DEMAM BERDARAH DENGUE GRADE III
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (dengue haemorrhagic fever), ialah penyakit menular
yang disebabkan virus Dengue yang diperantarai vektor nyamuk Aedes aegypti.
Terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi,
yang biasanya memburuk setelah 2 hari pertama. Uji tourniquet akan positif dengan
atau tanpa ruam disertai beberapa atau semua gejala perdarahan seperti petekie
spontan yang timbul serentak, purpura, ekimosis, epitaksis, hematemesis, melena,
trombositopenia, masa perdarahan dan masa protrombin memanjang, hematokrit
meningkat dan gangguan maturasi megakariosit.
Korban demam berdarah yang terus berjatuhan di beberapa daerah di Indonesia
akhir-akhir ini telah menembus tingkat kematian (case fatality rate/CFR) satu persen
dari jumlah kasus atau melonjak jumlah penderitanya hingga dua kali lipat pada kurun
waktu yang sama dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penting bagi kita untuk
memahami Demam Berdarah Dengue sehingga dapat menurunkan angka kejadian dan
angka kematian DBD dikemudian hari.
Dengue shock syndrome merupakan manifestasi penyakit demam berdarah
Dengue yang paling serius dan merupakan kegawat daruratan medik sehingga
memerlukan penanganan segera.
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya
pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta,
kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di
Bandung dan Jogjakarta (1972). Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun
1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1873).
Pada tahun 1974, epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat.
Pada tahun1994 DBD telah menyebar ke seluruh (27) propinsi di Indonesia. Pada saat ini
DBD sudah endemis di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah
terjangkit di pedesaan.
Walupun angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia cenderung meningkat,
suatu hal yang menggembirakan ialah angka kematian (case fatality rate = CFR) secara
drastis menurun dari 41,3% pada tahun 1968 menjadi 3% pada tahun 1984. Sejak tahun
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
1991 CFR terlihat stabil di bawah 3%. Pada umumnya letusan atau wabah di daerah
yang sebelumnya belum terjangkit DBD, CFR-nya tinggi, sedangkan di daerah/kota
endemis CFR-nya mempunyai kecenderungan rendah. Pada tahun 1998 kasus DBD
dilaporkan meningkat di atas14 propinsi, sedangkan 12 propinsi melaporkan penurunan
kasus.
Pada saat ini DBD di banyak negara di kawasan Asia Tenggara merupakan
penyebab utama perawatan anak di rumah sakit. Morbiditas dan mortalitas DBD yang
dilaporkan dari berbagai negara bervariasi dan disebabkan oleh berbagai faktor, antara
lain status umur penduduk, kerpadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue,
prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis.
Secara keseluruhan terdapat tidak terdapat perbedaan jenis kelamin penderita,
tetapi kematian lebih banyak pada anak perempuan daripada anak-anak laki-laki.
Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan
jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%).
Namun, pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang di golongkan dalam usia
dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita DBD terbanyak ialah anak berumur 5-
11 tahun. Proporsi penderita yang berumur lebih dari 15 tahun sejak tahun1984
meningkat.
Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu Jelas, tetapi dalam
garis besar dapat dikemukakan bahwa jumlah penderita meningkat antara bulan
September sampai Februari yang mencapai puncaknya pada bulan Januari.3
VEKTOR DBD
Graham ialah sarjana pertama yang pada tahun 1903 dapat membuktikan secara
positif peran nyamuk Aedes aegypti dalam transmisi dengue di Indonesia. Vektor DBD
telah diselidiki dan Aedes aegypti di daerah perkotaan diperkirakan sebagai vektor
terpenting.
Nyamuk Aedes aegypti pada awal mulanya berasal dari Mesir yang kemudian
menyebar ke seluruh dunia, melalui kapal laut dan udara. Nyamuk Aedes aegypti hidup
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
dan berkembang biak pada tempat-tempat penampungan air bersih yang tidak langsung
berhubungan dengan tanah. Nyamuk ini tersebar diseluruh pelosok tanah air kecuali
wilayah yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut.
