Download pdf - Diktat PSD

Transcript
Page 1: Diktat PSD

PENGOLAHAN SINYAL DIGITAL

Materi :

1. Sinyal dan sistem diskrit

2. Analisa Frekuensi

3. Sampling dan rekonstruksi sinyal

4. Transformasi – Z

5. Perencanaan Filter digital

6. Realisasi Filter digital

Pustaka :

1. Alan V. Oppenheim, R. W. Schafer β€œDiscrete Time Signal Processing”,

Prentice Hall, second edition, 1999.

2. J. G. Proakis, β€œDigtital Signal Processing”, Prentice Hall,

3. Monson H. Hayes, β€œDigtital Signal Processing”, Schaum’s Outlines

Series, 1999.

4. L. C. Ludeman, β€œFundamentals of Digital Signal Processing”, Harper &

Row, 1986.

Evaluasi :

1. Tugas : 10%

2. Kuis : 10%

3. UTS : 40%

4. UAS : 40%

Pengolahan Sinyal Digital

ADC

converter

DAC

converter

Sistem diskrit

𝐻(π‘’π‘—πœ” )

π‘₯π‘Ž(𝑑) π‘₯(𝑛) 𝑦(𝑛) π‘¦π‘Ž(𝑑)

𝑇 𝑇

π‘‹π‘Ž(𝑗Ω) 𝑋(π‘’π‘—πœ”) π‘Œ(π‘’π‘—πœ”) π‘Œπ‘Ž 𝑗Ω

= π‘Œ(𝑓) π‘Œπ‘Ž 𝑓

= π‘Œ(𝑓) π‘‹π‘Ž(𝑓)

Page 2: Diktat PSD

CONTOH REALISASI

Blok Diagram DSK TMS320C6416T

DSK TMS320C6416T

Page 3: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 1

Bab 1

Sinyal dan Sistem Diskrit

1.1 Pendahuluan

Pada bab ini kita akan mempelajari pengolahan sinyal digital dengan menekankan pada

notasi sinyal dan sistem diskrit. Pada bagian ini kita akan konsentrasi pada

penyelesaian permasalahan yang berhubungan dengan representasi sinyal, manipulasi

sinyal, sifat-sifat sinyal, klasifikasi sistem dan sifat-sifat sistem diskrit. Pada bagian ini

juga ditunjukkan bahwa sistem yang linier – time invariant (LTI), bila diberi input maka

outputnya akan berlaku penjumlahan konvolusi. Penjumlahan konvolusi dan Sifat-

sifatnya akan didiskusikan, begitu juga sistem diskrit yang dinyatakan dengan

persamaan beda akan dibahas pada bab ini.

1.2 Sinyal Diskrit

Sinyal diskrit didefinisikan sebagai deretan bilangan real atau kompleks yang diberi

tanda (indeks) yang menyatakan deretan waktu. Selanjutnya sinyal diskrit dinyatakan

sebagai fungsi variabel integer 𝑛 yang dinotasikan dengan π‘₯(𝑛). Secara umum sinyal

diskrit π‘₯(𝑛) merupakan fungsi waktu 𝑛. Sinyal diskrit π‘₯(𝑛) tidak didefinisikan untuk

nilai 𝑛 non integer. Sebagai ilustrasi sinyal diskrit π‘₯(𝑛) dapat dilihat pada gambar 1.1.

Gambar 1.1 Representasi sinyal diskrit π‘₯(𝑛)

Sinyal diskrit π‘₯(𝑛) diperoleh dari sinyal analog/kontinyu yang disampling dengan

analog-to-digital (A/D) converter dengan laju sampling 1/𝑇, dimana 𝑇 merupakan

periode sampling. Sebagai contoh sinyal suara yang mempunyai spektrum 0 – 3400 Hz

disampling dengan laju sampling 8 kHz. Sinyal analog π‘₯π‘Ž(𝑑) yang disampling dengan

periode sampling 𝑇 menghasilkan sinyal diskrit π‘₯(𝑛) dari sinyal analog π‘₯π‘Ž 𝑑 sebagai

berikut

π‘₯ 𝑛 = π‘₯π‘Ž(𝑛𝑇) (1.1)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 βˆ’1 βˆ’2 βˆ’3 βˆ’4 𝑛

Page 4: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 2

1.2.1 Sinyal diskrit kompleks

Secara umum sinyal diskrit bisa bernilai kompleks. Dalam kenyataanya, pada beberapa

aplikasi, seperti pada sistem komunikasi digital, sinyal diskrit kompleks muncul secara

natural. Sinyal diskrit kompleks dapat dinyatakan dalam bentuk lain yaitu bagian real

dan bagian imajiner,

π‘₯ 𝑛 = π‘Ž 𝑛 + 𝑗𝑏 𝑛 = π‘πž π‘₯(𝑛) + π‘—πˆπ¦ π‘₯(𝑛) (1.2)

atau dalam bentuk kompleks polar, yaitu dalam magnitud dan fasanya,

π‘₯ 𝑛 = π‘₯(𝑛) exp[π‘—πšπ«π  π‘₯(𝑛) ] (1.3)

Magnitud sinyal diskrit dapat diturunkan dari bagian real dan imajinernya sebagai

berikut:

π‘₯(𝑛) = π‘πž2 x n + 𝐈𝐦𝟐x(n) (1.4)

Sedangkan fasa sinyal diskrit dapat diperoleh dengan menggunakan,

𝐚𝐫𝐠π‘₯ 𝑛 = π‘‘π‘Žπ‘›βˆ’1 𝐈𝐦π‘₯(𝑛)

π‘πžπ‘₯(𝑛) (1.5)

Jika π‘₯(𝑛) merupakan urutan kompleks, maka kompleks konjuget dinyatakan dengan

notasi π‘₯βˆ—(𝑛), yang diperoleh dengan cara mengubah tanda pada bagian imajiner dari

π‘₯(𝑛) atau tanda argumennya apabila dalam bentuk kompleks polar,

π‘₯βˆ— 𝑛 = π‘πž π‘₯ 𝑛 βˆ’ 𝐈𝐦π‘₯(𝑛) = π‘₯(𝑛) exp[βˆ’π‘—πšπ«π  π‘₯(𝑛) ] (1.6)

1.2.2 Beberapa sinyal diskrit dasar

Ada empat sinyal diskrit dasar yang biasa digunakan pada pengolahan sinyal digital,

diantaranya sinyal impuls (unit sample), sinyal unit step, sinyal eksponensial dan sinyal

sinusoida.

Sinyal impuls dinotasikan dengan 𝛿(𝑛) dan didefinisikan

𝛿 𝑛 = 1 𝑛 = 00 𝑛 β‰  0

(1.7)

Bentuk sinyal impuls dapat dilihat pada gambar 1.2.

Gambar 1.2 Bentuk sinyal impuls

1

0 𝑛

Page 5: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 3

Sinyal unit step (satuan tangga) dinotasikan dengan 𝑒(𝑛) dan didefinisikan

𝑒 𝑛 = 1 𝑛 β‰₯ 00 𝑛 < 0

(1.8)

Terdapat hubungan antara sinyal impuls dengan sinyal unit step yaitu

𝛿 𝑛 = 𝑒 𝑛 βˆ’ 𝑒(𝑛 βˆ’ 1).

Bentuk sinyal unit step dapat dilihat pada gambar 1.3.

Gambar 1.3 Bentuk sinyal unit step

Sinyal eksponensial didefinisikan

π‘₯ 𝑛 = π‘Žπ‘› (1.9)

π‘Ž merupakan bilangan real atau komplek. Dalam kasus ini π‘Ž bisa berupa π‘’π‘—πœ”0

sehingga sinyal eksponensial menjadi π‘₯ 𝑛 = π‘’π‘—πœ”0𝑛 , dimana πœ”0 merupakan

bilanagan real. Sinyal π‘₯(𝑛) tersebut dinamakan sinyal eksponensial kompleks

dan dapat dinyatakan dalam bentuk lain

π‘₯ 𝑛 = π‘’π‘—πœ”0𝑛 = π‘π‘œπ‘ πœ”0𝑛 + jπ‘ π‘–π‘›πœ”0𝑛.

Sinyal eksponensial kompleks merupakan sinyal sinus dengan komposisi

komponen bagian real dan imajiner. Ilustrasi sinyal ekponensial dengan π‘Ž real

dapat dilihat pada gambar 1.4. Pada gambar 1.4 nilai π‘Ž = Β½.

Gambar 1.4 Sinyal eksponensial real dengan π‘Ž = 1/2

1

𝑛 0 1 2 3 4

0 1 𝑛

2 3 4 5 6 7

1

1/2

1/4

1/8

π‘₯ 𝑛 = 1/2 𝑛

Page 6: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 4

Sinyal sinus mempunyai bentuk umum sebagai berikut

π‘₯ 𝑛 = 𝐴. cos(πœ”0𝑛 + βˆ…) (1.10)

Dimana 𝐴, πœ”0, dan βˆ… merupakan amplitudo sinyal, frekuensi digital dan fasa

sinyal. Sinyal sinus merupakan sinyal diskrit yang periodik dengan periode 2πœ‹

sehingga kita cukup memperhatikan dalam domain frekuensi pada interval

βˆ’πœ‹ ≀ πœ”0 ≀ πœ‹ atau 0 ≀ πœ”0 ≀ 2πœ‹.

Periodesitas sinyal diskrit

Dalam kasus waktu diskrit, sinyal diskrit periodik bila memenuhi kondisi bahwa

π‘₯ 𝑛 = π‘₯(𝑛 + 𝑁) untuk semua 𝑛. Dimana 𝑁 adalah periode sinyal diskrit

(integer). Kondisi ini berlaku untuk sinyal sinus maka

𝐴. cos πœ”0𝑛 + βˆ… = 𝐴. cos(πœ”0𝑛 + πœ”0𝑁 + βˆ…)

Sehingga harus memenuhi persyaratan bahwa

πœ”0𝑁 = 2πœ‹π‘˜ (1.11)

Dimana π‘˜ integer. Statemen tersebut berlaku juga untuk sinyal eksponensial

komplek π‘₯ 𝑛 = πΆπ‘’π‘—πœ”0𝑛 periodik dengan periode 𝑁 yang memenuhi syarat

π‘₯ 𝑛 = π‘’π‘—πœ”0(𝑛+𝑁) = π‘’π‘—πœ”0𝑛 (1.12)

Sinyal eksponensial kompleks tersebut hanya berlaku untuk πœ”0𝑁 = 2πœ‹π‘˜ seperti

pada pers (1.11) sehingga berlaku persamaan

πœ”0

2πœ‹=

π‘˜

𝑁 (1.13)

Dimana π‘˜/𝑁 merupakan bilangan rasional, π‘˜ merupakan jumlah siklus dalam

satu periode. Beberapa contoh sinyal diskrit periodik seperti ditunjukkan pada

gambar 1.5.

Page 7: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 5

(a) Frekuensi digital πœ”0 = πœ‹

(b) Frekuensi digital πœ”0 = πœ‹/4

0 2 4 6 8 10 12 14 16-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

0 2 4 6 8 10 12 14 16-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

Page 8: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 6

(c) Frekuensi digital πœ”0 = πœ‹/5

Pada gambar 5.a terlihat bahwa bentuk sinyal diskrit dalam satu periode ada 2

sampling, sehingga sinyal tersebut memiliki periode 𝑁 = 2, sedangkan pada

gambar 5.b terlihat bahwa bentuk sinyal diskrit dalam satu periode ada 8

sampling, sehingga sinyal tersebut memiliki periode 𝑁 = 8. Pada gambar 5.c

bentuk sinyal diskrit terdapat 10 sampling dalam satu periode, sehingga sinyal

tersebut memiliki periode 𝑁 = 10, sedangkan pada gambar 5.d bentuk sinyal

diskrit terdapat 32 sampling dalam satu periode, sehingga sinyal tersebut

memiliki periode 𝑁 = 32 dan dalam satu periode memiliki 3 siklus.

Jika sinyal diskrit π‘₯1(𝑛) merupakan sinyal periodik dengan periode 𝑁1 dan sinyal

diskrit π‘₯2(𝑛) merupakan sinyal diskrit periodik dengan periode 𝑁2, maka sinyal

diskrit hasil penjumlahan

𝑦 𝑛 = π‘₯1 𝑛 + π‘₯2(𝑛)

akan selalu periodik dengan periode dasar

𝑁 =𝑁1. 𝑁2

gcd(𝑁1, 𝑁2)

dimana gcd(𝑁1, 𝑁2) artinya the greatest common divisor dari 𝑁1 dan 𝑁2. Teori ni

berlaku juga untuk perkalian dua sinyal periodik yaitu sinyal diskrit π‘₯1(𝑛)

dengan periode 𝑁1 dan sinyal diskrit π‘₯2(𝑛) dengan periode 𝑁2, maka sinyal

diskrit hasil perkalian

𝑦 𝑛 = π‘₯1 𝑛 .π‘₯2(𝑛)

0 2 4 6 8 10 12 14 16-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

Page 9: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 7

(d) Frekuensi digital πœ”0 = 3πœ‹/16

Gambar 1.5 Bentuk sinyal periodik untuk berbagai frekuensi digital

0 10 20 30 40 50 60 70-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

Page 10: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 8

Contoh 1.1

Tentukan periode sinyal diskrit berikut :

a. π‘₯ 𝑛 = cos(0.5πœ‹π‘›)

b. π‘₯ 𝑛 = cos(0.75πœ‹π‘›)

c. π‘₯ 𝑛 = 𝑒𝑗0.25πœ‹π‘›

d. π‘₯ 𝑛 = cos 0.5πœ‹π‘› + cos(0.75πœ‹π‘›)

e. π‘₯ 𝑛 = cos 0.5πœ‹π‘› . cos(0.75πœ‹π‘›)

f. π‘₯ 𝑛 = π‘’π‘—πœ‹π‘›

16 . cos(πœ‹π‘›

17)

g. π‘₯ 𝑛 = 𝑅𝑒 π‘’π‘—πœ‹π‘›

12 + πΌπ‘š π‘’π‘—πœ‹π‘›

18

Penyelesaian:

a. πœ”0 = 0.5πœ‹, maka periode sinyal diskrit 𝑁 sebagai berikut

π‘˜

𝑁=

πœ”0

2πœ‹=

0.5πœ‹

2πœ‹=

1

4

Periode dasar sinyal 𝑁 = 4 dan terdapat satu siklus dalam satu periode dasar.

b. πœ”0 = 0.75πœ‹, maka periode sinyal diskrit 𝑁 sebagai berikut

π‘˜

𝑁=

πœ”0

2πœ‹=

0.75πœ‹

2πœ‹=

3

8

Periode dasar sinyal 𝑁 = 8 dan terdapat tiga siklus dalam satu periode dasar.

c. πœ”0 = 0.25πœ‹, maka periode sinyal diskrit eksponensial kompleks 𝑁 sebagai

berikut

π‘˜

𝑁=

πœ”0

2πœ‹=

0.25πœ‹

2πœ‹=

1

8

Periode dasar sinyal 𝑁 = 8 dan terdapat satu siklus dalam satu periode dasar.

d. Pada soal tersebut merupakan penjumlahan dua sinyal periodik dengan

periode 𝑁1 = 4 dan 𝑁2 = 8 sehingga periode sinyal dasar sinyal hasil

penjumlahan adalah

𝑁 =𝑁1. 𝑁2

gcd(𝑁1, 𝑁2)=

4 . (8)

gcd(4,8)=

32

4= 8

e. Karena berlaku juga untuk perkalian dua sinyal diskrit maka periode dasar

hasil perkalian dua sinyal diskrit periodik dengan periode 𝑁1 = 4 dan 𝑁2 = 8

adalah 𝑁 = 8.

Page 11: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 9

f. Pada soal tersebut merupakan perkalian dua sinyal periodik dengan periode

𝑁1 = 32 dan 𝑁2 = 34 sehingga periode sinyal dasar hasil perkalian adalah

𝑁 =𝑁1. 𝑁2

gcd(𝑁1, 𝑁2)=

32 . (34)

gcd(32,34)=

32 . (34)

2= 544

g. Pada soal tersebut merupakan perkalian dua sinyal periodik dengan periode

𝑁1 = 24 dan 𝑁2 = 36 sehingga periode sinyal dasar hasil perkalian adalah

𝑁 =𝑁1. 𝑁2

gcd(𝑁1, 𝑁2)=

24 . (36)

gcd(24,36)=

24 . (36)

12= 72

1.2.3 Operasi dasar pada sinyal diskrit

Pada buku ini beberapa operasi dasar pada pengoalahan sinyal digital ditinjau lagi

secara garis besar, diantaranya penjumlahan dua sinyal diskrit, perkalian dua sinyal

diskrit, perkalian skalar terhadap sinyal diskrit, refleksi (pantulan), dan pergeseran

waktu (penundaan/delay).

a. Penjumlahan dua sinyal diskrit

Proses penjumlahan dua sinyal diskrit π‘₯1(𝑛) dan π‘₯2(𝑛) dilakukan dengan cara

menjumlahkan level (harga) pada setiap sampling yang sama. Secara matematis dapat

dituliskan dengan persamaan

𝑦 𝑛 = π‘₯1 𝑛 + π‘₯2(𝑛) (1.14)

Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada gambar 1.6. Harga level π‘₯1 0 = 1 dijumlahkan

dengan harga level π‘₯2 0 = 1 hasilnya 𝑦 0 = 2, berikutnya harga level π‘₯1 1 = 1/2

dijumlahkan dengan harga level π‘₯2 1 = 1/2 hasilnya 𝑦 1 = 1, dan seterusnya sampai

sampling terakhir, hasil penjumlahannya adalah sinyal diskrit 𝑦(𝑛).

Gambar 1.6 Proses penjumlahan dua sinyal diskrit

𝑛 0 1 2 3 4 5

π‘₯1(𝑛)

1

1/2

𝑛 0 1 2 3 4 5

𝑦 𝑛 = π‘₯1 𝑛 + π‘₯2(𝑛)

2

1/2

1

3/2

1

𝑛 0 1 2 3 4 5

π‘₯2(𝑛)

1

1/2

Page 12: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 10

b. Perkalian dua sinyal diskrit

Proses perkalian dua sinyal diskrit π‘₯1(𝑛) dan π‘₯2(𝑛) dilakukan dengan cara mengalikan

level (harga) pada setiap sampling yang sama. Secara matematis dapat dituliskan

dengan persamaan

𝑦 𝑛 = π‘₯1 𝑛 .π‘₯2(𝑛) (1.15)

Sebagai ilustrasi hasil perkalian sinyal diskrit π‘₯1(𝑛) dan π‘₯2(𝑛) yang ada pada gambar

1.6 dapat dilihat pada gambar 1.7. Level π‘₯1 0 = 1 dikalikan dengan harga level

π‘₯2 0 = 1 hasilnya 𝑦 0 = 1, selanjutnya harga level π‘₯1 1 = 1/2 dikalikan dengan

harga level π‘₯2 1 = 1/2 hasilnya 𝑦 1 = 1/4, dan seterusnya sampai sampling terakhir,

hasil perkaliannya adalah sinyal diskrit 𝑦(𝑛).

Gambar 1.7 Hasil perkalian dua sinyal diskrit

c. Perkalian skalar

Proses perkalian skalar terhadap sinyal diskrit π‘₯(𝑛) dilakukan dengan cara mengalikan

level sinyal pada setiap sampling dengan bilangan pengali (konstanta). Secara

matematis dapat dituliskan dengan persamaan

𝑦 𝑛 = π‘Ž. π‘₯ 𝑛 (1.16)

Sebagai ilustrasi konstanta dimisalkan π‘Ž = 1/2 dan hasil perkalian skalar π‘Ž = 1/2

dengan π‘₯1(𝑛) yang ada pada gambar 1.6 dapat dilihat pada gambar 1.8. Setiap sampling

dari sinyal diskrit π‘₯1(𝑛) dikalikan dengan konstanta π‘Ž = 1/2.

Gambar 1.8 Hasil perkalian skalar dengan sinyal diskrit

𝑛 0 1 2 3 4 5

𝑦 𝑛 = π‘₯1 𝑛 .π‘₯2(𝑛)

1

1/2 1/4 1/4

1

𝑛 0 1 2 3 4 5

𝑦 𝑛 = 1/2. π‘₯1(𝑛)

1/2

1/4

Page 13: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 11

d. Refleksi

Proses refleksi suatu sinyal diskrit π‘₯(𝑛) adalah merefleksikan sinyal tersebut dalam

domain waktu terhadap 𝑛 = 0. Secara matematis dapat dituliskan dengan persamaan

𝑦 𝑛 = π‘₯ βˆ’π‘› (1.17)

Sebagai ilustrasi sinyal diskrit π‘₯1(𝑛) mengalami proses refleksi menjadi 𝑦 𝑛 = π‘₯1(βˆ’π‘›),

maka bentuk sinyal hasil refleksi dapat dilihat pada gambar 1.8.

Gambar 1.9 Hasil proses refleksi sinyal diskrit

e. Pergeseran waktu

Proses pergeseran waktu dilakukan dengan menggeser sinyal diskrit tersebut dalam

domain waktu sebesar nilai penggeser (integer). Bila nilai penggesernya positif maka

sinyal tersebut digeser ke kanan, begitu sebaliknya. Secara matematis dapat dituliskan

dengan persamaan

𝑦 𝑛 = π‘₯ 𝑛 βˆ’ 𝑏 (1.18)

Sebagai ilustrasi sinyal diskrit π‘₯1(𝑛) pada gambar 1.6 digeser kekanan sebesar 𝑏 = 2

sampling, hasilnya dapat dilihat pada contoh 1.10, artinya bahwa sinyal diskrit π‘₯1(𝑛)

mengalami delay 2 sampling.

Gambar 1.10 Hasil proses pergeseran waktu dengan delay 2 sampling

1.3 Sistem Diskrit

Sistem diskrit merupakan operator matematik atau transformasi sinyal input menjadi

sinyal lain (output) sesuai dengan karakteristik atau sifat sistem tersebut. Notasi sistem

diskrit secara umum adalah 𝑇[. ] seperti ditunjukkan pada gambar 1.11. Sinyal input

𝑛 2 3 4 5 6 7

𝑦 𝑛 = π‘₯1(𝑛 βˆ’ 2)

1

1/2

1 0

𝑦 𝑛 = π‘₯1(βˆ’π‘›)

𝑛 0 βˆ’1 βˆ’2 βˆ’3 βˆ’4 βˆ’5

1

1/2

Page 14: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 12

π‘₯(𝑛) ditransformasi menjadi output 𝑦(𝑛) melalui transformasi 𝑇[. ]. Sebagai contoh

sistem diskrit yang dinyatakan dengan hubungan input-output seperti

𝑦 𝑛 = π‘₯ 𝑛 + 0.5𝑦(𝑛 βˆ’ 1) (1.19)

Sistem yang memiliki persamaan beda yang menyatakan hubungan input-ouput seperti

pada pers (1.19) menunjukkan bahwa sistem mempunyai algoritma seperti pada pers

(1.19), artinya bahwa output sistem 𝑦(𝑛) tergantung pada sinyal input π‘₯(𝑛) saat yang

sama ditambah dengan setengah kali output satu sampling sebelumnya. Sebagai contoh

bila diinginkan output pada saat 𝑛 = 1 yaitu 𝑦(1), maka output ditentukan oleh input

π‘₯(1) ditambah dengan setengah kali 𝑦(0).

Gambar 1.11 Blok sistem diskrit secara umum

Berdasarkan proses yang dapat terjadi pada sistem diskrit, maka sistem diskrit

mempunyai beberapa sifat diantaranya:

1.3.1 Sistem tanpa memori (memoryless)

Sistem dikatakan tanpa memori jika output sistem pada saat 𝑛 = 𝑛0 tergantung pada

input saat yang sama yaitu 𝑛 = 𝑛0.

Contoh 1.2.

Sistem diskrit mempunyai persamaan hubungan input-output 𝑦 𝑛 = 0.5. π‘₯(𝑛)

merupakan sistem tanpa memori karena output sistem pada saat 𝑛 = 𝑛0 tergantung

pada input saat 𝑛 = 𝑛0 .

Sistem diskrit 𝑦 𝑛 = π‘₯ 𝑛 + 0.2π‘₯(𝑛 βˆ’ 1) merupakan sistem dengan memori karena

output sistem tergantung pada input saat yang sama 𝑛 = 𝑛0 dan saat satu sampling

sebelumnya 𝑛 = 𝑛0 βˆ’ 1.

1.3.2 Sistem linier

Sistem diskrit dikatakan linier jika berlaku sifat superposisi

𝑇 π‘Žπ‘₯1 𝑛 + 𝑏π‘₯2 𝑛 = π‘Žπ‘‡ π‘₯1 𝑛 + 𝑏𝑇[π‘₯2 𝑛 ] (1.20)

Artinya bila sistem diberi input π‘Žπ‘₯1(𝑛) maka keluarannya 𝑦1 𝑛 = π‘Žπ‘‡ π‘₯1 𝑛 dan bila

sistem diberi input 𝑏π‘₯2(𝑛) maka keluarannya 𝑦2 𝑛 = 𝑏𝑇 π‘₯2 𝑛 . Apabila diberi input

jumlahan kedua sinyal input tersebut π‘₯12 𝑛 = π‘Žπ‘₯1 𝑛 + 𝑏π‘₯2(𝑛) maka output sistem

𝑦12 𝑛 = 𝑦1 𝑛 + 𝑦2(𝑛). Secara visual dapat diilustrasikan pada gambar 1.12.

𝑇[. ]

π‘₯(𝑛) 𝑦 𝑛 = 𝑇[π‘₯ 𝑛 ]

Page 15: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 13

Gambar 1.12. Ilustrasi proses sistem linier

Selain sifat superposisi, terdapat syarat perlu yaitu bila inputnya nol, maka outputnya

nol. Artinya bila sistem tidak diberi input maka keluaran sistem tidak ada.

Contoh 1.3

Sistem diskrit dinyatakan dengan persamaan beda sebagai berikut

a. 𝑦 𝑛 = 2 + 0.2π‘₯ 𝑛 + π‘₯(𝑛 βˆ’ 1)

b. 𝑦 𝑛 = 0.3π‘₯ 𝑛 + 0.5π‘₯(𝑛 βˆ’ 1)

Apakah sistem tersebut linier?

Penyelesaian:

a. Pertama kita beri input nol π‘₯ 𝑛 = 0, dari persamaan sistem soal 1.3.a diperoleh

output 𝑦 𝑛 = 2. Jadi sistem tersebut tidak linier.

b. Pertama kita beri input nol π‘₯ 𝑛 = 0, dari persamaan sistem soal 1.3.b diperoleh

output 𝑦 𝑛 = 0. Selanjutnya kita cek dari sifat superposisi.

o Sistem diberi input π‘₯1(𝑛) maka outputnya

𝑦1 𝑛 = 0.3π‘₯1 𝑛 + 0.5π‘₯1(𝑛 βˆ’ 1)

o Sistem diberi input π‘₯2(𝑛) maka outputnya

𝑦2 𝑛 = 0.3π‘₯2 𝑛 + 0.5π‘₯2(𝑛 βˆ’ 1)

o Sistem diberi input π‘₯12 𝑛 = π‘₯1 𝑛 + π‘₯2(𝑛) maka outputnya

𝑦12 𝑛 = 0.3π‘₯1 𝑛 + π‘₯2 𝑛 + 0.5π‘₯1 𝑛 βˆ’ 1 + π‘₯2 𝑛 βˆ’ 1

𝑦12 𝑛 = 0.3π‘₯1 𝑛 + 0.5π‘₯1 𝑛 βˆ’ 1 + 0.3π‘₯2 𝑛 + 0.5π‘₯2 𝑛 βˆ’ 1

𝑦12 𝑛 = 𝑦1 𝑛 + 𝑦2 𝑛

Jadi sistem pada soal 1.3.b bersifat linier.

1.3.3 Sistem time-invariant

Sistem diskrit dikatakan time-invariant jika berlaku sifat

𝑇 π‘₯ 𝑛 βˆ’ 𝑛0 = 𝑦(𝑛 βˆ’ 𝑛0) (1.21)

Artinya sistem diberi input sama pada saat ini atau berikutnya, output sistem akan

tetap, dengan kata lain sistem tidak berubah terhadap waktu.

𝑇[. ]

π‘Žπ‘₯1(𝑛) 𝑦1 𝑛 = π‘Žπ‘‡[π‘₯1 𝑛 ]

𝑏π‘₯2(𝑛) 𝑦2 𝑛 = 𝑏𝑇[π‘₯2 𝑛 ]

π‘₯12 𝑛 = π‘Žπ‘₯1 𝑛 + 𝑏π‘₯2(𝑛) 𝑦12 𝑛 = 𝑦1 𝑛 + 𝑦2(𝑛)

Page 16: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 14

Contoh 1.4

Apakah sistem pada soal 1.3.b mempunyai sifat time-invariant?

Penyelesaian:

Secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut:

Sistem diberi input π‘₯1(𝑛) = π‘₯(𝑛 βˆ’ 𝑛0) maka outputnya

𝑦1 𝑛 = 0.3π‘₯1 𝑛 + 0.5π‘₯1(𝑛 βˆ’ 1)

𝑦1 𝑛 = 0.3π‘₯(𝑛 βˆ’ 𝑛0) + 0.5π‘₯(𝑛 βˆ’ 𝑛0 βˆ’ 1)

Output sistem 𝑦2 𝑛 ditunda sebesar 𝑛0 maka 𝑦2 𝑛 = 𝑦(𝑛 βˆ’ 𝑛0) sehingga

𝑦2 𝑛 = 𝑦(𝑛 βˆ’ 𝑛0) = 0.3π‘₯(𝑛 βˆ’ 𝑛0) + 0.5π‘₯(𝑛 βˆ’ 𝑛0 βˆ’ 1)

Karena 𝑦1(𝑛) = 𝑦2(𝑛), maka sistem tersebut time-invariant.

1.3.4 Sistem Kausal

Sistem diskrit dikatakan kausal jika output pada 𝑛 = 𝑛0 hanya tergantung pada input

pada saat 𝑛 ≀ 𝑛0, dengan kata lain output sistem hanya tergantung pada input saat yang

sama atau saat sebelumnya. Pengertian kausal dapat diartikan bahwa sistem kausal,

berarti sistem dapat direalisasikan.

Contoh 1.5

Apakah sistem diskrit pada soal 1.3.b mempunyai sifat kausal?

Penjelasan:

Pada sistem dengan persamaan beda 𝑦 𝑛 = 0.3π‘₯ 𝑛 + 0.5π‘₯(𝑛 βˆ’ 1) terlihat bahwa

output sistem hanya tergantung pada input saat yang sama dengan output dan input

satu sampling sebelumnya. Misalnya output sistem pada 𝑦(2) tergantung pada input

π‘₯(2) dan π‘₯(1). Jadi sistem tersebut kausal.

