PRESENTASI KASUS KEGAWATDARURATAN
TRAUMATIC BRAIN INJURY
Diajukan oleh:
dr. Albert Santoso
Pembimbing:
dr. Bobi Prabowo, Sp.EM
Pendamping:
dr. Yulita Wahyu W
dr. Heru Dwi Cahyo
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
RSUD DR ISKAK TULUNGAGUNG JAWA TIMUR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada semua
kelompok usia. Saat ini, belum ada penanganan yang efektif untuk memulihkan efek yang
menetap dari cedera kepala primer. Penanganan ditujukan untuk mengurangi efek sekunder dari
cedera kepala yang dapat terjadi akibat dari iskemik, hipoksia dan peningkatan tekanan intra
cranial. Memahami epidemiologi dari cedera kepala berguna untuk tindakan preventif,
perencanaan strategi preventif primer berdasarkan populasi untuk meningkatkan penanganan
yang efektif dan efisien, termasuk ketentuan fasilitas rehabilitasi bagi mereka yag terkena cedera
kepala.
Perubahan neuropatologi terkait dengan sejumlah faktor, termasuk tipe dan keparahan
cedera, serta bekas cedera yang dapat terjadi akibat cedera yang tumpul maupun tajam yang
dapat menyeluruh ataupun lokal. Patologi dari cedera kepala juga dipengaruhi dari faktor pasien
seperti usia, komorbid, alkohol, hipoksia, sepsis dan penanganan.
Penanganan klinis yang cepat dan akurat sangatlah penting. The rapid and accurate
clinical assessment of a head-injured patient is crucial. Penanganan awal harus selalu ditujukan
pada jalan napas (airway), pernapasan (breathing) dan sirkulasi (circulation) sesuai dengan
prinsip-prinsip ATLS. Yang terpenting bukan hanya untuk mengidentifikasi cedera kepala yang
mengancam jiwa melainkan juga untuk mencegah cedera kepala sekunder. Tulang cervical harus
dimobilisasi karena ada kemungkinan terjadi cedera. Level kesadaran dan ukuran serta respon
pupil harus diperiksa berkala pada pasien dengan cedera kepala ini.
Cedera kepala traumatik berdampak pada ribuan orang tiap tahunnya. Keparahan cedera
mulai yang ringan dengan gangguan fungsi kognitif yang tidak dapat dinilai hingga gangguan
kesadaran yang parah dengan prolong koma dan status vegetative persisten. Pencitraan cedera
kepala tidak hanya bergantung pada mekanisme dan keparahan cedera, tapi juga pada waktu
sejak terjadinya cedera. Tujuan dari pencitraan ini termasuk untuk pengambilan keputusan terapi,
prognosis dan penelitian patofisiologi cedera kepala. Intracranial pressure (ICP) juga telah
menjadi variable vital pada fungsi serebral di saat fase akut cedera kepala.
BAB II
ISI
2.1 Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen.1 Menurut Brain Injury Assosiation of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.2
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai
di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera
kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).3 Insiden cedera kepala
terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan
3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.4
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di
Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR,
15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50%
akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.1
2.3 Klasifikasi5
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan:
a. Patologi
Komosio serebri
Kontusio serebri
Laserasi serebri
b. Lokasi lesi
Lesi diffus
Lesi kerusakan vaskuler otak
Lesi fokal
• Kontusio dan laserasi serebri
• Hematoma intrakranial
– Hematoma ekstradural (hematoma epidural)
– Hematoma subdural
– Hematoma intraparenkhimal
» Hematoma subarakhnoid
» Hematoma intraserebral
» Hematoma intraserebellar
2.4 Patofisiologi5
a Fraktur kranii
Patah tulang tengkorak dapat dibagi menjadi jenis linier, depresi, atau
comminuted. Jika kulit kepala ikut robek, itu dianggap sebagai fraktur terbuka atau
majemuk. fraktur tengkorak merupakan penanda penting dari cedera serius, tapi jarang
berpotensi menimbulkan masalah dengan sendirinya, prognosis lebih tergantung pada
sifat dan tingkat keparahan cedera pada otak dari pada beratnya cedera tengkorak.
Sekitar 80% patah tulang merupakan jenis linear. Paling banyak terjadi di wilayah
temporoparietal, di mana sisi tengkorak menipis. Deteksi patah linier sering
menimbulkan kecurigaan adanya cedera otak serius, tapi CT pada pasien sebagian besar
adalah dinyatakan normal. Patah tulang tengkorak linier pada umumnya tidak
memerlukan intervensi bedah dan dapat dikelola konservatif.
Dalam fraktur depresi dari tengkorak, satu atau lebih fragmen tulang yang
tertekan ke dalam, penekanan bagian utama otak. Dalam fraktur comminuted ada
beberapa fragmen tulang yang hancur yang mungkin atau tidak tertekan ke dalam.
Dalam 85% kasus, fraktur depresi terbuka dapat terinfeksi, atau terjadi kebocoran CSF.
Pada beberapa pasien, patah tulang tengkorak depresi berhubungan dengan robekan,
kompresi, atau trombosis dari vena dural sinus yang mendasarinya.
Patah tulang tengkorak basilar mungkin linear, depresi, atau comminuted yang sering
terlewatkan oleh X-ray tengkorak dan paling baik diidentifikasi oleh CT. Mungkin ada
saraf yang terkait dengan luka tengkorak atau vena dural yang dapat mengakibatkan
komplikasi meningitis jika bakteri memasuki ruang subarachnoid. Tanda-tanda yang
mengarahkan kita untuk mencurigai adanya fraktur bagian tulang temporal termasuk
hemotympanum atau timpani perforasi, gangguan pendengaran, CSF otorrhea, kelemahan
saraf wajah perifer, atau ecchymosis dari kulit kepala. Keadaan kurangnya penciuman,
ecchymosis periorbital bilateral, dan rhinorrhea CSF kemungkinan patah tulang sphenoid,
frontal, atau ethmoid.
b. Diffuse Axonal Injury
Diffuse Axonal Injury adalah salah satu keadaan patologis umum dan penting
pada Traumatic Brain Injury (TBI). Kepekaan akson terhadap cedera mekanis tampaknya
karena sifat viskoelastik dan tekanan yang tinggi di dalam saluran white matter.
Walaupun dalam keadaan normal akson bersifat lentur tetapi akan menjadi rapuh bila
deformations langsung berhubungan dengan trauma otak. Dengan demikian, perjalanan
akson secara cepat dapat merusak sitoskeleton aksonal yang dapat mengakibatkan
hilangnya elastisitas dan penurunan nilai transportasi aksoplasma. Selanjutnya
pembengkakan akson terjadi dalam discrete bulb formations atau dalam varicosities yang
memanjang yang menyebabkan terjadinya penumpukan protein. Kalsium yang masuk ke
akson yang membengkak menyebabkan keadaan kerusakan menjadi lebih lanjut akibat
aktivasi protease. Pada akhirnya, akson yang membengkak dapat menjadi putus dan
berkontribusi terhadap perubahan neuropathologic tambahan dalam jaringan otak. Diffuse
Axonal Injury sebagian besar mungkin merupakan manifestasi klinis dari trauma otak.
c. Coup and Contracoup Injury
Coup Injury adalah kekerasan yang terjadi secara tiba-tiba yang menyebabkan
otak tertekan secara cepat ke depan dan menghantam sisi tengkorak. Contracoup injury,
terjadi di sisi lain ketika otak tertekan secara cepat ke depan dan menghantam sisi
tengkorak, dan kemudian memantul dari sisi lain tengkorak. Dalam kedua kasus, otak
rusak karena terjadi benturan pada bagian dalam tengkorak.
