1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sampai saat ini pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh kelas yang
lebih berfokus pada guru/dosen sebagai sumber pengetahuan sehingga ceramah
menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Siswa atau mahasiswa
sering bersikap pasif, bahkan ada kecenderungan hanya bersikap menerima saja
pengetahuan dari pendidik. Untuk itu, diperlukan suatu pendekatan belajar yang
memberdayakan peserta didik. Salah satu pembelajaran yang memberdayakan
peserta didik adalah pengajaran dan pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning).
Pengajaran dan pembelajaran kontekstual merupakan “konsep belajar yang
membantu dosen/guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata mahasiswa dan mendorong mahasiswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dan pemaparannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat” (Diknas, 2002: 1).
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi
siswa/mahasiswa dan berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan mahasiswa
belajar dan bukan transfer pengetahuan dari dosen ke mahasiswa. Melalui metode
kontekstual , mahasiswa belajar melalui pengalaman, tidak menghafal. Dalam hal
ini proses dan strategi pembelajaran lebih dipentingkan.
Menurut Muslich (2007: 41), salah satu metode dalam pembelajaran yang
dapat merangsang aktivitas mahasiswa dalam belajar adalah pembelajaran
kontekstual . Penerapan kontekstual sering digalakan dan dilaksanakan dalam
1
2
pelatihan-pelatihan dengan harapan berpengaruh positif terhadap hasil belajar
mahasiswa.
Metode kontekstual merupakan salah satu alternatif pembelajaran, yakni
pendidik memosisikan para mahasiswa sebagai subjek, bukan sebagai objek
pembelajaran. Dengan kata lain, pendidik sebagai fasilitator. Pembelajaran
kontekstual di kelas melibatkan tujuh komponen utama, yakni (1) konstruktivisme,
(2) menemukan, (3) bertanya, (4) masyarakat belajar, (5) pemodelan, (6) refleksi,
dan (7) penilaian yang sebenarnya. Berdasarkan komponen tersebut, dalam
pembelajaran kontekstual mahasiswa diharapkan lebih aktif dan kreatif. Proses
keterlibatan mahasiswa terjadi secara penuh untuk dapat menemukan materi yang
dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata. Pendekatan
kontekstual mendorong mahasiswa untuk dapat menerapkan keterampilan atau
pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Hasil pembelajaran tidak hanya
mengharapkan mahasiswa memahami materi yang dipelajari, tetapi juga
menghendaki agar pelajaran itu dapat mewarnai perilaku dalam kehidupan nyata.
Dengan demikian, pengetahuan dan kemampuan seorang dosen/guru dalam
menerapkan model pembelajaran yang tepat.
Menurut Buchori (dalam Khabibah, 2006:1) pendidikan yang baik adalah
pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan para mahasiswa untuk suatu profesi
atau jabatan, tetapi juga mampu menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu masalah pokok dalam
pembelajaran pada pendidikan formal dewasa ini adalah masih rendahnya daya
serap peserta didik. Hal itu tampak dari rata-rata hasil belajar siswa yang
3
senantiasa masih sangat memprihatinkan. Prestasi ini tentunya merupakan hasil
kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak menyentuh
ranah dimensi peserta didik itu sendiri. Dalam arti yang lebih substansial proses
pembelajaran hingga dewasa ini tampaknya masih mencirikan dominasi
guru/dosen dan kurang memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang
secara mandiri melalui penemuan dan proses berpikirnya.
Di pihak lain, secara empiris berdasarkan hasil pengamatan diketahui
bahwa rendahnya hasil belajar peserta didik disebabkan oleh salah satu proses
pembelajaran yang didominasi oleh pembelajaran konvensional Pada
pembelajaran ini suasana kelas cenderung berpusat pada dosen/guru sehingga
mahasiswa menjadi pasif. Meskipun demikian, dosen/guru lebih suka menerapkan
model tersebut, sebab tidak memerlukan alat dan bahan praktik. Artinya,
guru/dosen cukup menjelaskan konsep-konsep yang ada pada buku ajar atau
referensi lain. Dalam hal ini, siswa/mahasiswa tidak diajarkan strategi belajar
yang dapat memahami bagaimana belajar, berpikir, dan memotivasi diri sendiri.
Masalah ini banyak dijumpai dalam kegiatan proses belajar mengajar di kelas.
Oleh karena itu, diperlukan penerapan suatu strategi belajar yang dapat membantu
mahasiswa untuk memahami materi ajar dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-
hari. Terkait dengan itu, berlakunya kurikulum berbasis kompetensi (KBK)
menuntut perubahan paradigma dalam pendidikan dan pembelajaran, khususnya
pada jenis dan jenjang pendidikan formal. Perubahan tersebut harus pula diikuti
oleh dosen/guru yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pembelajaran di
dalam kelas dan di luar kelas.
4
Salah satu perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah orientasi
pembelajaran yang semula berpusat pada dosen/ guru beralih berpusat pada murid,
metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori,
dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi
kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu
pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan. Untuk itu, dosen/guru
harus bijaksana dalam menentukan suatu model pembelajaran yang sesuai dan
dapat menciptakan situasi dan kondisi kelas yang kondusif agar proses belajar
mengajar dapat berlangsung sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Berbicara tentang masalah penggunaan metode dalam kaitan dengan
proses pembelajaran, guru atau dosen harus tepat dalam memilih dan menentukan
metode yang secara rasional dipandang paling cocok. Mengingat tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai sangat beragam, jenis metode dan pendekatan
yang digunakan atau dipilih dosen/guru juga harus beragam sesuai dengan
karakteristik tujuan pembelajaran tersebut. Metode kontekstual dapat dijadikan
alternatif strategi belajar yang lebih memberdayakan mahasiswa. Penggunaan
metode kontekstual ini sangat cocok untuk menyampaikan pelajaran karena
merupakan konsep belajar yang membantu dosen/guru mengaitkan antara materi
yang diajarkanya dan situasi dunia nyata mahasiswa dan mendorong mahasiswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi,
2002).
5
Dengan metode kontekstual, diharapkan hasil pembelajaran lebih
bermakna bagi mahasiswa. Proses pembelajaran juga berlangsung secara alamiah
dalam bentuk kegiatan mahasiswa belajar menemukan, bukan transfer
pengetahuan dari dosen ke mahasiswa. Dalam hal ini, strategi dan proses
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dosen/guru juga mengupayakan
perbaikan-perbaikan kualitas pembelajaran melalui serangkaian usaha yang
langsung berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab profesional dosen/guru
dengan harapan pengajaran dan pembelajaran bahasa berhasil dengan baik sesuai
dengan tujuan yang sudah ditetapkan.
Pembelajaran bahasa, khususnya bahasa Jepang adalah suatu hal yang
kompleks, terutama dalam bidang tata bahasa. Apa yang dipelajari pada tahap
pemula atau tahap awal merupakan kunci keberhasilan penguasaan bahasa asing
yang akan diperoleh di akhir pembelajaran. Bagi pelajar bahasa Jepang, tata
bahasa bisa dianggap sebagai kompas dalam praktik bahasa pada kenyataannya.
Pengajaran tata bahasa yang benar tidak semata-mata berpusat pada tata bahasa itu
sendiri, tetapi juga harus diseimbangkan dengan empat aspek keterampilan
berbahasa, yakni aspek menulis, aspek membaca, aspek mendengarkan
(menyimak), dan aspek berbicara. Keempat aspek tersebut perlu dikuasai oleh
mahasiswa. Di samping menguasai keempat aspek tersebut, pembelajar bahasa
Jepang juga harus memahami struktur dan tata bahasa Jepang. Kemampuan
seseorang memahami dan menguasai tata bahasa Jepang dibagi dalam beberapa
tingkat, yaitu tingkat dasar (shokyou), tingkat terampil (chukyou) dan tingkat
mahir (jukyou).
6
Menurut Sudjianto (2004:14), dilihat dari aspek kebahasaan, bahasa
Jepang memiliki karakteristik yang unik dan dapat diamati dari huruf yang
digunakan, sistem pengucapan, gramatika, ragam bahasa, kosakata, kaidah-kaidah,
aturan penggunaan yang berbeda dengan bahasa lainnya. Bahasa Jepang
mempunyai gramatika yang berbeda sekali dengan bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia. Bahasa Jepang memiliki gramatika yang sangat unik, yaitu susunan
kalimat berpola S-K-O-P (subjek- keterangan - objek- predikat). Di antara sela-
sela S-K-O-P tersebut mutlak harus disisipi dengan kata bantu atau partikel.
Contoh: 大学生 は カンチン で ごはん を 食べます
Daigakusei wa kantin de gohan o tabemasu
mahasiswa part tempat part nasi part makan
„ Mahasiswa makan nasi di kantin‟.
Kata daigakusei dalam bahasa Indonesia berarti “mahasiswa”, yang
berfungsi sebagai subjek (shugo) dalam kalimat dan disertai partikel wa (は).
Kantin (joukyougo) adalah serapan dari bahasa Inggris berarti “keterangan
tempat”, dalam penulisan bahasa Jepang ditulis dengan huruf Katakana disertai
partikel de(で)yang berarti “di”. Unsur objek (taishougo) adalah gohan berarti
“nasi” dan selalu diikuti partikel o(を) . Kata tabemasu berarti “makan”
berfungsi sebagai predikat (jutsugo) dan selalu terletak di akhir kalimat. Hal itu
berbeda dengan bahasa Indonesia yang susunan kalimatnya berpola S-P-O-K.
Contoh: “Rita membaca buku di perpustakaan”. Setiap bahasa memilki gramatika
atau tata bahasa yang memuat kaidah-kaidah, aturan bentuk, struktur dan ciri-
cirinya.
7
Dalam berbahasa seseorang perlu mengetahui tata bahasa yang baik dan
benar, terutama pada saat hendak berkomunikasi kepada orang asing dalam hal ini
kepada orang Jepang. Hal ini amat penting bila ingin menjalin hubungan
komunikasi dengan baik. Sudjianto (1996:22) mengemukakan perlunya
pembelajar bahasa mempelajari gramatika karena bahasa tidak boleh ditulis dan
diucapakan secara sembarangan. Bahasa harus digunakan dengan baik, benar, dan
efektif agar dapat memahami apa yang ingin disampaikan ataupun pesan yang
diterima dalam komunikasi atau memahami wacana. Dengan kata lain, apabila
pembelajar mengetahui dan memahami gramatika dengan baik, dengan sendirinya
ia dapat menggunakan bahasa yang dipelajarinya untuk berkomunikasi dengan
baik pula. Artinya, dapat dengan mudah menyampaikan ide, pesan kepada lawan
bicara. Di pihak lain, pesan yang disampaikan lawan bicara akan mudah
dimengerti. Sehubungan dengan itu, Poerwadaminta (1976:1024) mengemukakan
bahwa tata bahasa adalah pengetahuan atau pelajaran mengenai pembentukan
kata-kata dan penyusunan kata-kata dalam kelimat. Pada waktu berkomunikasi,
khususnya dalam bahasa Jepang pemahaman tata bahasa sangatlah penting,
karena bahasa Jepang memiliki karakteristik unik, baik huruf, ucapan, maupun
struktur kalimatnya. Untuk menanamkan pemahaman tata bahasa Jepang yang
baik dan benar, pendidik harus tepat menentukan dan memilih metode
pembelajaran bahasa yang diberikan kepada para pelajar bahasa Jepang tahap
pemula dalam proses belajar mengajar. Untuk itu, metode kontekstual dapat
dijadikan salah satu alternatif yang efektif dalam pembelajaran tata bahasa.
8
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1) Bagaimana hasil belajar tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) bagi
mahasiswa semester III Sastra Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing
Saraswati Denpasar, baik kuantitatif maupun kualitatif, sebelum menerapkan
metode kontekstual ?
2) Bagaimana hasil belajar tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) bagi
mahasiswa semester III Sastra Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing
Saraswati Denpasar, baik kuantitatif maupun kualitatif, setelah menerapkan
metode kontekstual ?
3) Faktor apa sajakah yang memengaruhi hasil belajar mahasiswa semester III
Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati Denpasar dalam pembelajaran tata
bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua
tujuan diuraikan sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah memberikan referensi tentang
penggunaan metode kontekstual dalam pengajaran dan pembelajaran tata bahasa
Jepang dasar(shokyou bunpo) bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA
Saraswati Denpasar.
9
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini merujuk pada apa yang dimuat dalam
rumusan masalah sebelumnya, yakni seperti di bawah ini.
1) Untuk mendeskripsikan hasil belajar tata bahasa Jepang dasar (shokyou
bunpo) bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati
Denpasar sebelum diterapkan metode kontekstual di dalam kelas.
2) Untuk mengetahui hasil belajar tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa
semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar sesudah
menggunakan metode kontekstual di dalam kelas.
3) Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi hasil belajar
mahasiswa dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan
metode kontekstual
1.4 Manfaat hasil Penelitian
Pada penelitian ini terdapat dua manfaat, yakni manfaat praktis dan teoritis.
Kedua manfaat penelitian ini secara terperinci terlihat pada paparan di bawah ini.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian
terhadap penerapan metode kontekstual dalam pembelajaran bahasa Jepang,
khususnya pada pembelajaran tata bahasa Jepang dasar. Model pembelajaran yang
dihasilkan dapat meningkaktan aktifitas belajar mahasiswa dan memberikan
sumbangan terhadap metode dan teori pembelajaran bahasa, khususnya tata
bahasa Jepang dasar. Hal ini penting, mengingat masih langkanya bahan referensi
10
yang membahas metode kontekstual dalam meningkatkan pembelajaran dan
pengajaran bahasa.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis yang
relevan, terutama bagi peningkatan profesional dosen dalam menyusun dan
mengelola pengajaran dan pembelajaran bahasa Jepang menjadi lebih inovatif.
Kecermatan atau ketepatan dosen dalam menerapkan metode pembelajaran akan
memengaruhi hasil belajar mahasiswa.
Bagi mahasiswa pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan keaktifan
dan hasil belajar mahasiswa, karena pembelajaran kontekstual menekankan pada
interaksi kerja sama di antara mahasiswa sebagai kelompok belajar. Mahasiswa
terlatih untuk lebih aktif bertanya, menemukan sendiri dan mengonstruksi proses
materi pembelajaran. Selain itu, juga mengkaitkan dengan kehidupan sehari-hari
sebagai anggota keluaga dan masyarakat.
Manfaat bagi lembaga, yaitu dapat dijadikan masukan untuk meningkatkan
kualitas proses pembelajaran dengan memperhatikan dan menyediakan berbagai
sarana dan prasarana yang memadai seperti laboratorium bahasa, tape recorder
beserta kasetnya, TV beserta DVD dan CD-nya. Pada hakikatnya hasil penelitian
ini secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak pembaca.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka ini difokuskan pada pemerolehan informasi berupa
teori, konsep, pendekatan, dan metodologi yang digunakan dalam penelitian
sehingga dapat memperjelas kegunaannya terkait dengan penelitian ini. Beberapa
penelitian yang dikaji pada penelitian terdahulu dijadikan bahan masukan pada
penelitian ini.
Penelitian Lestari (2010) berjudul ”Pembelajaran Kosa Kata secara
Kontekstual dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Siswa di Kelas
XI Bahasa SMA N 2 Semarapura”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa
melalui pelaksanaan pembelajaran membaca secara kontekstual, siswa telah
terbukti mampu menunjukkan potensinya dalam pembelajaran membaca. Untuk
itu, dalam pembelajaran tersebut, tidak hanya mentransfer materi pelajaran, tetapi
dapat juga menemukan dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Penelitian Lestari memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena
kemampuan tata bahasa yang baik dan benar dalam berkomunikasi sangat
terpengaruh oleh penguasaan pembendaharaan kosa kata bagi mahasiswa.
Pembelajaran struktur dan unsur tata bahasa secara bertahap juga ditentukan
proses pengenalan kosa kata.
Penelitian Narohita (2010) berjudul “Pengaruh Penerapan Pendekatan
Kontekstual terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa
11
12
Sekolah Menengah Pertama (Studi Eksperimen pada SMP Negeri 1 Tejakula)”.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendekatan
kontekstual pada pembelajaran matematika terhadap kemampuan pemecahan
masalah sebelum dan setelah dikendalikan penalaran formal.
Penelitian ini merupakan eksperimen dengan menggunakan rancangan The
Posttest-Only Control Group Design dengan melibatkan sampel sebanyak 76
orang siswa SMP Negeri 1 Tejakula. Dengan rancangan tersebut berarti penelitian
Narohita tidak melaksanakan pre-test untuk mengetahui akibat perlakuan
sebelum tes dilaksanakan. Pada penelitian ini menggunakan The One Pre-Test
Pos-Test Design. Artinya kondisi perlakuan diberikan pada kelompok subjek yang
sama, sehingga perlu dilaksanakan pre-test dan pos-test untuk mengetahui hasil
perubahan sebagai akibat dari tindakan yang dilaksanakan. Dengan kedua desain
tersebut ternyata menunjukkan hasil penerapan pendekatan kontekstual
berpengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah setelah diadakan
pengendalian terhadap penalaran formal siswa. Hasil penelitian ini memberikan
indikasi bahwa pendekatan kontekstual menyebabkan proses pembelajaran
berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan bekerja dan belajar bermakna,
bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Penelitian Susriati (2009) berjudul “Penerapan Pembelajaran CTL untuk
Meningkatkan Hasil Belajar IPA Materi Bagian-bagian Utama Tumbuhan bagi
Siswa Kelas XI Miftahul Ulum 2 Nguling Kec. Nguling Kab. Pasuruan”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan hasil belajar
siswa dengan diterapkannya CTL pada pembelajaran IPA. Untuk mencapai tujuan
13
tersebut dilakukan penelitian tindakan kelas pada semester gasal tahun pelajaran
2009/2010.
Prosedur penelitian menggunakan siklus Kemmis dan Taggart yaitu tiap
siklus terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Pada siklus
tindakan guru/dosen dominan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa
atau mahasiswa untuk mendorong mereka mengatakan apa yang mereka pahami ,
dan apa yang mereka minati. Sedangkan penelitian ini menggunakan siklus
Arikunto yang lebih menekankan tahapan proses pelaksanaan untuk berdiskusi,
tanya jawab dalam kelompok belajar untuk menemukan hasil pembelajaran.
Hasil penelitian Susriati menunjukkan bahwa pembelajaran dengan
menerapkan metode kontekstual mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Pada
pratindakan rata-rata hasil belajar yang dicapai siswa sebesar 65,73. Pada siklus I
rata-rata hasil belajar siswa secara klasikal meningkat menjadi 70,15. Pada siklus
II rata-rata hasil belajar siswa secara klasikal meningkat menjadi 83,85. Hal ini
menunjukkan bahwa penerapan CTL dapat meningkatkan hasil belajar
siswa. Penelitian Susriati mengkaji bidang pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA) pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas.
Penelitian dilakukan oleh Widhiastuty (2014) berjudul “Penerapan Metode
Contextual Teaching and Learning dalam Upaya Peningkatan Penguasaan
Kosakata Bahasa Inggris Siswa Kelas VII SMP Taman Sastra Jimbaran Kuta
Selatan”. Penelitian dengan dua siklus ini menunjukkan bahwa penguasaan
kosakata bahasa Inggris siswa meningkat dengan diterapkannya metode
Contextual Teaching and Learning. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari hasil
14
persentase pada siklus I sebesar 64,61% dan termasuk kategori tidak cukup, dan
kemudian meningkat pada siklus II menjadi 82,55% termasuk kategori baik.
Artinya metode CTL dapat meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris
siswa kelas VII SMP Taman Sastra Jimbaran Kuta Selatan.
Penelitian yang didilakukan oleh Widhiastuty dari aspek kebahasaan
memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena penguasaan kosakata dan tata
bahasa termasuk aspek kebahasaan yang tidak dapat terpisahkan. Pembendaharaan
kata yang baik dan benar dapat dengan mudah menyusun kalimat yang
disampaikan kepada orang lain. Perbedaannya terdapat pada bidang kajian
penelitian, Widhiastuty meneliti kosakata bahasa Inggris, sedangkan penelitian ini
meneliti bidang tata bahasa Jepang dasar, dengan penerapan metode yang sama
yaitu metode kontekstual.
Penelitian sejenis lainnya juga dilakukan oleh Suryawan (2008) dengan
judul “Penerapan Pendekatan Konteksual Menggunakan Media Skema Untuk
Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas X SMA Negeri 2 Singaraja”.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa adanya peningkatan yang cukup signifikan
pada hasil belajar berbicara siswa dengan penerapan pendekatan kontekstual
menggunakan media skema.
Walaupun banyak dilakukan penelitian tentang pengaruh pembelajaran
kontekstual (CTL) terhadap aspek–aspek pembelajaran mata pelajaran tertentu,
belum ditemukan penelitian sejenis yang mencoba meneliti pengaruh
pembelajaran kontekstual terhadap peningkatan hasil belajar mahasiswa pada
tataran tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) yang memiliki karakteristik unik,
15
baik huruf, ucapan, maupun struktur kalimatnya. Demikian pula subjek dan objek
penelitian yang dilakukan oleh para peneliti berbeda, sudah barang tentu konsep,
landasan teori, metode, dan kerangka berpikir berbeda pula. Subjek penelitian
terdahulu adalah siswa tingkat dasar dan menengah yang memiliki tingkat berpikir
berbeda dengan mahasiswa. Objek yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah
bidang kajian yang diteliti. Perbedaan lainnya, yakni tidak ditemukan hasil
analisis data kualitatif, tetapi semua penelitian yang sudah dilaksanakan hanya
menemukan data kuantitatif dalam bentuk angka-angka. Lagi pula, tidak ada
yang melengkapi penelitiannya dengan faktor-faktor yang dapat memengaruhi
hasil belajar mahasiswa dengan metode kontekstual (CTL).
Hasil penelitian di atas yang menerapkan metode kontekstual dalam
proses pengajaran dan pembelajaran memiliki keunggulan. Hal itu ditunjukkan
oleh adanya keunggulan peningkatan hasil belajar. Peningkatan tersebut terjadi
pada siklus I dan siklus II sehingga kriteria nilai minimal terlampaui.
Penelitian terdahulu cukup relevan dengan penelitian ini. Diharapkan hasil
penelitian dapat menjawab permasalahan dalam usaha meningkatkan hasil
pembelajaran tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang
Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati Denpasar. Dengan demikian, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas yang berjudul “Metode
Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dalam Pembelajaran Tata
Bahasa Jepang Dasar bagi Mahasiswa Semester III Sastra Jepang Sekolah Tinggi
Bahasa Asing Saraswati Denpasar”.
16
Penelitian ini dikhususkan pada peningkatan penguasaan tata bahasa
Jepang dasar sebagai bahasa asing, sebab tata bahasa merupakan salah satu
komponen penting dalam pengajaran bahasa Jepang. Jika seorang mahasiswa
lemah dalam penguasaan tata bahasa, ia tidak akan dapat mengomunikasikan
pikiran dan idenya dengan baik dan benar, baik lisan maupun tulisan.
2.2 Konsep
Pada penelitian ini terdapat beberapa konsep penting sebagai dasar atau
acuan untuk memperlancar proses penelitian. Konsep konsep tersebut, yaitu (1)
metode kontekstual (CTL ), (2) pembelajaran, (3) tata bahasa Jepang dasar
(Shokyou Bunpo).
2.2.1 Metode kontekstual
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan
yang ditempuh. Metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami
objek yang menjadi sasaran yang akan dicapai.
Menurut Sutikno, metode adalah cara-cara menyajikan materi pelajaran
yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses pembelajaran pada diri siswa
dalam upaya untuk mencapai tujuan. Para ahli lain menyatakan bahwa metode
adalah cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa
pada saat berlangsungnya pengajaran (Sudjana, 2005:76).
Metode kontekstual merupakan suatu proses yang dilakukan dalam
pembelajaran untuk menghasilkan pengetahuan dengan menghubungkan muatan
17
akademis atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata sehari-hari dengan
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual. Ketujuh komponen
utama yang dimaksud adalah konstruktivisme, bertanya, inkuiri, masyarakat
belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik.
Untuk mengaitkan materi pembelajaran bisa dilakukan dengan berbagai
cara. Selain karena memang materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan
kondisi faktual juga bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber
belajar, media, dan sebagainya yang ada hubungannya dengan kehidupan nyata
mahasiswa sehari-hari (Rusman, 2012:188).
Metode kontekstual pada penelitian ini adalah cara pembelajaran yang
membantu guru/dosen mengaitkan antara materi yang dihajarkan dengan situasi
nyata siswa atau mahasiswa dan mendorong untuk menghubungkan antar
pengetahuan yang dimiliki dengan kehidupan nyata mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat.
2.2.2 Pembelajaran
Pembelajaran adalah serangkaian peristiwa yang dirancang, dan disusun
demikian rupa untuk mendukung dan memengaruhi terjadinya proses belajar
mahasiswa yang bersifat internal. Pembelajaran berupaya mengubah input
mahasiswa yang belum terdidik menjadi mahasiswa yang terdidik, mahasiswa
yang belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu menjadi mahasiswa yang
memiliki pengetahuan. Demikian pula mahasiswa yang memiliki sikap, kebiasaan,
atau tingkah laku yang belum memiliki eksistensi dirinya sebagai pribadi yang
baik menjadi mahasiswa yang memiliki sikap yang baik, sebagai hasil dari
18
pengalaman mahasiswa dalam proses pembelajaran yang menyangkut kognitif,
afektif, dan psikomotorik (Aunurrahman, 2010:34).
Darsono (2000:24) menambahkan bahwa secara umum pembelajaran
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa. Dengan
demikian tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik.
Menurut Syaiful Sagala (2010:61), pembelajaran adalah membelajarkan
peserta didik menggunakan asas pendidikan dan teori belajar sebagai proses
komunikasi dua arah. Pembelajaran adalah kegiatan pendidik secara terprogram
dalam desain instruksional untuk membuat mahasiswa/siswa belajar secara aktif,
mampu berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan mengontruksi
pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap
materi pelajaran.
Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan pembelajaran adalah proses
belajar mengajar di kelas yang dilakukan oleh pendidik dan peserta didik di
lingkungan sekolah untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku, sikap dan
kepribadian ke arah yang lebih baik sebagai hasil dari pengalaman mahasiswa
dalam proses pembelajaran yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik.
((Aunurrahman, 2010:34)
2.2.3 Tata Bahasa Jepang Dasar (Shokyou Bunpo)
Menurut Iwabuchi Tadasu, gramatika atau tata bahasa adalah aturan-aturan
mengenai bagaimana menggunakan dan menyusun kata-kata menjadi sebuah
kalimat (dalam Sudjianto dan Dahidi, 2009:133). Shokyou bunpo adalah tata
bahasa tingkat dasar (pemula); kelas pemula (Matsura, 1994:959).
19
Poerwadaminta (1976:1024) mengemukakan bahwa tata bahasa adalah
pengetahuan atau pelajaran mengenai pembentukan kata-kata. Selain itu, juga
penyusunan kata-kata dalam kalimat.
Pada penelitian ini, tata bahasa Jepang dasar adalah seputar aturan-aturan
dalam menggunakan dan menyusun kata-kata menjadi kalimat sederhana yang
dapat digunakan untuk menguasai aspek keterampilan mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis yang sederhana. Artinya, gramatika atau tata bahasa dasar
dicirikan oleh pola kalimat yang sederhana.
Contoh : わたし は だいがくせい です
Watashi wa daigakuesi desu
saya part mahasiswa kopula
„Saya adalah mahasiswa‟.
Bahasa Jepang adalah bahasa yang memiliki gramatika/struktur pola
kalimat “subjek-keterangan-objek-predikat (S-K-O-P)”.
Contoh: あにさん は マタハリ で かばん を かいます
Ani san wa Matahari de kaban o kaimasu
nama part nama tempat part tas part membeli
„Ani membeli tas di Matahari‟.
Ani san adalah subjek, partikel wa/は penanda subjek, Matahari adalah
keterangan tempat, partikel de/で berarti „di‟, kaban berarti „tas‟ adalah objek,
o/を penanda objek, dan kaimasu berarti „membeli‟ adalah predikat. Predikat
dalam pola kalimat bahasa Jepang selalu terletak di akhir kalimat (Jonathan,
2013:8).
Pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo) dalam penelitian
ini terbatas pada empat unsur-unsur bahasa, yakni penggunaan partikel, pola
20
kalimat , unsur predikat, dan makna kalimat bahasa Jepang bagi mahasiswa sastra
Jepang semester III STIBA Saraswati Denpasar.
2.3 Landasan Teori
Ada beberapa teori yang melandasi penelitian ini. Teori-teori tersebut adalah
(1) teori pembelajaran bahasa konstruktivisme, (2) dasar-dasar linguistik bahasa
Jepang, dan (3) penelitian tindakan kelas (PTK).
2.3.1 Teori Pembelajaran Bahasa Konstruktivisme
Munculnya konstruktivisme dalam dunia psikologi, pada tahun-tahun
terakhir ini menjadi lebih jelas bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di
bawah gagasan kognitif dan struktur ingatan. Menurut pandangan konstruktivisme,
pengetahuan dibina secara aktif oleh individu yang berpikir. Individu ini tidak
menyerap secara sembarangan pengetahuan dasar yang dimiliki untuk membentuk
pengetahuan baru dalam pikiran mereka dengan bentuk interaksi sosial, baik
bersama rekan maupun gurunya (Brooks&Brooks,1993 dalam Aqib, 2013).
Komponen penting dalam teori konstruktivisme adalah bagaimana
mengemas pembelajaran menjadi proses mengontruksi tidak sebatas menerima
pengetahuan. Penelitian bahasa anak-anak mulai memusatkan perhatiannya pada
bagian linguistik yang paling rawan, yakni fungsi bahasa dalam wacana.
Teori belajar konstruktivisme merupakan landasan berpikir metode CTL.
Teori konstruktivisme menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri
pengetahuan melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Proses
belajar mengajar lebih banyak berpusat pada siswa daripada berpusat pada guru.
21
Artinya, sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan
berbasis pada aktivitas siswa. Dengan dasar itu pembelajaran harus dikemas
menjadi proses mengonstruksi tidak menerima pengetahuan.
Menurut teori ini satu prinsip yang paling penting dalam psikologi
pendidikan adalah guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada
siswa. Akan tetapi, mahasiswa/siswa itu sendiri harus membangun pengetahuan
dalam benaknya. Guru atau dosen dapat memberikan kemudahan dalam proses ini
dengan memberikan kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-
ide mereka sendiri. Di samping itu, mengajari siswa menjadi sadar menggunakan
strategi mereka sendiri untuk belajar. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi
proses tersebut dengan menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi
peserta didik sesuai dengan kehidupan mereka sehari-hari (Trianto, 2008:41).
Konstruktivisme menurut Martin et. al (dalam Gerson Ratumanan, 2002)
menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengonstruksikan pengetahuan melalui
hubungan saling memengaruhi antara belajar sebelumnya dan belajar baru.
Selanjutnya, Wikipedia (2008:1) menurunkan definisi ialah “constructivism may
be considered an epistemology (a philosophical framework or theory of learning)
which argues humans construct meaning from current knowledge structures.”
Artinya, konstruktivisme dapat dipandang sebagai suatu epistemologi (kerangka
filosofis atau teori belajar) yang mengkaji manusia dalam membangun makna dari
struktur pengetahuan terkini. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebagai landasan
paradigma pembelajaran, konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif
siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembangan siswa belajar mandiri,
22
dan perlunya siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya
sendiri.
Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih
menekankan pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai
dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian
menghasilkan atau menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan
(Slavin, 1994). Misalnya, ketika siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat,
kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-
kalimat tersebut, dan bagaimana menulis titik dan komanya.
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai
pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun, guru lebih
diposisikan sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan
mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini lebih menekankan bagaimana
siswa belajar, bukan bagaimana guru mengajar.
Sebagai fasilitator, guru bertanggung jawab terhadap kegiatan
pembelajaran di kelas. Di antara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah
menstimulasi dan memotivasi siswa. Orientasi pembelajaran bergeser dari
berpusat pada guru mengajar ke pembelajaran berpusat pada siswa (student
centered instruction).
1) Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam
proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
23
a) Pengetahuan dibangun oleh mahasiswa/siswa sendiri.
b) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari dosen/guru ke murid, kecuali hanya
dengan keaktifan mahasiswa sendiri untuk menalar.
c) Mahasiswa/siswa aktif megonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu
terjadi perubahan konsep ilmiah disesuaikan dengan kehidupan nyata.
d) Dosen/guru sekadar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses
kontruksi berjalan lancar.
e) Struktur pembelajaran seputar konsep diutamakan pada pentingnya sebuah
pertanyaan.
f) Mencari dan menilai pendapat mahasiswa/siswa.
g) Menyesuaikan bahan pengajaran untuk menanggapi anggapan
mahasiswa/siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting yaitu
dosen/guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada
mahasiswa/siswa. Mahasiswa/siswa harus membangun pengetahuan di dalam
benaknya sendiri. Seorang dosen/guru dapat membantu proses ini dengan cara-
cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat
relevan dengan kehidupan sehari-hari mahasiswa/siswa. Hal itu dapat dilakukan
dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa/siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide-ide dengan mengajak mahasiswa/siswa agar menyadari
dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
2) Implikasi Konstruktivisme pada Pembelajaran
Terdapat beberapa implikasi penting konstruktivisme terhadap
pembelajaran. Implikasi-implikasi yang dimaksud adalah seperti di bawah ini.
24
1) Pembelajaran tidak dapat dipandang sebagai suatu transmisi pengetahuan.
Penyajian pengetahuan jadi (ready made) tidak mendapat penekanan. Dalam
kelas konstruktivis, pembelajaran diarahkan untuk menciptakan kondisi yang
memungkinkan siswa mengonstruksi pengetahuan dan memperluas
pengetahuan mereka. Inisiatif dan keterlibatan aktif mahasiswa/siswa dalam
pembelajaran merupakan hal yang utama.
2) Perhatian tidak diarahkan hanya pada hasil belajar, tetapi juga dipusatkan pada
proses berpikir atau proses mental mahasiswa. Di samping kebenaran jawaban
mahasiswa, dosen/guru juga perlu memperhatikan proses yang digunakan
mahasiswa hingga memperoleh jawaban tersebut.
3) Perlu adanya scaffolding (dukungan atau bantuan) pada mahasiswa yang
mengalami kesulitan dalam mengonstruksi pengetahuan atau dalam
pemecahan masalah. Bantuan ini akan memotivasi mahasiswa dalam belajar
dan meningkatkan kemandirian mahasiswa. Di samping itu, juga akan
mengembangkan ZPD (zon perkembangan prokimal) mahasiswa.
4) Perlu disadari tentang pentingnya konteks sosial dalam pembelajaran.
Pembelajaran seharusnya melibatkan negosiasi sosial dan mediasi. Pedagogis
lebih ditekankan pada diskusi, kolaborasi, negosiasi, dan makna bersama.
5) Perlu diciptakan situasi pembelajaran yang merangsang keingintahuan
mahasiswa, sekaligus merangsang mahasiswa untuk dapat
mengkomunikasikan ide-ide mereka.
25
6) Jika mahasiswa harus mengaplikasikan pemahaman saat ini dalam situasi baru
ke bentuk pengetahuan baru, dosen/guru harus sungguh-sungguh melibatkan
mahasiswa dalam pembelajaran.
3) Ciri-Ciri Pembelajaran Menurut Konstruktivisme
Adapun ciri-ciri pembelajaran menurut konstruktivisme adalah sebagai
berikut.
1) Pembelajaran berpusat pada mahasiswa.
2) Fokus kepada pembelajaran bukan pengajaran.
3) Dosen/guru sebagai fasilitator.
4) Bahan pengajaran dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan peluang
kepada mahasiswa membina pengetahuan baru.
5) Menyokong pembelajaran secara kooperatif, yaitu suatu kumpulan strategi
mengajar yang digunakan mahasiswa untuk membantu satu dengan yang lain
dalam mempelajari sesuatu.
6) Menggalakkan mahasiswa bertanya dan berdialog dengan sesama mahasiswa
dan dosen.
7) Pendidik memahami karakteristik mental para mahasiswa untuk mengenal
penalaran yang dikembangkan untuk mendukung proses pembelajaran.
8) Menggalakkan dan menerima daya usaha para mahasiswa dalam
mengembangkan pengetahuannya.
9) Menggalakkan ide yang dikemukakan oleh mahasiswa dan menggunakannya
sebagai panduan merancang pengajaran.
26
4) Keunggulan dan Kelemahan Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Keunggulan
1) Berpikir
Dalam proses membina pengetahuan baru, mahasiswa berpikir menyelesaikan
masalah, mengemukakan dan membuat simpulan dengan bahasa sendiri.
2) Paham
Karena mahasiswa terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru,
mereka akan lebih paham dan mampu mengaplikasikannya.
3) Ingat
Karena mahasiswa terlibat secara langsung dan aktif, mereka akan mengingat
lebih lama mengenai semua konsep.
4) Yakin
Melalui pendekatan ini mahasiswa membina sendiri pemahaman mereka
dengan strategi belajar sendiri. Oleh karena itu, mereka menjadi lebih yakin
menghadapi dan menyelesaikan masalah pada situasi baru dalam kehidupan
sehari-hari.
5) Interaktif dan Senang
Mahasiswa/siswa lebih banyak berinteraksi dan saling bertukar gagasan
dengan teman dan dosen/guru dalam proses pembelajaran untuk mendapatkan
pengetahuan baru. Karena mereka paham, ingat, yakin, dan berinteraksi
dengan sehat, maka timbul rasa senang belajar untuk memperoleh
pengetahuan baru.
27
Kelemahan
1) Pemahaman para mahasiswa terhadap materi cenderung kurang merata.
2) Diperlukan persiapan yang lebih matang dari pendidik dan peserta didik agar
pembelajaran berjalan dengan lancar.
3) Mahasiswa mengonstruksi pengetahuannya sendiri sehingga tidak jarang hasil
konstruksi tersebut tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah
ilmu pengetahuan. Dengan demikian, terjadi miskonsepsi.
4) Konstruktivisme menanamkan agar mahasiswa membangun pengetahuannya
sendiri. Hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap mahasiswa
memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
5) Situasi dan kondisi tiap kampus tidak sama karena tidak semua kampus
memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas
mahasiswa.
5) Kendala dalam Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme
Konstruktivisme memberikan angin segar bagi perbaikan proses dan hasil
belajar. Walaupun demikian, terdapat pula kendala yang muncul dalam penerapan
pembelajaran menurut konstruktivisme di kelas. Kendala-kendala yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
1) Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan dosen/guru. Selama ini pendidik
telah terbiasa mengajar dengan menggunakan pendekatan tradisional. Upaya
mengubah kebiasaan ini merupakan suatu hal yang tidak mudah.
