Penyusun:
Oleh Dokter Muda Nurul Mahirah Binti Meor Halil
030.04.267
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta 2011
0
STATUS NEUROLOGIS
1. IDENTITAS PASIEN
• Nama : Tn X
• Jenis kelamin : Laki-laki
• Tanggal lahir : 10 Mei 1953
• Tempat Lahir : Jakarta
• Umur : 48 tahun
• BB : 61 kg
• Tinggi badan : 160 cm
• Pekerjaan : Pedagang
• Pendidikan : Tamat SMA
• Status : Menikah
• Agama : Islam
• Alamat : X
• Bangsa : Jawa
• Warganegara : Warganegara Indonesia
• Tanggal masuk RS : 17 Februari 2011
2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 17 Februari 2011 di X.
a. Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran selama 15 menit, 1 jam SMRS.
b. Keluhan Tambahan :
Luka lecet di pelipis kanan dan lutut kanan.
Mata kanan bengkak, biru, sulit dibuka.
Bahu kanan nyeri.
1
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke instalasi gawat darurat X dibawa oleh temannya dengan keluhan
riwayat penurunan kesadaran selama 15 menit, terjadi 1 jam SMRS. Pasien pasca
kecelakaan lalu lintas antar motor dengan motor. Kejadian berlangsung jam 9
malam di kawasan yang gelap, tidak ada lampu jalan, tidak hujan dan jalan aspal,
tidak basah, tidak ada pasir maupun tumpahan minyak di sekitar tempat kejadian.
Awal kejadian pasien mengendarai motor sendirian tanpa memakai helm, jaket
maupun sepatu. Pasien berangkat dari masjid, sedang dalam perjalanan menuju ke
rumahnya. Pasien ditabrak dari samping kiri saat membelok ke kanan dari jalan
besar menuju masuk ke gang kecil rumahnya. Pasien tidak ingat mekanisme jatuh,
tetapi pasien ingat kejadian sebelum dan sesudah kecelakaan tersebut. Memori
terakhir pasien sebelum kecelakaan adalah melihat adanya motor dari arah
berlawanan sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Pasien sedang dalam keadaan
buru-buru mahu pulang untuk menonton acara bola di TV. Menurut saksi mata
yang bercerita kepada isteri pasien, pasien mengendarai motor tidak kencang,
sekitar 30 km/jam dan sedang berbelok ke kanan. Motor pasien jatuh ke sisi
kanan. Pasien mengikut arah jatuh dengan posisi kepala kanan membentur trotoar
terlebih dahulu, lalu membentur aspal dengan posisi miring ke kanan di atas jalan.
Motor tidak menimpa pasien. Pasien langsung tidak sadarkan diri. Isteri pasien
langsung panggil ke tempat kejadian, lalu pasien dibawa ke rumah sakit oleh taksi
yang lewat dibantu orang di sekitar kejadian. Setelah 15 menit kejadian, pasien
mulai sadar namun tampak kebingungan dan menanyakan apa yang terjadi kepada
isterinya. Bicara tidak nyambung atau kacau disangkal. Akibat dari benturan
kepala dan wajah tersebut, pelipis kanan pasien mengalami luka lecet, mata kanan
bengkak, sulit dibuka dan kulit disekitar biru kemerahan. Di kepala daerah
belakang sebelah kanan ada luka yang mengeluarkan darah. Pasien tidak tahu
ukuran luka karena ditekan terus dengan handuk kecil saat diperjalanan. Darah
memenuhi setengah dari handuk tersebut. Luka lecet juga didapatkan pada lutut
kanan. Saat di Instalasi gawat darurat, pasien merasa pusing di seluruh kepala,
pusing yang dirasakan seperti berputar, berkurang dengan menutup mata. Luka
pasien dijahit, namun pasien tidak tahu dijahit berapa. Pasien juga mengalami
mual dan muntah tidak menyemprot sebanyak 2 kali saat di mobil. Jumlah muntah
kira-kira setengah gelas aqua masing-masing. Muntah berisi makanan dan lendir,
bercampur bercak-bercak darah merah terang, berbau asam. Selain itu pasien juga
2
mengaku dari hidung kanan keluar darah namun berhenti sendiri saat di rumah
sakit. Tidak ada cairan keluar dari telinga pasien. Pasien juga mengeluh
merasakan nyeri pada bahu sebelah kanan, namun tidak ada kesan memar atau
luka. Semua anggota badan masih dapat digerakkan walaupun terasa pegal.