Luka memar pada coup injury akan timbul di lokasi benturan. Sedangkan pada
contracoup terjadi di sisi lain, memar akan tampak pada situs berlawanan dari lokasi
benturan. Sebuah otak yang mengalami benturan yang sangat keras dan tiba-tiba dapat
mengalami coup dan contracoup injury secara bersamaan.
d. Komosio serebri
Apabila cedera kepala mengakibatkan gangguan fungsi serebral sementara berupa
penurunan kesadaran (pingsan/koma, manesia retrograd) tanpa adanya lesi parenkim
berdarah pada otak, digolongkan sebagai komosio serebri. Penemuan-penemuan mutakhir
menyebutkan koma kurang dari 20 menit, amnesia retrograde singkat, cacat otak tidak
ada, dan perawatan tumah sakit kurang dari 48 jam termasuk pada golongan ini. Biasanya
tidak memerlukan terapi khusus, asal tidak terdapat penyulit seperti hematoma, edema
serebri traumatic dsb. Penderita sangat perlu istirahat mutlak, tenaga keseimbangan
kardiovaskuler, respirasi, cairan elektrolit dan kalori, serta terhindar dari infeksi paru-
paru atau kandung kemih. Mobilisasi hampir tidak menjadi persoalan
e. Kontusio serebri
Apabila terjadi lesi parenkim berdarah, yang ditandai oleh kesadaran menurun
yang lebih lama. Defisit neurologis seperti hemiparese kelumpuhan saraf otak, refleks
abnormal, konvulsi,dan delirium.
Kontusio cerebri merupakan memar di jaringan otak akibat trauma. Seperti
memar pada jaringan lain, memar cerebral dapat dikaitkan dengan beberapa
microhemorrhages, terjadi akibat kebocoran PD kecil ke jaringan otak. Memar terjadi
pada 20-30% kasus dari cedera kepala berat. Cedera ini mirip dengan laserasi otak,
menurut definisi, dimana membran pia arachnoid yang robek di atas lokasi cedera pada
laserasi dan tidak memar. Cedera ini dapat menyebabkan penurunan fungsi mental dalam
jangka panjang dan dalam keadaan darurat dapat menyebabkan herniasi otak , sebuah
kondisi yang mengancam kehidupan dimana ada bagian dari otak yang menekan ke
bagian dari tulang kepala. Oleh karena itu pengobatan bertujuan untuk mencegah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang berbahaya.
a) Tanda dan Gejala
Gejala-gejala dari memar otak (memar pada otak) tergantung pada beratnya
cedera, mulai dari ringan sampai berat. Individu mungkin mengalami sakit kepala,
kebingungan, mengantuk, pusing, kehilangan kesadaran, mual dan muntah, kejang, dan
kesulitan dengan koordinasi dan gerakan. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan
dengan memori, visi, ucapan, pendengaran, mengelola emosi, dan proses berpikir. Tanda
memar yang tergantung pada lokasi di otak. Kontusio cerebral sangat sering terjadi di
frontal dan lobus temporal, walau terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang
otak dan cerebellum. Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau
jam mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral. Apabila lesi meluas dan
terjadi penyimpangan neurologist lebih lanjut.
b) Penyebab
Memar terjadi terutama di jaringan korteks, terutama di bawah lokasi dampak
atau di daerah-daerah otak yang terletak di bagian dalam tengkorak. Otak mungkin
Dipipis ketika bertabrakan dengan tonjolan tulang pada permukaan dalam tengkorak.
Tonjolan terletak di bagian dalam tengkorak di bawah frontal dan lobus temporal dan
pada atap orbit mata. Dengan demikian, ujung-ujung lobus frontal dan temporal terletak
di dekat pegunungan tulang di tengkorak adalah daerah dimana sering terjadi luka memar
dan yang paling parah. Untuk alasan ini, perhatian, emosi dan masalah memori yang
terkait dengan kerusakan frontal dan lobus temporal, jauh lebih umum pada trauma
kepala daripada sindrom terkait dengan kerusakan ke area lain dari otak.
c) Pengobatan
Sejak pembengkakan otak bahaya kepada pasien, pengobatan memar otak
bertujuan untuk mencegah pembengkakan. Tindakan untuk menghindari pembengkakan
mencakup pencegahan hipotensi (tekanan darah rendah), hiponatremia dan hypercapnia
(peningkatan karbon dioksida dalam darah). Karena bahaya tekanan intrakranial
meningkat, operasi mungkin diperlukan untuk mengurangi itu. Orang dengan memar otak
mungkin memerlukan perawatan intensif dan monitoring yang ketat.
f. Laserasi serebri
Bila terjadi robekan parenkim otak maka digolongkan kedalam laserasi serebri.
1. Lokasi lesi
– Lesi diffus
– Lesi kerusakan vaskuler otak
– Lesi fokal
• Kontusio dan laserasi serebri
• Hematoma intrakranial
Hematoma ekstradural (Hematoma Epidural)
Perdarahan ke dalam ruang epidural umumnya disebabkan oleh robeknya
dinding salah satu arteri meningeal, biasanya arteri meningeal tengah, tapi pada
15% dari pasien pendarahan berasal dari salah satu sinus dural. Tujuh puluh lima
persen berhubungan dengan fraktur tengkorak. dura dipisahkan dari tulang
tengkorak oleh extravasated darah, dan ukurannya meningkat sampai pembuluh
darah terkompresi atau tertutup oleh hematoma.6,7,8
Dalam kebanyakan kasus, hematoma bersifat ipsilateral. E pidural
hematoma terutama pada orang muda; itu jarang terlihat pada orang tua karena
dura menjadi semakin melekat pada tengkorak dengan usia lanjut.
Tanda dan diagnostic klinik9:
- Lucid interval (+)
- Kesadaran makin menurun
- Late hemiparese kontralateral lesi
- Pupil anisokor
- Babinski (+) kontralateral lesi
- Fraktur didaerah temporal
Gejala dan tanda hematom epidural di fossa posterior:
- Lucid interval tidak jelas
- Fraktur kranii oksipital
- Kehilangan kesadaran cepat
- Gangguan serebellum, batang otak dan pernapasan
- Pupil isokor
Hematoma subdural
Hematoma subdural biasanya dari vena, darah mengisi ruang antara
membran dural dan arakhnoid. Dalam kebanyakan kasus, pendarahan disebabkan
oleh pergerakan otak di dalam tengkorak yang dapat mengakibatkan peregangan
dan merobek pembuluh darah yang mengalir dari permukaan otak ke sinus dural.
Jarang terjadi sumber hematoma dari arteri kecil.Kebanyakan hematoma subdural
terletak di atas convexities otak lateral, tetapi darah subdural juga dapat terkumpul
di permukaan hemisfer, antara tentorium dan lobus oksipital, antara lobus temporal
dan pangkal tengkorak, atau di fosa posterior. CT biasanya menunjukkan
kepadatan tinggi, dan seperti gambaran bulan sabit.6,7,8,9
Pasien usia lanjut atau pengguna alkohol dengan atrofi otak sangat rentan
terhadap perdarahan subdural; pada pasien ini, hematoma besar mungkin terjadi
karena trauma ringan atau bahkan cedera yang bejalan perlahan.
hematoma subdural akut, menurut definisi adalah gejala yang timbul dalam 72 jam
setelah cedera, namun kebanyakan pasien memiliki gejala neurologis dari saat
trauma. Setengah dari semua pasien dengan hematoma subdural akut kehilangan
kesadaran pada saat cedera; 25% berada dalam keadaan koma ketika mereka tiba
di rumah sakit, dan setengahnya sadar, kehilangan kesadaran untuk kedua kalinya
atau lucid interval terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam. Hemiparesis
dan kelainan pupil adalah tanda-tanda neurologis fokal yang paling umum, terjadi
dalam satu setengah sampai dua pertiga pasien. Gambaran umum berupa pelebaran
pupil ipsilateral dan kontralateral hemiparesis. Namun, salah tanda umum dengan
hematoma subdural akut karena herniasi uncal dapat menyebabkan kompresi
batang otak kontralateral atau saraf kranial ketiga.
Hematoma subdural kronis menunjukkan gejala setelah 21 hari atau lebih.
