ETIKA ALAM TAOISME DAN RELEVANSINYA
DENGAN KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama(S.Ag)
Oleh : Samsul Hafid
NIM : 1112032100012
PRODI STUDI AGAMA AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019 M
i
ABSTRAK
Samsul Hafid, 1112032100012
Etika Alam Taoisme dan Relevansinya dengan Kehidupan Masyarakat
Modern.
Taoisme adalah suatu agama dan filsafat yang ajaran-ajarannya fokus
kepada masalah etika dan alam. Penelitian ini akan berusaha membuktikan
pernyataan ini dengan cara menggali langsung pemikiran Lao Tzu dan tokoh-
tokoh sentral Tao Lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Taoisme menghasilkan suatu
perspektif etika kealaman dengan prinsip kebijaksanaan Tao. Etika kebijaksanaan
alam Tao ini terpancar pada 3 pola hidup yaitu jalan hidup menurut pembawaan
alamiah, prinsip hidup sewajarnya, dan prinsip hidup yang tidak bertentangan
dengan alam. Ketiga pola hidup di atas relevan dengan kehidupan masyarakat
modern yang secara subtansial dapat memberikan sumbangan bagi kehidupan
masyarakat dewasa ini. Terlebih lagi bagi masyarakat Indonesia yang sedang
membangun kehidupan demokratis di segala bidang melalui pemberdayaan
masyarakat madani. Maka etika demokrasi yang bersumber pada nilai kebajikan
alam sangat diperlukan.
Penulis menggunakan metode studi pustaka (Book Survey/Library
Research. Book Survey adalah suatu teknik dengan cara menuliskan data-data
yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti, serta menuliskan data-
data dari buku-buku yang ada relevansinya untuk memperoleh data pustaka. Oleh
karena itu penulis menggunakan data-data yang diperlukan, baik primer maupun
sekunder. Adapun data primer adalah kitab terjemahan Tao te Ching, buku
Filsafat Lao Tzu, Filsafat China, Lao Tzu dan Pemikirannya, Simple Taoism,
Mengenal Lebih dekat Agama Tao, dll. Sedangkan data sekunder adalah buku-
buku atau data lainnya yang masih ada kaitannya dengan topik yang sedang
dibahas.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan
kepada penulis segala nikmat dan rahmat-Nya, serta karunia iman dan Islam
sehingga sudah sepatutnya penulis selalu memuji keagungan-Nya. rasa syukur
pada gerak ucapan dan perbuatan akan senantiasa terpanjatkan karena sejatinya
memang harus begitu sebagai seorang hamba yang tak pernah ditinggalkan oleh
Tuhannya akan segala nikmat, dan dikesempatan ini, penulis masih diberi nikmat
kesehatan dan kesempatan menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan iringan salam
semoga senantiasa tercurah untuk sayyid Muhammad yang datang ke dunia ini
sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam, menerangi alam ini dengan
kesempurnaan akhlaknya.
Kemudian, dengan segenap hati penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak
memakan waktu yang sebentar, tenaga yang tidak sedikit, pikiran dan segenap doa
serta berbagai macam usaha telah dicurahkan demi terselesainya satu karya ini.
Maka dengan selesainya skripsi sederhana ini, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih yang luar biasa kepada semua pihak yang telah membantu.
Untuk itu penulis persembahkan rangkaian kata “Terima Kasih” yang sedalam-
dalamnya Kepada semua pihak:
1. keluarga besar Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta yang telah memberikan
khazanah keilmuan dan kemahasiswaan selama ini, terutama kepada dekan,
wakil dekan, dosen-dosen, kajur serta sekjur Studi Agama-Agama.
iii
2. Prof. Dr. Ikhsan Tanggok, M. Si selaku dosen pembimbing yang dengan sabar
dan tulus membimbing penulis serta meluangkan waktunya untuk menjalani
proses pembuatan skripsi hingga selesai dengan baik.
3. Kepada kedua orang-tua saya, Ahmad Maksum dan Kamirah, pemberi doa
paling utama, memberi kasih-sayang yang paling tulus, semoga mereka
berdua selalu diberkahi dan dirahmati oleh Allah SWT. Tak lupa kepada
saudara-saudara saya semoga semuanya sukses dunia-akhirat
4. Keluarga besar Studi Agama-Agama yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu. Semoga kalian semua sukses dunia-akhirat.
Akhirnya dengan keikhlasan dan ketulusan hati, penulis berdoa semoga
apa yang telah mereka berikan mendapat ganjaran yang setimpal dari Allah SWT.
Aamiin.
Penulis
Samsul Hafid
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SIDANG
LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH
ABSTRAK ........................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 8
E. Metode Penelitian.................................................................................... 9
F. Landasan Teori ...................................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 14
BAB II SEKILAS TENTANG TAOISME ................................................................
