1
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
FAKULTAS KEDOKTERAN
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
RS. PUSAT ANGKATAN UDARA Dr. ESNAWAN ANTARIKSA
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
STATUS
I. Identitas pasien
a. Nama : An. Arsa
b. Umur : 7 bulan
c. Alamat : Jl. Raya Ceger RT 004 RW 05, Jakarta
d. Status : -
e. Pekerjaan : -
f. Jenis kelamin : laki-laki
g. Agama : Islam
h. Dirawat : 4 November 2012
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 27 October 2012 pada pukul
15.00
II. Keluhan utama
Pasien mengalami kejang dan demam
III. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengalami kejang dan demam akibat pernah mengalami kecelakaan lalu
lintas 2 bulan SMRS dan kepala pasien mengalami benturan. Pasien langsung
dirujuk ke RSCM dan akhirnya disarankan untuk konsultasi dengan dokter bedah
saraf RSAU.
2
IV. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat trauma kepala (+), riwayat alergi obat (-), alergi makanan (-), riwayat
asma(-), riwayat keracunan (-), penyakit jantung bawaan(-), keganasan (-).
V. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat keganasan dalam keluarga disangkal, penyakit menular disangkal,
riwayat DM (-), HT (-).
VI. Riwayat kebiasaan
-
VII. Anamnesis Tinjauan menurut Sistem
a. Umum : Pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis
b. Kulit : Tidak ada perubahan warna kulit
c. Kepala : Normocephali, distribusi rambut merata, tidak mudah rontok
d. Mata : Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, reflex pupil (+)
e. Leher : KBG dan tiroid TTM
f. Thorax :
i. Paru : suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
ii. Jantung: S1 – S2 normal, regular, murmur (-), Gallop (-)
g. GI Tract : Mual (-), muntah (-)
h. Abdomen : Supel, datar, BU (+) N, NT (-)
i. Sal. Kemih : Tidak ada gangguan berkemih
j. Extremitas : Akral hangat, oedem (-)
3
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 136/100 mmHg
Nadi : 104x/menit, regular, equal, cukup
Suhu : 36 o C
Pernapasan : 24x/menit, regular, teratur
Berat badan : 8 kg
STATUS GENERALIS
1. Kepala : Normocephali, deformitas (-)
a. Rambut : Distribusi rambut merata, tidak mudah rontok
b. Mata : CA -/-, SI -/-, pupil anisokor 5mm/2mm
c. Hidung : simetris, sekret (-), deviasi septum (-)
d. Telinga : simetris, tidak ada kelainan bentuk, serumen (-)
e. Mulut : simetris, sianosis (-), tidak kering, lidah tidak kotor, tonsil T1/T1
tenang
2. Leher : KGB dan tiroid tidak teraba membesar, kaku kuduk (-)
3. Thorax
a. Paru : suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
b. Jantung : S1 – S2 normal, regular, murmur (-), Gallop (-)
4. Abdomen : supel, datar, NT (-), BU (+) normal, Timpani
5. Ekstremitas : Akral hangat (+) kedua lengan dan tungkai, tidak oedem
4
STATUS NEUROLOGIS
1. Kesadaran :Compos Mentis
2. GCS : E4 V5 M6
3. Pupil : Pupil anisokor 5mm/2mm
TANDA RANGSANG MENINGEAL
1. Kaku kuduk : Negatif
2. Brudzinski I : Negatif
3. Brudzinski II : Negatif
4. Laseque : > 70 º
5. Kernig : > 135 º
NERVI CRANIAL
N. I
Daya penghidu : Dapat dilakukan
N. II
Ketajaman penglihatan (hitung jari) : Baik
Pengenalan warna : Baik
Lapang pandang (konfrontasi) : Tidak dilakukan
Funduskopi : Tidak dilakukan
N. III, N. IV, N. VI
Ptosis : Negatif
Strabismus : Tidak dilakukan
Nistagmus : Tidak dilakukan
Exoptalmus : Negatif
5
Enoptalmus : Negatif
Gerakan bola mata
o Lateral : Dapat dilakukan
o Medial : Dapat dilakukan
o Atas lateral : Dapat dilakukan
o Atas medial : Dapat dilakukan
o Bawah medial : Dapat dilakukan
o Bawah lateral : Dapat dilakukan
o Atas : Dapat dilakukan
