DIALOG ANTAR AGAMA DALAM PERSPEKTIF KONFERENSI WALIGEREJA
INDONESIA (KWI) DAN NAHDLATUL ULAMA (NU):
SEBUAH STUDI KOMPARASI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Muhammad Qoyyum
NIM: 11140321000074
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
iv
ABSTRAK
Muhammad Qoyyum
Judul Skripsi: “Dialog Antaragama dalam Perspektif Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI) dan Nahdlatul Ulama (NU)”
Dialog kerap sekali menjadi media untuk mencari sebuah jalan yang damai bagi
para umat beragama bukan untuk saling menyalahkan tetapi bagaimana setiap agama
mampu memberikan solusi bagi masalah-masalah kemanusiaan. Dialog antar agama
bukan untuk saling mengkafirkan antar sesama agama atau saling merendahkan antar
umat beragama, namun dialog ialah saling membangun dalam rangka kepentingan
bersama. Konferensi Waligereja Indonesia dan Nahdlatul Ulama sepakat bahwa dialog
antar agama merupakan interaksi timbal balik yang menghantarkan kepada tujuan
bersama. Dialog merupakan sebuah wadah untuk saling memahami dan menghargai
antara perbedaan dan persamaan antar agama sehingga dapat mengasah kembali sikap
saling toleransi diantara umat beragama yang akhirnya akan menumbuhkan kerukunan
hubungan antar umat beragama.
Skripsi ini mencoba untuk memaparkan pemikiran dari kedua organisasi
keagamaan yang berbeda keyakinan tersebut (Muslim dan Kristen) dalam kaitannya
dengan dialog antar agama, baik mengenai pengertian, tujuan dan pentingnya dialog,
maupun gagasan tentang masa depan agama.
Adanya dialog akan menciptakan sebuah solusi-solusi pemecahan masalah dari
dalam agama itu sendiri, bukan menunggu lahirnya pemecah masalah yang datang dari
luar proses keterlibatan agama-agama dalam kehidupan.
Kata Kunci: Dialog Antar Agama, Konferensi Waligereja Indonesia, Nahdlatul Ulama
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrabil „alamin puji syukur penulis panjatkan kehadirat
kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufiq dan hidayah-Nya begitupun
hingga skripsi ini dengan judul “Dialog Antaragama dalam Perspektif Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI) dan Nahdlatul Ulama (NU): Sebuah Studi
Komparasi” dapat terselesaikan. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW semoga setiap dari kita kelak mendapat syafaat darinya.
Penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari kata sempurna ini tidak
dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari banyak pihak baik secara meteril
maupun moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini,
terutama kepada yang terhormat:
1. Dr. Sri Mulyati, MA selaku dosen pembimbing Skripsi yang memberikan
arahan, atas kesabaran dan ketelitian dalam membimbing penulis. Beliau
yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan memberikan
arahan, motivasi serta bimbingan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Media Zainul Bahri, M.A, selaku Ketua Jurusan Studi Agama-Agama
dan Dra. Halimah Mahmudy M.A, selaku sekretaris Jurusan Studi Agama-
Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan
pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.
vi
3. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Barhanuddin
Umar Lubis, Lc., M.A. atas kesempatan belajar dan fasilitas yang
diberikan pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
4. Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Prof. Dr. Masri Mansoer,
M.A, Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Prof. Dr. Ikhsan Tanggok, M.A, selaku Wadek I bidang Administrasi
Fakultas Ushuluddin. Dr. Bustamin, M.A, selaku Wadek II bidang
Administrasi Umum. Dr. M. Suryadinata, M.A, selaku Wadek III bidang
Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, para staff Akademik Fakultas
Ushuluddin khususnya dengan bang Jamil yang selalu membantu dalam
informasi tentang skripsi, para staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan
para staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Ayahanda dan Ibunda tercinta Djakina dan Tuminah dan seluruh kakak dan
abang yang membuat saya semangat dalam menjalankan skripsi.
8. Teman terbaik yang selalu mensupport dan mendukung dari mula
perkuliahan sampai menyelesaikan skripsi yaitu Aprilia S. Nasution.
9. Kerabat-kerabat Karang Taruna Perum. Benda-Baru Pamulang RW 017
sebagai salah satu sumber motivasi bagi penulis.
10. Sahabat-sahabat sebagai salah satu sumber keceriaan terampuh bagi
penulis: Fulka Zaydan, Addifa Fawza, Lutfi Zulfikar, Andi Irvan, Fajri
Ramadhan, Wildan Muzaki, Athoillah Tantowi, Irfan maulana, Nurcholis
Swandi, Syauki Maki, Feby Irfanullah dkk.
vii
11. Teman-teman Event Organizer GC-Adventours yang sangat berperan
besar dalam membentuk karakter penulis, yang mengajarkan banyak
pelajaran berharga
12. Teman-teman UKM KPA ARKADIA yang sangat mengajarkan banyak
pelajaran dan pengalaman berharga yang semoga dapat selalu penulis
amalkan dengan baik.
13. Teman-teman seperjuangan Studi Agama-Agama angkatan 2014 yang
semoga diberikan kemudahan dalam menyelesaikan tugas akhir.
14. Dan kepada semua orang yang saya kenal maupun yang mengenal saya,
terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang diberikan. Berdasarkan
peran-peran beliau semua semoga mendapatkan balasan dan dilimpahi
rahmat Allah SWT. Menyadari atas banyaknya kekurangan dalam skripsi
ini, oleh sebab itu penulis berharap kiranya skripsi ini dapat dikembangkan
di kemudian hari dengan lebih baik.
Jakarta, 17 April 2019
Muhammad Qoyyum
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A.Latar Belakang .................................................................................... 1
B.Rumusan Masalah ............................................................................... 7
C.Tujuan Penelitian ................................................................................ 7
D.Manfaat Penelitian .............................................................................. 7
E.Tinjauan Pustaka ................................................................................. 9
F.Metodologi Penelitian ....................................................................... 10
G.Sistematika Penulisan ....................................................................... 15
BAB II : KERANGKA TEORI DIALOG ANTARAGAMA DAN PERSPEKTIF
KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA .................................... 17
A.Kerangka Teori Dialog Antaragama ................................................. 17
B.Definisi Dialog Antaragama dalam Perspektif Konferensi Waligereja
Indonesia ............................................................................................... 20
C.Tema-tema Dialog Antaragama ........................................................ 25
1.Dialog kerukunan ....................................................................... 25
2.Dialog Kebangsaan ..................................................................... 28
3.Dialog Sosial ................................................................................ 33
BAB III : DIALOG ANTARAGAMA MENURUT NAHDLATUL ULAMA ... 39
A.Definisi Dialog Antaragama dalam Perspektif Nahdlatul Ulama .... 39
B.Tema-tema Dialog Antaragama ........................................................ 41
1.Dialog Kerukunan ....................................................................... 41
2.Dialog Kebangsaan ..................................................................... 44
3.Dialog Sosial ................................................................................ 51
BAB IV : ANALISIS TERHADAP DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA
DALAM PERSPEKTIF KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA
DAN NAHDLATUL ULAMA ............................................................ 55
A. Hasil Penelitian ........................................................................ 55
1. Dampak Positif Dialog Antaragama .................................... 55
2. Metode..................................................................................... 56
3. Strategi Penyelenggaraan...................................................... 58
ix
B.Saran66
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 68
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................... 72
BAB V : PENUTUP ............................................................................................ 64
A.Kesimpulan ....................................................................................... 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era ketika bangsa Indonesia sedang menikmati udara kebebasan setelah
bergulirnya alam reformasi saat ini, peran agama sebagai pembawa kedamaian
benar-benar mendapat ujian seperti munculnya paham radikalisme yang merobek
nilai murni dalam ajaran agama. Semua agama di bumi pertiwi ini telah
menyatakan bahwa masing-masing membawa ajaran kedamaian. Semuanya
sepakat akan hal ini. Sebaliknya semua agama pasti membantah apabila dikatakan
sebagai pembawa kehancuran.1 Artinya, tidak satupun agama di Indonesia ini
yang mengajarkan adanya permusuhan dan penghancuran.
Berdasarkan semua ajaran agama mengajarkan dan menjelaskan dengan
sangat terang bahwa kedamaian dan kasih sayang sangat dijunjung tinggi. Tapi
dewasa ini, nilai-nilai keagamaan itu dinodai karena adanya gerakan radikalisme
dan terorisme yang mengatas namakan agama, sehingga menjadi problem serius
yang harus segera dibenahi. Untuk menghadapi ancaman paham radikalisme dan
terorisme dialog antaragama menjadi solusi penting dalam menyelesaikan
hambatan-hambatan keagamaan, karena dalam prosesnya dialog antaragama
menjadi alat untuk mencapai satu pemahaman yang senantiasa memabawa ke arah
kerukunan dan bersikap toleran dalam bermasyarakat.
Melalui model ini, manusia diharapkan bukan sekedar dapat menyadari
tentang pluralisme kehidupan sebagai suatu realitas konkret yang tidak mungkin
1Ahmad Syafii Mufid, Dialog Agama dan Kebangsaan (Jakarta: Zikrul Hakim, 2001), h.
6.
2
dihindari lagi, tapi lebih jauh lagi kesadaran itu bisa dibumikan dalam kerja-kerja
kreatif yang berwajah manusiawi.2
Diatas semua itu, manusia perlu merekontruksikan pola keberagaman yang
selama ini mereka jalani. Keberagaman yang menitik beratkan pada formal-
legalistik dan eksklusif sudah saatnya diarahkan kepada pengembangan secara
keagamaan yang lebih berpijak pada nilai-nilai substansial agama. Dengan
demikian, ajaran agama diharapkan dapat dipahami secara holistik, sehingga akan
bermakna konkret bagi kehidupan umat manusia secara keseluruhan. 3
Agama Islam sebagai agama mayoritas, tentunya harus memberikan ruang
kepada kaum minoritas. Salah satu gagasan yang diangkat adalah pelaksanaan
dialog antaragama. Dialog antaragama sebenarnya bukan hal yang baru bagi
masyarakat di Indonesia.4 Pelaksanaan dialog antar agama menjadi suatu harapan
bagi kemanusiaan, yang ditawarkan oleh agama-agama. Ini ditawarkan sebagai
model bagi suatu cara menggalang potensi umat manusia yang semakin hari
semakin terfragmentasi. Dan dipihak lain juga sebagai sebuah model yang
mengilhami seluruh kelompok masyarakat untuk saling terbuka dan saling
menyumbangkan potensinya masing-masing demi membangun kehidupan
manusia yang lebih aman, sejahtra, dan sentosa. Dialog adalah sebuah model yang
lebih manusiawi untuk mengatasi hubungan antara kelompok masyarakat.
Dialog antaragama secara konseptual baru mulai dipikirkan sekitar tahun
1960-an dan menjadi ramai pada dekade tujuh puluhan abad yang lalu. Sebab
2Abd A‟la, Melampaui Dialog Agama (Jakarta: Kompas, 2002), h. 8.
3 Abd A‟la, Melampaui Dialog Agama. h. 9.
4Abdurarrahman Wahid, Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994), h. 9.
3
pada kurun waktu itu, Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Departemen
Agama juga menerbitkan pedoman-pedoman yang secara sistematis hendak
menata kehidupan masyarakat beragama di Indonesia.5 Pada tahun 1979, untuk
pertama kalinya proyek pembinaan kerukunan hidup beragama, Departemen
Agama Repulik Indonesia menerbitkan dasar kerukunan hidup beragama. Dari
indikasi nyata ini bahwa persoalan hidup beragama sungguh menjadi perhatian
Pemerintah Negara Republik Indonesia. Negara Indonesia majemuk dalam hal
agama. Oleh karena itu, menciptakan kehidupan yang dialogis di antara pemeluk
agama yang berbeda adalah suatu keharusan agar dapat terjaga kerukunan antar
umat beragama.
Salah satu yang ikut menggelorakan dialog antaragama yaitu Konferensi
Waligereja Indonesia. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) ialah salah satu
organisasi gereja katolik yang beranggotakan para Uskup Indonesia yang
bertujuan menggalang persatuan dan kerja sama. Konferensi Waligereja Indonesia
memiliki peran sentral dalam membangun relasi dengan agama-agama lain,
melalui momentum Konsili Vatikan II menandai sikap terhadap agama-agama
lain. Dalam konteks gereja Indonesia, hal yang paling mendesak adalah
bagaimana membangun hubungan yang kokoh antaragama di Indonesia.
Romo Agustinus Ulahayanan, salah satu Uskup Konferensi Waligereja
Indonesia, mengatakan bahwa kedamaian merupakan kebutuhan yang hakiki dari
setiap komunitas manusia yang merupakan makhluk sosial. Maka kedamaian
harus selalu dipelihara oleh setiap insan manusia. Untuk itu, senantiasa perlu
5Armada Ryanto, Dialog Interreligious: Historisitas, Tesis, Pergumalan, Wajah
(Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 374.
4
diupayakan pencegahan, penghentian serta pemulihan konflik, serta perwujudan,
pelestarian dan pengembangan kedamaian. Dialog antar umat merupakan suatu
cara terbaik untuk pemeliharaan kedamaian. Maka dengan itu kehadiran
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menjadi lebih relevan dan signifikan.6
Salah satu contoh dialog antaragama yang diselenggarakan Konferensi
Waligereja Indonesia yaitu pada acara seminar yang bertema “Bagaimana
Pandangan Agama Tentang Situasi Kebangsaan” di Ambon pada bulan Oktober
2018. Pembicara seminar saat itu yakni oleh dua pemuka agama Kristen dan
Islam. Perwakilan dari Kristen ialah Uskup dari Konferensi Waligereja Indonesia
sedangkan wakil dari Muslim dari kalangan Nahdlatul Ulama yaitu Bapak. Imam
Pituduh, SH., MH. Dalam seminar tesebut mereka menjelaskan aspek-aspek
penyebab berkembangnya terorisme, cara pencegahan terorisme serta mecari
solusi bagaimana mengatasi terorisme dan paham radikal yang berkembang di
masyarakat.7
Jauh sebelum Konferensi Waligereja Indinesia, Nahdlatul Ulama sudah
sejak lama menggelorakan dialog antar iman. Secara historis, hubungan antarumat
baru mendapat perhatian oleh pemuka agama Islam setelah muncul ketegangan-
ketegangan antarumat beragama pasca pembubaran Partai Komunis Indonesia
(PKI). Kebijakan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kewajiban
rakyat indonesia untuk memeluk satu agama tertentu yang diakui pemerintah
membuat jutaan mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) berbondong-
6Romo Agustinus Ulahayanan “Memelihara Kedamaian Melalui Dialog”,
https://komisihakkwi.wordpress.com/ diakses pada tanggal 18 Oktober 2018 Pukul 13:00. 7Wawancara pribadi dengan Bapak Maxi, Bagian komisi HAK di Jakarta 7 November
2018.
5
bondong memeluk agama baru. Umat Kristen berkembang pesat. Gereja baru
didirikan dimana mana sehingga ketegangan antar umat terjadi di beberapa
tempat. Kenyataan ini disadari oleh para pemimpin negara. Secara resmi
keprihatinan tersebut dibicarakan dengan perwakilan kelompok-kelompok umat
beragama dan dengan diadakannya dialog antarumat beragama. Sejak saat itu,
kerukunan umat beragama menjadi salah satu isu yang banyak mendapat porsi
dalam kegiatan-kegiatan Nahdlatul Ulama (NU).8
Salah satu contoh dialog antar agama yang dilakukan oleh Nahdlatul
Ulama ialah di Sulawesi Utara pada bulan desember 2017. Dalam dialog antar
agama ini dihadiri oleh semua perwakilan agama resmi yang ada di Indonesia.
Bentuk dialog ini berupa seminar, yang bertujuan untuk sesama warga bernegara
agar dapat hidup berdampingan dengan berbagai kepercayaan, untuk bisa saling
memahami antar sesama agama. Pada kesempatan dialog antaragama itu berfokus
pada soal-soal etis atau kemanusiaan yakni pada persoalan keamanan dan
ekonomi tidak pada persoalan teoligis.