A. Asal Usul dan Latar Belakang............................................................... 15
B. Taoisme Sebagai Agama dan Filsafat ................................................... 22
C. Ajaran-Ajaran Taoisme ......................................................................... 28
BAB III ETIKA ALAM TAOISME .............................................................................
A. Etika alam yang berpusat pada Tao ...................................................... 36
B. Konsep Manusia Bijaksana (te) dengan Wu Wei .................................. 45
C. Etika alam dalam Praktik Meditasi Taoisme ........................................ 54
BAB IV RELEVANSI ETIKA ALAM DENGAN KEHIDUPAN
MASYARAKAT MODERN ............................................................................
A. Telaah Kritis terhadap Etika Alam Taoisme ......................................... 56
B. Relevansi Etika Alam Taoisme dengan Kehidupan
Masyarakat Modern............................................................................... 66
v
BAB V PENUTUP .........................................................................................................
A. Kesimpulan ........................................................................................... 76
B. Saran ...................................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme didirikan oleh Lao Tzu pada
abad keenam sebelum Masehi. Ajaran ini terus berkembang sampai abad
kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu
dan Huang Lao. Di dalam ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao
dipandang sebagai “sumber yang unik dari alam semesta dan menentukan
semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari bagian yang positif dan
bagian yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu mengubah satu
sama lain; dan bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang tidak alami
tetapi mengikuti hukum kodratnya.”1 Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan
hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah
dibedakan secara tegas. Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia
berbahasa Inggris, pembedaan antara Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme
sebagai agama belumlah ada. Pada pertengahan 1950, para ahli sejarah dan
Filsafat Cina berpendapat bahwa ada perbedaan tegas di antara keduanya,
walaupun memang keduanya berdiri di atas tradisi yang sama.
Perbedaan dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme terletak
pemahaman tentang tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Para filsuf
Taois berpendapat bahwa tujuan setiap orang adalah mencapai transendensi
spiritual. Oleh sebab itu, mereka perlu menekuni ajaran Tao secara konsisten.
Sementara, para pemuka agama Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap
manusia adalah untuk mencapai keabadian, terutama keabadian tubuh fisik
(physical immortality) yang dapat dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa
berusia panjang. Pada titik ini, kedua ajaran Taoisme ini berbeda secara tajam.
1 Taosu Agung Kusumo, Tanya Jawab Agama Tao (Jakarta: Majelis Tao Indonesia), h.
43.
2
Para filsuf Taoisme berpendapat bahwa usia panjang itu tidaklah penting.
“Hanya orang-orang yang tidak mencari kehidupan setelah mati”, demikian
tulis Lao Tzu di dalam Tao Te Ching pada bagian ke-13, “yang lebih
bijaksana di dalam memaknai hidup.”2 Di dalam beberapa tulisannya, Chuang
Tzu menyatakan, “Orang-orang Benar pada masa kuno tidak mengetahui
apapun tentang mencintai kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui
apapun tentang membenci kematian.” Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup
dan mati sudah ditakdirkan – sama konstannya dengan terjadinya malam dan
subuh… manusia tidak dapat berbuat apapun tentangnya.”3 Jelaslah bahwa
para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu untuk
memilih antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam keresahan
di antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya.
“Sikap transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”,
demikian tulis Xiaogan, “…..adalah mengikuti alam dan tidak melakukan
tindakan-tindakan yang tidak alami”.4 Sikap mengikuti alam disebut juga
sebagai tzu-jan5, dan sikap pasif dengan tidak melakukan tindakan-tindakan
yang tidak alami disebut juga sebagai wu-wei6.
Latar belakang sejarah tersebut mengisyaratkan bahwa Taoisme dalam
perkembangannya membawa misi keadilan dan kemanusiaan. Oleh karena itu
Taoisme menempatkan ajaran kebajikan (te) sebagai tema sentral dalam etika
kefilsafatannya.
Tao adalah sumber yang lebih tua daripada alam. Alam berakar pada
tao, segala sesuatu yang kita ketahui di dunia ini berasal dari tao,
diekspresikan sebagai yin dan yang. Jadi, apapun yang kita lakukan tidak
pelak lagi akan menciptakan lawan sendiri. Menurut Lao Ttze, untuk dapat
2 Tom Griffith (ed), Tao Te Ching Lao Tzu (EAST Street: Wordsworth, 1997), hal 39
3 Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao (JAKARTA: UIN Jakarta Press,
2010), hal. 73. 4
Liu Xiaogan, “Taoism”, dalam Our Religions, Arvind Sharma (ed), New York:
HarperCollins, 1993, hal. 231-287 dikutip di https://rumahfilsafat.com/2010/07/07/etika-taoisme-
memperkenalkan-filsafat-taoisme. Diakses pada tanggal 23 Februari 2019. 5 Watter, Lao Tzu Kisah Hidup dan Pemikirannya, hal. 35