1.3.5 Sistem Stabil

Sistem dikatakan stabil BIBO (bounded input-bounded output) jika sistem diberi sinyal

input terbatas maka akan menghasilkan sinyal output yang terbatas. Urutan input π‘₯(𝑛)

terbatas jika mempunyai nilai terbatas positif tetap untuk semua 𝑛

π‘₯(𝑛) ≀ 𝐡π‘₯ < ∞ untuk semua 𝑛 (1.22)

Untuk setiap urutan input akan menghasilkan urutan output dengan nilai terbatas

positif tetap untuk semua 𝑛 yaitu

𝑦(𝑛) ≀ 𝐡𝑦 < ∞ untuk semua 𝑛 (1.23)

Page 17: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 15

1.4 Sistem Linier Time-Invariant

Sistem diskrit yang mempunyai sifat linier dan time-invariant disebut sistem linier

time-invariant (LTI). Sistem LTI bila diberi input impuls 𝛿(𝑛) maka outputnya

dinamakan respons impuls 𝑕(𝑛) seperti ditunjukkan pada gambar 1.13.

Gambar 1.13 Respons impuls pada sistem LTI

Sinyal diskrit π‘₯(𝑛) dapat dinyatakan dengan penjumlahan deretan impuls terdelay yang

diilustrasikan pada gambar 1.14 dinyatakan secara matematis sebagai berikut

π‘₯ 𝑛 = β‹― + 𝑐. 𝛿 𝑛 + 2 + 𝑑. 𝛿 𝑛 + 1 + 𝑒. 𝛿 𝑛 + 𝑓. 𝛿 𝑛 βˆ’ 1 + 𝑔. 𝛿 𝑛 βˆ’ 2 + β‹― (1.24)

π‘₯ 𝑛 = β‹― + π‘₯(βˆ’1).𝛿 𝑛 + 1 + π‘₯(0).𝛿 𝑛 + π‘₯(1). 𝛿 𝑛 βˆ’ 1 + β‹― (1.25)

Secara umum dapat ditulis secara matematis

π‘₯ 𝑛 = π‘₯ π‘˜ 𝛿(𝑛 βˆ’ π‘˜)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

(1.26)

Gambar 1.14 Representasi sinyal diskrit dalam deretan impuls

Sistem LTI bila diberi input impuls terdelay π‘˜ atau dengan kata lain impuls pada saat

𝑛 = π‘˜ yaitu π‘₯ 𝑛 = 𝛿(𝑛 βˆ’ π‘˜) maka output sistem LTI adalah π‘•π‘˜ 𝑛 = 𝑕(𝑛 βˆ’ π‘˜), dan

dapat ditulis

π‘•π‘˜ 𝑛 = 𝑕 𝑛 βˆ’ π‘˜ = 𝑇[𝛿 𝑛 βˆ’ π‘˜ ] (1.27)

Bila sistem LTI diberi input sinyal diskrit π‘₯(𝑛) maka output sistem

𝑦 𝑛 = 𝑇[π‘₯ 𝑛 ] = 𝑇[ π‘₯ π‘˜ 𝛿(𝑛 βˆ’ π‘˜)]

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

= 𝑇[π‘₯ π‘˜ 𝛿(𝑛 βˆ’ π‘˜)]

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

(1.28)

𝑇[. ]

π‘₯ 𝑛 = 𝛿(𝑛) 𝑦 𝑛 = 𝑕(𝑛)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 βˆ’1 βˆ’2 βˆ’3 βˆ’4 𝑛

π‘Ž

𝑏

𝑐 d

𝑒 f

𝑔

𝑕

𝑖 𝑗 π‘˜

𝑙

π‘š 𝑛

π‘œ

π‘₯(𝑛)

Page 18: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 16

Koefisien π‘₯(π‘˜) bernilai konstan maka

𝑦 𝑛 = π‘₯ π‘˜ 𝑇[𝛿(𝑛 βˆ’ π‘˜)]

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

= π‘₯ π‘˜ π‘•π‘˜ 𝑛 = π‘₯ π‘˜ 𝑕(𝑛 βˆ’ π‘˜)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

(1.29)

Persamaan (1.29) disebut sebagai penjumlahan konvolusi, secara matematis dapat

ditulis

𝑦 𝑛 = π‘₯ π‘˜ 𝑕(𝑛 βˆ’ π‘˜)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

= π‘₯ 𝑛 βˆ— 𝑕(𝑛) (1.30)

Tanda * merupakan operator penjumlahan konvolusi atau konvolusi diskrit.

Contoh 1.6 : konvolusi dua sinyal terbatas

Sistem LTI kausal mempunyai respons impuls

𝑕 𝑛 = 𝛿 𝑛 + 0.5𝛿 𝑛 βˆ’ 1 + 𝛿(𝑛 βˆ’ 2)

Tentukan ouput sistem bila inputnya:

a. π‘₯ 𝑛 = 𝛿 𝑛 + 𝛿 𝑛 βˆ’ 1 + 0.5𝛿(𝑛 βˆ’ 2)

b. π‘₯ 𝑛 = 𝛿 𝑛 + 2 + 0.5𝛿 𝑛 + 1 + 𝛿 𝑛 + 0.5𝛿 𝑛 βˆ’ 1 + 𝛿(𝑛 βˆ’ 2)

Penyelesaian:

a. Bentuk sinyal π‘₯ 𝑛 dan 𝑕(𝑛) sebagai berikut

𝑦 𝑛 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 𝑛 βˆ’ π‘˜

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

𝑦 0 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 βˆ’π‘˜ = π‘₯ βˆ’1 𝑕 1 + π‘₯ 0 𝑕 0 + π‘₯ 1 𝑕 βˆ’1 = 1 (1) = 1

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

𝑦 1 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 1 βˆ’ π‘˜ = π‘₯ 0 𝑕 1 + π‘₯ 1 𝑕 0 = 1 0.5 + 1 (1) = 3/2

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

3 𝑛

0 1 2 4 5

𝑕(𝑛)

1/2

1

𝑛 0 1 2 3 4 5

π‘₯(𝑛)

1 1/2

Page 19: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 17

𝑦 2 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 2 βˆ’ π‘˜ = π‘₯ 0 𝑕 2 + π‘₯ 1 𝑕 1 + π‘₯ 2 𝑕 0

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

𝑦 2 = 1 1 + 1 0.5 + 0.5 1 = 1 + 0.5 + 0.5 = 2

𝑦 3 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 3 βˆ’ π‘˜ = π‘₯ 1 𝑕 2 + π‘₯ 2 𝑕 1 = 1 1 + 0.5 0.5 = 5/4

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

𝑦 4 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 4 βˆ’ π‘˜ = π‘₯ 2 𝑕 2 = 0.5 1 = 1/2

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

𝑦 5 = 0, 𝑦 6 = 0, dst

Bentuk hasil keluaran sistem pada contoh soal 1.6 a. sebagai berikut

b. Bentuk sinyal π‘₯ 𝑛 dan 𝑕(𝑛) sebagai berikut

𝑦 𝑛 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 𝑛 βˆ’ π‘˜

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

𝑦 βˆ’2 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 βˆ’2 βˆ’ π‘˜ = π‘₯ βˆ’2 𝑕 0 + π‘₯ βˆ’1 𝑕 βˆ’1 = 1 1 + 0 = 1

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

𝑛 0 1 2 3 4

π‘₯(𝑛) 1

1/2

-1 -2 -3 3 𝑛

0 1 2 4 5

𝑕(𝑛)

1/2

1

𝑛 0 1 2 3 4 5

𝑦(𝑛)

1 1/2

3/2

2

5/4

Page 20: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 18

𝑦 βˆ’1 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 βˆ’1 βˆ’ π‘˜ = π‘₯ βˆ’2 𝑕 1 + π‘₯ βˆ’1 𝑕 0

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

𝑦 βˆ’1 = 1 0.5 + 0.5 1 = 1

𝑦 0 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 βˆ’π‘˜ = π‘₯ βˆ’2 𝑕 2 + π‘₯ βˆ’1 𝑕 1 + π‘₯ 0 𝑕 0

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

𝑦 0 = 1 1 + 0.5 0.5 + 1 (1) = 2.25

𝑦 1 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 1 βˆ’ π‘˜ = π‘₯ βˆ’2 𝑕 3 + π‘₯ βˆ’1 𝑕 2 + π‘₯ 0 𝑕 1 + π‘₯ 1 𝑕(0)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

𝑦 1 = 0 + 0.5 1 + 1 0.5 + 0.5 1 = 1.5

𝑦 2 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 2 βˆ’ π‘˜ = π‘₯ βˆ’1 𝑕 3 + π‘₯ 0 𝑕 2 + π‘₯ 1 𝑕 1 + π‘₯ 2 𝑕(0)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

𝑦 2 = 0 + 1 (1)+(0.5)(0.5)+(1)(1)=2.25

𝑦 3 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 3 βˆ’ π‘˜ = π‘₯ 0 𝑕 3 + π‘₯ 1 𝑕 2 + π‘₯ 2 𝑕 1

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

𝑦 3 = 0 + 0.5 1 + 1 0.5 = 1

𝑦 4 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 4 βˆ’ π‘˜ = π‘₯ 1 𝑕 3 + π‘₯ 2 𝑕 2 = 0 + 1 1 = 1

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

𝑦 5 = π‘₯ π‘˜ 𝑕 5 βˆ’ π‘˜ = 0,

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

𝑦 6 = 0, 𝑦 7 = 0, dst

Bentuk hasil keluaran sistem pada contoh soal 1.6.b sebagai berikut

𝑛 βˆ’2 βˆ’1 0 1 2 3

𝑦(𝑛)

1

2.25

1.5

4 βˆ’3 5

Page 21: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 19

Contoh 1.7 Konvolusi sinyal tak terbatas

Sistem LTI kausal mempunyai respons impuls

𝑕 𝑛 = 1

2 𝑛

𝑒(𝑛)

Tentukan ouput sistem bila inputnya:

a. π‘₯ 𝑛 = 𝛿 𝑛 + 0.6𝛿 𝑛 βˆ’ 1

b. π‘₯ 𝑛 = 1

4 𝑛

𝑒(𝑛)

c. π‘₯ 𝑛 = (1/4)𝑛𝑒 𝑛 βˆ’ 𝑒 𝑛 βˆ’ 21

d. π‘₯ 𝑛 = (1/4)𝑛𝑒 𝑛 βˆ’ 5 βˆ’ 𝑒 𝑛 βˆ’ 21

Penyelesaian :

a. Karena π‘₯(𝑛) sinyal terbatas, maka output sistem dapat menggunakan sifat-sifat

konvolusi yaitu sifat identitas dan sifat konvolusi sinyal π‘₯(𝑛) dengan impuls

tertunda π‘˜

𝑦 𝑛 = 𝛿 𝑛 + 0.6𝛿 𝑛 βˆ’ 1 βˆ— 𝑕 𝑛 = 𝑕 𝑛 + 0.6𝑕 𝑛 βˆ’ 1

𝑦 𝑛 = 1

2 𝑛

𝑒(𝑛) + 0.6 1

2 π‘›βˆ’1

𝑒(𝑛 βˆ’ 1)

𝑦 0 = 1; 𝑦 1 = 1,1; 𝑦 2 = 5,5 dst

b.

Page 22: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 20

Sifat-sifat konvolusi diskrit

a. Komutatif

Secara matematis sifat komutatif

π‘₯ 𝑛 βˆ— 𝑕 𝑛 = 𝑕 𝑛 βˆ— π‘₯(𝑛) (1.31)

b. Asosiatif

Secara matematis sifat asosiatif

π‘₯ 𝑛 βˆ— 𝑕1 𝑛 βˆ— 𝑕2 𝑛 = π‘₯ 𝑛 βˆ— 𝑕1 𝑛 βˆ— 𝑕2 𝑛 (1.32)

c. Distributif

Secara matematis sifat distributif

π‘₯ 𝑛 βˆ— 𝑕1 𝑛 + 𝑕2 𝑛 = π‘₯ 𝑛 βˆ— 𝑕1 𝑛 + π‘₯ 𝑛 βˆ— 𝑕2 𝑛 (1.33)

Secara sistem dapat digambarkan pada gambar 1.15.

a. Sifat komutatif

b. Sifat asosiatif

c. Sifat distributif

Gambar 1.15 Interpretasi sifat konvolusi dari sistem diskrit

d. Urutan identitas

π‘₯ 𝑛 βˆ— 𝛿 𝑛 = 𝛿 𝑛 βˆ— π‘₯ 𝑛 = π‘₯(𝑛) (1.34)

e. Konvolusi impuls terdelay dengan π‘₯(𝑛)

π‘₯ 𝑛 βˆ— 𝛿 𝑛 βˆ’ π‘˜ = π‘₯(𝑛 βˆ’ π‘˜) (1.35)

𝑕(𝑛) π‘₯ 𝑛 𝑦 𝑛 π‘₯(𝑛) 𝑕 𝑛 𝑦 𝑛

𝑕1(𝑛) π‘₯ 𝑛 𝑦 𝑛

𝑕2(𝑛) 𝑕1 𝑛 βˆ— 𝑕2(𝑛) π‘₯ 𝑛 𝑦 𝑛

𝑕1 𝑛 + 𝑕2(𝑛) π‘₯ 𝑛 𝑦 𝑛

𝑕1(𝑛)

π‘₯ 𝑛 𝑦 𝑛

𝑕2(𝑛)

Page 23: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 21

Kausalitas sistem LTI

Definisi :

Berdasarkan respons impulsnya, sistem LTI dikatakan kausal bila respons impuls

𝑕 𝑛 = 0, untuk 𝑛 < 0.

Stabilitas sistem LTI

Definisi :

Berdasarkan respons impulsnya, sistem LTI dikatakan stabil BIBO bila respons

impulsnya dapat dijumlahkan secara absolut.

𝑆 = 𝑕(𝑛) < ∞

∞

𝑛=βˆ’βˆž

(1.33)

Pembuktian:

Output sistem LTI :

𝑦 𝑛 = π‘₯ π‘˜ 𝑕(𝑛 βˆ’ π‘˜)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

= π‘₯ 𝑛 βˆ— 𝑕 𝑛 = 𝑕 𝑛 βˆ— π‘₯(𝑛) (1.34)

Kedua sisi kiri dan kanan diabsolutkan

𝑦 𝑛 = 𝑕 π‘˜ π‘₯(𝑛 βˆ’ π‘˜)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

≀ 𝑕 π‘˜ π‘₯(𝑛 βˆ’ π‘˜)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

(1.35)

𝑦 𝑛 ≀ 𝑕(π‘˜) . π‘₯(𝑛 βˆ’ π‘˜)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

(1.36)

Bila input terbatas

π‘₯(𝑛 βˆ’ π‘˜) ≀ 𝐡π‘₯ < ∞

Maka output juga terbatas

𝑦(𝑛) ≀ 𝐡𝑦 < ∞

Apabila

𝑆 = 𝑕(π‘˜)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

(1.37)

Page 24: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 22

1.5 Persamaan Beda Koefisien Konstan Linier

Sistem linear time-invariant (LTI) dapat dikarakterisasi dengan respons impuls 𝑕(𝑛).

Selain itu. sistem LTI yang memiliki input π‘₯(𝑛) dan output 𝑦(𝑛) juga dapat

dikarakterisasi dengan persamaan beda koefisien konstan linier orde ke-𝑁 sebagai

berikut

π‘Žπ‘˜π‘¦ 𝑛 βˆ’ π‘˜ = π‘π‘˜π‘₯(𝑛 βˆ’ π‘˜)

𝑀

π‘˜=0

𝑁

π‘˜=0

(1.38)

Jika sistem tersebut kausal maka kita dapat menyusun persamaan (1.38) menjadi

𝑦 𝑛 = βˆ’ π‘Žπ‘˜

π‘Ž0𝑦 𝑛 βˆ’ π‘˜ +

π‘π‘˜

π‘Ž0π‘₯(𝑛 βˆ’ π‘˜)

𝑀

π‘˜=0

𝑁

π‘˜=1

(1.39)

Output sistem saat ke 𝑛 ditentukan oleh input saat ke 𝑛, input saat sebelumnya

𝑛 βˆ’ 1, 𝑛 βˆ’ 2, … , 𝑛 βˆ’ 𝑀 dan output saat sebelumnya 𝑛 βˆ’ 1, 𝑛 βˆ’ 2, … , 𝑛 βˆ’ 𝑁.

Contoh 1.8:

Sistem diskrit LTI dinyatakan dengan persamaan beda sebagai berikut :

𝑦 𝑛 βˆ’ 0.5𝑦 𝑛 βˆ’ 1 = π‘₯(𝑛)

Diasumsikan 𝑦 𝑛 = 0, untuk semua 𝑛 < 0

a. Berapa orde sistem LTI tersebut.

b. Tentukan respons impuls sistem 𝑕(𝑛).

Penyelesaian :

a. Berdasarkan persamaan beda pada soal terlihat bahwa 𝑁 = 1, maka termasuk

orde ke-1

b. Evaluasi untuk π‘₯ 𝑛 = 𝛿(𝑛) maka output sistem

Ditulis kembali

𝑦 𝑛 = 0.5𝑦 𝑛 βˆ’ 1 + π‘₯(𝑛)

input siatem adalah impuls, maka

𝑛 = 0, 𝑦 0 = 0.5𝑦 βˆ’1 + π‘₯ 0 = 0.5 0 + 1 = 1 = (0.5)0

𝑛 = 1, 𝑦 1 = 0.5𝑦 0 + π‘₯ 1 = 0.5 . 1 + 0 = (0.5)1

𝑛 = 2, 𝑦 2 = 0.5𝑦 1 + π‘₯(2) = 0.5 . 0.5 + 0 = (0.5)2

𝑛 = 3, 𝑦 3 = 0.5𝑦 2 + π‘₯(3) = 0.5 . 0.5 2 + 0 = (0.5)3

𝑦 𝑛 = (0.5)𝑛 , untuk 𝑛 β‰₯ 0

𝑦 𝑛 = 0.5 𝑛𝑒(𝑛)

Page 25: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 23

1.6 Klasifikasi sistem diskrit berdasarkan respons impuls

Sistem diskrit LTI dapat dikarakterisasi dengan respons impuls 𝑕(𝑛). Berdasarkan

durasi respons impuls atau dengan kata lain berdasarkan banyaknya sampling respons

impuls sistem, maka sistem LTI dapat dikelompokkan menjadi 2 macam:

1.6.1 Sistem IIR (Infinite-impuls respons)

Merupakan sistem diskrit yang mempunyai durasi respons impuls tak terbatas.

Contoh 1.9

Sistem diskrit dengan respons impuls 𝑕 𝑛 = 1

4 𝑛

𝑒(𝑛)

Apakah sistem tersebut IIR?

Penyelesaian:

Respons impuls mempunyai harga dari 𝑛 = 0 sampai 𝑛 = ∞ maka sistem

tersebut tergolong IIR.

1.6.2 Sistem FIR (Finite-impuls respons)

Merupakan sistem diskrit yang mempunyai durasi respons impuls terbatas.

Contoh 1.10

Sistem diskrit dengan respons impuls 𝑕 𝑛 = 1

4 𝑛

𝑒 𝑛 βˆ’ 𝑒 𝑛 βˆ’ 101 .

Penyelesaian:

Pada contoh tersebut respons impuls berdurasi terbatas dari 𝑛 = 0 sampai

𝑛 = 100, sehingga disebut sebagai sistem FIR.

Contoh 1.11

Sistem diskrit dengan input π‘₯(𝑛) dan output 𝑦(𝑛) dikarakterisasi dengan

persamaan beda koefisien konstan linier

𝑦 𝑛 = π‘₯ 𝑛 + 0.3π‘₯ 𝑛 βˆ’ 1 βˆ’ 0.5π‘₯ 𝑛 βˆ’ 2 + 1.5π‘₯ 𝑛 βˆ’ 3 βˆ’ 0.75π‘₯(𝑛 βˆ’ 4)

Penyelesaian:

Apabila sistem diberi input impuls π‘₯ 𝑛 = 𝛿(𝑛) maka output sistem

𝑦 𝑛 = 𝑕(𝑛) = 𝛿 𝑛 + 0.3𝛿 𝑛 βˆ’ 1 βˆ’ 0.5𝛿 𝑛 βˆ’ 2 + 1.5𝛿 𝑛 βˆ’ 3 βˆ’ 0.75𝛿(𝑛 βˆ’ 4)

Sehingga terlihat respons impuls berdurasi terbatas dari 𝑛 = 0 sampai 𝑛 = 4,

sehingga disebut sebagai sistem FIR.

𝑛 0 1 2 3 4

π‘₯(𝑛)

1

1/4

(1/4)2

(1/4)𝑛

5 6

Page 26: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 24

SOAL LATIHAN

1. Sinyal diskrit π‘₯(𝑛) berikut

Sketsa sinyal π‘₯(𝑛) setelah mengalami proses:

a. π‘₯ 𝑛 βˆ’ 2 d. π‘₯(βˆ’π‘› + 2)

b. π‘₯ 𝑛 + 2 e. π‘₯(βˆ’π‘› βˆ’ 2)

c. π‘₯ βˆ’π‘› f. π‘₯(2𝑛)

2. Tentukan periode sinyal berikut

a. π‘₯ 𝑛 = 2 Sin(πœ‹

20𝑛)

b. π‘₯ 𝑛 = 3 cos(0.055πœ‹π‘›)

c. π‘₯ 𝑛 = 2 sin 0.05πœ‹π‘› + 3 sin(0.12πœ‹π‘›)

d. π‘₯ 𝑛 = 2 sin 0.05πœ‹π‘› cos(0.05πœ‹π‘›)

3. Sistem diskrit dengan input π‘₯(𝑛) dan output 𝑦(𝑛) mempunyai persamaan beda

𝑦 𝑛 = π‘₯ 𝑛 βˆ’ 0.3π‘₯ 𝑛 βˆ’ 1 + 0.8π‘₯(𝑛 βˆ’ 2)

Buktikan bahwa sistem diskrit tersebut mempunyai sifat linear dan time invariant.

4. Sistem LTI mempunyai respons impuls 𝑕 𝑛 = (0.25)𝑛𝑒 𝑛 βˆ’ 𝑒 𝑛 βˆ’ 11

a. Apakah sistem tersebut kausal? Jelaskan.

b. Apakah sistem stabil BIBO? Jelaskan.

c. Tentukan output sistem bila inputnya

(i) π‘₯ 𝑛 = 1

3 𝑛

𝑒(𝑛)

(ii) π‘₯ 𝑛 = 1

3 𝑛

𝑒 𝑛 βˆ’ 6

(iii) π‘₯ 𝑛 = 1

3 𝑛

𝑒 𝑛 βˆ’ 6 βˆ’ 𝑒 𝑛 βˆ’ 56

𝑛 0 1 2 3 4

π‘₯(𝑛)

1

1/2 1/4

Page 27: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab I : Sinyal & Sistem Diskrit

Bab I - 25

5. Sistem diskrit mempunyai persamaan beda koefisien konstan linier

𝑦 𝑛 βˆ’ 0.5𝑦 𝑛 βˆ’ 1 = π‘₯ 𝑛 + 0.4π‘₯ 𝑛 βˆ’ 1 + 0.2π‘₯(𝑛 βˆ’ 2)

Diasumsikan 𝑦 𝑛 = 0, untuk 𝑛 < 0.

a. Orde berapa sistem diskrit tersebut.

b. Tentukan respons impuls pada 𝑛 = 0; 1; 2; 3; 4; 5

c. Tentukan respons unit step pada 𝑛 = 0; 1; 2; 3; 4; 5

6. Sistem diskrit mempunyai persamaan beda koefisien konstan linier

𝑦 𝑛 βˆ’ 0.3𝑦 𝑛 βˆ’ 1 = π‘₯ 𝑛

Diasumsikan 𝑦 𝑛 = 0, untuk 𝑛 < 0.

a. Tentukan respons impuls sistem tersebut.

b. Apakah sistem tersebut stabil BIBO? Jelaskan.

c. Apakah sistem tersebut FIR atau IIR? Jelaskan.

==================================================

Rumus bantu:

π‘Žπ‘˜ =π‘Žπ‘1 βˆ’ π‘Žπ‘2+1

1 βˆ’ π‘Ž

𝑁2

π‘˜=𝑁1

, π‘Ž β‰  1

Rumus trigonometri:

sin 𝐴 + 𝐡 = sin 𝐴 cos 𝐡 + cos 𝐴 sin 𝐡

cos 𝐴 + 𝐡 = cos 𝐴 cos 𝐡 βˆ’ sin 𝐴 sin 𝐡

2cos 𝐴 cos 𝐡 = cos 𝐴 + 𝐡 + cos(𝐴 βˆ’ 𝐡)

2cos 𝐴 sin 𝐡 = sin 𝐴 + 𝐡 βˆ’ sin(𝐴 βˆ’ 𝐡)

2sin 𝐴 cos 𝐡 = sin 𝐴 + 𝐡 + sin(𝐴 βˆ’ 𝐡)

2sin 𝐴 sin 𝐡 = cos 𝐴 βˆ’ 𝐡 βˆ’ cos(𝐴 + 𝐡)

sin 2𝐴 = 2 sin 𝐴 cos 𝐴

π‘π‘œπ‘ 2𝐴 + 𝑠𝑖𝑛2𝐴 = 1

Page 28: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 1

Bab 2

Analisa Frekuensi

2.1 Pendahuluan

Representasi dalam kawasan frekuensi dari sinyal dan sistem diskrit merupakan analisa

penting dalam pengolahan sinyal digital. Metode yang sering digunakan untuk analisa

sinyal dan sistem diskrit dalam domain frekuensi adalah menggunakan transformasi

Fourier. Transformasi Fourier mampu mempermudah proses komputasi konvolusi

sehingga komputasi menjadi lebih sederhana. Pada bagian ini akan dijelaskan

representasi output sistem LTI apabila diberi input sinyal eksponensial kompleks

maupun sinyal sinus. Transformasi Fourier dan sifat-sifatnya juga akan dijelaskan

secara detail. Pengantar tentang filter digital dan jenis filter dibahas juga pada bagian

ini. Interkoneksi sistem diskrit dan aplikasinya dibahas dibagian akhir bab ini.

2.2 Representasi Frekuensi dari Sinyal dan Sistem Diskrit Sistem LTI dikarakterisasi dengan respons impuls β„Ž(𝑛), sinyal π‘₯(𝑛) dijadikan sebagai input sistem tersebut menghasilkan respons sistem 𝑦(𝑛) yang ditunjukkan pada gambar 2.1. Pada bagian berikutnya akan dijelaskan sistem LTI yang diberi input sinyal eksponensial kompleks dan sinyal sinus.

Gambar 2.1 Sistem LTI 2.2.1 Respons sistem dengan input eksponensial kompleks Sistem LTI pada gambar 2.1 diberi input sinyal eksponensial kompleks π‘₯ 𝑛 = π‘’π‘—πœ”π‘› , dimana πœ” adalah konstanta yang merupakan frekuensi sinyal.

𝑦 𝑛 = π‘₯ 𝑛 βˆ— β„Ž 𝑛 = β„Ž 𝑛 βˆ— π‘₯ 𝑛 = β„Ž π‘˜ π‘₯(𝑛 βˆ’ π‘˜)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

(2.1)

𝑦 𝑛 = β„Ž π‘˜

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

π‘’π‘—πœ” (π‘›βˆ’π‘˜) = π‘’π‘—πœ”π‘› β„Ž π‘˜

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘˜ = π‘’π‘—πœ”π‘› 𝐻(π‘’π‘—πœ” ) (2.2)

𝐻(π‘’π‘—πœ” ) = β„Ž π‘˜

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘˜ (2.3)

β„Ž(𝑛)

π‘₯ 𝑛 𝑦 𝑛

Page 29: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 2

Dimana 𝐻(π‘’π‘—πœ” ) merupakan respons frekuenasi sistem dan juga transformasi Fourier dari β„Ž(𝑛). Pada pers (2.2) terlihat merupakan perkalian antara sinyal input eksponensial kompleks π‘₯ 𝑛 = π‘’π‘—πœ”π‘› dengan respons frekuensi sistem 𝐻(π‘’π‘—πœ” ), dimana

𝐻 π‘’π‘—πœ” bilangan komplek dan selalu periodik dengan periode 2πœ‹.

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 𝐻𝑅 π‘’π‘—πœ” + 𝑗𝐻𝐼 π‘’π‘—πœ” = 𝐻 π‘’π‘—πœ” π‘’π‘—βˆ‘π» 𝑒 π‘—πœ” (2.4)

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 𝐻𝑅2 π‘’π‘—πœ” + 𝐻𝐼

2 π‘’π‘—πœ” (2.5)

∑𝐻 π‘’π‘—πœ” = π‘‘π‘Žπ‘›βˆ’1𝐻𝐼 𝑒

π‘—πœ”

𝐻𝑅 π‘’π‘—πœ” (2.6)

Dimana 𝐻 π‘’π‘—πœ” dan ∑𝐻 π‘’π‘—πœ” merupakan respon magnitud dan respon fasa dari

sistem tersebut. 2.2.2 Respons impuls sistem LTI Sistem LTI dengan respons frekuensi 𝐻 π‘’π‘—πœ” memiliki respons impuls dengan cara

melakukan invers respons frekuensi yaitu dengan melakukan integrasi satu periode 2πœ‹

β„Ž 𝑛 =1

2πœ‹ 𝐻 π‘’π‘—πœ” π‘’π‘—πœ”π‘›

πœ‹

βˆ’πœ‹

π‘‘πœ” (2.7)

Bentuk pers (2.7) merupakan transformasi Fourier balik. 2.2.3 Respons sistem dengan input sinus Sistem LTI pada gambar 2.1 diberi input sinyal sinus π‘₯ 𝑛 = π΄π‘π‘œπ‘ (πœ”0𝑛 + πœƒ), dimana 𝐴, πœ”0 dan πœƒ adalah amplitudo sinyal, frekuensi sinyal dan fasa sinyal sinus. Sinyal sinus dapat dinyatakan dalam bentuk kompleks polar

π‘₯ 𝑛 = π΄π‘π‘œπ‘  πœ”0𝑛 + πœƒ =𝐴

2𝑒𝑗 (πœ”0𝑛+πœƒ) +

𝐴

2π‘’βˆ’(π‘—πœ”0𝑛+πœƒ)

(2.8)

Output steady-state sistem LTI menjadi

𝑦 𝑛 =𝐴

2𝑒𝑗 (πœ”0𝑛+πœƒ)𝐻(π‘’π‘—πœ”0 ) +

𝐴

2π‘’βˆ’(π‘—πœ”0𝑛+πœƒ)𝐻(π‘’βˆ’π‘—πœ”0 ) (2.9)

Suku pertama dan kedua pers (2.9) saling konjugate maka menjadi

𝑦 𝑛 = 2𝑅𝑒𝐴

2𝑒𝑗 (πœ”0𝑛+πœƒ)𝐻 π‘’π‘—πœ”0 (2.10)

𝑦 𝑛 = 2𝑅𝑒𝐴

2𝑒𝑗 (πœ”0𝑛+πœƒ) 𝐻 π‘’π‘—πœ”0 π‘’βˆ‘π»(𝑒 π‘—πœ”π‘œ ) (2.11)

𝑦 𝑛 = 𝐴. 𝐻 π‘’π‘—πœ”0 . 𝑅𝑒 𝑒𝑗 (πœ”0𝑛+πœƒ+∑𝐻 𝑒 π‘—πœ”π‘œ (2.12)

Page 30: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 3

𝑦 𝑛 = 𝐴. 𝐻 π‘’π‘—πœ”0 . cos(πœ”0𝑛 + πœƒ + ∑𝐻 π‘’π‘—πœ”π‘œ ) (2.13)

𝑦 𝑛 = 𝐴𝑦 . cos(πœ”0𝑛 + πœƒπ‘¦) (2.14)

Dari pers (2.13) terlihat bahwa output steady-state berupa sinyal sinus dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi sinyal input πœ”0, amplitudonya berubah menjadi perkalian antara amplitudo sinyal input 𝐴 dengan respons magnitud sistem pada frekuensi sinyal input 𝐻 π‘’π‘—πœ”0 dan fasanya menjadi penjumlahan antara fasa sinyal

input πœƒ dengan respons fasa sistem pada frekuensi sinyal input ∑𝐻 π‘’π‘—πœ”π‘œ .

