TATA TERTIB SEKOLAH SEBAGAI SARANA
PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH MENENGAH
KEJURUAN (SMK) NEGERI 5 SEMARANG
SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan pada Universitas Negeri Semarang
Oleh
Giri Harto Wiratomo
NIM 3401403057
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
2007
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian
skripsi pada:
Hari : Kamis
Tanggal : 19 Juli 2007
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Makmuri Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si
NIP. 130675638 NIP. 131813668
Mengetahui,
Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Drs. Slamet Sumarto, M.Pd
NIP. 131570070
iv
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang pada:
Hari : Sabtu
Tanggal : 4 Agustus 2007
Penguji Skripsi
Drs. Suprayogi, M.Pd
NIP. 131474095
Anggota I Anggota II
Drs. Makmuri Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si
NIP. 130675638 NIP. 131813668
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Drs. Sunardi, M.M
NIP. 130367998
v
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar – benar hasil
karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau
seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, 19 Juli 2007
Peneliti
Giri Harto Wiratomo
NIM. 3401403057
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”
(Al Baqarah:45)
Hidup hanya sekali jadikanlah lebih berarti bagi diri dengan hiasan
prestasi (Peneliti)
PERSEMBAHAN
Ayah dan Ibu,
Kakakku Lilian Maharani, S.Pd dan Anton
Sundargo, S.Pd
Adikku Kopral Taruna Pramudyo Wardani di
Akademi Militer Magelang
vii
PRAKATA
Segala rasa syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT Raab semesta
alam atas limpahan rahmat, hidayah serta karunia sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi dengan lancar dan tepat pada waktunya dengan
judul ”Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang”.
Penyusunan skripsi ini dilakukan adalah sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan studi Strata Satu (S1) pada Program Studi Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Semarang. Peneliti menyadari bahwa dengan tanpa
adanya bantuan dari berbagai pihak penulisan skripsi ini tidak dapat terwujud.
Oleh karena itu peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Prof. DR. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si, Rektor Universitas Negeri
Semarang.
2. Drs. Sunardi, M.M, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang.
3. Drs. Slamet Sumarto, M.Pd, Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan
kesempatan peneliti untuk berkarya dan menyelesaikan studi di Program
Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Hukum dan
Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
viii
4. Drs. Makmuri, Pembimbing Skripsi I yang dengan keikhlasan dan
ketelitian memberikan bimbingan baik berupa motivasi dan masukan bagi
penyusunan skripsi ini.
5. Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si, Pembimbing Skripsi II yang dengan
kesabaran membimbing dan mengarahkan peneliti baik saran dan petunjuk
dari awal hingga akhir guna penyusunan skripsi ini.
6. Drs. H. M. Saidi, Kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang yang telah bersedia memberikan kemudahan dan perizinan
dalam penyusunan skripsi ini.
7. Ayah dan Ibu yang selalu memelukku dalam ruang sandaran hati dan kasih
sayang yang tiada hentinya dengan segala dorongan motivasinya.
8. Teman – teman seperjuangan ”Almamater Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan Angkatan 2003”.
9. Semua pihak – pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu atas
bantuan yang diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk penyelesaian skripsi ini.
”Tak ada gading yang tak retak” serta sebagai insan biasa, peneliti
menyadari atas kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang
sifatnya membangun selalu peneliti harapkan demi perbaikan di masa depan.
Semoga peyusunan skripsi dapat memberikan manfaat khususnya bagi diri
peneliti dan pembaca pada umumnya. Amin
Semarang, 19 Juli 2007
Peneliti
ix
SARI Giri Harto Wiratomo. 2007. Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang. Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. 125h. Kata Kunci: Tata Tertib, Sarana, Pendidikan Moral
Kondisi akhir – akhir ini menunjukkan telah terjadi degradasi moral pada kualitas personal bangsa Indonesia terutama generasi muda. Banyak faktor yang mempengaruhi gejala – gejala degradasi moral tersebut. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah benar tertib sekolah berisi muatan sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?, (2) Bagaimana pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?, (3) Bagaimana kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?. Dasar penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif. Ada 2 (dua) variabel yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu: (1) Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang, (2) Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang, dan (3) Kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang tergolong tinggi. Pelanggaran tata tertib sekolah tersebut meliputi tidak masuk tanpa keterangan (alpa), meninggalkan pelajaran tanpa izin, baju tidak dimasukkan, mencorat – coret seragam sekolah, berkelahi, tidak segera menempuh atau menyelesaikan remidi. Bentuk – bentuk pelanggaran tata tertib sekolah bersifat ringan, sedang, dan berat. Faktor – faktor penyebab siswa melanggar tata tertib sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang adalah faktor internal dan eksternal. Berdasarkan penelitian pendidikan moral selain diajarkan melalui bentuk formal dalam mata pelajaran juga dapat diberikan dalam bentuk informal melalui bentuk – bentuk lain seperti adanya tata tertib sekolah. Pendidikan moral pada intinya adalah mengajarkan dan melatih siswa terhadap kesadaran moral. Implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral adalah pada isi tata tertib sekolah (content), berperan sebagai alat pencegah (preventif) dan sanksi yang mendidik. Perbedaannya hanya terletak pada bentuk dan cara menggunakannya. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang menggunakan sistem credit poin. Kendala – kendala utama yang dihadapi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang adalah kurangnya konsistensi Guru dalam penegakan tata tertib sekolah. Upaya – upaya
x
sekolah dalam penegakan tata tertib sekolah adalah secara preventif, kuratif atau rehabilitatif dan represif.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi sekolah, orang tua dan masyarakat. Kepala Sekolah hendaknya terus berkomitmen dan lebih intensif mengadakan penegakan kedisiplinan siswa serta fasilitas pendukung dalam upaya menekan tingkat pelanggaran siswa terhadap tata tertib sekolah. Guru hendaknya terus melakukan kontrol terhadap pelanggaran tata tertib sekolah terutama membina kedisiplinan siswa. Siswa hendaknya dengan penuh kesadaran diri untuk mematuhi tata tertib sekolah. Orang tua hendaknya ikut serta melakukan pembinaan moral anaknya agar patuh dan taat terhadap tata tertib sekolah.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. ii
PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................... iii
PERNYATAAN ............................................................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. v
PRAKATA ..................................................................................................... vi
SARI ............................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ...................................... 7
C. Perumusan Masalah ................................................................. 8
D. Tujuan Penelitian ..................................................................... 9
E. Kegunaan Penelitian ................................................................ 10
F. Sistematika Penulisan Skripsi .................................................. 11
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................... 13
A. Tata Tertib Sekolah .................................................................. 13
B. Pendidikan Moral ..................................................................... 18
xii
C. Hubungan Tata Tertib Sekolah dan Pendidikan Moral ............ 35
D. Sarana Pendidikan Moral ......................................................... 40
E. Kerangka Berpikir.................................................................... 44
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 46
A. Dasar Penelitian ....................................................................... 46
B. Fokus Penelitian ....................................................................... 47
C. Sumber Data Penelitian ........................................................... 48
D. Alat dan Teknik Pengumpulan Data ........................................ 50
E. Objektivitas dan Keabsahan Data ............................................ 54
F. Metode Analisis Data .............................................................. 57
G. Prosedur Penelitian .................................................................. 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 61
A. Hasil Penelitian ........................................................................ 61
1. Gambaran Umum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang ............................................................. 61
2. Keadaan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang ............................................................. 64
3. Keadaan Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang ............................................................. 65
4. Tingkat Kedisiplinan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 5 Semarang ................................................ 67
xiii
5. Isi Tata Tertib Sekolah Kaitannya Dengan Pelaksanaan
Pendidikan Moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang ............................................................. 70
B. Pembahasan .............................................................................. 73
1. Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana
Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang ............................................................. 73
2. Kendala – Kendala Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah
Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.................................. 98
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 105
A. Simpulan .................................................................................. 105
B. Saran ......................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
LAMPIRAN ...................................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Jumlah Siswa SMK Negeri 5 Semarang ..................................... 65
2. Tabel 2 Data Guru Normatif/Adaptif SMK Negeri 5 Semarang ............ 66
3. Tabel 3 Data Guru Produktif SMK Negeri 5 Semarang .......................... 67
4. Tabel 4 Jenis Pelanggaran Tata Tertib Sekolah SMK Negeri 5
Semarang .................................................................................................. 69
5. Tabel 5 Perbandingan Penerapan Sistem Credit Poin ............................. 86
xv
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1 Bagan components of good character .................................... 34
2. Gambar 2 Hubungan Moral, Etika dan Hukum ....................................... 37
3. Gambar 3 Bagan Kerangka Berpikir ........................................................ 44
4. Gambar 4 Bagan Metode Analisis Data ................................................... 59
5. Gambar 5 Pola Pembinaan Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah ................. 81
6. Gambar 6 Faktor – Faktor Mempengaruhi Moral Siswa ......................... 93
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Instrumen Wawancara
2. Hasil Wawancara
3. Daftar Nama Responden
4. Foto – Foto Wawancara
5. Surat Penelitian
6. Tata Tertib Siswa
7. Jadwal Piket Pembinaan Ketertiban Guru dan Siswa Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang
8. Analisis Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Komponen Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang
9. Struktur Organisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang
10. Pola Umum Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang
11. Daftar Nama Guru dan Karyawan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri
5 Semarang
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Merebaknya isu – isu moral di kalangan remaja seperti penggunaan
obat – obat terlarang (narkoba), tawuran pelajar, pornografi dan lain – lain,
sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara
tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap
sebagai suatu persoalan sederhana, karena tindakan – tindakan tersebut sudah
menjurus kepada tindakan – tindakan yang bersifat kriminal.
Remaja merupakan usia atau tahap seorang siswa mencari jati diri
yang dilakukan melalui peniruan diri atau imitasi. Pergaulan remaja yang
tanpa arah dan pengawasan terhadap tingkah laku mereka akan mempunyai
kecenderungan mengarah pada pergaulan remaja yang negatif. Banyak
anggapan dari siswa selama ini bahwa tata tertib sekolah hanya membatasi
kebebasan mereka sehingga berakibat pelanggaran terhadap peraturan itu
sendiri. Tanpa disadari bahwa kebebasan yang kurang bertanggung jawab
akan merugikan diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
Pendidikan moral kepada anak diawali saat mereka berada pada
lingkungan keluarga terutama orang tua melalui proses sosialisasi norma dan
aturan moral dalam keluarga sendiri serta lingkungan dekat pergaulan sosial
anak. Kemudian saat anak masuk ke sekolah mulai diperkenalkan dan
diajarkan sesuatu yang baru yang tidak diajarkan dalam keluarga. Sekolah,
2
sebagai tempat sosialisasi kedua setelah keluarga serta tempat anak ditatapkan
kepada kebiasaan dan cara hidup bersama yang lebih luas lingkupnya serta ada
kemungkinan berbeda dengan kebiasaan dan cara hidup dalam keluarganya,
sehingga berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran moral diri anak.
Penanaman kebiasaan bersikap dan berbuat baik atau sebaliknya bersikap dan
berbuat buruk, pada tahap awal pertumbuhannya, anak dapat sangat
dipengaruhi oleh lingkungan sekolah tempat ia belajar.
Subjek didik tidak begitu saja lahir sebagai pribadi bermoral atau
berakhlak mulia. Lingkungan sekolah merupakan lembaga pendidikan yang
dapat menunjang terjadinya rekonstruksi sosial ke arah masyarakat yang lebih
baik, dan mengemban misi membentuk watak yang baik dari anak bangsa.
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat tentang tujuan negara Indonesia
menyatakan dengan jelas “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ”.
Pada aspek tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam pasal 3
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warganegara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Mencerdaskan kehidupan bangsa
3
merupakan lingkup filosofis serta yuridis arti pendidikan yang melandasi
pendidikan di Indonesia. Pandangan Ki Hajar Dewantara (Munib, 2004:32)
menyatakan bahwa: ”pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk
memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intelek), dan tubuh anak”.
Berkaitan dengan Pendidikan, Tilaar dalam Mulyasa (2002)
mengemukakan bahwa Pendidikan Nasional dewasa ini sedikitnya ada tujuh
masalah pokok Sistem Pendidikan Nasional:
1. Menurunnya akhlak peserta didik; 2. Pemerataan kesempatan belajar; 3. Masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan; 4. Terjadinya degradasi moral peserta didik; 5. Status kelembagaan; 6. Manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan
nasional; 7. Sumber daya yang belum profesional.
Pendidikan harus dipahami sebagai bagian dari proses pembudayaan
subjek didik sehingga bukan hanya pengalihan dan penguasaan ilmu
pengetahuan serta pelatihan serta penguasaan keterampilan – keterampilan
teknis tertentu, namun juga perlu dipahami sebagai penumbuhan dan
pengembangan subjek didik menjadi pribadi manusia yang berbudaya dan
beradab. Tujuan menjadi pribadi manusia yang berbudaya dan beradab adalah
mewujudkan personal yang tidak hanya cerdas dalam segi kognitif akan tetapi
mampu mengembangkan dan menanamkan kemampuan tertinggi dalam
mengaktualisasikan budaya yang dimiliki suatu bangsa agar tidak kehilangan
jati diri sebagai suatu bangsa akibat tergerus oleh perubahan zaman.
4
Pada saat remaja inilah masa anak berhadapan dengan cara
bertindak dan cara bernalar berbeda dengan apa yang selama ini sudah
menjadi kebiasaannya, anak mulai ditantang untuk memilih dan mengambil
keputusan sendiri, entah ia akan meneruskan kebiasaan yang selama ini telah
ditanamkan dalam keluarganya atau mengambil jarak terhadapnya dan lebih
menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya di sekolah. Kondisi saat ini
adalah ketika anak berada pada masa memulai pilihan dirinya akan
pendewasaan diri dari masa anak – anak ke masa dewasa.
Meski tugas dan tanggung jawab utama untuk melakukan
pendidikan moral terhadap anak terletak di pundak orang tua dalam
lingkungan keluarga tempat anak itu lahir dan dibesarkan, namun itu tidak
berarti sekolah tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan
pendidikan moral khususnya pada tahap pendidikan dasar dan menengah,
tempat remaja masih dalam proses pembiasaan diri mengenal dan mematuhi
aturan hidup bersama yang berlaku dalam masyarakatnya, berlatih displin,
berbuat baik dan mengalami proses pembentukan identitas diri moral mereka,
pendidikan moral perlu secara khusus mendapat perhatian para Guru dan
pendidik di sekolah.
Di sekolah banyak sekali ditemui komponen yang bisa menjadi
sarana dari pendidikan moral. Salah satu komponen sekolah yang menjadi
sarana pendidikan moral tersebut adalah tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah
sebagai bentuk peraturan dalam tingkatan hierarki terendah tata perundang –
undangan memuat adanya aspek pendidikan moral dan rule of law. Peraturan
5
yang dibuat tidak hanya legal formal akan tetapi menuntut adanya penerapan
moral di dalamnya. Hubungan tersebut erat kaitannya dengan hakikat dan isi
dari pembuatan peraturan. Internalisasi nilai – nilai moral kepada subjek didik
diperlukan upaya yang optimal dalam rangka menegakkan tata tertib sehingga
pelaksanaan tidak hanya bersifat rule of law saja akan tetapi didasari oleh
esensi adanya pendidikan moral.
Dari hasil pengamatan awal lapangan di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang oleh peneliti, diketahui kasus atau
pelanggaran terhadap tata tertib sekolah masih sering dilakukan siswa. Pada
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang khususnya, diketahui
pula pada periode tahun pelajaran 2003/2004 terjadi sebanyak 162 kasus atau
pelanggaran kemudian tahun pelajaran 2004/2005 meningkat sebanyak 430
kasus atau pelanggaran dan pada tahun pelajaran 2005/2006 sebanyak 209
kasus atau pelanggaran yang meliputi antara lain tidak masuk tanpa
keterangan (alpa), meninggalkan pelajaran tanpa izin, baju tidak dimasukkan,
mencorat – coret seragam sekolah, berkelahi, tidak segera menempuh atau
menyelesaikan remidi dan lain – lain. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kasus atau pelanggaran terhadap tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa
masih cukup tinggi.
Pelanggaran terhadap tata tertib sekolah menunjukkan siswa kurang
patuh terhadap peraturan sekolah. Berbagai upaya yang telah dilaksanakan di
sekolah sering kurang dihargai dan diperhatikan oleh siswa. Sekolah
memegang peran yang sangat penting dalam menanamkan dan menumbuhkan
6
aspek pendidikan moral. Kasus atau pelanggaran tata tertib sekolah tersebut
terkait dengan karakteristik siswa seperti perbedaan – perbedaan yang dimiliki
setiap individu yang dipengaruhi oleh sikap, minat, keinsyafan, pengetahuan
dan faktor lain yang mempengaruhinya. Kepatuhan terhadap tata tertib
sekolah adalah sebuah kesiapan yang harus ditanamkan kepada siswa di
sekolah agar mempunyai sikap dan perbuatan sesuai dengan norma – norma
yang berlaku di masyarakat. Seseorang akan patuh atau sadar dalam mematuhi
peraturan atau hukum berkaitan pula dengan faktor peraturan atau hukum itu
sendiri.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas peneliti memilih Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang sebagai objek yang akan
diteliti karena: (1) Kasus atau pelanggaran terhadap tata tertib sekolah yang
masih tinggi terutama sebagai penerapan konsep pendidikan moral, (2) Aspek
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan kurang diperhatikan karena
dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan digabung dengan Sejarah
sehingga kurang optimal, (3) Sekolah Menengah Kejuruan mempersiapkan
siswa untuk siap bekerja di masyarakat sehingga diperlukan nilai – nilai moral
dalam bekerja dan letak sekolah yang strategis mudah dijangkau peneliti serta
dapat memudahkan peneliti untuk memperoleh data – data dalam melakukan
penelitian.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti ingin mengetahui
tentang pelaksanaan dan kendala – kendala yang dihadapi Guru serta sekolah
dalam menerapkan peraturan sebagai implementasi atau penerapan
7
konseptualisasi pendidikan moral di sekolah maka peneliti mengambil judul
penelitian: “ TATA TERTIB SEKOLAH SEBAGAI SARANA
PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK)
NEGERI 5 SEMARANG ”.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Pada lingkup tahap siswa merupakan masa yang penuh gejolak.
Siswa adalah bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari sekolah.
Perubahan sosial yang begitu cepat, kemudahan akses teknologi yang
sedemikian maju, perbenturan antara nilai lokal dan nilai global
menyebabkan kondisi dan situasi yang sangat rawan terhadap
pembentukan serta perkembangan moral siswa yang baik.
Pendidikan adalah upaya untuk mendewasakan manusia yang
memiliki identitas sebagai manusia sebenarnya. Penyimpangan tingkah
laku siswa mencerminkan adanya kesenjangan antara harapan dan
kenyataan. Menemukan pendekatan dan strategi itulah diperlukan suatu
penelitian yang memadai sehingga dapat memberikan bahan pertimbangan
yang diperlukan seperti masih adanya hal – hal yang berkaitan dengan tata
tertib sekolah yang belum tertangani dengan baik, harus ada paparan
tentang sistem pengelolaan tata tertib sekolah yang dijadikan rujukan guna
penanganan masalah – masalah ketertiban.
8
Ketertiban sekolah sering dijadikan indikasi keberhasilan
pembinaan mental dan tingkah laku siswa, latar belakang sosial keluarga
dan lingkungan banyak memberikan pengaruh terhadap ketaatan
melaksanakan tata tertib sekolah. Ketaatan dalam melaksanakan tata tertib
sekolah juga akan menumbuhkan dampak nuansa yang mendukung
pembelajaran yang lebih optimal pada diri siswa dan pihak sekolah.
2. Pembatasan Masalah
Berkaitan dengan luasnya permasalahan serta agar tidak terjadi
kesalahpahaman dalam menanggapi isi atau uraian dalam lingkup
pembahasan ini, maka berikut ini akan dijelaskan beberapa fokus utama
dan indikator yang disajikan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Hal – hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tata tertib sekolah
sebagai media dalam maksud atau tujuan mencapai pendidikan
moral.
2. Tata tertib sekolah dalam penelitian ini dibatasi pada tata tertib
yang berlaku bagi siswa.
3. Tata tertib sekolah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
sejumlah aturan yang ditetapkan sekolah yang harus dipatuhi oleh
siswa di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
C. Perumusan Masalah
Kenyataan di sekolah masih ditemui banyak kasus atau pelanggaran
terhadap tata tertib sekolah. Kenyataan tersebut menimbulkan berbagai
9
persoalan dan permasalahan mengenai pelaksanaan pendidikan moral. Sesuai
dengan pembatasan masalah diatas maka penelitian ini mengambil rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apakah benar tata tertib sekolah berisi muatan sarana pendidikan
moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
2. Bagaimana pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan
moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
3. Bagaimana kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata
tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penelitian ini
mempunyai tujuan yaitu:
1. Untuk mengetahui implementasi konsep tata tertib sekolah sebagai
sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang.
3. Untuk mengetahui kendala – kendala yang dihadapi sekolah terutama
terhadap tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
10
E. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini dapat dipergunakan untuk menambah khasanah
pengembangan pustaka ilmu pengetahuan secara umum dan secara khusus
pada kajian lingkup pendidikan moral serta dapat digunakan sebagai
referensi bagi yang akan melakukan penelitian sejenis. Oleh karena itu,
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
kajian – kajian dan teori – teori yang berkaitan dengan persoalan tersebut.