o Bawah : Dapat dilakukan
N. V
Menggigit : Dapat dilakukan
Membuka mulut : Dapat dilakukan
Sensibilitas
o Atas : Tidak dilakukan
o Tengah : Tidak dilakukan
o Bawah : Tidak dilakukan
Reflex masseter : Tidak dilakukan
N. VII
Pasif
Kerutan kulit dahi : Dapat dilakukan
Kedipan mata : Dapat dilakukan
Aktif
Mengerutkan dahi : tidak dilakukan
Mengerutkan alis : tidak dilakukan
Menutup mata dengan kuat : tidak dilakukan
Meringis : tidak dilakukan
6
Menggembungkan pipi : tidak dilakukan
Gerakan bersiul : tidak dilakukan
Daya pengecapan lidah 2/3 depan : Tidak dilakukan
N. VIII
Mendengarkan detik arloji : Tidak dilakukan
Schwabach : Tidak dilakukan
Rinne : Tidak dilakukan
Weber : Tidak dilakukan
N. IX
Arcus faring : Tidak dilakukan
Posisi uvula : Tidak dilakukan
Daya pengecapan 1/3 belakang : Tidak dilakukan
Reflex muntah : Tidak dilakukan
N. X
Arcus faring : Tidak dilakukan
Bersuara : Dapat dilakukan
Menelan : Dapat dilakukan
N. XI
Memalingkan kepala : Dapat dilakukan
Sikap bahu : Dapat dilakukan
Mengangkat bahu : Dapat dilakukan
N. XII
Menjulurkan lidah : Tidak dilakukan
Atrofi lidah artikulari : Tidak dilakukan
Tremor lidah : Tidak dilakukan
7
Fasikulasi : Tidak dilakukan
MOTORIK
Gerakan : Normal
Kekuatan otot : Normal
Tonus otot : Normal
Trofi : Eutrofi
REFLEKS FISIOLOGIS
Reflex tendon
Bisep : +/+
Trisep : +/+
Patella : +/+
Achilles : +/+
REFLEKS PATOLOGIS
Hoffman Tromner : -/-
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Oppenheim : -/-
Gordon : -/-
Schaefer : -/-
SENSIBILITAS
8
Eksteroseptif
o Nyeri : Tidak dilakukan
o Suhu : Tidak dilakukan
o Traktil : Tidak dilakukan
Proprioseptif
o Vibrasi : Tidak dilakukan
o Posisi : Tidak dilakukan
o Tekan dalam : Tidak dilakukan
KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN
Tes telunjuk hidung : Tidak dilakukan
Tes telunjuk telunjuk : Tidak dilakukan
Tes tumit lutut : Tidak dilakukan
Tes Romberg : Tidak dilakukan
Tes Fukuda : Tidak dilakukan
Disdiadokinesis : Tidak dilakukan
FUNGSI OTONOM
Miksi : Dapat dilakukan
Defekasi : Dapat dilakukan
FUNGSI LUHUR
Fungsi bahasa : Tidak dilakukan
Fungsi orientasi : Tidak dilakukan
Fungsi memori : Tidak dilakukan
Fungsi emosi : Tidak dilakukan
9
Fungsi kognisi : Tidak dilakukan
Pemeriksaan penunjang tanggal 20 Ocktober 2012
DIAGNOSA SEMENTARA : Subdural Haematoma kronis dan Subdural
Higroma
10
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab tanggal 4 November 2012
Hb : 11 g/dl
Leukosit : 9.900 /mm3
Trombosit : 231.000 /mm3
Hematokrit : 36%
Golongan darah : A , rh (+)
Masa perdarahan : 3’
Masa pembekuan : 6’
SGOT : 19 u/L
SGPT : 13 u/L
Ureum : 24 mg%
Kreatinin : 0.50 mg%
Gula darah sewaktu : 140 mg /dl
Lab tanggal 5 Oktober 2012
Hb : 9.5 mg/dl
Hematokrit : 29%
Leukosit : 13.000/ul
Trombosit : 252.000/ul
Analisa gas darah :
PH : 7.38
PCO2 : 29 mmHg
PO2 : 143 mmHg
HCO3-: 17 mmol/L
Total CO2 : 18 mmol/L
Saturasi O2 : 99%
BE : -6.6 mEq/L
11
Elektrolit :
Natrium : 132 mmol/L
Kalium : 3.7 mmol/L
Clorida : 107 mmol/L
Rontgen torax:
Tidak tampak proses aktif pada paru
Cor dalam batas normal
Sinus diafragma baik
Kesan: Normal chest
RESUME
Pasien anak laki-laki, 7 bulan, dengan keluhan mengalami kejang dan demam sejak
benturan dikepalanya karena terjadi kecelakaan lalu lintas 2 bulan SMRS. Mual muntah
disangkal
Hasil CT SCAN : Subdural Higroma
Follow up tanggal 6 November 2012
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
TD : 136/102 mmHg
Nadi : 101x/m, regular, equal, cukup
Suhu : 36 0 C
RR : 48x/m, regular, teratur
12
Penatalaksanaan:
Konsul dr. Yudi, Sp. BS
Instruksi:
Persiapan: Burrhole kraniektomi evakuasi hematoma dan higroma.
