Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan
Bogor Tengah Kota Bogor)
ROFI’AH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan
Bogor Tengah Kota Bogor)
ROFI’AH
I352090111
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Magister Profesional pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor),” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Rofi’ah
NRP I 352 090111
RINGKASAN
ROFI’AH. Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor) Dibimbing Oleh Sarwititi S. Agung dan Nurmala K. Panjaitan.
Salah satu dampak dari keberhasilan pembangunan infrastruktur transportasi yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia adalah terjadinya kontak budaya. Kontak budaya antarsuku pada saat ini cenderung menimbulkan konflik antarbudaya, demikian juga kontak budaya yang terjadi antara Suku Sunda dan suku Madura. Namun, suku Sunda dan Madura di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor memperlihatkan suatu kehidupan yang harmonis. Kondisi ini menarik menjadi landasan penelitian dengan tujuan: (1)Menganalisa bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku Madura. (2)Menganalisa konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku Madura. (3)Menganalisa efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura.
Ting-Toomey (1998) berpendapat bahwa konflik antarbudaya dapat diatasi dengan diciptakannya komunikasi yang efektif antar individu dalam budaya yang berbeda. Efektivitas komunikasi antar budaya adalah adanya saling pengertian, saling menghargai dan saling mendukung diantara peserta komunikasi antarbudaya. efektivitas komunikasi ini dipengaruhi oleh karakteristik individu yang diperoleh melalui pengamatan, pembelajaran dan pengalaman terkait perbedaan-perbedaan kebudayaan. Pengamatan, pembelajaran, dan pengalaman tersebut akan melahirkan faktor pengetahuan dan faktor motivasi dari individu dalam mengupayakan komunikasi yang efektif. Dalam kasus komunikasi antarbudaya di Kelurahan Kebon Kelapa saling pengertian, saling menghargai dan saling mendukung yang tercipta melalui pengamatan, pembelajaran dan pengalaman individu ini kemudian menimbulkan manajemen konflik antarbudaya yang baik diantara mereka dan mengakibatkan terciptanya harmonisasi antarsuku.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, menggunakan strategi studi kasus. Jumlah informan yang ditemui peneliti sejumlah 18 yang didapat dengan teknik Snowball. yang terdiri dari 9 orang suku Sunda dan 9 orang suku Madura.Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor, tepatnya di RT 04 RW 10
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) Bentuk komunikasi antarbudaya antara suku Sunda dan suku Madura berupa penyelesaian konflik-konflik yang ada diantara mereka. Bentuk komunikasi antarbudaya di antara mereka juga berupa arena interaksi didalam area tinggal dan di luar area lingkungan tinggal. Melalui kedua bentuk komunikasi ini suku Sunda dan suku Madura menjalin keakraban diantara mereka (2) Jenis konflik yang terjadi dilokasi penelitian adalah menyangkut isu isi, relasi dan identitas. Konflik yang menyangkut isu isi dan relasi cenderung dapat dikompromikan disebabkan terpenuhinya kebutuhan akan kepentingan-kepentingan bersama. Sedangkan konflik menyangkut isu identitas lebih sulit dikompromikan karena terdapat kekhawatiran dianggap menyalahi kelompoknya menyangkut hal yang dianggap melanggar inti didalam nilai budaya masing-masing. Berkat pengamatan, pembelajaran dan pengalaman yang baik, generasi dua menggunakan gaya manajemen konflik berupa
mengkompromikan. Generasi ini menjadi panutan bagi generasi tiga dan generasi satu. Generasi tiga menggunakan gaya konflik intergrasi. Hal ini dapat mereka akukan berkat bimbingan dari generasi dua juga karena generasi ini mengalami pembauran budaya sejak kecil. Generasi satu bergaya konflik menghindari. Hal ini diakibatkan kurangnya pengetahuan dan motivasi diantara mereka (3) Efektivitas komunikasi antarbudaya antar suku Sunda dan suku Madura terjadi ketika konflik-konflik diatara mereka dapat diselesaikan, juga berkat adanya arena interaksi yang ada di dalam dan di luar lingkungan tinggal mereka. hal ini dikarenakan pengamatan, pembelajaran dan pengalaman yang terus berkembang pada seluruh generasi sehingga pengetahuan dan motivasi antarbudaya semakin baik.
ABSTRACT
ROFI’AH. intercultural communication effectiveness (conflict management in the village Kebon Kelapa) Supervised by SARWITITI S. AGUNG (Chairperson) and NURMALA K.
PANJAITAN (Members).
Indonesia has experienced several severe ethnic conflicts since 1998. One of the most severe ethnic conflicts is Dayak and the Madurese conflict in Kalimantan. However there is a case of successful Madurese adapt and resolve conflicts with Sundanese in the village Kebon Kelapa. Identity Negotiation Theory, Hall’s cultural dimensions, and intercultural conflict management styles serve as the theoretical foundations for this research. The research data were collected by conducting indepth interviews with 9 Madurese residents and 9 Sundanese residents who represent three generations of conflict parties. Focus group discussions with Madurese and Sundanese were held to generate richer data. This study found that conflicts related to the content and relational issues as cultural differences; Madurese’s low context culture and Sundanese’s high context culture, resolved through compromise styles that led to better intercultural interpersonal relationship and working relationship. Improving those relationships were able to reduce an unresolved identity issue conflict that was usually exacerbated by economic disparity issues. More importantly, the second and third generations of those ethnic groups are found to have significant role on resolving conflicts. In this situation, the opinion leader of each ethnic group is a critical component that can facilitate dialog between conflicting parties, whereas the monumental event that symbolize the success of resolving conflict also plays a role as media of uniting Madurese and Sundanese as an community. It suggested principles or lessons for effectively handling intercultural conflicts. Key words: social identity negotiation, ethnic conflict, intercultural communication, management conflict style
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penyusunan kritik atau tujuan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan
Bogor Tengah Kota Bogor)
ROFI’AH
I352090111
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Magister Profesional pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: . Ir. Hadiyanto, MSi
Judul Tesis : Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Pada Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor)
Nama : Rofi’ah NIM : I352090111 Mayor : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi a.n Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan Sekretaris Program S2 Pertanian dan Pedesaan
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc
Tanggal Pengesahan :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Efektivitas
Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik
di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor). Penulisan tesis ini
dilaakkan sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP), Sekolah Pascasarjana IPB.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sarwititi S, MS dan Dr. Nurmala K.
Panjaitan, MS, DEA selaku komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk
memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis dalam penulisan tesis ini. Terimakasih
juga penulis ucapkan kepada Ir. Hadiyanto, Msi selaku penguji luar komisi pada ujian, yang
telah memberikan masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan tesis ini. Penulis
mengucapan terimakasih kepada semua pihak yang tidak apat disebutkan satu-persatu atas
dukungan yang diberikan. Semoga tesis ini bermnfaat bagi penulis sendiri, akademisi, serta
pihak lainnya. Tesis ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan, karena itu
penulis meminta maaf atas ketidak sempurnaan dan kekurangan yang ada.
Bogor, Agustus 2012
Rofi’ah
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………. xii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………. xiv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………. xvi
PENDAHULUAN ……………………………………………………………………1
Latar Belakang ……………………………………………………………. 1
Perumusan Masalah ………………………………………………………… 5
Tujuan Penelitian …………………………………………………………. 5
Kegunaan Penelitian ………………………………………………………… 6
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………………….. 7
Komunikasi Antar Budaya……………………………………………….. 7
Pengertian Komunikasi Antar Budaya………………………………… 7
Konflik dan Manajemen Konflik.........……………………………….. 10
Tahapan Perkembangan Kearah Terjadinya Konflik................. 11
Dampak Konflik........................................................................... 12
Strategi Mengatasi Konflik........................................................... 13
Strategi Mengatasi Konflik antarpribadi....................................... 13
Individualistik dan Kolektivistik..... …………………….……............. 15
Kompetensi dan Unsur-Unsur Kompetensi Komunikasi
Antar Budaya ……………………………………………….…..…….. 18
Efektifitas Komunikasi Antar Budaya …………………………..…… 19
KERANGKA BERPIKIR ………………………………………………………. 22
METODE PENELITIAN ……………………….………………………………. 25
Paradigma Penelitian …………………………………..……………………. 25
Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………………… 27
Teknik Pengumpulan Data…………………………………………………… 27
Analisa Data ………………………………………….…………………… 28
Triangulasi …………………………….…………………………………… 28
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………………. 31
Profil dan Kependudukan Kelurahan Kebon Kelapa………………………….. 31
Sejarah Kedatangan Suku Madura dan berbagai Tanggapannya …….. 40
Kelembagaan Warga RT 04 RW 10…..……………………………….. 42
Bidang Ekonomi ………..…………………………………. 42
Bidang Keagamaan …………………………………………. 48
Pernikahan Antar Suku ……………………………………… 50
Pendidikan …………………………………………………… 53
Keberadaan Suku Lainnya …………………………………………… 58
Berbagai Arena Interaksi suku Sunda dan suku Madura..................... 59
Arena Interaksi dalam Lingkungan Tinggal…………………….. 59
Arena Interaksi di Luar Lingkungan Tinggal…………………….. 66
Berbagai Konflik Antara Suku Sunda dan Suku Madura………............. 75
Terjadinya Konflik di RT 04 RW10 ………………………………… 75
Kasus bermuka galak ….……………………………………… 75
Kasus Clurit ……………………………………………….. 77
Kasus Pembangunan Masjid...........................................................80
Kasus Kepanitiaan Maulid Nabi..................................................... 87
Kasus Penggunaan Jalan ................................................................92
Kasus Perdagangan Versus Jabatan.............................................. 94
Kasus Slametan...............................................................................95
Kasus Kaya Miskin...................................................................... 98
Jenis Konflik…………………………………………………………...100
Manajemen Konflik ...................................................................……. 111
Efektivitas Komunikasi Antarbudaya di RT 04 RW 10 ……………. 122
Gambaran Budaya ……………………………………………………….. 130
Suku Sunda ………………………………………………………….. 130
Suku Madura ………………………………………………………. 132
SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………..... 135
Simpulan…………………………………………………………......... 135
Saran ………………………………………………………………. 136
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Percampuran budaya yang terjadi di Indonesia dilatar belakangi oleh
beragam suku bangsa Indonesia yang berasal dari Sabang sampai Merauke.
Berbagai suku tersebut mencirikan diri dengan bahasa yang khas, kebiasaan-
kebiasaan yang unik, bahkan sistem nilai yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Kekhasan, keberbedaan dan keunikan masing-masing suku tersebut selanjutnya
menentukan ciri-ciri keanggotaan setiap suku, juga menentukan interaksi dengan
pola tertentu. Menurut Ting-Toomey (1998) identitas kultural merupakan
perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut memiliki (sense of
belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu. Masyarakat yang terbagi
kedalam kelompok-kelompok itu kemudian melakukan identifikasi kultural
(cultural identification), yaitu masing-masing orang mempertimbangkan diri
mereka sebagai representasi dari sebuah budaya partikular. Identifikasi kultur ini
akan menentukan individu-individu yang termasuk dalm ingroup dan outgroup
(Roger&Steinfatt dalam Raharjo 2004) Beragam suku tersebut selanjutnya
menyebar dan menempati wilayah Indonesia yang luas. Hal ini memungkinkan
terjadinya dua suku atau lebih menempati lingkungan sosial yang sama.
Kelompok suku tersebut bertemu, berinteraksi dan menciptakan hubungan sosial
yang khas.
Masyarakat Indonesia yang multikultural ini secara demografis maupun
sosiologis potensial bagi terjadinya konflik. dalam konteks identifikasi kultur ini,
dimana para anggota kelompok suku dilahirkan, dididik,dan dibesarkan dalam
suatu suasana askriptif primodial suku mereka yang mengakibatkan perbedaan
antara “siapa saya” dengan “siapa anda” terlihat nyata, membutuhkan komunikasi
yang efktif sebagai upaya menjalin hubungan antarsuku.
Hubungan yang terjalin dengan baik akan menciptakan interaksi yang
efektif, sebaliknya, hubungan yang tidak baik menyebabkan interaksi tidak
efektif, tidak harmonis dan pada akhirnya mengarah kepada konflik. Salah satu
contoh hubungan yang tidak harmonis antar dua suku yang menyebabkan konflik
yaitu antara suku Dayak dan suku Madura di Sambas, Kalimantan Barat.
2
Penelitian mengenai konflik yang melibatkan kedua suku tersebut pernah
dilakukan oleh Yohanes Bahari pada tahun 2005. Bahari (2005) menyebutkan
bahwa konflik kekerasan antara suku Dayak dan suku Madura di Sambas selama
ini memang tidak terlepas dari adanya tradisi kekerasan dalam budaya suku
Dayak, sedangkan dari sisi suku Madura, perilaku dan tindakan orang Madura
yang tinggal di Kalimantan, baik yang sudah lama maupun masih baru, tidak
banyak berbeda dengan perilaku dan tindakan mereka di tempat asalnya di pulau
Madura. Keberanian orang Madura berbicara terus terang dan apa adanya
dianggap tidak sopan dan terkesan sebagai suatu perlawanan pada suku pribumi.
Oleh karena itu dalam pandangan suku Dayak, orang Madura merespon masalah
atau kekerasan dengan tindakan resistensi yang cenderung berupa kekerasan.
Dapat dilihat dari sini bahwa komunikasi memegang peran penting dalam
menentukan bentuk suatu hubungan. Perbedaan keinginan dalam cara
berkomunikasi pada suku Madura dan suku Dayak dalam penelitian Bahari
mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak harmonis sehingga menimbulkan
konflik.
Penelitian Wuysang (2003) menunjukkan bahwa dalam interaksi antara
suku Melayu dan suku Madura di Sampit Kalimantan Tengah, salah satu pesan
yang disampaikan yakni: ciri, sifat dan atribut negatif yang dilekatkan pada suatu
suku tertentu. Perasaan negatif terhadap suku lain ini merupakan prasangka yang
akan menjadi penghambat komunikasi. Padahal, perasaan negatif tersebut
sebenarnya muncul dari perbedaan persepsi karena perbedaan penafsiran pesan
yang dibawa komunikator dan komunikan hingga akhirnya memperbesar jarak
sosial. Konflik-konflik yang terjadi menyiratkan makna bahwa sebagai bagian
dari masyarakat multikultural, kita selama ini tidak atau belum melakukan
komunikasi antarbudaya yang efektif. Sebuah relasi antarmanusia yang bertujuan
untuk meminimalisir kesalahpahaman budaya. Interaksi antar individu dan
kelompok budaya selama ini tidak lebih dari komunikasi semu, tidak sungguh-
sungguh, cenderung tidak mencerminkan ketulusan, yaitu tidak mengatakan yang
sebenarnya, apa yang ada dalam pikiran dan hatinya. Dalam keadaan demikian
komunikasi menjadi sekedar basa-basi, bukan untuk tujuan menyampaikan pesan
yang sebenarnya.
3
Dalam studi komunikasi antarbudaya, ketidaktulusan dalam menjalin
interaksi dicerminkan oleh sebuah konsep yang dikenal dengan mindlessness,
yaitu orang yang sangat percaya pada kerangka referensi yang sudah dikenal,
kategori-kategori yang bersifat rutin, dan melakukan sesuatu dengan cara-cara
yang sudah lazim (Ting-Toomey, 1998). Artinya, ketika melakukan kontak
antrbudaya individu yang berada dalam keadaan mindless menjalankan aktifitas
komunikasinya tanpa dilandasi kesadaran dalam berpikir. Ia hanya menggunakan
sudut pandangnya dalam menilai dan memperlakukan orang lain. Seseorang yang
mindless tidak menyadari bahwa ada perbedaan-perbedaan dalam masing-masing
kelompok budaya disamping juga terdapat kesamaan-kesamaan diantara mereka.
Bahwa komunikan merupakan individu-individu yang unik dan memerlukan
pemahaman yang baik untuk dapat berperilaku yang tepat terhadap masing-
masing individu tersebut. Konsep ini dikenal dengan emotional vulnerability,
yaitu ketika seseorang berkomunikasi dengan dissimilar others, maka ia akan
mengalami emotional vulnerability. Dalam arti bahwa identitas kelompok
(misalnya identitas kultural) dan identitas individu (seperti sifat-sifat kepribadian)
akan mempengaruhi cara-cara seseorang dalam mempersepsi, berpikir dan
bertingkah laku dalam suatu lingkungan sosial (Ting-Toomey, 1998).
Cara komunikasi yang mindless ini disebabkan oleh munculnya situasi
ketidakpastian (uncertainty) dan kecemasan (anxiety). (Gudykunst & Kim, 1997)
ketidakpastian merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memprediksi atau
menjelaskan perilaku, perasaan, sikap atau nilai-nilai yang diyakini oleh orang
lain. Sedangkan kecemasan merupakan perasaan gelisah, tegang, atau khawatir
tentang sesuatu yang akan terjadi.
Penelitian ini melihat, suku Madura, sebagai salahsatu suku di Indonesia,
sebagaimana menurut (Rahman, 2007) merupakan suku pengembara terbesar dan
menempati banyak lokasi di Indonesia, Suku ini menyebar hampir di seluruh
penjuru tanah air bahkan hingga manca negara. Di sebagian tempat sebagaimana
dijelaskan di atas, suku ini mengalami konflik dengan suku lain. Di sebagian
tempat lainnya suku Madura berhasil menjalin hubungan yang baik dengan suku
setempat (Rifa‟i 2007).
4
Salah satunya di kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota
Bogor. Di daerah ini terdapat keragaman suku bangsa. Suku yang dominan adalah
suku Sunda dan suku Madura. Suku Sunda sebagai penduduk asli sedangkan suku
Madura sebagai suku pendatang. Mereka berdomisili di kelurahan Kebon Kelapa
sejak tahun 70-an.
Pernah terjadi beberapa konflik diantara kedua suku ini, diantaranya dalam
kegiatan pembangunan mesjid serta memilih dan menetapkan pengurus masjid.
Kegiatan ini ternyata memancing terjadinya konflik. Perbincangan santai dan
musyawarah kerukunan warga yang diselenggarakan atas inisiatif salahsatu
warganya dan berkat dukungan ketua RW setempat, untuk membahas konflik
dalam perkara kepengurusan masjid dan beberapa kasus kesalahpahaman di antara
keduanya, diduga memberikan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk
memahami dan menegosiasikan perbedaan budaya yang menjadi penyebab dari
ketegangan dan permasalahan yang terjadi.
Kemampuan suku Madura bersama-sama dengan suku Sunda di Kelurahan
Kebon Kelapa untuk menanggulangi konflik dan bertahan di lingkungan bersama,
diduga tidak lepas dari kemampuan mereka untuk menjalin komunikasi dan
interaksi yang baik, yaitu menciptakan suatu situasi komunikasi antarbudaya yang
di sebut mindfullness, yaitu ketika seseorang berpikir tentang kecakapan
komunikasinya dan terus menerus berusaha merubah apa yang dia lakukan supaya
menjadi lebih efektif (Gudykunst & Kim, 1997). Suatu situasi komunikasi
antarbudaya dimana masing-masing peserta komunikasi berusaha meningkatkan
kecakapan komunikasinya serta mamapu merubah apa yang dilakukannya
menjadi lebih baik adalah berkat kemampuan menghilangkan ketidakpastian dan
kecemasan, serta mengaplikasikan pegetahuan budaya dan motivasi kedalam
suatu kecakapan perilaku yang tepat disebut komunikasi antarbudaya yang efektif
(Gudykunst & Kim, 1997). Mindfulness juga merupakan proses memfokuskan
kognitif yang dipelajari melalui praktik yang diulang-ulang. (Ting-Toomey,
1998). Dalam teori Negosiasi Identitas milik Ting-Toomey (1998), ia
menegaskan bahwa mindful intercultural communication menekankan pentingnya
mengintegrasikan pengetahuan antarbudaya yang penting, motivasi, dan
kecakapan-kecakapan untuk berkomunikasi secara memuaskan, layak dan efektif,
5
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti merumuskan
beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku
Madura?
2. Bagaimana konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku
Madura ?
3. Bagaimana efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku
Madura?
Tujuan Penelitian
Berbagai identifikasi masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisa bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku
Madura.
2. Menganalisa konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku
Madura.
3. Menganalisa efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan
suku Madura.
Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini bertujuan memperkaya khasanah
penelitian mengenai komunikasi yang berkaitan dengan konflik antar etnik.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi dalam mengupayakan
harmonisasi budaya atau memperbaiki kondisi pasca konflik untuk mengambil
langkah-langkah terbaik.
6
7
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Antarbudaya
Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Gudykunts (1991) membedakan antara komunikasi lintasbudaya dengan
komunikasi antarabudaya, yaitu jika komunikasi lintas budaya lebih menekankan
pada perbandingan pola-pola komunikasi antarpribadi di antara peserta
komunikasi yang berbeda kebudayaan, maka studi komunikasi antarbudaya lebih
mendekati objek melalui pendekatan kritik budaya. Aspek utama dari komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi antarpribadi di antara komunikator dan
komunikan yang kebudayaannya berbeda.
Komunikasi lebih dari sekedar menolong seseorang untuk mengumpulkan
informasi atau untuk memenuhi kebutuhan interpersonal. Komunikasi juga
berperan dalam menentukan dan menjelaskan identitas, baik sebagai pribadi,
kelompok maupun suatu identitas budaya. Interaksi seorang individu dengan yang
lainnya menentukan siapakah dirinya. Identitas merupakan hal yang penting
dalam komunikasi antarbudaya dalam menentukan jatidiri yang ditawarkan oleh
seorang individu untuk dapat diterima oleh individu yang lainnya. Oleh karena itu
pembahasan komunikasi antarbudaya adalah membahas ciri-ciri penting dan
berbeda pada suatu individu yang disebabkan perbedaan budayanya (Mulyana,
2008)
Berbagai definisi yang menyangkut komunikasi antarbudaya antara lain
adalah sebagai berikut:
Rich dan Ogawa (dalam Liliweri 2002) menyatakan komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan,
misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras dan antar kelas sosial.
Samovar (2010), mengatakan komunikasi antarbudaya yaitu komunikasi
yang terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu memberikan pesan kepada
anggota dari budaya yang lain. Lebih tepatnya, komunikasi antarbudaya
melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi budaya dan sistem
simbolnya cukup berbeda dalam suatu komunikasi
8
Dood (dalam Liliweri 2002) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya
meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi,
antarpribadi dan kelompok. Dengan tekanan pada perbedaan latar belakang
kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta
Chen dan Starosta (dalam Liliweri 2002) mengatakan bahwa komunikasi
antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang
membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan
fungsinya sebagai kelompok.
Ting-Toomey (1998) menyatakan komunikasi antarbudaya adalah suatu
proses komunikasi simbolik antara orang-orang dari budaya yang berbeda.
Manusia merupakan makhluk pembuat simbol. Dalam komunikasi manusia,
simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menandakan sesuatu hal yang
lainnya. Salah satu karakteristik simbol yang harus diingat adalah bahwa simbol
itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya, sehingga
dapat berubah-ubah. Simbol dapat dalam bentuk suara, tanda, gerakan, dan lain-
lainnya yang dapat digunakan dalam berbagi fakta dengan orang lain. Dalam
interaksi sehari-hari hal ini mungkin terjadi. Bahwa seseorang menggunakan
simbol untuk memberikan makna, menggambarkan apa arti sesuatu, memperluas
perspektif, memeriksa ulang persepsi dan menamai perasaan-perasaan sehingga
menjadi nyata. Dengan cara ini seseorang secara aktif memberikan arti melalui
simbol-simbol.
Menurut Ting-Toomey (1998) beragamnya latar belakang budaya dari
para peserta komunikasi memungkinkan terjadinya keberagaman pemikiran
diantara mereka. Hal ini yang menyebabkan dibutuhkannya simbol untuk di
pertukarkan dan disepakati maknanya dalam suatu komunikasi. Karena itu agar
menjadi efektif komunikasi antarbudaya memerlukan suatu situasi yang disebut
mindfullness untuk dapat melakukan negosiasi terkait simbol dan pemaknaannya
dalam suatu budaya tertentu, yang menjadi latarbelakang individu dalam suatu
interaksi antarbudaya. dari latarbelakang pendapat ini Ting-Toomey
mengembangkan sebuah teori dalam menjelaskan kejadian komunikasi
antarbudaya, yaitu teori negosiasi identitas.
9
Teori Negosiasi Identitas yang dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey
memberikan sebuah dasar dalam memperkirakan bagaimana manusia akan
menunjukan citra dirinya dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. Citra diri
adalah bagaimana seseorang menggambarkan dan menampilkan dirinya di
hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi,
kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Citra diri selanjutnya menjadi dasar
perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi
identitas mereka serta untuk melindungi, membangun dan mengancam identitas
orang lain.
Beberapa asumsi teori Negosiasi Identitas mencakup komponen-
komponen penting dari teori ini: citra diri, konflik, dan budaya. Dengan demikian
poin-poin berikut menuntun teori dari Ting-Toomey:
1. Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan individu-
individu menegosiasikan identitas mereka secara berbeda dalam
budaya yang berbeda.
2. Manajemen konflik dimediasi oleh citra diri dan budaya.
3. Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang
ditampilkan.
Asumsi pertama menekankan pada (self identity). Self identity ini adalah
identitas yang ia harapkan dan ia inginkan agar identitas tersebut diterima orang
lain. Identitas diri mencakup pengalaman kolektif seseorang, pemikiran, ide,
memori, dan rencana. Identitas diri tidak bersifat stagnan, melainkan
dinegosiasikan dalam interaksi dengan orang lain. Orang memiliki kekhawatiran
akan identitasnya dan identitas orang lain. Bagaimana persepsi seseorang tentang
dirinya sendiri dan bagaimana seseorang ingin orang lain mempersepsi dirinya
merupakan hal yang sangat penting dalam komunikasi.
Asumsi kedua berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen
utama dari teori ini. Konflik dapat merusak identitas seseorang dan dapat
mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang. konflik adalah „forum” bagi
kehilangan identitas dan penghinaan terhadap diri ketika terdapat negosiasi yang
tidak berkesesuaian dalam menyelesaikan konflik tersebut (seperti menghina
orang lain, memaksakan kehendak, dan lain sebagainya), Dalam hal ini cara
10
manusia bersosialisasi dalam budaya mereka memengaruhi bagaimana mereka
akan mengelola konflik.
Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh
suatu tindakan terhadap citra diri. Pertama, penyelamatan citra diri (face-saving)
mencakup usaha-usaha untuk mencegah peristiwa yang dapat menimbulkan
kerentanan atau merusak citra seseorang. Penyelamatan citra diri sering kali
menghindarkan rasa malu. Pemulihan citra diri (face restoration) terjadi setelah
adanya peristiwa yang dianggap mempermalukan citra diri. Orang akan selalu
berusaha untuk memulihkan citra diri dalam merespon suatu peristiwa. Misalnya,
alasan-alasan yang diberikan orang merupakan bagian dari teknik-teknik
pemulihan citra diri ketika suatu peristiwa yang dianggap memalukan terjadi.
Konflik dan Manajemen Konflik
Dalam kehidupan bermasyarakat kita selalu dihadapkan dengan berbagai
macam masalah atau konflik. Konflik adalah hal yang akan selalu terjadi, entah
konflik dengan orang lain atau dengan keluarga kita sendiri. Konflik dalam
kehidupan pasti selalu ada dan tidak dapat dihilangkan. Konflik hanya dapat
dicegah agar masalah yang timbul tidak semakin besar dan parah (Agus, 2003).
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi. Dengan dibawasertanya ciri ciri individual dalam interaksi
sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak
satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri (Syarif, 2003)
Menurut Nardjana (dalam Wijono,1993), konflik adalah suatu situasi
dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu
dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Menurut
Killman dan Thomas (dalam Wijono,1993), konflik merupakan kondisi terjadinya
ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada
dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang
telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya
emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja
11
Dalam konflik setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan
maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun
kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran, atau adanya nilai-nilai atau
norma yang saling berlawanan. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh
gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi,
dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti
status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik
seperti sandang pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan
tertentu seperti mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis
seperti rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri. Hal
ini mengakibatkan munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai
akibat pertentangan yang berlarut-larut, munculnya ketidakseimbangan akibat dari
usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial,
pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya
(Wijono, 1993).
Tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik
1. Konflik masih tersembunyi (laten). Berbagai macam kondisi emosional
yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal
yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition). Tahap perubahan dari
apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya,
kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan
nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat
dirasakan (felt conflict) Muncul sebagai akibat antecedent condition yang
tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang
ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan
berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
12
5. Penyelesaian atau tekanan konflik. Pada tahap ini, ada dua tindakan yang
perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan
berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka
dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya
bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga
mempengaruhi produkivitas kerja (Rahardjo, 2007)
Dampak Konflik
1. Dampak Positif Konflik
Apabila upaya penanganan dan pengelolaan suatu konflik dilakukan
secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku para
pelaku konflik berupa saling mendukung, saling menghargai dan saling
pengertian. Semua ini bisa menjadikan tujuan bersama dapat tercapai bahkan
berdampak pada produktivitas kerja yang meningkat sehingga akhirnya
kesejahteraan bersama dapat terwujud dan terjamin. (Wijono, 1993).
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektifnya
pengelolaan terhadap konflik yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik
tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik yang efektif. Akibatnya muncul
keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan semua pihak berupa hilangnya
kondusifitas lingkungan bahkan menurunnya produktivitas kerja. (Wijono, 1993).
Strategi Mengatasi Konflik
1. Pengenalan. Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan
bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi
perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan
masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis. Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah
diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil
dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada
hal-hal sepele.
13
3. Menyepakati suatu solusi. Yaitu mengumpulkan masukan mengenai jalan
keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Serta bersedia untuk menanggung secara bersma-sama keuntungan dan
kerugian.
4. Evaluasi. Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah
baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-
langkah sebelumnya dan cobalah lagi. (Rahardjo, 2007)
Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
1. Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy). Beroientasi pada dua individu
atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok
yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar
sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa
orang atau kelompok ketiga sebagai penengah. Dalam strategi kalah-kalah,
konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila
perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk
campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak
atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak
ketiga yaitu: a. Arbitrasi (Arbitration). Arbitrasi merupakan prosedur di
mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak
ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan
penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat. b. Mediasi
(Mediation). Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan
konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang
mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-
pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
2. Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy). Dalam strategi saya menang
anda kalah (win-lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang
sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh
kemenangan. Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy Hal ini dapat melalui:
a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih
pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task
14
independence).
b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan
perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi
terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja
(jurisdictioanalambiquity).
c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya
untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan
dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication
barriers).
d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal
dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena
dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran
persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh
dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan
persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara
optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3. Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy). Penyelesaian yang
dipandang manusiawi karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan
keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat
membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman,
merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh
kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya
penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar
memojokkan orang. Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam
organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat
dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problem Solving). Usaha untuk
menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan
kedua belah pihak.
15
b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam
penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan
proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk
menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi salah satu atau
kedua belah pihak yang terlibat konflik. (Rahardjo, 2007)
Individualistik dan Kolektivistik
Ting-Toomey memfokuskan pembahasan penyebabka konflik berdasarkan
latarbelakang perbedaan budaya. Menurut (Ting-Toomey 1998) salah satu
penyebab konflik terjadi adalah karena adanya perbedaan budaya individualis dan
kolektivis. Budaya individualis adalah budaya “kemandirian” dan budaya
kolektivis adalah budaya “saling ketergantungan”. Budaya di seluruh dunia
memiliki kadar dan ragam yang berbeda-beda dalam hal individualis dan
kolektivis. Kedua dimensi ini memainkan peranan yang penting dalam cara
bagaimana citra diri dan konflik dikelola.
Individualisme merujuk pada kecenderungan orang untuk mengutamakan
identitas individual dibandingkan identitas kelompok, hak individual
dibandingkan hak kelompok, dan kebutuhan individu dibandingkan kebutuhan
kelompok. Individualisme adalah identitas “Aku. Iindividualisme menekankan
inisiatif individu, kemandirian, ekspresi individu, dan bahkan privasi. Nilai-nilai
individualistik menekankan adanya antara lain kebebasan, kejujuran,
kenyamanan, dan kesetaraan pribadi. Individualisme melibatkan motivasi diri,
otonomi, dan pemikiran mandiri. Individualisme menyiratkan komunikasi
langsung (to the point) dengan orang lain yang sering dikenal dengan
budaya komunikasi konteks rendah.
Apabila individualisme berfokus pada identitas personal seseorang,
kolektivisme melihat ke luar diri sendiri. Kolektivisme adalah penekanan pada
tujuan kelompok dibandingkan tujuan individu, kewajiban kelompok
dibandingkan hak individu dan kebutuhan kelompok dibandingkan kebutuhan
pribadi. Kolektivisme adalah identitas “Kita”. Orang-orang di dalam
budaya kolektivistik menganggap penting berkerja sama dan memandang diri
mereka sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar. Masyarakat kolektivistik
mementingkan keterlibatan. Beberapa nilai kolektivistik diantaranya adalah
16
menekankan keselarasan, menghargai keinginan orang yang lebih tua, dan
pemenuhan kebutuhan orang lain. Kolektivisme menyiratkan komunikasi tidak
langsung (lebih banyak basa-basi), istilah sering dikenal dengan
budaya komunikasi konteks tinggi. Ting-Toomey berargumen bahwa anggota-
anggota dari budaya yang mengikuti nilai-nilai individualistik cenderung lebih
berorientasi pada citra diri, sementara anggota-anggota yang mengikuti nilai yang
berorientasi pada kelompok cenderung lebih berorientasi pada citra orang lain
atau identitas bersama dalam sebuah konflik. Budaya kolektivistik berkaitan
dengan kemampuan adaptasi. Kemampuan beradaptasi memungkinkan
munculnya ikatan yang saling tergantung dengan orang lain. Maksudnya adalah
anggota dari komunitas kolektivistik mempertimbangkan hubungan mereka
dengan orang lain ketika mereka mendiskusikan sesuatu dan merasa bahwa suatu
percakapan membutuhkan keberlanjutan dari kedua komunikator.
Konflik sering kali terjadi ketika anggota-anggota dari budaya berbeda,
atau memiliki tingkat individualistik dan tingkat kolektivistik yang berbeda
bertemu, sehingga individu-individu yang berbeda tersebut akan menggunakan
beberapa gaya konflik yang berbeda. Gaya-gaya ini merujuk pada respon yang
berpola, atau cara khas untuk mengatasi konflik pada berbagai peristiwa
komunikasi.
Menurut Ting-Toomey (1998) manajemen konflik mencakup Avoiding
(menghindar), Obliging (menurut), Compromising (berkompromi), Dominating
(mendominasi), dan Integrating (mengintegrasikan). Dalam menghindar, orang
akan berusaha menjauhi ketidaksepakatan dan menghindari pertukaran yang tidak
menyenangkan dengan orang lain. Pada gaya menurut, orang yang berkonflik
akan melakukan akomodasi pasif, yaitu berusaha memuaskan kebutuhan
kebutuhan orang lain atau sepakat dengan saran-saran dari orang lain. Dalam
berkompromi, individu-individu berusaha menemukan jalan tengah untuk
mengatasi jalan buntu dan menggunakan pendekatan memberi-menerima sehingga
kompromi dapat tercapai. Gaya mendominasi mencakup perilaku-perilaku yang
menggunakan pengaruh, wewenang atau keahlian untuk menyampaikan ide atau
mengambil keputusan. Terakhir gaya mengintegrasikan digunakan untuk
menemukan solusi masalah. Tidak seperti berkompromi, integrasi membutuhkan
17
perhatian yang tinggi untuk diri anda dan orang lain, yang mengharuskan masing-
masing kelompok yang bertikai memperhatikan kelompok lainnya demi
tercapainya kepentingan bersama.
Keputusan untuk menggunakan satu atau lebih dari gaya-gaya ini akan
bergantung dari variabilitas budaya dari komunikator. Manajemen konflik juga
menganggap penting persoalan citra diri dan citra orang lain. Sehubungan dengan
perbandingan yang melintasi lima budaya (Jepang, Cina, Korea Selatan, Taiwan
dan Amerika Serikat), Ting-Toomey beberapa hal:
1. Anggota-anggota dari budaya Amerika Serikat menggunakan lebih banyak
gaya mendominasi dalam manajemen konflik.
2. Orang Taiwan menyatakan bahwa lebih banyak menggunakan gaya
mengintegrasikan dalam manajemen konflik.
3. Orang Cina dan Taiwan menggunakan lebih banyak gaya menurut.
4. Orang Cina lebih banyak menggunakan tingkat menghindar yang tinggi
sebagai gaya konflik dibandingkan kelompok budaya lainnya.
5. Orang Korea menggunakan tingkat kompromi yang lebih tinggi dari
budaya-budaya lainnya.
Budaya kolektivistik (Cina, Korea dan Taiwan) memiliki tingkat
perhatian terhadap citra diri orang lain yang lebih tinggi. Dari sini jelaslah bahwa
penelitian mengenai citra diri dan konflik menunjukkan variabilitas budaya
memengaruhi bagaimana konflik dikelola. Dalam budaya kolektivis, keanggotaan
dalam kelompok biasanya merupakan sumber utama identitas. Bagi masyarakat
Jepang, wajah melibatkan, “kehormatan, kesopanan, kehadiran, dan pengaruh
pada orang lain”. Di antara masyarakat Cina, “memperoleh dan kehilangan wajah
dekat hubungannya dengan masalah harga diri, martabat, penghingaan, rasa malu,
aib, kerendahan hati, kepercaayaan, rasa curiga, rasa hormat dan gengsi”.
Sikap yang berbeda menyangkut apa yang mewakili citra diri memiliki pengaruh
yang nyata pada bagaimana budaya memandang dan mendekati konflik. Dalam
budaya kolektif, konflik dalam kelompok-dalam “dianggap merusak citra sosial
dan keharmonisan hubungan, jadi harus dihindari sedapat mungkin”. ketika
berhadapan dengan sesuatu yang berpotensi menimbulkan konflik, masyarakat
dari budaya kolektivis cenderung menghindar. Masyarakat dari budaya
18
individualistis bagaimanapun, lebih peduli pada citra sendiri dan cenderung
menghadapi dan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada solusi untuk
mengatasi konflik. Perilaku berbeda terhadap konflik menimbulkan gaya
komunikasi budaya yang cukup berbeda. Selama komunikasi antarbudaya terjadi,
gaya yang berlawanan ini dapat menimbulkan kebingungan, kesalahpahaman,
atau bahkan kebencian di antara pelaku komunikasi. Hal yang sama juga berlaku
pada gaya komunikasi tidak langsung (seperti pada budaya konteks tinggi) dalam
rangka mempertahankan hubungan baik dapat menimbulkan efek yang sebaliknya
di antara peserta individualistis yang menganggap bahwa interaksi dapat
mengancam identitas. (Ting-Toomey, 1998).
Kompetensi dan Unsur-Unsur Kompetensi Komunikasi Antarbudaya
Kata competence adalah state of being capable, atau dapat diartikan
sebagai suatu keadaan yang menunjukkan kapabilitas atau kemampuan seseorang
sehingga ia dapat berfungsi dalam keadaan yang mendesak dan penting.
Kompetensi komunikator adalah sebuah kompetensi yang dimiliki oleh seorang
komunikator, atau kemampuan tertentu dari seorang komunikator untuk
menghindari perangkap atau hambatan komunikasi. Misalnya, mampu
meminimalisasi kesalahpahaman, kekurangmengertian, dan memahami perbedaan
sikap dan persepsi orang lain.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kompetensi antarbudaya adalah
kompetensi yang dimiliki oleh seseorang (baik secara pribadi, berkelompok,
organisasi, atau dalam etnik dan ras) untuk meningkatkan kapasitas, keterampilan,
pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan utama dari orang-orang yang
berbeda kebudayaannya. Kompetensi antarbudaya merupakan suatu perilaku yang
konkrit beserta sikap, struktur dan kebijakan yang datang bersamaan atau
menghasilkan kerja sama dalam situasi antarbudaya.
Ada beberapa faktor yang mendorong kita mempelajari kompetensi
antarbudaya, antara lain adanya perbedaan nilai antarbudaya, tata aturan budaya
cenderung mengatur dirinya sendiri, kesadaran untuk mengelola dinamika
perbedaan, pengetahuan kebudayaan yang sudah institusionalisasi, dan
mengadaptasikan kekuatan semangat layanan dalam keragaman budaya demi
melayani orang lain. (Liliweri, 2002).
19
Dengan kata lain, kompetensi antarbudaya itu tergantung pada konteks.
Konteks tersebut itu adalah (1) konteks verbal, misalnya berkaitan dengan
pembentukan kata-kata dalam sebuah pernyataan dan topik; (2) konteks relasi,
yang menggambarkan penyusunan, tipe, dan gagasan pesan dalam berkomunikasi
dengan orang lain; (3) konteks lingkungan fisik maupun sosial suatu masyarakat
yang menggambarkan bentuk penerimaan dan penolakan tanda, simbol, ataupun
pesan dalam komunikasi. (Gudykunst, 1991).
Menurut Ting-Toomey (1998), ada tiga komponen kompetensi dalam
berkomunikasi yaitu:
1. Motivasi. Motivasi adalah daya tarik dari komunikator yang mendorong
seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain
2. Pengetahuan. Pengetahuan menentukan tingkat kesadaran atau
pemahaman seseorang tentang kebutuhan apa yang harus dilakukan dalam
rangka komunikasi secara tepat dan efektif, komponen pengetahuan turut
menentukan kompetensi komunikasi karena hal ini berkaitan erat dengan
tingkat kesadaran terhadap apa yang dibutuhkan untuk berkomunikasi
dengan orang lain.