Kelemahan anggota disangkal. Di rumah sakit tersebut pasien mendapat
pertolongan pertama, dibersihkan lukanya dan dilakukan rontgen dada,
pemeriksaan darah serta pemeriksaan CT Scan kepala. Saat dipindahkan ke
bangsal, pasien sudah merasa tidak pusing maupun mual. Hanya perih di bagian
luka lecet. Saat kecelakaan, pasien tidak sakit atau panas. Pasien dan isteri
menyangkal adanya riwayat kejang sebelumnya, menderita ayan, sering bengong
atau mengelamun, menggunakan narkoba, minum alkohol, maupun
mengkonsumsi obat-obatan seperti obat batuk, obat penenang, obat tidur dan obat
flu. Pasien mengakui tidak mengantuk saat mengendarai motor, tidak melakukan
aktivitas berat yang membuatnya kelelahan atau adanya riwayat bergadang sehari
sebelumnya. Gangguan pendengaran disangkal, penglihatan dobel disangkal,
bicara pelo tidak ada.
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami kejadian hilang kesadaran. Ini merupakan pertama
kali pasien berobat ke rumah sakit dan dirawat. Pasien mengaku sebelumnya
sering mengalami kecelakaan kecil dan hanya mengalami lecet tanpa keluhan lain.
Riwayat alergi obat (-), Riwayat hipertensi (-), Riwayat gangguan jiwa/stress (-)
Riwayat diabetes melitus (-), Riwayat asma (-), Riwayat maag (-), Riwayat sakit
jantung (-), Riwayat stroke (-), Riwayat sakit ginjal atau hati (-).
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat hipertensi (-), Riwayat diabetes mellitus (-), Riwayat stroke (-), Riwayat
trauma (-), Riwayat epilepsi (-), Riwayat gangguan jiwa (-)
f. Riwayat Pola Hidup dan Kebiasaan
Penggunaan tembakau (-)
Minum alkohol (-)
Penggunaan narkoba (-)
3
3. PEMERIKSAAN FISIK (pada tanggal 14 Februari 2011)
a. Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis GCS= E4M6V5=15
Kooperasi : Kooperatif
Sikap : Berbaring aktif
Keadaan gizi : Cukup BMI: 23,2 Normal
Postur : Athletikus
Berat Badan : 61 kg
Tinggi badan : 160 cm
BMI : 24.5 Normal
Tekanan Darah : 125/80 mmHg
Nadi : 78 x / menit, isi cukup, irama reguler, equal
Suhu Badan : 36,60 C
Pernafasan : 18 x / menit, irama reguler tipe abdominotorakal
Penggunaan otot nafas tambahan (-)
b. Keadaan lokal
Trauma Stigmata : Vulnus laceratum regio parietal dextra.
Eksoriasi pada palpebra kanan, patella kanan .
Oedem dan hematom palpebra kanan
Bahu kanan nyeri statis dan dinamis namun dapat
digerakkan
Kulit : Warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-) Eksoriasi
pada palpebra kanan, patella kanan
Kepala : Normosefali, rambut hitam beruban, distribusi merata,
tidak mudah dicabut, tidak ada alopesia, benjolan (-),
Vulnus laceratum post hecting diperban pada regio
parietal dextra, nyeri tekan (-).
Pulsasi Aa. Carotis : Teraba cukup, irama reguler, kanan dan kiri equal
Kelenjar getah bening : Tidak teraba membesar
Columna vertebralis : Lurus di tengah
Mata : Hematoma kacamata (Brill hematom) -/-, hematom
palpebra +/-, oedem palpebra +/-, konjungtiva anemis
4
-/-, sklera ikterik -/-, ptosis -/-, lagoftalmus -/-, pupil
bulat isokor, refleks cahaya langsung +/+, refleks
cahaya tidak langsung +/+ .
Telinga : Normotia +/+, hematoma retroaurikuler (Battle’s sign)
-/-, perdarahan -/-, otorea-/-
Hidung : Deviasi septum -/-, perdarahan -/-, rhinorea -/-
Mulut : Lidah kotor (-), perdarahan(-)
Tenggorok : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1.