28
2) Dosen/guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan
pembelajaran berbasis konstruktivisme. Dosen/guru konstruktivis dituntut
untuk lebih kreatif dalam merencanakan kegiatan pembelajaran dan dalam
memilih menggunakan media yang sesuai.
3) Adanya anggapan dosen/guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan
baru dalam pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup besar.
Pendidik khawatir target pencapaian kurikulum (TPK) tidak tercapai.
4) Sistem evaluasi masih menekankan pada nilai akhir. Padahal, yang terpenting
dari suatu pembelajaran adalah proses belajar, bukan hasil akhirnya.
5) Besarnya beban mengajar dosen/guru, latar belakang pendidikan tidak sesuai
dengan mata kuliah yang diasuh, dan banyaknya pelajaran/mata kuliah yang
harus dipelajari mahasiswa merupakan hal yang cukup serius.
6) Mahasiswa/siswa terbiasa menunggu informasi dari dosen/guru. Peserta didik
akan belajar jika ada transfer pengetahuan dan tugas-tugas dari dosen/gurunya.
Upaya mengubah sikap “menunggu informasi” menjadi “pencari dan
pengonstruksi informasi” merupakan kendala tersendiri.
7) Adanya budaya negatif di lingkungan mahasiswa/siswa. Salah satu contohnya
di lingkungan rumah. Pendapat orang tua selalu dianggap paling benar, anak
dilarang membantah pendapat orang tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke
kampus. Mahasiswa/siswa terkondisi untuk “mengiakan” pendapat atau
penjelasan pendidik. Mahasiswa tidak berani mengemukakan pendapatnya
yang mungkin berbeda dengan dosen/ gurunya
29
Beberapa kelemahan dan kendala tersebut di atas dialami ketika
melaksanakan penelitian pada tindakan siklus I. Kelemahan teori konstruktivisme
dengan penerapan metode kontekstual tampak pada kemampuan intelektual
mahasiswa kurang merata, sehingga mengonstruksi hasil temuan belajar
kelompok tidak sesuai dengan kaidah gramatika bahasa Jepang. Hal ini dapat
dilihat dari hasil pembelajaran pada siklus I masih kurang.
Cara mengatasi kelemahan tersebut, peneliti berkonsultasi dengan dosen
pengampu mata kuliah mengenai tingkat kemampuan mahasiswa dan melihat
indeks prestasi tiap-tiap mahasiswa. Kemudian berdasarkan data dan masukan
dosen pendamping peneliti merombak keanggotaan kelompok belajar dengan
tujuan menimalisir ketimpangan yang ada di antara individu dan kelompok
belajar.
Kendala-kendala yang dialami antara lain, mahasiswa tidak terbiasa
bekerja kelompok, mahasiswa kurang berani mengemukakan pendapatnya, dan
ada kecenderungan mahasiswa hanya menerima informasi dari dosen. Sikap
mahasiswa seperti ini tidak baik untuk tujuan pembelajaran. Keberhasilan
pembelajaran sangat ditentukan oleh kemauan, percaya diri, keberanian, minat,
dan motivasi belajar mahasiswa.
2.3.2 Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang
Pembelajar bahasa Jepang perlu memahami atau minimal mengetahui
dasar-dasar linguistik bahasa Jepang. Pengetahuan linguistik ini merupakan media
untuk mempermudah dan memperlancar penguasaan bahasa Jepang. Linguistik
30
bahasa Jepang disebut dengan nihongo-gaku, bisa diterjemahkan ilmu bahasa
Jepang. Jadi, dalam nihongo-gaku dipelajari seluk beluk bahasa Jepang ,yang
mencakup berbagai cabang, yaitu :
1) fonetik (onseigaku)
2) fonologi (oninron)
3) morfologi (keitairon)
4) sintaksis (tougoron)
5) semantik (imiron)
6) pragmatik (goyouron)
7) sosiolinguistik (shakai gengogaku)
8) psikolinguistik (shinri gengogaku)
Cabang linguistik yang dijadikan landasan teori yang berkaitan dengan
penelitian ini adalah cabang sintaksis.
Sintaksis (tougoron) dalam bahasa Jepang disebut tougoron. Sintaksis
adalah ilmu yang mempelajari struktur kalimat atau kaidah-kaidah dan unsur-
unsur pembentuk kalimat dalam suatu bahasa. Bidang garapan sintaksis adalah
kalimat yang mencakup unsur-unsur pembentuknya, struktur kalimat dan
maknanya, serta jenis dan fungsi kalimat (Nita, 1994 : 18)
Secara garis besar jenis kalimat berdasarkan struktur kalimat terdiri atas
dua macam, yaitu kalimat yang tidak memiliki unsur predikat dan kalimat yang
memiliki unsur predikat. Contoh kalimat sebagai berikut.
1) Kalimat yang tidak mempunyai predikat. Oame (banjir), kaji
(kebakaran).
31
2) Kalimat yang memiliki predikat,
Contoh :エカさん は にほんご を ならいます
Eka san wa nihongo o naraimasu.
nama orang part bahasa Jepang part belajar.
„Eka belajar bahasa Jepang‟.
Kata naraimasu berarti belajar, yang berfungsi sebagai predikat dalam bahasa
Jepang. Partikel wa/は penanda subjek, dan partikel o/を penanda objek.
Pola dan struktur kalimat bahasa Jepang berdasarkan jenis kata yang
dijadikan predikat dibagi menjadi tiga macam, yaitu kalimat verbal, baik transitif
maupun intrasitif, kalimat adjektiva, dan kalimat nominal. Contoh pola kalimat
bahasa Jepang sebagai berikut
1) Pola kalimat verbal intransitif (SP)
Contoh : あめ が ふる
Ame ga furu
hujan part air turun
„Hujan turun‟.
Kata furu adalah kata kerja intrasitif. Partikel ga /が penanda subjek.
2) Pola kalimat verbal transitif (SOP)
Contoh : ちち は しんぶん を よみます
Chichi wa shinbun o yomimasu
bapak part surat kabar part membaca
„Bapak membaca surat kabar‟.
Kata yomimasu berkonjugasi dari bentuk kamus yomu, yang berarti
“membaca” dan berfungsi sebagai predikat kata kerja transitif.
3) Pola kalimat adjektiva
Contoh keiyoushi : この みかん は あまい です
Kono mikan wa amai desu
ini jeruk part manis kopula
„Jeruk ini manis‟.
32
Kata amai berarti “manis” adalah kata sifat keiyoushi, sering pula disebut
kata sifat “ berakhiran i”, dan berfungsi sebagai predikat. Partikel wa /は
penanda subjek.
Contoh keiyoudoshi : バリ は きれい です
Bali wa kirei desu
daerah part indah kopula
„Pulau Bali indah‟.
Kata kirei berarti “indah” adalah termasuk kata sifat keiyoudoshi, sering pula
disebut kata sifat berakhiran “na/da”, dan berfungsi sebagai predikat.
4) Pola kalimat nomina
Contoh : ワヤンさん は だいがくせい です
Wayan san wa daigakusei desu.
Nama orang part mahasiswa kopula.
„Wayan adalah mahasiswa‟.
Kata daigakusei berarti “mahasiswa” termasuk kata benda dan berfungsi
sebagai predikat. Partikel wa/は penanda subjek.
Berdasarkan maknanya kalimat dapat dibagi dua, yaitu dari segi isi dan
fungsinya. Dari segi isi kalimat dapat menyatakan keadaan dan menyatakan
aktivitas, seperti contoh berikut:
1) へや に テレビ が ある
Heya ni terebi ga aru
kamar part TV part ada
„Televisi ada di kamar‟.
Makna kalimat di atas menyatakan keadaan.
2) はは は テレビ を みる
Haha wa terebi o miru.
Ibu part TV part menonton
„Ibu menonton televisi‟.
33
Makna kalimat menyatakan aktivitas.
Berdasarkan fungsi, kalimat dibedakan atas kalimat perintah (meirei),
kalimat menyatakan maksud (ishi), keinginan (kibou), kalimat berita (nobetate no
bun) kalimat larangan (kinshi), kalimat tanya (toikake no bun) kalimat
permohonan (irai), kalimat ajakan (kanyuu).
Makna atau fungsi kalimat yang diteliti pada penelitian ini adalah kalimat
perintah (meirei), kalimat larangan (kinshi), dan kalimat permohonan (irai)
Contoh kalimat perintah (meirei):
べんきょう を しなさい
Benkyou o shinasai
Pelajaran part melakukan
„Belajarlah‟.
Contoh kalimat larangan (kinshi):
さけ を のまないでください
Sake o nomaide kudasai
Arak part jangan minum
„Jangan minum arak‟.
Contoh kalimat permohonan (irai):
どうぞ たべてください
Douzo tabete kudasai
Silakan makanlah
„Silahkan makan‟.
Unsur kalimat dalam bahasa Jepang secara garis besar terdiri atas (1)
subjek (shugo), (2) predikat (jutsugo), (3) objek (taishougo), (4) keterangan
(joukyougo), (5) modifikator (shiuushokugo), dan (6) penyambung (setuzokugo).
Unsur subjek dan objek biasanya diisi oleh nomina, unsur predikat diisi oleh
verbal, adjektiva, nomina ditambah kopula. Unsur keterangan mencakup
keterangan tempat, waktu, alat, penyerta, dan yang lainnya.
34
Pada awal pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo), dosen
hendaknya memberikan gambaran secara umum tentang bagaimana keadaan
gramatikal bahasa yang dipelajari dan bagaimana pula perbedaannya jika
dibandingkan dengan gramatika bahasa lain yang lebih dahulu dipelajari. Dengan
demikian, pada pengaplikasiannya mahasiswa bisa memiliki keterampilan
berbahasa yang baik dan benar karena ditunjang oleh penguasaan tata bahasa
yang baik dan benar pula.
Bagi pembelajar, tata bahasa menjadi semacam kompas dalam pemakaian
bahasa. Bagaimanapun juga, penguasaan tata bahasa tidak bisa dinomorduakan.
Memang sekarang ini ada juga yang berpendapat bahwa orientasi pada latihan
percakapan harus lebih diutamakan daripada orientasi tata bahasa. Seorang
pengajar yang baik haruslah bisa menyeimbangkan hal tersebut. Dengan demikian
pada pengaplikasiannya pelajar bisa memiliki aspek keterampilan mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis yang semakin seimbang dan baik karena
ditunjang penguasaan tata bahasa yang baik pula.
Dalam pengajaran tata bahasa Jepang pada tahap pemula, para guru/dosen
tidak berarti memberikan pengetahuan tentang ilmu bahasa yang telah dikuasai
kepada pelajar tahap pemula begitu saja. Pengajaran tata bahasa tidak sesederhana
itu. Dalam mengajarkan tata bahasa pada tahap pemula, dosen/guru sebagai
pengajar harus memberikan materi pelajaran sedikit demi sedikit, terutama pada
pokok-pokok tata bahasa yang dirasa sangat penting atau diperlukan. Sehubungan
dengan itu, sebelum masuk kegiatan pembelajaran, pengajar harus bisa membuat
rancangan memulainya dari mana, apa yang akan diajarkan, dan bagaimana cara
35
mengajarkannya agar mencapai hasil yang maksimal. Oleh karena itu, guru atau
dosen wajib mempersiapkan Silabus dan SAP sebelum memulai pembelajaran.
Permasalahan yang sering muncul saat pengajaran tata bahasa Jepang pada
tahap pemula yaitu, pada umumnya pelajar menggunakan buku pelajaran tata
bahasa tingkat awal yang ditulis dengan bahasa asli mereka, tidak menggunakan
bahasa Jepang. Hal ini dimaksudkan agar mereka mendapatkan kemudahan dalam
pemahaman tata bahasa. Walaupun mereka bisa memahami uraian dalam buku
pelajaran tersebut, ada kalanya masih sering menghadapi kesulitan untuk benar-
benar dapat menguasai persoalan tata bahasa termasuk juga pemahaman terhadap
pengertian fungsi tiap-tiap kata yang dilihat dari segi ketatabahasaan. Pemahaman
tata bahasa tidaklah hanya terbatas untuk pemenuhan pencapaian keterampilan
memahami bacaan, tetapi juga harus mencakup kemampuan aktivitas berbahasa
yang lain, seperti mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Pengajaran tata bahasa tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan
uraian-uraian tentang bahasa yang terdapat dalam buku-buku pelajaran. Selain hal
di atas, ada pula masalah yang muncul, yaitu tuntutan mahasiswa atas penjelasan
atau pembenaran pada struktur pola tata bahasa sebuah kalimat yang salah.
Memang dalam hal kesalahan ucapan, secara mudah pengajar dapat mengatasinya
dengan cara langsung melakukan koreksi pembetulan. Akan tetapi, dalam hal
kesalahan yang berhubungan dengan unsur tata bahasa terkadang siswa sering
meminta penjelasan yang lebih lanjut atas hal yang dianggap salah oleh pengajar.
Misalnya, pada kalimat „道を歩く(michi o aruku,berjalan di jalan), bila ada
siswa yang mengucapkan „道に歩く(michi ni aruku‟atau 道で歩く(michi de
36
aruku), dengan mudah pengajar membetulkannya, yaitu dengan meminta siswa
tersebut mengucapkan „道を歩く‟. Namun, tidak bisa dihindari bahwa siswa
sering mengajukan pertanyaan lebih lanjut terhadap struktur pola kalimat tersebut.
Misalnya, mengapa 道を歩く(michi o aruku, (berjalan di jalan). Dalam hal ini
pengajar harus menjelaskannya sesuai dengan kaidah tata bahasa Jepang yang
benar, yakni kalimat bahasa Jepang menggunakan verba yang sifatnya
menunjukkan perpindahan, seperti 歩く (berjalan) 、通る (melewati) 、出る
(keluar), dan lainnya. Partikel yang harus digunakan untuk mengikuti verba
tersebut adalah を(wo) bukan に(ni) atau で(de). Dalam pengajaran kaidah tata
bahasa, pertanyaan “mengapa” memang merupakan hal yang sukar untuk dijawab.
Pertanyaan senacam itu merupakan hal yang wajar terjadi pada mahasiswa/siswa
pada tahap pemula pada khususnya. Hal tersebut terjadi karena disebabkan adanya
pengaruh bahasa ibu mahasiswa/siswa itu sendiri yang lebih dahulu dipelajari
sebelum mempelajari bahasa Jepang. Oleh karena itu, gramatika bahasa Jepang
penting sekali dipahami belajar bahasa Jepang. Untuk dapat memahaminya akan
diamati pendapat pakar bahasa Jepang tetang gramatika. Yasuo (1985:44)
mengemukakan bahwa gramatika adalah suatu fenomena umum pada saat
menyusun kalimat, yang secara teoretis merupakan suatu sistem tentang bentuk
kata, urutan kata, fungsi kata, dan struktur kalimat.
Bahasa Jepang memiliki karakteristik unik seperti penggunaan huruf,
kosakata, sistem pengucapan, tata bahasa atau gramatika, dan ragam bahasanya.
Apabila dibandingkan dengan bahasa Indonesia, bahasa Jepang memiliki struktur
pola kalimat yang berbeda. Struktur kalimat dalam bahasa Jepang berpola „subjek-
37
keterangan-objek-predikat‟(S-K-O-P). Di antara S-K-O-P tersebut harus disisipi
dengan kata bantu atau partikel.
Contoh pola kalimat bahasa Jepang
よこさん は バツブラン で バロングダンス を みた
Yoko san wa Batubulan de Barong dansu o mita
nama orang part tempat part jenis tarian part menonton
„Yoko menonton tari barong di Batubulan‟.
Yoko san adalah subjek (S), Batubulan, keterangan tempat (K), tari
barong objek (O), mita berarti menonton (P). Partikel wa(は) , menyertai
subjek, partikel de(で)berarti „di‟ menyertai keterangan tempat, dan partikel o
(を)petanda objek. Unsur-unsur atau bagian kalimat tersebut menjadi sebuah
pola kalimat yang benar karena mematuhi kaidah tata kalimat yang berlaku dalam
bahasa Jepang (Sutedi, 2003:72).
Sedangkan struktur kalimat dalam bahasa Indonesia berpola „subjek-
predikat-objek-keterangan (S-P-O-K)‟. Oleh karena itu, apabila pembelajar
pemula di Indonesia mempelajari bahasa Jepang tidak mempelajari struktur
bahasa Jepang dengan benar, maka akan mengalami kesulitan dalam menyusun
kalimat. Penggolongan satuan bahasa atas dasar bentuk, fungsi, dan makna
kalimat disebut kategori gramatika atau tata bahasa. Gramatika bahasa Jepang
mengenal juga ragam bahasa sopan (formal) dan ragam biasa (informal). Bentuk
sopan dan biasa ditentukan oleh jenis kata yang digunakan. Contoh kalimat di
bawah ini.
1) これはほんです (kore wa hon desu.), artinya ini adalah buku. Jenis
kalimat ini adalah bentuk sopan.
38
2) これはほん (kore wa hon ), artinya sama dengan kalimat nomor satu,
tetapi kalimat ini adalah bentuk biasa. Menurut kaidah bahasa Jepang ,
apabila kalimat tidak menggunakan predikat kata kerja, untuk bentuk
sopan harus disertai kata desu pada akhir kalimat seperti contoh
kalimat nomor (1).
3) わたしはりんごをたべます ( watashi wa rinngo o tabemasu), artinya
saya makan apel. Kalimat ini adalah bentuk sopan ( formal ).
4) わたしはりんごをたべる , artinya sama dengan kalimat nomor (3),
tetapi kalimat ini bentuk biasa (informal). Menurut gramatika bahasa
Jepang predikat kata kerja bentuk masu (masukei) adalah bentuk
sopan. Dan masih banyak ragam sopan lainnya. Untuk tingkat tata
bahasa pemula bentuk sopan dihajarkan secara tahap demi tahap.
Untuk menghindari pembahasan terlalu melebar pembelajaran tata bahasa
Jepang dasar (shoukyou bunpo) dalam penelitian ini terbatas pada unsur-unsur
penggunaan partikel, pola kalimat, unsur predikat, dan fungsi/makna kalimat
bahasa Jepang bagi mahasiswa sastra Jepang semester III STIBA Saraswati
Denpasar.
Ada beberapa hal secara umum yang perlu dipahami dalam belajar bahasa
Jepang. Adapun hal-hal yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1) Lafal bahasa Jepang
Bahasa Jepang hanya mempunyai lima vokal yang pengucapannya sama
persis dengan bahasa Indonesia. Apa yang ditulis sama dengan yang
dibaca, tetapi ada sedikit pengecualian untuk beberapa huruf.
39
2) Bahasa Jepang mempunyai dua tensis, yaitu bentuk present (termasuk
future) dan bentuk lampau. Kata benda bahasa Jepang tidak mengenal
single dan flural. Kata kerja mengalami konjugasi.
3) Susunan kalimat bahasa Jepang menggunakan pola yang tidak lazim
digunakan oleh bahasa lainnya, yaitu “subyek-keterangan-obyek-
predikat”. Tampaknya susunan kalimat bahasa Jepang agak sulit bagi
pembelajar pemula. Predikat bahasa Jepang selalu terletak di akhir
kalimat.
4) Di antara kata-kata pada kalimat bahasa Jepang diselipkan kata bantu atau
partikel.
5) Huruf Jepang ada tiga jenis, yakni huruf Kanji, Hiragana, dan katakana.
Untuk huruf Hiragan dan Katakana mungkin tidak terlalu sulit dipelajari,
tetapi huruf Kanji sangat melelahkan dalam mempelajarinya.
2.3.3 Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Penelitian tindakan kelas dalam bahasa Inggris disebut classroom action
research. Arikunto (2009:3) mengatakan bahwa penelitian tindakan kelas
merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan,
yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama.
Tindakan tersebut diberikan oleh dosen/guru atau dengan arahan guru yang
dilakukan oleh mahasiswa. Dalam penelitian tindakan kelas dilaksanakan
beberapa siklus yang secara garis besar pada setiap siklus ada empat tahap
tindakan, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.
40
1) Perencanaan Siklus I
Pada tahap perencanaan siklus I dilakukan koordinasi dengan pihak
kampus, dalam hal ini koordinasi dengan Ketua STIBA Saraswati Denpasar dan
dosen mata kuliah bersangkutan. Setelah koordinasi diadakan observasi ke kelas
dan kemudian dipersiapkan instrumen penelitian, seperti silabus, SAP, lembar
observasi, kuesioner, persiapan tes awal sebelum menerapkan tindakan metode
kontekstual , dan persiapan tes akhir siklus I dan siklus II.
2) Pelaksanaan Siklus I
Pada tahap pelaksanaan dosen dalam hal ini adalah peneliti mengajarkan
atau menjelaskan secara singkat materi pembelajaran tata bahasa Jepang dasar
dengan metode kontekstual. Metode kontekstual terdiri atas tujuh komponen,
yakni konstrukvisme, inkuiri, bertanya, kelompok belajar, pemodelan, refleksi
dan penilaian autentik dalam proses pembelajaran tata bahasa Jepang kepada
mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar
Pada pelaksanaan siklus I ini, dilaksanakan beberapa kali pertemuan. Pada
setiap pertemuan terdapat tiga kegiatan, yaitu kegiatan awal, kegiatan inti dan
kegiatan akhir.
3) Pengamatan Siklus I
Pada saat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yaitu pelaksanaan
siklus I, peneliti dibantu oleh seorang observer pendamping yakni dosen mata
41
kuliah Shoukyou Bunpo. Tugas observer adalah melakukan penilaian
pengamatan terhadap aktivitas dan respons mahasiswa dalam proses
pembelajaran.
4) Refleksi Siklus I
Tahapan tindakan yang terakhir pada siklus I adalah refleksi. Pada tahap
ini diadakan tes akhir atau evaluasi.Tujuan evaluasi untuk mengetahui
peningkatan atau perubahan hasil pembelajaran tata bahasa Jepang mahasiswa
semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar setelah penerapan metode
kontekstual. Apabila hasilnya belum mencapai nilai ketuntasan minimal yang
diharapkan, yakni nilai B, maka diadakan tindakan siklus II.
Tahap tindakan siklus II sama dengan tindakan siklus I, yakni perencanaan,
pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Proses pelaksanaan pembelajaran juga
sama dengan penerapan metode kontekstual. Setelah tahapan pembelajaran
berakhir diadakan tes akhir atau evaluasi dengan tujuan untuk mengetahui
peningkatan atau perubahan hasil pembelajaran tata bahasa Jepang mahasiswa
semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar setelah penerapan metode
kontekstual sebagai kajian refleksi. Selama tahap pelaksanaan berlangsung
observer pendamping melakukan pengamatan.
Adapun model atau bagan keempat tahapan tersebut sebagai berikut
42
2.1 Bagan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
2.4 Model Penelitian
Model penelitian ini menyajikan bagan abstraksi dan sintesis antara teori
dan permasalahan penelitian. Secara terperinci, model penelitian yang
dimaksudkan terlihat di bawah ini.
Perencanaan
Siklus I
Pengamatan
Perencanaan
Siklus II
Pengamatan
Pelaksanaan Refleksi I
Pelaksanaan Refleksi II
43
2.2 Bagan Model Penelitian
Pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) dengan metode
kontekstual (CTL) bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA
Saraswati Denpasar
1. Hasil belajar tata
bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III Sastra
Jepang sebelum menerapkan metode
kontekstual
2. Hasil belajar tata
bahasa Jepang
dasar mahasiswa semester III Sastra Jepang setelah
menerapkan
metode kontekstual
3. Faktor-faktor yang
mempengaruhi
hasil belajar tata bahasa Jepang dasar mahasiswa
semester III Sastra Jepang dengan
metode kontekstual
Metode
Kontekstual (CTL)
Siklus I
PTK
Teori Belajar
Konstruktivisme
Teori
Siklus II
Dasar-Dasar Linguistik
Bahasa Jepang
Temuan
44
Bagan di atas menginformasikan bahwa pembelajaran tata bahasa Jepang
dasar ditingkatkan dengan menggunakan metode kontekstual. Metode kontekstual
yang terdiri atas tujuh komponen yakni konstruktivisme, menemukan, tanya
jawab, kelompok belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian autentik untuk
menemukan jawaban dari permasalahan yang dihadapi mahasiswa. Dalam hal ini
adalah kemampuan tata bahasa Jepang dasar sebelum dan sesudah penerapan
metode kontekstual Di samping itu juga untuk menjawab faktor-faktor yang dapat
memengaruhi pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual.
Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK). PTK ini akan
dimulai dengan siklus I dan kemudian dilanjutkan siklus II. Setelah dilaksanakan
siklus I dan siklus II diperoleh hasil penelitian yang berupa data kuantitatif dan
data kualitatif. Data kuantitatif dan data kualitatif diolah sehingga dihasilkan
simpulan. Pada penelitian tindakan kelas (PTK) ini dilaksanakan dua siklus.
Setiap siklus terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.
Dalam konteks ini, metode kontekstual merupakan strategi interaktif yang
diciptakan oleh dosen/guru dalam proses pembelajaran tata bahasa Jepang dasar
Penelitian ini menggunakan teori konstruktivisme dan dasar-dasar linguistik
bahasa Jepang yang menghasilkan temuan tertentu. Hasil pembelajaran dengan
metode kontekstual (CTL) yang dilakukan ini menjadi sebuah simpulan dan
sekaligus sebagai rekomendasi atau saran untuk perbaikan proses pembelajaran
tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo) bagi pembelajar pemula.
45
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode merupakan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu,
sedangkan penelitian adalah kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan
menganalisis sampai menyusun laporannya. Penny dalam Achmadi (2004:1)
mengatakan bahwa penelitian merupakan pemikiran yang sistematis tentang
berbagai jenis masalah yang pemecahaannya memerlukan pengumpulan dan
penafsiran data-data. Metode penelitian adalah cara-cara melakukan pengamatan
dengan pemikiran yang tepat secara terpadu melalui tahapan-tahapan yang
disusun secara ilmiah untuk mencari, merumuskan, menganalisis, menyusun, dan
menyimpulkan data-data sehingga dapat digunakan untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan berdasarkan fakta-
fakta secara ilmiah. Kesalahan memilih metode dalam penelitian akan membawa
penyimpangan pada hasil penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian diperlukan
pemilihan metode yang benar-benar akurat.
3.1 Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan gabungan antara pendekatan kualitatif dan
kuantitatif. Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, dan definisi
suatu situasi tertentu dalam konteks tertentu. (Sarwono, 2006:257). Pada
penelitian ini pendekatan kualitatif digunakan untuk menjabarkan data-data yang
bersifat deskriptif, seperti data hasil observasi dan kuesioner. Di samping itu juga
memaparkan kendala yang dialami selama pendekatan kontekstual dilakukan. Di
45
46
pihak lain pendekatan kuantitatif memberikan makna dalam hubungannya dengan
perhitungan angka statistik bukan makna secara kebahasaan (Sarwono, 2006:258).
Pada penelitian ini, pendekatan kuantitatif digunakan untuk memaparkan data
yang bersifat kuantitatif atau angka-angka statistik, baik hasil tes awal (pretes )
maupun tes akhir (postes).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Program Studi Sastra Jepang Sekolah Tinggi
Bahasa Asing (STIBA) Saraswati Denpasar. Subjek penelitian adalah mahasiswa
Sastra Jepang semester III (ganjil). Waktu penelitian dilaksanakan awal
September 2014 sampai awal Januari 2015.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini berupa data kualitatif dan kuantitatif. Data
kualitatif merupakan data penelitian yang diuraikan dalam bentuk penjelasan,
sedangkan data kuantitatif merupakan data yang diperoleh berupa angka atau nilai
dari hasil tes yang dilaksanakan.
Sumber data dalam penelitian disebut populasi. Menurut Sugiyono
(2009:115) populasi memiliki pengertian wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan .
Populasi dalam penelitian ini yang dipilih oleh peneliti adalah terdiri dari seluruh
mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar berjumlah tiga
47
puluh tujuh orang. Berdasarkan pertimbangan peneliti, jumlah populasi tidak
terlalu besar maka seluruh populasi dijadikan sampel penelitian.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan penarikan
Nonprobability Sampling dengan jenis “Purposive Sampel”. Artinya, seseorang
atau sesuatu yang diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa
seseorang sesuai dan memiliki karakteristik informasi yang diperlukan bagi
penelitian ini. Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa yang
bersangkutan adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitian.
Sampel penelitian dapat disajikan dalam tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1 Keadaan Sampel Penelitian Mahasiswa Semester III Sastra Jepang
No Kelas Laki-laki Perempuan Jumlah
1 III/JP 12 orang 25 orang 37 orang
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk
mengumpulkan data dan informasi yang diinginkan. Sukardi, (2007:168)
mengatakan bahwa instrumen penelitian merupakan alat bantu bagi peneliti dalam
mengumpulkan data. Kualitas instrumen akan menentukan data yang terkumpul.
Hal ini senada juga dengan hal yang diungkapkan oleh Margono dalam Sukardi
(2007:168) bahwa pada umumnya penelitian akan berhasil dengan baik apabila
menggunakan instrumen. Dikatakan demikian sebab data yang diperlukan untuk
menjawab pertanyaan penelitian dikumpulkan melalui instrumen. Instrumen
48
sebagai alat pengumpul data harus betul-betul dirancang dan dibuat sedemikian
rupa sehingga menghasilkan data empiris sebagaimana adanya. Data yang salah
atau tidak menggambarkan data yang empiris bisa menyesatkan peneliti sehingga
simpulan penelitian juga bisa keliru.
Peneliti menggunakan metode tes dan kuesioner sehingga instrumen yang
digunakan adalah pedoman evaluasi tes atau penampilan dan penganalisisan hasil
kuesioner. Untuk mencapai keakuratan data, juga digunakan media audiovisual
dan dilakukan observasi, yakni melihat, mencatat fenomena apa yang muncul
yang barangkali dapat memengaruhi pelaksanaan metode kontekstual
.
3.5 Prosedur Penelitian
Penelitian ini berupa penelitian tindakan kelas (PTK).
Penelitian tindakan kelas atau sekolah bertujuan untuk melakukan pemecahan
berbagai permasalahan yang digunakan dalam rangka peningkatan kualitas
pendidikan dalam hal ini peningkatan kemampuan tata bahasa Jepang dasar
dengan menerapkan metode kontekstual.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Dalam penelitian
eksperimen terdapat kelompok yang disebut kelompok eksperimen, yaitu
kelompok yang sengaja dipengaruhi oleh variabel-variabel tertentu, dalam
penelitian ini dipengaruhi oleh metode kontekstual. Di samping itu, ada juga
kelompok kontrol, yaitu kelompok yang tidak dipengaruhi oleh latihan-latihan
tertentu yang sering disebut pembelajaran konvensional.
49
Peneliti mengalami kesulitan dalam menentukan kelas kontrol, karena
jumlah kelas terbatas, oleh karena itu dalam penelitian ini kelompok yang sama
dijadikan sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan jarak
waktu tidak terlampau lama (Nasution, 2012:30).
Rancangan penelitian PTK yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model Arikunto yang meliputi empat langkah. Keempat langkah tersebut adalah
(1) tahap perencanaan, (2) tahap pelaksanaan, (3) tahap pengamatan, dan (4)
tahap refleksi.
3.5.1 Pelaksanaan Siklus I
1) Tahap Perencanaan
Pada tahap perencanaan ini dipersiapkan rencana jadwal pelaksanaan
tindakan, bahan ajar sesuai dengan pokok bahasan, SAP, lembar tugas mahasiswa,
instrumen, lembar observasi, kertas manila, spidol, LCD, dan kelengkapan lain
yang diperlukan pada saat analisis data. Selain itu, dimatangkan persiapan ketujuh
komponen utama metode CTL, yakni konstruktivisme, inkuiri, bertanya,
kelompok belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik. Pada komponen
kelompok belajar (masyarakat belajar), mahasiswa dibagi menjadi tujuh kelompok
belajar. Lima kelompok beranggotakan masing-masing lima orang dan dua
kelompok beranggotakan enam orang. Sesudah kelompok belajar terbentuk,
kemudian dipilih koordinator kelompok yang sekaligus bertugas
mempresentasikan hasil pembelajaran kelompok, sesuai dengan pokok bahasan
yang ditugaskan pada hari bersangkuta
50
2) Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan siklus I disesuaikan dengan rencana tindakan yang
tertuang dalam rencana pelaksanaan SAP. Secara operasional tindakan siklus I
dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dilakukan oleh peneliti, sedangkan
observer pendamping berperan sebagai pengamat. Setelah ditayangkan dan
dijelaskan materi konteks bahasan, dibagikan lembar kerja kepada setiap
kelompok oleh observer untuk dibahas bersama anggota kelompok mereka.
Setiap kelompok harus mengonstruksi materi yang ditugaskan (komponen
konstruktivisme). Selanjutnya koordinator kelompok mempresentasikan hasil
diskusi kelompok ke depan kelas (komponen inkuiri) sambil berperan dalam
percakapan sesuai dengan materi yang disampaikan (pemodelan). Setelah selesai
presentasi diadakan sesi tanya jawab antarkelompok mahasiswa, dosen dan
observer (komponen tanya jawab). Langkah selanjutnya kelompok mahasiswa
bersama peneliti mendiskusikan kembali hasil presentasi sehingga seluruh
mahasiswa memahami konteks materi yang dibahas (refleksi). Peneliti melakukan
penilaian terhadap hasil diskusi kelompok yang dipresentasikan ke depan kelas
dan keaktifan mahasiswa bertanya selama proses pembelajaran berlangsung
(komponen penilaian autentik). Seluruh uraian tindakan pembelajaran tersebut
berlangsung dalam suasana kelompok belajar (komponen masyarakat belajar).
Setiap kelompok diberikan waktu untuk presentasi termasuk tanya jawab kurang
lebih 20 menit. Proses tindakan pembelajaran inilah merupakan model penerapan
metode kontekstual (CTL).
51
3) Tahap Pengamatan
Peneliti dan observer pendamping mengamati aktivitas mahasiswa selama
proses belajar berlangsung dengan cara men-ceklis indikator yang diamati pada
lambaran pengamatan. Di samping itu, juga dicatat aktivitas mahasiswa ketika
presentasi dan diskusi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan
mahasiswa dalam mengonstruksi hasil temuan belajar melalui diskusi kelompok.
Selanjutnya dipresentasikan di hadapan teman sambil memeragakan dialog sesuai
dengan topik yang disampaikan dan keberanian bertanya apabila ada hal yang
belum dipahami.
4) Tahap Refleksi
Tindakan ini merupakan kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang
sudah dilakukan, artinya pada tahap ini dikumpulkan pokok bahasan yang telah
dipresentasikan oleh setiap kelompok. Hasil bahasan tersebut dijadikan dasar
untuk membuat evaluasi sehingga dapat diketahui berhasil tidaknya tindakan yang
dilaksanakan.
Untuk mengetahui berhasil tidaknya proses pembelajaran yang
dilaksanakan dapat dilihat dari skor atau jumlah nilai yang diperoleh oleh setiap
mahasiswa atau nilai rata-rata keseluruhan mahasiswa. Nilai yang dipersyaratkan
atau diharapkan minimal mencapai kriteria kategori nilai B (baik) karena nilai B
merupakan standar umum yang sering dipakai persyaratan untuk merebut
persaingan pangsa kerja. Bahkan, institusi perguruan tinggi juga berusaha
mencapai nilai akreditasinya standar minimal kategori B (baik) untuk
52
menunjukkan eksistensinya, syukhur apabila mampu mencapai kategori nilai
maksimal, yakni A.
3.5.2 Pelaksanaan Siklus II
Dari hasil analisis dan refleksi pada siklus I diketahui aspek-aspek yang
harus diperbaiki sehingga direncanakan pelaksanaan siklus II. Tahapan siklus II
sama dengan tahapan siklus I, yaitu dimulai dari tahapan perencanaan, tahapan
pelaksanaan, tahapan pengamatan, dan tahapan refleksi
3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah observasi, kuesioner, dokumentasi, dan pemberian tes. Data dikumpulkan
berdasarkan hasil pratindakan kelas siklus I dan siklus II untuk mengetahui hasil
pembelajaran yang terjadi pada mahasiswa semester III Sastra Jepang.
3.6.1 Metode Observasi
Metode observasi adalah upaya mencatat aktivitas belajar mahasiswa dan
dosen dalam proses pelaksanaan pembelajaran kontekstual. Teknik observasi yang
digunakan adalah observasi nonpartisipan dan observasi eksperimental. Observasi
nonpartisipan adalah pengamatan yang dilakukan peneliti dengan tidak terlibat
secara langsung atau tidak turut ambil bagian terhadap subjek yang diobservasi.
Observasi eksperimental merupakan observasi yang dilakukan, yaitu ada
observasi pengendalian unsur-unsur penting dalam situasi itu dapat diatur sesuai
53
dengan tujuan penelitian dan dapat dikendalikan untuk menghindari timbulnya
faktor-faktor yang tidak diharapkan memengaruhi situasi pembelajaran. Observasi
eksperimental memiliki beberapa ciri. Pertama observer diharapkan pada situasi
perangsang yang dibuat seragam mungkin untuk semua observer. Kedua, situasi
dibuat sedemikian rupa untuk memungkinkan variasi timbulnya tingkah laku yang
diamati. Ketiga, situasi dibuat sedemikian rupa sehingga observer mengetahui
maksud observasi yang sebenarnya. Keempat, observer atau alat pencatat
membuat catatan secara teliti mengenai cara-cara observer mengadakan reaksi-
reaksi (Achmad, 2004:72).
3.6.2 Metode Kuesioner
Kuesioner adalah sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh
responden (Daryanto, 2007:30). Pengisian kuesioner dilakukan sebelum dan
setelah tindakan untuk menggali informasi mengenai hasil dan proses
pembelajaran tata bahasa Jepang dasar. Kuesioner menggunakan empat alternatif
jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), cukup setuju (CS), tidak setuju (TS),
dan sangat tidak setuju (STS).
3.6.3 Metode Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mendokumentasikan proses pembelajaran
di kelas sehingga bermanfaat sebagai sarana pendukung untuk memahami
masalah yang diteliti. Di samping itu sekaligus untuk melihat hasil belajar
mahasiswa.
54
3.6.4 Metode Tes
Metode tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tata bahasa
Jepang dasar (shokyou bunpo) yang bersumber dari buku Minna noNihongo I dan
II. Metode tes ini dapat mengukur penguasaan dan kemampuan tata bahasa
Jepang dasar mahasiswa semester III Sastra Jepang setelah selama waktu tertentu
menerima proses pembelajaran (Sukardi, 2008). Jenis tes yang digunakan adalah
tes objektif (pilihan ganda). Jumlah soal lima puluh, terdiri dari sepuluh soal
untuk mengukur kemampuan pemakaian partikel, lima belas soal mengukur
kemampuan pola atau struktur kalimat, sepuluh soal mengukur kemampuan unsur
predikat, dan lima belas soal lagi mengukur kemampuan makna kalimat bahasa
Jepang. Tes tersebut digunakan sebagai berikut .