6 Tanggok, mengenal Lebih Dekat agama Tao, hal. 50.
3
sukses di dalam kehidupan ini, seharusnya kita melangkah mundur, sehingga
keseimbangan dapat terjadi. Situasi kehidupann kelihatannya berjalan dengan
satu arah, padahal dengan segera akan memperlihatkan sifat alaminya yang
mendua. Orang bijak mendorong diperolehnya kepuasan dengan
meninggalkan keinginan yang berlebihan. Kesederhanaan akan membimbing
kita untuk bebas dari nafsu keinginan.7
Seluruh rangkaian epistemologi Taoisme, baik dalam ruang lingkup
filsafat maupun dalam tradisi keagamaannya menggambarkan secara
keseluruhan tentang etika alam.8
Lao Tze sebagai tokoh sentral dalam
Taoisme menjadi rujukan paling utama tentang etika alam ini dengan
konsepnya Back to Nature.
Back to Nature atau kembali kepada alam menggambarkan
kebijaksanaan terdapat pada sikap yang tidak menentang. Lao Tze
mengarahkan manusia melewati misteri dengan kembali ke alam sebagai inti
kehidupan. Ketika manusia bersikap menerima apa adanya, keadaan pun tidak
lagi menjadi masalah, biarlah segala hal menempuh jalannya yang alami.
Dengan demikian, segala sesuatu diurus oleh pola penggerak dan
penghentinya sendiri, yaitu Tao.9
Dengan mendukung hal-hal yang alami sebagai salah-satu prinsip
kembali kepada alam, maka kebijaksanaan akan membiarkan terwujudnya
Tao. Sehingga kebijaksanaan ditemukan di dalam keheningan, dalam
ketenangan, dalam sikap menerima apa adanya.
Etika alam Taoisme mengajarkan manusia untuk hidup kembali kepada
alam, belajar dari cara hidup alam, yaitu berbuat kebajikan (te). Menurut
Taoisme dengan berbuat kebajikan seseorang memiliki kekuatan moral, ia
dapat hidup bersama dan menghidupi sesamanya atas dasar kesucian hati yang
7 Alexanderr Simpkins, Simple Taoism, Penerj. Frans Kowa (Pt. Bhuana Ilmu Populer:
Jakarta, 2014), h. 16 8 Berbeda dengan Konfusianisme di mana fondasi ajarannya lebih dominan kepada etika
politik. (lihat Melinda, Etika Politik Agama Konghucu , UIN Jakarta: Ciputat, 2016) 9 Simpkins, Simple Taoism, h. 17
4
murni (purity pure heart). Kebajikan (te) merupakan sesuatu yang ingin dituju
oleh para penganut Taoisme. Te adalah buah atau hasil yang diperoleh
seseorang apabila menjalankan Tao. Lao Tzu menjelaskan betapa mulianya
sifat yang sesuai dengan Tao, bekerja untuk menghidupi semuanya hingga
hidupnya langgeng dan abadi. Bagaimana kerasnya usaha orang budiman
untuk melenyapkan sang aku, namun bukan berarti kehilangan diri, bahkan
sebaliknya menemukan diri pribadi. Untuk mencapai kebajikan seseorang
harus berbuat sesuai dengan cara hidup Tao. Seperti yang dinyatakan oleh Lao
Tzu, bahwa kualitas kebajikan seseorang terdapat dalam cara hidupnya.10
Hidup dalam simbolisme Tao diibaratkan air, seseorang memiliki
kekuatan moral besar dan berkepribadian luhur bagaikan air. Air selalu
memberi keuntungan kepada segala benda, tetapi tidak mencari jasa. Air
selalu bersikap merendah meskipun selalu memberi manfaat kepada semua
kehidupan. Inilah gambaran sifat orang budiman. Di mana pun orang budiman
berada senantiasa dapat menyesuaikan diri, hatinya tenang bagaikan air telaga
yang dasarnya dalam. Air yang diam tandanya dalam, demikian pula dengan
hati yang tenang dan tenteram dimiliki oleh orang yang berhati luhur. Dalam
pergaulan dengan sesamanya selalu mencurahkan cinta kasihnya. Bicaranya
lemah lembut dan dapat dipercaya. Dengan hati yang tenang dan jujur dapat
menyelesaikan segala persoalan dengan bijaksana dan sempurna, senantiasa
mengerjakan tugas dengan baik. Semua tindakannya dilakukan pada waktu
yang tepat.
Filsafat Etika Taoisme dapat dikatakan empiris dan juga praktis.