Contoh 2.1 Sistem LTI mempunyai respons impuls β„Ž 𝑛 = 0,5 𝑛𝑒(𝑛). Tentukan output steady-state sistem bila diberi input sebagai berikut:

a. π‘₯ 𝑛 = 2 cos 0,25πœ‹π‘› + 0,5πœ‹ 𝑒(𝑛) b. π‘₯ 𝑛 = 3𝑒 𝑛 + 2 cos 0,25πœ‹π‘› + 0,5πœ‹ 𝑒(𝑛)

Penyelesaian: Respons frekuensi sistem LTI adalah

𝐻 π‘’π‘—πœ” = β„Ž 𝑛

∞

𝑛=βˆ’βˆž

π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘› = (0,5)𝑛

∞

𝑛=0

π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘› = (0,5

∞

𝑛=0

π‘’βˆ’π‘—πœ” )𝑛

𝐻 π‘’π‘—πœ” =(0,5π‘’βˆ’π‘—πœ” )0 βˆ’ (0,5π‘’βˆ’π‘—πœ” )∞+1

1 βˆ’ 0,5π‘’βˆ’π‘—πœ”=

1

1 βˆ’ 0,5π‘’βˆ’π‘—πœ”

𝐻 π‘’π‘—πœ” =1

1 βˆ’ 0,5 cos πœ” + j0,5sin(Ο‰)

Respons magnitud sistem LTI:

𝐻 π‘’π‘—πœ” =1

(1 βˆ’ 0,5 cos πœ”)2 + (0,5 sin πœ”)2=

1

1,25 βˆ’ cos πœ” (2.15)

Respons fasa sistem LTI:

∑𝐻 π‘’π‘—πœ” = 0 βˆ’ π‘‘π‘Žπ‘›βˆ’1 0,5 sin πœ”

1 βˆ’ 0,5 cos πœ” (2.16)

a. Respons magnitud dan fasa sistem pada frekuensi sinyal input πœ” = 0,25πœ‹ adalah

𝐻 𝑒𝑗0,25πœ‹ =1

1,25 βˆ’ cos(0,25πœ‹)= 2,935

∑𝐻 𝑒𝑗0,25πœ‹ = βˆ’π‘‘π‘Žπ‘›βˆ’1 0,5 sin(0,25πœ‹)

1 βˆ’ 0,5 cos(0,25πœ‹) = βˆ’0,159πœ‹

Output steady-state sistem LTI adalah

𝑦 𝑛 = 2. 2,935 . cos 0,25πœ‹π‘› + 0,5πœ‹ βˆ’ 0,159πœ‹ 𝑒(𝑛)

𝑦 𝑛 = 5.87cos(0,25πœ‹π‘› + 0.341πœ‹)𝑒(𝑛)

Page 31: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 4

b. Respons magnitud dan fasa sistem pada frekuensi sinyal input πœ”1 = 0 dan

πœ”2 = 0,25πœ‹ adalah

𝐻 𝑒𝑗0 =1

1,25 βˆ’ cos 0= 2

∑𝐻 𝑒𝑗0 = βˆ’π‘‘π‘Žπ‘›βˆ’1 0,5 sin(0)

1 βˆ’ 0,5 cos(0) = 0

Untuk frekuensi πœ”2 = 0,25πœ‹ sama dengan jawaban (a) Jadi output steady-state sistem LTI adalah

𝑦 𝑛 = 3. 2 𝑒 𝑛 + 5,87 cos 0,25πœ‹π‘› + 0,341πœ‹ 𝑒 𝑛 𝑦 𝑛 = 6𝑒 𝑛 + 5,87 cos 0,25πœ‹π‘› + 0,341πœ‹ 𝑒 𝑛

2.3 Filter digital Filter digital sering disebut sebagai sistem diskrit. Filter dapat dikarakterisasi dalam bentuk sifat-sifatnya seperti linieritas, time-invariant, kausalitas, stabilitias dll, dan juga diklasifikasikan berdasarkan respons frekuensinya, diantaranya: 2.3.1 Filter fasa linier Filter dikatakan mempunyai fasa linier bila mempunyai bentuk persamaan sebagai berikut

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 𝐴 π‘’π‘—πœ” . π‘’βˆ’π‘—π›Όπœ” (2.17)

Dimana 𝛼 dan 𝐴 π‘’π‘—πœ” berturut-turut merupakan bilangan real dan nilai real sebagai

fungsi πœ”. Fasa dari 𝐻 π‘’π‘—πœ” adalah

βˆ… πœ” = βˆ’π›Όπœ” untuk 𝐴 π‘’π‘—πœ” β‰₯ 0

βˆ’π›Όπœ” + πœ‹ untuk 𝐴 π‘’π‘—πœ” < 0 (2.18)

Selanjutnya secara umum, filter dikatakan mempuntai fasa linier jika mempunyai bentuk umum

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 𝐴 π‘’π‘—πœ” . π‘’βˆ’π‘— (π›Όπœ”βˆ’π›½) (2.19)

Pers (2.19) dapat dikatakan juga sebagai filter dengan group delay konstan. Group delay didefinisikan

πœπ‘” π‘’π‘—πœ” = βˆ’π‘‘βˆ‘π» 𝑒 π‘—πœ”

π‘‘πœ”= βˆ’

π‘‘βˆ’π›Όπœ” +𝛽

π‘‘πœ”= 𝛼 (2.20)

Artinya bahwa sinyal yang melewati sistem dengan respons fasa (βˆ’π›Όπœ” + 𝛽) mengalami delay sebesar 𝛼.

Page 32: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 5

2.3.2 Filter Allpass Filter digital dikatakan allpass jika respons magnitud dari sistem adalah konstan dan secara matematis dapat ditulis sebagai berikut

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 𝑐 (2.21)

Contoh 2.2 Buktikan bahwa respons frekuensi dibawah ini merupakan sistem allpass.

𝐻 π‘’π‘—πœ” =π‘’βˆ’π‘—πœ” βˆ’ 0,5

1 βˆ’ 0,5π‘’βˆ’π‘—πœ”

Penyelesaian:

𝐻 π‘’π‘—πœ” =π‘’βˆ’π‘—πœ” βˆ’ 0,5

1 βˆ’ 0,5π‘’βˆ’π‘—πœ”=

cos πœ” βˆ’ 𝑗sinπœ” βˆ’ 0,5

1 βˆ’ 0,5 cos πœ” + 0,5𝑗sinπœ”

𝐻 π‘’π‘—πœ” = (βˆ’0,5 + cos πœ”)2 + (βˆ’ sin πœ”)2

(1 βˆ’ 0,5cos πœ”)2 + (0,5 sin πœ”)2

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 0,25 βˆ’ cos πœ” + π‘π‘œπ‘ 2πœ” + sin2πœ”

1 βˆ’ cos πœ” + 0,25π‘π‘œπ‘ 2πœ” + 0,25sin2πœ”

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 1,25 βˆ’ cos πœ”

1,25 βˆ’ cos πœ”= 1

Jadi sistem tersebut termasuk allpass karena, respons magnitud sistemnya bernilai konstan. 2.3.3 Filter selektif frekuensi Bedasarkan pemilihan frekuensi yang diloloskan, terdapat beberapa jenis filter diantaranya LPF (Low Pass Filter), HPF (High Pass Filter), BPF (Band Pass Filter), BSF (Band Stop Filter). Interval frekuensi pada respons magnitud yang bernilai 1 atau konstan disebut daerah passband (pita lolos) sedangkan interval frekuensi pada respons magnitud yang bernilai 0 disebut daerah stopband. Frekuensi yang membatasi passband dan stopband disebut frekuensi cutoff. Filter digital ideal mempunyai respons fasa 0 disemua frekuensi dan mempunyai respons magnitud sebagai berikut: a. Low Pass Filter (LPF) LPF mempunyai respons magnitud seperti pada gambar 2.2 dan selalu periodik dengan periode 2πœ‹. LPF mempunyai frekuensi cutoff πœ”π‘ dan secara matematik dapat ditulis

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 1 πœ” ≀ πœ”π‘

0 πœ”π‘ < πœ” ≀ πœ‹ (2.22)

Page 33: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 6

β„Ž 𝑛 =1

2πœ‹ 𝐻 π‘’π‘—πœ” π‘’π‘—πœ”π‘›πœ‹

βˆ’πœ‹π‘‘πœ” =

sin πœ”π‘π‘›

πœ‹π‘› (2.23)

Gambar 2.2 Filter LPF ideal b. High Pass Filter (HPF) HPF mempunyai respons magnitud seperti pada gambar 2.3 dan selalu periodik dengan periode 2πœ‹. HPF mempunyai frekuensi cutoff πœ”π‘ dan secara matematik dapat ditulis

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 1 πœ”π‘ < πœ” ≀ πœ‹

0 πœ” ≀ πœ”π‘

(2.24)

β„Ž 𝑛 =1

2πœ‹ 𝐻 π‘’π‘—πœ” π‘’π‘—πœ”π‘›πœ‹

βˆ’πœ‹π‘‘πœ” = 𝛿 𝑛 βˆ’

sin πœ”π‘π‘›

πœ‹π‘› (2.25)

Gambar 2.3 Filter HPF ideal

c. Band Pass Filter (BPF) BPF mempunyai respons magnitud seperti pada gambar 2.4 dan selalu periodik dengan periode 2πœ‹. BPF mempunyai frekuensi cutoff πœ”1 dan πœ”2. Secara matematik dapat ditulis

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 1 πœ”1 ≀ πœ” ≀ πœ”2

0 πœ” < πœ”1 dan πœ”2 < πœ” ≀ πœ‹ (2.26)

𝐻 π‘’π‘—πœ”

πœ”π‘ βˆ’πœ”π‘ πœ‹ βˆ’πœ‹

1

0 πœ”

𝐻 π‘’π‘—πœ”

πœ”π‘ βˆ’πœ”π‘ πœ‹ βˆ’πœ‹

1

0 πœ”

𝐻 π‘’π‘—πœ”

πœ”1 βˆ’πœ”2 πœ‹ βˆ’πœ‹

1

0 πœ” πœ”2 βˆ’πœ”1

Page 34: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 7

Gambar 2.4 Filter BPF ideal

β„Ž 𝑛 =1

2πœ‹ 𝐻 π‘’π‘—πœ” π‘’π‘—πœ”π‘›πœ‹

βˆ’πœ‹π‘‘πœ” =

sin πœ”2𝑛

πœ‹π‘›βˆ’

sin πœ”1𝑛

πœ‹π‘› (2.27)

d. Band Stop Filter (BSF) BSF mempunyai respons magnitud seperti pada gambar 2.5 dan selalu periodik dengan periode 2πœ‹. BSF mempunyai frekuensi cutoff πœ”1 dan πœ”2. Secara matematik dapat ditulis

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 1 πœ” < πœ”1 π‘‘π‘Žπ‘› πœ”2 < πœ” ≀ πœ‹

0 πœ”1 ≀ πœ” ≀ πœ”2

(2.28)

β„Ž 𝑛 =1

2πœ‹ 𝐻 π‘’π‘—πœ” π‘’π‘—πœ”π‘›πœ‹

βˆ’πœ‹π‘‘πœ” = 𝛿 𝑛 βˆ’

sin πœ”2𝑛

πœ‹π‘›βˆ’

sin πœ”1𝑛

πœ‹π‘› (2.29)

Gambar 2.5 Filter BSF ideal

2.4 Interkoneksi Sistem Diskrit Dua sistem diskrit atau lebih sering diinterkoneksikan menjadi sistem diskrit sesuai yang diinginkan. Terdapat dua tipe interkoneksi sistem yaitu serial (cascade) dan paralel. Sistem LTI tersusun secara serial ditunjukkan pada gambar 2.6.

Gambar 2.6 Interkoneksi secara serial

Sistem pada gambar 2.6 ekivalen dengan sistem tunggal yang mempunyai respons impuls

β„Ž 𝑛 = β„Ž1 𝑛 βˆ— β„Ž2 𝑛 (2.30)

Dan mempunyai respons frekuensi

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 𝐻1 π‘’π‘—πœ” . 𝐻2 𝑒

π‘—πœ” (2.31)

𝐻 π‘’π‘—πœ”

πœ”1 βˆ’πœ”2 πœ‹ βˆ’πœ‹

1

0 πœ” πœ”2 βˆ’πœ”1

β„Ž1(𝑛) β„Ž2(𝑛) π‘₯(𝑛) 𝑦(𝑛)

Page 35: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 8

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 𝐻1 π‘’π‘—πœ” π‘’π‘—βˆ‘π»1 𝑒 π‘—πœ” . 𝐻2 𝑒

π‘—πœ” π‘’π‘—βˆ‘π»2 𝑒 π‘—πœ” (2.32)

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 𝐻1 π‘’π‘—πœ” . 𝐻2 𝑒

π‘—πœ” . 𝑒𝑗 (∑𝐻1 𝑒 π‘—πœ” +∑𝐻2 𝑒 π‘—πœ” ) (2.33)

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 𝐻1 π‘’π‘—πœ” . 𝐻2 𝑒

π‘—πœ” (2.34)

∑𝐻 π‘’π‘—πœ” = ∑𝐻1 π‘’π‘—πœ” + ∑𝐻2 𝑒

π‘—πœ” (2.35)

Pada pers (2.34) dan (2.35) terlihat bahwa respons magnitud sistem ekivalen cascade merupakan perkalian antara respons magnitud pertama dan respons magnitud kedua. Respons fasa sistem ekivalen merupakan jumlahan respons fasa sistem pertama dengan respons fasa sistem kedua.

Gambar 2.7 Interkoneksi secara paralel Dua sistem LTI yang tersusun secara paralel dapat dilihat pada gambar 2.7. Jaringan sistem yang tersusun paralel sama dengan sistem ekivalen yang mempunyai respons impuls

β„Ž 𝑛 = β„Ž1 𝑛 + β„Ž2 𝑛 (2.36)

Sedangkan respons frekuensi sistem ekivalennya

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 𝐻1 π‘’π‘—πœ” + 𝐻2 𝑒

π‘—πœ” (2.37)

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 𝐻1 π‘’π‘—πœ” π‘’π‘—βˆ‘π»1 𝑒 π‘—πœ” + 𝐻2 𝑒

π‘—πœ” π‘’π‘—βˆ‘π»2 𝑒 π‘—πœ” (2.38)

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 𝐻𝑅1 π‘’π‘—πœ” + 𝐻𝑅2 𝑒

π‘—πœ” + j𝐻𝐼1 π‘’π‘—πœ” + 𝐻𝐼2 𝑒

π‘—πœ” (2.39)

Jika kedua sistem LTI yang tersusun secara paralel masing-masing mempunyai respons fasa 0 disemua frekuensi, maka respons frekuensi ekivalennya merupakan jumlahan respons magnitud pertama dan respons magnitud kedua. Apabila respons fasa masing-masing sistem LTI tidak nol, maka respons frekuensi ekivalennya dapat diselesaikan menggunakan pers (2.39) dengan respons magnitud ekivalen dan respons fasa ekivalen sebagai berikut

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 𝐻𝑅1 π‘’π‘—πœ” + 𝐻𝑅2 π‘’π‘—πœ” 2 + 𝐻𝐼1 π‘’π‘—πœ” + 𝐻𝐼2 π‘’π‘—πœ” 2 (2.40)

β„Ž1(𝑛)

β„Ž2(𝑛)

π‘₯(𝑛) 𝑦(𝑛)

Page 36: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 9

∑𝐻 π‘’π‘—πœ” = π‘‘π‘Žπ‘›βˆ’1 𝐻𝐼1 𝑒

π‘—πœ” + 𝐻𝐼2 π‘’π‘—πœ”

𝐻𝑅1 π‘’π‘—πœ” + 𝐻𝑅2 π‘’π‘—πœ” (2.41)

Contoh 2.3 Dua sistem LTI dengan respon frekuensi seperti pada gambar 2.8, kedua sistem tersebut

dipasang secara serial (cascade).

Gambar 2.8 Respons frekuensi dua sistem LTI

a. Gambarkan respons frekuensi sistem ekivalennya

b. Tentukan persamaan respon frekuensi sistem ekivalennya.

c. Tentukan persamaan respon impuls sistem ekivalennya.

Penyelesaian:

a. Karena tersusun secara serial maka respons magnitud ekivalennya merupakan perkalian antara respons magnitud pertama dengan respons magnitud kedua, sehingga gambar respons magnitud ekivalennya berupa respons magnitud BPF, b. Persamaan respon frekuensi sistem ekivalennya

𝐻 π‘’π‘—πœ” = 1 πœ‹/3 ≀ πœ” ≀ 3πœ‹/4

0 πœ” < πœ‹/3 dan 3πœ‹/4 < πœ” ≀ πœ‹

c. Persamaan respon impuls sistem ekivalennya

β„Ž(𝑛) =sin 3πœ‹π‘›/4

πœ‹π‘›βˆ’

sin πœ‹π‘›/3

πœ‹π‘›

2.5 Transformasi Fourier Diskrit Respons frekuensi sistem LTI diperoleh dengan mengalikan respons impuls β„Ž(𝑛) dengan eksponensial kompleks π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘› dan menjumlahkan sebanyak interval 𝑛.

Transformasi Fourier (TF) diskrit dari 𝑋 π‘’π‘—πœ” didefinisikan dengan cara yang sama

yaitu

-3Ο€/4 -Ο€/3 Ο€/3 3Ο€/4 Ο‰

1

𝐻 π‘’π‘—πœ”

H2(π‘’π‘—πœ” ) H1(π‘’π‘—πœ” )

1 1

-3Ο€/4 -Ο€/4 Ο€/4 3Ο€/4 Ο‰

-Ο€ -Ο€/3 Ο€/3 Ο€ Ο‰

Page 37: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 10

𝑋 π‘’π‘—πœ” = π‘₯ 𝑛

∞

𝑛=βˆ’βˆž

π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘› (2.42)

Agar transformasi Fourier sinyal diskrit 𝑋 π‘’π‘—πœ” ada, maka penjumlahan pada pers

(2.42) harus konvergen. Hal ini terpenuhi bila π‘₯(𝑛) dapat dijumlahkan secara absolut:

π‘₯ 𝑛

∞

𝑛=βˆ’βˆž

= 𝑆 < ∞ (2.43)

Hal yang harus diingat bahwa transformasi Fourier mempunyai sifat selalu periodik dengan periode 2πœ‹. 2.6 Transformasi Fourier Diskrit Balik

Transformasi Fourier Diskrit Balik dari spektrum sinyal diskrit 𝑋 π‘’π‘—πœ” dapat diperoleh

cara yang sama dengan saat mendapatkan respons impuls sistem LTI, sehingga π‘₯(𝑛) diperoleh dengan melakukan transformasi Fourier Diskrit Balik

π‘₯ 𝑛 =1

2πœ‹ 𝑋 π‘’π‘—πœ” π‘’π‘—πœ”π‘›

πœ‹

βˆ’πœ‹

π‘‘πœ” (2.44)

Pasangan transformasi Fourier diskrit dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Pasangan transformasi Fourier diskrit No Sinyal diskrit Transformasi Fpurier 1 𝛿(𝑛) 1 2 𝛿(𝑛 βˆ’ 𝑑) π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘‘

3 1 (βˆ’βˆž < 𝑛 < ∞) 2πœ‹π›Ώ(πœ” + 2πœ‹π‘˜)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

4 π‘Žπ‘›π‘’(𝑛) ( π‘Ž < 1) 1

1 βˆ’ π‘Žπ‘’βˆ’jΟ‰

5 𝑒(𝑛) 1

1 βˆ’ π‘Žπ‘’βˆ’jΟ‰+ πœ‹π›Ώ(πœ” + 2πœ‹π‘˜)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

6 (𝑛 + 1)π‘Žπ‘›π‘’(𝑛) ( π‘Ž < 1) 1

1 βˆ’ π‘Žπ‘’βˆ’jΟ‰ 2

7 π‘Ÿπ‘› sin πœ”0 𝑛 + 1

sin πœ”0𝑒(𝑛) ( π‘Ÿ < 1)

1

1 βˆ’ 2π‘Ÿcosπœ”0π‘’βˆ’jΟ‰ + π‘Ÿ2π‘’βˆ’j2Ο‰

8 sin πœ”π‘π‘›

πœ‹π‘› 𝐻 π‘’π‘—πœ” =

1 πœ” ≀ πœ”π‘

0 πœ”π‘ < πœ” ≀ πœ‹

9 π‘₯ 𝑛 = 1 0 ≀ 𝑛 ≀ 𝑀0 𝑛 lainnya

sin[πœ”(𝑀 + 1)/2]

sin(πœ”/2)π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘€ /2

10 𝑒j]πœ”0𝑛 2πœ‹π›Ώ(πœ” βˆ’ πœ”0 + 2πœ‹π‘˜)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

Page 38: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 11

11 cos(πœ”0𝑛 + βˆ…) πœ‹[π‘’π‘—βˆ…π›Ώ πœ” βˆ’ πœ”0 + 2πœ‹π‘˜

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

+ π‘’βˆ’π‘—βˆ…π›Ώ πœ” + πœ”0 + 2πœ‹π‘˜ ]

2.7 Sifat-sifat Transformasi Fourier Diskrit Sifat transformasi Fourier diskrit (TF) dapat digunakan untuk menyederhanakan evaluasi transformasi Fourier dan inversnya. Beberapa sifat transformasi Fourier dijelaskan dibawah ini dan disimpulkan pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Sifat-sifat Transformasi Fourier Sifat Sinyal diskrit Transformasi Fourier

Linier π‘Žπ‘₯1 𝑛 + 𝑏π‘₯2 𝑛 π‘Žπ‘‹1 π‘’π‘—πœ” + 𝑏𝑋2 𝑒

π‘—πœ”

Pergeseran waktu π‘₯ 𝑛 βˆ’ 𝑑 π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘‘ 𝑋1 π‘’π‘—πœ”

Time-reversal π‘₯ βˆ’π‘› 𝑋 π‘’βˆ’π‘—πœ”

Modulasi π‘’π‘—πœ”0𝑛π‘₯ 𝑛 𝑋(𝑒𝑗 (πœ”βˆ’πœ”0)) Konvolusi π‘₯1 𝑛 βˆ— π‘₯2 𝑛 𝑋1 𝑒

π‘—πœ” . 𝑋2 π‘’π‘—πœ”

Konjugasi π‘₯βˆ— 𝑛 π‘‹βˆ— π‘’βˆ’π‘—πœ”

Derivative 𝑛π‘₯ 𝑛 𝑗𝑑𝑋 π‘’π‘—πœ”

π‘‘πœ”

Perkalian π‘₯1 𝑛 . π‘₯2 𝑛 1

2πœ‹ 𝑋1 𝑒

π‘—πœƒ 𝑋2(𝑒𝑗 (πœ”βˆ’πœƒ)π‘‘πœƒπœ‹

βˆ’πœ‹

Teori Parseval π‘₯ 𝑛 2

∞

𝑛=βˆ’βˆž

1

2πœ‹ 𝑋(π‘’π‘—πœ” )

2π‘‘πœ”

πœ‹

βˆ’πœ‹

a. Linieritas

Sinyal diskrit π‘₯1(𝑛) mempunyai TF 𝑋1 π‘’π‘—πœ” dan sinyal diskrit π‘₯2(𝑛) mempunyai

TF 𝑋2 π‘’π‘—πœ” , maka jumlahan dua sinyal diskrit π‘₯1(𝑛) dan π‘₯2(𝑛) mempunyai TF

sebagai berikut

π‘Žπ‘₯1 𝑛 + 𝑏π‘₯2 𝑛 𝑇𝐹 π‘Žπ‘‹1 𝑒

π‘—πœ” + 𝑏𝑋2 π‘’π‘—πœ”

Dimana π‘Ž dan 𝑏 merupakan konstanta

b. Pergeseran waktu

Sinyal diskrit π‘₯(𝑛) mempunyai TF 𝑋 π‘’π‘—πœ” , maka sinyal π‘₯(𝑛) yang ditunda

sebesar 𝑑 mempnyai TF

π‘₯ 𝑛 βˆ’ 𝑑 𝑇𝐹 π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘‘ π‘’π‘—πœ”

c. Modulasi

Sinyal diskrit π‘₯(𝑛) mempunyai TF 𝑋 π‘’π‘—πœ” , maka sinyal π‘₯(𝑛) dikalikan dengan

eksponensial komplek π‘’π‘—πœ”0𝑛 menghasilkan pergeseran frekuensi

Page 39: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 12

π‘’π‘—πœ”0𝑛π‘₯ 𝑛 𝑇𝐹 𝑋(𝑒𝑗 (πœ”βˆ’πœ”0))

d. Konvolusi Sinyal diskrit π‘₯1(𝑛) mempunyai TF 𝑋1 𝑒

π‘—πœ” dan sinyal diskrit π‘₯2(𝑛) mempunyai

TF 𝑋2 π‘’π‘—πœ” , maka konvolusi dua sinyal diskrit π‘₯1(𝑛) dan π‘₯2(𝑛) mempunyai TF

sebagai berikut

π‘₯1 𝑛 βˆ— π‘₯2 𝑛 𝑇𝐹 𝑋1 𝑒

π‘—πœ” . 𝑋2 π‘’π‘—πœ”

e. Perkalian

Sinyal diskrit π‘₯1(𝑛) mempunyai TF 𝑋1 π‘’π‘—πœ” dan sinyal diskrit π‘₯2(𝑛) mempunyai

TF 𝑋2 π‘’π‘—πœ” , maka perkalian dua sinyal diskrit π‘₯1(𝑛) dan π‘₯2(𝑛) mempunyai TF

sebagai berikut

π‘₯1 𝑛 . π‘₯2 𝑛 𝑇𝐹

1

2πœ‹ 𝑋1 𝑒

π‘—πœƒ 𝑋2(𝑒𝑗 (πœ”βˆ’πœƒ)π‘‘πœƒπœ‹

βˆ’πœ‹

f. Teori Parseval

Sinyal diskrit π‘₯(𝑛) mempunyai TF 𝑋 π‘’π‘—πœ” , maka kita dapat menghitung energi

suatu sinyal diskrit dalam domain waktu maupun domain frekuensi dengan formula sebagai berikut

π‘₯ 𝑛 2 =1

2πœ‹ 𝑋(π‘’π‘—πœ” )

2π‘‘πœ”

πœ‹

βˆ’πœ‹

∞

𝑛=βˆ’βˆž

Untuk menghitung energi sinyal bila diketahui kuadrat spektrum magnitud suatu sinyal diskrit, dapat kita integralkan dalam satu periode 2πœ‹.

2.8 Aplikasi Pada bagian ini kita menjelaskan beberapa aplikasi transformasi Fourier untuk analisa

sistem LTI.

a. Respons frekuensi sistem LTI

Sistem diskrit LTI dapat dikarakterisasi dengan hubungan input π‘₯(𝑛) dan output 𝑦(𝑛)

yang dinyatakan dengan persamaan beda koefisien konstan linier orde-N sebagai

berikut

π‘Žπ‘˜π‘¦(𝑛 βˆ’ π‘˜)

𝑁

π‘˜=0

= π‘π‘˜π‘₯(𝑛 βˆ’ π‘˜)

𝑀

π‘˜=0

(2.45)

Respons frekuensi sistem dapat diperoleh dengan melakukan transformasi Fourier pers

(2.45) sebagai berikut

Page 40: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 13

π‘Žπ‘˜π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘˜

𝑁

π‘˜=0

π‘Œ π‘’π‘—πœ” = π‘π‘˜π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘˜

𝑀

π‘˜=0

𝑋 π‘’π‘—πœ” (2.46)

𝐻 π‘’π‘—πœ” =π‘Œ π‘’π‘—πœ”

𝑋 π‘’π‘—πœ” =

π‘π‘˜π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘˜π‘€π‘˜=0

π‘Žπ‘˜π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘˜π‘π‘˜=0

(2.47)

Apabila π‘Ž0 = 1, maka respons frekuensi sistem menjadi

𝐻 π‘’π‘—πœ” =π‘Œ π‘’π‘—πœ”

𝑋 π‘’π‘—πœ” =

π‘π‘˜π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘˜π‘€π‘˜=0

1 + π‘Žπ‘˜π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘˜π‘π‘˜=1

(2.48)

Contoh 2.4

Sistem LTI mempunyai persamaan beda koefisien konstan linier sebagai berikut

𝑦 𝑛 = 0,25𝑦 𝑛 βˆ’ 1 + 0,3𝑦 𝑛 βˆ’ 2 + 1,5π‘₯ 𝑛 + 0,4π‘₯ 𝑛 βˆ’ 1 βˆ’ 0,6π‘₯(𝑛 βˆ’ 2)

Tentukan respons frekuensi sistem tersebut.