Tes awal (pretes), yaitu tes yang diberikan sebelum pembelajaran dimulai
dengan menerapkan metode CTL. Tes awal bertujuan untuk mengetahui sampai di
mana penguasaan mahasiswa terhadap bahan pengajaran yang akan diajarkan. Tes
lainnya adalah tes akhir (postes), yaitu tes yang diberikan pada akhir program
pembelajaran setelah menerapkan metode CTL. Tujuan postes, yaitu untuk
mengetahui sampai di mana pencapaian mahasiswa terhadap bahan pengajaran
setelah mengalami suatu kegiatan pembelajaran.(Purwanto, 2006).
Adapun tes yang digunakan adalah tes standar yang sudah dikonsultasikan
kepada pembimbing. Oleh karena itu, dihanggap telah memenuhi syarat-syarat
sebagai alat evaluasi.
55
3.7 Metode dan Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dilakukan untuk mengelompokkan data (Mahsun,
2005:253). Pada tahap ini dilaksanakan langkah-langkah mengelompokkan data,
mengabstraksikan, memfokuskan, menyeleksi data secara sistematis dan rasional
sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu, juga mendeskripsikan data hasil
penelitian dengan menggunakan tabel sebagai alat bantu untuk memudahkan
dalam menginterpretasi. Data hasil penelitian tersebut diinterpretasi (pengambilan
makna) dalam bentuk naratif (uraian) dan disimpulkan. Data kuantitatif dan data
kualiatif yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan metode deskriptif
kuantitatif.
Data kualitatif yang diperoleh sebelum dan sesudah diberikan tindakan
dianalisis secara deskriptif. Analisis data kualitatif bersifat induktif dan
berkelanjutan (Sarwono, 2006:261).
Data kuantitatif yang diperoleh melalui pretes dan postes dianalisis dengan
menggunakan statistik, dalam arti sempit yaitu diartikan sebagai data., sedangkan
dalam arti luas diartikan sebagai alat, yaitu alat untuk menganalisis dan membuat
keputusan. Hal ini berguna untuk mengolah data yang diperoleh selama penelitian
berlangsung (Sugiyono, 2006:12).
Dalam penelitian ini digunakan statistik komparasional yang menganalisis
hasil pretes dan postes dengan analisis statistik Uji-t. Tujuannya agar dapat
diketahui kemampuan awal mahasiswa. Di samping itu, juga untuk mengetahui
hasil belajar mahasiswa sesudah melalui proses metode kontekstual.
56
Data kuantitatif yang diperoleh melalui pretes dan postes pada siklus I dan
siklus II dianalisis melalui beberapa tahapan sebagai berikut.
1) Menentukan kriteria penilaian dan selanjutnya menabulasi frekuensi
pilihan jawaban yang diberikan oleh mahasiswa. Segala bentuk jawaban
yang diberikan oleh mahasiswa disajikan dalam bentuk tabel untuk
memudahkan proses identifikasi.
2) Dari hasil tabulasi data dihitung persentase tiap-tiap alternatife pilihan
jawaban sesuai dengan ranahnya.
3) Penarikan simpulan dari tiap-tiap data yang diperoleh sesuai dengan
fenomena yang diteliti berdasarkan besar kecilnya persentase tersebut.
Pada teknik kuantitatif setiap mahasiswa, hasil kuantitatif setiap
mahasiswa tersebut dikoreksi dan diberikan nilai. Aspek penilaian
didasarkan kemampuan mahasiswa menjawab atau mengisi lembar
jawaban tentang pemakaian partikel, pola kalimat, unsur predikat, dan
makna/fungsi kalimat. Semakin banyak mahasiswa mengisi lembaran
jawaban yang benar, maka semakin tinggi nilai yang diperoleh. Kriteria
acuan penilaian yang digunakan dalam peningkatan kemampuan tata
bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) mahasiswa pada penilaian ini
menggunakan rubrik penilaian dari Brown (2007). Rubrik penilaian
adalah sebagai berikut.
57
Tabel 3.2
Rubrik Penilaian Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Mahasiswa
No Indikator Skor Penjelasan
1 Pemakaian
Partikel Bahasa
Jepang.
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Apabila mahasiswa menjawab
benar sepuluh (semua) soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar sembilan soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar delapan soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar tujuh soal
Apabila mahasiswa menjawab
benar enam soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar lima soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar empat soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar tiga soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar dua soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar satu soal.
Apabila mahasiswa menjawab
salah kesepuluh soal.
2 Pola kalimat
bahasa Jepang
30
28
26
Apabila mahasiswa menjawab
betul lima belas (semua) soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul empat belas soal.
Apabila mahasiswa menjawab
58
24
22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
betul tiga belas soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul dua belas soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul sebelas soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul sepuluh soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul sembilan soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul delapan soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul tujuh soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul enam soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul lima soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul empat soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul tiga soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul dua soal
Apabila mahasiswa menjawab
betul satu soal
Apabila mahasiswa menjawab
salah semua soal
59
3 Unsur Predikat
Kalimat Bahasa
Jepang
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Apabila mahasiswa menjawab
betul semua (sepuluh) soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul sembilan soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul delapan soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar tujuh soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar enam soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar lima soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar empat soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar tiga soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar dua soal.
Apabila mahasiswa menjawab
benar satu soal.
Apabila mahasiswa menjawab
salah kesepuluh soal.
4 Makna/Fungsi
Kalimat Bahasa
Jepang.
30
28
26
24
22
Apabila mahasiswa menjawab
betul lima belas (semua) soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul empat belas soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul tiga belas soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul dua belas soal.
Apabila mahasiswa menjawab
60
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
betul sebelas soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul sepuluh soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul sembilan soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul delapan soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul tujuh soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul enam soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul lima soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul empat soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul tiga soal.
Apabila mahasiswa menjawab
betul dua soal
Apabila mahasiswa menjawab
betul satu soal
Apabila mahasiswa menjawab
salah semua soal
Setelah itu keseluruhan nilai direkapitulasi untuk dihitung nilai rata-rata.
Untuk peningkatan kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa digunakan
analisis data Nurgyantoro (2010:139). Adapun rumus analisis data tersebut, yakni
seperti di bawah ini.
61
1) Total skor tiap mahasiswa
S = R
Keterangan :
S = skor.
R = rigth, jumlah jawaban yang benar
2) Tingkat Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar dalam persentase
L = Total skor mahasiswa X 100%
Skor maksimum
Keterangan:
L = tingkat kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa dalam persentase.
3) Menentukan mean skor
X = ∑X
N
Keterangan :
X = Mean skor mahasiswa
∑X = Jumlah skor seluruh mahasiswa
N = Jumlah mahasiswa
Fungsi mean skor mahasiswa adalah untuk mengetahui apakah penelitian
yang dilakukan berlanjut atau tidak. Penelitian akan diselesaikan apabila mean
skor mahasiswa sudah mencapai ≥ 70 atau ≥ 70 %, yaitu dalam kategori bobot B
(baik).
62
Keseluruhan data diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori dalam
standar evaluasi penilaian seperti terlihat dalam tabel berikut.
Tabel 3.3
Kategori Tingkat Kemampuan Mahasiswa
No Skor (%) Tingkat Kemampuan
1 85 --100% Sangat Baik, nilai A
2 70 -- 84% Baik, nilai B
3 55 -- 69% Cukup, nilai C
4 45 -- 54% Kurang, nilai D
5 0 -- 44% Sangat Kurang, nilai E
Sumber: Buku Pedoman Kegiatan Akademik STIBA Saraswati Denpasar
(2013:18)
Analisis data kualitatif adalah analisis data nontes. Data nontes tersebut
meliputi data pengamatan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran dengan
metode CTL untuk meningkatkan kemampuan tata bahasa Jepang dasar
mahasiswa, data hasil wawancara kepada mahasiswa dalam pembelajaran tata
bahasa Jepang dasar dengan metode CTL, data analisis naratif hasil tes mahasiswa,
dan data respons mahasiswa terhadap perangkat pembelajaran tata bahasa Jepang
dasar dengan metode CTL.
Data-data tersebut dianalisis untuk mengetahui perubahan-perubahan yang
terjadi pada sikap, perilaku, dan kemampuan mahasiswa STIBA Saraswati
Denpasar terhadap pembelajaran tata bahasa Jepang dasar setelah diberikan
treatment pada siklus I dan siklus II. Adapun formula yang digunakan untuk
menganlisis data kualitatif adalah dengan teknik Skala Likert. Menurut Sugiyono,
jawaban setiap instrumen dengan menggunakan Skala Likert ini mempunyai
gradasi dari sangat positif hingga sangat negatif.
63
Jawaban diberikan skor seperti berikut.
Sangat Setuju / Suka (SS), nilai 5
Setuju/ Suka (S), nilai 4.
Cukup Setuju/Suka (CS), nilai 3.
Tidak Setuju (TS), nilai 2.
Sangat Tidak Setuju (STS), nilai 1.
Kategori SS, S, dan CS dikelompokkan penilaian setuju/suka.
Kategori TS dan STS dikelompokkan penilaian tidak setuju/suka.
Analisis hasil kuesioner respons mahasiswa dilakukan dengan rumus berikut.
Rumus = T x Pn
Keterangan:
T= total jumlah panelis yang memilih.
Pn = pilihan angka Skor Likert. (Sugiyono, 2012:93).
Skor tertinggi (X) adalah 5 x N (jumlah peserta).
Skor terendah (Y) adalah 1 x N (jumlah peserta).
Rumus Indeks = Total Skor X 100
Skor Tertinggi
Rumus Interval (I) = 100
Jml Skor
100 = 20
5
Interval penilaian:
0% -- 19.99% = STS
20% -- 39.99% = TS
64
40% -- 59.99% = CS
60 % -- 79.99% = S
80% -- 100% = SS
3.8 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data dapat disajikan secara formal, informal, atau gabungan
cara formal dan informal. Penyajian hasil analisis data secara formal meliputi
bagan, grafik dan lain-lain, sedangkan penyajian hasil analisis secara informal
adalah dengan penjelasan deskriptif (naratif). Pada penelitian ini digunakan teknik
penyajian hasil analisis data gabungan, yakni antara cara formal dan informal.
Cara formal berupa tabel, gambar, dan grafik, sedangkan cara informal berupa
penjelasan deskriptif (naratif).
65
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab IV ini dijelaskan hasil penelitian yang berfokus pada analisis
hasil pembelajran tata bahasa Jepang dasar ( shoukyu bunpo ) mahasiswa semester
III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar yang mencakup data kuantitatif dan
kualitatif. Hasil data kuantitatif diperoleh dari hasil belajar tata bahasa Jepang
dasar yang berupa nilai individu dan nilai rata-rata mahasiswa. Nilai-nilai tersebut
diperoleh dari hasil tes awal mahasiswa, tes akhir siklus I, dan tes akhir siklus II.
Hasil tes tersebut dibandingkan untuk mengetahui peningkatan kemampuan
penguasaan tata bahasa Jepang dasar sebelum dan sesudah penerapan metode
kontekstual (CTL) dalam proses pembelajaran tata bahasa Jepang dasar.
Hasil data kualitatif diperoleh dari hasil analisis tes dalam bentuk naratif,
kuesioner, wawancara. Di samping itu, juga diperoleh dari pengamatan
keterlaksanaan pembelajaran di dalam kelas tahap demi tahap.
4.1 Pengamatan Pembelajaran Tata Bahasa Jepang Dasar
Sebelum dilakukan tindakan penelitian, diadakan observasi ke kelas
selama kurang lebih dua minggu. Selama observasi diamati proses pembelajaran
yang didominasi oleh dosen dengan metode ceramah, artinya proses pembelajaran
lebih berpusat pada dosen (teacher center). Mahasiswa cenderung bersifat pasif,
sepertinya mahasiswa hanya menerima pengetahuan dari dosen.
Mahasiswa semester III Sastra Jepang berjumlah 37 orang terdiri atas 12
orang laki-laki dan 25 orang perempuan. Seluruh mahasiswa dijadikan sampel
65
66
penelitian. Jadwal perkuliahan tata bahasa Jepang dasar setiap Rabu dan Jumat,
pukul 18.30 WITA sampai dengan 20.10 WITA.
Pada saat dilakukan observasi dijelaskan pelajaran 33 ( daika 33 Minna
no Nihongo II ) oleh dosen. Ketika dosen menjelaskan materi , mahasiswaa tertib
mengikuti perkuliahan. Selesai menjelaskan materi perkuliahan dosen
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya. Pada saat diberikan
kesempatan tanya jawab tidak ada mahasiswa yang bertanya. Oleh karena itu,
dosen menyuruh mahasiswa untuk mengerjakan latihan-latihan soal pada buku
Minna no Nihongo II yang baru selesai dijelaskan. Ketika jam perkuliahan
berakhir dosen memberikan tugas kepada mahasiswa untuk dikerjakan di rumah.
Hari berikutnya ketika perkuliahan dimulai, dosen mendiskusikan tugas
yang diberikan pada pertemuan sebelumnya. Sebagian besar mahasiswa belum
mengerti mengerjakan tugas yang diberikan sehingga dosen mengulangi lagi
membahas tugas yang diberikan.
4.2 Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Mahasiswa Sebelum Penerapan
Metode Kontekstual
Sebelum menerapkan metode CTL peneliti melaksanakan tes awal untuk
mengetahui tingkat kemampuan tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa
semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar. Tes awal terdiri atas empat
indicator, yakni (1) mengukur kemampuan mahasiswa menggunakan partikel, (2)
pola atau struktur kalimat, (3) unsur-unsur predikat, dan (4) makna atau fungsi
kalimat dalam bahasa Jepang dasar, yang bersumber dari buku Minna no
Nihongo II.
67
Soal tes awal terdiri atas lima puluh item dengan perincian sepuluh soal
mengukur kemampuan mahasiswa mengenai pemakaian partikel, lima belas soal
mengukur kemampuan mahasiswa dalam bidang pola atau struktur kalimat,
sepuluh soal mengukur kemampuan mahasiswa tentang pemahaman unsur-unsur
predikat, dan lima belas soal lagi untuk mengukur kemampuan mahasiswa
mengenai makna atau fungsi kalimat tata bahasa Jepang dasar. Skor tiap soal bila
betul adalah dua , sehingga skor maksimal adalah seratus .
Pada bagian soal nomor 1 sampai dengan nomor 10 mahasiswa memilih
kata bantu atau partikel yang betul di antara kata-kata yang terdapat pada kalimat
sehingga menjadi kalimat yang benar. Pemakaian partikel dalam bahasa Jepang
sangat penting artinya. Kesalahan penggunaan kata partikel pada sebuah kalimat
akan menyebabkan kesalahan makna dalam kalimat bersangkutan. Pada soal
nomor 11 sampai dengan nomor 25 mahasiswa memilih pola atau struktur kalimat
bahasa Jepang yang benar sesuai dengan gramatika atau tata bahasa Jepang. Pada
soal nomor 26 sampai dengan nomor 35 mahasiswa memilih unsur-unsur predikat
kalimat yang benar, dan pada soal nomor 36 sampai dengan nomor 50 mahasiswa
memilih jawaban yang benar sesuai dengan konjugasi kalimat bersangkutan
sehingga makna kalimat menjadi benar menurut kaidah-kaidah bahasa Jepang.
Jenis tes yang digunakan pada tes awal, tes akhir siklus I, dan tes akhir siklus II
adalah sama dengan maksud untuk mengetahui tingkat perubahan hasil belajar
sebelum dan setelah menggunakan metode CTL.
Hasil tes awal menunjukkan nilai yang bervariasi. Nilai-nilai tes awal dari
37 mahasiswa ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai berikut .
68
Tabel 4.1 Data Skor Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Mahasiswa
Semester III Sastra Jepang pada Tes Awal
No.
Mhs
Skor Jawaban Tes yang Benar Total
Skor
% Kategori
Skor Penggunaan
Partikel
Pola
Kalimat
Unsur-
unsur
Predikat
Makna/Fungsi
Kalimat
01 12 16 12 12 58 58% C
02 10 12 8 14 44 44% D
03 14 20 14 20 70 70% B
04 10 14 10 12 46 46% D
05 8 14 10 16 58 58% C
06 10 12 10 14 48 48% D
07 6 10 8 10 34 34% E
08 12 18 10 18 58 58% C
09 6 14 10 12 42 42% D
10 6 10 12 14 40 40% D
11 12 18 8 20 58 58% C
12 16 18 16 20 70 70% B
13 8 10 10 14 42 42% D
14 12 12 14 20 58 58% C
15 12 14 10 20 56 56% C
16 12 16 10 18 56 56% C
17 14 14 12 18 58 58% C
18 8 12 12 12 44 44% D
19 16 18 16 20 70 70% B
20 8 10 10 14 42 42% D
21 12 14 16 18 56 56% C
22 14 16 12 18 62 62% C
23 10 14 14 20 56 56% C
24 10 12 10 16 46 46% D
25 12 14 12 18 56 56% C
26 14 20 18 20 72 72% B
27 12 14 12 12 56 56% C
28 8 12 8 14 42 42% D
29 8 10 8 12 38 38% E
30 8 10 10 16 44 44% D
31 12 12 14 18 56 56% C
32 10 16 8 16 46 46% D
33 12 10 8 16 46 46% D
34 12 16 16 18 60 60% C
35 10 12 14 20 56 56% C
36 12 10 10 16 48 48% D
37 10 14 14 20 58 58% C
Total 394 488
422 608 1.912
69
Berdasarkan data tabel 4.1 di atas dapat disampaikan bahwa total skor
kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III pada tes awal
sebelum penerapan metode kontekstual adalah 1.912. Nilai rata – rata mahasiswa
yang diperoleh pada tindakan tes awal dihitung dengan cara total skor dibagi
jumlah mahasiswa . Sehingga skor rata – ratanya adalah 1.912 : 37 = 51, termasuk
kategori nilai kurang (D). Keempat indikator yang dites, yakni skor pemakaian
partikel diperoleh dengan cara total skor dibagi skor maksimum dikalikan seratus
persen, sehingga skornya adalah 394 : 740 x 100% = 53 %. Skor mengenai pola
kalimat bahasa Jepang adalah 488 : 1.110 x 100 = 43 %. Skor mengenai unsur
predikat adalah 422: 740 x 100% = 57 % dan skor tentang makna kalimat adalah
608 : 1.110 x 100% = 54%. Semua indikator yang dites memperoleh skor kurang.
Adapun sebaran nilai yang dicapai oleh mahasiswa semester III pada tindakan tes
awal yakni tidak ada mahasiswa yang memperoleh nilai A, 3 orang mahasiswa
yang mendapat nilai B, 17 orang mahasiswa mendapat nilai C, 14 orang
mahasiswa mendapat nilai D, bahkan 2 orang mahasiswa mendapat nilai E. Untuk
lebih detailnya dapat disampaikan pada analisis data kuantitatif dan analisis data
kualitatif berikut.
4.2.1 Analisis Data Kuantitatif Sebelum Penerapan Metode Konstektual
Berdasarkan data pada tabel 4.1 di atas, dapat dihitung nilai setiap
mahasiswa, nilai mahasiswa dalam bentuk persentase, nilai rata-rata kemampuan
tata bahasa Jepang dasar mahasiswa dalam presentase, dan mean score pada tes
awal dengan menggunakan rumus berikut.
70
1) Untuk mencari tingkat kemampuan tata bahasa Jepang dasar tiap mahasiswa
digunakan rumus berikut.
S = R
S = skor/nilai
R = right/total jawaban yang betul. (Nurgiyantoro, 2010:139 ).
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor mahasiswa nomor urut 1 adalah 58,
demikian seterusnya sampai dengan nomor urut mahasiswa terakhir.
2) Untuk mencari tingkat kemampuan tata bahasa Jepang dasar tiap mahasiswa
dalam persentase digunakan rumus berikut.
L = total skor setiap mahasiswa X 100%
Skor maksimum
L = 58 X 100% = 58%
100
Skor mahasiswa nomor urut 1 dalam bentuk persentase adalah 58%.
3) Untuk mencari nilai rata-rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa
menggunakan rumus berikut.
X = total skor mahasiswa X 100%
Jumlah mahasiswa
= 1.912 X 100% = 51 %
37
Jadi, nilai rata-rata mahasiswa dalam penguasaan tata bahasa Jepang dasar pada
tes awal pada penerapan metode kontekstual dalam proses pembelajaran bahasa
71
Jepang adalah 51%. Artinya, hasil pembelajaran mencapai skor 51 dan termasuk
kategori D ( kurang ).
4) Berdasarkan hasil tes awal tabel di atas dan nilai rata – rata kemampuan tata
bahasa Jepang dasar tersebut, maka dapat dicari mean score tes awal dengan
digunakan rumus berikut.
X = ∑X
N
Mean score = 1.912
37
= 51
X = Mean score.
∑X = jumlah skor seluruh mahasiswa.
N = jumlah mahasiswa.
Jadi, mean score tes awal adalah 51 termasuk kategori kurang, artinya diperlukan
tindakan siklus I.
Nilai rata-rata mahasiswa dalam kemampuan tata bahasa Jepang dasar pada tes
awal yang dilakukan sebelum penterapan metode CTL dalam proses pembelajaran
tata bahasa Jepang dasar adalah 51. Artinya, kemampuan tata bahasa Jepang
dasar bagi mahasiswa semester III STIBA Saraswati Denpasar masih kurang atau
kategori skor D.
4.2.2 Analisis Data Kualitatif Sebelum Penerapan Metode Konstektual (CTL)
Kemampuan penguasaan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa dilihat dari
nilai rata-rata tes awal ini termasuk kategori nilai kurang. Adapun sebaran skor
72
yang diperoleh mahasiswa berdasarkan tabel di atas ternyata tidak ada mahasiswa
yang memperoleh nilai A, empat orang mahasiswa dari tiga puluh tujuh
mahasiswa mendapatkan nilai B, tujuh belas orang memperoleh nilai C, pada tes
awal ada empat belas orang mendapat nilai D, bahkan ada dua orang memperoleh
nilai E. Dari tiga puluh tujuh orang jumlah mahasiswa, dua puluh satu orang
memenuhi syarat untuk lulus, sisanya lagi enam belas orang nilai mereka
tergolong kategori tidak lulus. Dari keempat indikator tes yang dikerjakan hampir
seluruh mahasiswa mengalami kesulitan dalam penguasaan unsur tata bahasa
Jepang dasar.
Hasil analisis tes tentang kemampuan penggunaan partikel bahasa Jepang
memperoleh tingkat skor 53%. Artinya, hanya sebagian dari tiga puluh tujuh
orang mahasiswa yang mengerti pemakaian partikel bahasa Jepang.
Berdasarkan pengamatan hasil tes diadakan wawancara kepada lima orang
mahasiswa yang memperoleh nilai penggunaan partikel terendah yakni: Aldi san,
Chyntia san, Degus san, Supari san, dan Astuti san. Kelima mahasiswa
bersangkutan wawancarai sekilas sesudah selesai pelaksanaan tes awal atau
sebelum menerapkan metode CTL. Mereka mengalami banyak kesulitan pada
penggunaan pertikel de/で、ni/に、wo/ を dalam kalimat bahasa Jepang. Partikel
tersebut bisa mempunyai arti yang sama, yakni “di”, tetapi dapat pula mempunyai
arti yang berbeda bergantung pada konteks kalimat atau kata kerja yang
menyertainya.
Misalnya, Restaurant で ごはん を たべます.
Restaurant de gohan o tabemasu.
Tempat part nasi part makan.
„Makan nasi di restoran‟.
73
Pada pola kalimat ini partikel de/で berarti “di”, menunjukkan tempat melakukan
kegiatan. Kalimat tersebut akan berbeda dengan kalimat berikut,
タクシー で Kuta へ いきます.
Takusi de Kuta e ikimasu.
Taksi part tempat part pergi.
„Pergi ke Kuta dengan (naik) taksi‟.
Pada pola kalimat ini partikel de/ で menunjukkan “alat transportasi” yang
digunakan.
Begitu pula partikel ni/に misalnya,
Kuta に bom が ありました.
Kuta ni bom ga arimashita.
Tempat part bom part ada.
„Ada bom di Kuta‟.
Pada pola kalimat ini partikel ni/に berarti “di”, menunjukkan keberadaan suatu
“benda atau kejadian”. Kalimat ini akan berbeda artinya pada kalimat berikut,
せんせい に ききます.
Sensei ni kikimasu.
Guru part bertanya.
„Bertanya kepada guru‟.
Pada pola kalimat ini partakel ni/に tidak berarti “di”, tetapi berarti “kepada” atau
sasaran yang dituju. Masih banyak lagi perbedaan arti partikel de/で dan ni/に
pada pola kalimat bahasa Jepang lainnya.
Penggunaan partikel o/を pada sebuah kalimat bahasa Jepang berbeda lagi.
Misalnya、
私 は はし を わたる.
Watashi wa hashi o wataru.
Saya part jembatan part menyeberang.
„Saya menyeberang di jembatan‟.
74
Pola kalimat seperti ini tidak boleh memakai partikel de/で atau ni/に , walaupun
sama-sama berarti “di”. Dalam hal ini menurut gramatika bahasa Jepang partikel
yang harus digunakan pada jenis kata kerja gerak perpindahan seperti contoh
kalimat tersebut adalah partikel o/を yang juga berarti “di”. Sedangkan partake
o/ を pada contoh kalimat berikut.
私 は ごはん を たべます.
Watashi wa gohan o tabemasu.
Saya part nasi part makan.
„Saya makan nasi‟.
Partikel o/を pada kalimat ini tidak berarti “di”, tetapi menunjukkan objek sebuah
kalimat. Hasil analisis tes awal dan pengamatan bersama observer pendamping
menunjukkan bahwa kebanyakan mahasiswa salah mengerjakan atau
menggunakan jenis partikel tersebut. Di samping itu, menurut mereka yang paling
membingungkan adalah penggunaan partikel o/ を ketika berfungsi untuk
menyatakan tempat yang berarti “di”. Misalnya:
とり が そら を とんでいます.
Tori ga sora o tonde imasu.
burung part langit part terbang.
„Burung terbang di langit‟.
Hampir sebagian besar mahasiswa kurang mengerti pemakaian partikel o/
を pada pola kalimat ini. Oleh karena itu, pada pembelajaran berikutnya peneliti
akan lebih ditekankan pada hal-hal tersebut.
Total skor persentase hasil analisis tes tentang pola atau struktur kalimat
bahasa Jepang adalah 43%. Artinya hanya empat belas orang dari tiga puluh tujuh
orang mahasiswa yang memahami pola kalimat bahasa Jepang . Skor pemahaman
75
mahasiswa mengenai struktur kalimat bahasa Jepang paling rendah dibandingkan
dengan nilai indikator lainnya. Hanya tiga orang dari tiga puluh tujuh mahasiswa
yang memperoleh skor delapan belas dari yang seharusnya skor tertinggi, yaitu
tiga puluh. Skor mahasiswa lainnya yang terdapat pada tabel analisis sangat
kurang dari nilai rata-rata. Hampir setengah dari jumlah mahasiswa hanya
mampu mengerjakan lima soal dari lima belas soal.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara singkat kepada lima orang
mahasiswa yang bernama Aldi san, Degus san, Supari san, Lilik san dan Astuti
san sebagai perwakilan karena keterbatasan waktu, diketahui bahwa mereka
mengakui masih bingung mengenai pola kalimat bahasa Jepang. Menurut mereka,
pola atau struktur kalimat bahasa Jepang kacau. Mereka tidak mengerti menyusun
unsur-unsur, terutama predikat dan keterangan. Kesulitan lainnya adalah
kemampuan kosakata dan huruf Jepang masih terbatas. Bagi pemula belajar
bahasa Jepang hal seperti ini dapat dimaklumi karena mahasiswa masih
terpengaruh oleh bahasa ibu yang dipelajari sejak semula. Struktur kalimat bahasa
Jepang memang berbeda jauh dengan bahasa Indonesia yang sudah dipelajari
sejak mengenal bahasa.
Pola kalimat bahasa Jepang adalah subjek-keterangan-objek-predikat
(SKOP) berbeda dengan struktur bahasa Indonesia subjek-predikat-objek-
keterangan (SPOK) . Mahasiswa sering salah menempatkan predikat. Predikat
bahasa Jepang terletak di akhir kalimat.
Contoh: Kuta で おちゃ を のみます.
Kuta de ocha o nomimasu.
Tempat part teh part minum.
„ Minum teh di Kuta‟.
76
Kata nomimasu adalah predikat yang berarti “minum” dan terletak di
akhir kalimat. Penggunaan kata keterangan pada bahasa Jepang boleh sebelum
subjek atau boleh juga setelah subjek. Dalam percakapan bila subjek sudah jelas
boleh tidak disebutkan. Hampir sebagian besar mahasiswa belum mengerti
struktur atau pola kalimat bahasa Jepang. Hal ini bisa dibuktikan dari skor rata-
rata mahasiswa hanya mencapai 43%. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran
berikutnya peneliti lebih menekankan pemahaman mengenai pola kalimat bahasa
Jepang.
Total skor hasil analisis tes mengenai unsur-unsur kalimat bahasa Jepang
dalam bentuk persentase adalah 57 %. Artinya, baru sebagian dari tiga puluh
tujuh orang mahasiswa yang mengerti tentang unsur-unsur kalimat bahasa Jepang.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara kepada empat orang mahasiswa
sebagai perwakilan yaitu Agus san, Aldi san, Dwi san dan Jati san, diketahui
bahwa mahasiswa bersangkutan mengalami kesulitan membaca dan menulis huruf
Jepang, kemampuan kosakata mereka terbatas. Di samping itu, mereka memiliki
pemahaman bahwa predikat sebuah kalimat hanya terdiri atas kata kerja. Padahal,
predikat pada kalimat boleh kata kerja, kata benda, atau kata sifat.
Contoh : わたし は Kuta で およぎます.
Watashi wa Kuta de oyogimashita.
saya part tempat part berenang.
„Saya berenang di Kuta‟.
Kata およぎます(oyogimashita)pada kalimat ini adalah kata kerja yang
berfungsi sebagai predikat, artinya “berenang”. Perhatikan contoh kalimat
berikut.
77
よしださん は にほんじん です .
Yoshida san wa nihonjin desu.
Nama part orang Jepang kopula
„Ibu Yosidha orang Jepang‟.
Kata にほんじん (nihonjin ) pada kalimat ini adalah jenis kata benda yang
berfungsi sebagai predikat, artinya ”orang Jepang”.
Contoh berikut adalah
Kuta かいがん は とても きれい です .
Kuta kaigan wa totemo kirei desu.
tempat pantai part sangat indah. kopula
„Pantai Kuta sangat indah‟.
Kata とてもきれい( totemo kirei ) adalah kata sifat yang berfungsi sebagai
predikat kalimat, artinya “sangat indah”.
Total skor hasil analisis tes terakhir tentang makna atau fungsi kalimat
bahasa Jepang total skornya dalam bentuk persentase adalah 54%. Artinya, baru
setengah dari tiga puluh tujuh mahasiswa yang mengerti makna atau fungsi
kalimat bahasa Jepang. Dari hasil pengamatan dan wawancara kepada lima orang
mahasiswa denga nilai terendah yaitu Arda san, Chintya san, Kompyang san,
Astuti san, dan Supari san, diketahui bahwa mereka kurang mengerti golongan
dan konjugasi kata kerja bahasa Jepang sesuai dengan makna kalimat,
terutamanya bentuk te, antara satu t dan dua t dan antara nde dengan ide.
Misalnya, tabete artinya “makan” dan wakatte artinya “mengerti”. Demikian juga
nonde artinya “minum” dan oyoide artinya “berenang”. Hasil wawancara singkat
itu sangat bermanfaat bagi peneliti dalam memilah dan menekankan materi
pembelajaran berikutnya.
78
Mengingat hampir pada semua indikator tes mahasiswa mengalami
kesulitan dalam tata bahasa Jepang dasar, maka sebelum mengawali
pembelajaran siklus I dengan metode CTL dicoba diklasifikasikan kesulitan –
kesulitan mahasiswa berdasarkan hasil tes dan wawancara. Untuk sementara
dapat disimpulkan bahwa sebagian besar mahasiswa memang belum mengerti
atau masih bingung mengenai tata bahasa Jepang dasar, khususnya tentang pola
kalimat dan makna atau fungsi kalimat bahasa Jepang. Mahasiswa masih terbiasa
dengan pola bahasa Indonesia yang pertama dipahami. Banyak mahasiswa yang
belum paham tentang konjugasi atau perubahan kata kerja. Kata kerja bahasa
Jepang akan mengalami perubahan bentuk sesuai dengan makna kalimat.
Berdasarkan hasil analisis data kuantitatif dan kualitatif di atas diketahui
bahwa hasil pembelajaran mahasiswa termasuk kategori kurang. Sehingga perlu
ditingkatkan. Salah satu cara yang dilakukan untuk memperbaiki hasil belajar
mahasiswa adalah berusaha mengganti metode yang digunakan oleh dosen, yakni
dari metode ceramah yang berpusat pada dosen (teacher center) ke metode
kontekstual (CTL) yang berpusat pada mahasiswa (student center).
4.3 Penerapan Metode Kontekstual dalam Upaya Peningkatan Kemampuan
Tata Bahasa Jepang Dasar Mahasiswa Semester III STIBA Saraswati
Denpasar
Dalam usaha meningkatkan kemampuan penguasaan tata bahasa Jepang
dasar bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar,
Diterapkan metode kontekstual yang terdiri dari tujuh komponen dalam proses
pembelajaran di dalam kelas. Ketujuh komponen dimaksud adalah (1)
79
konstruktivisme, (2) menemukan,, (3) bertanya, (4) masyarakat belajar, (5)
pemodelan, (6) refleksi, dan (7) penilaian.
4.3.1 Penelitian Tindakan Kelas Siklus I
Tindakan kelas siklus I dilaksanakan mulai Rabu, 19 November 2014
sampai dengan Rabu, 3 Desember 2014 dengan alokasi waktu dua jam setiap
pertemuan (18.30--20.10 Wita). Materi pokok perkuliahan adalah tata bahasa
Jepang dasar dengan penerapan metode kontekstual. Subjek penelitian ini adalah
37 orang mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar.
Tindakan siklus I terdiri atas empat langkah kegiatan, yakni (1) perencanaan,
tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi, dan (4) refleksi tindakan
(Arikunto, 2010:16) Tiap-tiap langkah kegiatan dimaksud dijabarkan sebagai
berikut.
4.3.1.1 Perencanaan Tindakan Siklus I
Tindakan ini merupakan langkah awal sebelum dilaksanakan tindakan,
yaitu mempersiapkan berbagai alat kelengkapan yang diperlukan terkait dengan
rencana pelaksanaan tindakan. Alat kelengkapan yang dimaksud, antara lain
satuan acara perkuliahan (SAP), materi perkuliahan, alat pengajaran, lembar kerja
mahasiswa, lembaran observasi, tes penilaian proses belajar sehingga proses dapat
pembelajaran berlangsung sesuai dengan yang dharapkan. Setelah alat
kelengkapan yang diperlukan siap, kemudian dilaksanakan tindakan. Pada
penelitian ini peneliti dibantu oleh seorang dosen sebagai observer pendamping
sekaligus sebagai penilai.
80
4.3.1.2 Pelaksanaan Tindakan Siklus I
Pelaksanaan tindakan ini meliputi tiga kegiatan, yaitu (1) kegiatan awal,
(2) kegiatan inti, dan (3) kegiatan akhir. Ketiga langkah kegiatan tersebut
diuaraikan di bawah ini.
1) Kegiatan awal
Sebelum perkuliahan dimulai dilakukan hal-hal sebagai berikut.
a) Peneliti membuka perkuliahan yang diawali dengan mengucapkan
salam dan dilanjutkan presensi kehadiran mahasiswa (ada seorang
mahasiswa tidak hadir karena sakit)
b) Peneliti menyampaikan pokok bahasan tata bahasa Jepang dasar
dengan penterapan CTL dan menyampaikan kompetensi dasar yang
dibahas, yang akan dipresentasikan oleh tiap-tiap kelompok mahasiswa.
c) Peneliti membagi mahasiswa menjadi tujuh kelompok belajar dan
masing-masing terdiri atas lima orang sampai dengan enam orang
mahasiswa sebagai wadah masyarakat belajar.
d) Peneliti mempersilakan mahasiswa untuk memilih koordinator
kelompok yang nantinya juga akan bertugas mempresentasikan hasil
kerja kelompok.
2) Kegiatan Inti Tindakan Kelas Siklus I
Kegiatan ini merupakan inti dari pelaksanaan tindakan proses pembelajaran
tata bahasa Jepang dasar dengan metode CTL. Kegiatan dimaksud dapat
dideskripsikan seperti di bawah ini:
81
a) Peneliti menjelaskan secara singkat bahan ajar tentang tata bahasa
Jepang dasar yang terdiri atas penggunaan partikel pada kalimat, pola
kalimat, unsur-unsur kalimat, dan makna kalimat dalam bahasa Jepang
dengan metode CTL. Pada pertemuan pertama yang dipelajari adalah
penggunaan partikel dan pola kalimat bahasa Jepang. Pada pertemuan
berikutnya dibahas tentang unsur-unsur dan makna kalimat dalam
bahasa Jepang. Peneliti memberikan contoh pembelajaran yang
ditayangkan melalui video visual atau media gambar yang
diilustrasikan sebagai konteks dengan lingkungan kehidupan daerah
wisata Kuta yang sudah tidak asing bagi mahasiswa. Mahasiswa
sangat serius memperhatikan penjelasan peneliti.
b) Setelah memberikan contoh mengenai topik bahan ajar yang dibahas
sehubungan dengan tata bahasa Jepang dasar peneliti dibantu oleh
observer membagikan lembar kerja atau tugas kepada setiap
mahasiswa untuk dikerjakan bersama anggota kelompoknya.
sesuai dengan petunjuk.
c) Peneliti memberikan kesempatan waktu empat puluh menit kepada
mahasiswa untuk melaksanakan pembelajaran dengan berdiskusi
bersama anggota kelompok tentang tata bahasa Jepang dasar dengan
pokok bahasan penggunaan partikel dan pola kalimat bahasa Jepang
sesuai dengan konsteks media gambar yang diamati. Mahasiswa
mengerjakan tugas ini dengan tertib, disiplin, mahasiswa aktif
82
berdiskusi, tanya jawab sehingga proses pembelajaran berlangsung
sesuai dengan diharapkan.
d) Selama mengerjakan tugas pembelajaran berlangsung peneliti
memberikan bimbingan kepada beberapa mahasiswa yang mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan tugas tersebut.
e) Peneliti yang dibantu oleh seorang observer pendamping melakukan
penilaian terhadap aktivitas pembelajaran mahasiswa tentang tata
bahasa Jepang dasar melalui pengamatan dengan menggunakan lembar
observasi penilaian yang telah dipersiapkan sebelumnya
f) Setelah menyelesaikan tugas sesuai dengan batas waktu yang
ditentukan, peneliti mengumumkan dan mempersilakan kelompok
yang akan presentasi. Setiap anggota kelompok wajib
mempresentasikan hasil pembelajaran kelompok dan sekaligus akan
dijadikan model dalam pembahasan materi yang disampaikan.