o Surat Ijin Operasi
o Puasa
o Thorax foto terlampir
o Hasil lab lengkap
o CT SCAN terlampir
o Konsul anestesi
o Booking ICU
o Sedia PRC 200cc
o I jam pre-OP , injeksi ceftizoxime 400 mg, skin test
o IUFD Kaen 3b saat puasa 800 cc/ 24 jam.
LAPORAN TINDAKAN BEDAH
Tindakan: Burrhole kraniektomi evakuasi hematoma dan higroma.
Penemuan dalam pembedahan:
Pasien telentang diatas meja operasi dalam narkose
A dan antisepsis daerah lapangan operasi dan sekitarnya
Insisi “ “ masing-masing di frontal kanan dan kiri lapis demi lapis, undermining flap
kulit ke kaudal, insisi periosteum,
Lalu dibuat satu burrhole masing-masing di tiap sisi.
Lalu dilakukan kraniektomi masing-masing sisi
Insisi luas duramater
Dilanjutkan evaluasi Subdural hematom dan subdural higroma
Keluarkan cairan/ lisis hematoma dan higroma hingga encer
13
Dalam SDH di belakang masing-masing dialiri NaCl hingga air berwarna encer untuk
mengatasi pembekuan darah dan menjaga agar tetap basah dan lembab.
Pasang NGT di tiap sisi sebagai drain
Dan akhirnya kulit dijahit
Operasi selesai
Instruksi post op:
Awasi keadaan umum, tanda vital (TNSP), kesadaran
Elevasi kepala 300
Infuse KAEN 3b 800 cc/24 jam
Puasa sampai bising usus (+) normal
Cek ulang lab post op : DPL, elektrolit, AGD
Balans cairan / 6 jam
Ukur produksi masing-masing kedua drain setiap pagi
Obat – obatan:
o Ceftizoxime 2 x 400mg IV
o Novalgin 2 x ½ ampul IV
o Ranitidin 2 x ½ ampul IV
o Phenitoin 3 x 20mg IV
o Ikaneuron 1 x 1 ampul (dalam infuse)
o Transamin 3 x ½ ampul IV
o Vit K 3 x ½ ampul IV
o Vit C 1 x 100mg IV
Tanggal 7 November 2012, post – op hari ke 2
KU baik, CM, afebris
Status Neurologis: tidak ada perubahan
Obat: teruskan
Tanggal 8 November 2012, post – op hari ke 3
14
KU baik, CM, afebris
TD: 137/100 mmHg
Rhinorea (-),
Obat: lanjutkan
Tanggal 9 November 2012, post – op hari ke 4
KU baik, CM,
TD: 140/90 mmHg
Rhinorea (-)
Obat: lanjutkan
Tanggal 10 November 2012, post – op hari ke 5
KU baik, CM, afebris
Pupil anisokor 5mm / 3mm
Reflex cahaya +/+
Rhinorea (-)
Ubun-ubun tidak tegang
Obat : teruskan
Tanggal 11 November 2012, post – op hari ke 6
KU baik, CM, afebris
Status neurologis tidak ada perubahan
Status lokalis rhinorea (-)
ACC pulang dari bedah saraf
Obat injeksi stop
15
Tinjauan Pustaka
Haematoma Subdural
Hematoma subdural/ subdural hematoma (SDH) merupakan kelainan bedah saraf umum
yang sering memerlukan intervensi bedah. SDH adalah jenis perdarahan intrakranial yang terjadi
di bawah duramater dan mungkin terkait dengan cedera otak lainnya. Pada dasarnya, masalah ini
terjadi akibat terbendungnya darah di atas permukaan otak. SDH biasanya disebabkan oleh
trauma tetapi dapat spontan atau disebabkan oleh suatu prosedur, seperti pungsi lumbal.