3. Keterampilan. Kemampuan dapat membimbing kita untuk menghadirkan
sebuah perilaku tertentu yang cukup dan mampu mendukung proses
komunikasi secara tepat dan efektif. Tujuan utama dari keterampilan
semata-mata untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dan kecemasan.
Untuk mengurangi ketidakpastian setidaknya seseorang harus mempunyai
keterampilan empati, berperilaku seluwes mungkin dan kemampuan untuk
mengurangi situasi ketidakpastian itu sendiri.
Jadi kompetensi komunikasi antarbudaya adalah seperangkat pengetahuan
dan motivasi yang harus dimiliki oleh seseorang yang dituangkan dalam
keterampilan berkomunikasi, khususnya komunikasi antar manusia berbeda
budaya.
Efektivitas Komunikasi Antarbudaya.
Gudykunts (1991) mengungkapkan bahwa efektivitas komunikasi
antarbudaya adalah kemampuan para peserta komunikasi untuk dapat
20
menciptakan iklim komunikasi yang positif. Iklim positif diartikan dengan adanya
derajat kognitif yang baik, perasaan yang positif, dan tindakan yang menunjukan
kemampuan berperilaku yang tepat.
DeVito (1997) menyatakan bahwa untuk menghasilkan komunikasi
antarbudaya yang efektif adalah mengetahui pentingnya pemahaman kita
terhadap diri sendiri dan terhadap harapan orang lain dalam melintasi batas-batas
interpersonal atau budaya.
Mulyana dan Rakhmat (2006) menyatakan efektivitas komunikasi
antarbudaya adalah mengetahui pola-pola penafsiran pesan dari budaya yang
berlainan serta meminimalisir bias penilaian dan persepsi interpersonal, agar tidak
terjebak dalam stereotype.
Menurut Rich dan Ogawa (dalam Liliweri 2004) efekivitas komunikasi
tergantung pada budaya yang mempengaruhi perilaku manusianya. Semakin baik
kita mengenali dan memahami budaya mitra berkomuniaksi kita, maka akan
semakin efektif pula proses komunikasi yang kita lakukan Selain itu sikap
stereotipe atas beragam budaya harus kita terima sebagai makna yang positif atas
ragam budaya dan uniknya manusia. Jadi efektivitas komunikasi antarbudaya
adalah jika dalam interaksi tersebut tercapai pemahaman dan penerimaaan yang
tulus terhadap perbedaan – perbedaan budaya.
Kealey dan Ruben (dalam Amiruddin Z 2010) menyatakan efektivitas
komunikasi terletak pada kepuasan seseorang untuk melakukan tindakan simbolik
tertentu yang menggambarkan tidak hanya maksud atau gagasan melainkan juga
motivasi untuk bertindak. Dalam hal ini, efektivitas komunikasi antarbudaya
didahului oleh hubungan antarbudaya yang terjadi terus menerus sampai ke taraf
kualitas terbaiknya. Kualitas ini dapat dicapai ketika seseorang dapat
membedakan pengalaman berhubungan antarbudaya dengan orang yang berbeda-
beda, sehingga dapat mengambil keputusan untuk mewujudkan suatu tindakan
simbolik tertentu. Pada efektivitas komunikasi antarbudaya terdapat variabel yang
menentukan terjadinya komunikasi antarbudaya yang efektif melalui variabel
yang terkait dengan keterampilan social yaitu kejujuran, empati, pengungkapan
rasa hormt dan keluwesan dari pelaku komunikasi. Variabel lain yang
mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya adalah variabel situasional
21
yang terdiri atas kondisi kerja, batasan-batasan kerja dan tingkat kesulitan kerja,
kondisi hidup, persoalan kesehatan, sasaran-sasarn proyek yang realistis,
kesimpangsiuran politik, dan kesulitan bahasa dari pelaku komunikasi. Kekuata
pribadi, partisipasi sosial, kemampuan bahasa lokal dan apresiasi adat-istidat dari
pelaku komunikasi juga mempengaruhi efektivitas komunikasi. Sebagai catatan,
kelay dan Ruben menyatakan bahwa variabel pribadi menjadi lebih penting
daripada variabel situasional didalam keefektivan komunikasi antrbudaya.
Ting-Toomey (1998) menyatakan efektivitas komunikasi antarbudaya
adalah sejauh mana komunikator mencapai makna bersama dan hasil yang
diinginkan dalam suatu situasi interaksi tertentu. Dalam teori negosiasi identitas
dinjelaskan tentang tercapainya makna bersama melalui proses negosiasi di dalam
interaksi antarbudaya, serta menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya efektivitas dalam interaksi tersebut. Pendekatan ini dapat membantu
memahami faktor-faktor yang penting dalam terjadinya negosiasi identitas yang
efektif pada beragam kebudayaan yang melakukan interaksi dan komunikasi,
dalam suatu lingkungan sosial bersama. Interaksi komunikasi antarbudaya yang
kompetitif adalah kemampuan mengintegrasikan faktor-faktor pengetahuan dan
faktor-faktor motivasi ke dalam keterampilan interaksi sehari-hari, Ting-Toomey
(1998).
Artinya efektivitas dalam komunikasi antarbudaya adalah terciptanya
kemampuan peserta komunikasi dalam melakukan hal yang tepat dalam
menghadapi perbedaan-perbedaan budaya yang ada dalam suatu interaksi
antarbudaya.
Kemampuan melakukan hal yang tepat tersebut menurut Gudykunts(1991)
berupa terciptanya suatu iklim komunikasi yang positif. Menurut Mulyana dan
Rakhmat (2006) kemampuan tersebut berupa pengetahuan terhadap pola-pola
penafsiran pesan dari budaya yang berlainan serta meminimalisir bias penilaian
dan persepsi interpersonal, agar tidak terjebak dalam stereotype. Rich dan Ogawa
(dalam Liliweri 2004) kemampuan itu berupa pemahaman dan penerimaaan yang
tulus terhadap perbedaan – perbedaan budaya, atau sebagaimana menurut Kealey
dan Ruben (dalam Amiruddin Z 2010) kemampuan melakukan hal yang tepat
berupa kepuasan seseorang untuk dapat melakukan tindakan simbolik tertentu.
22
Ting Toomey menjabarkan kemampuan melakukan hal yang tepat tersebut
melalui didapatkannya pengetahuan yang baik terkait perbedaan budaya serta
adanya motivasi dalam mencapai keselarasan makna suatu pesan.
KERANGKA BERPIKIR
Penelitian mengenai efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda
dan suku Madura di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor dilatarbelakangi oleh
munculnya berbagai konflik yang terjadi diantara mereka yang terjadi sejak
kedatangan suku Madura pada tahun 70-an. Konflik-konflik tersebut membentuk
interaksi yang unik diantara mereka. Pada dasarnya perbedaan budaya diantara
mereka menimbulkan permusuhan dan perpecahan. Hal ini disebabkan masing-
masing suku menganggap nilai budayanya sebagai hal yang benar dan
menganggap salah pada setiap nilai yang dianggap berbeda dengan nilai yang
dianutnya. Kondisi ini dalam masa-masa awal percampuran budaya suku Sunda
dan suku Madura mengakibatkan konflik-konflik terpendam dan konflik terbuka
terjadi diantara mereka.
Selanjutnya melalui proses yang panjang seiring masa yang dilalui oleh
kedua suku ini, para anak muda berhasil melakukan manajemen konflik yang
tepat berbasiskan penyelarasan berbagai kepentingan nilai dan budaya yang ada
diantara mereka. Keterbukaan dan kesadaran pemikiran serta upaya-upaya
penerimaan atas berbagai perbedaan dilakukan oleh para generasi muda ini.
Dimasa selanjutnya apa yang dilakukan oleh para anak muda tersebut dilakukan
pula oleh para orang tua dan juga oleh generasi yang lebih muda dari keduabelah
suku. Hal inilah yang menghasilkan berkembangnya pengertian-pengertian
terhadap pengetahuan terkait perbedaan-perbedaan budaya diantara mereka.
pengetahuan ini selanjutnya memotivasi kedua belah pihak untuk mengupayakan
terciptanya komunikasi yang efektif diantara mereka.
Melalui manajemen konflik tersebut suku Sunda dan suku Madura berhasil
merubah pola pergaulan diantara keduanya yaitu hilangnya kecurigaan terhadap
perbedaan nilai dan budaya. Kondisi ini menciptakan keakraban, kepercayaan
bahkan kerjasama dalam berbagai bidang diantara mereka.
Hal ini nampaknya sesuai dengan teori negosiasi identitas oleh Stella
Ting-Toomey. Dalam teori negosiasi identitas, Ting-Toomey (1998) berasumsi
23
bahwa setiap orang dalam setiap budaya sebenarnya selalu menegosiasikan
identitasnya masing-masing, yaitu keinginan bagaimana kita memperlakukan dan
diperlakukan oleh oran lain, dan untuk menegakkan dan serta menghormati
identitas dirinya dan orang lain. Tujuan utama yang hendak dicapai adalah
mengidentifikasi bagaimana orang-orang dengan budaya yang berbeda dapat
bernegosiasi dalam menangani konflik. Keinginan bernegosiasi diantara pelaku
komunikasi dengan latar belakang budaya berbeda tersebut mensyaratkan adanya
pengetahuan dan motivasi terkait perbedaan kebudayaan-kebudayaan tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya adalah
adanya pengetahuan dan motivasi. Interaksi komunikasi antarbudaya yang
kompetitif adalah kemampuan mengintegrasikan faktor-faktor pengetahuan dan
faktor-faktor motivasi ke dalam praktek interaksi sehari-hari.
Analisa awal dalam melihat terjadinya berbagai konflik diantara suku
Sunda dan suku Madura serta bagaimana cara mereka mengatasi konflik-konflik
adalah untuk memahami alasan terbentuknya efektivitas komunikasi antarbudaya
pada suku Sunda dan suku Madura. Melalui pemahaman yang mendalam perihal
konflik dan penanganannya memperlihatkan bahwa telah terjadi perubahan sikap
pada suku Sunda dan suku Madura yang dipelopori generasi muda dari kedua
suku. Pada awal terjadinya percampuran budaya memperlihatkan bahwa keduanya
merupakan dua suku yang berbeda dan saling terpisah dalam berbagai segi
kehidupan dan kesehari-hariannya. Pasca konflik-konfik yang berhasil
diselesaikan berkembang kegiatan pengamatan, pembelajaran dan pengalaman
para individu dari kedua suku yang menurut Ting-Toomey berfungsi sebagai alat
mendapatkan pengetahuan dan mengembangkan motivasi antarbudaya.
Penelitian ini menekankan bagaimana proses efektivitas komunikasi
antarbudaya terjadi di kelurahan Kebon Kelapa antara suku Sunda dan suku
Madura. Manajemen konflik yang dilakukan oleh suku Sunda dan suku Madura
yang menjadi dasar terjadinya negosiasi identitas bagi masing-masing budaya bisa
jadi membenarkan atau mengembangkan teori negosiasi identitas milik Stella
Ting-Toomey yang menyatakan bahwa pengamatan, pembelajaran dan
pengalaman dapat melahirkan efektivitas komunikasi antarbudaya berupa
pengertian, penghargaan dan dukungan.
24
Penelitian ini menekankan bagaimana proses interaksi dan komunikasi
sosial yang dialami oleh suku Sunda dan Suku Madura sedang berjalan menuju
sebuah identitas bersama yang unik, yang menjadi ciri khas lokal. Dimana dengan
melalui tahapan-tahapan yang disepakati bersama, suku Sunda dan suku Madura
menjadikan interaksi yang terjalin diantara mereka sebagai respon dari kebutuhan
akan harmonisasi hidup berdampingan di satu sisi, dan pembuktian jati diri dan
budayanya di sisi lain.
Secara skematis dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Keterangan :
Pengaruh Langsung : Pengaruh Langsung
Gambar 1. Kerangka pemikiran efektivitas komunikasi antar budaya
Karakteristik Individu
Pengamatan
Pembelajaran
Pengalaman
Faktor Pengetahuan
Nilai budaya
Bahasa
Non verbal
In-group out-group
Relationshiph development
Manajemen konflik
Adaptasi antarbudaya
Faktor motivasi
Kesadaran identitas
domain
Kesadaran identitas
needs
Efektivitas komunikasi antar budaya
Saling mengerti
Saling menghargai
Saling mendukung
25
METODE PENELITIAN
Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
paradigma konstruktivisme. Pemaknaan terhadap fenomena efektivitas
komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura merupakan fakta
sosial yang dikonstruksi dan dimaknai oleh Sunda dan suku Madura itu sendiri.
Realitas sosial di dalam paradigma ini dianggap merupakan konstruksi mental
individu, dan pengalaman yang sifatnya spesifik. Realitas sosial dari paradigma
konstruktivis ini tidak dapat digeneralisasikan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (induktif) dengan
menggunakan informasi yang sifatnya subyektif. Menurut Denzin (dalam Upe,
2010) penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang menjadikan multi metode
sebagai fokusnya, melibatkan pendekatan intrepetatif dan naturalistik terhadap
pokok persoalannya. Artinya bahwa peneliti kualitatif mengkaji suatu masalah
dalam situasi alami, yang tujuannya memberikan pemaknaan yang diletakkan
pada fenomena yang sedang dikaji.
Strategi penelitian adalah studi kasus, dengan pertimbangan bahwa : (1)
pertanyaan penelitian berkenaan dengan bagaimana dan mengapa, (2) penelitian
ini memberikan peluang yang sangat kecil bagi peneliti untuk mengontrol gejala
atau peristiwa sosial yang diteliti, dan (3) menyangkut peristiwa dan gejala
kontemporer dalam kehidupan yang riil (Yin, 1996 dalam Widiyanto, 2009).
Penelitian studi kasus terutama sangat berguna untuk informasi latar belakang
guna perencanaan penelitian yang lebih besar dalam ilmu-ilmu sosial. Karena
studi yang demikian itu intensif sifatnya, studi tersebut menerangi variabel-
variabel yang penting, proses-proses, dan interaksi-interaksi, yang memerlukan
perhatian lebih luas. Penelitian kasus itu merintis dasar baru dan seringkali
menjadi sumber hipotesis-hipotesis untuk penelitian lebih jauh (Suryabrata, 1997).
Menurut Sitorus (1999) penelitian studi kasus menggunakan pendekatan kualitatif
yang memungkinkan dialog peneliti dan tineliti, sehingga kebenaran adalah
kesepahaman bersama atas sebuah masalah berupa intersubjektifitas yang lahir
akibat interaksi antara peneliti dan tineliti.
26
Mengingat studi mengenai efektivitas komunikasi adalah gejala yang
mengandung dimensi-dimensi historis, maka menurut Sitorus (1999) agar gejala
tersebut tertangkap maka pilihan studi kasus pada penelitian tersebut harus
memadukan dua pendekatan sekaligus antara lain menggunakan metode kasus
historis studi riwayat hidup tineliti yang khas, sehingga ditemukan jawaban
mengenai mengapa dan bagaimana peristiwa percampuran budaya terjadi.
Kemudian kajian sejarah lokal, yang memungkinkan perolehan pengetahuan
mengenai perubahan sosial pada suku Sunda dan suku Madura. Penelitian ini
kemudian akan memetakan proses terjadinya komunikasi antarbudaya, untuk
memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai efektivitas komunikasi
antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura di Kelurahan Kebon Kelapa Kota
Bogor.
Penelitian dilakukan menjadi tiga tahap, antara lain :
Tabel Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian
No Tahap Penelitian Kegiatan Waktu
1. Analisis Dokumen Melakukan pengumpulan dan
kajian literatur yang berkaitan
dengan topik penelitian.
Februari 2012
2. Pra survey Melakukan penelusuran awal
tempat penelitian. Dari tahap
ini dapat diperoleh gambaran
umum wilayah penelitian,
kondisi fisik demografi,
kependudukan, dan kondisi
sosial lainnya.
Maret 2012
3. Penelitian Lapang
dan analisis
Memahami gambaran umum
suku Sunda dan suku Madura ,
memahami bagaimana proses
perkembangan interaksi dan
komunikasi dari generasi satu,
generasi dua dan genesari tiga,
manajemen konflik sebagai
hasil adaptasi dengan
April-Mei 2012
27
lingkungannya, dan perubahan
pemaknaan terhadap identitas
budaya.
4. Analisis dan
Penyusunan Hasil
Penelitian
Menganalisis fakta/temuan di
lapangan
Juni-Juli 2012
5. Verifikasi Hasil
Penelitian
Memverifikasi hasil penelitian
oleh tineliti (subyek
penelitian) sebelum
dipublikasi.
Juli 2012
6. Publikasi Mempublikasi hasil penelitian
sebagai sumbangan ilmiah
dalam pengembangan studi
strategi komunikasi
antarbudaya.
Agustus 2012
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor
Tengah Kota Bogor, tepatnya di RT 04 RW Dimulai dari bulan Februari-Juli
2012. Lokasi dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa :
1. Di daerah ini komunitas Madura paling banyak terdapat diantara wilayah
lainnya di Kelurahan Kebon Kelapa, dimana jumlah komunitasnya menyamai
jumlah komunitas suku sunda yang tinggal di RT 04.
2. Berdasarkan kajian literatur ditemukan fakta bahwa terjadi harmonisasi hidup
antara suku sunda dan suku Madura yang menunjukkan terdapat perbedaan
pola pergaulan suku Madura yang berdiam di RT 04 dengan suku Madura
yang berada di beberapa wilayah yang mengalami konflik dengan penduduk
asli.
3. Memungkinkan secara finansial karena lokasinya mudah dijangkau.
Teknik Pengumpulan data
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kualitatif field
research dimulai dengan perumusan masalah yang tidak terlalu baku dengan
strategi penelitian studi kasus. Untuk memperoleh data, maka teknik pengumpulan
28
data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi berperan serta, dan
analisis dokumen. Sebagai bentuk penyimpanan data dari ketiga teknik yang
digunakan, maka peneliti membuat catatan harian yang berisi hasil wawancara
mendalam tineliti, dan hasil pengamatan berperan serta.
Wawancara mendalam dilakukan dengan subyek kasus sebagai informan
kunci yang telah ditentukan sebelumnya dengan mempertimbangan keterwakilan
dari suku Sunda dan suku Madura area tinggal yang berbaur. Untuk memahami
perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat suku Sunda dan suku Madura
maka studi riwayat hidup (life history) informan kunci dilakukan. Para informan
kunci, ditentukan secara teknik snowball. Guna memahami fenomena sosial
komunikasi antarbudaya, maka peneliti mewawancarai sejumlah tokoh kunci
antara lain para orang tua dari generasi satu suku Sunda dan suku Madura. Mereka
adalah orang-orang yang mengalami percampuran budaya paling awal yaitu
dimulai dari kedatangan suku Madura lokasi penelitian. Generasi dua suku Sunda
dan suku Madura, yaitu anak-anak dari generasi satu. Generasi tiga, yaitu anak-
anak dari generasi dua.
Analisa Data
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, dalam penelitian ini
digunakan metode analisis data kualitatif. Analisa dilakukan dengan melakukan
reduksi data. Reduksi dalam proses pengumpulan data meliputi kegiatan : (1)
meringkas data; (2) mengkode ; (3) menelusuri tema ; (4) membuat gugus-gugus;
(5) membuat partisi; (6) membuat memo. Kegiatan ini berlangsung semenjak
pengumpulan data sampai dengan penyusunan laporan. Reduksi data merupakan
bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang
yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga
dapat memberikan kesimpulan akhir (Sitorus, 1998)
Triangulasi
Pensahihan pada suatu penelitian adalah dengan memeriksa satu butir uji
baru dihadapkan dengan ukuran-ukuran keterampilan atau “construct” yang sama
dan yang telah disahihkan. Bila mereka bertemu-bertumpang tindih, berkolerasi
dengan kuat-butir atau uji baru tersebut memiliki “kesahihan bersama” yang baik.
29
Dalam penelitian kualitatif uji kesahihan dalam suatu penelitian disebut
triangulasi. (Miles dan Huberman 1992)
Triangulasi meliputi triangulasi sumber, teknik pengumpulan data.
Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh
dari generasi pertama, kepada beberapa orang yang berbeda yang masuk dalam
kategori generasi pertama, demikian pula mengecek data yang telah diperoleh dari
generasi kedua, kepada beberapa orang yang berbeda yang masuk dalam kategori
generasi kedua, dan mengecek data yang telah diperoleh dari generasi ketiga
kepada beberapa orang yang berbeda yang masuk dalam kategori generasi ketiga.
Triangulasi teknik pengumpulan data adalah dengan cara membandingkan temuan
lapangan dalam kasus pembangunan masjid dengan kasus interaksi di kasus
penggunaan jalan dan kasus lainnya, dan dengan membandingkan temuan
lapangan melalui wawancara antara peneliti dengan yang diteliti, dengan
pengamatan peneliti perihal ketiga kasus tersebut.
30
31
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Kependudukan Kelurahan Kebon Kelapa
Kelurahan Kebon Kelapa adalah salah satu kelurahan yang berada di
Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Luas wilayah Kelurahan Kebon Kelapa
adalah -/+ 57,81 Ha, dengan jumlah penduduk sebanyak 17.419 jiwa yang
tersebar di 10 RW dan 45 RT. Kelurahan Kebon Kelapa berbatasan wilayah
dengan Kelurahan Menteng di sebelah utara, berbatasan dengan Kelurahan
Ciwaringin di sebelah timur, berbatasan dengan Kelurahan Gunung Batu di
sebelah barat, dan berbatasan dengan Kelurahan Panaragan di sebelah selatan.
Kelurahan Kebon Kelapa terletak di tengah-tengah kota Bogor. Kantor
Kelurahan Kebon Kelapa berada tepat di pinggir jalan yang merupakan pertigaan
jalan mawar. Jalur pertama ke arah utara jalan menjadi jalur menuju pusat
perbelanjaan kota Bogor seperti PGB, taman topi, atau yang lebih dikenal dengan
nama taman Ade Irma Suryani, deptstore matahari, stasiun kereta api Bogor, pusat
perdagangan kaki lima jembatan merah, Balai Kota Bogor, hingga pusat
pertokoan Suka Sari. Jalur kedua ke arah selatan adalah jalur menuju arah padang
golf Bogor, rumah sakit Karya Bakti dan rumah sakit Marjuki Mahdi, serta
merupakan jalan terusan ke Parung dan ke kota Jakarta. Jalur ketiga adalah ke
arah timur menuju gelanggang olahraga kota Bogor, serta menuju pusat
perbelanjaan Jambu Dua, dan arah menuju Cibinong.
Letak Kelurahan Kebon Kelapa sendiri berhadapan dengan di pisah satu
bidang jalan dengan dua area perdagangan kaki lima. Jajaran pedagang kaki lima
pun terdapat di sebelah kiri Kelurahan Kebon Kelapa. Kondisi ini menjadikan
kelurahan Kebon Kelapa dapat memantau kegiatan warga di sekelilingnya di satu
sisi, namun menjadikannya berhadapan langsung dengan segala permasalahan
perkotaan di sisi lain. Seperti kemacetan jalan raya, berbagai problem kaki lima,
berbagai kejahatan di jalan raya, berbagai kecelakaan jalan serta banyak lagi
masalah lainnya yang merupakan problem khas perkotaan.
Kelurahan Kebon Kelapa juga berdekatan dengan pasar rakyat kota Bogor
yaitu pasar Anyar dengan jarak satu kilometer. Pada malam hari di seluruh jalan
menuju pasar dan di tengah jalan yang menjadi muara dari jalan-jalan yang
berbentuk pertigaan tersebut menjadi pasar ilegal. Hal ini membuat wilayahnya
32
terus ramai selama 24 jam. Sejak dari pukul satu dini hari, badan jalan ini di
padati oleh para pedagang yang menjual barang dagangannya di sepanjang jalan
yang menghubungkan berbagai tempat sebagaimana disebutkan di atas. Aktivitas
perdagangan ini sebenarnya merupakan kegiatan ilegal karena berada di lokasi-
lokasi ilegal, mengingat tempat yang digunakan tersebut merupakan badan jalan
raya, namun dikarenakan kemanfaatan yang didapat dari adanya para pedagang
tersebut, seperti memudahkan para penjual makanan jadi untuk berbelanja ke
tempat yag lebih dekat dan dengan harga yang lebih murah serta bahan bahan
makanan yang masih segar, maka fenomena tersebut dibiarkan oleh pemerintah
setempat, dengan ketentuan bahwa pasar harus sudah bubar pada pukul setengah
lima pagi untuk menghindari permasalahan bagi pengguna jalan seperti kemacetan
lalu lintas yang mulai ramai sejak pukul lima pagi tersebut.
Para pedagang yang datang untuk berjualan di pasar dini hari itu terdiri
dari para petani dan para pedagang yang tidak memiliki tempat berjualan di pasar
legal, sehingga harus menjual sendiri hasil taninya, dengan tanpa melalui mata
rantai perdagangan pasar yang legal. Jika kemudian barang-barang dagangan
tersebut tidak habis terjual, maka para pedagang pasar ilegal itu akan menjualnya
kepada para pedagang pasar legal. Barang-barang tersebut kemudian dijual pada
pagi harinya oleh para pedagang pasar legal tersebut dengan harga mencapai dua
kali lipat dari harga beli. Adapun para pembeli adalah mereka yang merupakan
para pedagang makanan jadi. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru kota
Bogor, termasuk para pedagang dari RT 04. Mereka sangat senang dengan adanya
pasar ilegal tersebut, karena di samping tempatnya yang relatif lebih dekat dengan
tempat tinggal mereka, juga karena di pasar ilegal tersebut mereka bisa
mendapatkan bahan-bahan yang masih segar dengan harga yang cukup murah.
Para pedagang makanan ini memulai aktivitasnya sejak pukul tiga dini hari
sehingga olahan makanan segera dapat mereka jual untuk keperluan sarapan bagi
mereka yang menjadi konsumen dagangannya.
Pada awalnya, keberadaan pasar ilegal tersebut dilarang dan sering kali di
bubarkan oleh pemerintah setempat, dengan alasan menggunakan tempat yang
tidak semestinya, serta menyebabkan kotornya jalan raya oleh sampah dagangan.
Namun setelah melihat manfaatnya baik bagi para warga yang menjadi pembeli
33
dan juga bagi para petani yang penjadi penjual di pasar ilegal tersebut, maka
pemerintah kota Bogor membuat kesepakatan tidak tertulis dengan para pelaku
pasar ilegal tersebut. Perjanjian yang dimaksud yaitu kegiatan pasar hanya boleh
dimulai dari pukul dua dini hari dan sudah harus berakhir ketika pukul setengah
lima pagi. Juga dengan catatan jalan yang menjadi area pedagangan harus bersih
tanpa meninggalkan sampah sisa dagangan. Selama para pelaku pasar mampu
untuk memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan itu, maka selama itu pula
mereka di perbolehkan melakukan aktivitas ilegal tersebut.
Bagi warga RT 04, keberadaan pasar ilegal tersebut semakin membuka
peluang dalam mengembangkan berbagai usaha mereka terutama dalam hal
penjualan makanan jadi dan juga kreativitas-kreativitas lainnya. Bahkan sebagian
warga RT 04 memanfaatkan pasar ilegal tersebut untuk menjual jasa angkutan dan
juga jasa tenaganya.
Kelurahan Kebon Kelapa juga berdekatan dengan lokasi-lokasi penting
yang ada di kota Bogor, yaitu jarak 5 kilometer dari jalan utama yang
menghubungkan kota Bogor dengan kota-kota di sekitarnya seperti Jakarta,
Banten, dan Bandung, 1 kilometer jarak menuju kebon raya Bogor, dan 2
kilometer menuju pasar dan pusat-pusat perdagangan kota bogor. Kedekatan pada
berbagai lokasi penting ini berdampak pada kemudahan akses menuju lokasi-
lokasi tersebut sehingga memungkinkan roda perekonomian berbasis perdagangan
berkembang di sekitar wilayah kelurahan Kebon kelapa ini.
34
Tabel 1. Profil Kelurahan Kebon Kelapa Bogor Tahun 2011
No Profil Jumlah
1.
2.
3.
4.
Luas Kelurahan Kebun Kelapa
Formasi Kelurahan :
RT
RW
Batas wilayah :
Utara
Timur
Barat
Selatan
Keadaan demografi :
Penduduk
-Laki-laki
-Perempuan
Kepala Keluarga
-/+ 57,81 Ha
45 RT
10 RW
Kelurahan Menteng
Kelurahan Ciwaringin
Kelurahan Gunung Batu
Kelurahan Panaragan
16.460 jiwa
8.471 jiwa
7.998 jiwa
4.654 KK
Sumber : Profil kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor Tahun 2011.
Adapun RT 04 RW 10 merupakan salah satu dari 45 RT dari 10 RW yang
berada dalam lingkungan Kelurahan Kebon Kelapa. Letak RT 04 RW 10 berada
di sebelah kanan dari kelurahannya, yaitu kelurahan Kebon Kelapa, oleh karena
itu, RT 04 RW 10 pun berada di pusat kota Bogor, dengan jarak sejauh 500 meter
ke Kelurahan, jarak 2 kilometer ke kecamatan dan jarak yang cukup dekat yaitu
sekitar satu kilometer untuk ke berbagai pusat perdagangan dan perbelanjaan yang
banyak terdapat di kota Bogor. Keadaan ini memungkinkan berkembangnya usaha
perdagangan dan berbagai kreativitas usaha dan jasa. Kebanyakan warga RT 04
bergerak dibidang ini sehingga perekonomiannya di dominasi perdagangan,
wiraswasta dan penyedia jasa. Sebagian yang lain berprofesi sebagai karyawan
swasta atau negeri, atau sebagai tenaga pengajar.
Wilayah RT 04 terdiri dari beberapa area pemukiman. Sebagai area utama
adalah area yang disebut area pinggir jalan, yaitu sebuah lokasi pemukiman
dimana posisi rumah-rumah warga saling berhadapan dengan dipisahkan jalan
kecil yang hanya dapat dilalui satu mobil. Area ini selain sebagai area
pemukiman, karena letaknya yang terpisah oleh sebuah ruas jalan, juga
35
merupakan pusat kegiatan ekonomi yang berada di RT 04. Di sana terdapat enam
buah warung sembako besar dan kecil, tujuh buah warung makan, satu buah toko
material, satu buah bengkel motor, dua buah pangkalan becak, dua buah warnet,
satu buah warung bakso dan mie ayam dan satu buah warung soto. Selanjutnya
adalah area pemukiman pinggir kali, dinamakan demikian karena letaknya yang
berada di sepanjang aliran sungai Cidepit. Area ini terletak di pangkal jalan area
pinggir jalan, disana terdapat pula tiga buah warung makan, empat buah warung
sembako kecil, dua buah counter handphone dan satu buah warnet. Selanjutnya
area gang kuburan. Area ini adalah sebuah gang yang dipisah oleh tembok yang
tinggi yang berfungsi sebagai pembatas area ini dengan pekuburan umum yang
terdapat di wilayah Kebon Kelapa. Posisi area ini berada di ujung jalan area
pinggir jalan. Di pangkal jalan menuju area ini terdapat dua buah counter
handphone sebagai tempat usaha milik warga setempat serta satu buah warung
sembako dan satu buah home industri kacang kemasan. Keseluruhan wilayah yang
masuk ke dalam RT 04 ini adalah seluas 20 hektar. Lokasi pemukiman yang
digunakan juga untuk berbagai kegiatan perekonomian ini menjadikan RT 04 RW
10 ini relatif padat.
Banyaknya kegiatan perdagangan yang terjadi di RT 04 ini tidak terlepas
dari kedekatannya kepada berbagai akses di sekitarnya sebagaimana
Kelurahannya. Ketersediaan berbagai kebutuhan yang mudah didapat pun menjadi
faktor lain yang menghidupkan berbagai usaha di RT 04. Adapun para pembeli
dari barang-barang dagangan yang ditawarkan di sepanjang jalan di RT 04 adalah
para warga sendiri dan siswa sekoalah yang terdapat di sekitar area pemukiman
RT 04. Terdapat beberapa lembaga pendidikan yang mengelilingi RT 04. Salah
satunya adalah yayasan pendidikan Islam Alghazali. Yayasan pendidikan ini
memiliki jenjang pendidikan dari SD, SMP dan SMA sebagai lembaga pendidikan
umum, juga terdapat jenjang pendidikan Diniyah, Tsanawiyah dan Aliyah,
sebagai pendidikan keagamaan. Ada juga SD impres yang terdiri dari SD 1, SD 2,
SD 3, dan SD 4, yang berada dekat dengan wilayah RT 04 yang memungkinkan
murid-murid di sana bermain dan berbelanja ke RT 04. Di dekat SD impres
tersebut terdapat juga sekolah tingkat menengah bernama SMK Bina Bangsa.
Lokasi jalan di RT 04 yang berfungsi sebagai jalan tembus ke berbagai tempat
36
seperti pemukiman rumah di Gunung Batu, pemukiman rumah Lebak, pemukiman
rumah Kebon Kopi, memungkinkan area ini dapat menghidupkan berbagai jenis
usaha.
Hal ini membuat kemampuan berkreativitas mengelola potensi-potensi
yang ada sangat dibutuhkan, karena di sisi lain, dampak perkotaan adalah
kesulitan lapangan pekerjaan yang berakibat pada tingginya angka pengangguran
bagi mereka yang berdaya kreatif rendah. Kedua hal tersebut terjadi di RT 04,
yaitu bagi orang-orang yang memiliki daya kreativitas yang tinggi maka akan
mampu untuk memperoleh penghidupan yang layak bahkan berlebih. Adapun
mereka yang kurang kreatif akan menjadi korban persaingan hidup dan cenderung
menjadi pengangguran.
Orang-orang yang memiliki daya kreatif inilah selanjutnya yang menjadi
kunci kesuksesan perekonomian RT 04. Mereka mengadakan kerjasama-
kerjasama bisnis di antara sesama RT 04. Kegiatan ini selain bertujuan
membesarkan usaha-usaha yang mereka rintis, juga bertujuan membangun
ekonomi bersama, yaitu mereka yang kurang beruntung direkrut untuk
bekerjasama baik sebagai pegawai, sebagai partner dalam kegiatan ekonomi
mereka, hingga peminjaman modal usaha.
Luas wilayah RT 04 adalah 20 kilometer. Lahan ini terbagi menjadi tiga
area pemukiman dan digunakan pula sebagai tempat berbagai usaha dan
perekonomian. Ketersediaan lahan yang sempit dengan penduduk sebanyak 180
KK ini menjadikan RT 04 hanya memiliki fasilitas umum berupa satu buah
masjid, satu buah puskesmas, satu buah lapangan futsal, satu buah tempat
pemandian umum, satu buah mushola, dan satu ruas jalan sepanjang 500 meter.
37
Tabel 2. Profil Usaha Warga RT 04 RW 10
Area
No Bentuk Usaha Pinggir Jalan Pinggir
Kali
Gang Kuburan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Warung sembako
(besar dan kecil)
Warung makan
Warung bakso
Warung mie ayam
Warung soto
Warnet
Konter handphone
Toko material
Shworoom motor
Home industri
Pangkalan becak
6 buah (besar
dan kecil)
7 buah
1 buah
2 buah
1 buah
2 buah
-
1 buah
1 buah
-
2 buah
4 buah
(kecil)
3 buah
-
-
-
1 buah
2 buah
-
-
-
1 buah (kecil)
-
-
-
-
-
2 buah
-
-
1 buah (kacang
kemasan)
-
Sumber : Profil RT 04 RT 10 Tahun 2011
Dipilihnya wilayah ini sebagai tempat penelitian, karena hanya di RT 04
lah komunitas Madura paling banyak terdapat, di antara wilayah lainnya di
kecamatan Kebon Kelapa. Jumlah mereka yang sebanyak 35% dari total
penduduk RT 04 menyamai jumlah suku Sunda yang tinggal bersama mereka
sebagai warga RT 04 yaitu sebanyak 40% .
Diketiga area yang masuk ke dalam wilayah RT 04 tersebut, suku Sunda
dan suku Madura hidup berdampingan dan berbaur. Keberbauran tersebut dapat
dilihat dari posisi rumah orang yang berasal dari suku Sunda yang bersebelahan,
ataupun berhadapan dengan rumah orang yang berasal dari suku Madura. Kondisi
rumah yang berdekatan satu sama lainnya ini memungkinkan mereka untuk
bertemu dan bertegur sapa disetiap kesempatan. Di area pinggir jalan, pembauran
antar suku lebih jelas terlihat, yaitu warga dari suku Sunda berdampingan rumah
dengan tetangganya yang bersuku Madura. Terdapat 60 KK di area pinggir jalan,
dan dari 60 KK yang ada tersebut terdiri dari suku Sunda sebanyak 28 KK, suku
38
Madura 22 KK, sedangkan sisanya terdiri dari suku Jawa, suku Padang dan suku
Batak. Dari ketiga area yang termasuk dalam wilayah RT 04, suku Batak, suku
Jawa dan suku Padang hanya terdapat di area pinggir jalan ini. Berbagai kondisi
yang telah dijelaskan, menjadikan area ini merupakan pusat segala problematika
sekaligus penyelesaiannya di RT 04. Pusat perdagangan di area RT 04 juga
terdapat di sini. Masjid RT 04 juga terdapat di area ini. Berbagai kejadian konflik
juga selalu berawal dari area ini. Demikian juga berbagai penyelesaiannya selalu
merupakan inisiatif warga yang berada di area pinggir jalan ini. Para informan
yang diambil dalam penelitian ini sebagian besarnya adalah warga RT 04 yang
berada di area pinggir jalan ini. Seperti Pak Agus dan Pak Syamsudin dan juga
beberapa informan yang kemudian masuk dalam kategori generasi ketiga. Lokasi-
lokasi yang kemudian menjadi arena interaksi di lingkungan dalam wilayah
tinggal juga terdapat di sini. Hal ini dikarenakan bentuk pemukiman yang
terbentuk di sepanjang jalan RT 04 memungkinkan terjadinya beragam kegiatan
di sana. Melalui jalan ini pulalah para penduduk RT 04 datang dan pergi. Para
pedagang yang termasuk jajaran orang kaya RT 04 baik yang terdiri dari suku
Sunda maupun yang terdiri dari suku Madura tinggal di area pinggir jalan ini. Di
jalan ini juga lah beberapa isu berkembang dan kemudian menjadi konflik di
antara suku Sunda dan suku Madura.
Hal ini mengindikasikan bahwa selain jumlah kedua suku yang diteliti
yaitu suku Sunda dan suku Madura di area yang pertama ini dapat dikatakan
sepadan, juga bahwa di area inilah yang menjadi titik sentral bagi perkembangan
hubungan kedua suku yang di teliti ini.
Selanjutnya di area pinggir kali, warga yang tinggal di sana didominasi
suku Madura, sebanyak 20 KK, sedangkan suku Sunda sebanyak 11 KK. Area ini
masih merupakan bantaran kali Cidepit ketika suku Madura gelombang yang
selanjutnya itu datang ke RT 04. Tidak terdapat perumahan penduduk di sana,
sehingga orang Madura lah yang menjadi pemukim pertama di sepanjang
pinggiran sungai Cidepit itu. Maka dari itu sangat wajar ketika kemudian
penduduk yang berasal dari suku Madura jumlahnya lebih banyak dari penduduk
yang berasal dari suku Sunda yang tinggal disana. Hal ini juga di sebabkan karena
suku Sunda yang bertempat tinggal di area pinggir kali ini merupakan para
39
pendatang dari luar RT 04 yang kedatangannya terjadi setelah komunitas Madura
di sana cukup banyak. Di area ini kehidupan antar suku relatif lebih tenang
dibandingkan percampuran suku yang terjadi di area pinggir jalan maupun di area
gang kuburan yang terkadang di warnai beberapa konflik. Di area ini tidak pernah
terjadi konflik di antara suku Sunda dan suku Madura. Namun sisi negatif dari
kondisi yang relatif tenang itu adalah tidak adanya perkembangan hubungan yang
terjadi di sana. Kedua suku ini tetaplah merupakan dua suku yang terpisah satu
sama lain. Masing-masing hanya peduli pada kehidupannya sendiri saja. Jika
bukan karena hubungan yang semakin akrab antara suku Sunda dan suku Madura
di area pinggir jalan pasca berbagai konflik yang mereka lalui, di area pinggir kali
tidak akan terjalin keakraban antar suku. Hanya karena mengikuti pola interaksi
warga pinggir jalan, dimana hal tersebut mereka lihat saat di masjid, maka area
pinggir kali pun selanjutnya mengembangkan hubungan yang lebih akrab di
antara suku Sunda dan suku Madura yang terdapat di sana
Area penelitian yang ketiga adalah area gang kuburan. Di area gang
kuburan suku Sunda sebanyak 32 KK, sedangkan suku Madura hanya 11 KK.
Area gang kuburan adalah area pemukiman yang pertama ada di wilayah RT 04.