2. Kegunaan Praktis
b Bagi Guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan yang berharga dalam upaya meningkatkan pendidikan moral
terutama di sekolah.
c Bagi Siswa, sebagai motivasi untuk meningkatkan sikap dan tingkah
lakunya dalam mematuhi tata tertib yang dibuat oleh sekolah.
d Bagi Orang tua, sebagai bahan pertimbangan untuk lebih
meningkatkan kualitas dalam mendidik dan memupuk pendidikan
moral khususnya di lingkungan keluarga.
e Bagi Sekolah, diharapkan dapat memberikan masukan yang
digunakan untuk melaksanakan tata tertib sebagai sarana pendidikan
moral di sekolah dan menerapkan kebijakan – kebijakan sekolah
dalam rangka meningkatkan pendidikan moral khususnya kepada
siswa.
11
F. Sistematika Penelitian Skripsi
Sistematika skripsi adalah pokok persoalan yang akan disajikan
dalam bab – bab yang terangkum dalam suatu skripsi. Adapun sistematika
skripsi yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Bagian Pendahuluan skripsi, terdiri atas: (a) Halaman Judul, (b) Abstrak,
(c) Halaman Persetujuan, (d) Halaman Pengesahan, (e) Halaman Motto
dan Persembahan, (f) Prakata, (g) Daftar Isi, (h) Daftar Gambar / Foto, (i)
Daftar Lampiran.
2. Bagian Inti skripsi terdiri atas
Bab I Pendahuluan berisi Latar Belakang Masalah, Identifikasi dan
Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan
Penelitian dan Sistematika Penelitian Skripsi.
Bab II Landasan Teori berisi bab yang menguraikan tentang Pengertian
Tata Tertib Sekolah, Tujuan Tata Tertib Sekolah, Isi Tata Tertib Sekolah,
Tipe – Tipe Kepatuhan Siswa Terhadap Tata Tertib Sekolah, Nilai dan
Moral, Batasan Moral, Pengertian Pendidikan Moral, Tujuan Pendidikan
Moral, Prinsip – Prinsip Pendidikan Moral, Tahap – Tahap
Perkembangan Moral Manusia, Hubungan Antara Tata Tertib Sekolah dan
Pendidikan Moral, Sarana Pendidikan Moral.
Bab III Metode Penelitian merupakan bab yang berisi Dasar Penelitian,
Fokus Penelitian, Sumber Data Penelitian, Alat dan Teknik Pengumpulan
Data, Objektivitas dan Keabsahan Data, Metode Analisis Data dan
Prosedur Penelitian.
12
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan menguraikan tentang Hasil
Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian.
Bab V Penutup berisi Simpulan dan Saran.
3. Bagian Akhir skripsi berisi Daftar Pustaka, Lampiran – lampiran.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tata Tertib Sekolah
1. Pengertian Tata Tertib Sekolah
(Mulyono, 2000:14) tata tertib adalah kumpulan aturan – aturan
yang dibuat secara tertulis dan mengikat anggota masyarakat. (Dekdikbud,
1989:37) tata tertib sekolah adalah aturan atau peraturan yang baik dan
merupakan hasil pelaksanaan yang konsisten (tatap azas) dari peraturan
yang ada.
Aturan – aturan ketertiban dalam keteraturan terhadap tata tertib
sekolah, meliputi kewajiban, keharusan dan larangan – larangan. Tata
tertib sekolah merupakan patokan atau standar untuk hal – hal tertentu.
Sesuai dengan keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Nomor 158/C/Kep/T.81 Tanggal 24 September 1981 (Tim
Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang, 1989:145)
ketertiban berarti kondisi dinamis yang menimbulkan keserasian,
keselarasan dan keseimbangan dalam tata hidup bersama makhluk Tuhan
Yang Maha Esa. Ketertiban sekolah tersebut dituangkan dalam sebuah tata
tertib sekolah.
(Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang,
1989:146) mengartikan tata tertib sekolah: sebagai kesediaan mematuhi
ketentuan berupa peraturan – peraturan tentang kehidupan sekolah sehari –
14
hari. Tata tertib sekolah disusun secara operasional guna mengatur tingkah
laku dan sikap hidup siswa, Guru dan karyawan administrasi.
Secara umum tata tertib sekolah dapat diartikan sebagai ikatan
atau aturan yang harus dipatuhi setiap warga sekolah tempat
berlangsungnya proses belajar mengajar. Pelaksanaan tata tertib sekolah
akan dapat berjalan dengan baik jika Guru, aparat sekolah dan siswa telah
saling mendukung terhadap tata tertib sekolah itu sendiri, kurangnya
dukungan dari siswa akan mengakibatkan kurang berartinya tata tertib
sekolah yang diterapkan di sekolah.
Peraturan sekolah yang berupa tata tertib sekolah merupakan
kumpulan aturan – aturan yang dibuat secara tertulis dan mengikat di
lingkungan sekolah. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tata
tertib sekolah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain sebagai aturan yang berlaku di sekolah agar proses
pendidikan dapat berlangsung dengan efektif dan efisien.
2. Tujuan Tata Tertib Sekolah
Secara umum dibuatnya tata tertib sekolah mempunyai tujuan
utama agar semua warga sekolah mengetahui apa tugas, hak dan
kewajiban serta melaksanakan dengan baik sehingga kegiatan sekolah
dapat berjalan dengan lancar. Prinsip tata tertib sekolah adalah diharuskan,
dianjurkan dan ada yang tidak boleh dilakukan dalam pergaulan di
lingkungan sekolah.
15
Tata tertib sekolah harus ada sanksi atau hukuman bagi yang
melanggarnya. Menjatuhkan hukuman sebagai jalan keluar terakhir, harus
dipertimbangkan perkembangan siswa. Sehingga perkembangan jiwa
siswa tidak dan jangan sampai dirugikan. Tata tertib sekolah dibuat dengan
tujuan sebagai berikut:
a Agar siswa mengetahui tugas, hak dan kewajibannya.
b Agar siswa mengetahui hal – hal yang diperbolehkan dan
kreatifitas meningkat serta terhindar dari masalah – masalah
yang dapat menyulitkan dirinya.
c Agar siswa mengetahui dan melaksanakan dengan baik dan
sungguh – sungguh seluruh kegiatan yang telah diprogramkan
oleh sekolah baik intrakurikuler maupun ektrakurikuler.
3. Isi Tata Tertib Sekolah
Tata tertib sekolah sebagaimana tercantum di dalam Instruksi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14/4/1974 Tanggal 1 Mei
1974 (Nawawi, 1986:161) mencakup aspek – aspek sebagai berikut:
a. Tugas dan kewajiban. 1). Dalam kegiatan intra kurikuler. 2). Dalam kegiatam ekstra kurikuler.
b. Larangan – larangan bagi para siswa. c. Sanksi – sanksi bagi siswa.
Tata tertib sekolah termasuk dalam administrasi ko – kurikulum
yaitu merupakan kegiatan – kegiatan yang diselenggarakan di sekolah
untuk menunjang dan meningkatkan daya dan hasil guna kegiatan
16
kurikulum. (Arikunto, 1990:123) berpendapat batasan antara peraturan dan
tata tertib sekolah sebagai berikut:
a Peraturan menunjuk pada patokan atau standar yang sifatnya umum yang harus dipenuhi oleh siswa. Misalnya peraturan tentang kondisi yang harus dipenuhi oleh siswa di dalam kelas pada waktu pelajaran sedang berlangsung.
b Tata tertib sekolah menunjuk pada patokan atau standar yang sifatnya khusus yang harus dipenuhi oleh siswa. Tata tertib sekolah menunjuk pada patokan atau standar untuk aktifitas khusus, seperti penggunaan pakaian seragam, penggunaan laboratorium, mengikuti upacara bendera, mengerjakan tugas rumah, pembayaran SPP dan sebagainya.
Tata tertib sekolah bukan hanya sekedar kelengkapan dari
sekolah, tetapi merupakan kebutuhan yang harus mendapat perhatian dari
semua pihak yang terkait, terutama dari pelajar atau siswa itu sendiri.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka sekolah pada umumnya menyusun
pedoman tata tertib sekolah bagi semua pihak yang terkait baik Guru,
tenaga administrasi maupun siswa. Isi tata tertib sekolah secara garis besar
adalah berupa tugas dan kewajiban siswa yang harus dilaksanakan,
larangan dan sanksi.
Pada hakikatnya tata tertib sekolah baik yang berlaku umum
maupun khusus meliputi tiga unsur (Arikunto, 1990:123 – 124) yaitu:
a Perbuatan atau tingkah laku yang diharuskan dan yang dilarang;
b Akibat atau sanksi yang menjadi tanggung jawab pelaku atau pelanggar peraturan;
c Cara atau prosedur untuk menyampaikan peraturan kepada subjek yang dikenai tata tertib sekolah tersebut.
4. Tipe – Tipe Kepatuhan Siswa Terhadap Tata Tertib Sekolah
17
Graham (Sanjaya, 2006:272 – 273) melihat empat faktor yang
merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu:
a. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma – norma hukum.
Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga
bentuk, yaitu, (1) Kepatuhan terhadap nilai atau norma itu sendiri;
(2) Kepatuhan pada proses tanpa memedulikan normanya sendiri;
(3) Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari
peraturan itu.
b. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan
pertimbangan – pertimbangan yang rasional.
c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekadar
basa basi.
d. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap
individu tentu saja yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat
normativist, sebab kepatuhan semacam ini adalah kepatuhan didasari
kesadaran akan nilai, tanpa memedulikan apakah tingkah laku itu
menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat
faktor ini terdapat lima tipe kepatuhan:
a. Otoritarian. Suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang
ikut – ikutan.
18
b. Conformist. Kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu: (1)
conformist directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau
orang lain; (2) conformist hedonist, yakni kepatuhan yang
berorientasi pada “untung – rugi”, dan (3) conformist integral,
adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri
dengan kepentingan masyarakat.
c. Compulsive deviant. Kepatuhan yang tidak konsisten.
d. Hedonik psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa
memperhitungkan kepentingan orang lain.
e. Supramoralist. Kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap
nilai – nilai moral.
B. Pendidikan Moral
1. Nilai dan Moral
Nilai merupakan ukuran atau pedoman perbuatan manusia. Karena
itu maka nilai diungkapkan dalam bentuk norma dan norma ini mengatur
tingkah laku manusia. Pengertian nilai adalah (Daroeso, 1986:20):
Nilai adalah suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu atau hal, yang dapat dasar penentu tingkah laku seseorang, karena sesuatu atau hal itu menyenangkan (pleasant), memuaskan (satifying), menarik (interest), berguna (usefull), menguntungkan (profitable), atau merupakan suatu sistem keyakinan (belief)
Di antara beberapa macam nilai, ada nilai etik. Nilai etik atau nilai
yang bersifat susila, memberi kualitas perbuatan manusia yang bersifat
susila, sifatnya universal tidak tergantung waktu, ruang dan keadaan. Nilai
19
etik tersebut diwujudkan dalam norma moral. Norma moral merupakan
landasan perbuatan manusia, yang sifatnya tergantung pada tempat, waktu
dan keadaan. Sehingga norma moral itu dapat berubah – ubah sesuai
dengan waktu, tempat dan keadaannya.
Pelaksanaan norma moral yang merupakan perwujudan dari nilai
etik itu, tergantung pada manusianya. Penilaian moral dari perbuatan
manusia ini meliputi semua penghidupan, dalam hal ini hubungan manusia
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri sendiri, terhadap
masyarakat maupun terhadap alam. Perbuatan manusia dinilai secara
moral bilamana perbuatan itu didasarkan pada kesadaran moral.
Adanya nilai – nilai yang merupakn rangsangan (stimulus) diterima
oleh pancaindera, menimbulkan suatu proses dalam diri individu yang
dapat berupa suatu kebutuhan, motif, perasaan, perhatian dan pengambilan
keputusan. Perbuatan susila adalah merupakan wujud dari norma moral
dan norma moral merupakan ungkapan dari nilai etis (Daroeso, 1986:28).
Karena itulah nilai etis menjadi pedoman tingkah laku dan perbuatan
manusia dalam kehidupan sehari – hari. Nilai etis bersifat normatif dan
tingkah laku perbuatan manusia mengarah kepadanya.
2. Batasan Moral
Moral berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan: ajaran kesusilaan.
Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan (Salam, 2000:80). Driyakara
mengatakan bahwa “moral atau kesusilaan” adalah nilai yang sebenarnya
bagi manusia. Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah
20
kesempurnaan sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat
manusia (Daroeso, 1986:22).
Huky (Daroeso, 1986:22) mengatakan: kita dapat memahami
moral dengan tiga cara:
a. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaraan, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.
b. Moral sebagai perangkat ide – ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
c. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
Pengertian lain tentang moral berasal dari P. J. Bouman yang
mengatakan bahwa ”moral adalah suatu perbuatan atau tingkah laku
manusia yang timbul karena adanya interaksi antara individu – individu di
dalam pergaulan”. Dari beberapa pengertian moral, dapat dilihat bahwa
moral memegang peran penting dalam kehidupan manusia yang
berhubungan dengan baik buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah
laku ini mendasarkan diri pada norma – norma yang berlaku dalam
masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut
bertingkah laku sesuai dengan norma – norma yang terdapat dalam
masyarakat.
Seorang individu yang tingkah lakunya mentaati kaidah – kaidah
yang berlaku dalam masyarakatnya disebut baik secara moral, dan jika
sebaliknya, ia disebut jelek secara moral (immoral). Dengan demikian
moral selalu berhubungan dengan nilai – nilai. Ciri khas yang menandai
21
nilai moral yaitu tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja, secara
mau dan tahu; dan tindakan itu secara langsung berkenaan dengan nilai
pribadi (person) manusia dan masyarakat Indonesia (Salam, 2000:74).
Dengan demikian, moral adalah keseluruhan norma yang
mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan
perbuatan yang baik dan benar. Objek moral adalah tingkah laku manusia,
perbuatan manusia, tindakan manusia, baik secara individual maupun
secara kelompok (Daroeso, 1986:26). Dalam melaksanakan perbuatan
tersebut manusia didorong oleh tiga unsur, yaitu:
a. Kehendak yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi alasan pada manusia untuk melakukan perbuatan.
b. Perwujudan dari kehendak yang berbentuk cara melakukan perbuatan dalam segala situasi dan kondisi.
c. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan kesadaran inilah yang memberikan corak dan warna perbuatan tersebut.
3. Pengertian Pendidikan Moral
Pendidikan moral adalah upaya dari orang dewasa dalam
membentuk tingkah laku yang baik, yaitu tingkah laku yang sesuai dengan
harapan masyarakat yang dilakukan secara sadar. (Daryono, 1998:13)
mengemukakan bahwa: ”Pendidikan moral adalah merupakan suatu usaha
sadar untuk menanamkan nilai – nilai moral pada anak didik sehingga
anak bisa bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai – nilai moral
tersebut”.
Dewey (Daroeso, 1986:32) menyatakan pendidikan moral
seperti pendidikan intelektual mempunyai basis pada berfikir aktif
mengenai masalah – masalah moral dan keputusan – keputusan
22
selanjutnya ia mengatakan tujuan pendidikan adalah pertumbuhan atau
perkembangan moral dan intelektual.
Sementara itu (Sudarminta, 004:108) menyatakan bahwa
pendidikan moral pada umumnya, baik di dalam keluarga maupun di
sekolah, sebagai bagian pendidikan nilai, adalah upaya untuk membantu
subjek didik mengenal, menyadari pentingnya, dan menghayati nilai –
nilai moral yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan tingkah
lakunya sebagai manusia, baik secara perorangan maupun bersama – sama
dalam suatu masyarakat. (Daroeso, 1986:45), berpendapat tentang
pendidikan moral bahwa: “pendidikan moral adalah pendidikan yang
menyangkut aspek dari pada watak seseorang yang sama pendidikannya,
watak itu tidak baru dimulai pada saat ia masuk sekolah”.
Pendidikan moral dapat dirumuskan sebagai: suatu proses yang
disengaja di mana para warga muda dari masyarakat dibantu supaya
berkembang dari orientasi yang berpusat pada diri sendiri mengenai hak –
hak dan kewajiban mereka, ke arah pandangan yang lebih luas, yaitu
bahwa dirinya berada dalam masyarakat dan ke arah pandangan yang lebih
mendalam mengenai diri sendiri (Salam, 2000:76).
Kehidupan manusia memang mempunyai otonomi, tetapi
manusia tidak bebas sepenuhnya. Kehidupan manusia terkait oleh
ketentuan – ketentuan yang ada dalam masyarakat. Ketentuan – ketentuan
itu menurut Daroeso (1986:23) sebagai berikut:
1. ketentuan agama yang berdasarkan wahyu.
23
2. ketentuan kodrat yang terutama dalam diri manusia, termasuk didalamya ketentuan moral universal yaitu moral yang seharusnya.
3. ketentuan adat istiadat buatan manusia termasuk didalamnya ketentuan moral yang sedang berlaku pada suatu waktu.
4. ketentuan hukum buatan manusia, baik berbentuk adat istiadat atau hukum negara.
Diungkapkan oleh Magnis (Daroeso, 1986:27) bahwa:
berkesadaran moral tidak lain adalah merasa wajib untuk melakukan
tindakan yang bermoral. Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan
tindakan yang bermoral itu ada dan terjadi di dalam hati sanubari manusia,
siapapun, dimanapun dan kapanpun juga.
Kohlberg seorang pakar Perkembangan Moral secara Kognitif
(Cognitive Moral Development) memandang pendidikan moral adalah
pendidikan mengenai prinsip – prinsip umum tentang moralitas dengan
menggunakan metode pertimbangan moral atau cara – cara memberi
pertimbangan moral. Prinsip – prinsip moralitas adalah prinsip mengenai
pilihan. Kohlberg melihat pendidikan moral adalah kegiatan untuk
membantu peserta didik menuju kearah yang sesuai dengan kesiapan
mereka, dan tidak memaksakan pola – pola eksternal terhadapnya. Dalam
pendidikan moral senantiasa melibatkan stimulasi perkembangan melalui
tahap – tahap, dan tidak sekedar mengajarkan kebenaran – kebenaran yang
sudah baku. Secara umum pendidikan moral berkenaan dengan aturan –
aturan (moral rules), sikap – sikap (behavior), dan tingkah laku (action).
Pandangan Wilson tentang esensi dari pendidikan moral adalah
menanamkan pilihan – pilihan yang benar dan klarifikasi akan perasaan
dan disposisi tersebut. Pendidikan moral umumnya lebih menunjuk kepada
24
pengembangan konsepsi keadilan yang begitu dipengaruhi oleh pemikiran
– pemikiran Kant (Haricahyono, 1995:210) moralitas mencakup makna
yang begitu luas, antara lain:
a Tingkah laku membantu orang lain; b Tingkah laku yang sesuai dengan norma – norma sosial; c Internaliasasi norma – norma sosial; d Timbulnya empati atau rasa salah, atau bahkan keduanya; e Penalaran tentang keadilan, dan f Memperhatikan kepentingan orang lain.
4. Tujuan Pendidikan Moral
Sasaran dari moral adalah keselarasan dari perbuatan manusia
dengan aturan – aturan yang mengenai perbuatan – perbuatan manusia itu
(Salam, 2000:9). Tujuan secara khusus pendidikan moral: untuk
berkembangnya siswa dalam penalaran moral (moral reasioning) dan
melaksanakan nilai – nilai moral (Salam, 2000:77).
Pandangan Salam (2000: 80) tentang tujuan pendidikan moral
adalah:
membimbing para generasi muda untuk memahami dan menghayati Pancasila secara keseluruhan dan setiap sila. Tujuan akhirnya adalah agar dapat menumbuhkan manusia – manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama – bersama bertanggungjawab atas pembangunan
Ditambahkan bahwa tujuan pendidikan moral adalah: (1)
Meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2)
Meningkatkan kecerdasan dan keterampilan dan mempertinggi budi
pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan.
Tujuan utama pendidikan moral adalah untuk meningkatkan
kapasitas berpikir secara moral dan mengambil keputusan moral.
25
mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan moral ditekankan pada metode
pertimbangan moral dan untuk membantu anak – anak untuk mengenal
apa yang menjadi dasar untuk menerima suatu nilai. Selain itu tujuan
pendidikan moral adalah untuk mengusahakan perkembangan yang
optimal bagi setiap individu. Lickona (Koyan, 2000:85) mengemukakan
tentang dua tujuan utama pendidikan moral, yaitu kebijakan dan kebaikan.
Selain itu sebagai intrakulikuler dalam mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) tujuan pendidikan moral (Daryono,
1998:31) yaitu:
meneruskan dan mengembangkan jiwa semangat dan nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 kepada generasi muda, dengan menekankan ranah sikap dan nilai – nilai yang mendorong semangat, merangsang ilham, dan menyeimbangkan kepribadian peserta didik
Tujuan Pendidikan moral perlu diefektifkan, karena adanya
kecenderungan remaja bertingkah laku menyimpang. Membangun
manusia seutuhnya adalah masalah dan tugas pendidikan di lingkungan
keluarga, sekolah, lingkungan manusia seutuhnya adalah tugas untuk
membantu manusia dalam perkembangannya menjadi manusia insan
kamil/manusia yang sempurna, manusia yang sehat jasmani dan rohani,
manusia yang seimbang dalam perkembangannya sebagai insan sosial
yang adil (Daroeso, 1986:43). Adapun pendidikan moral memiliki tujuan
dan sasaran sebagai berikut:
1. Perkembangan anak seutuhnya; 2. Membina warga negara yang bertanggung jawab; 3. Mengembangkan rasa hormat menghormati martabat individu dan
kesucian hak asasi manusia;
26
4. Menanamkan patriotisme dan integrasi nasional; 5. Mengembangkan cara hidup dan berpikir demokratis; 6. Mengembangkan toleransi, mengerti perbedaan; 7. Mengembangkan persaudaraan; 8. Mendorong tumbuhnya iman; 9. Menanamkan prinsip moral.