Lebih cenderung terjadi pada pasien setelah usia 50 tahun. Dalam 25% sampai
50% kasus merupakan cedera kepala yang tidak disadari. Hampir setengah dari
pasien memiliki sejarah kecanduan alkohol atau epilepsi dan trauma yang mungkin
telah dilupakan. Faktor risiko lain untuk hematoma subdural kronis termasuk
overdrainage dari shunts ventriculoperitoneal dan gangguan perdarahan, termasuk
kondisi yang relevan dengan obat antikoagulan. Dalam kebanyakan kasus
hematoma subdural kronis, perdarahan dari trauma ringan dengan kompresi otak
sedikit atau tidak ada, karena bersama dengan atrofi otak. Setelah 1 minggu,
fibroblast pada permukaan bagian dalam dura membentuk membran luar yang
tebal; setelah 2 minggu membran tipis dalam berkembang, menghasilkan bekuan
enkapsulasi, yang mulai mencair. Pembesaran hematoma kemudian dapat terjadi
dari pendarahan yang berulang (misalnya, hematoma subdural akut-on-kronis) atau
karena efek osmotik yang berkaitan dengan kandungan protein tinggi. CT biasanya
menunjukkan massa isodense atau hypodense, berbentuk bulan sabit di permukaan
otak, dan membran dapat meningkatkan dengan kontras intravena. Hematoma
subdural kronis akhirnya yang mencair membentuk hygromas, dan dalam beberapa
kasus mungkin berupa kalsifikasi.
Hematoma subdural akut dan kronis dengan efek massa yang signifikan
harus dievakuasi. Indikasi utama operasi adalah adanya efek massa gejala berupa
defisit neurologis fokal, atau kejang.
Pembedahan untuk evakuasi hematom tebal yang merupakan hematoma
subdural akut biasanya memerlukan craniotomy besar. Hasil setelah bedah
evakuasi tergantung pada tingkat keparahan awal, dan interval dari cedera ke
operasi. Liquefied hematoma subdural kronis sering dapat dievakuasi dengan
drainase. Reoperasi untuk hematoma subdural akut dan kronis yang dibutuhkan
dalam sekitar 15% dari kasus.6,7,8
Gambaran klinis berupa:
- Akut : interval lucid 0-5 hari
- Subakut : interval lucid 5 hari – beberapa minggu
- Kronik : interval lucid > 3 bulan
.
Hematoma intraparenkhimal
a. Perdarahan subarakhnoid
Dalam kebanyakan kasus, darah subarachnoid hanya terdeteksi oleh
pemeriksaan CSF, dan pemeriksaan klinis kecil. Dengan cedera yang lebih
serius, ketika vena besar yang melintasi subarahnoid robek, fokal atau
perdarahan subarachnoid luas dapat dideteksi oleh CT. Meskipun adanya
sejumlah besar darah di subarachnoid merupakan pertanda prognosis yang
buruk, komplikasi perdarahan subarachnoid aneurysmal, seperti hidrosefalus
dan iskemia dari vasospasm, tidak biasa terjadi setelah perdarahan
subarakhnoid traumatik.
Gejala dan tanda klinis berupa kaku kuduk, nyeri kepala, dapat terjadi
gangguan kesadaran.
b. Hematoma intraserebral
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya
arteri intraserebral mono atau multiple. Biasanya berhubungan dengan
diffuse axonal injury dengan gejala dan tanda klinis:
- Koma lama pasca traumatic
- Disfungsi saraf otonom
- Demam tinggi
2.5 Diagnosis
a) Anamnesis
Keadaan kecelakaan dan kondisi klinis pasien sebelum masuk ke ruang darurat harus
dipastikan dari pasien (jika mungkin), dan saksi mata. Kekuatan dan lokasi cedera kepala
harus ditentukan setepat mungkin. Pertanyaan khusus juga harus dibuat mengenai gegar
otak; karena pasien amnestic selama gegar otak, hanya seorang saksi mata secara akurat
dapat mengukur durasi kehilangan kesadaran. Anamnesis mencakup; trauma kapitis
dengan /atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid, perdarahan/otorrhea/
rinorrhea serta amnesia traumatika.6,7
b) Pemeriksaan Fisik pemeriksaan klinis neurologis
Pemeriksaan fisik secara umum dari kepala hingga kaki. Dapat ditemukan adanya
kelainan sesuai dengan dampak cedera pada otak. Tengkorak harus teraba untuk fraktur,
hematoma, dan luka. Pasien harus secara menyeluruh diperiksa tanda-tanda eksternal
trauma leher, dada, punggung, perut, dan anggota badan. Perdarahan dari hidung atau
telinga mungkin menunjukkan kebocoran CSF; CSF berdarah dapat dibedakan dari darah
melalui uji halo positif (yaitu, sebuah lingkaran CSF di bentuk darah ketika jatuh di atas
selembar kain putih). Jika tidak ada campuran darah, CSF dapat dibedakan dari sekresi
hidung karena konsentrasi glukosa CSF adalah 30 mg / dL atau lebih, sedangkan sekresi
lakrimal dan lendir hidung biasanya mengandung kurang dari 5 mg / dL glukosa.
Setelah menentukan tingkat kesadaran. Perhatian khusus harus diberikan pada
kemampuan fokus, konsentrasi (misalnya, menghitung mundur dari 20 ke 1, atau
membaca secara terbalik), orientasi, dan memori. Gerakan mata, ukuran pupil dan bentuk,
dan reaksi terhadap cahaya harus dicatat. Pupil lamban reaktif atau melebar menunjukkan
herniasi transtentorial dengan kompresi saraf kranial ketiga. Midposition pupil, kurang
reaktif, tidak teratur dapat terjadi karena cedera pada inti oculomotor di tegmentum otak
tengah. Nystagmus sering terjadi gegar otak. Pada pasien koma, refleks oculocephalic dan
oculovestibular harus diuji, pemeriksaan motoric harus berfokus pada identifikasi
kelemahan, asimetris atau sikap. Gerakan spontan harus dinilai untuk menilai penggunaan
khusus dari anggota badan pada satu sisi. Jika pasien tidak sepenuhnya kooperatif,
kelemahan dapat dideteksi oleh penilaian dari asimetri dari tonus atau refleks tendon, atau
dengan adanya suatu pergeseran lengan, respon lokalisasi khusus dengan menggosok
sternum, atau ekstensor plantar refleks.
Jika kerusakan terjadi jika terjadi di lobus frontal maka akan mengalami
penurunan fungsi intelektual, personality, dan kelemahan otot. Pada lobus temporal akan
mengalami gangguan bicara, pendengaran dan memory. Jika di lobus parietal mengalami
gangguan maka pasien akan mengalami gangguan sensibilitas. Jika kerusakan pada lobus
occipital pasien akan mengeluh adanya gangguan penglihatan dan pada brain stem
merupakan tempat untuk mengatur laju nadi, pernafasan dan tekanan darah.
Dekortikasi menunjukkan cedera pada jalur corticospinal di tingkat diencephalon
atau otak tengah atas. Sikap decerebrasi berarti cedera pada jalur motor di tingkat yang
lebih rendah dari otak tengah, pons, atau medula.
c) Pemeriksaan Penunjang trauma kepala secara umum
a. Laboratorium
Pemerksaan laboratorium yang dilakukan pada saat pasien pertama kali
masuk ke RS serta saat pemantauan seperti pemeriksaan dara; Hb, leukosit,
trombosit untuk mengetahui factor pemberat yang menyertai perdrahan. Ureum,
kreatinin untuk mengetahui fungsi hati akibat perdarahan ataupun untuk interfensi
obat-obatan yang akan dieksresikan melalui ginjal. Gula darah sewaktu juga
diperlukan untuk mengetahui faktor yang dapat memperberat dampak cedera atau
adanya penyakit komorbid. Analisa Gas Darah dan elektrolit juga sebaiknya
diperiksa untuk menilai adanya asidosis atau alkalosis yang dapat terjadi akibat
dampak dari cedera, hipoventilasi misalnya.
b. Radiologi
1) Foto polos kepala
Foto polos kepala dengan berbagai posisi seperti AP, lateral berguna untuk
melihat adanya fraktur tengkorak, tapi tidak menunjukkan jaringan lunak di dalam
kepala.6,7
2) CT Scan dan MRI
CT adalah pencitraan darurat metode pilihan untuk cedera kepala. CT lebih
informatif daripada rontgen tengkorak standar dan memberikan sensitivitas untuk
mendeteksi darah intrakranial. Secara umum, semua pasien dengan cedera kepala
harus memiliki CT, kecuali bagi mereka yang diklasifikasikan sebagai risiko
rendah (misalnya, tanpa gegar otak, tanpa kelainan neurologis pada pemeriksaan,
dan tanpa bukti atau kecurigaan dari patah tengkorak, alkohol atau keracunan
obat, atau moderat-risiko kriteria lain). Kemungkinan mendeteksi intra serebral
hemoragik oleh CT pada pasien ini hanya 1 dalam 10.000. MRI lebih baik untuk
mendeteksi cedera halus otak, terutama untuk lesi fokal, tetapi pada umumnya
tidak digunakan untuk evaluasi darurat kecuali dengan cepat dan mudah tersedia.