Antikoagulasi, misalnya heparin atau warfarin (Coumadin), mungkin menjadi faktor
penyebabnya. 1
Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis walaupun
traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga tidak terungkap oleh
anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, karena tarikan ketika terjadi pada
permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan
distribusi bridging veins. Karena perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena,
maka darah yang terkumpul berjumlah hanya 100-200cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti
karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5 sampai 7 hari hematom mulai mengadakan
reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10 sampai 20 hari. Darah yang diserap meninggalkan
jaringan yang kaya dengan pembuluh darah. Di situ bisa timbul lagi perdarahan-perdarahan
kecil, yang menimbulkan hiperosmolaritas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang
lagi timbulnya perdarahan kecil-kecil dan pembentukan suatu kantong subdural yang penuh
dengan cairan dan sisa darah.
Keluhan bisa timbul langsung setelah hematom subdural terjadi atau jauh setelah
mengidap trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu dinamakan latent interval dan bisa berlangsung
berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan ada kalanya juga bisa lebih dari dua tahun. Namun
16
demikian, latent interval itu bukannya berarti bahwa si penderita sama sekali bebas dari keluhan.
Sebenarnya dalam latent interval kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh tentang
sakit kepala atau pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga mengeluh setelah
mengidap trauma kapitis. Tetapi apabila di samping itu timbul gejala-gejala yang mencerminkan
adanya proses desak ruang intrakranial, baru pada saat itulah terhitung mula tibanya manifestasi
hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun, organic
brain syndrome, hemiparesis ringan, hemiparestesia, ada kalanya epilepsi fokal dengan adanya
tanda-tanda papiledema.2
. Sebuah hematoma subdural sisi kiri akut (SDH). Perhatikan intensitas sinyal tinggi darah
akut dan ringan) pergeseran garis tengah (dari ventrikel).
SDH biasanya ditandai berdasarkan ukuran, lokasi, dan lama terjadinya (misalnya, apakah
terjadinya akut, subakut, atau kronis). Faktor-faktor ini, serta kondisi neurologis pasien,
menentukan pengobatan dan mungkin juga mempengaruhi hasilnya.
SDH sering diklasifikasikan berdasarkan jangka waktu yang telah berlalu dari waktu terjadinya
(jika diketahui) untuk diagnosis. Bila proses kejadian tidak diketahui, gambaran hematoma pada
CT scan atau MRI dapat membantu menentukan kapan hematoma terjadi.
17
Umumnya, SDH akut kurang dari 72 jam dan hyperdense dibandingkan dengan otak pada CT
scan.
Subakut SDH adalah 3-20 hari lamanya dan isodense atau hypodense dibandingkan dengan otak.
Kronis SDH adalah 21 hari (3 minggu) atau lebih lama dan hypodense dibandingkan dengan
otak. Namun, SDH dapat berbentuk gabungan seperti ketika perdarahan akut telah terjadi
menjadi SDH kronis.
Dalam sebuah penelitian, 82% pasien koma dengan SDH akut telah memar parenkim. Tingkat
keparahan cedera difus parenkim mempunyai korelasi kuat (korelasi inverse) dengan hasil
pasien. Dalam kenyataan ini, sebuah SDH yang tidak terkait dengan cedera otak yang mendasari
kadang-kadang disebut sebuah SDH sederhana atau murni, sedangkan istilah yang rumit telah
diterapkan untuk SDH di mana cedera yang signifikan dari otak yang mendasari juga telah
diidentifikasi.
Adanya atrofi otak atau hilangnya jaringan otak karena sebab apapun, seperti usia tua,
alkoholisme, hidrosefalus, atau stroke, dapat memberikan ruang yang meningkat antara dura dan
permukaan otak mana hygroma subdural dapat terbentuk atau traksi pada vena yang
menjembatani span kesenjangan antara permukaan kortikal dan dura atau sinus vena. Hygromas
mungkin terbentuk setelah cairan di arakhnoid memungkinkan cerebrospinal fluid (CSF) untuk
terkumpul di ruang subdural. Sebuah hygroma subdural mungkin karena itu juga terjadi setelah
trauma kepala, mereka seringkali tanpa gejala. Sebagian kecil kasus kronis SDH berasal dari
kasus SDH akut yang telah memburuk karena kurangnya perawatan.
18
Atrofi dari otak, menghasilkan ruang antara permukaan otak dan tengkorak,
meningkatkan risiko hematoma subdural (SDH).