Dalam seminar ini dimunculkan satu rekomendasi bahwa harus ada yang
mampu membangun masyarakat yang bersikap dan berwawasan multikultural dan
perlu dikembangkan melalui beberapa proses seperti: 1) Menjauhkan masyarakat
untuk tidak berpikiran dan berprilaku konflik, 2) Mengajak masyarakat untuk
lebih bersikap toleran, 3) Mengembangkan dialog untuk tukar menukar informasi
8J.B. Banawiratma, Dialog Antar Umat Beragama (Yogyakarta: Mizan Media Utama),
h.67-68.
6
dan menumbuhkan saling pengertian bersama tentang berbagai hal, 4)
Menumbuhkan persaudaraan dan kerjasama sejati.9
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Nahdlatul Ulama (NU) kerap
sekali menjadi organisasi yang penting dalam membangun kehidupan keagamaan
yang toleran. Berbagai kegiatan-kegiatan dialog lintas agamanya mampu
menjadikan peran sentral untuk menjaga kerukunan umat beragama. Salah satu
bentuk kerjasamanya untuk menjaga kedamaian berbangsa dan bertanah air
seperti dalam acara apel kebhinekaan lintas iman bela negara dengan mengambil
tema “Menolak Radikalisme, Terorisme dan Narkoba” yang dihadiri oleh
berbagai organisasi dari berbagai agama untuk mengdeklarasikan aksi damai umat
beragama pada 17 Januari 2016.
Berdasarkan usaha-usaha yang dilakukan Konferensi Waligereja Indonesia
dan Nahdlatul Ulama dalam dialog antaragama, maka penulis merasa tertarik
untuk menggali lebih dalam lagi mengenai perspektif dialog antaragama. Untuk
itu penulis merasa perlu untuk menuangkan serta menuliskan dalam bentuk skripsi
dengan judul “Dialog Antaragama dalam Perspektif Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI) dan Nahdlatul Ulama (NU): Sebuah Studi Komparasi”
9Wawancara Pribadi dengan Ketua PBNU Abd Manan Ghani di Jakarta 21 November
2018.
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah dan
pembatasan masalah, maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Dialog Antaragama dalam Perspektif Konferensi Waligereja
Indonesia dan Nahdlatul Ulama?
2. Bagaimana Perbandingan Model Dialog Antaragama Konferensi
Waligereja Indonesia dan Nahdlatul Ulama?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ada, maka tujuannya hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pandangan dialog antaragama menurut
Konferensi Waligereja Indonesia dan Nahdlatul Ulama.
2. Untuk mengetahui apa perbandingan dialog antaragama menurut
Konferensi Waligereja Indonesia dan menurut Nahdlatul Ulama.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis
maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian mengenai Dialog Agama dalam Perspektif Konferensi
Waligereja Indonesia dan Nahdlatul Ulama, diharapkan dapat berguna
bagi penelitian-penelitian dengan tema yang sama atau relevan sehingga
8
dapat memeberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan
tentang dialog antar agama dengan lingkup yang lebih luas.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Bagi peneliti ini, peneliti dapat mengaplikasikan ilmu
pengetahuan yang didapatkan selama menempuh pada jurusan Studi
Agama-agama dalam karya yang nyata. Melalui penelitian ini, peneliti
juga dapat mengetahui informasi-informasi yang berhubungan dengan
dialog-dialog antar agama menurut Konferensi Waligereja Indonesia
dan Nahdlatul Ulama.
b. Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
informasi empiris tentang fenomena dialog antar agama, hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi almamater
sebagai bahan referensi kajian untuk pengembangan penelitian
selanjutnya yang relevan.
c. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang
pemikiran sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam
proses pembangunan masyarakat. Kemudian, melalui penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi empiris kepada masyarakat.
9
d. Bagi Universitas dan Lembaga Pendidikan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
ilmu pengetahuan bagi para akademisi tentang fenomena dialog antar
Agama.
E. Tinjauan Pustaka
Peneliti telah berusaha melakukan penelitian terhadap pustaka yang ada,
berupa karya-karya penelitian terdahulu yang mempunyai relevansi dengan topik
yang diteliti, diantaranya:
1. Karya bentuk Skripsi ditulis oleh Achmad Subhi yang berjudul
“Pandangan Gereja Katolik Tentang Dialog Agama dalam
Konsili Vatikan II” dalam Skripsi ini yang ditulis oleh penulisnya
menjelaskan alasan tentang kekonkretan mengapa gereja memandang
positif agama lain dan mengakui nilai-nilai keselamatan. Oleh
karenanya itu sangat diperlukan dialog dengan mereka. Karena gereja
meyakini tentang roh kudus yang aktif dan real, karya roh yang
bersifat universal. Oleh karena itu konsili menegaskan bahwa roh
kudus telah berkarya di dunia bahkan sebelum yesus kristus
dimuiliakan. Disimpulkan bahwa roh kudus diyakini masih
melakukan fungsi penyelenggaraan illahiyah dalam tata keselamatan
manusia bahkan lewat tradisi-tradisi keagamaan lain yang bukan
Kristen. Persamaan penelitian Ahmad Subhi dengan penulis yaitu
sama-sama meneliti tentang pandangan gereja tentang dialog agama,
10
hanya saja perbedaannya di sini penulis juga akan menguak tentang
perspektif dialog agama dari KWI.
2. Skripsi Mukhlis Huda mahasiswa fakultas ushuluddin Universitas
Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “Dialog antar Umat
Beragama di Indonesia dalam Perspektif Th. Sumartana” dalam
skripsi ini penulis menuliskan tentang dialog antar umat beragama
harus didahului dengan dialog teologis, dan ditindak lanjuti pada
tingkatan praksis, yang bertujuan dialog antar umat beragama adalah
untuk kerjasama, maka seharusnya dialog antar umat beragama lebih
diorientasikan untuk kerjasama antar umat beragama.
Perbedaan penulis dengan skripsi diatas ialah ingin mengetahui
perbandingan dialog antar umat beragama yang dilaksanakan Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI) dan yang dilaksanakan juga oleh Nahdlatul Ulama
(NU).
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang dimaksudkan sebagai
sebuah jenis penelitian yang temuan temuannya tidak diperoleh melalui prosedur
statistic atau bentuk hitungan lainnnya. Seperti berupa penelitian tentang
kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang, juga tentang peranan organisasi,
pergerakan sosial, atau hubungan timbal balik. Sebagian datanya dapat dihitung
sebagaimana data sensus, namun analisisnya bersifat kualitatif. Prosedur ini
11
menghasilkan temuan yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan dengan
menggunakan beragam sarana. Sarana itu meliputi pengamatan dan wawancara,
namun dapat juga mencakup dokumen buku, kaset, video, dan bahkan data data
yang telah dihitung.
Metode kualitatif ini dapat juga digunakan untuk mengungkap dan memahami
sesuatu di balik fenomena yang sedikitpun belum diketahui.10
2. Pendekatan Penelitan
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan historis
dan komparatif. Pendekatan historis adalah pendekatan yang bertujuan untuk
mempelajari, menyelidiki, dan meneliti agama-agama baik sebelum ilmu agama
menjadi disiplin yang berdiri sendiri atau sesudahnya. Dengan pendekatan
historis, suatu studi berusaha menelusuri asal usul dan pertumbuhan ide-ide dan
pranata-pranata keagamaan melalui periode-periode perkembangan historis
tertentu dan menilai peranan kekuatan-kekuatan yang dimiliki agama.11
Pendekatan komparatif adalah pendekatan yang bersifat memperbandingkan.
Menggambarkan empat proyek perbandingan, yaitu: (a) penyaringan, ialah
bagaimana melakukan seleksi terhadap beberapa fenomena atau lingkungan sosial
yang berbeda, (b) menggambarkan garis-garis evolusi fenomena atau keadaan
sosial itu, (c) melakukan pengamatan atas kesamaan dan perbedaan-perbedaan
diantara mereka, dan (d) sejauh kemungkinan yang dapat dicapai adalah
memberikan penjelasan dan analisa kritis. Perbandingan ini juga sesungguhnya
10
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif (Yogyakarta:
Pustakapelajar, 2015), h. 4-5. 11
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015),
h. 15.
12
merupakan aktivitas kognitif umum yang dilakukan manusia dimana saja, baik
secara eksplisit maupun implisit.12
3. Teknik Pengumpulan data
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan yaitu suatu penelitian yang digunakan untuk
mendapatkan data dari kepustakaan buku, jurnal, e-book, dan sebagainya yang
diolah untuk kemudian disimpulkan.13
Artinya mencari dan mempelajari bahan-
bahan tulisan yang berkenaan dengan obyek penelitian. Penelaahan kepustakaan
dilakuikan untuk menemukan topik serta pembuatan kerangka konsep dan
kerangka teori dengan menggali data yang relevan.14
b. Penelitian Lapangan
Observasi berasal dari kata observation yang berarti pengamatan. Metode
observasi dilakukan dengan cara mengamati perilaku, kejadian atau kegiatan
orang atau sekelompok orang yang diteliti. kemudian mencatat hasil pengamatan
tersebut untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dengan pengamatan
peneliti dapat melihat kejadian sebagaimana subyek yang diamati mengalaminya,
menangkap, merasakan fenomena sesuai pengertian subyek dan obyek yang
diteliti.15
Selain melalui observasi, peneliti dapat mengumpulkan data melalui
wawancara mendalam, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan
12
Media Zainul Bahri, Wajah study Agama-Agama. h. 26-27. 13
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004), cet.1, h.3. 14
Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2010), h.45. 15
Aunu Rofiq Djaelani, Teknik Pengumpulan Data dalam Metode Kualitatif, Vol: XX No.
1, Maret 2013, h. 84.
13
informasi secara langsung dengan mengajukan pertanyaan antara pewawancara
dengan yang diwawancarai. Bahkan keduanya dapat dilakukan bersamaan, di
mana wawancara dapat digunakan untuk menggali lebih dalam lagi data yang
didapat dari observasi. Seperti yang dikemukakan Sugiyono (2006) yang
mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, sering menggabungkan teknik
observasi partisipatif dengan wawancara mendalam. Selama melakukan observasi,
peneliti juga melakukan wawancara kepada orang-orang yang ada di dalamnya. 16
Dokumen diartikan sebagai suatu catatan tertulis / gambar yang tersimpan
tentang sesuatu yang sudah terjadi. Dokumen merupakan fakta dan data tersimpan
dalam berbagai bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang
tersedia adalah berbentuk surat-surat, laporan, peraturan, catatan harian, biografi,
simbol, artefak, foto, sketsa dan data lainya yang tersimpan. Dokumen tak terbatas
pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk
mengetahui hal-hal yang pernah terjadi untuk penguat data observasi dan
wawancara dalam memeriksa keabsahan data, membuat interprestasi dan
penarikan kesimpulan. Kajian dokumen dilakukan dengan cara menyelidiki data
yang didapat dari dokumen, catatan, file, dan hal-hal lain yang sudah
didokumentasikan. Metode ini relatif mudah dilaksanakan dan apabila ada
kekeliruan mudah diganti karena sumber datanya tetap. Dengan membuat
panduan / pedoman dokumentasi yang memuat garis-garis besar data yang akan
16
Aunu Rofiq Djaelani, Teknik Pengumpulan Data dalam Metode Kualitatif, h. 87.
14
dicari akan mempermudah kerja di lapangan dalam melacak data dari dokumen
satu ke dokumen berikutnya.17
4. Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan melalui:
1. Usaha yang bersifat kompilatif, yaitu mengumpulkan data secara
keseluruhan baik yang bersumber dari literatur maupun dari hasil
lapangan.
2. Usaha selektif komparatif, yaitu menyeleksi sumber yang dikumpulkan,
dipilih yang paling relevan dengan pokok pembahasan dengan
dibandingkan dengan data yang lain untuk mencapai penyajian yang
mengarah.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif HIdayatullah Jakarta yang
diterbitkan oleh Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2014/2015.
6. Sumber data
Sumber ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data
sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang dapat memberikan data
penelitian secara langsung. Beberapa karya tulis menjadi sumber data primer ialah
seperti buku, artikel, jurnal, arsip, dokumen, dan wawancara langsung kepada
17
Aunu Rofiq Djaelani, Teknik Pengumpulan Data dalam Metode Kualitatif, h. 88.
15
beberapa pengurus Konferensi Waligereja Indonesia dan Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama.
Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang materinya secara tidak
langsung berhubungan dengan masalah yang diungkapkan. Sumber data sekunder
ini digunakan sebagai pelengkap dari sumber data primer.18
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pembahasan, skripsi tersebut dibagi menjadi
beberapa bab dan sub bab, yaitu:
Bab pertama, Pendahuluan. Bab ini membahas tentang alasan pemilihan
judul, dengan menunjukan faktor yang mendorong pemilihan judul skripsi,
kemudian diikuti dengan menuliskan rumusan masalah, tujuan penelitian dan
kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika
penulisan. Secara garis besar bagian ini bertujuan sebagai landasan teoritis
metodologis dalam penelitian.
Bab kedua, penulis akan menjelaskan kerangka teori dialog antaragama
serta gambaran secara rinci tentang latar belakang Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI) dan sejarah KWI, serta definisi dialog antaragama menurut
KWI, kemudian menjelaskan tema-tema dialog agama yang dilakukan KWI
seperti, dialog kerukunan, dialog kebangsaan, dialog sosial.
18
Suharsini Ari Kunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h.117.
16
Bab ketiga, penulis akan menjelaskan tentang gambaran secara rinci latar
belakang Nahdlatul Ulama (NU) dan sejarah NU, serta definisi dialog antaragama
menurut NU, kemudian menjelaskan tema-tema dialog agama yang dilakukan NU
seperti, dialog kerukunan, dialog kebangsaan, dialog soial.
Bab keempat, penulis akan menganalisa dampak positif dialog antaragama
beserta strategi penyelenggaraan dan pembahasan model dialog antar agama
dalam perspektif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Nahdlatul Ulama
(NU).
Bab kelima, kesimpulan, saran dan kata penutup, yaitu memuat
kesimpulan yang mencakup semua isi skripsi, saran dan diakhiri dengan kata
penutup.
17
BAB II
KERANGKA TEORI DIALOG ANTARAGAMA DAN PERSPEKTIF
KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA
Penulis akan menguraikan terlebih dahulu latar belakang serta sejarah
singkat Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) berada di Indonesia. Adapun juga
persoalan-persoalan dialog antar agama yang diselenggarakan Konferensi
Waligereja Indonesia guna menjaga toleransi beragama.
A. Kerangka Teori Dialog Antaragama
Indonesia adalah Negara kepulauan dan ribuan pulau kecil yang dihuni
oleh berbagai suku. Sebagai Negara kepulauan yang memiliki banyak suku,
bahasa dan agama tetapi kita dipersatukan oleh pancasila sebagai dasar Negara
dengan semboyan, “Bhineka Tunggal Ika”, yang artinya meskipun berbeda-beda
tetapi satu dalam kesatuan Negara Indonesia. Kelima sila yang ada pada pancasila
tersebut memberikan jaminan kepada kita untuk selalu hidup rukun aman dan
tentram dibumi tercinta Indonesia.
Kerukunan merupakan hal penting buat kita semua di tengah-tengah
perbedaan. Perbedaan yang tidak menjadi hambatan untuk hidup rukun antar umat
beragama. Kerukunan harus bersifat dinamis, Humanis Demokratis. Karena
dengan mengutamakan persamaan hak kewajiban dan perlakuan bagi semua
warga negara agar kerukunan agama dapat dilaksanakan dengan baik dan tidak
merugikan kalangan manapun.19
19
Diakses dari https://victoriousnews.com/2018/02/14/dialog-antar-umat-beragama-
konspirasi-dan-toleransi/ Pada tanggal 16 Mei 2019 Pukul 21:45 WIB
18
Pluralisme agama memang merupakan keniscayaan dan pluralisme dalam
kehidupan sosial dapat menjadi stabil selama dalam organisasi-organisasi
keagamaan tidak terdapat satupun dari mereka yang terlalu kuat. Begitupun
sebaliknya.
Dalam hal pluralisme agama perlu adanya untuk mensukseskan dialog
antaragama atau antariman, oleh karena itu penting pemahaman tentang agama
yang diperlukan oleh seluruh masyarakat yang kerap sekali bergesekan dengan
pemeluk agama-agama lain, ilmu perbandingan agama dan pemahaman tentang
agama lain merupakan syaratnya.
