Download doc - Epistemologi

Transcript
Page 1: Epistemologi

MEWWUJUDKAN INTEGRASI KEILMUAN: PENDEKATAN EPISTEMOLOGIS

Oleh Dr. U. Maman Kh., M.Sc.

(Dosen Fakultas Sains dan Teknoologi UIN)

Pendahuluan Konsep “Integrasi” merupakan salah satu bentuk hubungan antara agama --

yang direfleksikan dengan kepercayaan pada Tuhan Sang Pencipta -- dengan sains

yang bersifat profan. Hubungan antara sains dengan keyakinan agama mengalami

pergulatan sejarah yang sangat panjang. Barbour memetakan hubungan tersebut

menjadi: konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Dengan latar belakang

keagamaan yang kental, Barbour mengakui bahwa ia lebih memilih pola integrasi,

yang diartikannya sebagai “kemitraan yang sistematis dan ekstensif antara sains dan

agama.”1 Artinya, seperti dalam tradisi “natural theology,” kedalaman eksplorasi

sains terhadap alam semakin membuktikan keyakinan terhadap Tuhan, bukan

sebaliknya penguasaan sains berbanding terbalik dengan keimanan.

Makna integrasi dalam bahasa yang lebih islami dapat dikatakan bahwa

ketinggian kemampuan seseorang menguasai sains modern yang ditandai dengan

tingginya profesionalisme berhubungan secara linier dengan tingginya keperibadian

Islam (sykhsiyyah Islamiyah) dan penguasaan tsaqofah Islam sebagai patokan setiap

tindakan dalam kehidupan. Pemisahan sains dari keimanan, tulis Mutahhari,

menyebabkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki. Keimanan mesti dikenali lewat

sains; keimanan bisa tetap aman dari berbagai takhayul melalui pencerahan sains.

Keimanan tanpa sains akan berakibat fanatisme dan kemandekan.2

Upaya mewujudkan integrasi keilmuan – seperti digambarkan Barbour –

memang menjadi masalah tersendiri. Sains modern cenderung berkembang dengan

watak sekular-materialistik yang kental sebagai akibat luasnya pengaruh tradisi

1 Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, terjemahan E.R. Muhammad (Jakarta: Mizan, 2002) hal. 42.

2 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan, 2003) hal. 57

1

Page 2: Epistemologi

positivisme. Di samping itu, sains dan teknologi telah mengalami spesialisasi

sedemikian rupa dengan kecenderungan pragmatis, yakni penguasaan sains dan

teknologi di tingkat hilir tanpa memperhatikan landasan-landasan filosofis yang

menjadi dasar bangunan sebuah sains. Di kalangan perguruan tinggi Islam, seperti

UIN, IAIN dan STAIN, upaya mewujudkan integrasi keilmuan berhadapan dengan

pemahaman Islam yang terpilah-pilah akibat semangat kompartementalisasi yang

semakin tinggi. Menurut catatan Azyumardi Azra, kompartementalisasi yang cukup

kental di lingkungan IAIN melahirkan mahasiswa yang memiliki pemahaman yang

terpilah-pilah tentang Islam. Mereka yang memilih Fakultas Ushuluddin, misalnya,

kurang apresiatif terhadap syariah; mereka yang memasuki Fakultas Tarbiyyah,

sangat lemah dalam bidang pemikiran kalam atau filsafat Islam, dan seterusnya.3

Adanya jurusan-jurusan dan Fakultas baru di lingkungan UIN (pengembangan

dari IAIN) tidak mustahil bukan mewujudkan integrasi keilmuan melainkan hanya

membuka jurusan-jurusan baru yang tidak terkait satu sama lain. Kekhawatiran ini

cukup beralasan. Universitas Al-Azhar di Mesir, sejak tahun 1961, selain memiliki

fakultas-fakultas agama, juga memiliki fakultas-fakultas umum, seperti kedokteran,

pendidikan, bisnis, ekonomi, sains, pertanian, dan lain sebagainya. Usaha ini sebagai

upaya “pemaduan kembali” bidang-bidang agama dengan bidang-bidang sekuler.

Hanya saja, keberhasilan “pemaduan kembali” itu masih dipertanyakan mengingat

kompartementalisasi yang semakin menajam, bukan hanya antara kajian Islam

dengan disiplin “sekular”, melainkan di antara berbagai cabang ilmu Islam sendiri.4

Pendekatan Epistemologis

Integrasi keilmuan akan berhasil manakala berbagai rumpun kajian dan

spesialisai, baik bidang-bidang umum maupun agama, dibangun dalam akar yang

sama, dalam proses perumusan ilmu itu sendiri. Integrasi keilmuan harus dibangun

pada tatanan epistemologis, bukan hanya pada tataran aksiologis. Islam bukan hanya

3 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999) hal. 168

4 Ibid. hal. 244

2

Page 3: Epistemologi

ditempatkan pada kriteria etik sebagai “polisi lalu lintas” terhadap hasil-hasil kerja

sains melainkan harus ditempatkan pada bangunan sains itu sendiri.

