7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
1/141
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
2/141
Daftar Isi
Prawacana.. iKata Pengantar : Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc iiiDaftar Isi.. xi
Bagian 1. Latar Belakang 1
1.1. Tinjauan Umum. 11.2. Dasar Pemikiran. 21.3. Fokus dan Ruang Lingkup. 51.4. Metodologi. 6
Bagian 2. Hutan Dalam Perspektif Kultural Orang Tolaki 8
2.1. Pandangan Orang Tolaki tentang Hutan.. 82.1.1. Hutan Sebagai Basis Ekonomi.. 92.1.2. Hutan Sebagai Ruang Ekspresi Kultural.. 132.1.3. Hutan Sebagai Sarana Ritual. 13
2.2. Karakteristik Tradisional Kawasan Hutan 152.2.1. Berdasarkan Usia Kawasan.. 152.2.2. Berdasarkan Jenis Vegetasi dan Aliran Sungai 192.2.3. Berdasarkan Kontur Geografis. 20
2.3. Mondau Sebagai Pranata Pengelolaan Sumberdaya HutanOrang Tolaki. 21
2.3.1. Monggikii Andoolo. 212.3.2. Mohoto Owuta. 222.3.3. Mosalei. 242.3.4. Monduehi. 252.3.5. Humunu 272.3.6. Moenggai.. 272.3.7. Motasu.. 282.3.8. Mosaira dan Meteia Inimo 332.3.9. Mosowi. 372.3.10.Molonggo.. 41
2.4. Memudarnya Pranata Mondau. 41Bagian 3. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Oleh Rakyat, Perspektif Hari Ini. 43
3.1. Pola Penggunaan Lahan.. 433.2. Pemanfaatan Lahan : Dari Pekarangan Hingga Hutan Belantara 46
3.2.1. Pemanfaatan Pekarangan. 463.2.2. Kebun dan Ladang/Tegalan. 483.2.3.
Perkebunan Rakyat. 513.2.4. Hutan Rakyat.. 54
xi
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
3/141
3.3. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. 563.4. Pemanfaatan Hasil Hutan Non-Kayu. 623.5. Perombakan Hutan Oleh Masyarakat Migran. 70
3.5.1. Pola Struktural. 703.5.2. Pola Kultural 72
Bagian 4. Masyarakat dan Intervensi Kebijakan PSDH.. 77
4.1. Reboisasi plus HTI : Model Pengelolaan Sumberdaya HutanYang Menyesatkan, Belajar dari Kasus Lainea.. 774.1.1. Riwayat Proyek.. 774.1.2. Dari Reboisasi ke HTI 794.1.3. Masyarakat Sebagai Buruh. 814.1.4. Reboisasi dan HTI sebagai Proyek Sarat KKN.. 834.1.5. Berbagai Dampak Proyek.. 854.1.6. Kemelut Hutan Jati 93
4.2. HPH PT. Intisixta : Potret Arogansi Bisnis Kehutanan.. 954.3. Kawasan Konservasi dan Fakta Peminggiran Masyarakat Adat 101
4.3.1. Peminggiran Masyarakat di Taman Nasional RawaaopaWatumohai, Potret Petani Tanpa Lahan di KampungTua Lanowulu. 102
4.3.2. Masyarakat Ditengah Buaian Janji Dan PerebutanKepentingan, Belajar Dari Kasus Pulau Bawulu 110
Bagian 5. Menggagas PSDH berbasis Masyarakat, Beberapa Catatan Penutup.. 115
5.1. Menyadap Dinamika Eksternal 1155.2. Otonomi PSDH dan Dinamika Daerah Otonom. 1165.3. Harapan dan Tantangan Otonomi PSDH Ke Depan.. 1215.4. Beberapa Catatan Penutup dan Rekomendasi. 123
Bahan Bacaan. 127Sekilas Tentang Penulis.. 130
xii
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
4/141
Daftar Tabel
Tabel 1. Distribusi luas areal desa menurut pola penggunaan tanah padabeberapa lokasi penelitian, keadaan tahun 2001............................... 54
Tabel 2. Distribusi jenis, luas dan produksi tanaman perkebunan yangdapat diidentifikasi pada beberapa lokasi penelitian, keadaan tahun
2002................................................................................................... 64
Tabel 3. Distribusi Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Di KabupatenKendari, Keadaan Tahun 1990 s.d. 2002.. 68
Tabel 4. Volume Produksi Kayu Di Kabupaten Kendari dalam 5 tahun
terakhir . 72
Tabel 5. Struktur Jenis dan Keadaan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
non-IPKTM/IPHHK pada beberapa lokasi penelitian, keadaan
tahun 2002......................................................................................... 73
Tabel 6. Volume produksi rotan di Kabupaten Kendari dalam 5 tahun
terakhir............................................................................................... 78
Tabel 7. Struktur jenis dan keadaan usaha pemanfaatan hasil hutan non
kayu pada beberapa desa di lokasi penelitian, keadaan tahun
2002.. 88
xiii
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
5/141
PengantarMarginalisasi, Perubahan Sosial dan Kebijakan Tolaki
Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc
Misi yang tertangkap dalam buku ini adalah ingin menyampaikan suatu event
sosial budaya dalam sbuah etnik tertentu yang disebut dengan etnik Tolaki di Kabupaten
Kendari, Sulawesi Tenggara. Event itu sendiri sangat terkait dengan politik ekonomi
pemerintah Indonesia dan konservatisme paham-paham konservasi alam pada tataran
global yang berpengaruh di Indonesia dan penduduk lokal di seluruh Indonesia. Dengan
demikian, buku pranata hutan rakyat ini sangat dekat dengan model studi etnografi,
etnoscience dan etnoekologi.
Etnografi etnik Dayak di Kalimantan dan etnik Tolaki di Sulawesi Tenggara, jika
dilihat dalam perspektif historis fenomenologis pada kegiatan pertanian perladangan (ed :
pertanian gilir balik), adala memiliki kesamaan kepercayaan, mitos dan manfaat sistem
tersebut pada kehidupan masyarakatnya. Etnik dayak sangat percaya bahwa lahan adalah
sumbr dan lambang kehidupan, sumberdaya hutan dipandang sebagai habitat kehidupan
mereka, dan karenanya hutan tidak dapat dipisahkan dari lebensraum masyarakat Dayak.
Demikian pula halnya dengan masyarakat Tolaki di Kendari yang memandang lahan dan
hutan sebagai bagian dari keseharian hidup masyarakatnya, bagian dari kultur dan tradisi,
dan sumber kehidupan ekonomi mereka. Di Indonesia masih banyak etnik-etnik lainnya
yang nyaris sama dengan etnik Dayak dan Tolaki dalam relasinya dengan sumberdaya
alam yang berada di sekitar kehidupan sosial mereka. Dalam kata yang populer,
hubungan-hubungan etnik tersebut dengan alammnya tersebut haruslah dilihat dari
perspektif tindakan-tindakan environmentalism. Namun demikian, menurut Goldblat
(1996) dalam bukunya social theory and the environment, bahwa untuk melakukan
kajian atas segala sesuatu yang terkait dengan lingkungan hendaknya harus dimulai
dengan pengetahuan tentang sejarah sumberdaya dan sejarah etniknya, walaupun tidaklah
mudah untuk mewujudkan keinginan tersebut karena adanya keterbatasan ilmu sosial
untuk menjelaskannya.
Secara political economy, persoalan-persoalan lingkungan di dunia selalu ada
kaitannya dengan kepentingan-kepentingan kapitalisme dan keadilan sosial dalam
masyarakat. Eckersley (1992) dalam bukunya environmentalism and polititical theory
iv
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
6/141
berpendapat bahahwa pendekatan teori structural Karl Marx juga memberi perhatian pada
relasi antara kerusakan lingkungan dengan kapitalisme, dan keadilan sosial. Tentu
tidaklah berlebihan untuk dapat mengkaitkan antara kerusakan lingkungan dengan
kapitalisme global, sebab sudah menjadi rahasia umum saat ini bahwa eksploitasi
sumberdaya alam di Negara-negara sedang membangun banyak terkait dengan gerakan
ekspansi bisnis multi national corporation (MNC) dengan pusar di Negara-negara maju
seperti Ameropa dan Amerika Serikat. Dari gerakan MNC inilah, gurita bisnis
merejalela di dunia ini. Sumberdaya alam selalu menjadi korban dari sistem itu dan
kepunahan sumberdaya tersebut tampaknya hanya tinggal menunggu waktu saja. Tidak
terkecuali di daerah-daerah di Indonesia yang masih banyak memiliki sumberdaya alam
(hutan dan tambang) akan juga secara perlahan tetapi pasti mengalami kerusakan alam
yang serius, dan pada saat yang sama, demiki kepentingan capital, baik itu yang
dilakukan oleh Negara/pemerintah maupun oleh pengusaha, akan berakhir dengan
tindakan memarginalkan penduduk lokal.
Buku ini sesungguhnya mengajak para pembaca dan pera pengambil kebijakan di
Kendari pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya untuk mencermati ragam dan
dinamika penduduk Tolaki dan respon mereka kepada pemanfaatan dan pengawetan
sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka. Pada sisi yang lain, buku ini ingin punyamenyampaikan pesan-pesan moral kepada penentu kebijakan agar tidak sewenang-
wenang dalam menetapkan sebuah kebijakan yang pada akhirnya berdampak kepada
ketidak berdayaan masyarakat luas.
Secara metodologis, kamiagak merasa kesulitan untuk mengkategori penelitian
dalam buku ini. Kesulitan tersebut karena banyak asumsi yang digunakan, banyak aspic
yang ingin dicapai dari buku ini, dan aspek kebijakan dan politik lokal atas pengelolaan
sumberdaya alam hutan lebih mendapat porsi untuk ditindak-lanjuti. Seandainay tujuan
yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui perubahan sosial akubat intervensi
pembangunan- dan itu dipahami dari relasi fungsi dan struktur dalam masyarakat maka
pendekatan fungsional structural dalam buku ini telah digunakan dengan baik. Katakan
saja ketika peneliti mengurai tentang sistem mondau (sistem yang berkait dengan
perladangan), maka tertangkap kesan sangat detail dan sarat dengan informasi yang kaya
akan nuansa, diskursus dan manfaat. Ini merupakan nilai sangat memuaskan dari buku
ini. Namun demikian ketika penulis mencoba mengurai pengaruh-pengaruh eksternal
yang ikut mengambil bagian dalam proses pemarginalan etnik Tolaki dalam konteks
v
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
7/141
pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam utan yang kemudian diperhadapkan
dengan pranata mondau (pertanian gilir balik) di sisi lain- maka terlihat ada ruang yang
kosong hilang. Misalnya ruang perdebatan atas data-data yang berasal dari masyarakat
maupun yang berasal dari pihak-pihak pemerintah. Dengan demikian, secara
metodologis, buku ini mencoba menggunakan berbagai pendekatan fenomenologis yang
digabungkan dengan model historiography.
Secara historiografi digunakanoleh enulis ketika mencoba menggali dan
menemukenali persoalan yang berkaitan dengan sejarah masa lalu tentang nostalgia
pembuatan pertanian gilir balik (PGB) atau sistem mondau. Pendekatan ini digunakan
dalam rangka mencari dinamika sosial budaya yang ada di dalam sistem mondau
tersebut, ketika semua proses hubungan alam (nature) dengan tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh masyarakat masih memiliki derajat keseimbangan yang baik
(equilibrium). Hanya saja keseimbangan seperti apa yang terjadi di alam tersebut tidak
juga (belum) dieksplorasi dan penulis tidak mengajukan hasil analisisnya ke arah hal
tersebut. Sebab keseimbangan alam tidak hanya dapat dilihat dari aspek pemanfaatan
sumberdaya alam hutan oleh masyarakat saja, tetapi juga harus dilihat pada seberapa jauh
daya dukung alam (carrying capacity) dari sumberdaya alam di sekitar kehidupan
masyarakat Tolaki atau masyarakat di desa-desa penelitian itu telah diketahui dantersedia datanya dengan akurat.