Dialog antar umat beragama yang benar dapat menimbulkan pemahaman
dan pencerahan kepada umat dalam wadah kerukunan hidup antarumat beragama.
Dalam dialog ini diperlukan sikap saling terbuka antar-pemeluk agama yang
berdialog. Sebenarnya menganggap bahwa agama yang di peluk itu adalah agama
yang paling benar bukanlah anggapan yang salah, bahkan yakin bahwa agama
yang ia peluk adalah agama yang paling benar, dan orang lain pun dipersilahkan
untuk meyakini bahwa agama yang ia peluk adalah agama yang paling benar.
Malapetaka akan timbul apabila orang yang yakin bahwa agama yang ia peluk
adalah agama yang paling benar, lalu beranggapan bahwa karena itu orang lain
harus ikut ia untuk memeluk agama yang ia peluk.
Menurut Azyumardi Azra, ada beberapa model dialog antarumat
beragama, yaitu: Pertama, dialog parlementer, yakni dialog yang melibatkan
ratusan peserta, seperti dialog World’s Parliament of Religions pada tahun 1873 di
Chicago, dan dialog-dialog yang pernah diselenggarakan oleh World Conference
19
on Religion and Peace (WCRP) pada dekade 1980-an dan 1990-an. Kedua, dialog
kelembagaan, yakni dialog diantara wakil-wakil institusional berbagai organisasi
agama. Dialog kelembagaan ini sering dilakukan untuk membicarakan masalah-
masalah mendesak yang dihadapi umat beragama. Seperti, persoalan terorisme,
paham radikal, konflik sosial yang mengatasnamakan agama serta masalah
nasional lainnya. Dialog seperti ini biasa-nya melibatkan majelis-majelis agama
yang diakui pemerintah seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja
Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu
Darmadan Perwalian Umat Budha Indonesia(WALUBI). Ketiga, dialog teologi.
Dialog ini mencakup pertemuan-pertemuan reguler maupun tidak, untuk
membahas persoalan-persoalan teologis. Dialog teologi pada umumnya
diselenggarakan kalangan intelektual atau organisasi-organisasi yang dibentuk
untuk mengembangkan dialog antaragama, seperti interfidei, paramadina, LKiS,
LP3M, MADIA, dan lain-lain. Ke-empat, dialog dalam masyarakat (dialogue in
community), dialog kehidupan, dialog seperti ini pada umumnya berkonsentrasi
pada penyelesaian "hal-hal praktis dan aktual" dalam kehidupan yang menjadi
perhatian bersama dan berbangsa dan bernegara. Dialog dalam kategori ini
biasanya diselenggarakan kelompok-kelompok kajian dan LSM atau NGO.
Kelima, dialog kerohanian (spritual dialogue), yaitu dialog yang bertujuan untuk
menyuburkan dan memperdalam kehidupan spiritual di antara berbagai agama.20
20
Muhammadong, Pluralitas dan Dialog Antarumat Beragama, VOL V, No. 1, Juni 2011,
h. 3.
20
B. Definisi Dialog Antaragama dalam Perspektif Konferensi Waligereja
Indonesia
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) adalah organisasi Gereja Katolik
yang beranggotakan para Uskup di Indonesia dan bertujuan menggalang persatuan
dan kerja sama dalam tugas pastoral memimpin umat Katolik Indonesia.
Masing-masing Uskup adalah otonom dan KWI tidak berada di atas
maupun membawahi para Uskup dan KWI tidak mempunyai cabang di daerah.
Keuskupan bukanlah KWI daerah. Yang menjadi anggota KWI adalah para Uskup
di Indonesia yang masih aktif, tidak termasuk yang sudah pensiun. KWI bekerja
melalui komisi-komisi yang diketuai oleh Uskup-Uskup.
Setiap Uskup, karena tahbisannya, dengan sendirinya menjadi bagian dari
jajaran para Uskup sedunia (Collegium Episcopale) dan bersama dengan para
Uskup sedunia, di bawah pimpinan Sri Paus, bertanggungjawab atas seluruh
Gereja Katolik.
Para Uskup dalam satu negara bersama-sama membentuk suatu wadah
kerjasama yang dinamakan Konferensi Para Uskup. Di dalam wadah ini mereka
bekerjasama merundingkan dan memutuskan sesuatu mengenai umat katolik di
seluruh negara tersebut.
Seorang Uskup adalah pimpinan Gereja setempat yang bernama
keuskupan. Dengan demikian dia disebut juga Waligereja. Karena itu Konferensi
21
para Uskup di Indonesia disebut Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI)
yang kemudian diubah menjadi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).21
Dalam buku sejarah Gereja Katolik Indonesia yang diterbitkan oleh
Bagian Dokumentasi Penerangan kantor Waligereja Indonesia ia menulis tentang
“Setengah Abad Majlis Agung Waligereja Indonesia (MAWI). Berdasarkan data
dan tanggal yang tercantum pada buku tersebut, maka diambillah sebagai pijakan
penentuan tanggal dan tahun kelahiran MAWI (yang sekarang menjadi KWI).
Merunut tahun sidang pertama para waligereja, yaitu tanggal 15-16 Mei 1924
dijakarta, maka tahun itulah disebut sebagai awal berdirinya MAWI yang hingga
tahun 2019 ini tepat berusia 95 tahun.
Bangsa Indonesia mengalami suatu pembaharuan hidup dalam
hubungannya dengan berbangsa dan bernegara dengan peristiwa pergerakan
massa yang disebut Gerakan Reformasi. Kelahiran Reformasi ini menandai
berakhirnya masa yang disebut Orde Baru (ORBA) yang berjalan sekitar 32
tahun. Tanggal 20 Mei 1998 puncak gerakan massa dan sekaligus awal bagi
lahirnya Reformasi itu.
Terhadap pembaharuan hidup berbangsa dan bernegara ini Konferensi
Waligereja Indonesia mewujudkan dukungannya dengan memberikan sumbangan
pemikiran melalui berbagai kebijakan pastoral yang diputuskannya. Beberapa hal
yang penting yang dikeluarkan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dalam
periode ini antara lain: pesan Natal bersama KWI-PGI secara konsisten berisi
ajakan kepada umat kristiani untuk hadir ditengah masyarakat bangsa sebagai
21
Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Waligereja_Indonesia, tanggal 29
Januari 2019 pukul 10:00 WIB.
22
penabur benih-benih persaudaraan, pelopor dalam mengatasi budaya kekerasan
dengan budaya membangun budaya hidup aktif tanpa kekerasan, penerbitan nota
pemilu yang menegaskan pentingnya umat Katolik untuk ambil bagian dalam
proses pesta demokrasi itu dengan aktif memberikan suaranya dan aktif juga
berkerja sama dengan masyarakat.
Dalam usianya yang tepat 95 tahun ini, KWI konsisten menegaskan
prinsip-prinsip pembangunan, kehidupan politik dan pengelolaan hidup berbangsa
dan bernegara. Seperti, proses pembangunan harus selalu menghormati harkat dan
martabat kemanusiaan segenap warga, kelompok, golongan dan masyarakat, perlu
dikembangkan semangat persaudaraan dan kebersamaan antara golongan budaya,
etnis, agama dan kepercayaan sebagai kerangka hidup bersama.22
Demi mencapai prinsip pembangunan tersebut, perlu adanya pemahaman
terhadap Agama-agama lain tidak hanya diperlukan oleh para elit agama, tetapi
harus merambah kepada masyarakat lapisan terbawah atau masyarakat awam yang
bergesekan secara langsung dengan para pemeluk Agama-agama lain dalam
kehidupan sehari-hari. Ilmu perbandingan agama dan pemahaman terhadap agama
lain merupakan salah satu persyaratan dialog antar agama, karena dengan ilmu
perbandingan agama dipergunakan untuk mempelancar dialog antaragama. Dialog
antaragama sendiri merupakan media untuk memahami agama lain secara benar
dan komprehensip. Dialog antarumat beragama ini juga dapat memberikan
22
90 Tahun Perjalanan sejarah KWI, diakses dari
http://www.mirifica.net/2014/11/01/perjalanan-sejarah-konferensi-waligereja-indonesia/ tanggal
29 Januari 2019 pukul 10:45 WIB.
23
pemahaman dan pencerahan kepada umat dalam wadah kerukunan hidup umat
beragama.
Pemahaman tentang dialog antaragama salah satu tujuannya ialah untuk
memberikan pemahaman yang tepat dan jelas. Pengertian dialog antar umat
beragama menurut Gereja Katolik, agar menjadi acuan dan pegangan bagi
segenap warga Gereja Katolik pada umumnya dan penggiat hubungan antar umat
beragama dan kepercayaan pada khususnya.
1. Pada tatanan manusiawi biasa dan umum, dialog merupakan suatu
komunikasi timbal balik yang menghantar pada tujuan bersama. Tujuan
bersama yang paling mendasar dan utama adalah saling mengerti,
memahami, menghargai, menerima, hidup rukun damai, serta bekerja
sama untuk mencapai kesejahteraan bersama, baik lahir maupun batin.
2. Secara spesifik dalam konteks pluralitas agama, dialog merupakan:
Praktek kehidupan bersama
Sharing dan diskusi bersama
Tanggapan bersama atau kerja sama
Ungkapan/tindakan kasih23
Dialog hendaknya tidak hanya berhenti pada mengidentifikasi sederet nilai
yang diakui bersama tetapi berangkat lebih jauh lagi, yakni menyelidiki dasarnya
yang paling dalam, yakni kebenaran yang membuka relasi yang hakiki antara
dunia dan Allah. Paus Benediktus menegaskan bahwa ini adalah sebuah tugas
mendesak dari agama-agama masa kini untuk menyingkap potensi besar yang
23
Pastor Agustinus Ulahayanan, Dialog Antar Umat Beragama (Jakarta: Komisi
Hubungan Antaragama Kepercayaan KWI, 2016), h. 9-10.
24
dimiliki oleh akal budi manusia yang pada dasarnya adalah anugerah Allah
sendiri, dan diangkat oleh wahyu dan iman. Percaya akan satu Allah, tentu tidak
mengkerdilkan kemampuan kita untuk memahami diri kita sendiri dan dunia,
tetapi akan memperluas akal budi manusia. Iman juga tidak membuat kita
melawan dunia, melainkan membuat kita terlibat dan bertanggungawab terhadap
dunia ini. Kita semua dipanggil untuk membantu orang lain agar dapat melihat
jejak-jejak halus dan penuh misteri dari kehadiran Allah didalam dunia yang telah
diciptakan-Nya secara sangat mengagumkan, dan terus menjaga dunia ini dengan
kasih-Nya yang tak terlukiskan serta merangkul semua orang.
Didalam deklarasi Dominus lesus, Kongregasi untuk Ajaran iman
mengukuhkan tempat dialog antarumat beragama di dalam kehidupan Gereja,
mengorelasikannya dengan misi ad gentes, yang “sekarang ini seperti selalu tetap
sepenuhnya mempunyai daya kekuatan dan sifat keharusan”. Menurut deklarasi
itu, “Allah menghendaki keselamatan setiap orang melalui pengetahuan akan
kebenaran”. Mereka yang mendengarkan bisikan Roh kebenaran, sudah berada
dijalan keselamatan. Tetapi Gereja yang diserahi kebenaran ini harus keluar untuk
menemukan hasrat mereka dan membawa kebenaran kepada mereka. Oleh karena
itu Gereja percaya akan rencana keselamatan Allah yang universal, Gereja harus
bersifat misioner. Dialog antarumat beragama sebagai bagian dari misi
evangelisasi, hanya merupakan salah satu dari berbagai aktivitas Gereja didalam
misinya yang ad gentes. Adalah merupakan kewajiban pertama dari Gereja, untuk
mengabarkan kepada semua orang “kebenaran yang diwahyukan secara definitif
oleh Tuhan”, dan memaklumkan keharusan untuk berbalik kepada Yesus Kristus
25
dan mengikuti Gereja melalui pembabtisan dan sakramen-sakramen yang lain
untuk mengambil bagian secara penuh di dalam persekutuan dengan Allah Bapa,
Putra dan Roh Kudus. Deklarasi yang sama juga mengukuhkan bahwa semua
peserta dialog adalah sama, akan tetapi kesamaan ini merujuk terutama kepada
“martabat manusianya yang sama bukan kepada isi ajaran (dari agama-agama
mereka), dan tentu saja tidak merujuk kepada posisi Yesus Kristus yang adalah
Allah didalam diri manusia dalam kaitannya dengan tokoh-tokoh pendiri agama
lain.24
C. Tema-tema Dialog Antaragama
1. Dialog kerukunan
Secara historis, gereja Katolik sangat menekankan sisi kemanusiaan,
oleh karena itu setiap dialog antaragama yang berlangsung demi menjaga
kerukunan umat harus berlandaskan unsur kemanusiaan, unsur persaudaraan.
Diyakini dengan menjadikan sesama manusia seperti saudara sendiri akan
sangat mudah untuk menjaga keanekaragaman agama.
Seperti yang dikemukakan Prof. Dr. H. M. Ridwan lubis, dalam
tulisannya buku yang berjudul Agama dan Perdamaian. Buku ini
menyinggung penjelasan tentang bagaimana agama menuju sistem ketertiban
sosial, yaitu dengan sebuah sistem yang komponen-komponennya terdiri atas
benda-benda yang berjiwa. Sementara dalam tradisi ilmu-ilmu kealaman kata
sistem digunakan sebagai penjelasan sebuah sistem anorganik yaitu sebuah
sistem yang komponennya terdiri atas yang tidak bernyawa. Sekalipun dua
24
Dewan Kepausan, Dialog dalam Kebenaran & Kasih (Jakarta: Komisi Hubungan
Antaragama dan kepercayaan KWI), h. 19.
26
jenis keilmuan tersebut memiliki perbedaan, tetapi secara esensi tidaklah
berbeda. Karena sistem dalam dua pengertian ini menjelaskan bahwa sistem
adalah himpunan yang terdiri atas berbagai komponen yang berhubungan
secara teratur dan merupakan kesatuan. Begitupun jika kita kaitkan dengan
pranata sosial, karena berbagai pranata sosial itu sangat berkaitan antara satu
dan lainnya, yaitu bahasa dan komunikasi, ilmu pengetahuan, ekonomi,
organisasi sosial dan agama. Demikianlah agama merupakan salah satu
subsistem yang berperan sebagai perwujudan kebudayaan.25
Dinamika sosial yang terjadi akbat dari gerakan reformasi tidak bisa
dielakan melahirkan berbagai kerenggangan ikatan sosial sebagai proses
menuju ekilibirum baru. Atas dasar itu pula, sekalipun secara alamiah
fenomena menuju keseimbangan baru itu akan terjadi namun prosesnya
memerlukan waktu yang relatif lama maka sebagai upaya untuk memelihara
kelangsungan Indonesia sebagai bangsa dan sekaligus melanjutkan berbagai
momentum pembangunan, diperlukan berbagai langkah baru sebagai konsep,
struktur, lembaga dan program dalam membangun kerukunan umat
beragama.
Dirunut kemasa keberhasilan Indonesia menjadi bangsa, peristiwa
sumpah pemuda tanggal 28 oktober 1928 merupakan tonggak penting sebagai
wujud kesadaran semangat kerukunan di Indonesia. Bangsa ini berdiri
melalui semangat kesatuan kebangsaan yang dimulai Sarikat Dagang Islam
(1905) yang menyatukan nilai agama khususnya dalam menata aktivitas
25
Prof. Dr. H. Ridwan Lubis adalah guru besar sekaligus tenaga pengajar di jurusan Studi
Agama-agama, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Perhatian utama beliau
bidang pemikiran modern dalam Islam serta kerukunan hidup umat beragama.