Gigi : Caries (-), missing (-)
Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, kelenjar getah
bening tidak teraba membesar, tiroid di tengah, JVP 5-2
cm H2O
Pemeriksaan jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V, 1 cm medial dari linea midklavikularis
sinistra
Perkusi :
Batas jantung atas : ICS III garis sternalis kiri
Batas jantung kanan : ICS IV, 1 cm lateral linea sternalis kanan
Batas jantung kiri : ICS VI, 1 cm medial linea midclavikularis kiri
Auskultasi : BJ 1 BJ 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pemeriksan paru
Inspeksi : Gerakan nafas simetris statis dan dinamis
Palpasi : Vocal fremitus simetris, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi : BU (+) normal
5
Pemeriksaan Ekstremitas :
Ekstemitasatas : akral hangat + / +, edema - / -, bahu kanan sakit dan tidak
dapat digerakkan, krepitasi -/-, deformitas -/-, CRT < 2 detik
Ekstemitasbawah : Ekskoriasi di patella kanan, akral hangat + / +, edema - / -,
krepitasi -/-, deformitas -/-, clubbing finger (-), CRT < 2 detik
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
a. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : -
Brudzinski I : -
Brudzinski II : -
Kanan Kiri
Laseque : >70˚ >70˚
Laseque menyilang : - -
Kernig : >135˚ >135˚
Peningkatan tekanan intrakranial
o Penurunan kesadaran (-)
o Papil oedem -tidak dilakukan pemeriksaan
o Pupil anisokor (-)
o Trias cushing (-)
b. N. Kranialis
N.I : Normosmia +/+
N.II :
Acies visus : dengan menghitung jari > 3/60 kanan dan kiri 3/6
(keterbatasan ruangan)
Campus visus : normal
Tes buta warna : normal
Funduskopi : tidak dilakukan
6
N.III ; N.IV ; N.VI
Kedudukan bola mata : ortoforia - ortoforia
Pergerakan bola mata :
Nasal : normal
Temporal : normal
Atas : normal
Bawah : normal
Temporal bawah : normal
Eksoftalmus : -/-
Nistagmus : -/-
Ptosis : -/-
Pupil
o Bentuk : Bulat / bulat
o Diameter : 3 mm / 3 mm
o Refleks cahaya langsung : +/+
o Refleks cahaya tidak langsung : +/+
o Reaksi akomodasi : normal
o Reaksi konvergensi : normal
N.V
Cabang motorik
o Membuka mulut : Baik
o Menggerakkan rahang : Baik
o Jaw refleks : Baik
Cabang sensorik oftalmikus : Baik/ Baik
Cabang sensorik maksilaris : Baik/ Baik
Cabang sensorik mandibularis : Baik/ Baik
N.VII
Motorik orbitofrontal : Kesan parese (-)
Motorik orbikularis okuli : Kesan parese (-)
Motorik orbikularis oris : Kesan parese (-)
Chovstek : Negatif
7
Pengecapan lidah
o Manis : Baik
o Asin : Baik
o Asam : Baik
o Pahit : Baik
N.VIII
Vestibular
Vertigo : Negatif
Nistagmus : -/-
Cochlear
Test Rinne : +/+ (tuli sensorineural -)
Webber : Tidak ada lateralisasi (tuli konduktif -)
Schwabach : Sama dengan pemeriksa
N.IX ; N.X
Motorik : Baik/baik
Sensorik : Baik/baik
N.XI
Mengangkat bahu : Baik/baik
Menoleh : Baik/baik
N.XII
Pergerakan lidah : Lidah di tengah
Atrofi : -
Fasikulasi : -
Tremor : -
c. Sistem motorik tubuh
Kekuatan otot : 5555 | 5555
5555 | 5555
d. Gerakan involunter
Tremor : -/-
8
Chorea : -/-
Atetose : -/-
Miokloni : -/-
Tics : -/-
Trofik : Eutrofik/Eutrofik
Tonus : Normotonus /Normotonus
Sensorik : Baik
Fungsi otonom
Miksi : Inkontinensia (-)
Defekasi : Inkontinensia (-)
Sekresi keringat : Baik
d. Fungsi cerebellar dan Koordinasi
Ataxia : -
Tes Romberg : Baik
Disdiadokokinesia : -
Jari - jari : Baik
Jari - hidung : Baik
Tumit - lutut : Baik
Rebound Phenomenon : Baik
Hipotoni : -/-
e. Fungsi Luhur
Astereognosia : -
Apraksia : -
Afasia : -
Disgrafia : -
f. Fungsi Otonom
9
Miksi : baik
Defekasi : baik
Sekresi keringat : baik
g. Refleks fisiologis
Kornea : +/+
Biseps : +2/+2
Triseps : +2/+2
Radius : +2/+2
Dinding perut : +/+
Kremaster : tidak dilakukan
Patella : +2/+2
Tumit : +2/+2
Fissura ani : tidak dilakukan
h. Refleks patologis
Hofman Trommer : -/-
Babinski : -/-
Oppenheim : -/-
Gordon : -/-
Schaefer : -/-
Chaddock : -/-
Gonda : -/-
Klonus tumit : -/-
Klonus lutut : -/-
i. Keadaan Psikis
Intelegensia : Baik
Tanda regresi : -
Demensia : -
4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 13 Februari 2011
10
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Hemoglobin 16,7 ↑ 11,7 – 15,5 g/dl
Hematokrit 51 ↑ 33 – 45%
Leukosit 14,5 ↑ 5,0 – 10,0 rb/ul
Trombosit 356 150 – 440 rb/ul
Eritrosit 5,39 3,80 – 5,20 jt/ul
VER/HER/KHER/RDW
VER 90 80,0-100,0 fl
HER 30,9 26,0-34,0 pg
KHER 32,6 32,0-36,0 g/dl
RDW 14,1 11,5-14,5 %
5. PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
Tanggal : 13 Februari 2011
Rontgen Thorax Posterior-Anterior
Thoraks simetris kanan dan kiri
Dinding thoraks tidak ada massa
Tulang klavikula, costae, stenum tampak tidak ada diskontinuitas
Sela iga dalam batas normal dan simetris
Jantung -CTR <50%
-elongasi aorta tidak ada
Paru -tidak ada infiltrat, kalsifikasi, maupun massa.