Keberhasilan penulis dalam konteks ini adalah dalam rangka mengetengahkan
proses-proses kebijakan eksploitasi sumberdaya hutan secara sistemik dari pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah. Artinya, daya dukung alam itu memang tidak lagi
dapat dikontrol oleh masyrakat Tolaki yang hidup di desa-desa sekitar hutan karena
masyarakat tidak mampu melakukan control atas sumberdaya alam. Kiranya, politik
bisnis kehutanan pemerintah pusat dan daerah memang tidak memihak kepada
kepentingan masyarakat Tolaki tersebut. Penulis dengan jelas menunjukkan fakta-fakta
kebijakan sumberdaya hutan (SDH) yang berpihak kepada pengusaha besar seperti
pemegang ak pengusahaan hutan (HPH) untuk mengusahakan SDH yang ada, dan pada
saat yang sama hak-hak etnik Tolaki atas PSDH dipinggirkan, dihilangkan secara
sistematis. Demikian pula halnya dengan izin-izin pemanfaatan asil hutan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah daerah Kendari tiak dala konteks melestarikan hak-ak etnik
masyarakat Tolaki, tetapi lebih berpihak pada hegemoni ekonomi untuk kepentingan
mesin pencetak uang dalam pundi-pundi pendapatan aseli daerah- dan tentu untuk
vi
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
8/141
kepentingan establishment politik lokal itu sendiri. Inilah fakta fenomena yang menjadi
bacaaan penulis dalam melihat ketidakseimbangan hubungan alam dan masyarakat di
desa-desa penelitian.
Fakta paling serius yang mencolok mata yang ingin disampaikan oleh penulis
adalah proses marginalisasi Etnik Tolaki di beberapa desa yang terkait dengan kebijakan
pengelolaan kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) yang bermuki
di kampung tua Lawowulu. Jauh sebelum TNRAW ditetapkan sebagai daerah konservasi
ole Pemerintah pada tahun 1976, etnik Tolaki di kampung tua Lanowulu sudah bermukim
lama di sana. Penduduk kampung dalam berinteraksi dengan sumberdaya hutan sudah
merupakan bagian dari kehidupan, kultur dan memiliki relasi dengan kepercayaan yang
bersifat magis. Sejak ada claim oleh Negara/pemerintah atas wilayah kampung tua itu
maka muncul konflik pertanahan (tenurial) yang sangat serius dan berdampak destruktif
pada masyarakat dan pada sumberdaya alam hutannya. Salah satu yang terpenting dalam
konflik ini adalah terusirnya penduduk Lanowulu dari habitat adatnya. Kini mereka
menjadi masyarakat nomaden, tidak memiliki lahan bukan karena perilaku kultural, tetapi
karena terpinggirkan (dipinggirkan) dan tidak boleh lagi menetap did ala kawasan
TNRAW, meski secara historis sebagian kawasan hutan tersebut merupakan hak adat
etnik Tolaki.Saat ini di lapangan sedang terjadi ketegangan sosial antara etnik Tolaki di
wilayah tertentu dengan pihak TNRAW. Disinilah penulis ingin mencoba mengajak
semua pihak menyelesaikan masalah di kampung tua itu secara damai dan
berperikemanusiaan, bukan dengan cara melakukan genocide atas satu etnik tertentu.
Pertanyaan kritisnya dalah dimana posisi pemerintah daerah yang otonom itu atas nasib
masyarakatnya?.
Untuks ebuah kajian akademik, buku ini dapat dianggap kurang focus, dalam arti
kata unit-unit analisisnya sangat luas, sampel desa lebih dari 10 desa dengan karakteristik
etnik dan alam yang hampir sama, sehingga aspek generalisasi kelihatannya sangat kuat.
Boleh jadi kondisi seperti ini tidak menghilangkan aspek khusus yang seharusnya lebih
bernilai dan lebih dapat diperdalam informasinya. Tetapi kami dapat memaklumi
keinginan penulis Yusran Taridala dan Sarlan Adijaya, keduanya ingin melakukan
generalisasi karena sesungguhnya ketidakadilan atas sumberdaya alam sebagaimana yang
terjadi atas etnik Tolaki itu telah terjadi dimana-mana dan tidak ada pembelaan yang
dilakukan oleh peerintah daerah terhadap masyarakat ketika kebijakan-kebijakan
vii
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
9/141
pemerintah pusat mulai menindas dan meniadakan hak-hak etnik Tolaki (dan etnis
senasib) atas sumberdaya alam hutan.
Disadari sepenuhnya bahwa buku ini bukan dimaksudkan untuk kajian akademik
atas sebuah teori besar yang telah mapan dalam ilmu-ilmu sosial. Penulis memilih
langkah empirisme dalam menguraikan ragam informasi yang diperlukan dalam
analisis. Secara jelas pula penulis mengatakan bahwa tujuan dari buku ini adalah
menyiapkan kerangka analisis dan referensi kebijakan bagi sebuah proses penyerahan
sistem pengelolaan SDH dari state based menjadi community based, yang lebih
transparan, berkeadilan sosial, akuntabilitas publik yang tinggi dan memiliki kepastian
hukum yang jelas. Dalam tataran seperti ini maka layak sekali jika buku ini menjadi salah
satu referensi penting untuk kebijakan SDH di Kabupaten Kendari.
Terlepas dari beberapa kekurangan dari buku ini, tentu banyak hal pula yang patut
mendapat pujian dari buku ini. Jika saya ditanya apa yang sangat berguna dari buku ini,
maka informasi yang sagat berguna dari buku ini, antara lain : (1) buku ini berhasil
menggambarkan secara kualitatif tentang perubahan sistem penggunaan lahan yang
semula diawali dengan sistem mondau kemudian karena introduksi teknologi dan pasar,
sistem mondau berkembang ke arah penggunaan lahan yanglebih komersial walaupun
masih ada bagian yang subsisten. Berubahnya mondau dari tanaman pangan menjaditanaman perkebunan adalah bentuk komersialisasi desa dan kapitalisasi global yang
sudah sampai di desa-desa Kendari ; (2) fenomena pebukaan lahan hutan untuk ditanami
tanaman koersial seperti kakao merupakan transformasi baru dasi sistem penggunaan
lahan di masyarakat etnik Tolaki. Informasi seperti ini imemberikan pelajaran kepada kita
bahwa perubahan sosial dalam satu masyarakat itu akan terjadi baiks secara terencana
mauun secara alamiah oleh karena kebutuhan masyarakat sendiri. Karenanya, pranata
sosial budaya hendaknya menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, dan penyesuaian
tersebut tetap dalam koridor yang positif dan konstruktif. Semua peluang yang merubah
pranata kearah negatif sudah seharusnya diperkecil atau dihilangkan sama sekali ; (3)
model hutan rakyat dalam etnik Tolaki adalah hutan rakyat campuran antara tanaman
keras, tanaman perkebunan dan semak belukar. Kondisi ini menggabarkan bahwa tahapan
perkembangan hutan rakyat di desa-desa penelitian berada pada tahap permulaan sebagai
hutan buatan, karena terbukti dari komposisi tanaman jati lokal dan tanaman perkebunan.
Hutan rakyat yang masih relatif berasal dari alam adalah hutan sagu yang terletak pada
tepian sungai ; (4) intervensi peerintah dalam mengebangkan hutan rakyat (kehutanan
viii
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
10/141
masyarakat) dengan cara memberi bantuan bibit jati putih, jati unggul, kakao, lada, jambu
mete, durian, rabutan dan jeruk adalah positif. Hanya saja menanam tanaman asing
seperti jatih putih dan padi unggul sangat tidak menguntungkan, sebab diketahui jatih
putih di Jawa tidak memiliki nilai ekonomi, sementara jati unggul hanya korban dari
pebisnis saja. Sampai saat ini belum ada bukti keberhasilan jati unggul tersebut. Di
beberapa tempat di Indonesia, jati lokal lebih baik dari jati unggul. Seharusnya
pemerintah daerah melindungi rakyatnya, bukan malah membuat kesalahan karena
bekerja sama dengan pengusaha bibit jati unggul. Siapa yang akan bertanggungjawab jika
jati unggul gagal secara ekonomi?; (5) dari buku ini semua orang dapat lebih memahami
proses transformasi seperti apa yang sedang berlangsung di Kendari, dan perubahan
sosial budaya seperti apa yang sedang berproses di etnik Tolaki khususnya dan di
Kendari pada umumnya ; (6) marginalisasi Etnik Tolaki di desa-desa tertentu telah
embawa kesengsaraan bagi penduduk desa tersebut, dan hal tersebut karena munculnya
kebijakan konservasi sumberdaya alam. Terpikirkan bahwa pihak pemerintah yang
berlindung atas dasar konservasi itu janganlah meneruskan tindakan yang fasis,
otoritarian, dan feodalis.
Buku ini sangat menarik dibaca oleh semua pihak, dosen, mahasiswa, LSM,
pejabat pemerintah, rimbawan, pencinta lingkungan, dan masyarakat lainnya. Satu-satunya hal yang dapat membosankan pembaca sesungguhnya terletak pada istilah-istilah
yang digunakan sangat bersifat lokal dan sulit dimengerti oleh pembaca non-Tolaki.
Bagi masyarakat Tolaki dan pemerintah Kendari tentu dialeg-dialeg lokal ini akan lebih
memudahkan cara memahami proses transformasi dan marginalisasi penduduk dalam
rentang sejarah dan fenomena kekinian.
Akhirnya selamat kepada penulis buku ini Yusran Taridala dan Sarlan Adijaya.
Semoga ini menjadi ibadah kita dan menjadi lebih berguna bagi masyarakat Tolakid an
pemerintah daerah Sulawesi Tenggara.*
Bahan Bacaan
Eckersley, R. (1992). Environmentalism and Political Theory: Toward an ecocentricapproach. UCL Press, New York.
Goldblatt, D. (1996). Social Theory and the environment. Polity Press, UK.
ix
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
11/141
Prawacana
Keinginan banyak pihak untuk terus mendorong terwujudnya kegiatan kehutanan
masyarakat sapai pada tingkatan realitas masyarakat terus enjadi dirkursus, dan prose situ
seperti gerakan bola salju yang menggelinding, dan membesar. Namun demikian,
tingkat peahaman atas demokratisasi sumberdaya ala hutan yang dikemas dalam gerakan
kehutanan masyarakat di Indonesia ragamnya sangat tinggi antar institusi, antara
pemerintah daerah, dan antar penggiat-penggiat kehutanan masyarakat.
Perasaan tersebut di atas juga dirasakan oleh penggiat kehutanan masyarakat di
Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara (LSM, Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah,
masyarakat dan lain-lain). Sesungguhnya perasaan tersebut juga dirakan oleh banyak
orang yang ingin mendorong diskursus menjadi realitas yang dapat dirasakan manfaat
dan fungsinya oleh sebagianb esar masyarakat. Ini tentu saja merupakan sebuah
tantangan yang harus kita jawab bersama. Buka Pranata Hutan Rakyat (studi kasus
Kabupaten Kendari) ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan inforasi yang berkaitandengan sumberdaya alam dan permasalahannya dengan masyarakat, khususnya pada satu
etnik Tolaki di Kabupaten Kendari. Bagaimana proses perubahan sistem penggunaan
lahan hutan berdasarkan adat dan sistem penggunaan lahan saat ini mendapat elaborasi
yang baik dalam buku ini. Proses dimana satu etnik dala satu desa kehilangan hak-hak
atas lahan mereka oleh kebijakan konservasi sumberdaya alam, juga mendapat perhatian
yang tajam dalam buku ini. Inforasi seperti ini sangat penting dalam melakukan negosiasi
kebijakan dengan pihak pemerintah, guna mencari solusi hendak dibawa kemana
engelolaan sumberdaya hutan kita ini pada masa yang akan datang.
Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) adalah wadah independen
untuk mengkounikasi berbagai aspek pembangunan kehutanan dan pembangunan
masyarakat yang berpihak kepada kepentingan sosial asyarakat dan lingkungan yang
sustensi. Buku ini ditulis atas dukungan penelitian penulisnya yang secara kebetulan
sebagai bos FKKM di Sulawesi Tenggara, dan sudah barang tentu memiliki kesamaan
gerakan dengan FKKM nasional. Pengurus FKKM mendukung sepenuhnya penerbitan
buku ini dengan harapan lebih banyak lagi orang yang dapat mebaca dan menggunakan
i
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
12/141
informasi yang ada di dalam buku ini. Kami mengucapkan selamat kepada saudara
Yusran Taridala dan Sarlan Adijaya. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima
kasih kepada Ford Foundation yang telah bekerjasama untuk membantu penerbitgan buku
ini. Semoga bermanfaatan untuk gerakan kehutanan masyarakat di Indonesia.
Jogyakarta, Oktober 2002
Pengurus FKKM
ii
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
13/141
Bagian 1.Latar Belakang
1.1. Tinjauan Umum
Buku ini menyajikan beragam informasi, hasil analisis dan argumentasi-argumentasi
praktis di seputar eksistensi masyarakat dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan(PSDH) di Kabupaten Kendari. Dengan misi utama untuk mengisi kelangkaan - bahkan
ketiadaan - sumber informasi kehutanan masyarakat (KM) di tingkat lokal (Kabupaten
Kendari), penyusunan buku ini diharapkan dapat merefleksikan posisi, atau sampai
sejauh mana dan seberapa besar akses keterlibatan, serta proporsi manfaat yang dapat
dinikmati oleh masyarakat lokal dalam konteks pengelolaan SDH. Dari refleksi ini,
kesadaran dan motivasi kritis dari berbagai kalangan, terutama Pemerintah Kabupaten,
Pengusaha dan eksponen masyarakat sipil (perguruan tinggi, LSM, lembaga adat, Ormas,
Parpol, dll) di daerah ini, dapat dihadirkan untuk setidaknya - mengawali lahirnya
gagasan-gagasan baru ke arah perubahan yang lebih mendasar dan konkrit.
Gagasan untuk menilai potret PSDH dari paradigma kehutanan masyarakat (KM),
bagi daerah semisal Kabupaten Kendari yang relatif masih cukup terisolir dari berbagai
dinamika eksternal, tentu saja masih sangat baru. Paradigma KM itu sendiri, oleh
berbagai kalangan di daerah ini, bahkan masih dipandang sebagai an sich isu minor-
stream yang dihembuskan oleh LSM dan Perguruan Tinggi (PT). Padahal, apa yang
sering dibahasakan oleh kalangan LSM dan PT tentang paradigma itu, tidak lain hanya
merupakan stretching issue dari agenda kesejahteraan rakyat, keadilan dan
pemberdayaan masyarakat pada sektor pembangunan kehutanan yang akhir-akhir ini
justru selalu didengung-dengungkan oleh banyak pihak di daerah.
Untuk mereduksi pandangan sinis seperti di atas, dalam penyusunan buku ini
digunakan metode penulisan sejarah (historiography)berbentuk expose de facto, dengan
paparan informasi, analisis dan argumentasi kasuistik yang diharapkan dapat diterima
oleh logika umum (common sense). Karenanya, penyusunan buku ini diawali (padabagian II) dengan paparan kilas balik tentang bagaimana masyarakat Kabupaten Kendari
1
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
14/141
(baca : orang Tolaki), sejak dulu kala telah memiliki pranata (visi dan praktek-praktek)
PSDH yang spesifik, dengan spectrum discourse yang mampu menyentuh aspek-aspek
ekonomi dan ekologi sumberdaya hutan kontemporer. Paparan ini secara khusus
mengabsraksikan bagaimana pandangan masyarakat Tolaki terhadap hutan, dan
bagaimana hutan harus dan sebaiknya kelola. Disini, khalayak pembaca akan mendapati
deskripsi sepintas tentang konsepsi mondau sebagai pranata pengelolaan sumberdaya
hutan orang Tolaki.
Pada bagian IV, disajikan praktek-praktek PSDH yang sesungguhnya lebih
bersifat anti-tesis dari sebuah tesis PSDH yang dipraktekkan secara turun-temurun oleh
masyarakat Tolaki (seperti yang disajikan pada bagian II dan III). Uraian pada bagian IV
itu, menyajikan potret eksistensi masyarakat lokal di tengah dinamika PSDH di
Kabupaten Kendari paska intervensi kebijakan Pemerintah dan dunia usaha. Intervensi
dimaksud antara lain diperlihatkan dalam bentuk analisis kasus kebijakan HTI dan
Reboisasi, kasus penetapan kawasan pelestarian alam, aplikasi konsesi HPH, dll.
Dari gambaran historis pada beberapa kasus penting yang dipaparkan dalam buku
ini, para pembaca diharapkan akan memperoleh bahan renungan guna merakit cara-cara
berpikir sintesis dalam melihat persoalan kehutanan secara utuh di Kabupaten Kendari.
1.2. Dasar Pemikiran
Mungkin saya keliru untuk menyatakan bahwa menyusul aspek-aspek
administrasi pemerintahan dan hukum (perdata) perjanjian - aspek hutan dan
kehutanan merupakan salah satu wacana, sekaligus sector pembangunan terbesar yang
paling banyak di invervensi oleh negara (dalam hal ini pemerintah) melalui regulasi
perundang-undangan dan kebijakan command and control (CAC) yang sangat
mengikat. Hal ini dapat dilihat dari sejarah eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hutan (PSDH) di Indonesia yang sejak zaman kolonialisme Belanda hingga
saat ini, masih sepenuhnya dikuasai oleh rezim kayu pemerintah yang didelegasikan
pengelolaannya kepada para pengusaha melalui system perizinan dan pengendalian yang
untouchable dan bahkan cenderung bersifat refresif bagi masyarakat.
Kondisi demikian, secara regulative, berakar pada aplikasi kaidah hukum agraria
domein verklaaring - yang mengklaim tanah hutan yang tidak dibebani hak sebagai
domein (milik) negara. Kaidah hukum ini telah dirujuk secara kaku oleh para birorat,
kalangan legislative serta sebagian pakar hukum positif dalam merumuskan berbagai
2
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
15/141
peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang kehutanan. Hal ini terutama
dapat dilihat pada UU Nomor 5/1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan yang antara lain
telah dideduksikan secara lebih spesifik ke dalam beberapa PP (termasuk PP 21/1970
tentang Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan yang diperbaharui dengan
PP 6/1999 tentang Pengusahaan hutan dan pemungungan hasil hutan produksi), PP
33/1970 tentang Perencanaan Hutan dan PP 28/1985 tentang Perlindungan Hutan. UU
5/1967 dan beberapa PP tersebut juga telah dijabarkan ke dalam berbagai SKMen dan SK
Dirjen yang nyaris seluruhnya cenderung terus menjauhkan dan meminggirkan
masyarakat dari ruang kelola dan akses penarikan manfaat atas sumberdaya hutan di
sekitarnya.
UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan (sebagai pengganti UU 5/1967), secara
sepintas telah menunjukkan sedikit keberpihakan pada masyarakat (utamanya masyarakat
adat). Namun dalam kenyataannya, disamping karena masih merujuk pada aspek
perencanaan, perizinan dan perlindungan hutan yang sepenuhnya dikendalikan oleh
pemerintah dan karenanya sangat sulit diakses oleh masyarakat, UU 41/1999 itu juga
cenderung kurang serius dilaksanakan oleh Pemerintah (apalagi Pemerintah Daerah). SK
Menhut 677/Kpts-II/1998 yang kemudian dijabarkan dengan SK Menhut 31/2001 tentang
Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, hingga saat ini masih lebih sebagai wacanaorang-orang pusat (ditjen RLPS Dephut RI) ketimbang sebagai wacana Pemda.
Gambaran seperti itu pun hanya ditemukan pada konteks proyek rehabilitasi lahan
kritis, dan bukan pada konteks pengelolaan hutan produksi dan lindung (selain cagar
alam dan zone inti pada TNRAW). Tegasnya, SK Menhut No. 31/2001 belum secara
inheren masuk dalam kesadaran dan kebijakan yuridis Pemerintah kabupaten.
Di Kabupaten Kendari, wacana pelibatan masyarakat secara sengaja dalam
konteks kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan (utamanya kayu), hanya dikenal dalam
terminologi izin pemanfaatan kayu di atas tanah milik (IPKTM) yang diperdakan sejak
tahun 1996. Kebijakan yuridis mengenai pemberian konsesi pengelolaan/pemanfaatan
hutan yang meminjam nuansa kemasyarakatan lainnya, seperti IUPHK/BK dan
IPHHK/BK, nyaris seluruhnya tak mengandung makna sadar untuk mendorong proses
optimalisasi akses pemanfaatan SDH oleh masyarakat.
Sejak tahun 1988, fenomena marginalisasi masyarakat dalam konteks PSDH di
Kabupaten Kendari, semakin terlihat, terutama ketika - jangankan pada hutan lindung
kegiatan pemanfaatan potensi hasil hutan pada kawasan hutan produksi untuk tujuan-
tujuan pertanian sekalipun, telah dibatasi setelah terbitnya Perda Propinsi Sultra Nomor 3
3
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
16/141
tahun 1988 tentang pemeliharaan lingkungan hidup. Dalam pasal 7 ayat (2) pada Bab IV
Perda tersebut disebutkan bahwa terhadap hutan lindung, hutan suaka alam, hutan
wisata, hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa, cagar alam, suaka alam, marga
satwa, taman wisata, taman buru dan taman pelestarian alam, dilarang dibuka dan atau
dipergunakan untuk menjalankan usaha-usaha di bidang pertanian. Disini terlihat
bahwa jangankan untuk menebang pohon, membuka lahan pertanian di kawasan hutan
produksi pun, sangat dibatasi, yakni kecuali, menurut ayat (3) pasal 7 Perda tersebut,
memperoleh izin Gubernur. Tentu saja, materi Perda ini mengandung muatan politik
kehutanan yang terkesan sangat meminggirkan masyarakat. Sebab, bagaimana bisa,
masyarakat petani papa yang telah, sedang dan akan membuka lahan-lahan pertanian
mini di kampung halamannya sendiri, akan datang ke kota dan meminta izin Gubernur.
Bukankah izin Gubernur hanya dapat diakses dengan mudah oleh para pemodal kuat
(pengusaha)
Dalam 7 tahun terakhir, beberapa kebijakan proyek (selain HTI dan Reboisasi) di
Kabupaten Kendari justru lebih memperlihatkan adanya kesadaran untuk memperbesar
akses masyarakat dalam mengelola potensi SDH. Kebijakan proyek dimaksud antara lain
adalah komponen pengembangan perkebunan rakyat pada proyek SAADP (Sulawesi
Agriculture Based Area Development Proyek), proyek SRADP (Sulawesi RainfedAgriculture Development Project), Proyek Hutan Rakyat (Dishut Kendari, dibiayai dari
DAK DR), Proyek pengembangan perkebunan rakyat (Disbun Kendari, dibiayai dari
dana DAU), dll.
Gambaran di atas antara lain telah melahirkan beberapa dampak, seperti : (a) telah
terjadi gejala degradasi ekosistem hutan berskala cukup luas pada sentra-sentra
eksploitasi hutan yang dikelola di bawah konsesi, izin atau kontrak resmi antara pihak
pemerintah (termasuk Pemda) dengan pihak swasta, (b) telah terjadi gejala disparitas
(ketimpangan) sosial ekonomi yang cukup mencolok, dimana masyarakat lokal pada
umumnya, dan masyarakat sekitar hutan pada khususnya, justru dikenal sebagai
komunitas lokal yang paling miskin dari sekian banyak komunitas penduduk di daerah
ini. Gejala kemiskinan dan pemiskinan masyarakat sekitar hutan (utamanya di
pedalaman), telah membawa dampak pada struktur pemilikan, penguasaan dan
pemanfaatan lahan-lahan di sekitar hutan yang umumnya tidak dapat dipertahankan oleh
komunitas lokal. Dengan desakan ekonomi yang terus menguat, lahan-lahan sekitar hutan
tersebut secara sistematis terus dipindah-tangankan kepada komunitas pendatang lewat
transaksi jual beli di bawah tangan. Akibatnya, lambat-laun, komunitas lokal mulai
4
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
17/141
kehilangan ruang ekspresi ekonomi, dan lalu melakukan migrasi ke daerah-daerah
perkotaan, (c) aktifitas perambahan hutan dan penebangan kayu yang dilakukan oleh
masyarakat secara liar (illegal logging) di sana sini semakin merajalela, dan karenanya
telah menghabiskan banyak dana, energi dan perhatian pemerintah untuk mengatasinya,
(d)banyak koloni-koloni masyarakat pedalaman yang bermukim di dalam dan di sekitar
kawasan hutan, menjadi kehilangan tempat tinggal akibat pengukuhan status kawasan
yang dilakukan secara sepihak dan tiba-tiba oleh pemerintah.