“Epistemologi” secara etimologis berasal dari dua suku kata, yakni:

“epistem” (Yunani) yang berarti pengetahuan atau ilmu (pengetahuan) dan ‘logos’

yang berarti ‘disiplin’ atau teori. Dalam Kamus Webster disebutkan bahwa

epistemologi merupakan “Teori ilmu pengetahuan (science) yang melakukan

investigasi mengenai asal-usul, dasar, metode, dan batas-batas ilmu pengetahuan.”5

Mengapa sesuatu disebut ilmu? Apa saja lintas batas ilmu pengetahuan? Dan,

bagaimana prosedur untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat ilmiah?

Pertanyaan-pertanyaan itu agaknya yang dapat dijawab dari pengertian epistemologi

yang sudah disebutkan. Filsafat, tulis Suriasumantri, tertarik pada cara, proses, dan

prosedur ilmiah di samping membahas tentang manusia dan pertanyaan-pertanyaan di

seputar ada, tentang hidup dan eksistensi manusia.6 Kumpulan data tidak memiliki

arti apa-apa tanpa adanya proses dan prosedur yang memiliki standar ilmiah.

Epistemologi merupakan bagian dari filsafat pengetahuan yang membahas

tentang cara dan alat untuk mengetahui, tulis Hollingdale. Ia mendefinisikan

epistemologi secara sederhana sebagai “Teori mengenai asal usul pengetahuan dan

merupakan alat untuk mengetahui”7 Kata-kata “to know” (untuk mengetahui) dan

“means” (alat-alat) menjadi kata kunci dalam poses epistemologis. Bagaimana kita

dapat mengetahui sesuatu, serta metode (teknik, instrumen dan prosedur) apa yang

kita gunakan untuk mencapai pengetahuan yang bersifat ilmiah? Inilah inti

pembahasan yang menjadi perhatian epistemologi.

Epitemologi atau teori ilmu pengetahuan juga sering diartikan sebagai cabang

filsafat yang mencurahkan perhatian terhadap dasar, lingkup, dugaan-dugaan serta

ketentuan umum yang terandal untuk mengklaim sebagai ilmu pengetahuan. Hamlyn

5 Webster’s New World Dictionary of the American Language (Cleveland and New York: The World Publishing Company, 1962). Webster menyebutkan epistemologi merupakan: “The theory of science that investigate the origins, nature, methods, and limits of knowledge.”

6 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sdinar Harapan, 1988) hal 28-30

7R.J. Hollingdale, Western Philosophy (London: Kahn & Averill, 1993) hal. 37. Ia menegaskan, epistemologi merupakan: “The theory of the nature of knowing and the means by which we know.”

3

Page 4: Epistemologi

(1972) menegaskan, “… is comcerned with the nature and scopes of the knowledge,

its presuppopitions and basis, and the general reliability of claims to knowledge.” 8

Lalu, apa yang disebut ilmu atau science itu sendiri? Science secara harfiah

berasal dari kata Latin scire yang berarti mengetahui. Karena itu, science dapat

diartikan “situasi atau fakta mengetahui, sepadan dengan pengetahuan (knowledge),

yang merupakan lawan dari intuisi atau kepercayaan.”9 Selanjutnya, kata science

mengalami perkembangan dan perubahan makna menjadi “pengetahuan yang

sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang

dilakukan untuk mengetahui sifat dasar atau prinsip dari apa yang dikaji.”10 Dengan

demikian, sains yang berarti “pengetahuan” berubah menjadi “pengetahuan yang

sistematis yang berasal dari observasi indrawi.” Perkembangan berikutnya, lingkup

sains hanya terbatas pada dunia fisik, sejalan dengan definisi lain tentang sains

sebagai “pengetahuan yang sistematis tentang alam dan dunia fisik.”11

Dengan mensyaratkan observasi, sains harus bersifat empiris, baik

berhubungan dengan benda-benda fisik, kimia, biologi, dan astronomi maupun

berhubungan dengan psikologi dan sosiologi. Inilah karakter sains yang paling

mendasar dalam pandangan epistemologi konvensional. Sains merupakan produk

eksperimen yang bersifat empiris. Eksperimen dapat dilakukan, baik terhadap benda-

benda mati (anorganik) maupun makhluk hidup sejauh hasil eksperimen dapat

diobservasi secara indrawi. Eksperimen pun dapat dilakukan terhadap manusia,

seperti yang dilakukan Waston dan penganut aliran behaviorisme klasik lainnya.12

Ilmu Tanpa Nilai

Karakteristik sains yang bersifat fisik, empiris, observable, eksperimental,

dan terukur telah melahirkan sains yang mendistorsi nilai dan berwatak sekular-

materialistik. Pandangan-pandangan positivisme telah mengukuhkan watak sains

8D.W. Hamlyn, “History of Epistemology,” in Pauld Edwards, editor in chief, The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3 (New York and London, Macmillan Publishing Co., 1972) hal. 8-38.