5. Prinsip – Prinsip Pendidikan Moral
Pendidikan moral memang menanamkan prinsip moral yang
lazim disebut sosialisasi moral. Mengenai prinsip – prinsip moral,
Durkheim menjelaskan sebagai berikut : (1) Pada dasarnya tidak ada
seperangkat prinsip – prinsip moral dalam artian serangkaian pernyataan
apriori dapat dianggap universal dan menentukan kehidupan moral semua
makhluk manusia. (2) Pernyataan tentang prinsip – prinsip moral tidak
berakar dalam naluri individualistik, akan tetapi lebih berakar dalam
masyarakat beserta sifat – sifat sosial manusianya, yang sekaligus
merupakan prinsip utama yang dibenarkan dalam eksistensi manusia. (3)
Moralitas adalah suatu sistem aturan tingkah laku tertentu merefleksikan
realitas moral dari masyarakat tertentu dimana aturan – aturan tersebut
disertai dengan otoritas dan sanksi berdasarkan kepentingan masyarakat
yang bersangkutan (Haricahyono, 1995:96 – 102). Dengan demikian,
dalam pendidikan moral, prinsip – prinsip moral itu adalah subjek dan
sekaligus konteks yang esensial bagi pendidikan moral.
Keller dan Reuss (Haricahyono, 1995:207) menegaskan adanya
empat prinsip yang mendasari moral, yang tidak harus berkaitan satu sama
lain antara lain;
27
a Prinsip justifikasi, yang mengimplikasikan adanya kepentingan
untuk menjustifikasi perbagai tindakan yang menarik perhatian
kita;
b Prinsip kejujuran, yang menjamin keseimbangan secara adil dalam
mendistribusikan perbagai usaha dan pengorbanan;
c Prinsip konsekuensi, yang mengandung implikasi bahwa setiap
orang harus mengatasi konsekuensi dari tindakan atau pun
kelalaiannya;
d Prinsip universalitas, yang berimplikasi adanya konsistensi dalam
pertimbangan dan kehendak untuk mengambil peranan dari pribadi
– pribadi yang menarik.
Dalam pendidikan moral, mengajarkan proses penalaran moral
semata – mata, akan tetapi harus diarahkan kepada pensosialisasian
individu secara moral agar bisa bertindak dengan cara – cara tertentu
sesuai dengan norma – norma yang berlaku dalam masyarakat.
Durkheim (Haricahyono, 1995:337) memandang pendidikan
moral berkaitan dengan sosialisasi moral, sementara penalaran dianggap
mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam proses penting tersebut.
Prinsip moral menginginkan agar manusia atau personal individu
bertanggungjawab terhadap antara lain:
a. Pengembangan personal yang diinginkan; b. Pengembangan atribut – atribut sosial (nilai – nilai yang dijunjung
tinggi); c. Memperoleh prinsip moral sebagai bahan membuat pertimbangan
dan putusan moral; d. Menemukan hakikat hidup.
28
Supaya menjadi bermoral, maka harus menghargai disiplin,
menempatkan diri dalam kelompok masyarakat, dan mengetahui alasan
tertentu akan tingkah lakunya secara otonom. Dengan demikian akan
tampak, bahwa pribadi yang terdidik secara moral akan bertindak sesuai
dengan iklim dan budaya masyarakat.
6. Tahap –Tahap Perkembangan Moral Manusia
Tahap – tahap perkembangan moral manusia ditinjau melalui pendekatan
kognitif Piaget dalam Haricahyono (1995) adalah terkait dengan aspek
mental dan kognitif. Tentang tahap perkembangan moral sendiri, Piaget
mengemukakan adanya dua tahap yang harus dilewati setiap individu.
Yang pertama disebut tahap Heteronomous atau Realisme
Moral. Dalam tahap ini anak cenderung menerima begitu saja aturan –
aturan yang diberikan oleh orang – orang yang dianggap kompeten untuk
itu; Tahap yang kedua disebut Autonomous Morality atau Independensi
Moral. Dalam tahap ini anak sudah mempunyai pemikiran akan perlunya
memodifikasi aturan – aturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi
yang ada.
Tahap perkembangan moral Bull (Daroeso, 1986:29 – 30)
menyimpulkan empat tahapan perkembangan moral yaitu:
a Anomi (without law), adalah anak belum memiliki perasaan
moral dan belum ada perasaan untuk menaati peraturan –
peraturan yang ada.
29
b Heternomi (law imposed by others), adalah tahap moralitas
terbentuk karena pengaruh luar (external morality). Pada
heternomi peraturan dipaksakan oleh orang lain, dengan
pengawasan, kekuatan atau paksaan, karena itulah peraturan
tersebut di atas.
c Sosionomi (law driving from society), adalah suatu kenyataan
adanya kerjasama antar individu, menjadi individu sadar bahwa
dirinya merupakan anggota kelompok.
d Autonomi (law driving from self), adalah tahapan perkembangan
pertimbangan moral yang paling tinggi. Pembentukan moral dari
individu bersumber pada diri individu sendiri, termasuk di
dalamnya pengawasan tingkah laku moral individu tersebut.
Tahap perkembangan lainnya dikemukakan oleh Kohlberg
terdiri dari tiga tingkatan perkembangan moral yang masing – masing
tingkat memuat pula dua tahap perkembangan yaitu:
a. Tingkat prakonvesional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral
berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral
didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa
menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat.
Pada tingkat prakonvensional ini terdiri dari dua tahap.
1). Orientasi hukuman dan kepatuhan
30
Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan
kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Artinya, anak
hanya berpikir bahwa tingkah laku yang benar itu adalah
tingkah laku yang tidak mengakibatkan hukuman. Dengan
demikian, setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak
menimbulkan konsekuensi negatif.
2). Orientasi instrumental – relatif
Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan
kepada rasa ”adil” berdasarkan aturan permainan yang
telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas
tingkah laku kita yang anggap baik. Dengan demikian
tingkah laku itu didasarkan kepada saling menolong dan
saling memberi.
b. Tingkat konvensional
Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada
hubungan individu – masyarakat. Kesadaran dalam diri anak
mulai tumbuh bahwa tingkah laku itu harus sesuai dengan norma
– norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan
demikian, pemecahan masalah itu sesuai dengan norma
masyarakat atau tidak. Pada tingkat konvensional itu mempunyai
dua tahap sebagai lanjutan dari tahap yang ada pada tingkat
prakonvensional, yaitu tahap keselarasan interpersonal serta tahap
sistem sosial dan kata hati.
31
1). Keselarasan interpersonal
Pada tahap ini ditandai dengan setiap tingkah
laku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan
untuk memenuhi harapan orang lain. Kesadaran individu
mulai tumbuh bahwa ada orang lain di luar dirinya untuk
bertingkah laku sesuai dengan harapannya. Artinya, anak
sadar bahwa ada hubungan antara dirinya dengan orang
lain. Dan, hubungan itu tidak boleh dirusak.
2). Sistem sosial dan kata hati
Pada tahap ini tingkah laku individu bukan
didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang
lain yang dihormatinya, akan tetapi didasarkan pada
tuntutan dan harapan masyarakat. Ini berarti telah terjadi
pergeseran dari kesadaran individu kepada kesadaran
sosial. Artinya, anak sudah menerima adanya sistem sosial
yang mengatur tingkah laku individu.
c. Tingkat postkonvensional
Pada tingkat ini tingkah laku bukan hanya didasarkan
pada kepatuhan terhadap norma – norma masyarakat yang
berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan
nilai – nilai yang dimilikinya secara individu. Seperti pada tingkat
sebelumnya, pada tingkat ini juga terdiri dua tahap:
1). Kontrak sosial
32
Pada tahap ini tingkah laku individu didasarkan
pada kebenaran – kebenaran yang diakui oleh masyarakat.
kesadaran individu untuk bertingkah laku tumbuh karena
kesadaran untuk menerapkan prinsip – prinsip sosial.
Dengan demikian, kewajiban moral dipandang sebagai
kontrak sosial yang harus dipatuhi, bukan sekadar
pemenuhan sistem nilai.
2). Prinsip etis yang universal aturan – aturan
Pada tahap terakhir, tingkah laku manusia
didasarkan pada prinsip – prinsip universal. Segala macam
tindakan bukan hanya didasarkan sebagai kontrak sosial
yang harus dipatuhi, akan tetapi didasarkan pada suatu
kewajiban sebagai manusia. Setiap individu wajib
menolong orang lain, apakah orang itu sebagai orang yang
kita benci atau tidak, orang yang kita suka atau tidak.
Pertolongan yang diberikan bukan didasarkan pada alasan
subjektif, akan tetapi didasarkan pada kesadaran yang
bersifat universal.
7. Muatan Pendidikan Moral
Pendidikan moral pada tiap – tiap negara berbeda satu dengan
yang lainnya. Dalam negara yang menjadikan agama sebagai hukum
dasarnya maka pendidikan moral bersumber pada agama yang berlaku di
negara itu. Bagi masyarakat Indonesia mengenai dasar pendidikan moral
33
sudah jelas, berdasarkan religi, adat istiadat dan kebudayaan Indonesia
yaitu Pancasila. Moral sesuatu masyarakat adalah merupakan identitas
bagi masyarakat itu (Daroeso, 1986:55).
Pandangan Durkheim (Haricahyono, 1995:327) terhadap muatan
moralitas pada dasarnya berkaitan dengan isi, tindakan, aturan – aturan,
atau tingkah laku – tingkah laku tertentu. ”Morality is not a system of
abstract truth which can be derived from some fundamental notion,
posited as self – efident”, demikian Durkheim. Lebih lanjut dikemukakan,
”...it belongs to the realm of life, not to speculation. It is a set of rules of
conduct, of practical imperatives which have grown up historically under
the influence of specific social necessities” (Durkheim, 1961:34).
Mengacu pada pandangan di atas Durkheim melihat adanya satu
fenomena dalam kehidupan manusia yang menduduki rangking teratas.
Fenomena dimaksud adalah serangkaian aturan yang dapat dibatasi secara
jelas dan spesifik. Dalam konteks ini pribadi yang bermoral tidak lantas
dikaitkan dengan kesediaan yang bersangkutan untuk selalu memenuhi
prosedur – prosedur tertentu, akan tetapi pribadi – pribadi semacam ini,
paling tidak, mampu bertindak sesuai dengan aturan – aturan atau norma –
norma yang berlaku.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat norma - norma
yang mengatur tingkah laku anggotanya. Dalam hubungan ini, F. Von
Magnis membedakan tiga macam norma kelakuan umum, yaitu : (1)
peraturan sopan santun atau kebiasaan, (2) norma – norma hukum, dan
34
norma – norma moral. Muatan pendidikan moral dapat dilihat pada
gambar 1 sebagai berikut:
Gambar 1. Bagan components of good character Sumber: Lickona (Koyan, 2000:86)
MORAL KNOWING 1. Moral awareness 2. Knowing moral
values 3. Perspective – taking4. Moral reasioning 5. Decision making 6. Self knowledge
MORAL FEELING 1. Conscience 2. Self – esteem 3. Empathy 4. Loving the good 5. Self – control 6. Humility
MORAL ACTION 1. Competence2. Will 3. Habit
35
C. Hubungan Tata Tertib Sekolah dan Pendidikan Moral
Hubungan antara kenyataan hukum atau tata tertib sekolah dan
moralitas atau pendidikan moral yang efektif sangat intensif, pada hakikatnya
karena hukum itu hanya penglogisan dari nilai – nilai moral. Gerakannya
dikekang oleh generalisasi dan penentuan kebutuhannya, hukum itu berubah –
ubah secara lebih langsung sebagai suatu fungsi dari perubahan – perubahan
moralitas (Johnson, 2006:286).
Moral berkaitan dengan disiplin dan kemajuan kualitas perasaan,
emosi dan kecenderungan manusia; sedangkan aturan pelaksanaanya
merupakan aturan praktis tingkah laku yang tunduk pada sejumlah
pertimbangan dan konversi lainnya (Tim Dosen Jurusan Administrasi
Pendidikan FIP IKIP Malang, 1989:211).
Moralitas adalah keseluruhan norma – norma, nilai – nilai dan sikap
moral seseorang atau sebuah masyarakat. Nilai – nilai moral itu berada dalam
suatu wadah yang disebut moralitas, karena di dalamnya terdapat unsur –
unsur keyakinan dan sikap batin dan bukan hanya sekedar penyesuaian diri
dengan aturan dari luar diri manusia. Moralitas dapat bersifat intrinsik dan
ekstrinsik. Moralitas yang bersifat intrinsik berasal dari diri manusia itu
sendiri, sehingga perbuatan manusia itu baik atau buruk terlepas atau tidak
dipengaruhi oleh peraturan hukum yang ada (Tedjosaputro, 2003:6). Moralitas
intrinsik ini esensinya terdapat dalam perbuatan diri manusia itu sendiri.
Moralitas yang bersifat ekstrinsik penilaiannya didasarkan pada
peraturan hukum yang berlaku, baik yang bersifat perintah maupun larangan.
36
Moralitas yang bersifat ekstrinsik ini merupakan realitas bahwa manusia
terikat pada nilai – nilai atau norma – norma yang diberlakukan dalam
kehidupan bersama (Tedjosaputro, 2003:7).
Sudarto (Tedjosaputro, 2003:31) mengatakan bahwa ada hubungan
erat antara nilai, norma, sanksi dan peraturan – peraturan. Beliau mengatakan
sebagai berikut:
Nilai adalah ukuran yang disadari atau tidak disadari oleh suatu masyarakat atau golongan untuk menetapkan apa yang benar, yang baik dan sebagainya. Norma adalah anggapan bagaimana seseorang harus berbuat. Agar normanya dipatuhi, maka masyarakat atau golongan itu mengadakan sanksi dan penguat.
Ilmu hukum (pidana) normatif pada hakikatnya bukan semata –
mata ilmu tentang norma, justru ilmu tentang nilai. Aspek norma merupakan
aspek luar atau aspek lahiriah yang tampak dan terwujud dalam perumusan
perundang – undangan atau tata tertib, sedangkan aspek nilai merupakan
aspek dalam atau aspek batiniah/kejiwaan yang ada di balik atau di belakang
norma.
Keduanya bersifat saling menunjang secara terpadu. Nilai selalu
menjiwai secara konsisten berbagai norma yang berlaku di dalam masyarakat,
baik norma agama, moral (etika), kesopanan maupun hukum. Hubungan tata
tertib sekolah dan pendidikan moral lebih jelas pada gambar 2 sebagai berikut:
37
Gambar 2. Hubungan Moral, Etika dan Hukum Sumber: Marpaung (1996:3)
Piaget (Salam, 2000: 67) bahwa pikiran manusia menjadi semakin
hormat pada peraturan. Manusia mempunyai daya tahu (budi) dan daya
memilih karena adanya dua macam daya inilah timbul penilaian etis atau
moral terhadap tingkah laku manusia. Dalam masyarakat yang hendak teratur
dan tertib, diadakanlah aturan – aturan yang semuanya justru untuk
HUKUM
ETIKA
MORAL
38
melindungi kemanusiaan, aturan untuk ketertiban hidup manusia dalam
masyarakat.
Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut bertingkah
laku sesuai dengan norma – norma yang terdapat dalam masyarakat. Dengan
demikian moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur
tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan baik dan
benar. Perlu diingat baik dan benar menurut seseorang, tidak pasti baik dan
benar bagi orang lain. Karena itulah diperlukan adanya prinsip – prinsip
kesusilaan/moral yang dapat berlaku umum, yang telah diakui kebaikan dan
kebenarannya oleh semua orang. Moral dipakai untuk memberikan penilaian
atau predikat terhadap tingkah laku seseorang.
Dengan sendirinya menurut indentitas, ukuran manusia yang baik
adalah yang mampu memenuhi ketentuan – ketentuan kodrat yang tertanam
dalam dirinya sendiri. Ukuran ini tentunya tidak bertentangan dengan norma
yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan syarat untuk menjadi manusia
yang bermoral, adalah memenuhi salah satu ketentuan kodrat yaitu adanya
kehendak yang baik. Kehendak yang baik ini mensyaratkan adanya bertingkah
laku dan tujuan yang baik pula. Jadi predikat moral mensyaratkan adanya
kebaikan yang berkesinambungan, mulai munculnya kehendak yang baik
sampai dengan tingkah laku dalam mencapai tujuan yang juga baik.
Meskipun pada dasarnya manusia itu selalu cenderung berbuat baik,
tetapi kesadaran tidak datang dengan sendirinya. Kesusilaan harus diajarkan
dengan contoh yang baik, sehingga dengan demikian dapatlah terbentuk
39
manusia susila lahir dan batin. Pokok pembicaraan tata tertib sekolah dan
pendidikan moral ini adalah perbuatan manusia dengan tujuan yang hampir
sama. Kalau tujuan tata tertib sekolah mengatur adalah mengatur tata – tertib
masyarakat dan tingkah laku warga masyarakat dalam bermasyarakat dan
bernegara sesuai dengan aturan – aturan hukum yang berlaku. Sedangkan
pendidikan moral mempunyai tujuan mengatur tingkah laku manusia sebagai
manusia.
Lingkungan pendidikan moral lebih luas daripada lingkungan tata
tertib sekolah. Tata tertib sekolah berisikan perintah – perintah dan larangan –
larangan agar tingkah laku manusia tidak melanggar aturan – aturan tertulis
maupun tidak tertulis. Sedangkan pendidikan moral memerintahkan manusia
untuk berbuat apa yang berguna dan melarang segala yang tidak baik. Norma
moral memberikan memberi kewajiban moral pada manusia agar kepentingan
hukum dan kepentingan umum jangan dilanggar.
Karakter atau watak warga negara yang bermoral salah satunya bisa
dilakukan melalui jalur pendidikan di sekolah. Pendidikan moral bukan
sesuatu entitas abstraksi ide semata namun nyata dalam kehidupan sehari –
hari yang harus diajarkan pada manusia. Pendidikan moral merupakan suatu
wadah bagi sekolah untuk mendidik, mengajar dan melatih siswa agar
mempunyai sikap dan berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan nilai – nilai
moral dan norma – norma yang ada di masyarakat. Tata tertib sekolah
mengatur dan memberi petunjuk pedoman aturan atau hukum tingkah laku
siswa terhadap moral yang baik. Tata tertib sekolah sebagai aturan hukum di
40
dalamnya terkandung makna implementasi pendidikan moral untuk siswa
dalam bertingkah laku.
D. Sarana Pendidikan Moral
Pandangan Daryanto (2001:51) tentang sarana pendidikan moral
adalah seperti alat langsung untuk mencapai tujuan pendidikan. Sarana
pendidikan moral dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai alat pendidikan.
Alat pendidikan adalah hal yang tidak saja memuat kondisi – kondisi yang
memungkinkan terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi alat pendidikan itu
telah mewujudkan diri sebagai perbuatan atau situasi mana, dicita – citakan
dengan tegas, untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat pendidikan ialah suatu
tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan
untuk mencapai suatu tujuan pendidikan.
Suwarno (Daryanto, 2001:141) membedakan alat pendidikan dari
bermacam – macam segi salah satunya adalah alat pendidikan preventif dan
korektif. Alat pendidikan preventif diartikan sebagai jika maksudnya
mencegah anak sebelum ia berbuat sesuatu yang tidak baik, misalnya contoh:
pembiasaan perintah, pujian, ganjaran. Kedua adalah alat pendidikan korektif,
jika maksudnya memperbaiki karena anak telah melanggar ketertiban atau
berbuat sesuatu yang buruk, misalnya: celaan, ancaman, hukuman.
Alat pendidikan yang preventif ialah alat – alat pendidikan yang
bersifat pencegahan yaitu untuk mencegah masuknya pengaruh – pengaruh
buruk dari luar ke dalam diri siswa. Kewajiban pendidik adalah mendidik
41
siswa menjadi anak yang baik dan mencegah/membentengi siswa dari
masuknya pengaruh – pengaruh yang buruk ke dalam dirinya. Jenis alat – alat
pendidikan preventif yang abstrak seperti tata tertib, anjuran, larangan,
perintah, disiplin dan semisalnya.
Hal – hal yang diperbaiki (korektif) adalah perbuatan – perbuatan
jelek yang sudah menjadi kebiasaan diperbuat siswa, seperti suka berkelahi,
suka bertengkar, suka mengambil barang milik orang lain, suka menghina,
suka mengejek, suka mengganggu dan sebagainya.
E. Kerangka Berpikir
Perkembangan dan perubahan masyarakat yang berlangsung cepat
dan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi; khususnya kemajuan
di bidang teknologi komunikasi dan informasi, di satu sisi dapat berdampak
positif namun di sisi lain menimbulkan pengaruh yang berdampak negatif,
terutama nilai – nilai budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai – nilai luhur
budaya bangsa.
Gejala – gejala pengaruh negatif itu, kini telah tampak di kalangan
generasi muda, terutama di kota – kota besar di Indonesia. Gejala – gejala
negatif tersebut merupakan tantangan bagi sekolah untuk lebih memperhatikan
siswanya dan lebih menggiatkan pelaksanaan pendidikan moral di lingkungan
sekolah secara khusus.
Selain melalui komponen kurikulum komponen formal seperti
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama juga lewat jalur
42
hidden curriculum. Namun harus dipahami salah satu usaha untuk
melaksanakan pendidikan moral secara intensif dan komprehensif di sekolah
adalah melalui hidden curriculum antara lain seperti penegakkan aturan moral
melalui tata tertib sekolah. Menurut konsep pendidikan dewasa ini, bahwa
pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan pendidikan untuk semua
(education for all).