Masalah
Trauma cedera kepala terus menjadi masalah kesehatan yang signifikan di Amerika Serikat dan
di tempat lain. Subdural hematoma (SDH) adalah jenis yang paling umum dari lesi massa
intrakranial, terjadi tidak hanya pada pasien dengan cedera kepala berat, tetapi juga pada pasien
dengan cedera kepala kurang berat, terutama mereka yang sudah berusia lanjut atau yang
menerima antikoagulan. SDH dapat dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi dan tingkat
morbiditas, bahkan dengan perawatan terbaik medis dan bedah saraf.
Epidemiologi
Hematoma subdural akut (SDHs) telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan cedera
kepala berat, tergantung pada penelitian ini. SDH kronis telah dilaporkan 1-5,3 kasus per
100.000 orang per tahun. Studi lebih terbaru menunjukkan insiden yang lebih tinggi, mungkin
karena teknik pencitraan yang lebih baik.
Etiologi
Hematoma subdural akut (SDH)
o Head trauma Trauma kepala
o Koagulopati atau antikoagulasi medis (misalnya, warfarin [Coumadin], heparin,
hemofilia, penyakit hati, trombositopenia)
o Perdarahan intrakranial non traumatic karena aneurisma serebral, kelainan
arteriovenosa, atau tumor (meningioma atau metastasis dural)
o Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting)
o Hipotensi intrakranial (misalnya, setelah pungsi lumbal, lumbal CSF bocor,
tabrakan lumboperitoneal, anestesi epidural spinal 5
o Spontan atau tidak diketahui penyebabnya (jarang)
19
SDH Kronis
o Trauma kepala (mungkin relatif ringan, misalnya, pada individu-individu yang
lebih tua dengan atrofi otak)
o SDH akut, dengan atau tanpa intervensi bedah
o Spontan atau idiopatik
Faktor risiko untuk SDH kronis termasuk kronis alkoholisme , epilepsi, koagulopati, kista
arakhnoid , terapi antikoagulan (termasuk aspirin), penyakit kardiovaskuler (hipertensi,
arteriosklerosis), trombositopenia, dan diabetes. Pada pasien yang lebih muda, alkoholisme,
trombositopenia, gangguan koagulasi, dan terapi antikoagulan oral telah ditemukan untuk
menjadi lebih lazim. Kista pada Arachnoid lebih umumnya terkait dengan pasien yang lebih
muda dari 40 tahun dengan SDH kronis. Pada pasien yang lebih tua, penyakit jantung dan
hipertensi arteri yang ditemukan lebih umum. In one study, 16% of patients with chronic SDH
were on aspirin therapy. Dalam sebuah penelitian, 16% dari pasien dengan SDH kronis pada
terapi aspirin. Dehidrasi Mayor adalah suatu kondisi yang kurang umumnya terkait dan
ditemukan bersamaan hanya 2% pasien.
Patofisiologi
Hematoma subdural akut
Mekanisme biasa yang menghasilkan hematoma subdural akut (SDH) adalah dampak
berkecepatan tinggi untuk tengkorak. Hal ini menyebabkan jaringan otak untuk mempercepat
atau melambat relatif terhadap struktur dural tetap, merobek pembuluh darah, terutama vena
bridging. Cedera kepala primer juga dapat menyebabkan hematoma otak berhubungan atau
memar, perdarahan subarachnoid, dan menyebar aksonal cedera. Cedera otak sekunder dapat
meliputi edema, infark, perdarahan sekunder, dan herniasi otak.
Sering kali, pembuluh darah robek adalah vena yang menghubungkan permukaan kortikal otak
ke sinus dural (disebut sebagai vena bridging). Atau, pembuluh darah korteks, baik arteri vena
atau kecil, dapat rusak oleh cedera langsung atau robekan. Suatu SDH akut karena arteri cortical
20
pecah dapat berhubungan dengan hanya cedera kepala ringan, mungkin tanpa memar otak yang
terkait. Dalam sebuah penelitian, arteri cortical pecah ditemukan berada sekitar fisura sylvian.
Pada orang lanjut usia, pembuluh darah bridging mungkin sudah meregang karena atrofi otak
(penyusutan yang terjadi dengan usia).
Seperti massa lainnya yang memperluas di dalam tengkorak, SDHs bisa menjadi mematikan
dengan meningkatkan tekanan dalam otak, menyebabkan perubahan patologis dari jaringan otak
(herniations otak). Dua tipe umum dari herniasi otak termasuk subfalcial (cingulate gyrus)
herniasi dan transtentorial (uncal) herniasi. herniasi Subfalcial dapat menyebabkan infark otak
melalui kompresi dari arteri serebral anterior, dan herniasi transtentorial dapat menyebabkan
suatu infark melalui kompresi dari arteri serebral posterior. Transtentorial herniasi juga
berhubungan dengan tekanan pada saraf kranial ketiga, menyebabkan reaktivitas menurun dan
kemudian dilatasi pupil ipsilateral.
