CERAI GUGAT SEBAB TINDAK KEKERASAN
(Studi Analisa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 243/ Pdt.G/ 2007/
PA.JS.)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
oleh :
Andri Safa Sinaga
NIM : 105044101358
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1430 H / 2009 M
CERAI GUGAT SEBAB TINDAK KEKERASAN (Studi Analisa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 243/ Pdt.G/ 2007/
PA.JS.)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Andri Safa Sinaga
NIM :15044101358
Pembimbing :
DR. K.H. Juaini Syukri, Lcs. M.A.
NIP : 150 256 969
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM
STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN
HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H / 2009 M
KATA PENGANTAR
����� ������� ��
Assalammu’alaikum. Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan
manusia sebagai mahluk yang paling sempurna. Diantara salah satu
kesempurnaannya adalah Allah karuniakan manusia pikiran dan kecerdasan. Shalawat
dan salam kita sanjungkan kepada pemimpin revolusioner ummat Islam sedunia
tiada lain yakni, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan
ummatnya yang selalu berpegang teguh hingga akhir zaman
Empat tahun menempuh studi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta ini tentu bukan waktu yang singkat, banyak pengalaman baik
suka maupun duka yang penulis alami dan rasakan, selain itu juga banyak pelajaran
yang secara langsung maupun tidak langsung yang dapat diambil penulis. Dengan
demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis ingin mengungkapkan rasa
hormat dan terima kasih tiada terhingga kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.M. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyah
Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Kamarusdiana, S.Ag., M.H. Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyah
Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. DR. K.H. Juaini Syukri, Lcs. M.A. yang bersedia membimbing dan telah
memberikan pengarahan, motivasi serta tidak jera memberi masukan-
masukan dalam penyelesaian skripsi ini sekaligus tidak bosan-bosannya
untuk megingatkan secara langsung penulis di tengah-tengah kesibukannya.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. yang telah memberi dan membagi ilmu
pengetahuannya kepada penulis, sehingga penulis terbekali akan ilmu yang
yang bermanfaat dan berharga yang suatu saat akan berguna bagi penulis.
6. . Jajaran staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Atas pelayanannya sehingga
penulis merasa terbantu dalam memperoleh referensi-referensi untuk karya
ilmiah ini.
7. Teristimewa buat yang tak ingin ku kecewakan Ayahanda Juhairdin Sinaga
dan Ibunda Siti Maryam Siregar, Terima kasih atas segala do’a, kesabaran,
i
jerih payah dan pengorbanan serta nasihat yang senantiasa memberikan
semangat tanpa jemu hingga ananda dapat menyelesaikan studi. Tiada kata
yang pantas selain ucapan do’a, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan
pernah terbalaskan serta abangku Hendra Wira Buana Sinaga dan adik-adik
yang kucinta dan kusayangi, Harma Zwendy Sinaga, Muhammad Ridho
Fahmi Sinaga, Romi Hoesin Sinaga, dan Keluarga Besarku di Kota Medan
dan Sekitarnya.
8. Sahabat-sahabatku, kelas Peradilan Agama angkatan 2005. Lingkup
organisasi.dan teman-teman dimasa perkuliahan dan diluar perkuliahan.
Terima kasih atas kebersamaan dan kehangatan semoga persahabatan kita
tetap terjalin sampai kita tidak tahu kapan waktunya.
Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca
pada umumnya serta menjadi amal baik kita disisi Allah SWT. Akhir kata, semoga
setiap bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah
SWT.
Wasallamu’alaikum. Wr. Wb.
Jakarta, 23 November 2009
Penulis
Andri Safa Sinaga
i
OUTLINE
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. vi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………..
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah……………………………….
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian……………………………………..
D. Metode Penelitian…………………………………………………...
E. Sistematika Penulisan……………………………………………….
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN MENURUT
KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Syarat Cerai Gugat…………………………………
B. Sebab-Sebab Terjadinya…………………………………………….
D. Macam-Macam dan Akibat Perceraian……………………………...
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga.....................................
B. Jenis-Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga.....................................
C. Sebab-Sebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga.................
BAB IV ANALISA PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT AKIBAT
KEKRASAN DLAM RUMAH TANGGA
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan………………................
B. Prosedur Cerai Gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan………..
C. Putusan Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga……….
D. Analisis Penulis……………………………………………………….
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………...
B. Saran………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan menurut Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalidzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan juga ‘aqad yang menghalalkan
pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang
laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.2
Sebagaimana firman
Allah SWT:
����� ��� ��� ��� ����� ��� ���� �� �� �� ������ ������ �� � �� ���� �� ���� ���
��� ������� �� ���� ��� ��� ������ ��� .... (ا����ء: 3 )
Artinya: “Maka bolehlah kamu menikahi perempuan yang kamu pandang baik untuk
kamu, dua atau tiga atau empat, jika kiranya kamu takut tidak dapat berlaku adil
diantara mereka itu, hendaklah kamu kawini seorang saja”. (Q.S. An-nisa: 3).
Firman Allah SWT:
1 A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Qalbun Salim, 2005).
2 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta : Attahiriyah, 1976), cet.ke-17, h.355.
2
���� � ������ ������� �� ��� ������ � ���� �� ������ �� ��� � ���� �� ������ �� ����
( �:وما�) ������ �� �� ��� � ���� � �� ���� �� � � ��� ��� ��
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berpikir”.(Q.S. Ar-
Rum: 21).
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna, bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia
untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan turunan, tetapi perkawinan itu dapat
dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan lain,
serta perkenalan itu akan menjadi jalan buat menyampaikan kepada bertolong-
tolongan antara satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup
dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri dan turunan bahkan antara dua
keluarga. Betapa tidak? Dari sebab baik pergaulan antara isteri dengan suaminya,
kasih-mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua
belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-
tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan menjaga segala kejahatan.
Selain dari pada itu, dengan perkawinan seseorang akan terpelihara dari pada
kebinasaan hawa nafsunya.3
3 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mukhtasar Shahih Muslim, (Beirut : Al-Makkah Al-Islami,
tth), Jilid I, h. 557.
3
Sabda Rasulullah SAW:
��ل ��� رس�ل ا� ��� ا� ���� و س�� : ����� ا�� �ب, � ��� : � ���$# ر "! ا� ��� �
'�ءن� ا/. �� % وا-% ��,ج, و � �� ��*() '���� ب��%�م
س*(�ع ���3 ا� �ءة '��*1وج,
4(ȅǁ�Ƽ) و��5ءdz�� ơءن��' ǽơȁ�
Artinya: Dari Ibnu Umar RA. Dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda kepada
kita: “Hai pemuda-pemuda barang siapa yang mampu diantara kamu serta
berkeinginan hendak kawin, hendaklah dia kawin. Karena sesungguhnya perkawinan
itu akan memejamkan matanya terhadap orang yang tidak halal untuk dilihatnya, dan
akan memeliharakannya dari godaan syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu
kawin hendaklah dia puasa, karena dengan puasa, hawa nafsunya terhadap
perempuan akan berkurang
.
Bahwa kawin itu akan mengurangi rasa was-was setan dari dalam dada terhadap
nafsu atas perempuan. Pengaruh was-was ini amat besar, sehingga sering menghambat
seseorang sedang berdiri shalat mengahadap Tuhan-Nya, atau ketika sedang membaca
kitab suci, ataupun ketika sedang asyik berdzikir, maka jadilah ia sebagai orang yang
tidak beradab kepada Tuhan-Nya.5
Kemudian kawin itu akan mengekang mata dari melihat sesuatu yang haram dan
memelihara kemaluan dari melakukan hal-hal yang terlarang. Dalam hal ini, terdapat
banyak riwayat yang menunjukkan kelebihan berkawin. Kesemuanya itu dipetik dari
Al-Quran dan Hadits Nabi Saw. yang telah diketahui secara luas, khususnya oleh
orang-orang yang berilmu pengetahuan.
Allah SWT berfirman:
h.182
4 Bukhari, Badr al-Din. Umdad al-Qari, Bab man la yastati’ al-baah, Jilid 29, Hadits no. 6605,
5 Habib Abdullah Haddad, Nasehat Agama dan Wasaiat Iman, Terjemah An-nasaih Ad-diniyah
wa Al-washaya Al-imaniyah, (Bandung : Gema Risalah Press, 1993), cet.ke-3, h.324
4
� � ���� �� �� �� ���� � ���� ��� ��������� ������ � �� ����� �������� �
(� : ا���ر) ��������� �� �����
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,”Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat. (An-nur: 30)
Sesudah kawin, orang yang sabar dalam mempergauli isterinya dengan baik,
memenuhi hak dan kewajiban terhadap isteri, dan mengeluarkan nafkah atas isteri dan
anak-anaknya, niscaya akan beroleh pahala yang besar. Di antara penyebabnya ialah,
pahala mendapat anak-anak yang shaleh yang menyembah Allah, mendoakan kedua
ibu-bapak mereka dan memohonkan ampunan bagi keduanya, baik semasa hidup
keduanya maupun sesudah mati. Apabila anak-anak itu mati sebelum mencapai usia
baligh, maka kedua ibu-bapaknya akan memperoleh pahala dan balasan yang besar,
disebabkan kesabaran atas bencana yang menimpa mereka.6
Demikianlah maksud perkawinan yang sejati dalam Islam. Dengan singkat untuk
kemaslahatan dalam rumah tangga dan turunan, juga untuk kemaslahatan masyarakat.
Kehidupan suami isteri hanya bisa tegak kalau ada dalam ketenangan, kasih sayang,
pergaulan yang baik, dan masing-masing pihak menjalankan kewajibannya dengan
baik. Tetapi adakalanya terjadi suami membenci isteri atau isteri membenci suaminya.
6 Habib Abdullah Haddad, Nasehat Agama dan Wasaiat Iman, Terjemah An-nasaih Ad-diniyah wa
Al-washaya Al-imaniyah, cet.ke-3, h.325
5
Dalam keadaan seperti ini Islam memberikan obat penawar yaitu sabar sebagai
penghilang sebab-sebab timbulnya rasa kebencian tersebut.