Beberapa dampak buruk di atas, nampaknya belum disadari oleh para elit
pengambil kebijakan di daerah, meskipun beragam isu, kebijakan maupun peraturan
perundang-undangan yang baru saat ini, telah cukup banyak membonceng anasir
revitalisasi dan pemberdayaan masyarakat adat dalam konteks PSDH. Hasil diskusi dan
pembelajaran kritis yang dipublikasikan lewat buku sederhana seperti ini, mungkin
sejenis ini yang sedang kami lakukan untuk sebuah proses inisiasi yang, entah oleh
kalangan manapun, dapat dilanjutkan untuk mendorong perubahan sistem pengelolaan
hutan di Kabupaten Kendari. Semoga !!
1.3. Fokus dan Ruang Lingkup
Penelitian ini menyoroti karakteristik sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat
lokal dalam konteks hubungannya dengan eksistensi dan rezim pengelolaan sumberdaya
hutan (PSDH) di Kabupaten Kendari. Karakteristik tersebut dimaksudkan sebagai
gambaran tentang kompleksitas sikap dan pandangan, prilaku, pola interaksi, indikasi dan
response kultural dan sosial ekonomi, serta model-model ekspresi masyarakat lokal
dalam konteks PSDH.
PSDH yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keseluruhan isu dan sistem
penataan (pengaturan dan pengurusan) tentang struktur pemanfaatan hasil hutan kayu dan
non kayu, pemanfaatan dan pengelolaan kawasan hutan dan ekosistemnya, struktur
kebijakan, serta kompleksitas peran para pihak (stakeholder) yang terlibat didalamnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat lokal adalah masyarakat adat/etnik Tolaki
(sebagai penduduk asli), serta kelompok masyarakat lainnya yang hidup di lingkungan
dan memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan potensi sumberdaya hutan di
wilayah administratif Kabupaten Kendari.
Sorotan pada aspek hubungan antara masyarakat dengan rezim PSDH, difokuskan
pada struktur dan dinamika hubungan antara masyarakat itu sendiri dengan pihak
5
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
18/141
pemerintah (atas nama negara) dan pihak pengusaha. Deskripsi tentang beragam kasus
marginalisasi masyarakat, konflik horizontal dan vertikal, penyalah-gunaan kekuasaan
(abuse of power), ketimpangan dan kerancuan kebijakan, dan sebagainya, merupakan
ruang-ruang kajian yang disediakan untuk fokus penelitian itu.
Output dari keseluruhan lingkup kajian di atas, diharapkan dapat menampilkan
sekilas ilustrasi tentang dinamika kehutanan masyarakat (community forestry) di
Kabupaten Kendari.
1.4. Metodologi1.4.1. Tujuan
Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah untuk menyiapkan kerangka
analisis dan referensi kebijakan bagi sebuah proses yang diharapkan tidak terlalu
lama, untuk mendorong perwujudan sistem pengelolaan sumberdaya hutan berbasis
masyarakat yang dapat menjamin terlaksananya prinsip-prinsip keadilan sosial,
integritas ekosistem, kesejahteraan rakyat, demokratisasi, akuntabilitas publik dan
kepastian hukum di Kabupaten Kendari. Adapun tujuan jangka pendek (objectives)
yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran
mengenai : (1) konsepsi lokal tentang kawasan hutan dan pengelolaan sumberdayahutan, (2) praktek-praktek pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat saat ini,
dan (3) potret sosial ekonomi masyarakat pada kawasan yang diintervensi oleh
kebijakan PSDH, baik oleh pemerintah, maupun oleh dunia usaha swasta.
1.4.2. Lokasi Studi
Lokasi penelitian ditetapkan dengan metode stratified purposive sampling,
yakni penentuan sampel wilayah penelitian yang ditetapkan melalui penunjukkan
langsung berdasarkan relevansi dan kebutuhan pencapaian tujuan (objectives)
penelitian. Setiap item tujuan, dipandang sebagai sebuah strata dengan spesifikasi
sampel wilayah penelitian yang sengaja ditunjuk untuk memenuhi kebutuhan data
dan informasi. Meski demikian, khusus untuk memenuhi kebutuhan data dan
informasi pada strata tujuan pertama, yakni menyangkut konsepsi lokal tentang
kawasan hutan dan pengelolaan sumberdaya hutan, Penulis tidak menerapkan
metode sampling, mengingat obyek penelitian pada item tujuan ini, lebih bersifat
abstraktif (dari sejarah masa lalu), dan karenanya tidak memerlukan kajian
deskriptif.
6
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
19/141
Untuk memenuhi kebutuhan data dan informasi pada strata tujuan kedua,
yakni praktek-praktek pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat dalam
perspektif hari ini, penulis menetapkan 11 desa sebagai sampel wilayah penelitian,
yakni : Desa Sanggula, Wawatu, Anggopiu, Ambondiaa, Lalowata, Lapulu,
Waworaha, Kapoiala, Puulemo, dan Moolo Indah.
Selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan data dan informasi pada strata
tujuan kedua, yakni potret sosial ekonomi masyarakat pada kawasan yang
diintervensi oleh kebijakan PSDH, baik oleh pemerintah, maupun oleh dunia usaha
swasta, penulis menetapkan sampel wilayah penelitian berdasarkan obyek kasus
yang diteliti. Untuk obyek kasus HTI dan Reboisasi, ditetapkan 3 desa sebagai
sampel, yakni : Desa Pamandati, Ambesea dan Lainea. Untuk obyek kasus kawasan
pelestarian alam, ditetapkan beberapa desa sampel, seperti : Desa Lanowulu (baru)
dan Roraya, serta kawasan Pulau Bawulu dan desa-desa disekitarnya. Untuk obyek
kasus HPH PT Intisixta, ditetapkan 2 desa sebagai sampel, yakni : Desa Mopute
dan Laronaha.
1.4.3. Metode Pengumpulan dan Analisa Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode studi
dokumenter dan studi lapangan. Studi dokumenter diaplikasikan lewat teknik
penelaahan, pengorganisasian dan analisis data dan informasi tertulis dari sumber-
sumber yang dapat dipercaya, utamanya dari instansi pemerintah dan LSM.
Sedangkan teknik aplikasi studi lapangan mencakup : (1) interview dengan
para informan untuk memperoleh data dan informasi lisan mengenai fakta, keadaan,
riwayat dan lain-lain yang terkait dengan obyek yang diteliti. Pada informan
dimaksud terdiri dari tokoh masyarakat/adat, aktifis LSM, para akademisi, pejabat
pemerintah terkait, dll., dan (2) observasi atau peninjauan lapangan guna melihat,
mengamati, menilai dan mengukur kondisi obyektif serta komponen-komponen
kritis lain yang terkait dengan obyek studi.
Pengolahan data dilakukan secara manual melalui klasifikasi, tabulasi
ataupun kategorisasi data/informasi berdasarkan sifat dan tujuan penggunaannya.
Sedangkan analisis data dilakukan secara deskriptif (apa adanya) dengan sedikit
penekanan pada teknik analisis isi (content analysis) untuk kasus-kasus yang
memerlukan kajian intensif.
7
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
20/141
Bagian 2.
Hutan Dalam Perspektif Kultural Orang Tolaki
Berdasarkan studi etnografi, diperoleh informasi bahwa hampir semua suku
bangsa di muka bumi ini meliputi daerah-daerah tropik atau daerah-daerah kutub, baik
yang bermukim di pedalaman maupun di daerah-daerah pesisir, seluruh atau separuhnyamenggantungkan kehidupannya pada sumber daya hutan. Sumber daya hutan merupakan
salah satu sumber daya yang berfungsi sebagai basis ekonomi dan kultural
(liebenstraum)1 bagi kelompok-kelompok suku bangsa tersebut. Karena itulah dalam
kenyataannya ditemukan fakta dalam kebudayaan setiap suku bangsa selalu memiliki
mitologi-mitologi, legenda, atau pun cerita-cerita rakyat yang berisikan atau mengisahkan
tentang keterkaitan suatu suku bangsa dengan sumber daya hutan.2
Orang Tolaki merupakan salah satu kelompok suku bangsa yang memiliki
keterkaitan yang sangat tinggi terhadap sumber daya hutan. Hal ini sebagaimana
dilukiskan dalam salah satu mitologi orang Tolaki yang mengisahkan tentang asal-usul
orang Tolaki yang naik ke langit melalui ue waisalah satu jenis rotan yang tumbuh di
hutan belantara. Mitologi seperti ini juga banyak terdapat pada kelompok suku bangsa
lainnya yang menunjukkan kharakteristik yang khasseperti juga yang terdapat pada
suku bangsa Tolaki.
2. 1Pandangan Orang Tolaki Tentang HutanBagi orang Tolaki hutan tidak hanya dipandang sebagai sekumpulan pepohonan
dan tumbuh-tumbuhan lainnya yang tumbuh dalam suatu kawasan. Hutan mengandung
nilai yang sangat kompleks, meliputi nilai ekonomi, nilai budaya, maupun nilai religi.
Nilai ekonomi yakni bahwa hutan memberi manfaat ekonomi bagi orang Tolaki untuk
1Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini perikasalah Sarlan Adijaya, 2000
2 Periksa karya-karya etnografi dunia, dan untuk Indonnesia dapat ditelusuri padatulisan-tulisan etnografi yang disusun oleh Koentjaraningrat, diantaranya terbit tahun1993.
8
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
21/141
memenuhi kebutuhan subsistensinya melalui berbagai model pengelolaan dan
pemanfaatan hutan dan hasil-hasilnya seperti, berladang, mengumpulkan rotan, kayu,
madu, pandan hutan, berbagai jenis buah-buahan, dan tempat berburu binatang liar.
Nilai budaya, bahwa hutan merupakan ruang ekspresi kultural orang Tolaki. Hal
ini sebagaimana yang nampak dalam berbagai praktek kebudayaan dan adat-istiadat
orang Tolaki, meliputi bidang mata pencaharian hidup yang merupakan salah satu unsur
kebudayaan orang Tolaki yang paling pokok, penggunaan berbagai jenis hasil hutan
dalam penyelenggaraan adat (sara)orang Tolaki di antaranya kalobeserta perangkatnya
sebagai fokus kebudayaan Tolaki3yang bahan-bahannya terdiri dari rotan alam, pandan
hutan, daun siri, dan pinang.
Sedangkan nilai religius yakni berupa kepercayaan orang Tolaki yang meyakini
bahwa hutan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan melalui berbagai
praktek kebudayaan seperti, mooli yakni suatu adat istiadat orang Tokaki yang
dimaksudkan untuk memohon kepada Dewa hutan (sangiano andoolo) apabila hendak
melakukan aktifitas dalam suatu kawasan hutan baik pengelolaan kawasan maupun
pemanfaatan hasil-hasil hutan. Selain itu pada masyarakat Tolaki dikenal pula konsep
hutan keramat, tumbuh-tumbuhan tertentu yang memiliki nilai magi-religius.
2.1.1. Hutan Sebagai Basis Ekonomi
a. Sebagai Areal perladanganSalah satu arti yang sangat penting dari hutan bagi orang Tolaki adalah
sebagai tempat berladang. Berladang merupakan pranata pengelolaan hutan yang
paling utama dalam masyarakat Tolaki disamping pranata-pranata pengelolaan
lainnya. Karena itulah berladang menjadi penopang kehidupan ekonomi yang utama
bagi orang Tolaki.
