v
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
UCAPAN TERIMAKASIH iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR TABEL x
BAB I PENDAHULUAN
A. Pemahaman Judul I-1
B. Latar Belakang I-1
C. Permasalahan dan Persoalan I-4
D. Tujuan dan Sasaran I-4
E. Lingkup Pembahasan dan Batasan I-4
F. Strategi dan Metodologi Rancang Bangun I-5
G. Sistematika Penulisan I-7
BAB II KAJIAN DAN TINJAUAN
A. Kajian Tunanetra II-1
1. Pemahaman Tunanetra II-1
2. Penggolongan Tunanetra II-2
a. Berdasarkan Tingkat Ketajaman II-2
b. Bedasarkan Saat terjadinya Kebutaan II-3
c. Berdasarkan Kelemahan Visual II-4
3. Karakteristik / Perilaku Tunanetra II-5
a. Karakteristik Tunanetra Total II-5
b. Karakteristik Tunanetra Kurang Lihat (parsial) II-7
4. Ekspresi Ruang Terhadap Tunanetra II-8
5. Persyaratan Teknis Aksesibilitas Penyandang Tunanetra
Berdasarkan Ketetapan Menteri Pekerjaan Umum Repulik
Indonesia nomor 468/KPTS/1998 II-11
B. Kajian Perpustakaan II-20
1. Pemahaman II-20
2. Fungsi Perpustakaan II-21
vi
a. Fungsi Pendidikan II-21
b. Fungsi Kultural II-21
c. Fungsi Rekreasi II-22
d. Fungsi Dokumentasi II-22
3. Jenis Perpustakaan II-22
a. Perpustakaan Umum II-22
b. Perpustakaan Khusus II-22
c. Perpustakaan Sekolah II-23
d. Perpustakaan Perguruan Tinggi II-23
e. Perpustakaan Nasional II-23
4. Kegiatan Pokok Perpustakaan II-23
a. Pembinaan Bahan Koleksi II-23
b. Pengolahan Bahan Koleksi II-24
c. Pelayanan II-25
d. Organisasi Perpustakaan II-26
5. Perpustakaan Tunanetra II-28
6. Tipologi Bangunan II-29
7. Preseden Perpustakaan Umum II-31
a. New Seattle Public Library II-31
b. Mount Angel Library II-34
BAB III TINJAUAN KOTA SURAKARTA
A. Tinjauan Fisik III-1
B. Eksistensi Penyandang Tunanetra di Surakarta III-6
1. Jumlah III-6
2. Kondisi Fisik Pelayanan III-6
3. Aspek Kebutuhan III-6
4. Aspek Lingkungan dan Tempat III-7
5. Bentuk Wadah III-7
C. Relevansi Surakarta sebagai Lokasi III-8
D. Preseden Fasilitas Tunanetra di Surakarta
1. UPT Panti Tunanetra dan Tuna rungu wicara ”Bhakti Chandrasa
2. SLB/A-YKAB Surakarta III-10
E. Perpustakaan Umum kota Surakarta III-12
1. Lokasi III-12
2. Pelaku III-12
vii
3. Kegiatan III-14
4. Koleksi III-15
5. Ruang III-16
6. Urgensi Permasalahan III-18
F. Lokasi dan Site Standard III-18
BAB IV PERPUSTAKAAN TUNANETRA YANG DIRENCANAKAN IV-1
A. Pemahaman IV-1
B. Fungsi IV-1
C. Pelaku dan Kegiatan IV-3
1. Pelaku IV-3
2. Kegiatan IV-4
a. Pengelompokan Kegiatan IV-4
b. Waktu kegiatan IV-5
c. Sistem Pelayanan IV-5
D. Koleksi Perpustakaan IV-5
BAB V ANALISA PENDEKATAN KONSEP V-1
A. Analisa Makro V-1
1. Analisa Lokasi dan Site V-1
2. Analisa Pencapaian V-5
3. Analisa View dan Orientasi V-7
4. Analisa Sirkulasi Site V-9
5. Analisa Kebisingan V-10
B. Analisa Mikro V-12
1. Analisa Peruangan V-12
a. Kebutuhan Ruang V-12
1) Kegiatan Penerimaan V-12
2) Kegiatan Informasi Perpustakaan V-13
3) Kegiatan Penunjang V-14
4) Kegiatan Pengelolaan V-15
5) Kegiatan Servis V-15
b. Luas Ruang V-16
1) Luas Ruang Kegiatan Penerimaan V-16
viii
2) Luas Ruang Kegiatan Informasi Perpustakaan V-16
3) Luas Ruang Kegiatan Pengelolaan V-20
4) Luas Ruang Kegiatan Penunjang V-22
5) Luas Ruang Kegiatan Servis V-22
c. Tata Ruang V-24
1) Penzoningan Ruang V-24
2) Pendekatan Sirkulasi Bangunan V-26
2. Analisa Bentuk dan Tampilan Bangunan V-28
a. Bentuk dasar massa V-28
b. Gubahan Massa V-29
c. Fasad bangunan V-30
d. Pendekatan Sistem Struktur V-31
3. Utilitas V-35
a. Sistem Jaringan Air Bersih V-35
b. Sistem Jaringan Sanitasi dan Drainase V-36
c. Sistem Jaringan Jaringan Listrik V-37
d. Sistem Penghawaan Ruang V-38
e. Sistem Penerangan Ruang V-39
f. Sistem Keamanan V-39
BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN VI-1
A. Konsep Perencanaan VI-1
B. Konsep perancangan VI-1
1. Konsep Site VI-1
2. Konsep Peruangan VI-2
3. Konsep Tampilan Bangunan VI-6
4. Konsep Utilitas Bangunan VI-7
DAFTAR PUSTAKA xi
LAMPIRAN
GAMBAR KERJA
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. PEMAHAMAN JUDUL
Perpustakaan tuna netra ialah suatu perpustakaan yang secara
khusus menyediakan koleksi bahan-bahan pustaka dalam format
khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan kaum tuna netra.
Dari segi ukuran, biasanya pepustakaan tuna netra dapat
berukuran cukup besar, namun lingkup pelayananya tidak terlalu luas.
Namun demikian sebaiknya perpustakaan ini menempati bangunan
tersendiri.
Perpustakaan tunanetra tidak hanya menyediakan buku-buku
braile, buku dalam cetakan besar, rekaman audio, dll, namun juga ikut
memproduksi bahan-bahan tersebut sehingga dapat sebagai pusat
informasi bagi organisasi Tuna netra, khususnya di jawa tengah. Selain
itu juga berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan akan edukasi dan
rekreasi bagi kaum Tuna Netra.
Seperti disebutkan diatas, kekhususan dari perpustakaan ini
adalah fasiitasnya yang tersedia khusus didesain dan disediakan untuk
kaum tuna netra. Namun demikian Perpustakaan ini tidak menutup
kesempatan bagi khalayak umum untuk datang dan menggunakan
fasilitas perpustakaan seluas luasnya.
B. LATAR BELAKANG
Manusia dikaruniai sedikitnya 5 macam indera untuk dapat
menyerap berbagai informasi yang ada di dunia. Indera penglihatan,
indera penciuman, indera pendengar, dan indera peraba.
Indera penglihatan adalah salah satu sumber informasi vital
bagi manusia. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar informasi yang
diperoleh oleh manusia berasal dari indera penglihatannya, sedangkan
selebihnya berasal dari panca indera yang lain. Dengan demikian,
dapat dipahami jika seseorang mengalami gangguan atau cacat pada
indera penglihatannya , maka kemampuan aktifitasnya akan menjadi
sangat terbatas, karena informasi yang mereka peroleh akan jauh
x
berkurang dibandingkan mereka yang berpenglihatan normal. Tak
jarang akibat keterbatasan itu dapat mengakibatkan timbulnya berbagai
kendala secara psikologis, misalnya perasaan yang lebih sensitive,
perasaan inferior (rendah diri), depresi, atau perasaan hilangnya makna
hidup.
Mereka yang memiliki keterbatasan visual seringkali
mengalami kesulitan dalam memperoleh informasi dibandingkan
mereka yang normal. Padahal tak dapat dipungkiri dalam era
globalisasi seperti saat ini, dimana arus informasi yang mengalir deras
sangat mungkin menyebabkan mereka tertinggal. Karenanya perlu
segera diupayakan fasilitas khusus bagi mereka yang ingin belajar dan
memperoleh ilmu maupun informasi walaupun dalam keterbatasan
yang dimiliki.
Para penvandang tuna netra sendiri sebenarnya rnenghendaki
agar pemerintah membuka kesempatan belajar kepada seluruh
masyarakat tanpa membedakan kemampuan fisik dan nonfisik. Hal itu
mereka ungkapkan dalam aksi damai di depan gerbang Gedung MPR/
DPR, (Kompas Scnin 5 Mei 2003) Selain itu mereka juga meminta
masyarakat agar tidak memandang rendah kaum yang memiliki
perbedaan fisik dan nonfisik.
Hal ini menunjukkan adanva semangat yang tinggi untuk tetap
belajar dan tidak ketinggalan informasi walaupun memiliki
keterbatasan fisik. Namun kurangnya fasilitas yang informative dan
sikap masyarakat yang kadang kala memandang rendah menjadi
penghalang bagi mereka.
Setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan
pendidikan. seperti tertuang dalam UU No. 2 tahun 1989 pasal 5
bahwa Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan. Dengan demikian orang-orang yang
menderita cacat atau kelainan juga mendapatkan perlindungan hak.
seperti tertuang pada pasal 8 ayat ( 1) UU No. 2 tahun 1989 disebutkan
bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental
xi
berhak memperoleh Pendidikan Luar Biasa (PLB). Sedangkan pada
Bab VI pasal 24 ayat 7 disebutkan bagi penyandang cacat berhak
memperoleh pelayanan khusus. Disini dapat diartikan mereka juga
berhak memperoleh fasilitas pendidikan yang layak seperti sekolah
maupun layanan perpustakaan yang berfungsi juga sebagai sarana
memperoleh pendidikan formal dan nonformal.
Mengutip Direktur Pendidikan Luar Biasa, Mudjito (1998),
Selama ini anak-anak cacat cenderung mengalami kesulitan untuk
mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan, sehingga akses
memperoleh pekerjaan juga tidak mudah. Selanjutnva hal itu
berimplikasi pada penghasilan dan berantai pada gizi dan kesehatan
generasi penerusnya, dapat disimpulkan perlunya akses khusus yang
dapat berfungsi sebagai pendidikan informative bagi mereka yang
cacat.
Sarana pendidikan informative ini dapat diperoleh melalui
fasilitas perpustakaan dimana dapat diperoleh sumber bacaan seperti
buku, majalah,koran maupun sumber informasi lain seperti fasilitas
multi media berupa internet, audio (kaset, cd,mp3) maupun video
(vcd,dvd,dan kaset video).
Di sini, perpustakaan memiliki peran penting dalam upaya
peningkatan sumber daya manusia. Perpustakaan merupakan salah situ
sarana pelestari pustaka sebagai hasil budaya yang mempunyai fungsi
sebagai sumber informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan menunjang
pembangunan nasional (Keppres no 11 tahun 1983 )
Adapun fasilitas tersebut khususnya dalam format khusus bagi
penyandang tuna netra masih sukar didapat pada perpustakaan umum.
Di sini yang dimaksud dengan format khusus meliputi pelayanan
perpustakaan bagi mereka yang tuna netra, format bacaan Braille atau
cetakan besar, audio (buku elektronik, kaset, dll), video, sarana multi
media yang khusus, maupun fungsi bangunan yang didesain khusus
xii
sehingga memberikan kenyamanan maupun kesan psikologis yang
mendukung.
Direktur Pendidikan Luar Biasa, Mudjito menilai pemerintah
lebih menekankan pendidikan hanya pada masalah pertumbuhan dan
kompetisi. Asas keadilan dan kemanusiaan yang menyinggung pada
anak-anak yang memiliki keterbatasan, dinilainya masih jauh dari
cukup.
Di sini dapat disimpulkan bahwa keberadaan suatu
perpustakaan yang dapat memfasilitasi kebutuhan penyandang tuna
netra maupun cacat untuk memperoleh sumber pengetahuan
informative dengan kondisi yang mendukung secara psikologis
merupakan salah satu sarana utama dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mencapai tujuan pembangunan nasional untuk
membangun masyarakat Indonesia dan seluruh masyarakat Indonesia
tanpa terkecuali.
C. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN
1. Permasalahan
Berdasarkan bahasan di depan, permasalahan yang muncul
adalah merencanakan dan merancang Perpustakaan Tunanetra di
Surakarta yang dapat memberikan kemudahan bagi para kaum tuna
netra untuk memperoleh sumber informasi, baik melalui buku maupun
sumber informasi lain (audio dan multi media, teknologi
informasi/internet, dll) sehingga dapat membantu peningkatan kualitas
sumber daya manusia secara menyeluruh.
2. Persoalan
Dari permasalahan di atas, persoalan yang muncul adalah
bagaimana menentukan
a. Tata site
b. Program ruang
c. Tampilan bangunan
xiii
d. Material dan utilitas
Yang sesuai dengan karakteristik karakteristik tunanetra
D. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan pembahasan ini adalah merencanakan dan merancang
fasilitas publik berupa perpustakaan tunanetra di Surakarta dengan
menggunakan pendekatan perilaku tunanetra.
Sedangkan sasaran yang ingin didapat adalah konsep
perencanaan dan perancangan Perpustakaan Tunanetra yang meliputi
konsep perilaku pelaku dan kegiatan, kebutuhan dan luas ruang, lokasi
dan site, tata ruang, gubahan masa bangunan, fasad bangunan, tata
lansekap, struktur dan utilitas.
E. LINGKUP PEMBAHASAN DAN BATASAN
Lingkup pembahasan berada di seputar disiplin ilmu arsitektur
yang berkaitan dengan perpustakaan umum dan arsitektur perilaku.
Studi keilmuan lain merupakan pendukung konsep Perpustakaan
Tunanetra Surakarta. Sedangkan pembahasan dibatasi hanya pada
kajian seputar perpustakaan umum dan arsitektur perilaku dan
penerapannya pada bangunan perpustakaan Tunanetra Kota Surakarta.
F. STRATEGI DAN METODOLOGI RANCANG BANGUN
Di dalam strategi dan metodologi rancang bangun, pembahasan
dilakukan dalam beberapa tahapan. Masing-masing tahapan terdiri atas
metode yang hampir sama, yakni analisa dan sintesa. Menganalisa
permasalahan yang ada kemudian menyimpulkannya sehingga nantinya
dapat dijadikan sebagai titik tolak penyusunan konsep perencanaan dan
perancangan.
Berikut ini adalah tahapan-tahapan yang dilakukan:
1. Tahap I (PENGUNGKAPAN MAIN IDEA)
Main idea merupakan gagasan awal yang didapat dari suatu topik
atau fenomena yang ingin disampaikan. Pengungkapan main idea
berkembang dengan adanya studi pustaka dan eksplorasi.
xiv
a. Penjabaran Main idea
Pada tahap ini, main idea yang di peroleh dari suatu topik disusun
menjadi beberapa pustaka (kutub-kutub). Kutub-kutub yang telah
ditentukan tersebut kemudian dijadikan sebagai materi eksplorasi, yang
meliputi teori dan data terkait.
Dalam hal ini kutub-kutub yang menjadi materi eksplorasi adalah
mengenai Tunanetra, Perpustakaan, dan kota Surakarta.
b. Eksplorasi Main Idea
Eksplorasi dilakukan dengan menguraikan kutub-kutub yang telah
ditentukan pada tahap penjabaran main idea. Masing-masing kutub
dijabarkan dan diinteraksikan antara satu sama lain untuk mencari
hubungan antar kutub yang meliputi permasalahan yang menjadi esensi
pemicu yang nantinya dapat dijadikan sebagai strategi rancang bangun.
Esensi-esensi pemicu menjadi penyelaras antara persepsi yang ada dengan
kondisi yang terjadi di lapangan. Proses eksplorasi ini juga menjadi dasar
pemahaman-pemahaman yang diperlukan dalam proses selanjutnya,
seperti pada penentuan judul dan proses pendekatan konsep rancang
bangun, dsb.
c. Pengumpulan Data pengumpulan data dilakukan dengan beberapa
cara, yakni:
§ Obervasi lapangan, merupakan kegiatan pengamatan langsung
terhadap Perilaku Tunanetara untuk mengetahui kebutuhan dan
karakteristik seorang penyandang tunanetra.
§ Mencari data-data terkait dengan kondisi tunanetra di Surakarta,
dan preseden – preseden bangunan atau fasilitas untuk
mewadahi kegiatan tunanetra yang telah ada di Surakarta.
§ Mencari data spesifik dan referensi pustaka untuk mendapatkan
masukan dalam bentuk landasan teori maupun preseden baik
dari internet, media cetak/ elektronik, maupun buku acuan.
2. Tahap II (PERUMUSAN JUDUL DAN PENYUSUNAN
KONSEP)
a. Studi Pustaka dan Eksplorasi Lanjut
xv
Studi pustaka dan eksplorasi lanjut merupakan proses yang
terus dilakukan hingga proses akhir untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan yang mengalami perkembangan. Studi pustaka dan
proses eksplorasi dibutuhkan untuk menyelaraskan persepsi yang
ditangkap dengan permasalahan yang berkembang.
b. Pengumpulan Data Tambahan
Perkembangan permasalahan diikuti dengan diperlukannya
data-data tambahan untuk mengeliminasi asumsi dengan data-data
yang relevan.
c. Reduksi dan Analisa Data
Selama proses pematangan dan penyusunan konsep
berlangsung pemenggalan dan penyederhanaan sebagian data atau
informasi akan sangat membantu terutama agar proses analisa lebih
efisien. Beberapa aspek yang digunakan sebagai dasar dan proses
analisa, yakni:
1) Kualitatif, dengan menentukan kriteria karakteristik yang sesuai
dengan tuntutan yang memperhatikan hasil evaluasi yang telah
dilakukan pada lingkungan objek observasi. Analisis ini
digunakan pada:
§ Penentuan tapak berdasarkan potensi dan masterplan.
§ Penentuan ungkapan fisik desain bangunan yang sesuai
dengan karakteristik Tunanetra.
2) Kuantitatif, yang merupakan asumsi proyeksi untuk
menghasilkan variabel-variabel pasti dari objek. Analisis ini
digunakan pada:
§ Penentuan program kegiatan berdasarkan kelompok kegiatan
dan kebutuhan ruang
§ Penentuan besaran ruang dan organisasi ruang yang relevan
dengan konfigurasi kegiatan.
3. Tahap III (STRATEGI DESAIN)
Pendekatan desain (design approach) merupakan tahapan
manifestasi konsep ke dalam desain. Konsep makro dan mikro yang
xvi
diinventarisir dari konsep, diberikan beberapa alternatif desain dengan
menggunakan pembobotan. Pembobotan dibuat berdasarkan kriteria-
kriteria yang telah ditentukan yang dijadikan acuan dalam menilai
alternatif-alternatif yang ada. Alternatif desain dengan nilai pembobotan
yang paling mendekati kriteria merupakan produk awal desain
(preliminary product).
4. Tahap IV (PRELIMINARY AND FINAL PRODUCT)
Tahap ini merupakan presentasi akhir dari perencanaan dan
perancangan perpustakaan tunanetra di Surakarta. Preliminary product
yang didapat dari design approach disatukan sehingga didapat final
product. Final product yang disajikan meliputi design approach dan
gambar main design maupun complementary design.
G. SISTMATIKA PENULISAN
BAB I. PENDAHULUAN
Mengemukakan abstraksi mengenai uraian singkat permasalahan
yang dihadapi, tindakan yang perlu dilakukan dan hal-hal yang
ingin dicapai berdasarkan pembahasan secara keseluruhan.
Kemudian garis besar uraian ini diterjemahkan ke dalam judul,
pemahaman judul, latar belakang masalah, permasalahan, tujuan
dan sasaran, kerangka teoritikal pustaka, strategi dan metodologi
rancang bangun, dan pelaporan.
BAB II. TINJAUAN TEORI
Membahas dan menguraikan tinjauan perpustakkan (pemahaman,
tugas dan fungsi, jenis kegiatan yang diwadahi, pelaku kegiatan
xvii
yang diwadahi, tipologi bangunan), tinjauan tunanetra
(pemahaman, perilaku, penggolongan, dan karakteristik tunanetra).
BAB III. TINJAUAN KOTA SURAKARTA
Menguraikan data mengenai Kota Surakarta, kondisi tunanetradi
Surakarta, terutama data-data tentang fasilitas bagi tunanetra dan
perpustakaan di Surakarta.
BAB IV. PERPUSTAKAAN TUNANETRA YANG DIRENCANAKAN
Mengemukakan gambaran perpustakaan tunanetra yang akan
dibuat.
BAB V. ANALISA PENDEKATAN KONSEP
Menguraikan dasar pertimbangan umum, cakupan analisa (makro
dan mikro), proses analisa (makro dan mikro), manifestasi
pendekatan perilaku dan karakteristik tunanetra pada desain
bangunan, serta sistem support bangunan.
BAB VI. KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
Merupakan penyusunan konsep perencanaan fisik Perpustakaan
Tunanetra di Surakata berdasarkan hasil analisa dan jawaban untuk
permasalahan dan persoalan yang telah dikemukakan sebelumnya.
xviii
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kajian Tunanetra
1. Pemahaman Tuna Netra
Indera penglihatan adalah salah satu sumber informasi vital bagi
manusia. Tidak berlebihan apabila dikemukakan bahwa sebagian besar
informasi yang diperoleh oleh manusia berasal dari indera penglihatan,
sedangkan selebihnya berasal dari panca indera yang lain. Dengan
demikian, dapat difahami bila seseorang mengalami gangguan pada
indera penglihatan, maka kemampuan aktifitasnya akan jadi sangat
terbatas, karena informasi yang diperoleh akan jauh berkurang
dibandingkan mereka yang berpenglihatan normal.
secara umum tunanetra berarti rusak penglihatan. Tunanetra berarti
buta,tetapi buta belum tentu sama sekali gelap atau sama sekali tidak
dapat melihat. Ada anak buta yang sama sekali tidak ada
penglihatan,anak semacam ini biasanya disebut buta total. Disamping
buta total,masih ada juga anak yang mempunyai sisa penglihatan tetapi
tidak dapat dipergunakan untuk membaca dan menulis huruf biasa.
Istilah buta ini mencakup pengertian yang sama dengan istilah tunanetra
atau istilah asingnya blind. Untuk memberikan pengertian yang tepat
tentang buta itu, perlu dirumuskan pengertian sebagai berikut: Menurut
Slamet Riadi adalah “Seseorang dikatakan buta jika ia tidak dapat
mempergunakan penglihatannya untuk pendidikan “(Slamet Riadi , 1984,
hal. 23). Menurut Pertuni tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki
penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki
sisah penglihatan, tetapi tidak mampu menggunakan penglihatanya untuk
membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal
meski pun dibantu dengan kacamata (kurang awas).
menurut White Conference pengertian tunanetra adalah sebagai
berikut:
xix
a. Seseorang dikatakan buta total maupun sebagian (low vision) dari
kedua matanya sehingga tidak memungkinkan lagi baginya untuk
membaca sekalipun dibantu dengan kacamata.
b. Seseorang dikatakan buta untuk pendidikan bila mempunyai
ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada bagian mata yang
terbaik setelah mendapat perbaikan yang diperlukan atau
mempunyai ketajaman penglihatan lebih dari 20/200 tetapi
mempunyai keterbatasan dalam lantang pandangnya sehingga luas
daerah penglihatanya membentuk sudut tiak lebih dari 20o.
Menurut Alana M. Zimbone, Ph. D. dalam bukunya yang berjudul
Teaching Children With Visual and Additional Disabilities (Alana,
1992:59) seseorang dikatakan buta total bila tidak mempunyai bola mata,
tidak data membedakan terang dan gelap, tidak dapat memproses apa
yang dilihat pada otaknya yang masih berfungsi.
Menurut DeMott (1982:272)dalam bukunya yang berjudul
Exceptional Children and Youth istilah buta (Blind) diberikan pada orang
yang sama sekali tidak memiliki penglihatan atau yang hanya memiliki
persepsi cahaya. Siswa yang buta akan diajarkan Braille. Pengertian
penglihatan sebagian (Partialy Sighted) adalah mereka yang memiliki
tingkat ketajaman sentral antara 20/70 dan 20/200. Siswa yang
digolongkan dalam klasifikasi ini membutuhkan bantuan khusus atau
modifikasi materi, atau membutuhkan kedua-duanya dalam pendidikan di
sekolah.
2. Penggolongan Tuna Netra
Ada beberapa klasifikasi Tuna Netra menurut Dra. Anastasia
Widjajantin dan Drs Imanuel Hitipeuw (1995).
a. Berdasarkan tingkat ketajaman Penglihatan (Snellen Tes)
· 6/6 m – 6/16 m atau 20/70 feet – 20/200 feet
Tuna netra ringan, masih dapat dikatakan normal. Mampu
mempergunakan fasilitas pendidikan umum. Masih dapat melihat
benda kecil seperti mengamati uang logam atau korek api.