Pelaksanaan pendidikan moral harus dimulai dari dalam lingkungan
keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan
utama di dalam kehidupan manusia. Sekolah memiliki peranan penting dalam
pembentukan kepribadian, mentransmisi dan mentransformasi nilai – nilai
moral; serta seleksi dan pra aloksi tenaga kerja. Baik dan buruknya moral
siswa tergantung pada berhasil atau tidaknya pendidikan moral di sekolah dan
penegakan tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah memberikan bentuk nyata
dari pendidikan moral yang harus diberikan pada siswa yang berisikan nilai –
nilai moral. Moral siswa yang baik dapat diketahui dari indikator berupa taat
dan patuh pada tata tertib sekolah yang dapat dilihat melalui pengamatan
berupa aturan moral, sikap dan tingkah laku atau tingkah laku yang
mencerminkan nilai – nilai moral yang sesuai dengan kehidupan masyarakat.
Pelaksanaan tata tertib sekolah tersebut tentunya bergantung pada
kemampuan sekolah dalam implementasi pendidikan moral yang banyak
ditemui kendala – kendala sehingga dirasa belum optimal guna menekan
tingkat pelanggaran tata tertib sekolah. Belum optimalnya pelaksanaan tata
tertib sekolah tersebut dapat dilihat melalui profil pribadi siswa sehari – hari
43
baik di sekolah, keluarga maupun masyarakat sudah menunjukan tingkah laku
yang mencerminkan pribadi – pribadi yang bermoral atau sebaliknya.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mendidik siswa agar memiliki
keterampilan atau keahlian (skill) tertentu. Pemberian muatan moral terhadap
tingkah laku siswa kadang hanya sebatas bersifat temporal tidak bersifat
kontiunitas. Kontrol dari pihak sekolah yang lemah mengakibatkan siswa
cenderung mengabaikan aturan moral atau tata tertib sekolah. Siswa Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) mempunyai kecenderungan yang besar untuk
berbuat penyimpangan. Indikasi ini diakibatkan oleh karakteristik siswa yang
berbeda dan stimuli siswa untuk langsung mendapatkan pekerjaan (ready
work) sehingga menimbulkan dampak tidak terlalu memedulikan aspek
moralitas diri sendiri. Interaksi antar siswa dengan Guru dan lingkungan ikut
mempengaruhi dan membentuk tingkah laku siswa.
Apabila tingkah laku siswa tanpa kontrol dan penanganan secara
tidak serius maka akan dapat menimbulkan tingkah laku yang menyimpang
bahkan cenderung menuju tindakan kriminalitas. Tentu saja sebagai lanjutan
tingkah laku siswa yang menyimpang akan dapat merugikan tidak hanya baik
diri sendiri akan tetapi keluarga serta lingkungan masyarakat. Mengingat
kompleksnya kehidupan manusia, maka dalam pelaksanaan pendidikan moral,
perlu diciptakan dan ditemukan metode yang tepat sehingga bisa menjangkau
seluruh aspek kehidupan manusia. Untuk mempermudah dalam memahami
penelitian ini maka disajikan gambar 3 sebagai berikut:
44
Gambar 3 Bagan Kerangka Berpikir
SMK NEGERI 5 SEMARANG
Guru Siswa Fasilitas
Sistem Pendidikan Nasional
Tujuan Pendidikan Nasional
Tata Tertib Sekolah
Pendidikan Moral
Aturan Sikap Tingkah Laku
Moral Siswa
Kurikulum
Baik Buruk
Keterangan: : Proses distribusi : Proses kontrol
45
Keterangan:
Pendidikan diartikan tidak hanya sebagai formal transfer of
knowledge namun bagaimana membentuk pribadi – pribadi manusia yang
memiliki nilai moralitas yang tinggi. Oleh karena itu Sistem Pendidikan
Nasional yang tercantum pada tujuan pendidikan nasional menghendaki agar
siswa tumbuh dan berkembang dari sisi akhlak, moralitas yang baik. Moral
siswa yang baik atau buruk tercermin dari tingkah laku siswa baik di rumah,
sekolah dan masyarakat. Tentunya sekolah terutama Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang mempunyai tanggung jawab terhadap
pembentukan moral siswa tersebut.
Pada komponen sekolah yang berperan dalam mewujudkan cita –
cita tersebut salah satunya melalui komponen pendidikan moral dan tata tertib
sekolah. Guru mengontrol tingkah laku siswa melalui tata tertib sekolah.
Tingkah laku siswa yang baik atau buruk akan mencerminkan dan
menentukan pandangan masyarakat terhadap kadar moralitas siswa Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Dasar Penelitian
Suatu penelitian untuk mendapatkan hasil yang optimal harus
menggunakan metode penelitian yang tepat. Ditinjau dari permasalahan
penelitian ini yaitu tentang pelaksanaan dan kendala – kendala tata tertib
sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 5 Semarang maka penelitian ini bersifat non eksperimen yaitu
penelitian kualitatif deskriptif.
Karl dan Milles (Moleong, 2002:3), penelitian kualitatif adalah
tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung pada pengamatan kepada manusia dalam kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang tersebut. Di samping itu penelitian deskriptif yaitu
merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan
menginterprestasikan objek sesuai dengan apa adanya. Dengan metode
deskriptif, peneliti memungkinkan untuk melakukan hubungan antara variabel,
menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori
yang memiliki validitas universal. Penelitian deskriptif pada umumnya
dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta
dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan
kualitatif deskriptif yaitu mengamati, mencatat, dan mendokumentasi
47
pelaksanaan dan kendala – kendala tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
Peneliti berinteraksi dengan lingkungan sekolah dan berusaha memahaminya.
Dimana dalam penelitian tersebut memiliki ciri – ciri sebagai berikut:
1. Sumber data langsung berupa tata situasi alami dan peneliti adalah instrumen kunci.
2. Bersifat deskriptif dimana data yang dikumpulkan umumnya berbentuk kata – kata, gambar – gambar dan bukan angka – angka, kalaupun ada angka – angka sifatnya hanya sebagai penunjang.
3. Lebih menekankan pada makna proses ketimbang hasil. 4. Analisis data bersifat induktif. 5. Makna merupakan perhatian utama dalam pendekatan penelitian
(Sudarwan, 2002:6).
B. Fokus Penelitian
Di dalam penelitian kualitatif deskriptif menghendaki ditetapkannya
batas atas dasar fokus penelitian. Dalam pemikiran fokus terliput di dalamnya
perumusan latar belakang, studi permasalahan, fokus juga berarti penentuan
keluasan (scope) permasalahan dan batas penelitian. Penentuan fokus
memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Menentukan keterikatan studi, ketentuan lokasi studi.
2. Menentukan kriteria inklusi dan eksklusi bagi informasi baru. Fokus
membantu bagi penelitian kualitatif deskriptif membuat keputusan
untuk membuang atau menyimpan informasi yang diperolehnya
(Rachman, 1999:121).
Fokus penelitian merupakan pokok persoalan apa yang menjadi
pusat perhatian dalam penelitian. Fokus dalam penelitian ini adalah tata tertib
sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan
48
(SMK) Negeri 5 Semarang. Sebagai indikator dari fokus tersebut di atas
adalah:
1. Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai
sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang.
2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
3. Kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tata tertib
sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
C. Sumber Data Penelitian
Data adalah bentuk jamak dari datum. Data merupakan keterangan –
keterangan tentang suatu hal, dapat berupa sesuatu yang diketahui atau yang
dianggap. Atau suatu fakta yang digambarkan lewat angka, simbol, kode dan
lain – lain. Data perlu dikelompok – kelompokkan terlebih dahulu sebelum
dipakai dalam proses analisis. Pengelompokkan data disesuaikan dengan
karakteristik yang menyertainya (Hasan, 2002:82).
Sumber data penelitian adalah subjek di mana data dapat diperoleh
(Arikunto, 2002:107). Berdasarkan sumber pengambilannya, data dibedakan
menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1. Data Primer
49
Data primer adalah data yang dikumpulkan atau diperoleh
langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang
bersangkutan. Sumber data primer yaitu kata – kata atau tindakan
orang yang diamati atau diwawancarai (Arikunto, 2002:122). Data
primer ini disebut juga data asli atau data baru. Sumber data primer
diperoleh peneliti melalui wawancara dengan responden. Responden
orang yang diminta keterangan tentang suatu fakta atau pendapat,
keterangan dapat disampaikan dalam bentuk tulisan, yaitu ketika
mengisi angket, atau lisan ketika menjawab wawancara (Arikunto,
2002:122).
Responden dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah,
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Guru Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn), Guru bidang Bimbingan Konseling (BK) dan
siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang atau
yang terkait dengan pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral. Data yang diperoleh peneliti melalui responden,
termasuk dalam kategori data sekunder. Sebagaimana data yang
diperoleh melalui informan di atas sehingga data sifatnya juga masih
asli dan baru.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber – sumber yang
telah ada. Data ini biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari
50
laporan – laporan penelitian terdahulu. Data sekunder disebut juga data
tersedia (Hasan, 2002:82). Dokumen adalah setiap bahan yang tertulis
maupun film (Moleong, 2002:113). Dokumen dalam penelitian ini
berupa tata tertib siswa, buku – buku, dan literatur lain yang ada
hubungan dengan masalah yang akan diteliti. Tujuannya adalah data
didapatkan berupa data tambahan yang merupakan data sekunder.
D. Alat dan Teknik Pengumpulan Data
1. Alat Pegumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah observasi, wawancara (interviu) dan dokumentasi.
a. Observasi
Dalam penelitian ini, observasi diartikan sebagai
pengamatan dan pencatatan secara sistemik terhadap gejala yang
tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang
dilakukan terhadap objek ditempat terjadi atau berlangsungnya
peristiwa, sehingga peneliti berada bersama objek yang diselidiki,
disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung
adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya
peristiwa tersebut diamati melalui film, rangkaian slide atau
rangkaian foto (Rachman, 1999:77).
Berkaitan dengan jenis observasi yang digunakan
peneliti dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
51
observasi secara langsung dan tidak langsung yaitu di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
b. Wawancara (Interviu)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,
percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu wawancara yang
mengajak pertanyaan – pertanyaan dan yang diwawancarai
memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2002:135).
Wawancara merupakan data informasi dengan cara mengajukan
sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula
(Rachman, 1999, 83).
Penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa
pedoman atau instrumen wawancara yaitu berbentuk pertanyaan
yang diajukan kepada subjek penelitian. Sedangkan wawancara
yang diterapkan adalah wawancara berstruktur. Wawancara
berstruktur, yaitu pedoman wawancara yang disusun secara
terperinci sehingga menyerupai check – list (Arikunto, 2002:20).
Selain itu wawancara dilakukan melalui wawancara tak
berstruktur yaitu wawancara dilakukan secara informal, dimana
pertanyaan tentang pandangan sikap, keyakinan subjek atau
tentang keterangan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tata
tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang yang diajukan
secara bebas kepada subjek penelitian.
52
Di samping itu wawancara ini dapat dikembangkan
apabila diperlukan untuk melengkapi data – data yang masih
kurang. Kelebihan tersebut wawancara tak berstruktur antara lain:
1). Memungkinkan peneliti untuk mendapatkan keterangan dengan lebih cepat.
2). Ada keyakinan bahwa penafsiran responden terhadap pertanyaan yang diajukan adalah tepat.
3). Sifatnya lebih luas. 4). Pembatasan – pembatasan dapat dilakukan secara langsung,
apabila jawaban yang diberikan melewati batas ruang lingkup masalah yang diteliti.
5). Kebenaran jawaban dapat diperiksa secara langsung. (Soekanto, 1984:25)
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa wawancara
adalah untuk mendapatkan gambaran yang sejelas – jelasnya dan
informasi yang selengkap – lengkapnya. Melalui wawancara ini
diharapkan peneliti mendapatkan gambaran mengenai pelaksanaan
tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari
data mengenai hal – hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip,
buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, surat, lengger, agenda
dan sebagainya (Arikunto, 2002:206).
2. Teknik Pengumpulan Data
Guna mendapatkan informasi yang diharapkan penelitian ini
teknik pengumpulan data dilakukan melalui:
53
a. Teknik Observasi
Berkaitan dengan teknik observasi (Kartono, 1996:57)
mengemukakan, observasi adalah studi yang disengaja dan
sistematis tentang fenomena sosial dan gejala – gejala alam dengan
jalan pengamatan dan pencatatan. Ditambahkan bahwa observasi
ialah pengujian secara internasional atau bertujuan suatu hal,
khususnya untuk maksud mengumpulkan data. Teknik observasi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi yang
menerapkan observasi sistematis, yang dilakukan oleh pengamat
dengan menggunakan pedoman sebagai intrumen pengamatan.
b. Teknik Komunikasi
Teknik komunikasi adalah cara mengumpulkan data
melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data
dengan sumber data (Rachman, 1999:82). Dalam pelaksanaannya
peneliti menggunakan teknik komunikasi langsung yaitu teknik
pengumpulan data dengan mempergunakan wawancara atau interviu
sebagai alatnya.
c. Teknik Dokumentasi
Berkaitan teknik dokumentasi (Hasan, 2002:88)
mengemukakan bahwa teknik dokumentasi adalah teknik
pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada subjek
penelitian, namun melalui dokumen, dimana dokumen yang
54
digunakan dapat berupa buku harian, surat pribadi, laporan, notulen
rapat, catatan kasus dalam pekerjaan sosial dan dokumen lainnya.
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan teknik
dokumentasi sebagai metode ketiga disamping observasi dan
wawancara, karena teknik dokumentasi dapat memberikan cara yang
terbaik untuk memberikan data – data masa lalu yang berkaitan
dengan objek yang akan diteliti. Di samping itu untuk subjek
penelitian tertentu yang sukar atau tidak mungkin dijangkau, maka
studi dokumentasi dapat memberikan jalan untuk melakukan
penelitian (Hasan, 2002:88).
d. Teknik Studi Pustaka
Teknik studi pustaka diperlukan dalam penelitian ini
sebagai acuan terhadap permasalahan yang di lapangan dengan
buku – buku literatur tentang tata tertib sekolah dan lingkup yang
terkait dengan pendidikan moral.
E. Objektivitas dan Keabsahan Data
1. Objektivitas Data
Objektivitas terhadap keabsahan data merupakan salah satu
bagian yang penting di dalam penelitian kualitatif deskriptif, untuk
mengetahui derajat kepercayaan dari hasil penelitian yang dilakukan.
Apabila peneliti melaksanakan objektivitas terhadap keabsahaan data
55
secara cermat dengan teknik yang tepat dapat diperoleh hasil penelitian
yang benar – benar dapat dipertanggungjawabkan dari berbagai segi.
2. Keabsahan Data
Keabsahan data diterapkan dalam rangka membuktikan
kebenaran temuan hasil penelitian dengan kenyataan di lapangan. Lincoln
dan Guba (Moleong, 2002:175) untuk memeriksa data pada penelitian
kualitatif deskriptif antara lain digunakan taraf kepercayaan data
(Credibility). Teknik yang digunakan untuk melacak Credibility dalam
penelitian ini yaitu Teknik Triangulasi (Triangulation). Teknik Triangulasi
adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di
luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu (Moleong, 2002:178).
Teknik Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
triangulasi sumber dan metode artinya bahwa teknik pemeriksaan dengan
membandingkan atau mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi
yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda (Moleong, 2002:178).
Teknik Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
triangulasi yang memanfaatkan penggunaan sumber dan metode yaitu
pemeriksaan keabsahaan data dengan membandingkan data hasil
pengamatan dengan data hasil wawancara dan dokumentasi serta dengan
pengecekan penemuan hasil penelitian.
Dari beberapa teknik triangulasi tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut Denzin (Moleong, 2002:178):
56
a. Triangulasi dengan memanfaatkan sumber berarti membandingkan
dan mengecek bahwa derajat kepercayaan sesuatu informasi yang
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Hal ini dicapai
dengan jalan:
1). Membandingkan data hasil wawancara.
2). Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum
dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
3). Membandingkan apa yang dikatakan orang – orang tentang
situasi penelitian dengan yang dikatakan sepanjang waktu.
4). Membandingkan keadaan pada perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat orang lain.
5). Membandingkan hasil wawancara dengan isi sesuatu dokumen
yang berkaitan.
b. Triangulasi dengan metode terdapat dua strategi yaitu:
1). Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian
dengan beberapa teknik pengumpulan data.
2). Pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dan
metode yang sama.
Dengan menggunakan kedua teknik triangulasi di atas akan
dapat diperoleh hasil penelitian yang benar – benar sahih, karena kedua
teknik triangulasi di atas sangat sesuai dengan penelitian yang bersifat
kualitatif deskriptif.
57
F. Metode Analisis Data
1. Tinjauan Metode Analisis Data
Patton (Hasan, 2002:97) mengemukakan analisis data adalah
proses mengatur urutan data mengorganisasikannya ke dalam suatu pola,
kategori dan satuan uraian dasar. Sedangkan Bogdan dan Taylor (Hasan,
2002:97) mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha
formal untuk menemukan tema dan merumusakan hipotesis (ide) seperti
yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan
pada tema dan hipotesis itu.
Moleong (2002) menyatakan bahwa yang dimaksud analisis data
adalah proses mengorganisasikan dan menGurutkan data ke dalam pola,
kategori satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dirumusakan hipotesis kerja seperti yang dirumuskan data.
2. Bentuk dan Cara Melakukan Analisis Data
Pada prinsipnya analisis data ada dua cara yaitu analisis statistik
dan analisis non statistik, hal ini tergantung pada datanya. Adapun analisis
data non statistik, yang disebut juga sebagai analisis kualitatif deskriptif
yaitu analisis yang tidak menggunakan model matematik, model statistik
dan ekonometrik atau model – model tertentu lainnya.
Analisis data dilakukan terbatas pada teknik pengolahan
datanya, seperti pada pengecekan data dan tabulasi, dalam hal ini sekedar
membaca tabel – tabel, grafik – grafik atau angka – angka yang tersedia
kemudian melakukan uraian dan penafsiran (Hasan, 2002:98).
58
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif deskriptif
non statistik, dimana komponen reduksi data, dan sajian data dilakukan
bersamaan dengan proses pengumpulan data setelah data terkumpul maka,
tiga komponen analisis (reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan)
berinteraksi. Ini untuk menjawab permasalahan pertama dari penelitian.
Langkah – langkah analisis kualitatif deskriptif adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data ialah mencari, mencatat dan
mengumpulkan semua data secara objektif dan apa adanya sesuai
dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan yaitu
pencatatan data yang diperlukan terhadap berbagai jenis data dan
berbagai bentuk data yang ada di lapangan yang diturunkan peneliti
serta melakukan pencatatan di lapangan.
b. Reduksi data
Data yang telah terkumpul dipilih dan dikelompokkan
berdasarkan data yang mirip atau sama. Kemudian data ini
diorganisasikan untuk mendapatkan kesimpulan data sebagai bahan
penyajian data. Penyusunan data dilakukan dengan pertimbangan
penyusunan data sebagai berikut:
1). Hanya memasukan data yang penting dan benar – benar dibutuhkan.
2). Hanya memasukan data yang benar – benar objektif. 3). Hanya memasukan data yang autentik. 4). Membedakan antara data informasi dengan pesan pribadi
responden (Rachman, 1999:103). c. Penyajian data
59
Setelah diorganisasikan, selanjutnya data disajikan dalam
uraian – uraian naratif disertai dengan bagan atau tabel untuk
memperjelas penyajian data.
d. Penarikan kesimpulan atau verifikasi
Setelah data disajikan, maka dilakukan penarikan
kesimpulan atau verifikasi. Untuk lebih jelasnya proses
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi, serta interaksi dari ketiga komponen
dapat dilihat pada gambar 4 sebagai berikut:
Gambar 4. Bagan Metode Analisis Data Sumber: Miles dan Huberman (1994:20)
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
60
G. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang ditempuh dalam penelitian ini meliputi tiga
tahapan yaitu:
1. Tahap pembuatan rancangan
Tahap ini merupakan langkah awal dan pertama peneliti
mempersiapkan segala macam yang dibutuhkan sebelum memasuki tahap
selanjutnya terjun dalam kegiatan penelitian. Pada tahap ini peneliti
melaksanakan beberapa alur yaitu memilih masalah, studi pendahuluan,
merumuskan masalah, memilih pendekatan, menemukan variabel dan
sumber data serta menentukan dan menyusun instrumen.
2. Tahap pelaksanaan penelitian
Peneliti melaksanakan penelitian, dengan melaksanakan
pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan pencatatan.
Kemudian melaksanakan analisis data dengan semua data yang telah
diperoleh di lapangan dianalisis dan dicek atau diperiksa kebenarannya
menggunakan teknik triangulasi.
3. Tahap penyusunan laporan
Kegiatan penelitian menuntut agar hasilnya disusun, ditulis dalam
bentuk laporan penelitian agar hasilnya diketahui orang lain, serta
prosedurnya pun diketahui orang lain pula sehingga dapat mengecek
kebenaran pekerjaan penelitian tersebut.
(Arikunto, 2002:20)
61
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga
pendidikan tingkat lanjut menengah yang memiliki karakteristik berbeda
dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) karena bertugas mempersiapkan
siswa untuk mengutamakan berkembangnya kompetensi vocational skill
(kecakapan/kemampuan kejuruan) yaitu kecakapan yang dikaitkan dengan
pekerjaan tertentu. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam
pembelajarannya ditekankan pada bagaimana persiapan siswa menguasai
keterampilan atau keahlian praktis yang diterapkan dalam lingkungan
pekerjaan. Hal ini berbeda dengan kecakapan yang diprioritaskan pada
Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu lebih menekankan pada academic
skill (kemampuan akademik).