-corakan bronkovaskular tidak meningkat
Diafragma bentuk kubah kanan dan kiri
Sinus costo phrenicus lancip kanan dan kiri
Kesan: Tidak ada fraktur tulang.
Jantung dalam dan paru dalam batas normal.
Tanggal : 13 Februari 2011
CT Scan Dengan Kontras
11
Sulcy dan gyri baik
Tak tampak hematome epidural, subdural
Tampak subarachnoid hemorrhagik falx cerebri posterior
12
Tak tampak midline shift
Sistem ventrivle dan cisterna normal
Pons dan cerebellum normal
Sinus paranasalis normal
Tulang-tulang normal
Kesan: Tak tampak hematom epidural
Tampak subarachnoid hemorhaggik pada falx cerebri posterior
6. RESUME
Pasien Tn X keluhan utama riwayat penurunan kesadaran selama 15 menit, 1
jam SMRS pasca kecelakaan lalu-lintas jam 9 malam. Pasien mengendarai motor
sendirian tanpa proteksi ditabrak motor saat membelok kanan dari jalan besar dengan
kelajuan 30 km/jam. Pasien tidak ingat mekanisme jatuh, tetapi pasien ingat kejadian
sebelum dan sesudah kejadian. Pasien jatuh ke sisi kanan, kepala kanan membentur
trotoar terlebih dahulu, lalu membentur aspal dengan posisi miring ke kanan di atas
jalan langsung tidak sadarkan diri, lalu dibawa ke rumah sakit. Setelah 15 menit,
pasien mulai sadar dan kebingungan. Bicara tidak nyambung atau kacau disangkal.
Ekskoriasi di pelpebra kanan dan patella kanan, mata kanan oedem, sulit dibuka dan
hematom ,occipital kanan terdapat vulnus laceratum. Saat di Instalasi gawat darurat,
pasien vertigo. Mual dan muntah tidak menyemprot sebanyak 2 kali saat di mobil,
jumlah setengah gelas aqua masing-masing berisi makanan, lendir, bercampur darah
segar, berbau asam. Hidung kanan epistaxis berhenti sendiri, otorea tidak ada. Nyeri
pada bahu kanan. Semua anggota badan masih dapat digerakkan walaupun terasa
pegal. Parese dan plegi disangkal. Riwayat konvulsi, epilepsi, dm, hipertensi (-),
penggunaan narkoba, alkohol, obat-obatan seperti obat batuk, obat penenang, obat
tidur dan obat flu (-). Gangguan pendengaran disangkal, penglihatan dobel disangkal,
bicara pelo tidak ada, tidak mengantuk dan kelelahan saat mengendarai. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis GCS= E4M6V5=15
Tekanan Darah : 125/80 mmHg
Nadi : 78 x / menit, isi cukup, irama reguler, equal
Suhu Badan : 36,60 C
13
Pernafasan : 18 x /menit
Trauma Stigmata : Vulnus laceratum regio parietal dextra.
Eksoriasi palpebra dextra dan patella dextra
Oedem dan hematome palpebra dextra
Artralgia acromial dextra statis dan dinamis
Pada hasil lab didapatkan leukositosis reaktif dan kadar eritrosit yang meningkat. Ct
scan dengan hasil perdarahan subarachnoid pada falx cerebri posterior.
7. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis klinis : Vulnus laceratum regio parietal dextra.