9 Webster’s hal. 1305. 10 Ibid.

11 ? Ibid. 12 ? Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1986) hal. 27.

4

Page 5: Epistemologi

yang bertolak belakang dengan keyakinan agama. Karena itu, tidak mengherankan,

sains telah menyeret beberapa tokoh utamanya, seperti Laplase, Darwin, Freud,

Durkheim, dan lain-lain ke dalam ateisme.13 Menurut survai yang dilakukan akhir-

akhir ini lebih dari 60% fisikawan dunia adalah atheis.14 Charles Darwin – sebagai

tokoh evolusionisme biologis -- dalam biografinya menuturkan: “Ketidak-

percayaanku kepada agama Kristen sebagai agama wahyu merayap perlahan-lahan di

atas dadaku, tapi sempurna.”15

Pandangan epistemologi positivisme yang dasar-dasarnya diletakkan oleh

tokoh klasik, August Comte, memang sangat menonjol dan memiliki pengaruh sangat

meluas dalam sejarah ilmu pengetahuan. Comte, dalam bukunya Course de

Philosophie Positive, mengemukakan pandangan dasarnya mengenai “hukum

kemajuan manusia” atau “hukum tiga jenjang.” Menurut pandangannya, sejarah

perkembangan intelektual manusia mengalami tiga tahapan yang semakin meningkat,

yakni: jenjang teologi, metafisika, dan positif. Pada jenjang pertama manusia

menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu kepada hal-hal adikodrati; pada

jenjang kedua mengacu kepada hal-hal metafisik atau abstrak; sedangkan pada

jenjang positif yang merupakan puncak perkembangan intelektual, manusia

menjelaskan fenomena alam dan sosial dengan mengacu pada penjelasan ilmiah.16

Penjelasan ilmiah atau hukum-hukum ilmiah, menurut pandangan

positivisme, memiliki ciri-ciri: bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, dan

pengkajian harus mengarah pada kepastian dan kecermatan. Fakta sama sekali tidak

terkait dengan nilai, apalagi dengan keyakinan religi. Tegasnya, secara epistemologis,

ilmu hanya dibangun berdasarkan realitas indrawi, sama sekali tidak terkait dengan

nilai. Pengkajian ilmiah, menurut Comte, hanya dapat dilakukan melalui:

pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan metode historis.17

13 Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam (Jakarta: Mizan, 2003) hal. 314 Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam (Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2003) hal. xviiii 15 Ibid. 16 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia, 1993) hal. 3.17 Ibid.

5

Page 6: Epistemologi

Pandangan positivisme yang mendistorsi nilai menimbulkan ketidakpuasan di

kalangan ilmuan-religi. “Ilmu berkembang tanpa wisdom,” tulis Paul Bond.

Masyarkat modern sejak abad ke-18 sangat menderita akibat revolusi sekularisme,

materialisme, dan atheisme. Ilmu steril dari nilai, khususnya nilai religi. Paul Bond

mengakui kehebatan ilmu dan teknologi yang berkembang belakangan ini. “Kita

dapat menikmati kebebasan dan kepuasan akibat revolusi sekularisme,” tulisanya.

Namun ia menyesali bahwa materialis telah menolak Tuhan, sekularis telah

mengesampingkan Tuhan. Dalam bukunya yang terdiri dari 14 bab, ia mengusulkan

perlunya internalisasi nilai ke dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia menegaskan:

“The comple secularization of science, education, industry, and society in the West

and East will lead to ultimated disaster.”18 (Sekularisasi ilmu pengetahuan,

pendidikan, industri dan masyarakat di Barat dan Timur akan mendorong pada

puncak kehancuran).

Kehampaan nilai dalam ilmu pengetahuan dan teknologi juga dirasakan

Francis Saunderaraj. Penulis yang aktivis gereja itu mengemukakan sejumlah issu

yang dirasakan manusia abad ke-20. Semangat pencerahan (enlightenment) yang

muncul di Eropa sejak abad ke-18, menurut Saunderaraj, telah menghasilkan ilmu

pengetahuan dan masyarakat hampa nilai. Penjajahan Eropa terhadap Asia telah

memperkenalkan sistem pendidikan Barat, menimbulkan masalah yang sama di Asia,

dan berlangsung sampai masa kemerdekaan pada abad ke-20, bahkan sampai abad 21.

Kehampaan nilai menimbulkan budaya fragmentatif dan individualisme yang

mengakibatkan erosi tradisi, komunitas, dan kehidupan keluarga. Manusia hanya

bertumpu pada rasionalitas, yang dianggap sebagai sentral kehidupan. Kebenaran dan

kondisi kehidupan manusia menjadi relatif, pluralistik, dan tidak konstan. Tidak ada

kebenaran mutlak yang yang menjadi pegangan manusia.19

18Paul Bond, “Introduction” dalam Knowledge Without Wisdom, http://www.inspiredbooks.net/kww.htm, visited October 1, 2002.