Pada pertemuan pertama kegiatan inti ini ada dua kelompok yang sudah
siap untuk presentasi, yakni kelompok 3 dan kelompok 5. Koordinator kelompok
3 adalah Eka san yang sekaligus mempresentasikan hasil pembelajaran
kelompoknya. Di pihak lain koordinator kelompok 5 Swary san juga
mempresentasikan hasil pembelajaran kelompok mereka. Pada tahapan ini hasil
presentasi kelompok mereka ada yang sudah benar dan ada pula yang salah
menurut kaidah gramatika bahasa Jepang. Kemudian didiskusikan lagi untuk
memperoleh hasil pembelajaran yang benar.
Hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar yang dipresentasikan oleh
83
kelompok 3 adalah sebagai berikut.
1) Kuta に わたし は およぎます
Kuta ni watashi wa oyogimasu
tempat part saya part berenang
„Saya berenang di Kuta‟.
2) よこさん は Kuta へ いきます タクシー です
Yokosan wa Kuta e ikimasu takusi desu
nama part tempat part pergi taksi kopula
„Yoko pergi ke Kuta naik taksi‟.
3) Kuta は きれい です にぎやか
Kuta wa kirei desu nigiyaka
tempat part indah kopula ramai
„Pantai Kuta indah dan ramai‟.
4) わたし は sunset みました Kuta に
Watashi wa sunset mimashita Kuta ni
saya part sunset melihat tempat part
„Saya melihat sunset di Kuta‟.
5) おきゃくさま は Kuta を あります
Okyakusama wa Kuta o arimasu
wisatawan part tempat part ada
„ Wisatawan banyak ada di Kuta‟.
Setelah selesai presentasi Ekasan menjelaskan materi pokok pembelajaran
mengenai penggunaan partikel dan pola kalimat bahasa Jepang. Pada kalimat
nomor 1 partikel yang digunakan adalah wa/は dan ni/に, partikel wa/は sebagai
petanda subjek dan partikel ni/に menunjukkan tempat yang berarti “di”. Predikat
kalimat ini adalah oyogimasu yang artinya “berenang”. Pola kalimat adalah
subjek = watashi, predikat = oyogimasu, keterangan tempat = kuta. Jadi, pola
kalimatnya S-K-P. Kalimat nomor 1 tidak mengandung unsur objek.
Pada kalimat nomor 2 terdapat partikel e/ へ yang berarti “ke”
menunjukkan tempat yang dituju. Kata kerja mimashita pada kalimat nomor 4
84
berarti “melihat” menyatakan suatu kegiatan sudah berlangsung. Kemudian Eka
san memberikan kesempatan bertanya kepada anggota kelompok lainnya.
Salah seorang mahasiswa yang bernama Wiranatasan dari kelompok 1
bertanya dan sekaligus mengoreksi dari kalimat nomor 1 sampai dengan kalimat
nomor 5. Menurut Wiranata san, hasil temuan pembelajaran kelompok 3 hampir
seluruhnya salah, baik dari pemakaian partikel maupun pola kalimat. Misalnya,
kalimat nomor (1) tertulis Kuta にわたしはおよぎます. Pola kalimat ini salah,
seharusnya わたしは Kuta でおよぎま. Artinya, saya berenang di Kuta. Kalimat
nomor (2) hasil presentasi kelompok 3 adalah Yokosan wa Kuta e ikimasu takusi
desu. Dalam kalimat bahasa Jepang susunan predikat selalu terletak di akhir
kalimat dan bila dalam sebuah kalimat sudah terdapat kata kerja, desu tidak perlu
lagi. Denan demikian pola kalimatnya akan menjadi Yokosan wa taxsi de Kuta e
ikimasu. Artinya, Bapak Yoko pergi ke Kuta naik taksi. Struktur kalimatnya
menjadi subjek = Yokosan, keterangan = Kuta, objek = taksi, predikat = ikimasu,
sedangkan wa,de, dan e adalah partikel.
Kemudian pola kalimat nomor (4) disampaikan, yaitu Watashi wa Kuta ni
mimashita sunset. Hasil pembelajaran yang dipresentasikan oleh kelompok 3
salah, seharusnya yang betul menurut gramatika kalimat bahasa Jepang adalah
watashi wa Kuta de sunset o mimahita. Artinya saya melihat sunset di Kuta.
Struktur yang betul adalah S-K-O-P. Koreksi dari pendapat Wiranata san
mendapatkan aplouse dan disetujui oleh kelompok lainnya.
Selain Wiranatasan ada lagi mahasiswa yang bernama Supartinisan dari
kelompok VII mengoreksi kalimat nomor (3) dan nomor (5). Menurut Supartini
85
san, untuk menyambung kata sifat dalam bahasa Jepang tidak memakai desu,
seperti kalimat nomor (3), seharusnya de yang berarti “dan”. Begitu pula kalimat
yang menyatakan keberadaan benda hidup tidak boleh menggunakan kata
arimasu, seharusnya kata imasu. Pendapat Supartinisan dibenarkan oleh anggota
kelompok lainnya.
Setelah melalui diskusi ( questioning ) kelompok, akhirnya ditemukan
hasil konstruksi pembelajaran tata bahasa Jepang dasar yang benar dari kelompok
3 sebagai berikut .
1) わたし は Kuta で 泳およ
ぎます
Watashi wa Kuta de oyogimasu.
saya part tempat part berenang
„Saya berenang di Kuta‟.
2) よこさん は タクシー で Kuta へ 行い
きます
Yokosan wa taxsi de Kuta e ikimasu.
nama part transpotasi part tempat part pergi.
„ Yoko pergi ke Kuta naik taxsi‟.
3) Kuta は きれい で にぎやか。
Kuta wa kirei de nigiyaka.
tempat part indah part ramai
„ Pantai Kuta indah dan ramai‟
4) わたし は Kuta で sunset を みました
Watashi wa Kuta de sunset o mimashita.
saya part tempat part matahari terbenam part melihat.
„Saya melihat sunset di Kuta‟.
5) おきゃくさま は Kuta に おぜく います。
Okyakusama wa Kuta ni ozeku imasu
Wisatawan part tempat part banyak ada
„Wisatawan ada banyak di Kuta‟.
Pada kalimat nomor (1) sampai dengan nomor (5) di atas terdapat partikel
wa/は yang berfungsi sebagai penanda subjek. Partikel de/で pada kalimat nomor
86
(1) dan (4) berarti “di” menunjukkan tempat melakukan kegiatan. Kata kerja atau
predikat yang menyertai adalah oyogimasu artinya berenang dan mimashita
artinya melihat termasuk kata kerja beraktivitas. Kalimat tersebut harus memakai
partikel de/で . Untuk kalimat nomor (4) predikat mimashita termasuk jenis
kalimat bentuk lampau, artinya kegiatan sudah berlangsung. Kata kerja
mimashita tergolong kata kerja transitif, objeknya harus disertai partikel o/を Di
pihak lain partikel de/ で pada kalimat nomor (3) tidak berarti “di” tetapi
bermakna untuk menyambung dua kata sifat berakhiran na yang berarti dan.
Kalimat nomor (2) juga mengandung partikel de/で artinya dengan. Partikel ini
menandakan alat transpotasi yang digunakan. Kata kerja ikimasu artinya pergi,
ada sasaran tujuan, Oleh karena itu, didahului oleh partikel e/へ , artinya “ke”.
Pada kalimat nomor (5) ada predikat imasu berarti ada, suatu pernyataan
keberadaan benda dalam hal ini wisatawan.Tempat keberadaannya ditandai oleh
partikel ni/に artinya di.
Pola kalimat bahasa Jepang adalah S-K-O-P seperti hasil temuan
mahasiswa yang dikonstruksi pada kalimat nomor (4) di atas. Watashi adalah
subjek, Kuta adalah keterangan tempat, sunset adalah objek, mimashita adalah
predikat, dan disisipi partikel wa/は , de/で , o/を .
Presentasi berikutnya dilanjutkan oleh kelompok 5 yang disampaikan oleh
Swarysan. Hasil pembelajaran pemakaian partikel dan pola kalimat bahasa Jepang
dari kelompok 5 sebagai berikut.
1) わたし は bakso を たべました Kuta に です
Watashi wa bakso o tabemashita Kuta ni desu
87
saya part bakso part makan tempat part kopula
„Saya makan bakso di Kuta‟.
2) Bali では Kuta の かいがん は とてもゆめいです
Bali de wa Kuta no kaigan wa totemo yumei desu
daerah part tempat part pantai part sangat terkenal
„Di Bali pantai Kutalah yang paling terkenal‟.
3) あした いっしょに Kuta へ いきませんか
Ashita isshoni Kuta part ikimasen ka
besok bersama tempat ajakan pergi
„Besok bagaimana kalau bersama-sama pergi ke Pantai Kuta‟.
4) Kuta に ありました bom です
Kuta ni arimashita bom desu
tempat part ada bom kopula
„Ada bom di Kuta‟.
5) あのひと は にほんじん ですか
Anohito wa Nihonjin desu ka
orang itu part orang Jepang kopula
Orang itu orang Jepangkah.
Sesudah selesai presentasi Swary san menjelaskan partikel wa/は untuk
menunjukkan subjek, partkel de/で menunjukkan tempat kegiatan, partikel e/へ
berarti ke menunjukkan tujuan, dan partikel o/を menunjukkan objek sebuah
kalimat. Contoh kalimat nomor 1, わたしは bakso をたべました Kuta にです.
Artinya, kami makan bakso di Kuta. Pola kalimat tersebut adalah S – K – O – P
(subjek = watashi , keterangan = Kuta , objek = bakso , predikat = tabemashita).
Swary san juga memberikan kesempatan untuk bertanya bagi kelompok lain.
Ada mahasiswa kelompok 7 yang bernama Yudi san menanyakan kalimat
nomor 2 yang dipresentasikan yaitu Bali では Kuta のかいがんはとてもゆめい
です.Kalimat itu diterjemahkan “di Bali Pantai Kutalah yang sangat terkenal”.
Kalau menurut kaidah bahasa Jepang, partikel wa/は di antara kata kaigan dan
88
yumei tidak tepat memakai partikel wa/は, yang benar adalah memakai partikel
ga/が karena mengandung makna menegaskan atau menekankan unsur objek
pada bagian kalimat tersebut. Begitu pula kalimat nomor 1, Watashi wa bakso o
tabemashita Kuta ni. Susunan predikat, kata keterangan, dan partikel kalimat ini
salah. Pemakaian partikel ni/に pada kata Kuta tidak tepat walaupun sama- sama
berati “di”, yang benar adalah partikel de/で karena predikat kalimat tersebut
melakukan aktivitas. Dengan demikian menurut Yudi san kalimat nomor 1 yang
betul adalah Watashi wa Kuta de bakso o tabemashita.
Salah seorang mahasiswa kelompok 1 bernama Agus san mengoreksi
kalimat nomor 4. Agussan mengatakan kalimat nomor 4 yang dipresentasikan
salah, baik pemakaian partikel maupun pola kalimatnya. Seharusnya menurut
aturan tata bahasa Jepang, kalimat tersebut adalah Kuta ni bom ga arimashita.
Artinya, “ada bom di Kuta” dan tidak ada kata desu.
Berdasarkan diskusi dan koreksi dari kelompok lain akhirnya kelompok
Swary san meninjau dan merevisi hasil temuan kelompok mereka. Hasil temuan
dan kontruksi pembelajaran yang sudah direvisi dari kelompok 5 sebagai berikut.
1) Kuta で bakso を たべました。
Kuta de bakso o tabemashita.
tempat part makanan part makan
„Saya makan bakso di Kuta‟.
2) Bali では Kuta の かいがん が とてもゆめいです。
Bali de wa Kuta no kaigan ga totemo yumei desu.
daerah part tempat part pantai part sangat terkenal.
„Di Bali pantai Kutalah yang sangat terkenal‟.
3) あした いっしょに Kuta へ いきませんか。
Ashita isshoni Kuta e ikimasen ka.
besok bersama tempat part ajakan pergi
89
„Besok bagaimana kalau bersama-sama pergi ke Pantai Kuta‟.
4) Kuta に bom が ありました。
Kuta ni bom ga arimashita
tempat part peristiwa part ada
„Ada bom di Kuta‟.
5) あのひと は にほんじんですか。
Anohito wa Nihonjin desu ka.
orang itu part orang Jepang kah.
„Orang itu orang Jepangkah‟.
Hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar kelompok 5 di atas sudah
betul sesuai dengan gramatika bahasa Jepang. Jenis partikel de/で dan ni/に pada
konteks kalimat tersebut berarti “di” menunjukkan tempat dilakukannya kegiatan.
Partikel no/の pada kalimat nomor (2) berfungsi untuk menerangkan tempat,
dalam konteks ini dimaksudkan pantai Kuta. Selain itu, juga terdapat partikel ga/
が pada kalimat tersebut yang bermakna untuk menegaskan Pantai Kuta oleh
sipembicara karena di Bali terdapat banyak pantai. Pada kalimat nomor 4 yang
diikuti oleh kata kerja arimashita yang berarti ada, harus didahului oleh partikel
ga/が sesuai dengan aturan tata bahasa Jepang. Contoh lain misalnya toshokan ni
daigakusei ga imasu. Artinya, ada mahasiswa di perpustakaan. Polanya benda ga
imasu/arimasu. Kalimat nomor (1) tertulis Kuta de bakso o tabemashita. Kalimat
ini adalah bentuk lampau, ditandai oleh kata kerja tabemashita atau bentuk
mashita kata sopan. Contoh kalimat nomor (3) isshoni Kuta e ikimasen ka,
kalimat ini adalah ajakan yang sopan. Artinya bagaimana kalau kita bersama-sama
pergi ke Kuta. Kalimat tersebut bila tidak ada kata ka di akhir kalimat bukan
kalimat ajakan, melainkan kalimat bentuk negatif, artinya tidak pergi. Oleh karena
90
itu bagi pembelajar pemula harus berhati-hati danmemahami gramatika bahasa
Jepang.
Dengan berakhirnya presentasi hasil pembelajaran kelompok 3 dan
kelompok 5 peneliti dan observer pendamping memberikan apresiasi kepada
mahasiswa karena aktivitas belajar mereka sangat tinggi. Artinya, telah tercipta
masyarakat belajar sebagaimana yang dimaksudkan komponen CTL. Perkuliahan
dilanjutkan pada pertemuan berikutnya yaitu pada Jumat, 21 November 2014
dengan melanjutkan presentasi kelompok lainnya.
Pada hari berikutnya tindakan inti siklus I dilanjutkan oleh kelompok 1, 2,
4, 6, dan 7. Koordinator kelompok 1 koordinator Wiranata san mempresentasikan
hasil pembelajaran mereka sebagai berikut.
1) Kuta の かいがん は きれい と おもしろいです
Kuta no kaigan wa kirei to omoshiroi desu
tempat part pantai part indah part menarik
Pantai Kuta indah dan menarik.
2) わたし は Kuta で ぼし を かいました
Watashi wa Kuta de boshi o kaimashita
saya part tempat part topi part membeli
„Saya membeli topi di Kuta‟.
3) わたし は Kuta に さんぽします
Watashi wa Kuta ni sampo shimasu
saya part tempat part jalan-jalan
„Saya jalan-jalan di pantai Kuta‟.
4) Kuta で およいで もいい ですか
Kuta de oyoide mo ii desu ka
tempat berenang bolehkah
„Bolehkah berenang di pantai Kuta‟.
5) ゆがた Kuta で sunset を みましょう
Yuugata Kuta de sunset o mimasho
91
sore hari tempat part sunset part mari melihat
„Sore hari mari melihat sunset di Kuta‟.
Wiranatasan pada saat menjelaskan hasil pembelajaran kelompok mereka,
tampil sebagai seorang model, dalam hal ini model sebagai dosen ketika mengajar
di kelas. Dari pengamatan pada saat presentasi tampak sepertinya Wiranatasan
sudah terbiasa berdiri di depan kelas. Gaya bicaranya, pervomennya benar-benar
seperti seorang dosen. Penyajian presentasinya memang menarik sehingga
mahasiswa lainnya dengan sungguh-sungguh mengikuti pembelajaran. Ketika
diberikan kesempatan bertanya tidak ada mahasiswa yang bertanya. Padahal
menurut peneliti dan dosen pendamping ada materi hasil pembelajaran yang salah.
Untuk menghindari kesalahan berikutnya, dosen pendamping mengoreksi kalimat
nomor 1, yakni tentang pemakaian partikel ni/ に , yang betul adalah
menggunakan partikel o/を karena kata kerja shanpo shimasu tergolong kata kerja
gerak perpindahan. Kalimat lainnya sudah betul.
Hasil pembelajaran berdasarkan diskusi, penemuan, dan konstruksi
kelompok 1 adalah sebagai berikut.
1) Kuta の かいがん は きれい で おもしろいです。
Kuta no kaigan wa kirei de omoshiroi desu.
tempat part pantai part indah part menarik.
„Pantai Kuta indah dan menarik‟.
2) わたし は Kuta で ぼし を かいました.
Watashi wa Kuta de boshi o kaimashita.
Saya part tempat part topi part membeli.
„Saya membeli topi di Kuta‟.
3) わたし は Kuta を さんぽします。
Watashi wa Kuta o shanpo shimasu.
Saya part tempat part jalan – jalan.
„Saya jalan-jalan di Pantai Kuta‟.
92
4) Kuta で およいで もいいですか。
Kuta de oyoide mo ii desu ka.
tempat part berenang bolehkah
„Bolehkah berenang di Pantai Kuta‟.
5) ゆがた Kuta で sunset を みましょう
Yuugata Kuta de sunset o mimashou
sore hari tempat part matahari part mari melihat.
Sore hari mari melihat sunset di Kuta.
Partikel dalam pembelajaran bahasa Jepang sangat penting fungsinya,
tetapi bila berdiri sendiri, partikel tidak mempunyai arti apa pun. Fungsi partikel
de/で pada kalimat nomor (2) dan (5) menunjukkan tempat dilaksanakan kegiatan.
Kalimat nomor (2) kegiatannya adalah membeli topi di Kuta dan kalimat nomor
(5) kegiatannya melihat sunset di Kuta. Subjek sebuah kalimat bahasa Jepang
disertai partikel wa/は seperti di bawah ini.
私 は Kuta で ぼし を 買いました
Watashi wa Kuta de boshi o kaimashita
Saya part tempat part topi part membeli
„Saya membeli topi di Kuta‟.
Partikel wa は menandakan subjek, yakni watashi, partikel de/で artinya
di menunjukkan keterangan tempat, yakni Kuta, partikel o/を menandakan objek,
yakni boshi, dan kaimashita adalah predikat. Struktur atau pola kalimat bahasa
Jepang adalah S-K-O-P (subjek- keterangan-objek-predikat).
Pada contoh kalimat nomor (3) ada kata tomodachi to. Partikel to と pada
kalimat ini berarti bersama, dalam hal ini bersama teman. Kata to dalam konteks
tertentu akan mempunyai arti berbeda.
Contoh 本 と かばん が あります
Hon to kaban ga arimasu
buku part tas part ada
93
„Ada buku dan tas‟.
Kata to pada contoh kalimat di atas berarti “dan”.
Hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar berikutnya dipresentasikan
oleh Bagus san koordinator kelompok 2 sebagai berikut.
1) がいこくじん は Kuta に おぜく います
Gaikokujin wa Kuta ni ozeku imasu
orang asing part tempat part banyak ada
„Orang asing ada banyak di Kuta‟.
2) あの めがね を かけて いる ひと は だれですか
Ano megane o kakete iru hito wa dare desu ka
itu kacamata part memakai orang part siapakah
„Orang yang memakai kacamata itu siapakah‟.
3) わたしたち は およぎました Kuta で
Watashitachi wa oyogimashita Kuta de
kami past berenang tempat part
„Kami berenang di pantai Kuta‟.
4) にちようび sunset を みにいきました Kuta ni
Nichiyoubi sunset o mi ni ikimashita Kuta ni
hari Minggu sunset part melihat pergi tempat part
„Pada hari Minggu pergi ke Kuta melihat sunset‟.
5) Kuta はきれいでゆめいです
Kuta wa kireide yumei desu
Tempat indah terkenal
Pantai Kuta terkenal dan indah.
Pada saat presentasi Bagussan menjelaskan hal-hal seperti di bawah ini.
Pada kalimat nomor 1 ada kata ozeku imasu yang berarti “ada banyak”, dalam hal
ini maksudnya ada banyak orang asing. Pada kalimat bahasa Jepang apabila
terdapat kata sifat berfungsi menerangkan kata kerja, maka kata sifat akan
mengalami perubahan bentuk. Misalnya ozeku, berasal dari kata ozei dan
tergolong jenis kata sifat berakhiran i/い. Menurut kaidah bahasa Jepang apabila
94
kata sifat berakhiran i/い berfungsi menerangkan kata kerja, maka akhiran i/い
diganti dengan ku/く dan apabila jenis kata sifat berakhiran na/な, akan menjadi
ni/に selalu terletak di depan kata kerja.
Contoh: ozei imasu akan berubah menjadi ozeku imasu artinya‟ ada banyak orang‟.
Kireina kakimasu akan berubah menjadi kireini kakimasu artinya
„tulisannya bagus‟.
Ketika presentasi muncul pertanyaan dari Yudasan kelompok 7, yaitu pada
presentasi tadi mengapa ada kalimat Kuta de dan Kuta ni.
Bagus san dapat menjelaskan bahwa Kuta de dan Kuta ni, partikel de/で dan
partikel ni/に sama-sama berarti “di” tetapi pemakaiannya berbeda. Kuta de,
parikel de/で menunjukkan „tempat‟ terjadinya aktivitas atau kata kerja yang
menyertai menunjukan ada kegiatan. sedangkan partikel ni/に menunjukkan
„tempat keberadaan sesuatu benda‟. Oleh karena itu, bila kata kerja yang dipakai
beraktivitas pakailah partikel de/で . Bila tidak melakukan kegiatan pakailah
partikel ni/に seperti pada kalimat di atas.
Evilayanti san kelompok 3 bertanya mengapa Kuta de dan Kuta ni pada
kalimat nomor 3 dan 4 terletak di akhir kalimat padahal termasuk unsur kata
keterangan. Kelompok lain juga menyalahkan sehingga kelompok 2 meninjau
kembali hasil temuan mereka. Akhirnya, kelompok mereka mengakui
kesalahannya. Seharusnya kalimat nomor 3 adalah わたしたちは Kuta でおよぎ
ました。Artinya,‟ kami berenang di Kuta‟. Kalimat nomor 4 yang betul adalah
95
にちようび Kuta ni sunset をみにいきました。Artinya „hari Minggu pergi ke
Kuta melihat sunset‟. Tidak ada pertanyaan lagi dari kelompok lain. Kemudian
dosen pendamping menyempurnakan penjelasan Supardiana san dan koreksi
temannya bahwa kalimat nomor 4 nichiyoubi Kuta ni sunset o mi ni ikimasu. Kata
Kuta ni , partikel ni/に pada kalimat ini tidak berarti „di‟ Kuta tetapi berarti „ke‟
Kuta. Padahal, terjemahan kalimat nomor 4 sudah betul, hanya Bagussan keliru
menjelaskan ketika ada pertanyaan dari kelompok lain.
Hasil Pembelajaran kelompok 2 yang sudah direvisi adalah sebagai berikut.
1) がいこくじん は Kuta に おぜく います。
Gaikokujin wa Kuta ni oozeku imasu.
wisatawan part tempat part banyak ada .
„Wisatawan ada banyak di Kuta‟.
2) あのめがね を かけている ひと は だれですか。
Ano megane o kakete iru hito wa dare desu ka.
kaca mata itu part memakai orang part siapakah
„Orang yang memakai kaca mata itu siapakah‟.
3) わたしたち は Kuta で およぎました。
Watashitachi wa Kuta de oyogimashita.
kami part tempat part berenang.
„Kami berenang di pantai Kuta‟.
4) にちようび Kuta に sunset を みにいきました。
Nichiyoubi Kuta ni sunset o mi ni ikimashita.
hari Minggu tempat part mtahri terb part pergi melihat.
„Pada hari Minggu pergi ke Kuta melihat sunset‟.
5) Kuta は きれい で ゆめいです。
Kuta wa kirei de yumei desu.
tempat part indah part terkenal
„Pantai Kuta terkenal dan indah‟.
Unsur-unsur kalimat bahasa Jepang akan disisipi partikel. Untuk unsur
kata penanda subjek memakai partikel wa/は atau ga/が . Contoh kalimat nomor
96
(3) わたしたちは Kuta でおよぎました. Subjek kalimat ini adalah わたしたち
(watashitachi) artinya „kami‟, diikuti partikel wa / は . Kata Kuta adalah
keterangan tempat, diikuti partikel de/で artinya „di‟, dan predikatnya およいま
した (oyogimashita) artinya „berenang‟. Pada kalimat ini tidak terdapat unsur
objek yang biasanya diikuti oleh partikel o/を . Pada kalimat nomor (1) ada kata
おぜくいます(oozeku imasu), artinya‟ ada banyak‟. Kata oozeku berasal dari kata
oozei termasuk kata sifat berakhiran i/い . Menurut tata bahasa Jepang, bila kata
sifat berakhiran i/い berfungsi menerangkan kata kerja, maka akhiran i/い berubah
menjadi ku/く sehingga berubah menjadi oozeku, artinya „banyak untuk orang‟.
Presentasi berikutnya adalah kelompok 4 yang disampaikan oleh Krisna
san. Krisna san dibantu oleh anggota kelompoknya menempelkan lembaran kertas
manila yang sudah ditulisi hasil kerja kelompok sebagai berikut.
1) わたし の うち は Kuta に あります
Watashi no uchi wa Kuta ni arimasu
saya part rumah part tempat part ada
„Rumah saya di Kuta‟.
2) Kuta では たべもの を たかいです
Kuta dewa tabemono o takai desu
tempat part makanan part mahal
„Di Kuta makananya mahal‟.
3) Kuta も Sanur も きれいです
Kuta mo Sanur mo kirei desu
tempat part tempat part indah
„Baik Kuta maupun Sanur indah‟.
4) Denpasar から Kuta まで baiku でなんじかんぐらいかかり
ますか
Denpasar kara Kuta made baiku de nanjikan kakarimasuka
tempat part tempat part motor part berapa jam memerlukan
97
„Dari Denpasar sampai di Kuta naik motor berapa lama memerlukan
waktu‟.
5) あした の やすみ は いっしょに Kuta へ いきませんか
Ashita no yasumi wa isshoni Kuta e ikimasen ka
besok part libur part bersama tempat part ajakan pergi
„Liburan besok bagaimana kalau bersama - sama pergi ke Kuta‟.
Selesai presentasi dilanjutkan dengan tanya jawab. Pada kesempatan ini
Juli san menanyakan kalimat nomor 5, yakni Ashita no yasumi wa isshoni Kuta e
ikimasen ka.
Juli san menanyakan kata ikimasen, mengapa Krisnasan mengartikan kata
ikmasen menawarkan “pergi”, padahal kata ikimasen artinya “tidak pergi”.
Krisnasan memberikan kesempatan anggota kelompoknya untuk menjawab.
Kemudian Kompyang san menjelaskan kalimat nomor 5 bukan kalimat negatif,
kalimat tersebut adalah kalimat ajakan yang sopan karena kata ikimasen disertai
oleh kata ka. Pendapat Kompyang san dibenarkan oleh dosen pendamping.
Kemudian ada lagi pertanyaan sekaligus koreksi dari Agus san kelompok
1. Agus san mengoreksi kalimat nomor 2, Kuta dewa tabemono o takai desu.
Pemakaian partikel o/を di antara tabemono dan kata sifat takai salah. Seharusnya
yang betul menurut tata bahasa Jepang adalah ga/が , karena kata tabemono
berposisi sebagai objek pada kalimat bersangkutan. Pendapat Agussan dibenarkan
oleh mahasiswa lainnya. Jadi, kalimat nomor 2 yang benar adalah Kuta dewa
tabemono ga takai desu.
Krisna san masih memberikan kesempatan kelompok lain bertanya.
Karena tidak ada lagi bertanya kemudian Krisna san menyimpulkan hasil temuan
pembelajaran pemakaian partikel dan pola kalimat sebagai berikut:
98
1) わたし の うち は Kuta に あります。
Watashi no uchi wa Kuta ni arimasu.
saya part rumah part tempat part ada.
„Rumah saya di Kuta‟.
2) Kuta で たべもの が たかいです。
Kuta de tabemono ga takai desu.
tempat part makanan part mahal.
„Di Kuta makanannya mahal‟.
3) Kuta も Sanur も きれいです。
Kuta mo Sanur mo kirei desu.
tempat part tempat part indah.
„Baik Kuta maupun Sanur indah‟.
4) Denpasar から Kuta まで baiku で なんじかん ぐらい かかりますか。
Denpasar kara Kuta made baiku de nanjikan gurai kakarimasuka.
tempat part tempat sampai motor part berapa lama part memerlukan. „Dari Denpasar sampai di Kuta naik motor berapa lama memerlukan waktu‟.
5) あした の やすみ は いっしょに Kuta へ いきませんか.
Ashita no yasumi wa isshoni Kuta e ikimasen ka.
besok part liburan part bersama tempat part ajakan pergi.
„Liburan besok bagaimana kalau bersama - sama pergi ke Kuta‟.
Penjelasan hasil pembelajaran kalimat nomor (1), yaitu
わたし の うち は Kuta に あります
watashi no uchi wa Kuta ni arimasu.
Saya part rumah part tempat part ada
„Rumah saya ada di Kuta‟.
Di antara kata watashi dan uchi terdapat partikel no/の . Pada konteks
kalimat ini partikel no/の artinya “kepunyaan”. Partikel ni/に artinya “di”,
menunjukkan tempat keberadaan rumah. Berbeda halnya dengan partikel no/の
pada kalimat nomor (5) di antara kata ashita dan yasumi. Pada konteks ini partikel
no/の berfungsi menerangkan dua kata benda. Sesudah kata tabemono diikuti
partikel ga/が , berfungsi untuk menekankan maksud si pembicara bahwa
99
makananlah yang mahal di Kuta. Untuk kalimat nomor (3) terdapat dua partikel
mo/も posisinya hampir sama dengan partikel wa/は . Karena membandingkan
suatu hal, maka dipakailah partikel mo/も , artinya partikel mo/も pertama adalah
“baik” dan mo/も kedua artinya “maupun”. Dalam kalimat nomor (3) maksudnya
Kuta も Sanur もきれいです artinya baik pantai Kuta maupun pantai Sanur
adalah indah. Ada lagi partikel kara dan made, seperti kalimat nomor (4)
Denpasar から Kuta まで baiku でなんじかんぐらいかかりますか。
(Denpasar kara Kuta made baiku de nanjikan kakarimasuka). Artinya dari
Denpasar sampai di Kuta naik motor berapa lama memerlukan waktu. Partikel
kara menandakan tempat dimulainya suatu kegiatan dan partikel made
menandakan berhentinya kegiatan.
Kalimat bentuk negative, yakni ikimasen, disertai kata ka diakhir kalimat
pertanda kalimat ajakan sopan, seperti contoh kalimat nomor (5) あしたのやすみ
はいっしょに Kuta へいきませんか.(ashita no yasumi wa isshoni Kuta e
ikimasen ka). Artinya, liburan besok bagaimana kalau bersama - sama pergi ke
Kuta. Menurut gramatika bahasa Jepang, unsur predikat selalu terletak di akhir
kalimat.
Presentasi berikutnya oleh Srisan kelompok 6. Adapun materi
pembelajaran yang disampaikan sebagai berikut.
1) これ めがね を いくらですか
Kore megane o ikura desu ka
ini kacamata part berapakah
„Kacamata ini berapa harganya‟.
100
2) Kuta は Sanur より にぎやかです
Kuta wa Sanur yori nigiyaka desu
tempat part tempat part ramai kopula
„Pantai Kuta lebih ramai daripada Pantai Sanur‟.
3) なんで いきます Kuta ですか
Nande ikimasu Kuta desu ka
dengan apa pergi tempat
„Naik apa pergi ke Kuta‟.
4) よしださん は かぶって ぼし あかいです
Yoshidasan wa kabutte boshi akai desu
nama part memakai topi merah
„Ibu Yoshida memakai topi merah‟
5) リタさん は Kuta に かいました めがね と サンダルです
Rita san wa Kuta ni kaimashita megane to sandaru desu
nama part tempat part membeli kacamata part sandal
„Rita membeli kaca mata dan sandal di Kuta‟.
Setelah presentasi Srisan menjelaskan hasil kerja kelompoknya,
tampaknya Srisan kurang menguasai materi yang dipresentasikan dan kurang
paham merespons dan menjawab pertanyaan kawan-kawannya sehingga suasana
kelas menjadi agak gaduh. Apalagi hampir seluruh materi yang dipresentasikan
salah, baik pemakaian partikel maupun pola kalimatnya. Suasana kelas menjadi
agak tenang dan tertib setelah posisi Sri san dibantu oleh Putrisan anggota
kelompoknya sendiri.
Berikutnya mahasiswa yang bernama Dewasan kelompok 5 mengatakan
bahwa pemakaian partikel dan pola kalimat yang disampaikan pada kalimat
nomor 1, nomor 3, nomor 4, dan nomor 5 salah berdasarkan aturan tata bahasa
Jepang. Misalnya, kalimat nomor 1 tertulis Kore megane o ikura desu ka.
Seharusnya kalimat yang betul adalah Kono megane wa ikura desu ka. Memang
kata kore dan kono artinya sama, tetapi pemakaiannya berbeda. Terjemahannya
101
sudah betul. Kalimat nomor 3 seharusnya yang betul adalah Nande Kuta e
ikimasu ka. Predikat terletak di akhir kalimat dan tidak perlu ada kata desu karena
sudah ada kata kerja ikimasu yang artinya “pergi”. Kalimat nomor 4 yang betul
adalah Yoshidasan wa akai boshi o kabutte imasu. Apabila kata sifat berfungsi
menerangkan benda, letaknya selalu di depan benda bersangkutan.
Terjemahannya sudah betul. Begitu pula kalimat nomor 5 tertulis Rita san wa
Kuta ni kaimashita megane to sandaru desu. Partikel dan pola kalimat ini salah.
Menurut gramatika bahasa Jepang, seharusnya yang betul adalah Rita san wa
Kuta de megane to sandaru o kaimashita. Artinya „Ibu Rita membeli kacamata
dan sandal di Kuta‟. Pola atau struktur bahasa Jepang adalah S – K – O – P dan di
antara unsur – unsur tersebut disisipi kata partikel. Berbeda dengan bahasa
Indonesia yang berpola S – P – O – K.
Kelompok 6 masih memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk
mengomentari pendapat dari Dewasan. Semua mahasiswa dan termasuk dosen
pendamping setuju dengan pendapat Dewasan. Akhirnya kelompok 6
menyimpulkan hasil pembelajaran yang sudah direvisi bersama kelompok lainnya
sebagai berikut.
1) このめがね は いくらですか。
Kono megane wa ikura desu ka.
kacamata ini part berapakah harganya
„Kaca mata ini berapa harganya‟.
2) Kuta は Sanur より にぎやかです。
Kuta wa Sanur yori nigiyaka desu
tempat part tempat part ramai
„Pantai Kuta lebih ramai dari pada Pantai Sanur‟.
3) なんで Kuta へ いきま すか。
Nande Kuta e ikimasu ka.
102
dengan apa tempat part pergi.
„Naik apa pergi ke Kuta‟.
4) よしださん は あかい ぼし を かぶっています。
Yoshidasan wa akai boshi o kabutte imasu.
nama orang part merah topi part memakai. .
„Ibu Yoshida memakai topi merah‟.
5) リタさん は Kuta で めがね と サンダル を かいました。
Rita san wa Kuta de megane to sandaru o kaimashita.
nama part tempat part kacamata part sandal part membeli.
„Rita membeli kacamata dan sandal di Kuta‟.
Hasil temuan pembelajaran tata bahasa Jepang dasar, yaitu pada kalimat
nomor (1) terdapat kata kono, artinya‟ini‟ sama dengan kore. Hanya
pemakaiannya berbeda kalau kata kono harus langsung diikuti oleh benda, contoh
kono megane artinya „kacamata ini‟. Di pihak lain kata kore boleh berdiri sendiri,
contoh kore wa hon desu, artinya „ini adalah buku‟. Kalimat nomor (2) Kuta は
Sanur よりにぎやかです. (Kuta wa Sanur yori nigiyaka desu). Artinya, „Pantai
Kuta lebih ramai dari pada Pantai Sanur‟. Kata yori, artinya „daripada‟
membandingkan dua hal dan biasanya diikuti oleh kata sifat. Contoh lain Agung
san wa Batur san yori takai desu. Artinya, „Gunung Agung lebih tinggi daripada
Gunung Batur‟. Kalimat nomor (5) mengandung partikel wa/は menyertai Rita
san penanda subjek, partikel de/で menyertai Kuta berarti „di‟, menunjukkan kata
keterangan tempat, yakni di Kuta, partikel to/と berarti „dan‟ untuk menyambung
objek lebih dari satu benda, juga terdapat partikel o/を menunjukkan objek dari
kata kerja transitif. Pola kalimat tersebut adalah リタさんは Kuta でめがねとサ
ンダルをかいました。(Rita san wa Kuta de megane to sandaru o kaimashita).
Artinya, „Rita membeli kaca mata dan sandal di Kuta‟. Struktur kalimat bahasa
103
Jepang S-K-O-P, Rita san unsur subjek, Kuta unsur keterangan, megane to
sandaru unsur objek dan membeli unsur predikat.
Presentasi terakhir hasil pembelajaran tentang pemakaian partikel dan pola
kalimat bahasa Jepang disampaikan oleh Yudasan kelompok 7 sebagai berikut:
1) わたし は Kuta を すきです
Watashi wa Kuta o suki desu
saya part tempat part suka
„Saya suka Pantai Kuta‟.
2) てんき が よければ Kuta で スキー を したいです
Tenki ga yokereba, Kuta de ski o shitai desu
cuaca part kalau bagus tempat part ski part ingin main
„Kalau cuaca bagus, saya ingin main ski di Kuta‟.
3) Kuta で さしん を とりました
Kuta de sashin o torimashita
tempat part foto part memotret
„Berfoto di Kuta‟.
4) わたし は Kuta で いろーいろな もの を かいました
Watashi wa Kuta de iro-irona mono o kaimashita
saya part tempat part macam-macam barang part membeli
„Saya membeli bermacam-macam barang di Kuta‟.
5) ともだち は Kuta の ホテル に とまっています
Tomodachi wa Kuta no hoteru ni tomatte imasu
teman part tempat part hotel part menginap
„Kawan saya menginap di hotel Kuta‟.