Sejak awal, memang area inilah yang menjadi lingkungan tinggal warga yang
pada awalnya semuanya terdiri dari suku Sunda. Di area inilah para tokoh utama
suku Sunda berada. Di area ini pula komunitas Sunda memang merupakan
penduduk asli RT 04. Di area ini pula warga sering berkumpul terutama ketika
konflik-konflik terjadi, karena ketua RT 04 selalu merupakan warga yang berasal
dari tempat ini, bertempat tinggal di sini dan bersama orang-orang yang
merupakan komunitas penting suku Sunda. Orang Madura terutama para anak
muda sering berkunjung ke tempat ini. Mereka akan memulai tradisi
silaturahminya dari tempat ini. Serta sering kali menjadikan salah satu rumah
warga di sana sebagai tempat merencanakan pertemuan antar suku ketika konflik
mulai tercium. Walaupun pada akhirnya pertemuan-pertemuan besar di antara
mereka selalu terjadi di area pinggir jalan, baik di masjid maupun di rumah salah
satu warga Madura, karena alasan ruang yang luas yang cukup untuk menampung
banyak orang seperti TPA milik Pak Syamsudin. Hanya terdapat sedikit suku
Madura yang tinggal di area ini. Hal ini karena lokasi tinggal di area ini sudah
40
padat sejak semula sehingga hanya dapat menampung sedikit tambahan saja.
Tidak terdapat suku lain selain suku Sunda dan suku Madura di area gang kuburan
ini. Hal itu justru membuat keakraban antar suku menjadi lebih mudah terjadi.
Sebelas keluarga suku madura yang tinggal di sana tidak kesulitan untuk berbaur
dengan komunitas Sunda yang dominan di area tinggalnya. Hal ini dikarenakan
pada dasarnya suku Sunda memang merupakan suku yang ramah, ditambah
kondisi suku Madura yang tinggal di sana tidak terlalu berbeda secara ekonomi
dengan mereka, sehingga tidak terdapat kesenjangan di antara kedua suku yang
tinggal berdampingan tersebut.
Dari data ini terlihat bahwa terdapat pembauran dari segi posisi area rumah
tinggal di seluruh wilayah RT 04, yang berdampak pula pada pergaulan dan
interaksi keseharian warga setempat.
Tabel 3. Wilayah dan jumlah warga RT 04 RW 10 Kelurahan Kebonkelapa Kota Bogor
N
No
Suku Wilayah pinggir
jalan
Wilayah pinggir
kali
Wilayah gang
kuburan
1 Sunda 28 KK 11 KK 32 KK
2 Madura 22 KK 20 KK 11 KK
Sumber: Profil RT 04 RT 10 Tahun 2011.
Sejarah kedatangan suku Madura dan berbagai tanggapannya
Menurut keterangan dari informan, bahwa pendatang yang tinggal di RT
04 bukan saja dari suku Madura yang datang sejak tahun 70-an, tetapi dari suku
Sunda pun ada sebagian yang merupakan pendatang, dimana asal mereka adalah
dari kota Garut dan kota Banten. Ada pun kedatangan suku Madura ke RT 04
yang paling awal yaitu pada tahun 1970 disebut sebagai pendatang pertama. Suku
Sunda pendatang berada di RT 04 sejak tahun 1978. Selain mereka adalah suku
Sunda pribumi. Namun suku Sunda pribumi menganggap suku Sunda yang datang
dari Garut dan Banten sebagai pribumi sebagaimana mereka, sedangkan pada
orang Madura, tetap dianggap sebagai pendatang. Oleh karena itu, tetap terdapat
dua kategori penghuni RT 04, pribumi yaitu suku Sunda dan pendatang yaitu suku
Madura.
Saya juga sebenernya lahirnya di daerah Bantar Kambing sana,
bukan disini, tapi keluarga banyak di sini, pak Odih kan masih
41
saudara saya, ada juga pak Ukuy dari banten, ya sama aja sesama
Sunda ya pribumi lah kita ini (Agus, Sunda generasi 2)
Kedatangan suku Madura yang pertama kalinya, yaitu pak Munara,
menempati area pinggir jalan. Dalam pengakuan informan yang merupakan suku
Sunda pribumi, digambarkan sebagai orang yang tidak banyak bicara, raut
wajahnya terkesan galak, dan berperilaku mudah marah dan mudah pula
mengeluarkan senjata cluritnya. Hal ini mengakibatkan suku Sunda enggan
menyapa ataupun berbincang dengan Pak Munara dan keluarganya, informasi ini
dibenarkan oleh beberapa orang suku Sunda lainnya, bahkan orang-orang dari
suku Madura pun membenarkan cerita tersebut.
Selanjutnya terjadi perubahan sikap pada pendatang yang datang
kemudian yaitu pada tahun 1973. Mereka yang datang kemudian itu adalah Pak
Siddik, Pak Mawi dan Pak Bunawi. Mereka dianggap lebih ramah dan mau
bertegur sapa dengan tetangganya yang berbeda suku, ketiga pendatang ini pun
menempati area pinggir jalan. Karena kedatangan yang pertama dengan
kedatangan gelombang kedua tidak terlalu jauh jaraknya, serta usia mereka yang
hampir sepadan, maka mereka dikategorikan sebagai generasi pertama dari suku
Madura yang datang ke RT 04. Selanjutnya suku Madura masih berdatangan ke
RT 04 hingga tahun 2011.
Ini mah saya mau cerita zaman dulu ya, dulu tuh sekitar tahun tujuh
puluhan lah, saya ingetnya mah, Pak Munara, yang pertama datang
tuh dia suku Madura, orangnya galak, ya gimana ya wajahnya tuh
sangar menurut saya mah, ih pokoknya mah takut lah kita tuh, mau
lewat depan rumahnya aja enggak berani da’, kebiasaannya nih
kalau sore, itu celurit, gede, diasah sama dia di depan rumah teh,
kaya gitu tuh, tapi pas kira-kira tiga tahunan lah dari itu, datang
Pak Mawi, Pak Husen dan Pak Siddik, segitu kalau ga salah, nah
mereka mah ramah tuh apalagi Pak Siddik, orangnya baik” (Ujang
Madi, Sunda, generasi 1)
Adapun dari suku Sunda, penghuni yang dianggap mula-mula adalah
keluarga Pak Arsa, yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Arsa. Mbah Arsa
lebih dikenal dari yang lainnya sebagai penduduk asli RT 04, lebih disebabkan
posisinya sebagai pemuka agama, sehingga orang-orang kemudian
menganggapnya sebagi tetua suku mereka. Selanjutnya dari keturunan Pak Arsa
42
inilah para pemuka suku Sunda bermunculan, seperti Pak Odih yang dalam
penelitian ini dimasukkan dalam kategori generasi pertama suku Sunda.
Suku Sunda yang dijadikan sebagai informan generasi pertama dalam
penelitian ini dilihat dari segi kesepadanan usia dengan para pendatang suku
Madura di awal kedatangan suku ini.
Mbah Arsa mah kabuyutan orang sini lah, iya kabuyutan, Sunda
aslinya lah di RT 04 mah, orangnya sholeh, kita semua tuh ngaji ke
dia dulu mah, sekarang kan ke keturunannya, Pak Odih, Pak Arif
(Ujang Madi, Sunda, generasi satu)
Kelembagaan Warga RT 04 RW 10
Bidang Ekonomi
Terdapat banyak kerjasama di bidang ekonomi yang terjadi di RT 04. Di
antaranya berupa anak-anak muda suku Sunda yang bekerja sebagai pegawai pada
para pedagang suku Madura. Contoh model kerjasama ini seperti Mumuh, seorang
suku Sunda yang bekerja kepada Pak Madi seorang suku Madura sebagai
pegawainya yaitu sebagai tukang sate. Pekerjaan para tukang sate dimulai sejak
dini hari. Seperti pak Madi yang akan berangkat ke pasar untuk membeli ayam
serta berbagai keperluan bumbu sate pada pukul 03.00 dini hari. Sesampainya
dirumah, dia bersama istrinya akan langsung bekerja seperti meracik bumbu dan
mengolah ayam dan menusuk sate. Adapun sebagai pegawainya, Mumuh bertugas
sejak dari pembuatan sate pada pagi harinya yaitu sekitar jam delapan pagi,
dilanjutkan dengan mendorong gerobak pada pukul empat sore ke lokasi
perdagangan yang di sediakan pemerintah yaitu disepanjang pinggiran jembatan
merah, dan melayani pembeli sejak sore hingga malam hari. Adapun pak Madi
bertindak sebagai pembakar sate serta peracik bumbu sate yang telah dipersiapkan
oleh istrinya dari rumah. Disepanjang kegiatan ini, pak Madi akan mengajarkan
kepada Mumuh berbagai ilmu dagang yang di milikinya, dengan tujuan kelak
ketika Mumuh sudah siap untuk mandiri ilmu itu akan berguna untuknya. Ketika
penelitian ini dilakukan, Mumuh sudah berkeluarga dan menjalani usaha sebagai
pedagang sate dan mie ayam. Selain penghidupan yang semakin membaik,
Mumuh juga semakin erat menjalin hubungan baik dengan mantan bosnya
tersebut. Dia sering berkunjung kerumah pak Madi untuk sekedar ngobrol atau
43
bahkan mendiskusikan usaha dagang masing-masing. Sering juga mereka
mengobrol sambil menusuk sate baik di rumah pak Madi maupun di rumah
Mumuh.
Bentuk lain kerjasama ekonomi adalah antara Indra dan Kiki. Kiki adalah
anak muda suku Madura yang menangani usaha toko Material milik ayahnya. Ia
mengajak Indra yang merupakan orang Sunda itu untuk membantunya sebagai
pegawai di tokonya. Ketika penelitian ini dilakukan, kerjasama kedua anak muda
ini berdampak pada kedekatan keluarga kedua belah pihak. Ibu Indra menjalin
hubungan dekat dengan ibu Kiki, Bahkan ayah indra yang terkena PHK, akhirnya
ikut bekerja di material Kiki. Selain dengan Indra, Kiki berteman juga dengan
Adi. Adi adalah suku Sunda yang menjadi pemilik warung sembako kecil
diseberang toko Material milik Kiki. Keduanya sering saling membantu dalam
pengembangan usaha masing-masing. Tidak hanya soal perdagangan, mereka
memperluas pergaulan pada berdiskusi berbagai hal termasuk hal-hal yang
menyangkut agama, bahkan diantara mereka saling memperkenalkan nilai- nilai
kebudayaan masing-masing. Perkembngn hubungan inilah yng di kemudian hari
berdampk pada efektivitas komunikasi antarbudaya di RT 04.
Kerjasama juga terjalin antara pak Marsuli (Madura) dan pak Edi (Sunda).
Sebagai pemilik toko sembako yang relatif besar, pak Marsuli membantu pak Edi
mengisi toko sembako kecilnya, dengan perjanjian pengembalian modal dilakukan
secara menyicil. Nampaknya kedekatan hubungan pertemanan diantara mereka
membuat kepercayaan ini terbentuk diantara mereka. Ketika penelitian ini
dilakukan, pak Edi sedang mengalami masalah keuangan di toko sembakonya,
yaitu pegawainya berbuat curang kepadanya dengan melarikan uang hasil
penjualan. Hal ini mengakibatkan toko sembako pak Edi mengalami
kebangkrutan. Menghadapi kondisi ini pak Marsuli kemudian menarik pak Edi
untuk bekerja di warung sembakonya, dengan catatan hasil kerjanya harus di
tabung sebagai bekal untuk menjadi modal usahanya, kelak ketika uang tersebut
sudah cukup banyak.
Kerjasama juga terjalin diantara Subhi dan Ekha. Ekha yang merupakan
orang Sunda itu adalah seorang anak yatim. Ayahnya meninggal ketika ia masih
duduk di bangku kelas dua SD. Ekha hanya mampu bersekolah hingga tingkat
44
satu SMA berkat harta peninggalan ayahnya. Setelah putus sekolah Ekha
menganggur cukup lama. Subhi seorang suku Madura itu adalah temannya semasa
SMP dan juga mereka bertetangga rumah. Ketika Subhi melanjutnya ke jenjang
pendidikan tinggi di jakarta, usaha yang baru dirintisnya berupa Warnet menjadi
agak terbengkalai, oleh karena itu ia mengajak Ekha untuk bekerja membantunya
mengurusi Warnet miliknya tersebut. Karena rumah Ekha yang kecil dengan
penghuni yang cukup banyak, maka Subhi mengajak Ekha untuk tinggal
dirumahnya. Hal ini mengakibatkan kedekatan bukan saja antara Ekha dengan
keluarga Subhi, tapi juga keluarga Ekha akhirnya menjadi akrab dengan keluarga
Subhi. Ketika penelitian ini dilakukan, mereka berdua sedang berusaha mencari
akses dalam usaha menjual karigrafi buah tangan Ekha.
Hasil kerjasama juga di rasakan oleh pak Amat. Ketika penelitian ini
dilakukan pak Amat yang orang Sunda ini adalah seorang pedangan Sate yang
sangat sukses. Dia berhasil membuka sebuah restouran sate dengan
mempekerjakan 10 karyawan. Kesuksesannya menyamai kesuksesan pedagang-
pedangan sate yang termasuk jajaran orang kaya dari suku Madura. Awalnya pak
Amat adalah pegawai di Restoran Sate milik pak Ismail, seorang suku Madura.
Selama bekerja pada pak Ismail Pak Amat secara bergantian ditempatkan
diberbagai bagian seperti peracikan bumbu, pencarian akses penjualan, hingga
mengurus keperluan pegawai restoran. Hal ini memungkinkan pak Amat
mempelajari seluk beluk usaha sate yang memjadikannya sukses di kemudian
hari. Ilmu dagannya ini kemudian diwariskannya kepada anak-anaknya. Namun
dari keenam anaknya, hanya anaknya yang bernama Oma yang berhasil
meneruskan bakat dagang sang ayah. Ketika penelitian ini dilakukan ayah dan
anak ini telah sama-sama memiliki usaha perdagangan sate yang cukup besar dia
lokasi perdagangan air mancur Kota Bogor.
Pak Syamsudin dan pak Jajat berteman sejak mereka berdua duduk di
bangku SD. Pak Syamsudin adalah orang dari suku Madura sedangkan pak Jajat
berasal dari suku Sunda. Pak Syamsudin memiliki usaha pembuatan batako. Ia
mempekerjakan Pak Jajat yang mengalami putus sekolah itu di rumah usahanya
tersebut. Kedekatan hubungan pertemanan mereka merambat pada pendidikan
keagamaan oleh Pak Syamsudin kepada Pak Jajat dan anak-anaknya. Pak Jajat
45
belajar mengaji kepada Pak Syamsudin. Kedua anak Pak Jajat belajar mengaji di
TPA milik Pak Syamsudin tanpa di pungut bayaran.
Mata pencarian warga di wilayah RT 04 terdiri dari para pedagang
makanan jadi, pelaku ekonomi ini di dominasi warga dari suku Madura. Salah
satu nilai budaya pada suku Madura adalah “giat bekerja”. Nilai ini nampaknya
menjadi semakin kuat ketika suku ini mejadi suku pengembara terbesar di
Indonesia. Mencari penghidupan di rantau orang membutuhkan kesungguhan dan
kerja keras agar dapat bertahan hidup. Orang Madura akan merasa malu untuk
pulang ke kampung halamannya jika tidak mampu berhasil di rantau orang. Hal
ini membuat suku Madura menjadi suku yang terkenal gigih dan giat dalam
bekerja.
Untuk mewujudkan kesuskesan tersebut, orang Madura kebanyakan
memilih dunia perdagangan sebagai alat mencapai keberhasilan. Hasil dari
perdagangan ini akan mereka kumpulkan dengan tujuan untuk bekal naik haji dan
menyekolahkan anak-anaknya. Demikian lah hal ini menjadi pendorong bagi suku
Madura untuk mencapai kesuksesan melalui berdagang. Di RT 04 perdagangan
yang biasanya di lakoni oleh suku Madura berupa jual beli besi tua, perdagangan
ini adalah peringkat pertama diantara perdagangan lainnya dalam tingginya
penghasilan yang di peroleh. Pelaku perdagangan besi tua dari suku Madura di RT
04 adalah Pak Siddik dan Pak Jamal. Kedua orang ini selain termasuk para
pendatang yang mula-mula, juga karena usahanya terbilang paling sukses
membuat keduanya termasuk orang-orang yang dituakan oleh warga Madura yang
lainnya, juga oleh warga RT 04 yang bukan suku Madura. Perdagangan yang
kedua yang berhasil memberikan kehidupan yang layak bagi orang Madura adalah
perdagangan sate. Para pedagang sate yang berada di RT 04 dari warga Madura
sangatlah banyak, bahkan rata-rata orang Madura di RT 04 berprofesi sebagai
pedagang sate. Namun diantara mereka yang terlihat paling sukses adalah Pak
Ismail, Pak Madi dan Pak adul. Mereka bertiga memiliki restoran sate di wilayah
Bogor dan Jakarta. Sedangkan pedagang sate yang lebih kecil dari ketiga orang ini
biasanya menggunakan gerobak yang mangkal di Jembatan Merah atau di area
perdagangan air mancur dan di area Jalan Mawar.
46
Jenis pedagang ketiga yang di lakoni suku Madura di RT 04 adalah
pedagang bubur ayam yang biasanya juga sebagai penjual bubur kacang hijau.
Para pedagang ini, sebagaimana pedagang sate, cukup berhasil untuk dapat hidup
berkecukupan. Ada juga orang Madura yang berdagang martabak telor atau
martabak manis. Para pedagang marabat telor dan martabak manis pun ternyata
mampu untuk hidup berkecukupan. Hidup berkecukupan bagi orang Madura
adalah mampu untuk naik haji dan menyekolahkan anak setinggi mungkin.
Bahkan banyak anak-anak orang Madura yang melanjutkan sekolah hingga ke
Mesir dan Riyadh.
Selain yang telah di sebutkan di atas, sebagian kecil suku Madura di RT
04 ada yang menjadi pegawai swasta dan guru, baik guru umum maupun guru
agama. Orang Madura yang menjadi pegawai maupun guru biasanya merupakan
anak-anak dari generasi pertama, dengan orientasi keberhasilan yang lebih luas
dari para orang tuanya.
Sedangkan suku Sunda yang ada di RT 04 kebanyakan berprofesi sebagai
pegawai baik negeri maupun swasta di kantor pemerintahan tingkat kelurahan,
tingkat RW dan tingkat RT. Pak Ujang Madi dan keempat saudaranya bekerja
sebagai pegawai negeri di kantor pemerintahan bagian tata kota. Pak Jojo adalah
ketua RT 04. Pak Sukirman adalah ketua RW 10 di kelurahan Kebon Kelapa. Pak
Arif adalah ustadz yang mengajar di beberapa tempat di sekitar RT 04, tetapi
ketiga Pak Arif adalah para pegawai di pabrik tekstil di Jakarta. Ada juga yang
bekerja si swalayan dan pabrik yang terdapat di kota Bogor seperti Eko dan yang
lainnya. Ada juga dari mereka yang berjualan makanan jadi, namun jumlah ini
cukup sedikit dibanding suku Madura yang berdagang. Diantara suku Sunda yang
berjualan makanan jadi adalah Pak Yunus, ia berjualan bubur ayam. Pak Husin, ia
berjualan mie ayam. Pak Kardi berjualan sembako keliling dan Pak Sabar
berjualan nasi goreng. Mereka berjualan di tempat yang berdekatan dengan para
pedagang dari orang-orang Madura di area Jembatan Merah dan sebagian di dekat
kantor kelurahan. Adapun pedagang yang paling sukses dari suku Sunda diantara
yang lainnya adalah Pak Amat dan anaknya Pak Oma. Mereka memiliki restoran
sate di daerah air mancur kota Bogor.
47
Dari semua kegiatan ekonomi warga RT 04 orang-orang dari suku Madura
lah yang terlihat lebih survive secara ekonomi, meskipun suku Sunda sendiri
secara umum tidak dalam kategori miskin. Kondisi yang cukup berimbang di
antara suku Sunda dan suku Madura, juga karena berbagai kerjasama yang saling
menguntungkan yang terjadi diantar mereka ini menjadikan RT 04 adalah salah
satu basis kegiatan ekonomi yang baik. RT 04 mampu menjadi wilayah dengan
tingkat perputaran ekonomi tertinggi diantara wilayah lainnya, sehingga
penduduknya dikategorikan memiliki kesejahteraan ekonomi yang baik. Hal ini,
sebagaimana di jelaskan sebelumnya terjadi akibat kejasama yang banyak terjadi
diantara warga RT 04 sendiri terutama pada suku Sunda dan suku Madura.
Karakteristik suku Madura yang giat bekerja menjadikan suku ini secara umum
memegang kendali perdagangan bukan saja di RT 04 namun juga di beberapa
wilayah di Kebon Kelapa. Kesadaran akan hidup bersama sebagai sesama RT 04,
di samping kepentingan untuk hidup damai dengan cara saling menghargai satu
sama lain membuat para pedagang suku Madura melibatkan banyak suku Sunda
untuk bekerja dan belajar membangun usaha dari mereka.
Kasus-kasus kerusuhan yang terjadi di beberapa tempat di luar jawa, yang
disebabkan oleh kesenjangan-kesenjangan ekonomi serta ketidakharmonisan antar
warga bagaimanapun menjadi pelajaran bagi suku Madura di RT 04. Mereka
mengambil pelajaran terutama untuk tidak hanya memperhatikan kesejahteraan
diri dan kelompoknya. Keadaan suku Sunda yang hidup bersama mereka di RT 04
semestinya menjadi perhatian mereka juga jika ingin hidup damai dalam arti
saling menghargai dan saling tolong menolong di antara sesama. Inilah yang
melatar belakangi banyaknya kerjasama yang terjadi diantara kedua Suku
tersebut. Meskipun banyaknya kerjasama yang sudah terjalin belum sepenuhnya
berhasil mensejahterahan seluruh warga RT 04, namun warga sepakat bahwa hal
yang sudah di lakukan merupakan upaya yang sangat berarti bagi kelangsungan
harmonisasi diantara suku Sunda dan suku Madura yang ada di RT 04.
Diperlukan suatu konsep yang lebih matang untuk dapat secara sempurna
menjalin kerjasama di antara keduanya. Beberapa tokoh di RT 04 sudah sejak
lama memikirkan hal tersebut. Diantara ide-ide itu adalah ekonomi berbasis
masjid. Ekonomi model ini adalah dengan mengumpulkan zakat dari para orang
48
kaya RT 04 untuk dijadikan modal usaha bagi yang kurang mampu. Dengan pola
usaha seperti ini diharapkan terjadi kerjasama yang baik dari semua pihak yang
ada di RT 04. Ketika penelitian ini dilakukan ide ini masih dalam tahap rencana.
Tabel 4. Profil Mata Pencarian warga RT 04 RW 10
Suku
No. Profil matapencarian Sunda Madura
1.
2.
3.
4.
5.
6.
PNS
Pegawai swasta
Pegawai pabrik
Guru
Pedagang makanan jadi
Toko sembako
20 %
40 %
20 %
10 %
10 %
0 %
0 %
10 %
0 %
10 %
50 %
30 %
Sumber : Profil RT 04 RT 10 Tahun 2011
Bidang Keagamaan
Semenjak berdirinya masjid di RT 04 atas swadaya warga pada tahun 1990
lalu, kegiatan keagamaan warga semakin meningkat. Warga menginginkan
menjadikan masjid tidak hanya sebagai tempat shalat namun juga sebagai pusat
berbagai kegiatan keagamaan seperti pengajian bapak-bapak, pengajian ibu-ibu,
pengajian remaja, hingga berbagai diskusi menyangkut keagamaan dan
pemecahan masalah-masalah aktual yang terjadi di RT 04.
Hubungan-hubungan pertemanan yang disebabkan kesamaan tujuan dalam
hal menghidupkan kegiatan masjid banyak terjadi. Seperti yang terjadi diantara
Pak Syamsudin dan Pak Agus. Pak Syamsudin adalah orang Madura, dia menjadi
salah satu pemuka pendapat di RT 04 yang dipercaya warga karena di pandang
memiliki ilmu agama yang baik. Pak Agus adalah orang Sunda, dia dipandang
memiliki ilmu agama yang baik, sehingga menjadi orang kepercayaan suku Sunda
untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang menyangkut suku Sunda.
Orang-orang Madura pun menaruh hormat kepadanya dikarenakan perangai sopan
santun yang ditunjukkannya. Pak Syamsudin dan Pak Agus sering melakukan
diskusi terutama menyangkut keagamaan. Diskusi-diskusi ini mereka lakukan di
masjid, di rumah Pak Syamsudin dan terkadang juga mereka berdiskusi di rumah
Pak Agus. Diskusi juga akan mereka lakukan untuk membahas masalah-masalah
49
yang terjadi di RT 04. Dikarenakan kesibukan sehari-hari yang cukup padat,
mereka bertemu di masjid untuk berdiskusi pada saat malam hari ketika selesai
shalat magrib dan isya. Saat berdiskusi di masjid beberapa orang yang juga ikut
shalat berjamaah terkadang ikut juga berdiskusi dengan kedua orang ini. Hal ini
memberikan dampak yang baik, terutama karena kebanyakan terselenggaranya
berbagai kegiatan masjid merupakan hasil dari forum diskusi ini. Kegiatan diskusi
ini selanjutnya diikuti oleh yang lain, seperti Pak Marsuli yang kemudian sering
berdiskusi dengan Pak Arif, Pak Jaub menjadi suka berdiskusi dengan Pak Jojo.
Kebiasaan yang baik ini menjadi lebih berkembang di kemudian hari, terutama
karena Pak Sukirman, ketua RW setempat belakangan sering menyempatkan diri
untuk mampir di toko material milik Kiki, untuk sekedar ngobrol dengan para
anak muda yang memang banyak berkumpul di sana. Obrolan yang terjadi
diantara mereka berkisar dari hal-hal ringan seperti tentang keseharian hidup,
sampai tentang kegiatan-kegiatan masjid dan permasalahan-permasalahan yang
terjadi di RT 04. Pak Ujang Madi selaku ketua RT 04 melihat gejala positif ini
pun ikut melakukan diskusi. Teman berdiskusinya adalah Pak Husen. Sebagai
ketua RT ia berdiskusi dengan semua orang dan terutama para anak mudanya,
sehingga membuat kegiatan-kegiatan yang di rencanakan yang berawal dari
berdiskusi santai ini menjadi dapat di realisasikan karena selalu mendapatkan
dukungan dari banyak pihak termasuk dari ketua RT dan ketua RW setempat
Karena pada awalnya diskusi terjalin dengan alasan tema keagamaan,
maka meskipun kemudian diskusi berkembang ke tema yang lain seperti
membahas permasalahan aktual, bahkan tentang bisnis terutama di antara para
anak muda, namun tema keagamaan tetap menjadi tema utama dalam setiap awal
diskusi yang terjadi. Tema keagamaan inilah yang selanjutnya banyak melahirkan
kegiatan-kegiatan di RT 04. Inilah nampaknya yang menjadi alasan masjid RT 04
terlihat sangat hidup oleh berbagai kegiatan keagamaan, dimana hal tersebut
memang merupakan cita-cita semua warga RT 04.
Selain berbagai kegiatan pengajian sebagaimana di sebutkan sebelumnya,
kegiatan masjid yang menjadi sangat meriah adalah berbagai perayaan hari besar
Islam seperti kegiatan acara maulid nabi, isra‟ mi‟raj nabi, dan terutama kegiatan
berbuka puasa bersama di setiap bulan ramadhan datang. Kegiatan-kegiatan ini
50
menjadi hal besar bagi warga RT 04. Seluruh warga berpartisipasi dan ikut ambil
bagian dalam setiap kegiatan perayaan hari besar Islam yang diselenggarakan.
Setiap perayaan menjadi kegembiraan seluruh warga, bahkan para tetangga RT di
sekitar RT 04 yang ikut menghadiri setiap perayaan merasakan kemeriahan dan
kegembiraan di setiap perayaan yang di selenggarakan di RT 04. Para tetangga RT
04 ini turut merasa senang dan selalu bersedia untuk ikut menghadiri setiap
perayaan keagamaan yang di selenggarakan di RT 04. Para tetangga menganggap
kebersamaan antar warga di RT 04 sangat baik sehingga berbagai kegiaan yang di
selenggarakan dan kesuksesannya dapat menggambarkan kebersamaan yang baik
tersebut.
Pernikahan Antarsuku
Banyak terjadi pernikahan diantara para anak muda suku Sunda dengan
anak muda suku Madura. Pernikahan antar suku yang pertama adalah antara Pak
Dayat seorang suku Madura yang merupakan anak dari Pak Munara yang menjadi
pendatang pertama suku Madura di RT 04, dengan Susi, anak dari suku Sunda RT
04. Mereka adalah teman sewaktu di SMA. Mereka melangsungkan pernikahan
setelah mereka lulus SMA. Pernikahan mereka terjadi pada tahun 1990 bertepatan
dengan awal pembangunan masjid di RT 04. Saat pernikahan mereka
menggunakan ritual adat Sunda. Ketika penelitian ini dilakukan keluarga ini telah
memiliki enam anak dan tinggal di luar RT 04.
Pernikahan selanjutnya adalah antara Johar dari suku Madura dengan
Rusmini dari suku Sunda. Mereka bertetangga rumah. Johar adalah keponakan
dari Pak Bunawi. Ia dan Rusmini menikah setelah Johar menyelesaikan
pendidikan pesantrennya di tingkat SMA. Pasangan inipun menikah dengan tata
cara adat suku Sunda. Ketika penelitian ini dilakukan pasangan ini sudah bercerai
dan memiliki satu orang anak laki-laki yang kini dirawat oleh keluarga Pak
Bunawi.
Pernikahan juga terjadi diantara Asep dari suku Sunda dengan Zahroh dari
suku Madura. Mereka adalah teman semasa kuliah. Pasangan ini menikah setelah
tiga tahun mereka lulus kuliah. Zahroh adalah anak Pak Sidik, yaitu orang Madura
yang menjadi pendatang kedua di RT 04, sedangkan Asep adalah suku Sunda
yang berasal dari kota Tasikmalaya dan tinggal di RT 04. Ketika penelitian ini di
51
lakukan pasangan ini telah memiliki tiga anak perempuan. Mereka tinggal di luar
RT 04. Meskipun tinggal di luar RT 04, mereka sering datang ke RT 04. Selain
untuk mengunjungi orang tua mereka yang ada di RT 04, mereka juga datang
untuk keperluan bisnis yang mereka lakukan dengan anak-anak muda RT 04
seperti Paul, suku Sunda, Indra, suku Sunda, Hafidz suku Madura dan banyak lagi
yang lainnya. Bisnis mereka bergerak di bidang properti. Bisnis mereka meliputi
pembangunan rumah baik didalam kota Bogor maupun di luar kota Bogor seperti
Bandung dan Jakarta. Karena mereka menjalani bisnis yang cukup besar ini, maka
sedikit banyak membuka lowongan pekerjaan yang baik untuk para anak muda
RT 04 yang mereka rekrut untuk bergabung. Pak Asep juga mengajarkan berbagai
ilmu bisnis yang di milikinya kepada para anak muda tersebut, sehingga ketika
penelitian ini dilakukan, sudah terdapat dua anak muda RT 04 yang kemudian
membangun bisnisnya sendiri, berkat bimbingan dan arahan dari Pak Asep selama
bekerja dengannya. Kerjasama yang saling menguntungkan dan sekaligus
pembinaan dan pengkaderan tersebut menjadikan keluarga ini dan juga keluarga
kedua orang tua mereka sangat dicintai di RT 04, karena dianggap memiliki
kepedulian yang besar terhadap sesama warga RT 04 dalam memperbaiki
perekonomian bersama.
Pasangan Sunda dan Madura yang lain adalah Nasiyah dari Madura
dengan Adi dari Sunda. Pasangan inipun menikah dengan tata cara adat Sunda.
Mereka berdua bertemu karena sama-sama mengajar di TPA milik Pak
Syamsudin. Setelah menikah, pasangan ini membuka TPA nya sendiri. Pasangan
ini tinggal di rumah orang tua Adi, sehingga TPA yang mereka bina pun berada
dekat dengan rumah orang tua Adi. Belakangan setelah Adi mendapatkan
pekerjaan sebagai guru SMP di sebuah sekolah swasta, maka TPA di tangani oleh
Nasiyah. Hal ini menjadikan Nasiyah akrab dengan anak-anak Sunda dan Madura
serta dengan anak-anak dari berbagai suku yang mengaji di tempatnya. Para
muridnya itu ada yang berasal dari RT 04, ada juga yang berasal dari luar RT 04.
Keakraban Nasiyah tidak saja dengan para muridnya, namun juga dengan para
orang tua murid-muridnya itu. Hal ini mengakibatkan seringnya para orang tua
tersebut mengobrol bahkan curhat dengan Nasiyah seputar permasalahan rumah
tangga yang mereka hadapi. Nampaknya pasangan ini mendapatkan perhatian
52
pula dari warga RT 04 sebagai pasangan yang dilihat kemudian menjadikan
orang-orang dari berbagai suku yang ada di RT 04, terutama antara suku Sunda
dan suku Madura menjadi akrab dan saling sharing dan membantu dalam
menyelesaikan permasalahan-permasalahan baik yang menyangkut kehidupan
sehari-hari, maupun isu-isu di sekitar lingungannya.
Pernikahan antarsuku juga terjadi pada Yuli, suku Sunda dengan Syarif
suku Madura. Ketika menikah, mereka adalah janda dan duda yang masing-
masing telah memiliki satu anak dari pernikahan sebelumnya. Yuli bercerai
dengan suami pertamanya dikarenakan sang suami tidak pernah mau bekerja
dengan sungguh-sungguh sehingga kebutuhan rumah tangga sering kali tidak
tercukupi. Adapun Syarif menikah dengan Yuli setelah istri pertamanya yang
orang Madura itu meninggal dunia akibat penyakit yang dideritanya. Ketika
penelitian ini dilakukan Syarif bekerja sebagai kepala bagian di sebuah
perusahaan swasta, sedangkan Yuli telah diangkat sebagai pegawai negeri.
Sebagaimana pasangan antarsuku lainnya, Yuli dan Syarif pun ternyata banyak
membantu bagi lingkungan sekitarnya. Anak-anak muda yang sedang kuliah
banyak yang meminta bantuan Syarif untuk mendapatkan tempat magang dan
praktik kuliahnya di tempat Syarif bekerja. Tercatat beberapa anak dari suku
Sunda seperti Dewi, Wiwi dan Sari yang kuliah di jurusan Ekonomi magang di
tempat Syarif bekerja bersama Iyya dan David yang berasal dari suku Madura.
Banyaknya pernikahan antara orang-orang dari suku Sunda dengan orang-
orang dari suku Madura berfungsi mempererat keakraban kedua suku. Apalagi
dengan kemanfaatan-kemanfaatan yang dirasakan oleh warga akibat dari
pernikahan-pernikahan antarsuku tersebut secara signifikan berkontribusi pada
perbaikan ekonomi dan sosial bersama.
Tidak hanya antara suku Sunda dan Suku Madura yang saling terhubung
berkat berbagai kondisi yang telah disebutkan sebelumnya. Pada pergaulan
dengan suku Jawa dan suku Padang yang ada di RT 04 pun terjadi jalinan
sebagaimana yang terjadi diantara suku Sunda dan Madura. Istri Pak Syamsudin
dan Pak Agus sama sama berasal dari suku Jawa. Keakraban suami-suami mereka
juga berimbas kepada keduanya serta berfungsi memperkuat keakraban antar suku
yang ada di RT 04. Suku Sunda yang pada dasarnya dikarenakan sejarah
53
kulturalnya cenderung merasa lebih dekat dengan suku Jawa, sehingga didalam
pergauan sehari-hari kedua suku ini relatif serasi. Namun pada bagian kerjasama
terutama di bidang ekonomi, suku Jawa lebih banyak bekerjasama dengan suku
Madura. Hal ini dikarenakan kedua suku sama-sama berkarakter pekerja keras.
Kondisi ini justru menciptakan keseimbangan pergaulan dikarenakan hubungan-
hunbungan yang khas yang cenderung tidak saling menganggu satu sama lain.
Berbeda dengan pola suku Padang, mereka cenderung bekerja secara mandiri. Hal
ini mengakibatkan model hubungan suku Padang dengan suku lainnya hanya
sebatas tetangga dan sebagai sesama warga RT 04 saja. Oleh karena itu meskipun
tidak banyak terdapat kerjasama antara suku Padang dengan suku lainnya yang
berada di RT 04, namun kehidupan kerukunan warga diantara mereka cukup baik.
Sedangkan terhadap suku Batak, meskipun tidak seakrab dengan suku
yang lainnya, namun hingga penelitian ini di lakukan tidak pernah ada sengketa
diantara suku-suku yang ada dengan suku Batak yang tinggal di RT 04. Bahkan
suku ini sering kali ikut membantu dan memeriahkan berbagai acara yang di
selenggarakan di RT 04 termasuk acara keagamaan meskipun suku Batak
beragama Kristen. Ketika berbagai musyawarah diselenggarakan dalam rangka
menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul, mereka ikut serta berembuk
mencari solusi, meskipun perkara yang di bahas adalah perkara masjid yang
identik dengan agama Islam. Hal ini mereka lakukan karena suku Batak
menganggap diri mereka sebagai bagian dari warga RT 04, dan kepedulian
mereka atas berbagai masalah di RT 04 sangat dihargai oleh warga setempat,
sehingga suku Batak pun dihargai dan dihormati agamanya. Warga RT 04 terbiasa
memberikan ucapan selamat ketika suku Batak merayakan hari besar Kristen, hal
yang sama juga dilakukan oleh suku Batak terhadap warga yang beragama Islam.
Pendidikan
Bentuk pendidikan yang di ambil oleh warga RT 04 sangatlah beragam.
Keberagaman pendidikan di RT 04 yaitu masih terdapat keluarga yang
beranggapan pendidikan formal tidak penting dan mementingkan pendidikan
keagamaan. Pendukung pola pendidikan ini ditandai dengan anak-anaknya di
masukkan ke pendidikan pesantren kuno, dimana tidak terdapat jenjang
pendidikan SD, SMP dan SMA di dalamnya. Ada pula keluarga yang disamping
54
memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan pesantren, namun juga
mengupayakan pendidikan umum bagi anak-anaknya hingga ketingkat perguruan
tinggi. Sebagian keluarga yang lain menyekolahkan anaknya di sekolah umum
saja tanpa memasukkan anak tersebut ke lembaga pesantren.
Di RT 04 keempat fenomena ini terjadi baik dari keluarga suku Madura
maupun keluarga dari suku Sunda, sehingga dinamika pendidikan kedua suku
tersebut dapat dikatakan sepadan. Artinya baik pada suku Sunda maupun suku
Madura sama-sama terdapat anggotanya yang masih berpikiran tradisional, dan
sebagiannya sudah berpikir lebih modern dan terbuka. Kondisi ini memungkinkan
terjadinya saling pengertian satu sama lain, terutama karena pendidikan
keagamaan merupakan pendidikan yang utama bagi kedua suku meskipun
sebagian mereka tidak memasukkan anak-anaknya ke lingkungan pendidikan
pesantren. Oleh karena setiap anak mendapatkan pendidikan keagamaan baik
melalui pesantren maupun dari tempat mengaji seperti TPA, maka perbedaan pola
pendidikan tidak menghalangi keberbauran pergaulan diantara mereka.
Tingkat pendidikan yang beragam tetap dapat disatukan melalui latar
belakang keagamaan. Diskusi-diskusi yang dilatarbelakangi agama dalam
membahas masalah-masalah aktual memungkinkan perbedaan jenjang dan konsep
pendidikan menjadi bukan kendala di antara mereka.
Adapun bagi kedua suku yaitu suku Sunda dan suku Madura, model-model
pendidikan yang relatif sama ini membuat satu sama lain merasa saling setara.
Terutama karena keberagaman pendidikan juga terdapat pada mereka yang
menjadi pemimpin di antara mereka. Pak Syamsudin adalah orang dengan latar
pendidikan pesantren saja. Sedangkan Pak Agus memiliki latar belakang sekolah
umum saja. Demikian juga Pak Marsuli yang bersekolah umum saja hingga
tingkat SMA, Pak Ujang Madi mengenyam pendidikan hingga taraf sarjana muda.
Kulsum mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, Jajah sekolah hanya
sampai tingkat SMP dan keduanya berteman baik tanpa salah satu menganggap
yang lain lebih utama. Semntara anak-anak yang lebih muda hampir seluruhnya
berpendidikan tinggi, dengn latar belakang pesantren maupun non-pesantren.
Mereka memiliki hubungan pertemanan yang paling baik diantara generasi yang
lainnya, dimana latar belakang pendidikan yang berbeda tidak menghambat
55
mereka untuk saling menghargai satu sama lain, sebagaimana perbedaan suku
tidak membuat mereka merasa berbeda.
Perbedaan pendidikan pada warga di RT 04 juga tidak terlalu tampak di
dalam perolehan pekerjaan mereka. Hal ini dikarenakan kebanyakan dari warga
menjalani wiraswasta yang mandiri. Hal ini lebih diakibatkan potensi lingkungan
yang tersedia sebagaimana telah di paparkan. Suku Madura terlihat yang paling
menonjol dalam hal kesuksesan ekonomi yang tidak berhubungan dengan latar
belakang pendidikannya, namun karena kemampuan eksplorasi kreatifitas usaha.
Adapaun suku Sunda meskipun dengan berbagai bantuan dari suku Madura
mengalami hal yang sama.
Dari paparan ini menunjukan bahwa pendidikan berkontribusi bagi
kerekatan hubungan antara kedua suku dengan cara yang tidak biasa sebagaimana
yang banyak terjadi berupa tingkat pendidikan yang sama menciptakan
keseimbangan derajat sosial, melainkan dikarenakan keragaman model
pendidikan yang sama-sama terjadi diantara kedua belah suku, dan karena tingkat
pendidikan yang berbeda tidak terlalu menciptakan kesenjangan derajat sosial
diantara keduanya.