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang berdiri
atas dukungan Guru – Guru teknik dan direstui oleh Kepala Diktek
Propinsi Jawa Tengah, Bapak Dimiyati Prasojo yang pada waktu itu
menjabat Kepala STM 2 Semarang, mempelopori dan merintis jalan
terwujudnya cita – cita tersebut yaitu terbentuknya sekolah teknologi lagi
guna melengkapi STM yang telah sebelumnya. Berdasarkan Surat
62
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No.
85/DIRPT/BI/65 Tanggal 5 Agustus 1965 diresmikan oleh Kepala
Inspeksi Daerah Pendidikan Teknologi Propinsi Jawa Tengah pada tanggal
17 Agustus 1965 Sekolah Tinggi Menegah 5 Semarang dengan jurusan
Bangunan Gedung, Mesin, Listrik yang berada di STM 2 Jalan Sompok
43A Semarang.
Pada awal berdirinya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang berstatus sekolah negeri yang belum mempunyai
gedung sendiri. Untuk melaksanakan proses belajar mengajar terpaksa
diselenggarakan siang hari dan menumpang pada sekolah negeri lain yang
secara berurutan bertempat di STM 2 Semarang beralamat di Jalan
Sompok 43A Kelurahan Peterongan Kecamatan Semarang Timur.
Terhitung sejak tanggal 18 Agustus 1965 sampai dengan 30 Juli 1977
yang pada waktu itu karena kekurangan ruang sebagian kelas yang
menempati STM 1 – 3 Semarang di Jalan Cinde Raya Semarang (sekarang
ditempati SMP 8 Semarang).
Kemudian berurutan kembali yaitu berada di STM 1 – 3
Semarang yang beralamat Jalan Dr. Cipto 93 Semarang Kelurahan
Karangkojo Kecamatan Semarang Utara terhitung sejak tanggal 1 Juli
1977 sampai dengan 30 Juni 1979. Berdasarkan Surat Keputusan Kanwil
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah Tanggal
22 November 1977 No. 107/Kep/1977 tentang penunjukan tempat
bangunan dan Surat Keputusan Kepala Bidang Pendidikan Menengah
63
Kejuruan Propinsi Jawa Tengah Tanggal 1 Juni 1979 No.
542/I03.5/R.a/1979 terhitung sejak tanggal 1 Juni 1979 STM 5 Semarang
secara resmi menempati gedung sendiri.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang
merupakan salah satu Sekolah Menengah Kejuruan di Kota Semarang
mempunyai Nomor Identitas Sekolah (NIS) 400050, Nomor Statistik
Sekolah (NSS) 321036308805 beralamat di Jl. Dr. Cipto No. 121
Semarang 50124 Kelurahan Karangturi Kecamatan Semarang Timur
dengan nomor telepon (024) 8416335 – 8447476, E – Mail
[email protected] berstatus sebagai sekolah negeri.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang
menempati luas tanah sekolah 10.612 m2 yang berdampingan dengan
SMK (SMEA) 1 yang dulunya adalah juga lokasi STM 5 Semarang.
Kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang bernama
Drs. H. M.Saidi dengan Nomor Induk Pegawai (NIP) 130935750 Nomor
SK Pengangkatan 821.2/23/2002 Tanggal 28 Agustus 2002 No. Rekening
Sekolah Bank BRI Cabang Semarang Pandanaran 0325 – 01 – 031142 –
50 – 4.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang
mempunyai visi menjadi pusat pendidikan dan latihan kejuruan yang
berstandar nasional. Misi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang yang pertama adalah mendidik dan melatih siswa dalam
program keahlian teknik gambar bangunan, teknik pemanfaatan tenaga
64
listrik, teknik komputer jaringan, teknik transmisi telkom, teknik
pemesinan dan teknik mekanik otomotif. Kedua adalah mendidik dan
melatih siswa untuk dipersiapkan menjadi tenaga kerja profesional siap
memasuki lapangan kerja di dunia usaha dan industri global, nasional dan
regional, melanjutkan studi, berwirausaha maupun memasuki dinas dan
militer.
2. Keadaan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang
Sumber siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang berasal dari SMP/MTs Negeri/Swasta Se Kota Semarang dan
SMP/MTs Negeri Swasta di sekitar perbatasan Kabupaten Kendal,
Kabupaten Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan. Data
keadaan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang
dari hasil observasi dan wawancara memiliki jumlah siswa yang dominan
laki – laki sebanyak 886 orang sedangkan siswa wanita berjumlah 30
orang terbagi dalam beberapa jurusan. Data jumlah keseluruhan siswa
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang terbagi menjadi
beberapa jurusan pada tabel 1 yaitu:
65
Tabel 1 Jumlah Siswa SMK Negeri 5 Semarang
Jumlah No. Program Keahlian
I II III Total
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Teknik Gambar Bangunan
Teknik Pemanfaatan Tenaga Listrik
Teknik Mesin Perkakas
Teknik Mekanik Otomotif
Teknik Transmisi Telkom
Teknik Komputer Jaringan
72
67
71
70
35
37
60
52
55
59
30
34
34
61
52
66
26
35
166
180
178
195
91
106
JUMLAH 352 290 274 916
Sumber: data SMK Negeri 5 Semarang
3. Keadaan Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang
Keadaan Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang terdiri dari dua yaitu Guru Normatif/Adaptif dan Guru
produktif. Idealnya berdasarkan aturan seorang Guru Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) adalah sejumlah 110 orang. Dari hasil observasi
didapatkan bahwa Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang mempunyai jam mengajar 50 jam sehari sedang menurut aturan
yaitu 20 jam sehari.
Guru Normatif/Adaptif yaitu mengajar pada mata pelajaran non
kejuruan/umum sedangkan Guru Produktif yaitu mengajar pada mata
66
pelajaran kejuruan/khusus program keahlian pada tabel 2 dan tabel 3
sebagai berikut:
Tabel 2 Data Guru Normatif/Adaptif SMK Negeri 5 Semarang
Status No Guru Bidang Studi Tetap TT
Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Kristen
Pendidikan Agama Katolik
Bahasa Indonesia
PPKN
Sejarah
Pendidikan Jasmani &
Kesehatan
Matematika
Bahasa Inggris
Fisika
Kimia
Komputer / KKPI
Kewirausahaan
Bimbingan Konseling
3
-
-
4
3
2
2
4
3
1
4
-
2
5
-
1
1
-
-
-
1
3
2
1
1
1
-
-
3
1
1
4
3
2
3
7
5
2
5
1
2
5
JUMLAH
31 11 42
Sumber: data SMK Negeri 5 Semarang
67
Tabel 3 Data Guru Produktif SMK Negeri 5 Semarang
Status No. Guru Program Keahlian
Tetap TT Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Teknik Gambar Bangunan
Teknik Pemanfaatan Listrik
Teknik Mesin Perkakas
Teknik Mekanik Otomotif
Teknik Transmisi Telkom
Teknik Komputer Jaringan
8
8
4
3
-
2
-
-
-
1
2
2
8
8
4
4
2
4
JUMLAH 25 4 31
Sumber: data SMK Negeri 5 Semarang
4. Tingkat Kedisiplinan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang
Pelanggaran tata tertib sekolah paling banyak dilakukan oleh
siwa berjenis kelamin laki – laki. Pelanggaran tata tertib sekolah yang
sering dilakukan oleh siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang beragam terdiri dari tidak masuk tanpa keterangan (alpa),
meninggalkan pelajaran tanpa izin, baju tidak dimasukkan dan mencorat –
coret seragam sekolah, berkelahi, tidak segera menempuh atau
menyelesaikan remidi (lihat gambar 7).
Dari pelanggaran tata tertib sekolah tersebut tidak masuk tanpa
keterangan (alpa) dan keterlambatan datang ke sekolah (lihat gambar 8)
menempati urutan teratas pelanggaran terhadap tata tertib sekolah.
68
Observasi secara langsung mendapatkan bahwa kasus atau pelanggaran
yang paling tampak adalah ketertiban mengenai baju yang tidak
dimasukkan dan tidak memakai atau membawa atribut sekolah seperti
bagde sekolah dan sabuk (lihat gambar 9). Alasan siswa mengenai baju
yang tidak dimasukkan adalah karena gaya/trend anak remaja masa kini.
Guru sering memberikan teguran dan nasehat agar baju dimasukkan tapi
siswa kadang tidak memperhatikan dan menyepelekan ajuran Guru
tersebut. Siswa kadang hanya memasukkan baju saat bertemu Guru dan
ingin masuk ruang Guru, setelah itu siswa mengeluarkan bajunya kembali.
Karakteristik siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang pada umumnya memiliki rasa tanggung jawab kurang karena
motivasi belajar yang kurang.
Data kedisiplinan tata tertib sekolah dapat dilihat salah satunya
melalui jenis – jenis pelanggaran siswa yang berupa hasil obeservasi dan
wawancara, diperoleh data sebagaimana pada tabel 4 sebagai berikut:
69
Tabel 4 Jenis Pelanggaran Tata Tertib Sekolah SMK Negeri 5
Semarang
Tahun Pelajaran No Jenis Pelanggaran
2003 - 2004 2004 - 2005 2005 - 2006
1. Alpa 63 145 80
2. Bolos 16 85 49
3. Merokok 9 12 4
4. Berkelahi 10 38 5
5. Berjudi 25 19 14
6. Remidiasi 16 36 7
7. Keluarga 4 6 3
8. Ekonomi 9 12 15
9. Kesulitan Belajar 12 58 35
10. Pribadi 8 27 16
JUMLAH 172 438 228
Sumber: data SMK Negeri 5 Semarang
Dari observasi dan wawancara jenis – jenis pelanggaran tata tertib
sekolah dapat diperinci sebagai berikut:
1. Alpa atau tidak masuk tanpa ijin adalah perbuatan pergi meninggalkan
sekolah tanpa sepengetahuan orang tua disebabkan oleh aspek luar
akibat pergaulan dengan teman sepermainan.
2. Bolos dilakukan siswa dengan sendiri maupun berkelompok tanpa
tujuan, dan mudah menimbulkan perbuatan yang iseng negatif. Bolos
dari mengikuti pelajaran dilakukan saat jam pelajaran berlangsung
70
disebabkan siswa merasa kurang bisa mengikuti pelajaran yang
diberikan oleh Guru.
3. Merokok dilakukan siswa di saat jam istirahat biasanya bertempat di
kamar mandi sekolah dengan adanya faktor pengaruh dari teman.
4. Berkelahi di dalamnya termasuk tawuran disebabkan oleh masalah
individu dan salah paham antar siswa.
5. Berjudi dilakukan siswa dengan alasan iseng tidak ada kerjaan di
sekolah untuk mengisi waktu dan adanya pengaruh dari teman.
6. Remidiasi adalah bagi siswa yang mempunyai nilai mata pelajaran
tidak sesuai standar disarankan mengkuti remidiasi pelajaran. Namun
siswa sering tidak mengkuti remidiasi dengan berbagai alasan seperti
malas untuk mengikutinya bahkan ada yang sampai satu tahun
pelajaran tapi belum mengkuti remidiasi.
7. Keluarga, disebabkan hubungan keluarga tidak harmonis yang
mengganggu siswa di sekolah.
8. Ekonomi, biasanya yang sering adalah siswa belum membayar SPP
sampai beberapa kali hingga menunggak pembayaran.
9. Kesulitan belajar, siswa mengalami kesulitan dalam memahami
pelajaran sehingga sering mengganggu situasi pembelajaran di kelas.
10. Pribadi adalah terkait dengan personal individu siswa yaitu interaksi
dengan siswa lain.
5. Isi Tata Tertib Sekolah Kaitannya Dengan Pelaksanaan Pendidikan
Moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang
71
Pendidikan moral di sekolah diberikan melalui 2 (dua) program
yaitu program intrakulikuler dan program ekstrakulikuler. Pendidikan
moral melalui program intrakulikuler terdapat pada mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah, Agama, Kesenian dan
Olahraga sedangkan pada mata pelajaran yang lain diterapkan dan
disesuaikan dengan kajian pembahasan oleh masing – masing Guru.
Program yang bersifat ekstrakulikuler dilakukan melalui
kegiatan selain program intrakulikuler antara lain sebagai suatu lembaga
pendidikan formal, sekolah berperan dalam penumbuhan keutuhan pribadi
siswa melalui situasi budaya di lingkungan sekolah dan penanaman nilai –
nilai luhur, etika dan budaya bagi siswa. Program ekstrakulikuler
dilaksanakan melalui kegiatan organisasi di sekolah seperti Organisasi
Intra Sekolah (OSIS), Pramuka, Pencinta Alam dan olahraga.
Dalam kaitannya dengan pengamalan nilai – nilai hidup, maka
moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai
dengan nilai – nilai hidup yang dimaksud. Nilai moral yang diharapkan
oleh sekolah sekurang- kurangnya seperti yang dirumuskan dalam SKL
(Standar Kompetensi Lulusan) baik yang terdapat dalam pendidikan
agama, PKNS, kesenian dan olahraga. Misalkan mengembangkan nilai
religiositas, nilai sosialitas, nilai keadilan, nilai demokrasi, nilai kejujuran,
nilai kemandirian, nilai daya juang, nilai tanggung jawab dan nilai
penghargaan terhadap lingkungan alam. Salah satu nilai religiositas pada
tata tertib sekolah adalah waktu pelajaran pertama akan dimulai dan
72
pelajaran terakhir akan selesai, semua siswa melakukan acara berdoa yang
dipimpin ketua kelas. Nilai sosialitas antara lain setiap siswa wajib
mengikuti pelajaran dengan baik, sopan dan patuh kepada Guru. Nilai
tanggung jawab adalah piket kelas bertanggungjawab atas alat-alat olah
raga yang digunakan. Nilai penghargaan terhadap lingkungan alam setiap
siswa wajib menjaga kebersihan lingkungan sekolah, setiap siswa wajib
menjaga keindahan lingkungan sekolah, setiap siswa wajib menjaga
keutuhan barang-barang milik sekolah.
Tata tertib sekolah dapat menjadi sarana pendidikan moral
dikarenakan juga dalam penyusunannya memperhatikan norma –
norma/kaidah – kaidah baik berupa norma agama, norma sosial maupun
norma hukum. Peran dari Kepala Sekolah adalah menyusun tata tertib
sekolah, menyusun mekanisme kerja petugas tata tertib sekolah dan
melakukan kontrol terhadap pelaksanaan tata tertib sekolah. Menyusun
petugas tata tertib sekolah, menyusun mekanisme kerja petugas tata tertib
sekolah, melakukan pengontrolan terhadap pelaksanaan tata tertib sekolah.
Pegawasan terhadap tata tertib sekolah diserahkan pada Bidang Kesiswaan
baik mengenai personil, penanganan sanksi dan pendataan pelanggaran –
pelanggaran. Tugas BP/BK yaitu mendata file khusus yang berisi siswa
yang ditangani, konsultasi, memanggil orang tua, seminggu sekali
mengecek ketertiban siswa, BK/BP membuat surat skors. Macam –
macam tata tertib sekolah untuk unit-unit kegiatan di sekolah itu, seperti
73
perpustakaan sekolah, laboratorium, fasilitas olah raga, kantin sekolah, dan
sebagainya.
B. Pembahasan
1. Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah Sebagai Saraan Pendidikan Moral
Di Sekolah Menengah kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang
Pendidikan adalah usaha sadar untuk membantu siswa di dalam
mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan sekaligus
kepribadiannya secara utuh. Sesuatu prinsip moral barulah menjadi suatu
kekuatan yang mengikat (imperatif) jika mampu menumbuhkan kesediaan
seseorang untuk menerimanya sebagai pemandu tingkah lakunya. Situasi
moral adalah situasi di mana siswa akan memilih dan menentukan tingkah
lakunya berdasar serangkaian alternatif tingkah laku. Dalam memilih dan
menentukan tingkah laku yang akan diambil, seseorang akan dibimbing
oleh serangkaian prinsip – prinsip atau aturan – aturan moral, yang pada
hakikatnya preskripsi universal (sekedar menganjurkan atau mensugesti
tingkah laku – tingkah laku yang dimaksudkan) dari tingkah laku
berjustifikasi, dalam suatu proses yang bercirikan oleh pendayagunaan
penalaran. Sekolah dapat membantu perkembangan moral yang tidak
hanya eksplisit dalam kurikulum, tetapi juga terletak secara implisit pada
situasi di sekolah tersebut.
Tata tertib sekolah di samping sebagai aturan hukum yang
diterapkan di sekolah, dari hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah
74
satu sarana pendidikan moral. Tata tertib sekolah mengatur tingkah laku
siswa di sekolah, otomatis tata tertib sekolah adalah sebagai suatu norma.
Norma selalu terkait dengan aspek moral jadi merupakan salah satu moral
yang harus dimiliki oleh siswa semisal norma agama, norma kesusilaan
dan norma kesopanan. Diungkapkan H.M Saidi, Kepala Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang bahwa ”tata tertib sekolah
disusun berdasarkan kaidah – kaidah hukum formal dan norma – norma
sosial maupun norma agama” (wawancara: 29 Mei 2007). Sebenarnya
hakikat pendidikan moral adalah bagaimana mengajarkan pada siswa
tentang moral sendiri. Pemberian moral tersebut substansinya pada
penekanan nilai – nilai kehidupan yang dihargai oleh masyarakat yang
melembaga melalui norma – norma, baik norma agama, norma hukum
maupun norma sosial.
Nilai – nilai kehidupan adalah norma – norma yang berlaku
dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun. Dalam
moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu diperlukan, dan
suatu perbuatan yang dinilai tidak baik perlu dihindari. Tata tertib sekolah
menjadi efektif karena setiap pelanggaran tata tertib sekolah mengandung
sanksi. Tata tertib sekolah memiliki sifat memaksa yang di dalamnya
memuat tugas dan kewajiban, larangan – larangan serta sanksi. (Djamarah,
2005:199) tujuan pemberian hukuman dalam perspektif pedagogis, sanksi
berupa hukuman dilaksanakan dengan tujuan untuk melicinkan jalan
tercapainya tujuan pendidikan dan pengajaran. Lebih lanjut dalam rangka
75
pembinaan siswa, baik pendekatan hukum maupun pendekatan
sosioantropologis kurang baik digunakan, yang tepat digunakan adalah
pendekatan pedagogis.
Tata tertib sekolah yang baik adalah yang mampu dilaksanakan,
kriterianya membatasi atau mengikat semua siswa secara keseluruhan,
tidak hanya sekedar takut pada aturan tapi membuat siswa sadar, tidak
hanya larangan tapi menyadarkan anak terhadap peraturan. Mampu
menyadari pentingnya tata tertib sekolah sendiri, siswa mampu melakukan
tata tertib sekolah sesuai dengan kesadaran pribadi masing – masing, siswa
menjadi butuh atau kebutuhan/kebiasaan dalam diri siswa.
Diungkapkan Purwodarminto (Sunarto, 1994:141) moral adalah
ajaran tenggang baik buruk, perbuatan kelakuan, akhlak, kewajiban dan
sebagainya. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan
antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian moral
merupakan kendali dalam bertingkah laku. Sumber acuan moral antara lain
dapat berasal dari agama, adat – istiadat, hukum positif dan kodrat
manusia. Pendidikan moral juga mengajarkan antara lain disiplin, otonomi
diri dan interaksi dengan lingkungan.
Pada prinsipnya pendidikan moral merupakan tanggung jawab
setiap elemen sekolah. Karena kondisi sekolah yang kondusif akan
mendukung terciptanya moral siswa yang baik. Zakiyah (Daroeso,
1986:128) mengatakan sekolah hendaknya diusahakan menjadi lapangan
yang baik bagi penumbuhan dan pengembangan mental dan moral anak
76
didik, di samping tempat pemberian pengetahuan, pendidikan
keterampilan dan pengembangan bakat dan kecerdasan. Hendaknya segala
sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran (baik Guru,
pegawai, buku, peraturan dan alat – alat) dapat membawa siswa kepada
pembinaan mental yang sehat, moral yang tinggi dan pengembangan
bakat, sehingga siswa dapat lega dan tenang dalam pertumbuhan dan
jiwanya tidak goncang. Kegoncangan jiwa dapat meyebabkan mudah
terpengaruh oleh tingkah laku yang kurang baik.
Tata tertib sekolah adalah ketentuan yang mengikat yang
bertujuan untuk menjamin terselenggaranya proses pendidikan yang baik.
Tata tertib sekolah menjadi efektif karena setiap pelanggarannya
mengandung sanksi yang bersifat memaksa. Pendidikan moral adalah
upaya untuk memberi motivasi, memberi keteladanan, memberi nilai –
nilai tentang kaidah – kaidah/norma – norma baik norma agama, norma
hukum formal, norma sosial yang semuanya ditujukan untuk membangun
moral siswa. Tata tertib sekolah disusun berdasarkan kaidah – kaidah
hukum formal dan norma – norma sosial maupun agama, seperti dilarang
minum minuman keras, berjudi. Impelementasi pendidikan moral
tercermin pada pelaksanaan tata tertib sekolah.
Nilai – nilai pendidikan moral terdapat pada tingkat ketertiban
siswa dalam lingkungan sekolah. Isi pendidikan moral pada tata tertib
sekolah terdapat pada setiap poin yang diatur dalam tata tertib sekolah
seperti. Di lingkungan sekolah mengalami bertemunya berbagai macam
77
tingkah laku siswa. Masyarakat menginginkan adanya nilai – nilai yang
stabil dihargai atau dengan kata lain nilai – nilai yang diharapkan dan
sesuai dengan masyarakat. Mengharapkan kestabilan beberapa tingkah
laku dan kebiasaan yang telah ada di masyarakat seperti berpakaian rapi,
berbicara dengan sopan dan hormat pada Guru. Sehingga diperlukan
adanya pedoman dalam bertingkah laku terhadap nilai – nilai masyarkat
mengenai apa yang dilarang atau diperbolehkan.
