dikaji bahwa
terdapat dua macam cara yakni sebagai berikut.
348
Baca dalam Jimly Asshidiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi
Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press, hlm. 415-417. 349 Mohammad Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, 1981, Pengantar Hukum
Tatanegara Indonesia. Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Universitas Indonesia dan
CV Sinar Bhakti; hlm. 332-334. 350
Baca Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, op.cit., hlm. 239-240.
179
1) Sistem perwakilan distrik/Majority/Single member constituency, dilakukan dengan
cara sebagai berikut351
.
a. Wilayah Negara dibagi-bagi dalam daerah pemilihan yang disebut distrik-distrik
pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota badan perwakilan rakyat.
Misalnya di badan perwakilan ada 500 kursi, maka wilayah Negara akan dibagi-
bagi menjadi 500 distrik pemilihan.
b. Setiap distrik diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara mayoritas.
Misalnya dalam setiap distrik jumlah pemilih adalah 100 orang, dan jumlah calon
yang dipilih adalah 5 dengan perolehan suara masing-masing: A = 40, B = 35, C =
15, D = 7, E = 3, maka yang mewakili distrik adalah A dengan suara mayoritas di
antara para calon yang lain.
Disamping itu terdapat beberapa dampak dalam sistem perwakilan distrik
yakni sebagai berikut.
a. Orang yang dipilih belum tentu mewakili suara mayoritas dari wilayah distrik itu,
terutama bila calon yang dipilih lebih dari dua orang. Oleh karena itu, bilamana
dianut sistem pemilihan distrik, maka lambat-laun akan mendorong lahirnya
sistem dwi partai dalam Negara, karena partai-partai kecil akan sangat kehilangan
harapan untuk mendudukkan wakilnya di badan perwakilan rakyat.
b. Biasanya orang yang terpilih itu pasti sangat dikenal dan memiliki hubungan yang
sangat dekat dengan pemilihnya, sehingga ia akan dituntut memperjuangkan
aspirasi pemilihnya, sehingga kemungkinan akan ada akibat bahwa si wakil hanya
memperjuangkan kepentingan daerahnya dan kurang memperhatikan kepentingan
nasional.
2) Sistem perwakilan Proporsional
Sistem perwakilan proporsional352
adalah sistem perwakilan di mana
prosentase kursi di badan perwakilan rakyat yang dibagikan kepada partai politik
berdasarkan prosentase jumlah suara yang diperoleh oleh tiap-tiap partai politik.
351 Lihat lebih lanjut dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 120-121 dan Jimly
Asshidiqie II, op.cit., hlm. 417-418. 352
Baca dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 121-122 dan Jimly Asshidiqie II,
op.cit., hlm. 418-419.
180
Negara merupakan satu wilayah pemilihan. Perolehan suara partai politik dihitung
secara nasional dan dibagi berdasarkan prosentase suara. Contohnya, jumlah suara
pemilih yang sah adalah 4.000.000, sementara jumlah kursi yang diperebutkan
adalah 400 buah, maka nilai sebuah kursi adalah 10.000 pemilih.
Dampak secara umum dari sistem pemilihan proporsional yakni sebagai
berikut.
1) Setiap suara di wilayah pemilihan tetap dihitung secara nasional, sehingga
tidak ada suara yang hilang.
2) Sistem ini disukai oleh partai-partai kecil, karena masih ada harapan
kemungkinan dapat merebut kursi di lembaga perwakilan rakyat walaupun
hanya satu kursi. Sehingga sistem pemilihan proporsional cenderung
mendorong tumbuhnya sistem multi partai.
3) Perhitungan suaranya berbelit-belit.
4) Rakyat bukan memilih orang, melainkan partai politik. Sementara sistem
distrik rakyat memilih orang.
Sistem proposional ada berbagai macam variasi dalam pelaksanaannya.
Contohnya di Indonesia dalam Pemilihan Umum Tahun 2004, Tahun 2009, serta
Tahun 2014, dengan penjabarannya bahwa Negara merupakan satu daerah
pemilihan, yang kemudian dibagi-bagi dalam wilayah pemilihan dan di tiap wilayah
pemilihan disediakan beberapa kursi sesuai dengan jumlah penduduknya353
.