Permasalahan justru timbul dari mereka yang tidak memiliki daya
kreatifitas yang baik meskipun berpendidikan tinggi. Dimana persaingan dunia
kerja khas perkotaan yang kemudian menyingkirkan mereka dari mendapatkan
pekerjaan yang dipandang layak dan sepadan dengan latar belakang pendidikan
mereka, sehingga golongan inilah yang kemudian menjadi pengangguran di antara
warga RT 04 lainnya. Bahkan melalui penelitian ini diketahui bahwa orang-orang
inilah yang sering kali menyulut kerusuhan di RT 04 yang di beberapa
kesempatan cukup berhasil mempengaruhi egoisme kesukuan diantara suku Sunda
dan suku Madura, meskipun tidak pernah sampai ketingkat pecahnya pertikaian
antar suku.
Para pengangguran ini terdapat diantara suku Sunda dan suku Madura.
Orang-orang menyebut mereka sebagai biang kerok dan cenderung di hubungkan
dengan keterlibatan dengan dunia narkoba. Hingga penelitian ini dilakukan warga
setempat merasa belum tahu cara mengatasi masalah ini dan merasa keberadaan
mereka cukup mengganggu baik bagi kelangsungan kerukunan antar suku maupun
56
bagi keluarga yang mengalaminya. Para anak muda yang bergabung dalam remaja
masjid sering kali mengalami bentrokan dengan kelompok ini sehingga para orang
tua anak-anak pengangguran ini merasa sangat sedih dengan kondisi anggota
keluarganya tersebut. Hal ini lebih dikarenakan para orang tua yang cenderung
menyeluruh di RT 04 dalam mendukung masjid dimana para pemuda masjid
termasuk didalamnya meresa kecewa karena anak-anak mereka tidak seperti para
remaja masjid yang menjadi kebanggaan RT 04 itu.
Permasalahan anak-anak yang menjadi pengangguran ini sudah berulang
kali didiskusikan dan diupayakan penyelesaianya, namun belum juga menemukan
penyelesaian yang tepat karena permasalahan bukan pada pendidikan yang
kurang, karena banyak diantara mereka bahkan berhasil tamat kuliah. Gaya hidup
modern yang terlalu mengagungkan pekerjaan yang disebut sepadan dengan
tingkat pendidikan nampaknya membuat mereka justru tidak mau bekerja keras
dan cenderung manja. Hal ini menunjukan budaya modern yang tidak dibarengi
kekuatan nilai budaya justru membahayakan kehidupan.
Tabel 5. Profil Pendidikan Warga di RT 04 RW 10
Suku
No. Profil Pendidikan Sunda Madura
1.
2.
3.
4.
Pesantren saja
Pesantren dan Sekolah Umum
Sekolah Umum saja
Perguruan Tinggi
20 %
40 %
20 %
20 %
30 %
40 %
0 %
30 %
Sumber : Profil RT 04 RT 10 Kelurahan Kebon Kelapa Tahun 2011
Adapun informan penelitian ini memiliki keragaman tingkat pendidikan,
dimana rata-rata informan dari generasi pertama yang dijadikan informan terdiri
dari SD kelas dua hingga sarjana muda. Ujang Madi berpendidikan hingga tingkat
sarjana muda. Ujang Madi adalah suku Sunda yang berteman baik dengan Pak
Bunawi. Pak Bunawi adalah orang Madura yang berpendidikan hanya sampai
kelas dua SD. Pak Husen adalah orang Madura dengan tingkat pendidikan lulus
SD. Ia berteman baik dengan Pak Jojo yang berpendidikan terakhir SMA kelas
57
dua. Adapun Ibu Nipah adalah orang Madura berpendidikan SD kelas 4. Ia
berteman baik dengan ibu Nunung, orang dari suku Sunda yang berpendidikan
terakhir kuliah tingkat satu.
Informan dari generasi kedua tingkat pendidikannya berkisar pada lulusan
SMP hingga sarjana. Marsuli adalah orang Madura yang berpendidikan SMP, ia
berteman baik dengan Arif yang berpendidikan pesantren tradisional, yaitu
pesantren yang tidak ada jenjang pendidikan didalamnya. Adapun Pak Syamsudin
adalah orang yang mengenyam pendidikan pesantren modern, yaitu terdapat
jenjang pendidikan hingga Aliyah, setingkat SMA dan melanjutkan pendidikan di
Kairo, Mesir. Ia berteman baik dengan Pak Agus yang lulusan SMA. Kulsum
adalah suku Madura dengan pendidikan S1, berteman baik dengan Jajah, seorang
suku Sunda, berpendidikan SMA.
Informan dari generasi ketiga memiliki tingkat pendidikan berkisar lulusan
SMA hingga sarjana. Ekha adalah suku Sunda dengan pendidikan terakhir SMA
kelas dua. Ia berteman baik dengan Subhi. Subhi adalah orang Madura, ia
mahasiswa tingkat akhir di UIN Jakarta. Adapun Kiki, ia adalah orang Madura, ia
mahasiswa tingkat akhir di UIN Jakarta. Kiki berteman baik dengan Adi, seorang
suku Sunda dengan pendidikan terakhir adalah lulus SMA. Halim adalah suku
Madura. Saat penelitian ini dilakukan ia adalah santri di pondok pesantren Daarul
Rahman Jakarta. Ia masih kelas dua aliyah, setingkat kelas dua SMA. Halim
berteman baik dengan Eka yang sudah lulus SMA dua tahun yang lalu. Eka kini
bekerja di sebuah supermarket di Bogor. Responden penelitian ini, dalam hal
pendidikan pesantren sebagian mengenyam pendidikan pesantren sebagian lagi
tidak mengenyam pendidikan pesantren.
Tabel 6. Ragam tingkat pendidikan generasi
No Generasi Tingkat Pendidikan
1 Generasi satu (generasi awal
terjadinya percampuran budaya)
SD kelas dua – Sarjana Muda
2 Generasi dua (anak dari generasi
satu)
Lulus SMP - Sarjana
3 Generasi tiga (anak generasi dua) Tingkat SMA - Sarjana
Sumber : Profil RT 04 RT 10 Kelurahan Kebon Kelapa Tahun 2011
58
Keberadaan Suku Lain
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa para pribumi yaitu orang-
orang suku Sunda yang mula-mula bertempat tinggal di RT 04. Selain mereka,
orang-orang Madura adalah suku yang juga dianggap mula-mula bertempat
tinggal di RT 04 sebelum suku lainnya yaitu suku Jawa, suku Padang dan suku
Batak kemudian datang dan bertempat tinggal disana. Suku Batak adalah
pendatang kedua setelah suku Madura. Mereka datang ke RT 04 pada tahun 1977,
terdiri dari tiga keluarga yang merupakan kakak beradik beserta istri dan anak-
anak mereka. Tidak terdapat pendatang kedua dari suku Batak ini, kecuali yang
datang sebagai menantu dari keluarga yang telah ada. Jumlah mereka hingga
penelitian ini dilakukan berjumlah 15 kepala keluarga saja.
Pendatang selanjutnya datang pada 1978, mereka terdiri dari suku Jawa
dan suku Padang. Mereka datang hampir bersamaan. Tidak seperti suku Batak,
kedua suku ini mengalami pertambahan pendatang disetiap tahunnya. Hingga
penelitian ini dilakukan jumlah mereka mencapai 20 persen dari total penduduk di
RT 04.
Pola interaksi yang telah terbentuk antara suku Sunda dan suku Madura
sebagai penduduk yang lebih tua nampaknya menjadi pedoman bagi suku-suku
yang datang kemudian. Mereka mengikuti keberbauran kedua suku ini dalam hal
lokasi tinggal, yaitu tidak tinggal berkelompok dengan sukunya, namun berbaur
dan bertetangga dengan suku lainnya yang ada di RT 04. Mereka juga melakukan
interaksi didalam maupun diluar area pemukiman tinggal sebagaimana yang
dilakukan suku Sunda dan suku Madura. Hal ini mereka lakukan karena
menganggap hal-hal yang sudah ada tersebut merupakan hal yang baik dan
bermanfaat bagi keharmonisan hidup bersama.
Adapun pada berbagai konflik yang terjadi mereka memilih netral pada
saat konflik muncul, dengan cara tidak memihak dan menolak membahasnya
karena khawatir dianggap memperkeruh keadaan, namun mereka akan ikut
berpartisipasi ketika forum-forum musyawarah dilaksanakan, serta akan ikut
mensukseskan kesepakatan-kesepakatan yang diambil dalam forum musyawarah
tersebut.
59
Tabel 7. Ragam suku lain yang ada di RT 04 RW 10
No Suku Jumlah
1 Jawa 20 %
2 Padang 6 %
3 Batak 4 %
Sumber : Profil RT 04 RT 10 Kelurahan Kebon Kelapa Tahun 2011
Berbagai Arena Interaksi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura
Arena Interaksi di Dalam Lingkungan Tinggal
“Anak-anak muda di sini mah paling seneng ngobrol di toko
materialnya si Kiki. Kita soalnya ngobrolnya macem-macem, dari
ngobrol santai, curhat, soal kejadian di sini, soal masid juga enak di
pake ngobrol di si Kiki. Ya model diskusi santai gitu, namanya juga
anak muda” (Subhi, Madura Generasi tiga)
“Kalo orang tua mah seringnya ngumpul di masjid, eh tapi iya di
pangkalan motor Pak Jamal juga ngumpul mereka. Kan Pak Jamal
mantan ketua DKM, dari mulai dia jadi ketua DKM dulu sih mulai
ngmpul-ngumpul di bengkelnya, ya karena ngobrolin kegiatan
masjid sih, kadang kalau lagi ada berantem-berantem juga di situ
jadi tempat diskusi bapak-bapak, banyak lagi sih di sini mah tempat
ngumpul-ngumpul warga. Ya kalau anak muda paling banyak sih di
tempat si Kiki ngumpul-ngumpulnya.(Pak Agus, Sunda, generasi
dua)
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa terdapat pembauran posisi rumah
tinggal antara suku Sunda dan suku Madura. hal ini menjadikan terdapatnya
arena-arena interaksi di RT 04. Arena interaksi ini yang terpenting yang ada di
dalam lokasi tinggal warga RT 04 adalah masjid, di sana warga biasanya selain
bertegur sapa juga banyak membahas keagamaan dan permasalahan warga.
Efektivitas interaksi yang terjadi di masjid merupakan imbas dari keterjalinan
kerjasama dalam membangun masjid tersebut. Interaksi di antara kedua suku kian
membaik setelah mereka berhasil menyelesaikan konflik diantara mereka terkait
60
masalah kepanitiaan masjid yang menjadi pemicu konflik yang menyertai
pembangunan masjid.
Interaksi juga terjadi di toko material milik orang Madura bernama
Kiki.Kiki berusia 22 tahun. Ia mengelola toko material milik ayahnya, Pak Shaleh
yang sudah berusia 70 tahun. Kiki adalah anak terkecil dalam keluarganya, ia
seusia dengan Arman anak Pak Agus yang termasuk kategori generasi ketiga. Pak
Agus merupakan generasi kedua suku Sunda. Oleh karena itu Kiki termasuk
dalam kategori generasi ketiga suku Madura yang tinggal di RT 04. Sambil
mengelola toko material milik ayahnya, Kiki sedang menyelesaikan kuliahnya di
UIN Jakarta.
Lokasi toko material Kiki berada di area pinggir jalan. Keberadaan toko
material yang berada beberapa langkah ketika memasuki area pinggir jalan ini,
memungkinkan setiap orang yang datang dan pergi dari RT 04 melewati toko
material tersebut. Toko material Kiki menjadi arena interaksi warga RT 04
sebenarnya bermula dari pertemanan Kiki dengan Adi, pemilik toko sembako
kecil yang berada tepat di hadapan toko material Kiki dengan dipisah sebuah jalan
kecil. Adi berusia 3 tahun lebih tua dari Kiki. Adi juga merupakan generasi ketiga
dari suku Sunda. Kedua sahabat ini sering ngobrol ketika ada waktu senggang
seperti ketika kedua toko yang mereka kelola sedang sepi pembeli. Dari kebiasaan
mengobrol, berlanjut pada Kiki banyak memperkenalkan teman-temannya sesama
suku Madura kepada Adi. Demikian pula Adi mengajak teman-temannya yang
berasal dari suku Sunda untuk ikut ngobrol dengan Kiki. Gerombolan anak muda
ini selanjutnya menarik perhatian para orang tua dan kakak-kakak mereka yang
kebetulan lewat atau pulang kerja untuk sejenak bergabung di toko material
tersebut. Ketertarikan para orang tua itu bukan saja karena yang berkumpul di
toko material tersebut terdiri dari berbagai suku yang ada di RT 04, tetapi juga
karena para anak muda itu adalah orang-orang yang merupakan binaan Pak
Syamsudin dan Pak Agus untuk terlibat aktif pada setiap acara masjid.
Berkumpulnya para anak muda tersebut mempermudah para pemuka pendapat
seperti Pak Syamsudin dan Pak Agus serta para orang tua untuk membicarakan
berbagai kegiatan yang di rencanakan dan untuk meminta keterlibatan mereka
semua. Karena mereka saling berteman, maka ketika terdapat kegiatan-kegiatan di
61
RT 04 terutama kegiatan masjid mereka akan bersama-sama menyukseskan
kegiatan-kegiatan tersebut. Selanjutnya tempat mereka ngobrol dan berdiskusi
berpindah-pindah antara toko material milik Kiki, di toko sembako milik Adi atau
di masjid.
Tempat lain yang menjadi arena interaksi warga adalah pangkalan becak
milik Pak Kholik. Pak Kholik adalah suku Sunda, berusia 70 tahun. Di RT 04
banyak warga yang memiliki becak, baik itu orang Madura maupun orang Sunda.
Karena terbatasnya lahan tinggal mereka, maka Pak Kholik menyewakan
tempatnya untuk tempat menyimpan becak-becak tersebut. Orang-orang yang
menitipkan becaknya paada Pak Kholik antara lain adalah Pak Husen, orang
Madura, generasi satu, Pak Salim, orang Sunda generasi satu, Pak Tupi, orang
Madura generasi dua dan bayak lagi yang lainnya. Hal ini mengakibatkan para
pemilik becak dari berbagai suku yang menitipkan becaknya di tempat Pak Kholik
sering bertemu satu sama lain. Awalnya pembicaraan diantara mereka adalah
seputar becak dengan segala permasalahannya, namun lama kelamaan obrolan itu
berkembang ke topik lainnya. Tidak hanya itu, perkumpulan yang awalnya hanya
terjadi diantara para pemilik becak menjadi berkembang pada seluruh warga yang
kebetulan lewat di sana. Tempat mengobrol semakin mengasyikkan ketika
kemudian ada warung kopi kecil di sebelah pangkalan becak milik Pak Kholik
tersebut. Meskipun arena interaksi di pangkalan becak milik Pak Kholik tidak
berkembang kearah diskusi-diskusi sebagai mana yang terjadi di material milik
Kiki, namun arena interaksi ini cukup efektif dalam menjalik keakraban antar
warga.
Kondisi yang sama terjadi di bengkel motor milik Pak Jamal. Pak Jamal
adalah orang dari suku Madura berusia 70 tahun. Sebagian pegawainya adalah
orang-orang dari suku Sunda generasi dua dan tiga seperti Wahyu dan Nandang,.
Teman-teman pegawainya sering berkunjung ke bengkel motor itu unutuk sekedar
mengobrol dengan teman mereka Wahyu dan Nandang yang bekerja di sana.
Mereka kemudian sering pula mengobrol dengan teman-teman Pak Jamal yang
kebetulan datang untuk membahas masalah bisnis motor dengan Pak Jamal seperi
Pak Samat orang suku Madura dan Bandi orang dari suku Sunda. Kedua teman
Pak Jamal ini termasuk kategori generasi satu. Perkumpulan ini pun ternyata
62
berkembang menjadi forum diskusi santai sebagaimana yang terjadi di toko
material milik Kiki. Hal ini disebabkan selain sebagai pemilik bengkel motor, Pak
Jamal adalah ketua DKM masjid. Sebagaimana telah di jelaskan bahwa masjid
merupakan sentra interaksi warga, dimana masjid berfungsi sebagai tempat untuk
mendiskusikan dan mencari jalan keluar dari berbagai masalah yang dihadapi.
Dikarenakan Pak Jamal adalah ketua DKM, maka diskusi di masjid sering
berlanjut atau di mulai dari bengkel motornya.
Satu lagi arena interaksi warga, yaitu warung sembako milik ceu Emmi.
Letak warung sembako ini berada dekat dengan masjid tepatnya disamping kiri
masjid warga RT 04 tersebut. Pada awalnya obrolan para ibu dan remaja putri
yang berbelanja hanya seputar sembako dengan segala permasalahannya tersebut.
Namun belakangan terutama ketika masjid telah menjadi pusat interaksi warga
melalui berbagai kegiatan yang diselenggarakannya, obrolan di warung sembako
ini berkembang menjadi membahas masjid. Mereka menghubungkan makanan-
makanan khas suku masing-masing yang akan di sajikan ketika acara keagamaan.
Mereka menceritakan cara membuat makanan khas mereka, hingga nilai-nilai apa
yang terkandung didalam makann tersebut. Topik juga berkembang membahas
situasi yang dialami masjid seperti pertikaian yang terjadi, solusi yang diambil
hingga kontribusi para ibu dalam meredam kemarahan para bapak yang
berkonflik. Hal ini terjadi, sebagaimana menurut informan dari suku Sunda Ibu
Nunug, toko sembako Ceu Emmi ramai di datangi para pedangang makanan jadi
untuk membeli berbagai bahan pokok di sana. hal ini karena letak RT 04 yang
berada di pusat kota Bogor menjadikan RT 04 adalah wilayah dengan potensi
ekonomi yang baik. Dimana posisinya yang strategis membuat penduduk RT 04
memiliki banyak kegiatan ekonomi dan profesional di sekitar pemukimannya
sendiri.
Arena-arena interaksi yang berada di dalam lingkungan tinggal warga RT
04 ini adalah alasan pertama yang ditemukan dalam penelitian ini yang menjadi
penyebab terjadinya proses efektivitas manajemen konflik di RT 04.
63
Tabel 8. Arena Interaksi Warga di Dalam Area Tinggal
Suku
No. Arena Interaksi Sunda Madura
1.
2.
3.
4.
Toko material (Kiki)
Warung sembako (Ceu Emmi)
Pangkalan becak (Pak Kholik)
Bengkel Motor (Pak Jamal)
-
√
√
-
√
-
-
√
Sumber : Profil RT 04 RT 10 Kelurahan Kebon Kelapa Tahun 2011
Keterangan: √ (Suku Pemilik Arena interaksi)
Sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa pembauran lokasi tinggal adalah
salah satu penyebab bagi terjadinya efektivitas komunikasi antar budaya pada
suku Sunda dan suku Madura di RT 04. Bagi generasi tua pembauran area tinggal
menuntut mereka untuk dapat saling menerima keberadaan satu dengan yang
lainnya. Penerimaan yang di maksud oleh suku Sunda adalah terjalinnya intensitas
bertegur sapa diantara mereka. Hal ini berbeda dengan suku Madura. Suku ini
memiliki nilai menjaga keselarasan hidup dengan lingkungan tinggal, namun arti
keselarasan bagi suku Madura dalah terbatas pada tidak saling mengganggu
kepentingan masing-masing. Perbedaan ini membuat kedua suku dari generasi tua
ini sering mengalami ketidak sepahaman.
Pembauran lokasi tinggal menjadi basis pasang surutnya hubungan antar
generasi tua ini. Fokus mereka terhadap keselarasan lingkungan hidup diantara
mereka justru menjadikan kedua suku saling berseberangan ketika terdapat
ketidak samaan makna pada suatu konsep. Adapun ketika mereka merasakan
suatu keselarasan diantara mereka dari suatu nilai tertentu maka hal itu pun akan
berpengaruh pada terciptanya harmonisasi diantara mereka. Hingga peneltian ini
dilakukan tarik menarik diantara nilai-nilai yang menselaraskan dan yang
memisahkan diantara kedua suku pada generasi pertama ini masih sama. Tidak
dapat disimpulkan perihal seberapa banyak hal-hal yang membuat mereka bersatu
di bandingkan hal-hal yang memisahkan. Kondisi tarik menarik ini hanya mereda
di saat-saat tertentu seperti ketika terdapat kegiatan bersama atau ketika baru
terjadinya suatu penyelesaian konflik-konflik.
64
Pembauran area tinggal dengan segala problematikanya pada generasi
pertama ini menjadikan kedua suku terus melakukan interaksi diantara mereka.
Generasi selanjutnya yaitu generasi dua dan generasi tiga yang menyaksikan pola-
pola yeng membentuk para orang tua mereka nampaknya membuat mereka
mempelajari situasi yang ada diantara mereka. Generasi selanjutnya ini
menimbang apa yang baik dan perlu dikembangkan dan apa yang buruk dan perlu
di perbaiki. Oleh karena itu generasi selanjutnya memanfaatkan pembauran are
tinggal ini degan cara yang berbeda dengan generasi pertama.
Adapun bagi generasi dua dengan mengambil pelajaran dari apa yang
terjadi pada generasi satu, pembauran area tinggal di manfaat kan oleh mereka
untuk meningkatkan intensitas interaksi warga, sambil melibatkan diri pada setiap
permasalahan yang ditimbulkan oleh intensitas interaksi tersebut. Mereka
bertujuan mengurangi dampak perbedaan yang ada melalui pemahaman terhadap
perbedaan itu sendiri. Generasi kedua selanjutnya berhasil merubah persepsi
generasi satu terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Pada awalnya generasi
pertama akan melihat perbedaan sebagai suatu yang salah dan tidak pantas. Pada
masa selanjutnya mereka melihat perbedaan sebagai hanya perbedaan cara saja.
Hal ini berakibat pada mengecilnya dampak dari konflik yang ditimbulkan.
Kemampuan generasi dua merubah persepsi generasi satu diakibatkan karena pada
umumnya mereka sendiri mengalami negosiasi pada perbedaan budaya yang
mereka miliki. Negosiasi diantara para anak muda generasi kedua terjadi dengan
lebih akrab yaitu karena mereka umumnya bergaul sejak kecil, bermain bersama
dan memahami adanya perbedaan dengan cara yang lebih natural dan bertahap,
tidak sekaligus sebagaimana yang terjadi pada generasi satu. Generasi satu adalah
orang-orang yang telah terbentuk oleh adat kebiasaan masing-masing dan tidak
punya kesempatan mengenal kebudayaan yang lain. Pemahaman atas kondisi ini
membawa generasi dua untuk memanfaatkan pembauran area tinggal untuk
kesadaran membangun kontak antar budaya, melalukan adaptasi budaya dan
melakukan kegiatan-kegiatan bersama. Generasi dua berharap dengan
terbangunnya hal-hal tersebut menjadikan dampak konflik tidak terlalu keras
sehingga dapat menjadikan konflik sebagai sarana bernegosiasi berbagai
perbedaan budaya yang ada.
65
Adapun generasi tiga melihat pembauran area tinggal diantara mereka
sebagai sarana membangun kebudayaan yang akan menjadi cirri khas warga RT
04 dengan memanfaatkan berbagai unsur budaya yang ada. Generasi ini mejalin
keakraban dengan memanfaatkan keberbauran area tinggal diantara mereka.
Mereka berkunjung, menginap dan berdiskusi di rumah-rumah mereka secara
bergantian. Hal ini membuat strategi yang dibangun oleh generasi dua menjadi
lebih mungkin tercapai yaitu membuat perbedaan tidak berdampak pada konflik
yang keras. Melalui pembauran area tingggal pula generasi tiga membangun
kesatuan warga RT 04 yang lebih mendalam.
Pada dasarnya diawal percmpuran budaya antara suku Sunda dan suku
Madura tidak terdapat lokasi khusus yang di jadikan arena berinteraksi pada
generasi satu. Karena pada dasarnya kontak yang terjadi cenderung menimbulkan
masalah bagi mereka. Arena interaksi baru tercipta ketika generasi tiga yang pada
umumnya adalah anak-anak sekolah mulai membantu orang tunya
mengembangkan usaha mereka yang ada di lingkungan tinggal. Arena interaksi
yang pertama dan utama yang tercipta adalah di toko material milik Kiki. Arena
interasi ini selanjutnya menginspirasi lahirnya arena-arena interaksi yang lainnya
seperti pangkalan becak Pak Kholik, bengkel motor Pak Jamal dan Warug
sembako Ceu Emmi. Kiki adalah genrasi tiga yang mengelola toko material milik
ayahnya. Toko material itu sudah ada sejak lama sekali, namun ia hanya berfungsi
sebagai ladang usaha milik orang tua Kiki. Baru ketika Kiki mengelola toko
tersebut, toko material berfungsi sebagai arena interaksi warga RT 04. Di toko ini
anak-anak muda berkumpul untuk mengobrol, bercanda, berbagi pengalaman,
hingga berdiskusi berbagai permasalahan. Letak toko material yang berada tepat
di pangkal jalan lokasi pemukiman pinggir jalan memungkinkan semua orang
untuk melihat kegiatan anak-anak muda tersebut. Kondisi ini memobilisasi
generasi yang lainnya untuk sekedar ikut bergabung mengobrol dengan mereka
sepulang dari mereka bekerja, memanfaatkan perkumpulan tersebut sebagai basis
mobilisasi anak muda, hingga menciptakan arena-arena interaksi yang kemudian
banyak terdapat di RT 04 dengan berbagai variasinya sesuai level generasi yang
menciptakannya. Generasi satu selanjutnya menciptakan arena interasi di dalam
lingkungan tinggal berupa pangkalan becak, bengkel motor dan warung sembako.
66
Sedangkan generasi dua menambahkan fungsi masjid untuk mengembangkan
kegiatan interaksi di sana.
Adapun generasi dua memanfaatkan perkumpulan anak-anak muda
generasi tiga ini sebagai alat pembauran antar suku yang lebih efektif. Generasi
dua kemudian mendorong generasi tiga untuk memegang kendali di setiap
kegiatan masjid yang di selenggarakan. Dari mulai kepanitiaan hingga pembagian
tugas pada seluruh warga RT 04 dalam mensukseskan setiap acara yang diadakan.
Keakraban antar suku yang terjadi pada generasi tiga selanjutnya menginspirasi
generasi satu untuk lebih membayr satu sama lain.
Arena Interaksi di Luar Lingkungan Tinggal
Kegiatan ekonomi warga terdiri dari sebagai pedagang sejumlah 110
orang, pegawai kelurahan sebanyak 20 orang, pegawai pabrik dan swalayan
sebanyak 27, guru sekolah tingkat SD, SMP dan SMA, serta perguruan tinggi
sebanyak 10 orang. Keadaan ini membuat di samping ekonomi warga secara
umum terbilang cukup baik, juga disisi lain menjadi keuntungan tersendiri dari
segi sosial, yaitu sesama warga RT 04 dapat saling berinteraksi bukan saja di
wilayah pemukimannya, namun juga ditempat mereka berdagang karena sama-
sama sebagai pedagang. Pak Husen bercerita, sebagai penjual sate di area
jembatan merah dirinya pernah juga kehabisan nasi untuk di jual, sementara
pembeli meminta nasi untuk teman makan satenya. Menghadapi masalah ini maka
Pak Husen akan meminjam nasi pada Pak Amri, pedagang soto yang berjualan di
sebelah tempat dirinya berjualan. Pak Husen memilih meminjam nasi kepada pak
Amri karena Pak Amri adalah warga RT 04 juga sebagai mana dirinya meskipun
Pak Amri adalah orang suku Sunda. Pak Amri juga akan melakukan hal yang
sama, yaitu dia akan meminta pertolongan pada Pak Husen karena merasa lebih
dekat dengan sesama RT 04. Keberadaan mereka di luar area tinggal nampaknya
menjadikan satu sama lain saling merasa lebih membutuhkan. Terkadang interaksi
lewat saling tolong menolong ini berlanjut di area tinggal. Pak Husen akan
sengaja datang kerumah Pak Amri dengan alasan mengembalikan nasi yang di
pinjamnya. Setelah itu biasanya mereka akan mengobrol.
Interaksi di tempat dagang pun terkadang terjadi karena Pak Lupi seorang
Madura yang berjualan soto ingin makan bubur, maka ia akan makan bubur jualan
67
Pak Husin, orang sunda yang berjualan di sebelah tempat ia berjualan. Pak Lupi
melakukan hal tersebut agar ada kesempatan mengobrol dengan Pak Husin,
karena mereka sama-sama sebagai warga RT 04. Mengobrol di tempat berjualan
bagi mereka berfungsi mengusir kebosanan, terutama ketika sepi pelanggan. Hal
itu akan semakin menyenangkan jika mengobrol dengan tetangga sesama warga
RT 04, meskipun mereka tetap mengobrol juga dengan sesama penjul lainnya
yang bukan dari RT 04. Adapun Pak Husin mengaku sering membantu Pak Lupi
melayani pembelinya, jika kebetulan di tempatnya sedang sepi pembeli.
Menurutnya ia senang membantu Pak Lupi karena merasa sama-sama sebagai
warga RT 04.
Pak Syamsudin selalu melewati pertigaan Mawar yang merupakan area
pergadangan ketika pulang dari bekerja. Biasanya ia akan membeli beberapa
makanan untuk makan malam keluarganya. Keluarga Pak Syamsudin senang
makan malamnya ditemani martabak telor. Pak Syamsudin akan membeli
martabak telot Pak Tupi. Ia juga sering kali membeli mie ayam Pak Sabar.
Baginya membeli makanan dari sesama warga RT 04 merupakan cara
mendekatkan diri satu sama lain apalagi para penjual itu terdiri dari suku Sunda
dan suku Madura. Demikian juga pak Agus yang bekerja di Jakarta. Sepulang
bekerja ia akan menyempatkan diri untuk membeli sate favoritnya dan juga favorit
keluarganya. Keluarga Pak Agus suka pada sate Pak Madi. Menurut mereka sate
Pak Madi sangat khas kemaduraannya, dan karena ketika dirinya membeli sate
pada Pak Madi, maka Pak Agus sering kali mendapatkan tambahan sate dari Pak
Madi.
Demikian juga dengan Jajah. Jajah adalah orang Sunda yang berprofesi
sebagai guru TK. Tempat mengajarnya yang berdekatan dengan area perdagangan
di pertigaan Mawar membuatnya sering mampir ke area itu untuk membeli
makanan. Terkadang ia membeli makanan pada sesama warga RT 04 karena bisa
sambil mengobrol dengan mereka.
Adapun pak Jojo, orang Sunda yang bekerja di kantor kelurahan Kebon
Kelapa, karena kantornya berseberangan dengan area perdagangan Mawar, maka
ketika makan siang ia akan memilih makan di area ini sambil mengobrol dengan
sesama warga RT 04 yang berjualan di sana.
68
“kita mah kebanyakan kerjanya ya disekitar kita aja, soalnya tempat
kerjanya deket-deket sini. Jadi kita mah sering ketemu satu sama
lain. Dirumah ketemu, di luar RT ketemu. Saya kerja di kantor
kelurahan kan, mau makan siang, nyebrang dikit, ketemu tuh si Tupi
(madura generasi 1) yang jualan soto Madura, atau si Husin (Sunda
generasi 1) disebelah Tupi, jualan bubur”(Ujang Madi, sunda
generasi 1)
Dari penjelasan di atas menggambarkan bahwa arena interaksi warga RT
04 diluar lingkungan tinggalnya yang pertama adalah lokasi kantor kelurahan
yang berhadapan dengan lokasi perdagangan kaki lima di sekitar pertigaan Jalan
Mawar. Lokasi antara area perdagangan dengan kantor kelurahan Kebon Kelapa
ini dipisah oleh jalan beraspal yang tidak terlalu lebar. Di kantor kelurakan Kebon
Kelapa terdapat beberapa warga RT 04 yang bekerja sebagai staf disana. Untuk
makan siang mereka akan menyeberang jalan dan menemukan beberapa pedagang
yang juga merupakan warga RT 04. Para pedagang ini terdiri pula dari beberapa
suku Sunda dan beberapa suku Madura. Keadaan ini membuat terjalin interaksi
diantara mereka yang memungkinkan satu sama lain merasa dekat akibat sama-
sama sebagai warga RT 04. Demikian juga di antara pedagang yang bersebelahan
lokasi dagang tersebut, mereka yang terdiri dari suku Sunda dan suku Madura itu
menjadi sering mengobrol dan menjalin keakraban karena sama-sama sebagai
warga RT 04.
Lokasi interaksi di luar lingkungan tinggal yang kedua adalah lokasi
pedagang kaki lima di sepanjang Jembatan Merah. Lokasi ini adalah tempat
pemberhentian orang-orang yang menuju arah kelurahan Kebon Kelapa, dan juga
RT 04. Beberapa para pedagang di jembatan merah adalah orang-orang RT 04
yang terdiri dari suku Sunda dan suku Madura. Mereka berinteraksi dan saling
membantu keperluan dagang diantara mereka. Interaksi juga terjadi ketika para
pegawai kantor dan juga para guru yang berasal dari RT 04 berhenti sejenak untuk
membeli beberapa makanan kepada mereka yang berdagang di Jembatan Merah.
Para karyawan dan guru tersebut mengutamakan membeli makanan jadi pada
sesama warga RT 04 bukan saja karena alasan kedekatan sebagai sesama warga
RT 04, namun juga karena seringnya mereka mendapat tambahan dari apa yang
mereka beli jika mereka membeli pada sesama orang RT 04, disamping tentu saja
69
karena mereka merasakan makanan yang dijual memang enak dan layak untuk di
beli sebagai oleh-oleh di rumah.
Artinya selain interaksi yang terjadi antara pedagang, interaksi juga terjadi
antara pedagang dengan sesama warga RT 04 yang bekerja sebagai pegawai
kelurahan, karena kantor kelurahan pun berdekatan dengan tempat perdagangan.
Interaksi dengan warga RT 04 yang berprofesi sebagai guru, dapat terjadi saat
para pengajar pulang dari tempatnya bekerja melalui kantor kelurahan maupun
area perdagangan. Dan meskipun terdapat beberapa warga yang memilki aktifitas
ekonomi di luar Bogor seperti Jakarta, Depok dan Tangerang, namun orang-orang
ini tetap memiliki waktu berinteraksi yaitu di masjid, karena secara kebetulan
mereka adalah orang-orang yang sering ke mesjid untuk melakukan ritual shalat
dan yang lainya. Meskipun demikian masih terdapat warga RT 04 yang menjadi
pengangguran, dan biasanya komunitas ini tidak terlalu intens berinteraksi
Saya kan kerja di Jakarta, jadi ketemu sama orang RT 04 ya di
maasjid, subuh, magrib atau isya.kadang juga saya berkunjung
kerumah Pak Syamsudin, lagian pulang kerja saya suka beli
martabaknya orang Madura yang dipinggir jalan itu,itu Pak
Samat, sekalian lewat” (Agus, Sunda, generasi 2)
Sebagaiman di sebutkan terdahulu di area dalam RT 04 kegiatan ekonomi
warga terkonsentrasi pada warung sembako, toko material, pangkalan becak dan
bengkel motor. Tempat-tempat yang kemudian juga berfungsi sebagai tempat
interaksi warga, disamping interaksi warga yang terjadi di masjid, dan merupakan
tempat interaksi yang paling efektif karena menjadi pusat interaksi sosial warga
RT 04.
Kegiatan ekonomi warga yang tersebar pada perdagangan, pegawai
kelurahan ataupun swasta, pofesional dalam hal ini tenaga pengajar, warung
sembako, toko material, pangkalan becak, bengkel motor memberi kesempatan
pada warga untuk melakukan interaksi. Demikian pula keberadaan masjid yang
sejak awal pembangunannya, meski interaksi diwarnai beberapa konflik, telah
menjadi alat pemersatu warga, dan telah membentuk pola interaksi yang khas bagi
warga RT 04.
“ya bisa dibilang sesama warga sering ngumpul, itu di toko
material Pak Shaleh (Madura generasi 1), yang jaga kan anaknya
si Kiki (madura generasi 3) anak mudanya hobi nongkrong disitu,
70
ada juga yang ngumpul sambil nyantainya di pangkalan becak Pak
Kholik (sunda generasi 1) atau toko si Adi (Sunda generasi 3)
disebelahnya toko Kiki kan, banyak lagi lah, saya juga kalau pas
pulang kerja sering ikutan nongkrong sebentar, kan sekalian lewat,
itung-itung silaturahmi” (ujang Madi, Sunda, generasi 1)
Interaksi antar warga di RT 04 terutama di arena lokasi tinggal sudah
terjalin sejak awal sekali dengan berbagai dinamikanya. Pada awal interaksi
diwarnai stereotipe yang melekat pada suku Madura. Suku Madura dianggap tidak
ramah oleh suku Sunda yang merupakan penduduk setempat. Berbagai stereotipe
negatif di tujukan pada pendatang pertama suku Madura ini seperti berwatak
keras, pemarah dan mudah mengeluarkan senjatanya. Gambaran ini seakan
dibenarkan oleh pendatang pertama suku Madura yang bermukim di RT 04.
Pencitraan buruk tersebut menurut suku Sunda karena orang Madura yang
pertama datang beserta keluarganya itu berwajah tidak ramah, jarang bertegur
sapa saat berpapasan dan sering terlihat mengasah celuritnya didepan rumahnya
yang disaksikan oleh orang Sunda yang kebetulan lewat didepan rumahnya.
Mereka mengartikan semua sikap yang terlihat pada orang Madura itu sebagai
ketidakramahan. Meskipun terbukti hingga penelitian ini dilakukan bahwa orang
pertama yang datang tesebut maupun keluarganya tidak pernah mengalami
bentrok atau perseteruan dengan pribumi.
Kondisi di atas telah cukup menjadikan interaksi antara suku Sunda dan
suku Madura tidak berjalan baik, yaitu ditandai penghindaran orang Sunda untuk
lewat didepan rumah orang Madura terutama ketika orang Madura ini sedang
mengasah cluritnya, ataupun menghindari berpapasan dengan orang tersebut.
Bahkan orang Sunda merasa tidak tenang bertetangga dengan orang Madura
tersebut. Sedangkan bagi orang Madura sendiri, penghindaran suku Sunda
terhadapnya membuat mereka menganggap suku Sunda enggan bergaul dan suka
lainnya, dan berkumpul dengan sesama warga Sunda saja. Berbeda dengan suku
Sunda yang merasa terganggu dengan segala tindak tanduk suku Madura, suku
Madura tidak terlalu mempermasalahkan sikap suku Sunda. Bagi suku Madura
merupakan hak suku Sunda untuk tidak mau bergaul dengan mereka. Sedangan
suku Sunda justru menganggap hal yang benar adalah menjalin keakraban dengan
sesama tetangga. Belakangan hal ini menimbulkan konflik di antara mereka.
71
Iya kalo Pak Munara itu bukan galak, cuman memang begitu
wataknya, enggak banyak ngomong, orangnya mah baik, orang
Sunda aja yang takut duluan,buktinya kan dia enggak pernah
berantem, orang Sunda kan senengnya ngumpul ya bareng
orang-orangnya sendiri, sambil mancing gitu, tapi ya suku Sunda
kalau kita sapa ya baik lah” (Husen Madura generasi 1)
Hal tersebut tidak berlangsung lama, karena selang tiga tahun dari
kehadiran orang pertama tersebut, datanglah keluarga Madura yang lainnya untuk
bertempat tinggal di RT 04. Tipe orang yang datang kemudian ini dipandang
berbeda dengan pendatang pertama, yaitu lebih ramah, mau bertegur sapa dan
berwajah lebih bersahabat. Hal ini membuat suku Sunda mulai membuka diri dan
bergaul dengan orang Madura, dan selanjutnya hubungan antar warga diatara
kedua suku tersebut terjalin baik.
Proses perubahan persepsi diantara suku Sunda dan suku Madura ini tidak
pernah dibicarakan secara tebuka diantara kedua suku tersebut, yang terjadi
hanyalah upaya masing-masing memperbaiki persepsinya sendiri. Proses ini pula
yang kemudian sedikit demi sedikit menghapus stereotipe suku Madura yang
paling mereka takuti. Bahkan selanjutnya mereka mengakui bahwa pada dasarnya
setiap orang ada yang baik dan ada yang buruk, bukan karena seseorang bersuku
Madura, maka ia pasti berwatak buruk, sebagaimana sebaliknya pada suku Sunda
pun terdapat orang baik dan buruk. Proses ini nampaknya memperbaiki corak
interaksi dari yang tadinya negatif menjadi interaksi yang positif.
Ya ngapain galak-galak, kita disini cuman cari hidup, numpang
kita ya harus baik sama tetangga, peduli lingkungan lah”
(Bunawi, Madura, generasi 1)
“iya menurut saya mah sama aja sih mau Madura kek, mau
Sunda kek, yang baik mah baik, yang galak ya galak”(Arif,
Sunda, generasi 2)
Semakin positifnya hubungan diantar keduanya juga terlihat dari cara
mereka menceritakan kasus pembangunan masjid, dimana mereka menceritakan
dulu kejadian musyawarah dan kesepakatan bersama perihal akan dibangunnya
masjid di wilayah mereka dengan dana swadaya seluruh warga RT 04. Masing-
masing suku mengakui kerukunan yang sudah ada antar warga, bahwa konflik di
anggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam suatu masyarakat
berbeda suku bangsa. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu di
72
hindari. Oleh karena itu, konflik harus di jadikan sebagai suatu hal yang
bermanfaat guna mendorong terjadinya motivasi untuk melakukan inovasi atau
perubahan di dalam tubuh masyarakat itu sendiri.