Empiris, karena konsepsi kefilsafatannya merujuk pada fenomen alam yang
mudah ditangkap dan diamati oleh manusia, misalnya bagaimana sifat air dan
matahari yang dapat memberi makna simbolik bagi kehidupan manusia di
alam semesta. Praktis, karena isi pemikiran Taoisme berisi ajaran hidup etis,
atau cara hidup yang seharusnya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya :
kasih sayang sesama, keadilan, dan kejujuran. Ajaran Taoisme memang agak
10
Anand Krishna, Mengikuti Irama Kehidupan Tao Te Ching bagi Orang Modern (PT.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1998), h. 34
5
sulit untuk dipahami karena tidak sistematis, hanya berupa syair-syair dan
simbolik. Untuk memahaminya harus menggunakan metode hermeneutika
elaboratif, yaitu melakukan penafsiran terhadap konsep-konsep simbolik
kefilsafatannya dan menelusuri garis liniernya, kemudian
mengkomprehensikan ke dalam bentuk konsep kefilsafatan yang utuh. Berikut
pendekatan mengenai filsafat Taoisme. Menurut Lao Tzu, kebajikan (te)
diartikan sebagai karakter atau kekuatan moral yang mengandung tiga unsur,
yaitu sebagai berikut. (a) Suatu kata yang berarti selalu mengusahakan (to
go), kecenderungan memberi bantuan kepada orang lain. Kecenderungan
semacam ini muncul dalam diri seseorang (internal) dan bukan karena faktor
dari luar (external), misalnya pamrih. Di samping itu juga dilakukan secara
terus menerus sebagai kebiasaan dalam hidup. Mengandung arti jujur
(straight), yaitu kecenderungan sikap dan perilaku yang berbasis pada
kesucian hati yang murni (original purity). Bermakna kasih sayang (heart).
Dalam kebajikan arti hidup adalah untuk sesamanya, tanpa membeda-
bedakan.11
Dewasa ini di kalangan sebagian masyarakat Indonesia nampak
semakin surut apresiasi terhadap nilai-nilai etis. Cara-cara berpikir, bersikap
dan perilaku kian lepas dari dasar-dasar pertimbangan moral-etik, sebaliknya
mereka cenderung berorientasi pragmatis. Keputusan orang kini bukan lagi
apa yang seharusnya dilakukan, tetapi apa yang dapat dilakukan. Misalnya,
para pelaku politik dan birokrat, mereka lebih bersemangat berbicara tentang
hak tetapi mereka sepi berbicara tentang kewajiban, mereka tidak segan dan
tidak malu unjuk kebolehan memperjuangkan hak-haknya meskipun
sementara belum memberikan apa yang menjadi kewajibannya. Implikasinya,
orang lebih memilih cara pintas daripada berpikir proses yang memerlukan
pengorbanan waktu, pikiran, kesiapan ilmu. Eksesnya, kasus korupsi terus
menggejala di permukaan setiap sektor lini birokrasi pemerintahan negara.
Sementara keseimbangan hidup sebagian masyarakat terhadap lingkungan
alam semakin kurang, berimbas pada bencana alam dan kecelakaan yang terus
11
Krishna, Mengikuti Irama Kehidupan Tao Te Ching bagi OrangModern, h. 37.
6
terjadi di mana-mana silih berganti. Kelestarian lingkungan alam kini sangat
memprihatinkan, padahal alam merupakan kesatuan kosmis dengan manusia.
Di sisi lain bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami masa transisi
budaya politik yang dipicu oleh dampak perkembangan era global dan krisis
yang berkepanjangan. Proses demokratisasi masyarakat sipil yang menggulir
menuntut peluang kebebasan, keterbukaan, dan ruang gerak partisipasi politik
seluruh anggota masyarakat melalui tema-tema perjuangan demokrasi dan hak
azasi manusia. Situasi sosial masyarakat seperti ini sangat rentan bagi
timbulnya anarkisme sosial, perlu didukung oleh penguatan moralitas budaya
politik masyarakat.12
Menyikapi perkembangan masyarakat Indonesia sekarang ini, perlu
belajar dari pengalaman Taoisme yang mengajarkan manusia untuk hidup
kembali kepada alam untuk berbuat kebajikan (te). Menurut Taoisme dengan
berbuat kebajikan seseorang memiliki kekuatan moral, ia dapat hidup bersama
dan menghidupi sesamanya atas dasar kesucian hati yang murni. Dengan
melakukan kebajikan ini manusia dapat mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan hidup, sebab berbuat kebajikan artinya seseorang telah
melakukan wu-wei, yakni tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
hukum alam, pembawaan kodrat manusia dan kewajaran. Kepatuhan pada
hukum alam dapat memperoleh pengalaman nilai kehidupan bagi manusia,
yakni bersikap adil, kesucian hati yang murni, disiplin dan taat azas. Masalah
inilah yang akan penulis tela‟ah lebih dalam di dalam skripsi ini yang akan
penulis beri judul Etika Alam Taoisme dan Relevansinya dalam
Kehidupan Masyarakat Modern.