· 6/20 m – 6/60 m atau 20/70 feet – 20/200 feet
xx
sering disebut Tuna Netra kurang lihat atau low vision atau disebut
juga partial sighted atau tuna netra ringan. Masih mampu melihat
dengan bantuan kacamata.
· 6/60 m lebih atau 20/200 lebih
pada tingkat ini tergolong tuna netra berat. Taraf ini masih
mempunyai tingkatan yaitu : Masih dapat menghitung jari pada
jarak 6 m, masih dapat melihat gerakan tangan, hanya membedakan
terang dan gelap.
· 6/60 m lebih atau 20/200 lebih
Sudah tidak mampu melihat rangsangan cahaya dan tidak mampu
melihat apapun (buta total).
b. Berdasarkan saat terjadinya kebutaan
· Tuna netra sebelum dan sejak lahir
Sejak dalam kandungan atau sebelum satu tahun sudah mengalami
kebutaan. Tidak memiliki konsep penglihatan. Perlu adanya
bantuan dari orang dan lingkungan sekitar untuk melatih indera
yang masih dimiliki.
· Tunanetra batita
mengalami tunanetra pada usia dibawah 3 tahun. Konsep
penglihatan yang ada akan cepat hilang. Kesan visual (konsep
benda dan lingkungan) tidak bermanfaat bagi kehidupan
selanjutnya.
· Tunanetra balita
Mengalami tunanetra pada usia dibawah 5 tahun. Pada usia ini
konsep penglihatan yang telah terbentuk cukup berarti bagi
kehidupan selanjutnya. Kesan yang pernah terbentuk tidak hilang
dan harus tetap dikembangkan.
· Tunanetra pada usia sekolah
Meliputi tunanetra pada usia 6 – 12 tahun. Konsep penglihatan
telah terbentuk dan telah memiliki banyak kesan visual, seperti
rumah, wajah teman yang ceria.d1l. Tidak jarang mengalami
goncangan jiwa yang Iebih hebat daripada tunanetra balita karena
xxi
merupakan usia dimana anak bermain dan bersekolah.
· Tunanetra remaja
Tunanetra yang terjadi saat usia 13-19 tahun. Kesan visual yang
dimiliki sangat dalam.Akan mengalami goncangan jiwa yang berat
sebab terjadi konflik batin dan jasmani. Merasakan frustasi karena
secara jasmani tak dapat lagi melihat padahal kebutuhannya masih
sama saat masih dapat melihat. Membutuhkan bimbingan agar
dapat berkemnbang secara utuh Sehingga dapat melakukan
interaksi sosial dengan lingkungannya.
· Tunanetra dewasa
Mengalami tunanetra pada usia 19 tahun ke atas. Telah memiliki
ketrampilan yang mapan dan kemungkinan pekerjaan yang
diharapkan. Kebutaan merupakan pukulan yang cukup berat. tetapi
sedikit yang mengkaibatkan goncangan jiwa, frustasi dan putus asa.
c. Berdasarkan kelemahan visual
· Kelemahan visual ringan
Ketajaman penglihatan < 20/25 dan luas lantang pandang < 120°.
Masih dapat melakukan tugas sehari-hari. Luas lantang pandang
berkurang tidak berpengaruh terhadap kegiatan sehari-hari.
· Kelemahan visual sedang
Ketajaman Penglihatan > 20/60 dan luas lantang penglihatan
600.Memerlukan kacamata untuk melakukan tugas sehari-hari.
· Kelemahan visual parah
Ketajaman penglihatan > 20/60 dan luas lantang penglihatan 20°.
Penglihatan kacamata tidak berfungsi karena ketajaman visual dan
lantang pandang sudah sangat turun.
· Kelemahan visual sangat parah
Ketajaman penglihatan sangat rendah, hanya bisa membaca dan
menghitung jari pada jarak 5m dengan lantang pandang 10o
· Kelemahan visual yang mendekati buta total
Ketajaman penglihatan sangat rendah hanya bisa membaca
xxii
dan menghitung jari pada jarak 1 m dengan lantang pandang 5o
· Kelemahan visual total
Tidak dapat menerima rangsangan cahaya. Dapat dikatakan buta.
Dari berbagai penggolongan tunanctra tersebut, dapat
disimpulkan ada 3 bagian besar penyandang cacat visual, yakni:
a. Tunanetra total
b. Tunanetra kurang lihat (low vision)
c. Tunanetra plus (Tunanetra dengan cacat tambahan)
3. Perilaku Penyandang Tunanetra
Penyandang tunanetra memiliki beberapa tingkat keterbatasan
penglihatan yang berbeda-beda. Dari hasil studi literature menurut buku
Ortopedagogik Tunanetra dan melalui internet dengan studi banding The
National Library Service for the Blind and Physically Handicapped
(AILS), Andrew Heiskell Braille and Talking Book Library, serta
wawancara dengan pakar tuna netra didapat karakteristik tunanetra yang
berbeda-beda sesuai dengan tingkat cacat visual yang dideritanya.
Berikut ini perilaku/ karakteristik tunanetra menurut tingkat cacat
visualnya.
a. Karakteristik Tunanetra Total
· Rasa curiga terhadap orang lain
Keterbatasan akan rangsang visual menyebabkan tunanetra kurang
mampu berorientasi terhadap lingkungannya.Mereka sering
mengalami sakit hati, kecewa, dan rasa tidak senang akibat peristiwa
seperti tabrakan dengan orang lain, terperosok lubang, dsb. Akibatnya
mereka selalu berhati-hati dalam tindakan dan menaruh curiga
terhadap orang lain.
· Mudah tersinggung
· Ketergantungan yang berlebihan terhadap orang lain
xxiii
· Blindism
Blindism adalah gerakan yang dilakukan tunanetra tanpa mereka
sadari. Tindakan ini tidak sedap dipandang mata, seperti selalu
menggeleng-gelengkan kepala atau badan tanpa sebab, dll. Gerakan
ini tak terkontrol oleh mereka sehingga sehingga orang lain akan
pusing bila selalu melihat gerakan-gerakan tersebut.
· Rasa rendah diri.
Perasaan yang muncul saat berinteraksi dengan orang awas
(berdasarkan hasil wawancara):
Merasa rendah diri, terisolir atau tersisih. Mereka sudah mencoba
berbicara dengan orang awas, tetapi orang awas sulit diajak bicara.
Merasa terisolir, jarang orang awas mau berbicara dengan tunanetra,
jarang mau menyapa lebih dahulu.
Merasa maki, mencoba beradaptasi dengan kegiatan lingkungan,
tetapi masyarakat tidak dapat menerimanya. Merasa sering diejek.
mendapat belas kasihan.
· Tangan ke depan, badan rnembungkuk
Bermaksud untuk melindungi tuhuh dari sentuhan benda atau
terantuk benda tajarn Sutra melamun
Karena tidak dapat mengamati Iingkungan, mereka cenderung
melamun.
· Fantasi yang kuat untuk mengingat suatu objek
Lamunan akan menimbulkan fantasi pada suatu objek yang pernah
diperhatikan dengan rabaannya.Tidak jarang dapat menghasilkan lagu
atau puisi yang indah.
· Kritis
Keterbatasan dalam penglihatannya dan kekuatan berfantasi
mengakibatkan tunanetra sering bertanya-tanya tentang hal yang
belum dimengerti agar mereka tidak salah konsep.
· Pemberani
Bertindak sungguh-sungguh tanpa ragu. Sering terjadi bila mereka
mempunyai konsep dasar yang benar tenting gerak dan
xxiv
lingkungannya.
· Perhatian terpusat (terkonsentrasi)
Karena tingkat kebutaan yang tinggi, maka penderita tidak mampu
membaca material cetakan standard. penderita hanya dapat membaca
buku Braille atau menunakan buku elektronik. perlenakapan audio
Berta Kurtzveil personal reader, suatu piranti yang mengubah tulisan
menjadi format audio.
· Akibat dari kebutaannya, penderita pada umumnya memiliki
kepekaan yang sangat tinggi pada pendengarannya dan seringkali
dijumpai mereka yang memiliki ingatan luar biasa kuat untuk
mengenali dan menghafal orang, benda, lingkungan yang pernah
dijumpainya. Hal ini karena indcra mereka yang lain menjadi lebih
terlatih
· Karenaa dapat dikatakan tidak mcmiliki indera penglihatan. kaum ini
biasanya kurang meniperhatikan penampilan
· Penderita dalam usia anak-anak, terutama yang belum mampu mandiri
masih menggantungkan diri pada bantuan orang lain pada umumnya
bersifat lebih sensitiv, menutup diri, dan menginginkan ruang-an
personal yang pribadi.
· Penderita yang sudah lebih dewasa dan telah mampu mandiri pada
umumnya masih cukup sensitive dengan orang lain. Namun bersikap
lebih ekstrovert terbuka. mudah berinteraksi, ramah, dan menyukai
ruang luar daripada ruang dalam yang tertutup
b. Karakteristik Tunanetra kurang lihat (partially sighted)
· Selalu mencoba mengadakan fixation atau melihat suatu benda
dengan memfokuskan pada titik-titik benda.
· Menanggapi rangsang cahaya yang datang padanya, terutama benda
yang kena sinar, disebut visually function
· Bergerak dengan penuh percaya diri
· Merespon warna, selalu memberi komentar pada warna benda yang
dilihatnya.
xxv
· Dapat menghindari rintangan yang besar dengan sisa penglihatannya
(selokan, bate besar, tumpukan kayu, penghalang jalan, d1l)
· Memiringkan kepala untuk mencoba menyesuaikan cahaya yang ada
dengan daya lihatnva.
· Mampu meneikuti gerak benda
· Tertarik pada benda bergerak
· Berjalan sering mcrnbentur atau menginJak benda kecil
· Berjalan dengan menggeser kaki untuk mendeteksi kemungkinan ada
benda kecil yang terinjak.
· Salah langkah karena salah mendeteksi linakungan. Mis: dinding
kaca di Mal dikira jalan keluar schingga salah arti.
· Kesulitan mengenali benda jika warnanya tidak kontras.
· sulit melakukan gerakan yang halos atau lernhut, karena gerakan
semacam itu tak tertanokap oleh matanya
· Melihat benda secara global (tidak mendetail)
· Koordinasi antara mata dan anggota badan lemah. (misal :
memasukkan bola dalam gawang, mengiris sesuatu)
· Kondisi penglihatannya mungkin samar-samar atau ketajamannya
sering naikturun
· Petunjuk penting yang berguna bagi low vision akin nampak
membingungkan bagi yang melihat atau orang awas
· Sering tidak mampu mengontrol cahaya yang dibutuhkan untuk
menggunakan penglihatannya dalam berbagai lingkungan.
· Mereka belajar menggunakan sisa penglihatnnya secara maksimum
· Dapat melihat dengan bantuan alat khusus seperti : kacamata dan
lensa kontak, teleskop kecil yang dipegang, kaca pernbesar. prisma
dari lens fish eye, fixedfocus stand readers, dan closed circuit TV
system.
Dari perilaku / karakteristik tunanetra tersebut diatas dapat
disimpulkan kebutuhan mereka secara arsitektural sehingga dapat
diperoleh respon arsitektural yang Sesuai.
4. Ekspresi Ruang Terhadap Tunanetra
xxvi
Indera penglihatan adalah salah satu sumber informasi vital bagi
manusia. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar informasi yang
diperoleh oleh manusia berasal dari indera penglihatannya, sedangkan
selebihnya berasal dari panca indera yang lain. Dengan demikian, dapat
dipahami jika seseorang mengalami gangguan atau cacat pada indera
penglihatannya , maka kemampuan aktifitasnya akan menjadi sangat
terbatas, karma informasi yang mereka peroleh akan jauh berkurang
dibandingkan mereka yang berpenglihatan normal. Sehingga untuk
mengenal ruang mereka hanya mengandalkan keempat indera mereka
yang tersisa.
Dalam Perencanaan wadah bagi tuna netra, ada 3 konsep utama,
yaitu
► Kenyamanan
Menurut para ahli, ternyata konsep kenyamanan antara penyandang
tunanetra dengan orang normal adalah sama. Malah penyandang
tunanetra diuntungkan karena tidak mengenal konsep cahaya, warna, dan
perspektif.
Oleh karena itu diasumsikan – dalam membaca pun konsep
kenyamanan tidak jauh berbeda.
Di sini, faktor pembentuk kenyamanan adalah: Penghawaan, yang
tebagi menjadi penghawaan alami (penggunaan ventilasi) dan
penghawaan buatan (penggunaan AC sebagai pengatur temperatur dan
kelembaban dalam ruangan) serta akustik (penggunaan bahan-bahan
akustik di dalam dan di luar ruangan, untuk meminimalisasi sumber-
sumber bunyi internal dan eksternal), karena setelah kehilangan sensor
visual, maka indera pendengaran dimaksimalkan penggunaanya untuk
berkonsentrasi. Okeh karena itu, kepekaan pendengaranya mutlak harus
dijaga.
► Kesederhanaan
Yang dimaksud ‘kesederhanaan’ di sini adalah bahwa penyandang
tunanetra sebagai pelaku kegiatan utama dapat membawa dirinya dari
xxvii
satu tempat ke tempat lain dalam suatu lokasi, tanpa bantuan orang lain
(dinamis dan independent).
karena pergerakan dinamis dan mengandung unsure swadaya, maka
indera pengganti indera penglihatan dalam dirinya harus dimaksimalkan,
yaitu alat pendengaran dan alat peraba (dalam hal ini penggunaan tongkat
sebagai detector, yang digunakan dengan cara mengetuk – ngetuk
tongkat tersebut ke kiri dan ke kanan untuk memastikan keamanan jalan
di depanya sebelum melangkah).
Untuk menterjemahkan kata ‘kesederhanaan’ dapat dilakukan
dengan mengatur tata letak (lay out) secara linear/segaris atau pelletakan
material-material yang berfungsi sebagai pembentuk sirkulasi.
Berdasarkan pengamatan, para penyandang tunanetra cenderung
lebih berani dan luwes jika bergerak maju ke depan, dibandingkan jika
berbelok ke kiri atau ke kanan. Malah mereka merasa jauh lebih sulit jika
berjalan dengan arah memutar/melingkar.
Secara umum, harapan mereka dalam berjalan (terutama ke arah
depan). adalah agar diletakkan benda-benda yang bisa disinggung /
disentuh dalam jarak tertentu dengan tongkat mereka yang berfungsi
sebagai detector., agar dapat memudahkan mobilitas penyandang
tunanetra dalm bergerak. Benda-benda tersebut menurut responden, dapat
berwujud tiang (listrik), pot bunga, tong sampah dll.
► Keamanan
Kata ‘keamanan’ diartikan sebagai pergerakan yang bebas dan
leluasa serta terhindari dari hal-hal yang membahayakan, misalnya :
tersandung, terpeleset, tabrakan/ bersinggungan dengan objek yang tidak
diinginkan.
Sebelumnya, perlu diperhatikan karakteristik gerakan yang
dilakukan oleh tunanetra, terutama dalam berjalan : kedua tanganya
dijulurkan ke depan (bila tanpa tongkat), kaki diseret, bahu agak
membungkuk nampak ragu-ragu dan sngat berhati-hati, muka tidak lurus
ke depan , tetapi agak berpaling ke kiri dan ke kanan sambil mengetuk-
ngetuk tongkat ke kiri dan ke kanan terhadap objek di bagian depanya.
xxviii
(Ts. Soekini Pradopo, Diagnosa anak luar biasa, Penerbit Sinar Baru,
Jakarta, 1998, h.47)
Sehingga untuk menjamin keselamatan mereka dalam bergerak di
dalam ruangan perlu dilakukan beberapa hal yang menyangkut masalah
teknis, antara lain: menghindari perencanaan peil(perbedaan tinggi lantai)
yang terlalu sring dan berubah-ubah ataupun penggunaan railing atau
bahan material lain, yang berfungsi selain sebagai penmgaman juga
sebagai pembentuk sirkulasi , seperti yang banyak dipakai di pusat-pusat
perbelanjaan di Amerika Serikat.
Warna kuning merupakan warna yang umum sebagai kode
orientasi dan mobilitas bagi tunanetra partial (visual impairment people).
Warna kuning ini biasanya dipakai pada tactile paving yang meunjukkan
adanya persimpangan jalan atau jalur khusus tunanetra di tempat-tempat
umum. Warna kuning dipilih sebagai warna Petunjuk tunanetra karena
pada umumnya kontras dengan lingungan sekelilingnya sehingga mudah
terlihat oleh tunanetra partial.
Warna abu-abu dalam panduan menentukan warna kontras adalah
warna yang paling kontras dengan warna kuning. Maka agar warna
bangunan terlihat kontras dan memudahkan bagi tunanetra partial dalam
mengenali lingkungannnya, dipakailah kombinasi kedua warna ini.
Warna kuning terutama diapikasikan pada kolom-kolom, kusen
pinto dan jendela, railing serta elemen bangunan yang memiliki potensi
tak terlihat oleh tunanetra partial jika warnanya tidak kontras. Sedangkan
warna abu-abu dipakai sebagai background Warna kuning, sehingga pada
umumnya elemen bangunan yang berupa bidang berwarna abu-abu.
Pola berfungsi sebagai batasan untuk dijadikan pegangan dalam
berorientasi. Setiap orang, termasuk tunanetra memiliki suatu
pola/skema/ stuktur koonitif untuk mcngidentifikasi obyek dan
mengorganisasikan dengan linukungannya. Disini desain perpustakaan
mencoba menghadirkan bangunan yang secara skematis (polanya) telah
ada di pikiran manusia dengan pola-pola yang sederhana.
xxix
5. Persyaratan Teknis Aksesibilitas Penyandang Tunanetra
Berdasarkan Ketetapan Menteri Pekerjaan Umum Repulik Indonesia
nomor 468/KPTS/1998
Dengan ditetapkanya Keputusan Menteri Pekerjaan Umum
Republik Indonesia nomor 468/KPTS/1998 tanggal 1 desember 1998
tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada bangunan Umum dan
Lingkungan, dengan sendirinya telah mengakomodasi pula aspek – aspek
tuntutan desain yang aksesibel bagi tuna netra. Namun pengungkapan
data ini lebih diarahkan untuk menjadi pedoman dalam mennentukan
persyaratan – persyaratan umum dalam memenuhi tuntutan aksesibilitas
dalam suatu bangunan, sedangkan dalam menciptakan desain tempat
pelatihan tuna netr yang direncanakan lebih mengacu pada
pengimplementasian karakteristik dan sensitivitas indera penyandang
tuna netra dalam melakukan orientasi dan mobilitas.
Persyaratan – Persyaratan teknis tersebut meliputi :
a. Ukuran Dasar Ruang
Ukuran dan detail penerapan standar
xxx
b. Jalur Pedestrian
► Persyaratan
· Permukaan
Permukaan jalan harus stabil, kuat,tahan cahaya, bertekstur halus
tapi tidak licin. Hindari sambungan atau gundukan pada
permukaan, kalaupun terpaksa ada, tingginya tidak harus lebih dari
1,25 cm. Apabila menggunakan karpet, maka ujungnya harus
kencang dan mempunyai trim yang permanen.
· Kemiringan
Kemiringan maksimum 7o dan pada setiap jarak 9 m disarankan
terdapat pemberhentian untuk istirahat.
· Area Istirahat
Terutama digunakan uintuk pengguna jalan penyandang cacat.
· Pencahayaan
Berkisar antara 50-150 lux tergantung pada intensitas pemakaian,
tingkat bahaya dan kebutuhan keamanan.
· Perawatan
Dibutuhkan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan
Gambar 2.1 Studi gerak tunanetra
xxxi
· Drainase
dibuat tegak lurus dengan arah jalur yang berkedalaman maksimal
1,5 cm, mudah dibersihkan dan perletakan lubang dijauhkan dari
tepi ramp.
· Ukuran
Lebar minimum jalur pedestrian adalah 120 cm untuk jalur searah
160 cm untuk dua arah. Jalur pedestrian harus bebas dari pohon,
tiang, rambu – rambu dan benda – benda pelengkap jalan yang
menghalangi.
· Tepi Pengaman
Penting bagi pemberhentian roda kendaraan dan tongkat tuna netra
ke arah yang berbahaya. Tepi pengaman dibuat setinggi minimum
10 cm dan lebar 15 cm sepanjang jalur pedestrian.
c. Jalur Pemandu
► Persyaratan
· Tekstur ubin bermotif garis – garis menunjukkan arah perjalanan.
· Tekstur ubin peringatan (bulat) memberi peringatan terhadap
adanya perubahan situasi disekitarnya.
· Daerah – daerah yang harus menggunakan ubin tekstur pemandu (
guiding blocks), adalah :
→ Didepan jalur lalu lintas kendaraan
→ Didepan pintu masuk/keluar dari dan menuju tangga atau
fasilitas persilangan dengan perbedaan ketinggian lantai.
→ Di pintu masuk/keluar pada terminal transportasi umum atau
area penumpang
→ Pada pedestrian yang menghubungkan antara jalan dan
bangunan
→ Pada pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi
umum terdekat.
d. Area Parkir
► Persyaratan
· Fasilitas parkir kendaraan
xxxii
→ Tempat parkir penyandang cacat terletak pada route terdekat
menuju bangunan/fasilitas yang dituju, dengan jarak
maksimum 60 m.
→ Jika tempat parkir tidak berhubungan dengan bangunan,
misalnya pada parkir taman an tempat terbuka lainya, maka
tempat parkir harus diletakkan sedekat mungkin dengan
gerbang masuk atau jalur pedestrian.
→ Area parkir harus cukup mempunyai ruang bebas disekitarnya
sehingga pengguna parkir terutama penyandang cacat dapat
dengan mudah masuk dan keluar dari kendaraanya.
→ Area parkir khusus penyandang cacat ditandai dengan
simbol/tanda parkir penyandang cacat yang berlaku.
→ Ruang parkir mempunyai lebar 370 m untuk parkir tunggal atau
620 cm untuk parkir ganda dan sudah dihubungkan dengan
ramp dan jalan menuju fasilitas – fasilits lainya.
· Daerah menaik turunkan penumpang
→ Kedalaman minimum dari daerah naik turun penumpang dari
jalan atau jalur lalu lintas sibuk adalah 360 cm dan dengan
panjang minimal 600 cm.
→ Dilengkapi dengan fasilitas Ramp, jalur pedestrian dan rambu
penyandang cacat.
→ kemiringan maksimal 5o dengan permukaan yang rata di semua
bagian.
→ Diberi rambu penyandang cacat yang biasa digunakan untuk
mempermudah dan membedakan dengan fasilitas serupa bagi
umum.
e. Pintu
► Persyaratan
· Pintu pagar ke tapak bangunan harus mudah dibuka dan ditutup
oleh penyandang cacat.
xxxiii
· Pintu keluar/masuk utama memiliki lebar minimal 90 cm, dan
pintu – pintu yang kurang penting memiliki lebar minimal 80 cm.
· Di daerah sekitar pintu masuk sedapat mungkin dihindari adanya
ramp atau perbedaan ketinggian lantai.
· Jenis pintu yang tidak dianjurkan panggunaanya adalah :
penumpang
→ Pintu geser
→ pintu yang berat dan sulit untuk dibuka/ditutup
→ Pintu yang terbuka ke kedua arah (dorong dan tarik)
→ Pintu dengan bentuk pegangan yang sulit dioperasikan terutama
bagi tuna netra.
· Penggunaan pintu otomatis diutamakan yang peka terhadap bahaya
kebakaran. Pintu tersebut tidak boleh membuka sepenuhnya dalam
waktu lebih cepat dari 5 detik dan mudah untuk menutup kembali.
· Hindari bahan lantai yang licin di sekitar pintu.
· alat – alat penutup pintu otomatis perlu dipasang agar dapat
menutup dengan sempurna, karena pintu yang terbuka sebagian
dapat membahayakan penyandang cacat.
· Plat tendang yang diletakkan di bagian bawah pintu diperlukan
bagi penyandang cacat
f. Ramp
► Persyaratan
· Kemiringan suatu Ramp di dalam bangunan tidak boleh melebihi
7o, Perhitungan kemiringan tersebut tidak termasuk awalan atau
akhiran ramp (curb ramp/landing). Sedangkan kemiringan suatu
ramp yang ada diluar bangunan maksimum 6o.
· Panjang mendatar suatu ramp (dengan kemiringan 7o) tidak boleh
lebih dari 900 cm. Panjang ramp dengan kemiringan yang lebih
rendah dapat lebih panjang.
· Lebar minimum dari ramp adalah 95 cm tanpa tepi pengaman.