Orang Tolaki mengenal dan mempraktekan budaya mondau sebagai
aktifitas pengelolaan hutan untuk menunjang kehidupan ekonominya. Karena itulah
pada hampir setiap kawasan hutan dimana orang Tolaki bermukim hampir
seluruhnya telah pernah diolah sebagai areal perladangan. Hal ini dapat dilihat
melalui berbagai konsep kehutanan yang ada pada masyarakat Tolaki, seperti
3Mengenai hal ini lihat Abdurrauf Tarimana, 1989.
9
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
22/141
o rawu, ana homa, laliwata, o sambu,dan inalahi, yang menunjukkan bahwa areal
tersebut telah pernah dikelola sebagai ladang selain inalahi.4
b. Sebagai Tempat MerotanAktifitas ekonomi lainnya yang dilakukan pada kawasan hutan adalah
mengumpulkan rotan. Rotan yang dikumpulkan terdiri dari berbagai jenis, tetapi
yang paling utama adalah rotan batang dan lambang yang memiliki nilai jual yang
tinggi dipasaran dengan kisaran harga Rp.60.000 Rp.80.000/Kg. Sedangkan jenis-
jenis rotan lainnya juga diambil tetapi lebih sering hanya untuk keperluan tertentu
saja, misalnya untuk pengikat rumah, bingkai tudung, basung, dan lain-lain.
Dalam sehari, jika dilakukan dengan tekun setiap perotan dapat
mengumpulkan 75 100 Kg. Sedangkan jika dilakukan seperti biasanya saja hanya
menghasilkan rata-rata 50 Kg. Merotan dilakukan selama seminggu berturut-turut
dan kemudian pada mingu berikutnya mereka akan istirahat. Jadi dalam sebulan
kegiatan merotan dilakukan selama 2 minggu atau 14 hari.
c. Sebagai Tempat Mengambil KayuMengambil kayu juga merupakan salah satu aktifitas ekonomi yang
dilakukan orang Tolaki pada kawasan hutan. Kayu yang diambil terdiri dari
berbagai jenis tergantung kebutuan, seperti untuk ramuan rumah orang Tolaki
memilih beberapa jenis kayu yang tepat antara lain: pondo, kulipapo, asana, silae,
dan wewu; untuk membuat perahu batang diperlukan kayu bolongita, benua, koni,
kulipapo, asana, silae, nguru, dan pondo; untuk kayu bakar terdiri dari berbagai
jenis kayu, antara lain yang paling baik adalah kulahi, eha dan sisio.
Dalam proses pengambilan kayu teknologi yang digunakan masih relatif
tradisional. Untuk keperluan ramuan rumah kayu dibentuk menjadi sebatang balok
dalam ukuran tertentu dengan menggunakan parang; Untuk membuat perahu
biasanya dipilih pohon yang besar dengan diameter rata-rata 50 Cm paling rendah
4Pada kenyataannya penamaan orang Tolaki terhadap suatu kawasan hutan didasariatas suatu aktifitas perladangan yang pernah dilakukan pada kawasan tersebut.Misalnya tau i dou-doule, tau i osu hada. Penamaan ini pula sering dijadikan sebagaipatokan untuk menandai suatu peristiwa yang terjadi pada saat itu, seperti kelahiran.Misalnya si A lahir ketika tau i dou-doule artinya si A lahir pada saat ketika kawasan
hutan di dou-doule diolah sebagai areal perladangan. Sehingga itu walaupun si A telahpernah ke Amerika dan kemudian kembali ke kampung, maka ketika ia melihatkawasan hutan tersebut akan mengatakan bahwa tau ikita nio anggu artinya tahundisana saya dilahirkan.
10
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
23/141
hingga yang paling besar. Penebangan dan pemotongannya menggunakan kampak
(o pali) termasuk untuk membentukmnya. Sedangkan untuk menghaluskan
digunakan parang dan winggu;5 Kayu bakar diambil dengan menggunakan parang
seperti biasanya.
Berbagai produk tersebut di atas, selain untuk digunakan sendiri juga
dijual kepada orang lain. Balok-balok untuk ramuan rumah dengan ukuran 4,5 m
misalnya dijual dengan harga Rp. 7.500/batang; Perahu batang sebuah dengan
diameter 50 Cm dijual seharga Rp.350.000.
d. Sebagai Tempat BerburuHutan bermanfaat pula sebagai tempat berburu (dumahu). Jenis-jenis
binatang yang diburu yang paling utama adalah jonga (donga) dan anoa (kadue),
dan ayam hutan (manu kasu). Tata cara berburu dilaksanakan dengan teknologi
yang masih tradisional. Diantara jenis-jenis teknologi yang digunakan adalah oho
yaitu suatu jerat tali yang dibuat dari kulit kayu dengan sasaran pada leher binatang
berkaki empat dan untuk ayam hutan disebut ohotai. Tali jerat tersebut diikatkan
pada pohon kayu yang tahan. Apabila binatang sasaran melewati jalur pemasangan
tersebut, maka lehernya akan masuk lubang jerat. Ada juga cara lainnya denganmenggunakan tali jerat yang disebut dengan istilah benggaro. Benggaromerupakan
sebuah bangunan yang memanfaatkan tenaga kayu yang dilengkungkan kebawah
yang telah diikatkan dengan tali jerat kemudian dikaitkan pada pengait yang sengaja
dibuat sedemikian rupah lalu permukaan tali jerat tersebut diletakkan diatas lantai
benggaro. Apabila binatang buruan melewati tempat itu dan menginjaknya maka
kakinya akan terjerat.
Cara lain yang tidak menggunakan tali jerat adalah dengan memasang
perisai yang terdiri dari bambu yang diruncing (tuoi). Biasanya seperti halnya oho
dan benggarodipasang pada jalur yang selalu dilewati oleh binatang buruan (koro).
Tuoi ditancapkan ke permukaan tanah dengan kemiringan 45 sehingga apabila
binatang buruan melewati jalur tersebut akan mengenai persis bawah perutnya.
Perburuan dengan tidak menggunakan perangkap juga dilakukan orang
Tolaki. Perburuan seperti ini dilakukan dengan menggunakan tombak (sungga)
antara lain karada yakni tombak yang secara khusus dibuat sebagai senjata
5 Sejenis alat berbentuk laksana pacul kecil yang berfungsi sebagai alat pengali isikayu untuk membentuk formasi yang diinginkan.
11
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
24/141
melempar dan bambu runcing (kowuna sinapa). Untuk memperoleh binatang
buruan, dilakukan dengan menombak binatang tersebut tepat mengenai sasarannya.
Dalam melakukan tata cara ini biasanya dibantu dengan anjing piaraan yang
dimaksudkan untuk mengganggu konsentrasi binatang buruan.
Khusus untuk menangkap burung, orang Tolaki juga mengenal perangkap
yang dinamakan oho-oho, yaitu sejenis jerat kecil yang diikat pada batang pohon
seperti beringin atau mokupa yang sedang berbuah dimana burung-burung mencari
makan. Sasarannya adalah burung-burung seperti nuri (kuluri dan weli), kakatua
hijau (kea-kea bongo), kakatua putih (kea-kea wila) dan berbagai jenis burung
lainnya.
Binatang-binatang buruan tersebut di atas, setelah diperoleh langsung
disembelih baik masih dalam keadaan hidup atau sudah mati. Setelah disembelih
ada yang langsung dikonsumsi masih dalam keadaan daging segar dan ada pula
yang dijadikan dendeng (kambatu). Selain untuk kebutuhan sendiri, dibagi-bagikan
kepada orang lain, juga di jual ke pasar. Daging jonga dan anoa misalnya dijual
kepasar dengan harga seperti harga daging pada umumnya yakni Rp.25.000/Kg.
e.
Hasil Hutan LainnyaSelain hasil-hasil hutan seperti disebutkan di atas, jenis-jenis hasil hutan
lainnya yang dimanfaatkan orang Tolaki adalah sagu, ubi hutan; buah-buahan,
daun-daunan, serta jamur-jamuran. Jenis-jenis sagu yang diolah adalah sagu biasa
(tawaro) dan sagu berduri (tawaro merui) tetapi yang paling digemari adalah
tawaro biasa. Sedangkan ubi hutan (wikoro) hanya terdiri satu jenis jasa.
Jenis-jenis buah-buahan adalah dongi, ruruhi, eha, toho, pepundi, pede-
pede ngisi, laku-laku, bete-bete, wua rau, pinisi, taipa, dan lain-lain. Daun-daunan
adalah daun agel (tawa lanu),pandan hutan (onaha), anggrek hutan (sorume). Serta
jenis-jenis jamur yakni : tau, olepe, tanggoreke, tawabiri nggooki, wuholombu,
tambolota, tanggarebonata, taluwi, tambandawa, takongga, dan tangaho.
Berbagai hasil hutan tersebut di atas dapat diperoleh di dalam kawasan
hutan. Sagu misalnya sangat banyak terdapat di daerah rawa-rawa. Begitu pula ubi
hutan. Buah-buahan juga terdapat dihampir seluruh kawasan hutan juga berbagai
jenis dedaunan dan jamur. Hasil-hasil hutan dimaksud selain untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga juga dijual ke pasar untuk manambah pennghasilan
12
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
25/141
keluarga. Di antaranya yang memiliki nilai ekonomi paling penting adalah sagu,
dan dedaunan yang dijadikan sebagai bahan dasar anyam-anyaman.
2.1.2. Hutan Sebagai Ruang Ekspresi Kultural
a. Tempat aktifitas kebudayaanHutan sebagai tempat berlangsungnya aktifitas budaya telah berulang-kali
dibahas. Nilai hutan dalam pengertian ekonomi juga secara langsung menunjukkan
makna hutan dalam konteks budaya. Berbagai praktek pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya hutan dalam perspektif antropologi merupakan suatu
kebudayaan. Karena itu mondau sebagai suatu pranata pengelolaan sumber daya
alam juga termasuk suatu aktifitas kebudayaan yang dilakukan dalam kawasan
hutan. Begitu pula berbagai tata cara berburu dan meramu hasil hutan yang
dijelaskan di atas merupakan keseluruhan aktifitas kebudayaan orang Tolaki yang
terjadi di hutan. Praktek-praktek yang baru saja disebutkan adalah mustahil untuk
dilakukan manakala hutan dalam luasan yang cukup sudah tidak tersedia lagi.
b. Sumber peralatan-peralatan budayaBerbagai artifak dalam kebudayaan orang Tolaki bersumber dari hasil-
hasil hutan. Seperti peralatan tradisional untuk senjata: tangkai parang atau kampak
diambil dari kayu roramo yang hanya tumbuh di hutan belantara. Begitu pula
tombak (sungga). Berbagai peralatan untuk pemukiman/tempat berlindung seperti
rumah yang tiang, dinding, pengikat, dan atapnya diperoleh dari hutan. Peralatan
wadah seperti baskom (dula) yang terbuat dari kayu yang dilubangi di tengah.
Peralatan kesenian seperti musik bambu (baasi) ,seruling (suli)dan berbagai jenis
peralatan-peralatan lainnya. Begitu pula kaloseperti telah dijelsakan sebelumnya.
2.1.3. Hutan Sebagai Sarana Ritual
a. Pemujaan Dewa HutanOrang Tolaki mengenal berbagai macam dewa yang menguasai alam
semesta ini. Salah satu dewa yang diagungkan oleh orang Tolaki sehingga itu selalu
di puja adalah dewa hutan yang disebut dengan istilah sangiano andoolo. Yakni
suatu dewa yang menguasai hutan beserta segala sumber dayanya. Karena itu setiap
orang dan setiap usaha pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan hasil hutan harus
13
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
26/141
terlebih dahulu meminta izin kepada dewa hutan. Salah satu pranata pemujaan yang
paling masyhur pada masyarakat Tolaki adalah moolibaik dengan melepas ayam
kampung yang telah diberi mantra ke dalam hutan maupun menanam sebutir telur
ayam kampung ke dalam tanah di hutan.