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai wafatnya
salah seorang suami isteri, inilah sebenarnya yang dikehendaki dalam Islam.
Salah satu azas perkawinan adalah monogami (tawahhud al-zawj). Perkawinan
dilakukan atas prinsip kerelaan (al-taraadli), kesetaraan (al-musaawah), keadilan
(al’adaalah), kemaslahatan (al-maslahat), pluralisme (al-ta’addudiyyah), dan
demokratis (al-diimuqrathiyyah).7
Namun dalam keadaan tertentu terdapat hak-hak yang menghendaki putusnya
perkawinan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan akan
menimbulkan kemudharatan yang akan terjadi.8
Dalam azas perkawinan yang ada juga ditekankan untuk mempersulit terjadinya
perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang baik, apabila
terpaksa melepaskannya dengan cara yang baik pula Sebagaimana Firman Allah SWT:
�� ��� � ��� �� ���� �� � ����� ����� (أ� �ة /227)
Artinya: Jika mereka bercita-cita hendak menceraikannya maka sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (Al-Baqarah:227).
Meski diperbolehkan untuk bercerai, tetapi hal itu suatu perbuatan yang paling
dibenci oleh Islam karena akan menghilangkan kemaslahatan antara suami isteri.9
7 Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta, 2004), h.36
8 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Prenada Media, 2003),cet.I, h.124
6
Saat masalah yang sudah ada tidak dapat diselesaikan dengan upaya perdamaian
maka Islam memberikan solusi dengan dibolehkannya perceraian. Cerai atau putusnya
perkawinan dapat terjadi atas kehendak suami ataupun kehendak isteri. Hal ini karena
karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian,
sehingga proses perceraiannya pun berbeda.10
Perceraian atas kehendak suami disebut
cerai thalaq, dan perceraian atas kehendak isteri disebut cerai gugat.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas
pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang ada pada akhirnya dapat terjadi
kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan
terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.11
Kekerasan adalah tindakan dan serangan terhadap seseorang yang kemungkinan
dapat melukai fisik, psikis, dan mental, serta menyebabkan penderitaan dan
kesengsaraan.12
Kekerasan atau penganiayaan tidak selayaknya terjadi, terlebih dalam sebuah
rumah tangga antara suami isteri, karena dalam pandangan Islam berumah tangga
adalah suatu ibadah. Karena itu Islam tidak pernah membenarkan kekerasan dalam
rumah tangga
Sebagaimana firman Allah dalam surat An-nisa ayat 19:
9 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Beirut : Dar al-Kitab al-Farabi, 1973), cet-2, h.9
10 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), cet.I h.206
11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta : Visimedia, 2007), cet.I
h.68-69
12 Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam, h.35
7
���� ��� � �������� ��� ��� �� �� �� ����� �� ���� ���� � ������ ��� �� �� ���
��� � ������ ��������� � ��� ��� � ������� �� ���� �� � ���������� �� ����
���� ��� ��� �������� ���� ������� �� ��� �� �� �������� (أ����ء19 )
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali
bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka
secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu. Padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak. (An-Nisa: 19)
Awalnya masalah kekerasan dalam rumah tangga terhadap isteri tidak banyak
menarik perhatian publik, karena kebanyakan perempuan memilih untuk diam dan
menerima perlakuan suaminya. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya masalah
ini menjadi pembicaraan yang hangat dan meledak di media massa maupun elektronik.
Alasan yang dibolehkan bagi seorang isteri untuk meminta cerai dari suaminya
telah diatur dalam PP No.9 Tahun 1975 tentang “Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” pasal 19 dan salah satu alasan yang dapat
dikabulkan oleh hakim adalah perlakuan yang menyakitkan yang terus menerus
terhadap isteri.13
Hal ini sejalan dengan isi PP No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan pasal 19 poin (d) yaitu:
salah satu pihak melakukan kekerasan atau penganiayaan berat yang dapat
membahayakan pihak lain. Berdasarkan hal tersebut diatas dan kaitannya dengan
13 Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: PP No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Peraturan UU No.1 Tahun 1974 (Jakarta : Pradnya Paramita, 1991),h.45
8
gugatan cerai isteri maka jika suami melakukan kekerasan berat terhadap isterinya,
maka isteri berhak melakukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.
Di dalam KHI juga telah diatur, Bab XVI Mengenai Putusnya Perkawinan Pasal
116, point d yang menyatakan “ salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain” dan point f, yang menyatakan“
antara suami atau isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.
Kemudian sampai sejauh mana ukuran keobjektifan suatu perlakuan dapat
dikatakan kejam atau termasuk perbuatan tindakan kekerasan sehingga dapat dijadikan
alasan dalam memohon perceraian.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu fenomena pelanggaran HAM.
Sehingga masalah ini tercakup sebagai salah satu bentuk diskriminasi khususnya pada
perempuan atau isteri. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang
kurang mendapat perhatian dalam masyarakat karena memiliki ruang lingkup yang
tertutup karena bersifat pribadi dan terjaga privasinya, kekerasan rumah tangga
dianggap wajar karena diyakini bahwa memperlakukan isteri sekehendak suami
merupakan hak suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga.
Realita inilah yang yang menyebabkan minimnya tanggapan masyarakat dan
pihak yang berwajib terhadap keluh kesah para isteri (perempuan), yang dalam
menjalani bahtera rumah tangganya terlibat dalam suatu perselisihan dan pertengkaran
yang kemudian berujung kepada tindak kekerasaan dari suami terhadap isteri dalam
rumah tagga mereka.
9
Sebab landasan uraian diatas, penulis tertarik dan bermaksud untuk mengkaji
dan meneliti lebih mendalam permasalahan tersebut yaitu mengenai gugatan cerai
yang diakibatkan oleh suatu pertengkaran yang berlanjut kepada tindakan kekerasan
dalam rumah tangga. Sebagaimana yang telah diatur didalam KHI Bab XVI Mengenai
Putusnya Perkawinan Pasal 113, point c yang menyatakan bahwa” Perkawinan dapat
putus karena atas putusan Pengadilan”, maka dalam hal ini penulis memilih
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang untuk ditelusuri. oleh penulis memberi judul :
“Cerai Gugat Sebab Tindak Kekerasan” (Studi Analisa Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan No. 243/ Pdt.G/ 2008/ PA.JS.)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan masalah
Agar apa yang di bahas dalam kajian ini tidak meluas dan simpang siur, maka
dalam hal ini penulis memfokuskan diri untuk menganalisa putusan Pengadilan
Agama Jakarta Selatan Nomor Perkara : 243/ Pdt.G/ 2007/ PA.JS. tentang suatu
kasus cerai gugat yang disebabkan oleh tindak kekerasan dalam rumah tangga.
2. Perumusan Masalah
Undang-Undang telah mengatur masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
dengan UU. No.23 Tahun 2004 Tentang “Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga”, dan diatur di dalam KHI Bab XVI Mengenai Putusnya Perkawinan Pasal
116, point d. yang menyatakan “Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayaan pihak lain”. Dan point f. yang menyatakan
“Antara suami atau isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
10
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Sedangkan realita
yang banyak terjadi sekarang ini, dimana masih banyak individu-individu yang di
dalam mengarungi bahtera rumah tangga terlibat dalam suatu perselisihan dan
pertengkaran yang berlanjut kepada tindak kekerasan dalam rumah tangga tersebut,
khususnya terhadap pihak perempuan atau isteri.
Dari perumusan masalah di atas, setidaknya dapat dirinci dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan tindak kekerasan dalam rumah
tangga itu sering terjadi?
2. Apa saja jenis-jenis tindak kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
3. Apa yang menjadi pertimbangan hakim memutuskan perkara tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksud untuk mendeteksi dan menelusuri bagaimana
sesunnguhnya realitas hukum yang ada di lingkungan Pengadilan Agama, khusunya
dalam lingkup yang relatif tertutup, yaitu perceraian yang disebabkan suatu
pertengkaran dan berlanjut kepada tindak kekerasan dalam rumah tangga, setidaknya
tujuan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:
1) Mengetahui faktor yang menjadi penyebab terjadinya suatu pertengkaran
yang berlanjut kepada tindak kekerasan dalam rumah tangga
11
2) Mengetahui bentuk pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan
3) Mengetahui apa yang menajadi dasar hakim memutuskan perkara dalam
putusan tersebut.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin penulis sampaikan dari penelitian ini adalah,
setidaknya sebagai berikut:
1. Ingin memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai bagaimana
sebenarnya proses penyelesaian perkara cerai gugat akibat suatu
pertengkaran dan kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Turut berkontribusi dalam memperkaya kahazanah ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang perkawinan dan perceraian.
3. Selanjutnya penelitian ini diaharapkan dapat digunakan sebagi bahan
acuan dan masukan bagi Sarjana Hukum Islam yang bersifat praktis dan
menjadi rujukan bagi para civitas akademi dan golongan education pada
umumnya.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Maasalah
Mengingat dalam penulisan suatu karya ilmiah atau skripsi dimana metode
penelitian mempunyai peranan yang sangat penting untuk dapat mencapai hasil
12
yang baik dan memadai, karena metode ini merupakan cara kerja untuk dapat
memahami dan mengelola obyek yang menjadi sasaran penelitian.
Dari itu penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, pendekatan
kualitatif berarti upaya menemukan kebenaran dalam wilayah-wilayah konsep
mutu. Yaitu melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan, dan
mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan tersebut. Kemudian
menghubungkannya dengan masalah yang penulis ajukan, sehingga ditemukan
kesimpulan yang obyektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai tujuan yang
dikehendaki penulis dalam penelitian ini.