Untuk ramp yang juga digunakan sekaligus untuk pejalan kaki dan
xxxiv
pelayanan angkutan barang harus dipertimbangkan secara seksama
lebarnya, sedemikian sehingga dapat dipakai utuk kedua fungsi
tersebut, atau dilakukan pemisahan rmp dengan fungsi sendiri –
sendiri.
· Permukaan datar awalan atau akhiran suatu ramp harus memiliki
tekstur sehingga tidak licin walaupun dihari hujan.
· Lebar tepi pengaman ramp (slow crub) 10 cm. Apabila batasan
langsung dengan lalu lintas jalan umum atau persimpangan harus
dibuat sedemikian rupa agar tidak menggangg7u jalan umum.
· Ramp harus dilengkapi dengan pegangan rambatan (handrail) yang
dijamin kekuatanya dengan ketinggian yang sesuai.
g. Tangga
► Persyaratan
· Harus memiliki dimensi pijakan dan tanjakan seragam.
· Harus memiliki kemiringan tanjakan kurang dari 6o.
· Tidk terdapat tanjakan yang berlubang yang dapat membahayakan
pengguna tangga.
· Harus dilengkapi dengan pegangan rambat (haildrail) minimum
pada salah satu sisi tangga.
· Pegangan rambat harus mudah dipegang dengan ketinggian 65 – 80
cm dari lantai, bebas dari elemen konstruksi yang mengganggu,
dan bagian unungnya harus bulat atau dibelokkan dengan baik ke
arah lantai, dinding atau tiang.
· Pengangan rambat harus ditambah panjangnya pada bagian ujung –
ujungnya (puncak dan bagian bawah) dengan 30 cm.
· Untuk tangga yang terletak diluar bangunan, harus dirancang
sehingga tidak ada air hujan yang menggenag pada lantainya.
h. Kamar Kecil
· Toilet atau kamar kecil yang fleksibel harus dilengkapi dengan
rambu “penyandang cacat” pada bagian luarnya.
xxxv
· Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang
cukup untuk masuk dan keluar yang memudahkan gerak
penyandang cacat.
· Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian
pengguana cacat netra (45-50 cm) serta memudahkan untuk
mengakses fasilitas ini.
· Toilet atau kamar kecil harus dilengkapi dengan pegangan rambat
(haildrail) yang memiliki posisi dan ketinggian disesuaikan dengan
perilaku cacat, sehingga memudahkanya untuk menggunakan
fasilitas tersebut.
· Letak kertas, tissue, air, kran air,atau pencuran (shower) dan
perlengkapan – perlengkapan seperti tempat sabun,dan pengering
tangan harus dipasang sedemikian hingga mudah digunakan oleh
orang lain yang memiliki keterbatasan fisik dan dijangkau oleh
penyandang cacat.
· Kran pengungkit sebaiknya dipasang pada wastafel.
· Bahan dan penyelesaian harus tidak licin.
· Pintu harus mudah dibuka untuk memudahkan pengguna
khususnya tuna netra untuk membuka dan menutup.
· Kunci – kunci atau grendel dipilih sedemikian sehingga bisa
dibuka dari luar jika terjadi kondisi darurat.
· Pada tempat – tempat yang mudah dicapai seperti pada pintu
masuk, dianjurkan untuk menyediakan tombol pencahayaan darurat
(emergency light button) bila sewaktu –wktu terjadi padam listrik.
i. Pancuran
► Persyaratan
· Bilik pancuran (shower cubicles) harus memiliki tempat duduk
yang lebar dan tinggi disesuaikan dengan cara – cara memindahkan
badan pengguna kursi roda.
· Bilik pancuran harus memiliki pegangan rambat (haildrail) pada
posisi yang memudahkan pengguna bertumpu.
xxxvi
· Bilik pancuran dilengkapi dengan tombol alarm atau alat pemberi
tanda lain yang bisa dijangkau pada waktu keadaan darurat.
· Kunci bilik pancuran dirancang dengan menggunakan tipe yang
bisa dibuka dari luar pada kondisui darurat.
· Pintu bilik pancuran sebaiknya menggunakan pintu geser atau tipe
bukaan keluar.
· Pegangan rambat dan setiap permukaan atau dinding yang
berdekatan denganya harus bebas dari elemen – elemen yang
runcing atau membahayakan.
j. Wastafel
► Persyaratan
· Wastafel harus dipasang sedemikian sehingga tinggi permukaanya
dan lebar depanya dapat dimanfaatkan oleh pengguna kursi roda
dengan baik.
· Ruang gerak bebas cukup harus disediakan didepan wastafel.
· Wastafel harus memiliki ruang gerak dibawahnya sehingga tidajk
menghalangi lutut dan kaki pengguna kursi roda.
· Pemasangan ketinggian cermin dipertimbangkan terhadap penguna
kursi roda.
k. Telepon
· Telepon umum disarankan menggunakan tombol tekan, harus
terletak pada lantai yang aksesibel bagi semua orang termasuk
penyandang cacat, orang tua, ibu – ibu hamil.
· Ketinggian telepon dipertimbangkan terhadap keterjangkauan
gagang telepon (120-125 cm).
· Bagi pengguna yang memiliki pendengara kurang, perlu disediakan
alat kontrol volume suara yang terlihat dan mudah dijangkau.
· Bagi tuna netra sebaiknya disediakan petunjuk telepon dalam huruf
braile dan dilengkapi juga dengan isyarat bersuara (talking sign)
yuang terpasang dekat telepon umum.
xxxvii
· Panjang kabel gagang telepon harus memungkinkan pengguna
kursi roda untuk menggunakan telepon dengan posisi yang
nyaman.
· Bilik telepon dapat dilengkapi dengan kursi yang disesuaikan
dengan gerak pengguna.
l. Perlengkapan dan peralatan kontrol
► Persyaratan
· Sistem alarm/peringatan
→ Harus tersedia peralatan peringatan yang terdiri dari sistem
peringatan suara (vocal alarm), sistem peringatan bergetar
(vibrating alarm) dan berbagai petunjuk serta penandaan untuk
melarikan diri pada situasi darurat.
→ Stop kontak harus dipasang dekat tempat tidur untuk
mempermudah sistem pengoperasian alarm, termasuk peralatan
bergetar (vibrating deveces) di bawah bantal.
→ Semua pengontrol peralatan listrik harus dapat dioperasikan
dengan satu tangan dan tidak memerluikan pegangan yang
sangat kencang atau sampai memutar lengan.
· Tombol Stop Kontak
Tombol dan stop kontak dipasang pada tempat posisi dan tingginya
sesuai dan mudah dijangkau oleh penyandang cacat.
m. Perabot
► Persyaratan
· Sebagian perabot yang tersedia di dalam bangunan umum harus
dapat digunakan oleh penyandang cacat, termasuk dalam keadaan
darurat.
· Dalam suatu bangunan yang digunkan oleh masyarakat banyak,
seperti bangunan pertemuan, konferensi, pertunjukan dan kegiatan
yang sejenis, maka jumlah tempat duduk yang aksesibel harus
disediakan
xxxviii
Tabel 2.1 Kapasitas Tempat Duduk yang Aksesibel
Kapasitas total tempat duduk Jumlah tempat duduk yang
aksesibel
4 - 25 1
26 - 50 2
51 - 300 4
301 - 500 6
>500 6+1 untuk setiap ratusan
n. Rambu
► Persyaratan
· Penggunaan rambu terutama dibutuhkan pada :
→ Arah dan tujuan jalur pedestrian
→ KM/WC umum, telepon umum.
→ parkir khusus penyandang cacat
→ nama fasilitas dan tempat
· Persyaratan rambu yang digunakan :
→ Rambu huruf timbul atau huruf braile yang dapat dibaca oleh
tuna netra dan penyandang cacat lain.
→ Rambu yang berupa gambar atau simbol yang mudah dan cepat
ditafsirkan artinya.
→ Rambu yang berupa tanda dan simbol internasional.
→ Rambu yang menerapkan metode khusus (misalnya;
pembedaan perkerasan tanah, warna, kontras, dll)
→ Karakter dan latar belakang rambu harus dibuat dari bahan
yang tidak silau. Karakter dan simbol harus kontras dengan
latar belakangnya, apakah karakter diatas gelap atau
sebaliknya.
→ Proporsi huruf atau karakter Pada rambu harus mempunyai
rasio lebar dan tinggi antara 3 : 5 dan 1: 1, serta ketebalan huruf
antara 1: 5 dan 1: 10.
xxxix
→ Tinggi karakter huruf dan angka pada rambu harus diukur
sesuai dengan jarak pandang dari tempat rambu itu dibaca.
· Lokasi penempatan rambu :
→ Penempatan yang sesuai tepat serta bebas pandang tanpa
penghalang.
→ satu kesatuan sistem dengan lingkungnya.
→ Cukup mendapat pencahayaan, termasuk penambahan lampu
pada kondisi gelap.
→ Tidak mengganggu arus (pejalan kaki, dll) dan sirkulasi
(buka/tutup pintu,dl).
B. Kajian Perpustakaan
1. Pemahaman
Definisi perpustakaan yang muncul dari konsep keterkaitan
perpustakaan dengan buku mengatakan bahwa perpustakaan adalah
sebuah ruangan, bagian atau sub bagian dari sebuah gedung itu sendiri
yang digunakan untuk menyimpan buku, biasanya disimpan menurut tata
susunan tertentu serta digunakan untuk anggota perpustakaan. Definisi
lain mengacu pada kumpulan buku / akomodasi fisik tempat buku
dikumpul susunkan untuk keperluan bacaan, studi, kenyamanan, maupun
kesenangan. Jadi dalam rancangan tempat ini, konsep perpustakaan
mengacu pada bentuk fisik penyimpanan buku (dalam arti luas) maupun
sebagai kumpulan buku yang disusun untuk keperluan membaca (Basuki.
Sulistyo, 1994). Adapun definisi-definiosi lain mengenai perpustakaan,
yaitu:
Perpustakaan adalah koleksi yang terdiri dari bahan-bahan tertulis,
tercetak, maupun grafis lainnya seperti film, slide, piringan hitam, tape
dalam ruangan atau gedung yang diatur dan diorganisasikan dengan
sistem tertentu agar dapat digunakan untuk keperluan studi, penelitian,
pembacaan dan lain-lain (Sumardji, 1988).
xl
Perpustakaan adalah lembaga pengumpulan koleksi, termasuk
tulisan, cetakan atau materi audio visual yang kemudian dikelola untuk
pelayanan belajar dan penelitian bagi masyarakat umum (Encyclopedia
Britanica, 1960).
Perpustakaan dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulan buku-
buku dan bahan-bahan pustaka lainnya yang diorganisasikan dan
diadministrasikan untuk bacaan, konsultasi dan belajar (Tjoen, 1966).
Perpustakaan berarti tempat, gedung yang disediakan untuk
pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku, majalah, dan bahan
kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca dan dipelajari (KBBI).
Dari beberapa pengertian perpustakaan diatas, dapat disimpulkan
bahwa, Perpustakaan adalah tempat bagi masyarakat memperoleh
informasi. Perpustakaan juga memainkan peran sebagai tempat
penyimpanan dan pelestarian materi pustaka untuk keperluan studi,
penelusuran informasi dan arsip.
Seiring dengan perkembangan teknologi penyimpanan data digital,
penyampaian informasi kepada pengguna perpustakaan telah banyak
mengalami diversifikasi. Tidak hanya materi cetak saja, microfilm,
piringan data (disc), maupun data digital telah menjadi bagian dari
koleksi inti perpustakaan saat ini.
2. Fungsi perpustakaan
Perpustakaan merupakan tempat buku-buku dan bahan pustaka
lainnnya, serta penyimpanan data-data yang kesemuanya terorganisir dan
diatur dengan administrasi serta berfungsi sebagai edukasi, informasi dan
rekreasi.
Sesuai dengan pengertiannya, maka perpustakaan memiliki
beberapa fungsi pokok (Sulistyo Basuki, 1991:27-29). Fungsi pokok
perpustakaan dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Fungsi pendidikan
xli
Perpustakaan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan merupakan
sarana pendidikan formal dalam arti perpustakaan merupakan tempat
belajar di luar bangku sekolah maupun tempat belajar dalam lingkungan
pendidikan sekolah. Dalam hal ini yang berkaitan dengan pendidikan non
formal adalah perpustakaan umum, sedangkan yang berkaitan dengan
pendidikan formal adalah perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi.
Bagi mereka yang sudah meninggalkan bangku sekolah , maka
perpustakaan merupakan tempat belajar yang praktis, berkesinambungan
dan murah.
b. Fungsi kultural
Perpustakaan sebagai tempat pemeliharaan karya-karya yang
bernilai tinggi hasil budaya manusia dan merupakan tempat untuk
mendidik dan mengembangkan apresiasi budaya manusia. Dalam
mendidik dan mengembangkan apresiasi budaya manusia dapat
dilakukan dengan cara menyelenggarakan pameran naskah-naskah kuno,
ceramah, bedah buku, pertunjukan film atau bahkan pembacaan cerita
untuk anak-anak, sehingga dengan demikian dapat lebih mengenal
budayanya dengan membaca.
c. Fungsi rekreasi
Perpustakaan sebagai sarana penyediaan buku-buku bacaan dan
cerita bagi masyarakat. Fungsi rekreasi ini tampak nyata pada
perpustakaan umum, dimana perpustakaan melayani setiap orang yang
memiliki hobi membaca tanpa memandang perbedaan usia, jenis
kelamin, pekerjaan, agama, warna kulit dan status sosial.
d. Fungsi dokumentasi
Perpustakaan sebagai tempat penyimpanan dan pemeliharaan hasil
karya manusia dari jaman dahulu sampai sekarang, baik berupa karya
cetak seperti buku, majalah, surat kabar, dan lain-lain yang terjaga
kelestariannya.
3. Jenis perpustakaan
xlii
Perpustakaan dalam segala bentuk dan jenisnya merupakan institusi
yang bersifat ilmiah, informatif, edukatif, sehingga semua kegiatannya
mengandung nilai dan unsur pembelajaran, penelitian, pembinaan,
pengembangan ilmu pengetahuan dan lain-lain yang berorientasi pada
pencerahan dan pengayaan wawasan bagi penggunanya. Dalam
penggolonganya, pepustakaan dikelompokkan menjadi beberapa jenis.
Berdasarkan kerangka kelembagaan, perpustakaan dikelompokkan dalam
lima jenis, yaitu:i
a. Perpustakaan umum
Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang mempunyai tugas
melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan tingkat usia,
social, pendidikan dan lain-lain.
b. Perpustakaan khusus
Perpustakaan khusus adalah perpustakaan yang memiliki tugas
melayani suatu kelompok masyarakat khusus yang memiliki kesamaan
dalam kebutuhan minat terhadap bahan pustaka dan informasi.
c. Perpustakaan sekolah
Perpustakaan sekolah adalah perpustakaan yang ada di sekolah
sebagai sarana pendidikan untuk menunjang pencapaian tujuan
pendidikan prasekolah, pendidikan dasar dan menengah.
d. Perpustakaan perguruan tinggi
Perpustakaan perguruan tinggi adalah suatu unsur penunjang yang
merupakan perangkat kelengkapan di bidang pendidikan, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat.
e. Perpustakaan nasional
Perpustakaan nasional adlaah perpustakaan yang dikelola oleh
pemerintah pada tingkat nasional yang mempunyai tugas pokok
membantu presiden dalam menyelenggarakan pengembangan dan
pembinaan perpustakaan dalam rangka pelestarian bahan pustaka sebagai
hasil budaya dan pelayanan informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan
kebudayaan.
4. Kegiatan pokok perpustakaan
xliii
Perpustakaan memberikan layanan kepada semua orang, anak-
anak, remaja, dewasa, pelajar, mahasiswa, pegawai, ibu rumah tangga,
laki-laki maupun perempuan hingga kaum difabel.
Kegiatan pokok yang ada dalam sebuah perpustakaan adalah:
a. Kegiatan pembinaan bahan koleksi
Yaitu kegiatan mengumpulkan, mengadakan, menyediakan bahan
koleksi untuk dijadikan koleksi perpustakaan. Kegiatan ini dapat
dilakukan dalam berbagai cara, yaitu:
1) Pemilihan bahan pustaka
Perpustakaan menentukan dan memilih macam pustaka yang akan
dihimpun menjadi koleksi perpustakaan. Prosedur dan tata cara
pemilihan/seleksi ditentukan oleh perpustakaan dan seyogyanya
dibukukan dalam buku pedoman kerja perpustakaan.
Pemilihan bahan pustaka berdasarkan :
· Profesi pemakai
· Macam-macam koleksi
· Jenis bidang ilmu
2) Pelaksanaan pengadaan bahan koleksi
Pengadaan bahan pustaka adalah proses menghimpun bahan
pustaka yang akan dijadikan koleksi suatu perpustakaan. Koleksi
perpustakaan hendaknya relevan dengan minat dan kebutuhan,
lengkap dengan terbitan mutakhir, agar tidak mengecewakan
masyarakat yang dilayani.
Pengadaan bahan pustaka dapat dilakukan dengan cara:
3) Inventarisasi bahan pustaka
· Mencatat semua bahan pustaka dalam buku inventarisasi
· Memberi tanda pengenal pada setiap bahan pustaka.
b. Kegiatan pengolahan bahan koleksi
Kegiatan pengolahan bahan koleksi adalah kegiatan pempersiapkan
bahan koleksi yang telah diperoleh, agar dengan mudah dapat diatur
xliv
ditempat-tempat penyimpanan sehingga memudahkan pengguna dalam
mencari bahan koleksi perpustakaan yang diperlukan.
1) Klasifikasi
Kegiatan mengelompokkan bahan-bahan koleksi sesuai dengan
macam dan bidang ilmunya.
2) Katalogisasi
Adalah kegiatan untuk membuat kartu-kartu catalog setiap bahan-
bahan koleksi.
3) Perlabelan
Kegiatan membuat nomor penempatan pada setiap bahan koleksi
pustaka dengan label tertentu yang ditempatkan pada cover bahan
koleksi pustaka tersebut sesuai dengan ketentuan. Selain itu juga
disertai kegiatan pembuatan kartu tanggal peminjaman dan
pengembalian.
4) Penyimpanan dan penyusunan bahan koleksi (shelving)
Kegiatan menyimpan bahan koleksi (yang telah diproses) pada
rak bahan pustaka berdasarkan susunan kelompok macam dan
bidang ilmunya maupun urutan nomor penempatan. Berdasarkan
kepentingannya secara umum koleksi dikelompokkan dalam tiga
lokasi penyimpanan yaitu:
· Koleksi umum
Dapat dibaca ditempat maupun dibawa pulang
· Referensi
Koleksi yang materinya hanya untuk dibaca ditempat dan
tidak untuk dibawa pulang.
· Koleksi berkala
Koleksi yang selalu memiliki edisi terbaru secara berkala
seperti jurnal, Koran, majalah dan buletin.
5) Kegiatan lain-lain
· Perbaikan koleksi yang rusak
· Pengawetan bahan-bahan pustaka
c. Kegiatan pelayanan
xlv
Kegiatan pelayanan meliputi bentuk pelayanan dan sistem pelayanan,
yang diuraikan sebagai berikut:
1) Bentuk Pelayanan, meliputi
· Pelayanan langsung
Bentuk pelayanan ini berupa pengunjung datang sendiri ke
perpustakaan.
· Pelayanan semi langusng
Melalui perpustakaan keliling bertujuan untuk menjangkau
tempat atau daerah yang belum mempunyai perpustakaan
tetap.
· Perpustakaan tidak langsung
Merupakan bentuk pelayanan cabang, berupa
pendistribusian buku-buku yang sudah diklasifikasikan dan
diberi kartu catalog, kemudian siap untuk didistribusikan.
2) Sistem pelayanan, meliputi:
Dalam perpustakaan terdapat tiga elemen penting; bahan
bacaan, pembaca dan staff perpustakaan yang berhubungan
dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada kebijakan
organisasi perpsutakan; misalnya perpustakaan lingkungan,
perpustakaan sekolah dan rumah sakit harus mempunyai
sistem terbuka (pembaca dapat langsung mencari buku yang
diinginkan pada rak terbuka). Perpustakaan nasional
menggunakan sistem tertutup (pengguna tidak dapat
mengambil sendiri buku yang diinginkan, melainkan harus
melalui petugas dan buku ditelusuri melalui catalog).
Perpustakaan besar membagi ruang nya dalam beberapa
departemen sesuai dengan disiplin ilmu yang dilayani
(umumnya menggunakan sistem terbuka).
· Sistem Pelayanan terbuka
Pengunjung dapat leluasa dan dengan langsung memilih
buku yang diinginkan.
· Sistem pelayanan tertutup
xlvi
Peminjam dan pengembalian buku dilakukan oleh
petugas perpustakaan
· Sistem pelayanan campuran
Merupakan gabungan dari kedua sistem diatas. Dimana
tidak semua buku dapat dipilih secara langsung oleh
pengunjung, melainkan untuk beberapa koleksi penting
diambilkan oleh petugas perpustakaan.
d. Organisasi perpustakaan
Organisasi di dalam perpustakaan terdiri dari :
1) Makro
Meliputi sebuah sisitem organisasi dari berbagai perpustakaan baik
karena kesamaan koleksi maupun karena masih dalam lingkup
yang sama.
2) Mikro
Susunan interaksi dan kerjasama antara personil-personil yang
terlibat dalam pengelolaan sebuah perpustakaan.
· Pimpinan perpustakaan, memimpin seluruh kegiatan yang
dilakukan dalam perpustakaan.
· Unit pengadaan bahan koleksi, pengadaan bahan koleksi
yang berupa buku, penerbitan berkala (majalah, bibliografi,
dan sebagainya), penerbitab pemerintah (lembaran negara,
himpunan peraturan negara, berita negara dan sebagainya)
· Unit pengolahan bahan koleksi, pengolahan atau
pemrosesan bahan koleksi agar menjadi koleksi yang siap
pakai atau siap dilayankan kepada para pemakai fasilitas
perpustakaan.
· Unit pelayanan sirkulasi, melayani peminjaman dan
pengembalian koleksi khususnya koleksi non referensi
xlvii
(koleksi buku yang dapat dibawa keluar) bagi para pemakai
fasilitas perpustakaan.
· Unit pelayanan referensi, melayani peminjaman dan
pengembalian koleksi buku referensi yang hanya dapat
dibaca didalam perpustakaan.
· Unit pelayanan administrasi, penunjangan bagi seluruh
kegiatan yang dilakukan didalam perpustakaan, terutama
yang bersangkutan dengan urusan kepegawaian, keuangan,
perlengkpan, tata usaha, dsb.
Sumber Poole, 1981
diagram pengelola perpustakaan Sumber Poole, 1981
5. Perpustakaan Tuna Netra
Special Libraries dapat diartikan sebagai suatu perpustakaan
khusus yang bukan merupakan perpustakaan universitas, college,
sekolah, sosial mauun public. Koleksi perputakaan ini biasanya terbatas
dalam beberapa subyek tetapi membahas cukup dalam mengenai subyek
Ka. Perpustakaan
Administrasi
pengelolaan
Pemilihan dan pengadaan
perawatan
Klasifikasi dan katalogisasi
Pelayanan
Audio visual
Koleksi Khusus
Referensi
Peminjaman
xlviii
yang bersangkutan. Sikapnya lebih aktif untuk menarik pengunjung
untuk datang (tidak seperti pada perpustakaan pada umumnya yang
bersifat lebih pasif)
Tidak hanya menyediakan bahan-bahan pustaka, perpustakaan ini
juga memproduksi bahan material yang dibutuhkan oleh penggunanya.
Ukuran perpustakaan dapat bervariasi, kecil atau besar, khususnya
perpustakaan tuna netra dapat berukuran cukup besar, namun memiliki
kecenderungan ‘berbicara’ dalam lingkup yang lebih kecil daripada
perpustakaan universitas atau perpustakaan umum. Pada umumnya
menempati suatu gedung yang terpisah. (Aan Konya , 1986)
Dengan demikian perpustakaan Khusus ini berfungsi sebagai pusat
informasi bagi induk organisasi yang dilayani. Selain itu dapat pula
berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan akan edukasi dan rekreasi bagi
anggota organisasi yang dilayani.
Dari definisi di atas, suatu perpustakaan tuna netra secara khusus
menyediakan koleksi bahan-bahan pustaka dalam format khusus yang
disesuaikan dengan kebutuhan kaum tuna netra.
Dari segi ukuran, biasanya pepustakaan tuna netra dapat berukuran
cukup besar, namun lingkup pelayananya tidak terlalu luas. Namun
demikian sebaiknya perpustakaan ini menempati bangunan tersendiri.
Perpustakaan ini tidak hanya menyediakan buku-buku braile, buku
dalam cetakan besar, rekaman audio, dll, namun juga ikut memproduksi
bahan-bahan tersebut sehingga dapat sebagai pusat informasi bagi
organisasi Tuna netra, khususnya di jawa tengah. Selain itu juga
berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan akan edukasi dan rekreasi bagi
kaum Tuna Netra.