Penyelesaian:

Kita lakukan transformasi Fourier sehingga menjadi

π‘Œ π‘’π‘—πœ” = 0,25π‘’βˆ’π‘—πœ” π‘Œ π‘’π‘—πœ” + 0,3π‘’βˆ’π‘—2πœ”π‘Œ π‘’π‘—πœ” + 1,5𝑋 π‘’π‘—πœ” + 0,4π‘’βˆ’π‘—πœ” 𝑋 π‘’π‘—πœ”

βˆ’ 0,6π‘’βˆ’π‘—2πœ”π‘‹ π‘’π‘—πœ”

π‘Œ π‘’π‘—πœ” [1 βˆ’ 0,25π‘’βˆ’π‘—πœ” βˆ’ 0,3π‘’βˆ’π‘—2πœ” ] = 𝑋 π‘’π‘—πœ” [1,5 + 0,4π‘’βˆ’π‘—πœ” βˆ’ 0,6π‘’βˆ’π‘—2πœ” ]

𝐻 π‘’π‘—πœ” =π‘Œ π‘’π‘—πœ”

𝑋 π‘’π‘—πœ” =

1,5 + 0,4π‘’βˆ’π‘—πœ” βˆ’ 0,6π‘’βˆ’π‘—2πœ”

1 βˆ’ 0,25π‘’βˆ’π‘—πœ” βˆ’ 0,3π‘’βˆ’π‘—2πœ”

b. Konvolusi

Transformasi Fourier (TF) diskrit memetakan konvolusi dalam domain waktu ke

perkalian dalam domain frekuensi. TF diskrit memberikan solusi alternatif untuk

mempermudah analisa respons sistem. Contoh berikut memberikan prosedur

penyelesaiannya.

Contoh 2.5

Respons impuls sistem LTI β„Ž 𝑛 = 1

2

𝑛

𝑒(𝑛), tentukan respons sistem bila inpunya

π‘₯ 𝑛 = 1

3

𝑛

𝑒(𝑛)?

Penyelesaian:

Page 41: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 14

Karena respons sistem merupakan konvolusi antara π‘₯(𝑛) dengan 𝑦(𝑛), maka kita dapat

menyelesaikan dengan TF yaitu berupa perkalian antara 𝑋 π‘’π‘—πœ” dan 𝐻 π‘’π‘—πœ” ,

selanjutnya dilakukan invers dari TF.

π‘Œ π‘’π‘—πœ” = 𝐻 π‘’π‘—πœ” . 𝑋 π‘’π‘—πœ”

π‘Œ π‘’π‘—πœ” =1

1 βˆ’12 π‘’βˆ’π‘—πœ”

.1

1 βˆ’13 π‘’βˆ’π‘—πœ”

=𝐴

1 βˆ’12 π‘’βˆ’π‘—πœ”

+𝐡

1 βˆ’13 π‘’βˆ’π‘—πœ”

𝐴 = π‘Œ π‘’π‘—πœ” 1 βˆ’1

2π‘’βˆ’π‘—πœ”

π‘’βˆ’π‘—πœ” =2

=1

1 βˆ’13 π‘’βˆ’π‘—πœ”

π‘’βˆ’π‘—πœ” =2

= 3

𝐡 = π‘Œ π‘’π‘—πœ” 1 βˆ’1

3π‘’βˆ’π‘—πœ”

π‘’βˆ’π‘—πœ” =3

=1

1 βˆ’12 π‘’βˆ’π‘—πœ”

π‘’βˆ’π‘—πœ” =3

= βˆ’2

π‘Œ π‘’π‘—πœ” =3

1 βˆ’12 π‘’βˆ’π‘—πœ”

βˆ’2

1 βˆ’13 π‘’βˆ’π‘—πœ”

𝑦 𝑛 = π‘‡πΉβˆ’1 π‘Œ π‘’π‘—πœ” = 3 1

2

𝑛

𝑒 𝑛 βˆ’ 2 1

3

𝑛

𝑒 𝑛

c. Penyelesaian persamaan beda

TF diskrit dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan beda dalam domain

frekuensi dengan kondisi awal sama dengan nol. Prosedurnya menyederhanakan

transformasi persamaan beda ke domain frekuensi dengan menggunakan TF setiap

suku pada persamaan beda, menyelesaikan bentuk yang diinginkan dan melakukan TF

balik.

Contoh 2.6

Sistem LTI mempunyai hubungan input output yang dinyatakan dengan persamaan

beda 𝑦 𝑛 βˆ’ 0,25𝑦 𝑛 βˆ’ 1 = π‘₯ 𝑛 βˆ’ π‘₯(𝑛 βˆ’ 2), diasumsikan kondisi awal nol. Tentukan

respons impuls sistem tersebut.

Penyelesaian:

Input sistem π‘₯ 𝑛 = 𝛿(𝑛), maka 𝑇𝐹 π‘₯(𝑛) = 𝑋 π‘’π‘—πœ” = 1, selanjutnya 𝑇𝐹 persamaan

beda sistem

π‘Œ π‘’π‘—πœ” βˆ’ 0,25π‘’βˆ’π‘—πœ” π‘Œ π‘’π‘—πœ” = 𝑋 π‘’π‘—πœ” βˆ’ π‘’βˆ’π‘—2πœ”π‘‹ π‘’π‘—πœ”

π‘Œ π‘’π‘—πœ” 1 βˆ’ 0,25π‘’βˆ’π‘—πœ” = 𝑋 π‘’π‘—πœ” 1 βˆ’ π‘’βˆ’π‘—2πœ”

𝐻 π‘’π‘—πœ” =π‘Œ π‘’π‘—πœ”

𝑋 π‘’π‘—πœ” =

1 βˆ’ π‘’βˆ’π‘—2πœ”

1 βˆ’ 0,25π‘’βˆ’π‘—πœ”=

1

1 βˆ’ 0,25π‘’βˆ’π‘—πœ”βˆ’

π‘’βˆ’π‘—2πœ”

1 βˆ’ 0,25π‘’βˆ’π‘—πœ”

Page 42: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 15

β„Ž 𝑛 = π‘‡πΉβˆ’1 𝐻 π‘’π‘—πœ” = 1

4

𝑛

𝑒 𝑛 βˆ’ 1

4

π‘›βˆ’2

𝑒 𝑛 βˆ’ 2

LATIHAN BAB II

1. Sistem LTI mempunyai respons frekuensi yang dinyatakan dengan respons magnitud

dan respons fasa digambarkan sebagai beikut

Tentukan output steady state bila inputnya:

a. π‘₯ 𝑛 = 2 cos πœ‹π‘›

4+

πœ‹

2 𝑒(𝑛)

b. π‘₯ 𝑛 = 3𝑒 𝑛 + 2 sin πœ‹π‘›

4+

πœ‹

2 𝑒(𝑛)

c. π‘₯ 𝑛 = 2 sin πœ‹π‘›

4+

πœ‹

2 cos

πœ‹π‘›

4+

πœ‹

2 𝑒(𝑛)

2. Sistem LTI kausal mempunyai hubungan input output yang dinyatakan dengan

persmaan beda koefisien konstan sebagai berikut

𝑦 𝑛 = π‘₯ 𝑛 βˆ’1

2𝑦(𝑛 βˆ’ 1)

a. Tentukan persamaan respons frekuensi sistem.

b. Tentukan persamaan dan gambar respons magnitud sistem.

c. Tentukan persamaan dan gambar respons fasa sistem.

3. Sistem LTI kausal mempunyai hubungan input output yang dinyatakan dengan

persamaan beda koefisien konstan sebagai berikut

𝑦 𝑛 = π‘₯ 𝑛 +3

4𝑦 𝑛 βˆ’ 1 βˆ’

1

8𝑦(𝑛 βˆ’ 2)

a. Tentukan persamaan respons frekuensi sistem.

b. Tentukan output sistem bila inputnya.

i. π‘₯ 𝑛 = 𝛿 𝑛 βˆ’1

2𝛿(𝑛 βˆ’ 1)

𝐻 π‘’π‘—πœ”

πœ‹/3 πœ‹ βˆ’πœ‹

1

0 πœ” βˆ’πœ‹/3

∑𝐻 π‘’π‘—πœ”

πœ‹/3 πœ‹ βˆ’πœ‹ 0 πœ” βˆ’πœ‹/3

πœ‹/3

βˆ’πœ‹/3

Page 43: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab II : Analisa Frekuensi

Bab II - 16

ii. π‘₯ 𝑛 = 1

4

𝑛

𝑒(𝑛)

iii. π‘₯ 𝑛 = 1

4

π‘›βˆ’2

𝑒(𝑛 βˆ’ 2)

Soal 2: Soal yang pernah keluar di UTS

Diketahui dua sistem dengan respon frekuensi seperti pada gambar dibawah, kedua

sistem tersebut dipasang seri (atau kaskade),

a. Gambarkan respons frekuensi sistem keseluruhan.

b. Tentukan persamaan respon frekuensi sistem keseluruhan.

c. Tentukan persamaan respon impuls sistem keseluruhan.

d. Gambarkan dan tentukan spektrum sinyal output 𝑦 𝑛 , yaitu π‘Œ π‘’π‘—πœ” , bila sistem

diberi sinyal input dengan spektrum:

e. Jelaskan apa yang dialami sinyal input π‘₯ 𝑛 setelah melewati sistem-1 dan

sistem 2?

f. Tentukan output steady state bila inputnya π‘₯ 𝑛 = 2 cos 0,25πœ‹π‘› 𝑒(𝑛) +

3𝑠𝑖𝑛(0,5πœ‹π‘›)𝑒(𝑛)

-3Ο€/4 -Ο€/4 Ο€/4 3Ο€/4 Ο‰

-3Ο€/4 -Ο€/4 Ο€/4 3Ο€/4 Ο‰

X(π‘’π‘—πœ” ) X(π‘’π‘—πœ” ) 1

-3Ο€/4 -Ο€/4 Ο‰

Ο€/4 3Ο€/4

Ο€/8 3Ο€/8

-3Ο€/8 -Ο€/8 -Ο€ -Ο€/3 Ο‰

Ο€/3 Ο€

Ο€/6

-Ο€/6

-Ο€/2

Ο€/2 H2(π‘’π‘—πœ” ) H1(π‘’π‘—πœ” )

H2(π‘’π‘—πœ” ) H1(π‘’π‘—πœ” ) 1 1

1

-3Ο€/4 -Ο€/4 Ο€/4 3Ο€/4 Ο‰

-Ο€ -Ο€/3 Ο€/3 Ο€ Ο‰

Page 44: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal

Bab III - 1

Bab 3

Sampling dan Rekonstruksi Sinyal

3.1 Pendahuluan

Sinyal diskrit diperoleh dengan melakukan proses sampling pada sinyal kontinyu.

Banyak contoh aplikasi pengolahan sinyal digital yang dijumpai pada sistem relay

protection, pengolahan sinyal suara dan sinyal audio, sistem radar dan sonar,

pengolahan sinyal seismic dan biologi, pengolahan sinyal multimedia dan lain

sebagainya. Sinyal kontinyu disampling secara periodik dengan periode sampling

tertentu, sehingga sinyal diskrit merupakan urutan sinyal kontinyu yang tersampling.

Proses sampling sinyal kontinyu menjadi sinyal diskrit/digital disebut konversi analog

ke digital (analog to digital converter – ADC), sedangkan proses dari sinyal digital ke

sinyal analog/kontinyu disebut konversi digital ke analog (digital to analog converter –

DAC). Rangkaian ADC dan DAC biasanya dipakai pada sistem pengolahan sinyal digital

seperti terlihat pada gambar 3.1. Pada bab ini akan didiskusikan tentang proses

sampling yang terjadi pada ADC dan proses rekonstruksi sinyal yang terjadi pada DAC,

termasuk fenomena aliasing yang terjadi pada sinyal pita tak terbatas atau ketika

menggunakan laju sampling yang begitu rendah.

Gambar 3.1 Komponen ADC dan DAC pada sistem pengolahan sinyal digital pada sistem

kontinyu ekivalen

3.2 Proses Konversi Sinyal Analog ke Digital

Sinyal analog/kontinyu π‘₯π‘Ž(𝑑) diproses melalui rangkaian ADC menjadi sinyal diskrit

π‘₯(𝑛) yang dikuantisasi dan dikodekan menjadi deretan sinyal digital (bit stream). Sinyal

analog ini bisa berupa sinyal tone (sinus), voice, audio, maupun video. Komponen ADC

ditunjukkan pada gambar 3.2. Blok pertama menggambarkan rangkaian penyampling

yang kadang-kadang disebut continuous-to-discrete converter (C/D) atau ADC ideal.

Rangkaian penyampling mampu mengkonversikan sinyal analog π‘₯π‘Ž(𝑑) menjadi sinyal

ADC

converter

DAC

converter

Filter digital

𝐻(𝑧)

π‘₯π‘Ž(𝑑) π‘₯(𝑛) 𝑦(𝑛) 𝑦(𝑑)

𝑇 𝑇

Page 45: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal

Bab III - 2

diskrit π‘₯ 𝑛 dengan cara mengekstraksi sinyal analog π‘₯π‘Ž(𝑑) pada kelipatan integer

periode sampling 𝑇 menjadi π‘₯ 𝑛 = π‘₯π‘Ž(𝑛𝑇).

Gambar 3.2 Komponen pada ADC

Sampel-sampel π‘₯π‘Ž(𝑛𝑇) merupakan nilai amplitudo sinyal π‘₯π‘Ž(𝑑) pada setiap periode

sampling 𝑇. Blok kedua dari ADC adalah quantizer, yang memetakan amplitudo sinyal

kontinyu tersampling menjadi sekelompok/set amplitudo diskrit. Pada quantizer serba

sama (unform), proses kuantisasi ditentukan oleh jumlah bit dan interval kuantisasi βˆ†.

Blok ketiga dari ADC merupakan pengkode (encoder), yang berfungsi untuk

mengkodekan sinyal diskrit π‘₯ (𝑛) menjadi deretan bit-bit 𝑐(𝑛) atau binery codewords.

3.2.1 Penyamplingan Periodik

Sinyal diskrit dibentuk dengan menyampling sinyal kontinyu/analog secara periodik

dengan periode 𝑇, sehingga menjadi

π‘₯ 𝑛 = π‘₯π‘Ž(𝑛𝑇) (3.1)

Spasi sampling 𝑇 merupakan periode sampling dan 𝑓𝑠 = 1/𝑇 merupakan frekuensi

sampling dalam sampel per detik. Proses sampling dan bentuk-bentuk sinyalnya terlihat

pada gambar 3.3. Pada tahap pertama, sinyal analog dikalikan dengan deretan impuls

dengan periode 𝑇,

π‘ π‘Ž 𝑑 = 𝛿(𝑑 βˆ’ 𝑛𝑇)

∞

𝑛=βˆ’βˆž

(3.2)

menjadi deretan sinyal tersampel π‘₯𝑠(𝑑),

π‘₯𝑠 𝑑 = π‘₯π‘Ž(𝑑). π‘ π‘Ž(𝑑) = π‘₯π‘Ž 𝑛𝑇 .𝛿(𝑑 βˆ’ 𝑛𝑇)

∞

𝑛=βˆ’βˆž

(3.3)

Selanjutnya, sinyal deretan impuls dikonversikan menjadi sinyal diskrit dengan

memetakan deretan impuls periode 𝑇 menjadi sinyal diskrit π‘₯(𝑛), dimana nilai sampel

periode 𝑇 diindeks dengan variabel integer 𝑛.

π‘₯ 𝑛 = π‘₯π‘Ž(𝑛𝑇)

C/D

converter

Encoder

Quantizer

π‘₯π‘Ž(𝑑) π‘₯(𝑛) π‘₯ (𝑛) 𝑐(𝑛)

𝑇 βˆ†

Page 46: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal

Bab III - 3

Gambar 3.3 Proses pada konverter C/D dan bentuk-bentuk sinyalnya:

(a). Blok diagram konverter C/D,

(b). Sinyal informasi analog asal,

(c). Deretan impuls dengan amplitudo 1,

(d). Deretan impuls dengan amplitudo sesuai informasi analog asal,

(e). Sinyal diskrit output konverter C/D.

3.2.2 Representasi Kawasan Frekuensi Proses Sampling

Pada bagian sebelumnya proses pada konverter C/D dianalisa dalam kawasan waktu,

selanjutnya proses pada konverter C/D dapat dianalisa dalam kawasan frekuensi.

Transformasi Fourier kontinyu deretan impuls π‘ π‘Ž(𝑑) adalah

π‘†π‘Ž 𝑗Ω =2πœ‹

𝑇 𝛿(Ξ© βˆ’ π‘˜Ξ©π‘ )

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

(3.4)

Konversi deretan impuls ke diskrit

π‘₯π‘Ž(𝑑) π‘₯ 𝑛 = π‘₯π‘Ž(𝑛𝑇)

π‘ π‘Ž(𝑑)

π‘₯𝑠(𝑑)

(π‘Ž)

π‘₯π‘Ž(𝑑)

𝑑 0

(𝑏)

π‘ π‘Ž 𝑑 = 𝛿(𝑑 βˆ’ 𝑛𝑇)

∞

𝑛=βˆ’βˆž

𝑑

1

0 T 2T 3T 4T 5T 6T 7T 8T

(𝑐)

π‘₯𝑠 𝑑 = π‘₯π‘Ž 𝑛𝑇 .𝛿(𝑑 βˆ’ 𝑛𝑇)

∞

𝑛=βˆ’βˆž

𝑑 0 T 2T 3T 4T 5T 6T 7T 8T

(𝑑)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 𝑛

π‘₯ 𝑛 = π‘₯π‘Ž(𝑛𝑇)

(𝑒)

Page 47: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal

Bab III - 4

dimana, Ω𝑠 = 2πœ‹/𝑇 merupakan frekuensi sampling dalam satuan radian per detik.

sedangkan transformasi Fourier kontinyu sinyal informasi asal π‘₯π‘Ž(𝑑) adalah π‘‹π‘Ž(𝑗Ω),

maka transformasi Fourier kontinyu sinyal tersampling π‘₯𝑠(𝑑) adalah

𝑋𝑠 𝑗Ω =1

2πœ‹π‘‹π‘Ž 𝑗Ω βˆ— π‘†π‘Ž 𝑗Ω =

1

2πœ‹π‘‹π‘Ž 𝑗Ω βˆ—

2πœ‹

𝑇 𝛿 Ξ© βˆ’ π‘˜Ξ©π‘ 

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

(3.5)

𝑋𝑠 𝑗Ω =1

𝑇 π‘‹π‘Ž 𝑗Ω βˆ’ π‘—π‘˜Ξ©π‘  =

1

𝑇 π‘‹π‘Ž 𝑗(Ξ© βˆ’ π‘˜Ξ©π‘ )

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

(3.6)

Kita dapat menyatakan transformasi Fourier kontinyu dari sinyal π‘₯𝑠(𝑑) dalam bentuk

lain, karena transformasi Fourier dari 𝛿(𝑑 βˆ’ 𝑛𝑇) adalah π‘’βˆ’π‘—Ξ©π‘›π‘‡ , maka transformasi

Fourier kontinyu dari sinyal:

π‘₯𝑠 𝑑 = π‘₯π‘Ž 𝑛𝑇 .𝛿(𝑑 βˆ’ 𝑛𝑇)

∞

𝑛=βˆ’βˆž

adalah

𝑋𝑠 𝑗Ω = π‘₯π‘Ž 𝑛𝑇 π‘’βˆ’π‘—Ξ©π‘›π‘‡

∞

𝑛=βˆ’βˆž

(3.7)

Selanjutnya, transformasi Fourier diskrit π‘₯(𝑛) adalah

𝑋 π‘’π‘—πœ” = π‘₯ 𝑛 π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘› =

∞

𝑛=βˆ’βˆž

π‘₯π‘Ž 𝑛𝑇 π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘›

∞

𝑛=βˆ’βˆž

(3.8)

Kita bandingkan pers. (3.7) dan pers. (3.8), maka terdapat hubungan bahwa

𝑋 π‘’π‘—πœ” = 𝑋𝑠(𝑗Ω) Ξ©=πœ”/𝑇 (3.9)

Dan kita substitusikan pers. (3.9) ke pers. (3.6) menjadi

𝑋 π‘’π‘—πœ” =1

𝑇 π‘‹π‘Ž 𝑗(

πœ”

π‘‡βˆ’

2πœ‹π‘˜

𝑇)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

(3.10)

Akhirnya dapat dikatakan bahwa 𝑋 π‘’π‘—πœ” merupakan bentuk 𝑋𝑠 𝑗Ω yang terskala

dalam kawasan frekuensi dengan skala yang terdefinisikan dengan

πœ” = Ξ©. 𝑇

Skala ini yang membuat 𝑋 π‘’π‘—πœ” periodik dengan periode 2πœ‹, sebagai konsekwuensinya

dalam skala waktu ketika π‘₯𝑠(𝑑) dikonversikan ke π‘₯ 𝑛 .

Page 48: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal

Bab III - 5

Gambar 3.4 Bentuk spektrum sinyal pada proses konverter C/D

Analisa bentuk spektrum dalam kawasan frekuensi pada proses yang terjadi pada

rangkaian konverter C/D pada gambar 3.3 (a) dapat dilihat pada gambar 3.4. Spekrum

βˆ’2πœ‹ 2πœ‹ 0 πœ”

(2πœ‹ βˆ’ πœ”π‘)

1/𝑇

(𝑑)

βˆ’πœ”π‘ πœ”π‘ 0

𝑋(π‘’π‘—πœ” )

(2πœ‹ + πœ”π‘) βˆ’(2πœ‹ βˆ’ πœ”π‘) βˆ’(2πœ‹ + πœ”π‘)

πœ”π‘ = Ω𝑁 . 𝑇

βˆ’Ξ©π‘ Ω𝑁 0

π‘‹π‘Ž(𝑗Ω)

Ξ©

(π‘Ž)

1 Ω𝑁 = 2πœ‹π‘“π‘

βˆ’Ξ©π‘  Ω𝑠 0

π‘†π‘Ž(𝑗Ω)

Ξ© βˆ’2Ω𝑠 2Ω𝑠

(𝑏)

2πœ‹/𝑇

Ω𝑠 = 2πœ‹π‘“π‘  = 2πœ‹/𝑇

πœ” = Ξ©. 𝑇

βˆ’Ξ©π‘  Ω𝑠 0 Ξ©

(Ω𝑠 βˆ’ Ω𝑁)

1/𝑇

(𝑐)

βˆ’Ξ©π‘ Ω𝑁 0

𝑋𝑠(𝑗Ω)

(Ω𝑠 + Ω𝑁) βˆ’(Ω𝑠 βˆ’ Ω𝑁) βˆ’(Ω𝑠 + Ω𝑁)

Page 49: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal

Bab III - 6

sinyal informasi pita terbatas (band limited) π‘‹π‘Ž 𝑗Ω = 0 untuk Ξ© > Ω𝑁 dapat dilihat

pada gambar 3.4 (a). Rentang spektrum sinyal informasi dari 0 s/d Ω𝑁 rad/detik

sehingga sinyal informasi tersebut mempunyai frekuensi maksimal Ω𝑁 . Spektrum

deretan impuls π‘†π‘Ž (𝑑) adalah π‘†π‘Ž (𝑗Ω) berbentuk deretan impuls juga dan muncul disetiap

kelipatan frekuensi sampling Ω𝑠 seperti terlihat pada gambar 3.4 (b). Bentuk spektrum

sinyal tersampling π‘₯𝑠(𝑑) yaitu 𝑋𝑠(𝑗Ω) yang merupakan konvolusi antara π‘‹π‘Ž(𝑗Ω) dan

π‘†π‘Ž(𝑗Ω) berbentuk seperti spektrum sinyal informasi π‘‹π‘Ž(𝑗Ω) yang muncul disetiap

kelipatan frekuensi sampling Ω𝑠 seperti terlihat pada gambar 3.4 (c), sedangkan bentuk

spektrum sinyal diskrit yang merupakan hasil konversi dari deretan impuls sinyal

tersampling menjadi deretan sinyal diskrit 𝑋(π‘’π‘—πœ” ) juga berbentuk seperti spektrum

sinyal informasi π‘‹π‘Ž(𝑗Ω) yang muncul disetiap kelipatan 2πœ‹ seperti terlihat pada gambar

3.4 (d).

Apabila frekuensi sampling Ω𝑠 < 2Ω𝑁 atau (Ω𝑠 βˆ’ Ω𝑁) < Ω𝑁 , maka bentuk spektrum

sinyal 𝑋𝑠(𝑗Ω) akan menjadi seperti pada gambar 3.5. Bentuk spektrum yang menumpuk

satu sama lain tersebut dinamakan terjadi aliasing. Bila terjadi aliasing, kandungan

frekuensi sinyal π‘₯π‘Ž(𝑑) akan mengalami kehilangan sebagian kandungan frekuensinya

atau bisa dikatakan tidak bisa diperoleh kembali secara lengkap kandungan frekuensi

sinyal informasi tersebut.

Gambar 3.5 Bentuk spektrum terjadi aliasing

Jika π‘₯π‘Ž(𝑑) merupakan sinyal pita terbatas dengan frekuensi maksimal Ω𝑁 , maka dengan

frekuensi sampling

Ω𝑠 β‰₯ 2Ω𝑁 (3.11)

Proses pada ADC tidak akan terjadi aliasing dan π‘₯π‘Ž(𝑑) dapat diperoleh kembali dari

sampel-sampelnya π‘₯π‘Ž(𝑛𝑇) menggunakan filter rekonstruksi yaitu LPF (low pass filter).

Berikut pernyataan teorema sampling Nyquist:

Teorema sampling: Jika π‘₯π‘Ž(𝑑) merupakan sinyal dengan frekuensi lebar pita terbatas,

π‘‹π‘Ž 𝑗Ω = 0 Ξ© β‰₯ Ω𝑁

Maka π‘₯π‘Ž(𝑑) dapat diperoleh kembali dari sampel-sampelnya π‘₯π‘Ž(𝑛𝑇) jika

βˆ’Ξ©π‘  Ω𝑠 0 Ξ©

1/𝑇

Ω𝑠/2 0

𝑋𝑠(𝑗Ω)

βˆ’Ξ©π‘ /2

Page 50: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal

Bab III - 7

Ω𝑠 =2πœ‹

𝑇β‰₯ 2Ω𝑁

Frekuensi Ω𝑁 disebut sebagai frekuensi Nyquist dan frekuensi sampling minimum

Ω𝑠 = 2Ω𝑁 disebut laju Nyquist.

Dalam kenyataannya, sinyal dengan bandlimited jarang dijumpai oleh karena itu perlu

dipasang filter LPF, agar frekuensi sinyal informasi menjadi sinyal yang bandlimited

sehingga frekuensi sampling dari ADC dapat memenuhi kriteria Nyquist dan dapat

menghindari terjadinya aliasing. Filter LPF tersebut disebut sebagai filter anti aliasing.

Contoh 3.1

Sinyal analog mempunyai persamaan bahwa π‘₯π‘Ž 𝑑 = 2 sin 2πœ‹. 100𝑑 + cos(2πœ‹. 400𝑑)

disampling dengan frekuensi sampling 1 kHz.

a) Berapa frekuensi sinyal analog π‘₯π‘Ž 𝑑 .

b) Bepapa frekuensi Nyquist.

c) Berapa laju Nyquist.

d) Tentukan sinyal diskrit hasil samplingnya.

e) Berapa frekuensi digital sinyal hasil sampling.

f) Apakah terjadi aliasing? Jelaskan.

g) Apabila sinyal analog tersebut disampling dengan frekuensi sampling 600 Hz,

apakah terjadi aliasing? Jelaskan.

Penyelesaian:

a) Frekuensi sinyal analog π‘₯π‘Ž 𝑑 adalah 𝑓1 = 100 𝐻𝑧 dan 𝑓2 = 400 𝐻𝑧 atau dalam

pernyataan lain Ξ©1 = 200πœ‹ rad/det dan Ξ©2 = 800πœ‹ rad/det.

b) Frekuensi Nyquist Ω𝑁 = 800πœ‹ rad/det.

c) Laju Nyquist 2Ω𝑁 = 1600πœ‹ rad/det.

d) Sinyal diskrit π‘₯ 𝑛 = π‘₯π‘Ž(𝑛𝑇) = 2 sin 0.2πœ‹π‘› + cos(0.8πœ‹π‘›)

e) Frekuensi digital sinyal π‘₯(𝑛) adalah πœ”1 = 0.2πœ‹ rad dan πœ”2 = 0.8πœ‹ rad

f) Sistem ADC tersebut tidak terjadi aliasing karena frekuensi sampling

Ω𝑠 = 2πœ‹1000 = 2000πœ‹ rad/det lebih besar dari laju Nyquist 2Ω𝑁 = 1600πœ‹

rad/det.

g) Ya, terjadi aliasing karena frekuensi sampling Ω𝑠 = 2πœ‹600 = 1200πœ‹ rad/det

kurang dari laju Nyquist 2Ω𝑁 = 1600πœ‹ rad/det.

Page 51: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal

Bab III - 8

(π‘Ž)

(𝑏)

Gambar 3.6 (a). Konverter discrete-to-analog (D/C), (b) Respons frekuensi filter

rekonstruksi ideal

3.3 Proses Konversi Sinyal Digital ke Analog

Seperti yang dijelaskan pada teorema sampling bahwa jika π‘₯π‘Ž(𝑑) merupakan sinyal

bandlimited yaitu agar supaya π‘‹π‘Ž 𝑗Ω = 0 untuk Ξ© > Ω𝑁 dan jika periode sampling

𝑇 < πœ‹/Ω𝑁 maka π‘₯π‘Ž(𝑑) secara unik dapat disusun kembali dari sampel-sampelnya

π‘₯ 𝑛 = π‘₯π‘Ž(𝑛𝑇). Proses rekonstruksi mencakup dua tahap seperti terlihat pada gambar

3.6.a. Tahap pertama, deretan sinyal diskrit π‘₯(𝑛) dikonversi menjadi deretan impuls

π‘₯𝑠(𝑑) berikut

π‘₯𝑠 𝑑 = π‘₯ 𝑛 𝛿(𝑑 βˆ’ 𝑛𝑇)

∞

𝑛=βˆ’βˆž

(3.12)

Selanjutnya π‘₯𝑠(𝑑) difilter dengan filter rekonstruksi yang berupa filter LPF ideal yang

mempunyai respons frekuensi pers (3.13) dan ditunjukkan pada gambar 3.6.b.