Gambar CT harus dinilai untuk bukti adanya hematoma epidural atau subdural,
subarachnoid atau intraventricular, memar parenkim dan perdarahan, edema otak,
dan memar berhubungan dengan diffuse axonal injury.6,7,8,9
Gambar 2.1. CT Scan Epidural Hematom Gambar 2.1. CT Scan Subdural Hematom
Gambar 2.1. CT Scan Arahnoid Hematom
2.5.1 Klasifikasi sesuai Glasgow Coma Scale (GCS)
a. Cedera Kepala Ringan6,8:
• GCS 13-15
• Pingsan < 10 menit
• Defisit neurologis (-) hanya gangguan fungsional
• CT scan Normal
b. Cedera Kepala Sedang
• GCS 9-12
• Pingsan > 10 menit s/d < 6 jam
• Defisit neurologis (+)
• CT scan abnormal
c. Cedera Kepala Berat
• BCS 3-8
• Pingsan > 6 jam
• Defisit neurologis (+)
• CT scan abnormal
2.5 Glasgow Coma Scale
Mata:
Nilai
4 Terbuka spontan
3 Dengan perintah verbal
2 Dengan nyeri
1 Tidak ada respon
Verbal:
Motorik:
Nilai
5 Orientasi baik
4 Disorientasi tidak baik
3 Kata-kata tidak tepat, hanya menangis
2 Mengerang
1 Tidak ada respon
2.6 Penatalaksanaan
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan, sedang, berat)
berdasarkan urutan:
1. Survey Primer
a. Airway (jalan napas)
Bebaskan jalan napas dengan memeriksa mulut, bila terdapat secret atau benda
asing segera dikeluarkan dengan suction atau swab. Bila perlu dapat digunakan
intubasi untuk menjaga patenisasi jalan napas. Waspadai bila ada fraktur servikal.
b. Breathing (Pernapasan)
Pastikan pernapasan adekuat, perhatikan frekwensi, pola napas dan pernapasan
dada atau perut dan kesetaraan pengembangan dada kanan dan kiri. Bila ada
gangguan pernapasan segera cari penyebab, gangguan terjadi pada sentral atau
perifer. Bila perlu, berika oksigen sesuai kebutuhan. Pertahankan saturasi oksigen
O2 > 92%
c. Circulation
Jika pasien menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik, jalur IV harus
segera terpasang. Karena autoregulasi aliran darah serebral sering terganggu pada
cedera kepala akut, harus terus dipantau untuk menghindari hipotensi yang dapat
menyebabkan iskemik otakatau hipertensi yang dapat memperburuk edema
serebral. Pertahankan TD sistolik > 90 mmHg, hindari pemakaian cairan hipotonis.
Vasopresor kerja pendek (misalnya, phenylephrine dan norepinephrine) dan agen
antihipertensi (misalnya, labetalol dan nicardipine) adalah lebih baik karena
Nilai
6 Menurut perintah
5 Depat melokalisir nyeri
4 Fleksi terhadap nyeri
3 Fleksi abnormal (dekortikasi)
2 Ekstensi (deserebrasi)
1 Tidak ada respon
kemampuan mereka untuk menstabilkan tekanan darah dalam kisaran terapeutik
yang sempit. Nitroprusside natrium harus dihindari karena dapat melebarkan
pembuluh cerebral dan meningkatkan ICP.
d. Disability (mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dan neurologis)
Observasi:
- Tanda vital: tekanan darah, nadi. Suhu, dan pernapasan
- GCS
- Pupil: ukuran, bentuk dan reflex cahaya
- Pemeriksaan neurologis cepat: hemiparese, reflex patologis
- Luka-luka
- Anamnesa: AMPLE (allergies, Medication, Past Illness, Last Meal,
event/Environtment related to the injury)
2. Survey Sekunder
a. Laboratorium
- Darah: Hb, leukosit, trombosit, ureum kreatinin
- Gula Darah Sewaktu
- Analisa Gas Darah dan elektrolit
- Urin: perdarahan
b. Radiologi
- Foto polos kepala
- CT Scan otak
- Foto lain sesuai indikasi
c. Managemen terapi
- Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi
- Siapkan ruangan intensif
- Penanganan luka-luka
- Pemberian obat sesuai kebutuhan
3. Penanganan Kasus Cedera Kepala Ringan
1. Pemeriksaan status umum dan neurologi
2. Perawatan luka-luka
3. Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam. Bila
selama dirumah terdapat hal-hal sebagai berikut:
a. pasien cenderung mengantuk
b. sakit kepala yang semakin berat
c. muntah proyektil
Maka pasien harus segera dibawa kembali ke RS
4. pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut ini:
a. ada gangguan orientasi (waktu dan tempat)
b. sakit kepala dan muntah
c. tidak ada yang mengawasi di rumah
d. letak rumah jauh atau sulit untk kembali ke RS
4. Penanganan Kasus Cedera Kepala Sedang dan Berat
1. lanjutkan penanganan ABC
2. pantau tanda vital (suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah), pupil GCS, gerakan
ekstremitas, sampai pasien sadar
3. pantauan dilakukan tiap 4 jam
4. lama pemantauan hingga GCS 15.
Perhatian khusus ditujukan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Data
Traumatic Coma Data Bank (TCDB) menunjukkan bahwa hipotensi pada pasien
dengan trauma kranoserebral berat akan meningkatkan angka kematian dari 27%
50% (Wilkins, 1996). Tatalaksanan tradisional yang meliputi pembatasan cairan
dalam mengurangi terjadinya edema otak, kemungkinan akan membahayakan pasien,
terutama pada pasien yang telah mengalami banyak kehilangan cairan.6
Hindari terjadi kondisi sebagai berikut:
Tekanan darah sistolik < 90 mm Hg
Suhu > 38 derajat Celcius
Frekuensi nafas > 20 x / menit
5. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial
Posisi kepala ditinggikan 30°
Bila perlu dapat diberikan Manitol 20% .Dosis awal 1 gr/kg BB, berikan dalam
waktu 1/2 - 1 jam, drip cepat. Lanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 gr/kg BB
drip cepat, 1/2 - 1 jam.
Berikan analgetika, dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek
Atasi komplikasi seperti kejang dengan pemberian profilaksis OAE selama 7 hari
untuk mencegah immediate dan early seizure
• Pada kasus risiko tinggi infeksi akibat fraktur basis kranii / fraktur terbuka
berikan profilaksis antibiotika, sesuai dosis infeksi intrakranial selama 10-14
hari.
• Gastrointestinal – perdarahan lambung
• Demam
• DIC: pasien dengan trauma kapitis tertutup cenderung mengalami
koagulopati akut.
• Pemberian cairan dan nutrisi adekuat
• Roboransia, neuroprotektan (citicoline), nootropik sesuai indikasi
5. Indikasi Operasi
1. EDH (epidural hematoma)
>40 cc + midline shifting pada temporal / frontal / parietal dgn fungsi batang otak
masih baik
> 30 cc pada fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang otak atau
hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik
EDH progresif
EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.