19 Lihat Francis Saunderaraj, “Girding up For Mission in Asia in the 21st Century,” Evangelical Mission Quarterly dalam http://www.wheaton.edu/bgc/1999/girding.html, visited October 1, 2002.

6

Page 7: Epistemologi

Sunderaraj menyesali terjadinya erosi nilai-nilai moral masyarkat, termasuk

ilmuan. Kehancuran nilai-nilai moral, menurut pengamatannya, karena tiga alasan

utama. Pertama, kita hidup dalam suasana kompetitif yang sangat tinggi untuk

memperoleh materi yang sangat cepat. Kecenderungan profit oriented menghalalkan

segala cara. Kedua, nilai-nilai moral menjadi sangat relatif, tergantung pada situasi

dan kondisi lingkungan, tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal dan ketentuan pasti

yang menjadi pegangan umat manusia. Ketiga, masyarakat lebih berorientasi pada

keberhasilan (succsess oriented society) yang memunculkan succsess syndrome

dengan ukuran perolehan posisi dan kekuatan yang mendorong pada kehampaan

nilai-nilai moral.20 Karena itu, Saundarerej – juga Paul Bond – menghendaki

adanya proses internalisasi nilai pada sains dan teknologi.

Internalisasi Nilai: Rekonstruksi Epistemologis

Jika kita sepakat perlunya internalisasi nilai terhadap teori-teori ilmu

pengetahuan, di manakah nilai dimasukkan? Bukankah ilmu untuk ilmu, dan ilmu

bebas nilai?

Teori-teori ilmiah hanya semata-mata hasil pengamatan manusia secara

sistematis terhadap realitas empiris tanpa ada pengaruh nilai. Itulah pandangan

epistemologis yang cenderung “antroposentrisme” seperti nampak dalam pandangan

positivisme. Epistemologi “antropo-sentrisme” Barat yang hampa nilai telah gagal

memanusiakan manusia, seperti dikritik Bond dan Saunderaraj. Hasil-hasil rumusan

empiris dalam bentuk teori, hukum, norma, dan etika yang semata-mata didasarkan

pada manusia menimbulkan berbagai kontradisksi, seperti kebebasan tanpa batas,

kesenjangan ekonomi, hedonistik dan yang semacamnya. Asumsi yang melahirkan

teori bahwa manusia merupakan makhluk ekonomi yang berusaha mencari

keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil mungkin melahirkan pola

hidup hedonistik, mencari keuntungan dengan menghalalkan segala cara yang

mendorong kejahatan kerah putih.

20 Ibid.

7

Page 8: Epistemologi

Kegagalan epistemologi Barat mendorong para pemikir muslim merumuskan

kembali kerangka dasar keilmuan. Namun sayangnya sampai kini mereka belum

sepakat dalam merumuskan epistemologi keilmuan. Muhamamd Abduh, misalnya,

mengembangkan epistemologi yang bersifat “anrtropo-sentrisme” dengan asumsi

bahwa sains bersifat profan, semata-mata hasil pengamatan terhadap fakta dan

realitas empiris.21 Hal ini barangkali tidak menjadi persoalan bagi sains

eksperimental-laboratoris. Tapi bagaimana dengan teori ilmu-ilmu sosial, ekonomi

dan politik yang sarat nilai? Apakah hal ini juga akan dibebaskan dari nilai?

Secara faktual, apa yang diklaim sebagai produk sains seringkali bertolak dari

sudut pandang, ideologi, atau bahkan keyakinan tertentu. Sebagai ilustrasi, kita

mengenal dua teori tentang terciptanya jagat raya, yakni: teori penciptaan kontinyu

dan teori singularitas. Teori pertama menyatakan, jagat raya tercipta secara terus

menerus dengan asumsi bahwa ruang menjadi penyebab kebolehjadian terbentuknya

materi. Dengan kata lain, kebolehjadian merupakan pangkal terbentuknya alam

semesta. Sementara itu, teori kedua menyatakan bahwa jagad raya diawali ledakan

besar titik materi maharapat (bigbanng theory). Teori ini nampak ambiguitas, dengan

mengklaim bahwa teori yang satu lebih religius dari yang lain karena memberi

peluang akan eksistensi Tuhan.22 Fakta memang netral, tetapi teori yang merupakan

penjelasan terhadap fakta seringkali tidak bebas nilai. Karena itu, seorang ahli filsafat

ilmu, Thomas Khun, mempertanyakan obyektivitas dan universalisme ilmu.23

Lalu, di manakah kita melakukan internalisasi nilai dalam proses ilmiah? Jika

kita sepakat bahwa ilmu merupakan produk penalaran -- yakni pemikiran dalam

suatu kerangka tertentu -- kita harus masuk dalam wilayah pemikiran sebagai upaya

membangun kembali kerangka epistemologis, setelah menolak epistemologi Barat-

antroposentrisme-sekularistik yang mendistorsi nilai-nilai religi.