12
Sirojuddin ali, pancasila dalam realitas mewujudkan Negara paripurna (Jakarta:
madzhab ciputat), h. v.
7
B. Rumusan dan Batasan Masalah
a. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut maka penelitian ini akan mengacu
pada rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah relevansi etika alam Taoisme dengan kehidupan
masyarakat modern?
b. Batasan Masalah
Agar pembahasan Skripsi ini terarah, spesifik dan tidak
menyimpang dari rumusan masalah, Penulis perlu mengemukakan batasan
masalah yakni Penulis hanya akan mengambil kajian etika Taoisme yang
sangat condong kepada nilai-nilai kealaman dan relevansinya dengan
kehidupan masyarakat modern.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini
adalah:
1. Untuk mengetahui etika alam dalam Taoisme.
2. Untuk mengetahui bagaimana relevansi etika alam Taoisme dengan
kehidupan Masyarakat Modern.
3. menjadi bahan tambahan referensi dan bahan bacaan serta sumbangan
khazanah pada jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya
dan khalayak pada umumnya.
8
4. Untuk menunjang kegiatan dan keterampilan riset yang lebih mendalam
sebagai bagian dari kesadaran yang lebih tinggi dalam bidang keilmuan.
D. Tinjauan Pustaka
Setiap penelitian harus berpegang teguh pada asas orisinalitas,
autentisitas, dan kontekstualitas (baru dan belum pernah diteliti). Melihat hal-
hal tersebut, maka penulis melakukan kajian kepustakaan untuk menguji
bahwa penelitian ini benar-benar baru dan autentik.
Sebenarnya tulisan yang berkenaan dengan Etika Taoisme sudah
banyak penulis temui, namun dari beberapa yang penulis temui baik yang
berupa buku, skripsi, artikel, maupun yang lainnya belum penulis temukan
yang spesifik dan komprehensif yang mengkaji tentang Etika alam Taoisme.
Dari hasil penelusuran penulis, ditemukan beberapa hasil penelitian yang
terkait dengan tema ini.
Pertama, Buku yang ditulis oleh Prof. Ikhsan Tanggok yang berjudul
Mengenal Lebih Dekat Agama Tao. Buku ini menjelaskan secara lengkap
tentang sejarah tao dan ajaran-ajarannya serta menjelaskan eksistensi tao di
Indonesia. Meskipun di Indonesia agama ini belum disetarakan dengan enam
agama, namun sejak orde baru agama ini sudah masuk dalam organisasi
tridarma. Sekarang ini, agama tao diindonesia berada di bawah naungan
majelis tao Indonesia.
Tulisan dalam Jurnal Hukum Universitas Islam Sultan Agung tahun
2005 yang ditulis oleh Irianto Widisuseno. Tulisan ini berjudul Studi tentang
9
Etika Natural Taoisme dan Sumbangannya bagi Pemberdayaan bagi
Masyarakat Madani di Indonesia. Tulisan ini membahas tentang akar sejarah
filsafat Tao, hal-hal mendasar dalam etika Natural Taoisme, dan tulisan ini
juga menjelaskan bahwa etika natural Taoisme membawa misi keadilan dan
kemanusiaan. Akan tetapi tulisan ini tidak secara runtut dan komprehensif
membahas pokok persoalan yaitu tentang etika alam Tao. Setiap sub bahasan
dalam tulisan ini diuraikan tidak sampai satu halaman, dengan kata lain
pemecahan dan pendalaman masalahnya tidak sampai ke akar-akarnya. Dan
kekurangan ini yang akan penulis gali lebih dalam di Skripsi ini.
Kedua, buku yang ditulis oleh Alan Watts yang berjudul The Tao of
Philosophy. Buku ini lebih banyak menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan
mendasar filsafat barat dan filsafat timur, dalam hal ini filsafat Tao.
Ketiga, buku yang ditulis oleh Aleksander Simpkins yang berjudul
Simple Taoisme. Buku ini menjelaskan tentang Taoisme di berbagai masa,
ajaran-ajaran pokok Tao, serta praktek-praktek filosofis spiritual Taoisme.