Misalnya, daerah pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah seluruh
Indonesia sebanyak 400 kursi, kemudian di tiap Provinsi disediakan X atau Y kursi
berdasarkan tingkat kepadatan penduduk, sehingga nilai sebuah kursi bervariasi di
tiap Provinsi, sehingga jumlah kursi untuk seluruh Indonesia, yang 400 kursi
tersebut tetap. Misalnya, untuk Provinsi Bali nilai satu kursi Dewan Perwakilan
Rakyat yakni 150.000 suara, sedangkan di Provinsi Papua Barat hanya 100.000
suara.
3. Sejarah Perkembangan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
353
Baca dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 420.
181
Untuk memahami sistem pemilihan umum di Indonesia maka dapat dikaji dari
segi perjalanan sejarah perkembangan Pemilihan Umum di Indonesia dalam tinjauan
sejarah ketatanegaraan Indonesia, dengan mempelajari lebih mendalam undang-undang
pemilihan umum yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilihan umum. Berikut adalah
uraian perjalanan sejarah perkembangan sistem pemilihan umum dari masa ke masa.
a) Masa Awal Kemerdekaan, Demokrasi Liberal hingga Orde Lama
Pada masa ini, Pemilihan Umum pertama diadakan pada Tahun 1955 dengan
dasar hukum yakni pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953354
juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956355
, dengan sumber
konstitusinya yakni pada Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 35356
Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950, dimana Pemilihan umum tersebut diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Konstituante dengan
menggunakan sistem pemilihan umum sistem Proporsional357
.
Berdasarkan Pasal 35 Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950 dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953 juncto Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956 tersebut, maka asas Pemilihan Umum Tahun
1955 yang diselenggarakan 29 September 1955 untuk memilih Dewan Perwakilan
Rakyat dan 15 Desember 1955 untuk memilih Badan Konstituante tersebut, yakni Umum
dan berkesamaan, langsung, bebas dan rahasia.358
b. Masa Orde Baru
354 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan
Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. 355
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956 tentang Pengubahan
Undang-undang Pemilihan Umum (Undang-Undang No. 7 Tahun 1953, Lembaran-Negara No. 29
Tahun 1953). 356
Pasal 35 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang berbunyi,”Kemauan
dari rakyat adalah sumber dari kekuasaan penguasa, kemauan ini dinyatakan dalam pemilihan
berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan
serta pemungutan suara yang rahasia atau pun menurut cara yang menjamin kebebasan
mengeluarkan pendapat …”. Baca dalam Mohammad Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm.
342. 357 Baca dalam ketentuan Pasal 134 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1953. Baca lebih lanjut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953
tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. 358
Mohammad Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 343.
182
Pada masa ini, Pemilihan Umum yang Kedua dilaksanakan pada Tahun 1971.
Namun bila ditelusuri lebih lanjut dalam Undang-undang Dasar yang berlaku yakni
Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang bersifat singkat359
, sehingga soal pemilihan
umum tidak diatur dalamnya.
Pemilihan Umum Tahun 1971 tersebut dilaksanakan dengan embrio hukumnya
berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Nomor XLII/MPRS/1968360
, maka pemilihan umum dilaksanakan selambat-lambatnya
tanggal 5 Juli 1971, sehingga Presiden (Pemerintah) dan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong pada saat itu menetapkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor
15 Tahun 1969361
dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969362
,
yang kemudian, melalui Pemilihan Umum 1971 diikuti oleh 10 partai politik, dengan
asas pemilihan umum adalah Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia, adapun asas
kebersamaan tidak dicantumkan karena adanya pengangkatan tadi, dan kemudian
membentuk susunan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari 460 orang, ada 100 orang
diisi dengan pengangkatan, khususnya bagi golongan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia. Sedangkan, komposisi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah 460
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 530 orang Utusan Golongan Karya serta 130
Utusan Daerah yang melalui pengangkatan. Komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat
adalah 360 yang dipilih dan 770 orang melalui pengangkatan (perwakilan fungsional)363
.