Yudasan menyampaikan hasil belajar kelompok mereka dengan gaya dan
tutur kata yang sangat menarik, sehingga kelompok lain dengan mudah dapat
mengerti. Ketika kesempatan untuk bertanya diberikan kepada kawan-kawannya,
tidak ada mahasiswa yang bertanya. Barangkali karena kelompok 7 dapat giliran
terakhir presentasi sehingga mereka dapat mempersiapkan materi hasil
pembelajaran dengan sangat sempurna. Karena tidak ada yang bertanya, untuk
104
menghemat waktu dosen pendamping menyela dan mengoreksi hasil belajar
kelompok 7. Pada kalimat nomor 1 terdapat sedikit kesalahan pemakaian partikel
pada bagian Kuta o suki, seharusnya yang betul adalah Kuta ga suki yang lainnya
semua sudah betul. Akhirnya, Yudasan menyimpulkan hasil pembelajaran
penggunaan partikel dan pola kalimat bahasa Jepang seperti di bawah ini.
1) わたし は Kuta が すきです
Watashi wa Kuta ga suki desu.
saya part tempat part suka .
„Saya suka Pantai Kuta‟.
2) てんき が よければ Kuta で スキー を したいです。
Tenki ga yokereba, Kuta de ski o shitai desu.
cuaca part kalau bagus tempat part permaian part ingin bermain.
„Kalau cuaca bagus, saya ingin bermain ski di Kuta‟.
3) Kuta で さしん を とりました。
Kuta de sashin o torimashita.
tempat part foto part memotret.
„Berfoto di Kuta‟.
4) わたし は Kuta で いろーいろな もの を かいました。
Watashi wa Kuta de iro-irona mono o kaimashita.
saya part tempat part bermacam barang part membeli.
„Saya membeli bermacam-macam barang di Kuta‟.
5) ともだち は Kuta の ホテル に とまっています。
Tomodachi wa Kuta no hoteru ni tomatte imasu.
teman part tempat part hotel part menginap.
„Kawan saya menginap di hotel Kuta‟.
Bagi mahasiswa pemula belajar bahasa Jepang hendaknya dengan
sungguh-sungguh belajar tentang pemakaian partikel. Kesalahan pemakaian
partikel akan mengakibatkan kesalahan pada makna kalimat sehingga pembelajar
tidak dapat menggunakan bahasa Jepang dengan baik dan benar. Misalnya, hasil
temuan kalimat nomor (1) わたしは Kuta がすくです (watashi wa Kuta ga suki
105
desu. Artinya, „saya suka Pantai Kuta‟. Partikel ga/が di samping untuk
menyatakan subjek juga dipakai untuk mengungkapkan kesanggupan atau potensi
seseorang, keinginan, dan lain-lain. Contoh watashi wa nihongo ga dekimasu.
Artinya, „saya bisa bahasa Jepang‟. Pemakaian partikel de/で , ni/に , o/を, harus
hati-hati karena dalam konteks kalimat tertentu bisa berarti sama, yakni “di” dan
akan mempunyai arti berbeda dalam konteks kalimat lainnya. Penjelasan
mengenai pemakaian partikel de/で , ni/に , o/を sudah banyak diuraikan pada
kalimat-kalimat hasil temuan belajar kelompok lainnya.
Dengan berakhirnya proses pembelajaran tindakan inti siklus I mengenai
pokok bahasan pemakaian partikel dan pola kalimat bahasa Jepang dengan
metode CTL, peneliti memberikan apresiasi kepada mahasiswa. Apresiasi
diberikan karena mereka dengan sungguh-sungguh belajar, berdiskusi antara
kelompok dan pada akhirnya dapat menemukan dan mengonstruksi hasil
pembelajaran sebagaimana yang sudah dideskripsikan oleh tiap-tiap kelompok.
Mengingat waktu sudah berakhir, pembelajaran tata bahasa Jepang dasar
mengenai pokok bahasan unsur – unsur kalimat dan makna kalimat bahasa Jepang
pada siklus I akan dilanjutkan pada Rabu, 26 November 2014.
Pada proses pembelajaran berikutnya diuraikan sebagai berikut:
a) Tindakan perencanaan sama dengan proses pembelajaran pada tahap
pertemuan pertama.
b) Tindakan pelaksanaan tetap masih terdiri atas tiga kegiatan, yakni (1)
kegiatan awal, (2) kegiatan inti, dan (3) kegiatan akhir.
106
1) Kegiatn awal
Pada tahap ini prosedur hampir sama dengan tindakan terdahulu hanya peneliti
menegaskan kembali dan memotivasi mahasiswa untuk meningkatkan tanya
jawab dan kerja kelompok.
2) Kegiatan inti
Pada tahap ini kembali peneliti menayangkan video tentang konteks kawasan
wisata Kuta dan menjelaskan secara singkat dan menekankan hal –hal yang
belum dimengerti oleh mahasiswa, terutama pokok bahasan unsur – unsur
dan makna kalimat bahasa Jepang dengan metode kontekstual. Penjelasan
ditekankan pada konjugasi kata kerja. Setelah memberikan penjelasan kembali
menyuruh mahasiswa belajar kelompok seperti kelompok semula, hanya
mahasiswa yang nantinya bertugas presentasi digilir untuk memberikan
kesempatan latihan pada mahasiswa lainnya.
Kemudian peneliti dibantu dosen pendamping membagikan tugas agar
dikerjakan sesuai dengan petunjuk pada kertas lembaran kerja. Selanjutnya tiap-
tiap kelompok mempresentasikan hasil temuan pembelajaran di depan kelas.
Kelompok 1, yaitu Agus san mempresentasikan hasil belajar tentang
unsur kalimat dan makna kalimat kelompok mereka seperti di bawah ini.
1) Kuta の なみ は 大おお
きいです
Kuta no nami wa ookii desu
tempat part ombak part besar
„Ombak Pantai Kuta besar‟.
2) かれ は バクソ を 食た
べます
Kare wa bakso wo tabemasu
ia part bakso part makan
„Ia makan bakso‟.
107
3) あそこ で およがないでください
Asoko de oyoganaide kudasai
di sana part berenang jangan
„Jangan berenang di sana‟.
4) 厚あつ
い ですから、 かさ を かしてください
Atsui desu kara kasa wo kashite kudasai
panas karena payung part pinjamkan
„Karena panas tolong pinjamkan topi‟.
5) ゆこさん は おちゃ を のみます
Yukosan wa ocha o nomimasu
nama part teh part minum
„Yuko minum teh‟.
Unsur predikat kalimat no 1 unsur predikatnya adalah kata sifat ookii
artinya‟ besar‟. Tergolong kata sifat berakhiran i atau keiyoshi. Predikat kalimat
no 2 adalah kata kerja tabemasu artinya‟ makan‟ termasuk kata kerja kelompok
dua. Predikat kalimat nomor 3 adalah kata oyoganaide kudasai, artinya „jangan
berenang‟ mengandung makna larangan. Predikat kalimat nomor 4 adalah kata
kashite kudasai , artinya ‟pimjamkanlah‟ bermakna kalimat perintah. Agus san
dengan lugas menjelaskan hasil belajar kelompok mereka sehingga mudah
dimengerti oleh kawan-kawannya. Ketika diberikan kesempatan bertanya tidak
ada yang bertanya. Peneliti hanya menegaskan bahwa kelompok 1 telah
menemukan hasil belajar predikat kata sifat dan kata kerja. Begitu pula makna
kalimat nomor 3 adalah larangan dan nomor 4 adalah bermakna perintah.
Akhirnya, Agussan menyimpulkan hasil belajar kelompok mereka sebagai berikut.
1) Kuta の なみ は 大おお
きいです。
Kuta no nami wa ookii desu.
tempat part ombak part besar.
„Ombak Pantai Kuta besar‟.
108
2) かれ は bakso を 食た
べます。
Kare wa bakso wo tabemasu.
ia part makanan part makan.
„Ia makan bakso‟.
3) あそこ で およがないでください。
Asoko de oyoganaide kudasai.
sana part jangan berenang
„Jangan berenang di sana‟.
4) 厚あつ
い ですから、かさ を かしてください。
Atsui desu kara kasa wo kashite kudasai.
panas karena payung part pinjamkan.
„Karena panas, tolong pimjamkan topi‟.
5) ゆこさん は おちゃ を のみます。
Yukosan wa ocha o nomimasu.
nama orang part teh part minum.
„Yuko minum the‟.
Kata ookii artinya „besar‟ termasuk kata sifat berfungsi sebagai predikat.
Kalimat nomor (2) かれは bakso を食た
べます (kare wa bakso wo tabemasu)
artinya‟ ia makan bakso‟. Kata kerja tabemasu adalah predikat. Selain itu, ada lagi
kalimat nomor (5)ゆこさんはおちゃをのみます(Yukosan wa ocha o nomimasu)
artinya „Yuko minum the‟. Kata kerja nomimasu juga termasuk predikat. Makna
kalimat perintah pada hasil belajar ini adalah kalimat nomor (4) かさをかしてく
ださい( kasa wo kashite kudasai) artinya „pinjamkanlah saya topi‟. Caranya kata
kerja bentuk te (tekei) diikuti kudasai, merupakan kalimat perintah sopan.
Hasil belajar kelompok 2 dipresentasikan oleh Supardiana san seperti di
bawah ini.
109
1) Kuta で sunset を よく見み
ました
Kuta de sunset wo yoku mimashita
tempat part mth terbenam part baik melihat
„Saya melihat matahari akan terbenam di Kuta‟.
2) ゆめい は Kuta です
Yumei wa Kuta desu
terkenal part tempat kopula
„Pantai Kuta terkenal‟.
3) どうぞ ビール を のんてください
Douzo biiru o nonte kudasai
silahkan bir part minum silahkan
„Silakan minum bir‟.
4) Kuta で にほんじん が おぜいくいます
Kuta de nihonjin ga ozeiku imasu
tempat part orang Jepang part banyak ada
„Di Kuta orang Jepang ada banyak‟.
5) たけむらさん は にほんじん です
Takemura san wa nihonjin desu
nama orang part orang Jepang kopula
„Tuan Takemura orang Jepang‟.
Setelah presentasi Lestarisan kelompok 7 mengoreksi kalimat nomor 2, yaitu
pola kalimatnya salah sehingga unsur kalimat juga salah, strukturnya terbalik.
Seharusnya Kuta wa yumei desu. Predikat kalimat tersebut adalah kata yumei
termasuk jenis kata sifat berakhiran na/な、artinya „terkenal‟. Ekasan kelompok
lain juga mengoreksi kalimat nomor 3, douzo biru o nonte kudasai. Tidak ada
konjugasi bahasa Jepang kata nonte, yang benar adalah nonde. Kesalahan
mengubah kata kerja akan menyebabkan kesalahan makna kalimat. Dari hasil
diskusi antar kelompok akhirnya Supardianasan menyimpulkan hasil temuan
belajar mereka sebagai berikut:
110
1) Kuta で sunset を よく見み
ました。
Kuta de sunset wo yoku mimashita.
tempat part mth akan terbenam part melihat dengan baik.
„Saya dapat melihat dengan baik mth akan terbenam di Kuta‟.
2) Kuta は ゆめい です。
Kuta wa yumei desu.
tempat part terkenal kopula
„Pantai Kuta terkenal‟.
3) どうぞ ビール を のんでください。
Douzo biiru o nonde kudasai.
silahkan bir part minumlah. .
„Silahkan minum bir‟.
4) Kuta には にほんじん が おぜいくいます。
Kuta ni wa nihonjin ga ozeiku imasu.
tempat part orang jepang part ada banyak. .
„Di Kuta orang Jepang ada banyak‟.
5) たけむらさん は にほんじん です。
Takemura san wa nihonjin desu.
nama orang part orang Jepang kopula
„Tuan Takemura orang Jepang‟.
Unsur predikat kalimat nomor (1) adalah kata kerja よく見み
ました (yoku
mimashita), artinya „melihat dengan baik‟. Kata sifat yoi berfungsi menerangkan
kata kerja maka akan berubah menjadi yoku, artinya „baik‟. Kata kerja mimashita
merupakan bentuk lampau. Kalimat nomor (2) Kuta はゆめいです (Kuta wa
yumei desu), artinya „Pantai Kuta terkenal‟. Kata yumei artinya‟ terkenal‟,
berfungsi sebagai unsur predikat dari kata sifat. Kalimat nomor (3) どうぞビール
をのんでくださ (douzo biiru o nonde kudasai). Artinya „silakan minum bir‟
merupakan kalimat perintah. Kata nonde bentuk kamusnya nomu berakhiran mu,
kemudian berubah menjadi nde, disertai kata kudasai. Akhirnya terbentuk kata
111
kerja berkonjugasi menjadi nonde kudasai, yaitu kalimat bermakna „perintah
sopan‟.
Presentasi hasil belajar unsur kalimat dan makna kalimat dilanjutkan oleh
kelompok 3, yaitu Evilayantisan sebagai berikut.
1) てんき が わるい ですから、Kuta で スキをしらない
Tenki ga warui desu kara, Kuta part ski o shiranai
cuaca part buruk part tempat ski tidak bermain
„Cuaca karena buruk , jangan bermain ski di Kuta‟.
2) Kuta は きれいな おもしろい です
Kuta wa kireina omshiroi desu
tempat part indah menarik. kopula
„Pantai Kuta indah dan menarik‟.
3) Haha は ドリアン を かいました
Haha wa dorian o kaimashita
Ibu part buah durian part membeli
„Ibu membeli buah durian‟.
4) Yoko さん は ホテル に とまっています
Yoko san wa hoteru ni tomatte imasu
nama part hotel part menginap
„Tuan Yoko menginap di hotel‟.
5 あそこ で 字土砂 を とめてはいけません
Asoko de jidosha o tomete wa ikemasen
di sana part mobil part berhenti tidak boleh
Mobil tidak boleh parkir di sana.
Sesudah presentasi Krisnasan kelompok 4 menanyakan kalimat nomor 1.
Kalau maksud kalimat tersebut seperti terjemahannya, kalimat nomor 1 itu salah.
Kata ski o shiranai artinya tidak bermain termasuk kalimat negatif. Supaya
bermakna larangan seharusnya suruna sehingga kalimat nomor 1 menjadi tenki
ga warui desu kara, Kuta で ski o suruna. Pendapat Krisna san disetujui oleh
kelompok lainnya. Koreksi lain disampaikan Yudi san yaitu kalimat nomor 2 dan
112
4. Cara menyambung kata sifat pada kalimat nomor 2 salah. Seharusnya kata sifat
kirei ditambah de/で karena kata sifat keiyodoushi. Di pihak lain kalimat nomor
4 hasil temuan kelompok 3 tidak sesuai dengan konteks yang dibahas. Kalimat
tersebut adalah bentuk sedang, artinya sedang menginap. Padahal, pembahasan
saat ini adalah makna kalimat larangan dan perintah. Seharusnya kalimat tersebut
menjadi tomarinasai artinya „silakan menginap‟ bentuk perintah atau tomaruna
artinya „jangan menginap‟ bentuk larangan. Semua kelompok sependapat dengan
Yudi san. Dosen pendamping juga membenarkan. Akhirnya, berdasarkan koreksi
dan diskusi bersama hasil temuan belajar yang benar adalah sebagai berikut.
1) てんき が わるい ですから、Kuta で スキ を するな。
tenki ga warui desu kara, Kuta de ski o suruna.
cuaca part buruk karena tempat part ski part larangan bermain.
„Karena cuaca buruk , jangan bermain ski di Kuta‟.
2) Kuta は きれい で おもしろい です。
Kuta wa kirei de omoshiroi desu.
tempat part indah part menarik
„Pantai Kuta indah dan menarik‟.
3) Haha は ドリアン を かいました。
Haha wa dorian o kaimashita.
Ibu part durian part membeli.
Ibu membeli buah durian.
4) Yoko さん は ホテル に とまりなさい。
Yoko san wa hoteru ni tomarinasai.
nama orang part hotel part menginaplah.
„Tuan Yoko silahkan menginap di hotel‟.
5) あそこ で 字土砂 を とめてはいけません。
Asoko de jidosha o tomete wa ikemasen.
sana part mobil part tidak boleh parkir.
„Tidak boleh parkir mobil di sana‟.
113
Kata きれいでおもしろい ( kireide omoshiroi), artinya „indah‟ dan
„menarik‟ adalah unsur predikat dari kata sifat. Kalimat nomor (3) ドリアンをか
いました ( dorian o kaimashita) artinya „membeli durian‟. Predikat kalimat
tersebut adalah kata kerja kaimashita bentuk lampau. Kalimat nomor (1)スキをす
るな(ski o suruna) adalah „larangan untuk bermain ski‟. Kalimat nomor (5)とめ
てはいけません( tomete wa ikemasen), tidak boleh parkir juga termasuk makna
kalimat larangan, hanya cara mengungkapkannya berbeda. Pada kalimat nomor
(1) kata kerja bentuk kamus ditambah na/な , sedangkan pada kalimat nomor
(5) kata kerja bentuk te/て ditambah wa ikemasen. Cara lain seperti kata kerja
bentuk nai/ない ditambah kudasai.
Selanjutnya presentasi oleh Juliartawansan kelompok 4 sebagai berikut:
1) Hard rock へ あそび に いきます
Hard rock e asobi ni ikimasu
tempat part bermain part pergi
„Pergi bermain – main ke Hard rock‟.
2) このめがね は リナさん のです
Kono megane wa リナさん no desu
ini kacamata part nama milik
„Kaca mata ini milik Rina‟.
3) Kuta と Jimbaran のたべもの と どちら が やすい ですか
Kuta to Jimbaran no tabemono to dochira ga yasui desu ka
tempat part tempat makanan yang mana murah part
„Makanan di Kuta dengan di Jimbaran murah yang mana‟.
4) ここ で もの を うったはいけません
Koko de mono o utta wa ikemasen
di sini part benda part jualan tidak boleh
„Tidak boleh jualan di sini‟.
114
5) Kuta で ばんごはん を 食べます
Kuta de bangohan o tabemasu
tempat part malam part makan
„Makan malam di Kuta‟.
Juliartawan san menjelaskan unsur predikat kalimat nomor 1 adalah kata
kerja, yakni asobi ni ikimasu, artinya „pergi bermain‟. Unsur predikat kalimat
nomor 2 adalah kata benda yakni Rinasan no, artinya „kepunyaan Rina‟. Unsur
predikat kalimat nomor 3 adalah kata sifat yakni yasui, artinya „murah‟.
Kelompok 4 menulis satu contoh kalimat yang mengandung makna larangan
yakni kalimat koko de mono o utte wa ikemasen. Artinya, adalah „tidak boleh
jualan di sini‟.
Juliartawan san menguasai materi hasil pembelajaran kelompok mereka,
sehingga dapat dipresentasikan dengan lancar dan betul. Kelompok lain dapat
mengerti penjelasan Juliartawan san sehingga mahasiswa tidak ada yang bertanya.
Akan tetapi dosen pendamping menemukan kesalahan pada kalimat nomor 4,
yakni pada kata utta wa ikemasen. Dosen pendamping langsung menjelaskan
bahwa kata utta dari kaidah bahasa Jepang tidak benar, seharusnya yang betul
adalah utte . Yang berarti „tidak boleh jualan‟. Setelah melalui revisi , hasil
pembelajaran kelompok 4 adalah seperti di bawah ini.
1) Hardrok へ あそび に いきます。
Hardrok e asobi ni ikimasu.
tempat part bermain part pergi.
Pergi main – main ke Hardrok.
2) この めがね は リナさん のです。
Kono megane wa リナさん no desu.
ini kacamata part Rina milik.
„Kaca mata ini milik Rina‟.
115
3) Kuta と Jimbaran のたべもの と どちら が やすいですか。
Kuta to Jimbaran no tabemono to dochira ga yasui desu ka.
tempat part tempat makanan part yg manakah part murah.
„Makanan di Kuta dengan di Jimbaran murah yang mana‟.
4) ここ で もの を うってはいけません。
Koko de mono o utte wa ikemasen.
sini part barang part dilarang jualan.
„Tidak boleh jualan di sini‟
5) Kuta で ばんごはん を 食べます。
Kuta de bangohan o tabemasu.
tempat part malam part makan.
„Makan malam di Kuta‟.
Unsur predikat kalimat nomor (1) adalah kata kerja あそびにいきます
(asobi ni ikimasu). Yang berarti „pergi untuk bermain‟. Unsur predikat kalimat
nomor (5) juga kata kerja, yakni 食べます (tabemasu), artinya „makan‟. Unsur
predikat kalimat nomor (2) kata benda, yakni Rina san. Kata sifat やすい (yasui)
artinya „murah‟ pada kalimat nomor (3) yang menjadi predikat. Kalimat ここでも
のをうってはいけません (koko de mono o utte wa ikemasen). Pada kata kerja
bentuk te/て (utte) disertai wa ikemasen mengungkapkan larangan. Artinya,‟ tidak
boleh jualan‟.
Presentasi berikutnya kelompok 5 oleh Putrisan , hasil temuan belajar
mereka adalah seperti berikut.
1) ジョース を のみませんか
Jousu o nomimasen ka
minuman part ajakan minum
„Bagaimana kalau minum jus‟.
2) バイク で Kuta へ いきます
Baiku de Kuta e ikimasu
motor part tempat part pergi
„Pergi ke Kuta naik sepeda motor‟.
116
3) きょねん Kuta で ともだち と およいだことがあります
Kyonen Kuta de tomodachi to oyoida koto ga arimasu
tahun lalu tempat part teman part berenang pernah
„Tahun lalu pernah berenang bersama teman di Kuta‟.
4) 大おお
きい なみ ですから、 子供こ ど も
が およぐな
Ookii nami desu kara, kodomo ga oyoguna
besar ombak karena anak part jangan berenang
„Karena ombak besar, ana – anak jangan berenang‟.
5) のど が 渇いて、どうぞ aqua を かってください
Nodo ga kawaite, douzo aqua o katte kudasai
tenggorokan haus tolong aqua part belikan
„Saya haus tolong belikan aqua‟.
Seusai presentasi mahasiswa Artayasasan kelompok 1 bertanya, yaitu
mengapa kelompok 5 tidak menemukan atau membahas unsur – unsur kalimat
sesuai dengan yang ditugaskan. Pertanyaan Artayasa san langsung dijawab oleh
Putri san. Sebenarnya apa yang ditanyakan oleh Artayasa san sudah terdapat pada
tiap – tiap kalimat yang kami sampaikan, hanya seluruh unsur kalimat yang
disampaikan termasuk jenis kata kerja yang sudah berkonjugasi. Seperti kalimat
nomor 1, unsur predikatnya adalah nomimasen disertai ka. Kata nomimasen dalam
konteks kalimat ini bukan kata kerja negatif, melainkan ajakan sopan. Perlu
diingat bahwa unsur predikat kalimat boleh kata kerja, kata sifat, dan kata benda
tergantung pada maksud si pembicara. Demikian yang dapat kami sampaikan,
bagaimana pendapat teman lainnya. Karena lama diam, dosen pendamping
membenarkan penjelasan Putrisan kelompok 5. Karena keterbatasan waktu bila
ada pertanyaan lagi, akan dibahas pada kesempatan lain. Putrisan akhirnya
menyimpulkan hasil pembelajaran kelompok mereka sebagai berikut.
117
1) ジョース を のみませんか
Jousu o nomimasen ka.
minuman part menawarkan.
Bagaimana kalau minum jus.
2) バイク で Kuta へ いきます。
Baiku de Kuta e ikimasu.
motor part tempat part pergi.
„Pergi ke Kuta naik sepeda motor‟.
3) きょねん Kuta で ともだち と およいだことがあります。
Kyonen Kuta de tomodachi to oyoida koto ga arimasu.
tahun lalu tempat part teman part pernah berenang.
„Tahun lalu bersama teman pernah berenang di Kuta‟.
4) 大おお
きい なみ ですから、子供こ ど も
が およぐな。
Ookii nami desu kara, kodomo ga oyoguna.
besar ombak karena, anak part larangan berenang. .
„Karena ombak besar, anak – anak jangan berenang‟.
5) のど が 渇いて、どうぞ aqua を かってください。
Nodo ga kawaite, douzo aqua o katte kudasai.
tenggorokan part haus tolong air part belikan.
„Saya haus tolong belikan aqua‟.
Kata kerja のみませんか ( nomimasen ka) artinya‟ mengajak minum‟ dan
kata いきます( ikimasu) artinya „pergi‟. Kata kerja tersebut berfungsi sebagai
predikat. Kalimat nomor (4) 子供こ ど も
がおよぐな( kodomo ga oyoguna) artinya
„anak-anak jangan berenang‟ merupakan kalimat bermakna larangan. Caranya
kata kerja bentuk kamus dibubuhi kata na/な untuk mengungkapkan larangan.
Berbeda halnya dengan kata kerja bentuk te/て dibubuhi kata kudasai akan
mengungkapkan makna kalimat perintah. Seperti kalimat nomor (5) のどが渇い
て、どうぞ aqua をかってください (Nodo ga kawaite, douzo aqua o katte
kudasai), artinya „saya haus tolong belikan aqua‟.
118
Presentasi hasil belajar berikutnya kelompok 6 disajikan oleh Amidah
san seperti di bawah.
1) Kuta の みち が よくこんでいます
Kuta no michi ga yoku konde imasu
tempat part jalan part sering macet
„Jalan di Kuta sering mace‟t.
2) Kuta の しゃんぽしたこと は たのしかったです
Kuta no shanpo shita koto wa tanoshikatta desu
tempat part jalan-jalan part senang
Jalan – jalan di Kuta menyenangkan.
3) 休やす
み とき は Kuta に おきゃくさま が おぜくいます
Yasumi toki wa Kuta ni okyakusama ga ozeku imasu
liburan ketika part tempat part wisatawan part banyak ada
„Ketika liburan ada banyak wisatawan di Kuta‟
4) 子供こ ど も
が Kuta で ひとり で あびるな
Kodomo ga Kuta de hitori de abiruna
anak part tempat part sendiri part jangan mandi
Anak – anak jangan mandi sendiri di Kuta.
5) Kuta まで ついたら、私 に でんわしなさい
Kuta made tsuitara, watashi ni denwa shinasai
tempat sampai kalau tiba saya part telponlah
„Kalau sudah tiba di Kuta , telponlah saya‟.
Amidahsan kelompok 6 menjelaskan kalimat nomor 1 bahwa maksud si
pembicara menegaskan topik, yakni jalan di Kuta , maka partikel yang digunakan
adalah ga, dan unsur unsur kalimat berpredikat kata kerja. Kalimat nomor 4
adalah termasuk kalimat larangan .
Supartini san kelompok 7 mengoreksi kalimat nomor 2 yaitu tertulis Kuta
ni shanpo shita koto wa tanoshikatta desu. Menurut aturan gramatika bahasa
Jepang partikel ni/に salah, yang benar adalah partikel o/を karena kata kerja
shampoo suru termasuk jenis kata kerja gerak perpindahan. Kalimat nomor 4
119
bermakna larangan, yaitu kata kerja kamus disertai na/な. Kalimat nomor 5 adalah
kalimat bermakna perintah dengan mengganti masu/ます dengan kata nasai/なさ
い . Kelompok 6 mengakui kesalahannya, padahal baru saja mempelajari
pemakaian partikel. Berdasarkan hasil diskusi akhirnya kelompok 6
menyimpulkan hasil belajar mereka seperti di bawah ini .
1) Kuta の みち が よくこんでいます。
Kuta no michi ga yoku konde imasu.
tempat part jalan part sering macet.
„Jalan di Kuta sering macet‟.
2) Kuta を しゃんぽしたこと は たのしかったです。
Kuta o shanpo shita koto wa tanoshikatta desu.
Tempat part jalan – jalan part senang.
„Senang jalan-jalan di Kuta‟.
3) 休やす
み とき は Kuta に おきゃくさま が おぜくいます。
Yasumi toki wa Kuta ni okyakusama ga ozeku imasu.
libur ketika part tempat part wisatawan part ada banyak.
„Ketika liburan ada banyak wisatawan di Kuta‟.
4) 子供こ ど も
が Kuta で ひとり で あびるな。
Kodomo ga Kuta de hitori de abiruna.
anak part tempat part sendiri part larangan bermain.
„Anak – anak jangan mandi sendiri di Kuta‟.
5) Kuta まで ついたら、私 に でんわしなさい。
Kuta made tsuitara, watashi ni denwa o shinasai.
tempat part kalau tiba saya part telponlah.
„Kalau sudah tiba di Kuta , telponlah saya‟.
Hasil temuan pembelajaran tata bahasa Jepang dasar di atas dilihat dari
unsur predikat kalimat terbentuk dari kata sifat dan kata kerja. Unsur kata sifat
tampak pada kalimat nomor (2), yakni たのしかった (tanoshikatta), artinya
„senang‟ dalam bentuk lampau. Predikat kata kerja tampak pada kalimat nomor
(3) おぜくいます(ozeku imasu) artinya „ada banyak‟ dalam hal ini benda hidup,
120
yakni wisatawan. Untuk menyatakan ada benda mati dipakai kata kerja arimasu.
Kalimat bermakna larangan tampak pada nomor (4) 子供こ ど も
が Kuta でひとりであ
びるな (kodomo ga Kuta de hitori de abiruna). Kata kerja abiruna bentuk kamus
adalah abiru, artinya „mandi‟ termasuk kata kerja kelompok kedua diikuti na/な
untuk mengungkapkan makna larangan.
Presentasi terakhir mengenai hasil belajar unsur kalimat dan makna
kalimat adalah kelompok 7. Presentasi disampaikan oleh Iswara san sebagai
berikut.
1) Gede さん は にほんご の ガイドです
Gedesan wa nihongo no gaido desu
nama part bahasa Jepang part gaid
„Pak Gede adalah gaid bahasa Jepang‟
2) たけむらさん は にほんじんです
Takemura san wa nihonjin desu
nama part orang Jepang
„Ibu Takemura adalah orang Jepang‟.
3) どうぞ いっしょに しゃしん を とてください
Douzo isshoni shashin wo totte kudasai
silahkan bersama foto part potretlah
„Silakan foto bersama‟.
4) よる Kuta を しゃんぽし に いけば、き を つけてください
Yoru Kuta wo shampo shi ni ikeba, ki o tsukete kudasai
malam tempat part jalan-jalan part kalau pergi berhati-hatilah
„Kalau jalan-jalan di Kuta malam hari, hati-hatilah‟.
5) Kuta の 食べ物 は おいしいです たかいです
Kuta no tabemono wa oishii desu takai desu
tempat part makanan part enak mahal
„Makanan di Kuta enak tetapi mahal‟.
Iswarasan menjelaskan unsur predikat kalimat nomor 1 dan 2 adalah kata
benda dan predikat kalimat nomor 5 adalah kata sifat. Kalimat nomor 3 dan 4
121
adalah kata kerja yang sudah mengalami perubahan sesuai dengan makna kalimat
perintah. Mungkin karena kelompok 7 dapat presentasi terakhir, sehingga
kelompok lain dapat dengan mudah mengerti pokok bahasan yang disampaikan.
Sesungguhnya kelompok 7 membuat kesalahan tetapi tidak terkotrol oleh
kelompok lain. Pada kesempatan ini peneliti langsung menunjukkan kalimat
nomor 3, yaitu kata tote kudasai dan kalimat nomor 5 kurang partikel ga. Kata
tote seharusnya totte, doubel tte. Bentuk kamusnya toru artinya „memotret‟
termasuk jenis kata kerja kelompok satu atau godan doushi. Berdasarkan hasil
diskusi kelompok dan koreksi peneliti, maka hasil pembelajaran tata bahasa
Jepang dasar dengan pokok bahasan unsur – unsur dan makna kalimat yang benar
adalah sebagai berikut.
1) Gede さん は にほんご の ガイドです。
Gedesan wa nihongo no gaido desu.
nama orang part bahasa Jepang part gaid.
„Pak Gede adalah gaid bahasa Jepang‟
2) たけむらさん は にほんじんです。
Takemura san wa nihonjin desu.
nama orang part orang Jepang.
„Ibu Takemura adalah orang Jepang‟.
3) どうぞ いっしょに しゃしん を とってください。
Douzo isshoni shashin wo totte kudasai.
silahkan bersama poto part ambillah.
„Silakan foto bersama‟.
4) よる Kuta を しゃんぽし に いけば、きをつけてください。
Yoru Kuta wo shampo shi ni ikeba, ki o tsukete kudasai.
malam tempat jalan-jalan part kalau pergi hati-hatilah.
„Kalau jalan-jalan di Kuta malam hari,berhati-hatilah‟.
5) Kuta の 食べ物 は おいしいです が たかいです。
Kuta no tabemono wa oishii desu ga takai desu.
tempat makanan enak tetapi mahal.
122
„Makanan di Kuta enak, tetapi mahal‟.
Unsur- unsur predikat kalimat kelompok 7 terdiri atas kata benda yakni
kalimat nomor (1) Gede さんはにほんごの ガイドです (Gedesan wa nihongo
no gaido desu). Artinya, „Pak Gede adalah gaid bahasa Jepang‟. Gaid bahasa
Jepang adalah unsur predikat kata benda. Unsur predikat kalimat nomor (5) adalah
kata sifat おいしい (oishii), artinya „enak‟ dan kata sifat たかい (takai) artinya
„mahal‟. Hasil pembelajaran makna kalimat perintah tampak kalimat nomor (3)
yakni kata とってください (totte kudasai) artinya „fotolah‟ dan (4), kata きをつ
けてください(hati-hatilah). Untuk makna kalimat perintah kata kerja berubah
menjadi bentuk te(tekei) kemudian disertai kudasai untuk bahasa sopan.
Dengan berakhirnya presentasi kelompok 7, berakhir pula pelaksanaan
kegiatan inti pada siklus I. Pada kesempatan ini peneliti dibantu oleh dosen
pendamping menyampaikan kesan bahwa mahasiswa semester III Sastra Jepang
memang dengan sungguh – sungguh mempunyai semangat belajar yang tinggi.
Mereka aktif berdiskusi dan tercipta suasana proses pembelajaran yang menarik
dan menyenangkan sehingga dapat menemukan hasil belajar sebagaimana yang
sudah disampaikan pada saat presentasi. Langkah kegiatan pembelajaran dengan
metode kontekstual ( CTL ) benar – benar terlaksana pada saat proses
pembelajaran di dalam kelas.
6) Kegiatan akhir siklus I
Pada akhir kegiatan pembelajaran, dilakukan hal –hal di bawah ini.
123
a) Peneliti memberikan penjelasan singkat dan menyimpulkan secara umum
materi pelajaran yang sudah dipresentasikan.
b) Peneliti menyuruh mahasiswa mengerjakan latihan – latihan sebagai
pekerjaan rumah yang terdapat pada buku Nihongo no Minna II dai 33 ka.
c) Peneliti memotivasi mahasiswa untuk rajin belajar dan akhirnya menutup
perkuliahan dengan menyampaikan kata salam.
4.3.1.3 Pengamatan Tindakan Siklus I
Selama berlangsungnya proses kegiatan pembelajaran pada tindakan siklus
I ini peneliti bersama dosen pendamping (observer) melakukan pengamatan
terhadap aktifitas mahasiswa dalam proses pembelajaran tata bahasa Jepang dasar
dengan metode kontekstual (CTL). Penilaian pengamatan ini dilakukan dengan
menggunakan lembar penilaian yang telah disiapkan . Data temuan pengamatan
yang dikumpulkan peneliti dan observer digunakan sebagai bahan untuk
melakukan refleksi atau evaluasi. Adapun indikator yang dinilai dan dijadikan
ukuran hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar
adalah sebagai berikut:
1) Perhatian, motivasi dan tanggung jawab mahasiswa untuk belajar.
2) Pengembangan ide atau gagasan pengalaman nyata yang dimiliki
mahasiswa
3) Kemampuan dan kecekatan mahasiswa dalam menemukan kontek materi
pembelajaran.
4) Kemampuan dan kecekatan mahasiswa mengontruksi hasil pembelajaran
kelompok.
124
5) Tingkat keaktifan mahasiswa dalam belajar kelompok atau kekompakan
kerja sama antar anggota kelompok belajar untuk mengerjakan tugas.
6) Keaktifan mahasiswa dalam bertanya atau mengkritisi hasil presentasi
pembelajaran.
7) Kelancaran atau kepekaan mahasiswa dalam merespon permasalahan yang
timbul pada saat proses pembelajaran berlangsung
8) Tertib, sopan, dan disiplin dalam mengikuti proses pembelajaran
9) Kemampuan mahasiswa dalam menggunakan waktu
10) Kemampuan mahasiswa untuk mempresentasikan hasil pembelajaran
kelompok.
Langkah berikutnya adalah analisis kualitatif hasil pengamatan proses
aktivitas pembelajaran tata bahasa Jepang dasar pada siklus I dengan penerapan
metode kontekstual (CTL) bagi mahasiswa semester III STIBA Saraswati
Denpasar. Lembar pengamatan akivitas mahasiswa dalam pembelajaran tata
bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual pada siklus I yang telah
disiapkan diisi oleh dosen pendamping sebagai observer pengamat. Penilaian
yang digunakan pada lembar pengamatan aktivitas mahasiswa dalam
pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual terdiri atas
empat kategori, yakni baik sekali, baik, cukup, dan kurang. Pengisisan lembar
jawaban dengan memberikan tanda cek atau contreng (√) sesuai dengan
pengamatan observer pada kolom – kolom yang tersedia. Setelah selesi
mengamati proses pembelajaran dengan metode kontekstual (CTL) , pengamat
125
menulis saran – saran untuk peningkatan hasil belajar berikutnya. Adapun hasil
pengamatan hasil observer pada siklus I dapat diuraikan sebagai berikut.
Tabel 4.2 Pengamatan Aktivitas Belajar Mahasiswa dengan Menerapkan
Metode Kontekstual (CTL) pada Siklus I
No.
Indiktor Pengamatan
Penilaian
Baik
Sekali
Baik Cukup Kurang
1 Perhatian, motivasi dan tanggung
jawab ketika pembelajaran
berlangsung.
√
2 Pengembangan ide/gagasan nyata
dari mahasiswa
√
3 Kemampuan untuk menemukan
konteks pembelajaran.
√
4 Kemampuan untuk mengontruksi
hasil pembelajaran
√
5 Keaktifan mahasiswa dalam belajar
kelompok (kerja sama dalam
kelompok)
√
6 Keaktifan dalam bertanya/diskusi. √
7 Kelancaran mahasiswa dalam
menjawab pertanyaan kelompok
dan dosen.
√
8 Tertib, sopan, dan disiplin dalam
mengikuti proses pembelajaran.
√
9 Kemampuan mahasiswa dalam
memanfaatkan waktu.
√
10 Kemampuan mahasiswa dalam
mempresentasikan hasil belajar.