π»π‘Ÿ 𝑗Ω = 𝑇, Ξ© ≀ πœ‹/𝑇

0 Ξ© > πœ‹/𝑇 (3.13)

Sistem ini disebut sebagai konverter discrete-to-analog (D/C) atau DAC. Transformasi

Fourier kontinyu balik dari pers. (3.13) merupakan respons impuls filter rekonstruksi

yaitu

Konversi dari deretan diskrit ke deretan impuls

π‘₯(𝑛) π‘₯π‘Ÿ(𝑑) π‘₯𝑠(𝑑) Filter LPF ideal

π»π‘Ÿ (𝑗Ω)

𝑇

𝐷/𝐢

𝑇

Ω𝑠

2= πœ‹/𝑇

0

π»π‘Ÿ(𝑗Ω)

Ξ© βˆ’πœ‹/𝑇

Page 52: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal

Bab III - 9

β„Žπ‘Ÿ 𝑑 =sin(

πœ‹π‘‘π‘‡ )

πœ‹π‘‘/𝑇 (3.14)

Output filter rekonstruksi adalah

π‘₯π‘Ÿ 𝑑 = π‘₯ 𝑛 β„Žπ‘Ÿ(𝑑 βˆ’ 𝑛𝑇)

∞

𝑛=βˆ’βˆž

= π‘₯ 𝑛 sin[πœ‹(𝑑 βˆ’ 𝑛𝑇)/𝑇]

πœ‹(𝑑 βˆ’ 𝑛𝑇)/𝑇

∞

𝑛=βˆ’βˆž

(3.15)

Gambar 3.7 Bentuk sinyal proses rekonstruksi sinyal

Pers (3.15) merupakan rumusan interpolasi yang menunjukkan bagaimana π‘₯π‘Ÿ 𝑑

direkonstruksi dari sampel-sampel π‘₯ 𝑛 = π‘₯π‘Ž 𝑛𝑇 . Dalam kawasan frekuensi, rumus

interpolasi menjadi

π‘‹π‘Ÿ 𝑗Ω = π‘₯ 𝑛 π»π‘Ÿ(𝑗Ω)π‘’βˆ’π‘—Ξ©π‘›π‘‡

∞

𝑛=βˆ’βˆž

= π»π‘Ÿ 𝑗Ω 𝑋(𝑒𝑗Ω𝑇) (3.16)

Yang mana ekivalen dengan

Page 53: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal

Bab III - 10

π‘‹π‘Ÿ 𝑗Ω = 𝑇. 𝑋(𝑒𝑗Ω𝑇) π‘’π‘›π‘‘π‘’π‘˜ Ξ© < πœ‹/𝑇

0 Ξ© lainnya (3.17)

Kemudian, 𝑋(π‘’π‘—πœ” ) merupakan frekuensi yang diskala (πœ” = Ξ©.𝑇) dan filter rekonstruksi

menghilangkan semua frekuensi diatas frekuensi cutoff Ω𝑐 = πœ‹/𝑇 dalam spektrum

periodik 𝑋(𝑒𝑗Ω𝑇). Kita tidak mungkin mengimplementasikan filter LPF ideal pada filter

rekonstruksi, beberapa konverter D/C menggunakan zero-order hold untuk filter

rekonstruksi. Bentuk sinyal pada proses rekonstruksi bila frekuensi samplingnya

memenuhi kriteria Nyquist maka dapat dilihat pada gambar 3.7.

Gambar 3.8 Bentuk spektrum sinyal pada proses rekonsruksi sinyal

βˆ’Ξ©π‘  Ω𝑠 0 Ξ©

1/𝑇

(π‘Ž)

βˆ’Ξ©π‘ Ω𝑁 0

𝑋𝑠(𝑗Ω)

(Ω𝑠 + Ω𝑁) βˆ’(Ω𝑠 βˆ’ Ω𝑁) βˆ’(Ω𝑠 + Ω𝑁)

𝑇 π»π‘Ÿ(𝑗Ω)

Ω𝑠

2= πœ‹/𝑇

βˆ’Ξ©π‘ Ω𝑁 0

π‘‹π‘Ÿ(𝑗Ω)

Ξ©

(𝑏)

1

(𝑑)

βˆ’Ξ©π‘ /2 Ξ©2/2 0

π‘‹π‘Ÿ(𝑗Ω)

Ξ©

βˆ’Ξ©π‘  Ω𝑠 0 Ξ©

1/𝑇

Ω𝑠/2 0

𝑋𝑠(𝑗Ω)

βˆ’Ξ©π‘ /2

(𝑐)

Page 54: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal

Bab III - 11

Proses rekonstruksi sinyal dapat juga dilihat dalam kawasan frekuensi. Bentuk

spektrum sinyal pada proses rekonsruksi sinyal dijelaskan pada gambar 3.8. Spektrum

deretan impuls sinyal π‘₯𝑠(𝑑) yaitu 𝑋𝑠(𝑗Ω) difilter dengan filter rekonstruksi berupa LPF

ideal dengan respons frekuensi π»π‘Ÿ (𝑗Ω) yang mempunyai frekuensi cutoff Ω𝑠/2 atau

πœ‹/𝑇 seperti terlihat pada gambar 3.8.a. Output filter rekonsruksi mempunyai bentuk

spektrum π‘‹π‘Ÿ(𝑗Ω) yang sama dengan bentuk spektrum sinyal aslinya π‘‹π‘Ž(𝑗Ω) yang dapat

dilihat pada gambar 3.8.b. Apabila frekuensi sampling tidak memenuhi kriteria Nyquist

maka spektrum sinyal asli tidak dapat diperoleh kembali, sehingga dikatakan terjadi

aliasing, seperti terlihat pada gambar 3.8.c dan 3.8.d.

3.4 Pengolahan Dalam Waktu Diskrit dari Sinyal Analog

Salah satu aplikasi penting konverter ADC dan DAC adalah pengolahan sinyal analog

menggunakan sistem diskrit, seperti terlihat pada gambar 3.9. Pada sistem ini tersusun

secara serial konverter ADC, sistem diskrit dan konverter DAC. Kita mengasumsikan

sinyal digital merupakan sinyal diskrit yang tidak dikuantisasi dan dikodekan,

melainkan deretan sinyal tersampel. Filter rekonstruksi yang digunakan pada konverter

DAC diasumsikan berupa filter LPF ideal. Sistem keseluruhan bisa dikatakan sistem

waktu kontinyu karena sinyal input π‘₯π‘Ž(𝑑) dan output π‘¦π‘Ž(𝑑) berupa sinyal analog/

kontinyu. Kita dapat menganalisa sistem ini dengan melihat output sinyal di masing-

masing tahapan. Konverter ADC menghasilkan output sinyal diskrit π‘₯(𝑛) yang

mempunyai transformasi Fourier diskrit :

𝑋 π‘’π‘—πœ” =1

𝑇 π‘‹π‘Ž 𝑗(

πœ”

π‘‡βˆ’

2πœ‹π‘˜

𝑇)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

(3.18)

Jika sistem diskrit merupakan sistem linier time-invariant (LTI) dengan respons

frekuensi 𝐻(π‘’π‘—πœ” ), maka ouput sistem diskrit mempunyai transformasi Fourier diskrit

sebagai berikut

π‘Œ π‘’π‘—πœ” = 𝑋 π‘’π‘—πœ” . 𝐻 π‘’π‘—πœ” = 𝐻 π‘’π‘—πœ” .1

𝑇 π‘‹π‘Ž 𝑗(

πœ”

π‘‡βˆ’

2πœ‹π‘˜

𝑇)

∞

π‘˜=βˆ’βˆž

(3.19)

Gambar 3.9 Pengolahan sinyal analog pada sistem diskrit

ADC

converter

DAC

converter

Sistem diskrit

𝐻(π‘’π‘—πœ” )

π‘₯π‘Ž(𝑑) π‘₯(𝑛) 𝑦(𝑛) π‘¦π‘Ž(𝑑)

𝑇 𝑇

Page 55: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal

Bab III - 12

Akhirnya output konvereter DAC berupa sinyal kontinyu π‘¦π‘Ž(𝑑) dari sampel-sampel 𝑦(𝑛)

seperti berikut

π‘¦π‘Ž 𝑑 = 𝑦 𝑛 sin[πœ‹(𝑑 βˆ’ 𝑛𝑇)/𝑇]

πœ‹(𝑑 βˆ’ 𝑛𝑇)/𝑇

∞

𝑛=βˆ’βˆž

(3.20)

Contoh 3.2:

Pengolahan sinyal analog pada sistem diskrit seperti pada gambar 3.9. Sinyal

π‘₯π‘Ž 𝑑 = cos(2πœ‹300𝑑) sebagai input ADC dan sistem diskritnya berupa filter allpass.

a. Gambarkan spektrum di semua tahap bila frekuensi samplingnya 1 kHz dan

tentukan output π‘¦π‘Ž 𝑑 .

b. Gambarkan spektrum di semua tahap bila frekuensi samplingnya 500 Hz dan

tentukan output π‘¦π‘Ž 𝑑 .

Penyelesaian:

LATIHAN BAB 3

1. Soal dapat diambil dari buku referensi Schaum Series, Alan V. Oppenheim, L.C.

Ludeman dan J.G. Proakis

2. Tentukan dua sinyal kontinyu yang akan menghasilkan sinyal diskrit π‘₯ 𝑛 =

cos(0,5πœ‹π‘›) bila disampling dengan frekuensi 8 kHz.

3. Sistem analog mempunyai konfigurasi A/D, filter diskrit dan D/A seperti gambar

dibawah

A/D D/A Sistem

Diskrit

x(t) y(t) x(n) y(n)

ikdet1000

1T ikdet

1000

1T

Page 56: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab III : Sampling & Rekonstruksi Sinyal

Bab III - 13

Sistem diskrit diatas mempunyai respons impuls β„Ž 𝑛 =sin (0,3πœ‹π‘› )

πœ‹π‘› , Jika sinyal input

)(.500sin)(.250cos2)()( tuttuttutx .

a. Berapa Hz laju Nyquist b. Apakah terjadi aliasing bila sistem diatas diberi input sinyal kontinyu π‘₯(𝑑)

tersebut? Jelaskan! c. Tentukan sinyal diskrit π‘₯(𝑛) d. Tentukan output steady state 𝑦(𝑑)

4. Sistem berikut digunakan untuk proses pengolahan sinyal analog dengan sistem

digital:

Sinyal π‘₯ 𝑑 merupakan sinyal bandlimited dengan 0)( fXa untuk kHzf 8

seperti ditunjukkan pada gambar dibawah.

Filter digital tersebut merupakan filter All-pass.

a. Gambarkan bentuk spektrum jeX dan fY jika frekuensi samplingnya

kHzff 2021 .

b. Ulangi soal (a) untuk kHzff 821 .

c. Ulangi soal (a) untuk kHzff 1821 dan filter digitalnya berupa LPF dengan

frekuensi cutoff πœ”π‘ =πœ‹

4.

A/D D/A filter

digital

x(t) y(t) x(n) y(n)

1T 2T

8 - 8 f (kHz)

1

)( fX a

Page 57: Diktat PSD

Bab IV - 1

Bab 4

Transformasi-Z

4.1 Pendahuluan

Transformasi-Z merupakan suatu alat bantu pada analisis sinyal dan sistem waktu

diskrit, begitu sebaliknya pada analisis sinyal dan sistem kontinyu menggunakan

transformasi Laplace. Transformasi-Z dapat digunakan untuk menyelesaikan

persamaan beda koefisien konstan linier, mengevaluasi respon sistem LTI (Linier Time-

Invariant) bila diberi sinyal masukan (input) dan merencanakan filter digital linier.

Pada bab ini akan menjelaskan transformasi-Z dan menguji bagaimana transformasi-Z

dapat digunakan untuk menyelesaikan macam-macam permasalahan yang berbeda.

4.2 Definisi Transformasi-Z

Pada bab sebelumnya, transformasi Fourier dari sinyal diskrit x(n) didefinisikan

sebagai berikut:

𝑋 π‘’π‘—πœ” = π‘₯(𝑛)π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘›

∞

𝑛=βˆ’βˆž

(4.1)

Transformasi-Z dari dari sinyal diskrit x(n) didefinisikan:

𝑋 𝑧 = π‘₯(𝑛)π‘§βˆ’π‘›

∞

𝑛=βˆ’βˆž

(4.2)

Dimana 𝑧 = π‘Ÿπ‘’π‘—πœ” yang merupakan variabel untuk bilangan komplek. Nilai z agar 𝑋 𝑧

merupakan konvergen jumlah didefinisikan sebagai daerah konvergensi bidang z.

Secara notasi, jika sinyal diskrit x(n) mempunyai transformasi-Z 𝑋 𝑧 , maka dapat

ditulis

π‘₯ 𝑛 𝑍 𝑋(𝑧)

Transformasi-Z dapat ditinjau sebagai transformasi Fourier diskrit (TFD) dari sinyal

diskrit terbobot secara eksponensial. Secara matematis dapat dinyatakan sebagai

berikut:

𝑋 𝑧 = π‘₯ 𝑛 π‘§βˆ’π‘› =

∞

𝑛=βˆ’βˆž

π‘₯ 𝑛 π‘Ÿπ‘’π‘—πœ” βˆ’π‘›

= π‘₯ 𝑛 π‘Ÿβˆ’π‘› π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘›

∞

𝑛=βˆ’βˆž

∞

𝑛=βˆ’βˆž

(4.3)

Kita dapat melihat pers. (4.3) bahwa 𝑋(𝑧) merupakan transformasi Fourier dari

π‘₯ 𝑛 π‘Ÿβˆ’π‘›

Page 58: Diktat PSD

Bab IV - 2

Definisi Daerah Konvergensi:

Konvergensi dari deret daya pada pers. (4.2) hanya tergantung pada 𝑧 sehingga

𝑋(𝑧) < ∞ jika

𝑋 𝑧 = π‘₯(𝑛)π‘§βˆ’π‘›

∞

𝑛=βˆ’βˆž

= π‘₯(𝑛) 𝑧 βˆ’π‘›

∞

𝑛=βˆ’βˆž

< ∞ (4.4)

yaitu daerah konvergensi (DK) dari deret daya pada pers. (4.2) terdiri dari semua nilai z

agar berlaku pertidaksamaan pada pers. (4.4). Misalnya, nilai 𝑧 = 𝑧1 berada pada DK,

maka semua nilai z pada lingkaran yang berpusat di titik asal tersebut didefinisikan

𝑧 = 𝑧1 juga berada pada DK. Jadi DK berupa lingkaran yang berpusat di titik asal.

Transformasi-Z merupakan fungsi variabel komplek z, maka transformasi-Z dapat

digunakan untuk menggambarkan kegunaan bidang-z komplek, yaitu dengan

𝑧 = 𝑅𝑒 𝑧 + π‘—πΌπ‘š 𝑧 = π‘Ÿπ‘’π‘—πœ”

maka aksis-aksis bidang-z merupakan bagian real dan imajiner z seperti yang

diilustrasikan pada gambar 4.1. Contour pada gamabar 4.1 berhubungan dengan 𝑧 = 1

yang merupakan sebuah lingkaran berjari-jari satu yang disebut sebagai lingkaran satu

(unit circle). Transformasi-z telah mengevaluasi pada lingkaran satu berhubungan

dengan TFD,

𝑋 π‘’π‘—πœ” = 𝑋 𝑧 𝑧=𝑒 π‘—πœ”

Secara spesifik, kita mengevaluasi 𝑋(𝑧) pada titik-titik sekitar lingkaran satu adalah

memulai 𝑧 = 1 πœ” = 0 , melalui 𝑧 = 𝑗 πœ” = πœ‹/2 , ke 𝑧 = βˆ’1 πœ” = πœ‹ , yang berarti kita

memperoleh nilai-nilai 𝑋(π‘’π‘—πœ” ) pada 0 ≀ πœ” ≀ πœ‹. Sinyal diskrit π‘₯(𝑛) mempunyai TFD,

apabila lingkaran satu harus berada pada DK dari 𝑋(𝑧).

Gambar 4.1 Lingkaran satu pada bidang-z komplek

𝑅𝑒(𝑧)

πΌπ‘š(𝑧)

πœ”

Lingkaran satu 𝑧 = π‘’π‘—πœ”

1

Page 59: Diktat PSD

Bab IV - 3

Definisi pole-zero dari transfrmasi-Z:

Transformasi-Z dari sinyal diskrit π‘₯(𝑛) dapat dinyatakan dalam bentuk rasio dua

polinomial z sebagai berikut:

𝑋 𝑧 =𝑃(𝑧)

𝑄 𝑧 =

π‘π‘˜π‘§βˆ’π‘˜π‘€π‘˜=0

π‘Žπ‘˜π‘§βˆ’π‘˜π‘π‘˜=0

(4.5)

Pole-pole dari 𝑋 𝑧 didefinisikan sebagai nilai-nilai z agar 𝑋(𝑧) berharga tak hingga

sedangkan zero-zero dari 𝑋 𝑧 didefinisikan sebagai nilai-nilai z agar 𝑋(𝑧) bernilai nol.

Contoh 4.1: Sinyal diskrit eksponensial sisi kanan atau kausal.

Tentukan transformasi-Z dari sinyal diskrit π‘₯ 𝑛 = π‘Žπ‘›π‘’(𝑛) dan tentukan pole-zeronya

serta gambar daerah konvergensinya. Diasumsikan bahwa π‘Ž < 1.

Penyelesaian:

𝑋 𝑧 = π‘Žπ‘›

∞

𝑛=0

π‘§βˆ’π‘› = π‘Žπ‘§βˆ’1 𝑛 =1

1 βˆ’ π‘Žπ‘§βˆ’1=

𝑧

𝑧 βˆ’ π‘Ž

∞

𝑛=0

𝑋(𝑧) konvergen apabila dapat dijumlahkan secara absolut atau bernilai berhingga yaitu

bila π‘Žπ‘§βˆ’1 < 1 atau 𝑧 > π‘Ž , sehingga DKnya: 𝑧 > π‘Ž .

Nilai pole-zeronya: pole : 𝑧 = π‘Ž dan zero: 𝑧 = 0, selanjutnya gambar bidang-z dapat

dilihat pada gambar 4.2. Daerah yang diarsir menunjukkan DK, yaitu nilai z yang

membuat 𝑋(𝑧) konvergen.

Gambar 4.2 Bidang-z untuk contoh 4.1

Lingkaran satu

𝑅𝑒(𝑧)

πΌπ‘š(𝑧)

1 π‘Ž 0

Page 60: Diktat PSD

Bab IV - 4

Contoh 4.2: Sinyal diskrit eksponensial sisi kiri atau tak kausal.

Tentukan transformasi-Z dari sinyal diskrit π‘₯ 𝑛 = βˆ’π‘π‘›π‘’(βˆ’π‘› βˆ’ 1) dan tentukan pole-

zeronya serta gambar daerah konvergensinya. Diasumsikan bahwa 𝑏 < 1.

Penyelesaian:

𝑋 𝑧 = βˆ’π‘π‘›

βˆ’1

𝑛=βˆ’βˆž

π‘§βˆ’π‘› = βˆ’ π‘βˆ’1𝑧 𝑛

∞

𝑛=1

= 1 βˆ’ π‘βˆ’1𝑧 𝑛 = 1 βˆ’1

1 βˆ’ π‘βˆ’1𝑧=

βˆ’π‘βˆ’1𝑧

1 βˆ’ π‘βˆ’1𝑧

∞

𝑛=0

=𝑧

𝑧 βˆ’ 𝑏

𝑋(𝑧) dapat dijumlahkan secara absolut atau bernilai berhingga bila π‘βˆ’1𝑧 < 1 atau

𝑧 < 𝑏 , sehingga DKnya: 𝑧 < 𝑏 .

Nilai pole-zeronya: pole : 𝑧 = 𝑏 dan zero: 𝑧 = 0, selanjutnya bidang-z dapat dilihat pada

gambar 4.3.

Gambar 4.3 Bidang-z untuk contoh 4.2

Contoh 4.3: Sinyal diskrit eksponensial dua sisi.

Tentukan transformasi-Z dari sinyal diskrit π‘₯ 𝑛 = π‘Žπ‘›π‘’(𝑛) βˆ’ 𝑏𝑛𝑒(βˆ’π‘› βˆ’ 1), pole-

zeronya dan gambar daerah konvergensinya. Diasumsikan bahwa π‘Ž < 𝑏.

Penyelesaian:

𝑋 𝑧 =1

1 βˆ’ π‘Žπ‘§βˆ’1+

1

1 βˆ’ π‘π‘§βˆ’1=

2 βˆ’ π‘Ž + 𝑏 π‘§βˆ’1

1 βˆ’ π‘Žπ‘§βˆ’1 1 βˆ’ π‘π‘§βˆ’1 x𝑧2

𝑧2

=2𝑧2 βˆ’ π‘Ž + 𝑏 𝑧

𝑧 βˆ’ π‘Ž 𝑧 βˆ’ 𝑏 =

𝑧 2𝑧 βˆ’ π‘Ž + 𝑏

𝑧 βˆ’ π‘Ž 𝑧 βˆ’ 𝑏

𝑅𝑒(𝑧)

πΌπ‘š(𝑧)

Lingkaran satu

1 b 0

Page 61: Diktat PSD

Bab IV - 5

Harga pole-zero: 𝑋(𝑧) mempunyai pole pada 𝑧1 = π‘Ž dan 𝑧2 = 𝑏, sedangkan zero pada

𝑧1 = 0 dan 𝑧2 = π‘Ž + 𝑏 /2

Daerah konvergensi 𝑋(𝑧) adalah π‘Ž < 𝑧 < 𝑏 , selanjutnya bidang-z dapat dilihat pada

gambar 4.4, dalam contoh ini 𝑏 > 1

Gambar 4.4 Bidang-z untuk contoh 4.3

Contoh 4.4: Sinyal diskrit eksponensial dengan jumlah sampling terbatas.

Tentukan transformasi-Z dari sinyal diskrit π‘₯ 𝑛 = π‘Žπ‘› 𝑒 𝑛 βˆ’ 2 βˆ’ 𝑒 𝑛 βˆ’ 10 dan

tentukan pole-zeronya serta gambar daerah konvergensinya.

Penyelesaian:

𝑋 𝑧 = π‘Žπ‘›

9

𝑛=2

π‘§βˆ’π‘› = π‘Žπ‘§βˆ’1 𝑛

9

𝑛=2

= π‘Žπ‘§βˆ’1 2 βˆ’ π‘Žπ‘§βˆ’1 10

1 βˆ’ π‘Žπ‘§βˆ’1x𝑧10

𝑧10

=π‘Ž2𝑧8 βˆ’ π‘Ž10

𝑧10 βˆ’ π‘Žπ‘§9=

π‘Ž2

𝑧9x𝑧8 βˆ’ π‘Ž8

𝑧 βˆ’ π‘Ž

Harga pole-zero: 𝑋(𝑧) mempunyai pole pada 𝑧1 = 𝑧2 = β‹― = 𝑧9 = 0 dan 𝑧10 = π‘Ž,

sedangkan zero pada π‘§π‘˜ = π‘Žπ‘’π‘—2πœ‹π‘˜ /8 dan π‘˜ = 0,1,2,3, … , 7. Terdapat satu pole dan satu

zero yang sama yaitu pada 𝑧 = π‘Ž , sehingga saling meniadakan.

Daerah konvergensi 𝑋(𝑧) merupakan semua bidang-z kecuali pada 𝑧 = 0, selanjutnya

bidang-z dapat dilihat pada gambar 4.5.

𝑅𝑒(𝑧)

πΌπ‘š(𝑧)

Lingkaran satu

1 π‘Ž 0 𝑏

π‘Ž + 𝑏 /2

Page 62: Diktat PSD

Bab IV - 6

Gambar 4.5 Bidang-z untuk contoh 4.4

Pasangan transformasi-Z dari beberapa sinyal diskrit umum dapat dilihat pada tabel

4.1. Berdasarkan pasangan transformasi-Z tersebut dapat membantu untuk

mengevaluasi bentuk-bentuk sinyal diskrit lainnya.

4.3 Sifat-sifat Daerah Konvergensi

Berdasarkan contoh-contoh sebelumnya bahwa DK tergantung pada sinyal diskrit π‘₯(𝑛).

Pada bagian ini akan dijelaskan sifat-sifat DK ini disertai diskusi dan justifikasi intuitif.

Kita mengasumsikan secara spesifik bahwa pernyataan aljabar transformasi-Z

merupakan fungsi rasional dan sinyal diskrit π‘₯(𝑛) mempunyai amplitude terbatas,

mungkin kecuali pada 𝑛 = ∞ atau 𝑛 = βˆ’βˆž.

Sifat-sifat DK dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. DK merupakan suatu lingkaran pada bidang-z yang terpusat pada titik asal, yaitu

0 ≀ 𝑅𝐷 < 𝑧 < 𝑅𝐿 ≀ ∞, artinya 𝑅𝐷 merupakan jari-jari dalam dan lebih besar

sama dengan nol, sedangkan 𝑅𝐿 merupakan jari-jari luar dan kurang dari sama

dengan tak hingga.

2. Transformasi Fourier dari sinyal π‘₯(𝑛) konvergen jika dan hanya jika DK dari

transformasi-Z sinyal π‘₯(𝑛) tersebut termasuk lingkaran satu.

3. DK tidak dapat mengandung pole-pole, artinya pole-pole tidak termasuk DK.

4. Jika π‘₯(𝑛) merupakan sinyal diskrit durasi terbatas 𝑁1 ≀ 𝑛 ≀ 𝑁2 , maka DK

tersebut semua bidang-z, kecuali pada 𝑧 = 0 atau 𝑧 = ∞.

5. Jika π‘₯(𝑛) merupakan sinyal diskrit urutan sisi kanan atau kausal, maka DKnya

berada diluar pole terluar (pole terbesar) menuju 𝑧 = ∞ pada bidang-z.

6. Jika π‘₯(𝑛) merupakan sinyal diskrit urutan sisi kiri, maka DKnya berada didalam

pole terdalam (pole terkcil) menuju 𝑧 = 0 pada bidang-z.

7. Jika π‘₯(𝑛) merupakan sinyal diskrit urutan dua sisi, maka DKnya berupa cincin

pada bidang-z, yang dibatasi oleh pole dalam dan pole luar dan DK tidak

mengandung pole-pole, sesuai dengan sifat 3.

π‘Ž 𝑅𝑒(𝑧)

πΌπ‘š(𝑧)

1 0 βˆ’π‘Ž

Page 63: Diktat PSD

Bab IV - 7

Tabel 4.1 Pasangan Transformasi-z Umum

Sinyal Diskrit Transformasi-Z Daerah Konvergensi

𝛿(𝑛) 1 Semua nilai z

𝑒(𝑛) 1

1 βˆ’ π‘§βˆ’1 𝑧 > 1

βˆ’π‘’ βˆ’π‘› βˆ’ 1 1

1 βˆ’ π‘§βˆ’1 𝑧 < 1

𝛿(𝑛 βˆ’ 𝑑) π‘§βˆ’π‘‘ Semua z kecuali 0

π‘Žπ‘›π‘’(𝑛) 1

1 βˆ’ π‘Žπ‘§βˆ’1 𝑧 > π‘Ž

βˆ’π‘Žπ‘›π‘’ βˆ’π‘› βˆ’ 1 1

1 βˆ’ π‘Žπ‘§βˆ’1 𝑧 < π‘Ž

π‘›π‘Žπ‘›π‘’(𝑛) π‘Žπ‘§βˆ’1

1 βˆ’ π‘Žπ‘§βˆ’1 2 𝑧 > π‘Ž

βˆ’π‘›π‘Žπ‘›π‘’ βˆ’π‘› βˆ’ 1 π‘Žπ‘§βˆ’1

1 βˆ’ π‘Žπ‘§βˆ’1 2 𝑧 < π‘Ž

π‘π‘œπ‘  πœ”0𝑛 𝑒(𝑛) 1 βˆ’ π‘π‘œπ‘ (πœ”0)π‘§βˆ’1

1 βˆ’ 2π‘π‘œπ‘  πœ”0 π‘§βˆ’1 + π‘§βˆ’2 𝑧 > 1

𝑠𝑖𝑛 πœ”0𝑛 𝑒(𝑛) 1 βˆ’ 𝑠𝑖𝑛(πœ”0)π‘§βˆ’1

1 βˆ’ 2π‘π‘œπ‘  πœ”0 π‘§βˆ’1 + π‘§βˆ’2 𝑧 > 1

π‘Ÿπ‘›π‘π‘œπ‘  πœ”0𝑛 𝑒(𝑛) 1 βˆ’ π‘Ÿ. π‘π‘œπ‘ (πœ”0)π‘§βˆ’1

1 βˆ’ 2π‘Ÿ. π‘π‘œπ‘  πœ”0 π‘§βˆ’1 + π‘Ÿ2π‘§βˆ’2 𝑧 > π‘Ÿ

π‘Ÿπ‘›π‘ π‘–π‘› πœ”0𝑛 𝑒(𝑛) π‘Ÿ. 𝑠𝑖𝑛(πœ”0)π‘§βˆ’1

1 βˆ’ 2π‘Ÿ. π‘π‘œπ‘  πœ”0 π‘§βˆ’1 + π‘Ÿ2π‘§βˆ’2 𝑧 > π‘Ÿ

π‘Žπ‘› 𝑒 𝑛 βˆ’ 𝑁1 βˆ’ 𝑒(𝑛 βˆ’ 𝑁2) π‘Žπ‘1π‘§βˆ’π‘1 βˆ’ π‘Žπ‘2π‘§βˆ’π‘2

1 βˆ’ π‘Žπ‘§βˆ’1 Semua z kecuali 0

4.4 Transformasi-Z Balik

Transformasi-Z balik merupakan salah satu metode untuk mendapatkan kembali sinyal

diskrit π‘₯(𝑛) dari 𝑋(𝑧). Metode ini sangat membantu dalam mengevaluasi sinyal dan

sistem diskrit menjadi lebih mudah. Pada bagian ini akan dibahas beberapa metode

transformasi-z balik diantaranya metode inspeksi, ekspansi pecahan parsial dan

ekspansi deret daya.

Page 64: Diktat PSD

Bab IV - 8

4.4.1 Metode Inspeksi

Metode ini dilakukan dengan melihat pasangan transformasi-z pada tabel 4.1, sesuai

dengan transformasi-z dari sinyal π‘₯(𝑛) yang dicari. Apabila pada tabel tersebut tidak

ada bentuk 𝑋(𝑧) yang sesuai, bisa dilakukan dengan metode lainnya.

Contoh 4.5

Transformasi-z dari sinyal diskrit π‘₯ 𝑛 adalah 𝑋 𝑧 =1

1βˆ’1

4π‘§βˆ’1

dan mempunyai DK:

𝑧 >1

4 . Tentukan sinyal diskrit π‘₯(𝑛).