Harus diakui, pola berfikir sains memang bersifat empiris, faktual, laboratoris,

dan replicable. Ilmu berbicara tentang fakta, hipotesis, teori, dan hukum. Fakta-fakta,

21 Azyumardi Azra, op.cit. hal. 40.22 Mulyanto, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Gagasan dan

Pedebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Cidesindo, 2000) hal. 19. 23 Thomas Khun, Peran Paradigma dalam Revoluasi Sains (Bandung: Rosdakarya, 1993) hal.

43-53.

8

Page 9: Epistemologi

tulis Hoodboy, dianggap berlaku bila pengamat independen lain sepakat dengan hal

yang sama, atau jika pengamatan dalam waktu dan tempat yang berbeda memberikan

hasil yang sama. Jika sejumlah pengamat yang dilengkapi dengan teleskop yang

cukup baik, misalnya, telah mencapai kesepakatan mengenai gerak orbit, ukuran, dan

bentuk dari bulan-bulan planet Jupiter, hasil pengamatan mereka diterima sebagai

fakta yang sah, terlepas banyak di antara mereka – atau bahkan seluruhnya -- terkenal

bermoral buruk asal tidak bersekongkol mengungkap fakta yang keliru. Sebaliknya,

mimpi seorang darwis – sekalipun terkenal kesalehannya – tidak dianggap ilmiah

karena tidak dapat diperiksa kebenarannya, tidak dapat diulangi, dan bersifat

pribadi.24 Selanjutnya, Hoodbhoy menegaskan, ilmu tertelak pada universalitasnya.25

Metode Ilmiah dan Metode Aqliyyah

Karena itu, gagasan yang membedakan antara pola pikir sains dengan pola pikir

rasional – atau antara metode ilmiah dengan metode aqliyyah – dapat diterapkan

untuk mewujudkan pola sinergik-integratif antara sains dengan ide, keyakinan dan

agama.26 Pola pikir sains merupakan suatu penelitian ilmiah melalui berbagai

eksperimen-laboratoris untuk mengetahui hakikat suatu obyek, dan ini hanya berlaku

untuk benda-benda fisik material yang nampak dan dapat diukur melalui proses

laboratoris, tidak berlaku untuk hal-hal abstrak berupa ide-ide -- baik ide yang terkait

dengan masalah sosial ekonomi maupun ide yang terkait dengan dunia fisik.

Kesimpulan yang diperoleh dari metode ilmiah tidak bersifat pasti (fixed), karena

dapat digugurkan oleh hasil penelitian lain, sekalipun seringkali sebuah teori mapan

yang dibangun atas dasar eksperimen untuk sementara dianggap sebagai kebenaran.

Atom, misalnya, dalam rentang waktu tertentu dikatakan sebagai benda terkecil yang

tidak dapat dipecah. Tetapi eksperimen berikutnya menyimpulkan bahwa atom bukan

benda terkecil.

24 Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Meneghakkan Rasionalitas: Antara Sains dan Ortodoksi Islam, terjemahan Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996) hal. 33-34.

25 Ibid hal. 36. 26 Perbedaan antara pola pikir sains dengan pola pikir rasional, lebih jauh dapat dibaca dalam buku-buku

karya Taqiyuddin An-Nabhani, At-Tafkir (1973); MM Ismail, Al-Fikrul Islami (Beirut: Maktab al-Wa’ie, 1958); dan MH Abdullah, Ad-Dirosah fi fikril Islamy (Aman: Darul Bayariq, 1995).

9

Page 10: Epistemologi

Dalam lingkup metode ilmiah, kita mengakui bahwa benda-benda bebas nilai.

Hasil penelitian ilmiah dengan sendirinya bersifat universal, selama tidak bersifat

ideologis. Karena itu, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menolak hasil

eksperimen yang dilakukan melalui metode ilmiah.27 Dalam hal ini, barangkali kita

sepakat dengan Hoodbhoy yang menganggap tidak perlu adanya sains Islam. Setiap

upaya untuk menggiring sains yang bersifat empiris ke dalam ideologi tertentu, tegas

Hoodbhoy, hanya akan melahirkan pseudo-science yang akan bermuara pada

kegagalan. Karena itu, tidak ada sains Islam, juga tidak ada sains Marxis.28 Lysenko,

seorang ahli biologi Soviet memasukkan pandangan sosialis terhadap pertumbuhan

tanaman dengan menyatakan bahwa pohon-pohon dari spesies yang sama yang

ditanam berdekataan memiliki “solidaritas sosialis,” tidak akan bersaing untuk

mempertahankan hidup, sebaliknya akan saling menolong untuk mempertahankan

hidup. Pandangan biologis sosialis ini mengakibatkan perkebunan Soviet rugi besar

karena mempercayai pandangan Lysenko.29

Dari gambaran tersebut, metode ilmiah akan hanya menghasilkan madaniah

(penemuan ilmiah akibat ketinggian dan perkembangan sains) yang bersifat obyektif,

tidak terkait dengan kepercayaan, keyakinan, atau ideologi tertentu. Penemuan sains

secara lebih praktis akan melahirkan teknologi, yang tidak terkait dengan

kepercayaan.30

Dalam konteks ini, kita dapat menerima (fixasi) setiap teori yang dibangun

berdasarkan realiats empiris, faktual, dan laboratoris. Dalam waktu yang sama kita

harus membangun world view Islam terhadap setiap hasil penemuan ilmiah dengan

memasukkan kesadaran ketuhanan (kesadaran tauhid) terhadap benda-benda yang

dikaji melalui proses ilmiah-laboratoris, tanpa mengganggu proses alamiah

(sunnatullah) yang terdapat benda fisik-material tersebut. Kesimpulan yang diperoleh