√
Hasil pengamatan pada lembar pengamatan siklus I dalam pembelajaran
tata bahasa Jepang dasar dengan menggunakan metode CTL pada indikator minat,
motivasi, dan tanggung jawab baik, pengembangan ide/gagasan nyata dari
126
mahasiswa cukup, kemampuan untuk menemukan konteks pembelajaran cukup,
kemampuan untuk mengonstruksi hasil pembelajaran juga cukup, keaktifan
mahasiswa dalam belajar kelompok (kerja sama dalam kelompok) baik, keaktifan
dalam bertanya/diskusi baik, kelancaran mahasiswa dalam menjawab pertanyaan
kelompok dan dosen cukup, ketertiban, sopan, dan disiplin dalam mengikuti
proses pembelajaran baik, kemampuan mahasiswa dalam memanfaatkan waktu
cukup, dan kemampuan mahasiswa dalam mempresentasikan hasil belajar pada
siklus I baru tahap cukup.
Berdasarkan hasil analisis pengamatan tersebut, diketahui bahwa indikator
pengembangan ide/gagasan nyata dari mahasiswa, kemampuan untuk
menemukan kontek pembelajaran , kemampuan untuk mengontruksi hasil
pembelajaran , kelancaran mahasiswa dalam menjawab pertanyaan kelompok dan
dosen, kemampuan mahasiswa dalam memamfaatkan waktu , dan kemampuan
mahasiswa dalam mempresentasikan hasil belajar pada siklus I, perlu
diperhatikan dan ditingkatkan. Dengan demikian implementasi proses
pembelajaran dengan metode CTL terlaksana sesuai dengan yang diharapkan.
4.3.1.4 Refleksi Tindakan Kelas Siklus I
Tahap keempat pada penelitian tindakan kelas siklus I adalah refleksi.
Tindakan refleksi ini dilakukan setelah peneliti melaksanakan siklus I. Refleksi
dilakukan secara kolaborasi antara peneliti dan observer pendamping. Tujuan
refleksi siklus I dilakukan adalah untuk mengetahui hasil peningkatan belajar tata
bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati
127
Denpasar setelah penterapan metode CTL. Tes yang digunakan untuk mengukur
kemampuan tata bahasa Jepang dasar siklus I sama dengan tes awal atau tes
sebelum melaksanakan kontekstual.
Sehubungan dengan hal tersebut, hasil analisis data pelaksanaan refleksi siklus I
dapat dideskripsikan seperti tabel 4.3 berikut.
Tabel 4.3 Data TotalSkor Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Semester
III Setelah Dilakasanakan Metode CTL pada Tindakan Siklus I
No.
Mhs
Penggunaan
Partikel
Pola
Kalimat
Unsur-
unsur
Kalimat
Makna/Fungsi
Kalimat
Total
Skor
% Kategori
Skor
01 14 24 14 20 72 72% B
02 12 20 16 22 70 70% B
03 20 24 18 26 86 88% A
04 12 20 18 18 68 68% C
05 16 18 14 18 68 68% C
06 8 18 10 18 64 64% C
07 16 16 10 16 60 60% C
08 14 20 20 20 74 74% B
09 14 18 16 20 68 68% C
10 14 18 16 20 68 68% C
11 18 20 16 20 74 74% B
12 20 24 18 26 88 88% A
13 8 14 10 16 50 50% D
14 18 22 16 22 78 78% B
15 14 22 10 20 66 66% C
16 12 20 14 18 64 64% C
17 16 22 16 26 80 80% B
18 10 20 12 22 68 68% C
19 16 22 16 22 76 76% B
20 16 20 14 18 68 68% C
21 14 18 16 18 68 68% C
22 16 24 16 22 78 78% B
23 18 24 20 22 84 84% B
24 12 12 14 16 54 54% D
25 16 26 16 24 82 82% B
26 20 26 20 24 88 88% A
27 18 22 16 24 82 82% B
28 12 20 16 22 70 70% B
29 16 18 16 20 70 70% B
30 14 20 18 22 74 74% B
31 16 18 16 20 70 70% B
128
32 12 20 12 16 60 60% C
33 14 16 12 18 60 60% C
34 16 18 16 20 72 72% B
35 10 18 16 18 58 62% C
36 14 18 14 18 64 64% C
37 16 18 16 20 70 70% B
total 540 732 556 746 2.574
Berdasarkan data tabel 4.3 di atas dapat disampaikan bahwa total skor
kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III pada pelaksanaan
tes PTK siklus I dengan menterapkan metode CTL adalah 2.574. Nilai rata – rata
mahasiswa yang diperoleh pada tindakan tes akhir siklu I dengan cara total skor
dibagi jumlah mahasiswa . Jadi skor rata – ratanya adalah 2.574 : 37 = 69,
termasuk kategori nilai cukup (C). Keempat indikator yang dites, yakni skor
pemakaian partikel diperoleh dengan cara total skor dibagi skor maksimum
dikali seratus persen, jadi skornya adalah 540: 740 x 100% = 72 %. Skor pola
kalimat bahasa Jepang adalah 732 : 1.110 x 100 = 69 %. Skor mengenai unsur
predikat adalah 556 : 740 x 100% = 75 % dan skor tentang makna kalimat adalah
746 : 1.110 x 100% = 67 %. Skor maksimal sub pemakaian partikel dan unsur
predikat 740 sedangkan skor maksimal subpola kalimat dan makna kalimat 1.110
Pada tindakan tes akhir siklus I pemakaian partikel dan unsur predikat
memperoleh skor B (baik) sedangkan pola kalimat dan makna kalimat
memperoleh skor C (cukup). Adapun sebaran nilai yang dicapai oleh mahasiswa
semester III pada tindakan tes akhir siklus I adalah mahasiswa yang memperoleh
nilai A sebanyak 3 orang, mahasiswa yang mendapat nilai B sebanyak 12 orang,
mahasiswa yang mendapat nilai C berjumlah 20 orang, mahasiswa yang mendapat
nilai D sebanyak 2 orang tetapi ada mahasiswa yang mendapat nilai E. Untuk
129
lebih lengkapnya dapat disampaikan pada analisis data kuantitatif dan analisis
data kualitatif berikut.
4.3.1.5 Analisis Data Kuantitatif PTK Siklus I
Cara menghitung score/total jawaban yang benar pada setiap mahasiswa
pada tabel 4.3 di atas disesuaikan dengan rubrik penilaian kemampuan tata bahasa
Jepang dasar mahasiswa yang terdapat pada tabel 3.1. Sebaliknya, cara
menghitung total score tingkat kemampuan tata bahasa Jepang dasar setiap
mahasiswa menggunakan rumus berikut.
1) Untuk mencari tingkat kemampuan tata bahasa Jepang dasar (shoukyu bunpo)
tiap mahasiswa digunakan rumus berikut .
S = R
S = skor/nilai
R = right/total jawaban yang betul
Jadi, skor mahasiswa nomor urut 1 adalah 72. Demikian seterusnya sampai nomor
urut mahasiswa terakhir seperti terdapat pada tabel 4.3 di atas.
2) Untuk mencari tingkat kemampuan tata bahasa Jepang dasar (shoukyu bunpo)
tiap mahasiswa dalam persentase digunakan rumus berikut.
L = total skor setiap mahasiswa X 100%
Skor maksimum
L = 72 X 100% = 72 %
100
3) Untuk mencari nilai rata-rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar
(shoukyu bunpo) mahasiswa digunakan rumus berikut.
130
X = total skor mahasiswa X 100%
Jumlah mahasiswa
= 2.574 X 100% = 69
37
Jadi, nilai rata-rata mahasiswa dalam penguasaan tata bahasa Jepang dasar
(shoukyu bunpo) pada tes siklus I pada penerapan metode CTL dalam proses
pembelajaran bahasa Jepang adalah 69 %. Artinya hasil pembelajaran mencapai
skor 69 skor itu termasuk kategori C (cukup).
4) Berdasarkan hasil refleksi siklus I pada tabel 4.3 di atas dan nilai rata – rata
kemampuan tata bahasa Jepang dasar (shokyou bumpo) mahasiswa semester
III, maka dapat dicari mean score siklus I dengan menggunakan rumus berikut.
X = ∑X
N
X = Mean score
∑X = jumlah skor seluruh mahasiswa.
N = jumlah mahasiswa
X ( Mean score) = 2.574
37
= 69
Jadi, mean score siklus I adalah 69, artinya diperlukan tindakan siklus II.
4.3.1.6 Analisis Data Kualitatif PTK Siklus I
Apabila dilihat dari kategori tingkat kemampuan mahasiswa, nilai rata-rata
tes siklus I ini sudah menunjukkan sedikit peningkatan dibandingkan dengan tes
awal atau sebelum penerapan metode CTL. Adapun sebaran skor yang diperoleh
131
mahasiswa berdasarkan tabel di atas adalah tiga orang mahasiswa memperoleh
nilai A dari tiga puluh tujuh mahasiswa, dua belas orang mahasiswa mendapatkan
nilai B, dua puluh orang mahasiswa memperoleh nilai C, dan dua orang mendapat
nilai D pada pelaksanaan tes siklus I, Terdapat peningkatan hasil pembelajaran
yang signifikan,yaitu pada tes awal delapan orang mahasiswa mendapat nilai D.
Pada proses pembelajaran siklus I tidak ada mahasiswa yang memperoleh nilai E.
Pada tes siklus I tiga puluh lima orang dari tiga puluh tujuh orang, telah
memenuhi syarat untuk lulus, tetapi sebagian besar memperoleh nilai C artinya
nilai cukup. Kategori nilai C kurang memuaskan, sedangkan sisanya nilai dua
orang lagi tergolong kategori tidak lulus.
Secara persentase dari keempat indikator tes siklus I yang dikerjakan oleh
mahasiswa, dua indikator mencapai kategori B yakni penguasaan kemampuan
partikel dan penguasaan unsur-unsur dalam kalimat bahasa Jepang. Dua indikator
lagi mencapai kategori C, yakni pola atau struktur kalimat dan makna kalimat
bahasa Jepang.
Hasil analisis tes pada siklus I tentang kemampuan penggunaan partikel
bahasa Jepang memperoleh skor 72%, Artinya dua puluh enam orang dari jumlah
tiga puluh tujuh orang mahasiswa semester III Sastra Jepang mengerti pemakaian
partikel bahasa Jepang. Berdasarkan pengamatan, wawancara, dan hasil tes,
diketahui tiga orang mahasiswa, yaitu Wiranata san, Eka san dan Rada san,
mendapat nilai maksimal. Mereka betul semua soal saat mengerjakan tes
pemakaian partikel pada pelaksanaan tes siklus I dengan metode CTL. Akan
tetapi empat orang mahasiswa, yaitu Asri san, Supari san, Kompyang san, dan
132
Yuda san mendapatkan nilai terendah pada pemakaian partikel. Mereka hanya
berhasil mengerjakan empat soal dari sepuluh soal.
Pada waktu istirahat peneliti mendekati mahasiswa yang memperoleh nilai
terendah untuk wawancara sehubungan dengan hasil belajar mereka khususnya
tentang pemakaian partikel dalam bahasa Jepang. Asri san mengatakan bahwa ia
kurang mengerti penggunaan partikel de/ で dan wo/を bila menunjukkan tempat
dalam bahasa Jepang. Teman lainnya juga mengatakan hal yang sama, bahkan ada
yang mengatakan bahwa pemakaian partikel ga/が sering membingungkan. Untuk
memotivasi mereka, peneliti mengatakan “bukan kamu saja yang bingung, orang
lain juga banyak yang belum mengerti penggunaan partikel tersebut”. Hal itu
terjadi karena jenis partikel tadi mempunyai arti dan fungsi berbeda tergantung
dari jenis kata yang menyertai. Misalnya, partikel de/で akan berarti “di”
menunjukkan tempat, apabila disertai dengan kata kerja yang menyatakan
kegiatan atau beraktivitas.
Contoh :
Jimbaran で ばんごはん を たべます.
Jimbaran de bangohan o tabemasu.
tempat di malam part makan.
„Makan malam di Jimbaran‟.
Partikel de/で bisa berarti “dengan” menunjukkan alat yang digunakan untuk
melakukan aktivitas.
Contoh:
えんぴつ で かきます .
Enpitsu de kakimasu .
pensil dengan menulis.
„ Menulis dengan pensil‟.
133
Partikel de/で bisa juga berarti “dan” apabila digunakan untuk menyambung dua
kata sifat atau lebih yang berakhiran na/da.
Contoh :
Kuta かいがん は きれい で ゆめいです .
Kuta kaigan wa kirei de yumei desu.
Kuta pantai part indah part terkenal.
„Pantai Kuta indah dan terkena‟l.
Selain itu masih banyak lagi pemakaian partikel de/で.
Penggunaan partikel o/を pada sebuah kalimat bahasa Jepang berbeda lagi.
Misalnya,
Kuta かいがん を さんぽうします.
Kuta kaigan o shanpo shimasu .
Kutat pantai di jalan-jalan.
„Jalan-jalan di pantai Kuta‟.
Pada pola kalimat seperti ini tidak boleh digunakan partikel de/で atau ni/
に walaupun sama-sama berarti “di”. Dalam hal ini menurut gramatika bahasa
Jepang, partikel yang harus digunakan pada jenis kata kerja gerak perpindahan
seperti contoh kalimat tersebut adalah partikel o/を yang juga berarti “di”. Akan
tetapi berbeda dengan partikel o/を pada contoh kalimat berikut.
Kuta で sunset を みます
Kuta de sunset o mimasu
tempat part sunset part melihat
„Melihat sunset di Kuta‟.
Partikel o/を pada kalimat ini tidak berarti “di” tetapi menunjukkan objek sebuah
kalimat.
134
Pemakaian partikel ga/が memang banyak maknanya tergantung dari
konteks kalimat yang dimaksud oleh si pembicara misalnya,
雨 が ふりました
Ame ga furimashita
hujan part air turun
„Turun hujan‟.
Partikel ga/ が pada kalimat ini untuk menunjukkan subjek dari kata kerja
intransitif
Di samping itu, juga ada partikel ga/が yang menunjukkan memiliki suatu sifat
atau keadaan, seperti contoh yang disampaikan ketika presentasi misalnya,
Kuta では 食べ物 が たかいです
Kuta de wa tabemono ga takai desu
tempat part makanan part mahal
„Makanannya mahal di Kuta‟.
Selain itu, masih banyak pemakaian partikel ga/が (Candra, 2009:4).
Berdasarkan hasil analisis tes awal dan siklus I diketahui masih banyak
mahasiswa salah mengerjakan atau menggunakan jenis partikel dalam bahasa
Jepang.
Total skor persentasi hasil analisis tes tentang pola atau struktur kalimat
bahasa Jepang adalah 65%. Artinya, hanya dua puluh empat orang dari tiga puluh
tujuh orang mahasiswa memahami pola kalimat bahasa Jepang. Bahkan skor
pemahaman mahasiswa mengenai struktur kalimat bahasa Jepang paling rendah
dibandingkan dengan nilai indikator lainnya. Pada indicator ini hanya dua orang
dari tiga puluh tujuh mahasiswa memperoleh skor tertinggi, yaitu dua puluh
135
enam. Artinya, mahasiswa hanya mampu mengerjakan maksimal tiga belas soal
dari lima belas soal yang seharusnya dijawab.
Berdasarkan pengamatan dan hasil tes pada siklus I diketahui ada empat
orang mahasiswa yang memperoleh skor terendah, yakni Aldi san, Supari san,
Yanti san, dan Tina san. Pada waktu istirahat peneliti mendekati sambil
wawancara singkat kepada keempat orang mahasiswa bersangkutan. Mereka
mengakui masih bingung pemahaman pola kalimat bahasa Jepang. Menurut
mereka, pola atau struktur kalimat bahasa Jepang berbeda jauh dengan bahasa
Indonesia. Mereka tidak mengerti menyusun unsur predikat. Penempatan unsur
predikat mereka masih terpengaruh oleh struktur bahasa Indonesia yang terlebih
dahulu dikenalnya. Lebih-lebih predikat kata kerja yang mengalami konjugasi dan
ada tambahan kata keterangan.
Contoh:
波 が おおきい ですから 泳ぐこと が できません
Nami ga ookii desu kara oyogu koto ga dekimasen
ombak besar karena berenang tidak bisa
„Karena ombak besar, tidak bisa berenang‟.
Contoh lain hasil temuan mahasiswa seperti Kuta ni arimashita bom desu.
Pola kalimat yang disampaikan oleh kelompok 5 itu salah. Pola kalimat tersebut
yang benar adalah seperti berikut.
Kuta に bom が ありました
Kuta ni bom ga arimashita
tempat di bom part ada
„Ada bom di Kuta‟.
Apabila sudah terdapat predikat kata kerja pada kalimat bahasa Jepang, tak
perlu ada kata desu. Berdasarkan ungkapan mereka, peneliti menyarankan agar
136
mahasiswa betul – betul mengerti terlebih dahulu mana unsur subjek, objek,
keterangan dan predikat bahasa Jepang. Kemudian perlu diingat bahwa struktur
bahasa Jepang adalah S-K-O-P (subjek- keterangan- objek- predikat).Selain itu,
ingat sisipkan kata bantu partikel. Peneliti terus menekankan bahwa predikat
terletak di akhir kalimat. Beberapa jenis kata keterangan boleh di depan subjek
atau setelah subjek.
Contoh:
このう 私 は Kuta を しゃんぽしにいった。
Kinou watashi wa Kuta o shanpo shi ni itta.
Kemarin saya part tempat part jalan-jalan pergi
„Kemarin saya pergi jalan – jalan ke Kuta‟, atau
Watashi wa kinou Kuta o shanpo shi ni itta.
„Saya kemarin pergi jalan – jalan ke Kuta‟.
Mengingat pemahaman tentang pola kalimat merupakan hal yang sangat
penting dalam pembelajaran bahasa Jepang, peneliti juga mewawancarai
mahasiswa yang mendapatkan skor tertinggi pada indikator pola kalimat yakni
Swary san, dan Putri san.Hal itu dilakukan sebagai strategi inovatif dalam
pembelajaran berikutnya. Hasil rangkuman wawancara mahasiswa bersangkutan
mengatakan bahwa yang mereka lakukan lebih dahulu harus tahu arti kata bahasa
Jepang, jenis kata apakah termasuk kata sifat, kata benda, kata kerja termasuk
kelompoknya dan kata - kata yang lainnya. Bila sudah dipahami, yang perlu
diingat adalah strukturnya. Pola atau struktur kalimat bahasa Jepang adalah S - K-
O- P (subjek-keterangan - objek- predikat ), sedangkan bahasa Indonesia adalah
S-P-O-K (subjek-predikat-objek-keterangan). Hal inilah yang sering
membingungkan bagi pemula belajar bahasa Jepang. Berdasarkan pendapat
137
mahasiswa yang memperoleh skor terendah dan skor tertinggi, peneliti mengkaji
kembali untuk peningkatan hasil pembelajaran berikutnya dengan metode CTL.
Total skor dalam bentuk persentase hasil analisis tes mengenai unsur-
unsur kalimat bahasa Jepang total skor dalam bentuk persentase adalah 75%.
Artinya, dua puluh tujuh orang dari tiga puluh tujuh orang mahasiswa mengerti
unsur-unsur kalimat bahasa Jepang. Hasil belajar siklus I menunjukkan
peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan tes awal. Mahasiswa yang
memperoleh nilai tertinggi adalah Swary san, Wiranata san, Putri san, dan Shintia
san. Keempat mahasiswa tersebut berhasil mengerjakan sembilan soal dari
sepuluh soal yang diujikan. Pada tes siklus I ada empat orang mahasiswa yang
memperoleh nilai terendah, yakni Aldi san, Asri san, Supari san, dan Sri san.
Keempat mahasiswa tersebut hanya bisa mengerjakan lima soal dari soal sepuluh.
Ketika mahasiswa bersangkutan diajak wawancara, mereka menyadari bahwa
kemampuan kosakata bahasa Jepang kurang, aturan konjugasi kata kerja, kata
sifat kurang dipahami, dan hampir semua mengatakan kurang mengerti huruf
Jepang sehingga sulit mengerjakan soal. Contoh berikut diambil dari hasil temuan
kerja kelompok yaitu,
Kuta は きれい と おもしろいです
Kuta wa kirei to omoshiroi desu.
tempat part part indah dan menarik
„Pantai Kuta indah dan menarik‟.
Unsur predikat kalimat ini betul, yaitu kata sifat tetapi gramatikanya salah.
Untuk menyambung kata sifat tidak dipakai kata to/と. Namun, ada aturannya
yakni bila kata sifat berakhiran na/な , diubah dengan de/で . Bila kata sifat
berakhiran i/い diubah menjadi ku/く. Kalimat yang benar adalah seperti di bawah
ini.
138
Kuta は きれい で おもしろいです
Kuta wa kirei de omoshiroi desu.
tempat part indah part menarik
„Pantai Kuta indah dan menarik‟.
Mahasiswa yang memperoleh nilai tertinggi juga diajak wawancara. Agar
dapat mengerti dan mengerjakan soal unsur- unsur kalimat dengan benar, mereka
sepakat bahwa mahasiswa harus tahu arti kosakata bahasa Jepang, strukturnya,
dan kalau secara tertulis, harus bisa membaca dan menulis huruf Jepang.
Rangkuman hasil wawancara dengan perwakilan mahasiswa dijadikan dasar
pertimbangan dalam usaha kiat - kiat peningkatan hasil belajar tata bahasa Jepang
dasar bagi mahasiswa.
Total skor dalam bentuk persentase hasil analisis tes terakhir tentang
makna atau fungsi kalimat bahasa Jepang adalah dalam bentuk persentase 67%.
Artinya, ada dua puluh empat mahasiswa sudah mengerti makna atau fungsi
kalimat bahasa Jepang. Mahasiswa yang memperoleh nilai tertinggi adalah Eka
san, Wiranata san, Juliartawan san, dan Swary san. Mereka berempat memperoleh
skor dua puluh enam dari total skor maksimum tiga puluh. Ketika mahasiswa
yang memperoleh nilai tertinggi diwawancarai secara garis besar dikatakan bahwa
kuncinya adalah pembelajar harus mengerti pola kalimat bahasa Jepang dengan
baik dan benar, mengerti kelompok kata kerja bahasa Jepang sekaligus
konjugasinya, dan yang tidak kalah pentingnya pembelajar dapat membaca dan
menulis huruf Jepang.
Dari hasil pengamatan dan tes, diketahui ada empat orang mahasiswa
memperoleh nilai terendah pada indikator makna kalimat bahasa Jepang, yaitu
Aldi san, Purnamayanti san, Supari san, dan Supartini san. Peneliti mencoba
139
menelusuri kesulitan – kesulitan yang dialami oleh mahasiswa bersangkutan. Dari
hasil catatan wawancara singkat dapat disampaikan bahwa secara umum mereka
mengalami kesulitan dalam bidang membaca dan menulis huruf Jepang
khususnya huruf kanji, perubahan kata kerja dan kata sifat sesuai gramatikanya.
Di antara mahasiswa bersangkutan ada yang mengatakan bahwa penguasan
kosakata kurang, sehingga sulit mengerti makna yang dimaksud kalimat
bersangkutan. Contoh berikut diambil dari hasil temuan konstrukasi pembelajaran
kelompok 7 yaitu,
よるKuta を しゃんぽし に いけば、 きをつけてください。
yoru Kuta o shampoo shi ni ikeba, ki o tsukete kudasai.
malam tempat part jalan-jalan part kalau pergi, hati-hatilah.
„Kalau jalan-jalan malam hari di Kuta, berhati-hatilah‟.
Kalimat ini tidak mengandung makna perintah, karena terdapat kesalahan
pada konjugasi kata kerja tsukette. Bentuk kamus kata tsukette adalah tsukeru,
termasuk jenis kata kerja kelompok dua. Oleh karena itu, konjugasinya menjadi
tsukete, satu te bukan dua tte. Pada bahasa Jepang perubahan kata kerja antara satu
te dan dua tte mempunyai makna yang berbeda. Hal ini belum dipahami dengan
baik oleh mahasiswa.
Bagi pembelajar pemula memang benar mengubah kata kerja atau kata
sifat bahasa Jepang sesuai dengan makna atau fungsi kalimat tidak mudah. Hal
ini harus dilakukan melalui proses pembelajaran terus-menerus. Untuk dapat
mengubah kata kerja sesuai dengan makna kalimat, mahasiswa harus memahami
betul kelompok kata kerja bersangkutan. Kata kerja bahasa Jepang terdiri atas
tiga golongan, yakni kata kerja kelompok I ( godan doushi ) , kata kerja kelompok
140
II ( ichidan doushi ) dan kata kerja kelompok III (henkaku). Cara mengubah tiap-
tiap kelompok kata kerja berbeda. Perubahan kata kerja bahasa Jepang dapat
diuraikan sebagai berikut.
Kata kerja kelompok I yang berakhiran u, tsu, ru berubah menjadi “tte”,
contoh kau menjadi katte, artinya membeli, matsu menjadi matte, artinya
„membeli‟, wakaru menjadi wakatte, artinya „mengerti‟. Kata kerja yang
berakhiran bu, nu, mu berubah menjadi “nde”, contoh tobu menjadi tonde, artinya
„terbang‟, shinu menjadi shinde, artinya „meninggal‟, nomu menjadi nonde,
artinya „minum‟. Kata kerja yang berakhiran ku menjadi ite, contoh kaku menjadi
kaite, artinya „menulis‟. Kata kerja yang berakhiran gu menjadi ide, contoh oyogu
menjadi oyoide. Kata kerja berakhiran su berubah menjadi shite, contoh hanasu
menjadi hanashite, artinya „berceritra‟.
Kata kerja kelompok II, yang berakhiran eru dan iru berubah menjadi “te”.
Contoh taberu menjadi, tabete artinya „makan‟, miru berubah menjadi mite,
artinya „menonton‟.
Kata kerja kelompok III, terdiri dari dua kata kerja yakni kuru menjadi kite
artinya „datang‟ dan kata kerja suru menjadi shite artinya „melakukan‟. Kata kerja
suru dapat mengubah kata benda menjadi kata kerja. Contoh denwa artinya‟
telpon‟, bila diikuti kata kerja suru, akan menjadi denwa suru artinya „menelepon‟.
Hal lain yaitu mahasiswa sering keliru tentang perubahan kata kerja bentuk “te”
antara satu “t” dan dua “tt”. Misalnya, kata kerja hataraku akan menjadi hataraite,
satu “t”, artinya „berjalan‟, dengan kata kerja harau akan menjadi haratte, dua “tt”
artinya „membayar‟. Padahal, kedua kata kerja tersebut termasuk kelompok
141
godan doushi. Terkait dengan perubahan kata kerja bentuk “ta”, mahasiswa
tinggal mengubah vokal “e” menjadi vokal “a”, contoh katte menjadi katta, tabete
menjadi tabeta untuk bentuk lampau begitu juga kata kerja lainnya (Tanaka,
2002). Perubahan kata kerja dan kata sifat merupakan kunci dalam belajar
bahasa Jepang. Pada waktu wawancara tidak resmi hal tersebut dijelaskan kepada
mahasiswa, mudah – mudahan dapat dimengerti.
Berdasarkan hasil tes, pengamatan proses pembelajaran, dan wawancara
pada pelaksanaan siklus I, diketahui bahwa mean skor mahasiswa mencapai 69
Artinya, nilai rata – rata kemampuan mahasiswa dalam tata bahasa Jepang dasar
pada siklus I baru mencapai skor 69. Skor ini termasuk kategori nilai C (cukup).
Dari data tabel di atas diketahui tiga orang mahasiswa memperoleh nilai A, dua
belas orang mahasiswa memperoleh nilai B, dua puluh orang mahasiswa
memperoleh nilai C dari tiga puluh tujuh orang mahasiswa, bahkan masih ada
dua orang mahsiswa mendapat nilai D (kurang). Mengingat masih rendahnya
nilai pembelajaran bahasa Jepang pada pelaksanaan tindakan siklus I, maka perlu
dilaksanakan tindakan pembelajaran siklus II dengan metode CTL kepada
mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar. Diharapkan
pada tindakan siklus II terjadi peningkatan hasil belajar tata bahasa Jepang dasar
bagi mahasiswa.
4.3.2 Penelitian Tindakan Kelas Siklus II
Dalam usaha meningkatkan hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar
bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar perlu
142
dilaksanakan tindakan kelas siklus II. Tindakan siklus II dilaksanakan pada Rabu,
10 Desember 2014. Model dan metode pembelajaran yang digunakan sama seperti
pada siklus I, yaitu menggunakan model menurut pendapat Arikunto melalui
empat langkah kegiatan, yakni (1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan,
(3) pengamatan tindakan, dan (4) refleksi tindakan dengan metode CTL.
Untuk menghindari kebosanan dan kejenuhan mahasiswa dalam belajar,
materi kontek video gambar pada pembelajaran siklus II diganti tetapi tetap
konteks kawasan wisata Kuta.Selain itu, tugas atau proses pembelajaran keempat
unsur tata bahasa Jepang dasar dilaksanakan secara terpadu pada siklus II ini.
Unsur partikel dan unsur predikat dapat terpadu bersamaan dengan pembahasan
pada bagian pola kalimat dan makna kalimat. Pembelajaran pada siklus II lebih
menekankan pada struktur dan makna kalimat bahasa jepang, karena pada kedua
unsur ini banyak mahasiswa mengalami kesulitan. Pelaksanaan siklus II dapat
dijabarkan sebagai berikut.
4.3.2.1 Perencanaan Tindakan Siklus II
Pada siklus II ini perencanaan dilaksanaan tidak jauh berbeda dengan
tindakan siklus I. Untuk menghindari kejenuhan kelompok belajar mahasiswa
dirombak dengan membentuk kelompok belajar baru, dengan harapan dapat
meningkatkan motivasi dan aktivitas belajar mereka. Jumlah kelompok dan
jumlah anggotanya sama seperti siklus I. Peneliti menyiapkan fasilitas
pendukung , seperti spidol, kertas, manila, dan LCD untuk kelengkapan
presentasi hasil belajar mereka. Dengan adanya perencanaan yang lebih matang
143
tentunya pelaksanaan tindakan pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan
metode CTL lebih menarik. Disamping itu, juga diharapkan memberikan dampak
positif terhadap hasil belajar mahasiswa.
4.3.2.2 Pelaksanaan Tindakan Siklus II
Pelaksanaan kegiatan siklus II juga meliputi 3 (tiga) langkah tindakan
yakni (1) tindakan awal, (2) tindakan inti, dan (3) tindakan akhir. Ketiga langkah
tindakan tersebut disajikan sebagai berikut.
1) Kegiatan awal
Langkah tindakan awal sama dengan siklus I, hanya pada siklus II peneliti
menyuruh mahasiswa membentuk kelompok belajar baru dengan jumlah anggota
yang sama dengan siklus I. Pembentukan kelompok baru dimaksudkan untuk
penyegaran. Terbentuklah tujuh kelompok belajar dengan seorang koordinator
kelompok, yang bertugas menyampaikan hasil temuan belajar kelompok mereka.
2) Kegiatan inti
Berdasarkan pertimbangan peneliti terhadap hasil pembelajaran pada siklus I,
maka proses pembelajaran tindakan inti pada silkus II dengan metode CTL
dilaksanakan terpadu antara partikel, pola atau struktur kalimat, unsur predikat,
dan makna kalimat bahasa Jepang. Pada tindakan inti siklus II peneliti kembali
menayangkan video visual gambar baru dengan kontek pembelajaran tetap
kawasan wisata Kuta. Dalam hal ini ijelaskan konteks kawasan wisata Kuta
dengan contoh – contoh kalimat yang lebih menekankan pembelajaran tentang
144
struktur kalimat dan makna kalimat bahasa Jepang sesuai dengan hasil temuan
pada pembelajaran siklus I. Kemudian dibantu oleh dosen pendamping
membagikan lembaran kerja atau tugas kepada setiap mahasiswa untuk dikerjakan
bersama kelompok belajar yang baru saja terbentuk. Mahasiswa disuruh
mengerjakan tugas berkelompok sesuai dengan konteks media gambar kawasan
wisata Kuta yang baru saja diamati. Observer pendamping melakukan penilaian
terhadap aktivitas mahasiswa melalui pengamatan dengan menggunakan lembaran
penilaian yang sudah disiapkan sebelumnya. Selama berlangsungnya
pembelajaran, peneliti mengamati sambil memberikan bimbingan kepada
mahasiswa atau kelompok yang mengalami kesulitan mengerjakan tugas yang
diberikan. Pada tindakan inti siklus II semua kelompok menulis hasil temuan
mereka pada kertas manila yang sudah tersedia.
Setelah mahasiswa selesai mengerjakan tugas sesuai dengan batas waktu yang
ditentukan peneliti mempersilakan kelompok yang sudah siap mempresentasikan
hasil belajar kelompok di hadapan kawan – kawannya. Hasil belajar kelompok
yang difresentasikan belum tentu benar atau salah. Pada kesempatan ini tampil
kelompok 2 dengan koordinator Apriyantisan mempresentasikan hasil belajar
mereka seperti berikut.
1) Sunset を 見て から はやい かえてください
Sunset o mite kara hayai kaete kudasai
sunset part melihat setelah cepat pulanglah
„Setelah melihat sunset cepatlah pulang‟.
2) Kuta は 綺麗 です が みち の が よくこんでいます
Kuta wa kirei desu ga michi no ga yoku konde imasu
tempat part indah part jalan part sering macet
„Kuta indah, tetapi jalan sering macet‟.
145
3) Bali へ 行けば、 Kuta に 止まってください
Bali e ikeba, Kuta ni tomatte kudasai
daerah part kalau pergi tempat part menginaplah
„Kalau pergi ke Bali, menginaplah di Kuta‟
4) ここ は 打ってはいけません
Koko wa utte wa ikemasen
sini part jualan tidak boleh
„Tidak boleh jualan di sini‟.
5) Kuta は ゆめい と 面白いです
Kuta wa yumei to omoshiroi desu
tempat part terkenal part menarik
„Kuta menarik dan terkenal‟.
Tindakan inti siklus II sama dengan siklus I. Artinya, seusai presentasi
diberikan kesempatan tanya jawab antarkelompok. Apriyantisan memberikan
kesempatan untuk bertanya. Maulidasan dari kelompok 3 menanyakan kalimat
nomor 2 mengapa ada dua partikel ga/が. Kemudian Apriyanti san menjawab
bahwa kalimat nomor 2 si pembicara bermaksud menyampaikan dua kalimat yang
berlawanan. Partikel ga/が pada kata kirei desu ga, berari „tetapi‟. Partikel ga/が
pada kata michi no ga, untuk menegaskan topik pembicaraan. Kedua partikel pada
kalimat nomor 2 mempunyai fungsi yang berbeda. Maulidasan juga mengoreksi
kalimat nomor 5, yaitu untuk menyambung kata sifat tidak dipakai to/と, yang
benar adalah partikel de/で.
Pada kesempatan ini peneliti juga bertanya sebagai evaluasi kemampuan
kelompok 2, betulkah kalimat nomor 1 yang dipresentasikan. Tidak ada
mahasiswa yang berani menjawab. Peneliti langsung mengatakan bahwa kalimat
tersebut salah. Di mana letak kesalahannya, setelah dipancing seperti itu ada
mahasiswa, yaitu Swary san menunjukkan bahwa kesalahannya terdapat pada kata
146
hayai yang disertai kata kerja. Seharusnya hayaku karena berfungsi menerangkan
kata kerja kaete, yang artinya „cepatlah pulang‟.
Hasil belajar tata bahasa Jepang dasar kelompok 2 yang sudah diperbaiki
adalah seperti di bawah ini.
1) Sunset を 見て から はやく かえてください。
Sunset o mite kara hayaku kaete kudasai.
sunset part melihat setelah cepat pulanglah,
„Setelah melihat sunset cepatlah pulang‟.
2) Kuta は きれいです が みちの が よくこんでいます。
Kuta wa indah desu ga michi no ga yokukonde imasu.
tempat part indah part jalan part sering macet,
„Kuta indah, tetapi jalan sering macet‟.
3) Bali へ 行けば、Kuta に 止まってください
Bali e ikeba, Kuta ni tomatte kudasai.
daerah part pergi kalau tempat part menginaplah.
„Kalau pergi ke Bali, menginaplah di Kuta‟.
4) ここ は 打ってはいけません。
Koko wa utte wa ikemasen.
sini part dilarang jualan.
„Tidak boleh jualan di sini‟
5) Kuta は ゆめい で 面白いです。
Kuta wa yumei de omoshiroi desu.
tempat part terkenal part menarik. .
„Kuta menarik dan terkenal‟.
Hasil pembelajaran kalimat nomor (1) Sunset を見てからはやくかえて
ください (sunset o mite kara hayaku kaete kudasai). Artinya „setelah melihat
sunset cepatlah pulang‟. Bentuk kamus kata kerja mite adalah miru, artinya
melihat kemudian berkonjugasi menjadi bentuk te/て (tekei) disertai kata kara
yang bermakna setelah melihat. Bentuk kamus kata kerja kaete adalah kaeru,
artinya „pulang‟ terus berkonjugasi menjadi kaete kudasai artinya „pulanglah‟,
147
yang bermakna kalimat perintah sopan. Pada kalimat nomor (4) terdapat makna
larangan tidak boleh berjualan. Unsur predikat hasil belajar tersebut terdiri atas
kata kerja, yaitu konde imasu dan kata sifat yumeide omoshiroi, artinya „indah dan
menarik‟. Pada kalimat nomor (2) terdapat dua partikel ga/が , tetapi fungsinya
berbeda. Partikel ga/ が pertama berarti „tetapi‟ sedangkan partikel ga/が kedua
berfungsi untuk menegaskan anak kalimat jalan di Kuta (michi no ga). Pola
kalimat bahasa Jepang S-K-O-P.
Contoh:
私 は Kuta で sunset を 見ます。
Watashi wa Kuta de sunset o mimasu.
saya part tempat di sunset part melihat.
„Saya melihat sunset di Kuta‟.
Partikel wa/は penanda subjek, partikel de/で penanda keterangan tempat, dan
partikel o/を penanda objek.
Selanjutnya peneliti memberikan kesempatan satu kelompok lagi untuk
presentasi. Yang maju adalah kelompok 6 koordinatornya Evilayantisan
menyampaikan hasil kerja kelompok sebagai berikut.
1) おきゃくさま は Kuta で にっこよくすること を すきです
Okyukusama wa Kuta de nikkoyoku surukoto o suki desu
wisatawan part tempat part berjemur part suka
„Wisatawan suka ber jemur di Kuta‟.
2) Kuta が 厚い ですから、 ぼし を 被って
Kuta ga atsui desu kara, boshi o kabutte
tempat part panas karena topi part pakailah
„Karena panas di Kuta pakailah topi‟.
3) Kuta では speed boat を してはいけません
Kuta dewa speed boat o shite wa ikemasen
148
tempat part speed boat part bermain tidak boleh
„Tidak boleh bermain boat di Kuta‟.