Penyelesaian:

Dari tabel 4.1 diperoleh bahwa π‘₯ 𝑛 = 1

4

𝑛

𝑒(𝑛)

4.4.2 Ekspansi Pecahan Parsial

Bila penyelesaian transformasi-z balik tidak dapat diselesaikan dengan melihat tabel

4.1, maka dapat dilakukan dengan memanipulasi 𝑋(𝑧) dalam bentuk jumlahan yang

masing-masing suku ada pada tabel 4.1. Selanjutnya tiap suku pada 𝑋(𝑧) dilakukan

dengan metode inspeksi. Untuk dapat menyelesaikan metode ekspansi pecahan parsial,

𝑋(𝑧) diasumsikan sebagai perbandingan polynomial π‘§βˆ’1 yaitu

𝑋 𝑧 = π‘π‘˜π‘§βˆ’π‘˜π‘€

π‘˜=0

π‘Žπ‘˜π‘§βˆ’π‘˜π‘π‘˜=0

(4.6)

Persamaan (4.6) ekivalen dengan

𝑋 𝑧 =𝑧𝑁 π‘π‘˜π‘§π‘€βˆ’π‘˜π‘€

π‘˜=0

𝑧𝑀 π‘Žπ‘˜π‘§π‘βˆ’π‘˜π‘π‘˜=0

(4.7)

Persamaan (4.7) menunjukkan bahwa akan ada 𝑀 zero dan N pole pada lokasi tidak nol

pada bidang-z. Sebagai tambahan, ada 𝑀 βˆ’ 𝑁 pole pada 𝑧 = 0 bila 𝑀 > 𝑁 atau

(𝑁 βˆ’ 𝑀) zero pada 𝑧 = 0 jika 𝑁 > 𝑀. Dengan kata lain, bentuk transformasi-z pada

pers. (4.6) selalu mempunyai jumlah pole dan zero yang sama pada bidang-z dan tidak

ada pole dan zero pada 𝑧 = ∞. Bentuk 𝑋(𝑧) pada pers. (4.6) dapat dinyatakan dalam

bentuk

𝑋 𝑧 =π‘π‘œ (1 βˆ’ π‘π‘˜π‘§βˆ’1)𝑀

π‘˜=1

π‘Žπ‘œ (1 βˆ’ π‘‘π‘§βˆ’1)π‘π‘˜=1

(4.8)

Dimana π‘π‘˜ merupakan zero dari 𝑋(𝑧) yang tidak nol dan π‘‘π‘˜ merupakan pole dari 𝑋(𝑧)

yang tidak nol. Jika 𝑀 < 𝑁 dan semua pole merupakan orde pertama, maka 𝑋(𝑧) dapat

dinyatakan sebagai

Page 65: Diktat PSD

Bab IV - 9

𝑋 𝑧 = 𝐴𝐾

1 βˆ’ π‘‘π‘˜π‘§βˆ’1

𝑁

π‘˜=1

(4.9)

Koefisien π΄π‘˜ dapat diperoleh dari

π΄π‘˜ = 𝑋 𝑧 . (1 βˆ’ π‘‘π‘˜π‘§βˆ’1) 𝑧=π‘‘π‘˜ (4.10)

Contoh 4.6:

Transformasi-z dari sinyal diskrit π‘₯(𝑛) adalah

𝑋 𝑧 =1

1 βˆ’14 π‘§βˆ’1 1 βˆ’

12 π‘§βˆ’1

𝑧 >1

2

Tentukan sinyal diskrit π‘₯(𝑛).

Penyelesaian:

𝑋(𝑧) =𝐴1

1 βˆ’14 π‘§βˆ’1

+𝐴2

1 βˆ’12 π‘§βˆ’1

dimana:

𝐴1 = 𝑋 𝑧 . (1 βˆ’1

4π‘§βˆ’1)

𝑧=1/4= 1

1 βˆ’12 π‘§βˆ’1

𝑧=1/4

= βˆ’1

𝐴2 = 𝑋 𝑧 . (1 βˆ’1

2π‘§βˆ’1)

𝑧=1/2= 1

1 βˆ’14 π‘§βˆ’1

𝑧=1/2

= 2

sehingga :

𝑋(𝑧) =βˆ’1

1 βˆ’14 π‘§βˆ’1

+2

1 βˆ’12 π‘§βˆ’1

Seperti terlihat pada tabel 4.1 dengan melihat pasangan transformasi-z masing-masing

suku, maka sinyal diskrit π‘₯(𝑛) menjadi

π‘₯ 𝑛 = βˆ’ 1

4

𝑛

𝑒 𝑛 + 2. 1

2

𝑛

𝑒(𝑛)

Jika 𝑀 β‰₯ 𝑁, maka pers (4.6) dinyatakana ke dalam bentuk ekspansi pecahan parsial

lengkap seperti berikut:

Page 66: Diktat PSD

Bab IV - 10

𝑋 𝑧 = π΅π‘Ÿ

π‘€βˆ’π‘

π‘Ÿ=0

π‘§βˆ’π‘Ÿ + 𝐴𝐾

1 βˆ’ π‘‘π‘˜π‘§βˆ’1

𝑁

π‘˜=1

(4.11)

Pers (4.11) dapat diperoleh dari pers (4.6) dengan cara membagi pembilang dengan

penyebutnya sampai menghasilkan polinomial π‘§βˆ’1 berpangkat (M-N). Suku pertama

per (4.11) sisi kanan merupakan hasil pembagian pers (4.6) dan suku keduanya

merupakan rasio sisa dari pembagian pers (4.6) dengan penyebutnya.

Contoh 4.7:

Transformasi-z dari sinyal diskrit π‘₯(𝑛) adalah

𝑋 𝑧 = 1 +

12 π‘§βˆ’1 1 +

13 π‘§βˆ’1

1 βˆ’14 π‘§βˆ’1 1 βˆ’

12 π‘§βˆ’1

=1 +

56 π‘§βˆ’1 +

16 π‘§βˆ’2

1 βˆ’34 π‘§βˆ’1 +

18 π‘§βˆ’2

𝑧 >

1

2

Tentukan sinyal diskrit π‘₯(𝑛).

Penyelesaian:

Berdasarkan DK dari 𝑋(𝑧) maka sinyal π‘₯(𝑛) merupakan sinyal diskrit urutan sisi kanan.

Pangkat tertinggi polinomial π‘§βˆ’1 pada pembilang maupun penyebut M=N=2 dan semua

polenya merupakan orde pertama, maka 𝑋(𝑧) dapat dinyatakan sebagai berikut:

𝑋 𝑧 = π΅π‘œ +𝐴1

1 βˆ’14 π‘§βˆ’1

+𝐴2

1 βˆ’12 π‘§βˆ’1

Konstanta π΅π‘œ dapat diperoleh dengan pembagian sebagai berikut:

4

3

1 βˆ’3

4π‘§βˆ’1 +

1

8π‘§βˆ’2 1 +

5

6π‘§βˆ’1 +

1

6π‘§βˆ’2

4

3βˆ’ π‘§βˆ’1 +

1

6π‘§βˆ’2

βˆ’1

3+

11

6π‘§βˆ’1

Setelah pangkat dari sisa pembagian polinomial π‘§βˆ’1 lebih kecil dari pembagi, maka 𝑋 𝑧

dapat dinyatakan dalam bentuk:

𝑋 𝑧 =4

3+

βˆ’13 +

116 π‘§βˆ’1

1 βˆ’34 π‘§βˆ’1 +

18 π‘§βˆ’2

=4

3+

βˆ’13 +

116 π‘§βˆ’1

1 βˆ’14 π‘§βˆ’1 1 βˆ’

12 π‘§βˆ’1

Page 67: Diktat PSD

Bab IV - 11

𝑋 𝑧 =4

3+

𝐴1

1 βˆ’14 π‘§βˆ’1

+𝐴2

1 βˆ’12 π‘§βˆ’1

Konstanta 𝐴1 dan 𝐴2 dapat diselesaikan dengan penyelesaian aturan 𝑀 < 𝑁, sehingga

menjadi:

𝐴1 =βˆ’

13 +

116 π‘§βˆ’1

1 βˆ’14 π‘§βˆ’1 1 βˆ’

12 π‘§βˆ’1

1 βˆ’1

4π‘§βˆ’1

π‘§βˆ’1 = 4

= - 20

3

𝐴2 =βˆ’

13 +

116 π‘§βˆ’1

1 βˆ’14 π‘§βˆ’1 1 βˆ’

12 π‘§βˆ’1

1 βˆ’1

2π‘§βˆ’1

π‘§βˆ’1 = 2

= 20

3

Selanjutnya menjadi:

𝑋 𝑧 =4

3+

βˆ’ 203

1 βˆ’14 π‘§βˆ’1

+ 203

1 βˆ’12 π‘§βˆ’1

Dengan melihat pasangan transformasi-z pada tabel 4.1 dan DK dari 𝑋 𝑧 adalah

𝑧 >1

2 maka sinyal diskrit π‘₯(𝑛) merupakan urutan sisi kanan dan diperoleh sebagai

berikut:

π‘₯ 𝑛 =4

3𝛿(𝑛) βˆ’

20

3

1

4

𝑛

𝑒(𝑛) +20

3

1

2

𝑛

𝑒(𝑛)

Jika 𝑋 𝑧 mempunyai pole jamak dan 𝑀 β‰₯ 𝑁 maka selanjutnya pers (4.11) harus

dimodifikasi. Jika 𝑋 𝑧 mempunyai pole orde 𝑠 pada 𝑧 = 𝑑𝑖 dan semua pole-pole

lainnya merupakan orde pertama, maka pers (4.11) menjadi

𝑋 𝑧 = π΅π‘Ÿ

π‘€βˆ’π‘

π‘Ÿ=0

π‘§βˆ’π‘Ÿ + π΄π‘˜

1 βˆ’ π‘‘π‘˜π‘§βˆ’1 +

πΆπ‘š

(1 βˆ’ π‘‘π‘–π‘§βˆ’1)π‘š

𝑠

π‘š=1

𝑁

π‘˜=1,π‘˜β‰ π‘–

(4.12)

Koefisien π΅π‘Ÿ dan π΄π‘˜ dapat dicari dengan cara yang sama dengan sebelumnya,

sedangkan πΆπ‘š dicari dengan cara sebagai berikut:

πΆπ‘š =

1

𝑠 βˆ’ π‘š ! βˆ’π‘‘π‘– π‘ βˆ’π‘š

π‘‘π‘ βˆ’π‘š

π‘‘π‘€π‘ βˆ’π‘š 1 βˆ’ 𝑑𝑖𝑀 𝑠𝑋 π‘€βˆ’1

𝑀=π‘‘π‘–βˆ’1

(4.13)

Page 68: Diktat PSD

Bab IV - 12

4.5 Sifat-sifat Transformasi-Z

Sifat-sifat transformasi-Z sangat membantu dalam menganalisa sinyal dan sistem

diskrit. Sebagai contoh, sifat-sifat ini sering digunakan dalam hubungannya dengan

transformasi-Z balik yang didiskusikan pada bagian 4.4 sebelumnya. Pada bagian ini,

kita menjelaskan sifat-sifat yang paling sering digunakan pada pengolahan sinyal digital.

Misalnya, 𝑋(𝑧) merupakan transformasi-z dari sinyal diskrit π‘₯(𝑛), dan DK dari 𝑋(𝑧)

dinyatakan dengan 𝑅π‘₯ , yaitu:

π‘₯(𝑛)𝑍 𝑋(𝑧), DK = 𝑅π‘₯

Seperti yang terlihat bahwa 𝑅π‘₯ merepresentasikan nilai-nilai z yang memenuhi

𝑅𝐷 < 𝑧 < 𝑅𝐿 .

Misalnya, dua sinyal diskrit π‘₯1(𝑛) dan π‘₯2(𝑛) mempunyai transformasi-Z yaitu 𝑋1(𝑧) dan

𝑋2(𝑧) dengan DK 𝑅π‘₯1 dan 𝑅π‘₯2 yang dinyatakan dengan pasangan transformasi-Z sebagai

berikut:

π‘₯1(𝑛)𝑍 𝑋1(𝑧), DK = 𝑅π‘₯1

π‘₯2(𝑛)𝑍 𝑋2(𝑧), DK = 𝑅π‘₯2

maka:

1. Linieritas

Sifat linier dapat dinyatakan

π‘Žπ‘₯1 𝑛 + 𝑏π‘₯2 𝑛 𝑍 π‘Žπ‘‹1 𝑧 + 𝑏𝑋2 𝑧 , DK = 𝑅π‘₯1 ∩ 𝑅π‘₯2

DK dari penjumlahan dua sinyal diskrit merupakan irisan dari kedua DK sinyal

tersebut. Pada contoh 4.3 menunjukkan sifat linieritas.

2. Penggeseran waktu (Time Shifting)

Sifat penggeseran waktu dapat dinyatakan sebagai berikut:

π‘₯(𝑛 βˆ’ 𝑑)𝑍 π‘§βˆ’π‘‘π‘‹(𝑧), DK = 𝑅π‘₯

Apabila nilai 𝑑 positif maka sinyal π‘₯(𝑛) mengalami waktu tunda (delay) sebesar

𝑑 dan bila 𝑑 negatif maka sinyal π‘₯(𝑛) mengalami penggeseran maju (digeser ke

kiri). Penurunan sifat ini dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan

transformasi-z, misalnya 𝑦 𝑛 = π‘₯(𝑛 βˆ’ 𝑑), maka transformasi-z dari 𝑦(𝑛) adalah

π‘Œ 𝑧 = π‘₯(𝑛 βˆ’ 𝑑)

∞

𝑛=βˆ’βˆž

π‘§βˆ’π‘›

dengan mensubstitusikan π‘š = 𝑛 βˆ’ 𝑑 maka

Page 69: Diktat PSD

Bab IV - 13

π‘Œ 𝑧 = π‘₯(π‘š)

∞

π‘š=βˆ’βˆž

π‘§βˆ’(π‘š+𝑑) = π‘§βˆ’π‘‘ π‘₯(π‘š)π‘§βˆ’π‘š

∞

βˆ’βˆž

= π‘§βˆ’π‘‘π‘‹(𝑧)

Contoh 4.8:

Tentukan transformasi z dari sinyal diskrit π‘₯ 𝑛 = 1

2

π‘›βˆ’3

𝑒(𝑛 βˆ’ 3).

Penyelesaian:

𝑋 𝑧 =π‘§βˆ’3

1 βˆ’12 π‘§βˆ’1

dimana DK dari 𝑋(𝑧) adalah 𝑧 >1

2

3. Perkalian dengan urutan eksponensial

Sifat perkalian eksponensial secara matematik dapat dinyatakan sebagai berikut:

π‘Žπ‘›π‘₯(𝑛)𝑍 𝑋(𝑧/π‘Ž), DK = π‘Ž 𝑅π‘₯

Notasi DK = π‘Ž 𝑅π‘₯menyatakan bahwa DK tersebut merupakan 𝑅π‘₯ yang diskala

dengan π‘Ž .

Contoh 4.9:

Tentukan transformasi z dari sinyal diskrit π‘₯ 𝑛 berikut:

π‘₯ 𝑛 = π‘Žπ‘› . π‘π‘œπ‘  πœ”π‘œπ‘› 𝑒(𝑛)

Penyelesaian:

Sinyal diskrit π‘₯ 𝑛 tersebut diubah dalam bentuk sebagai berikut:

π‘₯(𝑛) =1

2π‘Žπ‘›π‘’π‘—πœ”π‘œπ‘›π‘’(𝑛) +

1

2π‘Žπ‘›π‘’βˆ’π‘—πœ”π‘œπ‘›π‘’(𝑛)

π‘₯(𝑛) =1

2 π‘Žπ‘’π‘—πœ”π‘œ

𝑛𝑒(𝑛) +

1

2 π‘Žπ‘’βˆ’π‘—πœ”π‘œ

𝑛𝑒(𝑛)

Dari bentuk tersebut kita bisa melihat pada tabel 4.1 sehingga transformasi z

dari π‘₯ 𝑛 adalah:

𝑋 𝑧 =1/2

1 βˆ’ π‘Žπ‘’π‘—πœ”π‘œπ‘§βˆ’1 +

1/2

1 βˆ’ π‘Žπ‘’βˆ’π‘—πœ”π‘œπ‘§βˆ’1

Page 70: Diktat PSD

Bab IV - 14

𝑋 𝑧 =

12 1 βˆ’ π‘Žπ‘’βˆ’π‘—πœ”π‘œπ‘§βˆ’1 +

12 1 βˆ’ π‘Žπ‘’π‘—πœ”π‘œπ‘§βˆ’1

1 βˆ’ π‘Žπ‘’π‘—πœ”π‘œπ‘§βˆ’1 1 βˆ’ π‘Žπ‘’βˆ’π‘—πœ”π‘œπ‘§βˆ’1

𝑋 𝑧 =1 βˆ’ π‘Ž. π‘π‘œπ‘  πœ”π‘œ 𝑧

βˆ’1

1 βˆ’ 2π‘Ž. π‘π‘œπ‘  πœ”π‘œ π‘§βˆ’1 + π‘Ž2π‘§βˆ’2

dimana DK dari 𝑋(𝑧) adalah 𝑧 > π‘Ž

4. Diferensiasi dari 𝑿(𝒛)

Sifat diferensiasi menyatakan bahwa

𝑛π‘₯(𝑛)𝑍 βˆ’ 𝑧

𝑑𝑋(𝑧)

𝑑𝑧 dimana DK = 𝑅π‘₯

Kita bisa ilustrasikan fungsi dari sifat diferensiasi dengan contoh.

Contoh 4.10:

Tentukan transformasi z dari sinyal diskrit π‘₯ 𝑛 berikut:

π‘₯ 𝑛 = 𝑛. π‘Žπ‘›π‘’(𝑛)

Penyelesaian:

Dengan menggunakan sifat diferensiasi maka

𝑋 𝑧 = βˆ’π‘§π‘‘

𝑑𝑧

1

1 βˆ’ π‘Žπ‘§βˆ’1 =

π‘Žπ‘§βˆ’1

1 βˆ’ π‘Žπ‘§βˆ’1 2

dimana DK dari 𝑋(𝑧) adalah 𝑧 > π‘Ž

5. Konjugasi sinyal komplek

Sifat konjugasi dinyatakan sebagai berikut

π‘₯βˆ— 𝑛 𝑍 π‘‹βˆ— (π‘§βˆ—) dimana DK = 𝑅π‘₯

6. Refleksi waktu (time reversal)

Sifat time reversal

π‘₯βˆ— βˆ’π‘› 𝑍 π‘‹βˆ— (1/π‘§βˆ—) dimana DK = 1/𝑅π‘₯

Page 71: Diktat PSD

Bab IV - 15

Jika sinyal π‘₯ 𝑛 real atau sinyal tersebut tidak memilki konjugasi sinyal komplek,

hasilnya menjadi

π‘₯ βˆ’π‘› 𝑍 𝑋 (1/𝑧) dimana DK = 1/𝑅π‘₯

Contoh 4.11:

Tentukan transformasi z dari sinyal diskrit π‘₯ 𝑛 berikut:

π‘₯ 𝑛 = π‘Žβˆ’π‘›π‘’(βˆ’π‘›)

Penyelesaian:

sinyal π‘₯ 𝑛 tersebut merupakan sifat time reversal dari π‘Žπ‘›π‘’(𝑛), dengan sifat

time reversal diperoleh

𝑋 𝑧 =1

1 βˆ’ π‘Žπ‘§

dimana DK dari 𝑋(𝑧) adalah 𝑧 > 1/π‘Ž

7. Konvolusi sinyal diskrit

Sifat konvolusi dua sinyal diskrit adalah

π‘₯1 𝑛 βˆ— π‘₯2 𝑛 𝑍 𝑋1 𝑧 𝑋2 (𝑧) dimana DK = 𝑅π‘₯1 ∩ 𝑅π‘₯2

Sifat konvolusi tersebut dapat diturunkan sebagai berikut:

𝑦(𝑛) = π‘₯1 π‘˜ . π‘₯2(𝑛 βˆ’ π‘˜)

π‘˜=∞

π‘˜=βˆ’βˆž

π‘Œ(𝑧) = 𝑦 𝑛 π‘§βˆ’π‘› =

∞

𝑛=βˆ’βˆž

π‘₯1 π‘˜ . π‘₯2(𝑛 βˆ’ π‘˜)π‘§βˆ’π‘›

π‘˜=∞

π‘˜=βˆ’βˆž

∞

𝑛=βˆ’βˆž

π‘Œ(𝑧) = π‘₯1 π‘˜

π‘˜=∞

π‘˜=βˆ’βˆž

π‘₯2(𝑛 βˆ’ π‘˜)π‘§βˆ’π‘›

∞

𝑛=βˆ’βˆž

Kita ubah indek penjumlahan kedua dari 𝑛 menjadi π‘š = 𝑛 βˆ’ π‘˜, kita peroleh

π‘Œ(𝑧) = π‘₯1 π‘˜

π‘˜=∞

π‘˜=βˆ’βˆž

π‘₯2(π‘š)π‘§βˆ’(π‘š+π‘˜)

∞

π‘š=βˆ’βˆž

Page 72: Diktat PSD

Bab IV - 16

π‘Œ(𝑧) = π‘₯1 π‘˜ π‘§βˆ’π‘˜

π‘˜=∞

π‘˜=βˆ’βˆž

π‘₯2 π‘š π‘§βˆ’π‘š = 𝑋1 𝑧 . 𝑋2(𝑧)

∞

π‘š=βˆ’βˆž

Contoh 4.12:

Tentukan transformasi z dari keluaran sistem LTI yang mempunya respons

impuls β„Ž 𝑛 bila diberi sinyal input π‘₯ 𝑛 , dimana π‘₯ 𝑛 dan β„Ž 𝑛 sebagai berikut:

π‘₯ 𝑛 = (1

2)𝑛𝑒(𝑛) dan β„Ž 𝑛 = (

1

3)𝑛𝑒(𝑛)

Penyelesaian:

𝒀 𝒛 =

1

(1 βˆ’12 π‘§βˆ’1)

.1

(1 βˆ’13 π‘§βˆ’1)

DK 𝑧 >1

2

π‘Œ 𝑧 =𝑧2

(𝑧 βˆ’12) 𝑧 βˆ’

13

DK 𝑧 >1

2

Gambar bidang z dengan pole-zeronya adalah

Gambar 4.5 Bidang-z untuk contoh 4.12

8. Teori nilai awal

Jika π‘₯(𝑛) sama dengan nol untuk 𝑛 < 0 (jika π‘₯(𝑛) merupakan Kausal), nilai awal

π‘₯(0) dapat diperoleh dari 𝑋(𝑧) sebagai berikut :

π‘₯ 0 = limπ‘§β†’βˆž 𝑋(𝑧)

𝑅𝑒(𝑧)

πΌπ‘š(𝑧)

1/3 0 1/2

π‘§π‘’π‘Ÿπ‘œ π‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘”π‘˜π‘Žπ‘

Page 73: Diktat PSD

Bab IV - 17

Tabel 4.2 Sifat-sifat Transformasi-z

No Sifat Sinyal diskrit Transformasi-z Daerah

konvergensi

1 Linieritas π‘Žπ‘₯1 𝑛 + 𝑏π‘₯2(𝑛) π‘Žπ‘‹1 𝑧 + 𝑏𝑋2(𝑧) 𝑅π‘₯1 ∩ 𝑅π‘₯2

2 Pergeseran

waktu π‘₯(𝑛 βˆ’ 𝑑) π‘§βˆ’π‘‘π‘‹(𝑧) 𝑅π‘₯

3 Perkalian

eksponensial π‘Žπ‘›π‘₯(𝑛) 𝑋

𝑧

π‘Ž π‘Ž 𝑅π‘₯

4 Diferensiasi 𝑛π‘₯(𝑛) βˆ’π‘§π‘‘π‘‹(𝑧)

𝑑𝑧 𝑅π‘₯

5 Konjugasi π‘₯βˆ—(𝑛) π‘‹βˆ—(π‘§βˆ—) 𝑅π‘₯

6 Refleksi waktu

π‘₯(βˆ’π‘›) 𝑋(π‘§βˆ’1) 1/𝑅π‘₯

7 Konvolusi π‘₯1 𝑛 βˆ— π‘₯2(𝑛) 𝑋1 𝑧 . 𝑋2(𝑧) 𝑅π‘₯1 ∩ 𝑅π‘₯2

4.6 Analisa Sistem LTI menggunakan Transformasi-Z

Sistem LTI dapat dinyatakan dengan persamaan beda koefisien konstan linier orde-N

mempunyai bentuk:

π‘Žπ‘˜

𝑁

π‘˜=0

𝑦 𝑛 βˆ’ π‘˜ = π‘π‘˜

𝑀

π‘˜=0

π‘₯ 𝑛 βˆ’ π‘˜ (4.14)

Transformasi-z dari persamaan 4.14 adalah

π‘Žπ‘˜

𝑁

π‘˜=0

π‘§βˆ’π‘˜π‘Œ(𝑧) = π‘π‘˜

𝑀

π‘˜=0

π‘§βˆ’π‘˜π‘‹(𝑧) (4.15)

Fungsi transfer 𝐻 𝑧 dari sistem LTI menjadi dapat diperoleh dari pers (4.15) sebagai

berikut:

𝐻 𝑧 =

π‘Œ 𝑧

𝑋 𝑧 =

π‘π‘˜π‘§βˆ’π‘˜π‘€π‘˜=0

π‘Žπ‘˜π‘§βˆ’π‘˜π‘π‘˜=0

(4.16)

Berdasarkan fungsi transfer 𝐻(𝑧) kita dapat mengevaluasi sistem LTI dengan melihat

DKnya, yaitu:

1. Kausalitas

Sistem LTI dikatakan kausal apabila DK dari 𝐻(𝑧) berada diluar pole terluar.

2. Stabilitas

Sistem LTI dikatakan stabil BIBO apabila lingkaran satu termasuk DK dari 𝐻(𝑧).

Page 74: Diktat PSD

Bab IV - 18

Contoh 4.13:

Sistem linier time-invariant bersifat kausal mempunyai fungsi transfer :

𝐻 𝑧 =(1 βˆ’

12 π‘§βˆ’1)

(1 +13 π‘§βˆ’1)(1 βˆ’

34 π‘§βˆ’1)

(4.17)

Apakah sistem tersebut stabil? Jelaskan.

Penyelesaian:

Sistem tersebut mempunyai pole-zero sebagai berikut:

𝐻 𝑧 =(1 βˆ’

12 π‘§βˆ’1)

(1 +13 π‘§βˆ’1)(1 βˆ’

34 π‘§βˆ’1)

.𝑧2

𝑧2=

𝑧(𝑧 βˆ’12)

(𝑧 +13)(𝑧 βˆ’

34)

Nilai zero pada 𝑧1 = 0 dan 𝑧2 = 1/2 sedangkan nilai pole terdapat pada 𝑧1 = βˆ’1/3 dan

𝑧2 = 3/4. Fungsi sistem bersifat kausal maka DKnya berada diluar pole terbesar/terluar

sehingga DKnya 𝑧 > 3/4, sehingga lingkaran satu termasuk DK dari 𝐻(𝑧). Gambar

pole-zero beserta DK dari 𝐻(𝑧) dapat dilihat pada gambar 4.6.

Gambar 4.6 Bidang-z untuk contoh 4.13

Lingkaran satu

𝑅𝑒(𝑧)

πΌπ‘š(𝑧)

1 0 3

4

1

2 βˆ’

1

3

Page 75: Diktat PSD

Bab IV - 19

SOAL LATIHAN

4.1 Tentukan transformasi-z, pole-zero, termasuk DK-nya dan gambar bidang z dari

sinyal diskrit berikut:

a. π‘₯ 𝑛 = 1

4

𝑛

𝑒(𝑛) d. π‘₯ 𝑛 = 𝛿(𝑛 βˆ’ 2)

b. π‘₯ 𝑛 = 1

5

𝑛

𝑒(βˆ’π‘› βˆ’ 1) e. π‘₯ 𝑛 = 𝛿(𝑛 + 3)

c. π‘₯ 𝑛 = 1

4

𝑛

𝑒(βˆ’π‘›) f. π‘₯ 𝑛 = 1/2 𝑛 𝑒 𝑛 βˆ’ 2 βˆ’ 𝑒(𝑛 βˆ’ 12)

4.2 Tentukan transformasi-z, pole-zero, termasuk DK-nya dan gambar bidang z dari

sinyal diskrit berikut:

a. π‘₯ 𝑛 = π‘Ž 𝑛 , 0 < π‘Ž < 1

b. π‘₯ 𝑛 = 1, 0 ≀ 𝑛 ≀ 𝑁 βˆ’ 1

0, π‘’π‘›π‘‘π‘’π‘˜ 𝑛 π‘™π‘Žπ‘–π‘›π‘›π‘¦π‘Ž

4.3 Transformasi-z dari 𝑋(𝑧) yang mempunyai pole-zero seperti ditunjukkan pada

gambar 4.6.

a. Tentukan DK dari 𝑋(𝑧) jika 𝑋 𝑧 mempunyai transformasi Fourier. Untuk kasus

ini, tentukan apakah sinyal diskrit π‘₯(𝑛) merupakan urutan sisi kanan, urutan sisi

kiri, atau urutan dua sisi.

b. Berapa banyak kemungkinan urutan dua sisi yang mempunyai gambar pole-zero

seperti pada gambar 4.6

c. Apakah mungkin gambar pole-zero sperti pada gambar 4.6 tersebut dapat

dikatagerikan sebagai urutan yang stabil BIBO dan kausal? Kalau mungkin

tentukan DK-nya?

Gambar 4.6 Pole-zero sistem LTI

𝑅𝑒(𝑧) 1

2

0

πΌπ‘š(𝑧)

3

2

2 -1

Page 76: Diktat PSD

Bab IV - 20

4.4 Tentukan sinyal diskrit π‘₯(𝑛) bila transformasi-z nya adalah

𝑋 𝑧 = 1 + 𝑧 1 + 2π‘§βˆ’1 1 βˆ’ 4π‘§βˆ’1

4.5 Tentukan sinyal diskrit π‘₯(𝑛) dibawah yang beberapa transformasi-z nya adalah

a. 𝑋(𝑧) =1

1 +14 π‘§βˆ’1

𝑧 >1

4

b. 𝑋(𝑧) =

1

1 +14 π‘§βˆ’1

𝑧 <1

4

c. 𝑋(𝑧) =1 βˆ’

12 π‘§βˆ’1

1 +34 π‘§βˆ’1 +

18 π‘§βˆ’2

𝑧 >1

2

d. 𝑋(𝑧) =1 +

13 π‘§βˆ’1

1 βˆ’12 π‘§βˆ’1

2 𝑧 >1

2

e. 𝑋(𝑧) =1 βˆ’ 2π‘§βˆ’1

π‘§βˆ’1 βˆ’ 2 𝑧 >

1

2

4.6 Sistem LTI kausal bila diberi input π‘₯ 𝑛 = 𝑒 βˆ’π‘› βˆ’ 1 + 1

2

𝑛

𝑒(𝑛) akan

menghasilkan keluaran yang mempunyai transformasi-z berikut

π‘Œ(𝑧) =βˆ’

12 π‘§βˆ’1

1 βˆ’12 π‘§βˆ’1 1 + π‘§βˆ’1

a. Tentukan transformasi-z dari respons impuls sistem tersebut, beserta DK-

nya.

b. Tentukan DK dari π‘Œ(𝑧).

c. Tentukan 𝑦(𝑛),

4.7 Suatu fungsi sistem dari sistem LTI kausal adalah

𝐻(𝑧) =1 βˆ’ π‘§βˆ’1

1 +34 π‘§βˆ’1

Input sistem tersebut adalah π‘₯ 𝑛 = 𝑒 βˆ’π‘› βˆ’ 1 + 1

3

𝑛

𝑒(𝑛)

a. Tentukan respons impuls sistem tersebut

Page 77: Diktat PSD

Bab IV - 21

b. Tentukan sinyal keluaran sistem tersebut.

c. Apakah sistem tersebut stabil BIBO? Apakah respons impuls dapat

dijumlahkan secara absolut?