Berbicara tentang nilai – nilai yang bisa ditanamkan melalui
pendidikan moral, APEID – NIER Regional Project, melalui salah satu
publikasinya, Moral Education in Asia (Haricahyono, 1995:403 – 404),
menegaskan adanya 4 (empat) macam nilai, yaitu:
a. Nilai – nilai sosial, meliputi kerjasama, kebersihan lingkungan,
kebajikan, persaudaraan, keadilan sosial, menghormati orang lain,
tanggung jawab sosial, persaudaraan yang mondial, menghormati
martabat manusia, menghormati hak asasi manusia, dan lain – lain;
b. Nilai – nilai personal, meliputi rendah hati, dapat dipercaya, disiplin,
toleran, tertib, kebersihan, suka perdamaian (tenang), dan lain – lain;
c. Nilai – nilai kenegaraan – mondial, meliputi kesadaran nasional,
patriotisme, ketaatan kepada pemerintah, suka damai, persaudaraan,
kemanusiaan, kesadaran ketergantungan antar bangsa, dan lain –
lain;
78
d. Nilai – nilai prosesual, meliputi pendekatan ilmiah terhadap
kenyataan, mencari kebenaran, penangguhan pengadilan, dan lain –
lain.
Obyek pendidikan moral yang menekankan pada Pancasila pada
hakikatnya adalah nilai – nilai yang dijabarkan oleh Pancasila. Nilai – nilai
tersebut mencakup nilai – nilai yang dikualifikasikan ke dalam 4 (empat)
kelompok nilai di atas, yaitu nilai – nilai sosial, personal, kenegaraan –
mondial, dan prosesual. Nilai – nilai itulah sebenarnya yang ingin
ditumbuhkembangkan dalam diri pribadi masing – masing siswa.
Pendidikan Moral Pancasila pada hakikatnya adalah pendidikan yang
secara sadar ingin mengarahkan sikap dan tingkah laku siswa kearah hal –
hal yang baik dan positif.
Selain itu nilai – nilai kehidupan juga bisa dikembangkan
dengan nilai – nilai Pancasila seperti nilai – nilai keagamaan, nilai – nilai
kemanusiaan dan nilai perikeadilan, nilai – nilai estetik, nilai – nilai etik
dan nilai – nilai intelektual, dalam bentuk – bentuk sesuai dengan
perkembangan remaja. Pelanggaran tata tertib sekolah, merupakan
pelanggaran norma hukum dan sekaligus norma moral. Tetapi norma
moral dapat menjadi norma hukum, sehingga barangsiapa yang
melanggarnya dapat dikenakan sanksi hukum. Norma tersebut, setelah
mengalami suatu proses pada akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari
lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut dinamakan proses pelembagaan
(institutionalization) yang dimaksud ialah sampai norma itu oleh
79
masyarakat dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati dalam
kehidupan sehari – hari.
Sidharta (2006:77) menyatakan sebagai suatu kompleks dari
nilai – nilai (sistem nilai) atau kumpulan moral, moralitas pada diri
seseorang atau suatu masyarakat digunakan dalam 2 (dua) hal, yakni:
a. Sebagai standar normatif evaluatif (normative standards of
evaluation), dan;
b. Aturan normatif perilaku (normative rules of conduct).
Proses pelembagaan sebenarnya tidak berhenti sedemikian saja,
akan tetapi dapat berlangsung lebih jauh lagi hingga suatu norma
kemasyarakatan tidak hanya menjadi institutionalized dalam masyarakat,
tetapi menjadi internalized. Maksudnya adalah suatu taraf perkembangan
di mana para anggota masyarakat dengan sendirinya ingin bertingkah laku
sejalan dengan tingkah laku yang memang sebenarnya memenuhi
kebutuhan masyarakat.
Dalam kaitan ini, nilai – nilai moral adalah nilai yang berada
dalam lubuk hati serta menyatu dengan raga, yang di dalamnya menjadi
suara hati atau mata hati atau hati nurani ”the conscience of man”.
Menyebut suara batin itu sebagai suatu panggilan luhur hendak
meningkatkan kesadaran manusia setinggi – tingginya. Suara batin ini
tidak berkembang secara otomatis, tetapi harus dikembangkan melalui
pendidikan sepanjang hayat terutama terhadap sosialiasi moral di
lingkungan sekolah.
80
Nilai – nilai terlebih dahulu harus dikenal kemudian dihayati dan
didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai –
nilai tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai
– nilai yang dimaksud. Norma moral adalah norma untuk mengukur betul
– salahnya tindakan manusia sebagai manusia. Kesadaran moral adalah
kesadaran manusia tentang diri sendiri, di dalam mana kita melihat diri
kita sendiri dalam berhadapan dengan baik – buruk. Dalam hal ini manusia
dapat membedakan antara yang halal dan yang haram, yang boleh dan
tidak boleh dilakukan, meskipun dapat dilakukan. Dalam kehidupan
bersama memunculkan tata nilai atau aturan – aturan yang dianut atau
diberlakukan serta harus dipatuhi oleh para anggota kelompoknya. Tata
nilai tersebut tidak lepas dari penilaian baik dan buruk, benar dan salah,
adil dan jahat, tertib dan tidak tertib dan sebagainya. Pelaksanaan tata
tertib sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang
dapat dilihat pada gambar 5 yaitu:
81
Gambar 5. Pola Pembinaan Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah
Tata Tertib Sekolah
Sanksi
Tugas dan Kewajian
Larangan - Larangan
Kepala Sekolah Waka Kesiswaan
Siswa
Tahu Moral
Perasaan Moral
Tindakan Moral
STP2K
BK/BP
Unsur Luar
Credit Poin
Penyusunan Penerapan Evaluasi
82
Pendidikan moral yang dilakukan di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang antara lain disampaikan Warsito,
Guru Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang ”.....melalui peringatan hari – hari
besar keagamaan, sholat jum’at yang rutin dilakukan, peringatan hari –
hari besar nasional, bakti sosial, donor darah dan zakat fitrah.....”
(wawancara: 25 Mei 2007). Ditambahkan Warsito dalam pembelajaran di
kelas dilakukan dengan memberikan contoh – contoh riil nilai – nilai
moral yang ada di masyarakat ”.....misalkan pada pembelajaran cinta tanah
air siswa diberikan contoh untuk menjaga kebersihan di sekolah.....”
(wawancara: 25 Mei 2007).
Tata tertib sekolah merupakan salah satu diantara pendidikan
moral yang bersifat pencegahan atau preventif diungkapkan oleh Siti
Bulqis, Guru koordinator Bimbingan Konseling Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang”.....tata tertib sekolah bisa dijadikan
sarana pendidikan moral sebagai alat pencegahan atau preventif.....”
(wawancara: 26 Mei 2007). Sebagai sarana pendidikan moral adalah suatu
tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja
diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan. Alat pendidikan yang
preventif ialah alat – alat pendidikan yang bersifat pencegahan yaitu untuk
mencegah masuknya pengaruh – pengaruh buruk dari luar ke dalam diri
siswa. Alat pendidikan preventif diartikan sebagai jika maksudnya
mencegah anak sebelum ia berbuat sesuatu yang tidak baik.
83
Tindakan pendidikan yang merupakan alat pendidikan, dapat
ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu (Djamarah, 2005:210 –
211):
a. Pengaruh tindakan terhadap tingkah laku siswa.
1). Yang bersifat positif mendorong siswa untuk melakukan
serta meneruskan tingkah laku tertentu;
2). Yang bersifat negatif mendorong siswa untuk menjauhi
serta menghentikan tingkah laku tertentu.
b. Akibat tindakan terhadap perasaan siswa: menyenangkan siswa;
tidak menyenangkan atau menyebabkan siswa menderita.
c. Bersifat melindungi siswa yaitu mencegah atau mengarahkan dan
memperbaiki.
Salah satu materi dari tata tertib sekolah adalah mengenai norma
kesopanan seperti cara berpakaian, cara masuk saat datang terlambat
masuk ke kelas dan saat berkomunikasi antara Guru dan siswa. Segi norma
agama dan norma hukum dalam tata tertib sekolah seperti siswa dilarang
minum minuman beralkohol, judi dan berkelahi.
Sudarminta (2004:114 – 117) mengklasifikasi langkah – langkah
pendidikan moral di sekolah yang mau menumbuhkembangkan kecerdasan
moral atau sikap dan tingkah laku yang baik dalam diri siswa
memperhatikan antara lain:
a. Pendidikan moral dilakukan dengan menciptakan suasana dan
iklim di sekolah secara keseluruhan yang kondusif bagi sosialisasi
84
terhadap nilai – nilai moral yang mau dikenalkan dan ditumbuhkan
kesadaran akan pentingnya serta penghayatannya dalam tingkah
laku siswa.
b. Tindakan nyata dan penghayatan hidup dari para pendidik atau
sikap keteladanan mereka dalam menghayati nilai – nilai moral
yang diajarkan akan dapat secara instinktif mengimbas dan efektif
berpengaruh pada siswa.
c. Semua pendidik di sekolah, terutama Guru, perlu jeli melihat
peluang yang ada, baik secara kulikuler maupun non
ekstrakulikuler, untuk menyadarkan pentingnya sikap dan tingkah
laku positif dalam hidup bersama dengan orang lain, baik dalam
keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Tata tertib sekolah dapat meningkatkan pendidikan moral bagi
siswa didasarkan pada indikator tata tertib sekolah yang baik harus mampu
untuk dipahami dan dilaksanakan oleh siswa. Kriteria tata tertib sekolah
yang baik adalah dapat membatasi atau mengikat semua siswa secara
keseluruhan, siswa tidak hanya sekedar takut pada tata tertib sekolah
namun dapat membuat siswa sadar akan pentingnya bertingkah laku yang
baik dan tata tertib sekolah yang baik tidak hanya memuat larangan saja
akan tetapi menyadarkan siswa terhadap tata tertib sekolah.
Sistem Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang merupakan hasil
dari penggalian antara unsur – unsur kebutuhan siswa dan sekolah. Tata
85
tertib sekolah sangat perlu diadakan sebagai aturan yang harus diikuti oleh
mereka dengan penuh kesadaran, bukan karena tekanan atau paksaan. Tata
tertib sekolah tidak dapat ditentukan oleh kepala sekolah sendiri, atau
bahkan oleh dinas pendidikan semata-mata. Tata tertib sekolah pada
hakikatnya dibuat dari, oleh, dan untuk warga sekolah. Kalaupun konsep
tata tertib sekolah itu telah dibuat oleh kepala sekolah atau dinas
pendidikan, maka konsep itu harus mendapatkan persetujuan dari semua
pemangku kepentingan di sekolah. Komite Sekolah akan lebih baik jika
dimintai pendapatnya tentang tata tertib sekolah tersebut. Guru dan siswa
harus dimintai pendapatnya tentang tata tertib tersebut. Orangtua pun
harus memperoleh penjelasan secara terbuka tentang tata tertib sekolah itu.
Pemberian sanksi pelanggaran tata tertib sekolah berdasarkan
poin angka (credit poin) maksudnya setiap pelanggaran tata tertib sekolah
akan diberikan poin atau bobot angka yang menunjukan kesalahan yang
diperbuat. Poin atau bobot angka ini nantinya akan ditotal menjadi laporan
pada tiap akhir tahun pelajaran. Bagi siswa yang telah masuk atau
melebihi bobot angka tersebut akan dikenai sanksi sesuai dengan yang
telah diatur dalam tata tertib sekolah. Sanksi akan diberikan sesuai dengan
derajat kesalahan yang telah ditentukan dalam tata tertib sekolah.
Penerapan tata tertib sekolah dengan menggunakan sistem credit poin
dapat dilihat dalam 2 (dua) tipe yaitu dari sisi positif dan sisi negatif pada
tabel 5 yaitu:
86
Tabel 5 Perbandingan Penerapan Sistem Credit Poin
No. Perbandingan Positif Negatif
1. Kriteria Bersifat menciptakan
suasana ketertiban dan
kedisiplinan
Bersifat top down
2. Aturan Dibuat dengan
kesepakatan antara
sekolah dan siswa
Adanya sifat yang
membatasi dan memaksa
3. Sanksi Lebih tegas dan
spesifik
Kurang memberikan
impelementasi
pendidikan moral
cenderung ke sanksi
yang bersifat fisik
4. Personil Guru akan dapat
mudah mengontrol
setiap pelanggaran
siswa dengan
penggunaan
standarisasi poin
penggunaan poin yang
kurang konsisten dan
tegas oleh Guru dalam
pendataan, sanksi akan
berdampak siswa akan
mengacuhkan pemberian
poin tersebut
87
Penyusunan tata tertib sekolah dilakukan oleh Wakil Kepala
Sekolah Bidang Kesiswaan dengan staf dipimpin oleh Kepala Sekolah
dengan menerima masukan – masukan dari berbagai elemen sekolah
seperti Guru Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah (PKNS), Guru
Agama dan Guru Bimbingan dan Penyuluhan/Bimbingan dan Konseling.
Tata tertib sekolah yang baik adalah memberikan jaminan
menimbulkan suasana yang kondusif sehingga mendukung
penyelenggaraan pendidikan. Mujis (2001:42) mengemukakan bahwa:
School effectiveness research has long pointed to the importance of school-wide behavior policies in creating the academically oriented, high-achieving school. It can often be fruitful to involve students in the making of rules in order to encourage a sense of ownership and shared responsibility and shared responsibility over them and to involved (especially older) students in policing rules and procedures as well
Seperti diketahui, bahwa tata tertib sekolah dapat menciptakan
disiplin dan orientasi akademis warga sekolah pada khususnya, dan
meningkatkan capaian sekolah pada umumnya (Mujis, 2001:42).
Penggunaan tata tertib sekolah diharapkan dapat mengembangkan pola
sikap dan tingkah laku yang lebih disiplin dan produktif dari siswa.
Dengan tata tertib sekolah tersebut, siswa memiliki pedoman dan acuan
dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam melaksanakan
kebijakan, program, dan kegiatan sekolah. Tata tertib sekolah sangat
penting sebagai aturan yang harus dipatuhi oleh peserta didik. Tata tertib
sekolah apa saja yang harus dibuat itu sudah barang tentu amat ditentukan
oleh kepentingan sekolah.
88
Penegakan tata tertib sekolah dengan menggunakan langkah –
langkah berupa pemasangan di ruang – ruang belajar atau tempat yang
strategis sehingga siswa dapat melihat dan membaca, sosialisasi tata tertib
sekolah melalui kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) dan pada saat
upacara, pekan tata tertib sekolah, pengontrolan siswa setiap hari,
sidak/pemeriksaan mendadak ke kelas – kelas, bekerjasama dengan
kepolisian jika terjadi pelanggaran berat. Siswa yang menaati tata tertib
sekolah dapat dikatakan mempunyai moral yang baik karena mempunyai
kesadaran diri akan arti penting tingkah laku yang diperlihatkan pada
pelaksanaan di sekolah.
Bentuk – Bentuk Pelanggaran Tata Tertib Sekolah Sebagai
Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri
5 Semarang adalah bersifat ringan, sedang dan berat. Kategori ringan yaitu
Bentuk penegakan tata tertib sekolah untuk kasus atau pelanggaran
tersebut adalah ditegur atau dinasehati dengan pembinaan secara
insidental. Bentuk pelanggaran yang bersifat sedang adalah terbukti
membuat/menggunakan surat keterangan ijin tidak dari orang tua/wali,
sengaja melanggar aturan kebersihan corat – coret tembok dan bangku,
terbukti membawa rokok dan merokok, ancaman terhadap
Guru/Karyawan.
Bentuk pelanggaran yang bersifat berat antara lain bermain judi
di sekolah, melakukan tindakan asusila di lingkungan sekolah, berkelahi
dengan teman sekolah, mengambil barang milik sekolah atau orang lain
89
tanpa seijin pemilik, mencemarkan nama baik Guru, Karyawan maupun
sekolah, terlibat perkara yang ditangani oleh Kepolisian, berkelahi dengan
siswa sekolah lain sehingga melibatkan nama sekolah dan penganiayaan
terhadap Guru dan Karyawan.
Pemberian sanksi bisa berupa hadiah dan juga bisa berupa
hukuman terhadap siswa yang melanggar tata tertib sekolah. Sanksi
dilaksanakan sekolah dalam rangka komformitas dan kontrol. Sanksi
adalah tanggungan berupa tindakan, hukuman dan sebagainya memaksa
orang, untuk menepati janji atau menaati apa – apa yang telah ditentukan.
Sanksi digunakan untuk menghukum perbuatan/tingkah laku dianggap
tidak sesuai dengan norma. Stern (Djamarah, 2005:204) mengatakan
bahwa pemberian hukuman memperhatikan tingkat perkembangan siswa
yang menerima hukuman melalui hukuman normatif yaitu hukuman yang
memperbaiki moral siswa. Dengan hukuman ini Guru berusaha
mempengaruhi kata hati siswa, menginsyafkan siswa terhadap
perbuatannya yang salah, dan memperkuat kemauannya untuk selalu
berbuat baik dan menghindari kejahatan.
Sanksi – sanksi terhadap pelanggaran tata tertib sekolah menurut
sistem credit poin menggunakan bobot sanksi dengan aturan setiap
pelanggaran akan dijumlahkan untuk satu tahun pelajaran, bobot tahun
sebelumnya akan diteruskan dengan perhitungan 25 % nya, siswa yang
melanggar akan dibina dengan tahapan sebagai berikut tahap 1 (satu)
jumlah bobot 20 siswa diberi peringatan lisan; tahap 2 (kedua) jumlah
90
bobot 50 panggilan dan pemberitahuan kepada orang tua/wali; tahap 3
(tiga) jumlah bobot 75 panggilan orang tua/wali dengan surat pernyataan;
tahap (empat) jumlah bobot 120 siswa dikembalikan pada orang tua/wali.
Setiap pelanggaran dengan bobot lebih besar dari 10 (sepuluh) atau
melakukan pelanggaran yang sama dengan yang pernah dilakukan di
samping mendapat tambahan nilai juga harus mengerjakan tugas cinta
lingkungan.
Sanksi yang diberikan kepada siswa yang melanggar tata tertib
sekolah selain sanksi yang tertulis ada sanksi yang tidak tertulis, namun
penggunaanya dengan memperhatikan sifat mendidik bagi siswa antara
lain tugas membersihkan kelas, kamar mandi dan taman kelas. Sanksi
akademis yaitu teguran lisan, pembinaan, dikeluarkan dari kelas,
memanggil orang tua dengan Bimbingan dan Penyuluhan/Bimbingan dan
Konseling.
Faktor – Faktor Penyebab Pelanggaran Tata Tertib Sekolah
Sebagai Sarana Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang adalah karena dua faktor utama yaitu faktor bawaan
(internal) siswa dan faktor lingkungan (eksternal) siswa. Yang termasuk
dalam lingkungan internal adalah faktor yang berhubungan dengan potensi
bawaan siswa itu sendiri, seperti faktor intelegensi, bakat maupun
dorongan instrinsiknya atau motif. Sedangkan yang termasuk dalam
lingkungan eksternal adalah lingkungan instrumental, paling tidak terdapat
faktor pendidik, materi pendidikan, alat dan metode pendidikan, serta
91
sistem komunikasi antara pendidik dan siswa. Lingkungan sosial budaya,
paling tidak ada akan terdapat lingkungan tempat tinggal, kondisi status
sosial ekonomi keluarga, lingkungan teman sebaya (peer group), keutuhan
keluarga, keharmonisan keluarga dan interaksinya dengan lingkungan
masyarakat secara umum.
Faktor yang bersifat internal pada diri siswa yaitu terjadi karena
siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan tahap fase adolesen
yang mempunyai kecenderungan siswa tidak terikat pada aturan dan
mencoba – coba untuk melakukan pelanggaran terhadap tata tertib
sekolah. Soeparwoto (2006:62 – 63) masa remaja adalah masa umur antara
13/14 sampai 18 tahun dengan ciri – ciri:
a. Periode yang penting karena berakibat langsung terhadap sikap dan tingkah laku.
b. Periode perubahan sikap dan perilaku yang sejajar dengan perubahan fisik.
c. Mencari identitas, pada tahun – tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih penting, kemudian mereka mendambakan identitas diri.
Kesadaran yang tumbuh di kalangan siswa tidak lepas dari
bagaimana proses pendidikan siswa, pemahaman terhadap tata tertib
sekolah, sikap membimbing dari Guru dan kondisi dukungan keluarga.
Masalah moral yang terjadi pada proses remaja ditandai oleh adanya
ketidakmampuan remaja membedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Hal ini disebabkan oleh ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan
salah yang ditemukan dalam kehidupan sehari – hari (Mugiarso, 2006:98).
Terbentuknya kesadaran siswa disebabkan oleh beberapa faktor yang
92
mempengaruhi yaitu Guru, peraturan itu sendiri, keluarga dan lingkugan
sekitar.
Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) termasuk tahap
perkembangan Autonomous Morality atau Independensi Morality dalam
tingkat perkembangan Postkonvensional. Pendidikan moral yang diberikan
melalui tata tertib sekolah adalah berupa kontrak sosial dibuat antara
kesepakatan sekolah dan siswa dengan mempertimbangkan masukan –
masukan dari berbagai pihak. Tujuannya kebijakan tersebut agar dapat
diterapkan dan diterima secara umum oleh masyarakat dan siswa.