2. Sumber Data
a. Data Primer
Didapatkan dari Pengadilan Agama yaitu berupa putusan cerai mengenai
perceraian akibat pertengkaran yang berlanjut kepada tindak kekerasan dalam runah
tangga yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan nomor perkara:
243/Pdt.G/2008/PA.JS. Wawancara terhadap hakim, kemudian data tersebut
dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang
dikaji.
b. Data Sekunder
Diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan, mempelajari dan
menelaah data-data atau teori-teori tertulis lainnya, baik dari Al-Quran, Hadits,
buku-buku ilmiah, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta
peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
13
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
a. Menganalisis terhadap putusan cerai gugat dengan alasan pertengkaran yang
berlanjut kepada tindak kekerasan dalam rumah tangga pada Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dengan nomor putusan 243/Pdt.G/2008/PA.JS.
b. Interview atau wawancara, dalam hal ini penulis akan mengadakan dialog
langsung dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
4. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan meggunakan analisa
kualitatif, yaitu menganalisis dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan
putusan perkara perceraian akibat pertengkaran yang berlanjut kepada tindak
kekerasan dalam rumah tangga yaitu putusan dengan nomor perkara
243/Pdt.G/2008/PA.JS. dan menghubungkannya dengan hasil interview dari pihak
yang menyelesaikan perkara tersebut, dalam hal ini yaitu hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan. Sehingga didapatkan kesimpulam yang obyektif, logis, konsisten
dan sistematis sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian
ini.
E. Sistematika Penulisan
BAB I, Pendahuluan, dalam sub bab ini berisikan tentang Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II, Tinjauan Umum Tentang Perceraian Menurut Hukum Islam, dalam sub
bab ini berisikan tentang Pengertian cerai gugat, Syarat-Syarat cerai gugat,
14
Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian, Macam-Macam dan Akibat dari
Perceraian.
BAB III, Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam sub
bab ini berisikan tentang Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Sebab-Sebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Jenis-Jenis Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
BAB IV, Analisis Putusan Perkara Cerai Gugat Akibat Pertengkaran Yang Berlanjut
Kepada Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam sub bab ini
berisikan tentang Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Prosedur Cerai
Gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Putusan Perceraian Akibat
Pertengkaran Yang Berlanjut Kepada Tindak Kekerasan Dalam rumah
Tangga, dan Analisis Putusan.
BAB V, Penutup, dalam sub bab ini berisikan tentang Kesimpulan dan Saran-
Saran.
34
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
A.1. Pengertian Kekerasan
Secara etimologi kekerasan berasal dari kata “keras” yang berarti padat dan
tidak mudah pecah sedangkan kata “kekerasan” itu sendiri adalah perihal (yang
bersifat, berciri) keras, perbuatan seseorang atau kelompok orang yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan fisik atau barang
orang lain, serta paksaan.1
Secara terminologi yang dimaksud kekerasan atau “violence” pada dasarnya
merupakan suatu konsep yang makna isinya sangat bergantung kepada masyarakat
sendiri, seperti dikatakan (Levi, 1994 : 295-353).2
Kekerasan identik dengan bentuk penyiksaan, seperti yang terungkap dalam
ayat-ayat Al-Quran, surat Al-Fajr ayat 25 dijelaskan kekerasan yakni (“maka pada
hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksanya”). Yang dimaksud
kalimat dari ayat ini “menyiksa” adalah kekerasan azab Allah.
Sehubungan dengan makna kekerasan yang cukup luas, karena pengertiannya
merupakan refleksi dari pengakuan realitas sosial dimana kekerasan terjadi.
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi ke-2, cet.VII, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), h.484-485
2 Fathul Djannah, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, (Yogyakarta : Lkis, 2003), h.11
35
Setidaknya kekerasan dapat dirumuskan kedalam dua hal, yaitu lebih menekankan
pada physical force dan nonphisycal force. Kedua bentuk inilah yang diakui oleh
masyarakat internasional sebagai bentuk kekerasan sebagaimana platform for
action yang dihasilkan oleh konferensi Dunia ke-4 tentang perempuan, di Beijing
pada tahun 1995.3
Bila dilihat dari segi unsur budaya, kekerasan dapat diartikan sebagai bentuk
sebuah tindakan “kriminalitas, kerusakan moral, perusakan lingkungan hidup,
pemiskinan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual”.4
Biasanya hal yang mendorong
terjadinya tindak kekerasan dilihat dari berbagai segi yaitu “segi sosiologis, karena
adanya faktor kesenjangan ; segi politik, karena adanya rekayasa untuk
kepentingan memelihara status quo ; dan segi filosofis, karena adanya penjajahan
ideologi materialisme.5
Kekerasan bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan oleh siapa saja. Didalam
keluarga, kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi diantara anggota keluarga.
Dalam kaitan ini bahwa kekerasan tersebut bisa dilakukan oleh seorang suami
kepada isterinya. Didalam rumah tangga, kekerasan bisa diartikan dengan
3 Fathul Djannah, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, h.12
4 Fathul Djannah, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, h.20
5 Glenn D Paige, dkk., ed., Islam Tanpa Kekerasan, Penerjemah M. Taufiq Rahman, cet-II,
Yogyakarta : LKis, 2000, h.VII
36
“penganiayaan atau penelantaran” yang dapat digambarkan pada seorang isteri
karena perlakuan yang sewenang-wenang dari suaminya.6
Secara sederhana faktor-faktor yang menimbulkan tindak kekerasan terhadap
isteri dapat dirumuskan menjadi dua faktor: pertama, faktor eksternal dan kedua,
faktor internal.7
Penyebab eksternal timbulnya tindak kekerasan terhadap isteri berkaitan
dengan hubungan kekuasaan suami-isteri dan diskriminasi jender dikalangan
masyarakat. Adapun kekuasaan dalam perkawinan diekspresikan dalam dua area,
yaitu:
a. Dalam hal pengambilan keputusan dan control atau pengaruh dan
b. Yang ada dibelakang layar, seperti ketegangan, konflik, dan penganiayaan.
Faktor internal tumbuhnya kekerasan terhadap perempuan adalah kondisi
psikis dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak kekerasan. R. Langley, Ricard.
D. dan Levy. C. menyatakan bahwa kekerasan laki-laki terhadap perempuan
dikarenakan:
a. Sakit mental
b. Pecandu alkhol dan obat bius
c. Penerimaan masyarakat terhadap kekerasan
6 Elli H. Hasbianto, Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi,
dalam Syafiq Hasyim, ed., Menakar Harga Perempuan : Ekplorasi Lanjut Atas Hak-Hak Reproduksi
Perempuan Dalam Islam, cet-II, Bandung : Mizan, 1999, h.189
7 Fathul Djannah, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, h.16-20
37
d. Kurangnya komunikasi
e. Penyelewengan seks
f. Citra diri yang rendah perubahan situasi dan kondisi
g. Kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah (pola
kebiassan turunan keluarga atau orang tua). (R. Mossi, 1987: 75-76)
A.2. Kekerasan Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No.23 Tahun
2004
Adapun kekerasan dalam hal ini terdapat dua pandangan, yaitu kekerasan
menurut hukum Islam dan kekerasan menurut Undang-undang No. 23 tahun
2004:
1. Kekerasan Menurut Hukum Islam
Dalam Islam kehidupan suami isteri merupakan hubungan kerja sama
kedua belah pihak untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang mawaddah wa
rahmah (penuh cinta dan kasih sayang ) dan sakinah (kedamaian). Dalam
mewujudkan kehidupan tersebut Al-Quran memberikan petunjuk bagi suami
isteri.8
8 Basyir, Fiqh Perempuan, h.163
38
Bagi seorang suami harus mampu menciptakan kehidupan tenteram dan
harmonis dalam rumah tangganya. Dapat memposisikan isterinya sebagai
teman bergaul yang baik, sebagaimana firman Allah SWT:
��� ��� ����� ���� ���� ��� �� ������� �������� ��� � ����� � ������� ��
(� : ا����ء) ���� ����
Artinya:“…dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak.”(Q.S. an-Nisa’: 19)
Dari ayat tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa Al-Quran telah
menggariskan dalam hubungan suami isteri harus berdasarkan mu’asyarah bi
al-ma’ruf. “Dengan prinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf, persoalan yang timbul
dalam urusan rumah tangga bisa terselesaikan dengan baik.”9
Namun sangat
disayangkan hal semacam ini jarang diterapkan dalam rumah tangga muslim,
selalu pada suami sebagai orang yang paling berhak dalam pengambilan
keputusan.
9 Basyir, Fiqh Perempuan, h.164
39
Apabila isteri tidak taat atau melanggar atas keputusan suami, maka isteri
dikenakan sanksi nusyuz. Dalam ketentuan ini sering dijadikan dalih atas
perlakuan suami terhadap isterinya untuk memberikan hukuman berupa
kekerasan. Dengan menggunakan dalil ayat Al-Quran tentang nusyuz, surat an-
Nisa’ ayat 34, “…dan pukullah mereka…,” sering disalahartikan dengan
pemahaman yang sempit.
Banyaknya kejadian suami melakukan kekerasan karena adanya
penolakan isteri dalam hubungan seksual. Hal ini dipicu sehubungan dengan
hadits Nabi SAW yang menyatakan, ”Jika suami mengajak isterinya
berhubungan seks, lalu isterinya menolaknya dan oleh karena itu suami menjadi
marah, maka ia akan mendapat laknat dari para malaikat sampai pagi.
”Kebanyakan orang memahami hadits ini secara tekstual, maka menjadi sumber
hukum yang menguatkan suami untuk memaksa dan melakukan tindak
kekerasan.10
Sejauh bentuk kekerasan itu dilakukan pada seorang suami yang
posisinya sebagai penguasa, maka dapat diwajarkan dengan maksud untuk
menjaga keutuhan rumah tangganya. Karena, wanita punya kewajiban yang
10 Hussein Mahmud, Refleksi Teologis Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Dalam
Syafiq Hasyim, ed., Menakar Harga Perempuan: Eksplorasi Lanjut Atas Hak-Hak Reproduksi
Perempuan Dalam Islam, cet-II, Bandunh : Mizan, 1999, h.207-208
40
harus dijalankan dengan baik termasuk memenuhi kebutuhan seks.