27
sosial dalam bidang perekonomian masyarakat menempatkan diri sebagai
landasan tumbuhnya kesadaran nasionalisme yang kemudian diteruskan
Sarikat Islam (1912) di bawah kepemimpinan HOS Cokroaminoto. Pada
tanggal 28 Oktober 1928 emosi keagamaan, ras maupun kesukuan melebur
dalam semangat persatuan. Dasar terbentuknya keagamaan adalah komitmen
penderitaan seluruh warga bangsa yang terjajah yang melahirkan perasaan
senasib dan sepenanggungan kemudian tekad itu memuncak saat dikukuhkan
dalam sumpah pemuda. Inilah kemudian yang mendorong lahirnya Indonesia
sebagai sebuah negeri perjanjian yang dirajut dalam semboyan pengakuan
terhadap keragaman simbol namun memiliki tujuan satu yaitu merdeka. Akan
tetapi jauh sebelum semangat sebagai satu bangsa muncul pada sumpah
pemuda tersebut, bibit nasionalisme itu telah ditabur terdahulu oleh nilai-nilai
keagamaan dalam berbagai doktrin teologi, ritual agama serta kesadaran budi
pekerti sebagai warga bermasyarakat. Keyakinan kepada keesaan Tuhan
menjadi dasar inspirasi terbentuknya titik temu diantara manusia apapun
suku, ras maupun agamanya.26
Selanjutnya, menurut katolik, menjadi penganut agama adalah sebuah
takdir yang tidak perlu dirubah. Jika suatu saat akan berubah semua itu
tergantung tentang hati nurani pribadi masing-masing, karena pada
hakikatnya menghargai hak asasi manusia itu sangat penting.
26
Prof. Dr. H. Ridwan Lubis, Sumbangan Agama Membangun Kerukunan di Indonesia
(Jakarta: Kemenag RI, 2017), h. 380-381.
28
Melihat pernyataan diatas, kenyamanan dalam kehidupan bersosial
adalah hak bagi segala umat.27
Sesungguhnya masyarakat di Indonesia telah
memiliki modal sosial dan modal budaya dalam hubungan umat beragama,
oleh karena itu adanya ketimpangan hubungan tidak selamanya menjurus
kepada konflik. Tetapi pada sisi lain, akan bisa mendorong terjadinya
negosiasi sehingga mampu melahirkan proses berbagi baik dalam bentuk
pemanfaatan sumber daya kasat mata maupun sumber daya tidak kasat mata.
Proses adaptasi dan akomodasi akan terwujud melalui pengembangan
intensitas musyawarah setiap kelompok sosial sehingga masing-masing dapat
hidup secara seimbang antara hak dan kewajibannya.28
2. Dialog Kebangsaan
Dalam dialog kebangsaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI),
Katolik jika berbicara terkait kebangsaan ia memiliki semboyan yang disebut
“Kasimo”. Kasimo yang dimaksud katolik ialah sebuah kecintaan terhadap
negara yang berasumsi bahwa 100% katolik juga 100% Indonesia. Semboyan
khas itu dimaksudkan sebagai bukti cinta warga asli negara Indonesia.
Sebagai umat beragama Vatikan tetap menjadi kiblat umat Katolik. Namun,
dalam ajaran Katolik dan Paus yang ada di Vatikan tidak ada larangan atau
aturan tentang kecintaan terhadap negara.29
27
Wawancara pribadi dengan Bapak Maxi, Bagian komisi HAK KWI di Jakarta 28
Januari 2019. 28
Ridwan Lubis, Sumbangan Agama Membangun Kerukunan di Indonesia, h.442. 29
Wawancara pribadi dengan Bapak Maxi, Bagian komisi HAK KWI di Jakarta 28
Januari 2019.
29
Dasar dan filsafat digali dari akar budaya Indonesia dengan
menemukan nilai dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan selanjutnya
berbangsa dan bernegara. Kelima dasar itu adalah ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indoesia. Apabila ada negara
yang menjadi dasar berdirinya karena adanya persamaan darah dan warna
kulit maka Indonesia menurut Soekarno, berdiri bukan karena persamaan
darah dan warna kulit atau ras, tetapi karna perasaan senasib dan
sependeritaan akibat dijajah oleh kolonial selama ratusan tahun.
Hal ini dimaksudkan agar tidak ada pembedaan antara warga negara
Indonesia karena semuanya sama-sama pernah merasakan sebagai manusia
terjajah. Kelima dasar itu sama sekali tidak ada menyebut keterkaitannya
dengan ajaran agama tertentu kecuali bahwa terdapat kesamaan antara nilai
ajaran agama tertentu kecuali bahwa terdapat kesamaan antara nilai ajaran
agama dan lima dasar itu. Dasar pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
mengandung pesan bahwa seluruh rakyat Indonesia adalah manusia yang
mengenal dan meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi sumber
kebaikan.
Oleh karena itu, prinsip ketuhanan adalah dimiliki oleh semua penganut
agama, maka setiap warga negara tidak bisa memonopoli pengertian
ketuhanan itu. Dalam kaitan itulah, semua warga negara dari rumah besar
yang disebut Indonesia hendaklah memiliki kesadaran untuk saling
30
mewujudkan kerukunan dalam segala prilaku sosialnya. Kerukunan bukan
dimaksudkan bahwa setiap orang harus melebur keragamannya sehingga
menjadi suatu yang seragam, tetapi setiap orang ataupun kelompok suku
memiliki kebebasan untuk terus memelihara keberadaan unsur kemajemukan
itu. Yang terpenting adalah adanya kesatuan cita-cita untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur guna menuju kepada perwujudan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Setiap warga negara Indonesia memiliki
kesempatan dan peluang yang sama untuk merumuskan persepsinya tentang
Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan ajaran agama yang
dianutnya.
Platform nilai berketuhanan tidak hanya berkenan dengan kehidupan
pribadi, tetapi juga terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Seluruh
peraturan, perundang-undangan di negri ini haruslah sejalan untuk memberi
dukungan terhadap relasi Ketuhanan Yang Maha Esa. Atas dasar itu, maka
ada ajaran agama yang memerlukan partisipasi negara secara formal karena
hal itu merupakan bentuk pelaksanaan tugas dan tanggungjawab negara untuk
memberikan perlindungan, fasilitasi, dan pengawasan untuk menuju kepada
terwujudnya keyakinan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa itu. Hal inilah
yang dapat menerangkan kenapa negara itu mengurus perkawinan,
penyelenggaraan haji dan umroh, pelaksanaan zakat, wakaf, perbankan
syariat, dan sebagainya.30
30
Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017),
h. 366.
31
Secara faktual, kita adalah satu bangsa yang majemuk, jika ada
seseorang yang tidak suka dengan kemajemukan maka ia mengingkari
identitas negara. Untuk menjaga dan mempertahankan bangsa negara kita,
mau tidak mau suka tidak suka indentitas kita majemuk. Dari sisi suku,
budaya, maupun agama dan segala macamnya. Bahwa di dalam
kemajemukan terdapat macam-macam jika dihitung secara jumlah akan
terdapat istilah mayoritas dan minoritas. Akan tetapi bukan berarti yang
minoritas memiliki peran yang kecil dan yang mayoritas memiliki peran yang
besar. Jika kita mengukur dalam hal kebaikan, mayoritas maupun minoritas
memiliki ajaran yang sama yaitu ajaran kebaikan, tidak harus diperdebatkan
persoalan ajaran tersebut sampai masuk kepemahaman yg lain untuk saling
jaga dan menghormati sampai pada konsep yang besar melindungi yang kecil
dan yang kecil menghormati yang besar.31
Adanya partisipasi negara dalam memberikan pengaturan secara formal
terhadap berbagai hal diatas bukanlah berarti dasar negara telah tergeser dari
Pancasila, melainkan sebagai relasi Pancasila dalam kehidupan yang nyata.
Demikian juga andai kita penganut agama lain memerlukan hal yang sama
maka negara harus memberikan pelayanan yang sama. Sejalan dengan itu
pula, setiap penganut agama hendaknya berlomba-lomba untuk menggali
nilai-nilai ajaran agamanya untuk disumbangkan kepada pembangunan
bangsa. Bentuk partisipasi kedua negara terhadap pelaksanaan nilai-nilai
ajaran agama adalah pendekatan substantif yaitu nilai substansinya yang
31
Wawancara pribadi dengan Agustinus Ulahayanan sekretaris komisi HAK KWI di
Jakarta 25 januari 2019
32
diundangkan atau dijadikan peraturan seperti misalnya larangan terhadap
pornografi karena hal itu merendahkan martabat kemanusiaan,
penyalahgunaan narkoba, dan lain sebagainya.
Selain dari itu, adalah suatu kebijakan yang penting apabila setiap nilai-
nilai dasar ajaran agama dijadikan sebagai landasan dalam menyusun
undang-undang yang menjadi hukum positif sehingga bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang sosio-religius.
Indonesia bagaikan negara mahakarya Tuhan, yang terdiri atas ribuan
pulau dari Sabang sampai Merauke dan kaya terhadap keragaman atau
kemajemukan masyarakat (pluralistic society). Kemajemukan ini ditandai
oleh keragaman suku bangsa, bahasa, agama, adat, tradisi, dan kepercayaan.
Namun demikian, negara menghendaki agar segenap unsur dan kelompok
bangsa yang beragama tetap bersatu demi tercapainya kedaulatan, keadilan
dan kemakmuran sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri bangsa dalam
Undang-Undang Dasar 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pengelolaan kehidupan beragama di Indonesia berpatokan kepada
landasan ideal yaitu Pancasila, landasan instrumental yaitu Undang-Undang
Dasar 1945 dan landasan oprasional yaitu semua Undang-Undang Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Mentri, Peraturan Daerah,
Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati peraturan Walikota dan seterusnya.
Kesadaran beragama di Indonesia memegang peranan penting dalam
kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia,
33
Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia
berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Teks
UUD 1945 menyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan
untuk memilih dan mempraktikan kepercayannya” dan “menjamin semuanya
akan kebebasan untuk menyembah Tuhan masing-masing, menurut agama
atau kepercayaan itu”. Pemerintah sampai saat ini secara resmi hanya
melayani enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan
Konghucu.32
3. Dialog Sosial
Gejala agama bukanlah gejala ilmu kealaman, seperti air yang selalu
mengalir dari atas kebawah atau seperti gejala electron yang selalu bergerak
mengejar proton. Agama biasanya didefinisikan sebagai kepercayaan akan
adanya sesuatu yang Mahakuasa dan hubungan dengan yang Mahakuasa itu.
Karena agama adalah kepercayaan, maka agama adalah gejala budaya.
Sedangkan interaksi antara sesama pemeluk agama dan agama lain yaitu
gejala sosial. Jadi, agama dapat dilihat sebagai gejala budaya.
Perhatian para sosiolog terhadap keberadaan agama tidak kalah banyak
dibandingkan dengan para teolog. Perbedaanya, bila para teolog melihat
agama dalam kerangka benar atau salah, para sosiolog melihat agama sebagai
bagian dari proses perkembangan budaya manusia. Bahkan, agama itu sendiri
dinilai sebagai gejala budaya dan gejala sosial, yang sendirinya mempunyai
sifat tidak terulang.
32
Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian, h. 368.
34
Dengan melihat agama sebagai sistem budaya, maka agama dapat
diteliti secara ilmiah. Agama sebagai sistem budaya akan senantiasa bergerak
secara dinamis, sehingga dalam kurun waktu tertentu wajah agama akan
senantiasa berubah. Oleh karena itu, bagi mereka yang hendak meneliti
fenomena keagamaan yang diekspresikan oleh individu atau kelompok harus
dimulai oleh kesadaran bahwa agama selalu berada dalam proses menjadi,
dipengaruhi oleh persepsi terhadap apa yang dipahami sebagai ultimate
reality tergantung kepada konstruksi keberagamaan. Dengan demikian,
perbedaan cara mengekspresikan keberagamaan antara individu dan
antarkelompok keagamaan bukan sesuatu yang salah, tapi kebenaran-
kebenaran dengan rasionalitas yang berbeda-beda. Kesalahan yang sering
terjadi dalam meneliti ekspresi keberagamaan adalah memosisikan agama
sebagai bangunan yang tidak boleh berubah dengan menggunakan konsep
kebenaran tunggal dalam mengkaji agama, seperti yang biasa terjadi bila
memakai pendekatan teologis.
Agama-dalam pengertian teologis sebagai seperangkat ajaran yang
mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya, antara manusia dengan
manusia lainnya, dan antara manusia dan alam lingkungannya, tak lagi
dipakai untuk menjelaskan gejala-gejala sosiologis hubungan interaksional
timbal balik antara agama dan masyarakat. Alasanya, definisi agama seperti
itu, ternyata lebih menekan kan peran agama sebagai pengatur kehidupan dan
kurang memberikan tekanan pada faktor manusia sebagai penganut dan
menginterprestasi ajaran agama. Dari definisi seperti itu tidak dapat dilihat
35
bagaimana orang merasakannya agamanya sebagai sesuatu yang misteri dan
menakutkan, bagaimana orang merasakan bercengkrama dalam nuansa
percintaan dengan Tuhannya, bagaimana penganut agama bisa berlaku
agresif dan fundamental, dan bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang
lain melalui symbol-simbol agama; bagaiamana seorang Madonna penyanyi
pop terkenal bernyanyi dengan pakaian minim yang memperlihatkan lekuk-
lekuk tubuhnya, bahkan lebih, sementara didadanya menggelantung symbol
salib dan sejumlah pertanyaan lain, yang intinya keterlibatan manusia dengan
keyakinan agamanya menjadi sangat dominan.
Dengan demikian, setiap agama akan memiliki sistem symbol yang
disebut dengan symbol suci yang menggambarkan keberadaan etos dan
pandangan hidup yang secara hakiki merupakan bagian penting bagi
eksistensi manusia. Dengan adanya etos dan pandangan hidup (world view)
yang memancarkan simbol-simbol suci tersebut, manusia mengadakan
kehidupan sehari-hari. Dengan cara demikian, agama menjadi sesuatu yang
eksis dalam kehidupan manusia, karena manusia menginterprestasikan
kehidupannya berdasarkan dan dipedomani oleh agamanya atau simbol-
simbol suci yang diyakini itu.
Tanpa bermaksud melebih-lebihkan paradigma definisi sosial
sebagaimana interaksionisme simbolik dan fenomenologi dalam memandang
agama sebagai gejala kehidupan manusia, namun definisi agama sebagai
tersebut diatas, terasa lebih menjanjikan peran manusia dalam melakukan
tindakan keagamaannya. Jadi, agama lebih dimaknai sebagai bagian dari
36
kehidupan individual yang masing-masing pemeluk agama memiliki otoritas
dalam memahami agamanya dan mengaplikasikannya, kendati interprestasi
tersebut masih saja selalu dikaitkan dengan tokoh agama (religious leader).
Suatu kenyataan, bahwa kebanyakan orang tak dapat menginterprestasikan
ajaran agama, dikarenakan keterbatasan persyaratan intelektual. Dengan cara
seperti ini, kita telah sedikit memasuki relung paradigma fakta sosial dengan
anggapan bahwa struktur keulamaan memiliki peran dan fungsi dalam
menentukan kehidupan keberagamaan penganut agama tertentu. Dengan
demikian, paradigma fakta sosial akan mengkaji mengenai peran dan fungsi
struktur dan pranata keagamaan yang memiliki sejumlah pengaruh terhadap
kehidupan masyarakat. Adapun paradigma definisi sosial akan mengkaji arti
penting dan makna agama bagi kehidupan manusia.
Dalam kehidupan masyarakat terdapat sejumlah struktur dan pranata
yang dipengaruhi oleh ajaran agama dan dibentuk oleh masyarakat untuk
mengatur kehidupannya, seperti pranata perkawinan, keluarga, pendidikan,
struktur, keulamaan, dan kenegaraan. Semua ini dapat dikaji oleh paradigma
fakta sosial, untuk melihat aspek fungsionalitasnya bagi kehidupan
masyarakat. Adapun dalam kehidupan manusia terdapat makna agama atau
tindak subyektif pelaku agama yang tentu saja membutuhkan paradigma
definisi soisal. Ramlan Surbakti (1996) menyebutkan dengan istilah, What
does religion do for other; dan What is religion. Pengertian pertama mengacu
kepada apa fungsi agama bagi kehidupan masyarakat, dan yang kedua
mengacu kepada apa makna agama bagi kehidupan manusia.