2. SDH (subdural hematoma)
SDH luas (> 40 cc / > 5 mm) dengan GCS > 6, fungsi batang otak masih baik
SDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi
SDH dengan edema serebri / kontusio serebri disertai midline shift dengan fungsi
batang otak masih baik
3. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma
Penurunan kesadaran progresif
Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (Cushing reflex)
Perburukan defisit neurologi fokal
4. Fraktur kranii dengan laserasi serebri
5. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial)
6. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangan
operasi dekompresi
2.1 Akibat Jangka Panjang Trauma Kapitis
2.7.2 Kerusakan Saraf Kranial
a. Anosmia
Kerusakan nervus olfaktoris menyebabkan gangguan sensasi pembauan
yang yang total disebut anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Hiposmia
pada umumnya akan sembuh, sedangkan anosmia bilateral sulit diharapkan
kesembuhannya setelah periode 2 bulan terlewati. Dalam proses penyembuhan
tardapat 2 penyimpangan sensasi bau (parosmia) yaitu berupa bau seperti benda
terbakar atau bau-bau lain yang tidak sedap. Setelah beberapa hari, parosmia
akan menghilang dan sensai bau akan kembali normal.
Bahaya anosmia adalah bagi mereka yang bekerja di tempat yang harus
mengenali bau-bau tertentu. Mereka tidak dapat mencium adanya gas yang bocor
atau adanya kebakaran. Penderita tidak dapat menikmati sedapnya bau makanan,
maka anosmia akan mengurangi kenikmatan hidup. Penderita anosmia juga akan
mengalami kesulitan bila bekerja sebagai juru masak, pencampur parfum,
peramu tembakau, dan pencicip teh atau kopi. Tidak ada pengobatan khusus bagi
penderita anosmia.
b. Gangguan Penglihatan dan Oftalmoplegi
Gangguan penglihatan bilateral sangat jarang terjadi. Kerusakan nervus
optikus adalah akibat trauma di region frontal atau frontotemporal, timbul segera
setelah mengalami trauma. Biasanya disertai hematoma (perdarahan) disekitar
mata dan proptosis (pergeseran atau penonjolan mata kedepan) akibat adanya
perdarahan dan edema (sembab) di dalam orbita (lekuk mata). Gejala klinik
bergantung pada lokasi trauma, umumnya berupa penurunan visus (daya lihat),
skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negatif, atau hemianopia
bitemporal. Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata,
umumnya disertai ptosis dan pupil yang midriatik. Meskipun lesi nervus
okulomotoris sering berdiri sendiri, nervus troklearis dan nervus abdusens dapat
pula menyertainya.
c. Hemiparesis dan Paresis fasialis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan)
merupakan menifestasi klinik dari kerusakan daerah pyramidal di korteks,
subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya yang berkaitan dengan trauma
kapitis adalah perdarahan otak (subdural, epidural, intraparenkhimal), empiema
subdural, herniasi transtentorial.
Keadaan ini disebabkan oleh edema pada sarafnya sendiri atau edema
jaringan di sekitarnya. Sebagian besar paresis fasialis traumatik menyertai fraktur
di fosa media yang mengenai os petrosus atau mastoid. Gejala kliniknya berupa
gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup
mata, mulut peot atau mencong, kesemuanya pada sisi yang mengalami
kerusakan.
d. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai
vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula,
dan saraf. Dengan demikian adanya trauma yang berat pada salah satu organ
tersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain. Pengobatan
biasanya hanya simtomatik, jarang sekali dilakukan tindakan bedah. Proses
penyembuhan bergantung pada derajat trauma dan organ yang mengalami
kerusakan.
2.7.2 Disfasia
Disfasia adalah kesulitan untuk memahami atau memproduksi bahasa
disebabkan oleh penyakit sistem saraf pusat. Penderita dengan disfasia memerlukan
perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah
komunikasi. Tidak ada obat yang spesifik untuk disfasia kecuali speech theraphy.
Kemungkinan kesembuhan disfasia sangat kecil. Meskipun ada perbaikan, hampir
semua penderita tidak dapat sembuh sempurna.
2.7.1 Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteria
karotis interna dengan sinus kavernosus, umumnya disebabkan oleh adanya trauma
pada dasar tengkorak. Adanya hubungan pendek ini menimbulkan dua akibat
penting yaitu hipertensi venosa simultan (khususnya vena-vena didalam orbita dan
isinya, menyebabkan gangguan drainase venosa) dan vascular stealing syndrome
pada area yang dipasok oleh arteria karotis interna, yang kemudian menimbulkan
hipoksia otak. Gejala dan tanda klinik Fistula karotiko-kavernosus adalah : bising
pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar oleh penderita atau pemeriksa dengan
menggunakan stetoskop, proptosis disertai hioeremia dan pembengkakan
konjungtiva, diplobia (penglihatan kembar) dan penurunan visus (daya lihat), nyeri
kepala dan nyeri pada orbita, pulsasi pada mata, dan kelumpuhan otot-otot
penggerak mata.
2.8 Kelainan dan Komplikasi Trauma Kapitis 44
2.8.1 Tekanan Intrakranial (TIK) Meninggi
Pada trauma kapitis tekanan intrakranial dapat meninggi pada perdarahan
selaput otak (hematoma epidural, hematoma subdural, dan hematoma
subaraknoidal), perdarahan di dalam jaringan otak (kontusio serebri berat, laserasio
serebri, hematoma serebri besar, dan perdarahan ventrikel), dan kelainan pada
parenkim otak (edema serebri berat). Tekanan pada vena jugularis menaikkan TIK
yang berlangsung sementara saja. Demikian pula batuk, bersin, mengejan yang
mengakibatkan tekanan di dalam sistem vena meningkat. Pada hipoksia terjadi
dilatasi arteriol yang meningkatkan volume darah di otak dengan akibat TIK
meningkat pula. Pada Trauma kapitis yang dapat meningkatkan TIK adalah
hematoma yang besar (lebih dari 50cc), edema yang berat, kongesti yang berat dan
perdarahan subarakhnoidal yang mengganggu aliran cairan otak di dalam ruangan
subarakhnoidea. Bila TIK meninggi, mula-mula absorbsi cairan otak meningkat
kemudian bagian-bagian sinus venosus di dalam dura meter tertekan. Bila massa
desak ruangan berkembang cepat dan melebihi daya kompensasi maka TIK akan
meningkat dengan tajam. Arteri-arteri pia-arahnoidea melebar. Bila autoregulasi
baik aliran darah akan dipertahankan pada taraf normal, akibatnya volume darah
otak bertambah.
Bila TIK meninggi terus dengan cepat, aliran darah akan menurun dan TIK
akan tetap rendah meskipun tekanan darah naik. Bila kenaikannya sangat lambat
seperti pada neoplasma jinak otak, kemungkinan TIK tidak meninggi banyak karena
selain penyerapan otak yang meningkat, otak akan mengempes dan mengalami
artrofi ditempat yang tertekan yang dapat menetralisir volume massa desak ruang
yang bertambah.
2.8.2 Komplikasi infeksi pada trauma kapitis
Kemungkinan terjadinya infeksi sekunder pada trauma kapitis meningkat
bila durameter robek terutama sekali bila terjadi di daerah basal yang letaknya
berdekatan dengan sinus-sinus tulang dan nasofaring. Keadaan ini jug bisa terjadi
bila ada fraktur basis kranii.
2.8.3 Lesi akibat trauma kapitis pada tingkat sel
Lesi dapat mengenai semua jenis sel di dalam jaringan otak yaitu neuron
dengan dendrit dan aksonnya, astrosit, oligodendrosit, sel ependim maupun sel-sel
yang membentuk dinding pembuluh darah. Bila badan sel neuron rusak, maka
seluruh dendrit dan aksonnya juga akan rusak. Kerusakan dapat mengenai
percabangan dendrit dan sinapsis-sinapsinya, dapat pula mengenai aksonnya saja.