Sebagaimana firman Allah SWT:
.... ������ ��� ������ ����� �� � .... (ا� �ة : 228)
Artinya: “Dan para wanita mempunyi hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…”(Q.S. Al-Baqarah: 228)
Suami hendaknya jangan sampai memukul wajah dan bagian tubuh
lainnya yang dapat melukai apalagi sampai mencelakakan terhadap diri isteri.
“Karena tujuan memukul ialah untuk memberi pelajaran dan bukan untuk
membinasakan.”11
suami hendaknya memukul dengan tidak meciderai, dalam
hadits dijelaskan bahwa, “Jika mereka masih tetap melakukannya (nusyuz),
maka pisahkannya mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka dengan
pukulan yang tidak menciderai.’’12
Sehubungan dengan kekerasan fisik, Islam telah memberikan batasan-
batasan tertentu yaitu melalui tahapan-tahapan. Firman Allah SWT:
������� ����� � �� �������� ������� ���� ��� �� ������ ������ �
������ ���� �� � � ����� ����� �� ����� ��� ���� ��� � � (ا����ء : ��)
11 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Beirut : Dar al-Kitab al-Farabi, 1973), h.146
12 Fada Abdur Razak, Bangga Menjadi Muslimah, Penerjemah Muhammad Haris KS dan Abdul Mukti Tabrani, (Yogyakarta : Think, 2005), h.181
41
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.
(Q.S. an-Nisa’:34)
Dengan adanya tahap-tahap sanksi seperti yang terdapat dalam surat an-
Nisa’:34 ini, Al-Qur’an justru ingin mencegah pemukulan terhadap isteri dan
secara bertahap mengahapuskannya. Sabda Nabi SAW setelah itu menunjukkan
pelanggaran pemukulan terhadap isteri. Umar memprotes Navi SAW atas
larangan itu. Menurutnya, “Isteri-isteri kami akan bertindak semaunya bila
mereka mendengar tentang ini.” Tetapi pada saat yang lain, ketika banyak
perempuan mengeluhkan pukulan suami mereka, Nabi bersabda,” Mereka
memukul isteri dan tidak bertingkah laku baik. Sungguh bukan termasuk
pengikutku, mereka yang menyebabkan perempuan menjadi tidak baik.13
2. Kekerasan Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
Hadirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), adalah upaya nyata untuk
pencegahan sekaligus penindakan tindak kekerasan dalam rumah tangga, dalam
hal ini melindungi khususnya perempuan sebagai isteri dalam rumah tangga.
13 Al-Asyhar, Fikih Progresif, h.165
42
Kekerasan yang dimaksud UU PKDRT dalam ketentuan umum BAB I
pasal I ayat (1) menjelaskan bahwa, “ Kekerasan dalam rumah tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran ruamah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga .”14
Sehubungan dengan banyaknya kekerasan, terutama kekerasan dalam
rumah tangga yang merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.
Maka hukum melarang adanya kekerasan dalam rumah tangga tersebut dengan
tujuan memberikan rasa aman orang yang ada di dalamnya termasuk
perempuan (isteri). Dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (PKDRT),15
larangan kekerasan dalam rumah tangga dijelaskan
secara rinci sebagai berikut:
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
14 Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, (Jakarta : Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesia, 2004), h.10
15 Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, h.9-11
43
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga.
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat
pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebgaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu.
Yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah setiap
perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9
1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
orang tersebut.
44
2) Penelantaran sebagaimana diamksud ayat (1) juga berlaku bagi set iap orang
yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga
korban berada di bawah kendali orang tersebut.
B. Jenis-Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan yang dialami perempuan khususnya isteri sangat banyak
macamnya, baik yang bersifat psikologis, fisik, seksual maupun yang bersifat
ekonomis, budaya dan keagamaan, bentuk kekerasan ini hadir dalam lingkungan
keluarga. Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang sering dialami oleh
perempuan yaitu :
1. Kekerasan fisik (Physical Abuse) adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, atau luka berat.16
Tindakan tersebut kekerasan fisik dalah
tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa atau menganiaya orang lain.
Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan anggota tubuh pelaku
(tanpa kaki) atau dengan alat-alat lainnya.17
Kekerasan fisik antara lain berupa pemukulan, penganiayaan, cidera, luka atau
cacat pada tubuh seseorang atau menyebabkan kematian. Dalam konteks relasi
personal, bentuk-bentuk kekerasam fisik yang dialami perempuan mencakup,
16 Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, Pasal 6, h.5
17 http/www.genderkesrepro info. htm, 20 april 2007.
45
antara lain: tamparan, pemukulan, penjambakan, pendorong-dorongan, secara
kasar, penginjak-injakan, penendangan, pencekikan, pelemparan benda keras,
penyiksaan menggunakan benda tajam, seperti pisau, gunting, serta
pembakaran.18
2. Kekerasan psikis (Phsyological Abuse) adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilagnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa sakit tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.19
Kekerasan ini ditunjukkan kepada tubuh atau seksualitas yang bertujuan untuk
merendahkan martabat serta harga diri seseorang. Kekerasan psikologis dapat
meruntuhkan harga diri bahkan memicu dendam dihati isteri kepada suami.
Kekerasan psikologis yang dialami isteri, seperti: dalam bentuk caci maki, kata-
kata kasar, ancaman, pengabaian atau diacuhkan, penolakan, dan tuduhan.20
Tindak kekerasan psikologis tindakan yang bertujuan merendahkan citra atau
kepercayaan diri seorang perempuan, baik melalui kata-kata maupun melalui
perbuatan yang tidak disukai atau dikehendaki korbannya. Tindakan yang bertujuan
mengganggu atau menekan emosi korban secara kejiwaan, korban menjadi tidak
18 Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, (Jakarta :
Publikasi komnas perempuan, 2002),h.41
19 Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004,Pasal 8, h.5
20 Fathul Djannah, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, h.31
46
berani mengungkapkan pendapat, menjadi penurut, menjadi selalu bergantung pada
orang lain dalam segala hal.21
Akibatnya korban menjadi sasaran dan selalu dalam
keadaan tertekan atau bahkan takut. Beberapa tindakan yang termasuk ke dalam
kekerasan psikologis atau jiwa yaitu :
a. Penyiksaan Mental
Bentuk-bentuk penyiksaan psikologis yang dialami perempuan mencakup
makian dan penghinaan yang berkelanjutan untuk mengecilkan harga diri korban,
bentakan dan ancaman yang diberi untuk memunculkan rasa takut, larangan
keluar rumah atau bentuk-bentuk pembatasan kebebasan bergerak lainnya.
b. Diskriminasi
Bentuk diskriminasi dalam keluarga misalnya perempuan sering tidak diberi hak
atas warisan, dibatasi peluang bersekolah diganti dengan anggota laki-laki,
direnggut haknya untuk bekerja diluar rumah, dan dipaksa untuk kawin muda.
c. Kekerasan Seksual (Sexual Abuse) adalah pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Kekerasan ini ditujukan kepada tubuh atau seksualitas yang bertujuan untuk
merendahkan martabat serta harga diri seseorang.
21 http/www.genderkesrepro info. htm, 20 april 2007.
47
d. Penelantaran Ekonomi (Economic Abuse) adalah menelantarkan kebutuhan
ekonomi orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.22
Penelantaran
kebutuhan hidup berupa nafkah dirasakan sangat menderita bagi perempuan atau
isteri yang tergantung oleh suami.23
e. Gabungan antara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran ekonomi
adalah tindakan ini merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan suami terhadap
isterinya yang dapat menimbulkan kerugian isterinya, tindakan ini merupakan
tindakan “out of control”.24
C. Sebab-Sebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga, namun secara umum Farha Ciciek mengemukakan beberapa hal
yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut:
1. Masyarakat masih membesarkan anak lelaki dengan mendidiknya agar
mereka yakin bahwa mereka harus kuat dan berani serta tahan ampun.
22 Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
23 Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, h.42
24 Ratna Batara Munti, Advokasi Legislatif Untuk Perempuan, Solidaritas Masalah dan Draft RUU KDRT, (Jakarta : LBH Apik, 2000), cet.ke-I, h.36
48
Lelaki dilatih untuk merasa berkuasa atas diri dan orang sekelilingnya,
itulah kejantanan. Jika mereka menyimpang dari harapan peran tersebut,
mereka dikategorikan sebagai lelaki lemah. Dan hal ini sangat melukai diri
dan martabat lelaki. Setelah mereka tumbuh menjadi lelaki dewasa dan
menikah, masyarakat semakin mendorong mereka untuk menaklukkan isteri.
Jiak gagal, berarti kejantanannya terancam. Nilai inilah yang mendorong
suami untuk mempergunakan cara apapun, termasuk cara-cara kekerasan demi
menundukkan isterinya. Jika tetap membesarkan anak lelaki seperti ini, maka
termasuk golongan yang melanggengkan budaya kekerasan.
2. Kebudayaan kita mendorong perempuan atau isteri supaya bergantung
kepada suami, khususnya secara ekonomi.
Hal ini membuat perempuan hampir sepenuhnya berada di bawah
kuasa suami. Dan salah satu akibatnya, isteri sering kali diperlakukan semena-
mena sesuai kehendak atau mood suaminya. Banyak penelitian menunjukkan
bahwa pemicu tindak kekerasan terhadap isteri justru bukan “kesalahan” isteri
sendiri. Suami yang frustasi di tempat kerja dan tidak mampu mengatasi
persoalannya dengan sangat mudah melampiaskan kejengkelannya.
3. Fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam
masyarakat
Kita pada umumnya percaya bahwa lelaki berkuasa atas perempuan.
Didalam rumah tangga, ini berarti suami di atas isteri. Isteri adalah
sepenuhnya milik suami sehingga selalu harus berada dalam kontrol suami.