4) Kuta を しゃんぽうして から、晩ご飯 を たべましょう
Kuta o shampoo shite kara, bangohan wo tabemashou
tempat part jalan-jalan setelah malam part ajakan makan
„Ayo makan malam setelah jalan – jalan di Kuta‟.
5) Kuta には おふく が 高いです
Kuta niwa ofuku ga takai desu
tempat part pakaian part mahal
„Pakaian mahal – mahal di Kuta‟.
Setelah presentasi kelompok 4 Permanasan mengoreksi kalimat nomor 2.
Menurut dia kalimat tersebut kurang kata kudasai, seharusnya kabutte kudasai.
Evilayantisan menanggapi pendapat Permanasan betul, tetapi kalimat nomor 2
juga tidak salah. Tanpa kata kudasai pun kalimat tersebut termasuk kalimat
perintah, hanya kalimatnya kurang sopan. Bila disertai kata kudasai, akan
menjadi kalimat perintah bentuk sopan.
Pertanyaan selanjutnya dari Novitasarisan kelompok 7. Kata nikkoyoku
suru pada kalimat nomor 1 termasuk jenis kata kerja. Mengapa terletak di tengah
– tengah kalimat. Dosen observer membantu memberikan jawaban bahwa kata
kerja bila disertai kata koto atau no tidak berfungsi kata kerja lagi, tetapi menjadi
kata benda. Kalimat nomor 1 betul. Mahasiswa lain mengatakan bahwa kalimat
itu belum betul. Kesalahan terdapat partikel o/を seharusnya partikel ga/が ,
karena disertai oleh kata sifat suki artinya suka.
Akhirnya, kelompok 6, yaitu Evilayanti san menyimpulkan hasil
pembelajaran tata bahasa Jepang dasar setelah dikoreksi seperti berikut.
1) おきゃくさま は Kuta で にっこよくすること がすきです。
Okyukusama wa Kuta de nikkoyoku surukoto ga suki desu.
149
wisatawan part tempat part berjemur part suka.
„Wisatawan suka berjemur di Kuta‟.
2) Kuta が 厚い ですから、 ぼし を 被って。
Kuta ga atsui desu kara, boshi o kabutte
Tempat part panas karena topi part pakailah.
Karena panas di Kuta, pakailah topi.
3) Kuta では speed boat を してはいけません。
Kuta dewa speed boat o shite wa ikemasen.
tempat part permainan part larangan bermain.
„Di Kuta tidak boleh bermain boat‟.
4) Kuta を しゃんぽうして から、晩ご飯 を たべましょう。
Kuta o shampoo shite kara, bangohan wo tabemashou.
tempat part jalan-jalan setelah malam part mari makan .
„Ayo makan malam setelah jalan – jalan di Kuta‟.
5) Kuta には おふく が 高いです。
Kuta niwa ofuku ga takai desu.
tempat part pakaian part mahal
„Pakaian mahal – mahal di Kuta‟.
Predikat kata sifat, seperti suki, oishii dan kata kerja yang menunjukan
potensial seperti dekiru, tai, wakaru selalu didahului oleh partikel ga/が , seperti
contoh kalimat nomor (1) di bawah ini.
おきゃくさま は Kuta で にっこよくすること が すきです
Okyukusama wa Kuta de nikkoyoku suru koto ga suki desu.
wisatawan part tempat part berjemur part suka.
„Wisatawan suka berjemur di Kuta‟.
Kata kerja bentuk te/て dalam bahasa Jepang banyak fungsinya. Sesuai
dengan pokok bahasan di atas antara lain untuk mengungkapkan perintah seperti
kalimat nomor (2) berikut.
Kuta が 厚い ですから、 ぼし を 被って.
Kuta ga atsui desu kara, boshi o kabutte.
tempat part panas karena topi part memakai.
„Karena panas di Kuta, pakailah topi‟.
150
Akan tetapi kalimat perintah ini kurang sopan dan sering disebut bentuk biasa.
Kata kerja bentuk te/て disertai oleh wa ikemasen bermakna kalimat larangan.
Contoh:
たばこ を すってはいけません。
Tabako o sutte wa ikemasen.
rokok part merokok larangan.
„Tidak boleh merokok‟.
Berhubung waktu perkuliahan sudah berakhir presentasi hasil belajar dilanjutkan
pada Jumat, 12 Desember 2014.
Pada hari berikutnya dilanjutkan presentasi dari kelompok 1, 3, 4, 5, dan 7.
Hasil belajar kelompok yang difresentasikan belum tentu benar atau salah.
Kelompok 1 disilakan presentasi. Koordinator kelompok Antara san
menyampaikan hasil kerja kelompoknya sebagai berikut.
1) 今日 は 天気 が いい、Kuta で およぎます
Kyou wa tenki ga ii, Kuta de oyogimasu
hari ini part cuaca part baik tempat part berenang
„Hari ini cuaca bagus, saya berenang di Kuta‟.
2) あの 売っている 人 は Bali ひと ではありません
Ano utte iru hito wa Bali hito dewa arimasen
itu jualan orang part Bali orang bukan
„Orang yang jualan itu, bukan orang Bali‟.
3) きたない ばしょ ですから、ここ で 食べろ
Kitanai basho desu kara, koko de tabero
kotor tempat karena di sini part jangan makan
„Jangan makan di sini karena tempat kotor‟.
4) Kuta の みち は 言いです が にぎやかです
Kuta no michi wa ii desu ga nigiyaka desu
tempat jalan bagus tetapi ramai
Jalan di Kuta bagus, tetapi sempit.
151
5) バス 大きい は Kuta に はいるな
Basu ookii wa Kuta ni hairuna
Bus besar part tempat part dilarang masuk
Bus besar dilarang masuk ke Kuta.
Antarasan mempersilakan kelompok lain untuk mengoreksi hasil kerja
kelompoknya. Semua mahasiswa diam dan mengatakan apa yang disampaikan
sudah betul. Padahal, menurut peneliti dan dosen observer hasil kerja kelompok 1
ada yang salah. Untuk menghemat waktu peneliti langsung menyuruh mengecek
kalimat nomor (4) dan (5). Betulkah kalimat tersebut? Lestari san kelompok 7
mengatakan bahwa terdapat kesalahan pada kata basu ookii. Dari struktur bahasa
Jepang yang betul adalah ookii basu, artinya „bus besar‟, yaitu terbalik dengan
susunan bahasa Indonesia. Dalam gramatika bahasa Jepang bila kata sifat
berfungsi menerangkan kata benda, letaknya di depan kata benda. Mahasiswa lain
sependapat dengan Lestari san. Pada kalimat nomor (4) unsur predikat kata sifat
nigiyaka tidak tepat dalam konteks kalimat tersebut karena ada partikel ga, maka
kata yang tepat adalah semai artinya „sempit‟ yang lain sudah betul. Sesudah
melalui diskusi kelompok 1 kemudian mengonstruksi kembali hasil belajar
mereka seperti di bawah ini.
1) 今日 は 天気 が いい、Kuta で およぎます。
Kyou wa tenki ga ii, Kuta de oyogimasu.
hari ini part cuaca part bagus tempat part berenang
„Hari ini cuaca bagus, saya berenang di Kuta‟.
2) あの 売っている 人 は Bali ひとではありません。
Ano utte iru hito wa Bali hito dewa arimasen.
itu jualan orang part Bali orang bukan.
„Orang yang jualan itu, bukan orang Bali‟.
3) きたない ばしょ ですから、ここ で 食べるな。
Kitanai basho desu kara, koko de taberuna.
kotor tempat karena sini part larangan makan.
152
„Jangan makan di sini karena tempat kotor‟.
4) Kuta の みち は 言い です が 狭いです。
Kuta no michi wa ii desu ga semai desu.
tempat part jalan bagus tetapi sempit. .
„Jalan di Kuta bagus, tetapi sempit‟.
5) 大きい バス は Kuta に はいるな。
Ookii basu wa Kuta ni hairuna.
besar bus part tempat part larangan masuk.
„Bus besar dilarang masuk ke Kuta‟.
Kata kerja およぎます (oyogimasu) artinya „berenang‟, adalah berfungsi
sebagai predikat. Pardikel de berarti „di‟ menunjukkan tempat kegiatan. Untuk
menandakan keadaan alam biasanya dipakai partikel ga seperti contoh kalimat
nomor (1) berikut.
今日 は 天気 が いい、Kuta で およぎます.
Kyou wa tenki ga ii, Kuta de oyogimasu.
hari ini part cuaca part bagus tempat part berenang
„Hari ini cuaca bagus, saya berenang di Kuta‟.
Kalimat nomor (2) Bali ひとではありません (Bali hito dewa arimasen),
artinya „bukan orang Bali‟, adalah predikat kata benda dalam bentuk negatif. Cara
menegatifkan kata benda adalah kata benda disertai dewa arimasen atau janai.
Kata taberuna adalah larangan makan. Konjugasinya, yaitu kata kerja bentuk
kamus ditambah na. Contoh lain sake o nomuna, artinya‟ jangan minum arak‟.
Bila kata sifat berfungsi menerangkan kata benda, posisi kata sifat mendahului
kata benda. Contoh kalimat nomor (5) berikut.
大きい バス は Kuta に はいるな.
Ookii basu wa Kuta ni hairuna.
besar bus part tempat part masuk tidak boleh
„Bus besar tidak boleh masuk ke Kuta‟.
153
Presentasi berikutnya kelompok 3 oleh Ratcahyani san sebagai berikut:
1) 来週 の 休み は どこ へ 行きますか
Raishuu no yasumi wa doko e ikimasu ka
Minggu depan part libur part mana part pergi.
„Liburan minggu depan pergi ke mana‟.
2) Riko さん は 日本人 じゃない
Rikosan wa nihonjin janai
nama orang part orang Jepang bukan
„Riko bukan orang Jepang‟.
3) Kuta に たくさん ものかざり を 買いました
Kuta ni takusan monokazari o kaimashita
tempat part banyak perhiasan part membeli
„Membeli banyak perhiasan di Kuta‟.
4) Kuta に 一緒に 行きましょう
Kuta ni isshoni ikimashou
tempat part bersama mari pergi
„Ayo bersama sama pergi ke Kuta‟.
5) 食べ物 が たかくて、Kuta で たべないでください
Tabemono ga takakute, Kuta de tabenaide kudasai
makanan part mahal tempat part makan jangan
„Jangan makan di Kuta karena makananya mahal‟.
Kesempatan bertanya dimanfaatkan oleh Antara san kelompok 1.
Menurut dia, pada kalimat nomor 3 terdapat kesalahan penulisan partikel ni/に
pada kata Kuta ni. Partikel yang betul adalah de/ で karena predikatnya
beraktivitas. Selain itu, kalimat nomor 3 juga salah dalam pemakaian partikel ni/
に, seharusnya partikel e/へ karena kata kerja bertujuan. Pendapat Antara san
untuk kalimat nomor 1 dapat diterima karena memang yang benar adalah partikel
de/で, Akan tetapi, untuk kalimat nomor 3 dapat disampaikan boleh pakai e/へ
atau ni/に artinya pada kontek kalimat tersebut sama – sama berarti ke untuk
menunjukkan tujuan. Pada kesempatan ini peneliti bertanya tentang kata
154
ikimashou, bagaimana bentuk kamusnya dan termasuk kata kerja kelompok mana.
Kelompok Ratcahyanisan menjawab bahwa bentuk kamus ikimashou adalah iku
artinya „pergi‟, termasuk kata kerja kelompok 1. Jawaban Ratcahyani san dan
anggotanya betul. Akhirnya kelompok 3 menyimpulkan hasil belajar tata bahasa
Jepang dasar dengan metode CTL sebagai berikut.
1) 来週 の 休み は どこ へ 行きますか
Raishuu no yasumi wa doko e ikimasu ka
Minggu depan part libur part mana part pergi.
„Liburan minggu depan pergi ke mana‟.
2) Riko さん は 日本人 じゃない
Rikosan wa nihonjin janai
nama orang part orang Jepang bukan
„Riko bukan orang Jepang‟.
3) Kuta に たくさん ものかざり を 買いました
Kuta ni takusan monokazari o kaimashita
tempat part banyak perhiasan part membeli
„Membeli banyak perhiasan di Kuta‟.
4) Kuta に 一緒に 行きましょう
Kuta ni isshoni ikimashou
tempat part bersama mari pergi
„Ayo bersama sama pergi ke Kuta‟.
5) 食べ物 が たかくて、Kuta で たべないでください
Tabemono ga takakute, Kuta de tabenaide kudasai
makanan part mahal tempat part makan jangan
„Jangan makan di Kuta karena makananya mahal‟.
Hasil temuan belajar kelompok 3 di atas, pada kalimat nomor (1)
merupakan jenis kalimat tanya, yang ditandai oleh kata tanya doko e, artinya ke
mana. Selain itu, pada akhir kalimat terdapat kata ka pertanda kalimat tanya.
Untuk mengungkapkan larangan sopan, kata kerja diubah menjadi bentuk nai
(naikei) kemudian ditambah kata de kudasai.
155
Perhatikanlah contoh kalimat nomor (5) berikut.
食べ物 が たかくて、 Kuta で たべないでください.
Tabemono ga takakute, Kuta de tabenaide kudasai.
makanan part mahal tempat part makan jangan.
„Jangan makan di Kuta karena makananya mahal‟.
Selanjutnya presentasi kelompok 4 disampaikan oleh Tina san
disampaikan sebagai berikut .
1) お雨 ですから、 私 は Kuta へ 行きません
Oame desu kara, watashi wa Kuta e ikimasen
Hujan karena saya part tempat part tidak pergi
Karena hujan lebat, saya tidak pergi ke Kuta.
2) Kuta に しゃんぽうし に いきたい タクーシ を 呼んでください
Kuta ni shampoo shi ni ikitai, takusi o yonde kudasai
tempat part jalan-jalan ingin pergi, taksi part panggikan
„Saya ingin jalan- jalan ke Kuta tolong panggilkan taksi‟.
3) Kuta で かいました を お土産 です
Kuta de kaimashita o omiyage desu
tempat past membeli past oleh-oleh
„Membeli oleh-oleh di Kuta‟.
4) おきゃくさま は Kuta に おぜくいます
Okyakusama wa Kuta ni ozeku imasu
wisatawan part tempat part banyak ada
„Wisatawan ada banyak di Kuta‟.
5) みなさま は Kuta を しゃんぽうすれば、気をつけてください
Minasama wa Kuta o shanpou sureba, ki o tsukete kudasai
saudara part tempat part kalau jalan-jalan, berhati-hatilah
„Anda sekalian kalau jalan- jalan di Kuta , hati- hatilah‟
Ketika diberikan kesempatan bertanya ada mahasiswa, yaitu Juliartawan
san dari kelompok 2 mengatakan bahwa pola kalimat nomor 3 salah, seharusnya
kata kerja kaimashita terletak di akhir kalimat. Pola yang benar adalah seperti di
bawah ini.
156
Kuta で お土産 を 買いました。
Kuta de omiyage o kaimashita.
tempat part oleh-oleh part membeli
„Membeli oleh – oleh di Kuta‟.
Karena tidak ada pertanyaan lagi, peneliti mengomentari kalimat nomor 2. Pada
kalimat nomor 2 ada kata takusi o yonde kudasai. Bagaimana bentuk larangan
kalimat tersebut. Mahasiswa Artayasa san menjawab takusi o yonda. Jawaban
Artayasa san salah. Noviyanti san kelompok 6 menjawab takusi o yobuna, artinya
„jangan panggil taksi‟. Peneliti membetulkan jawaban Noviyantisan kelompok 6.
Akhirnya Tina san menyimpulkan hasil temuan kelompok mereka seperti
berikut .
1) お雨 ですから、 私 は Kuta へ 行きません
Oame desu kara, watashi wa Kuta e ikimasen
Hujan karena saya part tempat part tidak pergi
Karena hujan lebat, saya tidak pergi ke Kuta.
2) Kuta に しゃんぽうし に いきたい タクーシ を 呼んでください
Kuta ni shampoo shi ni ikitai, takusi o yonde kudasai
tempat part jalan-jalan ingin pergi, taksi part panggikan
„Saya ingin jalan- jalan ke Kuta tolong panggilkan taksi‟.
3) Kuta で お土産 を かいました
Kuta de omiyag o kaimashita
tempat part oleh-oleh part membeli
„Membeli oleh-oleh di Kuta‟.
4) おきゃくさま は Kuta に おぜくいます
Okyakusama wa Kuta ni ozeku imasu
wisatawan part tempat part banyak ada
„Wisatawan ada banyak di Kuta‟.
5) みなさま は Kuta を しゃんぽうすれば、気をつけてください
Minasama wa Kuta o shanpou sureba, ki o tsukete kudasai
saudara part tempat part kalau jalan-jalan, berhati-hatilah
„Anda sekalian kalau jalan- jalan di Kuta , hati- hatilah‟
157
Berdasarkan hasil analisis pembelajaran mahasiswa, diketahui ternyata
pemakaian partikel o/を untuk kata kerja gerak perpindahan sering mengalami
kesulitan, seperti pada kalimat berikut.
Kuta に しゃんぽうし に いきたい タクーシ を 呼んでください
Kuta ni shampoo shi ni ikitai, takusi o yonde kudasai
tempat part jalan-jalan ingin pergi, taksi part panggikan
„Saya ingin jalan- jalan ke Kuta tolong panggilkan taksi‟.
Kata kerja shanpo suru (jalan-jalan), wataru (menyeberang), magaru
(membelok) disertai partikel o/を , yang berarti “di”. Berbeda halnya bila yang
menyertai kata kerja transitif fungsi partikel o/を menyatakan objek. Unsur
predikat kalimat di atas semua berupa kata kerja seperti ikimasen artinya „tidak
pergi sopan‟ pada kalimat nomor (1), kaimashita artinya membeli bentuk lampau,
kalimat nomor (3). Kata kerja bentuk te/て diikuti kata kudasai bermakna kalimat
perintah, seperti contoh kalimat berikut.
タクーシ を 呼んでください.
Takusi o yonde kudasai.
taksi part panggilkan.
„Tolong panggilkan taksi‟.
Berikutnya dilanjutkan presentasi oleh Sustrawansan kelompok 5 dengan
hasil pembelajaran di bawah ini .
1) Gensai Kuta で ビル 高い が たくさんありました
Gensai Kuta de biru takai ga takusan arimashita
sekarang tempat part gedung tinggi part banyak ada
„Sekarang banyak bangunan tinggi – tinggi di Kuta‟.
2) ゆがた だったら、Kuta に sunset を 見に行きましょう
Yugata dattara, Kuta ni sunset o mi ni ikimashou
sore kalau tempet part sunset part melihat ajakan pergi.
„Kalau sore hari, mari kita melihat sunset di Kuta‟.
158
.
3) ワヤンさん は Kuta に よみこさん を あんないしてください
Wayan san wa Kuta ni Yomiko san o annai shite kudasai
nama part tempat part nama part antarlah
„Pak Wayan tolong antar Ibu Yomiko ke Kuta‟.
4) Kuta が ついたら、電話 を かけてください
Kuta ga tsuitara, denwa o kakete kudasai
tempat part kalau tiba telpon part telponlah
Kalau sudah tiba di Kuta tolong telepon ya.
5) Bali に とても綺麗な かいがん は Kuta
Bali ni totemo kirei na kaigan wa Kuta desu
tempat part sangat indah pantai part tempat
„Pantai terindah di Bali adalah Kuta‟.
Seusai kelompok 5 presentasi ada pertanyaan dan koreksi dari Krisnadewi
san kelompok 2. Menurut dia, struktur kalimat nomor 1 salah. Menurut gramatika
bahasa Jepang seharusnya gensai Kuta ni takai biru ga takusan arimasu. Artinya,
sekarang ada banyak bangunan tinggi di Kuta. Selain itu, pada kalimat nomor 4
tertulis Kuta ga/が. Pemakaian partikel ga/が pada konteks ini tidak tepat, tetapi
yang benar adalah partikel ni/に, artinya menunjukkan tempat tujuan. Pendapat
Krisna san bisa diterima oleh kelompok 5. Pada kesempatan ini peneliti bertanya
sekaligus mengevaluasi kemampuan tiap-tiap kelompok. Peneliti meminta
mahasiswa memperhatikan kata annai shite kudasai dan kata kakete kudasai.
Seandainya kata kudasai dihilangkan, bagaimana makna kalimat tersebut.
Mahasiswa agak lama tidak menjawab. Kemudian ada kelompok 1, yaitu
Wiranata san menjawab. Bila tanpa ada kata kudasai, kalimat tersebut bukan
kalimat perintah lagi, melainkan kalimat sedang beraktivitas. Pendapat
Wiranatasan disanggah oleh Swarysan kelompok 7. Menurut Swary san tanpa
kata kudasai pun kalimat tersebut tetap termasuk kalimat perintah, tetapi kurang
159
sopan atau dikatakan kalimat perintah bentuk biasa dan biasanya dipakai
antarteman akrab. Bagaimana mahasiswa lain, banyak mahasiswa menjawab
bahwa pendapat dari Swary san yang betul. Dalam hal ini peneliti juga
sependapat. Setelah melalui diskusi akhirnya hasil temuan mengenai tata bahasa
Jepang dasar dikonstruksi ulang sebagai berikut .
1) Gensai Kuta に ビル 高い が たくさんありました
Gensai Kuta ni biru takai ga takusan arimashita
sekarang tempat part gedung tinggi part banyak ada
„Sekarang banyak bangunan tinggi – tinggi di Kuta‟.
2) ゆがた だったら、Kuta に sunset を 見に行きましょう
Yugata dattara, Kuta ni sunset o mi ni ikimashou
sore kalau tempet part sunset part melihat ajakan pergi.
„Kalau sore hari, mari kita melihat sunset ke Kuta‟.
.
3) ワヤンさん は Kuta に よみこさん を あんないしてください
Wayan san wa Kuta ni Yomiko san o annai shite kudasai
nama part tempat part nama part antarlah
„Pak Wayan tolong antar Ibu Yomiko ke Kuta‟.
4) Kuta が ついたら、電話 を かけてください
Kuta ga tsuitara, denwa o kakete kudasai
tempat part kalau tiba telpon part telponlah
Kalau sudah tiba di Kuta tolong telepon ya.
5) Bali に とても綺麗な かいがん は Kuta
Bali ni totemo kirei na kaigan wa Kuta desu
tempat part sangat indah pantai part tempat
„Pantai terindah di Bali adalah Kuta‟.
Partikel ni/に berarti “di” pada kata Kuta kalimat nomor (1) menunjukkan
tempat keberadaan benda dalam hal ini bangunan tinggi. Kalimat nomor (2) Kuta
ni/に pada konteks kalimat ini partikel ni/に tidak berarti di, tetapi berarti “ke”.
Perlu diketahui bahwa partikel ni/に bisa berarti di, ke, oleh, dan lain-lain
160
tergantung dari konteks kalimat. Makna kalimat perintah terdapat pada kalimat
nomor (3) dan (4), yakni kata kerja bentuk te/て disertai kata kudasai.
Contoh:
電話 を かけてください。
Denwa o kakete kudasai.
Telpon part telponlah.
„Silakan telepon‟.
Kalimat perintah ini termasuk bentuk sopan, sedangkan bentuk biasa boleh tanpa
kata kudasai.
Presentasi terakhir adalah kelompok 7. Novitasari san menyampaikan
hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode CTL sebagai berikut.
1) 子供 が Kuta で ひとりで およぐな
Kodomo ga Kuta de hitoride oyoguna
anak part tempat part sendiri jangan berenang
„Anak – anak jangan berenang sendiri di Kuta‟.
2) Kuta で Jogger の テシャーツ を かいなさい
Kuta de Jogger no Tshatsu o kainasai
tempat part nama toko baju part belikan
„Tolong belikan baju kaos Jogger di Kuta‟
.
3) Kuta で いっしょに 写真 を とりましょう
Kuta de isshoni shasin o torimashou
tenpat part bersama foto part ajakan berfoto
„Mari foto bersama di Kuta‟.
4) 友達 は Kuta で さっかをしてはいけません
Tomodachi wa Kuta de sakka shite wa ikemasen
teman part tempat part bola bermain tidak boleh
„Teman- teman tidak boleh bermain bola di Pantai Kuta‟.
5) おきゃくさま は Kuta で sunset を おぜく見ました
Okyakusama wa Kuta de sunset o ozeku mimashita
wisatawan part tempat sunset part banyak melihat
„Wisatawan ramai menonton sunset di Kuta‟.
161
Sesudah presentasi Novitasari san menjelaskan bahwa kalimat nomor 1
dan kalimat nomor 4 bermakna kalimat larangan. Bentuk kamus kata oyoguna,
pada kalimat nomor 1 adalah oyogu tergolong kata kerja kelompok satu. Bila
disertai kata na, akan berubah fungsi menjadi makna larangan. Apabila kata kerja
kelompok 2 kata ru diganti ro akan berubah makna menjadi bentuk larangan.
Taberu menjadi tabero artinya „dilarang makan‟. Begitu juga kata shite wa
ikemasen, pada kalimat nomor 4 artinya tidak boleh melakukan juga mengandung
makna larangan. Kalimat nomor 2 bermakna kalimat perintah. Kalimat nomor 3
adalah kalimat ajakan. Novitasari san memberikan kesempatan kelompok lain
untuk bertanya. Akan tetapi, tidak ada bertanya dan mereka mengatakan sudah
mengerti. Kemudian peneliti bertanya mengapa kelompok 7 menulis kainasai
tidak menulis kata kerja bentuk “te”. Novitasari san memberikan kesempatan
anggota kelompoknya untuk menjawab. Lestari san mengatakan bahwa kata dasar
bentuk masu disertai kata nasai juga dapat membentuk kata kerja perintah sama
dengan kata kerja bentuk “te” disertai kata kudasai. Perbedaannya hanya pada
tingkat kesopanannya. Pendapat kelompok 7 memang dapat diterima dan benar.
Hasil temuan pembelajaran kelompok 7 semua sudah betul. Kemudian
disimpulkan sebagai berikut .
1) 子供 が Kuta で ひとりで およぐな
Kodomo ga Kuta de hitoride oyoguna
anak part tempat part sendiri jangan berenang
„Anak – anak jangan berenang sendiri di Kuta‟.
2) Kuta で Jogger の テシャーツ を かいなさい
Kuta de Jogger no Tshatsu o kainasai
tempat part nama toko baju part belikan
„Tolong belikan baju kaos Jogger di Kuta‟
162
3) Kuta で いっしょに 写真 を とりましょう
Kuta de isshoni shasin o torimashou
tenpat part bersama foto part ajakan berfoto
„Mari foto bersama di Kuta‟.
4) 友達 は Kuta で さっかをしてはいけません
Tomodachi wa Kuta de sakka shite wa ikemasen
teman part tempat part bola bermain tidak boleh
„Teman- teman tidak boleh bermain bola di Pantai Kuta‟.
5) おきゃくさま は Kuta で sunset を おぜく見ました
Okyakusama wa Kuta de sunset o ozeku mimashita
wisatawan part tempat sunset part banyak melihat
„Wisatawan ramai menonton sunset di Kuta‟.
Partikel wa/は dan ga/が dipakai untuk menyatakan subjek kalimat bahasa
Jepang. Perhatikanlah kalimat nomor (1).
子供 が Kuta で ひとりで およぐな.
Kodomo ga Kuta de hitoride oyoguna.
anak part tempat part sendiri jangan berenang.
„Anak – anak jangan berenang sendiri di Kuta‟.
Partikel ga/が lebih menekankan pada subjek, seperti pada kalimat di atas
menegaskan kepada anak-anak. Bentuk kamus kata kerja oyoguna, adalah oyogu
artinya „berenang‟ disertai kata na/な bermakna untuk mengungkapkan larangan
berenang. Ungkapan larangan ini adalah bentuk biasa.
Perhatikan kalimat hasil temuan nomor (2) berikut.
Kuta で Jogger の テシャーツ を かいなさい.
Kuta de Jogger no Tshatsu o kainasai.
tempat part Jogger part baju kaos part belikan.
„Tolong belikan baju kaos Jogger di Kuta‟.
Kalimat ini adalah kalimat perintah. Caranya kata kerja kaimasu,
kemudian masu diganti dengan nasai. Contoh lain tabemasu artinya makan. Kata
itu berkonjugasi menjadi tabenasai artinya “makanlah” yaitu bentuk perintah.
163
Mahasiswa hati-hati memakai partikel o/を bila berfungsi sebagai penanda objek
pada kata kerja transitif dan partikel o/を dapat juga berarti “di” pada kata kerja
lain seperti wataru (menyeberang), magaru (membelok). Pola kalimat bahasa
Jepang S-K-O-P (subjek-keterangan-objek-predikat), di antara kata-kata tersebut
disisipi kata bantu atau partikel. Predikat bahasa Jepang terletak di akhir kalimat.
Contoh:
Riko さん は Kuta で 母子 を 買いました。
Rikosan wa Kuta de boshi o kaimashita.
nama part tempat part topi part membeli.
„ Riko membeli topi di Kuta‟.
Riko (S), wa partikel penanda subjek, Kuta (K), de partikel penanda tempat
kegiatan berarti di, boshi (O) partikel o penanda objek, kaimashita (P) bentuk
lampau. Kalimat ini adalah bentuk lampau.
4.3.2.3 Pengamatan Siklus II
Seperti telah dikemukkan di atas bahwa selama berlangsungnya proses
pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shokyou bumpo) dengan metode CTL
dilakukan penilaian pengamatan oleh peneliti dan dosen observer pada siklus II
sama dengan yang digunakan dalam penilaian tindakan siklus I. Penilaian
dilaksanakan dengan lembar penilaian yang sudah dipersiapkan dan dilakukan
melalui observasi. Hasil pengamatan dianalisis dan hasil analisis dijadikan bahan
acuan dalam melaksanakan refleksi untuk mengetahui hasil pencapaian proses
pembelajaran.
164
Berikut disampaikan hasil pengamatan proses pembelajaran tata bahasa
Jepang dasar dengan metode CTL pada siklus II. Pada pengamatan ini indikator –
indikator yang diamati sama dengan indikator pengamatan siklus I. Hasil
pengamatan pembelajaran siklus II dapat disampaikan sabagai berikut.
4.4 Pengamatan Aktivitas Belajar Mahasiswa dengan Menerapkan Metode
Kontekstual (CTL) pada Siklus II
No.
Indiktor Pengamatan
Penilaian
Baik
Sekali
Baik Cukup Kurang
1 Perhatian, motivasi, dan tanggung
jawab ketika proses pembelajaran
berlangsung.
√
2 Pengembangan ide/gagasan nyata
dari mahasiswa
√
3 Kemampuan untuk menemukan
konteks pembelajaran.
√
4 Kemampuan untuk mengonstruksi
hasil pembelajaran
√
5 Keaktifan mahasiswa dalam
belajar kelompok (kerjasama
dalam kelompok)
√
6 Keaktifan dalam bertanya/diskusi. √
7 Kelancaran mahasiswa dalam
menjawab pertanyaan kelompok
dan dosen
√
8 Tertib, sopan, dan disiplin dalam
mengikuti proses pembelajaran.
√
9 Kemampuan mahasiswa dalam
memanfaatkan waktu.
√
10 Kemampuan mahasiswa dalam
mempresentasikan hasil belajar.
√
Hasil pengamatan pada lembar pengamatan siklus II dalam pembelajaran
tata bahasa Jepang dasar dengan menggunakan metode CTL pada indikator aspek,
165
motivasi, dan tanggung jawab, kemampuan untuk mengonstruksi hasil
pembelajaran, ketertiban, sopan, dan disiplin dalam mengikuti proses
pembelajaran mengalami peningkatan mejadi sangat baik. Indikator lainnya,
yakni pengembangan ide/gagasan nyata dari mahasiswa, kemampuan untuk
menemukan konteks pembelajaran, keaktifan mahasiswa dalam belajar
kelompok (kerja sama dalam kelompok), keaktifan dalam bertanya/diskusi,
kelancaran mahasiswa dalam menjawab pertanyaan kelompok dan dosen,
kemampuan mahasiswa dalam memanfaatkan waktu, dan kemampuan mahasiswa
dalam mempresentasikan hasil belajar, mengalami peningkatan dari kategori
cukup menjadi baik pada siklus II.
Menurut saran dan catatan dosen pendamping, kemampuan mahasiswa
dalam mempresentasikan hasil belajar memang mengalami peningkatan, tetapi
ada beberapa orang perlu dilatih dan ditingkatkan lagi. Hasil pengamatan yang
dilaksanakan oleh dosen pendamping dan catatan – catatan wawancara peneliti
pada pembelajaran siklus I dan siklus II dijadikan dasar pertimbangan juga dalam
pengambilan tindakan pembelajaran tata bahasa Jepang dasar.
4.3.2.4 Tindakan Refleksi Siklus II
Sebagaimana sudah diuraikan pada siklus I, refleksi tindakan siklus II juga
dilakukan secara kolaborasi antara peneliti dan observer pendamping. Refleksi
siklus II bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar tata bahasa Jepang
dasar mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Sarasawati Denpasar setelah
melaksanakan siklus I dengan metode CTL. Jenis dan bentuk tes yang digunakan
166
pada refleksi siklus II sama dengan tes siklus I karena kedua tahapan tersebut
mempunyai tujuan yang sama yakni mengukur kemampuan penguasaan tata
bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati
Denpasar. Hasil refleksi siklus II dapat dideskripsikan pada tabel berikut
Tabel 4.5 Data Total Skor Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar
Mahasiswa Semester III Setelah Dilaksanakan Metode CTL pada
Tindakan Akhir Tes Siklus II
No.
Mhs
Penggunaan
Partikel Pola
Kalimat
Unsur-
unsur
Kalimat
Makna/Fungsi
Kalimat
Total
Skor
% Kategori
Skor
01 16 26 16 24 82 82% B
02 18 24 16 22 80 80% B
03 20 26 20 26 92 92% A
04 14 22 16 20 72 72% B
05 16 26 14 22 78 78% B
06 14 26 14 26 80 80% B
07 16 20 14 18 68 68% C
08 14 26 20 24 84 84% B
09 14 18 16 22 70 70% B
10 14 26 14 24 78 78% B
11 20 28 18 24 90 90% A
12 20 24 20 28 92 92% A
13 16 18 12 18 64 64% C
14 18 20 18 24 80 80% B
15 16 22 14 22 74 74% B
16 20 24 18 28 90 90% A
17 18 26 20 24 88 88% A
18 18 20 12 22 72 72% B
19 20 24 18 24 88 88% A
20 16 20 16 18 70 70% B
21 14 18 16 26 78 78% B
22 18 26 20 28 92 92% A
23 18 24 18 22 82 82% B
24 16 18 14 20 68 68% C
25 16 26 16 24 82 82% B
26 20 26 20 26 92 92% A
27 20 24 20 26 90 90% A
28 18 22 18 22 80 80% B
29 16 18 16 18 68 68% C
30 18 24 18 22 82 82% B
31 18 24 18 24 84 84% B
32 16 24 16 26 82 82% B
167
33 18 22 16 24 80 80% B
34 16 22 18 24 82 82% B
35 16 24 18 22 80 80% B
36 18 20 16 24 78 78% B
37 18 22 18 24 82 82% B
Total 632 848 622 864 2.966
Berdasarkan data tabel 4.5 di atas dapat disampaikan bahwa total skor
kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III pada pelaksanaan
tes PTK siklus II dengan menerapkan metode CTL adalah 2.966. Nilai rata – rata
mahasiswa yang diperoleh pada tindakan tes akhir siklus II , dengan cara total
skor dibagi jumlah mahasiswa . Jadi, skor rata – rata mahasiswa adalah 2.966 :
37 = 80, termasuk kategori nilai baik (B). Keempat indikator yang dites, yakni
skor pemakaian partikel diperoleh dengan cara total skor dibagi skor maksimum
dikali seratus persen. Jadi, skornya adalah 632 : 740 x 100% = 85%, artinya 31
orang mahasiswa dari 37 orang sudah mengerti pemakain partikel. Skor mengenai
pola kalimat bahasa Jepang adala 848 : 1.110 x 100 = 70%, artinya 28 orang
mahasiswa mengerti pola kalimat bahasa Jepang. Skor mengenai unsur predikat
adalah 622 : 740 x 100% = 84%, artinya 31 orang mahasiswa mengerti unsur –
unsur predikat bahasa Jepang dasar. Skor tentang makna kalimat adalah 864 :
1.110 x 100% = 77%, artinya 28 orang mahasiswa sudah mengerti makna kalimat
bahasa Jepang. Skor maksimal subpemakaian partikel dan unsur predikat 740
sedangkan skor maksimal subpola kalimat dan makna kalimat 1.110. Pada
tindakan tes akhir siklus II pemakaian partikel pada kalimat bahasa Jepang dasar
memperoleh kategori skor A (sangat baik), sedangkan pola kalimat, unsur
predikat, dan makna kalimat pada tata bahasa Jepang dasar memperoleh skor B
168
(baik). Adapun sebaran nilai yang dicapai oleh mahasiswa semester III pada
tindakan tes akhir siklus II adalah mahasiswa yang memperoleh nilai A= 9 orang,
mahasiswa yang mendapat nilai B = 24 orang, mahasiswa yang mendapat nilai C
= 4 orang, dan pada akhir tes siklus II tidak ada mahasiswa yang mendapat nilai
D atau E. Untuk lebih lengkapnya dapat disampaikan pada analisis data
kuantitatif dan analisis data kualitatif berikut.
4.3.2.5 Analisis Kuantitatif Penelitian Tindakan Kelas Siklus II
Data tabel 4.3.3 tentang skor akhir siklus II menunujukkan peningkatan
yang signifikan dibandingkan dengan hasil tes akhir siklus I. Peningkatan ini
terjadi karena mahasiswa telah mampu memahami materi pembelajaran yang
diberikan dengan menggunakan metode CTL. Pada siklus II nilai tertinggi 92,
sedangkan nilai terendah 64.
Hasil tes siklus II tingkat penguasaan tata bahasa Jepang dasar setiap
mahasiswa dihitung dengan rumus , berikut.
1) S = R
S = skor tiap mahasiswa
R = right atau total skor betul mahasiswa
Skor mahasiswa nomor urut 1 adalah 16 + 26 + 16 + 24 = 82. Demikianlah skor
mahasiswa berikutnya sampai dengan mahasiswa terakhir seperti terdapat pada
tabel di atas.
Skor tiap mahasiswa dalam bentuk persentase.
169
L = skor mahasiswa X 100%
Skor maksimum
82 X 100% = 82 %.
100
Keterangan :
L = tingkat kemampuan penguasaan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa dalam
bentuk persentase.
Berdasarkan jumlah nilai mahasiswa pada tabel 4.5 di atas dapat
dihitung nilai rata – rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa
semester III dengan menggunakan rumus berikut.
X = total skor mahasiswa X 100%
Jumlah mahasiswa
X = 2.966 X 100%
37
X = 80 %
Untuk mean score siklus II dapat dihitung menggunakan rumus di bawah ini.