Seperti disebutkan diatas, kekhususan dari perpustakaan ini adalah
fasilitasnya yang tersedia khusus didesain dan disediakan untuk kaum
tuna netra. Namun demikian Perpustakaan ini tidak menutup kesempatan
bagi khalayak umum untuk datang dan menggunakan fasilitas
perpustakaan seluas luasnya.
6. Tipologi Bangunan
xlix
Untuk perpustakaan umum kabupaten atau kota, luas bangunan
sekurang-kurangnya 200 m2 dengan luas tanah sekitar 2000 m2. Luas
gedung atau ruangannya harus cukup menampung ruang koleksi bahan
pustaka, ruang baca dengan kapasitas minimal 10 % dari jumlah
masyarakat yang dilayani, ruang pelayanan, ruang kerja pengolahan dan
administrasi.
Ruang-ruang di dalam perpustakaan umum ditata dengan
pembagian kelompok berdasar usia tanpa harus terpisah oleh ruang yang
berbeda.
Perpustakaan umum menerapkan akses terbuka (open access) maka
ruang koleksi dapat digabung dengan ruang baca. Ruang kerja
pengolahan bahan pustaka dan ruang tata usaha harus dipisahkan dengan
dinding, dengan ruang baca/koleksi, agar pelaksanaan pekerjaan
pengolahan dan tata usaha tidak menggangu orang membaca di ruang
baca/koleksi.
Bentuk ruang yang paling efektif adalah bentuk bujur sangkar,
karena paling mudah dan fleksibel dalam pengaturan perabot apalagi bila
rak buku yang dimiliki banyak dan lalu lintas yang ramai. Bentuk ini juga
paling baik dan mudah dalam pengaturan pencahayaan/ penerangan.
Penerangan harus diatur sehingga tidak terjadi penurunan gairah
membaca atau membuat silau. Dapat dilakukan dengan cara menghindari
sinar matahari langsung serta memilih jenis lampu yang dapat
memberikan sifat dan taraf penerangan yang tepat dengan kebutuhan.
· lampu pijar : memberikan cahaya setempat
· lampu TL/PL/Fluorescent : memberikan cahaya yang merata
· lampu sorot ; memberi cahaya yang terfokus pada obyek tertentu
Ventilasi dalam perpustakaan harus diperhatikan untuk pengguna
atau orang di dalamnya dan bahan pustaka. Ada 2 macam sistem ventilasi
:
· Ventilas pasif
Ventilasi yang didapat dari alam, caranya membuat lubang angin
atau jendela pada sisi dinding yang berhadapan arah angin lokal. Luas
l
lubang angin atau jendela diusahakan sebanding persyaratan dan fasilitas
ruang (10 % dari luas ruang yang bersangkutan). Bila menggunakan
ventilasi pasif sebaiknya rak tidak ditempatkan dekat jendela demi
keamanan koleksi dan terhindar dari sinar matahari langsung.
· Ventilasi aktif
Ventilasi aktif adalah menggunakan sistem penghawaan buatan
yaitu menggunakan AC. Karena temperatur dan kelembaban ruang
perpustakaan yang kontans dapat menjaga keawetan koleksi.
Sebagai sarana edukatif, perpustakaan tunanetra diharuskan dapat
membuat pengunjung mendapatkan ketenangan dalam membaca,
mendengarkan kaset/cd dan memperoleh informasi lainya. kenyamanan
serta keamanan dalam bangunan tersebut harus diperhatikan, sehingga
tunanetra mampu leluasa bergerak sendiri untuk menuju ke tempat-
tempat yang diinginkan dengan tanpa ragu-ragu dan takut. Selain dalam
format braile, Perpustakaan ini juga harus menyediakan sumber-sumber
informasi dalam format lain seperti kaset, cd , buku cetakan besar,
internet dengan fasilitas computer bicara, dll. guna memenuhi kebutuhan
tuna netra untuk dapat memperoleh informasi sebanyak-banyaknya di
perpustakaan ini.
Sebagai sarana rekreasi, perpustakaan harus bersifat rekreatif, non
formil, dan santai, serta nyaman dalam pergerakan (keleluasaan gerak
tunanetra). Kebebasan gerak tunanetra menuntut pengaturan sirkulasi
yang jelas dan terarah. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghindari
kesulitan bagi tunanetra dalam bergerak tanpa mengandalkan indera
penglihatan. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu pola pergerakan yang
sederhana, dengan bentuk-bentuk ruang yang sesuai dengan bentuk
ruang. Dalam hal ini adalah perwujudan suatu sirkulasi yang mudah,
lancar, dan nyaman. Sirkulasi mudah menuntut adanya pemisahan yang
jelas dari sirkulasi pelaku kegiatan, arah sirkulasi yang jelas untuk
membantu arah pergerakan pengunjung, serta kemudahan pencapaian
li
dari ruang satu ke ruang yang lain. Sirkulasi yang lancar menuntut
perlunya pembagian jalur untuk kegiatan dengan flow gerak yang cukup,
penempatan materi pameran yang berurutan dalam satu ruang menurut
jenis atau penggolongannya, serta adanya kejelasan sirkulasi dengan
menghindari sudut belokan yang tajam sehingga tidak menghambat
sirkulasi itu sendiri. Sirkulasi yang nyaman menuntut agar tidak
terjadinya cross sirkulasi serta bentuk dan warna yang bersifat
membingungkan. Warna bahan untuk lantai dan dinding hendaknya tidak
mencolok dan tidak mengkilap untuk menghindari silau.
7. Preseden Perpustakaan Umum
a. New Seattle Public Library
New Seattle Public Library merupakan gedung perustakaan baru
dari Seattle Public Library yang dibuka pada 23 Mei 2004, dengan
pengunjung 8000 orang tiap hari. Koleksi yang ada berjumlah 1,45 juta
meliputi koleksi buku, penerbitan pemerintah, koleksi periodikal, koleksi
audio visual serta koleksi yang bisa diakses secara online.
Arsitek principal adalah Rem Koolhaas dan Joshua Ramus of the
Office of Metropolitan Architecture (OMA). Bangunan ini didesain
bukan hanya menjadi ikon bangunan formal pemerintah namun juga
fungsional, dilengkapi pelayanan lengkap yang user-friendly dan
merupakan gabungan dari formal dan informal spaces. Koolhas melihat
perpustakaan yang baru seperti sebuah “penjaga buku”, tempat untuk
memperlihatkan informasi baru, sebuah tempat untuk gagasan, diskusi,
refleksi sebuah kehadiran yang dinamis.
Tampilan luar didominasi oleh kaca dan struktur baja diagonal
yang membentuk massa segibanyak yang dinamis.
lii
Gamb
ar 2.2 Eksterior New Seattle Public Library Sumber : www.google.com (diakses tahun 2008)
Bangunan perpustakaan ini dibagi ke dalam delapan lapis
layer(lantai), dengan ukuran
yang bervariasi berdasarkan
fungsinya.
Gambar 2.3 pembagian lantai/lapis layer New Seattle Public Library Sumber : www.arcspace.com(diakses tanggal 26/04/08, pukul 13:00)
Interior perpustakaan jauh dari kesan “formal” perpustakaan pada
umumnya dan terlihat lebih dinamis. Hal ini bisa dilihat dari penggunaan
warna cerah dan motif lantai dinamis serta suasana ruang baca yang lebih
dinamis-tidak kaku. Ruang di dalam perpustakaan banyak “berisi” public
space, yang memungkinkan aktivitas selain membaca bisa dilakukan.
Seperti “ngobrol” atau bersantai. Namun juga tetap menyediakan tempat
baca personal yang sifatnya lebih privat.
liii
Gambar 2.4 Interior ruang baca kelompok -”ngobrol” (kiri) dan ruang baca personal (kanan) New Seattle Public Library Sumber : www.arcspace.com (diakses tanggal 26/04/08, pukul 13:00)
Koleksi perpustakaan ditata secara formal (penataan koleksi pada
perpustakaan pada umumnya) dan juga secara dinamis sehingga terlihat
tidak kaku.
Gambar 2.5 Penataan koleksi dinamis (kiri) dan penataan koleksi secara formal (kanan). Sumber: www.arcspace.com(diakses tanggal 26/04/08, pukul 13:00)
Ruang-ruang seperti ruang untuk kegiatan anak/childrens terlihat
dinamis dengan permainan warna dan gambar yang menarik, simpel tapi
bagus. Penggunaan warna-warna terang dan mencolok pada interior membuat
suasana ruang menjadi lebih dinamis-atraktif-tidak kaku seperti kebanyakan
perpustakaan
pada umumnya.
Gambar 2.6 Suasana interior dinamis
liv
Sumber : www.google.com (diakses tahun 2008) Di dalam perpustakaan juga terdapat ruang penunjang seperti e-library
dan shops
Gambar 2.7 E-library(kiri) dan shops(kanan). Sumber : www.google.com (diakses tahun 2008)
b. Mount Angel Library
Mount Angel library merupakan perpustakaan rancangan Alvar Alto
yang didesain dengan style modern. Bangunan ini terletak di St.Benedict,
Oregon yang selesai dibangun tahun 1970.
Tampilan eksterior bangunan terlihat cukup dinamis walaupun masih
terlihat formal. Tampilan eksterior terbentuk dari denah yang mirip dengan
kipas, denah dibuat dengan mengikuti kontur pada tapak.
lv
Gambar 2.8 Tampilan eksterior(atas), denah (tengah) dan potongan (bawah) Mount Angel Library Sumber : www.google.com (diakses tanggal 20/09/08 pukul 9:31)
Dalam desainnya Alto menekankan pada pencahayaan, baik
natural maupun artifisial. Seperti bentuk denah yang didesain dengan
memperhatikan lintasan matahari untuk pemasukan cahaya alami melalui
clerestori pada atap untuk menerangi ruang dalamnya. Interior ruang
terlihat soft dengan warna-warna yang tidak terlalu mencolok.
Gambar 2.9 Clerestori yang menerangi ruangan dalam perpustakaan
Sumber : www.google.com (diakses tanggal 20/09/08
pukul 9:25) Koleksi ditata dengan mengikuti bentuk denah dengan ruang baca
disampingnya (lihat gambar 2.8). Ruang baca diletakan dekat dengan
sumber cahaya, baik dekat jendela maupun clerestori untuk mendapat
penerangan yang cukup, sebaliknya rak ditempatkan menjauh dari jendela
agar koleksi tidak terkena sinar matahari langsung. Namun suasana
perpustakaan masih terkesan formal.
lvi
Gambar 2.10 Ruang koleksi dan ruang baca Sumber : www.arcspace.com (diakses tanggal 20/09/08 pukul 9:25
lvii
BAB III TINJAUAN KOTA SURAKARTA
A. Tinjauan Fisik
1. Kondisi Geografis
Kota Solo terletak di dataran rendah dengan ketinggian
kurang lebih 92 meter diatas permukaan air laut dan kemiringan rata-
rata (0,3)%, yang berarti lebih rendah atau hampir sama tingginya
dengan permukaan sungai Bengawan Solo. Selain Bengawan
Solo dilalui juga beberapa sungai, yaitu Kali Pepe, Kali Anyar dan
Kali Jenes yang semuanya bermuara di Bengawan Solo. Secara
geografis wilayah Kota Surakarta berada antara 110º45’15”-
110º45’35” BT dan 7º36’00”- 7º56’00”LS dengan luas wilayah 44,04
Km² dengan batas-batas sebagai berikut :
2. Pemerintah Daerah
Surakarta merupakan salah satu bentuk pemerintahan
kotamadya yang secara administratif membawahi lima wilayah
kecamatan, yaitu: Jebres, Laweyan, Pasar Kliwon, Banjarsari, dan
Serengan, serta 51 kelurahan.
3. Keadaan Cuaca
Kabupaten
Karanganyar &
Kabupaten Sukoharjo & Kabupaten Karanganyar
Kabupaten Sukoharjo
Kabupaten Sukoharjo & Kabupaten Karanganyar
Gambar 3.1 Peta Surakarta
lviii
Kota Solo mempunyai suhu udara maksimum 32,4 C dan
suhu udara minimum 21,6 C. Sedangkan tekanan udara rata-rata adalah
1008,74 mbs dengan kelembaban udara 79 %. Kecepatan angin
berkisar 4 knot dengan arah angin 188 serta beriklim panas.
4. Penduduk
Jumlah penduduk Kota Surakarta pada tahun 2003 adalah
552.542 jiwa terdiri dari 270.721 laki-laki dan 281.821 wanita, tersebar
di lima kecamatan yang meliputi 51 kelurahan. Sex ratio nya 96,06%
yang berarti setiap 100 orang wanita terdapat 96 orang laki-laki. Angka
ketergantungan penduduk sebesar 66%. Peningkatan jumlah penduduk
di kota ini disebabkan oleh urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi.
5. Perkembangan Fungsi Kota
Wilayah kotamadya Dati II Surakarta, merupakan kota
yang sudah dapat dikatakan mapan, mempunyai banyak peranan dan
fungsi sebagai kota pemerintahan, perdagangan, industri, pendidikan,
pariwisata, olahraga serta sosial budaya. Seperti ditunjukkan pada tabel
berikut:
Tabel 3.1 fungsi dan skala pelayanan Kotamadya Dati II Surakarta
No. Fungsi kota Skala pelayanan
1. Pemerintahan Lokal dan Regional
2. Industri Lokal, Regional dan Nasional
3. Pendidikan Lokal, Regional dan Nasional
4. Pariwisata & Sosial
Budaya
Lokal, Regional dan Internasional
5. Perdagangan Lokal dan Regional
6. Pusat Olahraga Lokal, Regional dan Nasional
Sumber: Perda no. 8/1993 dan pengolahan studio
6. Rencana Umum Tata Ruang Kota
a. Fungsi dan Peran Kota Surakarta
lix
Fungsi dan peran Kota Surakarta ditetapkan dan ditegaskan sebagai
berikut :
· Fungsi khusus guna pengembangan Trikrida Utama, yang
diharapkan menjadi jati diri kota, yaitu pengembangan pariwisata,
budaya dan olahraga.
· Fungsi umum, yaitu guna pembangunan sektor-sektor industri,
pendidikan dan pusat administrasi.
· Peran kawasan sebagai Pusat Kota Wilayah Perkotaan Surakarta,
sedang peran makro bersama-sama kawasan perkotaan di
sekitarnya sebagai pusat pertumbuhan Propinsi Jawa Tengah
bagian Tenggara.
b. Beberapa Strategi Pengembangan
Berdasarkan kecenderungan-kecenderungan dan perkiraan-
perkiraan perkembangan kota ditetapkan strategi dan kebijaksanaan
baru.
Adapun strategi dan kebijaksanaan dari sektor perdagangan
dan jasa adalah sebagai berikut :
1) Strategi
a) Mengembangkan berbagai kegiatan perdagangan dan jasa
dalam berbagai macam komoditi dengan berbagai skala
internasional, nasional, dan lokal termasuk pedagang kaki lima
dan sektor informal lainnya sesuai dengan pengembangan
ruang kotanya.
b) Mengembangkan pusat-pusat perdagangan pasar besar (grosir)
dan pasar-pasar khusus serta pasar-pasar induk.
c) Menyebarkan kegiatan perdagangan dan jasa dari pusat kota ke
sub-sub pusat kota yang ditetapkan.
2) Kebijaksanaan
a) Pengadaan fasilitas perdagangan dan jasa yang memadai dan
bertaraf internasional, regional, lokal serta lingkungan.
lx
b) Memberikan kemudahan bagi sektor-sektor swasta untuk
mengembangkan kegiatan perdagangan dan jasa sesuai dengan
pengembangan ruang kotanya.
c) Pengadaan fasilitas-fasilitas perdagangan partai besar dan
pasar-pasar khusus serta fasilitas-fasilitas bagi pedagang kaki
lima dan sektor informal lainnya yang telah ditentukan
lokasinya (jalan, kawasan maupun bangunan).
d) Merintis pengembangan kerjasama dengan Pemda tetangga
dalam investasi, penarikan retribusi, dan pengelolaan pasar-
pasar khusus. Misalnya: Pasar induk komoditi pertanian, bahan
bangunan dan sebagainya.
Secara umum kebijakan dan strategi tersebut memberikan
kesempatan pengembangan kegiatan maupun pengembangan
fisik bagi sektor perdagangan dan jasa sekaligus sebagai
dukungan bagi kegiatan pengembangan yang ada.
7. Rencana Pembagian Satuan Wilayah Pengembangan
RUTRK sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan memuat
rencana pembagian satuan wilayah pengembangan. Wilayah Kota
Surakarta dibagi menjadi 4 wilayah pengembangan. Keempat wilayah
pengembangan tersebut terbagi dalam 10 Sub Wilayah Pengembangan
(SWP).
Tabel 3.2 Kebijakan Orientasi dan Dominasi Tata Guna Lahan
No SWP Orientasi dan Tata Guna Tanah
1 SWP I Daerah Perdagangan dan Jalur Hijau
2 SWP II Daerah Komersial dan Pusat Pemerintah
3 SWP III Daerah Perdagangan
4 SWP IV Daerah Fasilitas Sosial dan Fasilitas Pendidikan
5 SWP V Daerah fasilitas Sosial dan Fasilitas Pendidikan
6 SWP VI Daerah fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum
7 SWP VII Daerah fasilitas Sosial dan Perumahan
8 SWP VIII Daerah fasilitas Sosial dan Penyangga
lxi
9 SWP IX Daerah fasilitas Sosial dan Industri
10 SWP X Daerah fasilitas Sosial dan Perumahan
8. Rencana Pemanfaatan Ruang Kota
Rencana Pemanfaatan Ruang Kota mencakup arah
pemanfaatan ruang kota yang menggambarkan lokasi intensitas tiap
bangunan. Kegiatan-kegiatan yang disediakan ruangnya dalam wilayah
Kota Dati II Surakarta mengacu pada pengembangan delapan fungsi di
masa mendatang, antara lain : areal pariwisata, puasat pengembangan
kebudayaan, areal olah raga. Areal perluasan dan pembangunan
pendidikan. Kedelapan fungsi tersebut akan dikembangkan hingga
tahun 2013, merupakan kegiatan utama Kotamadya Surakarta.
9. Rencana Stuktur Tingkat Pelayanan Kota
Dalam Permendagri Nomor 2 tahun 1987, yang dimaksud
dengan Rencana Struktur Tingkat Pelayanan Kota mencakup arahan
tata jenjang fungsi-fungsi pelayanan di dalam kota, yang merupakan
rumusan kebujaksanaan tentang pusat-pusat pelayanan kegiatan kota
berdasarkan jenis, intensitas, kapasitas, dan lokasi pelayanan.
Dalam perumusan RUTRK Kota Dati II Surakarta tahun 1993 –
2013, akan diatur tata jenjang fungsi-fungsi kegiatan dalam wilayah
administrasi Kota Surakarta. Jenjang kegiatan tersebut disusun sesuai
dengan penetapan dan fungsi kota, yang telah dirinci dalam skala
Gambar 3.2 Peta Pembagian SWP (Sumber RUTRK Solo 1993-2013)
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX X
lxii
pelayanan internasional, nasional, regional, kota, bagian wilayah kota
dan lingkungan.
Konsep rencana struktur pelayanan kegiatan kota ini disusun
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan :
1) Potensi lokasi untuk menampung kegiatan-kegiatan berdasar jenis
kegiatan dan skalanya,
2) Keterkaitan antar jenjang kegiatan, dan
3) Sifat fleksibilitas kegiatan perkotaan
Fungsi-fungsi kegiatan tersebut dikelompokkan sesuai dengan
kegiatan dalam Rencana Pemanfaatan Ruang Kota, berdasar faktor-
faktor seperti jaringan dan fungsi jalan, ketersedian lahan, jarak dari
pusat kota, dan kegiatan-kegiatan yang ada.
(sumber : Rencana Umum Tata Ruang Kota Surakarta tahun 1993 -
2013 ) BAB III)
B. Kondisi Peyandang cacat netra di surakarta
1. Jumlah
Jumlah penyandang cacat tunanetra di eks Karesidenan
Surakarta (Surakarta, Karang Anyar, Sragen, Sukoharjo, Klaten,
Boyolali dan Wonogiri) adalah sebagai berikut:
Tabel 3.3 Jumlah penyandang cacat tunanetra di eks Karesidenan Surakarta
TAHUN JUMLAH
2000 6602
2001 7135
2002 7712
2003 8336
2004 9011
2005 9740
2006 10528
Sumber : Kator Statistik Surakarta
- Pertumbuhanya sebesar 3,3 % /tahun (anak-anak usia < 14 tahun) dan
4,8%/tahun (dewasa>14 tahun)
lxiii
- Dari jumlah tersebut 55% adalah laki-laki dan 45% adalah wanita
- 50% daripenderita cacatnetra tersebut berada di Kotamadya Surakarta
(tahun 2006)
2. Kondisi Fisik Pelayanan
Secara umum, kondisi fisik fasilitas pendidikan (Sekolah Luar
Biasa) masih mengejar pada pemenuhan kebutuhan dasar belajar
mengajar, seperti kelas yang dipakai, halaman sekadarnya yang
kadangkala dialihfungsikan sebagai tempat parkir dan ruang penunjang
lain yang sekiranya dibutuhkan. Bahkan perpustakaan untuk kalangan
sendiri (intern) yang layak secara fisik sama sekali belum ada. Padahal,
pada umumnya rentang pelayanan dari SLB-SLB tersebut adalah se
eks karesidenan surakarta.
3. Aspek Kebutuhan
Dari tabel diatas di daerah se eks Karesidenan Surakarta tahun
2006 terdapat 10.528 penderita tunanetra (50%nya berada di
Kotamadya Surakarta) dan kurang lebih 80% diantaranya berusia
sekolah. Dari data informasi keadaan SLB A, baik negeri maupun
swasta, anak berusia sekolah yang tertampung tercatat baru 5.000
anak, tanpa fasilitas enunjang proses belajar mengajar (baca :
perpustakaan), yang layak dan memadai. (Sumber: Koordinasi
Kegiatan Kesejahteraan Kotamadya Surakarta) Padahal menurut studi
literatur Sulistyo Basuki, (Pengantar Ilmu Perpustakaan, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1991) Perbandingan antara fasilitas
perustakaan dengan pemakai adalah 1:4.500 (1 perpustakaan mewakili
4500 orang pemakai), dengan jumlah koleksi 10.000-50.000 volume.
Berangkat dari kenyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa
masih dibutuhkan wadah baru sebagai penunjang proses belajar
mengajar bagi para penyandang tunanetra.
4. Aspek Lingkungan dan Tempat
Kotamadya Surakarta yang terdiri dari 5 kecamatan dan 51
kelurahan sudah sangat terkenal dengan berbagai sebutan, antara lain
lxiv
kota pendidikan, budaya, dan olahraga. Hal ini perlu dipertahankan
sebagai identitas daerah, salah satunya dengan menambah
perbendaharaan jenis fasilitas pendidikan penunjang proses belajar
mengajar (baca: perpustakaan) khusus untuk penyandang tunanetra.
Dengan catatan, di negara Republik Indonesia fasilitas sejenis hanya
terdapat di Bandung, Jawa Barat.
5. Bentuk Wadah
Dengan adanya kurikulum 1994 yang dilaksanakan mulai tahun
1995, secara bertahap dipastikan akan terjadi perubahan-perubahan
juga pada Sekolah Luar Biasa A. Ataupun dibangunya fasilitas fisik
penunjang proses belajar mengajar yang disesuaikan dengan tuntutan
kurikulum yang mengacu pada data dan fakta yang ada. Wadah-wadah
baru pendidikan luar biasa itu adalah perpustakaan untuk penyandang
tunanetra. Di mana perpustakaan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun
menjadi bagian dari Sekolah Luar Biasa yang berfungsi sebagai wadah
bagi para penyandang tunanetra untuk membuka cakrawala wawasan
dan menambah pengetahuan, berkumpul atau bersosialisasi,
berkomunikasi antar sesama penyandang tunanetra dan dengan
masyarakat serta lingkungan. Dimana fungsi-fungsi tersebut bermuara
pada satu tujuan, yaitu : mengangkat harkat, derajat dan martabat
penyandang tunanetra serta menghilangkan hambatan komunikasi dan
sosialisasi.