Tentunya sikap dan berperilaku yang baik itu merupakan prinsip etis yang
universal terhadap aturan – aturan.
Tingkat kesadaran siswa untuk mematuhi tata tertib sekolah
yaitu ada 3 (tiga) kategori yaitu baik, cukup dan kurang. Hal tersebut
dipengaruhi oleh faktor proses pendidikan, keluarga, kedewasaan siswa,
kewibawaaan Guru, kondisi sosial ekonomi keluarga dan faktor tata tertib
sekolah. Dengan tata tertib sekolah diharapkan siswa mampu menyadari
arti penting tata tertib sekolah, mampu melaksanakan tata tertib sekolah
sesuai dengan kesadaran pribadi masing – masing siswa, menjadi suatu
kebutuhan atau kebiasaan dalam diri siswa.
Faktor yang kedua adalah faktor eksternal artinya bahwa tingkah
laku siswa yang tidak sesuai dengan tata tertib sekolah terjadi karena unsur
lingkungan di luar diri siswa terbagi lagi menjadi 3 kategori yaitu yang
pertama kondisi sosial ekonomi orang tua siswa yaitu secara umum siswa
93
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang mempunyai
kondisi sosial hubungan dalam keluarga yang kurang nyaman. Seperti
yang disampaikan oleh Romadhon siswa kelas 12 (dua belas) melakukan
pelanggaran karena “di rumah orang tua kurang memperhatikan sehingga
ke sekolah ingin hiburan” (wawancara: 25 Mei 2007). Dari faktor – faktor
yang mempengaruhi siswa dalam bertingkah laku sesuai dengan moral
pada gambar 6 sebagai berikut:
Gambar 6. Faktor – Faktor Mempengaruhi Moral Siswa
Moral Siswa
Kesadaran Diri
Tata Tertib
Sekolah
Lingkungan
Pergaulan
Keluarga
94
Selain itu, dari segi ekonomi termasuk ke dalam kategori
menengah ke bawah. Diungkapkan Siti Bulqis bahwa faktor ekonomi
termasuk keluarga menengah ke bawah, kemudian latar belakang
pendidikan orang tua, rumah yang hanya berukuran 2 X 3 dan 3 X 3, 75 %
siswa SMK N 5 Semarang termasuk golongan ekonomi menengah ke
bawah. Anak sering bermain di luar, tidak kerasaan di rumah dan banyak
yang rumahnya jauh bahkan ada yang dari luar kota prosentasenya 90%
(wawancara: 26 Mei 2007). Kondisi ekonomi keluarga dapat diketahui
melalui home visit oleh Guru Bimbingan Konseling (BK) didapatkan
bahwa siswa yang sering melakukan pelanggaran tata tertib sekolah
kecenderungan mempunyai kondisi ekonomi yang lemah. Mugiarso
(2006:88) mengungkapkan bahwa Kunjungan Rumah (Home Visit)
mempunyai fungsi untuk pemahaman dan pengentasan masalah siswa
yang meliputi pengambilan data/keterangan yaitu:
a. Kondisi rumah tangga dan orang tua.
b. Fasilitas belajar yang ada di rumah.
c. Hubungan antara anggota.
d. Sikap dan kebiasaan siswa di rumah.
e. Berbagai pendapat orang tua dan anggota keluarga lainnya dalam
perkembangan anak dan pengentasan masalah siswa.
f. Komitmen orang tua dan anggota keluarga lainnya dalam
perkembangan siswa dan pengentasan masalah siswa.
95
Kondisi ekonomi keluarga turut mempengaruhi pergaulan siswa,
siswa cenderung tidak merasa nyaman di rumah. Hal ini disebabkan oleh
kondisi rumah yang tidak nyaman untuk ditempati, sehingga siswa
cenderung mencari hiburan di luar rumah. Pergaulan dengan lingkungan
luar mempunyai dampak pada sikap dan tingkah laku sehari – hari. Faktor
yang lain adalah keadaan keluarga mengenai hubungan antar keluarga,
ketidakcocokan dengan keinginan siswa dengan program keahlian yang
dipilih. Solusi dari pihak sekolah adalah dengan memberikan beasiswa
melalui BAZIS sekolah yang dikumpulkan setiap hari Jum’at. Guru dalam
penanganan pelanggaran tata tertib sekolah terhadap siswa berbeda antara
siswa kelas 10 (sepuluh), 11 (sebelas) dan 12 (duabelas).
Mengingat perbedaan perkembangan siswa yang memiliki kelas
yang lebih tinggi diungkapkan oleh Moehadjir (Daroeso, 1986:75)
“semakin rendah tingkat/kelas semakin besar aspek moralnya dan semakin
tinggi tingkat/kelas semakin besar aspek yuridis konstitusionalnya.....oleh
karena itu aspek moral pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bersifat
pemeliharaan dan pemupukan”. Pemeliharaan dan pemupukan aspek
moral tersebut pada kelas 12 (duabelas) seperti yang dikatakan oleh
Warsito “berbeda penanganan terhadap tiap kelas, misalkan pada kelas 12
memberikan pujian…..lah nang ngono luweh ganteng, luweh bagus nek
klambine dilebokna daripada ditakno…..(nah begitu kelihatan lebih bagus,
kelihatan lebih baik kalau bajunya dimasukan daripada dikeluarkan)”
(wawancara: tanggal 25 Mei 2007).
96
Suatu faktor yang cukup berpengaruh terhadap tingkah laku
siswa di sekolah adalah hubungan orang tua dan anak di rumah. Siswa
yang berasal dari keluarga yang konsisten dan mempunyai kebiasaan yang
teratur memperlihatkan tingkah laku baik di sekolah. Sebaliknya siswa
yang berasal dari keluarga yang sulit menanamkan kebiasan teratur di
rumah memperlihatkan tingkah laku yang jelek di sekolah. Siswa yang
kurang mempunyai bimbingan yang serasi, jarang bertemu dengan orang
tua karena sibuk bekerja, menunjukan tingkah laku yang kurang baik.
Orang tua yang mengajarkan norma – norma dan di sekolah Guru – Guru
juga mengajarkan norma – norma pula maka apabila norma yang diterima
siswa di sekolah adalah merupakan kelanjutan dari atau sama dengan yang
diperoleh siswa di lingkungan keluarga berdampak pola hubungan
keluarga dan sekolah akan selaras dan serasi (contunity). Jika sebaliknya
antara di sekolah dan di rumah bertentangan atau tidak sejalan maka akan
menimbulkan konflik pada diri siswa (discontunity). Konflik tersebut akan
berakibat siswa mempunyai kecenderungan untuk melakukan
penyimpangan atau pelanggaran terhadap tata tertib sekolah.
Goffman (Bahar, 1989:65) mengemukakan 4 (empat) macam
tindakan siswa yang sering dilakukan terhadap sekolah: pertama
situasional withdrawal yaitu siswa tidak menerima sanksi berupa
hukuman yang diberikan sekolah pada siswa, dan siswa menentang dan
bahkan mengabaikannya seperti tidak mengkuti remidiasi, tujuannya
adalah agar membatalkan sanksi yang diberikan sekolah kepadanya; kedua
97
intransigence yaitu merupakan perlawanan (menentang) secara terang –
terangan terhadap otorotitas sekolah atau kelas tertentu, siswa menolak
untuk menerima dan mematuhi tata tertib sekolah dan melawan dengan
beraksi, suatu bahaya dalam hal ini adalah bahwa siswa merasa bebas dari
hukuman sekalipun mereka berbuat salah; ketiga colonization yaitu
merupakan respon yang dilakukan siswa yang merasa bahwa tidak ada
yang dapat mereka kerjakan di sekolah, siswa mengganggap bahwa
sekolah tidak banyak membantu dalam pemenuhan keinginan dan harapan
mereka, sekolah hanya sebagai tempat bermain, tempat untuk dapat
bergaul dengan teman seperti lebih baik pergi ke sekolah daripada main –
main di jalanan; keempat conversion yaitu siswa menerima menerima
segala tata tertib sekolah seperti sekolah dengan siswanya lebih banyak
laki – laki daripada wanitanya tata tertib sekolah sering dilanggar.
Faktor sekolah turut serta memberikan penyebab siswa
melakukan pelanggaran tata tertib sekolah yaitu ketetapan dari Kepala
Sekolah yang menginstruksikan kepada Guru agar penanganan terhadap
kasus atau pelanggaran tata tertib sekolah diserahkan pada Wakil Kepala
Sekolah Bidang Kesiswaan yang membentuk STP2K (Satuan Tugas
Pembinaan dan Penegakan Kedisiplinan) yang dibantu oleh Bimbingan
Konseling (BK). Semestinya semua komponen di sekolah tutur
bertanggung jawab terhadap pemberian moral yang baik terutama Guru
mata pelajaran. Guru baik secara formal maupun informal memberitahu
98
tentang tata tertib sekolah dan sanksi – sanksi yang akan didapatkan siswa
bila melanggar tata tertib sekolah.
Faktor yang lain adalah adanya stigma dari siswa, bahwa
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang memiliki citra
sebagai salah satu sekolah yang sering tawuran. Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang mempunyai sejarah negatif berupa
image akan tawuran sehingga berdampak sampai sekarang persepsi itu
masih melekat. Namun mulai tahun 2007 ke bawah atau sejak 3 (tiga)
tahun terakhir tawuran tersebut sudah tidak ada lagi. Tawuran tersebut
cenderung untuk berkurang karena disebabkan beberapa hal antara lain
sudah berkurangnya aktivitas praktikum yang dilakukan di luar sekolah,
adanya sanksi yang tegas dari sekolah bagi yang melakukan tawuran
dikeluarkan dari sekolah, kerjasama dengan pihak Kepolisian dalam
penanganan kasus atau pelanggaran tersebut.
2. Kendala – Kendala Penegakan Tata Tertib Sekolah Sebagai Sarana
Pendidikan Moral Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang
Unsur kendala – kendala yang dihadapi dalam penegakan tata
tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang yaitu Guru dalam penegakan tata
tertib sekolah kurang bisa seirama dalam penegakan tata tertib sekolah.
Tergantung dari individu Guru masing – masing ada Guru yang konsisten
dan ada Guru yang kadang – kadang konsisten dan adapula yang tidak
99
peduli sama sekali terhadap pelanggaran tata tertib sekolah. Kurang
konsisten dari Guru menyebabkan siswa tidak menghargai teguran dari
Guru. Tidak semua Guru melakukan penegakan tata tertib
sekolah/lemahnya monitoring karena yang bertugas hanya BP/BK dan
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan.
Kendala – kendala yang lain adalah adanya beberapa siswa yang
memang sudah mempunyai potensi untuk melanggar tata tertib sekolah,
faktor kegiatan praktik masih ada yang di luar yaitu bengkel Balai Latihan
Pendidikan Teknik) sehingga kurang kontrol namun sejak tahun 2002
sekolah sudah membuat bengkel sendiri mudah dalam pengawasan siswa
sehingga sekolah bisa mengawasi.
Kendala – kendala yang dihadapi oleh Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang dalam pelaksanaan tata tertib sekolah
sebagai sarana pendidikan moral terdiri dari dua unsur kendala yaitu
bersifat internal dan eksternal. Kendala yang bersifat internal adalah
kurang konsistennya petugas maupun Guru di dalam melaksanakan
kontrol terhadap tingkah laku siswa yang melakukan pelanggaran. Kendala
yang bersifat eksternal adalah diakibatkan oleh faktor luar dari sekolah
seperti siswa yang dipukul terlebih dahulu oleh siswa sekolah lain.
Pelanggaran tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa dari
hasil pengamatan mengalami penurunan dari kuantitas terutama tawuran
antara sekolah. Penyebabnya adalah tindakan dari sekolah yang tegas
untuk mengeluarkan siswa yang bermasalah dari sekolah. Salah satu sebab
100
frekuensi penurunan pelanggaran tata tertib sekolah disebabkan terjadi
pergantian bidang kesiswaan dengan penajaman pembentukan satuan tugas
STP2K yang melakukan penanganan terhadap pelanggaran tata tertib
sekolah dan tegas dalam pelaksanaan tata tertib sekolah.
Penghargaan atau reward dari Guru terhadap siswa yang
moralnya baik adalah dengan penilaian terhadap nilai rapor yang berbeda
antara siswa yang sering melakukan pelanggaran tata tertib sekolah dengan
siswa yang taat pada tata tertib sekolah. Penilaian tersebut lazim sebagai
penilaian afektif siswa yang tidak hanya didasarkan pada ranah kognitif
saja namun Guru dalam memberikan evaluasi juga memperhatikan tingkah
laku siswa. Penghargaan yang lain adalah pemberian beasiswa terhadap
siswa yang kurang mampu akan diprioritaskan pada siswa yang memiliki
tingkah laku atau moral yang baik dengan indikasi bahwa tidak pernah
melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Siti Bulqis dari wawancara
mengatakan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang yang mendapatkan beasiswa dari GAKI di kelas 10 sebanyak
148 orang, 75 % siswa merupakan dari keluraga tidak mampu
(wawancara: 26 Mei 2007).
Antara siswa kelas 10, 11 dan 12 dari hasil observasi dan
wawancara didapatkan perbedaan karakteristik siswa. Siswa kelas 10
cenderung untuk taat dan patuh pada tata tertib sekolah karena masih ada
rasa takut dan masih mengenal lingkungan sekolahnya. Siswa kelas 11
sudah mengalami perubahan karena sudah mengenal lingkungan sekolah
101
dan tidak memikirkan ujian akhir nasional sehingga unsur coba – coba
semakin besar. Berbeda dengan kelas 12 yang semakin dewasa untuk
mengurangi pelanggaran tata tertib sekolah. Disebabkan Guru sudah
memberikan pemahaman kepada siswa bahwa mereka nantinya akan
menghadapi ujian akhir nasional.
Kendala – kendala tersebut secara umum akan mencakup dari
fasilitas yang dimiliki sekolah, personil yang menangani kebutuhan siswa
dan implementasi tujuan pendidikan moral melalui tata tertib sekolah yang
kadang kurang tepat disampaikan oleh Guru. Akibat yang ditimbulkan
adalah rasa ketidakpercayaan yang dialami oleh siswa dalam melalui tahap
– tahap perkembangan moral.
Upaya – upaya sekolah dalam mengatasi pelanggaran tata tertib
sekolah ada 3 (tiga) tahap yaitu tindakan preventif, tindakan kuratif dan
tindakan represif (Soeparwoto, 2006:213). Tahap tindakan preventif yaitu
berupa upaya pencegahan sebelum pelanggaran tata tertib sekolah terjadi
dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu:
a. Usaha pencegahan timbulnya pelanggaran tata tertib sekolah secara
umum dengan langkah – langkah
1). Berusaha mengenal dan mengetahui ciri umum dan khas
siswa.
2). Mengetahui kesulitan – kesulitan yang secara umum dialami
oleh siswa.
3). Usaha pembinaan siswa, yang meliputi:
102
a). Menguatkan sikap mental siswa supaya mampu
menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
b). Memberikan pendidikan bukan hanya dalam
penambahan pengetahuan dan keterampila, namun
juga pendidikan mental dan pribadi melalui pengajaran
agama, budi pekerti dan etika.
c). Menyediakan sarana – sarana dan menciptakan suasana
yang optimal demi perkembangan pribadi yang wajar.
d). Usaha memperbaiki keadaan lingkungan sekitar.
b. Usaha pencegahan timbulnya pelanggaran tata tertib sekolah secara
khusus yang dilaksanakan oleh Guru, Guru Pembimbing, atau
psikolog sekolah bersama para pendidik lainnya.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang dalam
tindakan preventif antara lain melalui kegiatan keagamaan, nasehat setiap
upacara, penyuluhan psikologi dan hukum yang bekerjasama dengan
psikolog dan Polres Semarang Timur. Uapaya sekolah dalam menyadarkan
siswa yang melanggar tata tertib sekolah dengan memberikan pembinaan
akan tata tertib sekolah kepada siswa. Siswa mempunyai kewajiban
membaca dan mematuhi tata tertib sekolah.
Tahap kuratif atau rehabilitasi yaitu dilakukan setelah tindakan
pencegahan lainnya dilaksanakan dan dianggap perlu mengubah tingkah
laku siswa yang melanggar dengan cara membina siswa yang selalu
melanggar tata tertib sekolah, baik dari Guru yang bersangkutan dengan
103
bekerjasama Bimbingan dan Penyuluhan/Bimbingan dan Konseling atau
wali kelas intensif mengawasi tingkah laku siswa yang dianggap
melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Upaya ini ditindaklanjuti
dengan pemantauan khusus kepada keseluruhan siswa maupun siswa yang
berpotensi untuk melakukan pelanggaran tata tertib sekolah dari unsur –
unsur sekolah tersebut. Selain itu perorangan dari Guru bagi yang
membolos dikumpulkan diberi pemahaman kesalahan, akibat yang
ditimbulkan bila melanggar tata tertib sekolah kemudian diadministrasi
atau didata diteruskan membuat surat pernyataan tidak mengulangi
perbuatan dan tugas secara fisik yang bersifat mendidik.
Tahap tindakan represif berupa pengambilan tindakan bagi
pelanggaran yang telah berulang kali atau termasuk kategori pelanggaran
berat terhadap tata tertib sekolah. Soeparwoto (2006:215) dalam usaha
menindak pelanggaran tata tertib sekolah, tindakan represif dilaksanakan
apabila tingkah laku siswa sudah melewati batas toleransi dari norma
sosial atau kadar angka poin yang telah ditentukan oleh pihak sekolah. Di
sekolah yang yang berwenang memberikan hukuman represif ini adalah
Kepala Sekolah. Guru dan staf pembimbing bertugas menyampaikan data
mengenai pelanggaran maupun akibatnya. Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 5 Semarang pada tahun pelajaran 2003/2004 ada 2 siswa
yang terpaksa dikeluarkan dari sekolah karena tersangkut kriminal dan
tawuran antar sekolah. Langkah – langkah pihak sekolah antara lain
105
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Pendidikan moral pada intinya adalah mengajarkan dan melatih
siswa terhadap kesadaran moral. Pendidikan moral selain diajarkan melalui
bentuk formal dalam mata pelajaran juga dapat diberikan melalui bentuk –
bentuk lain seperti adanya tata tertib sekolah. Pendidikan moral yang diajarkan
dan dilatihkan tersebut disesuaikan dengan nilai – nilai identitas masyarakat
atau nilai – nilai moral seperti nilai religiositas, nilai sosialitas, nilai gender,
nilai keadilan, nilai demokrasi, nilai kejujuran, nilai kemandirian, nilai daya
juang, nilai tanggung jawab dan nilai penghargaan terhadap lingkungan alam.
Dari hasil penelitian dan pembahasan didapatkan simpulan yaitu:
1. Nilai – nilai moral tersebut harus dilembagakan melalui norma –
norma/kaidah – kaidah dalam lingkungan sekolah yang disesuaikan
dengan masyarakat. Tata tertib sekolah dapat menjadi sarana pendidikan
moral yang mempunyai fungsi pencegahan atau preventif bagi tingkah
laku siswa agar tidak melanggar atau menyimpang dari moral
masyarakat. Sanksi bagi siswa yang melanggar adalah bersifat mendidik
siswa terutama untuk menanamkan pendidikan moral.
2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang menggunakan
sistem credit poin yaitu setiap pelanggaran tata tertib sekolah
106
mendapatkan poin tertentu. Penggunaan credit poin dengan
mempertimbangkan segi tahap – tahap perkembangan siswa dan sanksi
yang mendidik. Faktor – faktor penyebab siswa melanggar tata tertib
sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang
adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal dari diri siswa
adalah potensi bawaan siswa itu sendiri, seperti faktor intelegensi, bakat
maupun dorongan instrinsiknya atau motif. Faktor eksternal adalah
lingkungan sosial budaya, paling tidak ada akan terdapat lingkungan
tempat tinggal, kondisi status sosial ekonomi keluarga, lingkungan
teman sebaya (peer group), keutuhan keluarga, keharmonisan keluarga
dan interaksinya dengan lingkungan masyarakat secara umum.
3. Kendala – kendala utama yang dihadapi sekolah adalah kurang
konsistennya Guru dalam menegakan tata tertib sekolah meliputi dari
tidak secara komperehensif hanya dilakukan oleh Guru yang masih
peduli terhadap moral siswa dan adanya pengaruh dari pergaulan siswa
yang kurang baik. Kurangnya pengawasan dari Guru menyebabkan
siswa banyak yang melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Upaya –
upaya sekolah dalam mengatasi pelanggaran tata tertib sekolah adalah
bersifat preventif, kuratif dan represif.
B. Saran
Saran yang merupakan masukan yang dapat disampaikan berkaitan
penelitian ini adalah:
107
1. Kepala Sekolah hendaknya terus berkomitmen dan lebih intensif
mengadakan penegakan kedisiplinan siswa serta fasilitas pendukung dalam
upaya menekan tingkat pelanggaran siswa terhadap tata tertib sekolah.
2. Guru hendaknya terus melakukan kontrol terhadap pelanggaran tata tertib
sekolah dan meningkatkan kebersamaan guna membina kedisiplinan
siswa.
3. Siswa hendaknya dengan penuh kesadaran diri untuk mematuhi tata tertib
sekolah.
4. Orang tua hendaknya ikut serta melakukan pembinaan moral anaknya agar
patuh dan taat terhadap tata tertib sekolah.
108
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1990. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi. Jakarta: PT Rineka Cipta
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT Rineka Cipta Bahar, Aswandi. 1989. Dasar – Dasar Kependidikan. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Daroeso, Bambang. 1986. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila.