37
Berikut pandangan tentang agama dalam perspektif sosiologis. Thomas
F. O‟dea sebagaimana dikutip oleh Prof. Ridwan Lubis, dalam bukunya
Sosiologi of religion, mengawali tulisannya dengan suatu kalimat menarik,
menurutnya bahwa penjelasan yang bagaimanapun adanya tentang agama,
tidak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya.
Dengan demikian, pengaruh disiplin ilmu sosial dan sosial pada umumnya
untuk mengkaji masyarakat beragama mau tidak mau harus tidak lepas dari
kajian agama itu dalam konteks sosialnya. Ini artinya bahwa agama yang
selalu berkaitan dengan kepercayaan sereta berbagai praktik ritualnya yang
diwujudkan dalam bentuk tingkah laku secara empiris dalam pandangan
O‟dea, benar-benar sebagai masalah sosial. Berangkat dari pernyataan
tersebut, maka persoalan berikutnya yaitu bagaimana ilmuwan sosial atau
para sosiolog khususnya mendefinisikan agama, persoalan apakah dalam
masalah agama ini yang telah menjadi perhatian sosiologi serta bagaimana
mendekati masalah ini dari sudut pandang sosiologis.33
Dalam paham katolik, faktor sosiologis membuat semua manusia bisa
terbuka, yaitu dengan adanya dialog antaragama dalam kehidupan sehari-hari
mampu membuat keterbukaan yang menyatakan bahwa pada hakikatnya
semua agama itu mengajarkan kepada kebenaran. Menurutnya, manusia
33
Ridwan Lubis, Sisiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama dalam Interaksi
Sosial (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2017), h. 86-89.
38
semua dibumi ini ada yang mengatur, alangkah baik dan indahnya jika
manusia hidup berbeda namun tetap rukun dan saling kerja sama.34
34
Wawancara pribadi dengan Bapak Maxi, Bagian komisi HAK KWI di Jakarta 28
Januari 2019.
39
BAB III
DIALOG ANTARAGAMA MENURUT NAHDLATUL ULAMA
Pada bab ini penulis akan menguraikan terlebih dahulu latar belakang serta
sejarah singkat Nahdlatul Ulama berada di Indonesia. Adapun juga persoalan-
persoalan dialog antar agama yang diselenggarakan Nahdlatul Ulama guna
menjaga toleransi beragama.
A. Definisi Dialog Antaragama dalam Perspektif Nahdlatul Ulama
Berbicara tentang Nahdlatul Ulama (NU) rasanya cukup menarik
setidaknya karena berbagai hal. Kurang lebih 4 dasawarsa kebelakang, Nahdlatul
Ulama tampak mendapat perhatian lebih setelah tulisan-tulisan Abdurrahman
Wahid mengenai Nahdlatul Ulama dipublikasikan. Nahdlatul Ulama memiliki arti
kebangkitran ulama. Organisasi keagamaan ini berdiri pada tanggal 31 Januari
1926 di kota Surabaya. Latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)
memiliki banyak faktor, diantara faktor itu ialah perkembangan dan pembaharuan
pemikiran Islam yang merumuskan tentang larangan segala macam bentuk
amaliah kaum sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran
murni, yaitu dengan umat Islam melepaskan diri dari sistem madzhab. Bagi para
kiai pesantren, pembaharuan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan
keniscayaan, namun tetap tidak meninggalkan tradisi keilmuan ulama terdahulu
yang masih sangat relevan. Oleh karena itu, organisasi Nahdlatul Ulama cukup
mendesak untuk segera di dirikan.
Nahdlatul Ulama menganut faham Ahlussunah waljama‟ah, merupakan
sebuah pola pikir yang mengambil antara jalan tengah ekstreem aqli (rasionalis)
40
dengan ekstreem naqli (skripturalis). Oleh karena itu sumber hukum Islam bagi
NU tidak hanya Al-Qur‟an dan Sunnah, tetapi juga mensertakan kemampuan akal
ditambah dengan realitas empirik. Cara pemikiran semacam itu dirujuk dari
pemikiran terdahulu seperti Abu al-Hasan al-Asy‟ari dan Abu mansur Al maturidi
dalam bidang teologi/tauhid/ketuhanan. Kemudian dalam bidang ilmu fiqih lebih
ke arah mengikuti madzhab Imam syafi‟i dan mengakui tiga madzhab yang lain
yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali. Sementara dalam bidang
tasawuf, yaitu dengan mengembangkan metode Al Ghazali dan Syeikh al-
Bagdadi, yang menyatukan antara tasawuf dengan syariat. Tujuan konsep
pemikiran organisai keagamaan ini yaitu menegakkan ajaran Islam menurut
paham Ahlussunah waljama‟ah ditengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.35
Dalam hubungan antarumat beragama, Nahdlatul Ulama sangat
menjunjung tinggi nilai toleransi, karena pada dasarnya Islam adalah agama
Rahmatan lil alamin. NU sendiri memiliki program yang namanya Refleksi akhir
tahun dengan menyelenggarakan dialog antarumat beragama yang bertujuan untuk
memperkokoh hubungan antar umat beragama.36
Dalam forum kerukunan umat beragama, mendefinisikan tentang dialog
antaragama yang memiliki peran penting didalamnya, karena dialog antaragama
adalah sebuah pola untuk mambangun titik temu antar umat beragama yang
bertujuan untuk membangun bangsa. Seperti kita ketahui, bangsa kita adalah
35
H. Muhammad Syakur, “Sejarah Konsep-Konsep Nahdlatul Ulama”, http://www.nu.or.id/post/read/92775/sejarah-konsep-konsep-nahdlatul-ulama diakses pada
Tanggal 1 Maret 2019 pukul 15:38. 36
Wawancara pribadi dengan H. Amsori bagian wakil ketua LPBHNU pada tanggal 14
Februari 2019.
41
bangsa majemuk yang di dalamnya memiliki berbagai macam agama, oleh karena
itu sangat amat penting untuk di dialogkan yang bertujuan membangun bangsa
yang utuh dan bangsa sejahtera, guna mempererat ukhuwah wathoniyyah
(persaudaraan kenegaraan).37
B. Tema-tema Dialog Antaragama
1. Dialog Kerukunan
Kita ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa menjadi satu bangsa
dan hidup dalam satu negara. Kita hidup dalam pengayoman satu pemerintah
dan satu landasan ideologi yaitu Pancasila. Semuanya itu merupakan titik
tolak kita dalam membangun bangsa dan negara. Disamping itu kitapun
ditakdirkan berbeda dalam suku, adat istiadat dan agama. Namun, kita
bersyukur karena perbedaan-perbedaan tersebut tidak menimbulkan
perpecahan diantara bangsa kita. Bahkan satu dengan yang lain saling
memperkokoh persatuan antara sesama kita. Kita sudah sepakat menerima
kenyataan adanya perbedaan itu, tetapi tetap dalam persatuan Indonesia yang
Bhineka Tunggal Ika.
Mengingat kenyataan tersebut, kerukunan antar umat beragama di
Indonesia termasuk salah satu masalah yang cukup mendapat perhatian
Pemerintah. Diantara hal-hal yang menyebabkan Pemerintah harus
memberikan perhatian yang cukup besar terhadap masalah kerukunan hidup
antar umat beragama adalah karena hal ini mempunyai kaitan yang erat
dengan usaha pembangunan. Kita semua maklum, bila kerukunan hidup umat
37
Wawancara pribadi dengan K.H Abdul Manan Ghani Ketua PBNU pada tanggal 06
Februari 2019.
42
beragama di Indonesia dapat tercipta dengan baik, usaha-usaha pembangunan
yang sedang kita laksanakan sekarang akan lebih lancar dan terarah. Sebab
dengan adanya kerukunan hidup antarumat beragama akan terjamin dan
terpelihara stabilitas sosial sebagai syarat mutlak untuk berhasilnya
pembangunan. Selain itu, dengan adanya kerukunan hidup beragama, potensi
umat beragama yang demikian besar dapat dikerahkan dan dimanfaatkan
untuk memperlancar pembangunan. Sebaliknya apabila tidak terdapat
kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia stabilitas sosial pasti akan
terpengaruh dan terganggu. Akibatnya, potensi umat beragama di Indonesia
yang demikian besar itu tidak dapat digerakkan untuk usaha-usaha
mensukseskan pembangunan. Bahkan ketidakrukunan antara penganut agama
dapat menimbulkan bentrokan dan perang agama, yang akibatnya akan lebih
fatal, yakni mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara. Kejadian-
kejadian dibeberapa negara didunia telah membuktikan kebenaran hal itu.
Kita bangsa Indonesia merasa bersyukur sekali, karena di negara kita
kerukunan hidup antarumat beragama itu selalu terpelihara dengan baik sejak
dulu kala sampai sekarang ini. Karena itu tidaklah mengherankan apabila ahli
sejarah inggris, Arnold J. Toynbee, dalam suatu tulisannya sehabis
kunjungannya ke Indonesia dalam tahun 1957, menamakan Indonesia sebagai
“The Land Where The Religions are Good Neighbours” (Negri dimana
Agama-agama Hidup Bertetangga Baik). Dalam tulisannya ia berkata:
“Sungguhpun negri ini berhadapan dengan berbagai persoalan dan kesulitan
dengan masyarakatnya yang serba aneka namun selalu bebas dari salah satu
43
kebatilan umat manusia, yakni sengketa agama. Tidak pernah terjadi di
Indonesia perselisihan agama, apalagi perang agama seperti di negri-negri
lain, baik di Timur maupun di Barat. Kalaupun bangsa Indonesia
mempergunakan agama dalam peperangan, hal itu adalah perang sabil
melawan penjajahan, bukan melawan agama lain”. Demikianlah Arnold J.
Toynbee.38
Secara historis, Indonesia adalah negara besar yang memiliki berbagai
macam agama oleh karena itu harus di dialogkan yang bertujuan untuk
membangun bangsa yang utuh, makmur dan sejahtera. Dalam dialognya,
setiap agama yang ada di negri ini harus memiliki visi yang sama yaitu aman,
damai dan merata. Dalam rangka berdialog antaragama dan memiliki visi yang
sama kita bisa membangun yang namanya persaudaraan kemanusiaan untuk
menjaga kerukunan.39
Memang pada masa permulaan kebangkitan Orde Baru, yaitu
menjelang akhir tahun 1967 di negara kita pernah terjadi konflik diantara
peganut umat beragama dibeberapa daerah, akibat tindakan berlebihan dari
beberapa oknum penganut agama tertentu. Untuk menghindari terulangnya
peristiwa demikian, sejak tahun 1967 itu juga pemerintah telah mengajak para
pemimpin dan tokoh-tokoh dari berbagai agama untuk bermusyawarah dan
berdialog. Dengan bermusyawarah dan berdialog dari hati ke hati diantara
38
Alamasyah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama
(Jakarta: Departemen Agama RI, 1982), h. 46. 39
Wawancara Pribadi dengan Abdul Manan Ghani Ketua PBNU di Jakarta tanggal 06
Februari 2019.
44
tokoh-tokoh agama itu, akan menemukan penyelesaiannya dan menjernihkan
hal-hal yang keruh.
Dalam masalah kerukunan hidup antarumat beragama ini akan lebih
ditingkatkan sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan
Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4). Tentang kerukunan
hidup antarumat beragama dalam GBHN disebutkan: “Kehidupan Keagamaan
dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin dikembangkan,
sehingga terbina hidup rukun di antara sesama umat beragama, rukun diantara
sesama penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan di antara
semua umat beragama dan sesama penganut kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa adalah usaha memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa
dan meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat.40
2. Dialog Kebangsaan
Dalam taun 1936 Muktamar Nahdlatul Ulama di Banjarmasin membuat
keputusan yang unik, yang nantinya akan melandasi sikap Nahdlatul Ulama
terhadap ideologi, politik, dan pemerintahan di Indonesia. Dikutip dalam
“kitab kuning” yang berjudul Buhgyatul Musytarsyidin karya Syaikh Hasan
Al-Hadrami, dikemukakan alasan pendapat: Negeri ini pernah mengenal
adanya kerajaan-kerajaan Islam, penduduknya sebagian masih menganut dan
melaksanakan ajaran Islam, dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan
diganggu atau diusik.
40
Alamasyah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama
(Jakarta: Departemen Agama RI, 1982), h. 46-47.
45
Secara teoritik, Pancasila sebagai ideologi negara tidak akan lebih
buruk dari hasil pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Duduk persoalannya
jelas sekali, selama kaum muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan
beragama mereka secara penuh, konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi
pusat pemikiran. Pikiran ini pula yang melandasi pandangan dasar kaum
ahlussunnah wal jama’ah, seperti penerimaan mereka atas kekhalifahan
Usmaniyah di Turki atas seluruh Dunia Islam, padahal mereka bukan dari
suku Quraisy. Menurut pandangan klasik paham Sunni, kepemimpinan
negara atau Immah, termasuk yang berbentuk kekhalifahan, haruslah berada
ditangan orang Quraisy, karena adanya ketentuan dari Nabi Muhammad
SAW saat itu. Dengan ungkapan lain, pemerintah ditilik dan dinilai dari
fungsionalisasinya, bukan dari norma formal dari eksistensinya, negara Islam
atau bukan.
Konsep yang seperti itu dalam mendudukkan pemerintahan pada
“posisi netral” adalah inti dari pandangan madzhab Syafi‟i tentang “tiga jenis
negara”: Dar Islam, Dar Harb, Dar Sulh (negara Islam, negara perang dan
negara damai). Menurut faham ini, negara Islam harus di pertahankan dari
serangan luar, karena ia merupakan perwujudan normatif dan fungsional dari
cita-cita kenegaraan dalam Islam, dengan ciri utamanya berlakunya syariah
Islam sebagai undang-undang negara. Negara perang atau negara anti-Islam,
harus diperangi, karena berbahaya bagi kelangsungan hidup negara Islam,
dan dengan demikian akan mengakibatkan dihilangkannya pemberlakuan
Syariah Islam dari undang-undang negara, negara damai harus
46
dipertahankan, karena syariah (dalam bentuk hukum agama/fiqhI atau etika
masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslimin didalamnya, walaupun
tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara.
Hukum yang demikian rinci, yang selama ini terpendam dalam
khazanah kitab kuning bacaan para ulama madzhab Syafi‟i, ternyata
diaplikasikan dengan tuntas dalam kehidupan bernegara kita dewasa ini oleh
Nahdlatul Ulama. Kalau hakikat keagamaan dari sikap Nahdlatul Ulama ini
tidak dimengerti, orang akan dengan mudah melihat Nahdlatul Ulama tidak
konsisten dalam pandangannya tentang Republik Indonesia. Di tahun 1945
menerima adanya negara berideologi Pancasila, kurang-lebihnya negara dari
kategori dar-Sulh atau negara damai, bukan negara damai, bukan negara
Islam dan tidak pula menentang Islam. Dalam Konstituate ditahun 1958-59
memperjuangkan berlakunya Syariah dalam undang-undang negara, di tahun
1959 menerima dektrit Presiden Soekarno untuk memberlakukan kembali
Undang-Undang Dasar 1945, dan di tahun 1983-84 menerima Pancasila
sebagai satu-satunya asas bagi organisasi politik dan organisasi
kemasyarakatan. Penerimaan lain-lainnya adalah dalam konteks Republik
Indonesia sebagai dar Sulh, sedangkan “perjuangan” di konstituante sebagai
komitmen kepada idealisme dar Islam, gagasan mengaplikasikan syariah
melalui legislasi undang-undang negara. Dengan ungkapan lain, sikap
mencoba mendirikan dar Islam pernah dilakukan, karena memang
demikianlah perintah keagamaan yang harus diikuti. Namun, begitu upaya itu
menemui jalan buntu, kenyataan adanya dar Sulh harus diterima dengan
47
penuh kesungguhan. Atas dasar cara berpikir beginilah diikuti kaidah fiqh
(legal maxim) yang berbunyi “apa yang tak mungkin terwujud seluruhnya,
tidak boleh ditinggalkan yang terpenting (didalamnya)”. Secara keseluruhan,
tentu wujud formal negara Islam yang semula diharapkan, tetapi dengan
lahirnya Republik Indonesia, harus diterima yang terpenting didalamnya,
yaitu adanya negara yang memungkinkan kaum muslimin melaksanakan
ajaran agama mereka secara nyata.