C. Eksistensi dan Relevansi Surakarta sebagai Lokasi
Pada tahun 1960 di Surakarta didirikan POBI (Perkumulan
Orang Boeta se Indonesia) yang meruakan wadah bagi penyandang
tunanetra se Indonesia yang mempunyai tujuan memperoleh
pengakuan atas eksistensinya sebagai penderita cacat. Pada tahun
1966, POBI memindahkan kantornya ke ibukota Jakarta untuk
memudahkan gerak perjuangan dan pelayananya. Disamping itu ada
juga panti Rehabilitasi Cacat Netra yang bergabung di bawah Yayasan
Pendidikan Anak Cacat Prof. Dr. Soeharso. Yang pada tahun 1970
lxv
berdiri sendiri dibawah KKKS (Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan
Sosial) bersama dngan SLB-SLB lainya, dengan nama Pusat
Rehabilitasi Cacat Netra Surakarta. Yang mempunyai skop pelayanan
Praopinsi jawa tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang
berfungsi sebagai pusat pelatihan dan pengembangan sumberdaya
manusia serta rehabilitasi fisik dan mental penderita tunanetra. Semua
fungsi-fungsi yang disebutkan diatas bermuara pada satu tujuan yaitu:
mengangkat harkat, derajat dan martabat para penderita tunanetra serta
menghilangkan hambatan sosialisasi dan komunikasi. (Wawancara
Bapak Drs. Asmuri, staf Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial
Kotamadya Dati II Surakarta)
D. Preseden Fasilitas Tunanetra di Surakarta
1. UPT Panti Tunanetra dan Tuna rungu Wicara ”Bhakti Chandrasa”
Surakarta
a. Lokasi
Lokasi Panti Tunanetra dan Tuna rungu Wicara ”Bhakti
Chandrasa” Surakarta berada di Jl. Dr. Radjiman no.662, Jongke,
Surakarta. Batas-batas bangunan sebagai berikut :
Sebelah utara : Panti Wreda
Sebelah timur : Jl. Dr. Radjiman
Sebelah selatan : perkampungan warga
Sebelah barat : perkampungan warga
lxvi
b. Kegiatan
Kegiatan utama yang diwadahi panti ini adalah kegiatan
Rehabilitasi dan pelatihan. Para Tunanetra dan Tunarungu wicara
dilatih untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan, walaupun mereka
memiliki keterbatasan fisik. Dengan memanfaatkan indera indera yang
tersisa.
Selain kegiatan yang bersifat Rehabilitasi, panti ini juga
memberikan pelatihan ketrampilan pada para penyandang cacat.
Diantaranya massage atau pijat, bermusik, menjahit dan
memasak.
c. Kondisi fisik bangunan
Berupa masa jamak 1 lantai memanjang kebelakang.
Bangunan 2 lantai hanya terdapat pada bagian depan, yaitu bangunan
pengelola yang juga berfungsi sebagai penerima. Penataan massa dari
bangunan dibuat sederhana untuk membuat sirkulasi yang sederhana
linier menerus.
Untuk menuju fasilitas – fasilitas pelatihan, pengunjung masuk
melalui bagian kiri bangunan dipandu oleh paving blok, kemudian
handrail sebagai pengarah jalur sirkulasi pada selasar.
Gambar 3.3 Panti Bhakti Chandrasa Sumber : Dokumen Pribadi (survei lapangan, 2009)
lxvii
Tunanetra bergerak masuk dengan menggunakan tongkat
(mengikuti arah pola lantai keramik) atau berpegangan pada handrail,
lalu meraba setiap dinding untuk mencari ruangan yang mereka tuju.
Dengan keterbatasan mereka pada indera penglihatan, seorang
tunanetra rata rata memiliki daya ingat yang kuat, untuk itu digunakan
pembedaan pola tekstur dinding untuk identifikasi tiap ruang.
Dinding raba bertekstur ini dibuat pada tiap dinding samping
kanan pintu dari setiap ruangan, lalu dibagian bawah jendela terdapat
sebuah papan braile yang bertuliskan nama ruangan.
2. SLB/A-YKAB SURAKARTA
SLB/A-YKAB SURAKARTA adalah sebuah fasilitas
pendidikan yang khusus mewadahi para tunanetra. SLB ini
menyediakan jenjang pendidikan mulai dari TKLB, SDLB, SMPLB,
sampai SMALB.
Gambar 3.4 Jalur-jalur sirkulasi
Gambar 3.5 Dinding Raba Sumber : Dokumen Pribadi (survei lapangan, 2009)
Sumber : Dokumen Pribadi (survei lapangan, 2009)
lxviii
SLB ini terletak di jl. HOS Cokroaminoto no. 43 jagalan
Surakarta, terletak di tepi jalan dengan kapasitas kendaraan yang padat
ketika pagi dan sore hari karena fasilitas ini terletak diantara pabrik
dan perkantoran sehingga lalu lintas menjadi ramai pada jam berangkat
dan pulang kerja.
Meskipun mayoritas penggunanya adalah tunanetra, namun
pada bangunan ini kurang menunjukan aksesibilitas yang sesuai untuk
tunanetra. Namun ada beberapa usaha dari pengelola bangunan ini
sendiri untuk dapat mempermudah aksesibilitas bagi para murid
tunanetra yaitu dengan memberikan signing berupa kertas berhuruf
braile pada pintu setiap ruang untuk identifikasi, pada aula/ lapangan
indor mereka mencoba menggunakan warna warna yang kontras untuk
mempermudah tunanetra parsial.
Gambar 3.5 SLB/A-YKAB Surakarta
Gambar 3.6 Prasarana SLB/A-YKAB Surakarta, kiri- kanan : pintu dengan signing braile, r. Serbaguna , area sirkulasi Sumber : Dokumen Pribadi (survei lapangan, 2009)
Sumber : Dokumen Pribadi (survei lapangan, 2009)
lxix
Untuk Penataan massa dan pola sirkulasi masih sama dengan
sekolah – sekolah pada umumnya, tidak menyesuaikan aksesibilitas
tunanetra.
Tidak terlihat adanya ramp, handrail dan jalur pemandu.
E. Perpustakaan Umum di Surakarta
1. Lokasi
Lokasi Perpustakaan Umum Kota Surakarta atau Kantor Arsip
dan Perpustakaan Daerah Surakarta berada di Jl.Kepatihan Surakarta,
tepatnya di Kelurahan Kepatihan Wetan, Kecamatan Banjarsari,
Surakarta. Batas-batas bangunan sebagai berikut :
Sebelah utara : Masjid Al Fatih, Kepatihan
Sebelah timur : Jl. Kepatihan
Sebelah selatan : perkampungan warga
Sebelah barat : perkampungan warga
Bangunan perpustakaan sekarang adalah bekas SDN
Kepatihan. Jalan di depan perpustakaan tidak dilalui oleh kendaraan
umum. Lokasi hanya bisa dicapai dengan kendaraan pribadi.
Gambar 3.7 Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Surakarta Sumber : Dokumen Pribadi
(survei lapangan, 2008) 2. Pelaku
Pelaku kegiatan di Kantor Arsip Dan Perpustakaan Daerah
Surakarta dibedakan menjadi dua, yakni pengunjung dan pengelola.
lxx
a. Pengunjung
Komposisi pengunjung adalah pelajar SD, SLTP, SLTA,
Mahasiswa, Pegawai dan Umum. Pengunjung terbanyak adalah
kalangan masyarakat umum.
Tabel 3.4 Jumlah Pengunjung Perpustakaan Umum Kota Surakarta.
TAHUN 2004 2005 2006 2007
JUMLAH
TOTAL
19.040 18.628 14.038 13.243
Jumlah
Pengunjung
Rata-Rata
Perhari
53
51
38
36
Sumber :Kantor Arsip Dan Perpustakaan Daerah Surakarta, 2008
b. Pengelola
Gambar 2.1 Bagan Struktur Organisasi Kantor Arsip dan Perpustakaan daerah Surakarta Sumber : Kantor Arsip dan Perpustakaan daerah Surakarta, 2008 Jumlah keseluruhan pegawai saat ini adalah 32 orang, dengan rincian
sebagai berikut :
Kepala : 1 orang
Kelompok Jabatan Fungsional : 5 orang
Kepala Kantor Arsip Dan Perpustakaan Daerah
Surakarta
Sub. Bagian Tata Usaha Kelompok Jabatan Fungsional
Seksi Pengelolaan
Arsip
Seksi Teknis Perpustakaan
Seksi Pelayanan Pemakai Perpustakaan
lxxi
Sub. Bagian Tata Usaha : 9 orang
Seksi Pengelolaan Arsip : 5 orang
Seksi Teknis Perpustakaan : 6 orang
Seksi Pelayanan Pemakai Perpustakaan : 7 orang
3. Kegiatan
a. Macam kegiatan
Kegiatan di dalam perpustakaan dibagi menjadi dua, yakni
kegiatan yang dilakukan oleh pengunjung dan pengelola.
· Kegiatan Pengunjung, meliputi : mencari buku, membaca buku,
melakukan peminjaman dan pengembalian buku, mencari informasi,
registrasi, fotokopi.
· Kegiatan Pengelola, meliputi : kegiatan pembinaan koleksi,
kegiatan pelayanan kepada masyarakat dan kegiatan administrasi.
b. Waktu kegiatan
Kegiatan di perpustakaan berlangsung dari hari Senin-Sabtu.
· Pagi dan siang
- Senin – Kamis, pukul 08.00-15.00 wib
- Jumat, pukul 08.00-11.00 wib
- Sabtu, pukul 08.00-12.00 wib
· Sore dan malam
- Selasa – Kamis, pukul 16.30-19.00 wib
c. Kegiatan pelayanan dan sistem pelayanan
Kegiatan pelayanan yang dilakukan kepada pengunjung
perpustakaan meliputi kegiatan pelayanan sirkulasi (peminjaman dan
pengembalian bahan pustaka), penelusuran pustaka, registrasi dan
pelayanan informasi kepada pengunjung.
Sistem pelayanan yang diterapkan kepada pengunjung dibedakan
menjadi dua, yakni :
· Sistem pelayanan terbuka (open access) diterapkan pada ruang koleksi
umum dan ruang koleksi berkala. Dengan sistem ini, pengunjung bisa
lxxii
memilih dan mengambil sendiri bahan pustaka yang tersedia di ruang
koleksi tanpa harus melalui/dilakukan oleh pegawai perpustakaan.
· Sistem pelayanan tertutup (closed access) diterapkan pada ruang
koleksi referensi. Yakni pencarian dan pengambilan bahan pustaka di
ruang koleksi yang diinginkan pengunjung harus melalui/dilakukan
oleh pegawai perpustakaan.
4. Koleksi
Macam dan jenis koleksi yang dimiliki Kantor Arsip dan Perpustakaan
Daerah Surakarta meliputi koleksi umum yang terdiri dari koleksi fiksi dan
nonfiksi, koleksi referensi, koleksi khusus (Belanda), koleksi audiovisual
(video, CD) dan koleksi periodikal ( majalah, surat kabar/koran, buletin).
Berikut Jenis dan jumlah koleksi perpustakaan.
Tabel 3.5 Jumlah koleksi buku Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah
Surakarta sd. Bulan Mei 2007
Koleksi judul eksemplar Keterangan
Fiksi
Nonfiksi
Referensi
BELANDA
5.734
17.610
6.279
1.856
6800
25.032
6.898
2.335
Data buku hilang/rusak
terhitung dari tahun
1971 s/d maret 2006
Buku rusak : 4.178 eks.
Hilang : 4.985
eks.
Jumlah : 9.163 eks.
Jumlah 31.479 41.065
Sumber :Kantor Arsip Dan Perpustakaan Daerah Surakarta
Jumlah koleksi audiovisual dan periodikal tidak terinventarisir.
Pengadaan koleksi perpustakaan diperoleh dari pembelian, pertukaran, hadiah
dan sumbangan. Data mengenai pertambahan koleksi pertahun tidak diketahui
secara pasti karena tidak terinventarisir secara jelas. Berikut data jumlah
sumbangan pada tahun 2006 dan 2007.
- Sumbangan pada tahun 2006 = 329 eksemplar, 330 judul.
- Sumbangan pada tahun 2007 = 2096 eksemplar, 1048 judul.
lxxiii
Dari sini pertambahan jumlah koleksi pertahun dapat diasumsikan
sebagai berikut :
Jika diambil pertambahan koleksi pertahun 2096 eksemplar
dan jumlah koleksi tahun 2007 ditetapkan 41.065 eksemplar. Maka
pertambahan tiap tahun adalah sekitar 5 %. Jika pertahun buku yang
hilang/rusak diasumsikan 0,5 % (berdasarakan Data buku hilang/rusak
terhitung dari tahun 1971 s/d maret 2006). Maka pertambahan buku
pertahun setelah dikurangi buku yang hilang atau rusak adalah 4,5 %
5. Ruang
Lantai 1 berisi ruang pelayanan perpustakaan, ruang sirkulasi (peminjaman
dan pengembalian koleksi), ruang penitipan tas, ruang koleksi umum dan
periodikal, ruang koleksi referensi dan bahasa asing, kamar kecil/KM, gudang,
parkir karyawan dan pengunjung.
Lantai 2 berisi ruang pimpinan, ruang tata usaha, ruang kasi arsip, ruang
teknis perpustakaan, ruang rapat.
Gambar 3.8 Denah Lantai 1 Perpustakaan Sumber : Survei, 2009
lxxiv
Gambar 3.9 Denah Lantai 2 Perpustakaan Sumber : Survei, 2009
Gambar 3.10 Foto Perpustakaan, Kiri-Kanan, Atas-Bawah : Halaman, R.Katalog, R.Sirkulasi, R.Baca, R. Koleksi Umum, R.Koleksi Referensi, R.TU, R. Teknis Perpustakaan, R.Rapat Sumber : Survei, 2009 6. Urgensi Permasalahan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, dibawah ini adalah beberapa
permasalahan yang ditemui.
a. Ruangan terlalu sempit sehingga penataan perabot (rak buku)terlalu dekat.
Hal ini menjadikan jalur sirkulasi (orang dan bahan pustaka) ”terbatas”
sehingga menggangu pergerakan.
b. Jumlah ruangan yang ada sekarang ini tidak bisa menampung seluruh
jumlah koleksi yang dimiliki maupun untuk penambahan fasilitas
penunjang lainnya.
c. Perpustakaan Daerah Surakarta tidak memiliki fasilitas penunjang seperti
ruang pertemuan/seminar.
d. Luasan lahan sekarang tidak bisa mendukung perbaikan fasilitas
perpustakaan di masa sekarang (melengkapi ruang) maupun masa
mendatang (penambahan ruang).
e. Tampilan bangunan (interior dan eksterior) yang tidak representatif-tidak
menarik.
f. Lokasi kurang strategis. Tidak berada pada rute pergerakan, pencapaian
hanya bisa dengan kendaraan pribadi, kurang dikenal masyarakat.
lxxv
F. Lokasi dan Site Standard
Berikut ini acuan Penentuan Lokasi suatu perpustakaan
menurut De Joseph Chiara. dan John Callender (1994).
Perpustakaan adalah organisasi yang melayani masyarakat.
Maka dari itu, sebaiknya terletak pada lokasi sentral. dimana
memudahkan akses bagi komunitas terbesar pembacanya dan pencari
informasi yang berkepentingan. Prinsip ini bukanlah suatu prinsip
baru, akan tetapi didapat dari riset administrator perpustakaan umum
yang berpengalaman.
Lokasi di pusat biasanya diasosiasikan dengan jumlah toko
retail yang padat,nbangunan kantor, bank, perhentian kendaraan
Umum dan fasilitas parkir. Ini berarti suatu perpustakaan sebaiknya
terletak di dekat pusat komunitas aktivitas umum, seperti pusat
perbelanjaan atau bisnis. Suatu perpustakaan harus mempertimbangkan
lokasi terbaik untuk menjaring public.
Pentingnya lokasi di pusat kola dikuatkan oleh pernyataan
berikut. Suatu lokasi yang mudah diakses adalah persyaratan Untuk
menarik sejumlah orang. Maka suatu perpustakaan harus berada pada
lokasi dimana orang berkumpul, di jantung perbelanjaan, atau distrik
bisnis. Bukan pada lokasi yang terpisah, atau jauh seperti taman, pusat
pemerintahan atau tepi jalan yang sepi. (Charles M Nlohrhardt and
Ralph A Ulveling, "Public Libraries", Architectural Record, December
1952, p 152)
The American Library association's standards for public library
service juga menekankan pada kebutuhan akan " Kemudahan akses-
Tak perlu dipertanyakan, suatu lokasi yang dapat memberikan
kemudahan akses pada sejumlah orang banyak, adalah dasar dari
suksesnya setiap perpustakaan baru.
memang, lokasi perpustakaan yang terletak di jantung
perbelanjaan dan distrik bisnis akan membutuhkan dana lebih besar,
lxxvi
daripada yang terletak di daerah pinggiran atau daerah kolas dua. Akan
tetapi,makin banyak masyarakat, arsitek dan para pejabat berwenang
yang berkompromi dengan biaya lokasi. Hal ini disebabkan karma
mereka berpendapat suatu perpustakaan tak dapat memenuhi fungsinya
secara optimal jika terletak di daerah kelas dua dan bahwa biaya
operasional perpustakaan yang terletak di daerah kelas dua biasanya
lebih tinggi daripada yang terletak di pusat.
Intinya, penggunaan perpustakaan secara maksimal dapat
diarlikan biaya pelayanan yang lebih rendah, dan Lokasi yang terletak
secara strategis dapat diartikan penggimaun.yang maksimal.
lxxvii
BAB IV PERPUSTAKAAN TUNANETRA YANG DIRENCANAKAN
A. Pengertian
merupakan tempat yang ditujukan bagi tunanetra untuk
memperoleh informasi dalam berbagai format yang dapat diakses
meskipun dalarn keterbatasan visual sehingga tidak kalah dengan
mereka yang normal. Fasilitas yang direncanakan antara lain: Ruing
koleksi Braille, format besar, periodik dan referensi, Ruang Baca,
Ruang Audio Visual lengkap dengan peralatan CCTV dan Kurzweill
Personal Reader. Ruang Internet, Ruang serbaguna, Ruang seminar.
Ruang Konsultasi, Kafetaria dan Halte. Pendekatan desain yang
dipakai adalah pendekatan perilaku tunanetra yang mana berpengaruh
terhadap perancangan massa bangunan, program ruang, sirkulasi,
material, tata cahaya, penataan dan pemilihan perabot.
B. Fungsi dan Tujuan
1. Fungsi
a. Bagi tuna netra
Dapat memperoleh informasi seluas-luasnya yang dilengkapi
sarana dan prasarana yang mendukung aktifitas mereka, antara lain
sebagai:
1) pusat informasi dan pendidikan non formal yang terjangkau bagi
seluruh lapisan dan golongan sosial
2) pusat layanan multi media bagi tuna netra
3) tempat untuk belajar dan mengembangkan diri melalui aktivitas positif
4) pusat diskusi formal dan nonformal serta tempat sosialisasi komunitas
tuna netra yang juga menunjang perkembangan mental secara psikis
5) Fungsi budaya, yakni memperluas jaringan pengembangkan apresiasi
terhadap budaya dan karya tulis. Dengan adanya pameran buku dan
non buku, seminar, Story telling bagi anak-anak, serta layanan audio-
visual, Perpustakaan ini dapat herfungsi secara budaya.
6) Sebagai Resource Center. Resource center adalah pusat pencetakan
lxxviii
pelajaran maupun buku-buku referensi bagi siswa dan kaum tuna netra
di masyarakat dalam huruf Braille. Tujuannya adalah agar kaum tuna
netra dapat menguasai ilmu pengetahuan dan dunia lewat bacaan
perabaan timbal yang dihasilkan oleh mesin Braille diri Norwegia.
Sehing-a disini perpustakaan berfunosi sebagai penyedia buku-buku
teks dalam format braille yang menoacu pada kurikulum PLB
7) Sebagai pelestari (mengolah, merawat, dan melestarikan) bahan
pustaka khususnya yang berformat khusus, baik berupa buku braille,
buku cetak maupun karya rekam.
b. Bagi masyarakat umum
1) pusat informasi khususnya mengenai tuna netra dan carat
2) Sarana untuk mereka yang ingin belajar menggunakan fasilitas khusus
untuk membantu saudara/keluarga mereka yang tuna netra
3) Sarana bagi sukarelawan untuk membantu mereka yang tuna netra
4) Sebagai lapangan kerja baru
2. Tujuan
a. Menyediakan fasilitas informatif yang memadai secara fisik maupun
psikologis untuk penyandang tuna netra maupun cacat sehingga
mereka dapat menikmati dan memperoleh informasi yang setara
dengan mereka yang normal
b. Meningkatkan kualitas intelektual kaum tuna netra dan cacat
c. Menyediakan suatu tempat dimana kaum tuna netra dan cacat dapat
bertemu, bersosialisasi dan bertukar pikiran secara positif
d. Mewujudkan iklim masyarakat belajar dan aktif membaca bagi
kalangan orang tua, anak, maupun masyarakat tuna netra
e. Meningkatkan kepedulian dan partisipasi orang tua dan masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan informal.
f. Membantu masyarakat yang mernbutuhkan segala informasi berkenaan
dengan tuna netra dan cacat
lxxix
g. Membuka kesempatan bagi masyarakat umum yang ingin membantu
mereka yang memiliki keterbatasan
h. Menyimpan, merawat. melestarikan bahan pustaka dalam format
khusus untuk mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan
i. Membantu produksi dan pegadaan bahan pustaka (dalam format
khusus) bagi masyarakat tuna netra dan cacat yang kurang mampu
secara ekonomi maupun bagi SLB yang masih sedikit/ belum memiliki
perpustakaan/ bahan pustaka yang memadai untuk kepentingan belajar
mengajar baik formal maupun nonformal.
C. Pelaku dan Kegiatan
3. Pelaku
a. Pengunjung
Pelaku kegiatan di dalam perpustakaan dikelompokan menjadi
dua, yakni pengunjung dan pengelola. Pengunjung perpustakaan yakni
para penyandang tunanetra, baik parsial maupun total dari segala umur
(anak- anak, remaja, dewasa). Jika ditinjau dari lingkup pelayananya
perpustakaan ini direncanakan memiliki skala propinsi, berusaha
melayani masyarakat tunanetra di jawa tengah namun tidak menutup
kesempatan bagi masyarakat seluruh Indonesia.
Jumlah populasi penduduk tuna netra di jawa Tengah tahun
2008 menurut Dinas Sosial Propinsi Jawa tengah:
49785 orang — 50 000 orang
Jumlah pengunjung perpustakaan menurut Time Saver
Standard
75 orang + 3 orang per 1000 populasi:
75 + (3 x 50) = 225 orang
Masyarakat umum / keluarga / relasi Diasumsikan 30 % dari
pengunjung tuna netra
225 * 30% = 67 orang
Total pengunjung
225 +67 = ±292 orang
lxxx
b. Pengelola
Pengelola perpustakaan adalah pegawai Kantor Arsip dan
Perpustakaan Daerah Kota Surakarta yang sudah berkompetensi
melayani para penyandang tunanetra, dengan pertimbangan bahwa
Perpustakaan Tunanetra Surakarta adalah perpustakaan umum milik
pemerintah daerah atau nonswasta yang pengelolaannya dilakukan
oleh pegawai pemerintah daerah. Pengelola perpustakaan terdiri dari
kepala/pimpinan perpustakaan, kelompok jabatan fungsional,
sub.bagian tata usaha, seksi pengelolaan arsip, seksi teknis
perpustakaan dan seksi pelayanan pemakai perpustakaan.
4. Kegiatan
b. Pengelompokan Kegiatan
Kegiatan di dalam perpustakaan dikelompokan berdasarkan
klasifikasi kegiatan yang dilakukan pengguna perpustakaan
(pengunjung dan pengelola), sebagai berikut.
· Kegiatan penerimaan, meliputi : datang-pergi/masuk-keluar
perpustakaan, duduk-diskusi-pertemuan nonformal,
penyimpanan/penitipan barang.
· Kegiatan informasi perpustakaan, meliputi : pelayanan informasi-
registrasi, pelayanan peminjaman/pengembalian pustaka,
pelayanan referensi, pelayanan koleksi khusus, pelayanan koleksi
pandang dengar (audiovisual), penelusuran bahan pustaka melalui
katalog, pembacaan cerita anak/mendongeng, membaca koleksi,
diskusi, penyimpanan koleksi.
· Kegiatan penunjang, meliputi : seminar, pameran, bowsing
internet, makan-minum.
· Kegiatan pengelolaan oleh pegawai perpustakaan, meliputi :
pengorganisasian, administrasi, pengadaan-pengelolaan-perawatan
koleksi, pengelolaan-perawatan arsip, pertemuan formal pengelola,
monitoring keamanan.
lxxxi
· Kegiatan servis, meliputi : menaruh kendaraan/parkir, penerimaan
dan pengiriman barang (loading-unloading), penyimpanan barang,
monitoring keamanan, metabolisme, ibadah, mekanikal-elektrikal.
c. Waktu Kegiatan
Perpustakaan ini dibuka untuk melayani masyarakat pada tiap
hari kerja dari senin sampai Jumat mulai pukul 9.00 sampai 18.00
WIB, sedangkan pada hari sabtu dibuka setengah hari, mulai pukul
09.00 sampai 15.00. Pada hari minggu perpustakaan tutup.
d. Sistem Pelayanan
Direncanakan suatu sistem pelayanan yang mandiri sekalipun
sasaran utamanya adalah mereka yang memiliki keterbatasan fisik.
menurut hasil survey di lapangan, kaum tuna netra dan cacat di
Indonesia sejak sedini mungkin dilatih untuk mandiri dan tidak
tergantung pada alat atau orang lain. Oleh karena itu digunakan system
pelayanan terbuka (open acces) yang memungngkinkan pengunjung
untuk mencari dan memilih koleksi yang diinginkan secara mandiri.