Di RT 04 mah boleh dibilang sejak awal juga kita harmonis ya
suku Sunda suku Madura, mesjid dibangunkan dari obrolan-
obrolan kita pas abis jumatan gitu, wah ga kebagian tempat deui
euy, gitu, terus musyawarah lah kita untuk buat masjid, ya soal
pernah enggak setuju mah ya biasa lah namanya juga orang
banyak” (Syamsudin, Madura, generasi 2)
Seperti di sebutkan sebelumnya bahwa interaksi dan komunikasi antar
warga RT 04 dapat terjadi baik didalam wilayah tinggal maupun diluar wilayah
tinggalnya. Menurut keterangan informan, di warung-warung sembako interaksi
antar pedagang makanan jadi berkisar seputar harga sembako hingga perbedan
adat istiadat dalam hal makanan, hingga perayaan-perayaan hari-hari besar Islam.
Interaksi juga banyak terjadi di bengkel motor milik suku Madura maupun
pangkalan becak milik suku Sunda.
Ya kalau di warung ngobrolin masakan, ya misalnya pas acara
maulidan, kita ngobrol, kalau di Madura mah biasanya maulidan
itu harus kuah ahun itu, wajib, kalau Sunda yang harus ada itu
tumpeng gitu jadi kita tau lah adat istiadat yang beda, seneng aja
jadi saling tau (Nipah, Madura, generasi 1)
Adapun di luar wilayah tinggal sebagaimana telah disebutkan, terjadi
setelah interaksi di area wilayah tinggal semakin membaik. Tidak terdapat konflik
di area ini. Orang Madura yang berprofesi sebagai pedagang banyak berinteraksi
dengan sesama pedagang yang berasal dari suku Sunda, karena banyak dari
mereka yang bersebelahan lokasi dagangnya. Para pedagang inipun dapat pula
melakukan interaksi dengan warga RT 04 yang berprofesi sebagi pegawai
kelurahan, karena lokasi kantor kelurahan yang berseberangan dengan lokasi
perdagangan. Demikian juga interaksi dapat terjadi dengan warga RT 04 yang
hendak pulang kerja sebagai guru atau yang bekerja di luar kota, karena mereka
melalui jalan yang ditempati para pedagang dan kantor kelurahan. Bahkan tidak
jarang terjadi para pegawai itu kemudian membeli makanan jadi dari sesama
warga RT 04 saat mereka pulang kerja.
73
Saya senengnya sate, kalau pas pulang ngajar, kadang mampir
buat beli sate ke Pak husen yang saya seneng mah, bumbunya
banyak soalnya, (Jajah, Sunda, generasi 2)
Arena interaksi di luar lingkungan tinggal terjadi pada generasi satu dan
generasi dua. Arena ini tercipta setelah arena interaksi di dalam lingkungan
tinggal di ciptakan oleh generasi tiga dan generasi dua dan di rasakan
kemanfaatannya oleh seluruh warga RT 04. Arena interaksi di luar lingkungan
tinggal yang berupa berdekatan lokasi perdagangan, bersebrangan dengan lokasi
kantor kelurahan dimana banyak terdapat pegawai kelurakan yang merupakan
warga RT 04, serta kegiatan membeli makanan jadi warga RT 04 ketika mereka
pulang kerja kepada sesama warga RT 04 yang berdagang di area yang dilalui
oleh para pegawai yang pulang kantor.
Arena interaksi di luar lingkungan tinggal ini di rasakan sangat bermanfaat
bagi generasi dua dan generasi tiga sebagai alat mendekatkan antar suku. Dari
mulai memanfaatkan waktu luang unutk sekedar ngobrol mengusir kebosanan di
tengah-tengah aktifitas berdagang, hingga mengenbangkan bisnis di antara
mereka. Kesamaan fungsi pada terciptanya arena-arena interaksi antar warga di
RT 04 selanjutnya di manfaatkan oleh seluruh warga dalam membangun sinergi-
sinerga diantara mereka. Banyaknya terjalin berbagai hubungan baik berupa
kerjasama dagang, diskusi-diskusi berbagai permasalah warga dan diskusi agama,
serta terjadinya banyak perkawinan antar suku adalah akibat dari sinergi yang
tercipta diantara suku Sunda dan suku Madura.
Kepuasan yang mereka dapatkan dari terciptanya pembauran diantara
mereka memberi ruang terutama bagi generasi tiga untuk menciptakan identita
baru yang menjadi cirri khas seluruh warga melalui berbagai kegiatan bersama
yang di lakukan. Ketika penelitian ini di lakukan berbagai pujian dari warga yang
berasal di luar RT 04 sering di tujukan pada para anak muda ini. Mereka
dianggap berhasil menyatukan warga dalam setiap kegiatan sehingga kegiatan itu
terkesan akrab dan unik.
Arena interaksi di dalam dan di luar area tinggal serta keseluruhan proses
interaksi warga RT 04 berakibat terjalinnya keakraban diantara mereka. Hal ini
pulalah yang mendukung dijadikannya proses interaksi di masjid sebagai pusat
interaksi warga. Segala hal yang menyangkut tentang masjid baik dari awal
74
pembangunan hingga beragam kegiatan yang dilaksanakan di masjid, termasuk
konflik dan penyelesaiannya selalu menjadi tema utama dan pusat perhatian
seluruh warga. Semua informan mengetahui kasus yang menyangkut masjid, dari
permasalahan yang menyertai pembangunannya hingga musyawarah warga yang
menjadi penyelesaiannya. Sedangkan terhadap beberapa peristiwa konflik yang
selain masalah masjid, terdapat beberapa informan yang tidak mengetahui, atau
merasa tidak terlibat, dan mereka bangga pada hasil yang kemudian dapat mereka
capai baik berupa kesuksesan pembangunan masjid, kesuksesan pada setiap
kegiatan yang diselenggarakan di masjid, sampai terbangunnya kerekatan
hubungan antar warga yang semakin baik dari generasi ke generasi
berlatarbelakang kegiatan masjid.
Iya sih meskipun kadang ada konflik, bahkan pernah cukup besar
dalam pandangan orang tua kita, tapi ya masjid itu yang
mempersatukan warga RT 04, semua antusias ambil bagian
pokoknya kalau pas ada acara di masjid” (Syamsudin, Madura,
generasi 2)
Keseluruhan proses ini berdampak pada hilangnya stereotipe Madura di
mata suku Sunda, yaitu tidak lagi menganggap orang Madura galak, mereka mulai
merasa tidak takut pada orang Madura, dan tidak keberatan bertetangga dengan
suku Madura. Suku Sunda menyebut kondisi tersebut sebagai upaya kedamaian
hidup bermasyarakat, dengan mengutamakan hubungan baik dan upaya-upaya
menjauh dari konflik.
“Sekarang mah yang penting hidup rukun, tidak saling jegal,
egois atau apalah, malah saya mah prinsipnya mengalah
meskipun saya benar, kalau itu untuk kebaikan bersama, kan
orang Madura juga udah pada baik sekarang mah ya yang tua,
apalagi yang mudanya, walaupun dengan caranya masing-
masing, yang lebih tua biasanya ya sekedar nyapa kalau lagi
ketemu, atau yang lebih akrab lagi diskusi seperti Pak Agus dan
Pak Syamsudin, kalau yang lebih muda ya udah bersahabatlah
mereka mah, saling kerjasama, tolong menolong”(Arif, Sunda,
generasi 2)
75
26
Gambar 2. Peta Arena interaksi didalam lingkungan tinggal dan diluar
lingkungan tinggal suku Sunda dan suku Madura.
Berbagai Konflik Antara Suku Sunda dan Suku Madura
Terjadinya Konflik di RT 04 RW10
Konflik antarbudaya di RT 04 sebenarnya bukan merupakan fenomena
baru bagi warga RT 04 sendiri. Terdapat beberapa konflik yang diceritakan oleh
mereka dan dianggap menemukan penyelesaian yang memuaskan semua pihak,
sehingga hubungan menjadi semakin harmonis. Namun disisi lain terdapat pula
konflik-konflik yang sifatnya masih terpendam, belum mengemuka, dan masih
menjadi semacam duri dalam keharmonisan hidup di RT 04, dan masih
memerlukan kesediaan masing-masing pihak untuk menemukan akar masalah
serta cara menyelesaikannya.
Beberapa konflik yang kemudian dapat diselesaikan dan menjadi media
untuk menjalin komunikasi antarbudya yang lebih efektif antara lain adalah:
Kasus Bermuka Galak
“Ini saya bicara soal suku dulu ya, saya mah melihat memang ada
perubahan pada orang Madura, dulu ya, waktu pertama kali orang
madura datang kesini, itu pak Munara, wuah orangnya keras,
galak keliatan dari mukanya juga, maen ngeluarin senjata aja
76
kalau ada masalah teh, apa itu celurit, iya bener, dia itu di takuti
pokoknya mah. Orangnya dingin, enggak pernah nyapa, kecuali di
sapa. Gitu dulu teh ya,saya mah sampe takut mau lewat depan
rumahnya tapi kesini kesini, Pak Siddik, terus Pak Bunawi, enggak
tuh, ya walaupun ada juga yang masih kaku, kaya pak jamal, tapi
tetep enggak separah yang saya sebut tadi ya.“(Jojo, Sunda,
generasi 1)
Di masa awal kedatangan suku Madura ke wilayah RT 04 yaitu di tahun
70-an. Pendatang pertama itu bernama Pak Munara. Dia datang ke Bogor bersama
istri dan keempat anaknya. Rumah tinggal Pak Munara berada di area pinggir
jalan. Hal ini menyebabkan setiap waktu orang yang berlalu lalang di jalan depan
rumhnya dapat melihatnya serta berbagai kegiatan yang di lakukannya. Ketika
penelitian ini dilakukaan Pak Munara sudah meninggal. Ia meninggal pada tahun
1989. menurut keterangan informan, Pak Munara berwajah galak, tidak ramah
pada tetangga, dan sering terlihat mengasah clurit di depan rumahnya. Hal ini
mengakibatkan suku Sunda enggan bertegur sapa dengan orang Madura itu,
bahkan merasa takut meskipun hanya untuk lewat di depan rumahnya, serta
merasa terganggu dengan keberadaan orang tersebut di wilayahnya.
Meskipun di akui oleh informan bahwa hingga meninggalnya pun, orang
Madura yang menjadi pendatang pertama di RT 04 itu terbukti tidak pernah
bersengketa dengan pribumi, namun dari sikap yang ditunjukannya di anggap
membenarkan stereotipe yang terlanjur melekat pada diri orang Madura. dan
meskipun selanjutnya orang Sunda mulai beranggapan bahwa setiap orang ada
yang baik ada yang buruk, tidak terbatas apakah itu suku Madura ataupun suku
Sunda.
Namun masih menurut informan, tidak selang lama, sekitar tiga tahun
kemudian, datanglah suku Madura yang lain, dengan ciri-ciri yang dianggap
berbeda dengan orang yang datang sebelumnya, yaitu di nilai lebih ramah, mau
bergaul, bahkan terkesan berperilaku sopan kepada pribumi. Hal ini membuat
mereka selanjutnya tidak lagi merasa takut pada orang Madura dan mulai tidak
keberatan bertetangga dengan mereka.
“Sekarang mah semuanya udah baik orang Maduranya, apalagi
anak mudanya, sopan banget, kaya’ si Apung itu lah. Ya
sebenernya semua suku sama aja, ada yang baik ada yang enggak
baik, tergantung orang nya kali ya.” (Nunung, Sunda, generasi 1)
77
Kasus Clurit
“Orang madura zaman dulu yang saya ngeri banget, pernah
kerumahnya Bu Nipah kan mau apa waktu itu teh lupa, eh di
ruang tamunya teh, celurit di pajang, udah mah gede, mengkilap
lagi, ih saya sampe merinding, mulai itu enggak pernah saya
kerumahnya lagi, takut. Ya sekarang mah Bu Nipah juga udah
enggak punya celurit. Saya juga tahu itu, makanya sekarangmah,
apalagi kalau ada acara, ya sampe malem, dirumahnya, udah
enggak apa-apa, ya dulu juga sebenernya mah enggak apa-apa,
orang kata Bu Nipah teh itu mah cuman pajangan, kunaon atuh
celurit gitu yang dipajang, apa kek, gitu” (Nunung, Sunda,
generasi 1)
“Kita orang Madura mah mengerti emang kudunya ngalah terus,
kita itu sebagai pendatang meskipun lebih gigih dalam berusaha,
ya tetep kudu menghargai pribumi, ya demi kerukunan bersama,
pokonya mah jauh dari berantem lah. Sampe-sampe sayamah
sekarang udah enggak punya celurit dirumah, ya karena orang
Sundanya takut katanya, ya udah saya jual, ngapain bikin orang
takut. Padahal mah itu seneng aja kenang-kenangan Madura
ceritanya sih, ya pajangan lah gitu maksudnya mah, kalau
sesama Maduranya mah itu tuh jadi topik pembicaraan, misalnya
beli dimana, bahan nya apa, ya gitu lah”
(Bunawi, Madura, generasi 1)
Diawal-awal kedatangan suku Madura ke wilayah RT 04, salah satu
kebiasaan mereka yang tidak disukai atau bahkan ditakuti oleh orang Sunda
adalah kebiasaan suku Madura meletakkan clurit di dinding ruang tamunya. Hal
tersebut membuat suku Sunda enggan datang kerumah suku Madura karena ketika
melihat clurit itu, suku Sunda merasa terancam dan takut. Menurut keterangan
informan orang Madura tidak bermaksud menakuti ataupun mengancam orang
lain, diletakkannya clurit di dinding bagi suku Madura adalah sebagai hiasan
semata.
Sebagaimana menurut keterangan Ibu Nunung, seorang suku Sunda yang
berusia 68 tahun ini. Dulu dirinya merasa takut untuk datang kerumah orang
Madura. hal ini disebabkan ia melihat clurit di pajang di dinding ruang tamu oran
Madura. Pada masa selanjutnya suku Madura akhirnya mendengar omongan-
omongan yang menyangkut ketakutan suku Sunda tersebut. Bahwa suku Sunda
selalu tidak mau ketika di ajak mampir kerumah mereka, dengan alasan takut pada
78
clurit. Pada awal di ketahuinya permasalahan ini adalah terdapat salah satu suku
Madura yaitu Pak Siddik yang melakukan kebiasaan memandikan burung-burung
peliharaannya di sore hari saat rutinitas pekerjaannya sudah selesai. Sambil
melakukan kegiatan tersebut yang dia lakukan di depan rumahnya ia sering
bertegur sapa dengan siapa saja yang lewat di depan rumahnya tersebut, termasuk
suku Sunda. Suku Sunda menganggap Pak Siddik berbeda dengan orang Madura
yang mereka kenal sebeumnya. Pak Siddik selain tidak mengasah clurit, juga mau
bertegur sapa. Ketika mereka membalas tegur sapa pak Siddik, dengan cara
mengomentari burung-burung yang sedang di mandikannya, mereka akan
bertanya banyak hal termasuk menanyakan mengapa tidak mengasah clurit
sebagaimana orang Madura lainnya. Pak Siddik hanya menjawab bahwa cluritnya
di simpan saja olehnya sehingga tidak perlu di bersihkan. Ia juga menyatakan
bahwa kegiatan yang dilakukan oleh beberapa orang Madura di depan rumahnya
itu hanya sekedar bersantai dengan membersihkan benda kenangan tanah
leluhurnya, bukan sedang mengasah senjata seolah akan berperang. Namun
kejadian itu membuat Pak Siddik dan yang lainnya sadar bahwa kebiasaan mereka
ternyata mengganggu ketenangan orang Sunda,
Kejadian ini membuat orang Madura memindah clurit tersebut ke dinding
kamar, atau tempat-tempat yang tidak terlihat oleh tamu. Mereka juga tidak lagi
mengasah clurit di depan rumhnya. Dimasa selanjutnya sebagaiman pernyataan
informan, suku Madura di RT 04 kebanyakan sudah tidak lagi memiliki senjata
khas sukunya itu. Hal ini diketahui oleh suku Sunda dan mereka mulai mau
berkunjung kerumah-rumah suku Madura. Bahkan sebagian orang Madura
megaku menjual barang-barang tersebut, dan tidak lagi menganggapnya sebagai
sesuatu yang syakral, atau identitas yang penting. Hal tersebut kemudian direspon
oleh suku Sunda dengan mau bertegur sapa dan datang ke rumah suku Madura.
Kedua konflik yang telah di jelaskan menunjukan bahawa di awal
terjadinya percampuran budaya antar suku Sunda dan suku Madura, proses
penyampaian pesan (encoding) dan penterjemahan pesan (decoding) masih
bersifat spontan. Komunikasi di antara mereka belum secara sistematis diarahkan
sebagai alat dalam memahami perbedaan-perbedaan yang ada. Hal ini
79
mengakibatkan komunikasi antarbudaya diantara kedua suku belum efektif.
Konflik-konflik yang timbul diantara kedua suku ini pun diakibatkan hal tersebut.
Masing-masing suku hanya melakukan komunikasi intrapersonal dalam
menyikapi permasalahan-permasalahan di antara mereka. Contohnya, ketika suku
Madura merasakan bahwa suku Sunda merasa takut pada beberapa kebiasaan
mereka seperti di anggap berwajah galak, mengasah clurit di depan rumah di sore
hari yang mereka lakukan sebagai teman bersantai setelah rutinitas yang padat
seharian. Atau kebiasaan dipajangnya clurit di dinding ruang tamu, yang mereka
maksudkan sebagai kenangan tanah leluhur, maka orang Madura mengubah
kebiasaan tersebut, yaitu berusaha ramah, tidak lagi mengasah clurit di depan
rumahnya dan tidak lagi memajang clurit di dinding ruang tamunya. Perubahan ini
di lakukan oleh orang Madura karena kemudian mereka tahu perbedaan
pandangan diantara mereka dengan suku Sunda. Dalam melihat kebiasaan
mengasah clurit misalnya, mereka hanya bertujuan membersihkan benda yang
mereka lihat sebagai kenang-kenangan mereka atas tanah leluhurnya yaitu
Madura. Dibersihkannya clurit oleh mereka di sore hari itu dalam pandangan
mereka agar benda tersebut tetap nampak bersih dan tidak berdebu saat di pajang
nanti. Sedangkan suku Sunda melihat kegiatan mengasah clurit suku Madura di
depan rumahnya tersebut sebagai ancaman pada mereka yang hendak lewat di
depan rumahnya. Bagi suku Sunda kebiasaan suku Madura beserta pemaknaan
yang mereka berikan pada kebiasaan-kebiasaaan tersebut membuat mereka
enggan lewat di depan rumah suku Madura terutama di sore hari saat mereka
mengasah cluritnya. Suku Sunda juga enggan bertegur sapa dengan suku Madura
karena mereka sudah menganggap suku Madura sebagai suku yang tidak baik.
Meskipun kedua konflik ini menurut kedua suku telah berhasil di
selesaikan, namun tidak terdapat diskusi ataupun musyawarah yang terjadi dalam
hal kedua konflik yang telah di sebutkan. Baik suku Sunda maupun suku Madura
tidak pernah membicarakan secara langsung perihal kesalah pahaman yang terjadi
diantara mereka. suku Sunda menyelesaikan masalah ini dengan cara merubah
persepsinya sendiri, sedangkan suku Madura hanya merespon gelagat suku Sunda
yang mereka artikan sendiri.
80
Kasus pembangunan Masjid.
“Ya pada awalnya disitu tuh mushala, kondisinya udah rusak.
Terus melalui obrolan ba’da jumatan di masjid bawah, obrolan
juga berlanjut setelah acara-acara perayaan Islam, disepakatilah
bahwa mushala akan dibongkar untuk dijadikan masjid.
Kemudian dibentuklah panitia pembangunan masjid dengan
ketua terpilih Pak Enday (Sunda, generasi 1) tapi memang
terdapat sedikit kesalahan, yaitu inisiatif melanjutkan
pembangunan mesjid tersebut tanpa melalui prosedur, yaitu
membubarkan terlebih dahulu kepengurusan lama, terus
pembentukan melalui rapat RT, nah hal itu kemudian memancing
ketidaksukaan sebagian orang Sunda (Pak Odih dan Arif, Sunda,
generasi 1 dan 2), (Pak Odih dan Arif adalah ayah dan anak,
mereka salah satu tokoh suku Sunda)menjadi merasa tidak
dilibatkan.” (Syamsudin, Madura, generasi 2)
Informasi dari informan Madura tadi dibenarkan oleh informan lainnya
yang berasal dari suku Sunda
“Sayangnya orang Madura itu senengnya langsung aja apa-apa
teh, ga pernah nanya-nanya dulu, jadilah pernah ada masalah,
yaitu orang Sunda merasa tidak diajak kerjasama dalam
pembangunan masjid. Sempet lama juga sih pada diem-dieman
antara ya kebanyakan Suku Sunda dan Suku Madura yang diem-
dieman itu.” (Jojo, Sunda, generasi 1)
Menurut keterangan informan, kasus konflik masjid terjadi pada tahun
1992 lalu. Pada awalnya terjadi perbincangan sekumpulan warga RT 04 perihal
perlunya membangun masjid sendiri, karena permasalahan ketidakmampuan
masjid Al-Hurriyah yang merupakan masjid bersama bagi warga RW 10 untuk
menampung semua jama‟ah. Ide ini nampaknya direspon baik oleh semua pihak,
yaitu warga RT 04 sendiri, maupun oleh pihak RT dan RW setempat. Karena itu
selanjutnya diadakanlah musyawarah RT dalam rangka pembentukan kepanitiaan
pembangunan masjid tersebut.
Masalah kemudian timbul, ketika kepanitiaan pembangunan masjid
mengalami kemandegan akibat Ketua panitia yaitu Pak Enday, yang merupakan
suku Sunda dan bekerja sebagai PNS, dipindahtugaskan, sehingga harus keluar
dari RT 04. Karena kefakuman tersebut, salah seorang anggota kepanitiaan yaitu
Pak Agus dari suku Sunda, berinisiatif melanjutkan kegitan pembangunan masjid
dengn cara meminta bantuan kepada beberapa warga yang dipandang mampu dan
mau mendukung kegiatan tersebut. Warga yang di mintai bantuan oleh Pak Agus
81
antara lain adalah Pak Siddik, Pak Marsuli dan Pak Jamal. Ketiganya kebetulan
merupakan orang-orang dari suku Madura. Pak Agus meminta bantuan ketiga
orang ini dikarenakan mereka termasuk orang-orang yang menurut Pak Agus
sangat bersemangat dalam upaya pembangunan masjid. Berkat inisiatif ini, serta
berkat berbagai usaha yang dilakukan ketiga orang Madura tersebut,
pembangunan masjid dapat dilanjutkan.
Namun cara ini ternyata tidak disukai oleh sebagian orang Sunda karena
dianggap menyalahi aturan, yaitu tidak melalui forum musyawarah. Oleh sebab
itu selang beberapa waktu kemudian, terdengar isu bahwa seorang pemimpin dari
suku Sunda tidak mau ikut serta menyukseskan pembangunan masjid. Dan
menurut keterangan informan, hal ini mengakibatkan orang-orang Sunda yang
lainnya pun melakukan hal yang sama yaitu tidak mau lagi terlibat dalam urusan
pembangunan masjid. Sejak itu suasana di RT 04 menjadi terbagi dua golongan,
yaitu golongan Madura dan gologan Sunda, dimana masing-masing golongan
enggan untuk saling bertegur sapa, dan menjadi terkesan saling bermusuhan.
Menyadari keadaan yang semakin tidak kondusif dan mulai mengarah
pada konflik, maka beberapa anak muda saat itu berupaya mencari penyelesaian
atas masalah yang terjadi. Para anak muda itu antara lain adalah Pak Syamsudin,
Pak Oji dan Pak Marsuli. Berkat usaha para anak muda ini lah maka disepakatilah
agar ketua RT 04 mengundang semua pihak yang berseteru untuk
menyelenggarakan forum musyawarah, yang karena pertimbangan tempat, maka
musyawarahpun diadakan disalah satu rumah warga yaitu di TPA milik Pak
Syamsudin. Forum musyawarah dilaksanakan dengan terlebih dahulu membaca
sholawat bersama, dengan harapan dengan bacaan-bacaan shalawat pihak-pihak
yang bersengketa mampu meredam amarahnya dan dapat menyelesaikan masalah
dengan cara terbaik.
“Ada yang ngomong si Madura kenceng suaranya, jadi bikin
kaget lah, si Sunda yang suka diem aja padahal enggak setuju
lah, terus saya juga jadi tahu untuk melibatkan mereka dalam
kepengurusan mesjid itu kudu menawarkannya berkali-kali, terus
orang Madura juga jadi mawas diri untuk ga langsung aja apa-
apa teh kudu diomongin dulu lah semuanya itu. Setelah itu mah
berjalan lancar, rapat berjalan lancar, panitia pembangunan
masjid diresmikan, ketuanya pak Ukuy,(Sunda, generasi 1)
wakilnya saya (Syamsudin, madura, generasi 2)dan semua warga
82
terlibat, baik secara materiel, dengan cara setiap keluarga
menyumbang sebanyak seratus ribu, tapi boleh nyicil, dan warga
bersama-sama mencari dana kemana ajah. Nah kalau udah gitu
tuh kita harus ngalah, denga datang kerumahnya, tanya apa
maunya, biasanya mereka baru mau ngomong apa maunya, tidak
setujunya kenapa.”(Kulsum, Madura, generasi 2)
Menurut keterangan informan, forum musyawarah berjalan dengan baik,
dimana masing-masing pihak dalam hal ini suku Sunda mengungkapkan sebab
musabab ketidaksetujuannya yaitu tidak bermusyawarah dalam melanjutkan
pembangunan mesjid dan tidak terlebih dahulu membubarkan kepanitiaan yang
fakum. Artinya bagi suku Sunda masalah terjadi terutama disebabkan kegiatan
melanjutkan pembangunan masjid tidak berlandaskan kesepakatan forum resmi
Hal ini membuat suku Sunda merasa tidak dilibatkan, mengingat orang-orang
yang kemudian menangani pembangunan masjid, dalam pandangan mereka,
didominasi oleh orang Madura. Orang Madura pun kemudian menyatakan
pendapatnya bahwa mereka tidak bermaksud menguasai masjid, karena mereka
hanya membantu para panitia pembangunan masjid, dimana panitia itu berisikan
orang-orang Sunda juga.
“Padahal kan sebenernya saya kan juga termasuk penitia
pembangunan masjid waktu itu, karena ketuanya Pak Enday
(Sunda, generasi 1) tidak aktif disebabkan pindah tugas dan beliu
tidak tinggal di sini lagi, jadi saya (Pak Agus) mengajak yang
panitia yang masih ada, sambil minta bantuan Pak Siddiq
(Madura, generasi 1), Pak Mawi (Madura, generasi 1)dan Pak
Marsuli (Madura, generasi 2)utuk meneruskan pembangunan
masjid ini, eh ternyata itu malah dianggap tidak etis, enggak
musyawarah dulu katanya, itu yang ngomong ya Pak Odih
(Sunda, generasi 1) jadinya orang-orang Madura sempet heran
sama sikap Pak Odih, kok begitu aja jadi masalah, kan yang
penting pembangunan masjid berjalan.” (Agus, Sunda, generasi
2)
“Karena itu, saya (Syamsudin) bersama-sama dengan Pak Agus
(Sunda, generasi 2)yang waktu itu salah satu panitia
pembangunan masjid, berinisiatif mengumpulkan semua orang
RT 04 terutama yang berseteru untuk duduk bareng,
membicarakan permasalahan ini. Waktu itu sebelum rapat
dimulai, sambil nunggu Pak Odih waktu itu, kita jadi ngobrol-
ngobrol dulu, nah disitu orang Madura teh ngomong bahwa
mereka tidak bermaksud memonopoli pembangunan masjid,
begitu juga orang Sunda ngomong mereka hanya merasa tidak
83
dilibatkan karena tidak ditawari untuk bekerjasama”
(Syamsudin, Madura, generasi 2)
Terselenggaranya forum musyawarah ini nampaknya berdampak sangat
baik. Kegiatan pembangunan masjid yang kemudian berjalan baik hingga masjid
selesai dibangun, juga berlanjut pada setiap kegiatan masjid, menjadi perekat bagi
kehidupan warga RT 04 yang harmonis dan saling mendukung. Sebagimana
keterangan informan
“Setelah itu mah berjalan lancar, rapat berjalan lancar, panitia
pembangunan masjid diresmikan, ketuanya Pak Ukuy (Sunda,
generasi 1) , wakilnya Pak Syamsudin (madura, generasi 2) dan
semua warga terlibat, baik secara materil, dengan cara setiap
keluarga menyumbang sebanyak seratus ribu, tapi boleh nyicil,
dan warga bersama-sama mencari dana kemana ajah.
Alhamdulilah, pembangunan mesjid selesai lebih cepat dari
perkiraan” (Marsuli, Madura, generasi 1)
Pada kasus pembangunan masjid adalah kasus konflik terbuka yang
pertama terjadi di RT 04. Kasus ini terjadi setelah suku Sunda dan suku Madura
hidup berdampingan selama kurang lebih 20 tahun. Pesan non verbal suku Sunda
berupa diam dan kembali menghindar bertegur sapa, diartikan sebagai bentuk
ketidaksetujuan oleh anak-anak muda RT 04. Kemampuan anak-anaka muda
tersebut memahami watak suku Sunda dengan lebih baik daripada para orang tua
mereka adalah akibat mereka sudah bergaul sejak kecil dengan mereka, baik di
sekolah maupun sebagai teman sepermaianan sehingga mereka lebih mengenal
watak suku Sunda.
Situasi tersebut dilihat sebagai suatu konflik oleh para anak muda RT 04,
baik anak muda suku Sunda maupun anak muda suku Madura, sehingga mereka
merespon kondisi ini dengan tawaran diadakannya forum musyawarah untuk
mengungkapkan permasalahan sekaligus mencari solusinya. Tawaran ini mereka
lakukan dengan cara sekumpuan anak muda yang terdiri dari anak muda suku
Sunda seperti Pak Agus, Pak Oji dan Pak Jajat bersama anak-anak muda suku
Madura seperti Pak Syamsudin, Pak Heri dan Pak Marsuli bersama-sama
mendatangi rumah-rumah orang tua mereka baik orang tua suku Sunda maupun
orang tua suku Madura. Di rumah-rumah para orang tua itu mereka akan
mendengarkan keluhan mereka dan hal-hal yang mereka tidak setujui. Setelah itu
84
para anak muda itu akan menawarkan solusi di selenggarakannya forum
musyawarah pada para orang tua tersebut.
Kegiatan ini nampaknya berhasil menggugah kedua pihak baik suku Sunda
maupun suku Madura untuk merespon ajakan para anak muda tersebut. Mereka
kemudian mau untuk menghadiri forum musyawarah dalam rangka
menyelesaikan permasalahan diantara mereka. Selanjutnya berkat para anak muda
ini dan forum musyawarah, masalah berhasil di selesaikan.
Orang-orang yang disebut sebagai anak muda saat peristiwa konflik masjid
terjadi adalah mereka yang dalam penelitian ini disebut sebagai generasi kedua,
yaitu anak-anak dari suku Madura dan suku Sunda yang mengalami persentuhan
antarbudaya secara lebih akrab, berupa bersekolah di tempat yang sama, atau
sebagai teman sepermainan sehingga diantara mereka telah berkembang pola
hidup sebagai sesama warga RT 04. Meraka saling bertemu untuk membicarakan
situasi konflik dan dengan meminta dukungan ketua RT setempat maka
diadakanlah forum musyawarah sebagai media dalam meyelesaikan konflik yang
terjadi, hingga tercapai kesepakatan-kesepakatan dan perdamaian diantara kedua
suku yang berseteru tersebut.
Terdapat kaitan antara budaya komunikasi konteks tinggi dan budaya
konteks rendah dengan terjadinya konflik masjid ini, demikian juga pada konflik-
konflik berikutnya diantara suku Sunda dan suku Madura. Gaya komunikasi
konteks tinggi suku Sunda dicirikan menggunakan kata-kata implisit dan ambigu
dalam meyatakan ketidak setujuan. Gaya komuniksai ini dilakukan untuk
menghindari kesan asertif. Suku Madura terbiasa menggunakan kalimat langsung
tanpa basa-basi dalam menyampaikan pesan. Gaya komunikasi model ini
membuat mereka tidak terlalu banyak menggunakan bahasa non verbal, termasuk
tidak akan merespon pesan yang tidak di sampaikan secara langsung. Dalam kasus
kepanitiaan pembangunan masjid ketika suku Madura mengambil inisiatif
melanjutkan pembangunan masjid yang terbengkalai akibat kefakuman panitia
pembangunan masjid, mendapatkan respon diam dan menghindari bertegur sapa
dari suku Sunda. Pesan “tidak setuju” suku Sunda yang disampaikan dalam
bentuk non verbal tersebut tidak dapat dipahami suku Madura yang berbudaya
konteks rendah. Suku Madura cenderung menganggap sikap diam suku Sunda
85
sebagai tanda semua baik-baik saja. Karena suku Madura akan menyemakan
dengan kebiasaan mereka yaitu mereka akan angkat bicara ketika mereka tidak
setuju terhadap suatu hal. Perbedaan gaya komunikasi ini selanjutnya
mengakibatkan terjadinya konflik diantara kedua suku tersebut. Sikap diam suku
Sunda berubah menjadi kemarahan karena tidak mendapatkan tanggapan apapun
dari suku Madura. Suku Sunda selanjutnya memisahkan diri dari kegiatan
pembangunan masjid. Mereka juga tidak lagi bertegur sapa dengan suku Madura
di manapun mereka bertemu. Baru setelah keadaan semakin genting, yaitu
terjadinya kondisi yang tidak harmonis di RT 04. Masing-masing orang saing
menghindar dan berwajah tidak ramah. Setelah kondisi menjadi jelas iniah suku
Madura baru megerti bahwa adanya permasalahan. Ajakan diadakannya forum
musyawarah oleh para anak muda pun akhirnya mendapat dukungan dari semua
pihak setelah kedua suku kemudian bertekad untuk menyelesaikan permasalahan
yang dirasa merugikan semua pihak tersebut.
Konflik pembangunan masjid ternyata menjadi interaksi yang penting bagi
kedua suku. Keberhasilan mereka menyelesaikan konflik masjid menjadikan
masjid dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya sebagai pusat interaksi
sosial warga RT 04. Masjid pulalah yang menyebabkan konflik yang terjadi
belakangan menjadi tidak terlalu keras di satu sisi, dan interaksi menjadi semakin
efektif di sisi lain.
Terjadinya konflik masjid serta keberhasilan pengelolaannya dikarenakan
kedua suku sama-sama menganggap penting terhadap masjid, yang merupakan
salah satu interpretasi keagamaan, bahkan sebagai inti kehidupan. Suku Sunda dan
suku Madura adalah sama-sama suku yang di anggap lebih baik keagamaannya
dari suku yang lainnya di Indonesia, sehingga keberhasilan menangani konflik
masjid menjadi hal yang penting bagi kedua suku. Hal ini nampaknya menjadi
kekuatan utama bagi mereka dalam menjaga perdamaian.
Masjid bagi suku Sunda adalah pusat kehidupan. Masjid dijadikan sebagai
tempat menempa berbagai ilmu dan juga sebagai tempat menyelesikan masalah
yang mereka padankan dengan pesantren. Masjid juga bagi suku Sunda menjadi
basis kekuatan masyarakat yang menjadi psat perlawanan terhadp pemerintahan
Belanda ketika zaman penjajahan dan menjadi forum diskusi yang mengevaluasi
86
kegiatan pemerintahan pasca kemerdekaan. Inilah yang mereka sebut sebagi inti
kehidupan di level kehidupan bermasyarakat. Sedangkan di tingkat individu
masjid menjadi identitas yang lekat dengan suku Sunda. Mereka akan merasa
bukan sebagi suku Sunda jika meskipun beragama islam namun di rumahnya tidak
terdapat pasolatan. Suatu ruangan khusus untuk melaksanakan shalat yang selalu
ada pada setiap rumah suku Sunda.
Dari latar belakang makna masjid bagi suku Sunda ini dapat di mengerti
mengapa kemudian konflik masjid menjadi konflik pertama yang terjadi di RT 04
setelah sebelumnya konflik-konflik yang terjadi cenderung dibiarkan terpendam
meski sebagian terselesaikan. Hal ini menunjukan masjid mencakup
pembangunan, penyelesaian konfliknya, serta setiap kegiatan yang diadakannya
menjadi hal penting bagi identitas suku Sunda.
Demikian pun suku Madura. Suku ini menganggap masjid sangatlah
penting bagi kehidupan mereka. Di Madura, keluarga Madura selalu ditandai
keberadaan masjid di tengah-tengah rumah-rumah yang berbentuk melingkar
diantara sanak saudara yang tinggal berdampingan. Ini menunjukan masjid
sebagai inti kehidupan bagi suku Madura. Organisasi orang Madura selalu
berbasis masjid. Demikian pula pola pendidikan dan ekonomi mereka adalah
representasi dari masjid.
Pemaparan ini menunjukan suku Sunda dan suku Madura sama-sama
menganggap penting keberadaan masjid di tempatnya. Mereka sangat
berkepentingan dalam berkontribusi pada setiap hal yang menyangkut masjid dari
sejak pembangunannya hingga setiap acara yang diadakannya. Inilah yang
menyebabkan konflik menjadi sangat penting bagi mereka, baik dalam hal di
terimanya masing-masing keinginan, maupun dalam menemukan solusi yang tepat
bagi kelangsungan pembangunan masjid. Oleh karena itu kedua suku menjadi
sama-sama berkepentingan untuk menyelesaikan masalah masjid demi identitas
suku mereka. Hal ini menjadi penyebab terbesar bagi keberhasilan di
selenggarakannya forum musyaawarah dan juga bagi ditemukannya kompromi
atas konflik yang terjadi.
Keberhasilan menangani konflik masjid menjadi kebanggaan tersendiri
bagi setiap warga RT 04. Mereka menjadikan peristiwa tersebut sebagai alasan
87
perdamaian di setiap konflik yang terjadi pasca konflik masjid. Mereka
menganggap masjid sebagai simbol yang mempersatukan antara suku Sunda dan
suku Madura, juga bagi berbagai suku yang hidup bersama mereka. Sejauh ini
masjid menjadi kekuatan yang dominan di RT 04 sehingga konflik-konfik yang
berpotensi memisahkan cenderung tidak dominan disana.
Kasus Kepanitiaan Maulid Nabi
“Tapi kita tetep akur, kalau ada acara hari besar Islam selalu
bagus acaranya, kepanitiaannya selalu anak muda dari berbagai
suku disini yang urus, ga ada yang dominan, tapi yang kemaren
itu pas acara muludan, enggak tahu kenapa jadi kita teh tidak di
undang rapat, tahu-tahu diminta bantuannya mencari dana, saya
kurang setuju gitu tuh, tapi tetep saya bantuin carai dana, karena
kan demi acara masji, Marsuli (Madura, generasi 2) juga udah
minta maaf soal ini.ya gara-garanya anak mudanya lagi pada
sibuk, jadi acara maulidan kemaren itu terkesan buru-buru.”
(Jojo, Sunda, generasi 1)
Sejak dibangunnya masjid RT 04, seluruh warga RT 04 menjadikan masjid
sebagai pusat interaksi mereka melalui setiap kegiatan yang diselenggarakannya.
Kebersamaan suku Sunda dan suku Madura melalui masjid nampaknya menjadi
dasar kerukunan antar warga yang sama-sama mereka jaga, sekaligus tempat
dimana mereka saling bernegosiasi identitas sosial dan kebudayaan masing-
masing. Kasus-kasus selanjutnya menunjukan hal tersebut.
Telah menjadi kebiasaan di RT 04 bahwa disetiap kepanitiaan acara hari
besar Islam, ditangani oleh anak-anak muda dari berbagai suku yang tinggal di RT
04. Berbagai kegiatan masjid selalu sukses di tangan para anak muda ini. Mereka
mampu melibatkan seluruh warga RT 04 dari para anak muda hingga orang tua
untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang diselenggarakan. Hal ini mengakibatkan
seluruh warga merasa memiliki acara tersebut dan berkontribusi secara optimal
untuk mensukseskannya. Kerekatan antar warga terjalin berkat berbagai acara
masjid tersebut. Namun tidak seperti biasanya, kepanitiaan acara Maulid Nabi
yang diselenggarakan pada bulan Januari 2012 ini di pimpin langsung oleh ketua
DKM Masjid RT 04, yaitu Pak Jamal yang kebetulan adalah orang Madura. Pak
Jamal berusia 70 tahun. Ia termasuk golongan Madura generasi pertama. Menurut
88
keterangan informan, hal ini disebabkan berbagai kesibukan yang ada, para anak
muda saat itu kebetulan tidak ada yang bersedia menjadi ketua panitia.