Secara teoritis, Indonesia dalam menjaga kerukunan umat beragama
harus adanya pembangunan persaudaraan. Pembangunan yang dibentuk
bermula dengan dialog antar agama yang mengusung persaudaraan secara
kebangsaan. Yang mengartikan bahwa kita berbeda namun tetap sebangsa
satu tanah air apapun agamanya, sukunya, selagi masih dalam garis NKRI
akan tetap menjadi persaudaraan bernegara (ukhuwah wathoniyyah) dan
persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah), secara internasional
siapapun itu hubungan kemanusiaan harus tetap terjalin demi menjaga
persaudaraan se-Islam (ukhuwah islamiyah).41
Jika ditelusuri dengan tekun, dapatlah dibuat garis linear dari sikap
Nahdlatul Ulama terhadap berbagai aspek pemerintahan dan negara kita.
Sebagaimana dikemukakan, Muktamar Banjarmasin membabahas dan
menentukan sikap dalam hubungan dengan status Indonesia sebagai tanah air
dan bangsa, yang wajib dipertahankan dari serangan luar, tanpa melihat
sistem kekuasaan yang memerintahnya. Kemudian, dalam tahun 1945
41
Wawancara Pribadi dengan Abdul Manan Ghani Ketua PBNU di Jakarta tanggal 06
Februari 2019.
48
Nahdlatul Ulama turut menerima dan merumuskan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 (melalui kehadiran K.H.A Wahid Hasyim, K.H
Masykur, dan Zainul Arifin). Keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan
nasional untuk menyongsong lahirnya kemerdekaan, berjuang pada Resolusi
Jihad pada bulan Oktober 1945, yang mewajibkan umat Islam untuk
memperjuangkan kemerdekaan dan membela tanah air sebagai perjuangan
dijalan Allah. Sikap itu merupakan tahap baru dalam pandangan Nahdlatul
Ulama, yaitu tahap menerima Indonesia tidak hanya sebagai tanah air nusa
dan bangsa belaka, tetapi sebagai negara. Tahap berikutnya ialah penempatan
Presiden Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan temporer atas
pemerintahan. Tahap tersebut merupakan tahap penerimaan pemerintahan
dari sudut pandangan keagamaan Islam, setelah itu tahap penerimaan atas
negara beserta ideologinya. Jika dilihat dari kacamata pandangan Nahdlatul
Ulama atas berbagai bidang kenegaraan kita selama ini secara linear, kita
dapati kulminasinya dalam penerimaan asas Pancasila oleh Nahdlatul Ulama.
Setelah keharusan mempertahankan nusa-bangsa, kemudian negara dan
pemerintahan, pada akhirnya diterimalah supremisasi ideologi nasional dalam
kehidupan kolektif bangsa secara keseluruhan, dengan menjadikan ideologi
tersebut sebagai asas bagi semua organisasi politik dan kemasyarakatan.
Namun, penerimaan atas Pancasila sebagai asas itu juga dilakukan
secara keagamaan, dalam arti mendudukan agama dan Pancasila pada tempat
masing-masing dan Pancasila pada tempat masing-masing, tanpa harus
dipertentangkan. Antara Pancasila sebagai landasan ideologis-konstitusional
49
dan akidah Islam menurut paham ahlussunnah waljama’ah sebagai landasan
keimanan, tidak dapat saling dipertentangkan, karena pada hakikatnya orang
berasas Pancasila karena kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sedangkan ber-akidah adalah tindakakan mengkongketkan Pancasila dalam
salah satu bidang kehidupan bangsa, yaitu kehidupan beragama. Hubungan
yang saling mendukung antara akidah dan asas, antara Islam sebagai
Pancasila sebagai ideologi, adalah hubungan saling mengisi yang kreatif,
yang akan menyuburkan kedua-duanya.
Syariah, dalam arti semula, adalah totalitas cara hidup yang dianut oleh
kaum muslimin. Kemudian ia menyusut dalam pengertian, dan digunakan
hanya untuk sejumlah aturan formal yang diundangkan melalui perangkat
kenegaraan. Kemudian lambat laun ia lebih banyak diartikan sebagai hukum
agama atau fiqh. Dan pengertian inilah yang kemudian dibakukan oleh
Nahdlatul Ulama secara intern. Dengan tidak menutup kemungkinan adanya
partikel-partikel syariah yang diundangkan, seperti halnya Undang-Undang
Perkawinan No.1 tahun 1974, pada dasarnya syariah dalam pengertian orang
Nahdlatul Ulama adalah pengertian sebagai hukum agama itu. Umpamanya
saja, akomodasi terhadap kepercayaan setempat tidak boleh bertentangan
dengan syariah, dengan sendirinya arti istilah syariah tidak tergantung
kepada penumbuhan undang-undang negara, walaupun tidak tertutup upaya
untuk melakukan hal itu. Dalam konteks kehidupan bernegara kita, dengan
sendirinya pengertian syariah adalah melalui persuasi kepada msyarakat,
bukanya melalui pengundangan, atau dengan kata lain melalui kesadaran
50
masyarakat sendiri, atau lebih tepatnya sebagai etika sosial atau akhlak
masyarakat. Kemungkinan melakukan fungsionalisasi syariah dalam konteks
kontemporer seperti dikemukakan sebagai model pemecahan masalah dimasa
datang, bila di inginkan rekonsiliasi antara agama dan ideologi bangsa ingin
di kembangkan secara kreatif.42
Pada hakikatnya dialog antaragama sangat penting dan kerap sekali
menjadi solusi persoalan keagamaan, karena dalam ajaran Nahdlatul Ulama
tidak pernah mengajarkan kaum muslimin untuk bersikap intoleran,
melainkan toleransi antarumat beragama. Nahdlatul Ulama mengakui bahwa
ia menjujung tinggi yang disebut ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyyah,
dan ukhuwah insaniyyah. Nahdlatul Ulama lahir sebelum Indonesia merdeka,
pada saat itu ukhuwan insaniyyah dipersatukan. Hakikatnya manusiawi itu
tidak boleh dijajah. Sehingga dalam pembukaan UUD 1945 bahwa
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karna tidak sesuai dengan pri
kemanusiaan dan pri keadilan. Menurut H. Amsori wakil ketua bagian
LPBHNU, jika ditanya Nahdlatul Ulama tentang kebangsaan dan kecintaan
terhadap tanah air mungkin itu sudah konkret. Karena Nahdlatul Ulama
mengistilahkan bahwa PBNU artinya ialah P= Pancasila B= Bhineka tunggal
ika N= NKRI U= UUD 1945.43
42
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana, 1999), h. 339-342. 43
Wawancara pribadi dengan H. Amsori bagian LPBHNU pada tanggal 14 Februari 2019.
51
3. Dialog Sosial
Berdasarkan elaborasi terdahulu, dapat disimpulkan bahwa sosiologi
agama dirumuskan secara luas sebagai suatu bentuk interelasi dari agama dan
masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antarmereka.
Anggapannya para sosiolog bahwa dorongan, gagasan dan kelembagaan
agama memengaruhi, dan sebaliknya juga dipengaruhi, oleh kekuatan sosial,
organisasi, dan stratifikasi sosial adalah tepat.
Berkaitan dengan kehidupan sosial, salah satu objek kajian sosiologi
agama yaitu hendak melihat berkerjanya agama dalam kehidupan sosial,
termasuk melihat fungsi agama dalam ikut serta menciptakan perubahan
sosial. Dalam hal ini agama diposisikan membawa perubahan sosial. Semakin
kuat komitmen seseorang terhadap agamanya, maka semakin kuat pula
terjadinya perubahan dalam dirinya. Pada bentuk persaudaraan yang dibentuk
agama, maka dengan sendirinya perubahan itu menjadi gejala yang kuat pada
setiap warga masyarakat. Bahkan perubahan itu dapat berkembang menjadi
suatu ideologi. Hal ini disebabkan karena setiap agamawan menginginkan
terjadinya perubahan yang signifikan dalam lingkungan kehidupannya. Inilah
antara lain yang menjadi dasar pembentukan pribadi setiap Muslim, yaitu
“manusia yang baik adalah yang paling memberi manfaat bagi manusia
lainnya”.
Dalam ajaran Islam, seseorang didorong untuk memberikan sumbangsih
bagi kehidupan manusia. Hal ini dapat tercapai apabila manusia memiliki
komitmen dalam dirinya untuk selalu menuju kepada kebaikan dan yang
52
terbaik serta meninggalkan kerusakan. Sebagai sarana untuk menuju kepada
kebaikan itu, maka Islam menegaskan bahwa ruang gerak beribadah itu begitu
luas. Oleh karena itu, pengertian ibadah mencakup dua hal, yaitu pengertian
khusus yang secara bentuk lahiriyahnya menjadi ibadah. Suksesnya Islam
yang menghasilkan terwujudnya peradaban paripurna selama lebih kurang
enam abad, berakar dari tradisi berkeadaban. Tradisi keadaban itu bukan saja
melahirkan keilmuan, melainkan juga menghasilkan berbagai perubahan untuk
kejayaan umat manusia. Sumbangan pemikiran itu tidak saja di nikmati ole
umat Islam, akan tetapi juga umat lain yang berbeda iman.
Menurut Broom dan Selznick, sebagaimana dikutip kelangsungan
masyarakat di tentukan oleh adanya semangat kooperatif anggota-anggotanya.
Dan, semangat kooperatif anggota tersebut diperoleh melalui sosialisasi, dan
agamalah sebagai sumber utama terjadinya proses sosialisasi itu. Karena
agama, selain mengatasi adanya kebingungan manusia terhadap kekuatan yang
tidak terbatas itu juga memberikan kekuatan moral. Kekuatan kooperatif
diantara manusia dengan dasar keberagamaan dan kelihatan, misalnya pada
bagaimana sekelompok aliran keagamaan berusaha mempertahankan
kedudukannya mereka sekalipun harus mengorbankan nyawanya dalam
peperangan, apalagi adanya bayang-bayang surga yang dijanjikan oleh para
pemimpin agama.44
Secara sosiologis agama memiliki peran sebagai pemersatu bagi umat
beragama yang sama. Fungsi integratif ini biasanya menjadi luntur atau
44
Ridwan Lubis, Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama dalam Interaksi
Sosial, h. 100.
53
melemah ketika dalam kehidupan beragama melibatkan unsur-unsur
keyakinan berbeda. Menurut Hendropuspito agama memiliki fungsi sebagai
pemupuk persaudaraan terutama internal umat beragama. Namun, dalam
realitas sosial agama memiliki peran ganda antara fungsi integratif maupun
fungsi disintegratif, tergantung konteks hubungan internal atau eksternal umat
beragama.
Kontribusi agama dalam kehidupan sosial terutama bila ditinjau dari
fungsi integratif, faktor terhadap terciptanya perdamaian suatu masyarakat
adalah effective channels of communication. Saluran komunikasi yang efektif
merupakan faktor yang menentukan terciptanya sebuah perdamaian dan
harmoninya sebuah tata hubungan antaranggota masyarakat. Saluran
komunikasi yang efektif ditandai dengan adanya intensitas komunikasi antar
anggota masyarakat, dimana anggota masyarakat dapat menyuarakan dan
menyalurkan ide-ide atau gagasan sebagai bagian dari anggota masyarakat.
Saluran komunikasi yang efektif akan memberikan peluang bagi
anggota masyarakat untuk berkontribusi secara langsung terhadap
perkembangan masyarakat, sekalipun hanya sebatas ide atau gagasan. Dengan
adanya dialog, maka permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat
akan dapat didiskusikan dan diselesaikan secara seksama. Tanpa adanya
dialog, maka masalah-masalah yang dihadapi berpotensi dapat menimbulkan
perpecahan antaranggota masyarakat terutama pada masyarakat yang
heterogen, baik dari aspek sosial, budaya, maupun keyakinan. Dengan
54
demikian dialog merupakan solusi utama dalam menciptakan sebuah
perdamaian masyarakat menuju kehidupan yang harmoni.45
45
Nurkholik Affandi, Harmoni dalam Keragaman, VOL XV, No. 1, Juni 2012, h. 77.
55
BAB IV
ANALISIS TERHADAP DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM
PERSPEKTIF KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA DAN
NAHDLATUL ULAMA
A. Hasil Penelitian
1. Dampak Positif Dialog Antaragama
Masyarakat Indonesia yang plural, dengan ragam budaya, suku, etnis
dan agama merupakan kekayaan tersendiri. Oleh karena itu, keragaman
agama, etnis ataupun budaya membutuhkan sikap arif dan kedewasaan berfikir
dari berbagai lapisan masyarakat, tanpa memandang agama, status sosial dan
etnis. Tanpa ada sikap saling curiga dan berperasangka buruk kepada
kelompok lain, kita sebagai bangsa sudah majemuk dan konsekuensinya ialah
adanya penghormatan atas pluralitas masyarakat itu.46
Agama merupakan salah satu pembatas peradaban. Artinya, umat
manusia terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Budha dan
sebagainya. Potensi konflik antar umat tidak dapat dihindari. Oleh karena itu,
untuk mengantisipasi perpecahan konflik antarumat beragama perlu
dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminasi perbedaan-perbedaan
pembatas.
Dialog merupakan upaya untuk menjembatani bagaimana benturan
dapat dieliminasi. Dialog antar umat beragama merupakan sarana yang efektif
menghadapi konflik antarumat beragama. Pentingnya dialog sebagai sarana
46
Rasimin, Toleransi dan Kerukunan Umat Beragama di Masyakarat Randuacir, VOL 1,
NO. 1, Juni 2016, h. 100.
56
untuk mencapai kerukunan, karena masih banyak konflik agama yang
melakukan kekerasan.47
Dialog merupakan suatu pembicaraan yang menghubungkan satu orang
atau lebih, dan dialog tersebut memiliki manfaat. Diantaranya manfaat
tersebut ialah:
1) Dialog dapat meningkatkan sikap saling percaya, serta mengembangkan
kebersamaan dan saling menghormati.
2) Dialog dapat menjadi sarana untuk saling memahami, dan kerjasama antar
berbagai kelompok yang berbeda latar belakangnya.
3) Dalam hal kebangsaan, dapat mencegah masalah nasional untuk
merencanakan dan melaksanakan pembangunan bangsa.48
2. Metode
Dialog antaragama merupakan sebuah solusi dan menjadi titik inti dalam
perubahan dari kehidupan egosentris ke kehidupan dialogis, karena semua itu
akan mengajak diri kita dan orang lain untuk melakukan transformasi agar kita
tetap dapat eksis dan terbuka pada orang lain dari dunia yang berbeda.
Hal ini sejalan dengan hal apa yang diungkapkan seorang teolog Katolik
pastor Hans Kung: “Tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian Antar
Agama”. Di satu pihak, kita melihat bahwa perdamaian antar agama menjadi
prasyarat bagi perdamaian dunia. Namun, dipihak lain pernyataan ini juga
47
Leo Fernando Hutabarat, “Dialog Antar Umat Beragama”, http://dialog-antar-umat-
beragama.blogspot.com/.Diakses pada tanggal 12 Maret 2019, Pukul 15:00 WIB. 48
Wawancara Pribadi dengan Abdul Manan Ghani Ketua PBNU di Jakarta tanggal 06
Februari 2019.
57
dapat diartikan bahwa perdamaian dunia tersebut sekaligus merupakan
lingkungan yang kondusif bagi perdamaian antar agama.49
Tujuan dialog antaragama adalah pemahaman yang dimaksudkan bukan
untuk mengalahkan yang lain, namun untuk mencapai kesepakatan penuh
pada suatu agama universal. Cita-citanya ialah komunikasi untuk
menjembatani jurang ketidaktahuan dan ketidakpahaman timbal balik antara
budaya yang berbeda-beda. Membiarkan mereka bicara dan mengungkapkan
pandangan mereka dalam bahasa mereka sendiri. Berdasarkan fenomena
tersebut maka dibutuhkan suatu cara atau metode untuk melakukan dialog
antar agama, agar dialog antar agama dapat saling berkomunikasi.