Kemudian dalam Pemilihan Umum ketiga pada Tahun 1977, dengan
infrasruktur politik terjadi penggabungan, fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
juga fusi partai politik. Hanya ada kemudian dua partai politik yaitu Partai Persatuan
359 Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis
Permusyawaratan Rakyat, hlm. 3-4. 360
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Nomor XLII/MPRS/1968 tentang Perubahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Republik Indonesia Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum termasuk Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena
bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Baca dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat, 2011, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003,
Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, hlm. 22. 361
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-
anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. 362 Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 363
Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 204.
183
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya,
sehingga peserta pemilu hanya ketiga organisasi sosial politik tersebut berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975364
maupun Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1975365
.
Demikian berlangsung sampai Pemilihan Umum Keempat pada Tahun
1982366
, setelah itu, sempat diadakan perubahan terhadap Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 1975 dengan mengeluarkan lima paket Undang-undang di bidang Politik Tahun
1985367
terutama berkaitan dengan asas partai politik hanya mengenal asas Pancasila dan
asas ciri dihapuskan, dimana hal tersebut berlaku untuk Pemilihan Umum kelima pada
Tahun 1987 sampai Pemilu keempat pada Tahun 1992 dan terakhir dalam Pemilihan
Umum ketujuh pada Tahun 1997368
hingga berakhirnya masa Orde Baru, dimana dengan
asas pemilihan umum adalah langsung, umum, bebas dan rahasia, dengan sistem
perwakilan proporsional dan sistem pengangkatan (perwakilan fungsional).
c. Masa Reformasi
Pada masa ini, Pemilihan Umum Pertama di masa ini dan kedelapan sejak
pertama kalinya, diadakan pada Tahun 1999 sebagai kelanjutan dari perjuangan
reformasi di Indonesia sejak tahun 1997. Dan dalam rangka tuntutan reformasi kemudian
disusun tiga paket undang-undang di bidang politik369
, yakni melalui Undang-undang
364
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. 365 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-undang Nomor
16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 366 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1980 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No.4
Tahun 1975. 367
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, Undang-Undang
No.1 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan
Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan
Undang-Undang No.4 Tahun 1975 dan Undang-Undang No.2 Tahun 1980. 368 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1995 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sebagaimana Telah
Beberapa Kali Diubah, Terakhir dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1985. 369 Disamping adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor III/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum.
184
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999370
, Undang-undang Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 1999371
dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999372
,
sesuai dengan jiwa undang-undang ini kemudian muncul banyak partai politik dengan
asas cirinya masing-masing, dan setelah melalui proses verifikasi di Departemen Dalam
Negeri, peserta Pemilihan Umum Tahun 1999 yakni 48 partai politik, dan pasca
pemilihan, menghasilkan komposisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih
adalah 462 orang dan yang diangkat sebanyak 38 orang dari Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia. Sementara itu, komposisi Anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat adalah 500 anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah Utusan Daerah
sebanyak 135 orang serta Utusan Golongan sebanyak 65 orang dengan total keseluruhan
berjumlah 700 orang, dengan sistem pemilihannya adalah sistem perwakilan proposional
dan pengangkatan.
Kemudian melalui Amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pelaksanaan Pemilihan Umum kesembilan yakni pada Tahun
2004 memiliki keistimewaan tersendiri dimana dalam pemilihan umum Tahun 2004
tersebut, terdapat pengaturan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tentang Pemilihan Umum dalam Bab VII B pada Pasal 22 E Ayat (1) sampai
Ayat (6) sebagaimana kutipan berikut373
.
BAB VII B ***)
PEMILIHAN UMUM ***)
1) Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia jujur dan
adil setiap lima tahun sekali. ***)
370
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik,
diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3809. 371
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan
Umum, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 23 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810. 372 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Tentang
Susduk MPR, DPR dan DPRD, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3811. 373 Baca dalam Jimly Asshidiqie, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 110-
115.
185
2) Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. ***)
3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilam Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. ***)
4) Peserta pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan. ***)
5) Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap dan mandiri. ***)
6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
***)
Disamping itu, Pemilihan Umum Tahun 2004, dilaksanakan dengan adanya
empat undang-undang di bidang politik, yakni Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2002374
, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003375
,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003376
serta Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003377
, dan dalam hal ini, maka sistem pemilihan
yang dianut yakni sistem pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah melalui sistem pemilihan Proporsional dengan daftar terbuka,
sementara untuk Dewan Perwakilan Daerah menganut sistem Distrik berwakil banyak.
Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden menganut sistem pemilihan
perorangan di mana paket calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai
politik.
Kemudian, dalam Pemilihan Umum Tahun 2009, dilaksanakan dengan adanya
empat undang-undang di bidang politik, yakni Undang-undang Republik Indonesia
374 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai
Politik, diundangkan pada 27 Desember 2002, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4251. 375 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan
Umum, diundangkan pada 11 Maret 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 37 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277. 376
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4310. 377 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93.
186
Nomor 2 Nomor 2008378
, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007379
,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009380
serta Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008381
, dan dalam hal ini, maka sistem pemilihan
yang dianut masih sama yakni sistem pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui sistem pemilihan Proporsional dengan daftar
terbuka, sementara untuk Dewan Perwakilan Daerah menganut sistem Distrik berwakil
banyak. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden menganut sistem
pemilihan perorangan di mana paket calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh
partai politik.
Dan terakhir yakni pada Pemilihan Umum Tahun 2014, yang dilaksanakan
dengan adanya beberapa undang-undang di bidang politik, yakni Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 2 Nomor 2008 juncto Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2011382
, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011383
,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014384
sebagaimana telah diubah
378 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik,
diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801. 379
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721. 380
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5043. 381
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November 2008, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924. 382 Baca dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Partai Politik, diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801
dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, diundangkan pada 15 Januari 2011, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5189. 383
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, diundangkan pada 16 Oktober 2011, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5246. 384
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5568.
187
dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014385
serta Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008386
, dan dalam hal ini, maka sistem
pemilihan yang dianut juga masih sama dengan dua pemilihan sebelumnya yakni Tahun
2004 serta Tahun 2009, yakni sistem pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui sistem pemilihan Proporsional dengan daftar
terbuka, sementara untuk Dewan Perwakilan Daerah menganut sistem Distrik berwakil
banyak. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden menganut sistem
pemilihan perorangan di mana paket calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh
partai politik.
Dimana dari keseluruhan pemilihan umum tersebut di Indonesia, tidak terdapat
perbedaan substansial berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum, hanya terdapat
perbedaan dalam hal jumlah partai politik, maupun pihak yang dipilih, serta pelaksana
Pemilihan Umum dari masa ke masa dalam tinjauan ketatanegaraan Indonesia.
D. Kesimpulan
Demikian telah dijabarkan berkaitan dengan garis besar tentang kekuasaan
Negara, partai politik dan sistem pemilihan umum di Indonesia, seperti telah disinggung
sebelumnya konsep pemerintahan dengan sistem perwakilan menuntut adanya konsep
sistem pemilihan mekanis dengan sistem perwakilan proporsional ada berbagai variasi,
demikian juga penerapan sistem distrik dengan berwakil banyak adalah satu contoh
variasinya. Dan dalam konteks untuk mengenal lebih mendalam tentang kekuasaan
Negara, partai politik maupun pemilihan umum pada masa tertentu, tentunya haruslah
diteliti setiap undang-undang maupun pandangan doktrin ketatanegaraan terkait dengan
konsep kekuasaan Negara, partai politik maupun pemilihan umum khususnya bilamana
385
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, diundangkan pada 15 Desember 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 383 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5650. 386 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November 2008, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924.
188
merujuk pada undang-undang tentunya haruslah mengikuti dinamika ketatanegaraan
Indonesia yang dinilai paling cepat berubah.
189
DAFTAR BACAAN
Buku
Alfian, 1978, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta : PT.
Gramedia.
Asshidiqie, Jimly, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi
Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
_______________, 2010, Konsolidasi dan Perkembangan Lembaga-
lembaga Negara, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar Grafika.
_______________, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar
Grafika.
_______________, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi
Revisi, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
Atmadja, I Dewa Gede, 1989, Partai Politik Dan Golongan Karya Dalam
Lintasan Perundang-Undangan, Denpasar : Penerbit Setia Kawan.