Hal ini ternyata menimbulkan masalah, yaitu Pak Jojo, ketu RT 04,
seorang suku Sunda merasa tidak dilibatkan dalam acara tersebut, dan tidak
pernah di undang untuk rapat pembentukan kepanitiaan. Namun meskipun
tersinggung, Pak Jojo dan suku Sunda yang lainnya tetap mau membantu
kesuksesan acara, karena acara tersebut berkaitan dengan agama dan masjid. Hal
ini mereka buktikan dengan oarng Sunda tetap membantu ketika para pengurus
masjid meminta bantuan mereka untuk mengumpulkan dana. mereka mau
melakukannya pengumpulan dana bersama-sama orang Madura
Adapun menurut keterangan dari Pak Marsuli, informan suku Madura dari
generasi dua menyatakan, sebenarnya Pak Jamal sebagai ketua panitia waktu itu
sudah mengundang suku Sunda ketika akan di adakan rapat pembentukan panitia
acara maulid, namun suku Sunda tidak ada yang datang. Masalah ini diselesaikan
berkat kesadaran Pak Marsuli. Sebagai anak muda ia mengetahui gelagat ketidak
sukaan suku Sunda maka ia bersama dengan ketua DKM masjid datang ke rumah
ketua RT 04 dan meminta maaf jika ada hal yang kurang berkenan di hati
masyarakat suku Sunda. Pak Marsuli menyadari bahwa cara mengundang yang
dilakukan Pak Jamal orang Madura kepada pak Jojo orang Sunda yang
disampaikan ketika berpapasan di jalan, di anggap bukan cara yang baik, dan
hanya dianggap sebagai pemberitahuan semata, bukan permintaan kehadiran yang
bersangkutan. Sedangkan ketika para anak muda yang memimpin suatu acara,
suku Sunda merasa dihargai dan selalu dilibatkan, karena sikap para anak muda
itu, baik yang berasal dari suku Sunda maupun yang berasal dari suku Madura,
dalam pandangan mereka, sama-sama bersikap sopan kepada mereka.
Belakangan diketahui orang Sunda merasa orang Madura tidak serius
dalam melibatkan suku Sunda untuk urusan kepanitiaan maulid ini, terbukti ketika
mengundang untuk rapat pembentukan panitia maulid, dilakukan hanya satu kali
saja, padahal dalam prinsip suku Sunda, mereka baru merasa benar-benar di
undang rapat jika cara penyampaian undangannya dilakukan berkali-kali, karena
bagi mereka pengulangan tersebut adalah bentuk penghargaan terhadap mereka.
Sementara suku Madura menganggap semestinya satu kali menyampaikan
89
undangan sudah cukup, artinya ketika suatu pesan telah disampaikan dan
mendapatkan tanggapan maka orang Madura tidak akan menganggap sebagai
suatu masalah pada ketidak hadiran suku Sunda, karena beranggapan mungkin
memiliki kesibukan lain.
Jika ditelusuri pangkal masalahnya adalah terletak pada kata “mangga”
yang di ucapakan oleh suku Sunda ketika menanggapi undangan rapat yang
disampaikan oleh seorang yang bersuku Madura. Suku Madura memahami kata
tersebut sebagai mana artinya yang berarti “iya” dan menganggap suku Sunda
yang di undang telah memahami pesan yang disampaikannya. Namun ternyata
bagi suku Sunda kata “mangga” tidak selalu berarti “iya”. Seseorang harus
memahami lagu dari kata mangga yang diucapkan untuk dapat memaknai kata
tersebut dengan tepat. Dalam hal ini sebagaimana pengakuan suku Sunda yang
menganggap orang Madura tidak serius dalam mengundang, karena selain
dilakukan sekali, juga dalam pandangan suku Sunda dilakukan dengan cara sambil
lalu saja. Nampaknya hal tersebut mengindikasikan bahwa kata “mangga” yang
diucapkan ketika menanggapi undangan rapat belum berarti “iya”, melainkan
“tidak”. Karena suku Sunda akan menunggu undangan berikutnya untuk melihat
keseriusan suku Madura, baru akan mengatakan “iya”.
Adapun informan suku Madura menyatakan setelah mengetahui sebab
musabab masalah sebagaimana dijelaskan diatas, mereka mengakui semakin
berhati-hati dalam menghadapi suku Sunda yang dalam pandangan mereka serba
formal itu.
“Waktu itu, sama juga sih sama masalah yang baru-baru ini
acara maulidan kemaren, saya tahu Pak Jamal sebagai orang
Madura enggak ngerasa melangkahi Pak Jojo, atau enggak
ngajak musyawarah, seinget saya udah diajak itu, tapi enggak
taunya kalau diajaknya itu cuman sekali mereka merasa kurang
mantep gitu lah.ya saya terus minta maaf aja, datang kerumah
Pak Jojo, ya kaya’nya memeng kudu hati-hati sama Suku Sunda
mah orangnya forml banget apa-apa juga”(Marsuli Madura,
generasi 2)
Adapun pernyataan informan bahwa suku Sunda untuk tetap bekerjasama
menyukseskan acara meskipun ada ketidak cocokan, hal itu karena menyangkut
masjid, dimana mereka merasa sebagai suatu keharusan mengutamakan semua hal
yang berkaitan dengan masjid.
90
“Ya walaupun tidak cocok sama caranya orang Madura, saya itu
tidak pernah di libatkan dalam rapat acara. Pernah cuman
ngomong mau ngadain acara Maulid, waktu itu Pak Marsuli yang
ngasi tau itu pun di jalan waktu pas ketemu. Saya enggak pernah
di undang untuk datang tuh. Tapi saya tetep bantuin lah kan
acara masjid” (Jojo, Sunda, Generasi satu)
Terdapat kaitan antara budaya komunikasi konteks tinggi dan budaya
konteks rendah dengan terjadinya konflik pada kasus kepanitiaan acara Maulid
Nabi. Cara menyampaikan pesan yang praktis dan langsung dari suku Madura
ketika mengundang rapat pembentukan panitia maulid yang dilakukan saat
berpapasan di jalan, dianggap sebagai ketidakseriusan mengundang rapat oleh
suku Sunda, sehingga kemudian hal tersebut menimbulkan konflik. Namun
timbulnya berbagai konflik pasca konflik masjid menjadikan kedua suku semakin
kreatif didalam menangani masalah diantara mereka. Hal ini dapat dilihat dari
solusi yang mereka sepakati bersama dalam menyelesaikan peristiwa kepanitiaan
maulid ini. Sebagai jalan tengah dipilih cara mengundang tetap satu kali, tidak
berulang kali sebagaimana kebiasaan suku Sunda tetapi dilakukan dengan sopan
berupa datang ke rumah orang yang akan diundang, tidak mengundang dengan
cara suku Madura yaitu menyampaikan undangan saat berpapasan di jalan.
Pada kasus peringatan Maulid Nabi orang Sunda kembali “merasa tidak
dilibatkan” namun dalam perkara ini suku Sunda bersedia untuk tidak
memperpanjang permasalahan, terbukti dengan tetap berpartisipasinya mereka
dalam kegiatan tersebut, sebagaimana pernyataan mereka bahwa mereka ikut serta
dalam pengumpulan dana dan perangkain acara, dan sebagainya. Suku Sunda
menyadari bahwa suku Madura tidak bermaksud tidak sopan atau tidak
melibatkan mereka, hanya caranya saja yang mereka tidak sukai, yaitu kurang
prosedural dalam pandangan mereka. Adapun suku Madura merasa mulai
mengerti, bahwa ketika suasana mulai terasa berbeda, itu berarti dalam kegiatan
tersebut tercium gelagat adanya permasalahan, sehingga sebagaimana pernyataan
mereka, mereka segera meminta maaf jika ada hal yang kurang berkenan dihati
orag Sunda, meskipun mereka hanya menduga dan tidak tahu pasti apa
permasalahannya.
Disini terlihat kedua belah pihak mulai menyadari adanya perbedaan
budaya diantara mereka meskipun dengan ungkapan yang lebih sederhana, yaitu
91
suku Sunda terlalu formal menurut suku Madura, dan suku Madura terlalu
terburu-buru, menurut suku Sunda. Sehingga sebagaimana pernyataan mereka
bahwa semua itu adalah proses untuk saling memahami dan agar dapat saling
mendukung
Dari kedua kasus diatas terihat, bahwa terjadi negosiasi diantara kedua
suku diatas terkait perbedaan-perbedaan diatara mereka, yaitu berupa kesediaan
suku Sunda menerima watak suku Madura yang terbiasa terburu-buru, sedangkan
suku Madura bersedia memahami keinginan suku Sunda yang penuh formalitas.
Inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya permasalahan yang sama
mengahasilkan dampak yang berbeda.
Pada kasus yang awal yaitu pembangunan masjid, perbedaan cara pada
masing-masing budaya ternyata menimbulkan konflik yang cukup besar dan
mencekam hingga dirasakan berat bagi seluruh warga RT 04, tetapi pada kasus
yang kedua yaitu kepanitiaan Maulid, perbedaan itu selanjutnya disikapi dengan
saling memaklumi dan mau menerima perbedaan tersebut demi apa yang mereka
sebut kebaikan bersama, yaitu kesadaran yang semakin tinggi untuk tidak terlalu
mempermasalahkan hal kecil, dan bahwa kesdaran akan timbulnya malapetaka
yang merugikan semua pihak, jika permasalahan yang menyangkut perbedaan
budaya tidak segera diredam dan diselesaikan.
Perbedaan penyikapan terhadap konflik pun tergambar dalam pernyataan
mereka bahwa konflik pertama memerlukan forum resmi yang melibatkan semua
pemimpin suku dari kedua belah pihak untuk menyelesaikannya, dimana hal itu
terjadi karena inisiatif generasi kedua yang mengupayakan dipertemukannya
kedua pihak yang berseteru. Sedangkan pada kasus kedua, konflik sudah dapat
diselesaikan hanya karena para generasi pertama menyaksikan kerjasama yang
harmonis yang terjadi pada anak-anak muda, yang berbaur antara suku Sunda dan
Madura, dimana mereka bersama-sama mensukseskan acara Maulid Nabi, tanpa
merasa bahwa perbedaan tersebut perlu untuk dipermasalahkan, karena
sebagaimana ungkapan generasi ketiga, sering kali kekakuan sikap para orang
tualah yang menjadikan hal sepele menjadi besar dan rumit.
Kasus yang berkaitan dengan masjid, entah itu perihal pembangunannya,
hingga kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dimasjid seperti acara Maulid Nabi,
92
nampaknya mendapatkan perhatian paling besar di RT 04. Hal ini sebagaimana
pengakuan mereka semua, karena masjid sesungguhnya menjadi alat pemersatu di
antara warga RT 04 khususnya suku Sunda dan suku Madura yang menjadikan
agama Islam sebagai salah satu identitas yang paling menonjol didalam suku
masing-masing. Sebagaimana pernyataan mereka bahwa suku mereka adalah suku
yang identik dengan agama Islam, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa masjid
menjadi simbol bersama bagi suku Sunda dan suku Madura.
Kasus Penggunaan Jalan
“Ya kita karena cuman isu doang, jadi Saya tanya siapa yang
keberatan, katanya itu si Pak Ukuy, trus kita panggil juga, Pak
Ukuy bilang yang lain juga keberatan, sebabnya kan jalan baru
di benerin, susah payah kita, masyarakat keluar biaya banyak
untuk benerin jalan itu, makanya jangan sampe rusak lagi. Trus
saya bilang Marsuli juga kan enggak jorok pake jalannya, dia
hati-hati. Jadinya disepkatilah truknya jangan gede-gede, jadi
bisa terus tetep boleh pake jalan itu. “(Ujang Madi, Sunda,
generasi 1)
“Iya ituh soal jalan yang portal juga, alasannyakan kuatir jalan
cepet rusak kalau dilewati truk-truk yang terlalu gede gitu,
maklum kan jalan baru aja beres diperbaiki, kita bareng-bareng
betulin jalan itu, ya padahal mah menurut saya ya memang itu
gunanya jalan diaspal kan supaya kuat, ya supaya bisa dilewatin
truk.,” (Nipah, Madura, generasi 1)
Kasus ini sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu, yaitu
sejak Pak Marsuli, seorang dari suku Madura terlihat semakin sukses mengelola
toko sembakonya, sehingga perlu menggunakan truk-truk besar untuk
mengangkut dagangannya. Truk itu melalui jalan yang baru di perbaiki di RT 04,
dan hal tersebut membuat suku Sunda, salah satunya adalah Pak Ukuy, orang tua
berusia 69 tahun ini merasa khawatir akan merusak jalan tersebut. Kekhawatiran
suku Sunda di sebabkan perbaikan jalan cukup menguras tenaga dan uang seluruh
warga RT 04. Hal itu mengkibatkan mereka merasa perlu untuk berhati-hati dalam
menggunakannya agar jangan sampai rusak lagi. Adapun permasalah itu terus
dipendam, menurut informan, hal itu karena suku Sunda khawatir dianggap iri hati
pada kesuksesan suku Madura tersebut.
Pada akhirnya suku Madura yang bersangkutan mengetahui isu-isu yang
beredar terkait masalah dirinya dan usahanya, maka setelah bermusyawarah
93
dengan beberapa teman Madura yang ia mintai pendapat cara mnyelesaikan
masalahnya, maka ia pun beserta beberapa suku Madura datang kepada ketua
suku Sunda untuk mencari solusi masalah tersebut.
Perbedaan dalam mengartikan nilai keberadaan jalan yang baru di
perbaiki, yang tidak dikomunikasikan dengan baik adalah menyebabkan
terjadinya konflik dalam kasus penggunaan jalan ini. Perbedaan nilai antara suku
Sunda dan suku Madura dalam mengartikan fungsi jalan berupa memaksimalkan
fungsi jalan bagi orang Madura bertentangan dengan nilai suku Sunda dalam
memandang jalan yang baru diperbaiki yaitu menjaga keindahannya. Suku
Madura menggunakan truk-truk besar yng menghabiskan badan jalan yang dilalui
truk tersebut ketika mengangkut barang-barang dagangannya. Hal ini bagi mereka
sebagai bentuk efisiensi, juga karena mereka ingin mempergunakan jalan secara
maksimal. Adapun suku Sunda sebagai suku yang sangat mementingkan unsur
keindahan setiap sesuatu memandang jalan sebagai hal yang penting untuk dijaga
keindahannya dengan menggunakannya secara hati-hati agar tidak kembali rusak.
Perbedaan ini menimbulkan perselisihan ketika orang Madura menyatakan
nilai budayanya dengan cara digunakannya truk berukuran besar untuk
mengangkut barang-barang dagangannya. Hal tersebut dipandang menyalahi nilai
budaya yang dianut suku Sunda yaitu menjaga keindahan dengan menjaga jalan
yang baru diperbaiki tidak kembali rusak. Perbedaan cara pandang terhadap
keberadaan jalan yang baru diperbaiki ini selanjutnya diselesaikan dengan cara
orang Sunda meminta suku madura untuk meskipun menggunakan jalan secara
maksimum namun diharuskan berhati-hati agar tidak menimbulkan kerusakan
pada jalan, sedangkan suku Madura meminta suku Sunda untuk tetap mengizinkan
penggunaan jalan dengan mengurangi kadar maksimum penggunaan jalan tersebut
demi kehati-hatian penggunaannya dan menjaga keindahan jalan tersebut. Setelah
permasalahan diungkap, dan negosiasi dilakukan maka menghasilkan suatu solusi
yang cukup unik di antara suku Sunda dan suku Madura di RT 04. Negosiasi
menghasilkan penggunaan truk berukuran sedang oleh para pengguna jalan dari
suku Madura, sebagai bentuk dikuranginya nilai pemaksimalan penggunaan jalan,
untuk menghormati nilai kehati-hatian menjaga keindahan suku Sunda yang juga
sudah dikurangi intensitasnya tersebut.
94
Pada kasus ini musyawarah dan penyelesaian masalah dengan cara
bernegosiasi perbedaan budaya masing-masing mulai mahir dilakukan oleh kedua
belah pihak terutama pada generasi pertama yang masih kental terikat pada adat
istiadat budaya sukunya. Pernyataan-pernyataan kerukunan, kerjasama, toleransi,
saling pengertin, saling mendukung dan saling menghargai banyak disebutkan
setelah konflik permasalahan jalan ini, terutama pada generasi pertama.
Sedangkan pada generasi kedua dan ketiga kesadaran-kesadaran tersebut sudah
ada sejak perselisihan terkait masjid berhasil didamaikan, meskipun penyebabnya
belum benar-benar mereka fahami.
Kasus Perdagangan versus Jabatan
“Saya berangen-angen, Pak Syamsudin kan dipercaya banyak
orang, ya Madura, ya Sunda, kenapa enggak coba dia jadi RT
gitu, selama inikan jabatan tuh sunda doang yang suka heboh,
rebutan, tapi pas saya obrolin ke pak Husen gitu, dia bilang
orang Madura mah dagang aja lah, katanya mah gitu, trus Pak
Syamsudin saya tanyain cuman senyum doang, enggak lah pak
katanya gitu” (Agus, Sunda, generasi 2)
“enggak lah, gini loh, kita inikan menurut saya kerukunan itu
juga harus dilandasi saling menghargai, kita orang Madura, ya
udahlah kemampuannya kan dagang, banyak yang sukses,
sementara kalau orang Sunda sukses itu ya kalau punya jabatan,
PNS, Lurah, RT, RW, ya udah bener, jadinya seimbang, saling
merasa terhormat lah. Di masjid juga saya gitu, berusaha supaya
imam dan pengurus masjid teh bareng-bareng ya Sunda ya
Madura, supaya saling menghomati lah jadi bisa saling
mendukung lah (Syamsudin, Madura, generasi 1)
Menurut keterangan informan, dilihat dari banyaknya permasalahan yang
berhasil diredam oleh para pemimpin terutama dari pemimpin suku Madura,
informan beranggapan perlunya menjadikan pemimpin tersebut sebagai ketua RT
atau ketua RW di wilayahnya. Pak Agus pernah meminta Pak Siddik utuk maju
menjadi ketua RT 04, namun Pak Siddik menolak. Demikian juga Pak Symsudin
menolak tawaran tersebut.
Ketika peneliti mengkonfirmasi ide tersebut kepada Pak Syamsudin, ia
menyatakan bahwa hal tersebut bukan lah ide yang baik jika untuk menjaga
keseimbangan bermasyarakat di RT 04. Sebabnya, karena pada dasarnya suku
Madura lebih suka berdagang daripada menjadi pejabat sebagai cara mereka
95
mencari kehormatan dalam hidupnya, sementara suku Sunda menganggap jabatan
adalah hal yang penting bagi kehormatan diri dan keluarganya. Konsep ini justru
menciptakan keseimbangan dan keselarasan warga di RT 04, sehingga hal tersebut
justru baik untuk dipertahankan karena berdampak positif pada terbangunnya rasa
saling mendukung dan menghargai antar suku.
Beberapa orang suku Sunda memandang Pak Siddik dan juga Pak
Syamsudin layak menjadi ketua RT di RT 04. Orang-orang ini selain terkenal
baik, juga merupakan pemuka agama yang selalu menjadi rujukan mencari solusi
ketika terjadi konflik. Orang-orang ini pun di pandang sebagai pemuka suku
Madura. Dengan dijadikannya mereka ketua RT diharapkan kedekatan antara
suku Sunda dan suku Madura menjadi lebih erat. Karena sebagai orang-orang
yang dipandang baik, Pak Siddik ataupun Pak Syamsudin akan berbuat adil baik
pada suku Sunda maupun pada suku Madura dan pada siapa saja yang berada di
lingkungan RT 04. Ketika Pak Siddik menolak jabatan yang di tawarkan, warga
RT 04 beralih pada Pak Syamsudin yang juga dianggap orang yang pantas
memimpin warga RT 04. Pak Syamsudin juga ternyata menolak jabatan yang
ditawarkan. Suku Madura menolak tawaran tersebut dengan alasan lebih suka
berdagang. Alasan ini membuat suku Sunda tidak senang karena terkesan orang
Madura tidak peduli pada kebaikan bersama dan kehormatan yang mereka
tawarkan. Suku Sunda memiliki nilai budya sangat menghargai jabatan. Jabatan
merupakan interpretasi bagi kehormatan hidup dan sebagi bentuk kepedulian bagi
kebaikan bersama.
Dalam hal ini konflik berhasil dihindari berkat terjadinya komunikasi antar
pribadi yang dilakukan suku Sunda dan suku Madura berupa menyelaraskan
perbedaan nilai terkait apa yang disebut kehormatan diri yang pada suku Sunda
berupa jabatan, sedangkan bagi suku Madura kehormatan diri terletak pada
kesuksesan berdagang.
Kasus slametan.
“Diundang coba suku Sunda teh kalau ada slametan gitu, kan
sesama warga RT 04, kenapa sih cuman madura doang yang
datang, malah sampe ada omongan yang sampe ke saya mah
malah ngeluh apa karena kita miskin gitu, jadi enggak di undang,
kan slametan gitu mah hak orang yang ngadain siapa saja yang
96
mau di undang, jadi kita merasa ada jurang pemisah lah dalam
perkara ini (Jojo, Sunda, generasi 1)
“Ya cuman slametan kita orang madura malah takut disangka
sombong kalau pake ngundang segala, yang namanya slametan
itu ya siapa aja yang mau datang ya datang, namanya juga
slametan, bukan pesta kan ini mah yang perlu pake undangan
segala, emang kawinan, pake ngundang resmi gitu” (Husen,
Madura, generasi 1)
Dalam pandangan umum slametan memiliki padanan arti syukuran,
perayaan ataupun pesta. Namun bagi orang Madura, slametan “hanya” kata yang
berarti berkumpulnya orang-orang untuk mendo‟akan sesuatu yang dianggap
penting, maupun hal-hal yang dianggap baru, dan lain sebagainya, yang berbeda
dengan acara pernikahan misalnya, yang memerlukan undangan. Tradisi slametan
lebih dikenal berasal dari suku Madura, meskipun suku lain melaksanakan hal
yang sama yang biasanya menggunakan kata Syukuran. Suku Madura, demikian
juga suku Madura yang berada di wilayah RT 04, sering sekali mengadakan
slametan. Mereka melaksanakan kegiatan ini dalam rangka menyambut kelahiran,
pembangunan rumah, pindah rumah, khatam Qur‟an, haid pertama bagi
perempuan, dan lain sebagainya. Pendeknya untuk semua hal yang dianggap
penting untuk di do‟akan, maka akan diadakan slametan.
Dalam slametan, tradisi yang berlaku adalah tanpa perlu diundang, sesama
suku Madura akan merespon dengan datang kerumah orang yang mengadakan
slametan tersebut sambil membawa berbagai kebutuhan terutama sembako, dalam
rangka membantu orang yang mengadakan slametan tersebut. Selanjutnya pada
malam hari slametan dilanjutkan dengan melantunkan berbagai do‟a bersama.
Menutur keterangan responden para tamu yang hadir dalam acara slametan
tersebut adalah mereka yang kebetulan mendengar akan diadakannya slametan,
serta sedang memiliki waktu untuk menghadirinya. Bagi orang madura, slametan
berbeda dengan pesta pernikahan, ataupun yang lainnya. Slametan bukanlah
sebuah acara resmi dimana acara tersebut mengharuskan orang diundang untuk
datang, melainkan suatu acara santai dan terbuka bagi siapa saja yang mendengar
tentang diselenggarakannya slametan tersebut. Slametan adalah suatu acara yang
di lakukan oleh orang Madura dalam rangka mensyukuri setiap kegembiraan yang
mereka terima. Rasa syukur diwujudkan dalam bentuk pembacaan berbagai do‟a
97
bersama disambung dengan makan-makan secara sederhana pula. Dalam
menghadapi acara slametan yang dilakukan oleh salah satu orang Madura, orang
Madura yang lainnya akan merespon dengan datang kerumah si penyelenggara
slametan dengan membawa berbagai sembako seadanya, sebagai bentuk keikut
sertaan mereka atas kegembiraan yang dirasakan. Tradisi berupa kedatangan
orang lainnya dengan membawa sembako alakadarnya ini terjadi secara spontan
diantara mereka tanpa di koordinir ataupun di undang. Nilai yang di tekankan
dalam kegiatan slametan suku Madura ini adalah kepedulian sesama terhadap
kebahagiaan sesamanya, yaitu dengan cara merespon berupa meghadiri acara
slametan tersebut. Diselenggarakannya slametan secara sederhana serta tanpa
undangan merupakan aturan dari kegiatan tersebut, sehingga jika tidak demikian
akan diartikan sebagai kesombongan bagi orang Madura. Nilai ini bertentangan
dengan nilai budaya yang ada pada suku Sunda. Nilai kebersamaan yang
dipedomani pada suku Sunda diwujudkan dengan cara meminta kehadiran orang
lain atas suatu kegiatan yang diselenggarakan. Artinya suku ini memiliki nilai
budaya pentingnya udangan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam suatu
kegiatan yang diselenggarakan oleh salah satu diantara mereka. tidak adanya
undangan berarti menunjukan kesombongan dari penyelenggara kegiatan karena
menunjukan ketidak butuhan mereka pada sesamanya.
Ketidaktahuan suku Sunda perihal aturan slametan ini ternyata memicu
konflik. Dalam tradisi suku Sunda, semua acara yang menghadirkan masyarakat,
haruslah dengan cara diundang. Dan tidak adanya undangan yang datang pada
mereka perihal diadakanya berbagai acara slametan suku Madura, membuat
mereka merasa suku Madura hanya mau berbagi dengan sesama sukunya saja.
Kecurigaan diperparah dengan dihembuskannya isu kesenjangan sosial,
yaitu orang Madura hanya mau mengundang dan berbagi dengan orang-orang
kaya saja, sedangkan kepada yang miskin tidak mau mengundang untuk hadir di
acara slametannya. Apalagi ketika diketahui si pembuat acara slametan adalah
seorang suku Madura yang di dalam pergaulan sehari-harinya terkesan cuek
dengan tetangganya, maka isu kesenjangan ini semakin besar.
Dari keterangan informan diketahui, bagi suku Madura justru akan merasa
terkesan sombong, jika hanya untuk acara slametan saja, sampai harus memakai
98
undangan segala. Karena bagi suku Madura undangan akan mengesankan
formalitas, dan formalitas berarti kesenjangan antar sesama warga, dan merusak
keakraban dan solidaritas.
Belum ditemukannya titik temu dalam masalah ini, selain karena
ditumpangi provokasi isu kesenjangan sosial, juga karena kedua belah pihak tetap
menganggap slametan adalah hak setiap orang untuk melaksanakan, dan
menentukan aturanya seperti siapa yang datang atau yang diundang. Slametan
tidak dianggap sebagai kepentingan bersama dan tidak berhubungan dengan
kerukunan warga sebagaimana masalah-masalah yang lainnya, seperti masalah
masjid, dan yang lainnya.
Kasus kaya miskin
“Soalnya walaupun sebenernya sama ya dimana-mana
kesenjangan ekonomi itu bikin masalah, tapi kalau ada kaitannya
dengan perbedaan suku itu bisa gawat masalahnya, jadi harus
segera diatasi, enggak enak gitu ngomongin kaya miskin segala.
Selama ini solusi saya, banyak ngajak orang Sunda terutama
yang muda untuk kerja disini, diwarung saya, tapi tetep kalau
males saya berhentiin, atau warung-warung kecil ambil ke saya
dengan harga yang beda dengan orang beli untuk dipake aja, itu
juga sedikit banyak membantu menjalin persahabatan, bareng
Pak Syamsudin dan yang lainnya sih kita juga sedang ngomong-
ngomongin ekonomi berbasis masjid lah, Kenapa saya pilih
mesjid sebagai alat pemersatu warga sini, Kita kalau ada acara
hari besar Islam selalu bagus acaranya”
(Marsuli, Madura, generasi 2)
Sebagaimana di sebutkan seberlumnya, kasus tidak di undangnya suku
Sunda pada acara slametan suku Madura berakibat suku Sunda merasa suku
Madura hanya mengundang sesama suku Madura saja. Karena kebanyakan suku
Madura yang tinggal di RT 04 adalah orang kaya, hal ini berakibat suku Sunda
merasa bahwa mereka tidak di undang karena bukan orang kaya sebagaimana
suku Madura. artinya sebenarnya kasus ini merupakan lanjutan dari kasus
slametan, bahwa orang Madura tidak mau mengundang orang Sunda yang miskin
dan hanya mau mengundang pada sesama Madura saja yang merupakan orang
kaya. Hal ini kemudian timbul kesan umum bahwa suku Madura adalah orang-
orang kaya dan suku Sunda adalah orang-orang miskin . Menurut keterangan
informan, meskipun diutarakan dengan nada berseloroh, kalimat-kalimat ini
99
sering muncul dalam pembicaraan sehari-hari, bahkan terkadang membuat
suasana ngobrol kemudian menjadi tidak nyaman.
Menghadapi kondisi yang seperti itu, banyak dari suku Madura berinisiatif
mencairkannya dengan berbagai cara. Sebagimana pernyataan informan, bahwa
beberapa suku Madura memperkerjakan suku Sunda di toko sembako miliknya, di
bengkel motor, di toko material, bahkan mengajak kerjasama dagang dan join
bisnis.
Sebagian lagi berpikir untuk mengagas ekonomi berbasis masjid, yaitu
suatu pola pengumpulan dana yang dikoordinir oleh pengurus masjid untuk
kemudian dijadikan modal usaha bagi orang-orang yang membutuhkan. Menurut
informan hal ini akan baik dilakukan karena disamping masjid merupakan milik
bersama, suku Sunda pun sebagaimana suku Madura seringkali merespon baik
terhadap apapun yang menyangkut soal masjid.
Kekeliruan cara menangani masalah ini diperparah dengan kenyataan
bahwa usaha-usaha diatas belum melihatkan hasilnya. Hal ini dikarenakan
kendala yang ada pada perbedaan karakter suku Sunda yang terlalu santai menurut
suku Madura, dengan karakter suku Madura yang terlalu giat bekerja menurut
suku Sunda. Meskipun demikian cara ini sedikit banyak memberikan pengaruh
bagi peredaman kecemburuan sosial di RT 04. Telah cukup banyak kerjasama di
bidang ekonomi antara suku sunda dan suku Madura dimana hal tersebut berhasil
memperbaiki perekonomian beberapa keluarga suku Sunda, meski diakui semua
pihak hal tersebut belumlah optimal, karena belum mempengaruhi perekonomian
suku Sunda secara umum.
Dari kedelapan kasus konflik yang terjadi di RT 04, kedua kasus yang
terakhir ini dikategorikan sebagai konflik negatif, karena selain menyebabkan
masing-masing suku saling menjauh, juga karena nilai yang diketahui bertolak
belakang itu menjadi alat untuk memisahkan antar golongan, yang menjadi lawan
dari kebersamaan yang diakibatkan oleh konflik masjid dan konflik yang lainnya,
yang cenderung dapat di selesaikan dan mengakibatkan efektivitas komunikasi
antarsuku.
Maka terdapat dua kutub yang saling tarik-menarik di RT 04, yaitu perihal
permasalaha-permasalah yang akhirnya mendekatkan suku Sunda dan suku
100
Madura, disamping ada juga konflik-konflik yang kemudian menjauhkan satu
sama lainnya. Dari paparan ini jelas terlihat efektivitas komunikasi antarbudaya di
RT 04 terjadi dan terjalin melalui proses yang sangat panjang, dimana benturan-
benturan yang ada justru mengarah pada terbangunnya kesadaran bernegosiasi
diantara mereka, bahkan hingga ketingkat kemampuan menemukan simbol
bersama, dalam hal ini adalah masjid, serta terbangunnya kemampuan mencari
solusi-solusi cerdas bagi kebaikan dan kesejahteraan bersama
Jenis Konflik
Konsep menjaga kerukunan dan tidak saling menganggu ini nampaknya
menjadi pedoman di semua generasi antar suku yang diteliti dalam menghadapi
berbagai situasi konflik. Namun terdapat perbedaan tujuan dalam hal menjalin
hubungan baik dan menjauh dari konflik tersebut. Pada generasi pertama
hubungan baik dan upaya-upaya menjauh dari konflik bertujuan menjaga
kerukunan hidup bertetangga, tetapi tetap mempertahankan adat dan kebiasaan
masing-masing suku, termasuk dalam kedekatan pergaulannya, dalam hal ini yang
dimaksud adat dan kebiasaan adalah cara saling memberikan penghargaan,
dimana dalam setiap permasalahan yang timbul selalu menjadi penyebabnya,
sedangkan yang di maksud jarak pergaulan adalah generasi ini hanya menjalin
hubungan formal dan tidak menjalin hubungan yang akrab
Di generasi kedua menjalin hubungan baik dan upaya menjauhi konflik
bertujuan membangun masyarakat yang bersatu dan dinamis, baik dalam hal
sosial maupun ekonomi. Suatu hubungan yang sudah lebih mendalam daripada
yang ada pada generasi pertama. Tujuan ini diaplikasikan dengan diadakannya
kegiatan-kegiatan bersama seperti acara maulid maupun perbaikan jalan.
Kebiasaan saling kunjung mulai nampak pada generasi ini. Meskipun masih
dalam kontek formal yaitu membahas masalah yang kebetulan terjadi atau
berdiskusi tentang keagamaan.
Adapun pada generasi ketiga, para anak muda ini melihat pentingnya
penghargaan yang tulus pada setiap suku dengan kelebihan dan kekurangan yang
ada. Hal ini mengakibatkan upaya-upaya membangun kepercayaan dalam
persahabatan yang lebih akrab dan non-formal berkembang dalam pergaulan
101
generasi ini. Persahabatan, rekanan bisnis hingga pernikahan terjadi di generasi
ini. Hal ini nampaknya semakin mencairkan suasana percampuran budaya di RT
04, dimana pembuka jalannya adalah generasi kedua.
“Ya intinya menjaga kerukunan bertetangga, perkara yang lain-
lainnya mah, masalah dunia, kerjaan, ya itu mah masing-masing
aja, ga usah saling ikut campur. (Husen, Madura, generasi 1)
“Saya mah udah biasa diskusi ini itu sama Pak Syamsudin, Pak
Marsuli, ya kalau enggak kita yang pedui lingkungan siapa lagi,
hidup bertetangga kan harus saling peduli, enggak cuman
selewat doang bergaul itu”, (Arif, Sunda generasi 2)
“Iyalah anak mudanya mah udah sama, warga RT 04,
kesusahan ditolong sebisa mungkin, curhat, gawe barengan, ya
kaya si Indra kerja ke si Apung itukan mereka beda suku, tapi ya
no problem istilah mereka mah, ya udah anak RT 04 lah.” (Agus,
Sunda generasi 2)
“Kaya’ saya misalnya, buka usaha rental, bareng Ekha, dia suku
Sunda dan enggak males, Yang lebih baik, ya diadakan kegiatan
bersama, kaya’ kepanitian masjid waktu acara maulid itu, justru
supaya kita belajar menyikapi perbedaan yang ada, dan hasilnya
baguskan, kita jadi bisa saling ngerti, saling dukung, saling
menghormati, bahwa ada kelebihan dan kekurangan masing-
masing orang mah. Contoh kecil ini mah, kita orang Madura
misalnya bagus ditempatkan di penggalangan dana, karena kita
orangnya aktif kesono-kesini, kuat lah, terus orang Sunda bagian
dekorasi panggung, nah mereka telaten tuh bikin suasana acara
jadi sesuai tema acaranya, gitu kan bagus, orang dari RT lain aja
palng seneng katanya kalau ada acara di RT kita, meriah, dan
hal kaya’ gitu bisa terjadi karena ada orang-orang kaya’ Pak
Syamsudin, Pak Agus
(Subhi, Madura, generasi 3)
Terdapat delapan kasus konflik dengan latar belakang perbedaan budaya
yang terjadi di lokasi penelitian. Konflik-konflik tersebut terbagi dalam tiga
kategori yang telah disebutkan oleh Ting-Toomey (1998). Yang pertama adalah
konflik-konflik yang menyangkut isi. Konfik-konfik yang masuk kedalam jenis
ini adalah konflik berwajah galak dan konflik clurit. Kedua jenis konflik ini telah
dipaparkan sebelumnya. Keduanya adalah konflik-konflik yang menyangkut
relasi. Konflik ini termasuk kedalam jenis konflik relasi dikarenakan yang
menjadi permasalahan dalam peristiwa di atas adalah terdapatnya perbedaan
meyatakan hubungan. Suku Madura merasa cukup untuk menyapa sesekali saja
sebagai bentuk hubungan bertetangga. Suku Sunda menganggap pentingnya
intensitas bertegur sapa sebagai bentuk jalinan bertetangga yang baik. Sehingga
102
sikap suku Madura yang suka meyapa sambil lalu itu dianggap menunjukan
karakternya yang tidak ramah.
Demikian juga pada kasus clurit. Ancaman yang dirasakan oleh suku
Sunda dengan dipajangnya clurit di ruang tamu suku Madura menunjukkan
ketidakramahan antar tetangga. Terdapat juga kasus yang termasuk dalam
kategori ini disebabkan perbedaan prosedural diantara kedua suku. Kasus
kepanitiaan pembangunan masjid bermula dari perbedaan cara dalam menangani
permasalahan kefakuman kepanitiaan pembangunan masjid. Hal ini
mengakibatkan hubungan yang tidak selaras diantara kedua belah pihak, demikian
juga kasus perbedaan cara mengundang rapat diantara suku Sunda dan suku
Madura, yang mengakibatkan perbedaan cara menyatakan hubungan diantara
mereka.
Kedua jenis konflik diatas cenderung dapat diselesaikan melalui
kompromi-kompromi dan berhasil menemukan titik persetujuan seperti yang
terjadi dalam konflik kasus karakter galak, kasus clurit, kasus pembangunan
masjid, kasus kepanitiaan maulid dan kasus penggunaan jalan. Kebutuhan-
kebutuhan bersama seperti kerukunan hidup bertetangga, harmonisasi sesama
warga RT 04 melatarbelakangi keberhasilan penyelesaian konflik jenis ini.
Budaya suku Sunda perihal nilai kerukunan warga yang di wujudkan berupa
saling bertegur sapa dengan intensitas yang tinggi di satu sisi, serta kesediaan
suku Madura mengikuti pola ini di sisi lain, mengakibatkan keberbauran rumah
tinggal diantara mereka menjadi media interaksi dan komunikasi yang efektif
untuk mencapai kepentingan kerukunan hidup bertetangga ini. Kepentingan-
kepentingan inilah, disertai faktor pendukungnya berupa pembauran area tinggal
dan adanya arena interaksi di dalam lingkungan tinggal menjadi penyebab
keberhasilan menyelesaikan masalah-masalah menyangkut relasi ataupun
menyangkut isi sebagaimana di jelaskan diatas.
Demikian juga keberadaan arena-arena interkasi di luar area tinggal,
menjadi media komunikasi yang efektif dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Sebagaimana telah di sebutkan, bahwa salah satu nilai suku Madura adalah giat
bekerja. Nilai ini menjadikan suku Madura sangat menjaga jalinan relasi yang
terkait dengan perdagangan. Kedekatan area perdagangan diantara beberapa suku
103
Sunda dan suku Madura dijadikan sebagai sarana interaksi dan komunikasi
menjalin relasi perdagangan oleh suku Madura. Hal ini ternyata direspon baik
oleh suku Sunda, meskipun bagi suku Sunda hal tersebut lebih karena kebutuhan
menjalin kebersamaan sebagai warga RT 04. Ketika berada di luar lingkunga
tinggal dan bertemu dengan banyak orang, bagi suku Sunda kesamaan sebagai
sesama warga RT 04 menjadi sarana yang efektif dalam memenuhi kebutuhan
akan rasa aman diantara mereka. Hal ini kemudian menjadi penyebab banyaknya
jalinan kerjasama diantara keduanya, yang terjadi baik di dalam area tinggal
maupun di area perdagangan itu sendiri. Ketercapaian tujuan membangun relasi
melalui komunikasi di area perdagangan ini berdampak pada keberhasilan suku
Sunda dan suku Madura menangani konflik-konflik berjenis relasi maupun isi
diantara mereka. Konflik-konflik ini menjadi media untuk saling mengungkapkan
keinginan masing-masing suku serta menemukan persetujuan dan solusi bersama,
keberhasilan menyelaraskan nilai budaya diantara suku Sunda dan suku Madura
menjadikan kepentingan-kepentingan diantara keduanya dapat terpenuhi dengan
baik.
Sedangkan konflik yang menyangkut identitas lebih sulit menemukan titik
temu ketika berseberangan, seperti yang terlihat dalam konflik slametan. Identitas
harga diri muncul dalam bentuk yang saling bertolak belakang. Orang Madura
akan merasa bersikap sombong jika harus mengundang orang lain hanya untuk
acara slametan yang diadakannya. Suku Sunda merasa tidak dihargai
keberadaannya, jika orang Madura menyelenggarakan slametan dirumahnya tanpa
mengundang mereka. Dalam kasus kaya-miskin permasalahan terletak pada
perbedaan arti bekerja bagi kedua suku. Suku Sunda bekerja jika kebutuhan
sehari-hari telah habis. Suku Madura bekerja untuk menabung. Kesulitan dalam
menemukan titik temu pada konflik yang menyangkut identitas ini membuat
terhambatnya komunikasi diantara mereka. hambatan komunikasi terjadi karena
adanya perbedaan manafsirkan makna dalam kegiatan slametan. Dari uraian ini
terlihat bahwa hambatan komunikasi terjadi karena hal yang mereka
pertentangkan menyangkut nilai ideal dari kedua suku tersebut. Suku Madura
akan merasa sombong jika harus mengundang dalam acara slametan, dimana bagi
mereka kesombongan bukanlah identitas suku Madura sehingga mereka akan
104
menjauhinya karena tidak mau dianggap menyalahi nilai kelompoknya.
Sedangkan suku Sunda merasa orang Madura sombong karena tidak mengundang
mereka dalam acara slametan yang diadakannya, sehingga mereka merasa tidak
dihargai. Penghargaan dengan cara di undang merupakan identitas yang penting
bagi suku Sunda.
Perbedaan nilai inilah yang mengakibatkan terhambatnya komunikasi
diantara mereka untuk menemukan solusi bagi kasus yang menyangkut identitas
tersebut. Bahkan meskipun para anak muda sudah berusaha mencairkan situasi ni
dengan cara pemuda suku Madura akan mengajak para pemuda suku Sunda untuk
datang ke acara slametan suku Madura, kedua suku ini sama-sama tidak dapat
merubah kondisi ini karena mereka khawatir menyalahi nilai yang menjadi
identitas budaya masing-masing. Inilah yang menyebabkan konflik yang
menyangkut identitas suku sulit di selesaikan di antara suku Sunda dan suku
Madura di RT 04.