Perkembangan hidup nyamuk Aedes aegypti dari telur hingga dewasa
memerlukan waktu sekitar 10-12 hari. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan
menghisap darah serta memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya. Umur
nyamuk Aedes aegypti betina berkisar antara 2 minggu sampai 3 bulan atau rata-rata 1
½ bulan, tergantung dari suhu kelembaban udara di sekelilingnya. Kemampuan
terbangnya sejauh 2 km, walupun umumnya jarak terbangnya adalah pendek berkisar
antara 40-100 m dari tempat perkembang-biakannya. Tempat istirahat yang disukainya
adalah benda-benda yang tergantung yang ada di dalam rumah, seperti gordyn,
kelambu dan baju/pakian di kamar yang gelap dan lembab. Kepadatan nyamuk ini akan
meningkat pada waktu musim hujan, dimana banyak terdapat genangan air bersih yang
dapat menjjadi tempat perkembang-biakannya.
VIRUS DENGUE
Di Indonesia virus dengue (DEN) tipe 1, 2, 3 dan 4 telah berhasil diisolasi dari
darah penderita. Di Jakarta, daerah endemis tinggi, dari sebagian besar penderita DBD
derajat berat maupun yang meninggal dapat diisolasi virus dengue tipe 3.
Survai virologis penderita DBD telah dilakukan di beberapa rumah sakit di
Indonesia sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 1995. Keempat serotipe virus dengue
berhasil diisolasi baik dari penderita DBD derajat ringan maupun berat. Selama 17
tahun, serotipe yang mendominasi ialah Dengue serotipe 2 atau 3. 3
PATOGENESIS
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi
pertama kali mungkin memberi gejala seperti DF. Reaksi tubuh merupakan reaksi
yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak
bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan.
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga
menimbulkan konsentrasi kompleks antigen antibodi (kompleks virus antibodi)
yang tinggi.
Terdapatnya komplek virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal
sebagai berikut :
1. Kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi sistem komplemen, berakibat
dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a. C5a menyebabkan meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui
endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan dalam
terjadinya renjatan. Pada DSS kadar C3 dan C5 menurun masing-masing
sebanyak 33% dan 89%. Nyata pada DHF pada masa renjatan terdapat
penurunan kadar komplemen dan dibebaskannya anafilatoksin dalam
jumlah besar, walupun plasma mengandung inaktivator ampuh terhadap
anafilatoksin, C3a Dan c5a agaknya perannya dalam proses terjadinya
renjatan telah mendahului proses inaktivasi tersebut. Anafilaktoksin C3a
dan C5a tidak berdaya untuk membebaskan histamin dan ini terbukti
dengan ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam air seni 24 jam
pada pasien DHF.
2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami
metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis akan
dimusnahkan oleh sistem retikuloendotel dengan berakibat
trombositopenia hebat dan perdarahan.
Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan amin vasoaktif
(histamin dan serotonin) yang bersifat meninggikan permeabilitas kapiler
dan melepaskan trombosit faktor III yang merangsang koagulasi
intravaskular.
3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir
terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi ini,
plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
anafilatoksin yang penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product.
Disamping itu aktivasi akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam
proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah.
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara
hari ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya
reaksi imunologis, yang dasarnya sebagai berikut:
1. Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag
dan sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue.
2. Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik
pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue
pada permukaan sel fogosit mononukleus.
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus
yang telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah
jumlah sel yang terinfeksi.
4. Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated
intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya
mediator-mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu.
Mediator tersebut berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan
aktivasi komplemen dengan efek peninggian permeabilitas dinding
pembuluh darah, serta tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.
PATOFISIOLOGI
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami
keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot,
pegal seluruh badan, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang
mungkin terjadi pada sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar–
kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DF disebabkan oleh kongesti
pembuluh darah dibawah kulit.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan
membedakan DF dengan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler
karena pelepasan zat anafilatoksin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem
kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskular. Berakibat mengurangnya
volum plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura
dan renjatan. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat
permulaan demam dan mencapai puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan
renjatan berat, volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ektravaskular dibuktikan dengan
ditemukannya cairan dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan
perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan
kematian.