49
Jika isteri keliru menurut cara pandang suami, maka mereka bisa bebrbuat apa
saja agar sang isteri segera kembali ke jalan yang benar. Termasuk di
dalamnya melakukan tindakan kekerasan.25
4. Masyarakat tidak menganggap KDRT sebagai persoalan social, tetapi
persoalan pribadi suami dengan isteri.
Orang lain tidak boleh ikut campur. Kepercayaan ini ditunjang
sepenuhnya oleh masyarakat yang dengan sengaja “menutup mata” terhadap
fakta KDRT yang lazim terjadi. Masyarakat menganggap masalah KDRT
adalah masalah pribadi atau masalah rumah tangga yang orang lain tidak
layak mencampurinya. Hal ini sungguh aneh. kalau kita melihat seorang
perempuan yang tak dikenal diserang oleh seseorang di jalanan, maka kita
akan berupaya menghentikannya atau melaporkannya ke Polisi. Tetapi jika
kita mengetahui seorang suami menganiaya isterinya, kita tidak berbuat apa-
apa. Sikap inilah yang mengakibatkan kekejaman dalam rumah tangga ini
terus berlangsung.
5. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama
Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap
bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan. Tafsiran semacam ini
mengakibatkan pemahaman turunan bahwa agama juga membenarkan suami
25 Farha Ciciek, Jangan Ada Lagi Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.33
50
melakukan pemukulan terhadap isteri dalam rangka mendidik. Hak ini
diberikan kepadanya Karena suami mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.
Suami adalah penguasa yang mempunyai kelebihan-kelebihan kodrati yang
merupakan anugerah Tuhan. Pemahaman seperti diatas akan melestarikan
tinadak kekerasan terhadap perempuan, jika tidak diliruskan dengan
penafsiran yang lebih sesuai dengan semangat keadilan yang merupakan ruh
Islam.
51
BAB IV
ANALISA PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT AKIBAT KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan
1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yang
melaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai
berikut: 1
1. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24.
2. Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok kekeuasaan kehakiman.
3. Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
4. Undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-
undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
5. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
6. Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
7. Peraturan / instruksi / edaran Mahkamah Agung RI.
1 Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 17 September 2009
52
8. Intruksi Dirjen Bimas Islam / Bimbingan Islam.
9. Keputusan Meneteri Agama RI No.69 Tahun 1963, Tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
10. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan tata kerja dan wewenang
Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat
keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963
Tentang Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 2
2. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pada mulanya Pengadilan Agama diwilayah DKI Jakarta hanya terdapat
tiga kantor yang dinamakan kantor cabang yaitu3:
1. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara.
2. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah.
3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk.
Semua Pengadilan Agama tersebut diatas termasuk wilayah hukum
cabang Mahkamah Islam Tinggi Suarakarta. Kemudian setelah berdirinya
cabang-cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat
keputusan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 Tentang Dasar
Pembentukan Pengadilan Agama pada Tanggal 16 Desember 1976.
2
Ibid, h.3.
3 Ibid.,
53
Semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan
Agama yang berada di daerah ibukota Jakarta berada dalam wilayah hukum
Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya
istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA)4.
Beradasarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61
Tahun 1985 tanggal 16 Juli 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta
dipindah ke Jakarta. Akan tetapi realisasinya, baru terlaksana pada tanggal 30
Oktober 1987 dan secara otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama
diwilayah DKI Jakarta adalah menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta.
Secara astronomis wilayah pemerintahan kotamadya Jakarta Selatan
adalah seluas 145,73 Km2 dan secara astronomis wilayah kotamadya Jakarta
Selatan terletak dan berada pada posisi 06’15’40,8’ lintang selatan
106’45/0’00’ bujur timur dan berada pada kemiringan 26,2 meter diatas
permukaan laut.
Letak bangunan gedung Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang
sekarang terletak dijalan Rambutan VII/48 Pejaten Barat Pasar Minggu
Jakarta Selatan dengan luas gedung 1000 M2.
Wilayah kotamadya Jakarata Selatan pada masa perkembangannya,
pada tahun 2001 ketika kepemimpinan dijabat oleh Bapak Zainuddin Fajri,
4 Ibid, h. 4.
54
pembenahan-pembenahan semua bidang baik fisik maupun non fisik diadakan
komputerisasi dengan online komputer, dan ini terus dibenahi sampai
sekarang dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
pencari keadilan dan menciptakan peradilan yang bersih, disiplin dan
berwibawa.5
B. Prosedur Cerai Gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Berdasarkan undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama
disebutkan pada pasal 65 bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan, seperti yang diungkapkan Murti Arto dalam bukunya Praktek
Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, maka tata cara penyelesaian cerai gugat
diatur sebagai berikut;6
1. Gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama.
2. Surat gugatan cerai isinya memuat;
a. Identitas (nama, umur, tempat kediaman penggugat (istri) dan tempat
kediaman tergugat (suami).
b. Alasan-alasan yang menjadi dasar perceraian.
c. Petitum perceraian.
3. Kewenangan Relatif Peradilan Agama
5 Ibid.,
6 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 1996).h.132.
55
Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat, kecuali dalam
hal sebagai berikut;
a. Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin tergugat, maka gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat.
b. Dalam hal Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka
gugatan perceraian juga diajukan kepada Pengadilan Agama yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tegugat.
c. Penggugat dan tergugat yang beertempat kediaman di laur nergeri,
maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.(Pasal 73 UU No.7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama).Gugatan cerai diproses di kepaniteraan
gugatan dicatat dalam Register Induk Perkara Gugatan.
4. Pemanggilan pihak-pihak
Pemanggilan pihak-pihak dalam perkara cerai dilakukan sama dengan
panggilan dalam perkara cerai talak. Panggilan terhadap para pihak yang
tempat kediamannya berada di wilayah Pengadilan lain, dilakukan melalui
Pengadilan Agama di tempat kediaman pihak yang dipanggi ( Pasal 103 (2)
Undang-Undang Peradilan Agama).
56
5. Pemeriksaan
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakuakn oleh majelis hakim selambat-
lambatnya tiga puluh hari setelah berkas atau surat guagatn perceraian
didaftarkan di Kepaniteraan. Pemeriksaaan dilakukan dalam sidang tertutup,
demikian pula pemeriksaan saksi-saksi (Pasal 80 Ayat (1) & (2) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agam, pasal 33 PP Nomor 9
Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. Tahun 1974 tentang perkawinan).
Selain itu tentang waktu antara pendaftaran perkara cerai gugat sama dengan
perkara cerai talak.
6. Upaya Perdamaian
Dalam hal ini hakim hendaknya selalu dilakukan pada setiap awal
persidangan. Upaya perdamaian dalam perkara gugatan cerai dilakukan sama
seperti dalam perkara cerai talak.
7. Pembuktian
Dalam pembuktian tentang alasan-alasan cerai guat, sama dengan
perkara cerai talak, kecuali dalam perkara cerai dengan alasan zina,
pelanggaran ta’lik talak dan pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan.
8. Putusan
Setelah memeriksa isi gugatan yang diajukan dan berkesimpulan bahwa
alasan yang diajukan cukup beralasan dan dapat diterima, terbukti serta tidak
dimungkinkan lagi tercapainya perdamaian antara keduanya, maka
Pengadilan Agama dapat memutuskan sesuatu dengan suatu putusan.
57
Dalam gugatan perceraian apabila ternyata penyebab perceraian itu tibul
dari suami atau tidak dapt diketahui dengan pasati maka perkawinan
diputuskan dengan talak ba’in. Tetapi apabila perceraian itu timbul dari
pihak isteri, maka perkawinanya diputuskan dengan khulu’, sehingga isteri
diwajibkan membayar iwadh (tebusan) kepada suaminya yang besarnya
dipertimbangkan oleh hakim secara adil dan bijaksana. Selain itu perlu
diketahui juga dalam HIR pasal 178 dikatakan bahwa hakim tidak diizinkan
menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat atau memberikan
lebih dari apa yang digugat.
Dalam sidang pertama yang telah ditetapkan dan para pihak telah
dipanggil untuk hadir dalam sidang tersebut maka ditemukan bebrapa
kemungkinan, yaitu:
a) Penggugat tidak hadir, sedang tergugat hadir.
Apabila penggugat tidak hadir dalam sidang, sedang tergugat hadir,
maka hakim dapat:
- Menyatakan bahwa gugatan dinyatakan gugur, atau
- Menunda persidangan sekali lagi untuk memanggil penggugat
b) Tegugat tidak hadir, sedang penggugat hadir. Apabila dalam sidang
pertama tesebut penggugat hadir sedang tergugat tidak hadir maka
hakim dapat:
- Menunda persidangan untuk memanggil tergugat sekali lagi, atau
- Menjatuhkan putusan verstek, karena tergugat dinilai ghaib.
58
Kemudian apabila tergugat telah dipanggil lagi untuk kedua kalinya
atau lebih dan tetap tidak hadir maka dapat diajukan putusan verstek.
c) Penggugat dan tergugat tidak hadir dalam sidang.
Jika Penggugat dan Terguagt tidak hadir dalam sidang pertama, maka
sidang harus ditunda dan para pihak dipanggil lagi samapi dapat
dijatuhkan putusan gugur atau verstek atau perkara dapat diperiksa.
d) Pengguat dan tergugat hadir dalam semua sidang.
Jika para pihak semua hadir dalam sidang, maka hakim sebelum
memulai wajib berusaha mendamaikan para pihak.
C. Putusan Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Tentang Duduk Perkara
Tentang para pihak. Pada putusan ini adalah perkara nomor
243/Pdt.G/2008/PA.JS. Penggugat adalah isteri, umur 51 tahun, agama Islam,
pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal di Jl. Peninggaran No. 57 Rt.
011/09, Kelurahan Kebayoran Lama Utara, Kecamatan Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan, selanjutnya disebut sebagai pihak “Penggugat”. Tergugat
adalah suami umur 53 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, tempat tinggal di
Jl. Kangkung No. 11 Rt. 015/006, Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut sebagai “Tergugat”.