Kecuali untuk penyandang cacat yang belum mandiri perpustakaan
menyediakan petugas khusus untuk membimbing mereka. Pada koleksi
tertentu yang seperti koleksi audio visual diberlakukankan close acces
dimana pengunjung harus dilayani oleh petugas untuk
memperoleh/meminjam koleksi yang diinginkan
D. Koleksi Perpustakaan
Jenis dan macam koleksi perpustakaan disesuaikan dengan
koleksi yang dimiliki oleh Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah
Surakarta.
Koleksi perpustakaan terdiri dari koleksi anak, koleksi umum,
koleksi referensi, koleksi berkala, koleksi khusus (koleksi belanda) dan
koleksi audiovisual. Koleksi umum ini menampung jenis koleksi
remaja, pemuda dan dewasa, pengelompokannya dijadikan satu karena
lxxxii
disesuaikan dengan pengelompokan koleksi pada Kantor Arsip dan
Perpustakaan Daerah Surakarta.
Pengadaan koleksi perpustakaan diperoleh dari pembelian,
pertukaran, hadiah dan sumbangan.
Jumlah Koleksi buku Perpustakaan ini dihitung sesuai dengan
jumlah populasi yang dilayani.
Ketentuan standard:
jumlah koleksi koleksi buku : 21/2 -23/4 buku / 35000- 100000 populasi.
Dari ketentuan tersebut, untuk populasi 50 000 orang diambil 23/4 buku /
orang. Maka:
Buku cetak standard 25 % : 20625
Buku Braille 30 % : 24750
Buku elektronik 15% : 12375
Buku cetakan besar1O% : 8250
Koleksi referensi 10% : 8250
Koleksi khusus (regional) 8% : 6600
Peta dan atlas 2% : 1650
Koleksi anak-anak: 30% dari total koleksi, yakni 41250 copy, terdiri dari
Buku cetak standard 25 % : 10312
Buku Braille 30 % : 12375
Buku elektronik 15% : 6187
Buku cetakan besar 10% : 4125
Koleksi referensi 10% : 4125
Koleksi Musik : 5% dari total koleksi : 6875
Buku musik Braille
Koleksi Audio visual : 5% dari total koleksi 6875
Untuk Koleksi penerbitan berkala tidak dihitung dari total
koleksi perpustakaan karena sifatnya yang kumulatif, sesuai dengan
frekuensi penerbitan majalah dan Koran tertentu.
lxxxiii
BAB V ANALISA PENDEKATAN KONSEP
E. ANALISA MAKRO
a. Analisa Lokasi dan Site
a. Pedoman pemilihan site :
1) Site terletak harus prominent. Lebih baik berupa Suatu pojok dari
persimpangan dimana perpustakaan dapat mudah terlihat. Penggunaan
maksimum diperoleh dari jendela display dan view interior yang terlihat.
2) Ketinggian site kurang lebih sama dengan ketinggian jalan
3) Site cukup luas untuk rencana perluasan, akses kendaraan servis, kendaraan
perpustakaan dan sejumlah ruang luar
4) Site sebaiknya memiliki sisi yang menghadap utara untuk menghindari
pancaran sinar matahari, atau setidaknya menghadap timur adalah pilihan
kedua. Akan tetapi orientasi site sebenarnya bukan hal yang mutlak dalam
pemilihan site, karena saat ini control temperatur aktif dapat dipergunakan
untuk meminimalkan problem matahari.
5) Area servis yang persegi untuk memudahkan pengawasan. Disini
dimaksudkan, bentukan tapak yang persegi Memungkinkan bentuk bangunan
yang persegi pula,
6) Site sebaiknya memiliki struktur tanah yang sama.
b. Alasan Pemilihan Site
Dari acuan tersebut di atas, Lokasi perpustakaan tuna netra dipilih di kawasan
Surakarta, daerah manahan dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut
1) Lokasi yang berada di tengah kota, di dekat pusat perbelanjaan, distrik bisnis,
dan tempat berkumpulnya masyarakat.
2) Akses yang mudah dicapai, merupakan jalan arteri sekunder yakni jalan adi
sucipto.
3) Menurut Rencana Detail Tata Ruang, kota (RDTRK) Unit pengembangan
daerah manahan diperuntukkan untuk pemukiman, dan fasilitas umum.
Perpustakaan Tuna Netra adalah salah satu bangunan fasilitas umum yang
bergerak di bidang jasa.
4) Lokasi dekat dengan komunitas masyarakat yang menjadi sasaran utama
lxxxiv
perpustakaan. Perlu diketahui, Lokasi ini dekat dengan SLB A , juga dekat
dengan tempat rehabilitasi tunanetra.
c. Lokasi dan Site
Lokasi perpustakaan dipilih berada di tengah kota, di dekat pusat
perbelanjaan, distrik bisnis, dan tempat berkumpulnya masyarakat.dan mudah
dicapai oleh para tunanetra baik jalan kaki, menggunakan kendaraan umum
maupun pribadi (kemudahan akses). Lokasi juga dekat dengan komunitas
masyarakat yang menjadi sasaran utama perpustakaan. Perlu diketahui, Lokasi
ini dekat dengan SLB A , juga dekat dengan tempat rehabilitasi tunanetra.
Dari sini, lokasi yang dipilih berada di daerah Manahan. Yakni di sekitar
Kompleks Stadion Manahan. Di Kota Solo, Kompleks Stadion Manahan
cukup dikenal oleh banyak orang. Selain itu lokasi ini telah menjadi salah
satu tempat “jujukan“ berkumpul bagi warga Kota Solo dan nonSolo. karena
Terletak dekat fasilitas umum, pusat perbelanjaan dan daya tarik masyarakat
yang menguntungkan
LOKASI TERPILIH
lxxxv
sehingga pengunjung selain ke perpustakaan juga dapat sekaligus
berekreasi atau sekaligus melakukan aktivitas di tempat lain dalam satu kali
kunjungan. (Pertimbangannya, banyak pengunjung, khususnya tuna netra yang
berasal dari luar kota, sehingga dalam sekali kunjungan ke pusat kota,
sekaligus menyempatkan diri ke Perpustakaan atau sebaliknya). Lokasi ini
dilalui oleh kendaraan umum namun memiliki tingkat kebisingan yang tidak
tinggi.
Site yang dipilih berada tepat di depan pintu masuk utama Kompleks
Stadion Manahan bagian depan. Bagian pintu masuk utama Kompleks Stadion
Manahan (taman depan) merupakan ”konsentrasi” tempat orang berkumpul.
Pemilihan site di sini bertujuan agar bangunan perpustakaan lebih dikenal
masyarakat dan bisa menjadi pusat perhatian. Pencapaian ke site mudah, bisa
diakses dengan kendaraan umum dan bisa dari tiga sisi jalan namun
kebisingan rendah karena tidak berada pada jalur lalu-lintas yang padat.
Gambar 5.1 Lokasi Site Terpilih Sumber : foto udara diambil dari www.googleearth.com
d. Data Site :
· Lokasi site : Kampung Gremet, Kelurahan Manahan, Kecamatan
Banjarsari, Surakarta.
· Batas-batas site :
Utara : Jl. Adi Sucipto, Kompleks Stadion Manahan
Selatan : Jl. Manyar V (jalan lingkungan), rumah tinggal
Timur : Rumah Tinggal
Barat : Jl. Sumbing (jalan lingkungan), rumah tinggal
Kompleks stadion Manahan solo
Site terpilih
utara
lxxxvi
· Ukuran site : Panjang site 100 m, lebar 85 m, luasan site ± 8500 m².
Jalur lambat di sebelah utara site memiliki lebar 4 meter, lebar Jl.Sumbing
sekitar 7 meter, lebar Jl.Manyar V sekitar 4 meter dan lebar Jl.Adi Sucipto
sekitar 16 meter.
· Peraturan bangunan :
Untuk bangunan fasilitas umum dengan ketinggian bangunan 3-4 lantai,
ALD (angka lantai dasar)= 35-40% luas lahan, ART/ARH (angka ruang
hijau) = 38-60 % luas lahan, ARP (angka ruang parkir) = 18-20 % luas
lahan. (sumber : Dinas Tata Kota Surakarta)
Gambar 5.2 Site terpilih yang digambar ulang Sumber : dokumen pribadi
Gambar 5.3 (dari kiri-kanan, pandangan 1-3) situasi taman depan Manahan, jalan Adi Sucipto, pandangan ke site. Sumber : Dokumen pribadi Gambar 5.4 (dari kiri-kanan, pandangan 4-6) Jalan di depan site, Jl. Sumbing, Jl.
lxxxvii
Manyar V Sumber : Dokumen pribadi
Gambar 5.5 (dari kiri-kanan, pandangan 7-9, pandangan dari site) pandangan ke taman depan, pandangan ke arah timur, pandangan ke arah barat laut. Sumber : Dokumen pribadi b. Analisa Pencapaian
i. Dasar Pertimbangan
· Kemudahan akses
· Tidak membahayakan pengguna (tunanetra)
· Keteraturan
· Pencapaian ke zona publik lebih mudah
· Sirkulasi yang sederhana dan tidak membingungkan
Dalam pertimbangan pencapaian, menggunakan 2 alternatif, yaitu
Kriteria Bobot Alternatif I Alternatif II
Alternatif 1 Antara Maen Entrance masuk dan keluar menjadi satu, tidak dipisahkan
Alternatif 2 Antara Maen Entrance masuk dan keluar di area yang berbeda
Gambar 5.6 Alternatif Pencapaian Sumber: Analisa
lxxxviii
berdasarkan pertimbangan, maka alternatif I dapat mewakili bentuk
pencapaian dalam kawasan Perpustakan tunanetra, dimana penggunanya
adalah tunanetra, sirkulasi harus jelas, teratur, sederhana dan dipisahkan
antara sirkulasi kendaraan dan pejalan kaki
ii. Rekomendasi
disediakan halte untuk pencapaian pejalan kakyang memakai kendaraan umumi
Side entrance, untuk keluar masuk kendaraan
Maen entrance untuk keluar masuk kendaraan dan user
c. Analisa View dan Orientasi
Menentukan arah orientasi bangunan yang terbaik bagi Perpustakaan
Tunanetra nantinya, dengan mempertimbangkan View from site dan view to
site
Kemudahan akses
keamanan
efisiensi
sirkulasi
Jumlah
2
2
2
2
3
3
2
2
10
2
2
1
3
8
Gambar 5.7 Pencapaian Site Sumber: Analisa
lxxxix
i. Dasar Pertimbangan
· View to site
· View from site
· Keadaan sekitar site
· Alur sirkulasi (memutar)
· Arah pencapaian masuk kedalam site
· Objek bangunan yang menarik
ii. Rekomendasi
View from site
Orientasi semua massa mengarah ke Jl Adi sucipto(mempermudah sirkulasi dan pencapaiian)
Ekpose bangunan (memaksimalkan view ke luar site
Gambar 5.8 Kondisi View Site Sumber: Analisa
xc
Orientasi bangunan menghadap Jl Adi sucipto yang merupakan akses utama menuju ke perpustakaandengan view stadion Manahan.
Stadion manahan merupakan tempat yangselau ramai digunakan tempat bekumpulorang solo. Keberadaan bangunan di lokasiin akani sangat menarik perhatian orang sekitarjika memeksimalkan ekspos ke arah manahan
memaksimalkan ekspos pengolahan site ke arah manahan
Orientasi semua massa mengarah ke Jl Adi sucipto(mempermudah sirkulasi dan pencapaiian)
Ekpose bangunan (memaksimalkan view ke luar site
d. Analisa Sirkulasi site
Menentukan konsep sirkulasi eksternal (luar bangunan) yang ideal, agar tidak
terjadi Cross Circulation antara sirkulasi kendaraan dan pejalan kaki dan
sesuai dengan konsep keteraturan dan kesederhanaan.
i. Dasar Pertimbangan
· Hirarki jaringan jalan
· Keamanan dan kelancaran sirkulasi
· Aktifitas kegiatan perpustakaan
· Bentuk massa bangunan (jamak)
· kenyamanan pengguna (tunanetra)
Gambar 5.9 View dan Orientasi Sumber: Analisa
xci
· menghindari crossing
ii. Rekomendasi
massa bangunan jamak mampu mengurangi sirkulasi vertikal, karena
menyulitkan tunanetra
- memisahkan antara sirkulasi kendaraan dan pejalan kaki
- area sirkulasi kendaraan diletakan di bagian timur site, area sirkulasi
pejalan kaki di bagian barat berbatasan langsung dengan main entrance
Dipilih Lokasi sepanjang Jl. Adi sucipto
area sirkulasipejalan kakiarea sirkulasi
kendaraan
HALTEi
e. Analisa Kebisingan
Dalam perencanaan sebuah perpustakaan, analisa kebisingan sangatlah
penting. Sebagai Identifikasi sumber kebisingan yang ada di sekitar site, dan
meminimalisr tingkat kebisingan hubunganya dengan penzoningan.
Daerah dengan tingkat kebisingan tinggi (keramaian lalu lintas jalan raya adi suciptoi
daerah denga n tingkat kebisingan rendah (aktifitas masyarakat)
Daerah dengan tingkat kebisingan sedang
i. Dasar Pertimbangan
· Arah sumber kebisingan
Gambar 5.11 Analisa Kebisingan Sumber: Analisa
Gambar 5.10 Sirkulasi Site Sumber: Analisa
xcii
· Kegiatan yang membutuhkan tingkat konsentrasi tinggi
· Minimalisir tingkat kebisingan
· Penzoningan site
ii. Alternatif Cara Meminimalisir Kebisingan
Penzoningan Ruang (alternatif I)
Dilakukan dengan meletakkan ruang-ruang yang bersifat privat dan
membutuhkan ketenangan berada di bagain belakang site (bagian
selatan)
Memberikan Jarak (alternatif II)
Dengan cara memberikan jarak antara bangunan dengan jalan raya,
yaitu adi sucipto
Pembedaan Ketinggian (alternatif III)
Dengan cara memberikan pembedaan ketinggian antara site dengan
jalan raya, gua mereduksi tingkat kebisingan
Kriteria Bobot Alternatif I Alternatif II Alternatif III Efektifitas Kesesuaian dengan kondisi site Kesesuaian dengan kondisi lingkungan sekitar Kesesuaian dengan penzoningan
Jumlah
3 3 3 3
2 3 3 3 11
3 3 3 3 12
2 3 3 3 11
iii. Hasil
Berdasarkan Scoring Pertimbangan, dari beberapa alternatif, dapat
diterapkan semuanya ke dalam rancangan Perpustakaan tunanetra,
sehingga antara satu alternatif dengan alternatif yang lain dapat saling
mendukung satu sama lain
Keterangan Nilai 3 : Sangat Baik 2 : Baik 1 ; Kurang Baik
Keterangan Bobot 3 : Menentukan 2 : Kurang Menentukan
xciii
Ruang-ruang yang membutuhkan ketenangan tinggi diletakan di bagian belakang site (R baca)
Antara jalan raya dengan site, diberikan ketinggian yang berbeda (pemantulan suara bising)
F. ANALISA MIKRO
1. Analisa Peruangan
a. Kebutuhan Ruang
Kebutuhan ruang perpustakaan ditentukan berdasarkan
pengelompokan kegiatan yang diwadahi, sebagai berikut.
1) Kegiatan Penerimaan
Tabel 5.2 Kebutuhan ruang kegiatan penerimaan
Jenis kegiatan Ruang
Datang-pergi/masuk-keluar
Duduk-diskusi-pertemuan
nonformal
Pelayanan informasi-registrasi
Penyimpanan/penitipan barang
Plaza
Entrance
Hall
Lobi
Ruang duduk
Ruang sirkulasi umum-informasi
Ruang sirkulasi umum dan anak
Ruang loker
Sumber : Analisa
2) Kegiatan Perpustakaan
Tabel 5.3 Kebutuhan ruang kegiatan informasi perpustakaan
Jenis kegiatan Ruang
Pelayanan referensi Ruang pelayanan referensi
Gambar 5.12 Respon kebisingan Sumber: Analisa
xciv
Sumber : Analisa
3) Kegiatan Penunjang
Tabel 5.4 Kebutuhan ruang kegiatan penunjang
Jenis kegiatan Ruang
Mengikuti Seminar/pertemuan
Ruang serba guna
Panggung
R. operator
R. Belakang panggung
R. petugas
Gudang peralatan
Toilet pria
Toilet wanita
Pelayanan koleksi khusus
Pelayanan koleksi pandang
dengar (audio-visual)
Pencarian bahan pustaka
melalui katalog
Bercerita/mendongeng
Membaca koleksi-diskusi
Penimpanan koleksi
Ruang pelayanan koleksi khusus
Ruang pelayanan koleksi pandang
dengar (audio-visual)
Ruang katalog online umum dan
anak
Ruang dongeng anak
Ruang baca koleksi anak
Ruang baca koleksi umum
(remaja-dewasa)
Ruang baca koleksi berkala
Ruang baca koleksi referensi
Ruang baca koleksi khusus
Ruang baca audio-visual
Ruang koleksi anak
Ruang koleksi umum (remaja-
dewasa)
Ruang koleksi berkala
Ruang koleksi referensi
Ruang koleksi khusus
Ruang koleksi audio visual
xcv
Makan dan minum
Pameran
Konsultasi
Mengenal jenis – jenis
tanaman
Membeli buku
Kafetaria
Pantry
Ruang pameran
Ruang konseling
Taman flora braile
Toko buku mini
Sumber : Analisa
4) Kegiatan Pengelolaan
Tabel 5.5 Kebutuhan ruang kegiatan pengelolaan
Jenis kegiatan Ruang kegiatan
Pengorganisasian
Administrasi
Pengadaan-pengelolaan-
perawatan koleksi
Pengelolaan-perawatan arsip
Pertemuan formal
Monitoring keamanan
Ruang pimpinan
Ruang kelompok jabatan
fungsional
Ruang tata usaha
Ruang seksi teknis perpustakaan,
Ruang fumigasi
Ruang kearsipan
Ruang rapat
Ruang monitor keamanan
Sumber : Analisa
5) Kegiatan Servis
Tabel 5.6 Kebutuhan ruang kegiatan servis
Jenis kegiatan Ruang kegiatan
Mekanikal-elektrikal
R. Gardu PLN
R. Panel
R. trafo
R. Generator
R. mesin AC
R. Tandon dan pompa
xcvi
Penerimaan/pengiriman barang
Ibadah
Penyimpanan barang
dapur
Monitoring keamanan
menunggu
R. Kontrol
Loading dock
Mushola dan wudu
Gudang
pantry
Pos satpam
R. Sopir
Sumber : Analisa
b. Luas Ruang
1) Kegiatan Penerimaan
no ruang kapasitas standard sirkulasi luas
1 entrance hall
lobby 19.370populasi 9 m2/1000 populasi (LBD) 10% 191.763
ruang duduk 20org ass 10% 30
informasi-registrasi 5 org 4.2 m2/org 10% 23.1
r penitipan barang 4 lernari 4.8 m2/lemari (PP)
30% 24.96 r sirkulasi & peminjarnan 4 org 2 m2/org (PP) 30% 10.4
r telepon urnum 4 org 1 m2/org (PP) 10% 4.4
total 280.223
2) Kegiatan Perpustakaan
RUANG RAK KOLEKSI
Luas rak untuk buku 2.00 x 0.3 m = 0.60 m2 standard Sebuah rak buku dapat menampung 250 buah buku (250 copy)
Sebuah buku braille dan cetakan besar memerlukan space 3 kali lipat dari buku cetak standard (menurut survey) sehingga kapasitas rak buku braille dan cetakan besar : 1/3 rak standard = 80 copy
Sebuah buku elektronik memerlukan space 2 kali lipat dari buku cetak standard sehingga kapasitas buku elektronik : 1/2 rak standard = 125 copy
Koleksi referensi diasumsikan memiliki space yang sama dengan buku braille
untuk audio musik diasumsikan 1 lemari cukup menampung 1000 copy
Maka untuk mendapatkan luasan rak buku yang dibutuhkan :
(jumlah buku : kapasitas rak) x 0.6 + sirkulasi 30 %
xcvii
no ruang kapasitas standard sirkulasi luas (m2) 2 r rak koleksi dewasa 82500 copy
buku cetak standard 20625 copy 250 buku/Iemari (LBD) 30% 64.35 buku braille 24750 copy 80 buku/lemari 30% 241.3125
buku bicara/elektronik 12375 copy 125 buku/lemari 30% 77.22 buku cetakan besar 8250 copy 80 buku/lemari 30% 80.4375 koleksi referensi 8250 copy 80 buku/lemari 30% 80.4375
koleksi spesial 6600 copy 80 buku/Iernari (LBD) 30% 64.35
koleksi peta dan atlas 1650 copy 50 m2 (asurnsi) 30% 25.74
633.848
3 r.rak koleksi anak-anak 41250 copy
buku cetak standard 10312 copy 250 buku/lemari (LBD) 30% 32.17344 buku Braille 12375 copy 80 buku/lemari 30% 120.65625 buku elektronik 6187 copy 125 buku/lemari 30% 38.60688 buku cetakan besar 4125 copy 80 buku/lemari 30% 40.21875
koleksi referensi 4125 copy 80 buku/lemari (LBD) 30% 40.21875
271.874
4 r.rak koleksi musik 4000
buku 6875
80 buku/lemari (survey)
30% 60.328125 60.3281
Koleksi penerbitan berkala
Koran Dalam 1 minggu terdapat 7 eksemplar yang dijadikan 1 bendel Dalam 1 bulan ada 4 bendel. Dalam 1 tahun (12bulan) ada 48 bendel. selama 10 tahun terdapat 48 x 10 tahun = 480 bendel Diasumsikan sebuah rak dapat menampung 10 bendel. Sehingga diperlukan 48 rak Luasan tiap rak 1,5 m2 Majalah Majalah akan dibendel tiap 4 bulan sehingga dalam 1 tahun ada 3 bendel Diasumsikan ada 5 judul, maka dalam 1 tahun ada 5 x 3 bendel= 15 bendel Dalam 10 tahun ada 150 bendel Kapasitas rak mencukupi untuk 20 bendel sehingga diperlukan 7,5rak Luasan tiap rak 1,5 m2
5 r. penerbitan berkala koran 48 rak 1,5 m2/rak 10% 79.2
majalah 7,5 rak 1,5 m2/rak 10% 12.375
91.575
xcviii
RUANG BACA jumlah kapasitas tempat duduk disesuaikan dengan jumlah pengunjung, yakni 225 buah sesuai dengan jumlah buku yang tersedia. maka kapasitas tempat duduk untuk: anak-anak dan remaja 30% 68 kursi dewasa dan referensi 60% 135 kursi ruang musik dan avi 10% 23 kursi tempat duduk untuk 1 orang rata-rata 2,3 m2
6 r baca r baca anak dan remaja 68 kursi 2.3 m2 /orang(LBD) 30% 203.32 r baca dewasa dan referensi 135 kursi 2.3 m2 /orang(LBD) 30% 403.65 ruang baca/dengar musik 23 kursi 2.3 m2 /orang(LBD) 30% 68.77 r. baca bebas 50 orang 2.3 m2 /orang(LBD) 30% 149.5
675.74
RUANG KATALOG Sebuah lemari katalog terdiri dari 30 laci ( 5 horisontal, 6 vertikal) Sebuah laci dapat menampung 1000 kartu. (LBD) Berarti sebuah lemari dapat menampung 30 x 1000 kartu = 30 000 kartu Sebuah buku biasanya memiliki 3 kartu Maka total jumlah katalog : dewasa 48000 buku→ 144000 katalog anak-anak dan remaja 24000 buku→ 72000 katalog koleksi musik 4000 buku→ 12000 katalog koleksi audio visual 4000 buku→ 12000 katalog total 240000 katalog jumlah lemari yang dibutuhkan :jurnlah katalog : kapasitas lemari Sebuah lemari memerlukan space sebesar 3 m2 (termasuk sirkulasi dan meja konsultasi) Untuk perangkat komputer per bagian ditambahkan luasan 4 rn2
7 r. katalog
r katalog anak dan remaja 72000 katalog 30000 ktlg/lemari, @ 3m2/lemari (LBD) 11.2r katalog dewasa 144000 katalog 30000 ktlg/lemari, @ 3m2/lemari (LBD) 18.4
xcix
r katalog musik 12000 katalog 30000 ktlg/lemari, @ 3m2/lemari (LBD)
8 r audio visual r petugas 2 orang 4 m2/orang (PP) 10% 8.8 r katalog avi 12000 katalog 30000 ktlg/lemari, @ 3m2/lemari (LBD) 5.2 r penvimpanan asumsi 30 r koleksi kaset 18000 copy 1000 koleksi/lemari (assi) 30% 12.636 r koleksi video 12000 copy 1000 koleksi/lemari (ass) 30% 8.424 r dengar bersama 20 org 2.5 m2/orang 10% 55 r kurzweil personal reader 10 org 4 m2/alat (ass) 30% 52 r. close circuit TV 10 org 4 m2/alat (ass) 30% 52 r pemutaran film 25 org 1 m 2 /orang 30% 32.5 total 256.56