Dengan kerusakan ini hubungan antar neuron pun akan terputus. Lesi sekunder juga
dapat mengakibatkan kerusakan-kerusakan demikian.
2.8.4 Epilepsi pasca Trauma Kapitis
Pada sebagian penderita trauma kapitis dapat terjadi serangan kejang.
Serangan ini dapat timbul dini pada minggu-minggu pertama sesudah trauma,
mungkin pula timbul kasip berbulan-bulan sesudahnya. Epilepsi kasip cenderung
terjadi pada pasien yang mengalami serangan kejang dini, fraktur impresi dan
hematoma akut. Epilepsi juga lebih sering terjadi pada trauma yang menembus
durameter. Lesi di daerah sekitar sulkus sentralis cenderung menimbulkan epilepsi
fokal.
2.8.5 Respirasi pada Trauma Kapitis berat
Kelainan Repirasi akut pascatrauma yaitu :
a. Perubahan pola pernapasan, yang berupa:
1. Pernapasan Cheyne-Stokes yang disertai periode pernapasan berhenti dan
bernapas lagi. Setelah beberapa lamanya pernapasan berhenti, mulai
bernapas lagi dengan amplitudo yang mula-mula kecil. kemudian
berangsur membesar lalu mengecil lagi dan berhenti.
2. Trakipnea, frekuensi pernapasan tinggi (> 25 per menit)
3. Hiperpnea, ampitudo pernapasan besar
4. Pernapasan tidak teratur
5. Apnea, Pernapasan terhenti. Pada keadaan ini bantuan pernapasan harus
cepat dilakukan untuk menolong jiwa pasien
b. Aspirasi
Pada keadaan koma, reflex batuk dapat menurun. Bila pasien muntah,
muntahan mungkin terhirup ke dalam trakea dan menimbulkan aspirasi. Isi
perut yang masuk ke dalam bronki akan menimbulkan edema, perdarahan, dan
bronkospasme. Isi perut yang masuk ke dalam bronki harus diusahakan
dihisap keluar melalui trakeostomi.
c. Trauma pada alat napas
Trauma pada toraks dapat menimbulkan fraktur iga-iga, dapat terjadi
hemotoraks dan pneumotoraks yang semuanya akan mengganggu pernapasan.
d. Edema pulmonum neurogen
Pada trauma kapitis yang berat dapat terjadi edema pulmonum.
Mekanismenya mungkin kontriksi vena pulmonum yang disebabkan aktivitas
adrenergik alfa yang berlebihan.
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Nn. R Jenis kelamin : Perempuan
Tempat / tanggal lahir : 21 Januari 1997 Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : BelumMenikah Agama : Islam
No. RM : 712116 Tanggal masuk: 21 Januari 2015
Alamat : Karangsari, Renjotan, Tulungagung
A. ANAMNESIS
Diambil dari: Aloanamnesis Tanggal:24/01/2015 Jam:21.00WIB
Keluhan Utama: tidak sadar post KLL
Keluhan tambahan: pusing, mual, muntah
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dibawa oleh polisi dalam keadaan tidak sadar pada pukul 21.36. Pasien
adalah korban kecelakaan motor vs motor, kecelakaan terjadi kurang lebih pukul 20.45, menurut
kesaksian pasien sedang diboncengi oleh kakak pasien dengan motor, mendadak ada motor
dengan kecepatan tinggi dari arah kanan belakang yang menyerempet ke arah motor yang
ditumpangi pasien dan akhirnya motor pasien kehilangan keseimbangan. Pasien terlempar dari
tempat duduk nya ke arah trotoar dan kepala pasien sempat terbentur dan helm pasien terlepas.
Setelah itu pasien tidak sadar. Tidak lama setelah kejadian datang polisi lalu lintas dan pasien
segera dilarikan ke RSUD dr. Iskak. Selama dalam perjalanan pasien tidak sadar dan sempat
pasien muntah 1 kali saat dalam perjalan, tidak ada kejang.
Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya, riwayat darah tinggi disangkal,
riwayat penyakit kejiwaan disangkal dan riwayat penyakit saraf disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang pernah mengalami keluhan yang sama seperti pasien, riwayat
darah tinggi disangkal, riwayat penyakit kejiwaan disangkal dan riwayat penyakit saraf
disangkal.
PEMERIKSAAN
A. PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Kesadran : Stupor
GCS : 2-2-5
Tekanan darah : 135/76 mmHg
Nadi : 104x/ menit
Suhu : 36,5 oC
Pernapasn : 24x/ menit
SpO2 : 99%
Kepala dan Leher
Terdapat hematom dengan diameter kurang lebih 7 cm dengan VL kurang lebih berdiameter 1x2
cm
Mata : konjungtivtis anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
JVP : 5 + 2 cmH2O
Mata
Exophthalmus : Tidak ada Pupil : Isokor Ø 3 mm
Kelopak : Tidak edema Lensa : Jernih
Konjungtiva : Anemis -/- Visus : Tidak dilakukan
Sklera : Tidak ikterik Gerakan mata : Tidak dilakukan
Lapangan penglihatan : Tidak dilakukan Tekanan bola mata : Normal
Deviatio konjungae : Tidak ada Nystagmus : Tidak ada
Telinga
Tuli : -/- Selaput pendengaran : Utuh
Lubang: : +/+ Penyumbatan : -/-
Serumen : -/- Perdarahan : -/-
Cairan : -/-
Mulut
Bibir : Tidak sianosis Tonsil : T1-T1 tenang
Langit-langit : Normal Bau pernapasan : Tidak ada
Gigi geligi : fraktur I1 kiri atas Trismus : Tidak ada
Faring : Normal Selaput lendir : Normal
Lidah : Tidak kotor,
tidak kering
Perdarahan gusi: +
Leher
Tekanan vena Jugularis (JVP): 5+1 cm H2O
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba pembesaran
Kelenjar Limfe : Tidak teraba pembesaran
Dada
Bentuk : Simetris, tidak ada jejas
Pembuluh darah : Tidak tampak
Buah dada : Simetris, tidak membesar
Paru-paru
Depan Belakang
Inspeksi Kiri : simetris dalam kondisi statis dan dinamis
Kanan : simetris dalam kondisi statis dan dinamis
Palpasi Kiri : taktil fremitus simetris taktil fremitus simetris
Kanan : taktil fremitus simetris taktil fremitus simetris
Perkusi Kiri : sonor sonor
Kanan : sonor sonor
Auskultasi Kiri : vesikuler, ronchi (+), vesikuler, ronchi (+),
wheezing (-) wheezing (-)
Kanan : vesikuler, ronchi (+), vesikuler, ronchi (+),
wheezing (-) wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsus iktus kordis
Palpasi : Iktus kordis di sela iga VI, 2cm lateral linea midclavicula kiri
Perkusi : Batas kanan jantung : Sela iga VI, linea sternalis kanan
Batas kiri jantung : Sela iga V, 1 jari lateral linea midclavikula kiri
Batas atas jantung : Sela iga II, linea parasternalis kiri
Pinggang jantung (+)
Auskultasi : BJ I-II murni, regular, murmur (-), Gallop(-)
Pembuluh darah
Arteri Temporalis : Teraba pulsasi
Arteri Karotis : Teraba pulsasi
Arteri Brakhialis : Teraba pulsasi
Arteri Radialis : Teraba pulsasi
Arteri Femoralis : Teraba pulsasi
Arteri Poplitea : Teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior : Teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis : Teraba pulsasi
Perut
Inspeksi : Sedikit buncit
Palpasi Dinding perut : Supel, nyeri tekan epigastrium (+)
Hati : Tidak teraba membesar
Limpa : Tidak teraba membesar
Ginjal : Balotemen -/-
Lain-lain : -
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Refleks dinding perut : +
Anggota gerak
Lengan
Kanan Kiri
Otot; Tonus : Normotonus Normotonus
Massa : Eutrofi Eutrofi
Sendi : Tidak bengkak Tidak bengkak
Gerakan : Aktif Aktif
Kekuatan : +5 +5
Edema : + (region antebrachii) + (region antebrachii)
Lain- lain : akral hangat akral hangat
Tungkai dan kaki
Kanan Kiri
Luka : Tidak ada Tidak ada
Varises : Tidak ada Tidak ada
Otot; Tonus : Normotonus Normotonus
Massa : Eutrofi Eutrofi
Sendi : Tidak bengkak Tidak bengkak
Gerakan : Aktif Aktif
Kekuatan : +4 +4
Edema : + +
Lain- lain : akral dingin akral dingin
Refleks
Kanan Kiri
Refleks tendon √ √
Bisep √ √
Trisep √ √
Patella √ √
Archiles √ √
Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks kulit √ √
Refleks patologis Tidak ada Tidak ada
LABORATORIUM RUTIN
Darah
Hb : 13,2 g/dl
Leukosit : 17.010 /µL (H)
Hematokrit : 41,5 %
Trombosit : 446.000 /µL
GDS : 135 mg/dL
Fungsi ginjal
Ureum : 9,9 (6-20)
Creatinin : 0.74 (0,51-1,2)
Elektrolit
Na : 140 (135-145)
K : 3,06 (3,5-5,5) (L)
Cl : 100,4 (96-106)
Ca : 9,5 (8,6-10,2)
Enzim Hati
SGOT : 25,5 (0-32)
SGPT : 10,3 (0-33)
Faal Hemostasis
PT : 11,4
PT% : 100
INR : 1,06
APTT :21,8
USG
USG FAST : tidak tampak cairan bebas di Morrison pouch dan splenorenal
tidak tampak efusi pericardium
LUNG USG : tampak A-Line pada kedua lapang paru
CT Scan Kepala
Kesan : SDH tipis temporal dextra, ICH 3cc, edema serebri
Foto Rontgen Cervical AP Lateral
Kesan: tidak ditemukan adanya fraktur ataupun kompresi dari vertebrae segmen cervical.