Dialog antar agama terjadi pada tataran wacana atau intelektual dan pada
tataran praktis. Pada tataran wacana atau intelektual, dialog didekati secara
formalistik, verbal dan administratif. Sedangkan pada tataran praktis biasanya
pendekatan yang digunakan adalah sosiologis.
Secara tataran intelektual, metode yang digunakan dalam dialog
antaragama adalah metodologi fenomenologis yaitu suatu cara memahami
agama yang ada dengan sikap apresiasif tanpa semangat penaklukan atau
pengkafiran. Dalam metode ini sangat terasa aspek dakwahnya, akan tetapi hal
ini sudah cukup positif karena selain melahirkan kompetisi di bidang
intelektual, juga tidak berpotensi melakukan falsifikasi terhadap keyakinan
orang dalam rangka membenarkan agamanya sendiri, metode ini mengajak
pada pemerhati yang mendalami agama-agama untuk bersikap rendah hati,
49
Muhammad Zainal Arifin, “Dialog Antar Agama dalam Pandangan Hans Kung”
(Skripsi S-1 Fakuiltas Ushuluddin, Universitas Muhammadiyah Surakarta), h. 2.
58
jujur sehingga bisa melihat kenyataan dan kebenaran yang ada pada agama
orang lain sebagaimana dipahami, diyakini dan dimuliakan oleh pemeluknya.
Namun jika dialog antar agama berhenti pada metode ini saja, maka hasil
jauh yang di dapatkan adalah adanya struktur-struktur yang sama dalam setiap
agama yang diapresiasikan dalam berbagai cara.
Jadi dialog antaragama dapat dipandang sebagai pelaksanaan ajaran
agama yang paling asasi, dan kerjasama kemanunisaan yang dihasilkan yang
berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.50
3. Strategi Penyelenggaraan
Seacara teoritik, manusia beriman yang ideal adalah secara religius dan
sosial. Artinya bagaimana manusia beriman mengimplementasikan Hablum
minallah dan Hablum minannas secara seimbang dalam kehidupan sehari-
hari.
Dalam konteks itulah agama sebagai sumber nilai, sumber etika dan
pandangan hidup bagi manusia beragama dan dapat diperankan di kehidupan
masyarakat, khususnya pembangunan bangsa. Karena agama mengandung
beberapa faktor. Pertama, faktor kreatif, yaitu ajaran agama dapat mendorong
manusia melakukan kerja produktif dan kreatif. Kedua, faktor inovatif, yaitu
ajaran agama dapat melandasi cita cita dan amal perbuatan manusia dalam
seluruh aspek kehidupan manusia. Ketiga, faktor sublimatif, yaitu ajaran
agama dapat meningkatkan dan mensucikan fenomena kegiatan manusia tidak
hanya hal keagamaan tapi juga bersifat keduniaan. Keempat, faktor integratif,
50
Muhammad Zainal Arifin, Dialog Antar Agama dalam Pandangan Hans Kung, h. 4-6.
59
yaitu ajaran agama dapat mempersatukan sikap dan pandangan manusia serta
aktivitasnya baik secara individual maupun secara kolektif dalam menghadapi
berbagai tantangan hidup.51
Maraknya inisiatif penyelenggaraan dialog antar agama jika
disandingkan dengan kemajuan pendidikan dan teknologi, khususnya dalam
bidang informasi dan komunikasi, serta maraknya berbagai konflik dan
kekerasan serta radikalisme yang bernuansa agama, tentu mendorong dan
memungkinkan banyak orang untuk memprakarsai macam-macam aktivitas
maupun informasi dan penulisan dalam bidang dialog antaragama. Hal ini
tentu mendorong lembaga agama dan para pemuka agama, untuk memberi
perhatian khusus pada bidang ini.
Perlunya strategi penyelenggaraan dialog antaragama, serta untuk
menanamkan rasa saling percaya dalam kerukunan hidup beragama. Untuk
mengembangkan persahabatan solidaritas keagamaan di negri ini, yaitu
dengan membangun jembatan dengan kelompok-kelompok dari agama lain
melalui gerakan dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan penting. Seperti,
perlu diberikan perhatian khusus kepada universitas-universitas, agar dapat
berperan dalam memajukan perdamaian dan saling memahami antarumat
beragama, misalnya dengan mengadakan seperti program studi agama-agama,
relasi antar umat beragama dan topik-topik lain yang terkait. Serta universitas
menawarkan kesempatan penelitian dan menyediakan ruang-ruang pertemuan
51
Hamidah, Strategi Membangun Kerukunan Umat Beragama, VOL. 17, No. 2, Juli 2016,
h. 126.
60
dengan berbagai macam kegiatan para mahasiswa bisa menerangkan kekhasan
dan kekayaan berbagai macam agama.52
Merujuk pendapat Agustinus Ulahayanan, strategi penyelenggaraan
dialog antar agama yang sangat efektif ialah dengan sebuah pergaulan. Karena
dipercayai membangun dialog antaragama harus disejajarkan dengan makna
kemanusiaan dan persaudaraan dan diwujudkan nyata dengan kehidupan
sehari-hari. Melalui hidup bertetangga dengan baik, bersosial yang baik
dengan bermacam-macam umat beragama. Seperti, berbagai pemeluk agama
mengadakan kerjasama, dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan,
dalam meningkatkan kehidupan berkeluarga, proyek bersama untuk
membantu rakyat dari kemiskinan, hak-hak asasi manusia dan perdamaian.53
Leonard Swidler (1984) menyatakan beberapa prinsip dalam strategi
penyelenggaraan dialog antar umat beragama, tujuan dialog antar agama ialah
untuk merubah dan meningkatkan persepsi dan pemahaman terhadap realitas,
dialog antar umat beragama merupakan suatu kebutuhan bersama oleh karena
itu setiap pesertanya harus meliputi:
1) setiap peserta dialog merupakan pribadi-pribadi yang jujur dan bersungguh-
sungguh.
2) setiap peserta juga mempunyai anggapan bahwa partner dialognya
merupakan pribadi-pribadi yang jujur dan bersungguh-sungguh pula.
52
Agustinus Ulahayanan, Dialog Antar Umat Beragama, h. 40-41. 53
Wawancara pribadi dengan Agustinus Ulahayanan sekretaris komisi HAK KWI di
Jakarta 25 januari 2019
61
3) setiap partisipan merupakan pribadi yang autentik, dan sadar akan
keagamaannya masing-masing.
4) setiap peserta yang berdialog hendaknya tidak terlalu mempunyai asumsi
yang berlebihan, khususnya dalam isu-isu yang sulit untuk disepakati.
5) dialog hanya dapat dilakukan dalam kesederajatan.
6) melaksanakan dialog harus dilakukan dalam suasana saling mempercayai.
7) peserta yang hendak berdialog, hendaknya secara minimal mampu
mengkritisi tradisi keagamaannya sendiri.
8) setiap peserta juga secara minimal mempunyai pemahaman terhadap agama
lain.54
Segala bentuk perbedaan seperti agama, budaya dan etnis tidak
menjadi hambatan di dalam masyarakat untuk bisa saling memahami dan
mengasihi. Segala macam bentuk perbedaan menunjukan bahwa dengan
adanya dialog antarumat beragama merupakan salah satu instrumen efektif
untuk pencegahan konflik dikalangan masyarakat. Interaksi positif melalui
dialog antar umat beragama harus tetap dipelihara dan dilestarikan. Agar
kemungkinan terjadinya konflik karena perbedaan agama dapat dihindari
sebagai usaha preventif.
B. Pembahasan
Secara konseptual, model dialog antaragama dari dua organisasi ini
memilki pandangan masing-masing. Seperti dalam KWI yang dikatakan oleh
54
Saifudin Asrori, Politik Kerukunan di Indonesia; Model Dialog Kelembagaan Antar
Umat Beragama (Tangerang Selatan: Young Progresive Muslim, November 2017), h. 13-14.
62
Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan
Konferensi Waligereja Indonesia Pastor Agustinus Ulahayanan yang
mengatakan bahwa dalam hal toleransi antarumat beragama di Indonesia,
Gereja Katolik lebih menekankan dialog kehidupan, artinya bukan pada
tataran konsep, melainkan berdialog dalam hidup nyata, interaksi nyata, dan
pekerjaan bersama. Karena dianggap masalah yang sering muncul, adalah
persoalan sosial, ekonomi bahkan politik. Maka tidak ada cara lain
menyelesaikannya selain dengan kehidupan yang nyata.
Menurut Pastor Ulahayanan, akar dari persoalan intoleransi yang kerap
terjadi di Indonesia adalah faktor kemiskinan. Untuk itu umat Katolik harus
tanggap dengan terlibat dengan ekonomi. Artinya, umat Katolik harus
memberikan perhatian dalam program pembangunan tanpa membedakan latar
belakang agama, dan menyerukan agar umat Katolik menghindari cara hidup
ekslusif, karena bertentangan dengan iman Katolik.
Berbicara tentang persaudaraan sejati yang menjadi penekanan dalam
Gereja Katolik, Pastor Ulahayanan berharap agar kerukunan dan kebersamaan
dipelihara bersama, dan persaudaraan antarumat beragama ditumbuhkan.55
Dialog antar agama yang diusung KWI dalam penjelasan Romo
Agustinus Ulahayanan, tidak jauh berbeda dengan model dialog yang di
gelorakan oleh Nahdlatul Ulama. Dalam penjelasannya oleh KH. Andul
Manan Ghani mengatakan, dialog antarumat agama sangat penting untuk
55
Diakses dari https://penakatolik.com/2015/07/31/dialog-kehidupan-jadi-penekanan-
gereja-katolik-dalam-toleransi-umat-beragama/ Pada Tanggal 17 Mei 2019 Pukul 01:35 WIB
63
dilakukan untuk menciptakan kebersamaan dan persaudaraan. Melalui dialog
antaragama, diharapkan tidak ada perasaan sikap saling mencurigai di antara
semua pemeluk agama.
Menurut Abdul Manan, sangat perlu menciptakan dialog antarumat
beragama yang berkesinambungan. Namun, lanjutnya, dialog itu dilakukan
bukan untuk menyamakan pemahaman atau keyakinan beragama masing-
masing pemeluk agama. masalah teologi, akidah tidak perlu untuk disamakan.
Persamaan juga tidak perlu untuk dibeda-bedakan.
KH. Abdul Manan Ghani meyakini, bahwa setiap agama terdapat
ajaran-ajaran yang bersifat sosial. Misal, ajaran tentang kesejahteraan sosial,
pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan sebagainya. Hal itu, yang
menurut KH Manan untuk di dialogkan. Karena agama katanya, juga memiliki
kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan umatnya. Jangan sampai agama
menjadi sebuah masalah untuk umatnya, tapi juga turut mencairkan
solusinya.56
56
Diakses dari http://www.nu.or.id/post/read/12401/pbnu-dialog-antar-umat-beragama-
untuk-ciptakan-kebersamaan Pada 17 Mei 2019 Pukul 09:30 WIB
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian atau pembahasan tentang dialog antar umat beragama
dalam perspektif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Nahdlatul Ulama
(NU): Sebuah Studi Komparasi, yang telah penulis uraikan didepan, maka penulis
dapat menyimpulkan pembahasan skripsi ini sebagai berikut:
1. Pada dasarnya tidak ada satupun agama di Indonesia ini yang mengajarkan
adanya permusuhan, melainkan setiap agama mengajarkan dan menjelaskan
dengan sangat terang bahwa kedamaian dan kasih sayang sangat dijunjung
tinggi. Tapi dewasa ini, nilai-nilai keagamaan itu dinodai karena adanya
gerakan radikalisme yang mengatas namakan agama. sehingga menjadi
problem serius yang harus dibenahi. Untuk menghadapi ancaman radikalisme
tersebut perlu adanya dialog antar agama untuk menjadi solusi penting dalam
menyelesaikan hambatan-hambatan keagamaan, karena dalam prosesnya
dialog antar agama menjadi alat untuk mencapai satu pemahaman yang
senantiasa membawa ke arah kerukunan dan bersikap toleran dalam
bermasyarakat.
2. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) merupakan salah satu organisasi
yang menggelorakan tentang pentingnya dialog antaragama, KWI konsisten
menegaskan prinsip-prinsip pembangunan, kehidupan politik dan
pengelolaan hidup berbangsa dan bernegara. Seperti, proses pembangunan
harus selalu menghormati harkat dan martabat kemanusiaan segenap warga,
kelompok, golongan dan masyarakat, perlu dikembangkan semangat
65
persaudaraan dan kebersamaan antara golongan budaya, etnis, agama dan
kepercayaan sebagai kerangka hidup bersama. Demi mencapai prinsip
pembangunan tersebut, perlu adanya pemahan terhadap Agama-agama lain
tidak hanya diperlukan oleh para elit agama, tetapi harus merambah kepada
masyarakat lapisan terbawah atau masyarakat awam yang bergesekan
langsung dengan pemeluk Agama-agama lain dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu perbandingan agama dan pemahaman terhadap agama lain merupakan
salah satu persyaratan dialog antaragama, karena dengan ilmu perbandingan
agama dipergunakan memperlancar dialog antaragama. Adapun, pemahaman
tentang dialog antaragama menurut Gereja Katolik salah satu tujuannya ialah
untuk memberikan pemahaman yang jelas dan tepat.
3. Dalam hubungan antar umat beragama, Nahdlatul Ulama sangat menjunjung
tinggi nilai toleransi, karena pada dasarnya Islam adalah agama Rahmatan lil
alamin. Nahdlatul Ulama dalam menjaga kerukunan umat beragama ia
memiliki program tahunan yang dinamakan Refleksi akhir tahun dengan
menyelenggarakan dialog antaragama yang bertujuan untuk memperkokoh
hubungan antarumat beragama. NU mendefinisikan bahwa dialog antaragama
memiliki peran penting didalamnya, karena dialog antaragama adalah sebuah
pola untuk membangun titik temu antarumat beragama yang bertujuan untuk
membangun bangsa. Seperti kita ketahui, bangsa kita merupakan bangsa yang
majemuk yang didalamnya memiliki berbagai macam agama, oleh karena itu
sangat penting untuk di dialogkan yang bertujuan untuk membangun bangsa
yang utuh, damai dan sejahtera, guna memperetar Ukhuwah Wathoniyyah
66
(persaudaraan sebangsa) dan Ukhuwah Insaniyyah (persaudaraan sesama
manusia).
4. Dalam melaksanakan dialog antar agama guna menjaga kerukunan umat
beragama, kedua organisasi ini sepakat bahwa dialog antaragama merupakan
upaya untuk menejmbatani bagaimana benturan dapat di eliminasi. Dialog
merupakan sarana yang efektif menghadapi konflik antarumat beragama.
Pentingnya dialog sebagai sarana untuk mencapai kerukunan, karena masih
banyak konflik agama yang melakukan kekerasan. Dalam proses
pelaksanaanya perlu strategi dialog antaragama untuk menanamkan rasa
saling percaya dalam kerukunan hidup beragama. Yaitu dengan membangun
jembatan penghubung dengan kelompok-kelompok dari agama lain melalui
gerakan dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan penting yang bertujuan
untuk pembangunan bangsa.
B. Saran
Dialog hakikatnya merupakan kebutuhan bagi setiap agama, karena
dengan adanya dialog kita bisa mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam
agama sendiri maupun agama lain, dialog juga sangat diperlukan untuk bisa
meraih pembelajaran agama dari pihak agama lain yang akan membantu
menemukan nilai-nilai yang masih tersembunyi dari ajaran agama kita sendiri.
Bagi setiap umat beragama hendaknya janganlah enggan untuk melakukan
dialog, sebab mau tidak mau sebagai manusia kita telah memiliki dasar embrio
untuk melakukannya, hanya terkadang memang manusia lebih menampakkan
egonya dibanding unsur kebersaman dan sosialnya. Maka dengan dialog tentu
67
akan sangat menumbuhkan rasa kebersamaan karena telah mendengar dan melihat
keberadaan umat beragama yang lain.
Oleh karena itu, pengembangan dialog harus terus dilakukan, karena
dialog dan kerjasama antar agama merupakan kebutuhan bagi setiap pemeluknya.