Apabila ada orang atau usaha yang dilakukan dalam suatu kawasan hutan
tanpa terlebih dahulu mooli, maka dalam keyakinan orang tolaki orang atau usaha
tersebut akan gagal bahkan tertimpa musibah (abala).
b. Lokasi keramatOrang Tolaki juga mengenal istilah hutan keramat (kokarama)yakni suatu
kawasan hutan yang dalam keyakinan orang Tolaki dihuni oleh komunitas setan
(onitu) seperti onitu wua lae,onitu doalo, onitu bui, onitu mengane, dan onitu
kasumbia borombongae/sangia mbongae. Salah satu pertanda yang paling
nampak pada hutan keramat adalah ditumbuhi pepohonan yang sangat rimbun
sehingga kelihatan gelap dengan pohon beringin (kapu) banyak terdapat di
dalamnya.
Dalam keyakinan orang Tolaki dalam kawasan hutan seperti ini tidak
boleh mengucapkan bahasa sembarang seperti kata-kata kotor (metonao) denganmenyebut nama-nama setan, membuang kotoran di sembarang tempat, dan terlalu
berisik. Menurut cerita, dalam kawasan hutan keramat sering ditemui manusia
seperti layaknya manusia biasa yang lalu lalang dalam kawasan hutan. Dan apabila
kita bertemu dengan mereka kita tidak dapat untuk menegurnya (tekusi). Diantara
hutan-hutan keramat adalah osuno teo, rumbalaka, dan popalia.
c. Tumbuhan keramat
Salah satu jenis tumbuhan yang dianggap keramat oleh orang Tolaki
adalah pohon beringin (kapu)yakni kapu wone, leseahoa,dan kapu sorume. Dan di
antara jenis pohon beringin yang dianggap paling keramat adalah pohon beringin
yang berbentuk seperti tudung (kapu boru). Dalam keyakinan orang Tolaki, pohon
beringin dihuni oleh berbagai macam mahluk halus. Sehingga itulah orang Tolaki
tidak sembarang untuk menebang pohon beringin. Kalaupun mesti menebangnya,
maka terlebih dahulu mesti dilakukan moolikepada pemiliknya. Dalam konteks ini
makna mooliadalah membujuk mahluk halus yang tinggal dalam pohon beringin
tersebut agar pergi meninggalkannya. Menurut cerita pernah suatu waktu orang
14
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
27/141
yang menebang pohon beringin besar ketika berladang tidak lama berselang
meninggal dunia. Konon cerita dimakan oleh mahluk halus karena tidak minta izin
terlebih dahulu.
2.2. Karakteristik Tradisional Kawasan Hutan
Karakteristik kawasan hutan di kalangan masyarakat tolaki mengenal adanya
pola-pola pembagian kawasan hutan yang didasarkan pada beberapa pertimbangan
berikut ini.
2.2.1. Berdasarkan Usia Kawasan
Yang dimaksud dengan usia kawasan adalah selang waktu yang menunjukkan
bahwa kawasan hutan tersebut telah pernah atau belum dikelola sebagai areal
perladangan. Dalam masyarakat Tolaki, konsepsi pengelolaan hutan yang berkaitan
dengan diferensiasi usia kawasan hutan, terdiri dari :
a . Orawu
Orawu yaitu suatu lahan bekas ladang yang baru saja dipanen atau diambilhasilnya kemudian dibersihkan untuk ditanami kembali atau dijadikan sebagai ladang
pada tahun berikutnya. Kegiatan menanam kembali pada ladang o rawu sering pula
disebut dengan istilah mondete. Sebagai areal bekas ladang yang baru saja
ditinggalkan sekitar 5 bulan, maka orawu selain ditumbuhi oleh jerami juga
ditumbuhi oleh tunas-tunas kayu, rerumputan, akar-akaran, bambu-bambuan, umbi-
umbian, dan lain-lain. Bagi para peladang tradisional, terdapat berbagai
pertimbangan yang digunakan pada saat membuka orawu, yakni :
1) Apabila lahan bekas ladang tersebut sebelumnya adalah inalahi motuo, sehinggawalaupun areal tersebut telah dibuka/diolah tanahnya relatif masih subur. Tentu
saja tidak sama suburnya jika dibandingkan dengan tahun pertama. Sedangkan
apabila areal bekas ladang tersebut bukan bekas inalahi motuo, maka para
peladang enggan untuk membukanya kembali pada tahun berikutnya. Hal ini
disebabkan karena tanahnya kurang subur dan akan banyak ditumbuhi rerumputan
yang akan mengganggu tanaman padi khususnya. Yang disebutkan terakhir ini
merupakan salah satu faktor pula mengapa peladang enggan membuka seluruh
bekas ladangnya karena khawatir tidak bisa dibersihkan.
15
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
28/141
2) Apabila para peladang tetap sepakat untuk meneruskan membuka areal bekasperladangan masing-masing pada tahun berikutnya. Hal ini berkaitan dengan
pengendalian hama, khususnya tikus yang dapat merusak tanaman padiyang
biasanya akan sangat mengganggu tanaman pada tahun berikutnya karena
binatang tersebut sudah mempunyai pengalaman ditahun sebelumnya; 3) dari segi
tenaga (energi), waktu, dan biaya membuka o rawu jauh lebih sedikit jika
dibandingkan membuka areal perladangan baru. Hal ini disebabkan karena pada
o rawu hanya ditumbuhi tunas-tunas kayu dan pepohonan kecil, bambu-
bambuan, umbi-umbian, rerumputan, akar-akaran, dan lain-lain yang cukup
mudah dibersihkan. Dalam mengerjakan areal ini para peladang tidak setengah
mati mengerjakannya karena tidak harus mosaleidan monduehilagi. Tetapi para
peladang cukup membersihkan areal dengan menggunakan parang atau sabit.
Karena itu pula waktu maupun biaya yang dikeluarkan para peladang untuk
membuka areal perladangan ini cukup sedikit.
b . Ana Sepu atau Ana homa
Ana sepu atau Ana homa6 (selanjutnya dalam tulisan ini disebut sebagai ana
homa) merupakan bekas ladang yang telah ditinggalkan sekitar 5 9 tahun untukkemudian diolah kembali sebagai lokasi perladangan. Sebagai areal perladangan yang
ditinggalkan dalam waktu yang relatif lama tersebut, ana homasudah ditumbuhi oleh
pepohonan walaupun masih kecil atau rata-rata diameter 15-30 cm. Selain itu pula
telah banyak ditumbuhi oleh bambu-bambuan baik kecil maupun besar, umbi-
umbian, akar-akaran, dan berbagai jenis rerumputan lainnya. Bagi para peladang
tradisioan, terdapat berbagai pertimbangan untuk membuka ladang ana homa,
yakni :
1) apabila lokasi yang akan dijadikan sebagai areal perladangan baru sudah terlalujauh dari perkampungan penduduk. Hal mana berkaitan pula dengan masalah
energi, waktu, dan biaya yang akan dikeluarkan oleh peladang yang akan menjadi
lebih banyak.
2) Lahan tersebut telah cukup subur untuk ditanami kembali, kendatipun gulma ataurerumputan yang tumbuh biasanya masih banyak. Hal ini pulalah yang
6
Istilah anahoma seringkali disingkat menjadi homa yang dapat menunjuk kepadaareal perladangan yang telah menghutan secara umum. Dimana hal itu digunakandalam kaitannya dengan masalah kepemilikan. Misalnya homa-nya si A berarti bekasareal perladangannya si A dan seterusnya.
16
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
29/141
menyebabkan para peladang dalam membuka ana homa tidak akan terlalu luas,
karena jangan sampai tidak dapat dibersihkan. Lain halnya bila hanya ingin
mondau tau7pertimbangan yang terakhir ini tidak menjadi masalah.
Ana homayang dibuka oleh setiap peladang umumnya adalah bekas ladangnya
sendiri. Sehingga itulah peladang lain tidak akan membuka ana homatersebut selama
yang bersangkutan masih akan membukanya sendiri. Dalam hal ini berlaku semacam
konsensus diantara para peladang untuk tidak saling berebut lahan yang bukan bekas
ladangnya. Bahkan kalau seandainya ada tanaman jangka panjang yang ditanam oleh
para peladang di lokasi tersebut dan setelah lama ditinggalkan kemudian produktif,
seperti misalnya mangga, langsat, durian, akan menjadi miliknya dan hal ini diakui
dalam masyarakat Tolaki8.
c. Laliwata
Secara etimologis laliwata terdiri dari dua suku kata, yakni lali dan wata.
Lali artinya hancur dan membusuk, sedangkan wata berarti batang pohon. Jadi
laliwata berarti batang pohon yang telah hancur dan membusuk, hal mana yang
dimaksud adalah batang-batang pohon yang ditebangi pada saat pembukaan pertama
areal perladangan ini. Sebagai suatu areal bekas perladangan yang telah ditinggalkandalam waktu yang cukup lama sekitar 9 15 tahun, laliwata telah ditumbuhi oleh
pepohonan yang relatif besar serta telah pula dirambati oleh berbagai akar-akaran
seperti oue(rotan), hao tasea,dan lain-lain. Para peladang dalam membuka laliwata
didasari atas pertimbangan bahwa tanahnya sudah cukup subur untuk ditanami
kembali. Selain itu pula rerumputan atau gulma yang akan menganggu tanaman
sangat kurang sekali. Sehingga para peladang tidak lagi khawatir untuk membuka
areal perladangan yang luas.
7Mondau-tau diambil dari kata dasar mondau. Secara etimologis berarti berladangkecil-kecilan dan biasanya hanya dilakukan oleh beberapa peladang saja dalam suatukawasan atau oleh seorang peladang saja.
8Hal ini merupakan suatu proses lahirnya hak atas tanah dan tanaman tumbuh padamasyarakat Tolaki yang diakui secara adathal mana kemudian disebut sebagaiwaworaha yakni suatu bekas kebun yang telah ditinggalkan yang ditandai dengantanaman-tanaman jangka panjang seperti langsat, mangga, kelapa, durian, dan lain-lain. Selain waworaha, hak-hak adat atas tanah dan tanaman pada masyarakat Tolaki
adalah anggalo, aepe, kumapo, walaka. Sedangkan potiso sebagaimana yang seringdimasukkan oleh berbagai pihak tidak termasuk, karena itu sifatnya hanya sementarasaja yang menunjuk pada sebuah tanda klaim calon areal perladangan.
17
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
30/141
d. Osambu
Bekas perladangan ini lebih lama lagi jika dibandingkan dengan laliwata, yakni
suatu bekas perladangan yang telah ditinggalkan sekitar 15 tahun ke atas. Dengan
rentang waktu yang telah cukup lama tersebut, kawasan hutan ini telah ditumbuhi
oleh pepohonan yang besar-besar dengan diameter sekitar 50 cm dan akar-akaran
yang menggantung sudah cukup rapat sehingga dikalangan peladang sering pula
menyamakannya dengan inalahi. Sebahagian peladang mengaku bahwa generasi
mereka tidak lagi menyaksikan pembukaan kawasan hutan ini sebagai areal
perladangandan mereka mengetahui bahwa kawasan tersebut telah pernah
dijadikan sebagai areal perladangan adalah dari cerita orang-orang tua generasi di
atasnya9. Tanahnya yang sangat subur merupakan faktor penarik yang utama bagi
para peladang untuk menjadikannya sebagai areal perladangan. Di samping
rerumputan atau gulma yang akan mengganggu tanaman boleh dikatakan tidak ada
selain dari tunas-tunas kayu. Kedua faktor di atas itu, membuat para peladang tidak
lagi berfikir bagaimana besarnya pepohonan yang akan dihadapinya.
e. InalahiSecara etimologis, inalahi terdiri dari 2 suku kata, yakni ina dan lahi. Ina
artinya ibu atau induk, dan lahi artinya hutan rimba belantara. Jadi inalahi adalah
suatu kawasan hutan yang belum sama sekali pernah diolah/dibuka atau masih rimba
belantara10
. Oleh orang Tolaki inalahisering pula disebut dengan inalahi motuoatau
hutannya nenek moyang. Pada kawasan hutan ini pepohonannya sangat besar-besar
seumur dengan terbentuknya daratan bumi ini yang mencapai diameter rata-rata 100-
150 cm. Orang Tolaki menyebutnya sebagai wata inalahi. Vegetasi hutan ini sangat
beragam baik pepohonan, akar-akaran, dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Di dalamnya
dihuni berbagai jenis binatang dan burung-burung yang hidup dan berkembang biak.