Pada tanggal 08 Agustus 1987, telah melangsungkan pernikahan
Penggugat dengan Tergugat, tercatat di PPN. KUA Kecamatan Kebayoran
59
Lama, Jakarta Selatan dengan Kutipan Akta Nikah Nomor : 738/135/IX/1987
tanggal 08 Agustus 1987.
Sejak menikah sampai dengan tahun 1994 kehidupan rumah tangga
Penggugat dan Tergugat masih rukun sebagaimana layaknya suami isteri
meskipun pernah timbul perselisihan namun dapat diatasi. Pada waktu kurun
berumah tangga Penggugat dan Tergugat berkediaman di Jalan Kangkung
Rt.015/006 No.11 Kelurahan Grogol Selatan Kecamatan Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan.
Namun sejak tahun 1994 sampai dengan sekarang kehidupan rumah
tangga Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan/pertengkaran
secara terus menerus yang sulit diatasi, sehinngga membawa akibat buruk bagi
kelangsungan hidup berumah tangga.
Sebab-sebab terjadinya perselisihan tersebut utamanya karena Tergugat
sering bicara kasar dan suka memukul, Tergugat setiap kali cekcok selalu
merusak barang-barang rumah tangga, Tergugat sering menghujat dan menghina
Penggugat, Tergugat jarang pulang sampai beberapa hari dan kalau pulang terus
cekcok hanya karena masalah kecil menjadi besar.
Akibat dari perselisihan tersebut akhirnya sejak awal Februari 2008
sampai sekarang ± 2 minggu Penggugat dengan Tergugat telah berpisah tempat
tinggal, yang mana dalam pisah tersebut Peenggugat dan Tergugat masing-
masing tinggal dialamat tersebut diatas.
60
Penggugat telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan cara
musyawarah, namun upaya tersebut tidak berhasil, oleh karenanya Penggugat
merasa rumah tangganya tidak bisa dipertahankan lagi, dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam berumah tangga.
2. Tentang Pertimbangan Hukumnya
Adapun pertimbangan hukumnya bahwa maksud dan tujuan perkawinan
tidak terwujud. Pada pokok gugatan penggugat memuat hal-hal sebagai berikut:
1) Antara Penggugat dan Tergugat terdapat ikatan perkawinan yang sah sejak
tanggal 08 Agustus 1987 dengan bukti Kutipan Akta Nikah dengan nomor:
738/135/IX/1987, yang tercatat di PPN. KUA Kecamatan Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan.
2) Rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis lagi dan
antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran
terus menerus. Tergugat tidak kerja dan tidak memberi nafkah.
Selama persidangan perkara ini berlangsung, Majelis hakim telah
berusaha menasehati, memberikan pandangan-pandangan dan mendamaikan
Penggugat dan Tergugat sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (1) Undang-
undang No.1 Tahun 1974 jo pasal 82 ayat (1) dan (2) Undang-undang No.7
Tahun 1989 yang diamandemen Undang-undang No.3 Tahun 2006 jo pasal 31
dan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 agar Penggugat dan Tergugat rukun
lagi kembali membina rumah tangga akan tetapi tidak berhasil.
61
3) Kemudian Penggugat didalam persidangan tetap teguh terhadap dalil-
dalilnya yang telah dibenarkan oleh Tergugat dianggap sebagai pengakuan
Tergugat, sehingga oleh karenanya dalil-dalil Penggugat tersebut telah
menjadi dalil yang tetap, dan sesuai dengan ketentuan pasal 174 HIR,
pengakuan tersebut dipandang telah mempunyai kekuatan pembuktian.
4) Terhadap bantahan-bantahan Tergugat tersebut Majelis hakim berpendapat
bahwa bantahan-bantahan tersebut ternyata tidak mengurangi nilai terhadap
dalil-dalil yang diakuinya karena Tergugat 4 kali berturut-turut sidang
terakhir tidak hadir tanpa ada keterangan, Tergugat sudah tidak mau
menggunakan haknya lagi.
Kemudian Majelis hakim menemukan fakta-fakta didalam persidangan
sebagai berikut;
- Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah.
- Bahwa Penggugat dan Tergugat sering bertengkar sejak tahun 1994.
- Bahwa Tergugat sering melakukan kekerasan kepada Penggugat.
- Bahwa Penggugat dan Tergugat pisah rumah selama 4 bulan.
Oleh sebab itu, maka gugatan Penggugat dapat dikabulkan mengingat
juga bahwa keterangan para saksi tersebut secara formil dapat diterima karena
telah memenuhi unsur pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,
yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan secara materil
dapat dipertimbangkan karena satu sama lain saling bersesuaian sebagaimana
62
dimaksud oleh pasal 170 dan pasal 172 HIR. Dan berdasarkan keterangan
Penggugat jawaban Tergugat bukti-bukti dan keterangan para saksi yang saling
bersesuaian tersebut.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, setelah memeriksa majelis hakim
berkesimpulan bahwa maksud dan tujuan perkawinan menurut ketentuan
hukum perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 jo. pasal 3 Kompilasi
Hukum Islam adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau membentuk rumah tangga
yang sakinah mawaddah dan rahmah, tidak terwujud namun yang terjadi dalam
rumah tangga Penggugat dan Tergugat adalah sebaliknya yaitu suatu rumah
tangga penuh dengan perselisihan dan pertengkaran bahkan antara Penggugat
dengan Tergugat telah berpisah rumah selama kurang lebih 4 bulan sehingga
kedua belah pihak sudah tidak dapat lagi menjalankan hak dan kewajibannya
masing-masing.
Rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat sudah pecah belah dan
sudah tidak harmonis lagi serta tidak sesuai dengan tujuan perkawinan
sebagaimana tersebut diatas, maka mempertahankan rumah tangga Penggugat
dan Tergugat dikhawatirkan dapat menimbulkan hal-hal yang negatif bagi
keduanya, sehingga Majelis hakim berpendapat bahwa alasan Penggugat telah
sesuai dengan ketentuan pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 jo. pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. pasal
116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, dan tetap teguh pada pendiriannya untuk
63
bercerai maka gugatan Penggugat patut dikabulkan, karena dalil gugatan
Penggugat dapat dibuktikan dengan alasan-alasan yang tepat dan tidak melawan
hukum.
Pertimbangan hakim telah tepat, karena berdasarkan KHI pasal 116 point
(d) dinyatakan bahwa “salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain” dan juga point (f),
dinyatakan bahwa “antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga”
Dengan pertimbangan-pertimbangan diatas, jelas adanya bahwa pihak
Penggugat tetap pada pendiriannya dan memutuskan untuk bercerai dari
suaminya, dengan berbagai alasan dan pelanggaran dari pihak Tergugat serta
tidak mengabaikan pasal 19 huruf (f) , PP No. 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 116 huruf (f)
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Penggugat dapat dikabulkan atas
permohonannya untuk menggugat cerai yaitu Talak Satu Bain Sughro.
D. Analisa Penulis
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa secara
terminologi yang dimaksud dengan kekerasan adalah perbuatan sesorang atau
sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau
64
menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, sedangkan rumah tangga
dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah sesuatu yang berkenaan dengan
masalah kehidupan di rumah.7
Seperti yang telah di urai diatas bahwa kekerasan dalam rumah tangga
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran ruamah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.8
Kekerasan secara umum didefinisikan sebagai suatu tindakan yang
bertujuan untuk melukai seseorang atau merusak barang. Dalam hal ini segala
bentuk ancaman, cemohan, pengucapan kata-kata kasar. Juga diartikan sebagai
penggunaan kekuatan fisik untuk melukai manusia atau merusak barang, serta
mencakup ancaman pemaksaan terhadap kebebasan individu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah
setiap kekerasan yang mengakibatkan luka fisik, psikis, seksual, dan ekonomi
yang terjadi dalam ruang lingkup domestik antara orang-orang dalam hubungan
keluarga atau perkawinan.
7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka), cet. ke-2, h.429
8 Lihat Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, pasal 1
65
Kekerasan, khususnya dalam lingkup rumah tangga, dalam bentuk apapun
dan dilakukan terhadapa siapa saja, merupakan tindakan yang bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Karena Islam sendiri selalu
mengajarkan untuk berlaku lemah lembut dan kasih sayang antar sesama
Bagi seorang suami harus mampu menciptakan kehidupan tenteram dan
harmonis dalam rumah tangganya. Dapat memposisikan isterinya sebagai
teman bergaul yang baik,
“Dengan prinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf, persoalan yang timbul dalam
urusan rumah tangga bisa terselesaikan dengan baik.”9
Namun sangat
disayangkan hal semacam ini jarang diterapkan dalam rumah tangga muslim,
selalu pada suami sebagai orang yang paling berhak dalam pengambilan
keputusan.
Apabila isteri tidak taat atau melanggar atas keputusan suami, maka isteri
dikenakan sanksi nusyuz. Dalam ketentuan ini sering dijadikan dalih atas
perlakuan suami terhadap isterinya untuk memberikan hukuman berupa
kekerasan. Dengan menggunakan dalil ayat Al-Quran tentang nusyuz, surat an-
Nisa’ ayat 34, “…dan pukullah mereka…,” sering disalahartikan dengan
pemahaman yang sempit.
9 Ibid, h.164
66
2. Jenis-Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan yang dialami perempuan khususnya isteri sangat banyak
macamnya, baik yang bersifat psikologis, fisik, seksual maupun yang bersifat
ekonomis, budaya dan keagamaan, atau bentuk kekerasan lainnya yang
mengakibatkan isteri terluka baik jasmani ataupun rohaninya.
Pada penelitian ini penulis menemukan jenis-jenis kekerasan dalam
rumah tangga Bentuk-bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga yang sering
terjadi juga bermacam-macam, mulai dari yang umum dilakukan yaitu
pemukulan yang dilakukan suami terhadap isterinya sampai kepada
penamparan di wajah isteri, penyeretan oleh si suami (isteri diseret-seret
suami), penjedotan, misalnya, kepala isteri dijedotin ke jendela, dinding dan hal
yang keras lainnya, dipeluntir bagian tubuh si isteri, pemaksaan dan banyak
tindakan-tindakan lain.
3. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga di dalam masyarakat. Pertama, budaya kita yang masih menganggap
membesarkan anak lelaki dengan mendidiknya agar mereka yakin bahwa
mereka harus kuat dan berani serta tahan ampun. Kedua, kebudayaan kita
mendorong perempuan atau isteri supaya bergantung kepada suami, khususnya
secara ekonomi. Ketiga, fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan
67
setara dalam masyarakat. Keempat, masyarakat tidak menganggap KDRT
sebagai persoalan sosial, tetapi persoalan pribadi suami dengan isteri. Kelima,
pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama.10
Selain itu dari penelitian ini penulis temukan faktor- faktor pendukung
lainnya yang datang dari luar, tidak bisa disangkal hal yang dianggap kecil atau
sepele misalnya, si isteri pemboros atau sebut saja sering keluar baik siang atau
malam tanpa izin suaminya, dari sini saja sudah dapat membuat pergaduhan
atau pertengkaran yang memancing si suami untuk melakukan tindak kekerasan
tersebut, karena tingkat emosional setiap orang berbeda-beda sesuai dengan
kondisi dan keadaan orang tersebut, bahkan sampai hal-hal yang lain seperti
isteri tidak melayani suami, perselingkuhan, si isteri susah diatur (keras kepala)
sampai kepada masalah keuangan (ekonomi).11
4. Pertimbangan Hakim
Dari putusan yang penulis dapatkan, perkara ini diperiksa oleh Pengadilan
Agama Jakarta Selatan yang mengambil sumber hukum Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 serta Inpres Tahun
1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana ketiga perundang-undangan ini
adalah yang digunakan pada Pengadilan Agama seluruh Indonesia.
10 Farha Ciciek, Jangan Ada Lagi Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.33
11 Wawancara Pribadi dengan Dra. Noor Jannah Aziz, M.H., Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan (Jakarta : 10 September 2009)
68
Dalam putusan ini kekerasan dalam rumah tangga dijadikan sebagai alasan
perceraian. Padahal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tetang
Perkawinan tidak tertulis dan tidak ada menyebutkan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga sebagai alasan Perceraian, oleh sebab itu perlu ada pertanyaan mengapa
Hakim memutuskan demikian.
Jika diperhatikan kemudian dianalisa dengan seksama, maka pada pasal 116
point (d) pada isi Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat kata-kata kekejaman
atau penganiayaan berat, memang tidak disebutkan secara detail bahwa kekerasan
dalam rumah tangga itu sebagai alasan perceraian. Namun jika diterjemahkan lagi
maka kata-kata kekejaman dan penganiayaan berat itu mengarah kepada objek
berupa fisik atau tubuh.
Jadi penulis menyimpulkan bahwa pertimbangan Hakim terhadap perkara
yang diputus telah tepat, karena berdasarkan KHI pasal 116 (d), yang menyatakan
bahwa ”salah satu pihak melakukan kekejaman atau peganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain” dan juga point (f) yang menyatakan ”antara suami
dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun kembali dalan rumah tangga”.
Dalam hal ini hakim sebagai pembuat keputusan dari perkara-perkara yang
diajukan kepadanya, lebih mengedepankan aspek kemaslahatan yaitu lebih melihat
maslahat di kemudian hari yang akan terjadi bilamana pernikahan tersebut tidak
diputus dan tetap berjalan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan
69
akan menimbulkan kemudharatan yang akan terjadi.12
Demikianlah maksud
perkawinan yang sejati dalam Islam. Dengan singkat untuk kemaslahatan dalam
rumah tangga dan turunan, juga untuk kemaslahatan masyarakat karena tujuan
utama dari pernikahan adalah untuk menciptakan keluarga sakinah, mawaddah,
dan rahmah sebagaimana yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).13
12 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Prenada Media, 2003),cet.I, h.124
13 Lihat KHI Pasal 3
71
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah melakukan penelitian dan menganalisa putusan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dengan Nomor Perkara 243/ Pdt.G/ 2007/ PA.JS. tentang kasus cerai
gugat yang disebabkan oleh tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat disimpulkan
bahwa:
1. Kekerasan secara umum didefinisikan sebagai suatu tindakan yang bertujuan
untuk melukai seseorang atau merusak barang. Dalam hal ini segala bentuk
ancaman, cemohan, pengucapan kata-kata kasar. Juga diartikan sebagai
penggunaan kekuatan fisik untuk melukai manusia atau merusak barang, serta
mencakup ancaman pemaksaan terhadap kebebasan individu. Jadi dapat
disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap kekerasan
yang mengakibatkan luka fisik, psikis, seksual, dan ekonomi yang terjadi
dalam ruang lingkup domestik antara orang-orang dalam hubungan keluarga
atau perkawinan.
2. Kekerasan yang dialami perempuan khususnya isteri sangat banyak
macamnya, baik yang bersifat psikologis, fisik, seksual maupun yang bersifat
ekonomis, budaya dan keagamaan, atau bentuk kekerasan lainnya yang
mengakibatkan isteri terluka baik jasmani ataupun rohaninya.
72
3. Pertimbangan Hakim terhadap perkara yang diputus telah tepat, sesuai dengan
ketentuan pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo pasal
116 huruf f Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan antara suami dan isteri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun kembali dalan rumah tangga dan diikuti dengan pembuktian
dari keterangan para saksi yang saling bersesuaian.
B. Saran-saran
1. Perwujudan pelaksanaan hukum Islam yang baik baik sangat tergantung pada
tiga pilar hukum. Pertama, pelaku atau penegak hukum itu sendiri. Kedua,
peraturan hukum. Ketiga, kesadaran hukum masyarakat Ketiga pilar hukum
tersebut harus tegak secara baik.
2. Kepada pelaku atau penegak hukum lebih mensosialisasikan akan akibat dan
dampak dari bahaya atas pelanggaran peraturan hukum yang dibuat tersebut.
Bukan hanya mendesain peraturan hukum tetapi menggalakkannya. Terlebih
pada kasus cerai gugat akibat tindak kekerasan dalam rumah tangga.
3. Kepada masyarakat harus mampu menumbuhkan rasa sadar untuk mematuhi
hukum. Terlebih masyarakat muslim Indonesia disarankan untuk tidak
melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga karena memiliki efek buruk
bagi kelangsungan hidup berumah tangga.
73
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Mukhtasar Shahih Muslim, (Beirut : Al-
Makkah Al-Islami, tth), Jilid I
Al-Quran dan terjemahannya. Jakarta : Departemen Agama RI, 1994
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 17 September 2009
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1996), cet.I
Ayub, Syaikh Hasan, Fkih Keluarga. Penerjemah M. Abdul Ghoffar (Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 2001)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta :
Balai Pustaka), cet. ke-2
Djalil, A. Basiq, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi
Hukum Islam, (Jakarta : Qalbun Salim, 2005)
Djannah, Fathul, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, (Yogyakarta : Lkis, 2003)
Farha Ciciek, Jangan Ada Lagi Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.33
Haddad, Habib Abdullah, Nasehat Agama dan Wasaiat Iman, Terjemah An-nasaih
Ad-diniyah wa Al-washaya Al-imaniyah, (Bandung : Gema Risalah Press,
1993), cet.ke-3
Hasbianto, Elli, H. Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Sebuah Kejahatan yang
Tersembunyi, dalam Syafiq Hasyim, ed., Menakar Harga Perempuan :
74
Ekplorasi Lanjut Atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam, cet-II,
Bandung : Mizan, 1999
Husain, Muhammad, Abi, bin Mas’ud Baghwi, 516-463 H, Syarohus sunnah Jilid 5,
Darul Kitabul Alamiah,Beirut
Kamarusdiana, dan Aripin, jaenal, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta : UIN
Jakarta Press, 2007), cet.ke-1
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, (Jakarta : Kementerian
Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2004), h.10. Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 14
Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, (Jakarta :
Publikasi komnas perempuan, 2002)
Kompilasi Hukum Islam, Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jakarta, 1999
Kuzairi, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995)
Mahmud, Hussein, Refleksi Teologis Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan,
Dalam Syafiq Hasyim, ed., Menakar Harga Perempuan: Eksplorasi Lanjut
Atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam, cet-II, Bandunh :
Mizan, 1999
Muhdhor, Zuhdi, A. Memahami Hukum Perkawinan, (Nikah, Talak, Cerai dan
Rujuk), (Bandung : Al-Bayah, 1999), cet.ke-2
Mulyanti, Sri, Relasi Suami Istri dalam Islam (Jakarta: Pusat Study Wanita (PSW),
UIN Syarif Hidayatullah, 2004)
75
Munti, Batara, Ratna, Advokasi Legislatif Untuk Perempuan, Solidaritas Masalah
dan Draft RUU KDRT, (Jakarta : LBH Apik, 2000), cet.ke-I
Nuruddin Amiur, dan Tarigan, Akmal, Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta : Kencana, 2004)
Paige, Glenn, D. dkk., ed., Islam Tanpa Kekerasan, Penerjemah M. Taufiq Rahman,
cet-II, Yogyakarta : LKis, 2000
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Penerjemah As’ad Yasin (Jakarta :
Gema Insani Press, 1995)
Rahman, A. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2002), cet. ke-1
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Jakarta : Attahiriyah, 1976), cet.ke-17
Razak, Abdur, Fada, Bangga Menjadi Muslimah, Penerjemah Muhammad Haris KS
dan Abdul Mukti Tabrani, (Yogyakarta : Think, 2005)
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia ,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2005), cet. ke-6
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah: Fikih Sunnah 8, Terjemahan oleh Moh. Thalib
(Bandung : PT.Al-Ma’arif, 1996), cet.II
Said, Fuad, H.A. Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta : Pustaka al-Husna,
1998), cet.ke-30
Shidieq, Ahmad, Hukum Talak dalam Islam, (Surabaya: Putra Pelajar 2001)
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Prenada Media, 2003),cet.I
76
Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam,
(Jakarta, 2004)
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi ke-2, cet.VII, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, (Jakarta : Visimedia, 2007), cet.I
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: PP No.9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Peraturan UU No.1 Tahun 1974 (Jakarta : Pradnya Paramita,
1991)
Wawancara Pribadi dengan Dra. Noor Jannah Aziz, M.H., Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Selatan (Jakarta : 10 September 2009)
www.genderkesrepro info. Htm
C. Putusan Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Tentang Duduk Perkara
a. Tentang para pihak. Pada putusan ini adalah perkara nomor
243/Pdt.G/2008/PA.JS. Penggugat adalah isteri, umur 51 tahun, agama Islam,
pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal di Jl. Peninggaran No. 57 Rt. 011/09,
Kelurahan Kebayoran Lama Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan,
selanjutnya disebut sebagai pihak “Penggugat”.