X = ∑X
N
X = 2.966 = 80
37
Jadi, mean score silkus II adalah 80 artinya termasuk kategori B (baik) maka
tidak diperlukan lagi tindakan siklus III.
4.3.2.6 Analisis Data Kualitatif Penelitian Tindakan Kelas Siklus II
Nilai rata-rata tes hasil analisis tingkat kemampuan tata bahasa Jepang
dasar mahasiswa pada siklus II nilai rata-rata tes mencapai 80. Adapun sebaran
170
skor yang diperoleh mahasiswa berdasarkan tabel di atas adalah sembilan orang
mahasiswa memperoleh nilai A , dua puluh empat orang mahasiswa mendapatkan
nilai B, empat orang mahasiswa memperoleh nilai C, dan pada pelaksanaan tes
siklus II tidak ada mahasiswa mendapat nilai D atau E dari tiga puluh tujuh orang
mahasiswa. Pada akhir siklus II terdapat peningkatan hasil pembelajaran yang
signifikan dibandingkan dengan hasil tes sebelumnya dengan metode CTL. Semua
mahasiswa memenuhi syarat untuk lulus dengan predikat rata -rata B (baik).
Hasil analisis tes pada siklus II tentang kemampuan penggunaan partikel
bahasa Jepang memperoleh skor delapan puluh lima persen, artinya tiga puluh
satu orang mahasiswa mengerti pemakaian partikel bahasa Jepang dari tiga puluh
tujuh orang mahasiswa semester III Sastra Jepang. Berdasarkan pengamatan,
wawancara, dan hasil tes, diketahui bahwa mahasiswa yang mendapat nilai
maksimal adalah Wiranata san, Apriyanti san, Noviyanti san, Artini san, Krisna
san, dan Rada san. Mereka betul semua soal tes pemakaian partikel pada
pelaksanaan tes siklus II dengan metode CTL. Sebaliknya, mahasiswa yang
memperoleh nilai terendah adalah Arda san, Asri san, Supardiana san, Chyntia
san, Sutrisna san, dan Maulida san. Hasil analisis tes menunjukkan bahwa secara
umum letak kesalahan mahasiswa adalah pada soal partikel ga/が dan o/を pada
kata kerja dan kata sifat. Contoh hasil temuan belajar mahasiswa yaitu
okyakusama wa Kuta de nikkoyoku suru koto o suki desu. Banyak mahasiswa
salah memakai partikel o/を di antara kata koto dan suki, seharusnya yang benar
adalah partikel ga/が karena kata suki termasuk kata sifat potensial. Dengan
demikian kalimat yang benar menjadi seperti contoh di bawah ini.
171
おきゃうくさま は Kuta で 荷っこよくすること が すきです。
Okyakusama wa Kuta de nikkoyoku suru koto ga suki desu.
wisatawan part tempat part berjemur part suka.
„Wisatawan suka berjemur di pantai Kuta‟.
Pencapaian skor rata- rata indikator pemakaian partikel tata bahasa Jepang dasar
mahasiswa semester III pada siklus II adalah 85%, termasuk kategori A (sangat
baik). Hal ini menunjukkn bahwa terdapat peningkatan apabila dibandingkan
dengan siklus I.
Total skor persentase hasil analisis tes tentang pola atau struktur kalimat
bahasa Jepang adalah tujuh puluh enam persen, artinya dua puluh delapan orang
dari tiga puluh tujuh orang mahasiswa memahami pola kalimat bahasa Jepang.
Mahasiswa yang mencapai nilai tertinggi adalah Apriyanti san dengan skor dua
puluh delapan, artinya mahasiswa bersangkutan dapat mengerjakan empat belas
soal pola kalimat bahasa Jepang dari lima belas soal. Di pihak lain mahasiswa
yang mendapat skor terendah adalah Chintya san, Supari san, Maulida san,
Purnama san dan Seri san. Mereka tampaknya masih bingung menyusun unsur-
unsur kalimat sesuai dengan gramatika bahasa Jepang terutama kata sifat dan
kata kerja yang sudah berkonjugasi. Contoh hasil temuan yang dikonstruksi oleh
kelompok 4 adalah Rita san wa Kuta de kaimashita o omiyage desu. Pola atau
struktur kalimat ini salah, seharusnya yang benar seperti di bawah ini.
Rita さん は Kuta で おみやげ を 買いました。
Rita san wa Kuta de omiyage o kaimashita.
Nama part tempat part oleh-oleh part membeli.
„Rita membeli oleh-oleh di Kuta‟.
Rita san subjek , kaimashita (membeli) predikat, omiyage (oleh-oleh) objek, dan
Kuta keterangan tempat, wa, de dan o adalah partikel. Kata desu tidak perlu
172
karena sudah ada kata kerja. Pola kalimat bahasa Jepang adalah S-K-O-P.
Sedangkan bahasa Indonesia berpola S-P-O-K. Berdasarkan gramatika bahasa
Jepang dimana predikat kalimat bahasa Jepang selalu terletak di akhir kalimat.
Total skor dalam bentuk persentase hasil analisis tes mengenai unsur-
unsur kalimat bahasa Jepang adalah delapan puluh empat persen, artinya tiga
puluh satu orang dari tiga puluh tujuh orang mahasiswa mengerti tentang unsur-
unsur kalimat bahasa Jepang. Mahasiswa yang memperoleh nilai tertinggi
mengenai unsur-unsur predikat adalah Wiranata san, Supardiana san, Noviyanti
san. Mereka sudah dapat mengerjakan semua soal yang diujikan. Sebaliknya
mahasiswa yang memperoleh nilai terendah adalah Supari san, Kompyan san.
Mereka belum mengerti unsur predikat kata sifat yang berkonjugasi. Misalnya
Kuta no michi wa ii desu ga nigiyaka desu. Unsur kata sifat kalimat ini tidak tepat,
karena kata sifat sebagai predikat dalam konteks ini mempunyai arti berlawanan.
Kalimat yang betul seharusnya seperti berikut.
Kuta の みち は いいです が せまいです。
Kuta no michi wa ii desu ga semai desu.
tempat part jalan part bagus part sempit.
„Jalan di Kuta bagus tetapi sempit‟.
Peneliti beranggapan bahwa kesulitan mahasiswa bukan pada unsur
kalimat melainkan pada penguasaan kosakata. Pada tindakan siklus II tidak
banyak mahasiswa yang mengalami hal seperti ini. Hal ini dapat dilihat hasil tes
unsur kalimat menunjukan nilai rata-rata 84 termasuk kategori baik.
Total skor dalam bentuk persentase hasil analisis tes terakhir tentang
pengertian makna atau fungsi kalimat bahasa Jepang total skornya dalam bentuk
persentase tujuh puluh tujuh persen , artinya ada dua puluh delapan mahasiswa
173
sudah mengerti tentang makna atau fungsi kalimat bahasa Jepang. Mahasiswa
yang memperoleh nilai tertinggi adalah Noviyanti san, Artini san, dan Novitasari
san. Mereka memperoleh skor dua puluh delapan, artinya berhasil mengerjakan
soal empat belas soal dari lima belas soal. Dari hasil pengamatan dan tes tindakan
siklus II diketahui tiga orang mahasiswa memperoleh nilai terendah pada
indikator makna kalimat bahasa Jepang yaitu Supari san, Aldi san, dan Seri san.
Mahasiswa bersangkutan hanya mencapai skor delapan belas, artinya dapat
mengerjakan sembilan soal dari lima belas soal. Berdasarkan hasil wawancara
diketahui bahwa mereka mengalami kesulitan pada konjugasi kata kerja sesuai
dengan makna kalimat. Contoh hasil temuan kelompok, misalnya tomodachi wa
Kuta de sakka o shirona. Maksud si pembicara membuat kalimat larangan, yaitu
teman-teman dilarang bermain sepak bola di Pantai Kuta. Makna kalimat tersebut
salah. Kesalahan terletak pada perubahan kata kerja suru. Kata kerja bentuk
kamus suru untuk makna larangan tidak berubah menjadi shirona, tetapi menjadi
suruna. Dengan kata lain kata kerja kamus ditambah na. Kalimat yang benar
seharusnya seperti berikut.
ともだち は Kuta で さかをするな。
Tomodachi wa Kuta de sakka o suruna.
teman part tempat part bermain bola dilarang
„Teman-teman dilarang bermain sepak bola di Kuta‟.
Setelah dilaksanakan tindakan siklus II hampir semua mahasiswa mampu
meningkatkan nilai hasil belajar. Jika dilihat dari kategori tingkat kemampuan
mahasiswa, nilai rata – rata tes akhir siklus II termasuk kategori baik.
Kemampuan mahasiswa menjawab tes yang mengukur partikel, pola kalimat,
unsur kalimat, dan makna kalimat bahasa Jepang sudah meningkat dibandingkan
174
dengan siklus I. Pada setiap akhir tindakan presentasi hasil belajar peneliti
bertanya untuk mengecek kemampuan mahasiswa . Respons mahasiswa sangat
bagus dan dapat menyelesaikan tugas – tugas yang diberikan.Dengan keterbatasan
waktu dan jadwal akademis di tempat penelitian, peneliti tidak bisa melakukan
wawancara lebih lanjut kepada mahasiswa yang memperoleh skor terendah untuk
membantu mengatasi kesulitan belajar mereka. Pada akhir penelitian secara umum
peneliti tetap memberikan motivasi kepada mahasiswa agar dapat mengatur
waktu untuk belajar demi masa depan yang lebih baik, apalagi menghadapi
persaingan global yang semakin ketat bagi mahasiswa.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara pada waktu istirahat diketahui
terdapat kesulitan-kesulitan secara umum yang dialami mahasiswa belajar tata
bahasa Jepang. Adapun kesulitan-kesulitan tersebut antara lain (1) mahasiswa
sering keliru mengenai susunan kalimat bahasa Jepang yang sangat komplek
dibandingkan dengan bahasa lainnya, (2) penguasaan kosakata bahasa Jepang
masih terbatas, (3) masih langkanya buku-buku bahasa Jepang berhuruf Latin, dan
(4) kemampuan penguasaan huruf Jepang khususnya huruf Kanji masih kurang.
4.4 Perbandingan Hasil Analisis Tes Kuantitatif yang Menunjukkan
Peningkatan Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Sebelum dan
Sesudah Penerapan Metode CTL
Skor tes yang diperoleh selama penelitian, yakni nilai tes awal, nilai tes
sebelum penterapan metode CTL dan nilai tes sesudah penterapan metode CTL
yang berupa tindakan siklus I dan tindakan siklus II dibandingkan untuk
mengetahui peningkatan kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa . Untuk
dapat dilihat dengan jelas peningkatannya disajikan dalam bentuk tabel berikut .
175
Tabel 4.6 Data Perbandingan Skor yang Menunjukan Peningkatan
Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Setiap Mahasiswa
Sebelum dan Sesudah Penerapan Metode Kontekstual (CTL)
Nama
Mahasiswa
Nilai tes
awal
% Nilai tes
Siklus I
% Nilai tes Siklus
II
%
M. 01 58 58% 72 72% 82 82%
M. 02 44 44% 70 70% 80 80%
M. 03 70 70% 88 88% 92 92%
M. 04 46 46% 68 68% 72 72%
M. 05 58 58% 68 68% 78 78%
M. 06 48 48% 64 64% 80 80%
M. 07 34 34% 60 60% 68 68%
M. 08 58 58% 74 74% 84 84%
M.09 42 42% 68 68% 70 70%
M. 10 40 40% 68 68% 78 78%
M. 11 58 58% 74 74% 90 90%
M. 12 70 70% 88 88% 92 92%
M. 13 42 42% 50 50% 64 64%
M. 14 58 58% 78 78% 80 80%
M. 15 56 56% 66 66% 74 74%
M. 16 56 56% 64 64% 90 90%
M. 17 58 58% 80 80% 88 88%
M. 18 44 44% 68 68% 72 72%
M. 19 70 70% 76 76% 88 88%
M. 20 42 42% 68 68% 70 70%
M. 21 56 56% 68 68% 78 78%
M. 22 62 62% 78 78% 92 92%
M. 23 56 56% 84 84% 80 80%
M. 24 46 46% 54 54% 68 68%
M. 25 56 56% 82 82% 82 82%
M. 26 72 72% 88 88% 92 92%
M. 27 56 56% 82 82% 90 90%
M. 28 42 42% 70 70% 80 80%
M. 29 38 38% 70 70% 68 68%
M. 30 44 44% 74 74% 82 82%
M. 31 56 56% 70 70% 84 84%
M. 32 46 46% 60 60% 82 82%
M. 33 46 46% 60 60% 80 80%
M. 34 60 60% 72 72% 82 82%
M. 35 56 56% 58 62% 80 80%
M. 36 48 48% 64 64% 78 78%
M. 37 58 58% 70 70% 82 82%
176
Data pada tabel 4.7 di atas menunjukkan adanya peningkatan kemampuan
tata bahasa Jepang dasar setelah menerapkan metode CTL. Pada akhir tes siklus I
nilai rata – rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa meningkat bila
dibandingkan dengan nilai tes awal atau sebelum penterapan metode CTL. Skor
rata – rata mahasiswa pada tes awal mencapai 51 termasuk kategori nilai D
(kurang). Tidak ada mahasiswa memperoleh nilai A, 22 orang memperoleh nilai C,
8 orang mahasiswa memperoleh nilai D , dan 2 orang memperoleh nilai E. Akan
tetapi, setelah menerapkan metode CTL skor rata- rata mahasiswa pada siklus I
meningkat menjadi 69 termasuk kategori nilai C. Pada siklus I ada 3 orang
mahasiwa memperoleh nilai A, 20 orang memperoleh nilai C, dan 2 orang
memperoleh nlai D. Sehubungan dengan itu, dipandang perlu dilaksanakan
tindakan siklus II. Pada tindakan tes siklus II nilai rata- rata mahasiswa meningkat
menjadi 80. Pada tindakan siklus II ada 9 orang mahasiswa memperoleh nilai A,
24 orang memperoleh nilai B, dan 4 orang memperoleh nilai C. Oleh karena itu,
tidak perlu dilaksanakan tindakan siklus berikutnya.
4.4 Perbandingan Hasil Analisis Tes Kualitatif yang Menunjukkan
Peningkatan Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Sebelum dan
Sesudah Penerapan Metode CTL
Berdasarkan hasil analisis tes, hasil pengamatan, dan wawancara dapat
diuraikan data kualitatif kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa
semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar. Adapun uraiannya adalah
sebagai berikut.
177
Sebelum penerapan metode CTL banyak mahasiswa mengalami kesulitan
tentang pemakaian partikel de/で, ni/に, dan o/を. Dalam konteks tertentu partikel
tersebut mempunyai arti yang sama, yakni „di‟ pada kalimat bahasa Jepang.
Sebagai contoh, watashi wa Kuta de oyogimasu. Artinya, „saya berenang di Kuta‟.
Kalimat ini akan salah apabila diucapkan atau ditulis watashi wa Kuta ni
oyogimasu. Kesalahan terletak pada pemakaian partikel ni/に di antara kata Kuta
dan oyogimasu. Kata kerja oyogimasu tergolong kata kerja beraktivitas sehingga
harus digunakan partikel de/で . Berbeda halnya dengan contoh kalimat Kuta ni
bom ga arimashita. Artinya, „ada bom di Kuta‟. Pada kalimat ini partikel yang
benar digunakan adalah ni/に, karena menyatakan keberadaan suatu benda atau
peristiwa. Menurut gramatika bahasa Jepang ada aturan apabila predikat kalimat
kata kerja beraktivitas, partikel yang digunakan adalah de/ で , apabila
menunjukkan keberadaan suatu benda, digunakanlah partikel ni/に.
Pada tindakan tes awal kemampuan mahasiswa menggunakan partikel masih
kurang. Hal ini dapat dilihat dari data hasil analisis tes mencapai skor 53%.
Artinya sebagian mahasiswa belum mengerti pemakaian partikel.
Sesudah menerapkan metode CTL dalam pembelajaran tata bahasa Jepang
dasar pada tindakan siklus I dan tindakan siklus II, kemampuan mahasiswa
mengenai partikel secara berangsur-angsur mengalami peningkatan. Hal ini dapat
ditunjukkan dari hasil analisis tes awal 53% meningkat menjadi 72%.pada
tindakan siklus I, kemudian meningkat menjadi 85% pada tindakan siklus II. Di
samping itu, berdasarkan pengamatan dan wawancara sebelum menerapkan
metode CTL, diketahui bahwa kebanyakan mahasiswa masih belum mengerti
178
pemakaian partikel de/で , ni/に , o/を dan ga/が . Akan tetapi, sesudah
menerapkan metode CTL terdapat perubahan atau peningkatan yang signifikan.
Sebagian besar mahasiswa sudah mengerti pemakaian partikel dalam kalimat
bahasa Jepang dasar.
Kemampuan mahasiswa mengenai pola kalimat bahasa Jepang dasar sebelum
menerapkan metode CTL termasuk kategori sangat kurang. Hal ini diketahui
berdasarkan analisis hasil tes mencapai skor 43% .Mahasiswa masih bingung
mengenai pola kalimat bahasa Jepang yang sangat kompleks. Mahasiswa sering
salah menempatkan unsur predikat pada kalimat bahasa Jepang. Misalnya,
watashi wa mimashita sunset o Kuta desu. Pola kalimat ini salah, seharusnya yang
benar adalah watashi wa Kuta de sunset o mimashita. Artinya “saya melihat
sunset di Kuta”. Pola kalimat bahasa Jepang adalah S-K-O-P. Unsur predikat
terletak di akhir kalimat.
Sesudah menerapkan metode CTL dalam pembelajaran tata bahasa Jepang
dasar hasil belajar mengalami peningkatan dari tes awal dengan skor 43%
meningkat menjadi 65% pada tindakan siklus I kemudian meningkat lagi menjadi
76% pada tindakan siklus II. Peningkatan ini menunjukkan bahwa penerapan
metode CTL dalam pembelajaran memberikan dampak positif terhadap hasil
belajar. Skor sebelum penerapan metode CTL termasuk kategori sangat kurang,
tetapi sesudah penerapan metode CTL hasi pembelajaran tata bahasa Jepang dasar
meningkat menjadi kategori baik.
Kemampuan mahasiswa sehubungan dengan unsur-unsur predikat kalimat
bahasa Jepang sebelum penerapan metode CTL mencapai skor 57% termasuk
179
kategori cukup. Mahasiswa beranggapan bahwa unsur predikat hanya terdiri atas
jenis kata kerja, padahal kata sifat dan kata benda juga dapat berfungsi sebagai
predikat. Penguasaan kosakata bahasa Jepang yang terbatas juga menjadi kendala
bagi mahasiswa untuk memahami unsur predikat. Misalnya, Kuta mo Sanur mo
oyogimasu. Kalimat ini salah pada unsur predikat. Pada konteks kalimat ini kata
kerja oyogimasu berarti berenang tidak tepat sebagai predikat. Kalimat ini akan
benar bila dinyatakan seperti berikut.
Kuta も Sanur も きれいです。
Kuta mo Sanur mo kirei desu.
tempat part tempat part indah.
„Baik Pantai Kuta maupun pantai Sanur indah‟.
Unsur predikat yang tepat adalah kata sifat. Pada kalimat ini kata sifat kirei berarti
“indah”.
Hasil belajar sesudah penerapan metode CTL mengalami peningkatan yakni
dari skor tes awal 57% meningkat menjadi 75% pada tindakan siklus I
kemudian meningkat lagi menjadi 84% pada tindakan siklus II. Semula termasuk
kategori cukup meningkat menjadi kategori baik sesudah penerapan metode CTL.
Kemampuan kosakata dan huruf Jepang masih menjadi kendala dalam
pembelajaran bahasa Jepang.
Kemudian hasil analisis data kualitatif makna kalimat sebelum penerapan
metode CTL menunjukkan skor 54%, tergolong kategori kurang. Berdasarkan
data dokumentasi dan wawancara kepada mahasiswa diketahui banyak yang
belum mengerti perubahan kata kerja sesuai dengan makna kalimat, terutama
konjugasi bentuk tekei, perubahan antara huruf satu „t‟ dan dua „tt‟, dan
perubahan antara kata ide dan kata nde. Misalnya Kuta de omiyage o katte
180
kudasai. Artinya “belikan oleh-oleh di Kuta”, kalimat ini betul. Tetapi kalimat ini
akan salah apabila ditulis Kuta de omiyage o kate kudasai. Kesalahan terletak
pada kata kate, antara satu te/て dan dua tte/つて mempunyai makna berbeda.
Oleh karena itu, konjugasi kata kerja bahasa Jepang harus dipahami betul oleh
mahasiswa. (Sudjianto, Dahidi, 2012:136).
Sesudah penerapaan metode CTL dalam pembelajaran tata bahasa Jepang
dasar kemampuan mahasiswa tentang makna kalimat mengalami peningkatan.
Hal ini terlihat dari hasil belajar sebelum penerapan metode CTL mencapai
tingkat keberhasilan 54% pada tes awal, meningkat menjadi 67% pada tindakan
siklus I, kemudian meningkat lagi menjadi 77% pada tindakan siklus II dan sudah
termasuk kategori baik.
Peningkatan hasil belajar tata bahasa Jepang dasar mengalami perubahan
yang signifikan. Nilai rata-rata yang diperoleh pada pelaksanaan tes awal 51
kemudian meningkat menjadi 69 pada tindakan siklus I, kemudian meningkat lagi
menjadi 80 pada tindakan siklus II, dan termasuk kategori baik. Itu berarti
pembelajaran dengan menerapkan metode CTL dapat memberikan dampak yang
sangat positif terhadap hasil belajar mahasiswa.
Apabila dilihat dalam grafik, hasil peningkatan kemampuan tata bahasa
Jepang dasar mahasiswa mulai dari tes awal, tes siklus I, dan tes siklus II
tergambar seperti berkut.
181
Gambar 4.1 Grafik Nilai Rata- rata Mahasiswa dalam Peningkatan
Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar
4.6 Analisis Respons Mahasiswa terhadap Perangkat Pembelajaran dengan
Menerapkan Metode CTL
Data kuesioner respons mahasiswa yang terkumpul setelah akhir
pembelajaran dianalisis untuk mengetahui sikap atau respon mahasiswa terhadap
perangkat pembelajaran menerapkan metode CTL. Data tersebut dianalisis
dengan teknik Skala Likert. Menurut Sugiyono, jawaban setiap instrumen dengan
menggunakan Skala Likert ini mempunyai gradasi dari sangat positif hingga
sangat negatif.
Jawaban diberikan skor seperti berikut.
Sangat Setuju / Suka (SS), nilai 5.
Setuju/ Suka (S), nilai 4.
Cukup Setuju/Suka (CS), nilai 3.
Tidak Setuju (TS), nilai 2.
Sangat Tidak Setuju (STS), nilai 1.
51%
69%
80%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Tes Awal Tes Siklus I Tes Siklus II
182
Kategori SS, S, dan CS dikelompokan penilaian setuju/suka.
Kategori TS dan STS dikelompokkan penilaian tidak setuju/suka.
Analisis hasil kuesioner respons mahasiswa dihitung dengan rumus berikut
Rumus = T x Pn
Keterangan:
T= total jumlah panelis yang memilih.
Pn = pilihan angka skor Likert. (Sugiyono, 2012:93).
Tabel 47 Respons Mahasiswa terhadap Perangkat Pembelajaran dengan
Menerapkan Metode CTL
No Pilihan Jawaban Singkatan Skor Jml
Pemilih
Total Skor
1 Sangat Setuju/Suka SS 5 10 50
2 Setuju/Suka S 4 19 76
3 Cukup Setuju/Suka CS 3 4 12
4 Tidak Setuju/Suka TS 2 3 6
5 Sangat Tidak Setuju STS 1 1 1
Total Skor 37 145
Skor tertinggi (X) adalah 5 x 37 = 185
Skor terendah (Y) adalah 1 x 37 = 37.
Rumus Indeks = Total Skor X 100
Skor Tertinggi
= 145 X 100
185
= 78.37%
Rumus Interval (I) = 100
Jml Skor
100 = 20
5
183
Interval penilaian:
0 % -- 19.99% = STS
20% -- 39.99% = TS
40% -- 59.99% = CS
60 % -- 79.99% = S
80% -- 100% = SS
Berdasarkan tabel 4.8 di atas diketahui bahwa respons atau sikap mahasiswa
mencapai indek penilaian 78.37 %, termasuk kategori setuju/suka (S). Ini berarti
bahwa sangat positif respons atau sikap mahasiswa terhadap perangkat
pembelajaran dengan menerapkan metode CTL. Hasil analisis pilihan pernyataan
ini juga dapat membuktikan bahwa mahasiswa aktif berdiskusi mengerjakan
tugas kelompok belajar mereka. Proses pembelajaran ini dikenal dengan student
centered.
4.7 Faktor - Faktor yang Memengaruhi Peningkatan Kemampuan Tata
Bahasa Jepang Dasar bagi Mahasiswa dengan Penerapan Metode CTL
Berdasarkan kuesioner, pengamatan, wawancara, dan dokumen/catatan harian
pada saat dilakukan penelitian diketahui terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi hasil peningkatan kemampuan tata bahasa Jepang dasar dengan
menggunakan metode CTL. Faktor – faktor tersebut adalah sebagai berikut.
1) Perhatian, minat, dan motivasi belajar mahasiswa sangat berpengaruh
terhadap hasil belajar dengan metode CTL. Mahasiswa yang memiliki
minat dan motivasi besar terhadap pelajaran cenderung akan memberikan
184
prestasi tinggi. Sebaliknya, bila kurang minat dan motivasi mahasiswa
terhadap suatu pelajaran akan menghasilkan prestasi yang rendah.
2) Kondisi kelas yang aktif dan menyenangkan berpusat pada mahasiswa
menyebabkan pelajaran, dengan mudah dapat dimengerti.
3) Konsentrasi belajar mahasiswa akan berpengaruh terhadap hasil temuan,
mengonstruksi dan menyampaikan materi yang dipresentasikan dalam
kerja kelompok.
4) Kekompakan kerja kelompok yang disertai disiplin sangat memengaruhi
hasil belajar dengan metode CTL.
5) Keberanian dan kebiasaan mahasiswa bertanya terhadap hal yang belum
dimengerti. Proses ini berdampak terhadap suasana kelas yang hidup,
aktif, terjadi interaksi pembelajaran yang demokratis.
6) Kebiasaan belajar mahasiswa yang teratur sesuai dengan jadwal pelajaran.
7) Adanya sikap dan kemampuan untuk mengkritisi yang bersifat
membangun hasil presentasi kelompok yang disampaikan.
8) Memiliki keterampilan berbicara untuk menyampaikan dan menyimpulkan
hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode CTL.
9) Sarana dan prasarana yang memadai akan mendukung tercapainya hasil
pembelajaran yang maksimal.
10) Lingkungan keberadaan kampus sangat memengaruhi mahasiswa untuk
mencapai tingkat keberhasilan dalam belajar, khususnya belajar tata
bahasa Jepang.
185
Selain faktor- faktor di atas yang memengaruhi peningkatan hasil belajar tata
bahasa Jepang dasar dengan metode CTL, ada juga beberapa kendala yang
dihadapi ketika penerapan metode CTL dalam proses pembelajaran. Kendala –
kendala, tersebut antara lain seperti di bawah ini.
a) Penataan ruang belajar karena sudah terbiasa dengan sistem klasikal yang
berlaku.
b) Alokasi waktu yang terbatas menghakibatkan diskusi kelompok ketika
presentasi tidak maksimal.
c) Mahasiswa belum terbiasa kerja kelompok karena terpengaruh dengan
sistem pembelajaran sebelumnya.
d) Kebanyakan mahasiswa kurang percaya diri di depan kelas pada saat
mempresentasikan hasil kerja kelompok.
186
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penilitian tindakan kelas yang dibahas pada Bab IV, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut.
1) Hasil tes awal kemampuan tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo) sebelum
penerapan metode CTL menunjukkan nilai mahasiswa tertinggi 72 dan nilai
terendah 40. Sebaran nilai pada tes awal tidak ada mahasiswa mendapat nilai
A, 4 orang mahasiswa mendapat nilai B, 17 orang mahasiswa mendapat nilai
C , 14 orang mahasiswa mendapat nilai D, bahkan 2 orang mahasiswa
mendapat nilai E, dari 37 orang mahasiswa. Hasil nilai rata-rata kemampuan
tata bahasa Jepang dasar seluruh mahasiswa pada tes awal adalah 51%.
Apabila dilihat kategori tingkat kemampuan mahasiswa, nilai rata-rata tata
bahasa Jepang dasar pada tes awal ini termasuk kategori kurang Artinya,
sebagian besar mahasiswa belum mampu mencapai persyaratan nilai kelulusan,
yakni nilai C (cukup).
2) Kemampuan tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo) mahasiswa sesudah
penerapan metode CTL pada tindakan tes siklus I menunjukkan nilai tertinggi
88 dan nilai terendah 50. Kemudian nilai pada tindakan tes siklus II meningkat
menjadi tertinggi 92 dan terendah 64. Hasil tes rata-rata kemampuan tata
bahasa Jepang dasar seluruh mahasiswa pada tindakan tes siklus I adalah 69%
kemudian meningkat pada tindakan tes siklus II menjadi 80%. Jadi, secara
186
187
keseluruhan nilai mahasiswa pada tindakan tes siklus II telah mampu mencapai
kategori nilai B (baik ).
Subtes kemampuan pemakaian partikel dan unsur- unsur predikat kalimat
bahasa Jepang pada tes tindakan siklus I mencapai kategori nilai B (baik),
sedangkan subtes kemampuan mengenai pola kalimat dan makna kalimat
bahasa Jepang pada siklus I baru mencapai kategori nilai C (cukup).
Subtes kemampuan pemakaian partikel, unsur- unsur predikat, pola kalimat,
dan makna kalimat bahasa Jepang dasar pada tes tindakan siklus II sudah
mencapai kategori nilai B (baik). Adapun sebaran nilai yang diperoleh
mahasiswa adalah 9 orang mendapatkan nilai A ada, 24 orang mahasiswa
mendapat nilai B, 4 orang mahasiswa mendapat nilai C, tidak ada mahasiswa
mendapat nilai D atau E pada siklus II dari 37 orang mahasiswa .
Peningkatan yang terjadi sebelum dan sesudah penerapan metode CTL
adalah sebesar 29% dengan perincian sebagai berikut. Peningkatan nilai rata-
rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar seluruh mahasiswa dari tes awal ke
tes siklus I, yakni 18%, peningkatan nilai rata-rata kemampuan tata bahasa
Jepang dasar seluruh mahasiswa dari tes siklus I ke tes siklus II, yakni 11%.
Apabila dilihat dari kiteria kemampuan mahasiswa, maka peningkatan yang
terjadi adalah dari kategori kurang meningkat menjadi kategori cukup lalu
meningkat menjadi kategori baik.
3) Faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan kemampuan tata bahasa Jepang
dasar mahasiswa dengan penerapan metode CTL adalah sebagai berikut.
a) Minat, perhatian, dan motivasi belajar mahasiswa.
188
b) Kekompakan kerja kelompok akan cepat menemukan dan mengonstruksi
hasil belajar.
c) Keberanian dan kebiasaan bertanya terhadap suatu hal yang belum
dimengerti.
d) Sarana prasarana pendidikan dan keberadaan lingkungan kampus, sangat
memengaruhi hasil belajar tata bahasa Jepang dasar.
Selain faktor- faktor di atas yang memengaruhi peningkatan hasil belajar tata
bahasa Jepang dasar dengan metode CTL, ada juga beberapa kendala yang
dihadapi ketika penerapan metode CTL dalam proses pembelajaran. Kendala –
kendala tersebut, antar lain seperti berikut.
a) Penataan ruang belajar karena sudah terbiasa dengan sistem klasikal yang
berlaku sampai sekarang.
b) Alokasi waktu yang terbatas sehingga ada kekhawatiran target pencapaian
kurikulum tidak terlialisasi.
c) Mahasiswa belum terbiasa kerja kelompok karena terpengaruh dengan
sistem pembelajaran sebelumnya.
d) Ketika ditugasi mahasiswa belajar kelompok di luar kelas mahasiswa
mengalami kesulitan karena kebanyakan kuliah sambil bekerja.
e) Kebanyakan mahasiswa kurang percaya diri di depan kelas pada saat
mempresentasikan hasil kerja kelompok.
189
5.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, dapat disampaikan beberapa hal sebagai
berikut.
1) Institusi sebagai wadah proses pembelajaran, hendaknya menata ruang
belajar, khususnya tempat duduk mahasiswa seperti kerja kelompok
sehingga waktu belajar akan lebih efektif. Selain itu, melengkapi sarana
prasarana pendukung proses pembelajaran di tiap kelas sehubungan
dengan tehnologi dan informasi saat sekarang. Hal ini tidak mudah
dilaksanakan karena peneliti tahu ruang belajar bersifat kaminius. Ilmu
pengetahuan berkembang begitu pesatnya. Oleh karena itu, lembaga
hendaknya mengalokasikan waktu untuk memberikan pelatihan kepada
para dosen mengenai tindakan penerapan metode kontekstual dalam
proses pembelajaran.
2) Para dosen disarankan berinovasi mengubah metode mengajar dari
metode ceramah yang berpusat pada dosen ke metode CTL yang berpusat
pada mahasiswa. Dengan metode CTL dalam proses pembelajaran di kelas,
mahasiswa aktif berdikusi bersama kelompok, situasi kelas akan hidup,
mahasiswa merasa senang belajar sehingga mereka dengan mudah dapat
menemukan dan mengonstruksi hasil belajar. Selain itu, mahasiswa akan
terlatih mengungkapkan pendapat, tanya jawab, dan presentasi di hadapan
kelompok belajar atau orang lain.
3) Mahasiswa disarankan untuk terbiasa belajar kelompok, dengan belajar
kelompok akan terjadi sharing pendapat sehingga hasil belajar akan lama
190
tersimpan dalam ingatan. Melalui kerja kelompok juga akan terbentuk
karakter untuk menghargai orang lain.
4) Untuk peneliti lainnya diharapkan untuk menyosialisasikan penerapan
metode CTL terhadap mata pelajaran lainnya. Hal itu penting karena
metode CTL tidak hanya terbatas untuk bahasa Jepang, tetapi juga dapat
dilaksanakan untuk bidang studi lainnya, dengan harapan nantinya dapat
mengubah paradigma pembelajaran dari teaching center menjadi student
center
191
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Abu. 2004. Metodelogi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
Aqib. 2013. Model Media dan Strategi Pembelajaran Kontekstual. Bandung
Yrama Widya.
Arikunto, Suharsimi. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Grafindo
Persada.
Aunurrahman. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Bety. 2008. “Penerapan Pendekatan Kontekstual (CTL) dalam Pembelajaran
Bahasa Indonesia sebagai Peningkatan Hasil Belajar pada Ranah Kognitif,
Afektif, dan Psikomotor Siswa Kelas VII SMP Negeri I Kunduran Blora”.
Brown. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. White Plains, NY:
Pearson Education.
Candra. 2009. Nihongo no Joshi. Jakarta: Evergreen.
Dahidi, Sudjianto. 2004. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta: Kesaint
Blanc.
Darsono. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.
Daryanto. 2007. Dasar-Dasar Teknik Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Darsono. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.
Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning).
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Diknas. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning).
Jakarta : Ditjen Dikdasmen.
Iwabuchi, Tadasu. 1989. Nihon Bunpo Yoogo Jiten. Tokyo: Sanseido.
Johnson, Elaine B. 2010. Contextual Teaching and Learning, Menjadikan
Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Bandung: Kaifa.
Jonathan, Chiba Tadaki. 2013. Japanese Grammar Pool. Malang: Linguistik Pool
Media.
Kashima Tanomu. 1997. Onsei dalam Nihongo Kyoushi Yansei Shirrizu Onsei,
Hyouki, Goi, Moji Hyouki. Tokyo: Touhou.
192
Khabibah. 2006. Inovasi Model Pembelajaran. Bandung : Alfabeta
Lestari. 2010. “Pembelajaran Kosa Kata Secara Kontekstual dalam
UpayaMeningkatkan Kemampuan Membaca Siswa Kelas XI Bahasa SMA
N2 Semarapura”.
Mahsun. 2005. Metodelogi Penelitian Bahasa. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Masnur, Muslich. 2007. KTSP Pembelajaran Bebasis Kompetensi dan
Kontekstual. Jakarta : Bumi Aksara.
Matsuura, Kenji. 1994. Kamus Bahasa Indonesia Jepang. Kyoto Sangyo
University Press.
Narohito. 2010. “Pengaruh Pendekatan Kontekstual terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMP N1 Tejakula”.
Nasution, 2012. Metode Research, Jakarta: Bumi Aksara.
Nita, Yoshio. 1997. Gendaigo no bunpo, Nihongo Yousetsu. Tokyo: Hisuji
Shobou.
Nurgiyantoro. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.
Yogyakarta : PT.BPFE.
Nurhadi. 2003. Kontekstual dan Penerapannya. Malang : Univesitas Negeri
Malang.
Nurhadi. 2004. Kurikilum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: Grasindo.
Poerwadarminto. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta Balai Pustaka.
Purwanto. 2006. Proedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Ratumanan, Tanwey Geson. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Surabaya: Unesa
University Press.
Rusman. 2001. Model Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme
Guru. Jakarta : Rajawali Pers.
Rusman. 2012. Model Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme
Guru. Jakarta PT Raja Grafindo Persada.
Sarwono. 2006. Metodelogi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogjakarta:
Graha Ilmu.
193
Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning, Teori, Riset, dan Praktik. Bandung:
Alfabeta.
Sudjana, Nana. 2005. Strategi Pembelajaran. Bandung: Folah Production.
Sudjianto. 2004. Gramatika Bahasa Jepang Modern Seri A. Jakarta : Kasaint
Blanc.
Sugiyono. 2006. Statistik untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Sukardi. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.
Jakarta : Bumi Aksara.
Susriati. 2009. “Penerapan Pembelajaran CTL untuk Meningkatkan Hasil Belajar
IPA Materi Bagian-bagian Utama Tumbuhan bagi Siswa Kelas XI
Miftahul Ulum 2 Nguling Kec. Nguling Kab. Pasuruan”.
Sutikno, Sobry. 2009. Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Prospect
Suryawan. 2008. “Penerapan Pendekatan Kontekstual Menggunakan Media
Skema Untuk Meningkatkan Ketrampilan Berbicara Siswa Kelas X SMA
Negeri 2 Singaraja”.
Sutedi, Dedi. 2003. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung :
Humaniora Utama Press.
Syaiful Sagala. 2010. Konsep Dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
Tanaka, Yone. 2002. Minna no Nihongo I dan II. Surabaya: Pusaka Lintas Budaya
Seri A Network. Tokyo 101. 3A Corporation.
Trianto. 2008. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Yasuo, Kitahara. 1985. Nihongogaku. Tokyo: Asakura Shoten.