Foto Thorax AP
Kesan: cor dan pulmo tidak tampak kelainan, tidak tampak tanda fraktuur
Diagnosis Kerja- CKS 2-2-5 dengan SDH tipis+ICH+edema serebri
Rencana pengelolaan
Non medikamentosa
21.45
- O2 NRBM 10 Lpm
- Pasang Collar NeckIVFD RL loading 1000cc observasi
- Pasang Folley Catheter
- Konsul Bedah
01.00
- Asering:Aminofluid (2:1)/24 jam
- Head Fleksi 30o
- O2 10 Lpm
Medikamentosa
21.45
- Ranitidin 50mg iv
- Ondansentron 4mg iv
- Totolac 100cc iv
- Cefoperazone 1gr iv
- Tetagam 1amp iv
- Ketorolac 30mg iv
01.00
- Ceftriaxone 2x1gr iv
- Santagesic 3x1gr iv
- Ranitidin 2x50mg iv
- Piracetam 3x3gr iv
- Citicholine 3x250mg iv
- As. Tranexamat 3x500mg iv
- Fenitoin (loading 700mg) maintenance (300mg)
Prognosis
Ad vitam : dubia
Ad fungtionam: dubia
Ad sanationam: dubia
FOLLOW UP
Tanggal /
jam
S O A (Subyektif, Obyektif, Assesment) Planning
2
2/01/2015
07.00
S : Pasien masih pusing, gelisah, muntah 1
kali
O : Keadaan umum: tampak sakit berat
Kesadaran: GCS 3-4-5
Tekanan darah: 144/75
Nadi: 80x/menit
Suhu: 37°C
RR: 27x/menit
Kepala: pupil isokor Ø 3 mm
Paru: suara napas vesikuler, ronki (-),
wheezing (-)
Jantung: bunyi jantung I-II regular,
murni, gallop (-), murmur (-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: oedem (-), akral hangat
A : CKS 3-4-5
- Pasang NGT
- Head up 30o + O2 NRBM 8-10 Lpm
- IVFD Asering:Aminofluid = 2:1
- Inj. Ceftriaxone 2x1gr (iv)
- Inj. Santagesic 3x1gr (iv)
- Inj. Ranitidin 2x50mg (iv)
- Inj. Piracetam 3x3gr (iv)
- Inj. Citicholine 3x250mg (iv)
- Inj. Kalnex 3x500mg (iv)
- Inj. Kutoin 3x100mg (iv)
- Konsul bedah saraf
22/01/201
4
(18.45)
Bedah
Saraf
S : -
A : Subdural Hematom d/s + ICH dex +
Edema serebri (GCS 3-4-5)
-Inj Manitol 6x70 cc
-Lain-lain teruskan
23/01/201 S : pasien gelisah, tidak dapat memasang - Head up 30o + O2 NRBM
5 NGT dan OGT karena pasien berontak
O : Keadaan umum: tampak sakit berat
Kesadaran: GCS 3-4-5
Tekanan darah: 120/80
Nadi: 88x/menit
Suhu: 36,7°C
RR: 18x/menit
Kepala: pupil isokor Ø 3 mm
Paru: suara napas vesikuler, ronki (-),
wheezing (-)
Jantung: bunyi jantung I-II regular,
murni, gallop (-), murmur (-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: oedem (-), akral hangat
A : CKS 3-4-5
8-10 Lpm
- IVFD Asering:Aminofluid = 2:1
- Inj. Ceftriaxone 2x1gr (iv)
- Inj. Santagesic 3x1gr (iv)
- Inj. Ranitidin 2x50mg (iv)
- Inj. Piracetam 3x3gr (iv)
- Inj. Citicholine 3x250mg (iv)
- Inj. Kalnex 3x500mg (iv)
- Inj. Kutoin 3x100mg (iv)
- Besok Kalnex stop
24/01/201
5
S : Pasien masih gelisah
O : Keadaan umum: tampak sakit berat
Kesadaran: GCS 3-4-5
Tekanan darah: 140/85
Nadi: 70x/menit
Suhu: 37°C
RR: 18x/menit
- Head up 30o + O2 NRBM 8-10 Lpm
- IVFD Asering:Aminofluid = 2:1
- Diet cair 6x200cc
- Inj. Ceftriaxone 2x1gr (iv)
- Inj. Santagesic 3x1gr (iv)
- Inj. Ranitidin 2x50mg (iv)
Kepala: pupil isokor Ø 3 mm
Paru: suara napas vesikuler, ronki (-),
wheezing (-)
Jantung: bunyi jantung I-II regular,
murni, gallop (-), murmur (-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: oedem (-), akral hangat
A : CKS 3-4-5
- Inj. Piracetam 3x3gr (iv)
- Inj. Citicholine 3x250mg (iv)
- Inj. Kutoin 3x100mg (iv)
- Kalnex stop
25/01/201
5
S : Pasien masi gelisah
O : Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran: GCS 3-4-5
Tekanan darah: 130/70
Nadi: 68x/menit
Suhu: 36,7°C
RR: 18x/menit
Kepala: pupil isokor Ø 3 mm
Paru: suara napas vesikuler, ronki (-),
wheezing (-)
Jantung: bunyi jantung I-II regular,
murni, gallop (-), murmur (-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: oedem (-), akral hangat
A : CKS 3-4-5
- Head up 30o + O2 NRBM 8-10 Lpm
- IVFD Asering:KaEN Mg3:Aminofluid = 2:1:1
- Diet per NGT 8x200cc
- Manitol tapering 4x70cc
- Inj. Ceftriaxone 2x1gr (iv)
- Inj. Santagesic 3x1gr (iv)
- Inj. Ranitidin 2x50mg (iv)
- Inj. Piracetam 3x3gr (iv)
- Inj. Citicholine 3x250mg (iv)
- Inj. Kutoin 3x100mg (iv)
- Kalnex stop
26/01/201
5
S : Pasien masih pusing, terkadang gelisah
O : Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran: GCS 3-5-6
Tekanan darah: 120/70
Nadi: 78x/menit
Suhu: 36°C
RR: 18x/menit
Kepala: pupil isokor Ø 3 mm
Paru: suara napas vesikuler, ronki (-),
wheezing (-)
Jantung: bunyi jantung I-II regular,
murni, gallop (-), murmur (-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: oedem (-), akral hangat
A : CKR 3-5-6
- IVFD Asering:KaEN Mg3:Aminofluid = 2:1:1
- Diet Bebas
- Manitol tapering 3x70cc
- Inj. Ceftriaxone 2x1gr (iv)
- Inj. Santagesic 3x1gr (iv)
- Inj. Ranitidin 2x50mg (iv)
- Inj. Piracetam 3x3gr (iv)
- Inj. Citicholine 3x250mg (iv)
- Inj. Kutoin 3x100mg (iv)
- Pindah ke ruang perawatan biasa
27/01/201
5
S : Pasien masih sedikit pusing
O : Keadaan umum: tampak sakit sedang
Kesadaran: GCS 3-5-6
Tekanan darah: 120/70
Nadi: 78x/menit
Suhu: 36°C
RR: 18x/menit
IVFD Asering:Aminofluid = 2:1
- Inj. Santagesic 3x1gr (iv)
- Inj. Ranitidin 2x50mg (iv)
- Inj. Piracetam 3x3gr (iv)
- Inj. Kutoin 3x100mg (iv)
- Analsik 3x5mg
Kepala: pupil isokor Ø 3 mm
Paru: suara napas vesikuler, ronki (-),
wheezing (-)
Jantung: bunyi jantung I-II regular,
murni, gallop (-), murmur (-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: oedem (-), akral hangat
A : CKR 3-5-6
28/01/201
5
S : -
O : Keadaan umum: tampak sakit ringan
Kesadaran: GCS 4-5-6
Tekanan darah: 110/70
Nadi: 80x/menit
Suhu: 36°C
RR: 18x/menit
Kepala: pupil isokor Ø 3 mm
Paru: suara napas vesikuler, ronki (-),