9 Dalam kaitan ini, pada masyarakat Tolaki terdapat ungkapan-ungkapan tertentuyang menunjukkan adanya pembukaan areal perladangan pada suatu kurun waktutertentu. Misalnya tau idou-doule artinya pembukaan areal perladangan di kawasanhutan dou-doule pada suatu kurun waktu yang telah lalu. Contoh lain misalnya tau iulu windo, tau kaindi morini, tau i towulamea, dan lain-lain. Seluruh penamaan inidiambil dari nama sungai. Misalnya tau dou-doule artinya adalah pembukaan arealhutan di sekitar sungai dou-doule untuk perladangan.10
Dalam hal ini lahi sepadan dengan istilah andoolo yang juga berarti hutan.Walaupun lahi tidak dapat digunakan secara tunggal tanpa merangkainya dengan kataina. Dalam penggunaannya misalnya inalahi motuo sama dengan andoolo motuo.
18
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
31/141
Karena banyak dihuni oleh binatang-binatang dan jarang dijamah oleh manusia
menyebabkan sebahagian dari lokasi ini dianggap keramat (kokarama). Dalam
keyakinan orang Tolaki hutan yang demikian banyak dihuni oleh para wali yang
tinggal di atas pohon-pohon beringin. Sehingga ada sejenis tumbuhan yang
dinamakan pundi kia yakni sejenis pisang yang banyak tumbuh di hutan-hutan
diyakini sebagai tanaman para wali tersebut11
. Pisang jenis ini banyak tumbuh di
pinggiran-pinggiran sungai atau di lembah pegunungan.
Inalahi ini apabila dijadikan sebagai areal perladangan, maka tanahnya akan
sangat subur sekali dan tidak ada gulma atau rerumputan yang akan mengganggu
tanaman. Sehingga walaupun para peladang akan menghabiskan banyak tenaga dan
waktu untuk membuka areal perladangan ini, tetapi nantinya mereka akan punya
banyak sekali waktu luang untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya atau untuk
beristirahat. Kesuburan tanahnya serta tiadanya rerumputan yang mengganggu
tanaman, menjadikan tanaman tumbuh bukan lagi menghijau tetapi berwarna
kehitam-hitaman dan layaknya berlumba-lumba tumbuh. Sehingga itulah dalam
menanam tanaman apa saja tidak boleh terlalu rapat. Karena jika terlalu rapat, nanti
tidak akan banyak hasilnya sebab tanaman akan saling tindis-menindis dan kita juga
susah untuk jalan di kebun. Umumnya para peladang yang membuka inalahi akanmondaweako
12yakni menghasilkan padi dalam jumlah tertentu yang cukup banyak.
2.2.2. Berdasarkan Jenis Vegetasi dan Aliran Sungai
Selain pengkategorian hutan seperti diuraikan di atas, orang Tolaki juga memiliki
pengkategorian lain untuk memastikan tingkat kesuburan suatu lokasi. Pengkategorian ini
didasarkan pada jenis pepohonan dan tumbuh-tumbuhan serta banyaknya aliran sungai
yang terdapat dalam kawasan hutan. Ada jenis-jenis kayu tertentu baik yang keras
maupun yang lembek sangat subur tanahnya apabila ditanami, dan ada juga jenis-jenis
kayu tertentu yang kayunya keras dan lembek namun tanahnya sangat kurus. Jenis-jenis
11 Wali adalah jin yang menghuni hutan belantara dan seperti halnya manusiamembentuk suatu komunitas dan melakukan berbagai aktifitas seperti tanam-menanam.
12 Masalah pengertian mondaweako lihat pada sub bahasan mosowi pada halamanberikut tulisan ini.
19
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
32/141
kayu tersebut bercampur baur dalam suatu kawasan hutan dan biasanya terdapat suatu
atau beberapa jenis kayu yang dominan.
Sekedar menyebut beberapa contoh jenis-jenis kayu yang tanahnya sangat subur
adalah sebagai berikut :
a) Kayu keras : pooti, ombuli, kalapi, kolaka, asana, o kuli, kuli papo, o lara,otolindi, moro one, morobite, lalo orope, upi, silae, nguru, sainea alu, kolaka,
kikima, ui, wewu danwonggia.
b) Kayu lunak : bolongita, undolia, kokabu, lorulinga, lalo umera, lalo lingato, benua,dongi, o see, ongawe, siapu, kole, kole uhu, wehuko/roramo, besulo (meranti),
komea, kuma, onai, balo-balo, korongeo, taipa hada, koni, o rawa, ruruhi, huko.
Sedangkan contoh jenis-jenis kayu yang tanahnya kurang subur adalah:eha, sisio,
hokio, walahopa, kulahi, lalo roko, taliondo, dan lain-lain.
Selain itu banyaknya populasi tumbuhan dalam suatu kawasan hutan juga turut
menentukan tingkat kesuburan tanah. Tumbuhan selain kayu dimaksud adalah seperti
kowuna (bambu) tumbuh di atas lahan yang sangat subur, sedangkan owulo (buluh)
tumbuh di atas tanah yang kurus. Tumbuhan lainnya adalah : o naha, tasea, siambu, o
wiu, dangge, rema, langgehao, wilalo dan ue (rotan) dalam berbagai jenis seperti: ue
bao, umili, hoa, tahiti, tuu, wulu, alomanu, samba, batu, wowonga, wai, watu, o noko,kilala, kahi, wuta, daramasi, dan lain-lain.
2.2.3. Berdasarkan Kontur Geografis
Kontur geografis kawasan hutan bagi orang Tolaki terbagi atas dua kategori,
yakni mosila yaitu kawasan hutan dengan gunung relatif terjal; mondape atau peboku-
boku anoyaitu kawasan hutan yang gunungnya relatif datar dan lela wutaatau kawasan
lembah. Dalam memilih areal perladangan, para peladang lebih suka memilih kawasan
hutan yang mondape atau lelawuta dari pada yang mosila. Karena apabila gunungnya
mosila peladang akan susah menanaminya sebab benihnya tidak akan tersalur dengan
baik lagi pula banyak yang tidak tumbuh. Hal ini disebabkan oleh air hujan yang apabila
turun hujan besar akan membawa benih-benih itu ke lembah. Sehingga itulah para
peladang lebih suka memilih lokasi perladangan dengan hutan yang mondape atau
lelawuta.
Selain itu, berkaitan dengan kesuburan tanahfaktor sungai juga sangat
mempengaruhi tingkat kesuburan tanah ladang. Kawasan hutan yang banyak dialiri oleh
20
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
33/141
anak-anak sungai, tanahnya akan sangat subur sedangkan yang sangat kurang anak
sungainya tanahnya kurang subur. Kategori hutan yang banyak ditumbuhi kayu-kayu
lembek dan dialiri banyak anak sungai, gulma atau rerumputan juga sering ada yang
tumbuh bahkan kalau pada hutan seperti ana homa, gulma atau rerumputan yang tumbuh
bisa sangat banyak. Berbeda dengan kategori hutan yang banyak ditumbuhi oleh
pepohonan yang kayu-kayunya keras dan aliran sungai-sungainya sedikit, gulma atau
rerumputan yang tumbuh tidak terlalu banyak walaupun pada ana homa.
2. 2 Mondau Sebagai Pranata Pengelolaan Sumberdaya Hutan OrangTolaki
Mondau merupakan suatu bentuk usaha perladangan berpindah (shifting
cultivation)13
yang dikenal di kalangan masyarakat Tolaki, yang dilakukan melalui proses
pembukaan kawasan hutan untuk keperluan penanaman berbagai jenis tanaman.Mondau
dilakukan dengan cara menebang pepohonan dan membakarnya (slash and burn) dan
terdiri beberapa tahapan, sebagai berikut: 1) monggiikii andoolo (pemilihan lokasi
perladangan); 2) mohoto o wuta (upacara pra mondau); 3) mosalei (menebang
pepohonan kecil, menebas akar-akaran, dan lain-lain); 4) monduehi (menebang
pepohonan besar); 5) humunu (membakar); 6) moenggai (membersihkan sisa-sisa
pembakaran); 7) motasu (menanam padi); 8) mosaira dan meteia ( membersihkan
rerumputan dan menjaga tanaman); 9) mosowi (panen); 10) molonggo(memasukkan ke
dalam lumbung)14
.
2.3.1. Monggikii andoolo
Dalam melakukan usaha perladangan, orang Tolaki mengenal beberapa klasifikasi
lahan untuk areal perladangan. Klasifikasi tersebut didasarkan pada faktor-faktor : (1)
usia kawasan hutan, (2) jenis vegetasi dan aliran sungai, dan (3) kontur geografis
13Dalam berbagai kepustakaan kita temukan beragam istilah baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesiayang menunjuk pada makna yang sama antara lain slash and burning cultivation, rotary cultivation, sistem pertaniandengan tebang bakar, perladangan dengan pola gilir balik. Pertanian dengan sistem rotasi, dan lain-lain. Untuk lebihjelasnya periksa Yando Zakaria, 1994. , Owen J. Lynch dan Kirk Talbott, 2001; dan juga Rpnald E. Seavoy, 1973.
14Dalam banyak tulisan yang membahas tentang mondau, para penulis mempunyai pentahapan yang berbeda-beda.Untuk lebih jelasnya periksalah Asrul Tawulo, 1990; Munsi Lampe, 1993 Dalam Koentjaraningrat (Ed); AbdurraufTarimana,1985. Sebagai pembanding periksa pula Koentjaraningrat,1990).
21
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
34/141
kawasan hutan. Faktor-faktor tersebut sangat berkaitan dengan produktifitas hasil ladang
dikemudian hari yang akan diperoleh para peladang. Karena itulah hal ini menjadi
penting untuk dipertimbangkan bagi setiap peladang dalam menentukan lokasi
perladangannya. Apabila peladang memilih lokasi yang tepat maka sipeladang tersebut
akan memperoleh hasil panen yang banyak tetapi apabila salah memilih lokasi maka hasil
yang diperoleh akan sedikit pula.15
2.3.2 . Mohoto O Wuta
Apabila areal perladangan seperti yang diuraikan di atas telah tersedia, maka
dimulailah tahap selanjutnya, yakni mohoto o wuta. Secara etimologis mohoto o wuta
terdiri dari 2 suku kata, yakni mohotoartinya memotong dan o wutaberarti tanah. Jadi
mohoto o wutaberarti memotong tanah. Dalam kaitannya dengan mondau, maka mohoto
o wuta adalah suatu prosesi upacara perladangan yang mengawali seluruh rangkaian
proses mondau yang dalam keyakinan orang Tolaki harus dilaksanakan oleh setiap
peladang apabila hendak membuka hutan atau berladang. Maksudnya adalah bahwa
dengan melaksanakan upacara ini berarti para peladang telah meminta izin kepada Dewa
hutan (sangiano andoolo) untuk membuka hutan atau lahan tersebut sehingga akan
selalu terhindar dari malapetaka dan kutukan (tetutuara), baik yang akan menimpa petanimaupun tanaman-tanaman di ladang, misalnya kecelakaan atau gangguan hama seperti
tikus, kera, babi, dan lain-lain. Sehingga itulah pula proses ini sering disebut dengan
istilah mooli atau membeli hutan pada yang empunya. Selain itu pula hutan yang
dijadikan sebagai lokasi perladangan tidak akan menjadi tandus dan dapat menghutan
kembali sehingga suatu saat nanti dapat dibuka kembali. Salah satu simbol yang
digunakan disini adalah air yang disimpan dalam sebuah wadah yang menandakan
kesejukan. Artinya tanah ladang tersebut akan sejuk terus sehingga selain tanaman yang
akan tumbuh dengan baik, juga pepohonan yang telah kita tebang akan dapat tumbuh
kembali seperti semula.