E. Metodologi Penelitian
Suatu penelitian secara umum mengharuskan adanya metode yang
digunakan, karena tanpa adanya metode yang jelas maka suatu penelitian tidak
akan memperoleh hasil yang maksimal, sistematis, dan terarah. Hal ini juga
berlaku dalam pengumpulan data maupun pengolahan data. Untuk
mempermudah dalam penelitian ini dan agar sesuai dengan kaidah penelitian ,
maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:
10
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari obyeknya, penelitian ini merupakan penelitian pustaka
(Library Research), yaitu penelitian yang berbasis pada data-data
kepustakaan berupa buku, majalah, jurnal, koran, ensiklopedi, dan lainnya
yang berisi tentang persoalan Etika Taoisme dan segala persoalan yang
berkaitan dengannya . Penelitian ini juga mengambil data dari hasil
wawancara mendalam orang-orang yang sudah sangat memahami agama
dan Filsafat Taoisme.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif karena tidak
menggunakan mekanisme statistika untuk mengolah data. Sifat penelitian
ini adalah deskriptif-analitik. Deskriptif adalah metode yang menggunakan
pencarian fakta yang diinterpretasi dengan tepat. Sedangkan analitik
adalah menguraikan sesuatu dengan cermat serta terarah.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipakai untuk penelitian Skripsi ini adalah
pendekatan Teologis dengan melihat Tao sebagai sistem agama. Dalam
sejarahnya Taoisme terpecah menjadi 2 aliran menjadi Taoisme sebagai
agama dan Taoisme sebagai Filsafat. Dan Taoisme yang akan diuraikan
dalam perspektif teologis dalam skripsi ini adalah Taoisme agama. Agama
Tao memiliki system kepercayaan kepada Dewa-Dewa yang banyak,
bahkan Lao Tzu dan leluhur-leluhur Tao yang lainnya oleh penganutnya
dianggap sebagai dewa yang wajib dihormati dan disembah.
11
Selain itu skripsi ini juga menggunakan pendekatan Historis, yaitu
pendekatan yang dipakai dalam sebuah skripsi dengan melihat aspek
sejarahnya. Pendekatan ini melacak akar sejarah dari Tao yang konteksnya
dimulai pada zaman Yang Tzu, Lao Tzu sampai sekarang. Setiap agama
dan filsafat termasuk Taoisme pasti tidak akan terlepas dari sejarahnya
masing-masing yang menjadi pendekatan ini harus wajib dimasukkan
dalam sudut pandangan skripsi ini.
Skripsi ini juga menggunakan pendekatan Filosofis, yaitu sebuah
pendekatan yang mengkaji nilai-nilai filsafat dalam ajaran sebuah agama.
Pendekatan ini dipakai karena skripsi ini tujuan utamanya adalah
mengeksplorasi tentang nilai-nilai etika alam dalam Taoisme. Perspektif
filsafat Taoisme adalah hubungan antara Tao, manusia, dan alam. Ketiga-
tiganya tidak bisa dipisahkan satu-sama lain karena saling mengisi satu-
sama lain.
3. Sumber data.
a. Data Primer
Yaitu sumber yang memberikan data langsung yang berkaitan dengan
permasalahan yang sedang diteliti. Data ini didapat dari buku-buku,
jurnal, dan bentuk tulisan lain yang membahas tentang Taoisme.
b. Data Sekunder
12
Yaitu sumber yang diperoleh dari buku, surat kabar, media online,
majalah dan sejenisnya yang mempunyai relevansi dengan judul
skripsi di atas baik secara langsung maupun tidak langsung.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun macam-macam teknik pengumpulan data yang dipakai dalam
skripsi ini adalah sebagai berikut :
a. Studi Kepustakaan
Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara menghimpun informasi
yang berkaitan dengan topic atau masalah yang sedang diteliti, baik
melalui buku-buku, karya Ilmiah, Tesis, Disertasi, dan sumber-
sumber lain.
5. Wawancara
Penulis akan melakukan wawancara mendalam dengan tokoh Tao yang
ahli terhadap ilmu-ilmu Taoisme terutama yang ahli tentang etika alam.
F. Landasan Teori
a. Etika
Secara etimologi kata “etika” berasal dari bahasa yunani yang
terdiri dari dua kata yaitu Ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak
kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos berarti susila, keadaban, kelakuan
13
dan perbuatan yang baik.13
Sedangkan dalam bahasa Arab kata etika
dikenal dengan istilah akhlak, artinya budi pekerti. Sedangkan dalam
bahasa Indonesia disebut tata susila.14
K Bertens dalam buku etikanya
menjelaskan lebih jelas lagi. Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata
Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat
tinggal yang biasa; padang rumput; kandang; kebiasaan, adat; akhlak,
watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak artinya adalah
adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup
yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau kepada
masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi lain. Kebiasaan hidup yang baik ini lalu dibekukan
dalam bentuk kaidah, aturan atau norma yang di sebarluaskan, dikenal,
dipahami, dan diajarkan secara lisan dalam masyarakat. Kaidah, norma
atau aturan ini pada dasarnya, menyangkut baik-buruk perilaku manusia.