9 r internet
r internet umum 10 komp 4 m2/komp (assi) 30% 52 r internet tuna netra 10 komp 4 m2/komp (ass) 30% 52 total 104
10 r diskusi dan seminar 25 org/ruang 2 m2/orang (LBD) 30% 65
(2 ruang) total 130
11 area anak
r bermain dan kratifitas asumsi 40 r pemutaran cerita anak 10 anak 3 m2/anak (LBD) 30% 39 r komputer anak 5 komp 2.4 m2/komp (ass) 30% 15.6 kelas anak 20 anak 3 m2/anak (LBD) 30% 78
total 132.6 TOILET Kebutuhan Toilet (LBD)
Pria WC min 2 buah/ 200orang, kemudian 1 buah setiap 100 orang berikutnya min 2 buah/1000
Urinoir orang wastafel 1 buah/ 60 orang
Untuk ± 150 pengunjung pria dibutuhkan 2 WC (@1.5 m2), 2 urinal (@ 0.6 m2) , dan 3 wastafel (@ 1.2 m2) Total 7.8 m2 Wanita WC min 2 buah/ 75orang, kemudian1 buah setiap
50 orang berikutnya Untuk ± 150 pengunjung wanita dibutuhkan 4 WC (@ 1.5 m2) dan 3 wastafel (@ 1.2 m2) Total 9.6 m2
c
11 toilet toilet pria 150 orang 7.8 m2/toilet (LBD) 20% 9.36 toilet wanita 150 orang 9.6 m2/toilet (LBD) 20% 11.52
total 20.88
3) Kegiatan Pengelolaan
TABEL FASILITAS PENGELOLA
no ruang kapasitas standard sirkulasi Luas (m2) 1 R.pimpinan
R. Kepala Perpustakaan 1 org 30 m2/orang (LBD) 10% 33 R. Wakil Kepala 1 org 18 m2/orang (LBD) 10% 19.8
R. Sekretaris 1 org 10 m2/orang (LBD) 10% 11 R. Rapat 50 org 2 m2/orang (LBD) 10% 110 R. Tamu 5 org 2 m2/orang (LBD) 10% 11
Total 184.8
2 R. Administrasi
R. Kepala Bagian 1 org 15 m2/orang (LBD) 10% 16.5 R.staff tats usaha 3 org 9 m2/orang (LBD) 10% 29.7 R.arsip 2 org 9 m2/orang (LBD) 10% 19.8
R.keuangan 2 org 9 m2/orang (LBD) 10% 19.8
85.8
3 Pengolahan Pustaka R.kepala bagian 1 org 15 m2/orang (LBD) 10% 16.5
Unit Pengadaan 2 org 15 m2/orang (LBD) 10% 33 Seleksi bahan pustaka 2 org 12 m2/orang (LBD) 10% 26.4 Pengolahan bhn Pustaka 2 org 12 m2/orang (LBD) 10% 26.4 Unit Konservasi 2 org 12 m2/orang (LBD) 10% 26.4 R. Penarnpungan dan jilid 5 org 12 m2/orang (LBD) 10% 66
Studio rekarnan 3 org 12 m2/orang (LBD) 10% 39.6
234.3
ci
4 Unit teknis
R. kepala bagian 1 org 15 m2/orang (LBD) 10% 16.5 Humas 1 org 9 m2/orang (LBD) 10% 9.9 Unit sirkulasi & distribusi 2 org 7 m2/orang (LBD) 10% 15.4 Informasi & Komputerisasi 2 org 12 m2/orang (LBD) 10% 26.4 Unit penerbitan 10 org 12 m2/orang (LBD) 10% 132
Dokumentasi 1 org 7 m2/orang (LBD) 10% 7.7 Sie pameran 1 org 7 m2/orang (LBD) 10% 7.7 Sie bimbingan perpus 1 org 7 rn2/orang (LBD) 10% 7.7
223.3
5 Unit Layanan publik
R. Kepala bagian 1org 15 m2/orang (LBD) 10% 16.5
Unit perpus. dewasa 1org 7 m2/orang (LBD) 10% 38.5 Unit perpus anak 5 org 7 m2/orang (LBD) 10% 38.5 Unit komputer & teknologi 2 org 12 m2/orang (LBD) 10% 26.4 Unit audio visual 5 org 7 m2/orang (LBD) 10% 38.5
Unit referensi 1 org 7 m2/orang (LBD) 10% 7.7
166.1
5 Unit Pembinaan
R. Kepala Bagian 1 org 15 m2/orang (LBD) 10% 16.5 Sumber days manusia 1 org 7 m2/orang (LBD) 10% 7.7 Unit penyuluhan 1 org 7 m2/orang (LBD) 10% 7.7 Layanan konseling 1 org 7 m2/orang (LBD) 10% 7.7 39.6
6 R. Karyawan
R. Istirahat 35 org 3 m2/orang (LBD) 20% 126 Loker 2 lemari 4.8 m2/lernari (PP) 30% 12.48 Toilet pria 35 org 7.8 m2/toilet (LBD) 20% 9.36
Toilet wanita 35 org 6.6 m2/toilet (LBD) 20% 7.92 155.76
4) Kegiatan Penunjang
TABEL FASILITAS PENUNJANG
cii
no ruang kapasitas standard sirkulasi luas (m2) 1 Ruang serba guna 150 orang 1 m2/orang (PP) 10% 165
Panggung 10% luas r u a n g 165 m2 16.5 R. operator 2 orang 12 m2/orang (PP) 20% 28.8 R. belakang panggung 10% luas ruang 300 m2 30 R. petugas 2 orang 4 m2/orang (PP) 10% 8.8 Gudang peralatan 2 orang 15 m2/orang (PP) toilet pria 150 orang 7.8 m2/toilet (LBD) 20% 9.36 toilet wanita 150 orang 9.6 m2/toilet (LBD) 20% 11.52
2 Kafetaria 100 orang 1 m2/orang (PP) 20% 120 Pantry 10%,luas kfetaria 120 m2 12
3 R pameran 200 orang 1.2 m2/orang (PP) 10% 264 5 R. konseling 2 orang 4 m2/orang (ass) 10% 8.8 6 Taman flora braille Ass 200
(taman haca)
7 Toko buku Mini 50-80 m2 (LBD) 80
954.78
5) Kegiatan Servis
TABEL FASILITAS SERVIS
no ruing kapasitas standard sirkulasi luas
I Mekanikal Elektrikal
R..gardu PLN 10 R. panel 20 R. trafo 20 R. Generator 50 R. mesin AC 50 R. Tandon dan pompa 50 R. Kontrol 10
2 Loading dock 2 van 35 m2 /van (LBD) 30% 91 3 Mushola asss 9 4 Gudang 2 buah 20 m2/buah 40 5 Pantry ass 10 6 Pos keamanan 2 buah 6 m2/org, @ 2 orang 24
ciii
7 R.Sopir 10 orang 2 m2/or.g 20 total(m2) 404
TOTAL LUAS BANGUNAN: 5140.87
TABEL FASILITAS PARKIR
Menurut Peraturan Daerah wilayah Kota Surakarta untuk bangunan
fasilitas umum:
Tiap 40 m2 bangunan disediakan ternpat parkir 25 m2 Total luas bangunan adalah 5665.96 m2
Maka:
Luas fasilitas parkir yang dibutuhkan: (5665.96 : 40) x 25 m2 3541.225 m2
80% fasilitas parkir dialokasikan untuk mobil 2832.98 m2
20% untuk sepeda motor = 708.245 m2
REKAPITULASI
L U A S BANGUNAN subtotal (m2)
Total (1112)
Luas Fasilitas Publik 2692.4277
Luas Fasilitas Pengelola 1089.66
Luas Fasilitas Penunjang 954.78
Luas Fasilitas Service 404 5140.87 Luas Fasilitas Parking 3530.43
Luas Total 8671.29
Menurut RDTRK, KDB 40-60%, Jika diambil KDB 50 %, dan luas bangunan 5140.87, maka: Luas Lahan maksimal yang dibutuhkan 5140.87 x 100150 = 10281.74 m2
Keterangan:
PP : Pedoman Pembakuan Gedung Perpus Umum Wilayah
civ
LBD : Libraries : a briefing and design guide Ass : Asumsi
c. Analisa Tata Ruang
1) Penzoningan Ruang
a) Zona Publik dan Semi Publik
Pada zona ini diletakkan main entrance, Halte kendaraan umum (Angkutan
Kota, Taksi dan Becak), yang kemudian dihubungkan dengan pedestrian
ways menuju main entrance. Selain itu Ruang Internet, Toko buku, Cafeteria
dan Ruang baca bebas juga ditempatkan pada zona ini. Di Lantai2 dan 3,
untuk Zona public dan semi public ditempati oleh Ruang Serba Guna, Ruang
Pamer, Ruang Seminar dan Ruang konsultasi.
Pada bagian tengah site, diletakkan Taman Flora Braille yang sekaligus
difungsikan sebagai Taman Baca.
b) Zona Semi Private
Zona Semi Private ditujukan untuk area yang membtuhkan ketenangan dan
privasi namun masih dapat diakses oleh public. Pada site zona ini terletak di
bagian tengah, dikelilingi zona public, semi public dan private.
Pada zona ini diletakkan Ruangan Pengelola. Karena Letaknya yang berada
di tengah bangunan, zona ini dapat terhindar dari kebisingan dan sekaligus
juga dapat mengakses seluruh zona public dan semi public yang ada di
sekitarnya. Sedangkan bagi pengunjung yang bcrkepentingan dengan
pengelola (tamu, sukarelawan, dll) disediakan akses untuk menuju zona
pengelola.
c) Zona Private
Zona Private disini bukan mengacu pada zona yang tidak boleti dimasuki
oleh public, tetapi dimaksudkan untuk menyebut area perpustakaan dimana
pada area ini pengunjung yang masuk harus melewati kontrol petugas lebih
dahulu. Seperti menunjukkan kartu keanggotaan atau mencatatkan identitas
pada counter registrasi.
Area Perpustakaan sebagai daerah yang paling utama diletakkan pada zona
ini dengan pertimbangan perpustakaan sangat membutuhkan privasi, dan
penjagaan keamanan koleksinya. Dan terutama harus diletakkan pada daerah
yang cukup penting. Selain itu ketenangan yang terjaga juga lebih
cv
mendukung orientasi bagi tunanetra dibandingkan area yang ramai.
Disini, unik menjaga ketenangan area perpustakaan zona ini tcrletak pada
bagian site yang berbatasan dengan kapling tetangga yang berupa rumah
tinggal sehingga tidak ada kebisingan yang berarti seperti halnya jika
diletakkan dekat tepi jalan.
d) Zona Service
Mekanikal Elektrikal dan Loading Dock ( Loading basah dan Loading buku)
keduanya terletak di basement. dengan peletakkan loading dock di basement,
secara otomatis service tidak terlihat oleh pengunjiung, memperlancar
kegiatan service dan tidak mengganggu keindahan.
zone privat(area baca perpustakaan)
zone semi privat
zone semi publik
zone publik
Zone Servis
2) Pendekatan Sirkulasi Bangunan
Pendekatan sirkulasi bangunan bertujuan untuk merancang system
sirkulasi dan transportasi dalam bangunan perpustakaan yang sesuai
untuk bangunan perpustakaan sebagai bangunan untuk tunanetra.
Untuk menunjang kelancaran transportasi dalam bangunan diperlukan
system sirkulasi yang baik. Ada beberapa alternatif untuk pola sistem
sirkulasi horizontal:
1) Pola Linier
Bentuk paling dasar dari penyusunan rak buku dalam perpustakaan. Rak-rak disusun berjajar hingga membentuk barisan linier
Gambar 5.13 Penzoningan Bangunan Sumber: Analisa
cvi
2) Pola Grid
3) Pola Radial
4) Pola Klaster
Pergerakan yang sesuai dengan konsep teratur dan sederhana adalah
pergerakan yang memiliki pola linier. Dipilih gabungan antara pola linier
dan radial. Pergerakan linier dan radial dapat dimanipulasikan membenluk
Pengembangan selanjutnya, barisan rak buku disusun membentuk jaringan grid. Tujuannya adalah untuk memudahkan akses dan pengaturan koleksi. Pola ini memiliki kelemahan, yaitu monoton dan dapat mengakibatkan disorientasi.
Berbeda dengan pola grid, pola radial memiliki arah orientasi yang jelas, polanya dapat berkembang, tidak monoton. Namun sulit melakukan kategorisasi dan pengaturan koleksi dalam pola radial.
Pola cluster mengkombinasikan pola grid dengan pola radial. Dengan menggunakan pola ini, pengaturan kategori menjadi lebih mudah, karena terbagi kedalam bagian-bagian yang terpisah. Masing-masing bagian memiliki pusat untuk memudahkan orientasi. Namun juga tetap mempertahankan sifat grid yang memudahkan pengaturan koleksi.
cvii
suatu ruang dirnana tunanetra hanya dihadapkan pada situ pilihan jalur yang
yang jika diikuti akan kembali ke titik semula dimana peijalanannya dimulai.
2. Analisa Tampilan bangunan
a. Pendekatan Massa / bentuk bangunan
Bentuk geometris adalah wujud yang paling beraturan. Maka dalam
perancangan bentuk dasar gubahan massa akan digunakan bentuk geometris.
Ada beberapa Alternatif bentuk geometris beraturan:
· Lingkaran bersifat memusat pada suatu titik atau menyebar. Bagi tunanetra tidak
menguntungkan karena lingkaran tidak mcmiliki patokan (awal dan akhir) dan
polanya yang menyebar memungkinkan pergerakan ke segala arah (semakin banyak
arah, semakin kompleks dan sukar dihafal)
· Segi banyak beraturan (memiliki sisi dan sudut sama)
harnpir sama dengan lingkaran, akan menimbulkan pergerakan ke beberapa arah.
· Segitiga
Akan menyebabkan pergerakan menyerong (kurang dari90 °) yang kurang
menguntungkan bagi tunanetra (hasil survey)
· Segi empat
Segi empat murni mcminjukkan sesuatu yang rasionil, murni, bentuk yang statis,
netral dan tidak memiliki arah tertentu. Bentuk segi empat lainnya adalah variasi
bentuk bujur sangkar yang berubah dengan penambahan tinggi atau lebarnya.
cviii
Dipilih bentuk segi empat variasi, karena: Untuk tunanetra, akan lebih mudah
bergerak dalam tatanan segi empat yang pergerakannya tegak lurus (bersudut 90o).
Sedangkan dimensi yang bervariasi untuk menyesuaikan dengan program ruang
suatu perpustakaan.
b. Komposisi Massa
Platonic solid
Dari wujud dasar dapat digeser menjadi ruang yang memiliki bentuk tegas, teratur
dan mudah dikenal. Bentuk ini disebut Platonic Solid.
Platonic Solid dari segi empat (bujursangkar) adalah kubus, kubus adalah bentuk
yang sangat mudah dikenal. Variasinya dapat berupa balok. Dalam bangunan banyak
digunakan bentukan balok tersebut.
Bentuk Beraturan
Bentuk Beraturan adalah bentuk yang hubungan antar bagiannya tersusun dengan
konsisten. Umumnya bersifat stabil dan simetris terhadap satu sumbu / lebih.
Kemudian setelah ditentukan sumbunya, dibuat pola grid sejajar kedua sumbu.
Selanjutnya bentuk-bentuk kubus/balok diletakkan secara stabil pada kedua sumbu
yang saling tegak lurus.
Permassaan
Dengan dasar pertimbangan
∙Sifat dan tuntutan kegiatan
∙Kesederhanaan flow dan lay out
∙Kesesuaian dengan penyandang Tuna Netra
Di tentukan dua alternative, yaitu :
· Massa Tunggal
Gambar 5.14 Alternatif bentuk Geometris Sumber: Analisa
cix
(-) Ruang yang terbentuk: `Penggunaan ruang optimal
`hubungan tidak langsung
`lay out dan flow komplek
(-) Struktur kompleks
(+) efisien luasan bangunan
(-) Memerlukan faktor keamanan lebih
· Massa Jamak
(+) Ruang yang terbentuk: `hubungan langsung
`kegiatan dapat dikelompokkan sesuai sifat dan jenisnya
secara tegas
`lay out dan flow sederhana
(+) Struktur sederhana
(-) membutuhkan luasan lebih banya
(+) pengelompokan ruang funsi sejenis mudah
Berdasarkan beberapa pertimbangan, massa jamak paling ideal dalam
pengembangan massa bangunan perpustakaan tunanetra, massa jamak mampu
mengakomodir kegiatan para penyandang tuna netra yang sangat membutuhkan
kesedehanaan flow dan lay out ruang akibat tidak adanya indra penglihatan.
Massa jamak dipilih untuk mewadahi fungsi yang berbeda, untuk memisahkan
kegiatan antar fungsi. karena fungsi perpustakaan sangat membutuhkan ketenangan
namun terdapat juga fungsi-fungsi lain yang mungkin dapat mengganggu.
c. Fasad bangunan
Sesuai dengan konsep sederhana dan teratur maka Tampilan pada
bangunan tidak banyak menggunakan Warna maupun permainan bidang garis
yang berlebihan. Perubahan bentuk yang teratur dan konsisten.Atas dasar
pertimbangan klimatologi dan integritas lingkungan, bentukan atap juga
menggunakan bentuk atap limasan untuk menyesuaikan dengan lingkungan
sekitar, dengan kemiringan 45o sebagai respon terhadap matahari yakni
menghindari sinar langsung dan mencegah terjadinya tampias saat hujan.
Untuk pemakaian Warna, bangunan hanya mengunakan 2 Warna. yakni
abu-abu dan kuning. Klimatologi dan integritas lingkungan
Kode dan identitas
Kesederhanaan penghawaan
Gambar 5.15 Gubahan massa Sumber: Analisa
Gambar 5.16 Gubahan Massa Sumber: Analisa
cx
Gambar 5.18 Pondasi footplat sumber: dokumen pribadi
Warna kuning merupakan warna yang umum sebagai kode orientasi dan
mobilitas bagi tunanetra partial (visual impairment people). Warna kuning ini
biasanya dipakai pada tactile paving yang meunjukkan adanya persimpangan jalan
atau jalur khusus tunanetra di tempat-tempat umum. Warna kuning dipilih sebagai
warna Petunjuk tunanetra karena pada umumnya kontras dengan lingungan
sekelilingnya sehingga mudah terlihat oleh tunanetra partial.
Warna abu-abu dalam panduan menentukan warna kontras adalah warna
yang paling kontras dengan warna kuning. Maka agar warna bangunan terlihat
kontras dan memudahkan bagi tunanetra partial dalam mengenali lingkungannnya,
dipakailah kombinasi kedua warna ini.
Warna kuning terutama diapikasikan pada kolom-kolom, kusen pinto
dan jendela, railing serta elemen bangunan yang memiliki potensi tak terlihat oleh
tunanetra partial jika warnanya tidak kontras. Sedangkan warna abu-abu dipakai
sebagai background Warna kuning, sehingga pada umumnya elemen bangunan
yang berupa bidang berwarna abu-abu.
d. Pendekatan Sistem Struktur
Dasar Pertimbangan:
· Kondisi tanah.
· Bentuk dan dimensi vertikal bangunan.
· Kesesuaian dengan karakter bangunan.
· Pengaruh terhadap lingkungan sekitar.
· Kesederhanaan dan keteraturan
1) Sub Struktur
a) Analisa
Dengan ketinggian bangunan yang cukup tinggi dan jenis tanah
yang tidak terlalu keras, alternatif pondasi yang akan digunakan
yaitu:
· Footplat
Mampu mendukung bangunan berlantai banyak, cocok untuk
jenis tanah yang tidak terlalu keras, tidak perlu menggali tanah
terlalu dalam.
Gambar 5.17 Tampilan Bangunan Sumber: Analisa
cxi
· Sumuran
Mendukung bangunan berlantai banyak, dapat digunakan pada
berbagai jenis tanah, dimensi yang besar dan banyak
membuang tanah galian.
· Tiang Pancang
Mendukung bangunan berlantai banyak dengan beban yang
berat, cocok untuk tanah yang cukup keras, penggalian tanah
untuk pondasi cukup dalam.
b) Hasil Analisa
Bangunan perpustakaan memiliki ketinggian 4 lantai, pondasi yang dipilih
adalah pondasi sumuran dengan pertimbangan jenis pondasi ini sesuai
dengan ketinggian tersebut dan memiliki kemampuan cukup kuat dalam
menahan beban besar.
2) Super Struktur
a) Analisa
· Struktur Rangka
- Bentuk dan sistemnya cukup sederhana
- Fleksibilitas penggunaan ruang cukup tinggi.
- Memungkinkan buka-bukaan yang cukup banyak.
- Ketinggian bangunan yang dicapai kurang maksimal.
- Lay out ruang yang teratur
Gambar 5.19 Pondasi sumuran sumber: dokumen pribadi
Gambar 5.20 Pondasi tiang pancang sumber: dokumen pribadi
Gambar 5.21 Struktur rangka sumber: dokumen pribadi
cxii
Gambar 5.23 Struktur kabel sumber: dokumen pribadi
Gambar 5.22 Struktur rangka baja sumber: dokumen pribadi
b) Hasil
Berkaitan dengan pola peruangan yang menuntut fleksibilitas tinggi tanpa
menggunakan pembatas ruang yang permanen dan fungsi bangunan berlantai
banyak, maka super struktur yang digunakan adalah struktur rangka.
Pemilihan system grid ini sesuai dengan konsep awal yaitu keteraturan.
Dengan adanya keteraturan peletakan kolom dan balok, maka akan
mempermudah tunanetra dalam mengakses ruangan tersebut.
3) Upper Struktur
a) Analisa Struktur Atap
Untuk struktur atap terdapat beberapa alternatif struktur, yaitu:
· Struktur rangka baja
Bentangan relatif besar, kemungkinan variasi bentuk atap lebih
luas.
· Struktur kabel
Dapat menahan atap dengan bentangan besar.
· Struktur beton bertulang
Bentangan besar dan kemungkinan variasi bentuk atap cukup
luas
· Space frame
cxiii
Gambar 5.24 Struktur Space Frame Sumber: dokumen pribadi
Bentangan relatif besar, kemungkinan variasi bentuk atap lebih
luas.
· Struktur rangka kayu
Bentangan relatif kecil dan variasi bentuk terbatas.
b) Hasil Analisa Struktur Atap
Untuk menciptakan tampilan yang sederhana dan teratur yaitu
bentuk limasan, digunakan struktur rangka baja. Struktur kabel dan
space Frame digunakan juga pada bagian-bagian tertentu yang
memerlukan penanganan khusus.
4) Elemen Ruangan
Dasar pertimbangan:
· Berfungsi sebagai stimulant bagi tunanera
· mendukung bentuk eksterior dan interior
· mudah perawatanya
· Menjamin keamanan dan keselamatan tunanetra
Maka dipilih elemen ruangan yaitu
a) Dinding
Untuk elemen dinding digunakan pasangan batu bata dengan
kombinasi pintu dan jendela. Pada tiap bagian sisi kanan atau kiri
pintu terdapat dinding raba yang berfungsi sebagi identifikasi
ruang
pada bagian sudut - sudut tertentu menggunakan dinding pemantul
suara untuk membantu tuna netra mengetahui jarak dan batas
ruang.
Dinding bagian luar menggunakan batu bata karena lazim
digunakan serta memiliki waktu penghantaran panas cukup lama
(4jam, lebar dinding 15cm) selain juga digunakan bahan aliminium
komposit untuk menciptakan model dinding yang fleksibel. Untuk
cxiv
menjamin fleksibilitas pembentukan ruang dalam, dinding
pembatas ruang dalam digunakan dinding nonpermanen (sistem
partisi) sehingga bisa dilepas jika diperlukan.
b) Lantai
Tunanetra parsial pada umumnya memiliki perilaku sama dengan
tunanetra total. hanya saja masih selain bantuan tongkat mereka
juga menggeserkan kaki jika berjalan dan bergerak mencari warna
serta cahaya. Untuk itu digunakan Tactile paving memiliki warna
petunjuk yang kontras. misalnya blister surface berwarna kuning
dan Corduray hazard tactile paving berwarna merah. Pada entrance
dan meja informasi dipasang iluminasi yang cukup.
Pembedaan tekstur elemen dan warna lantai untuk memudahkan
orientasi mobilitas bagi tunanetra. Proses berjalan tunanetra:
Berjalan lurus ke depan dengan mengayunkan tongkat ke kiri dan
ke kanan secara geser.