Konflik identitas dapat pula menciptakan keseimbangan antarsuku, jika
perbedaan yang ada justru menjadikan kedua suku saling melengkapi. Suku
Sunda dan suku Madura berhasil mengkomunikasikan perihal perbedaan nilai
diantara mereka. nilai yang berhasil mereka komunikasikan adalah bahwa Suku
Sunda mengutamakan jabatan, sebagai bentuk kehormatan didalam hidupnya. Hal
ini secara kebetulan dapat diselaraskan dengan nilai suku Madura yang
mengutamakan perdagangan sebagai kehormatan di dalam menjalani hidup.
Keberhasilan mengkomunikasikan tentang adanya keselarasan nilai diantara
kedua budaya yang berbeda ini selanjutnya menciptakan keseimbangan hidup
diantara mereka dalam sama-sama meraih kehormatan di dalam kehidupan yang
sesuai dengan nilai budaya suku masing-masing.
Dari tipe konflik yang telah disebutkan, sebagian dapat di kompromikan
dan berdampak pada kebersatuan kedua suku ini. Bentuk kebersatuan antara suku
Sunda dan suku Madura adalah tumbuhnya saling percaya diantara mereka dalam
hal perekonomian, diskusi keagamaan dan diskusi masalah-masalah aktual, serta
pernikahan antar suku. Tidak ada yang mempermasalahkan atau menganggap
bertentangan dengan nilai-nilai budaya pada terjadinya kerjasama-kerjasama yang
telah di sebutkan. Kedua suku tidak membatasi kerjasama ekonominya, diskusi
105
keagamaan dan masalah aktualnya serta tidak membatasi pernikahannya hanya
untuk atau kepada sesama sukunya saja. Baik suku Sunda maupun suku Madura
sama-sama menghargai ketika anggota sukunya bekerjasma dalam hal ekonomi,
berdiskusi maupun menikah dengan suku lainya. Hal ini menunjukan kepercayaan
diantara mereka telah membuat diantara mereka saling mengerti, menghargai dan
mendukung satu sama lain, sehingga berbagai kerjasama itu dapat terjadi.
Sebagian konflik yang terjadi di antara suku Sunda dan suku Madura
tidak berhasil dikompromikan sehingga memisahkan suku Sunda dan suku
Madura. Kondisi ini berdampak pada saling curiga diantara mereka. Tidak
terselesaikannya masalah slametan berdampak pada munculnya isu kesenjangan
sosial diantara mereka. Suku Sunda menganggap suku Madura hanya akan
mengundang sesamanya saja. Bagi mereka suku Madura identik dengan orang
kaya di RT 04, itu berarti mereka beranggapan orang Madura hanya akan
mengundang sukunya saja sebagai sesama orang kaya. Isu kesenjangan sosial ini
akan dapat berdampak buruk jika keberadaannya tidak segera di tanggulangi
dengan benar, bahkan dapat memicu terjadinya konflik besar diantara mereka
mengingat isu kesenjangan sosial adalah isu yang sering menimbulkan konflik
besar.
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa terdapat dua dampak konflik.
Pertama adalah konflik-konflik yang kemudian menjadikan kedua suku lebih
dapat saling mengerti, saling menghargai dan saling mendukung, sehingga mereka
dapat bersatu dan hidup harmonis. Kedua adalah konfik-konflik yang berpotensi
saling menjauhkan satu sama lain karena tidak berhasil mencapai kesepakatan dan
kompromi. Di RT 04, hingga penelitian ini di lakukan terlihat bahwa kedua
dampak konflik ini selanjutnya menjadi dua kutub yang saling tarik menarik, yaitu
jika konflik yang mempersatukan menjadi kekuatan yang dominan, maka konflik
yang memisahkan menjadi tidak berbahaya bagi kelangsungan keharmonisan
kedua suku, sebaliknya jika konflik yang memisahkan itu menjadi semakin kuat
dan konflik yang mempersatukan menjadi lemah, maka konflik besar mungkin
bisa terjadi.
“Iya bener damai itu bukan berarti tidak ada konflik, ya
contohnya dulu yang paling besar masalahnya menurut saya, ya
masalah pembangunan masjid itu.Karena kita mah sadar, kalau
106
ada masalah yang kebetulan beda suku, kalau enggak cepet
diselesaikan takut merambat, bahaya kaya di sampit itu ya kan
tau sendiri ceritanya gimana, itu sebabnya masalahnya di
pendem-pendem terus enggak cepet diselesaikan jaadi pas ada
kesempatan meledak (Ujang Madi, Sunda, generasi 1)
Menurut saya memang ada perbedaan dulu dengan sekarang,
kalau dulu masalah mesjid, kaya’nya itu jadi besar sekali, sampai
Pak Odih ngambek enggak mau jadi imam lagi, terus orang
Sunda yang lain jadi ikut-ikutan karena mengikuti pemimpinnya,
orang Maduranya juga gitu sama aja, seneng ke geng Madura
aja, (Nipah, Madura, generasi 1)
kalau sekarang enggak begitu, ada yang berantem, yang lain
apakah itu orang Sunda maupun orang Madura cepet cepet
bertemu, meluruskan masalah, kita lihat yang salah siapa,
masalahnya apa dan penyelesaiannya bagaimana, jadi enggak
sampai kaya’ dulu semua orag ikutan berantem”(Marsuli,
Madura, generasi 2)
Konflik-konflik diatas selanjutnya dikategorikan pada jenis konflik positif.
Karena sebagaimana menurut Johnson (dalam Edhar 2003) konflik dapat
menjadikan seseorang sadar tentang adanya suatu persoalan yang perlu
dipecahkan. Konflik juga dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk
melakukan perubahan dalam dirinya dalam rangka memecahkan suatu
permasalahan yang sebelumnya tidak disadari. Atau dengan kata lain ketika
proses negosiasi berjalan dengan baik, dan menghasikan perbaikan-perbaikan
sosial, maka suatu koflik menjadi salah satu proses sosial yang dibutuhkan.
Jika dilihat dari konflik-konflik diatas, tipe konflik yang terjdi di RT 04
antara suku Sunda dan suku Madura bercorak “tidak terlalu keras” dan cenderung
berhasil diselesaikan berkat kesadaran warga itu sendiri. Sebagaimana disebutkan,
bahwa keberhasilan membangun masjid, terlebih keberhasilan dalam
menyelesaikan konflik yang terkait dengan mesjid, merupakan prestasi yang
mereka banggakan sekaligus menjadi simbol kerukunan dan identitas bersama.
Hal ini kemudian menyebabkan konflik-konflik diluar masalah masjid menjadi
tidak terlalu keras, karena sudah mengutamakan kesamaan daripada perbedaan.
Artinya kedamaian yang kemudian mereka dapatkan adalah berkat penyaluran
secara benar perbedaan-perbedaan budaya yang ada melalui konflik-konflik yang
tanpa kekerasan dan “beradab” (Varshney, 2009).
107
Sudah sejak awal disadari oleh warga RT 04, sebagaimana keterangan
informan, bahwa sejak kedatangan orang Madura yang pertama kalinya, sudah
menampakkan perbedaan tersebut, sekaligus pola negosiasinya, dimana ketika
kemudian orang-orang Madura yang datang kemudian dipersepsi dengan cara
yang berbeda, menjadi alasan mereka mengelola stereotipe yang sudah ada.
Demikian juga dalam kasus penggunaan jalan dan kasus keseimbangan jenis mata
pencaharian, perbedaan cara pandang budaya terhadap suatu objek baik berupa
pengutamaan keindahan jalan, berlawanan dengan pemaksimalan fungsi jalan,
maupun pada apa yang disebut terhormat berupa jabatan bagi suku Sunda dan
berupa kesuksesan perdagangan bagi orang Madura, dinegosiasikan dengan
semangat keselarasan dan keseimbangan hidup bermasyarakat berlandaskan
penghargaan atas perbedaan-perbedaan budaya.
“Pak Siddik mah baik, terus berlanjut ke anak mudanya, Pak
Syamsudin, Magfur, Rasyidi, terus ke yang lebih muda si Subhi
misalnya, ada juga perempuannya si Kulsum, itu udah pada
baik, ramah, mau berbaur, Nah saya sebagai RT membaca situasi
itu, ada keinginan semua warga, baik orang Sunda maupun
orang Madura, untuk hidup damai, tenteram, saling menghargai,
saling mendukung, sama-sama membangun masjid,
menghidupkan kegiatannya, itu semua adalah upaya semua
warga untuk menciptakan kerukunan. Maka saya dukung habis-
habisan” (Ujang Madi, Sunda, generasi 1)
Terjadinya negosiasi bagi berbagai kepentingan yang berseberangan
tersebut, adalah hasil dari perjalanan panjang percampuran budaya yang terjadi di
RT 04, serta dengan melibatkan seluruh generasi yang ada, demi terciptanya
keharmonisan yang menyeluruh dan mendalam. Hal ini terliht dari di telusurinya
konflik sejak keberadaan orang Madura pertama, dan beragamnya peran disetiap
generasi dalam memicu maupun menyelesaikan konflik.
Selanjutnya saya juga bergaul baik terutama dengan anak
mudanya waktu itu, Pak Syamsudin, sering sharing, diskusi
masalah-masalah warga, ya dia kan orang pinter ya, mau
bergaul sama siapa aja lagi jadi saya suka tuh diskusi sama dia,
dia sering ke sini rumah saya, saya juga suka kerumahnya
walaupun lebih muda, tapi pikirannya lebih laus menurut saya
mah, bahkan anak mudanya paling nurut sama dia, kepanitiaan
bareng-bareng suku Sunda, suku Madura, ya ide dia sama Pak
Agus juga (Arif, Sunda, generasi 2)
108
Pada kasus yang paling fenomenal, yaitu kasus masjid, peran anak muda
saat kejadian terjadi, yang kemudian oleh peneliti disebut generasi kedua, yaitu
orang-orang dalam rentan usia 39-50, terlihat dan diakui sangat menonjol oleh
seluruh informan, yaitu baik orang-orang yang berusia lebih tua, yang oleh
peneliti disebut generasi pertama, yaitu orang-orang dalam rentan usia 60 -70
tahun, maupun mereka yang lebih muda, yaitu orang-orang dalam rentan usia 18-
38, yang selanjutnya disebut generasi ketiga.
“Saya sering diskusi sama Pak Syamsudin, saya bilang kedia
sebenernya kita ini kalau misalnya, ngopi bareng aja, itu udah
hal baik mencairkan kekakuan antar suku. Terus misalnya kalau
lagi Pak Arif ada pengajian dirumahnya, kita sebisa mungkin
hadir lah, mau diundang kek atau enggak. Dan kalau Madura
juga dirumahnya ad acara pengajian misalnya ya kita undang
orang Sunda nya juga, jangan masing-masing cuek gitu.” (Subhi,
Madura, generasi 3)
“Sekarang ini mah saya kan terlibat jadi panitia maulid, ya kita
dengerinnya Pak Syamsudin, Pak Agus, pokoknya yang baik lah.
Ya menurut saya mah orang tua emang kolot, kalau yang
selanjutnya Pak Agus, Pak Syamsudin, itu lebih pinter mereka
mah jadi bisa lah jadi penengah. Ya karena Pak Syamsudin dan
Pak Agus mah ramah sama kita-kita yang muda, enggak ja’im,
kalau ada acara mesjid kaya’ acara maulid kemaren kita di
bimbing, tapi juga kita disuruh cari kreatifitas baru, jadinya kita
seru aja.” (Ekha, Sunda, generasi 3)
Keberanian berpikir berbeda dengan generasi sebelumnya, dengan
menyebut diri masing-masing sebagai sama-sama warga RT 04, serta kesadaran
yang lebih jauh akan akibat konflik yang dapat meluas disebabkan keterkaitan isu
suku, membuat generasi kedua ini, suku Madura bersama-sama dengan suku
Sunda, berani menggagas di adakannya forum musyawarah, dengan cara
mengunjungi rumah para orang tua yang berseteru tersebut, dan meminta
kesediaan mereka untuk meluruskan permasalahan melalui forum musyawarah.
Meskipun pada awalnya ide itu tidak diacuhkan oleh semua pihak yang
berseteru, namun dengan kesabaran dan kegigihan generasi ini, maka forum
musyawarah berhasil di adakan, dan menghasilkan kesepakatan perdamaian serta
kembali bekerjasamanya seluruh warga RT 04. Meskipun dalam forum
musyawarah yang pertama kalinya ini, belum secara detail mengungkapkan dan
membahas timbulnya permasalaha yang terkait perbedaan-perbedaan budaya pada
109
suku Sunda dan suku Madura, namun forum ini berhasil melahirkan titik temu
yaitu sama-sama tidak bermaksud meguasai satu dengan yang lainnya, dan seiring
berjalannya waktu, di dalam pergaulan sehari-hari yang kemudian menjadi lebih
akrab pasca konflik masjid, sebagaimana pengakuan responden, mulai semakin
membuka pengertian-pengertian akan adanya perbedaan-perbedaan budaya, atau
yang mereka sebut “hanya perbedaan cara”, dan mulai mahir cara
menegosiasikannya. Sejak itu hubungan antar suku menjadi lebih erat ditandai
dengan dimulainya saling kunjung kerumah temannya yng berbeda suku, dalam
rangka membahas berbagai kejadian maupun diskusi keagamaan. Model
hubungan ini meskipun sudah lebih baik dari hubungan generasi pertama yang
kaku dan menjaga jarak, masih terkesan formal dan insidental, terutama ketika
terjadi ketegangan maupun kasus-kasus tertentu.
“Sebagai anak muda, saya kan disuruh mimpin kepanitiaan
waktu itu, ya dibimbing sih sama Pak Agus, Pak Syamsudin, Pak
Marsuli, Pak Arif juga, makanya saya sama temen-temen waktu
itu, berusaha tahu maunya orang tua kita, suku Sunda kita
datangin kerumahnya rame-rame, kita undang, enakkan jadinya ,
sama pak Jojo mah saya dianggap anak sendiri dah (Kiki,
Madura, generasi 3)
Buktinya kita kalau ada acara hari besar Islam selalu bagus
acaranya, kepanitiaannya selalu anak muda dari berbagai suku
disini yang urus, ga ada yang dominan. Setiap orang beda-beda,
ada yang keras ada yang kalem, ya itu mah biasa aja ngapain
jadi musuhan gara-gara itu
Enggak usah lah disangkutpautkan sama suku segala, menurut
saya setiap suku punya kelebihan dan kekurangan masing-
masing.” (Eko, Sunda, generasi 3)
Adapun peran generasi tiga, sebagaimana terlihat dalam kasus kepanitiaan
acara Maulid Nabi, adalah sebagai menyempurnakan pembauran yang sudah
dirintis oleh generasi dua ketingkat yang lebih akrab dan non formal, generasi
inipun mampu membuat generasi pertama mulai berbaur lebih akrab terutama
dengan generasi tiga sehingga menjadi hubungan layaknya anak dan orang tua.
Pada generasi ketiga ini generasi tua bukan saja bersikap terbuka namun juga
penuh perhatian seperti pada kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.
“Iya untungnya kita itu enggak ngeblok lah istilahnya, disebelah
rumah saya kan orang Madura, si Tupi, terus kesananya lagi ada
si Enti, Sunda, disebelah enti kan rumah Pak Siddik, itu Madura,
terus kesananya, Ceu iyuk, Sunda, keluarga Pak Munara,
110
disebelahnya, kan Madura, gitu terus, di gang kuburan juga gitu,
pinggir kali juga berbaur kita. Menurut saya mah itu bagus jadi
bersatu lah” (Kulsum, Madura, generasi 2)
“Saya tetanggaan sama Suryati, dia orang Madura, enggak apa-
apa, sebelah dia pak Madroji, orang Sunda, emang gitu di RT 04
mah, enggak ketara mana Sunda mana Madura, nyampur aja”
(Jajah, Sunda, generasi 2)
Perbedaan hasil konflik di RT 04 dengan beberapa konflik yang juga
melibatkan suku Madura seperti peristiwa Sampit dan Sambas misalnya, adalah
juga berkat keberbauran kegiatan yang didukung pula dengan berbaurnya rumah
tinggal mereka. Suku Sunda yang kemudian menjadi akrab dengan para pemuda
madura karena anggapan mereka lebih sopan dan mengerti tatakrama suku Sunda
sebagaimana yang terlihat dalam kasus kepanitiaan acara Maulid Nabi,
melengkapi pemburan yang terjadi antar suku karena lokasi rumah yang
bersebelahan, untuk membentuk interaksi yang lebih natural, berkelanjutan dan
menjadi kekuatan kumunal yang kuat, terutama dimasa-masa terjadinya
ketegangan. Hal ini sejalan dengan pendapat (Varshney, 2009) yang menyatakan
bahwa keseharian ikatan kewargaan seperti melaksanakan kegiatan perayaan
bersama, bermain dalam satu lingkungan bersama, adalah salah satu pendorong
terwujudnya perdamaian.
Tabel 10. jenis Konflik dan Akibatnya
111
Jenis-jenis konflik serta
penyelesaiannya
Jenis
Konflik
Kasus Jenis
penyelesaian
Dampak Konflik
Relasi/isi Karakter galak,
clurit, panitia
pembangunan
masjid, panitia
acara maulid,
kegunaan jalan,
Toleransi Bersatu
Identitas Slametan,
Miskin-kaya
Mempertahakan
identitas masing-
masing suku
Memisahkan
Manajemen Konflik
“Kita orang Madura mah mengerti emang kudunya ngalah terus,
kita itu sebagai pendatang meskipun lebih gigih dalam berusaha,
ya tetep kudu menghargai pribumi, ya demi kerukunan bersama,
pokonya mah asal jauh dari berantem aja lah.” (Husen, Madura,
generasi 1)
“Pokoknya orangnya fleksibel dan kita orang Sunda seneng
kalau sama pak Syamsudin mah, kalau ada masalah, dia tuh yang
tukang mendamaikan dan kita mah percaya kalau dia yang
urusin. Saya berteman baik sama Pak Syamsudin, sering diskusi,
membahas bahwa kita tuh Sunda, Madura, memang beda, tapi
gimana cara menyatukannya, gitu intinya mah, tapi bukan sama
dia aja sih saya berteman, sama Pak Sidik (generasi 1), Pak
Husen (gerasi 1), pak Mawi (generasi 1). Ya intinya kita bisa lah
saling menerima, menghargai satu sama lain.” (Agus, Sunda,
Generasi 2)
“Kudunya begitu, kalau suka ngobrol jadinya kita akrab, saya
sama Adi udah lama berteman, dari kecil. Kita mah enggak
pernah berantem, ngapain berantem, mendingan diskusi apa aja,
112
agama, dagangan, cewek kan lebih asik. Kadang si Adi nolongin
saya ngelayanin langganan material saya. Saya juga suka jagain
warung sembakonya dia, dia suka nginep dirumah saya. Saya
mah enggak pernah nginep dirumahnya, soalnyakan banyak
tukang becaknya dia, ga ada tempat.” (Kiki, Madura, generasi 3)
Kondisi di atas menunjukan terdapat manajemen konflik yang berbeda
pada masing-masing generasi yang menjadi informan dalam penelitian ini.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam proses harmonisasi percampuran
antarbudaya yang diteliti ditemukan bahwa terdapat tiga generasi pada suku
Sunda dan suku Madura. Mereka mengembangkan pola hubungan yang berbeda
satu dengan yang lainnya.
Pada generasi pertama, meskipun telah saling menjaga kerukunan dan
sebisa mungkin menghindari konflik, namun generasi ini tetaplah dua suku yang
terpisah, yang saling mempertahankan adat dan kebiasaan masing-masing. Hal ini
dikarenakan identitas kesukuan yang mereka fahami adalah identitas yang secara
fundamental berarti perbedaan-perbedaan antara suku Sunda dan suku Madura.
Dengan berdasarkan identitas seperti ini baik orang Sunda maupun orang Madura
menimbang persamaan dan perbedaan orang lain dengan dirinya. Semakin mirip
seseorang dengan yang lainnya semakin suka mereka satu sama lain. Demikian
sebaliknya, semakin berbeda seseorang akan membuat orang itu semakin jauh satu
sama lain. Dalam kasus suku Sunda dan suku Madura ini, tidak adanya persamaan
diantara mereka dalam segi watak antara watak suku Sunda yang cenderung
lembut dengan watak suku Madura yang relatif keras, dan kebahasaan, baik
berupa dialek, intonasi maupun gaya komunikasinya membuat suku Sunda merasa
sangat berbeda denga suku Madura. Hal ini mengakibatkan kedua suku saling
berjarak antara satu dengan yang lainnya.
Kecenderungan terhadap perbedaan inilah yang menuntun pengertian dan
pengenalan masing-masing suku akhirnya membentuk persepsi dan sikap yang
mengarahkan suku Sunda dan suku Madura pada stereotipe, prasangka dan
rasisme serta etnosentrisme. Dalam kasus-kasus yang diteliti menunjukan hal
tersebut selalu muncul sebagai pemicunya. Masing-masing suku merasa adat dan
kebiasaannyalah yang paling benar. Maka dapat dilihat kekakuan dari cara
generasi ini bertegur sapa saat berpapasan di jalan, yaitu pergaulan dalam generasi
113
ini masih bersifat sambil lalu, dan tidak mendalam. Tidak terdapat kerjasama
ataupun saling kunjung pada generasi ini, dan kesempatan bertemu hanya ketika
kebetulan berpapasan di jalan, di warung atau bahkan di masjid. Pertama, mereka
adalah para orang tua yan mengalami percampuran budaya sejak suku Madura
datang pertama kalinya ke RT 04. Mereka telah saling menjaga kerukunan dan
sebisa mungkin menghindari konflik. penyelesaian yang terjadi dalam kasus
berwajah galak dan kasus clurit menunjukan hal tersebut. Bahwa perubahan
persepsi yang mereka lakukan adalah untuk meghindari konflik dan menjaga citra
kelompoknya. Mereka tidak mengupayakan penerimaan-penerimaan terhadap
perbedaan budaya. Hal ini menjadikan generasi ini tetap merupakan dua suku
yang terpisah. Meraka saling mempertahankan adat dan kebiasaan masing-
masing. Hal yang berbeda maka akan direspon sebagai ketidak pantasan. Hal ini
dapat dilihat dari berbagai konflik yang terjadi. Bagi mereka kebiasaan suku
madura yang tidak di sukai oleh mereka menunjukan kebiasaan tersebut adalah
hal yang buruk. Oleh karenanya mereka menghubungkan kebiasaan tersebut
dengan karakteristik pendatang pertama Madura yang digambarkan tidak ramah
dan berwatak keras. Suku Sunda melihat perbedaan tersebut sebagai watak yang
tidak pantas karena bertentangan dengan watak ramah dan lembut yang mereka
pedomani sebagai hal yang benar. Suku Sunda selanjutnya menuntut suku Madura
untuk merubah kebiasaan-kebiasaaan tersebut jika ingin dianggap orang yang baik
bagi suku Sunda. Oleh karena itu suku Sunda baru mau menerima orang Madura
sebagai orang yang layak menjadi tetangga mereka, ketika orang Madura mereka
rasakan mau merubah watak tersebut.
Adapun orang Madura menganggap keengganan orang Sunda untuk
berbaur dengan mereka dianggap sebagai watak suku Sunda yang senang
berkumpul dengan sesama sukunya saja. Suku Madura tidak terlalu peduli dengan
keengganan suku Sunda bertegur sapa dengan mereka. Suku Madura pun tidak
merasakan hal tersebut sebagai sebuah masalah. Bagi suku Madura pertengkaran
baru merupakan masalah yang perlu diselesaikan, sedangkan keengganan bertegur
sapa bagi mereka hanyalah hak masing-masing orang. Oleh karena itu, generasi
ini hanya menjalin hubungan formal, sambil lalu dan tidak akrab. Keadaan
pergaulan seperti ini sebenarnya meciptakan suasana yang tidak kondusif di antara
114
kedua suku. Tidak terdapat suasana kekeluargaan di RT 04 saat itu. Di sana pun
tidak terdapat kerjasama-kerjasama yang menguntungkan antar warga RT 04.
Secara tidak langsung kondisi ini pula mengakibatkan tidak berkembangnya
perekonoian warga. Keterpisahan kedua suku pada generasi pertama ini
berlangsung cukup lama sehingga suasana interaksi diantara mereka menjadi
kaku, serta mudah terjadi salah paham dan konflik.
Generasi ini nampaknya berpedoman pada prinsip manajemen konflik
saling menghindari. Dalam menghindar, ditandai dengan reaksi saling menjauhi
ketidaksepakatan dan menghindari pertukaran yang tidak menyenangkan dengan
orang lain. Pola ini ditunjukan oleh suku Sunda dengan cara menjaga jarak
dengan suku Madura. mereka tidak bertegur sapa ataupun berusaha
mengklarifikasi persepsi mereka. Suku Sunda hanya akan mengubah cara pandang
mereka ketika dirasa ada kesempatan untuk melakukan hal tersebut. Momen
merubah persepsi itu mereka temukan terhadap pendatang kedua suku Madura.
Mereka menganggap pendatang kedua lebih ramah daripada pendatang Madura
yang pertama, sehingga selanjutnya mereka mau hidup bertetangga dengan orang
Madura. Hal ini menunjukan bahwa pada setiap konflik yang muncul upaya yang
dilakukan adalah dalam rangka menyelamatkan identitas dan harga diri sukunya
semata.
Pada generasi kedua pola pertemanan mulai lebih akrab, bahkan masing-
masing informan mau untuk menyatakan pertemanan dan keakraban dirinya
dengan temannya yang berbeda suku, meski masih bersifat formal. Persahabatan
yang mereka maksudkan adalah menjalin pola berdiskusi dan saling kunjung ke
rumah meskipun hal itu terjadi hanya ketika ada konflik atau ketika mulai tercium
akan munculnya masalah. Dari diskusi dan saling kunjung tersebut
mengakibatkan mulai disadari adanya perbedaan serta dinegosiasikannya
perbedaan adat dan cara menyikapinya. Tradisi ini menjadi ajang pengamatan,
pembelajaran dan pengalaman antarbudaya bagi mereka
Kesadaran terhadap situasi dan kondisi lingkungan mulai dibina pada
generasi ini, bahwa suasana yang kaku dan pergaulan yang sambil lalu, di nilai
oleh generasi kedua ini sebagai merupakan cikal bakal konflik di RT 04, mereka
pun telah mampu mengidentifikasi orang-orang dari kedua belah suku yang sangat
115
mungkin menjadi sumber konflik sehingga dilakukan upaya-upaya pendekatan
pada orang yang di maksud.
“Ya kaya waktu ada masalah soal masjid, kita yang muda
bareng-bareng mendatangi Pak Odih dia kan sesepuhnya suku
sunda lah, silaturahmi, dan hasilnya memang bagus, kita jadi
bisa menyelenggarakan musyawarah dengan sukses, waktu
lebaran juga kan kita berupaya saling kunjung lah”.(Marsuli,
Madura, generasi 2)
Dalam hal ini adalah para orang tua dari kedua belah suku, terutama para
tetua yang memiliki pengikut. Orang-orang dari generasi kedua ini memulai
tradisi kunjungan kepada para tetua setempat secara bersama-sama, artinya
beberapa generasi dua dari suku Sunda bersama-sama dengan beberapa orang dari
suku Madura secara bergerombol bersilaturahmi pada para orang tua tersebut. Hal
ini sebagaimana pengakuan mereka agar para orang tua melihat keakraban
pergaulan diantara mereka dan berharap mendapatkan respon baik dari mereka.
“Nah kalau udah gitu tuh kita yang muda-muda harus ngalah,
denga rame-rame datang kerumahnya, tanya apa maunya,
biasanya mereka baru mau ngomong apa maunya, tidak
setujunya kenapa (Agus, Sunda, generasi 2)”.
Generasi ini pulalah yang mencetuskan ide di adakannya berbagai macam
kegiatan bersama yang melibatkan kedua suku, seperti pengajian bapak-bapak dan
ibu-ibu. Namun dari keseluruhan upaya yang dilakukan oleh generasi dua,
sebagaimana pengakuan mereka hal ini masih kurang berhasil, maka mereka
mengalihkan upaya pembauran pada anak mudanya yang kemudian dalam
penelitian ini disebut sebagai generasi ketiga. Dalam upaya ini seperti akan
dibahas kemudian, cukup berhasil membuat para anak muda lebih akrab, bahkan
menginspirasi para orang tua untuk juga mulai membaur. Ketika konflik terjadi
generasi kedua inilah yang segera mengupayakan jalan keluar, bahkan
musyawarah yang kemudian terjadi dimanfaatkan oleh mereka sebagi ajang saling
mengenal lebih dekat antar suku.
“Buktinya kalau ada apa-apa acara kawinan misalnya, saya ya
diundang, disuruh mewakili keluarga pengantin segala, terus
saya perhatikan, kaya’ pembetulan jalan waktu itu, atau acara
maulid kaya’ kemaren, ya mereka turun bersama-sama orang
Madura, bareng saya, kerjasama sampe kegiatan sukses.” (Pak
Agus, Sunda, generasi 2).
116
Generasi kedua mengelola konflik dengan cara melakukan kompromi.
Salah satu contohnya adalah upaya generasi ini penyelenggaraan forum
musyawarah agar masing-masing suku dapat mengetahui adanya perbedaan cara
menyelesaikan masalah kefakuman panitia pada kasus pembangunan masjid.
Kompomi adalah gaya konflik yang didasari pemahaman-pemahaman terhadap
perbedaan-perbedaan yang ada. Kesadaran-kesadaran yang terbangun akibat
intensitas interaksi yang tercipta antar warga RT 04 menginspirasi generasi ini
lebih dari yang lainnya dalam menciptakan kerukunan antar suku di RT 04.
Generasi ini mengembangkan pola pendekatan ke atas yaitu generasi satu, dan ke
bawah yaitu generasi tiga dalam upaya menegosiasikan perbedaan adat dan
kebudayaan yang berbeda.
Dari kebanyakan kasus konflik yang terjadi di RT 04 antara suku Sunda
dan suku Madura, generasi dua selalu tampil sebagai penengah dan penyelesai
konflik. kemampuan mereka mengkoordinir warga ini selanjutnya menjadi kunci
bagi terselesaikannya berbagai konflik. Apalagi keberhasilan mereka dam
membina generasi tiga melalui berbagai kegiatan bersama yang mereka
selenggarakan, berhasil menciptakan pembauran warga RT 04. Pembauran yang
dicapai oleh generasi tiga ini mencapai tingkat kemampuan mengintegrasikan
berbagai perbedaan kebudayaan yang ada menjadi suatu kekuatan pemersatu yang
menjadi ciri khas warga RT 04.
Kompromi juga dilakukan dalam penyelesaian masalah jalan, berupa
solusi di gunakan truk berukuran tanggung agar tercapai nilai suku Sunda berupa
menjaga keindahan jalan, dan suku Madura tetap dapat melaksanakan nilai
budayanya, yaitu menggunakan jalan secara maksimal. Pada kasus kepanitiaan
masjid, perbedaan cara mengundang dikompromikan dengan cara mengundang
dilakukan satu kali, tidak berkali-kali sebagaimana nilai suku Sunda, Namun
dilakukan dengan sopan yaitu dengan datang kerumah orang yang diundang, tidak
dilakukan ketika berpapasan di jalan sebagaimana kebiasaan suku Madura. bentuk
kompromi dalam masalah penolakan Madura pada jabatan yang ditawarkan
adalah menjaga keseimbangan hidup bersama berupa menempatkan suku Sunda
pada jabatan RT, karena sesuai dengan nilai budayanya dalam memandang
117
kehormatan hidup, dan menempatkan suku Madura di sektor perdagangan karena
sesuai nilai budayanya dalam memandang kehormatan hidup.
Dalam mencapai kompromi, selain dengan menyelenggarakan forum
musyawarah, generasi dua juga mengupayakan berbagai macam kegiatan
bersama yang melibatkan kedua suku, seperti pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu,
mengunjungi para tetua kedua suku dan lain-lain. Namun karena masih kurang
berhasil, maka mereka mengalihkan upaya pembauran pada anak muda dari
kedua suku. Para anak muda binaan generasi dua ini dalam penelitian ini disebut
sebagai generasi ketiga. Usaha pembauran yang dimaksud adalah diadakan
kegiatan bersama dalam kepanitiaan acara masjid, acara- acara RT, hingga gotong
royong perbaikan jalan.
Generasi kedua mampu mengembangkan pola kompromi dikarenakan
identitas yang mereka pedomani bukanlah merupakan suatu yang statis, namun
bisa berubah menurut pengalaman hidup. Generasi ini menyadari identitas
kesukuan mereka masing-masing. Konsep diri mereka telah di bentuk oleh
keluarga, budaya serta etnis mereka masing-masing. Suku Madura generasi dua
berbahasa Madura terutama dengn keluarga dan orang tua mereka. mereka juga
masih memegang berbagai adat dan kebiasaan sukunya, seperti pulang kampung
saat lebaran haji, berdedikasi kerja yang baik, dan lain sebagainya. Demikian juga
pada generasi dua suku Sunda. Mereka tetap dapat di identifikasi kesundaannya.
Namun kedua suku Generasi dua ini mengembangkan makna identitas.
pengalama dan keterlibatan generasi dua pada konflik masjid membuat mereka
memahami perihal perbedaan yang ada diantara mereka, serta menjadikan hal
tersebut sebagai pelajaran yang menjadi pemandu dalam menghadapi konfli-
konflik berikutnya. Pada dasarnya identitas bagi generasi dua ini merupakan
pandangan reflektif mengenai diri sendiri ataupun persepsi orang lain mengenai
gambaran diri mereka. Suku Madura generasi ini mampu melihat keunggulan nilai
pada sukunya serta mepertahankannya. Mereka juga dapat melihat kekurangan
pada sukunya dan bersedia memperbaikinya. Demikian juga suku Sunda
melakukan hal yang sama, yaitu mampu melihat kelebihan dan kekurangan
budaya sukunya. Kegiatan diskusi dan saling kunjung yang dimulai oleh generasi
ini menggambarkan kesadaran tersebut, dan berusaha mempertukarkannya
118
diantara mereka. Hal ini mengakibatkan mereka saling mengembangkan identitas
pribadi mereka sebagai tidak berhenti pada suku Sunda dan suku Madura saja,
menjadi identitas yang lebih luas yaitu sebagai suku Madura yang sudah
tercampur dengan berbagai adat dan kebiasaan suku Sunda dan juga sebagai suku
Sunda yang sudah berbaur dengan adat dan kebiasaan suku Madura.
Perkembangan identitas pada generasi kedua ini mereka peroleh akibat pergaulan
yang lebih akrab yang kebanyakan dimulai sejak masa kanak-kanak, baik berupa
teman bermain maupun teman sekolah. Identitas yang lebih kaya inilah yang
membentuk generasi dua memiliki pandangan-pandanga yang berbeda dengan
generasi sebelumnya, sehingga mereka mampu mengidentifikasi permasalahan
serta mengupayakan jalan keluarnya.
Pada generasi ketiga hubungan personal sudah sangat baik, persahabatan
antar suku ditandai dengan kedekatan satu orang Sunda yang bersahabat dengan
satu suku Madura tertentu dengan model pertemanan yang lebih dinamis, yaitu
meliputi saling menginap dirumah temannya, bergerombol baik saat berdiskusi
berbagai kegiatan masjid dan bisnis anak muda, maupun untuk nongkrong dan
minum kopi bersama semata. Pertemanan ini dilatarbelakangi dengan berbagai
penyebabnya, ada yang karena kerjasama bisnis, bertetangga rumah maupun
dalam berbisnis, sampai pertemanan yang tidak terkait bisnis sama sekali.
Generasi ini mengembangkan identitas yang khas yang terjadi dalam
masyarakat multikultural. Generasi tiga adalah anak-anak yang di lahirkan dan
besarkan di tempat yang sama, memiliki pergaulan yang sama serta berpola hidup
yang sama. Mereka mengembangkan identitasnya melalui interaksi dengan
kelompok budaya mereka dan interaksi dengan lingkungan sosial mereka secara
bersamaan. Interaksi-interaksi ini memberi ruang bagi generasi tiga untuk
melakukan pengamatan, pembelajaran dan mencari pengalaman budaya dan
membentuk identitas sendiri yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya.
Mereka sudah tidak memandang perbedaan adat sebagai pembatas dalam
hubungan baik yang dibina, bahkan mereka melihat hal tersebut sebagai
pelengkap bagi masing-masing suku, dan mampu dengan jujur mengakui
kelebihan dan kekurangan sukunya dan suku temanya. Identitas baru yang mereka
ciptakan ini membuat satu sama lain saling merasa nyaman untuk saling berbagi
119
dan mengisi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hubungan generasi tiga
sudah mencapai tarap hubungan interpersonal, dimana berbagai latar belakang
perbedaan budaya sudah tidak menjadi penghalang diantara mereka untuk
menjalin persahabatan dan melakukan berbagai kerjasama yang saling
menguntungkan. Berbagai kegiatan bersama yang mereka lakukan seperti sama-
sama menjadi panitia acara masjid, gotong royong jalan dan lain-lain, berhasil
megintegrasikan perbedaan-perbedaan menjadi suatu kesatuan yang saling
melengkapi.
Inilah gaya konflik yang dipakai oleh generasi tiga, yaitu
mengintegrasikan berbagai perbedaan kebudyaan yang ada menjadi sebuah
kebersamaan yang khas milik warga RT 04. Dalam kerjasama melaksanakan acara
maulid misalnya, suku Madura memandang suku Sunda baik ditempatkan di
urusan dekorasi panggung karena sesuai dengan wataknya yang menyukai
keindahan, sedangkan suku Madura ditempatkan di urusan penggalangan dana,
karena dianggap cocok dengan tabiatnya yang gigih. Pengintegrasian ini
menghasilkan berbagai keberhasilan disetiap kegiatan bersama yang dilaksanakan,
seperti kemeriahan acara-acara masjid, kesuksesan perbaikan jalan dan lain-lain.
Integrasi yang berhasil mereka ciptakan ini selain sebagai binaan generasi dua
juga dikarenakan kedekatan yang tercipta diantar generasi tiga. Kesadaran-
kesadaran membangun kontak berbasis antar budaya, dilakukannya berbagai
kegiatan bersama serta dilakukannya adaptasi budaya nampak jelas pada genersi
ini. Pembauran area tinggal antara suku Sunda dan suku Madura, terdapatnya
arena-arena interaksi antar suku baik di dalam maupun di luar area tinggal
memberi ruang untuk mengembangkan hubugan dekat diantara mereka,
menghilangkan penghalang untuk berhubugan secara langsung dan terus menerus.
Hal ini sesungguhnya menjadi cikal bakal terjalinnya keharmonisan dan integrasi
diantara keduanya. Kondisi ini kemudian di perjelas dengan keberhasilan mereka
menginterasikan berbagai perbedaan yang pada masa sebelumnya justru
menimbulkan berbagai konflik. keharmonisan yang terjalin bahkan hingga di
temukannya simbol bersama pada suku Sunda dan suku Madura berupa masjid.
Pola yag lebih akrab ini sebagaimana mereka akui adalah binaan generasi
dua, berdampak memancing generasi pertama untuk mulai mencairkan kekakuan
120
masing-masing, bahkan para orang tua ini mengakui bahwa dari generasi ketiga
inilah mereka belajar banyak dan malu dengan sikap mereka yang kemudian
dirasa terlalu menjaga jarak pada sesama warga RT 04. Kondisi sosial yang lebih
akrab inilah yang kemudian berhasil mengintegrasikan seluruh warga RT 04 dari
generasi satu hingga generasi tiga.
Hal ini secara keseluruhan menjadi alasan keberhasilan manajemen
konflik berkat peran aktif warga sendiri, dalam hal ini generasi dua dan diikuti
oleh generasi tiga. Melalui rentan waktu dan proses yang amat panjang mereka
berhasil saling membangun dan melindungi identitas masing-masing suku.
Diterimanya identitas suku amatlah penting bagi kedua suku tersebut dikarenakan
kedua budaya yang diteliti ini termasuk dalam kategori budaya kolektif. Budaya
kolektivis memandang identitas suku sangat penting, mengutamakan kewajiban
kelompok daripada hak individu, tujuannya menjaga identitas bersama. Meski
sama-sama berbudaya kolektif, tingkat kolektivitas suku Sunda lebih kental
daripada budaya kolektif yang ada pada suku Madura (Rifa‟i 2007).
“Contoh kecil ini mah, kita orang Madura misalnya bagus
ditempatkan di penggalangan dana, karena kita orangnya aktif
kesono-kesini, kuat lah, terus orang sunda bagian dekorasi
panggung, nah mereka telaten tuh bikin suasana acara jadi
sesuai tema acaranya, gitu kan bagus, orang dari RT lain aja
palng seneng katanya kalau ada acara di RT kita, meriah, dan
hal kaya’ gitu bisa terjadi karena ada orang-orang kaya’ Pak
Syamsudin, Pak Agus, tapi ya kalau sama kita Pak Jojo aja jadi
suka ikutan nongkrong, asik katanya sama anak muda mah
.”(Subhi, Madura, generasi 3)
“Kalau sama Apung mah udah kaya anak sendiri, anaknya baik,
saya kalau terlalu kekeh juga sekarang mah malu sama yang
muda-muda itu, mereka bisa kerjasama, akrab dan enggak ada
uh berantem-berantemannya, mereka mah ya mungkin karena
masih muda aturannya ya aturan anak muda aja (Jojo, Sunda,
generasi 1)
Terdapat orang-orang yang disebut biang kerok, baik oleh suku Sunda
maupun suku Madura untuk menyebutkan mereka yang sering menyulut
pertikaian, orang-orang ini mereka sebut sebagai orang yang tidak mau bergaul
dan merupakan akibat dari narkoba. Para biang kerok ini adalah orang-orang yang
menjadi penyebab disetiap pertengkaran yang terjadi namun tidak terkait masjid,
dan hampir menimbulkan bentrok antar suku. Penyebutan biang kerok ini
121
mengindikasikan bahwa tidak ada dari kedua belah suku yang mengakui perangai
itu sebagai perangan kaumnya yang pantas untuk dibela. Para biang kerok ini
terdiri dari generasi pertama, kedua bahkan ketiga.