27 Hanya saja dalam konteks ini, perlu diperhatikan persoalan etika, terutama yang terkait dengan persoalan keyakinan, seperti peneltiian rekayasa genetik (seperti kloning) akan bertabrakan dengan keyakinan agama tertentu. Demikian halnya penelitian yang menggunakan lemak babi.

28 Hoodbhoy, op.cit., hal. 138-14429 Ibid. hal. 146. 30 Muhammad Husein Abdullah, Ad-Dirosah fi al-fikry-al Islamy (Aman: Dar al-Bayariq,

1990) haal. 74.

10

Page 11: Epistemologi

tidak hanya menghasilkan hal-hal yang bersifat madaniah melainkan adanya

kesadaran ketuhanan (idrok sillah billah). Semakin tinggi pemahamana terhadap

materi melalui proses ilmiah, akan semakin memahami takdir Allah tentang benda

tersebut. Inilah makna internalisasi nilai dalam proses epistemologis.

Berbeda dengan pola pikir sains yang bebas nilai, hasil dari pola pikir

aqliyyah justru sarat nilai. MM Ismail, seorang guru besar Universitas Mesir

menyebutkan:

“Pola pikir rasional adalah suatu metode pengkajian yang dilakukan agar seseorang sampai pada tahap mengetahui hakikat sesuatu yang sedang dikaji, melalui indra yang menyerap obyek. Proses penyerapan itu dilakukan melalui panca indra menuju ke otak, dibantu oleh pengetahuan/informasi sebelumnya yang akan menafsirkan dan memberikan sikap atas fakta tersebut. Keputusan tersebut dinamakan pemikiran atau ide, yaitu pemahaman yang diperoleh akal secara langsung. Metode ini mencakup pengkajian obyek yang dapat diindra maupun yang abstrak yang berkaiatan dengan pemikiran.” 31

Hampir disepakati para ilmuan bahwa teori-teori ilmu sosial, politik, ekonomi

dan budaya seringkali merupakan refleksi seseorang terhadap realitas; atau dibangun

berdasarkan interpretasi atas realitas. Teori-teori sosial dan ekonomi Marxisme,

misalnya, merupakan hasil refleksi Karl Marx terhadap kesenjangan sosial akibat laju

industrialisasi masyarakat Jerman pada pertengahan abad ke-19. Ketika membangun

sebuah teori, tentunya, ada nilai-nilai yang mendorong seseorang untuk bersikap

terhadap realitas tersebut. Dengan demikian, teori-teori ilmu sosial tidak bebas nilai.

Michael Kunczik mengingatkan bahwa teori-teori perubahan sosial dan pembangunan

sarat dengan etnosentrisme tertentu, sehingga seringkali tidak tepat jika diadopsi dan

diterapkan pada proses pembangunan dunia ketiga.32

Berbagai rumusan teori ilmu-ilmu sosial, menurut perspektif ini sebenarnya

merupakan pengambilan keputusan atau sikap terhadap realitas yang dipengaruhi oleh

informasi atau pengetahuan terdahulu yang sudah dimiliki seseorang. Demikian

halnya teori-teori yang terkait dengan materi yang bukan merupakan hasil eksperimen

laboratorium, seperti persoalan penciptaan dan asal-usul manusia. Karena itu, ilmu

31 MM Ismail, Al-Fiku al-Islami (Beirut: Maktabah Al-Wa’ie, 1958) hal. 88.32 Michael Kunczik, Communication and Social Change (Bon: Friedrich-Ebert-Stiftung,

1986) hal. 59-60.

11

Page 12: Epistemologi

tidak bebas nilai. Teori Darwin tentang asal usul manusia jelas merupakan refleksi

terhadap realitas yang diilhami oleh keyakinan tertentu. Demikian halnya teori-teori

sosial Marxisme, umpamanya. MM Ismail menegaskan, pola pikir aqliyyah terdiri

dari: fakta empiris, benak manusia, panca indra, dan pengetahuan atau informasi yang

dimiliki.33 Berpikir dalam perspektif pola pikir rasional (metode aqliyyah) merupakan

proses pemindahan fakta empiris dan pengambilan keputusan atau sikap atas fakta

berdasarkan informasi atau pengetahuan yang sudah dimiliki.