Dengan herniasi transtentorial progresif, tekanan pada batang otak menyebabkan migrasi ke
bawah. Air mata ini pembuluh darah penting yang memasok batang otak, mengakibatkan
perdarahan Duret dan kematian. Peningkatan tekanan intrakranial (ICP) juga dapat menurunkan
aliran banjir serebral, mungkin menyebabkan iskemia dan edema dan meningkatkan lebih lanjut
ICP, menyebabkan lingkaran setan peristiwa pathophysiologic.
Hematoma subdural kronis
Kronis SDHs mungkin mulai sebagai hygroma subdural, yang dimulai sebagai pemisahan dalam
antarmuka dura-arakhnoid, yang kemudian diisi oleh CSF. Sel berkembang biak di sekitar
perbatasan dural koleksi ini CSF untuk menghasilkan sebuah neomembrane. Pembuluh darah
yang pecah kemudian tumbuh menjadi membran. Pada pembuluh darah ini dapat terjadi
perdarahan dan menjadi sumber darah ke ruang, mengakibatkan pertumbuhan SDH kronis.
SDHs kronis juga dapat berkembang dari pencairan dari SDH akut, terutama yang relatif tanpa
gejala. Pencairan biasanya terjadi setelah 1-3 minggu, dengan hematoma hypodense muncul
pada CT scan.
21
SDHs kronis yang terbentuk dari SDHs akut mungkin memiliki membran antara dura dan
hematoma pada 1 minggu dan antara otak dan hematoma pada 3 minggu. Sebagaimana
dinyatakan di atas, pembuluh rapuh baru dapat tumbuh ke dalam membran. Jika tidak diresorpsi,
kapal dalam membran yang mengelilingi hematoma dapat perdarahan berulang kali,
memperbesar hematoma. Beberapa SDH kronis juga bisa membesar dari gradien osmotik,
menarik lebih banyak cairan ke dalam ruang subdural, atau melalui mekanisme terpisah
kalsifikasi (Atkinson, 2003).
Pada tahun 1989, Kawakami menemukan bahwa sistem koagulasi dan fibrinolisis berdua
berlebihan diaktifkan di SDH kronis. Hal ini menyebabkan pembentukan bekuan rusak dan
perdarahan berulang. Katano et al (2006) baru-baru ini melaporkan status penanda molekul lain
dalam SDHs kronis.
Subdural Higroma
Lebih dari 80% penderita cedera yang datang ke ruang emergensi selalu disertai dengan
cedera kepala. Sebagian besar cedera kepala ini disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas berupa
tabrakan sepeda motor, mobil, dan penyeberang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh
jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (ranting pohon, kayu, dan sebagainya), olahraga, korban
kekerasan (misalnya senjata api, golok, parang, batang kayu, palu, dan sebagainya) dan lain-
lain.1
Kontribusi terbanyak cedera kepala adalah kecelakaan sepeda motor dan sebagian dari
mereka tidak menggunakan helm atau menggunakan helm yang tidak memadai (>85%).1
Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai bagian terluar (scalp)
sampai bagian terdalam (intrakranial) yang tiap komponen tersebut terkait erat dengan
mekanisme cedera yang terjadi. Dengan demikian cedera yang terjadi dapat berupa cedera
jaringan lunak, fraktur tulang kepala, dan cedera otak. Salah satu cedera otak yang dimaksud
adalah hematom subdural. Hematom subdural ini sering sukar dibedakan dari higroma subdural,
yang juga merupakan cedera akibat trauma kapitis.1
22
Higroma subdural merupakan pengumpulan cairan likuor cerebrospinalis (LCS) oleh kapsul
dibawah duramater. Pada umumnya higroma subdural disebabkan pecahnya araknoid sehingga
LCS mengalir dan terkumpul membentuk kolam. Penatalaksanaannya yang diberikan serupa
dengan terapi pada hematom subdural kronis.