Tergugat adalah suami umur 53 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, tempat
tinggal di Jl. Kangkung No. 11 Rt. 015/006, Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut sebagai “Tergugat”.
b. Tentang Posita / Duduknya Perkara
1. Bahwa, pada tanggal 08 Agustus 1987, telah melangsungkan pernikahan
Penggugat dengan Tergugat, tercatat di PPN. KUA Kecamatan Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan dengan Kutipan Akta Nikah Nomor : 738/135/IX/1987 tanggal 08
Agustus 1987 ;--------------------------------------------------------------------------------
2. Bahwa, sejak menikah sampai dengan tahun1994 kehidupan rumah tangga
Penggugat dan Tergugat masih rukun sebagaimana layaknya suami isteri
meskipun pernah timbul perselisihan namun dapat diatasi. Pada waktu kurun
berumah tangga Penggugat dan Tergugat berkediaman di Jalan Kangkung
Rt.015/006 No.11 Kelurahan Grogol Selatan Kecamatan Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan ;-------------------------------------------------------------------------------
3. Bahwa, dari pernikahan tersebut belum dikaruniai anak walaupun telah
berhubungan suami isteri ;-------------------------------------------------------------------
4. Bahwa, sejak tahun 1994 sampai dengan sekarang kehidupan rumah tangga
Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan/pertengkaran secara terus
menerus yang sulit diatasi, sehinngga membawa akibat buruk bagi kelangsungan
hidup berumah tangga ;----------------------------------------------------------------------
5. Bahwa, sebab-sebab terjadinya perselisihan tersebut karena ;--------------------------
5.1. Penggugat dan Tergugat menikah dalam status janda dan duda ;-----------------
5.2. Tergugat sering bicara kasar dan suka memukul ;----------------------------------
5.3. Tergugat setiap kali cekcok selalu merusak barang-barang rumah tangga ;-----
5.4. Tergugat dalam memberi nafkah hanya kalau ada hubungtan suami isteri jika
tidak ada hubungan suami isteri maka Tergugat tidak memberi uang/nafkah ;-
5.5. Tergugat sering menghujat dan menghina Penggugat ;----------------------------
5.6. Tergugat jarang pulang sampai beberapa hari dan kalau pulang terus cekcok
hanya karena masalah kecil menjadi besar ;-----------------------------------------
5.7. Tergugat pernah mengusir Penggugat dari rumah tinggal bersama orang tua
Tergugat ;---------------------------------------------------------------------------------
6. Bahwa, akibat dari perselisihan tersebut akhirnya sejak awal Februari 2008
sampai sekarang -+ 2 minggu Penggugat dengan Tergugat telah berpisah tempat
tinggal, yang mana dalam pisah tersebut Peenggugat dan Tergugat masing-masing
tinggal dialamat tersbut diatas ;-------------------------------------------------------------
7. Bahwa, Penggugat telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan/cara
musyawarah, namun upaya tersebut tidak berhasil ;-------------------------------------
8. Bahwa, dengan sebab-sebab tersebut diatas, maka Penggugat mersa rumah
tangganya tidak bisa dipertahankan lagi, dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam berumah tangga, oleh karena itu mohon kiranya kepada Bapak Ketua
Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk dapat memutuskan perkawinan antara
Penggugat dan Tergugat ;--------------------------------------------------------------------
Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, maka Penggugat merasa mohon kepada
Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, agar dapat memutuskan hal-hal
sebagai berikut ;-----------------------------------------------------------------------------------
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya ;-------------------------------------------
2. Menjatuhkan Thalak satu bain sughro Tergugat terhadap Penggugat ;---------------
3. Menetapkan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan ;------
4. Atau menjatuhkan putusan perkara ini dengan seadil-adilnya ;------------------------
b. Tentang Hukumnya
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebgaimana
tersebut diatas ;-----------------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa yang menjadi permasalahan Penggugat mengajukan
gugatannya adalah karena rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis
lagi dan antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran terus
menerus, sebab Tergugat tidak kerja dan tidak memberi nafkah ;------------------------------
Menimbang, bahwa Majelis hakim telah berusaha menasehati dan mendamaikan
Penggugat dan Terggugat sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (1) Undang-undang
No.1 Tahun 1974 jo pasal 82 ayat (1) dan (2) Undang-undang No.7 Tahun 1989 yang
diamandemen Undang-undang No.3 Tahun 2006 jo pasal 31 dan Peraturan Pemerintah
No.9 tahun 1975 agar Penggugat dan Tergugat rukum lagi kembali membina rumah
tangga akan tetapi tidak berhasil ;-------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa berdasarkan sesuai dengan bukti P-2 (KTP Penggugat) bahwa
Penggugat berdomisili diwilayah Jakarta selatan, maka perkara ini menjadi wewenang
Pengadilan Agama Jakarta Selatan ;----------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Penggugat dan telah dibenarkan oleh
Tergugat serta sebagimana ternyata dati Akta Kutipan Nikah dari KUA Kecamatan
Kebayoran Lama Jakarta Selatan, Nomor : 738/135/IX/1987 tanggal 8 Agustus 1987
(bukti P-1) harus dinyatakan terbukti bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah
terikat dalam suatu pernikahan yang sah ;----------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa selama persidangan perkara ini berlangsung, Ketua majelis
telah berusaha untuk memberikan nasehat-nasehat dan pandangan-pandangan kepada
Penggugat agar bersabar dan rukun kembali dengan Tergugat akan tetapi tidak berhasil ;-
Menimbang, bahwa Penggugat didalam persidangan tetap teguh terhadap dalil-
dalilnya dan tetap mau bercerai ;--------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa Tergugat yang hadir sendiri dalam persidangan menyatakan
gugatan Penggugat tidak benar tidak justru Penggugat yang sering pergi meninggalkan
Penggugat ;---------------------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa terhadap dalil-dalil Penggugat yang telah dibenarkan oleh
Tergugat dianggap sebagai pengakuan Tergugat, sehingga oleh karenannya dalil-dalil
Penggugat tersebut telah menjadi dalil yang tetap, dan sesuai dengan ketentuan pasal 174
HIR, pengakuan tersebut dipandang telah mempunyai kekuatan pembuktian ;---------------
Menimbang, bahwa terhadap bantahan-bantahan Tergugat tersebut Majelis hakim
berpendapat bahwa bantahan-bantahan tersbut ternyata tidak mengurangi nilai terhadap
dalil-dalil yang diakuinya karena Tergugat 4 kali berturut-turut siding terakhir tidak hadir
tanpa ada keterangan, Tergugat sudah tidak mau menggunakan haknya lagi ;----------------
Menimbang, bahwa keterangan para saksi tersbtu secara formil dapat diterima
karena telah memenuhi unsur pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,
yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan secara materil dapat
dipertimbangkan karena satu sama lain saling bersesuaian sebagaimana dimaksud oleh
pasal 170 dan pasal 172 HIR ;-----------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Penggugat jawaban Tergugat bukti-
bukti dan keterangan pada saksi yang saling bersesuaian tersebut Majelis hakim
menemukan fakta-fakta didalam persidangan sebagai berikut ;---------------------------------
- Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah ;------------------------
- Bahwa Penggugat dan Tergugat sering bertengkar sejak tahun 1994 ;----------------
- Bahwa Tergugat sering melakukan kekerasan kepada Penggugat ;--------------------
- Bahwa Penggugat dan Tergugat pisah rumah selama 4 bulan ;------------------------
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan perkawinan menurut ketentuan hukum
perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 3 Kompilasi Hukum Islam adalah
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekeal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, atau membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah,
namun yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat adalah sebaliknya yaitu
suatu rumah tangga penuh dengan perselisihan dan pertengkaran bahkan antara
Penggugat dengan Tergugat telah berpisah rumah selama kurang lebih 4 bulan sehingga
kedua belah pihak sudah tidak dapat lagi menjalankan hak dan kewajibannya masing-
masing ;-----------------------------------
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, maka Majelis
hakim berkesimpulan bahwa rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat sudah
pecah belah dan sudah tidak harmonis lagi serta tidak sesuai dengan tujuan perkawinan
sebagaimana tersebut diatas, maka
mempertahankan rumah tangga Penggugat dan
Tergugat dikhawatirkan dapat menimbulkan hal-hal yang negatif bagi keduanya,
sehingga Majelis hakim berpendapat bahwa alasan Penggugat telah sesuai dengan
ketentuan pasal 30 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 jo pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 jo passal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, maka gugatan
Penggugat patut dikabulkan ;------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 jo pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta SEMA Nomor :
28/TUADA-AG/X/2002 tanggal 22 Oktober 2002 maka Majelis hakim memerintahkan
kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk mengirimkan salinan putusan
ini kepada KUA Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan untuk mencatat perceraian
tersebut ;-------------------------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka sesuai
dengan ketentuan pasal 89 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah
diamandemenkan dalam Undang-Undang No.3 Tahun 2006, biaya perkara
ini dibebankan kepada Penggugat ;------------------------------------------
--------------------------- Mengingat, pasal-pasal peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan
ketentuan lain yang berkaitan dengan perkara ini ;-----------------------------------------------