Karena pola pikir rasional (metode aqliyyah) menghasilkan ide dan teori yang

merupakan produk kontemplatif yang dibangun atas pemahaman terhadap fakta

berdasarkan informasi yang dimiliki sebelumnya (maklumat sabiqoh), metode

aqliyyah akan menghasilkan ide-ide teoritis yang bernuansa hadhoroh. Husein

Abdullah (1990) menegaskan, hadhoroh merupakan “… kumpulan pemahaman

tentang kehidupan…” Sedangkan hadhoroh Islam ialah “… kumpulan pemahaman

tentang kehidupan dari sudut pandang (world view) Islam.34

Ketika kita menerima pandangan teoritis yang bernuansa ideologis dan

kepercayaan, maka tidak ada cara lain kecuali melakukan koreksi, serta membangun

teori-teori baru (adition) dari sudut pandang hadhoroh Islam untuk menggantikan

(substutution) teori-teori konvensional yang mengandung etnosentrisme, budaya,

kepercayaan dan agama tertentu.

Setelah melakukan pemilahan kerangka berfikir, menjadi pola berfikir sains

dan pola pikir rasional (aqliyyah), maka rekonstruksi epistemologis dapat dilakukan

melalui proses: fiksasi, internalisasi, koreksi, substitusi, dan adisi. Fiksasi berarti

menerima teori-teori yang dihasilkan melalui proses empiris-laboratoris yang bersifat

obyektif, faktual, dan replicable. Dalam waktu yang sama kita dapat melakukan

internalisasi nilai terhadap proses berfikir ilmiah dan produk ilmiah. Kita juga dapat

melakukan adisi jika ditemukan teori baru dari proses kajian ilmiah. Sementara itu,

bagi teori-teori yang merupakan produk kontemplatif dan bernuansa hadhoroh yang

33 MM Ismail, op.cit. hal 88. 34 Muhammad Husein Abdullah, op.cit. haal. 74.

12

Page 13: Epistemologi

dibangun atas pola pikir rasional, maka kita dapat melakukan koreksi dan substitusi

terhadap teori-teori lama yang dinilai sudah usang. Lebih jelasnya, strategi

rekonstruksi epistemologis disajikan dalam Tabel berikut.

Tabel 1: Strategi Rekonstruksi Epistemologi

No Rekonstruksi Epistemologis

Hasil dari Pola Berfikir Ket. Sains Rasional

(Aqliyyah)1 Fiksasi +| -2 Internalisasi + -3 Koreksi - +4 Substitusi - +5 Adisi + +

Demikianlah, terdapat perbedaan mendasar antara pola pikir sains dengan

pola pikir rasional. Pola pikir sains secara epistimologis bersifat “antropo-sentris”

yang bebas nilai. Sedangkan pola pikir rasional lebih bersifat “teo-sentris.” Artinya,

berbagai teori ilmu sosial, politik, ekonomi dan budaya harus dibangun di atas

landasan wahyu. Dari sini sesungguhnya tidak ada pertentangan antara epistimologi

“antropo-sentris” dengan epistimologi “teo-sentris.” Keduanya memiliki poporsi

masing-masing.

Dalam konteks ini, UIN dapat membangun distingsi akademis dengan

mengadopsi pola pikir sains dan pola pikir rasional. Artinya, UIN dapat

mengembangkan sains yang bebas nilai melalui berbagai penelitian eksperimental,

yang kemudian dikembangkan menjadi teknologi tepat guna. Bersamaan dengan itu,

UIN juga dapat mengembangkan studi-studi “umum” yang dibangun atas landasan

epistimologi ilahiah (berdasarkan wahyu). Maka, UIN dengan mengembangkan ilmu-

ilmu (non-sains) yang berlandaskan “epistimologi ilahiah” dan sains, akan memiliki

distingsi akademis dan akan menjadi trend setter integrasi keilmuan. Lebih jelasnya,

bagi UIN wahyu akan menjadi wolrd view dalam memahami dan mengambil

keputusan atas fakta empiris, sekalipun tidak berlabel Islam, seperti ekonomi Islam,

13

Page 14: Epistemologi

agribisnis Islam, dan lain-lain.

Pembagian Ilmu

Aspek lain yang penting ialah, dengan mengadopsi pola pikir sains dan pola

pikir rasional – yakni bahwasannya seluruh disiplin ilmu dalam Islam memiliki

epistimologi yang sama, yaitu wahyu, kecuali sains -- akan mengeliminasi disparitas

ilmu-ilmu agama (al ulum ad-Dien) dengan ilmu-ilmu “umum.” Bukan disparitas

ilmu agama-ilmu umum melainkan hanyalah pembagian tugas. Ilmu tafsir dan hadits,

misalnya, merupakan ilmu murni untuk membekali seseorang agar memiliki

maklumat sabiqoh yang tepat dalam mensikapi realitas. Ilmu usul fiqh menyajikkan

berbagai instrumen agar seseorang dapat berijtihad dengan baik. Ilmu ushulud dien

dimaksudkan untuk meng-counter berbagai maklumat sabiqoh yang bertentangan

dengan Islam. Ilmu ekonomi berbicara mengenai proses pengambilan kebijakan dan

aplikasi fiqh pada aktivitas ekonomi. Demikian halnya agribisnis berbicara tentang

implementasi syariah dalam mewujudkan usaha pertanian yang sesuai dengan standar

profesional.