Tekstur lantai berikutnya , yakni guidance path surface, menuntun
tunanetra menuju ruang tertentu dengan terlebih dahulu melalui
papan petunjuk.Disediakan petunjuk bagi tunanetra saat ia
mendekati sign board berupa tacticle paving yang mengisyaratkan
adanya signing.
Tactile paving ini berwarna kuning cerah agar mudah dikenali
tunanetra partial.
3. Utilitas
Sumber air bersih, listrik, pencahayaan dan penghawaan ruang
dioptimalkan dengan mengambil sumber dari alam yang berlimpah
jumlahnya. Pengelolaan limbah dilakukan secara mandiri agar tidak
mencemari lingkungan.
a. Sistem Jaringan Air Bersih
Pengadaan air bersih bersumber dari PDAM dan air sumur.
Distribusi air bersih menggunakan sistem down feed distribution
dengan pertimbangan kemudahan dalam distribusi dan penghematan
listrik.
cxv
Bagan 5.1 Skema Jaringan Air Bersih Sumber : Analisa
b. Sistem
Jaringan Sanitasi dan Drainase
Pengolahan limbah meliputi pembuangan air kotor/sanitasi
(limbah padat, cair dan dapur) dan air hujan/drainase.
Pembuangan air kotor memanfaatkan sistem pembuangan kota,
setelah melalui sumur peresapan mandiri agar tidak terlalu membebani
saluran pembuangan kota. Air buangan dari wastafel, wudu maupun
pantry (limbah cair) diolah untuk dimanfaatkan kembali (reuse and
recyle).
Pembuangan air hujan pada atap bangunan yang menggunakan
dag menggunakan saluran drainase, sedangkan pada atap miring tanpa
melalui saluran drainase (talang air) agar air hujan lebih cepat turun ke
bawah dan menghindari kerusakan talang. Pembuangan air hujan pada
tapak menggunakan saluran drainase yang dialirkan menuju riool kota.
cxvi
Bagan 5.3 Analisa penyediaan listrik PLN sumber: analisa penulis
Meteran Panel utama
Panel skunder
Panel skunder
Distribusi
Distribusi Genset
PLN
Bagan 5.2 Skema jaringan air kotor (atas) dan air hujan (bawah) Sumber : Analisa
c. Sistem Jaringan Listrik dan telekomunikasi
1) Analisa Penyediaan Energi Listrik
§ PLN
Sumber listrik utama yang digunakan berasal dari gardu PLN.
Kemudian sumber sekundernya menggunakan generator yang
digunakan ketika arus dari PLN terganggu. Apabila terjadi
kerusakan pada pendistribusian listrik dari PLN, maka akan
diganti dengan menggunakan sistem standby emergency power
(SEB) dari genset. Instalasi listrik di dalam bangunan secara
umum dibagi 2 jenis, yaitu:
a) Instalasi untuk penerang
Instalasi yang mendistribusikan energi listrik untuk seluruh
jaringan peralatan penerangan baik di dalam maupun di luar
bangunan.
b) Instalasi untuk power
Instalasi yang mendistribusikan listrik untuk alat-alat
elektronik lainnya seperti lift, AC, escalator, pompa dan
sebagainya.
Hasil Analisa
cxvii
PT. Telkom
Sumber energi yang digunakan untuk bangunan Perpustakaan
tunanetra surakarta yang direncanakan menggunakan PLN.
Sumber listrik cadangan lain adalah generator set yang
dilengkapi ATS (Automatic Transfer Switch). Genset ini
merupakan alternatif terakhir yang dipakai setelah listrik dari
PLN.
2) Analisa Utilitas Telekomunikasi dan Sound system
Sistem jaringan telekomunikasi yang digunakan dalam gedung
dikelompokkan dalam dua bagian, sistem komunikasi intern dan
extern.
a) Intern
Menggunakan telepon PABX (Private Automatic Branch
Exchange), melayani komunikasi eksternal dan
menghubungkan komunikasi dengan internet melalui operator.
b) Ekstern
Komunikasi pegawai di dalam bangunan dengan pihak luar,
menggunakan telepon dan fax.
Untuk sound system di gunakan pada ruang kurzweil, avi dan
ruang-ruang yang membutuhkan sound system.
d. Sistem Penghawaan Ruang
Sistem Penghawaan menggunakan system penghawaan aktif,
kecuali pada selasar zona kornersial. Sistem AC yang digunakan
adalah system AC central. Ruang mesin AC terletak di basement,
sehingga perlu dihubungkan delngan cooling tower.
karena bangunan cukup luas dan letak massanya terpisah antara
bangunan utama dan bangunan penunjang, maka system AC dibagi
Bagan 5.4 Analisa jaringan komunikasi sumber: analisa penulis
Panel Kontrol Telepon Lokal Faks Internet
Operator
SLJJ/SLI
cxviii
menjadi 2 zona. Terdapat ruang AHU dan panel AC di tiap
zona.Skema system AC adalah sebagai berikut:
e. Sistem Penerangan Ruang
Untuk keperluan penerangan perpustakaan diperlukan sumber
cahaya yang konstan untuk memenuhi standar penerangan aktivitas
membaca. Untuk bagian-bagian bangunan yang tidak terjangkau
penerangan alami digunakan sistem pencahayaan buatan.
Kemudian untuk memaksimalkan pencahayaan alami dalam
bangunan di desain sumur cahaya (light well) yang dapat membawa
masuk cahaya dari tooftop kedalam bangunan. Yang perlu diperhatikan
adalah kualitas pencahayaan alami harus dapat dikontrol untuk
memenuhi standar yang ditetapkan dan tidak mengakibatkan silau
(glare) yang dapat menggangu kenyamanan aktivitas membaca.
f. Analisa Sistem Keamanan (Pengamanan Kebakaran dan Petir)
1) Analisa Pengamanan Kebakaran
Dasar Pertimbangan
Untuk mendapatkan sistem pengamanan terhadap bahaya
kebakaran, faktor yang menentukan adalah:
§ Fungsi bangunan.
§ Luasan bangunan.
§ Peralatan yang ada di dalam bangunan yang dapat memicu
terjadinya kebakaran.
Analisa
Sistem yang biasa digunakan yaitu:
a) Sistem Fire Alarm
Berfungsi untuk mengetahui dan memperingatkan terjadinya
bahaya kebakaran. Jenis alarm ini menggunakan dua sistem, yaitu
Mesin AC
Cooling Tower
Panel AHU & Panel tiap ruang
ducting Suplay
ducting Return
cxix
sistem otomatis yang menggunakan smoke and heat detector dan
one push button system. Di setiap detector dan button dilengkapi
sensor untuk mengetahui lokasi terjadinya kebakaran.
Di setiap lantai jaringan detector, button dan sensor dipusatkan
pada sebuah junction box yang kemudian diteruskan ke kontrol
panel. Kontrol panel ini akan memberikan isyarat dalam bentuk
indikasi yang dapat dilihat (lampu) dan didengar (alarm) serta
mengaktifkan sprinkler.
b) Sistem Sprinkler Air
Berfungsi mencegah terjadinya kebakaran pada radius tertentu
untuk melokalisir kebakaran. Sprinkler air berfungsi apabila dipicu
oleh heat and smoke detector yang memberikan pesan ke junction
box. Setiap sprinkler juga dilengkapi dengan sensor untuk
mengetahui lokasi kebakaran.
c) Fire Estinguisher
Berupa tabung karbondioksida portable untuk memadamkan api
secara manual oleh manusia. Tempatkan di tempat-tempat strategis
yang mudah dan dikenali serta di tempat yang memiliki resiko
kebakaran yang tinggi.
d) Indoor Hydrant
Berupa gulungan selang dan hydrant sebagai sumber airnya,
digunakan untuk memadamkan api yang cukup besar. Diletakan di
tempat-tempat strategis yang mudah dan dikenali serta di tempat
yang memiliki resiko kebakaran yang tinggi. Sumber air hydrant
diambil dari ground tank yang dipompa dengan pompa hydrant.
e) Outdoor Hydrant
Dihubungkan pada pipa ground tank dan pompa hydrant untuk
mendapatkan kepastian sumber air dan tekanan air yang memadai.
f) Tangga Darurat
Lebar tangga direncanakan mampu digunakan untuk 2-3 orang
yang berjalan bersampingan.
cxx
Hasil analisa
Dari analisa di atas, maka dapat diketahui kebutuhan pengamanan
terhadap bahaya kebakaran:
§ Dalam ruangan
Menggunakan fire alarm, sprinkler air, fire estinguisher, indoor
hydrant dan tangga darurat.
§ Luar Ruangan
Menggunakan outdoor hydrant.
2) Analisa Pengamanan Bahaya Petir
Dasar Pertimbangan
§ Kemampuan untuk melindungi gedung dari sambaran petir.
§ Tidak menyebabkan efek elektrifikasi atau flashover pada saat
penangkal petir mengalirkan arus listrik ke grounding.
§ Pemasangannya tidak mengganggu penampilan bangunan.
Analisa
Macam sistem penangkal petir yang sering digunakan:
Sistem Franklin Sistem Faradday Prinsip kerja
Bila terjadi petir akan terjadi ionisasi di awan. Loncatan ion-ion dapat ditahan oleh preventor sehingga tidak mengenai bangunan. Radius perlindungan sama dengan tinggi preventor.
Tiang-tiang faraday yang berjarak kurang lebih 20 m (antar tiang) terletak di sekeliling bangunan untuk melindungi bangunan dari sambaran petir.
Keuntungan Harganya lebih murah dibandingkan sistem Faradday.
Sifat perlindungan lebih baik karena aliran listrik langsung dialirkan ke ground di tanah.
Kerugian Bila suatu saat ion-ion pada preventor tersebut habis atau berkurang, maka daya perlindungannya jadi menurun.
Lebih mahal dibandingkan sistem Franklin.
Tabel Tabel alternatif pemilihan sistem pengamanan bahaya petir
sumber: Utilitas Bangunan, Ir. Hartono Poerbo, M Arch Hasil
cxxi
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka sistem yang
digunakan adalah sistem Faradday. Sistem Faradday berupa tiang
setinggi 50 cm. Tiang-tiang ini dipasang di puncak bangunan atau atap,
kemudian dihubungkan dengan kawat yang dimasukkan ke dalam pipa
yang tidak memiliki kemampuan menghantarkan listrik (pipa paralon),
dan kemudian dihubungkan dengan ground. Pada ujung ground diberi
kolam air untuk memperbesar penghantaran listrik ke tanah.
cxxii
BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
Pada bab ini akan dirumuskan konsep perencanaan dan
perancangan sebagai dasar dalam perancangan Perpustakaan Tunanetra
Surakarta, dengan pendekatan pada perilaku tunanetra untuk
mempermudah aksesibilitas .
A. Konsep perencanaan
Perpustakaan Tunanetra Surakarta direncanakan sebagai pusat
informasi bagi tuna netra dalam lingkup provinsi yaitu jawa tengah.
Direncanakan dengan pendekatan pada perilaku tunanetra untuk
mempermudah aksesibilitas penggunanya yaitu tunanetra. Penekanan
aksesibilitas dalam bangunan perpustakaan bisa menjawab tantangan
ini. Dengan melakukan pendekatan pada perilaku tunanetra maka
konsep yang digunakan dalam bangunan ini ialah konsep sederhana
dan teratur.
B. Konsep perancangan
1. Konsep site
Site yang dipilih berada tepat di depan pintu masuk utama
Kompleks Stadion Manahan bagian depan. Bagian pintu masuk utama
Kompleks Stadion Manahan (taman depan) merupakan ”konsentrasi”
tempat orang berkumpul. Pemilihan site di sini bertujuan agar
bangunan perpustakaan lebih dikenal masyarakat dan bisa menjadi
pusat perhatian. Pencapaian ke site mudah, bisa diakses dengan
kendaraan umum dan bisa dari tiga sisi jalan namun kebisingan rendah
karena tidak berada pada jalur lalu-lintas yang padat.
cxxiii
2. Konsep peruangan
a. Kebutuhan Ruang
Fasilitas Publik
Kebutuhan ruang Besaran (m²)
Entrance hall 280.223
Ruang rak koleksi dewasa 633.848
Ruang rak koleksi anak-anak 271.874
Ruang rak koleksi musik 60.3281 Ruang penerbitan berkala 91.575
Ruang baca 675.74
Ruang katalog 34.8 Ruang audio visual 256.56 Ruang internet 104 Ruang diskusi dan seminar 130 area anak 132.6 toilet 20.88
cxxiv
Fasilitas Pengelola
Kebutuhan ruang Besaran (m²)
R.pimpinan 184.8
R. Administrasi 85.8
Pengolahan Pustaka 234.3
Unit teknis 223.3 Unit Layanan publik 166.1
Unit Pembinaan 39.6
R. Karyawan 155.76
Fasilitas Penunjang
Kebutuhan ruang Besaran (m²)
Ruang serba guna 184.8
Kafetaria 132
R pameran 264
R. konseling 8.8 Taman flora braille 200
Toko buku Mini 80
Fasilitas Service
Kebutuhan ruang Besaran (m²)
Mekanikal Elektrikal 210
Loading dock 91
Mushola 9
Gudang 40 Pantry 10
cxxv
Pos keamanan 24
R.Sopir 20
LUAS BANGUNAN subtotal (m2)
Total (1112)
Luas Fasilitas Publik 2692.4277 Luas Fasilitas Pengelola 1089.66 Luas Fasilitas Penunjang 954.78 Luas Fasilitas Service 404 5140.87 Luas Fasilitas Parking 3530.43 Luas Total 8671.29
b. Konsep tata ruang
e) Zona Publik dan Semi Publik
Pada zona ini diletakkan main entrance, Halte kendarazin
umum (Angkutan Kota, Taksi dan Becak), yang kemudian
dihubungkan dengan pedestrian ways menuju main entrance. Selain itu
Ruang Internet, Toko buku, Cafeteria dan Ruang baca bebas juga
ditempatkan pada zona ini. Di Lantai2 dan 3, untuk Zona public dan
semi public ditempati oleh Ruang Serba Guna, Ruang Pamer, Ruang
Seminar dan Ruang konsultasi.
Pada bagian tengah site, diletakkan Taman Flora Braille yang
sekaligus difun-sikan sebagai Taman Baca.
f) Zona Semi Private
Zona Semi Private ditujukan untuk area yang membtuhkan
ketenangan dan privasi namun masih dapat diakses oleh public. Pada
site zona ini terletak di bagian tengah, dikelilingi zona public, semi
public dan private.
Pada zona ini diletakkan Ruangan Pengelola. Karena Letaknya
yang berada di tengah bangunan, zona ini dapat terhindar dari
kebisingan dan sekaligus juga dapat mengakses seluruh zona public
cxxvi
dan semi public yang ada di sekitarnya. Sedangkan bagi pengunjung
yang bcrkepentingan dengan pengelola (tamu, sukarelawan, dll)
disediakan akses untuk menuju zona pengelola.
g) Zona Private
Zona Private disini bukan mengacu pada zona yang tidak boleti
dimasuki oleh public, tetapi dimaksudkan untuk menyebut area
perpustakaan dimana pada area ini pengunjung yang masuk harus
melewati kontrol petugas lebih dahulu. Seperti menunjukkan kartu
keanggotaan atau mencatatkan identitas pada counter registrasi.
Area Perpustakaan sebagai daerah yang paling utama
diletakkan pada zona ini dengan pertimbangan perpustakaan sangat
membutuhkan privasi, dan penjagaan keamanan koleksinya. Dan
terutama harus diletakkan pada daerah yang cukup penting. Selain itu
ketenangan yang terjaga juga lebih mendukung orientasi bagi tunanetra
dibandingkan area yang ramai.
Disini, unik menjaga ketenangan area perpustakaan zona ini
tcrletak pada bagian site yang berbatasan dengan kapling tetangga
yang berupa rumah tinggal sehingga tidak ada kebisingan yang berarti
seperti halnya jika diletakkan dekat tepi jalan.
h) Zona Service
Mekanikal Elektrikal dan Loading Dock ( Loading basah dan
Loading buku) keduanya terletak di basement. dengan peletakkan
loading dock di basement, secara otomatis service tidak terlihat oleh
cxxvii
pengunjiung, memperlancar kegiatan service dan tidak mengganggu
keindahan.
c. Sirkulasi pengunjung
Pergerakan yang sesuai dengan konsep teratur dan sederhana
adalah pergerakan yang memiliki pola linier. Pergerakan linier dapat
dimanipulasikan membenluk suatu ruang dirnana tunanetra hanya
dihadapkan pada situ pilihan jalur yang yang jika diikuti akan kembali
ke titik semula dimana peijalanannya dimulai.
3. Tampilan Bangunan
Sesuai dengan konsep sederhana dan teratur maka Tampilan
pada bangunan tidak banyak mengounakan Warna maupun permainan
bidang garis yang berlebihan. Perubahan bentuk yang teratur dan
konsisten Bentukan atap juga menggunakan bentuk sederhana yang
sesuai dengan daerah tropis dan budaya lokal yakni atap joglo dengan
kemiringanan 30°.
Untuk pemakaian Warna, bangunan hanya mengunakan 2
Warna. yakni abu-abu dan kuning.
Struktur menggunakan system rangka yang tersusun dalam pola
grid yang teratur. Pemilihan system grid ini sesuai dengan konsep awal
yaitu ketraturan. Dengan adanya keteraturan peletakan kolom dan
balok, maka akan mempermudah tunanetra dalam mengakses ruangan
tersebut.
cxxviii
Adapun spesifikasi bangunan perpustakaan Tunanetra adalah
sebagai berikut:
Penutup Atap: Memakai penutu atap tegola dengan sudut kcmiringan
atap 30°
Konstruksi atap, :
Atap bangunan entrance hall menggunakan struktur space
frame yang dilapis plat beton pada bagian atasnya. Sedangkan pada
bagian tengah terdapat konstruksi pyramid space frame ditutup dengan
tempered glass. Pernilihan konstruksi ini dimaksudkan agar ruangan
dibawahnya bebas kolom
Atap bangunan utama perpustakaan menggunakan konstruksi
rangka batang baja karena bentangnya yang cukup besar (±45meter)
Atap perisai yang lain menggunakan konstruksi profit baja IWF
Atap bangunan penghubung antarmassa menggunakan dak
beton
Konstruksi dinding menggunakan struktur dinding pengisi yang
tidak memikul beban.
Konstruksi lantai
Untuk lantai ruang luar menggunakan material beton. Untuk
ruing dalam menggunakan material lantai linoleum. Material ini dipilih
karena dapat memberikan ketenangan, harganya relative murah dan
nyaman untuk pemakaian lama.
pada perencanaan lantai juga direncanakan jalur-jalur tunanetra
yang terbuat dari beton (untuk ruang luar) dan bahan rubber (untuk
ruang dalam)
4. Konsep Utilitas Bangunan
Sebuah bangunan yang pengguna utamanya adalah tunanetra
memerlukan penanganan jaringan utilitas yang khusus dibandingkan
penataan utilitas pada bangunan lain. Konsep uilitas dari bangunan ini
harus sesuai dengan konsep sederhana dan teratur, agar utilitas tersebut
cxxix
dapat diakses tunanetra dan mampu mempermudah aktifitasnya dalam
bangunan, ataupun tidak menghambat aktifitas dari tunanetra.
a. Sistem air bersih
Sumber air bersih yang digunakan berasal dari dua sumber
yaitu sumur artesis dan jaringan kota (PAM). Karena site terletak di
tengah kota, dan dikanan-kiri site sudah terdapat bangunan berlantai
banyak, maka penggunaan sumur artesis harus diminimalisir karena
penggunaan sumur artesis yang belebihan dapat mengeringkan
persediaan air tanah. sumber utama yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan bangunan adalah berasal dari jaringan kota.
Sumber air bersih alternatif yang dapat dimanfaatkan adalah air
hujan. Yang ditampung dari atap.
b. Sistem listrik
Sumber utama energi listrik dipasok dari jaringan kota (PLN).
Disediakan pula sebagai cadangan dua buah generator (genset) untuk
kebutuhan darurat. Genset mem-backup 80% dari total penggunaan
energi listrik dalam bangunan.
c. Sistem Penerangan Ruang
Untuk keperluan penerangan perpustakaan diperlukan sumber
cahaya yang konstan untuk memenuhi standar penerangan aktivitas
membaca. Untuk bagian-bagian bangunan yang tidak terjangkau
penerangan alami digunakan sistem pencahayaan buatan.
Kemudian untuk memaksimalkan pencahayaan alami dalam
bangunan di desain sumur cahaya (light well) yang dapat membawa
masuk cahaya dari tooftop kedalam bangunan. Yang perlu diperhatikan
adalah kualitas pencahayaan alami harus dapat dikontrol untuk
memenuhi standar yang ditetapkan dan tidak mengakibatkan silau
(glare) yang dapat menggangu kenyamanan aktivitas membaca.
d. Sistem penghawaan
cxxx
Sistem Penghawaan menggunakan system penghawaan aktif,
kecuali pada selasar zona kornersial. Sistem AC yang digunakan
adalah system AC central. Ruang mesin AC terletak di basement,
sehingga perlu dihubungkan delngan cooling tower.
karena bangunan cukup luas dan letak massanya terpisah antara
bangunan utama dan bangunan penunjang, maka system AC dibagi
menjadi 2 zona. Terdapat ruang AHU dan panel AC di tiap
zona.Skema system AC adalah sebagai berikut:
e. Sistem penanggulangan kebakaran
Karena fungsi bangunan adalah perpustakaan, maka alat
pemadam api jika terjadi kebakaran bukan berupa air. Digunakan
pemadam kebakaran berupa serbuk. Serbuk tersebut diletakkan pada
tabung yang dihubungkan dengan beberapa titik sprinkler. Titik
sprinkler diatur bejarak tiap 3 meter pada ruang perpustakaan.
Pada ruang perpustakaan (4 lantai) juga terdapat tangga
kebakaran untuk evakuasi pengunjung.
Karena sebagian besar pengguna bangunan adalah tunanetra,
maka perlu dipertimbangkan petunjuk kebakaran yang dapat diakses
tunanetra. Untuk itudigunakan alarm kebakaran
Alat Bantu evakuasi lainnya antara lain:
· Hidran halaman, 2 buah. terletak di dekat entrance dan pada
bagian belakang bangunan. Masing-masing terhubung
dengan tendon bawah.
Mesin AC
Cooling Tower
Panel AHU & Panel tiap ruang
ducting Suplay
ducting Return
cxxxi
· PAR (Pemadam api ringan) ada di tiap titik-titik penting
terutama di zona komersial yang tidak menggunakan system
sprinkler.
f. Sistem Transportasi Vertikal
Untuk pencapaian ke bangunan yang lebih tinggi dari
ketinggian jalan (0.00) digunakan rampa pada pedestrian ways dengan
gradien 1:20 untuk mengantisipasi adanya pengguna kursi roda.
Untuk transportasi vertikal dalam bangunan digunakan lift.
Dipilih lift daripada ramp alas dasar efisiensi ruang,. Selain itu lokasi
naik-turun dapat dipertahankan di tempat yang sama tidak seperti
halnya jika digunakan escalator.
Desain lift dibuat khusus sehinga tombol dapat dijangkau
mereka yang menggunakan kursi roda. Pada tombol juga terdapat
angka dalam bentuk Braille dan speaker yang memberi informasi
secara auditori sehingga mempermudah penggunaaan oleh tunanetra.
cxxxii
DAFTAR PUSTAKA
Agnes, Michael.(1999).Webster New World College dictionary.
Newyork: Macmillan.
Basuki, Sulistyo. (1994).Periodisasi Perpustakaan Indonesia. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Cohen, Aaron and Cohen, Elaine. (1979). Designing and Space Planning
For Libraries : A Behavorial Guides. New York : R. R Bowker. Co
De Chiara. Joseph and Callender, John. (1994). Time Saver Standard for
Building Types.(3rd ed.). New York : Mc Graw-Hill.
Sorensen, Robert J. (1979). Design for Accesibility. New York : Mc
Graw-Hill
Five Merseyside District Councils and Merseytravel.(2002).Code of
Practice on acces and Mobility.
Avaible: <http://www.scpm.salford.ac.uk/surface/mcop/index.htm>
Utah State Library Division. (2000) Library for the Blind and Disabled.
Avaible: <http://library.utah.gov/aboutusblind.html>
Mitranet (2003). Mitranet_or_id2 Avaible:
<http:www.mitranet.or.id/indonesia/index.asp>
NJS (2003). New Jersey Library for the Blind and Handicapped.
Available: <http://www2.njstatelib.org/lbh/aboutlbh.htm>
NLB Online. (2000). National Library for the Blind2. Available:
<http://www.nlb-online.html>
NLS.(1996). Eligibility of Blind and Other Physically Handicapped
Persons for Loan of Library Materials. Available:
<http://www.loc.gov/nls/index.html>
cxxxiii