Eksoriasi palpebra dextra dan patella dextra.
Oedem dan hematome palpebra dextra.
Artralgia acromial dextra statis dan dinamis.
Leukositosis reaktif
Diagnosis patologis : Contusio cerebri
Subarachnoid hemorrhagic
Diagnosa etiologi : Cedera kepala sedang
8. PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa
ABC
Posisi tidur, bagian kepala ditinggikan sekitar 300
Perawatan luka
Diet biasa: kalori 1800 K/hari
Medikamentosa
IVFD NaCl 0,9% 12 tetes/menit
Ketoprofen oral 2 x 1
Phosphatidyl Serine 2 x 500 mg
Cefadroxil 3 x 500 mg
Nimodipine 4 x 30 mg
14
Ranitidin 3 x 1 amp IV
Pantoprazole Na 1 x 1
9. RENCANA PEMERIKSAAN
Lumbal Pungsi
10. PROGNOSA
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
CEDERA KEPALA
Definisi
15
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma
kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya
(Standar Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito). Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas .(Mansjoer Arif ,dkk ,2000)
Pendahuluan
Cedera kepala adalah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi secara
langsung maupun tidak langsung. Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu
melindungi otak. Tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai
jenis cedera. Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak.
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan. Cedera
percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa Perancis untuk hit-
counterhit). Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan
saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan
pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan
penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan
massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan
tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam
tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa
terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini
disebut herniasi.
Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang di
dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa berakibat
fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan). Cedera
kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak yang hebat. Usia
lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk mencegah pembekuan darah),
sangat peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling otak (hematoma subdural).
Anatomi
16
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya.
Tampak perlindungan tersebut, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Dan begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Tepat diatas
tengkorak terletak galea aponeurotika yaitu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakan dengan
bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Diantara kulit dan galea
terdapat lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang mengandung pembulu-pembuluh
darah besar yang bila robek, sukar mengadakan vasokontriksi sehingga dapat menyebabkan
kehilangan darah bermakna. Tepat dibawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang
mengandung vena emisaria dan diploika, pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit
sampai ke dalam tengkorak.
Gambar 1: Tabula dan pembuluh darah di kepala.
Dikutip dari : Neural System Development - Cerebrospinal Fluidaccessed : http://embryology.med.unsw.edu.au/Notes/neuron6a.htm
Tulang tengkorak terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang
berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding bagian dalam disebut tabula
interna yang mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea anterior, media, dan
posterior. Apabila arteria tersebut terkoyak maka akan tertimbun dalam ruang epidural.
17
Meningens terdiri dari tiga lapis dari luar ke dalam yaitu dura mater, araknoid, dan pia
mater. Dura adalah membran yang liat, semitranlusen, tidak elastis dan melekat erat dengan
permukaan dalam tengkorak.
Gambar 2 : Lapisan meningens dan tempat perdarahan.
Dikutip dari : Anatomy & Causes: Cranial Anatomy
accessed : http://dryogeshgandhi.com/cranial.htm
Fungsinya (1) melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus vena, (3) membentuk
periosteum tabula interna. Bagian tengah dan poterior disuplai oleh a. Meningea media yang
bercabang dari a. Vertebralis dan a. Carotis interna. Arakhnoid adalah membran fibrosa halus
dan elastis, membran ini tidak melakat dengan dura mater, ruangan antara kedua membran
disebut ruang subdural. Vena-vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit
jaringan penyokong sehingga mudah sekali terkena cedera dan robek pada trauma kepala.
Diantara arakhnoid dan pia mater terdapat ruang subarakhnoid yang melebar dan mendalam
pada daerah tertentu dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal. Pia mater adalah
membran halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halus dan merupakan satu-
satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus semua
girus.
18
Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer
ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf
otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak. Pada tulang tengkorak
dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi.
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria
meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau
menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan
telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat
menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan peningkatan volume dalam tengkorak, hingga
menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung
menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan.
Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan
countre coup. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya
perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan
menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum,
gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan
ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan kerusakan di
batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada
batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial.
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di
dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang
ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan. Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis
menderita gangguan ini. Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah
frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak
yang mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak otot
mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini
menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari
akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya
negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada
cabang supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga
terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah
19
beberapa hari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena
penyebabnya adalah edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai
perdarahan lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma
kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan
salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan,
mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan
gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan
terbuka yang dapat langsung terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul
kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma.
Gambar 3: Patofisiologi cedera kepala.