Karena dengan dialog dapat menciptakan sharing antar umat beragama dan
menciptakan keinginan bersama menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Karena
bagaimana kita bisa mengerti kemauan orang lain tanpa adanya dialog, oleh
karenanya pengembangan dan langkah nyata harus terus dilakukan.
68
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Affandi, Nurkholik. Harmoni Dalam Keragaman. Juni, 2012.
A'la, Abd. Melampaui Dialog Agama. Jakarta: Kompas, 2002.
Asrori, Saifudin. Politik Kerukunan di Indonesia: Model Dialog Kelembagaan
Antar Umat Beragama. Tangerang Selatan: Young Progressive Muslim, 2017
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015.
Banawiratma, J. B. Dialog Antar Umat Beragama. Yogyakarta: Mizan Media
Utama , 2010.
Corbin, Anselm Strauss dan Juliet. Dasar-Dasar Penelitian Kualitaatif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Kepausan, Dewan. Dialog Dalam Kebenaran dan Kasih. Jakarta : Komisi
Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan KWI, n.d.
Kunto, Suharsini Ari. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta, 2002.
Lubis, Ridwan. Agama dan Perdamaian. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2017.
Lubis, Ridwan. Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama Dalam
Interaksi Sosial . Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri , 2017.
Lubis, Ridwan. Sumbangan Agama Membangun Kerukunan di Indonesia.
Jakarta: Kemenag RI, 2017.
Mufid, Ahmad Syafii. Dialog Agama dan Kebangsaan. Jakarta: Zikrul Hakim,
2001.
Perwiranegara, Alamsyah Ratu. Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama.
Jakarta: Departemen Agama RI, 1982.
69
Ryanto, Armada. Dialog Interreligious : Historitas, Tesis, Pergumalan, Wajah .
Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Suryabrata, Sumardi. Metode Penelitian. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010.
Ulahayanan, Pastor Agustinus. Dialog Antar Umat Beragama. Jakarta: Komisi
Hubungan Antar Agama Kepercayaan KWI, 2016.
Wahid, Abdurrahman. Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994.
Wahid, Abdurrahman. Mengurai Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana, 1999.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004.
Jurnal :
Affandi, Nurkholik. “Harmoni dalam Keragaman”, Vol. XV, No. 1, Juni 2012, h.
77.
Hamidah. “Strategi Membangun Kerukunan Umat Beragama” Vol. 17, No. 2, Juli
2016, h. 126.
Djaelani, Aunu Rofiq. "Teknik Pengumpulan Data Dalam Metode Kualitatif",
Vol. XX No.1, Maret 2013, h. 84.
Rasimin. "Toleransi dan Kerukunan Umat Beragama di Masyarakat Randuacir",
Vol. 1, No. 1, Juni 2016, h. 100.
Muhammadong, “Pluralitas dan Dialog Antarumat Beragama”, Vol. 1, No. 1, Juni
2011, h. 3.
Skripsi :
Muhammad Zainal Arifin. 2014. Dialog Antar Agama Dalam Pandangan Hans
Kung. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah.
70
Website :
Ghani, Abdul Manan. Dialog Antarumat Beragama Untuk Ciptakan Kebersamaan.
Mei 16, 2010. http://www.nu.or.id/post/read/12401/pbnu-dialog-antar-
umat-beragama-untuk-ciptakan-kebersamaan. (di akses Mei 17, 2019)
Hutabarat, Leo Fernando. Dialog Antar Umat Beragama. Juli 9, 2011.
http://dialog-antar-umat-beragama.blogspot.com/. (di akses Maret 12,
2019).
Purwanto, RD. Edy. 90 Tahun Perjalanan Sejarah Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI). November 01, 2014.
http://www.mirifica.net/2014/11/01/perjalanan-sejarah-konferensi-
waligereja-indonesia/ (di akses Januari 29, 2019).
Syakur, H. Muhammad. Sejarah Konsep-Konsep Nahdlatul Ulama. Juli 11, 2018.
http://www.nu.or.id/post/read/92775/sejarah-konsep-konsep-nahdlatul-
ulama (di akses Maret 1, 2019).
Ulahayanan, Romo Agustinus. Memelihara Kedamaian Melalui Dialog . Februari
19, 2014. https://komisihakkwi.wordpress.com/ (di akses Oktober 18,
2018).
Ulahayanan, Romo Agustinus. Dialog Kehidupan, Penekanan Gereja Katolik
dalam Toleransi umat Beragama. Juli 31, 2015.
https://penakatolik.com/2015/07/31/dialog-kehidupan-jadi-penekanan-
gereja-katolik-dalam-toleransi-umat-beragama/ (di akses Mei 17, 2019)
Wawancara :
Amsori, H., Oleh Muhammad Qoyyum. Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan
Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (Februari 14, 2019).
Manan, Abd, Oleh Muhammad Qoyyum. Wawancara Pribadi dengan Ketua
PBNU (11 21, 2018).
71
Maxi, Oleh Muhammad Qoyyum. Wawancara Mengenai Dialog Antar Agama
(11 7, 2018).
Ghani, K.H. Abdul Manan, Oleh Muhammad Qoyyum. Ketua PBNU (Februari 6,
2019).
72
LAMPIRAN-LAMPIRAN
73
LAMPIRAN I
SURAT BUKTI WAWANCARA
74
LAMPIRAN II
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
75
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
76
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
77
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
78
LAMPIRAN III
PERTANYAAN WAWANCARA
1. Apa definisi dialog antar agama menurut KWI/NU?
2. Tema-tema dialog antar agama:
Seperti apa dialog kerukunan menurut KWI/NU?
Seperti apa dialog kebangsaan menurut KWI/NU?
Seperti apa dialog sosiologis menurut KWI/NU?
3. Dalam melaksanakan dialog antar agama, apa manfaat yang dapat
dirasakan setelah melaksanakan program dialog antar agama?
4. Bagaimana strategi penyelenggaraan dialog antar agama yang dilakukan
KWI/NU?
5. Apakah pernah mengalami hambatan/kegagalan dalam melaksanakan
program dialog antar agama? Jika pernah apa dampaknya.
6. Bagaimana strategi penyelenggaraannya sehingga menemui
hambatan/kegagalan tersebut?
79
LAMPIRAN IV
HASIL WAWANCARA
Wawancara dengan Bapak Maxi
1. Apa definisi dialog antar agama menurut KWI?
- Dialog antar agama merupakan interaksi timbal balik demi menjaga
keutuhan bangsa dan pembangunan kerukunan umat beragama
2. Tema-tema dialog antar agama:
Seperti apa dialog kerukunan menurut KWI?
Seperti apa dialog kebangsaan menurut KWI?
Seperti apa dialog sosiologis menurut KWI?
- Dialog kerukunan dalam katolik mengajarkan agar kita saling
komunikasi antar agama dalam hidup bermasyarakat dengan baik.
Karena pada hakikatnya kita hidup di negri yang sama oleh karenanya
harus menjaga kerukunan demi keselamatan bersama.
- Dialog kebangsaan dalam KWI memiliki semboyan yaitu “Kasimo”
yang artinya 100% Katolik 100% Indonesia. Dialog kebangsaan
merupakan interaksi keagamaan demi tujuan bersama yaitu sama-sama
melakukan pembangunan bangsa dan sama-sama menjaga bangsa yang
kita cintai ini dengan baik.
- Dialog sosiologis ialah komunikasi antar agama demi kenyamanan
hidup bersosial di atas bumi yang sama untuk membangun masyarakat
yang utuh.
3. Dalam melaksanakan dialog antar agama, apa manfaat yang dapat
dirasakan setelah melaksanakan program dialog antar agama?
- Manfaat yang dirasakan ialah dengan adanya dialog akan
meningkatkan sikap toleransi beragama karena dengan dialog mampu
menciptakan pengetahuan baru yang membuat kita bisa saling
memahami dan saling mengerti tentang agama lain.
4. Bagaimana strategi penyelenggaraan dialog antar agama yang
dilakukan KWI?
80
- Strategi yang dilakukan ialah dengan menemui para tokoh agama
untuk menyepakati program dialog antar agama serta melihat lokasi
mana yang masih tinggi tingkat intoleran.
5. Apakah pernah mengalami hambatan/kegagalan dalam melaksanakan
program dialog antar agama? apa dampaknya.
- Hambatan dalam melaksanakan dialog antar agama ialah seperti
enggannya masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengikuti forum
dialog antar agama. Dampak dari semua itu mengakibatkan
ketidaktauan masyarakat akan pentingnya toleransi beragama.
6. Bagaimana strategi penyelenggaraannya sehingga menemui
hambatan/kegagalan tersebut?
- Strateginya yaitu kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat setempat
dan kurangnya pengetahuan lebih tentang agama lain.
Wawancara dengan Romo Agustinus Ulahayanan
1. Apa definisi dialog antar agama menurut KWI?
- Dialog antar agama merupakan saling interaksi untuk menyampaikan
masing-masing yang di imani dan diyakini dan saling bertukar pikiran
menyampaikan gagasan agar orang bisa saling mengerti satu sama lain,
atau bisa mendapatkan solusi dari suatu permasalahan.
2. Tema-tema dialog antar agama:
Seperti apa dialog kerukunan menurut KWI?
Seperti apa dialog kebangsaan menurut KWI?
Seperti apa dialog sosiologis menurut KWI?
- Dialog kerukunan ialah bagaimana orang hidup saling berdampingan
secara baik dalam komunikasi kemanusiaan dan persaudaraan
- Dialog kebangsaan ialah mengakui kemajemukan bangsa kita dengan
saling melindungi dan saling jaga.
81
- Dialog sosiologis ialah sebuah interaksi melalui bersahabat dengan
antar agama dan mengusung konsep kemanusiaan yang di wujudkan
secara nyata melalui hidup bertetangga dengan baik.
3. Dalam melaksanakan dialog antar agama, apa manfaat yang dapat
dirasakan setelah melaksanakan program dialog antar agama?
- Manfaat yang dirasakan merupakan sarana kesempatan untuk saling
berjumpa, saling mendengarkan, saling mengenal dan saling
memahami, saling menghormati, saling terbuka satu sama yang lain.
4. Bagaimana strategi penyelenggaraan dialog antar agama yang
dilakukan KWI?
- Strategi yang dilakukan ialah dengan menanamkan kepada masyarakat
bahwa Gereja sangat bersifat inkulsif dengan mengembangkan
pendidikan multikultural agama agar masyarakat setempat bisa
mengerti tentang agama lain yang bertujuan untuk saling memahami
dan saling terbuka, sehingga dialog antar agama di masyarakat mampu
terus berkembang dan menjaga kemajemukan bangsa ini.
5. Apakah pernah mengalami hambatan/kegagalan dalam melaksanakan
program dialog antar agama? Jika pernah apa dampaknya.
- Hambatan pada saat itu adanya penolakan dari suatu masyarakat yang
disebabkan oleh beberapa provokator yang menyebabkan kurang
berjalan lancarnya pada saat itu melakukan dialog antar agama,
walaupun dialog antar agama saat itu tetap berjalan. Yang berdampak
hanya segelintir masyarakat yang berpartisipasi pada saat itu.
6. Bagaimana strategi penyelenggaraannya sehingga menemui
hambatan/kegagalan tersebut?
- Strategi yang dilakukan saat itu kurangnya sosialisasi tentang
pengadaan program dialog antar agama di masyarakat setempat, serta
kurangnya penjelasan secara rinci yang dipublikasikan ke masyarakat
tentang program dialog antar agama yang akan dilaksanakan.
82
Wawancara dengan K.H Abdul Manan Ghani
1. Apa definisi dialog antar agama menurut NU?
- Dialog antar agama ialah membangun titik temu dalam membangun
bangsa.
2. Dialog antar agama merupakan Tema-tema dialog antar agama:
Seperti apa dialog kerukunan menurut NU?
Seperti apa dialog kebangsaan menurut NU?
Seperti apa dialog sosiologis menurut NU?
- Dialog kerukunan di artikan secara internasional hakikatnya sesama
manusia harus saling rukun tetap menjalin hubungan kemanusiaan
apapun agamanya.
- Dialog kebangsaan mengartikan bahwa Indonesia merupakan bangsa
besar yang memiliki berbagai macam agama, oleh karena itu harus di
dialogkan guna membangun bangsa yang utuh, bangsa yang damai,
bangsa yang sejahtera dan merata. Siapapun agamanya harus memiliki
visi tersebut, untuk membangun ukhuwah wathoniyyah (persaudaraan
sebangsa).
- Dialog sosiologis ialah ukhuwah insaniyyah (persaudaraan sesama
manusia), membangun interaksi antar sesama apapun agamanya guna
mempererat hubungan umat beragama untuk kehidupan yang rukun.
3. Dalam melaksanakan dialog antar agama, apa manfaat yang dapat
dirasakan setelah melaksanakan program dialog antar agama?
- Manfaat yang dirasakan ialah untuk menumbuhkan rasa percaya antar
agama agar saling memahami dan menghormati yang bertujuan saling
kerja sama untuk pembangunan bangsa.
4. Bagaimana strategi penyelenggaraan dialog antar agama yang
dilakukan NU?
- Strategi yang dilakukan ialah dengan mengundang para tokoh agama
untuk merencanakan secara matang program dialog antar agama yang
akan dilaksanakan.
83
5. Apakah pernah mengalami hambatan/kegagalan dalam melaksanakan
program dialog antar agama? Jika pernah apa dampaknya?
- Hambatan dalam melaksanakan dialog antar agama yang dirasakan
tidak ada, semua berjalan lancar.
6. Bagaimana strategi penyelenggaraannya sehingga menemui
hambatan/kegagalan tersebut?
- -
Wawancara dengan Bapak H. Amsori
1. Apa definisi dialog antar agama menurut NU?
- Dialog antar agama merupakan interaksi antar agama untuk mencapai
tujuan bersama.
2. Tema-tema dialog antar agama:
Seperti apa dialog kerukunan menurut NU?
Seperti apa dialog kebangsaan menurut NU?
Seperti apa dialog sosiologis menurut NU?
- Dialog kerukunan ialah membina dan menjalin kerukunan dengan
menjaga fanatisme agama yang ada dengan prinsip lakum dinukum
waliyadin.
- Dialog kebangsaan ialah Allah menciptakan manusia berbeda-beda
untuk saling mengenal dan hidup bernegara dengan toleransi. Unsur
Pancasila yang pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi
dasar untuk menjalin hubungan antar keagamaan. Bicara hidup
bernegara menurut NU semua sudah konkret karena NU
mengistilahkan PBNU berarti P: Pancasila B:Bhineka Tunggal Ika
N:NKRI U:UUD 1945.
- Dialog sosiologis ialah interaksi sesama manusia apapun agamanya,
mengakui apabila tetangga terdapat non muslim tetap saling
menghormati. Seperti yang diajarkan oleh Rosulullah SAW saat
84
mendatangi pemakaman umat yahudi yang tetap menjaga ukhuwah
insaniyyah.
3. Dalam melaksanakan dialog antar agama, apa manfaat yang dapat
dirasakan setelah melaksanakan program dialog antar agama?
- Manfaat yang dirasakan ialah agar tumbuh sifat saling mengerti dan
menghormati.
4. Bagaimana strategi penyelenggaraan dialog antar agama yang
dilakukan NU?
- NU memiliki program refleksi tahunan dialog antar agama yang
mengundang para pemuka agama untuk berdialog dalam rangka
mempererat hubungan antar umat agama, berkerjasama dengan Forum
Komunikasi Umat beragama.
5. Apakah pernah mengalami hambatan/kegagalan dalam melaksanakan
program dialog antar agama? Apa dampaknya.
- Hambatan dalam melaksanakan program dialog antar agama tidak ada.
6. Bagaimana strategi penyelenggaraannya sehingga menemui
hambatan/kegagalan tersebut?
-
85
Foto Bersama dengan Rm. Agustinus Ulahayanan (Wakil Sekretaris HAK KWI)
LAMPIRAN V
FOTO KEGIATAN LAPANGAN
Foto Bersama dengan Bapak Maxi Paat (Bagian HAK KWI)
86
87
Foto Bersama dengan H. Amsori (Wakil Ketua LPBHNU)
Foto Bersama dengan KH. Abdul Manan Ghani
(Ketua PBNU)