wheezing (-)
Jantung: bunyi jantung I-II regular,
murni, gallop (-), murmur (-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: oedem (-), akral hangat
- Inj. Santagesic 3x1gr (iv)
- Inj. Ranitidin 2x50mg (iv)
- Inj. Piracetam 3x3gr (iv)
- Inj. Kutoin 3x100mg (iv)
- Analsik 3x5mg
- Diet bebas
A : CKR 4-5-6
29/01/201
5
S : -
O : Keadaan umum: tampak sakit ringan
Kesadaran: GCS 4-5-6
Tekanan darah: 110/70
Nadi: 84x/menit
Suhu: 37°C
RR: 18x/menit
Kepala: pupil isokor Ø 3 mm
Paru: suara napas vesikuler, ronki (-),
wheezing (-)
Jantung: bunyi jantung I-II regular,
murni, gallop (-), murmur (-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: oedem (-), akral hangat
A : CKR 4-5-6
- Inj. Piracetam 3x3gr (iv)
- Analsik tab 3x5mg- Ranitidin tab 2x150mg- Kutoin caps 2x100mg- Aff Kateter- Boleh pulang
BAB IV
PEMBAHASAN
Pengelolaan pasien dengan cedera kepala harus dilakukan secara simultan dan segera.
Anamnesa singkat namun tepat sasaran sangat penting untuk mengetahui adanya tanda-tanda
herniasi otak. Salah satunya seperti adanya penurunan kesadaran, amnesia retrograde, pusing,
mual dan muntah. Selain itu penilaian terhadap kesadaran juga menentukan penanganan kita
selanjutnya. Pemeriksaan TTV dan primary survey juga harus segera dilakukan dan pemantauan
terhadap saturasi oksigen. Segera juga harus dilakukan penanganan kegwatdaruratan pada pasien
dengan cedera kepala sedang sampai berat.
Pada pasien ini diketahui terdapat penurunan kesadaran, mual, muntah, didapatkan juga
GCS awal 2 2 5 Tekanan darah 135/76, SpO2 99%, Nadi 104 kali/menit, Frekuensi Napas 24
kali/menit. Pada pasien ini juga didapatkan adanya gusi berdarah dan fraktur pada gigi I1 kiri
atas dalam hal ini bisa membuat adanya gangguan pada jalan napas pasien. Pada pasien ini
masuk dalam kriteria cedera kepala sedang dan diperlukan penangan segera serta pemeriksaan
lanjutan seperti CT Scan Kepala.
Penanganan Kasus Cedera Kepala Sedang dan Berat
1. lanjutkan penanganan ABC
2. pantau tanda vital (suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah), pupil GCS, gerakan ekstremitas,
sampai pasien sadar
3. pantauan dilakukan tiap 4 jam
4. lama pemantauan hingga GCS 15.
5. Perhatian khusus ditujukan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Data Traumatic Coma
Data Bank (TCDB) menunjukkan bahwa hipotensi pada pasien dengan trauma kranoserebral
berat akan meningkatkan angka kematian dari 27% 50% (Wilkins, 1996). Tatalaksanan
tradisional yang meliputi pembatasan cairan dalam mengurangi terjadinya edema otak,
kemungkinan akan membahayakan pasien, terutama pada pasien yang telah mengalami
banyak kehilangan cairan.1
Hindari terjadi kondisi sebagai berikut:
Tekanan darah sistolik < 90 mm Hg
Suhu > 38 derajat Celcius
Frekuensi nafas > 20 x / menit
6. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial
Posisi kepala ditinggikan 30°
Bila perlu dapat diberikan Manitol 20% .Dosis awal 1 gr/kg BB, berikan dalam
waktu 1/2 - 1 jam, drip cepat. Lanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 gr/kg BB
drip cepat, 1/2 - 1 jam.
Berikan analgetika, dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek
Atasi komplikasi seperti kejang dengan pemberian profilaksis OAE selama 7 hari
untuk mencegah immediate dan early seizure
• Pada kasus risiko tinggi infeksi akibat fraktur basis kranii / fraktur terbuka
berikan profilaksis antibiotika, sesuai dosis infeksi intrakranial selama 10-14
hari.
• Gastrointestinal – perdarahan lambung
• Demam
• DIC: pasien dengan trauma kapitis tertutup cenderung mengalami
koagulopati akut.
• Pemberian cairan dan nutrisi adekuat
• Roboransia, neuroprotektan (citicoline), nootropik sesuai indikasi.
Pada pasien ini penangan awal yang diberikan sebelum dipindahkan ke ruang perawatan
intensif berupa penanganan ABC dan pembertian obat-obatan sesuai teori yitu:
- O2 NRBM 10 Lpm- Pasang Collar NeckIVFD RL loading 1000cc observasi- Pasang Folley Catheter
Obat-obatan yang diberikan yaitu:- Ceftriaxone 2x1gr iv- Santagesic 3x1gr iv- Ranitidin 2x50mg iv- Piracetam 3x3gr iv- Citicholine 3x250mg iv- As. Tranexamat 3x500mg iv- Fenitoin (loading 700mg) maintenance (300mg)
DAFTAR PUSTAKA
1. PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3 November 2007.
Pekanbaru.
2. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Http://www.biausa.org [diakses 27
Januari 2015]
3. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam : Advanced Trauma
Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI, 2004.
4. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam : Neurosurgery 2nd
edition. New York: McGraw Hill, 1996.
5. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Himpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Yogyakarta.2008.
hlm. 261-262.
6. Rowland, et all. Merritt's Neurology, 11th Edition. Nelson. Columbia University College of
Physicians and Surgeons, Neurological Institute, New York Presbyterian Hospital, Columbia
University Medical Center, New York. New York 2005, Pg.485-500.
7. Whitfield Peter C, et al. Head Injury; A Multy Diciplinary Approach. Cambridge University Press.
Cambridge.2009
8. Dewanto G, dkk. Diagnosisi dan Tatalaksana Penyakit Saraf. IKAPI. Jakarta. 2006. Hlm.12 – 19.
9. Soertidewi Lyna,dkk. Konsensus Nasional; Penanganan Trauma Kapitits dan Trauama Spinal.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta 2006, hlm:1 – 18.