Perdarahan pada DHF umumnya dihubungkan dengan trombositopenia,
gangguan fungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi.
Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit
muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan
dugaan meningkatnya destruksi trombosit dalam sistem retikuloendotelial.
Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis
dengan terdapatnya sistem koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati
yang fungsinya memang terganggu oleh aktivitasi sistem koagulasi.
DIC secara potensial dapat juga terjadi pada pasien DHF tanpa renjatan.
Pada awal DHF pernah DIC tidak menonjol dibanding dengan perembesan plasma,
tetapi bila penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan, maka akan
memperberat DIC sehingga perannya akan menonjol.
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
DIAGNOSIS
Kriteria klinis :
1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas seperti anoreksia, lemah,
nyeri pada punggung, tulang, persendian , dan kepala, berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji tourniquet positif, petekie,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena.
3. Hepatomegali
4. Syok, nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi ≤ 20 mmHg, atau hipotensi
disertai gelisah dan akral dingin.
Kriteria laboratoris :
1. Trombositopenia (≤ 100.000/µl)
2. Hemokonsentrasi (kadar Ht ≥ 20% dari orang normal)
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
Dua gejala klinis pertama ditambah 2 gejala laboratoris dianggap cukup untuk
menegakkan diagnogsis kerja DBD.
DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat :
Derajat I : Demam mendadak selama 2-7 hari disertai gejala klinis lain dengan
manifestasi perdarahan teringan yaitu uji tourniquet positif.
Derajat II : DHF Grade I + Manifestasi perdarahan
Derajat III : Kegagalan sirkulasi (nadi cepat lemah, tekanan nadi <20mmHg)
Derajat IV : Syok berat (nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur)
Kasus tipikal dari DBD ditandai oleh 4 manifestasi klinik mayor : demam tinggi,
fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Trombositopenia sedang
sampai berat yuang disertai dengan hemokonsentrasi adalah temuan laboratorium yang
khusus untuk DBD. Patofisiologi yang menunjukkan derajat keparahan DBD dan
membedakannya dari Demam Dengue adalah keluarnya plasma yang bermanifestasi
sebagai peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi), efusi serosa, atau hipoproteinemia.
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik klinik
pada penderita DSS menurut Wong:
1. Clouding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun.
3. Nyeri perut.
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis,
hematemesis, melena, hematuri dan hemoptisis.
5. Trombositopenia berat.
6. Adanya efusi pleura pada toraks foto.
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG.
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
Pembagian renjatan menurut Munir dan Rampengan:
1. Syok ringan/tingkat 1 (impending shock) yaitu gejala dan tanda-tanda syok
disertai menyempitnya tekanan nadi menjadi 20mmHg.
2. Syok sedang/tingkat 2 (moderate shock) yaitu=tingkat 1 ditambah tekanan nadi
menjadi <20mmHg, tetapi belum sampai nol, disertai menurunnya tekanan
sistolik menjadi <80mmHg, tetapi belum sampai nol.
3. Syok berat/tingkat 3 (profound shock) yaitu tekanan darah tidak
terukur/nol,tetapi belum ada sianosis/asidosis.
4. Syok sangat berat/tingkat 4 (moribund cases) yaitu tekanan darah tidak terukur
lagi disertai sianosis dan asidosis.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Uji laboratorium meliputi :
1. Isolasi virus
Dapat dilakukan dengan menanam spesimen pada :
Biakan jaringan nyamuk atau biakan jaringan mamalia.
Pertumbuhan virus ditunjukan dengan adanya antigen yang ditunjukkan
dengan immunoflouresen, atau adanya CPE (cytopathic effect) pada
biakan jaringan manusia.
Inokulasi/ penyuntikan pada nyamuk
Pertumbuhan virus ditunjukan dengan adanya antigen dengue pada
kepala nyamuk yang dilihat dengan uji immunoflouresen.