Atau, etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan larangan
tentang baik-buruknya perilaku manusia, yaitu perintah yang harus
dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.15
b. Filsafat Tao
Pesan mendasar dari Taoisme adalah bahwa kehidupan ini terdiri
keseluruhan yang bersifat organik dan saling terhubung (organic and
interconnected whole), yang terus berubah secara konstan. Gerak
perubahan yang bersifat tetap ini merupakan bagian dari tatanan alam alam
13
Lorens bagus, kamus filsafat,(Jakarta: PT Gramedia pustaka, 2000), h.217 14
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat,( Jakarta: Wijaya, 1978), h.9. 15
Keraf. A. Sonny. Etika Lingkungan,(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h.2
14
semesta. Manusia berubah bersama alam yang terus berubah secara alami.
Dengan menyadari adanya kesatuan antara alam dan manusia, dan belajar
untuk hidup menyesuaikan diri dengan gerak alam alam, orang akan
sampai pada keadaan yang sepenuhnya bebas dan merdeka, sekaligus
secara langsung terhubung dengan gerak kehidupan dari alam semesta.
Pada tahap ini, orang hidup bersama dan melalui Tao. Orang hidup dalam
kesatuan dengan Tao. Ini adalah tingkat tertinggi di dalam kehidupan
manusia.16
G. Sistematika Pembahasan
Bab 1 yang memuat tentang pendahuluan. pada bab ini akan dibahas latar
belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pembatasan dan
rumusan masalah, tinjauan pustaka, metodologi penelitian,
Landasan Teori dan sistematika penulisan.
Bab 2 yang akan membahas tentang Asal Usul dan Latar Belakang,
Taoisme Sebagai Agama dan Filsafat, dan Ajaran-Ajaran Taoisme.
Bab 3 akan membahas tentang Etika Alam yang Berpusat pada Tao,
Konsep manusia bijaksana dengan Wu Wei, dan Etika Alam
dalam Praktik Meditasi Taoisme.
Bab 4 akan membahas telaah Kritis terhadap Etika Alam Taoisme dan
relevansinya dengan kehidupan masyarakat modern.
Terakhir bab 5 yang akan memuat kesimpulan dan saran-saran dari
penelitian ini
16
http://www.jadedragon.com/archives/june98/tao.html. Diakses pada tanggal 7 februari
2018.
15
BAB II
SEKILAS TENTANG TAOISME
A. Asal-Usul dan Latar Belakang
Peletak dasar ajaran Taoisme adalah Yang Chu (440-260). Ajarannya
bersifat eudaemonistik, artinya bahwa manusia harus mencari kebahagiaan
tertinggi bagi dirinya, itulah yang dinamakan kebahagiaan. Ajaran ini
kemudian dikembangkan oleh Lao Tzu (abad VI SM), dan menurut
kepustakaan Cina dikenal sebagai pendiri Taoisme atau Tao Te Chia. Ajaran
Lao Tzu ini ditulis dalam sebuah buku yang berjudul Lao Tzu dan buku itu
akhirnya dikenal dengan nama Tao Te Ching. Buku tersebut memuat sajak-
sajak pendek tentang etika, psikologi dan metafisika. Kemudian hari buku Lao
Tzu ini dijadikan buku suci oleh para penganut Taosime, karena memuat
aturan-aturan tata kerja Taoisme.1
Kehidupan Lao Tzu, sama seperti buku yang dia tulis, terbungkus
penuh dengan misteri. Huston Smith mengatakan bahwa banyak sekali hal
yang tidak pasti tentang dia dari sejarah-sejarahnya, yang ada hanyalah
mosaik legenda-legenda. Beberapa legenda-legenda ini luar biasa, sementara
yang lainnya tampak lebih masuk akal.
Proses kelahiran Lao Tzu, kemunculannya secara pribadi, dan segala
hal tentang, digambarkan para pengikutnya sebagai sesuatu yang bersifat gaib,
tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Konon salah satu riwayat mengatakan Lao
1 Iriyanto Widi Suseno, Studi tentang Etika Natural Taoisme dan Sumbangannya bagi
Pemberdayaan Masyarakat Madani di Indonesia (Semarang: Jurnal Hukum Universitas Islam
Sultang Agung, 2007), h. 10.
16
Tzu diciptakan di ruang angkasa atau di ruang yang hampa. Dalam legenda
lain juga, sebagian meyakini bahwa Lao Tzu dilahirkan dalam keadaan tua, ia
berada dalam perut ibunya selama enam puluh tahun.