Semarang: Aneka Ilmu Daryanto H.M. 2001. Administrasi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta Daryono, dkk. 1998. Pengantar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Jakarta: PT Rineka Cipta Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif.
Jakarta: PT Rineka Cipta Haricahyono, Cheppy. 1995. Dimensi – Dimensi Pendidikan Moral. Semarang:
IKIP Semarang Press Hasan, Iqbal. 2002. Pokok – Pokok Materi Metodologi Penelitian dan
Aplikasinya. Jakarta: Ghalian Indonesia Johnson, Alvin S. 2006. Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Jakarta: CV. Mandar
Maju Koyan, I Wayan. 2000. Pendidikan Moral Pendekatan Lintas Budaya. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional Magnis, Frans – Suseno. 2001. Etika Politik (Prinsip – Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Marpaung, Leden. 1996. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah
Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
109
Mugiarso, Heru dkk. 2006. Bimbingan dan Konseling. Semarang: UNNES Press Muijs, Daniel dan Reynolds, David. 2001. Effective Teaching, Evidence and
Practice. London: Paul Chapman Publishing Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Mulyono. 1998. Kesadaran Berbangsa. Bandung: Angkasa Munib, Achmad dkk. 2004. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT MKK
Unnes Nawawi, Hadari dkk. 1986. Administrasi Pendidikan. Jakarta: Ghalia Indonesia Rachman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah –Langkah Penelitian. Semarang:
IKIP Press Salam, Burhanudin. 2000. Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta:
PT Rineka Cipta Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana Sidharta. 2006. Moralitas Profesi Hukum. Bandung: PT Refika Aditama Soeparwoto, dkk. 2006. Psikologi Perkembangan. Semarang: UNNES Press Sunarto dan Agung Hartono. 1994. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sutopo, H.B. 2002. Metode Penelitian Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan
Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press Tedjosaputro, Liliana. 2003. Etika Profesi dan Profesi Hukum. Semarang: CV
Aneka Ilmu Tim Depdikbud. 1989. Disiplin Murid SMTA di Lingkungan Formal Pada
Beberapa Propinsi di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP IKIP Malang. 1989.
Administrasi Pendidikan. Malang: IKIP Malang Press Widiastono, Tonny D. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia (Kumpulan Artikel).
Jakarta: Buku Kompas
110
PEDOMAN INSTRUMEN WAWANCARA
BAGI KEPALA SEKOLAH
Nama :
Usia :
Alamat :
1. Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang.
a. Bagaimana tingkat kedisiplinan siswa Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
b. Bagaimana ketertiban siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang?
c. Bagaimana kesopanan siswa terhadap guru saat di kelas maupun di
luar kelas?
d. Bagaimana interaksi antar sesama siswa dalam lingkungan sekolah
serta terhadap masyarakat sekitar?
e. Bagaimana respon orang tua terhadap pelanggaran tata tertib
sekolah?
f. Bagaimana kesopanan siswa dengan lingkungan masyarakat
sekitar sekolah?
g. Apa saja pelanggaran tata tertib sekolah yang sering dilakukan
oleh siswa?
2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
a. Apakah yang anda ketahui tentang tata tertib sekolah?
b. Apakah yang anda ketahui tentang pendidikan moral?
c. Siapakah yang bertugas menyusun tata tertib sekolah?
d. Apakah peran kepala sekolah dalam penegakan tata tertib sekolah?
111
e. Bagaimanakah tata tertib sekolah yang baik tersebut?
f. Apakah tata tertib sekolah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang sudah mengandung nilai – nilai moral?
g. Apakah tata tertib sekolah dapat meningkatkan pendidikan moral?
h. Menurut anda, bagaimana moral siswa yang diharapkan oleh
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
i. Bagaimana sistem tata tertib sekolah yang diterapkan di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
j. Bagaimana penyusunan tata tertib sekolah yang dilaksanakan di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
k. Bagaimana bentuk – bentuk penegakan tata tertib sekolah?
l. Bagaimana upaya – upaya sekolah dalam mengatasi pelanggaran
tata tertib sekolah?
m. Apa saja kendala – kendala dalam penegakan tata tertib sekolah di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
112
PEDOMAN INSTRUMEN WAWANCARA
BAGI GURU PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Nama :
Usia :
Alamat :
1. Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang. a. Bagaimana tingkat kedisiplinan siswa Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 5 Semarang?
b. Bagaimana ketertiban siswa di lingkungan sekolah?
c. Apakah siswa sering tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh
guru?
d. Apakah siswa sering tawuran atau berkelahi di lingkungan sekolah?
e. Bagaimana melakukan kontrol terhadap ketertiban yang sesuai
dengan moral?
f. Apa saja nilai – nilai moral yang diajarkan pada siswa?
g. Bagaimana cara yang anda lakukan untuk memberikan nilai – nilai
moral tersebut?
h. Apakah tata tertib sekolah dapat meningkatkan moral siswa?apa
indikatornya?
i. Apa saja yang termasuk dalam pelanggaran terhadap tata tertib
sekolah?
j. Apa saja kategori siswa yang melakukan pelanggaran tata tertib
sekolah?
k. Bagaimana penegakan tata tertib sekolah pada saat kegiatan belajar
mengajar?
2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
113
a. Apakah yang anda ketahui tentang tata tertib sekolah?
b. Apakah yang anda ketahui tentang pendidikan moral?
c. Apakah tata tertib sekolah dapat menjadi sarana pendidikan moral
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?apa saja
indikasinya?
d. Apakah tata tertib sekolah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang mengandung pendidikan moral?
e. Bagaimana peran guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam
penegakan tata tertib sekolah?
f. Apakah siswa memahami tata tertib sekolah yang dibuat oleh
sekolah?
g. Bagaimana pembelajaran pendidikan moral di kelas?
h. Apa sanksi yang diberikan terhadap siswa yang melanggar tata
tertib sekolah?
i. Apa faktor – faktor pendukung tata tertib sekolah dalam
implementasi pendidikan moral?
j. Hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam penyusunan tata tertib
sekolah?
k. Apa saja kendala – kendala dalam penegakan tata tertib sekolah?
l. Bagaimana upaya mengatasi siswa yang melakukan pelanggaran
tata tertib sekolah?
114
PEDOMAN INSTRUMEN WAWANCARA
BAGI GURU BIMBINGAN KONSELING
Nama :
Usia :
Alamat :
1. Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang. a. Bagaimana tingkat kedisiplinan siswa Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 5 Semarang?
b. Bagaimana ketertiban siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang?
c. Bagaimana kesopanan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang?
d. Apa saja pelanggaran tata tertib sekolah yang sering dilakukan oleh
siswa?
e. Bagaimana persepsi masyarakat sekitar terhadap ketertiban siswa
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
f. Apakah ada perbedaan karakteristik siswa pada setiap kelas atau
jurusan dan angkatan?apa saja perbedaan tersebut?
2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
a. Apakah yang anda ketahui tentang tata tertib sekolah?
b. Apakah yang anda ketahui tentang pendidikan moral?
c. Apakah tata tertib sekolah dapat menjadi sarana pendidikan moral
di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?apa
saja indikasinya?
115
d. Apakah tata tertib sekolah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 5 Semarang mengandung pendidikan moral?
e. Bagaimana sistem tata tertib yang diterapkan di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
f. Apakah tata tertib sekolah dapat meningkatkan pendidikan
moral?apa saja indikatornya?
g. Bagaimana prosedur pemberian sanksi bagi siswa yang melanggar
tata tertib sekolah?
h. Apakah penegakan tata tertib sekolah sering dilakukan?apa saja
bentuknya?
i. Apa saja peran guru bimbingan konseling dalam penegakan tata
tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral?
j. Apakah sanksi yang diberikan terhadap siswa yang melanggar tata
tertib sekolah?
k. Apakah pemberian sanksi membuat siswa menjadi jera untuk tidak
mengulangi pelanggaran tata tertib sekolah yang sama?
l. Apakah kelebihan penggunaan tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral?
m. Bagaimana mengatasi siswa yang melakukan pelanggaran terhadap
tata tertib sekolah?
n. Apa saja motif – motif siswa melakukan pelanggaran tata tertib
sekolah?
o. Apa saja faktor – faktor yang menyebabkan siswa melanggar tata
tertib sekolah?
p. Bagaimana upaya – upaya bimbingan sekolah dalam mengatasi
pelanggaran tata tertib sekolah?
q. Bagaimana peran orang tua dalam masalah pelanggaran tata tertib
sekolah?
116
PEDOMAN INSTRUMEN WAWANCARA
BAGI SISWA
Nama :
Usia :
Kelas/Jurusan :
Alamat :
1. Tingkah laku siswa dalam implementasi tata tertib sekolah sebagai sarana
pendidikan moral di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Semarang
a. Mengapa kamu melakukan pelanggaran tata tertib sekolah?
b. Apakah kamu pernah diajak teman kamu untuk berbuat immoral?
c. Apa saja pelanggaran yang kamu lakukan tersebut?berapa kali?
d. Kamu melakukannya karena diri sendiri atau diajak teman?
e. Apakah kamu tidak malu dengan guru tentang pelanggaraan tata
tertib sekolah yang kamu lakukan?
f. Apakah kamu dengan tata tertib sekolah menjadi jera untuk tidak
mengulangi pelanggaran tata tertib sekolah?
g. Apakah kamu merasa berat jika harus taat terhadap tata tertib
sekolah?
h. Apakah kamu tidak merasa malu jika orang tua kamu dipanggil ke
sekolah dan guru mengatakan bahwa kamu sering melanggar tata
tertib sekolah?
i. Bagaimana perasaan kamu jika melihat temanmu memakai baju
seragam rapi, datang ke sekolah tepat waktu dan taat pada tata tertib
sekolah?
j. Menurut kamu, bagaimana kedisiplinan siswa di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang?
117
2. Pelaksanaan tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Semarang.
a. Apakah yang kamu ketahui tentang tata tertib sekolah?
b. Apakah yang kamu ketahui tentang pendidikan moral?
c. Apakah kamu tahu tujuan dibuatnya tata tertib sekolah?
d. Apakah kamu di sekolah termasuk siswa yang mematuhi tata tertib
sekolah?
e. Apakah kamu dijelaskan tentang tata tertib sekolah oleh guru?
f. Apakah kamu tahu kesalahan yang telah diperbuat dirimu?
g. Apakah kamu dijelaskan oleh guru tentang kesalahan yang
diperbuat dalam pelanggaran tata tertib sekolah?
h. Apa sanksi yang diberikan guru terhadap pelanggaran tata tertib
sekolah?
i. Apakah penegakan tata tertib sekolah sering dilakukan oleh pihak
sekolah?
j. Apakah kamu pernah ditegur dan dinasehati oleh guru karena
melanggar tata tertib sekolah?
k. Apakah orang tua kamu sering memberi nasihat jika kamu
melanggar tata tertib sekolah dari guru kamu?
l. Apakah jika kamu membolos dan berkelahi tidak dimarahi oleh
orang tua kamu?
m. Bagaimana perasaan orang tua kamu terhadap pelanggaran tata
tertib sekolah tersebut?
118
DAFTAR NAMA RESPONDEN
No. Nama Jabatan Usia Alamat
1. Drs. H. M. Saidi Kepala Sekolah 53 Tahun Jl. Kendeng No.
332
2. Drs. Darmawan SB
Wakil Kepala Sekolah
Bidang Kurikulum
52 Tahun Dr. Cipto
3. Drs. Heru Usadajati
Wakil Kepala Sekolah
Bidang Kesiswaan
44 Tahun Karangjati
Ungaran
4. Drs. Warsito Guru Pendidikan
Kewarganegaraan dan
Sejarah
46 Tahun Dr. Cipto
5. Dra. Siti Bulqis Koordinator BP/BK 48 Tahun Kaligarang
6. Dwi Puji B.,
S.Pd
Guru Pendidikan
Jasmani dan Rekreasi
26 Tahun Dr. Cipto 121
7. Wardi Penjaga Sekolah 57 Tahun Medoho
8. Ngadiyono Penjaga Sekolah 60 Tahun Medoho
9. M. Romadhon Siswa kelas 12 19 Tahun Kaligawe
Kampung Pondok
RT 3 RW 9
10. M. Asrul Siswa kelas 11 17 Tahun Jl. Medoho RT 3
RW 4
11. Fangga Siswa kelas 10 16 Tahun Banyumanik
119
PEMERINTAH KOTA SEMARANG DINAS PENDIDIKAN
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 5 SEMARANG Jalan Dr.Cipto 121 (024) 8416335 – 8447476 Semarang 50124
TATA TERTIB SISWA
SMK NEGERI 5 SEMARANG Bahwa sesungguhnya siswa adalah warga negara yang terdidik. Oleh karena itu sudah seharusnya merupakan warga negara yang baik, loyal, tertib dan pantas dicontoh.
Bahwa kehidupan siswa adalah masa yang paling baik dalam pembentukan fisik, mental dan karakter, untuk menjadi manusia pembangunan yang ber Pancasila.
Bahwa sesungguhnya tata tertib siswa bukan sekedar kelengkapan sekolah, tetapi merupakan bagian dari kehidupan siswa dan merupakan kebutuhan dari siswa itu sendiri.
Untuk menciptakan kedisiplinan siswa dan menekan angka pelanggaran terhadap tata tertib siswa, SMK Negeri 5 Semarang memberlakukan sangsi pelanggaran tata tertib siswa ini dalam bentuk bobot pelanggaran. Bagi siswa yang melanggar tata tertib akan dikenai bobot angka tertentu sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Apabila bobot sangsi telah melampui jumlah tertentu maka pengambilan tindakan sesuai dengan ketetapan terhadap pelanggaran tata tertib ini.
Maka sehubungan dengan hal tersebut di atas disusunlah pedoman tata tertib siswa SMK Negeri 5 Semarang sebagai berikut :
I. KEGIATAN INTRA SEKOLAH A. WAKTU PELAJARAN BERLANGSUNG
A.1. Setiap siswa wajib datang 10 menit di sekolah sebelum pelajaran dimulai pada jam 07.00 WIB, kecuali jam pelajaran yang ditentukan lain.
A.2. Setiap siswa memasuki ruangan dengan teratur dan tertib.
120
A.3. Pada waktu pelajaran pertama akan dimulai dan pelajaran terakhir akan selesai, semua siswa melakukan acara berdoa yang dipimpin ketua kelas.
A.4. Sebelum tiap pelajaran dimulai, semua siswa harus sudah siap mengikuti pelajaran selanjutnya.
A.5. Setiap siswa wajib mengikuti pelajaran dengan baik, sopan dan patuh kepada guru.
A.6. Siswa yang datang terlambat, wajib lapor guru piket.
B. WAKTU TIDAK ADA PELAJARAN B.1. Pada jam istirahat, siswa dianjurkan berada diluar kelas dan
tidak diperbolehkan keluar dari halaman sekolah.
B.2. Pada jam bebas, siswa tidak boleh meninggalkan halaman sekolah. Dianjurkan untuk memanfaatkan perpustakaan.
B.3. Apabila guru yang bersangkutan berhalangan hadir maka ketua kelas melaporkan kepada guru piket dan ketua kelas bertanggungjawab pada ketenangan serta ketertiban kelas.
II. KEGIATAN ESKTRA KURIKULER A. Kegiatan Ekstra Kurikuler
A.1. Setiap siswa wajib menjadi anggota OSIS
A.2. Setiap siswa dianjurkan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang diselenggarakan oleh sekolah.
B. Upacara Bendera B.1. Setiap siswa wajib mengikuti upacara bendera di sekolah
B.2. Pada saat upacara bendera setiap siswa wajib memakai seragam OSIS lengkap kecuali ditentukan lain.
B.3. Setiap siswa wajib menjaga agar pelaksanaan upacara bendera berlangsung tertib, khidmat dan lancar.
121
C. Bimbingan dan Konseling C.1. Setiap siswa yang mempunyai maslaah-masalah pada dirinya
dianjurkan untuk berkonsultasi dengan guru pembimbing (bimbingan dan konseling )
C.2. Setiap siswa wajib memberikan keterangan-keterangan yang dipelrukan dengan sebenar-benarnya.
C.3. Setiap permasalahan yang dialami oleh siswa akan dipegang teguh kerahasiaannya.
D. Ketertiban dan Kebersihan D.1. Setiap siswa wajib menjaga kebersihan lingkungan sekolah
D.2. Setiap siswa wajib menjaga keindahan lingkungan sekolah
D.3. Setiap siswa wajib menjaga keutuhan barang-barang milik sekolah
III. TATA TERTIB KHUSUS A. OLAH RAGA
A.1. Setiap siswa harus berpakaian seragam olah raga yang telah ditentukan dan bersepatu. Apabila tidak memakai seragam maka tidak boleh mengikuti pelajaran tersebut pada saat itu.
A.2. Piket kelas bertanggungjawab atas alat-alat olah raga yang digunakan.
A.3. Dilarang menggunakan alat-alat olah raga tanpa izin guru olah raga
A.4. Setiap siswa wajib menghormati dan menjunjung tinggi jiwa olah raga
A.5. Setiap siswa wajib mentaati peraturan permainan dan petunjuk guru
122
B. LAIN-LAIN B.1. Setiap siswa wajib menjaga nama baik sekolah, baik di
lingkungan sekolah maupun diluar sekolah.
B.2. Setiap siswa tidak diperkenankan membawa atau merokok di lingkungan sekolah, serta makan/minum di dalam kelas.
B.3. Setiap siswa tidak boleh membawa barang-barang terlarang disekolah antara lain : Senjata tajam, ganja, narkotik dan sejenisnya, minuman keras, buku/majalah dan alat-alat yang asusila, serta uang dalam jumlah banyak.
C. MENINGGALKAN SEKOLAH / TIDAK MASUK SEKOLAH C.1. Setiap siswa pulang sekolah setelah jam pelajaran usai.
C.2. Bila akan meninggalkan sekolah waktu pelajaran belum selesai, wajib minta izin kepada guru pengajar dan guru piket. Yang diizinkan adalah :
a. Siswa yang sakit b. Ada suatu keperluan yang tak dapat ditinggalkan yang
dibuktikan dengan surat keterangan orang tua/wali c. Untuk keperluan resmi / dispensasi
C.3. Siswa yang sakit pada saat mengikuti pelajaran, diberi izin untuk berobat ke UKS, ke puskesmas atau istirahat di rumah.
C.4. Siswa yang berhalangan hadir harus minta izin dengan surat keterangan / surat pemberitahuan.
D. KEAMANAN DI SEKOLAH D.1. Setiap siswa wajib memiliki alat-alat pelajaran dengan
lengkap
D.2. Siswa yang membawa kendaraan atau sepeda motor wajib mematikan mesin saat memasuki pintu gerbang/pintu parkir di tempat yang telah disediakan serta dikunci. Apabila terjadi kerusakan/kehilangan sepda motor, helm, maka resiko ditanggung siswa sendiri.
D.3. Setiap siswa wajib menjaga keselamatan hak milik sendiri.
123
E. PAKAIAN DAN CARA BERDANDAN E.1. Setiap siswa wajib berpakaian seragam sesuai ketentuan
sekolah lengkap dengan badge dan atribut yang terdiri dari : Bagde OSIS, Badge Lokasi Sekolah.
E.2. Pada saat praktek mengenakan pakaian praktek yang telah ditentukan.
E.3. Wajib bersepatu hitam tidak boleh memakai sepatu sandal dan sejenisnya. Wajib memakai kaos kaki yang panjang minimal di atas mata kaki dan memakai ikat pinggang.
E.4. Setiap siswa putrid tidak diperbolehkan memakai perhiasan dan berdandan yang berlebihan. Untuk siswa putra tidak diperbolehkan memakai gelang, kalung, anting dan perhiasan.
E.5. Setiap siswa wajib mengatur rambut, kuku dan pakaian dengan rapi dan bersih, baju dimasukkan, siswa putra tidak boleh berambut panjang, sekurang-kurangnya 1,5 cm di atas kerah baju.
E.6. Pada saat pelajaran Olah Raga siswa wajib mengenakan pakaian olah raga dengan baik, menjunjung tinggi sportivitas dan menaati peraturan yang berlaku.
F. TERTIB ADMINISTRASI F.1. Setiap siswa wajib membayar Uang BP3 dan Iuran lain yang
ditentukan sekolah selambat-lambatnya tanggal 10 setiap bulannya.
F.2. Buku rapor harus ditandatangani orang tua/wali masing dan segera dikembalikan kepada wali kelas.
F.3. Setiap siswa tidak diperbolehkan melakukan kegiatan-kegiatan yang mengganggu ketenangan dan ketertiban sekolah.
F.4.Setiap siswa yang tidak naik tingkat dua kali berturut-turut dikeluarkan dari sekolah.
F.5. Setiap siswa tidak diperbolehkan menikah selama menjadi siswa.
124
G. P E N U T U P A. Segala sesuatu yang belum tercantum dalam tata tertib ini akan
ditentukan kemudian B. Setiap siswa diwajibkan memiliki, memahami, mengingat,
menghayati serta melaksanakan Pedoman Tata Tertib ini.
Ditetapkan di : SEMARANG
Tanggal : 18 Juli 2005
Kepala Sekolah,
Drs. H.M. Saidi
NIP.130935750
125
Pola Umum Bimbingan dan Konseling SMK Negeri 5 Semarang
BK
Bimbingan Pribadi
Bimbingan Sosial
Bimbingan Belajar
Layanan Penempatan/ Penyaluran
Bimbingan Karier
Layanan Konseling Keluarga
Layanan Konseling/ Individual
Layanan Orientasi
Layanan Bimbingan Kelompok
Layanan Pembelajaran
Layanan Informasi
Instrumentasi BP/BK
Konferensi kasus
Himpunan Data
Alih Tugas Kasus
Kunjungan Rumah