__________________, tanpa tahun, Rangkuman Studi Ilmu Politik (Diktat),
Denpasar : Fakultas Hukum Universitas Udayana.
__________________, 2012, Ilmu Negara, Dimensi Historis
Ketatanegaraan, Malang : Setara Press.
Budiardjo, Miriam, 1981, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia.
Busroh, Abu Daud, 2010, Ilmu Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta : Sinar
Grafika.
________________, 2013, Ilmu Negara, Cetakan Kesepuluh, Jakarta :
Sinar Grafika.
Huda, Ni’matul, 2008, UUD 1945 & Gagasan Amandemen Ulang, Cetakan
Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
Kaelan, 2014, Pendidikan Kewarganegaraan, Edisi Revisi, Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Karim, Rusli, 1983, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret
Pasang Surut, Jakarta : CV. Rajawali.
190
Koesnardi, Mohammad, dan Harmaily Ibrahim, 1981, Pengantar Hukum
Tatanegara Indonesia. Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Universitas
Indonesia dan CV Sinar Bhakti.
Koesnardi, Mohammad dan Bintan R. Saragih, 1993, Ilmu Negara, Jakarta :
Gaya Media Pertama.
Komisi Pemilihan Umum, 2003, Partai Politik Peserta Pemilu 2004
Perjalanan dan Profilnya. Jakarta : Komisi Pemilihan Umum, Desember 2003.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003, Cetakan Kesepuluh, Jakarta :
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat.
MD., Mahfud, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta :
Rajawali Grafindo Press.
Saragih, Bintan R., 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia;
Jakarta : Gaya Media Pratama.
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-
1949, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
___________________________________, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka,
1950-1964, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
___________________________________, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka,
1965-1974, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Sucipta, I Made, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid I, Edisi Revisi,
Singaraja : Petada Pasi Grafika.
_____________, 2012, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid II, Edisi Revisi,
Singaraja : Petada Pasi Grafika.
Soemantri, Sri, 1971, Himpunan Kuliah Perbandingan (Antar) Hukum Tata
Negara, Bandung : Alumni.
Suny, Ismail, 1978, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta : Aksara Baru.
Tambunan, A.S.S., 1976, Undang-Undang RI, No.3 Tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golongan Karya, Latar Belakang, Beserta Proses Pembentukannya; Bandung :
Binacipta.
191
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953 tentang
Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante,
diundangkan pada 7 April 1953, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1953 Nomor 29.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956 tentang
Pengubahan Undang-undang Pemilihan Umum (Undang-Undang No. 7 Tahun 1953,
Lembaran-Negara No. 29 Tahun 1953).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1969 tentang
Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golongan Karya.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1980 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum
Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah
Diubah Dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1975.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1985 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum
Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Sebagaimana Telah Diubah
192
Dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1975 Dan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 1980.
Undang-Undang No.2 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomer 16 Tahun 1969 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1980.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1995 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah,
Terakhir Undang-undang Nomor 2 Tahun 1985.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai
Politik, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3809.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 Tentang
Pemilihan Umum, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Tentang
Susduk MPR, DPR dan DPRD, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3811.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai
Politik, diundangkan pada 27 Desember 2002, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4251.
193
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum, diundangkan pada 11 Maret 2003, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4310.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 31 Juli 2003,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4721.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik, diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4801.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November
2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043.
194
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
diundangkan pada 15 Januari 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5189.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, diundangkan pada 16 Oktober 2011, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik
Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk
Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-
Leninisme.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Nomor XLII/MPRS/1968 tentang Perubahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan
Umum.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1998 tentang
Pemilihan Umum.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
I/MPR/2003.
195
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1959 tentang
Dekrit Presiden Republik Indonesia, diundangkan pada 5 Juli 1959, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 150.
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang
Syarat-syarat Penyederhanaan Kepartaian.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1960 tentang
Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 200 Tahun 1960,
diundangkan pada 17 Agustus 1960.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 201 Tahun 1960,
diundangkan pada 17 Agustus 1960.
Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 440 Tahun 1961
tentang Pengakuan Partai-partai Politik.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1961,
diundangkan pada 14 April 1961.
Recommended