Mohoto o wuta dilaksanakan sekitar bulan agustus pada awal musim kemarau.
Hari yang baik untuk masuk hutan dalam rangka melakukan prosesi ini adalah leleanggia
atau tindono.16
15Mengenai penjelasan tentang hal ini lihat bab 2.
16Leleanggia dan tindono adalah suatu bagian dari sistem perbulanan orang Tolaki. Secara keseluruhan sistemperbulanan orang Tolaki adalah sebagai berikut: 1) mata loso;2) riolo; 3) matanggawe; 4) tombara kawe; 5)meorawesi; 6) mehau-hau; 7) mata tindo; 8) tombara tindo; 9) mata ndeue; 10) tombara teue; 11) toeno; 12) mataleanggia; 13) tombara leanggia; 14) molambu; 15) mataomehe; 16) tombaraomehe;17) riolo; 18) mata nggawe; 19)
22
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
35/141
Mula-mula diawali dengan mempersiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan
seperti parang (o pade), empat potongan kayu sepanjang 30 cm, serta air yang disimpan
dalam suatu wadah biasanya adalah tempurung kelapa (takulo/aha nggaluku) atau
potongan buah maja (o bila), sebuah batu asah (watu rambaha). Adapun fungsi masing-
masing perlengkapan tersebut adalah sebagai berikut: Parang digunakan untuk
membersihkan tempatpemanua; empat potongan kayu sebagai bahan pembentuk persegi
empat yang diletakkan 2 menindis 2 lainnya; air untuk mengasah parang, dan ; batu asah
untuk tempat mengasah parang.
Setelah semua perlengkapan tersedia, maka dibuatlah pemanua yakni suatu
bangunan yang dibuat dari empat rangkaian potongan kayu sepanjang 30 cm yang
diletakkan pada sebidang tanah membentuk persegi empat mengelilingi suatu pohon kayu
kecil (sebesar telunjuk) yang masih tumbuh. Empat potongan kayu tersebut pada masing-
masing sudutnya dijepit dengan kayu supaya kokoh. Di atas bangunan tersebut
diletakkanlah batu asah dan air, sambil membaca doa sebagai berikut :
Doanya :
Inggoo kum, inggoo rundulangi.17
Apabila pemanua telah selesai, maka kegiatan selanjutnya adalah mosalei
(menebas) sebanyak 4 putaran mengelilingi bangunanpemanua tadi. Pada setiap putaran
peladang diharuskan untuk kembali ke pemanua moramba-ramba (mengasah-asah)
parangnya. Setelah selesai kegiatan ini maka peladang akan mobeta (mosalei kecil-
kecilan) pada setiap sudut sebagai pertanda batas calon areal perladangan yang akan
diolahnya.
Ketika peladang akan memulai melakukan proses upacara ini, terdapat tanda-
tanda yang harus diperhatikan. Tanda-tanda tersebut antara lain adalah mendengarkan
bunyi-bunyi burung yang merupakan alamat baik dan buruk seperti burung: sui, sarere,
dan pondu-pondu belatu (burung pematuk pohon yang telah busuk). Apabila peladang
mendengar bunyi burung sui seperti mekoe-koesi yakni laksana orang yang sedang
bersiul dengan merdu ataumomburi laksana sedang meniup--maka tanda ini adalah baik
sekali. Ini artinya ladang kita nantinya jika dibakar akan hangus; bunyi burung pondu-
tombara kawe; 20) meorawesi; 21) mehau-hau; 22) mata tindo; 23) tombara rtindo; 24) mata ndeue; 25) tombara
teue; 26) toeno; 27) mata leanggia; 28) tombara leanggia; 29) wawondowaha; 30) wula mbusu
17Doa ini dituturkan bukan dalam bahasa Tolaki sebagai umumnya, tetapi dalam bahasa spesifik yang digunakanuntuk berkomunikasi dengan mahluk halus/gaib.
23
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
36/141
pondu belatu menandakan hasil panen akan melimpah; dan bunyi sarere kita harus
berhenti karena itu adalah alamat buruk seperti akan mengalami musibah atau kematian.
Rangkaian kegiatan membuat pemanua ini disebut juga dengan istilah
mombewulahako artinya bahwa setelah selesainya tahapan ini barulah para peladang
memulai untuk tahapan selanjutnya atau masuk pada bulan pertama mondau. Rentang
waktu antara mombewulahako dengan dimulainya kegiatan penebangan adalah empat
hari. Masa empat hari ini menurut keyakinan orang Tolaki adalah kurun waktu dimana
kita tidak boleh masuk hutan atau memasuki lokasi yang akan dijadikan sebagai areal
perladangan. Masa ini disebut pula dengan istilah mombadoatau pemali.
2.3.3. Mosalei
Mosalei merupakan tahapan ketiga dalam rangkaian mondau yang dilakukan
pada awal musim kemarau yakni sekitar bulan agustus. Secara etimologis mosaleiberarti
menebas atau memotong pepohonan atau akar-akaran yang menggantung dan menjalar
(o hao) dengan hanya sekali tebas. Dalam tahapan ini yang menjadi sasaran pekerjaan
adalah menebang pepohonan kecil dan akar-akaran yang menggantung dan menjalar
termasuk rotan dalam berbagai jenis. Setelah penebasan selesai, maka pepohonan yang
ditebang dan akar-akaran tersebut dipotong-potong agar cepat mongering. Adapunmaksudnya pepohonan kecil dan akar-akaran ini dibersihkan lebih dulu adalah: 1) agar
nanti dalam proses penebangan selanjutnya sipeladang bisa dengan leluasa bergerak dan
pohon-pohon besar yang ditebang tidak tersangkut; 2) agar dalam proses pembakaran
dapat hangus dengan baik, maka pepohonan kecil dan akar-akaran ditebang lebih dulu
supaya cepat kering. Tidak semua bagian lahan yang harus melalui tahapan ini, misalnya
lokasi yang relatif bersih dari pepohonan kecil atau akar-akaran.
Pekerjaan ini dilakukan dengan menggunakan parang (o pade) dan batu asah
(watu rambaha).Mosaleidikerjakan secara bergotong royong di antara sesama peladang
laki-laki atau ada juga yang menggunakan sistem upah harian. Lamanya mosalei
tergantung dari luasnya lahan yang akan dibuka tetapi umumnya berkisar antara 2 3
minggu. Selama waktu ini, sebagian peladang memanfaatkannya untuk merotan (meue)
yakni mengumpulkan rotan dalam segala jenis untuk dijual kepada pembeli kelak setelah
selesai mosalei.18
18Meue atau mengumpulkan rotan untuk berbagai keperluan rumah tangga dan dijual ke pasar merupakan suatukegiatan utama orang Tolaki sebagai suku bangsa Peramu. Hingga sekarang ini aktifitas mengumpulkan rotan darihutan belantara masih ditekuni oleh sebagian besar orang Tolaki sebagai penunjang kehidupan ekonomi keluargayang utama, disamping berladang dan berbagai pekerjaan lainnya. Untuk memperoleh gambaran yang lebih
24
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
37/141
Selama masa mosalei, para peladang laki-laki untuk sementara tinggal menetap
dalam hutan kecuali untuk sesekali mereka masuk kampung untuk membeli kebutuhan di
hutan. Sebelum masuk hutan mereka telah membawa bekal seperlunya seperti beras (o
woha), sagu (tawaro), garam (peanihi), ikan kering (ika moahi), tembako (inoso), korek
api (api-api/tinggu), gula (gola) , kopi (kopi)sedangkan sayur-sayuran dapat diperoleh di
hutan seperti tinira ue, tinira bao, dan daun melinjau (tawa huko). Kegiatan masak-
memasak dilakukan sendiri tanpa bantuan perempuan. Mereka membangun rumah
(pineworu) sebagai tempat berteduh dan tempat tidur. Untuk menahan hawa dingin dan
nyamuk pada malam hari mereka membakar potongan-potongan kayu dan kulit kayu di
bawah kolong rumah atau di dekatnya.
Setelah mosalei, maka mereka akan kembali ke kampung sambil beristrihat
sejenak. Lahan akan dibiarkan selama 1 2 minggu dengan maksud agar pepohonan dan
akar-akar yang telah ditebang dan dipotong-potong itu telah mengering, sehingga dalam
pembakaran nantinya batang-batang pepohonan dan akar-akar dapat terbakar dengan
baik.
2.3.4. Monduehi
Monduehiadalah suatu tahapan kegiatan dalam mondauyang dilakukan dengan
sasaran menebang pepohonan besar. Tahap awal monduehidisebut molowoyakni suatu
kegiatan penebangan hutan selama 1 hari pada salah satu kawasan hutan dalam areal
perladangan sebagai pertanda dimulainya monduehi. Hari yang baik untuk molowo
adalah matanggawe atau o tindo.19
Setelah molowo maka peladang akan mombado
(larangan untuk masuk hutan) selama 4 hari.20
Dalam tahapan ini hampir semua pepohonan yang berada dalam rencana lokasi
atau lahan perladangan ditebang, baik dikemiringan (mosila ano)maupun di lembah (lela
wuta). Pepohonan yang biasanya tidak ditebang adalah pohon yang terlalu besar atau
yang kayunya keras serta sebagian pohon beringin (kapu), khususnya kapu boru(pohon
beringin yang berbentuk seperti tudung (boru=tudung) yang dianggap keramat.
Monduehidikerjakan dengan menggunakan parang ( o pade)dan kampak (o pali)yang
mendalam mengenai hal ini dapat ditelusuri melalui mitologi Oheosuatu mitologi orang Tolaki yang mengisahkanasal-usul orang Tolaki yang turun ke bumi melalui jembatan ue waisuatu jenis rotan yang berbatang kecil.
19Lihat catatan kaki nomor 15
20Angka 4 merupakan simbol dari unsur utama pembentuk alam semesta yang terdiri api, air, udara, dan tanah. Untuklebih jelasnya mengenai hal ini, periksa Rauf Tarimana, 1989.
25
7/21/2019 Buku Sarlan Adijaya
38/141
tajam. Kampak digunakan untuk menebang pohon sedangkan parang digunakan
keperluan memotong-motong dahan-dahan yang menjulang ke atas.
Monduehi dikerjakan secara gotong royong (sama turu) secara beramai-ramai
sesama peladang lainnya atau dengan tenaga bayaran. Peladang yang melakukan kerja
sama ini biasanya bermukim dalam suatu rumah yang sama (seperti telah diuraikan pada
tahapan mosalei). Pada hari yang pertama mereka akan mengerjakan areal salah seorang
peladang, hari yang kedua areal peladang lainnya, hingga begitu seterusnya sampai
monduehiselesai.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa monduehi dilakukan dengan sasaran
menebang pepohonan besar, maka dalam mengerjakannya ditempuh beberapa cara.
Apabila pohon yang akan ditebang tidak terlalu besar maka proses penebangannya
dilakukan seperti biasa. Tetapi apabila pohon yang akan ditebang sangat besar dan
pelare, maka proses penebangannya terlebih dulu dibuatkan tangga (o tenga) yang
tingginya disesuaikan dengan tingginya lare-nya pohon tersebut. Tangga tersebut terdiri
dari rangakaian kayu yang dibangun persis dekat pohon yang akan ditebang, diperkirakan
dapat terjangkau dengan baik jika hendak menebang pohon tersebut. Ketika menebang
pohon tersebut hingga tumbang, biasanya peladang menyingkir tidak terlalu jauh, guna
menghindari tendangan kayu tersebut. Para peladang tidak takut ketika berada di atastangga disebabkan keahliannya dalam menebang pohon. Peladang sangat ahli dalam
menentukan kemana arah tumbangnya pohon yang ditebang.
Dalam melakukan penebangan, pepohonan tersebut ditebang searah. Pada bagian
gunung tinggi (mosila)penebangan dimulai dari atas ke bawah sehingga batang-batang
pohon yang sudah ditebang akan nampak menjulur ke bawah mengikuti lembah.
Menebang pepohonan besar baik pada bagian gunung yang tinggi maupun yang relatif
datar, sering sangat bermanfaat untuk mempercepat proses monduehi. Para peladang