Integrasi keilmuan yang sesungguhnya di UIN, dengan sendirinya hanya

mungkin diwujudkan jika seluruh disiplin ilmu – kecuali sains – memiliki kesatuan

landasan epistimologis, yakni wahyu. Selain itu, penemuan-penemuan lab melalui

proses dan pola pikir sains juga tidak lepas dari dzikir; seseorang semakin menyadari

kebesaran Allah ketika ia dapat menyibak materi ciptaan Allah.

Barangkali karena semua ilmu dibangun di atas landasan epistimologis yang

sama (wahyu), maka dalam sejarah keilmuan Islam tidak dibedakan antara ilmu

agama dengan “ilmu profan.” Semua disiplin ilmu, sekalipun diakui adanya hirarki –

tulis Azyumardi Azra6 – tetap bermuara pada pengetahuan yang maha tunggal.

Sebagai gambaran, Universitas Cordova pada masa kebesaran Islam di

Spanyol dan Portugal mengajarkan berbagai program studi, meliputi: astronomi,

matematika, dan kedokteran selain teologi dan hukum. Lembaga pendidikan tinggi

6 Azyumardi Azra, op.cit. hal. XII.

14

Page 15: Epistemologi

Islam (Al-jamiah dan bayt al-hikmah) di belahan dunia Timur pada masa Khilafah

Abasiyah menawarkan pendidikan universitas dengan cakupan yang lebih luas,

seperti bahasa Arab, astronomi, kedokteran, hukum, logika, metafisika, aritmatika,

pertanian, dan lain sebagainya, di samping ada pula beberapa madaris yang

menawarkan program studi khusus seperti ulumul Qur’an, ulumul Hadits, dan lain

sebagainya.7

Kesatuan epistimologis yang berlandaskan wahyu sebagai maklumat sabiqoh

nampak dalam pembagian ilmu yang dilakukan para ulama klasik. Al-Farabi,

misalnya, membagi ilmu secara garis besar menjadi lima cabang, yakni: ilmu-ilmu

bahasa, ilmu logika, ilmu-ilmu dasar (seperti aritmatika dan geometri), ilmu-ilmu

alam dan metafisika, dan ilmu-ilmu tentang masyarakat (seperti hukum dan teologi).

Ibnu Butlan mencoba menyederhanakan klasifikasi ilmu menjadi tiga bagian besar:

ilmu-ilmu Islam, ilmu-ilmu filsafat dan ilmu alam, dan kesusastraan. Sedangkan Ibnu

Khaldun yang terkenal sebagai “Bapak Sosiolog Islam” mereduksi ilmu menjadi dua

bagian, yaitu ilmu ‘aqliyah dan naqliyah. Ilmu-ilmu ‘aqliyah mencakup logika,

filsafat, kedokteran, pertanian, geometri, dan astronomi. Sedangkan yang masuk

ketegori ilmu-ilmu naqliyah ialah: ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh, kalam,

tashawwuf, dan bahasa.8

Epistimologi ilmu yang didasarkan pada wahyu dengan sendirinya akan

melahirkan pola prilaku distingtif para ilmuan muslim. Mereka memiliki

profesionalisme yang tinggi dalam bidang ilmu yang menjadi kajiannya. Selain itu,

mereka pun memiliki penguasaan yang cukup baik atas tsaqofah Islam. Tidak

mungkin berhasil membangun epistimologi yang didasarkan pada wahyu tanpa

penguasaan tsaqofah Islam yang cukup baik, seperti bahasa Arab, tafsir, hadits, usul

fiqh, dan lain sebagainya. Semua ini bermuara pada terbentuknya keperibadian Islam

(syakhsiyah Islamiyah) yang merupakan refleksi akidah dan kematangan sebagai

seorang ilmuan.

7 Ibid. hal. 23-4.8 Ibid. hal. XIII.

15

Page 16: Epistemologi

DAFTAR PUSTAKA

An-Nabhani, Taqyuddin. At-Tafkir (Beirut: Darul Ummat, 1973)

Bond, Paul. “Introduction” dalam Knowledge Without Wisdom, http://www. inspiredbooks.net/kww.htm, visited October 1, 2002.

Husein Abdullah, Muhamamd Ad-Dirosah fi fikril Islamy (Aman: Darul Bayariq, 1995).

Ismail, Muhammad-Muhammad, Al-Fikrul Islami (Beirut: Maktab al-Wa’ie, 1958);

Kunczik, Michael, Communication and Social Change (Bon: Friedrich-Ebert-Stiftung, 1986)

Saunderaraj, Francis. “Girding up For Mission in Asia in the 21st Century,” EvangelicalMission Quarterly dalam http://www.wheaton.edu/bgc/1999/girding. html, visited October 1, 2002.

Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi (Jakarta: UI Press, 1999).

Suriasumantri Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1988)

16