Dikutip dari : Asuhan Keperawatan Cedera Kepala (Trauma Capitis)
accessed : http://asepscience.wordpress.com/2009/06/14/asuhan-keperawatan-cedera-kepala-
trauma-capitis/
20
Klasifikasi Cedera Kepala
21
Berdasarkan mekanisme
Cedera kepala tertutup
Cedera kepala terbuka
Berdasarkan beratnya
cedera kepala ringan
cedera kepala sedang
cedera kepala berat
Berdasarkan morfologi
Kulit
Vulnus
Laserasi
Hematom subkutan,
Hematom subgaleal
Fraktura tengkorak
Kalvaria
Linear atau stelata
Depressed atau nondepressed
Basilar
Lesi Intrakranial
Fokal
Kontusio serebri
Hematom epidural
Hematom subdural
Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan intraserebral
Diffuse
Konkusi ringan
Konkusi klasik
Cedera aksonal difusa
Berdasarkan Mekanisme
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrans atau
terbuka. Walau istilah ini luas digunakan dan berguna untuk membedakan titik pandang,
namun sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak depres
dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya
cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk kegunaan klinis, istilah cedera kepala tertutup
biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala
penetrans lebih sering dikaitkan denganluka tembak dan luka tusuk.
1. Trauma kepala terbuka
Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi duramater.
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak. Fraktur longitudinal
sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba
eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru dibelakang telinga diatas
os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan
trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur basis
tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat dasar.
Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah :
a. Battle sign ( warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )
b. Hemotipanum ( perdarahan di daerah gendang telinga )
c. Periorbital ecchymosis ( mata warna hitam tanpa trauma langsung )
d. Rhinorrhoe ( liquor keluar dari hidung )
e. Otorrhoe ( liquor keluar dari telinga)
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan perdarahan.
22
Gambar 4: Petunjuk Cedera Kepala.
Dikutip dari : Hati-hati Jika Cedera Kepala
accessed : http://www.tanyadokteranda.com/featured/2010/11/hati-hati-jika-cedera-kepala
2. Trauma kepala tertutup
Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri. Pada
komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA. Pada
kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti
kerusakan otak disertai robekan duramater. Trauma kepala dapat menyebabkan cedera
pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena
perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang
mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan
benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol
atau dengan sekat-sekat duramater. Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi
benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat
atau berhenti. Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak.
Tenaga gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan)
jaringan, peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang
lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan jaringan
otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan (countre
coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi
coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi
countre coup ini terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga
23
timbul kavitasi dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi
tengkorak pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya countre coup, akibat
benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran
antar jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini
adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.
A. Komusio serebri ( Gegar otak )
Merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit ).
Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda didepan mata dan linglung. Konkusio
adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera pada
otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio menyebabkan
kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini
bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang
menimpa otak di dalam tulang tengkorak. Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit
kepala dan rasa mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita mengalami
penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing,
kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya
berkurang dan kecemasan. Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai
beberapa minggu, jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan
dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio.
Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui mengapa
sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para ahli belum
sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian
obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih
perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius
yang bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya cedera.
Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah parah, sebaiknya segera
mencari pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih
berat, maka tidak diperlukan pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala
diberitahu mengenai pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin
parah, biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak
parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.
24
B. Kontusio serebri (Memar otak )
Merupakan perdarahan kecil / ptechie pada jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada
daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek
pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali
disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari
kontusio akan terjadi edema otak.Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu akibat
kerusakan B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami kerusakan
ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Cairan akan keluar dari pembuluh darah ke
dalam jaringan otak karena beda tekanan intra vaskuler dan interstisial yang disebut
ekanan perfusi. Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan
sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan penekanan pada
pembuluh-pembuluh darah yang mengakibatkan aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi
iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini selanjutnya menimbulkan
vasodilatasi dan hilangnya auto regulasi aliran darah, sehingga edema semakin hebat.
Hipoksia karena sebab-sebab lain juga memberikan akibat yang sama. Jika otak
membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan
yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak. Gejala dari kontusio adalah pusing,
kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya
berkurang dan kecemasan. Biasanya gejala berlangsung selama beberapa hari sampai
beberapa minggu. Sindroma pasca konkusio yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan
bersosialisasi. Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI
menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa menyebabkan
kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau bahkan koma.
C. Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak.
Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera
biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau
diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural).
Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian
besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan
25
membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari.
Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya
menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian
atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi
penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh,
gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi
kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens dan
tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri. Darah
di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala
berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam
kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi
dan lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa
ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya
tergantung kepada CT scan darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan
membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga
dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa
terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah
terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang bertambah luas
secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada
alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan
adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala
bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural
yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar,
yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
26
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
1). Sakit kepala yang menetap
2). Rasa mengantuk yang hilang-timbul
3). Linglung
4). Perubahan ingatan
5). Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Berdasarkan Beratnya
A. Cedera kepala ringan (GCS 13-15)
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya terjadi
beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan pada pemeriksaan
CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.
B. Cedera kepala sedang (GCS 9-12)
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering tanda
neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi juga drowsiness
dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi kognitif maupun
perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan bahkan permanen.
C. Cedera kepala berat (GCS <8)
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma. Penurunan
kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu mengikuti, bahkan perintah
sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran. Termasuk juga dalam hal ini status
vegetatif persisten. Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan sebagai penderita
cedera kepala berat bila :
1. Pupil tak ekual
2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak yang terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.
27
Berdasarkan Morfologi
Cedera kulit : vulnus, laserasi, hematom subkutan, hematom subgaleal
Luka dapat menimbulkan perdarahan, pembengkakan setempat, nyeri setempat, nyeri pada
pergerakan dan dirawat sebagaimana mestinya. Perdarahan subgaleal dapat besar sekali
hingga menimbulkan pembengkakan yang hebat dan bentuk kepala menjadi besar tidak
teratur. Pada keadaan ini perlu diberi balut yang menekan dan bila teraba lunak dapat
dipungsi untuk mengeluarkan darah yang cair.
Fraktur tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Mungkin tampak
pada kalvaria atau basis, mungkin linier atau stelata, mungkin terdepres atau tidak terdepres.
Fraktur tengkorak biasanya terjadi pada tempat benturan. Garis fraktur dapat menjalar sampai
basis cranii. Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian
mengalirkan darahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar
tengkorak bisa merobek meningens. Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak
dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga yang menandakan adanya fraktur basis
cranii. Depresi pada kepala atau muka (sunken eye) menandakan terjadi fraktur maksila.
Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan
infeksi serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak
memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.
Cedera aksonal difusa
Kerusakan akson oleh karena adanya proses akselerasi dan deserelasi yang terjadi pada otak
sewaktu terjadinya trauma kepala. Otak memiliki beberapa lapisan yang membentuknya.
Pada saat terjadinya trauma, lapisan – lapisan ini akan ikut bergeser. Pergerakkan tiap lapisan
ini akan berbeda – beda. Ilustrasi dibawah ini menunjukkan adanya penarikan neuron akibat
perbedaan waktu pergeseran yang bias menyebabkan akson teregang, terpuntir, terputus, dan
terjepit. Akibatnya cairan dan ionic akan masuk ke axon dan menyebakan pembengkakkan,
yang nantinya akan menyebakkan kerusakkan neuron. Akson terputus dan akson bagian distal
akan terpisah. Pada stadium lanjut, akan terjadi kematian akson pada ujung distal
28
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala yang kesadarannya cukup baik mencakup
pemeriksaaan neurologis yang lengkap, sedangkan pada penderita yang kesadarannya
menurun dapat digunakan pedoman yaitu :
1. Tingkat kesadaran dengan mengitung nilai GCS
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata
Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos cranium ( schullder )
Foto polos tengkorak adalah prosedur mutlak yang dikerjakan pada setiap cedera
kepala. Foto ini membantu mendiagnosa dini adanya fraktur pada tulang tengkorak.
2. Pemeriksaan CT-Scan
CT scan merupakan metode standar terpilih untuk cedera kepala baik ringan sampai
berat terutama dikerjakan pada pasien – pasien yang mengalami penurunan kesadaran dan
terdapat tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial. Selain untuk melihat adanya
fraktur tulang tengkorak, CT scan juga dapat melihat adanya perdarahan otak, efek
desakan pada otak dan bisa digunakan sebagai pemantau terhadap perkembangan
perdarahan pada otak.
Penanganan Cedera Kepala
I. Cedera kepala ringan
Bila dijumpai penderita sadar dan berorientasi dengan GCS 13 – 15.
Terdiri atas :
a. Simple head injury
Tidak ada penurunan kesadaran
Adanya trauma kepala ( pusing )
b. Commotio cerebri ( gegar otak )
Adanya penurunan kesadaran ( pingsan > 10 menit )
29
Amnesia retrograde
Pusing, sakit kepala, muntah
Tidak ada defisit neurologis
Manajemen
1. Airway
Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.