I. ANATOMI KEPALA
Pengenalan kembali anatomi tengkorak sangat berguna dalam mempelajari akibat-akibat
cedera kepala. Berikut anatomi dari kepala :2
a. Kulit Kepala :
1. skin
2. connective
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika
4. loose areolar tissue
5. perikranium
b. Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii. Rongga tengkorak
dasar dibagi atas tiga fosa yaitu : fosa anterior, media dan posterior. Fosa anterior adalah
tempat lobus frontalis, fosa media tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah
ruang bagi batang otak bawah dan serebelum.
c. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu
durameter, arakhnoid, dan piameter. Dimana ruang antara durameter dan arakhnoid
disebut ruang subdural. Ruang epidural terletak antara durameter dan tabula interna
tengkorak. Diantara selaput arakhnoid dan piameter terdapat ruang subarakhnoid.
d. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak.
e. Cairan serebrospinalis (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan 30
ml/jam.
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari
fosa kranii anterior dan fossa kranii media) dan infratentorial (berisi fosa kranii psterior).
23
II. DEFINISI HIGROMA SUBDURAL
Higroma subdural merupakan pengumpulan cairan likuor cerebrospinalis (LCS) oleh
kapsul dibawah duramater.3,4
Sebagian literatur juga menyatakan bahwa higroma subdural adalah hematom subdural
kronis/lama yang mungkin disertai oleh penumpukan/ pengumpulan cairan LCS di dalam ruang
subdural. Kelainan ini agak jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput araknoid
yang menyebabkan cairan LCS keluar ke ruang subdural.7 Dengan demikian higroma subdural
serupa dengan hematom subdural kronik (HSD kronik) . Hematom subdural kronis ini
merupakan salah satu dari lesi fokal primer pada cedera otak yang terjadi akibat trauma kapitis.1
Lesi hematom subdural ini lebih sering terjadi dibanding hematom epidural (HED atau
EDH). Mortalitas yang disebabkannya sebanyak 60-70%. Lesi ini terjadi akibat laserasi
arteri/vena kortikal pada saat terjadi akselerasi dan deselerasi. Pada anak dan usia lanjut sering
disebabkan ‘bridging vein’ yang menghubungkan permukaan kortek dengan sinus vena.1
Berdasarkan waktu perkembangan lesi hingga memberikan gejala klinis, hematom
subdural dibedakan menjadi:5
1. Akut
Jika gejala timbul dalam 3 hari pertama setelah cedera.
2. Subakut
Jika gejala klinis timbul antara hari ke-4 dan ke-20.
3. Kronis
Jika gejala timbul setelah 3 minggu. Hematom subdural kronis sering terjadi pada usia lanjut,
dimana adanya atrofi otak menyebabkan jarak antara permukaan kortek dan sinus vena
menjauh sehingga rentan terhadap goncangan. Kadang-kadang benturan ringan pada kepala
sudah dapat menyebabkan hematom subdural kronis.
24
III. PENYEBAB
Post-trauma kecelakaan
Pada umumnya higroma subdural disebabkan pecahnya araknoid sehingga LCS mengalir
dan terkumpul membentuk kolam. Post-traumatic subdural hygroma merupakan kasus yang
umum terjadi.2,3
Post-operasi (pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista)
Higroma subdural akut dan kronik merupakan komplikasi post-operasi yang umum
terjadi dari pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista. Shu-qing et al
melaporkan suatu kasus higroma subdural setelah tindakan reseksi suatu lesi desak ruang pada
ventrikel lateral yang menyebabkan deformasi brainstem dekompresif. Ia menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang sangat penting antara prosedur pembedahan, pencegahan kehilangan
LCS dan fluktuasi yang cepat dalam tekanan intrakranial.4
Komplikasi atau lanjutan dari Acute subdural hematoma/hematom subdural akut
Kebanyakan subdural hygromas (SDGs) atau higroma subdural terjadi sekunder akibat
trauma. Cofiar et al melaporkan kejadian perkembangan suatu higroma subdural pada pasien
Acute subdural hematoma (ASDH) atau hematom subdural akut, yang kemudian mengalami
resolusi spontan cepat dalam waktu 9 jam akibat kontribusi terhadap pembesaran higroma
subdural. Hematom subdural akut merupakan kumpulan darah segar di bawah lapisan duramater,
yang biasanya cukup besar untuk menekan otak dan menyebabkan kematian hingga 60-80%
kasus. Resolusi spontan cepat pada kasus hematom subdural akut sangat jarang terjadi. Salah
satu mekanisme resolusi spontan yang pernah dilaporkan adalah melalui terbentuknya higroma
subdural. Resolusi hematom subdural akut dan dampaknya terhadap higroma subdural harus
dipertimbangkan selama penatalaksanaan hematom subdural akut.5
Komplikasi dari tindakan anestesi
Higroma subdural merupakan kumpulan cairan subdural berupa cairan xanthochromic
yang jernih atau disertai darah. Membedakan antara higroma subdural dan hematom sulit
dilakukan dan mungkin artifisial, sebab higroma sering mengalami progresifitas menjadi
hematom. Vandenberg et al melaporkan suatu kasus higroma subdural yang terjadi setelah
25
tindakan anestesia spinal. Subdural hematoma dan higroma subdural merupakan komplikasi
yang jarang dari anestesia spinal. Penyebab komplikasi ini yang mungkin terpikirkan adalah
kebocoran LCS melalui fistula dural yang terbentuk akibat tindakan punksi. Kebosoran ini
menyebabkan pemisahan otak bagian kaudal (caudal displacement of the brain), dengan
konsekuensi berupa peregangan dan rembesan dari vena-vena subdural intrakranial.