4.8 Sistem LTI kausal mempunyai respons impuls β„Ž(𝑛), yang transformasi-z nya adalah

𝐻(𝑧) =1 + π‘§βˆ’1

1 βˆ’12 π‘§βˆ’1 1 +

14 π‘§βˆ’1

a. Tentukan DK dari 𝐻(𝑧).

b. Apakah sistem tersebut stabil? Jelaskan

c. Tentukan input π‘₯(𝑛) bila akan menghasilkan sinyal keluaran

𝑦 𝑛 = βˆ’1

3 βˆ’

1

4

𝑛

𝑒 𝑛 βˆ’4

3 2 𝑛𝑒(βˆ’π‘› βˆ’ 1)

d. Hitung respons impuls β„Ž(𝑛) dari sistem tersebut.

4.9 Bila sinyal input sistem LTI adalah

x 𝑛 = 1

3

𝑛

𝑒 𝑛 + 2 𝑛𝑒(βˆ’π‘› βˆ’ 1)

menghasilkan sinyal output

𝑦 𝑛 = 5 1

3

𝑛

𝑒 𝑛 βˆ’ 5 2

3

𝑛

𝑒(𝑛)

a. Tentukan fungsi sistem 𝐻(𝑧) dari sistem tersebut. Gambar pole-zero pada

bidang z dan tentukan DK-nya.

b. Tentukan respons impuls sistem tersebut.

c. Tentukan persamaan beda yang menyatakan hubungan input output sistem

tersebut.

d. Apakah sistem tersebut stabil BIBO? Jelaskan.

e. Apakah sistem tersebut kausal? Jelaskan.

4.10 Perhatikan sistem LTI yang mempunyai hubungan input-output yang dinyatakan

dengan persamaan beda

𝑦 𝑛 βˆ’5

2𝑦 𝑛 βˆ’ 1 + 𝑦 𝑛 βˆ’ 2 = π‘₯ 𝑛 βˆ’ π‘₯(𝑛 βˆ’ 1)

Tentukan nilai yang mungkin pada respons impuls sistem β„Ž(𝑛) pada 𝑛 = 0.

4.11 Sistem LTI kausal mempunyai fungsi sistem

𝐻(𝑧) =1 + 2π‘§βˆ’1 + π‘§βˆ’2

1 βˆ’ π‘§βˆ’1 1 +12 π‘§βˆ’1

Page 78: Diktat PSD

Bab IV - 22

a. Hitung respons impuls β„Ž(𝑛) dari sistem tersebut.

b. Hitung output sistem bila inputnya

π‘₯ 𝑛 = 𝑒𝑗 πœ‹/2 𝑛

4.12 Perhatikan sistem LTI dengan respons impuls

β„Ž 𝑛 = π‘Žπ‘› , 𝑛 β‰₯ 00, 𝑛 < 0

dan input

π‘₯ 𝑛 = 1, 0 ≀ 𝑛 ≀ 𝑁 βˆ’ 1 0, π‘’π‘›π‘‘π‘’π‘˜ π‘™π‘Žπ‘–π‘›π‘›π‘¦π‘Ž

a. Tentukan output 𝑦(𝑛) dengan mengevaluasi secara eksplisit menggunakan

konvolusi diskrit antara π‘₯(𝑛) dan β„Ž(𝑛).

b. Tentukan output 𝑦(𝑛) dengan menggunakan transformasi-z balik dari perkalian

transformasi-z π‘₯(𝑛) dan β„Ž(𝑛).

4.13 Perhatikan sistem LTI stabil dan mempunyai fungsi transfer berikut

𝐻 𝑧 =3

1 +13 π‘§βˆ’1

Asumsikan bahwa input sistem berupa unit step.

a. Dapatkan output 𝑦(𝑛) dengan menggunakan konvolusi diskrit antara π‘₯(𝑛) dan

β„Ž(𝑛).

b. Tentukan output 𝑦(𝑛) dengan menggunakan transformasi-z balik dari π‘Œ(𝑧).

4.14 Perhatikan sistem LTI dikarakterisasi dengan fungsi sistem berikut

𝐻 𝑧 =1 βˆ’

12

π‘§βˆ’2

1 βˆ’12 π‘§βˆ’1 1 βˆ’

14 π‘§βˆ’1

𝑧 >1

2

a. Tentukan respons impuls sistem.

b. Apakah sistem tersebut stabil BIBO? Jelaskan.

c. Apakah sistem tersebut kausal? Jelaskan.

d. Tentukan persamaan beda yang menyatakan hubungan input π‘₯(𝑛) dan output

𝑦(𝑛) sistem.

4.15 Perhatikan sinyal π‘₯(𝑛) urutan sisi kanan yang mempunyai transformasi-z berikut

𝑋 𝑧 =1

1 βˆ’ π‘Žπ‘§βˆ’1 1 βˆ’ π‘π‘§βˆ’1 =

𝑧2

𝑧 βˆ’ π‘Ž 𝑧 βˆ’ 𝑏

Dengan menggunakan metode ekspansi pecahan parsial, tentukan sinyal diskrit

π‘₯(𝑛).

Page 79: Diktat PSD

Bab V - 1

Bab 5

Perencanaan Filter Digital

5.1 Pendahuluan

Filter digital merupakan suatu sistem diskrit yang digunakan untuk memfilter (frekuensi) sinyal input digital menjadi sinyal output digital sesuai yang diinginkan oleh disainer. Filter digital dikarakterisasi dengan persamaan beda koefisien konstan linier orde ke-N, selain itu dapat juga dinyatakan dalam respons impuls. Berdasarkan panjang deretan (durasi) respons impuls, filter digital dikelompokkan menjadi filter FIR (Finite Impulse Response) dan filter IIR (Infinite Impulse Response). Banyak contoh aplikasi filter digital yang dapat dijumpai pada bidang kedokteran, sistem komunikasi digital, sistem proteksi relay pada sistem kelistrikan, robotika, radar, sistem audio digital dan lain sebagainya. Disain filter digital dengan fasa linier dilakukan dengan metode pendekatan. Filter FIR didisain dengan pendekatan filter digital ideal sedangkan filter IIR didisain dengan pendekatan filter analog.

5.2 Filter Digital

Filter digital merupakan sistem linier time-invarian (LTI) yang melakukan proses dari input sinyal digital π‘₯π‘₯(𝑛𝑛) menjadi sinyal output digital 𝑦𝑦(𝑛𝑛). Sistem LTI dapat dikarakterisasi dengan respon impuls β„Ž(𝑛𝑛), fungsi sistem 𝐻𝐻(𝑧𝑧) dan persamaan beda koefisien konstan. Jika sistem tersebut mempunyai persamaan beda koefisien konstan linier orde-N sebagai berikut:

π‘Žπ‘Žπ‘˜π‘˜π‘¦π‘¦(𝑛𝑛 βˆ’ π‘˜π‘˜) = π‘π‘π‘˜π‘˜π‘₯π‘₯(𝑛𝑛 βˆ’ π‘˜π‘˜)𝑀𝑀

π‘˜π‘˜=0

𝑁𝑁

π‘˜π‘˜=0

(5.1)

Selanjutnya fungsi sistem dapat diperoleh dengan mentransformasi-z pers (5.1) menjadi:

𝐻𝐻(𝑧𝑧) =βˆ‘ π‘π‘π‘˜π‘˜π‘§π‘§βˆ’π‘˜π‘˜π‘€π‘€π‘˜π‘˜=0

βˆ‘ π‘Žπ‘Žπ‘˜π‘˜π‘§π‘§βˆ’π‘˜π‘˜π‘π‘π‘˜π‘˜=0

(5.2)

Jika sistem tersebut stabil BIBO, maka respons frekuensinya diperoleh dengan mengganti 𝑧𝑧 = 𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 menjadi

𝐻𝐻𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 =βˆ‘ π‘π‘π‘˜π‘˜π‘’π‘’βˆ’π‘—π‘—π‘—π‘—π‘€π‘€π‘˜π‘˜=0

βˆ‘ π‘Žπ‘Žπ‘˜π‘˜π‘’π‘’βˆ’π‘—π‘—π‘—π‘—π‘π‘π‘˜π‘˜=0

(5.3)

Page 80: Diktat PSD

Bab V - 2

5.3 Disain Filter Digital FIR

Filter FIR didisain dengan melakukan pendekatan ke filter digital ideal. Metode yang sering dijumpai menggunakan metode windowing. Cara yang paling mudah untuk mendapatkan filter FIR adalah membatasi panjang deretan respons impuls filter IIR. Jika β„Žπ‘‘π‘‘(𝑛𝑛) merepresentasikan respons impuls filter digital IIR yang diinginkan, maka filter FIR dengan respons impuls β„Ž(𝑛𝑛) dapat diperoleh sebagai berikut

β„Ž(𝑛𝑛) = β„Žπ‘‘π‘‘(𝑛𝑛), 𝑁𝑁1 ≀ 𝑛𝑛 ≀ 𝑁𝑁20, 𝑛𝑛 π‘™π‘™π‘Žπ‘Žπ‘™π‘™π‘›π‘›π‘›π‘›π‘¦π‘¦π‘Žπ‘Ž

(5.4)

Secara umum β„Ž(𝑛𝑛) dapat dibentuk dengan mengalikan β„Žπ‘‘π‘‘(𝑛𝑛) dengan fungsi window 𝑀𝑀(𝑛𝑛) sebagai berikut

β„Ž(𝑛𝑛) = β„Žπ‘‘π‘‘(𝑛𝑛).𝑀𝑀(𝑛𝑛) (5.5)

Respons impuls β„Ž(𝑛𝑛) pers (5.4) dapat dibentuk dari per (5.5) bila menggunakan fungsi window persegi (rectangular) yaitu

𝑀𝑀(𝑛𝑛) = 1, 𝑁𝑁1 ≀ 𝑛𝑛 ≀ 𝑁𝑁20, 𝑛𝑛 π‘™π‘™π‘Žπ‘Žπ‘™π‘™π‘›π‘›π‘›π‘›π‘¦π‘¦π‘Žπ‘Ž

(5.6)

Jika kita menyatakan 𝐻𝐻(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ), 𝐻𝐻𝑑𝑑(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ) dan π‘Šπ‘Š(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ) sebagai transformasi Fourier dari β„Ž(𝑛𝑛), β„Žπ‘‘π‘‘(𝑛𝑛) dan 𝑀𝑀(𝑛𝑛), maka respons frekuensi 𝐻𝐻(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ) dari filter hasil disain merupakan konvolusi antara 𝐻𝐻𝑑𝑑(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ) dan π‘Šπ‘Š(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ) sebagai berikut

𝐻𝐻𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 =1

2πœ‹πœ‹ 𝐻𝐻𝑑𝑑𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 .π‘Šπ‘Š(𝑒𝑒𝑗𝑗 (π‘—π‘—βˆ’π‘—π‘—))𝑑𝑑𝑗𝑗 =πœ‹πœ‹

βˆ’πœ‹πœ‹π»π»π‘‘π‘‘π‘’π‘’π‘—π‘—π‘—π‘— βˆ— π‘Šπ‘Š(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ) (5.7)

Sebagai ilustrasi, jika 𝐻𝐻𝑑𝑑(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ) merepresentasikan filter LPF ideal dengan frekuensi cutoff 𝑗𝑗𝑐𝑐 dan 𝑀𝑀(𝑛𝑛) merupakan window persegi pada titik asal, maka 𝐻𝐻(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ) seperti terlihat pada gambar 5.1. Dari gambar 5.1, respons frekuensi hasil disain 𝐻𝐻(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ) menyerupai respons frekuensi yang diinginkan 𝐻𝐻𝑑𝑑(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ).

Gambar 5.1 Respons Frekuensi hasil perkalian respons impuls β„Žπ‘‘π‘‘(𝑛𝑛) ideal dengan window persegi

βˆ’π‘—π‘—π‘π‘ 𝑗𝑗𝑐𝑐 πœ‹πœ‹ βˆ’πœ‹πœ‹

𝐻𝐻𝑑𝑑(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ) 𝐻𝐻(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 )

βˆ’π‘—π‘—π‘π‘ 𝑗𝑗𝑐𝑐

4πœ‹πœ‹/𝑁𝑁

πœ‹πœ‹

π‘Šπ‘Š(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 )

2πœ‹πœ‹/𝑁𝑁 πœ‹πœ‹

* =

Page 81: Diktat PSD

Bab V - 3

Beberapa fungsi window yang sering digunakan secara umum yaitu window persegi, Barlett, Hanning, Hamming, dan Blackman. Secara matematis fungsi window dengan panjang deretan N adalah:

1. Window persegi (rectangular)

𝑀𝑀𝑅𝑅(𝑛𝑛) = 1, 0 ≀ 𝑛𝑛 ≀ 𝑁𝑁 βˆ’ 10, 𝑛𝑛 π‘™π‘™π‘Žπ‘Žπ‘™π‘™π‘›π‘›π‘›π‘›π‘¦π‘¦π‘Žπ‘Ž

(5.8)

2. Window Barlett

𝑀𝑀𝐡𝐡(𝑛𝑛) =

⎩βŽͺ⎨

βŽͺ⎧

2𝑛𝑛𝑁𝑁 βˆ’ 1

, 0 ≀ 𝑛𝑛 ≀ (𝑁𝑁 βˆ’ 1)/2

2 βˆ’2𝑛𝑛

𝑁𝑁 βˆ’ 1,𝑁𝑁 βˆ’ 1

2≀ 𝑛𝑛 ≀ 𝑁𝑁 βˆ’ 1

0, 𝑛𝑛 π‘™π‘™π‘Žπ‘Žπ‘™π‘™π‘›π‘›π‘›π‘›π‘¦π‘¦π‘Žπ‘Ž

(5.9)

3. Window Hanning

π‘€π‘€π»π»π‘Žπ‘Žπ‘›π‘› (𝑛𝑛) = 0.5. 1 βˆ’ cos[2πœ‹πœ‹π‘›π‘›π‘π‘ βˆ’ 1

] , 0 ≀ 𝑛𝑛 ≀ 𝑁𝑁 βˆ’ 1

0, 𝑛𝑛 π‘™π‘™π‘Žπ‘Žπ‘™π‘™π‘›π‘›π‘›π‘›π‘¦π‘¦π‘Žπ‘Ž (5.10)

4. Window Hamming

π‘€π‘€π»π»π‘Žπ‘Žπ»π» (𝑛𝑛) = 0.54 βˆ’ 0.46 cos 2πœ‹πœ‹π‘›π‘›π‘π‘ βˆ’ 1

, 0 ≀ 𝑛𝑛 ≀ 𝑁𝑁 βˆ’ 1

0, 𝑛𝑛 π‘™π‘™π‘Žπ‘Žπ‘™π‘™π‘›π‘›π‘›π‘›π‘¦π‘¦π‘Žπ‘Ž (5.11)

5. Window Blackman

𝑀𝑀𝐡𝐡𝑙𝑙(𝑛𝑛) = 0.42 βˆ’ 0.5 cos 2πœ‹πœ‹π‘›π‘›π‘π‘ βˆ’ 1

+ 0.08 cos 4πœ‹πœ‹π‘›π‘›π‘π‘ βˆ’ 1

, 0 ≀ 𝑛𝑛 ≀ 𝑁𝑁 βˆ’ 1

0, 𝑛𝑛 π‘™π‘™π‘Žπ‘Žπ‘™π‘™π‘›π‘›π‘›π‘›π‘¦π‘¦π‘Žπ‘Ž (5.12)

5.3.1 Prosedur Disain Filter Digital FIR

Filter LPF ideal yang mempunyai fasa linier dengan slope –𝛼𝛼 dan frekuensi cutoff 𝑗𝑗𝑐𝑐 dapat dinyatakan dalam domain frekuensi

𝐻𝐻𝑑𝑑(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ) = π‘’π‘’βˆ’π‘—π‘—π›Όπ›Όπ‘—π‘— , |𝑗𝑗| ≀ 𝑗𝑗𝑐𝑐

0, 𝑗𝑗𝑐𝑐 < |𝑗𝑗| < πœ‹πœ‹ (5.13)

Respons impuls filter ideal β„Žπ‘‘π‘‘(𝑛𝑛) dapat diperoleh dengan mentransformasi Fourier balik 𝐻𝐻𝑑𝑑(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ) menjadi

Page 82: Diktat PSD

Bab V - 4

β„Žπ‘‘π‘‘(𝑛𝑛) =sin[𝑗𝑗𝑐𝑐(𝑛𝑛 βˆ’ 𝛼𝛼)]πœ‹πœ‹(𝑛𝑛 βˆ’ 𝛼𝛼)

(5.14)

Filter FIR kausal dengan respons impuls β„Ž(𝑛𝑛) dapat diperoleh dengan cara mengalikan β„Žπ‘‘π‘‘(𝑛𝑛) dengan sebuah fungsi window pada titik asal dan diakhiri pada titik 𝑁𝑁 βˆ’ 1 sebagai berikut

β„Ž(𝑛𝑛) = sin[𝑗𝑗𝑐𝑐(𝑛𝑛 βˆ’ 𝛼𝛼)]πœ‹πœ‹(𝑛𝑛 βˆ’ 𝛼𝛼) .𝑀𝑀(𝑛𝑛), 0 ≀ 𝑛𝑛 ≀ 𝑁𝑁 βˆ’ 1

0, 𝑛𝑛 π‘™π‘™π‘Žπ‘Žπ‘™π‘™π‘›π‘›π‘›π‘›π‘¦π‘¦π‘Žπ‘Ž (5.15)

Respons impuls β„Ž(𝑛𝑛) mempunyai fasa linier bila 𝛼𝛼 dipilih agar menghasilkan β„Ž(𝑛𝑛) yang simetris. Fungsi sin[𝑗𝑗𝑐𝑐(𝑛𝑛 βˆ’ 𝛼𝛼)] /πœ‹πœ‹(𝑛𝑛 βˆ’ 𝛼𝛼) pada pers (5.14) simetris pada 𝑛𝑛 = 𝛼𝛼 dan fungsi window simetris pada 𝑛𝑛 = (𝑁𝑁 βˆ’ 1)/2, sehingga filter β„Ž(𝑛𝑛) pada pers (5.15) mempunyai fasa linier jika simetris dan

𝛼𝛼 =𝑁𝑁 βˆ’ 1

2

5.3.2 Tahapan Disain Filter Digital FIR

Sebelum melakukan tahapan disain filter digital, kita harus membuat spesifikasi filter digital. Sebagai ilustrasi, kita merencanakan filter LPF dengan menentukan spesifikasi redaman passband maksimal 𝐾𝐾1 pada frekuensi cuoff 𝑗𝑗𝑐𝑐 , redaman stopband minimal 𝐾𝐾2 pada frekuensi 𝑗𝑗𝑠𝑠 seperti terlihat pada gambar 5.2.

Gambar 5.2 Spesifikasi Filter Digital LPF

𝐾𝐾1

𝐾𝐾2

𝑗𝑗𝑐𝑐 𝑗𝑗𝑠𝑠 𝑗𝑗 (rad)

0

20𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝐻𝐻𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑑𝑑𝐡𝐡

πœ‹πœ‹ 0

passband Transition band

stopband

Page 83: Diktat PSD

Bab V - 5

Langkah-langkah disain filter FIR secara iteratif sebagai berikut:

1. Memilih tipe window berdasarkan tabel 4.1 agar redaman stopband minimal sama dengan 𝐾𝐾2.

Tabel 4.1 Lebar pita transisi berdasarkan jenis window

Jenis Window Lebar transisi

Redaman stopband minimal (dB)

Konstanta (π‘˜π‘˜)

Persegi 4πœ‹πœ‹/𝑁𝑁 21 2 Barlett 8πœ‹πœ‹/𝑁𝑁 25 4

Hanning 8πœ‹πœ‹/𝑁𝑁 44 4 Hamming 8πœ‹πœ‹/𝑁𝑁 53 4 Blackman 12πœ‹πœ‹/𝑁𝑁 74 6

2. Menentukan panjang deretan window N (orde filter) agar memenuhi lebar band transisi sesuai dengan tipe window yang digunakan. Jika 𝑗𝑗𝑑𝑑 merupakan lebar band transisi, maka harus dipenuhi kondisi

𝑗𝑗𝑑𝑑 = 𝑗𝑗𝑠𝑠 βˆ’ 𝑗𝑗𝑐𝑐 β‰₯ π‘˜π‘˜.2πœ‹πœ‹π‘π‘

Dimana π‘˜π‘˜ tergantung pada tipe window yang digunakan sehingga

𝑁𝑁 β‰₯ π‘˜π‘˜.2πœ‹πœ‹

𝑗𝑗𝑠𝑠 βˆ’ 𝑗𝑗𝑐𝑐

3. Memilih frekuensi cutoff 𝑗𝑗𝑐𝑐 dan kemiringan fasa 𝛼𝛼 yaitu

𝛼𝛼 = (𝑁𝑁 βˆ’ 1)/2 Sehingga respons impulsnya menjadi

β„Ž(𝑛𝑛) =sin 𝑗𝑗𝑐𝑐 𝑛𝑛 βˆ’

𝑁𝑁 βˆ’ 12

πœ‹πœ‹ 𝑛𝑛 βˆ’ 𝑁𝑁 βˆ’ 12

.𝑀𝑀(𝑛𝑛)

4. Menggambar respons frekuensi 𝐻𝐻(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ), untuk N ganjil mempunyai persamaan

sebagai berikut

𝐻𝐻𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 = π‘’π‘’βˆ’π‘—π‘—π‘—π‘— (π‘π‘βˆ’1)/2.β„Ž 𝑁𝑁 βˆ’ 1

2 + 2β„Ž(𝑛𝑛)cos[𝑗𝑗(𝑛𝑛 βˆ’

𝑁𝑁 βˆ’ 12

)](π‘π‘βˆ’3)/2

𝑛𝑛=0

fasa linier magnitud

Page 84: Diktat PSD

Bab V - 6

Silakan dicek gambar pada langkah ke-4 berupa respon magnitud 20𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝐻𝐻𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑑𝑑𝐡𝐡, apakah sudah sesuai dengan spesifikasi yang direncanakan? Bila sudah sesuai, iterasi dihentikan.

5. Jika persyaratan redaman 𝐾𝐾1 pada 𝑗𝑗𝑐𝑐 tidak sesuai, diatur lagi nilai 𝑗𝑗𝑐𝑐 , biasanya lebih besar dari iterasi pertama. Selanjutnya ulangi langkah ke-4 dengan nilai 𝑗𝑗𝑐𝑐 yang baru tersebut.

6. Jika persyaratan respons frekuensi (respon magnitud dan fasa) sudah sesuai dengan yang diinginkan, cek lagi dengan mengurangi orde filter N. Selanjutnya ulangi langkah ke-4 dengan menggambar respons frekuensi. Pengurangan nilai N bertujuan untuk mengurangi processing delay (waktu tunda pengolahan pada sistem diskrit). Jika pengurangan nilai N tidak memungkinkan, maka iterasi dihentikan dan diperoleh respons impuls β„Ž(𝑛𝑛).

Prosedur diatas merupakan metode trial and error dan berusaha untuk mencapai respons frekuensi yang paling sesuai dengan yang diinginkan. Prosedur ini bukan merupakan optimalisasi hasil, tetapi memperoleh hasil disain yang mendekati. Contoh 1: Rencanakan filter digital LPF yang akan dipakai pada sistem digital A/D-H(z)-D/A, yang mempunyai redaman 3 dB pada frekuenasi cutoff 15 Hz dan redaman stopband 50 dB pada frekuensi 22,5 Hz. Filter tersebut diharapkan mempunyai fasa linier dan digunakan menggunkan frekuensi sampling 100 Hz. Penyelesaian: Spesifikasi filter LPF berdasarkan data yang diketahui sebagai baerikut 𝑗𝑗𝑐𝑐 = 2πœ‹πœ‹fc/fsamp = 2πœ‹πœ‹.(15/100) = 0.3πœ‹πœ‹ rad pada 𝐾𝐾1 ≀ 3 𝑑𝑑𝐡𝐡 𝑗𝑗𝑠𝑠 = 2πœ‹πœ‹fs/fsamp = 2πœ‹πœ‹.(22.5/100) = 0.45πœ‹πœ‹ rad pada 𝐾𝐾2 β‰₯ 50 𝑑𝑑𝐡𝐡

-3 dB

0.3πœ‹πœ‹ 𝑗𝑗 (rad)

0

20𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝐻𝐻𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑑𝑑𝐡𝐡

πœ‹πœ‹ 0

-50 dB

0.45πœ‹πœ‹

Page 85: Diktat PSD

Bab V - 7

Langkah 1: Untuk memperoleh redaman stopband minimal 50 dB, berdasarkan tabel 4.1 maka kita bisa menggunakan window Hamming atau Blackman. Sebagai contoh dalam hal ini, kita pilih menggunakan window Hamming. Langkah 2: Menentukan ukuran window 𝑁𝑁 (orde filter) berdasarkan lebar pita transisi pada tabel 4.1 sesuai dengan tipe window yang digunakan, dalam contoh ini menggunakan Hamming, sehingga

𝑁𝑁 β‰₯ π‘˜π‘˜.2πœ‹πœ‹

𝑗𝑗𝑠𝑠 βˆ’ 𝑗𝑗𝑐𝑐= 4.

2πœ‹πœ‹0.45πœ‹πœ‹ βˆ’ 0.3πœ‹πœ‹

= 53.3

Untuk memperoleh delay integer, dipilih nilai 𝑁𝑁 ganjil, sehingga 𝑁𝑁 = 55. Langkah 3: Menentukan frekuensi cuoff dan slope dari fasa adalah 𝑗𝑗𝑐𝑐 = 0.3πœ‹πœ‹ dan 𝛼𝛼 = (𝑁𝑁 βˆ’ 1)/2 = 27 Selanjutnya diperoleh respons impuls β„Ž(𝑛𝑛) untuk window Hamming sebagai berikut:

β„Ž(𝑛𝑛) =sin[0.3πœ‹πœ‹(𝑛𝑛 βˆ’ 27)]

πœ‹πœ‹(𝑛𝑛 βˆ’ 27) . 0.54 βˆ’ 0.46 cos 2πœ‹πœ‹π‘›π‘›54

, π‘’π‘’π‘›π‘›π‘‘π‘‘π‘’π‘’π‘˜π‘˜ 0 ≀ 𝑛𝑛 ≀ 54

Langkah 4: Menggunakan nilai-nilai β„Ž(𝑛𝑛) untuk menggambar respons magnitud dari filter hasil disain dengan menggunakan persamaan pada langkah ke-4 disain filter FIR. Selain itu dapat juga dengan tahapan berikut:

β„Ž(0) = β„Ž(54) = . . . β„Ž(1) = β„Ž(53) = . . . β„Ž(2) = β„Ž(52) = . . . β„Ž(3) = β„Ž(51) = . . .

.

.

. β„Ž(26) = β„Ž(28) = . . .

β„Ž(27) = 0.3

β„Ž(𝑛𝑛) = β„Ž(0)𝛿𝛿(𝑛𝑛) + β„Ž(1)𝛿𝛿(𝑛𝑛 βˆ’ 1) + … + β„Ž(27)𝛿𝛿(𝑛𝑛 βˆ’ 27) + … + β„Ž(54)𝛿𝛿(𝑛𝑛 βˆ’ 54)

𝐻𝐻(𝑧𝑧) = β„Ž(0) + β„Ž(1)π‘§π‘§βˆ’1 + … + β„Ž(27)π‘§π‘§βˆ’27 + … + β„Ž(54)π‘§π‘§βˆ’54

𝐻𝐻(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ) = β„Ž(0) + β„Ž(1)π‘’π‘’βˆ’π‘—π‘—π‘—π‘— + … + β„Ž(27)π‘’π‘’βˆ’π‘—π‘—27𝑗𝑗 + … + β„Ž(54)π‘’π‘’βˆ’π‘—π‘—54𝑗𝑗

Page 86: Diktat PSD

Bab V - 8

Karena respons frekuensi yang dihasilkan mempunyai koefisien yang simetris maka dapat dibuat bentuk yang kompak berikut

𝐻𝐻𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 = π‘’π‘’βˆ’π‘—π‘—27𝑗𝑗 . β„Ž(27) + 2β„Ž(𝑛𝑛)cos[𝑗𝑗(𝑛𝑛 βˆ’ 27)]26

𝑛𝑛=0

Gambar respons magnitud hasil disain dapat dilihat pada gambar 5.3 sedangkan persamaan bedanya adalah

𝑦𝑦(𝑛𝑛) = β„Ž(0)π‘₯π‘₯(𝑛𝑛) + β„Ž(1)π‘₯π‘₯(𝑛𝑛 βˆ’ 1) + … + β„Ž(27)π‘₯π‘₯(𝑛𝑛 βˆ’ 27) + … + β„Ž(54)π‘₯π‘₯(𝑛𝑛 βˆ’ 54)

Gambar 5.3 Respons magnitud filter LPF hasil disain

fasa linier magnitud

Page 87: Diktat PSD

Bab V - 9

SOAL LATIHAN

1. Diketahui respons impus filter mempunyai persamaan

β„Ž(𝑛𝑛) = 1/21 βˆ’ cos 2πœ‹πœ‹π‘›π‘›100

. sin[0.2πœ‹πœ‹(𝑛𝑛 βˆ’ 50)]

πœ‹πœ‹(𝑛𝑛 βˆ’ 50)] , 0 ≀ 𝑛𝑛 ≀ 100

0, 𝑛𝑛 π‘™π‘™π‘Žπ‘Žπ‘™π‘™π‘›π‘›π‘›π‘›π‘¦π‘¦π‘Žπ‘Ž

a. Sketsa respons magnitud 𝐻𝐻(𝑒𝑒𝑗𝑗𝑗𝑗 ) dalam dB dan hitung nilai-nilainya pada titik kritis (pada 𝑗𝑗 = 𝑗𝑗𝑐𝑐 dan 𝑗𝑗 = 𝑗𝑗𝑠𝑠).

b. Jika filter tersebut diberi input π‘₯π‘₯(𝑛𝑛) = sin(0.35πœ‹πœ‹π‘›π‘›), maka input tersebut berada pada daerah mana? passband, transition band, atau stopband?

c. Tentukan persamaan beda filter tersebut?