Lendir, darah,muntahan, benda asing : lakukan penyedotan dengan suction, pasang
NGT
Posisi kepala dalam posisi netral, tidak miring ke kanan atau ke kiri.
Lakukan intubasi endotrakeal terutama pada pasien GCS ≤ 7 tetapi sebelumnya harus
diyakini tidak ada fractur cervical.
Foto rontgen cervical lateral dapat menjadi pilihan sebelum melakukan tindakan
intubasi. Apabila didapatkan fractur cervical, maka tindakan yang dilakukan adalah
tracheostomi.
2. Breathing
Perhatikan gerak napasnya, jika terdapat tanda – tanda sesak segera pasang oksigen.
3. Circulation
Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda – tanda syok segera pasang infuse.
Bila disertai dengan perdarahan yang cukup banyak bisa ditambah dengan tranfusi darah
( whole blood ). Pasang kateter untuk memonitoring balans cairan.
4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien, perhatikan kemungkinan
cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau tembus. Jika ada luka robek, bersihkan
lalu di jahit.
5. Foto rontgen tengkorak.
Dilakukan pada posisi AP dan Lateral.
6. CTscan kepala.
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala, kecuali pada pasien – pasien
yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.
7. Observasi
Kriteria rawat :
30
a. Amnesia post traumatika lebih dari 1 jam
b. Riwayat kehilangan kesadaran lebih dari 15 menit
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. CT scan abnormal ( adanya fraktur, perdarahan )
f. Otorrhea, rhinorrhea
g. Semua cedera tembus
h. Indikasi sosial ( tidak ada pendamping di rumah )
Penderita yang tidak memiliki gejala seperti di atas diperbolehkan pulang setelah
dilakukan pemantauan di rumah sakit dengan catatan harus kembali ke rumah sakit bila
timbul gejala-gejala ( observasi 1 x 24 jam ) seperti :
Mengantuk dan sukar dibangunkan
Mual dan muntah hebat
Kejang
Nyeri kepala bertambah hebat
Bingung, tidak mampu berkonsentrasi
Gelisah
8. Terapi simtomatik
II. Cedera kepala sedang
Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap dapat mengikuti perintah
sederhana ( GCS 9 – 12 ). Walau dapat mengikuti perintah, namun dapat memburuk
dengan cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya pasien cedera kepala
berat tapi aspek kedaruratannya tidak begitu akut. Penanganannya sama seperti pada
cedera kepala ringan ditambah dengan pemeriksaan darah. Bila kondisi
membaik,pasien boleh pulang dan control di poli. Pemeriksaan CT scan perlu diulang
apabila kesadaran pasien tidak membaik. Pada keadaan ini pasien harus dirawat untuk
di observasi.
III. Cedera kepala berat
31
Penderita kelompok ini tidak dapat mengikuti segala perintah sederhana karena
adanya gangguan kesadaran ( GCS 3 – 8).
Cedera kepala berat dapat dibagi menjadi :
a. Contusio cerebri
Pingsan > 10 menit
Kegelisahan motorik
Sakit kepala, muntah
Kejang
Pada kasus berat dapat dijumpai pernapasan cheyne stokes
Amnesia anterogard
b. Laceratio cerebri
Biasanya didapat pada fraktur terbuka maupun tertutup.
Penangan kasus ini mencakup :
Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip ABC seperti pada cedera kepala
ringan.
Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan
di bagian tubuh lainnya.
Pemeriksaan neurologis, meliputi : reflex buka mata, reflex cahaya pupil,
respon motorik, respon verbal, respon okulo sefalik ( Doll’s eye ).
Pemeriksaan penunjang : CT-scan, angiografi.
Rawat selama 7 – 10 hari.
Beri manitol 20 % ( 1 gr/BB ) bolus dalam 5 menit.
Furosemid ( 0,3 – 0,5 mg/BB ) diberi bersama manitol.
Antikonvulsan : fenitoin dan fenobarbital.
Prognosis
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan
total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang
terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami
kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan
32
fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang. Kemampuan berbahasa pada anak kecil
dijalankan oleh beberapa area di otak, sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu
area. Jika hemisfer kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka hemisfer
kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa.
Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung menyebabkan kelainan yang
menetap. Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan lengan dan tungkai)
dikendalikan oleh area khusus pada salah satu sisi otak. Kerusakan pada area ini biasanya
menyebabkan kelainan yang menetap. Dampak dari kerusakan ini bisa diminimalkan dengan
menjalani terapi rehabilitasi. Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan
tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran.
Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan
pulih kembali.
33