Maka bagi warga RT 04 sepanjang orang tersebut tidak mau membuka
diri, ia akan dapat berpotensi menjadi biang kerok kerusuhan. Dan dari penamaan
yang diberikan oleh warga pada para pengacau ini terlihat kesadaran akan
pentingnya perangai baik sebagai landasan bagi penilaian setiap orang di RT 04,
bahkan karena kesadaran itu pulalah warga RT 04 tidak membiarkan para biang
kerok tersebut memecah belah mereka.
“Ada sih berantem-berantem kecil kaya si Mail (Madura,
generasi 3) emang biang kerok dia mah dari suku Maduranya,
maklum kena narkoba, dan enggak bergaul lagi orangnya, mana
dia punya temen, enggak, berantemnya sama oji (Sunda, generasi
2), sama tuh pengangguran ya biang kerok juga dari Sundanya,
yang laen mah enggak, si Adi (Sunda, generasi 3), berteman
akrab sama si Kiki (Madura, generasi 3) subhi, berteman sama
ekha, mereka mah baik.” (Nunung, Sunda, generasi 1)
Namun meskipun tidak ada dari responden yang mengakui akan pengaruh
para biang kerok ini, nampaknya dalam beberapa kejadian yang memicu konflik,
justru disebabkan oleh profokasi mereka. Peneliti melihat para biang kerok ini,
jika yang berasal dari suku Sunda adalah mereka yang berstatus pengangguran,
dan cenderung dekat dengan dunia narkoba. Adapun dari suku Madura, para
penyebab konflik disamping juga para pecandu narkoba, ada juga mereka yang
bertabiat cuek, dingin dan kurang akrab, bahkan meskipun berpapasan dijalan.
Kedua karakter ini kemudian memicu bebagai kecurigaan, terutama ketika
dikaitkan dengan isu kesenjangan ekonomi, maka kedua karakter ini memang
kemudian memicu konflik.
“Orang Sunda itukan memang agak males ya, anak mudanya
masih banyak yang nganggur, sementara orang Madura mah
kerja kerasnya bagus, wajar kalau mereka kebanyakan sukses, itu
kadang menimbulkan kecemburuan sosial. Apalagi ditambah
sikap cueknya ya kadang dari orang Madura masih ada aja yang
cuek itu.” (Agus, Sunda, generasi 2)
Tabel 11. Manajemen Konflik Antar Generasi
122
21
Manajemen Konflik Antar Generasi PadaSuku Sunda dan Suku Madura
Generasi satu Generasi dua Generasi tiga
Peran Formal- dua
suku yang
terpisah
Formal-menjalin
hubungan yang
fungsional
Berbaur
membangun
keserasian budaya
Manajem
en Konflik
Menghindari
konflik
Mengkompromika
n perbedaan-
perbedaan demi
keuntungan dan
kebaikan bersama
Mengintegrasikan
perbedaan menjadi
identitas bersama
dan saling
melengkapi
Efektivitas Komunikasi Antarbudaya
Pengamatan, proses belajar dan pengalaman terbukti berpengaruh terhadap
didapat dan dikembangkannya pengetahuan dan motivasi yang berdampak pada
komunikasi antarbudaya yang efektif, yaitu terciptanya saling mengerti, saling
menghargai dan saling mendukung diantara suku Sunda dan suku Madura. Dalam
penelitian ini terbangunnya saling pengertian, penghargaan dan dukungan
antarbudaya disebabkan suatu konflik yang terjadi antara suku Sunda dan suku
Madura dapat di selesaikan. Beberapa konflik yang dapat di selesaikan oleh
mereka antara lain adalah konflik berwajah galak, konflik clurit, konflik masjid,
konflik kepanitiaan maulid, konflik kegunaan jalan dan konflik perdagangan
versus jabatan. Konflik-konflik yang cenderung akibat perbedaan persepsi budaya
pada para orang tua ini dapat di selesaikan berkat komunikasi baik personal
maupun interpersonal yang terjadi pada kedua suku tersebut. Ketika konflik –
konflik tersebut terjadi generasi dua dari kedua suku berusaha untuk melakukan
pengamatan, pembelajaran dan mencari perngalaman dari kejadian tersebut.
Dengan cara ini mereka mendapatkan pengetahuan dan mengembangkan motivasi
antarbudaya sebagai upaya mencari penyelesaiannya. Hal ini yang mengakibatkan
123
pada masa selanjutnya generasi dua mampu memprakarsai penyelesaian konflik
dengan lebih baik, yaitu konflik pada kasus masjid. Pada kasus ini generasi dua
berkat pengetahuan budaya dan motivasi yang telah mereka kembangkan di masa
sebelumnya berhasil memegang kendali dalam menyelesaikannya serta
menjadikan konflik sebagai sarana komunikasi yang efektif yang melahirkan
pengertian, penghargaan dan dukungan antarbudaya pada suku Sunda dan suku
Madura.
Generasi dua ini melakukan manajemen konflik sebagai usaha pengelolaan
atas konflik-konflik tersebut. keberhasilan ini selanjutnya menjadikan generasi
dua di pandang sebagai figur pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang berbeda
dengan para pemimpin sebelumnya yang kaku dan bercirikan khas kesukuan. Para
pemimpin muda ini lebih merupaka pemuka pendapat yang di ikuti karena
kemampuan mereka mengupayakan kompromi-kompromi budaya daripada saling
mempertentangkannya.
Melalui peran sebagi pemuka pendapat ini, generasi dua mampu
menegosiasikan adat dan budayaannya, hingga mampu mengorganisir generasi
satu untuk lebih membuka diri sebagai upaya menyelesaikan konflik, dan
mengorganisir generasi tiga melakukan pemburan budaya dalam melaksanakan
berbagai kegiatan bersama. Konsep pembauran lokasi tinggal yang secara tidak
sengaja terbentuk di RT 04 menjadi faktor utama bagi generasi dua untuk
melakukan pengamatan, pembelajaran dan mencari pengalaman dalam
menciptakan efektivitas komunikasi antarbudaya disana. Pembagian peran dan
tugas warga di RT 04 yang dibuat agar tercipta keseimbangan kedudukan pasca
konflik dan berbagai kegiatan bersama antara suku Sunda dan Madura pun
ternyata efektif membangun kesadaran pengertian, penghargaan dan dukungan
antar warga.
Pada mulanya Pak Syamsudin di kenal warga sebagai orang Madura yang
ramah dan mau bergaul dengan akrab dengan siapa saja. Hal yang memungkinkan
Pak Syamsudin melakukan pembelajaran, pengamatan dan mencari pengalaman
dalam mengembangkan pengetahuan dan motivasi budayanya. Pak Syamsudin
dapat dengan akrab bergul dengan orang-orang yang lebih tua darinya, dapat juga
bergaul dengan orang yang lebih muda dari dirinya, terlebih dengan orang-orang
124
yang sebaya dengan dirinya. Inilah yang menyebabkan ide Pak Syamsudin untuk
melakukan pendekatan pada berbagai pihak yang beseteru, menggagas forum
musyawarah serta mengupayakan negosiasi, mendapat dukungan dari berbagai
pihak. Pak Syamsudin berusia 40 tahun. Ia merupakan generasi kedua suku
Madura yang tinggal di RT 04
Pak Syamsudin berteman baik dengan Pak Agus. Pak Agus sebaya dengan
Pak Syamsudin. Oleh karena itu ia juga merupakan generasi kedua dari suku
Sunda. Pak Agus adalah sosok yang di pandang memiliki perangai sama baiknya
dengan pak Syamsudin dalam hal pergaulan. Ia menghormati setiap orang baik tua
maupun muda dan tidak pernah memandang rendah siapa pun. Ia di kenal suka
mendengarkan pendapat dari siapa saja dan akan mengikuti pendapat itu
meskipun yang berpendapat tersebut adalah orang yang lebih muda darinya atau
dalam pandangan umum lebih rendah ilmunya di banding pak Agus. Pak Agus
inilah yang meminta bantuan pada warga RT 04 yang di pandangnya mampu
meneruskan pembangunan masjid yang terbengkalai kala itu. Orang-orang
Madura yang merespon ajakan Pak Agus saat itu antara lain karena kepercayaan
mereka terhadap niat baik Pak Agus, disamping karena nilai budaya suku Madura
yang menganggap penting pada masjid sebagaimana telah di paparkan.
Kedua orang ini karena perangai mereka yang baik, serta karena berbagai
penyelesaian konflik yang mereka lakukan menjadikan mereka di hormati di antar
suku Sunda dan suku Madura. orang-orang tua akan merasa tenang jika mereka
berdua turun tangan dalam menyeesaikan suatu masalah dan akan mendukung
kedua orang ini ketika mereka menggagas suatu kegiatan. Kepercayaan ini mereka
dapatkan karena mereka mampu mengemukakan pendapat yang di anggap tepat
dalam menyelesaikan berbagai konflik atau dalam hal menyempaikan apa yang
memang dibutuhkan oleh warga.
Dalam konsep kepemimpinan mereka berdua termasuk dalam kategori
pemuka pendapat. Seluruh warga akan menyatakan setuju dengan berbagai
pendapat yang mereka ajukan serta mendukung bagi terrealisasikannya pendapat
tersebut. Para pemuka pendapat selanjutnya adalah Pak Marsuli. Ia adalah suku
Madura yang ketika penelitian ini dilakukan Pak Marsuli sedang menjabat sebagai
ketua DKM. Pak Marsuli di kenal sebagai orang kaya yang senang membantu
125
terutama pada sesama pemilik warung sembako yang lebih kecil dari toko
sembako miliknya. Ia juga banyak memperkerjakan anak-anak suku Sunda yang
putus sekola sambil mengajarkan kepada para pegawainya tersebut berbagai ilmu
dagang yang di milikinya. Pak Marsuli di kenal sangat loyal pada semua hal yang
berurusan dengan masjid. Tidak jarang Pak Marsuli menggunakan uang
pribadinya demi kelancaran kegiatan masjid. Pak Marsuli berteman dengan Arif.
Suku sunda yang juga masuk dalam kategori generasi kedua. Pak Arif adalah anak
Pak Odih, seorang pemuka suku Sunda. Kedua orang ini sering berdiskusi
membahas berbagai permasalahan di RT 04. Kedua orang ini pun sering
melakukan diskusi dengan Pak Agus dan Pak Syamsudin sehingga keempat orang
ini akhirnya dianggap para pemimpin yang di ikuti pendapatnya oleh warga RT 04
baik suku Sunda maupun suku Madura.
Model pertemanan yang di ciptakan oleh generasi dua ini selanjutnya
menginspirasi hampir seluruh warga untuk menjalin model pertemanan yang
sama. Terutama pada generasi tiga yang membuat pola pertemanan menjadi lebih
akrab dan lebih bermanfaat bahkan berkembang hingga mereka berhasil
menciptakan arena interaksi bagi warga RT 04. Ketika penelitian ini di lakukan
pertemanan-pertemanan antar suku si RT 04 sudah mencakup keseluruhan
generasi yang di teliti, demikian juga arena interaksi telah mencakup luar dan
dalam lokasi tinggal pada seluruh generasi.
Pengamatan, pembelajaran dan pengalaman juga lah yang membuat
generasi dua menyadari pentingnya masjid bagi suku Sunda dan suku Madura.
karena kesadaran ini mereka menjadikan masjid sebagai basis berbagai kegiatan
bersama yang terbukti berhasil merekatkan kedua suku tersebut. keberhasilan ini
ditandai dengan dijadikannya masjid sebagai media pemersatu oleh seluruh warga
RT 04. Melalui masjid generasi dua mampu mengorganisir generasi satu untuk
bersatu dalam mensukseskan kegiatan-kegiatan masjid di satu sisi, serta
membangun pembauran dan kerjasama yang lebih mendalam pada generasi tiga.
Hal ini selanjutnya membuat seluruh generasi pada suku Sunda dan suku Madura
menjadikan masjid sebagai simbol bersama bagi mereka.
Selanjutnya ketika konflik-konflik berhasil di selesaikan maka terjadilah
saling pengertian, penghargaan dan dukungan diantara mereka. adapun pada
126
konfli-konflik yang tidak berhasil di komunikasikan dengan baik karena
menyangkut identitas yang tidak dapat di tawar sehingga tidak dapat di temuka
penyelesaiannya seperti konflik slametan dan konflik kaya versus miskin,
mengakibatkan upaya pengamatan, pembelajaran ataupun pencarian pengalaman
menjadi tidak optimal. Hal ini mengakibatkan komunikasi menjadi tidak efektif,
yaitu tidak terjadinya saling pengertian, dukungn maupun penghargaan
antarbudaya.
Sebagaimana telah di sebutkan, terutama pasca konflik masjid, ketika
berbagai kegiatan bersama berhasil dilakukan oleh suku Sunda dan suku Madura,
berdampak pula terciptanya arena interaksi antara suku Sunda dan suku Madura di
dalam lingkungan tinggal mereka dan di luar lingkungan tinggal kedua suku. Hal
ini menjadi media yang palig efektif dalam mengupayakan harmoniasasi antara
suku.
Arena interaksi di dalam lingkungan tinggal diprakarsai para generasi
muda terutama generasi tiga. Melalui arena interaksi dalam lingkungan tinggal ini
mereka berhasil menciptakan interaksi antarsuku yang positif dan tanpa konflik.
hal ini di sebabkan para anak-anak muda ini melakukan pembelajaran
antarbudaya melalui pergaulan yang lebih akrab diantara mereka, disamping juga
pengamatan dan pembelajaran yang mereka lakukan pada kejadian-kejadian
konflik para orang tua mereka dan berkat arahan generasi dua. Pembauran lokasi
tinggal yang secara tidak sengaja terbentuk di RT 04 yang mengakibatkan
terjadinya berbagai konflik diantara orang tua di satu sisi, penyelesaian-
penyelesaian konflik oleh generasi dua di sisi lain, memberi kesempatan pada
generasi muda untuk melakukan proses belajar melalui pengalaman para
pendahulunya tersebut. Melalui proses ini maka di arena interaksi ini para anak
muda mengembangkan identitas kesukuan masing-masing menjadi lebih fleksibel.
Mereka menyadari bahwa mempertentangkan perbedaan budaya hanya
melahirkan kesenjangan. Mereka juga belajar bahwa ternyata perbedaan budaya
dapat di kompromikan bahkan diintegrasikan untuk menciptakan keselarasan
diantara mereka. inilah bentuk pengetahuan dan motivasi yang lahir dari gnerasi
tiga.
127
Dari arena interaksi ini pula adaptasi antarbudaya banyak dilakukan oleh
generasi ini. Para anak muda suku Madura, pengetahuan terutama dari segi
bahasa, cukup berhasil mempersempit jarak diantara kedua suku ini mengingat
permasalahan awal pada percampuran budaya di RT 04 adalah perbedaan bahasa
beserta intonasi suku Madura yang dirasakan amat bertolak belakang dengan
bahasa dan sekaligus karakteristik suku Sunda. Adapun anak-anak suku Sunda
dengan menginap di rumah temannya yang bersuku Madura, mengembangkan
pemahaman yang lebih mendalam terhadap pengetahuan perihal budaya suku ini
dan termotivasi menjalin keakraban dengan para orang tua suku Madura.
Arena interaksi yang di ciptakan generasi ini juga berhasil menginspirasi
generasi yang lebih tua untuk menciptakan arena interaksi diantara mereka. ketika
penelitian ini dilakukan terdapat empat arena interaksi dalam lingkungan tinggal
yang paling efektif dalam membangun keharmonisan antarbudaya. keempat arena
interaksi ini mencakup arena interaksi anak muda yaitu toko material, arena
interaksi para bapak yaitu pangkalan becak dan bengkel motor, dan arena interaksi
berupa warung sembako. Di arena-arena interaksi ini warga melakukan
pembagian peran dan tugas sosial masing-masing suku sebagai warga di RT 04.
Hal ini dilakukan agar tercipta keseimbangan kedudukan antara suku Sunda dan
Madura dan membangun kesadaran pengertian, penghargaan dan dukungan
antarsuku.
Efektivitas komunikasi antarbudaya selanjutnya yang juga tercipta akibat
trinspirasi para anak muda yang mengembangkan interaksi di dalam lingkungan
tinggal, terjadi di arena interaksi di luar lingkungan tinggal. Arena interaksi
antarsuku ini terdiri dari para pedagang kaki lima, pegawai kelurahan dan pekerja
lainnya. Kebutuhan menjalin relasi perdagangan melatarbelakangi terciptanya
arena interaksi ini. Arena interaksi ini dan juga berkat arena interaksi di dalam
lingkungan tinggal di masa selanjutnya menjadi penyebab banyaknya kerjasama
antara suku Sunda dan suku Madura terutama didalam bidang ekonomi. Kedua
arena interaksi ini merupakan media yang efektif dalam membina kerukunan
antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura di RT 04. Pada kondisi inilah
generasi satu dari suku Sunda dan suku Madura mulai melakukan pengamatan,
pembelajaran dan pencarian pengalaman budaya. Mereka berhasil
128
mengembangkan pengetahuan dan motivasi dalam kondisi ini. Keadaan ini
menunjukan komunikasi atarbudaya antara suku Sunda dan suku Madura di RT 04
lebih efektif pada arena interaksi, daripada efektivitas komunikasi yang terjadi
pada pecahnya konflik yang kemudian dapat di selesaikan. Adapun pada konflik
yang tidak berhasil diselesaikan efektivitasa komunikasi antarbudaya tidak terjadi.
Penelitian ini juga menunjukan bahwa dari kasus-kasus yang diteliti yaitu
pada kasus pembangunan masjid dan kepanitian Maulid Nabi, terlihat bahwa
seiring berjalannya waktu penyebab yang sama ternyata dapat menimbulkan efek
yang berbeda disetiap kenflik yang terjadi. Pada kasus masjid, terjadinya masalah
yang disebabkan oleh adanya perbedaan budaya menyebabkan kemarahan yang
dikaitkan pada asumsi tidak adanya penghargaan satu pada yang lainnya, sehingga
hal tersebut dianggap merendahkan harga diri masing-masing suku. Hal ini
mengakibatkan konflik menjadi sangat besar. Namun dimasa selanjutnya, pada
kasus kepanitiaan acara maulid baik para pelaku konflik maupun para juru
damainya menyatakan permasalahan itu terjadi hanya dikarenakan adanya
perbedaan cara pada suku Sunda dan suku Madura terkait suatu masalah. Asumsi
ini ternyata berdampak pula pada respon masing-masing orang terhadap
kemunculan konflik, yaitu dari anggapan “sangat urgen”, “menyangkut harga diri”
bahkan “penghinaan” menjadi “hanya beda cara”, dan “untuk tidak terlalu
membesar-besarkan masalah”. Dampak konflik menjadi jauh lebih mengecil lagi
berkat kesadaran yang lebih tinggi lagi yang terjadi pada generasi dua dan tiga.
Perubahan persepsi ini sebagai mana pengakuan mereka adalah karena
intensitas komunikasi dan musyawarah yang terus meningkat di RT 04, sehingga
setiap orang menjadi lebih berpengatahuan dan termotivasi untuk lebih saling
mengerti, menghargai dan mendukung pada satu sama lain. Suatu proses sosial
yang menghasilkan komunikasi antar budaya yang efektif, pembinaan kesadaran
antarbudaya, serta pendewasaan karakter melalui upaya-upaya bersama, untuk
kepentingan bersama pula. Artinya efektivitas komunikasi antarbudaya yang
terjadi antara suku Sunda dan suku Madura di RT 04 RW 10 ini adalah berkat
kemampuan mereka melakukan manajemen konflik yang tepat, dan dalam kurun
waktu yang sangat panjang, serta dengan melibatkan seluruh generasi yang ada.
Mereka melakukan manajemen konflik dengan urutan memahami penyebab
129
konflik, mengurangi persepsi kerasnya konflik, mengurangi hambatan-hambatan
budaya penyebab konflik, menegosiasikan perbedaan-perbedaan budaya, hingga
menemukan keselarasan-keselarasan budaya.
Sebagaimana telah di jelaskan bahwa konflik-konflik yang terjadi terbagi
menjadi dua kekuatan yang saling tarik menarik diantara yang berakibat
mempererat hubungan dengan yang merusak hubungan keharmonisan pad suku
Sunda dan suku Madura. Namun hingga penelitian ini dilakukan kebersatuan antar
suku masih terlihat lebih dominan dari potensi pemisahan keduanya hal ini di
karenakan diantar mereka terdapat media pemersatu yaitu masjid.
Pengetahuan dan
motivasi pasca konflik
yang diselesaikan
Pengetahuan dan
motivasi melalui arena
interaksi didalam lokasi
tinggal
Pengetahuan dan
motivasi melalui arena
interaksi diluar lokasi
tinggal
Pengamatan
Pembelajaran
pengalaman
Kerjasama antargenerasi
Figur Pemimpin
Masjid sebagai simbol
bersama
Efektivitas Komunikasi
Antarbudaya
130
Gambaran Budaya
Suku Sunda
Dari 180 kepala keluarga yang bertempat tinggal di wilayah RT 04,
sebanyak 90 KK merupakan suku Sunda. Tipe suku sunda yang berada di RT 04
terdiri dari suku sunda yang terlahir di RT 04 dan sebagiannya adalah suku sunda
yang datang dari kota Garut dan kota Banten, namun kedua tipe ini tetap
menyatakan diri sebagai pribumi, karena mereka datang dan bertempat tinggal
dilingkungan Jawa Barat atau yang sering mereka sebut sebagai Tatar Sunda atau
wilayah Sunda.
Secara umum dapatlah dikatakan bahwa yang disebut orang Sunda itu
adalah mereka yang sehari-hari mempergunakan bahasa Sunda dan menjadi
pendukung kebudayaan Sunda (Ajip Rosidi 1984). Adapun ciri-ciri sifat seperti
suka humor, periang, senang kepada kesenian, tidak pendendam dan semacamnya
menurut Budayan Ajip Rosidi (1984) masih perlu dibuktikan secara ilmiah, dan
adapun pencirian suku Sunda terhadap dirinya sendiri seperti berwatak lemah
lembut, sopan, halus, berjiwa satria, sangat menenggang rasa orang lain, dan
sejumlah ciri yang dianggap baik lainnya, semestinya dipandang sebagi konsep
ideal suku Sunda, karena menurut Ajip, pada kenyataannya masih banyak orang
Sunda yang bersifat kebalikannya, seperti malas, kasar dan kurang bertanggung
jawab.
Dari adat yang sekarang masih terdapat, maupun naskah-naskah kuno dan
cerita cerita pantun atau bentuk sastra lisan yang lainnya, masyarakat Sunda
memperlihatkan kehidupan yang cukup demokratis. Artinya meskipun memiliki
sejarah kerajaan, namun tidak ada petunjuk yang menyatakan bahwa pernah
dikenal pembagian masyarakat kedalam kasta-kasta, birokrasi feodal, ataupun
keraton sebagai pusat kebudayaan.
Setelah terjadi penaklukan mataran atas Tatar Sunda, bermula ketika setiap
tahun harus mengirimkan upeti yang mengharuskan penggunaan undak-unduk
bahasa di pedaleman (lingkungan kabupaten), maka undak-unduk pun menjadi
tradisi kaum terpelajar kala itu. Sejak itulah bahasa Sunda mengikuti bahasa Jawa
yaitu dibuat menjadi terbagi kepada undak-unduk kasar-sedang-lemes yang
kadang-kadang ditambah lemes pisan. Adapun dalam lingkungan yang jauh dari
131
kabupaten dan keluarga bupati, seperti didaerah pedalaman Karawang, Kuningan,
dan lain-lain, undak-unduk basa belum mencengkeramkan akar-akarnya. Adapun
jika dilihat dari banyaknya lelucon-lelucon yang lahir dengan mempertukarkan
undak-unduk basa, dimana bahasa ayang disebut kasar dipakai untuk berbicara
pada orang yang dipandang tinggi derajarnya sedangkan bahasa halus digunakan
untuk dirinya sendiri, maka jelas kiranya bahwa sistem ini merupakan beban yang
tidak ada manfaatnya, karena fenomena modern membuktikan orang Sunda
menjadi takut berbahasa Sunda karena takut salah dan membuat mereka memilih
menggunakan bahasa Indosesia dalam berkomunikasi dengan orang lain baik itu
sesama suku Sunda sendiri maupun dengan orang yang diluar sukunya (Ekadjati,
1987).
Di sepanjang sejarahnya ternyata bahwa masyarakat Sunda selamanya
merupakan masyarakat terbuka yang mudah sekali menerima pengaruh dari luar,
tetapi juga kemudian menyerap pengaruh itu sedemikian rupa hingga menjadi
miliknya sendiri. Dalam hal seni misalnya, disamping banyaknya ragam kesenian
yang memang merupakan milik mereka sendiri, yang biasanya sebagai alat
mengekspresikan diri maupun menghibur diri, banyak pula ditemukan dari bentuk
kesenian yang pada mulanya menunjukan pengaruh Mataram, kemudian
berkembang sesuai dengan lingkungan kebudayaan Sunda yang tidak lagi
memperlihatkan pengaruh asalnya.
Nampaknya tanah Sunda yang terbukti merupakan tanah tersubur di
Indonesia, yang menjadikan kehidupan penduduknya cukup santai, dan karena itu
berdampak pada cukup tersedianya waktu untuk berkesenian dan terus
mengembangkannya, hingga dikatakan seni Sunda terutama sastranya termasuk
yang mempunyai potensi berkembang yang besar. Bahkan dari khazanah
kesusastraan pasundan yang kaya inilah gambaran sosok manusia Sunda berhasil
ditampilkan
Dalam hal keberagamaan, sejak pengislaman Banten dan Cirebon pada
abad ke 15, agama Islam menjadi agama yang dipeluk oleh orang Sunda.
Pengaruh agama ini dalam kehidupan masyarakat Sunda dapat dikatakan
menyeluruh dan sangatlah besar, yang tercermin dari hukum adatnya meliputi
hukum waris, pernikahan, sosial, ekonomi, bahkan dalam budaya pesantren, dan
132
lain sebagainya, hingga boleh dikatakan seluruh masyarakat Sunda memeluk
agama Islam (Ekadjati, 1984). Menurut Ajip (1984) pengaruh Islam yang kuat
pada suku Sunda pun dapat dilihat dari kenyataan, bahwa selama lebih dari seratus
tahun sejak kedatangan misi Kristen pada abad ke 19, agama ini tidak banyak
berkembang di kalangan orang Sunda.
Dari segi bahasa, salah satu keistimewaan bahasa Sunda adalah dalam
memahami sebuah kata terkadang bergantung pada lagu dari pengucapan kalimat
tersebut, dan juga kontek ketika kata itu di ucapkan. Contohnya kata “mangga”
dapat berarti “iya”, dapat juga berarti tidak, atau nanti dulu, atau penolakan
secara halus, bahkan ketidak pedulian. Keunikan bahasa Sunda juga, subyek
seringkali tidak ditemukan dalam kalimat bahasa Sunda, namun orang yang
mendengarnya akan faham siapa yang melakukan predikat dan seterusnya,
apakah hal ini merupakan manifestasi dari pribadi orang Sunda yang tidak suka
menonjolkan diri. (Ajip Rosyidi, dalam Ekadjati, 1984)
Suku Madura
Sebanyak 71 KK yang tinggal di RT 04 adalah suku Madura. Suku ini
merupakan suku pendatang terbesar dan tertua yang menempati RT 04 selain suku
Batak, suku Jawa, dan suku Ambon yang juga terdapat di RT 04.
Tidak seperti suku Sunda yang di gambarkan oleh Ajip Rosidi (1984)
melalui kekayaan khazanah kesusastraannya, karena diakibatkan hidup di alam
tandus yang mengharuskan seluruh waktu di gunakan untuk berjuang menghidupi
diri, suku bangsa Madura tidak memiliki waktu banyak untuk berkesenian. Dan
meskipun mereka belakangan diidentifikasi melalui peribahasa yang mereka
miliki, dikarenakan suku Madura mengalami perkembangan sastra yang miskin,
dengan sendirinya hal tersebut mengakibatkan ketiadaan gambaran sosok ideal
suku ini. Dengan sendirinya citra umum sosok manusia Madura yang terlukiskan
adalah apa yang di wariskan oleh Belanda yang diabadikan dalam surat kabar, esai
dan berbagai bentuk propaganda zaman penjajahan, yang karena tidak tertarik
pada alam Madura yang tandus, serta pemberontakan suku Madura yang terus
133
menerus merepotkan penguasa Belanda, dan juga diperparah oleh memanasnya
politik Madura-Jawa kala itu, maka sebagai gantinya dirangkailah segala sifat
negatif untuk mengklasifikasikan dan penamaan, bahwa yang disebut sebagai
suku Madura adalah orang dengan tabiat kasar, rendahan dan berbeda, dalam
rangka melecehkan dan mengalahkan suku Madura secara politis (Rifai, 2007) .
Keunikan budaya Madura pada dasarnya banyak dibentuk dan dipengaruhi
oleh kondisi geografis dan topografis hidraulis dan lahan pertanian tadah hujan
yang cenderung tandus sehingga survivalitas kehidupan mereka lebih banyak
melaut sebagai mata pencarian utamanya. Mereka pun dibentuk oleh kehidupan
bahari yang penuh tantangan resiko sehingga memunculkan keberanian mental
dan fisik yang tinggi, berjiwa keras dan ulet, penuh percaya diri, defensif dalam
berbagai situasi bahaya dan genting, bersikap terbuka, lugas dalam bertutur, serta
menjunjung martabat dan harga diri (Rifai, 2007).
Suatu karakter yang oleh budayawan Emha Ainun Nadjib disebut sebagai
“the most favourable people” yang watak dan kepribadiannya patut di puji dan
dikagumi dengan setulus hati. Tidak ada kelompok masyarakat di muka bumi ini
yang dalam menjaga perilaku dan moral hidupnya begitu berhati-hati seperti
diperlihatkan oleh orang Madura. Mereka sangat bersungguh-sungguh dan lugu
serta lugas dalam berkata-kata. Oleh karena itu kalau orang madura menyatakan
sesuatu maka memang demikian isi hati dan pikirannya, dan jika
mengunggkapkan suatu bentuk sikap tertentu biasanya karena memang begitulah
muatan batinnya. Atau dalam bahasa yang lain sebagai sosok yang berderajat
rendah, tidak berpendidikan, kasar, kikir, pemarah dan pendendam.
Sebagaimana suku Sunda di Jawa Barat, Suku Madura di pulaunya juga
dianggap komunitas yang sangat patuh dalam menjalankan ajaran Islam,
dibandingkan suku bangsa lainnya. Ketaatan pada agama Islam yang di anutnya
merupakan penjatidiri penting orang Madura, sehingga tercermin dalam
pakaiannya, pola rumahnya bahkan pola pendidikannya.
Jeffrey Mellefont (1994) seorang pakar dari Australian National Maritime
Museum di Sidney menggambarkan sifat dinamis orang Madura sebagai berikut:
“layaknya baik anak perahu maupun tukang pembuatnya, selalu beradaptasi
mengikuti perkembangan tuntutan zaman, walaupun kukuh memegang tuntunan
134
pertimbangan adat tradisinya dalam menerima inovasi. Untuk itu mereka bersikap
menyayangi semua mahluk dan berusaha hidup serasi dengan lingkungan dan
alamnya, disamping juga memanfaatkan pemaksimuman niai dan kegunaan
lingkungan tersebut.
Dari segi bahasa, dikatakan bahwa bahasa Madura tidak memiliki
“kemanisan” nyanyian merdu berdawai bahasa Sunda, serta “kedalaman lembab
yang berbayang-bayang redup” seperti bahasa Jawa, suatu model bahasa yang
mencerminkan perwatakan apa adanya, langsung dan terbuka pada pemiliknya
(Huub De Jonge, dalam Rifai 2007)
Demikianlah selanjutnya gambaran suku Madura yang dimasa belakangan
berhasil di indentifikasi melalui peribahasanya, bahwa nilai budaya yang
dikandung peribahasa Madura secara tidak langsung dapat mencerminkan sosok
manusia Madura yang diidealkan suku tersebut.
135
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Bentuk komunikasi antarbudaya antara suku Sunda dan suku Madura
berupa penyelesaian konflik-konflik yang ada diantara mereka. Bentuk
komunikasi antarbudaya di antara mereka juga berupa arena interaksi
didalam area tinggal suku Sunda dan suku Madura yang diprakarsai anak-
anak muda generasi tiga dari kedua suku tersebut, dan arena interaksi
diluar area tinggal mereka yang dikembangkan oleh para pedagang dan
pegawai dari kedua suku.
2. Penyebab terjadinya konflik adalah perbedaan budaya berupa konteks
tinggi suku Sunda dengan konteks rendah suku Madura. Hal ini
mengakibatkan jenis konflik yang terjadi di lokasi penelitian adalah
menyangkut isu isi, relasi dan identitas. Konflik yang menyangkut isu isi
dan relasi cenderung dapat dikompromikan disebabkan terpenuhinya
kepentingan kepentingan bersama berupa kepentingan hidup rukun bagi
suku Sunda. Kepentingan ini terpenuhi melalui interaksi didalam
lingkungan tinggal yang berbaur dan adanya arena interaksi di dalam
lingkungan tinggal. Kepentingan lain yang terpenuhi adalah menjaga relasi
dalam perdagangan bagi suku Madura. kepentingan ini terpenuhi berkat
interaksi di area perdagangan suku Sunda dan suku Madura yang
berdekatan. Sedangkan konflik menyangkut isu identitas lebih sulit di
kompromikan karena terdapat kekhawatiran dianggap menyalahi
kelompoknya menyangkut hal yang di anggap inti didalam nilai budaya
masing-masing, sehingga saling bersikukuh dalam memegang nilai-nilai
budaya tersebut. Peran generasi terutama generasi dua adalah pemrakarsa
terjadinya manajemen konflik yang efektif dengan melibatankan generasi
tiga dan generasi satu. Generasi dua menggunakan gaya manajemen
konflik berupa mengkompromikan Hal ini disebabkan terbentuknya
identitas budaya yang lebih fleksibel pada generasi dua, yaitu meskipun
bersuku bangsa berbeda, namun karena bergaul di tempat yang sama,
maka mereka mengadopsi nilai-nilai budaya di lingkungannya. Sedangkan
pada generasi tiga dengan gaya konflik mengintergrasikan, telah
136
menciptakan identitas baru yaitu sama-sama sebagai warga RT 04 RW 10.
Hal ini membedakan generasi dua dan generasi tiga dari cara generasi satu
yang menyatakan identitas kesukuannya secara kaku dan mutlak. Generasi
satu bergaya konflik menghindar.
3. Efektivitas komunikasi antarbudaya antar suku Sunda dan suku Madura
terjadi ketika konflik-konflik diatara mereka dapat diselesaikan. Adapun
konflik-konflik yang tidak berhasil diselesaikan mengakibatkan efektivitas
komunikasi antarbudaya tidak terjadi. Efektivitas komunikasi antarbudaya
pada suku Sunda dan suku Madura juga terjadi berkat adanya arena
interaksi yang ada di dalam dan di luar lingkungan tinggal mereka.
Adapun efektivitas komunikasi antarbudaya antara suku Sunda dan suku
Madura yang terjadi di arena interaksi lebih besar pengaruhnya pada
lahirnya pengertian, penghargaan dan dukungan yang terjadi pada kedua
suku daripada efektivitas komunikasi yang dihasilkan pasca konflik.
Saran
1. Perlunya membangun identitas bersama yang lebih fleksibel dengan
menggali potensi dan kreativitas pembauran antarbudaya pada generasi
muda
2. Perlunya menemukan media-media pemersatu antar suku yang hidup
berdampingan yang berfungsi menjaga keharmonisan dan juga dapat
digunakan sebagai alat peredam konflik ketika terjadi lagi ketegangan
antar suku
3. Penelitian tentang sebab terjadinya konflik-konflik yang mempersatukan
dan konflik-konflik yang memisahkan perlu dilakukan lebih lanjut untuk
melihat dampaknya pada efektivitas komunikasi antarbudaya.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkn di Bogor, 22 Desember. Penulis adalah anak ke 6 pasangan bapak H.
Siddiq dan ibu Hj. Misbah.
Pendidikan SD penulis tempuh di Bogor, sedangkan SMP, dan SMA penulis tempuh
di kota Pasurun- Jawa Timur. Pendidikan Sarjana ditempuh di universitas Ibn Khaldun
Bogor. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasajana IPB Program
Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP).
Dalam rangka penyelesaian studi, penulis melakukan penelitian yang berjudul
Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen
Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kota Bogor) dibawah bimbingan Dr. Ir. Sarwititi S, MS
dan Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA.
137
DAFTAR PUSTAKA
.
Asy‟ari, Suaidi. 2003. Konflik Kumunal di Indonesia Saat ini. Leiden, Jakarta
Bahari,Yohanes. 2005. Konflik Sambas dan Kekerasan budaya. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Devito, Joseph, A. 1998. Komunikasi Antar Manusia. edisi kelima. Alih bahasa:
Agus Maulana. Profesional Book. Jakarta
Editor Cornell University. 1990. Measurement and Application. Guilford. New York.
Denzin, Norman K and Yvonna S. Lincoln (1998). The Landscape of Qualitative
Research: Theory and Issues, Thousand Oak. London, new delhi, Sage
Publication
Effendy OU. 2006. Ilmu komunikasi: teori dan praktek. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Ekadjati, Edi S. 1987. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung:
Girimukti Pasaka.
Gudykunst, et al. 1991. Handbook of International & Intercultural
Communication. Sage Publications. London
Hartati, Sri. 2009. Pengaruh Komunikasi Antarbudaya Dan Harmonisasi Kerja Di
PT Sumber Tani Agung Medan. Universitas Indonesia. Jakarta
Herwening, Eko. 2003. Modernisasi Perikanan dan Potensi Konflik (Studi Kasus
di Kelorahan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi). Tesis IPB Bogor
Hefner, Robert W. Geger Tengger, Perubahan Sosial, dan Perkelahian
Politik (Pengantar Martinvan Bruinssen). Yogyakarta : LKiS.
Ibrahim, Syarif. 2003. Konflik etnis: suatu tinjauan sosiologi antropologi Indonesia.
Universitas Indonesia. Jakarta.
138
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Liliwer, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Yogyakarta.
Muhammad A. 2009. Komunikasi organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyana D. 2008. Ilmu komunikasi suatu pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyana dan Rakhmat (Ed). 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Rakhmat. 2009. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem sosial Budaya Indonesia. Galia Indonesia. Bogor.
Rahman, Taufiqur. 2007. Identitas Budaya Madura. STAIN-Pamekasan
Rahardjo, Tornomo. 2007 Menghadapi Perbedaan Kultural. Jakarta: Salemba
Humanika
Rifa‟i. Mien. A. 2007. Manusia Madura. Nuansa Aksara. Yogyakarta.
Rosidi, Ajip. 1984. Manusia Sunda.Inti Idayu Press. Jakarta.
Samovar, et al. 2010. Komunikasi Lintas Budaya Jakarta: Salemba Humanika
Sikwan, Agus. 2003. Model Program Pemberdayaan Dalam Rangka
Meningkatkan Kesejahteraan Hidup Pengungsi Etnik Madura Asal
Sambas di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Empowerment Program
Model to Increase The Welfare of Madurese Refugees from sambas In
Pontianak, West Kalimantan). Universitas Sumatra Utara.
Sitorus, MT, Felix. 1998. Penelitian Kualitatif ; Suatu Pengenalan. Diterbitkan
oleh Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial IPB. Bogor.
Suryabrata, Sumadi. 1997 Metodologi Penelitian. Jakarta : Rajawali Press.
139
Soekanto, Soerjono 1990. Sosiologi, Suatu pengantar. Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada.
Ting-Toomey, Stella. 1998. Communicating Across Cultures. New York London
Upe, Ambon. 2010. Asas-Asas Multiple Researches. Tiara Wacana.
Vardiansyah D. 2004. Pengantar ilmu komunikasi: pendekatan taksonomi
konseptual. Bogor: Ghalia.
Varshney, Ashutosh 2002. Konflik Etnis dan Peran Masyarakat Sipil,
Pengalaman India. Yale university
Wuysang, Anandar. 2003. Kebudayaan dan Atribut Negatif Studi Kasus Sampit
Kalimantan Tengah. Universitas Sumatra Utara.
Widiyanto. 2009. Strategi nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng
Gunung Sumbing. Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kec.
Bulu Kab. Temanggung Jateng. Tesis Master SPS-IPB. Bogor.
Wijono, Hendro. 2008. Konflik dan Beragam Penyebab Konflik. ISAI (Institut
Studi Arus Informasi)
West R dan Turner LH. 2009. Pengantar teori komunikasi analisis dan aplikasi.
Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika.
Zamzami, Amiruddin. 2010. Efektivitas Komunikasi antarbudaya. Warta
Litkayasa.