2. Sinyal analog mempunyai pita frekuensi 0 – 10 kHz disampling dengan frekuensi sampling 50 kHz. Kita ingin meloloskan sinyal tersebut dengan menggunakan filter digital FIR yang mempunyai lebar band transisi tidak lebih dari 5 kHz dengan redaman stopband minimal 40 dB. Kita menginginkan fase linier pada daerah passband. Rencanakan filter FIR tersebut dan gambar respons magnitudnya.

3. Filter bandpass digital disyaratkan mempunyai redaman 3 dB pada frekuensi cutoff bawah 0.4πœ‹πœ‹ rad dan 3 dB pada frekuensi cutoff atas 0.5πœ‹πœ‹ rad. Lebar transition band untuk frekuensi bawah maupun atas adalah 0.1πœ‹πœ‹ dengan redaman stopband minimal 40 dB. a. Hitung respons impuls β„Ž(𝑛𝑛) untuk filter FIR tersebut yang memenuhi

persyaratan diatas dengan menggunakan window Hamming. b. Tentukan persamaan beda hasil disain. c. Gambar respons magnitud filter FIR hasil disain.

Page 88: Diktat PSD

Filter digital IIR 1

5.4 FILTER DIGITAL IIR

1. STRUKTUR FILTER DIGITAL Berdasarkan hubungan antara deretan input x[n] dengan deretan output y[n] :

a. Rekursif y[n] = Fy[n-1], y[n-2], . . . , x[n], x[n-1], x[n-2], . . .

b. Non-Rekursif

y[n] = Fx[n], x[n-1], x[n-2], x[n-3], . . .

Berdasarkan panjang deretan h[n] : a. Infinite Impuls Response (IIR)

Panjang deretan h[n] tak terbatas Contoh : h[n] = (1/2)n u[n]

b. Finite Impuls Response (FIR)

Panjang deretan h[n] terbatas

Contoh : h[n] = [n] + [n-1] + 1/2.[n-2] + [n-4]

Struktur filter berdasarkan transf. Z Impulse response : H(z)

N

0k

M

0kkk

M

0k

kk

N

0k

kk

N

0k

kk

M

0k

kk

]kn[xb]kn[ya

zb).Z(Xza).Z(Y

za

zb

)Z(X

)Z(Y)Z(H

Untuk ao = 1, maka :

M

k

N

k

kk knyaknxbny0 1

][][][

Untuk salah satu ak 0; k [1,N] maka dinamakan filter rekursif/IIR

Untuk semua ak = 0; k [1,N] maka dinamakan filter non-rekursif/FIR

Page 89: Diktat PSD

Filter digital IIR 2

2. FILTER IIR

Syarat : Kausal : Respons impuls h[n] = 0, untuk n < 0

Stabil :

n

]n[h

Transformasi - Z :

n

N

1k

k

k

M

0k

k

k

n

za1

zb

z]n[h)Z(H

Syarat H(z) :

Minimum salah satu ak 0

Akar-akar dari penyebut tidak dihilangkan oleh akar-akar dari pembilang

Zero dapat berada disetiap tempat, pole harus terletak didalam lingkaran satuan

M N

KARAKTERISTIK FILTER IIR :

Magnitude Squared Respons : j1

2j ez,untuk,)z(H)z(H)e(H

Respons fasa

j

1

j

j1j

ez,untuk,)z(H

)z(Hln

j2

1e

atau

ez,untuk,)z(HRe

)z(HImtane

Group delay :

d

)e(d)e(

jj

g

Group delay artinya :

Berapa lama / cuplikan sinyal didelay.

Page 90: Diktat PSD

Filter digital IIR 3

Penentuan Koefisien Filter IIR

Menentukan bk dan ak agar respons filter (waktu, frekuensi, group delay) mendekati sifat yang dinginkan.

METODE PENDEKATAN Transformasi bilinier

Transformasi respons impuls Transformasi matched Z

TRANSFORMASI BILINIER

Definisi :

S

T2

ST

2z;

z1

z1

T

2S

1

1

dan T: frekuensi sampling

Bila ; S = j ,

jT

2

jT

2z

Untuk : = 0, maka : z = 1,

= , maka : z = -1,

Bila ; S = + j maka :

jT

2

jT

2z

Bila < 0 (bidang S sebelah kiri) maka 1Z sehingga daerah konvergensi didalam

linkaran satu

Fungsi transfer filter digital H(z) didapat dengan Transformasi Bilinier.

)z1(

)z1(.

T

2S

)S(H)z(H1

1

j

Bidang S

Re

Im Bidang Z

Page 91: Diktat PSD

Filter digital IIR 4

Hubungan Non-Linier :

Bila S = j dan z = ejT

yaitu,kecilTbilalinier,2

Ttan

T

2

2

Ttanj

T

2j

ee

ee

T

2

e1

e1

T

2j

2/Tj2/Tj

2/Tj2/Tj

Tj

Tj

atau dalam buku lain

1Tinormalisas,2

tanT

2

Page 92: Diktat PSD

Filter digital IIR 5

Prosedur disain filter digital menggunakan metode Transformasi Bilinier

Spesifikasi digital 1, 2, . . ., N

K1, K2, . . . , KN

Spesifikasi analog 1, 2, . . ., N

K1, K2, . . . , KN

Ha(S)

Dinginkan H(z)

disain filter analog

Digunakan Transformasi Bilinier

i = 2/T . tan(i/2)

S = 2/T. (1-z-1) (1+z-1)

Page 93: Diktat PSD

Filter digital IIR 6

Page 94: Diktat PSD

Filter digital IIR 7

PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR

METODE TRANSFORMASI BILINIER, pendekatan filter analog

BUTTERWORTH

LOW PASS FILTER (LPF) Magnitude Squared Response

Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi

s

iii

f

f2T

;

2tan

T

2 ii

;

1

2r

Menghitung orde LPF analog Butterworth normalisasi :

r

10/2K10/1K

1log.2

)]110/()110log[(n

Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.1 )

HLPF(S) = . . . . .

Fungsi transfer H(S) LPF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)

c

LPFas

SSHSH

)()( = . . . . . ., dimana :

nKc

2

110/1

1

110

Fungsi transfer H(Z) LPF digital hasil disain :

)z1(

)z1(.

T

2S

)S(H)z(H1

1

a

= . . . . . . . .

dB dB dB

0 0 0 K1

K2

K1

K2

K1

K2

1 2 1 2 1 r

Page 95: Diktat PSD

Filter digital IIR 8

PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR

METODE TRANSFORMASI BILINIER, pendekatan filter analog

BUTTERWORTH

HIGH PASS FILTER (HPF) Magnitude Squared Response

Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi

s

iii

f

f2T

;

2tan

T

2 ii

;

1

2r

Menghitung orde LPF analog Butterworth normalisasi :

r

10/2K10/1K

1log.2

)]110/()110log[(n

Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.1 )

HLPF(S) = . . . . .

Fungsi transfer H(S) HPF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)

sS

SHSH cLPFa

)()( = . . . . . ., dimana :

nK

c

2

110/1

2

110

Fungsi transfer H(Z) HPF digital hasil disain :

)z1(

)z1(.

T

2S

)S(H)z(H1

1

a

= . . . . . . . .

dB dB dB

0 0 0 K1

K2

K1

K2

K1

K2

1 2 1 2 1 r

Page 96: Diktat PSD

Filter digital IIR 9

PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR

METODE TRANSFORMASI BILINIER, pendekatan filter analog

BUTTERWORTH

BAND PASS FILTER (BPF) Magnitude Squared Response

Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi

s

iii

f

f2T

;

2tan

T

2 ii

;

LU2

UL22

LU1

UL21

r

B

A

B,Amin

Menghitung orde LPF analog Butterworth normalisasi :

r

10/2K10/1K

1log.2

)]110/()110log[(n

Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.1 ) HLPF(S) = . . . . .

Fungsi transfer H(S) BPF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)

LU

UL2

LPFa

s

sS

)S(H)S(H

= . . . . . .

Fungsi transfer H(Z) BPF digital hasil disain :

)z1(

)z1(.

T

2S

)S(H)z(H1

1

a

= . . . . . . . .

1 L U 2 1 L U 2 1 r

dB dB dB

0 0 0 K1

K2

K1

K2

K1

K2

Page 97: Diktat PSD

Filter digital IIR 10

PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR

METODE TRANSFORMASI BILINIER, pendekatan filter analog

BUTTERWORTH

BAND STOP FILTER (BSF) Magnitude Squared Response

Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi

s

iii

f

f2T

;

2tan

T

2 ii

;

UL22

LU2

UL21

LU1

r

B

A

B,Amin

Menghitung orde LPF analog Butterworth normalisasi :

r

10/2K10/1K

1log.2

)]110/()110log[(n

Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.1 )

HLPF(S) = . . . . .

Fungsi transfer H(S) BSF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)

UL2

LULPFa

s

sS

)S(H)S(H

= . . . . . .

Fungsi transfer H(Z) BSF digital hasil disain :

)z1(

)z1(.

T

2S

)S(H)z(H1

1

a

= . . . . . . . .

L 1 2 U L 1 2 U

dB dB dB

0 0 0 K1

K2

K1

K2

K1

K2

1 r

Page 98: Diktat PSD

Filter digital IIR 11

FILTER ANALOG CHEBYSHEV Ada 2 tipe : a. Filter Chebyshev tipe 1 - - - - - - - - - Riple pada passband

b. Filter Chebyshev tipe 2 - - - - - - - - - Riple pada stopband Filter chebyshev low pass normalisasi dengan riple pada passband mempunyai

karakteristik :

)(T1

1)(H

2n

2

2

dimana : Tn() : polinomial chebyshev derajat n

: parameter riple pada passband

Tn() dapat dilihat pada tabel 3.3 pada buku :

L. C. Ludeman, "Fundamentals of Digital Signal Procesing",

2

)(H 2

)(H

1 r 1 r

n ganjil (n=3) n genap (n=4)

n mentukan jumlah puncak

Pada = 1 - - - - - - - 2

2

1

1)(H

= r - - - - - - 2

2

A

1)(H

Polinomial Chebyshev dapat dilihat pada tabel Tabel 3.3 pada buku : L. C. Ludeman, "Fundamentals of Digital Signal Procesing",

Untuk memperoleh fungsi transfer Hn(s) stabil dan kausal maka harus mendapatkan pole-pole dan memilih pole-pole Hn(s) pada LHP (Left Half Plane).

1

21

1

2A

1

1

21

1

2A

1

Page 99: Diktat PSD

Filter digital IIR 12

Pole diperoleh dengan mencari akar-akar sbb :

1 + 2 Tn

2(s) = 0

Jika sk = k + k merepresentasikan pole maka memenuhi :

1ba 2

2k

2

2k

dimana :

n2,...,3,2,1kn2/1k2bCos

n2/1k2aSin

/112

1/11

2

1b

/112

1/11

2

1a

k

k

n/1n/1

2

n/1n/1

2

2

2

Dengan menggunakan hanya pole padaa LHP, maka :

genapn,1

b

ganjiln,b

K

bsb...sbs)s(V

)s(V

K

ss

K)s(H

2

0

0

011n

1nn

n

n

poleLHP

k

n

Dapat dilihat pada tabel 3.4 buku : L. C. Ludeman, "Fundamentals of Digital Signal Procesing",

Penentuan orde filter n :

1log

1gglogn

2rr

2

dimana :

2

2

rn

1Agdan

jH

1A

Page 100: Diktat PSD

Filter digital IIR 13

Contoh : Desain Filter analog

Rencanakan LPF analog Chebyshev dengan bandwidth 1-rad/det dengan karakteristik sbb : Ripple passband 2 dB

Frekuensi cutoff 1 rad/det Atenuasi stopband 20 dB atau lebih pada 1,3 rad/det

Penyelesaian :

20 logH(j1) = 20 log[1/(1 + 2)]1/2 = 10 log [1/(1 + 2)] = -2

20 logH(j1,3) = 20 log(1/A2)1/2= 20 log (1/A) = -20

Sehingga diperoleh :

A = 10 = 0,76478

maka : g = 13,01 n = 4.3 5

Dengan melihat tabel 3.4 pada buku : L. C. Ludeman, "Fundamentals of Digital Signal Procesing",

untuk n = 5 dan ripple = 2 dB diperoleh :

08172,0s.45935,0s.6934,0s.4995,1s.70646,0s

08172,0)s(H

23455

Page 101: Diktat PSD

Filter digital IIR 14

Page 102: Diktat PSD

Filter digital IIR 15

PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR, METODE TRANSFORMASI

BILINIER, pendekatan filter analog CHEBYSHEV

LOW PASS FILTER (LPF), Magnitude Squared Response

Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi

s

iii

f

f2T

;

2tan

T

2 ii

;

1

2r

Menghitung orde LPF analog Chebyshev normalisasi :

- 10 log[1/(1 + 2)] = K1 - 20 log (1/A) = K2

110 10/1K A = 10-K2/20]

- 110

110)1(10/

10/

2

2

1

2

K

KA

g

- 1log

]1gglog[n

2rr

2

Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.4 )

dengan melihat ripple dan orde n diperoleh :

Hn(S) = . . . . .

Fungsi transfer H(S) LPF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)

c

nas

SSHSH

)()( = . . . . . .

Fungsi transfer H(Z) LPF digital hasil disain :

)z1(

)z1(.

T

2S

)S(H)z(H1

1

a

= . . . . . . . .

dB

1 2 1 2

dB dB

0 0 0 K1

K2

K1

K2

K1

K2

1 r

Page 103: Diktat PSD

Filter digital IIR 16

PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR, METODE TRANSFORMASI

BILINIER, pendekatan filter analog CHEBYSHEV

HIGH PASS FILTER (HPF), Magnitude Squared Response

Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi

s

iii

f

f2T

;

2tan

T

2 ii

;

1

2r

Menghitung orde LPF analog Chebyshev normalisasi :

- 10 log[1/(1 + 2)] = K1 - 20 log (1/A) = K2

110 10/1K A = 10-K2/20]

- 110

110)1(10/

10/

2

2

1

2

K

KA

g

- 1log

]1gglog[n

2rr

2

Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.4 )

dengan melihat ripple dan orde n diperoleh :

Hn(S) = . . . . .

Fungsi transfer H(S) HPF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)

sS

SHSH cna

)()( = . . . . . .

Fungsi transfer H(Z) HPF digital hasil disain :

)z1(

)z1(.

T

2S

)S(H)z(H1

1

a

= . . . . . . . .

dB dB dB

0 0 0 K1

K2

K1

K2

K1

K2

1 2 1 2 1 r

Page 104: Diktat PSD

Filter digital IIR 17

PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR, METODE TRANSFORMASI

BILINIER, pendekatan filter analog CHEBYSHEV

BAND PASS FILTER (BPF), Magnitude Squared Response Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi

s

iii

f

f2T

;

2tan

T

2 ii

;

LU2

UL22

LU1

UL21

r

B

A

B,Amin

Menghitung orde LPF analog Chebyshev normalisasi :

- 10 log[1/(1 + 2)] = K1 - 20 log (1/A) = K2

110 10/1K A = 10-K2/20]

- 2

2 )1A(g

-

1log

]1gglog[n

2rr

2

Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.4 )

dengan melihat ripple dan orde n diperoleh :

Hn(S) = . . . . .

Fungsi transfer H(S) BPF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)

LU

UL2

na

s

sS

)S(H)S(H

= . . . . . .

Fungsi transfer H(Z) BPF digital hasil disain :

)z1(

)z1(.

T

2S

)S(H)z(H1

1

a

= . . . . . . . .

1 L U 2 1 L U 2 1 r

dB dB dB

0 0 0

K1

K2

K1

K2

K1

K2

Page 105: Diktat PSD

Filter digital IIR 18

PROSEDUR DISAIN FILTER DIGITAL IIR, METODE TRANSFORMASI

BILINIER, pendekatan filter analog CHEBYSHEV

BAND STOP FILTER (BSF), Magnitude Squared Response Spesifikasi digital Transf. ke Analog LPF Normalisasi

s

iii

f

f2T

;

2tan

T

2 ii

;

UL22

LU2

UL21

LU1

r

B

A

B,Amin

Menghitung orde LPF analog Chebyshev normalisasi :

- 10 log[1/(1 + 2)] = K1 - 20 log (1/A) = K2

110 10/1K A = 10-K2/20]

- 2

2 )1A(g

-

1log

]1gglog[n

2rr

2

Fungsi transfer H(S) LPF normalisasi : (dapat dilihat pada tabel 3.4 ) dengan melihat ripple dan orde n diperoleh :

Hn(S) = . . . . .

Fungsi transfer H(S) BSF analog hasil disain : (dapat dilihat pada tabel 3.2)

UL2

LUna

s

sS

)S(H)S(H

= . . . . . .

Fungsi transfer H(Z) BSF digital hasil disain :

)z1(

)z1(.

T

2S

)S(H)z(H1

1

a

= . . . . . . . .

dB dB dB

0 0 0

K1

K2

K1

K2

K1

K2

L 1 2 U L 1 2 U 1 r

Page 106: Diktat PSD

Filter digital IIR 19

LATIHAN Disain Filter Digital IIR

1. Disain filter digital IIR yang memenuhi spesifikasi sbb :

HPF dengan redaman 3 dB pada frekuensi cutoff = 45 KHz.

Redaman stopband minimal 10 dB pada frekuensi = 30 KHz.

Frekuensi sampling = 120 KHz.

Pendekatan ke filter Butterworth a) Tentukan H(z) b) Tentukan persamaan beda koefisien konstan linier filter tersebut. c) Gambarkan realisasi filter

2. Rencanakan filter digital IIR yang dispesifikasikan dengan H(z) bila digunakan pada Pre-

filtering struktur A/D-H(z)-D/A yang memenuhi spesifikasi sebagai berikut : β€’ Filter low-pass dengan redaman 3 dB pada frekuensi cutoff 500 Hz β€’ Redaman stop band minimal 15 dB pada frekuensi 750 Hz β€’ Laju sampling 2000 sampel/detik β€’ Monotonic passband (Butterworth) a. Tentukan fungsi sistem H(z) b. Tentukan persamaan beda sistem hasil desain c. Gambarkan struktur realisasi filter hasil desain saudara

3. Disain filter digital yang memenuhi spesifikasi sbb :

LPF dengan redaman ripple 2 dB pada frekuensi cutoff = 15 KHz.

Redaman stopband minimal 10 dB pada frekuensi = 30 KHz.

Frekuensi sampling = 100 KHz.

Pendekatan filter Chebyshev a) Tentukan H(z) b) Tentukan persamaan beda c) Gambarkan realisasi filter

Page 107: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab VI :Realisasi Sistem Diskrit

Bab V - 1

Bab 6

Realisasi Filter Digital

6.1 Pendahuluan

Pada bab sebelumnya telah dibahas tentang disain filter digital baik filter FIR maupun

IIF. Filter digital biasanya digunakan pada sistem digital yang mempunyai struktur

rangkaian A/D – H(z) – D/A dan dapat diimplementasikan dari persamaan beda

koefisien konstan linier orde ke-N, yang diperoleh dari 𝐻(𝑧) atau β„Ž(𝑛). Persamaan beda

dapat diimplementasikan dengan program komputer, rangkaian digital atau IC yang

dapat diprogram, misalnya menggunakan TMS instrument. Pada bab ini menjelaskan

beberapa realisasi alternatif dari filter digital atau sistem diskrit yaitu dalam bentuk

langsung, serial (cascade) dan paralel.

6.2 Raelisasi Bentuk Langsung Filter IIR

Sistem diskrit paling umum dari sistem linier-time invariant (LTI) dapat dikarakterisasi

dengan fungsi sistem untuk 𝑀 ≀ 𝑁:

𝐻 𝑧 = π‘π‘˜π‘§

βˆ’π‘˜π‘€π‘˜=0

1 + π‘Žπ‘˜π‘§βˆ’π‘˜π‘π‘˜=1

(6.1)

Berdasarkan fungsi sistem pada persamaan (6.1) dan sifat transformasi-z, sistem

dengan input π‘₯ 𝑛 dan output digital 𝑦(𝑛). Sistem LTI dapat dikarakterisasi dengan

persamaan beda koefisien konstan linier orde-N sebagai berikut:

𝑦 𝑛 = βˆ’ π‘Žπ‘˜π‘¦ 𝑛 βˆ’ π‘˜ + π‘π‘˜π‘₯(𝑛 βˆ’ π‘˜)

𝑀

π‘˜=0

𝑁

π‘˜=1

(6.2)

Realisasi filter menggunakan persamaan (6.2) disebut sebagai realisasi bentuk langsung

I. Output 𝑦(𝑛) dinyatakan dengan jumlahan input π‘₯(𝑛) saat ke-n (saat ini) yang diberi

bobot, input-input sebelumnya π‘₯(𝑛 βˆ’ π‘˜), untuk π‘˜ = 1,2, … , 𝑀 dan output sebelumnya

𝑦(𝑛 βˆ’ π‘˜), untuk π‘˜ = 1,2, … , 𝑁. Realisasi bentuk langsung I dapat dilihat pada gambar

6.1. Blok delay merepresentasikan bentuk strorage (penyimpanan) atau delay (waktu

tunda), blok multiplier (pengali) merepresentasikan penguatan sinyal dan blok adder

(penjumlah) merepresentasikan penjumlahan sinyal.

Realisasi bentuk lain dari persamaan (6.2) dapat diperoleh dengan memecah 𝐻(𝑧)

menjadi perkalian dua fungsi transfer 𝐻1(𝑧) dan 𝐻2(𝑧), dimana 𝐻1(𝑧) hanya

mengandung penyebut atau pole-pole sedangkan 𝐻2(𝑧) hanya mengandung pembilang

atau zero-zero seperti berikut:

Page 108: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab VI :Realisasi Sistem Diskrit

Bab V - 2

𝐻 𝑧 = 𝐻1 𝑧 . 𝐻2 𝑧 = π‘Œ(𝑧)/𝑋(𝑧) (6.3)

𝐻1 𝑧 = 1/(1 + π‘Žπ‘˜π‘§βˆ’π‘˜

𝑁

π‘˜=1

) (6.4)

𝐻2 𝑧 = π‘π‘˜π‘§βˆ’π‘˜

𝑀

π‘˜=0

) (6.5)

Gambar 6.1 Realisasi bentuk langsung I

Gambar 6.2 Dekomposisi untuk realisasi bentuk langsung II

Output filter 𝑦(𝑛) diperoleh dari sistem 𝐻 𝑧 yang diusun seri dari fungsi sub sistem

𝐻1(𝑧) dengan fungsi sub sistem 𝐻2(𝑧) seperti terlihat pada gambar 6.2. Output sub

sistem 𝐻1 𝑧 adalah 𝑝(𝑛) sebagai input sub sistem 𝐻2(𝑧) yang menghasilkan output

𝑦(𝑛). Transformasi-z dari 𝑝(𝑛) dan 𝑦(𝑛) sebagai berikut

𝑦(𝑛) π‘₯(𝑛)

βˆ’π‘Ž1

βˆ’π‘Ž2

βˆ’π‘Žπ‘βˆ’1

βˆ’π‘Žπ‘

𝑏0

𝑏1

𝑏2

π‘π‘€βˆ’1

𝑏𝑀

π‘§βˆ’1

π‘§βˆ’1

π‘§βˆ’1

π‘§βˆ’1

π‘§βˆ’1

π‘§βˆ’1

𝐻(𝑧)

𝐻1(𝑧) 𝐻2(𝑧) 𝑝(𝑛) π‘₯(𝑛) 𝑦(𝑛)

𝐴𝑙𝑙 π‘π‘œπ‘™π‘’π‘ 

𝐴𝑙𝑙 π‘§π‘’π‘Ÿπ‘œπ‘ 

Page 109: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab VI :Realisasi Sistem Diskrit

Bab V - 3

𝑃 𝑧 = 𝐻1 𝑧 . 𝑋(𝑧) (6.6)

π‘Œ 𝑧 = 𝐻2 𝑧 . 𝑃(𝑧) (6.7)

Substisusikan pers. (6.4) dan pers. (6.5) ke pers. (6.6) dan pers. (6.7) sehingga menjadi

𝑃 𝑧 = 1

1 + π‘Žπ‘˜π‘§βˆ’π‘˜π‘π‘˜=1

. 𝑋(𝑧) (6.8)

π‘Œ 𝑧 = π‘π‘˜π‘§βˆ’π‘˜

𝑀

π‘˜=0

. 𝑃(𝑧) (6.9)

Dengan mentransformasi-z balik pers. (6.8) dan pers. (6.9) menghasilkan pasangan

persamaan beda seperti pada pers. (6.10) dan pers. (6.11). Selanjutnya realisasi sistem

diskrit dari dua sub sistem 𝐻1 𝑧 dan 𝐻2 𝑧 tersusun serial seperti pada gambar 6.3.

𝑝 𝑛 = π‘₯ 𝑛 βˆ’ π‘Žπ‘˜π‘(𝑛 βˆ’ π‘˜)

𝑁

π‘˜=1

(6.10)

𝑦 𝑛 = π‘π‘˜π‘(𝑛 βˆ’ π‘˜)

𝑀

π‘˜=0

(6.11)

Gambar 6.3 Realisasi sistem diskrit menggunakan dua sub sistem

𝑦(𝑛) 𝑏0

𝑏1

𝑏2

π‘π‘€βˆ’1

𝑏𝑀

π‘§βˆ’1

π‘§βˆ’1

π‘§βˆ’1

βˆ’π‘Ž1

βˆ’π‘Ž2

βˆ’π‘Žπ‘βˆ’1

βˆ’π‘Žπ‘

π‘§βˆ’1

π‘§βˆ’1

π‘§βˆ’1

π‘₯(𝑛) 𝑝(𝑛)

Page 110: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab VI :Realisasi Sistem Diskrit

Bab V - 4

Gambar 6.3 terlihat bahwa ada dua cabang elemen delay yang dapat digabung menjadi

satu saja dan disebut sebagai realisasi bentuk langsung II yang ditunjukkan pada

gambar 6.4. Pada realisasi bentuk langsung II, jumlah elemen blok delay sebanyak N,

sesuai dengan orde persamaan beda. Rangkaian ini merupakan salah satu bentuk

realisasi yang mengandung elemen delay minimum. Bentuk ini bukan berarti yang

terbaik, akan tetapi merupakan pertimbangan penting dalam implementasi sistem

digital dalam kaitannya dengan permasalahan kuantisasi.

Gambar 6.4 Realisasi bentuk langsung II

6.3 Raelisasi Cascade Filter IIR

Sistem diskrit dengan fungsi transfer 𝐻 𝑧 bila diberi input π‘₯(𝑛), maka keluaran sistem

adalah 𝑦(𝑛). Kita dapat menyatakan dalam bentuk tranformasi-z sehingga menjadi :

βˆ’π‘Ž1

βˆ’π‘Ž2

βˆ’π‘Žπ‘€βˆ’1

π‘₯(𝑛) 𝑦(𝑛) 𝑏0

𝑏1

𝑏2

π‘π‘€βˆ’1

𝑏𝑀

π‘§βˆ’1

π‘§βˆ’1

π‘§βˆ’1

βˆ’π‘Žπ‘€

π‘§βˆ’1 βˆ’π‘Žπ‘

βˆ’π‘Žπ‘βˆ’1

Page 111: Diktat PSD

Pengolahan Sinyal Digital, Bab VI :Realisasi Sistem Diskrit

Bab V - 5

π‘Œ 𝑧 = 𝐻 𝑧 . 𝑋(𝑧) (6.12)

Pada realisasi cascade, 𝐻 𝑧 dipecah menjadi perkalian fungsi transfer diantara

subsistem yaitu 𝐻1 𝑧 , 𝐻2 𝑧 , 𝐻3 𝑧 , . . . , 𝐻𝐾 𝑧 , setiap sub sistem berbentuk rasio

polinomial π‘§βˆ’1, sehingga 𝐻(𝑧) menjadi:

𝐻 𝑧 = 𝐻𝐾 𝑧 . π»πΎβˆ’1 𝑧 . π»πΎβˆ’2 𝑧 …𝐻1 𝑧 (6.13)

Selanjutnya π‘Œ 𝑧 dapat ditulis menjadi

π‘Œ 𝑧 = 𝐻𝐾 𝑧 . π»πΎβˆ’1 𝑧 . π»πΎβˆ’2 𝑧 …𝐻1 𝑧 𝑋(𝑧) (6.14)

Dari pers (6.14) dapat ditransformasi-z balik menjadi

𝑦 𝑛 = β„ŽπΎ 𝑛 βˆ— β„ŽπΎβˆ’1 𝑛 βˆ— β„ŽπΎβˆ’2 𝑛 β€¦β„Ž1 𝑛 βˆ— π‘₯(𝑛) (6.15)

Output 𝑦(𝑛) diperoleh dari sinyal input yang melewati proses pada subsistem-

subsistem secara serial sebanyak π‘˜ subsistem seperti terlihat pada gambar 6.5. Output

masing-masing subsistem didefinisikan sebagai 𝑦1(𝑛), 𝑦2(𝑛), . . . , π‘¦πΎβˆ’1(𝑛). Fungsi sistem

𝐻(𝑧) dipecah menjadi beberapa subsistem yang disusun secara seri, biasanya subsistem

tersebut merupakan fungsi biquadratic. Bentuk biquadratic dapat dinyatakan dalam bentuk

umum π»π‘˜(𝑧) adalah

π»π‘˜ 𝑧 =𝑏0π‘˜ + 𝑏1π‘˜π‘§

βˆ’1 + 𝑏2π‘˜π‘§βˆ’2

1 + π‘Ž1π‘˜π‘§βˆ’1 + π‘Ž2π‘˜π‘§βˆ’2π‘˜ = 1,2,3 …, 𝐾 (6.16)

Gambar 6.5 Representasi cascade dari 𝐻(𝑧)

6.4 Raelisasi Paralel Filter IIR

𝐻1(𝑧) 𝐻2(𝑧) π‘₯(𝑛) 𝑦(𝑛)

𝐻(𝑧)

𝑦1(𝑛)

𝐻𝐾(𝑧) 𝑦2(𝑛) π‘¦πΎβˆ’1(𝑛)