2. Pemeriksaan Serologi
Uji HI (Hemaglutination Inhibition Test)
Uji Pengikatan komplemen (Complement Fixation Test)
Uji Netralisasi (Neutralization Test)
Uji Mac.Elisa (IgM capture enzyme-linked immunosorbent assay)
Uji IgG Elisa indirek
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pada pemeriksaan radiologi dan USG, Kasus DBD, terdapat beberapa kerlainan yang
dapat dideteksi yaitu :
1. Dilatasi pembuluh darah paru
2. Efusi pleura
3. Kardiomegali dan efusi perikard
4. Hepatomegali, dilatasi V. heapatika dan kelainan parenkim hati
5. Caran dalam rongga peritoneum
6. Penebalan dinding vesika felea
DIAGNOSIS BANDING
1. Adanya demam pada awal penyakit dapat dibandingkan dengan infeksi bakteri
maupun virus, seperti bronkopneumonia, kolesistisis pielonefritis, demam tifoid,
malaria, dan sebagainya.
2. Adanya ruam yang akut perlu dibedakan dengan morbili.
3. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan leptospirosis.
4. Perdarahan di kulit juga terdapat pada meningitis meningokok dan sepsis.
5. Penyakit-penyakit darah seperti idiophatic thrombocytopenic purpurae, leukemia
pada stadium lanjut, dan anemia aplastik.
6. Syok endotoksin.
7. Demam Chikunguya.
PENATALAKSANAAN
1. Pada DSS segera beri infus kristaloid ( Ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-20
ml/kgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2
lt/mnt. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak
terukur) diberikan ringer laktat 20ml/kgBB bersama koloid. Observasi tensi dan
nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan
gula darah.
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap
dilanjutkan15-20ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid
(HES) sebanyak 10-20ml/kgBB, maksimal 30ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur
infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi keadaan
umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap
4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah. Pada syok berat (tekanan
nadi < 10 mmHg), penggunaan koloid (HES) sebagai cairan resusitasi inisial
memberi hasil perbaikan peningkatan tekanan nadi lebih cepat.
3. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/hematokrit,
tekanan nadi > 20mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi
10ml/kgBB. Volume 10ml/kgBB/jam dapat tetap dipertahankan sampai 24 jam
atau sampai klinis stabildan hematokrit menurun <40%. Selanjutnya cairan
diturunkan menjdi 7ml/kgBB sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil
kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5ml dan seterusnya3ml/kgBB/jam.
Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi.
Observasi klinis, nadi, tekanan darah, jumlah urin dikerjakan tiap jam (usahakan
urin >1ml/kgBB, BD urin <1,020) dan pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap
4-6 jam sampai keadaan umum baik.
4. Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tetapi
masih >40 vol% berikan darah dalam volume kecil10ml/kgBB. Apabila tampak
perdarahan masif,berikan darah segar 20ml/kgBB dan lanjutkan cairan kristaloid
10ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP (dipertahankan 5-8cmH2O) padasyok berat
kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak
dianjurkan.
5. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan
cairan dan pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin. Apabila CVP
normal (>10cmH2O), maka diberikan dopamin.