Berkurangnya tekanan otak akibat atrofi serebral, pengecilan otak pada alkoholik dan pintasan
ventrikuler juga merupakan faktor yang memberikan kontribusi. Namun, pada kebanyakan
kasus, mekanisme yang ada tetap belum diketahui dengan jelas. Vandenberg menggunakan MRI
dan radioisotope cisternography untuk mengelusidasi patogenesis kasus tersebut.6
IV. DIAGNOSIS
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
Post-traumatic subdural hygroma merupakan kasus yang umum terjadi, namun
penggalian diagnosis hanya dari anamnesis atau riwayat trauma tidak bersifat definitif karena
terdapat beberapa laporan data evolusi CT Scan dan klinis.7,8 Dengan demikian, selain anamnesis
dan pemeriksaan fisik, diperlukan juga penunjang berupa radiologis diagnostik yaitu CT Scan
dan MRI.
Dalam cedera kepala, point-point yang harus digali dari anamnesis meliputi:9, 10
Periode/waktu hilangnya kesadaran
Periode amnesia post trauma
Penyebab dan kasus cedera itu sendiri
Ada tidaknya nyeri kepala dan muntah
26
Gambar. Suatu gambaran MRI yang menunjukkan higroma subdural biparietal.7
Gambaran klinis
Gambaran klinis menunjukkan tanda peningkatan tekanan intrakranial, meski sering
tanpa disertai tanda-tanda fokal. Penyembuhan cedera otak primer yang biasanya berupa memar
otak, terganggu akibat adanya higroma ini.8
Stein dalam penelitiannya menemukan berbagai gejala terkait cedera kepala sebagai
berikut:11
27
V. TERAPI
Penatalaksanaannya yang diberikan serupa dengan terapi pada hematom subdural kronis.1
Penanggulangan pada kasus hematom subdural kronis adalah trepanasi dan evakuasi hematom
atau penyaliran.1,3,8
Untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan operasi, terdapat indikasi operasi. Di sentra
Rumah Sakit Ulin, salah satu kriteria dilakukan operasi adalah pergeseran midline shift melebihi
5 mm pada gambaran CT Scan atau volume massa melebihi 20 cc.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. A n n e g e r s J F , L a w s E R J r , K u r l a n d L T , G r a b o w J D . H e a d t r a u m a
a n d s u b s e q u e n t brain tumors. Neurosurgery. 1979, 4: 203-206.
2. Deangelis, Lisa M. 2001. Subdural haematoma. N Engl J Med, Vol. 344, No. 2
3. Greenberg, Harry S., Chandler, William F., Sandler, Howard M. 1999. Subdural
higroma.Oxford University Press: New York
4. H a r s o n o . 2 0 0 8 . B u k u A j a r N e u r o l o g i K l i n i s . G a j a h M a d a
U n i v e r s i t y P r e s s ; Yogyakarta. Hal 201-2077.Japardi, Iskandar. 2002.
Gambaran CT-Scan pada Subdural haematoma. USU digital library; Sumatera
Utara
5. Japardi, Iskandar. 2002. Tekanan Tinggi Intrakranial. USU digital library;
SumateraUtara.
6. Mardjono, mahar. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat; Jakarta. Hal 390-396
7. Ngoerah, I Gst Ng Gd. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga
UniversityPress; Surabaya. Hal 332-345.
8. Sitepu, Firman, Nara, P. 1985. Komplikasi subdural higroma. Cermin Dunia
Kedokteran No. 36,1985 41
9. http://en.wikipedia.org/wiki/ subduralhaematoma diakses 17 Oktober 2012
10. http://emedicine.medscape.com/article/343207-overview#a23 diakses 19 Oktober 2012