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
DSS
Oksigenasi (berikan 02 2-4 liter/menit Penggantian volume plasma segera(cairan kristaloid isotonis) RL/NaCl 0,9% 10-20 ml/kgBB secepatnya
(bolus dalam 30 menit)
Lanjutkan cairan
15-20 ml/kgBB/jam
Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ? Pantau tanda vital tiap 10 menit, catat balans cairan selama pemberian cairan intravena
Syok teratasi Syok tidak teratasi
Kesadaran membaik Nadi teraba kuat Tekanan nadi > 20 mmHgTidak sesak nafas/sianosis Ekstrimitas hangat Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam
Kesadaran menurunNadi lembut/tidak teraba Tekanan nadi < 20 mmHgDistres pernafasan/sianosis Kulit dingin dan lembab Ekstrimitas dingin Periksa kadar gula daarah
Cairan dan tetesan disesuaikan
10 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vital Tanda perdarahan Diuresis Hb, Ht, trombosit
Stabil dalam 24 jam Tetesan 5 ml/kgBB/jam
Tetesan 3 ml/kgBB/jam
Infus stop tidak melebihi 48 jam
Syok teratasi
Tambahkan koloid/plasma
Dekstran/FFP 10-20 (max 30) mi/kgBB
Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Syok belum teratasi
Ht turun Ht tetap tinggi naik koloid
Transfusi darah segar 10 ml/kgBB 20 ml/kg BB dapat diulang sesuai kebutuhan
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
Komplikasi dan Manifestasi yang tidak lazim
Ensefalopati dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi
penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka
kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara
sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Virus dengue dpat
menembus sawar darah otak, tetapi sangat jarang dapat menginfeksi jaringan otak.
Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut.
Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apati atau somnolen,
dapat disertai atau tidak kejang, dan dapat terjadi pada DBD/DSS. Apabila pada pasien
syok terjadi ensefalopati , syok harus diatasi terlebih dahulu. Pungsi lumbal dilakukan
apabila syok sudah teratasi dan kesadaran tetap menurun (hati-hati apabila trombosit
<50.000/uL). Pada ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar transaminase
(SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang, kadar gula darah turun, alkalosis pada AGD, dan
hiponatremia.
Kelainan Ginjal
GGA pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak
teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupn jarang. Untuk
mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume
intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Oleh
karena apabila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah
dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok beratsering kali dijumpai
acute tubular nekrosis, ditandai dengan penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar
ureum dan kreatinin.
Udem Paru
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan
yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan
yang diberikan, biasanya tidak menyebabkan udem paru oleh karena perembesan
plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadinya reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskular, apabila cairan diberikan secara berlebih. Pasien akan mengalami distress
pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran udem
paru harus dibedakan dengan pendarahan paru.
Pencegahan
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara
paling memadai saat ini. Vektor dengue khususnya A.aegypti sebenarnya mudah
diberantas karena sarang-sarangnya terbatas di tempat yang berisi air bersih dan jarak
terbangnya maksimum 100 meter. Tetapi karena vektor tersebar luas, untuk
keberhasilan pemberantasan diperlukan total coverage agar nyamuk tak dapat
berkembang biak lagi.
Ada 2 cara pemberantasan vektor :
1. Menggunakan insektisida
Malathion membunuh nyamuk dewasa (adultisida)
Temephos (abate) membunuh jentik (larvasida)
2. Tanpa insektisida
Menguras bak mandi, tempayan, dan tempat penampungan air minimal
1x seminggu.
Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-botol
pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.
Imunisasi maupun pemberian anti virus dalam usaha memutuskan rantai
penularan saat ini masih dalam taraf penelitian.1
Laporan Kasus – Dengue Shock Syndrome
DAFTAR PUSTAKA
1. Halstead SB, Heinz FX, Barrett ADT, Roehrig J : Dengue virus : molecular basis of cell
entry and pathogenesis, Conference report 25-27 June 2004, Vienna, Austria.
Vaccine. 2005;23:849-56.
2 Seema, Jain SK : Molecular mechanism of pathogenesis of dengue virus : entry and
fusion with target cell. Ind J Clin Biochem. 2005;20(2):92-103.
3. Hadinegoro SRH, Satari HI (eds) : Demam Berdarah Dengue, Naskah Lengkap. Jakarta
: Balai Penerbit FK UI. 2005:1-80.
4. Willis BA, Dung NM, Loan HT, Tam DTH, Thuy TTN, Minh LTT et al : Comparison of
three fluid solutions for resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl J Med.
2005;353:877-89.
5. Willis BA : Volume replacement in dengue shock syndrome. Dengue Bulletin. 2001;
25: 50-4.
6. Choundry SP, Gupta RK, Kishan J : Dengue shock syndrome in newborn, a case series.
J Ind Pediatr. 2004;41:397-9.