Catatan sejarah yang paling dapat dipercaya tentang Lao Tzu adalah
yang ditulis pada awal abad pertama sebelum masehi oleh Szu Ma Chien,
dalam bukunya Shi Chi (Catatan Sejarah). Dalam buku ini ditulis bahwa Lao
Ttzu lahir pada pada tahun 604 SM2, merupakan penduduk asli sebuah dusun
kecil yang bernama Chu Jen, dalam bagian administratif wilayah Lai atau Li,
di distrik Ku, sebuah kota dari Negara bagian Chou. Nama keluarganya adalah
Li, namanya sendiri adalah Erh. Gelarnya Po-Yang, dan sebutan anumertanya
setelah ia wafat adalah Tan. Dia bekerja di Istana Dinasti Chou sebagai Shou
Tsang shi chi shi (penjaga arsip kerajaan).3
Menurut Huston Smith, hanya ada satu cerita yang konon terekam di
zaman hidup Lao Tzu. Kisah ini menuturkan Konfusius, yang mendengar
kabar tentang Lao Ttzu, pergi menemuinya. Kabarnya Konfusius begitu
2 Tidak ada informasi yang pasti yang dapat diandalkan dari sumber-sumber berbahasa
Cina tentang tanggal kelahiran Lao Tzu. Ada yang menegaskan dia lahir pada hari ke-14 bulan ke-
9, tahun 604 SM. Alasannya Lao Tzu adalah seorang yang sezaman dengan Konfusius. Konfusius
lahir pada tahun 550 SM dan Lao Tzu sudah lebih dulu ada 50 tahun sebelum Konfusius. Maka
Lao Tzu berarti lahir pada permulaan abad ke-6 SM. Lihat Thomas Watters, Lao Tzu Kisah Hidup
dan Pemikirannya, Yogyakarta: Basa Basi, 2019. Hal 17. 3 Thomas Watters, penulis buku Lao Tzu Kisah Hidup dan Pemikiranya tidak sependapat
dengan para sejarawan lainnya bahwa Lao Tzu bekerja sebagai penjaga arsip kerajaan.
Menurutnya kata “Tsang” berarti lumbung atau tempat penyimpanan, dan di sebuah catatan dalam
Li-Ci, atau Record of Ceremonies, kata itu dijelaskan sebagai museum Nasional atau Museum
Kekaisaran. Lihat Thomas Watters, Lao Tzu Kisah Hidup dan Pemikirannya, Yogyakarta: Basa
Basi, 2019. Hal 20.
17
terkesan dengan Lao Tzu dan menyamakannya dengan seekor Naga –
Misterius, lebih besar daripada kehidupan, dan penuh teka-teki.4
Dalam pertemuan antara Konfusius dan Lao Tzu itu, suatu waktu Lao
Tzu merasa sedih karena keenggangan manusia di zamannya untuk
menumbuhkan kebaikan alami yang ia dukung sehingga Lao Tzu kemudian
mencari penyepian pribadi yang lebih dalam menjelang tahun-tahun akhir
hidupnya.
Lao Tzu bertekad melakukan pengasingan diri karena menyaksikan
kondiri negerinya, yaitu Chuo telah banyak mengalami degradasi moral. Ia
memandang bahwa takdir negerinya itu sebentar lagi akan hancur, raja-rajanya
semakin tidak bermartabat dan memiliki derajat yang semakin menurun.
Negara secara keseluruhan, mengalami perubahan dari kondisi dasarnya.
Peperangan sering terjadi. Tahun demi tahun , pasukan demi pasukan pergi
dan kembali di hadapan kerumunan orang meninggalkan kehancuran dan
kesengsaraan.5
Menyaksikan semua itu, Lao Tze pergi dengan menunggangi seekor
kerbau dan pergi kea rah barat, yang sekarang ini dikenal sebagai Tibet. Di
Lembah Hankao, dia bertemu dengan seorang penjaga gerbang negeri.
Penjaga pintu gerbang ini merasakan bahwa tokoh yang dia jumpai itu adalah
orang luar biasa yang mempunyai pengetahuan yang penuh dengan kearifan-
kearifan. Sang penjaga gerbang kemudian berusaha membujuknya untuk
4 Huston Smith, Agama-Agama Manusia terj. Dono Sunardi (Jakarta: Pt. Serambi ilmu
Semesta, 2015), h. 218. 5 Thomas Watters, Lao Tzu Kisah Hidup dan Pemikirannya (Yogyakarta: Basabasi,
2019), h. 25
18
kembali. Akan tetapi karena gagal melakukan ini, sang penjaga gerbang
bertanya maukah Lao Tzu setidaknya meninggalkan satu catatan mengenai
keyakinannya tentang kearifan-kearifan hidup yang dijalankanya yang bisa
bermanfaat bagi banyak orang.6
Lao Tzu setuju melakukan itu. Dia menyepi selama tiga hari dan
kembali dengan satu buku tipis berisikan 5000 kata dengan judul Tao te Ching
atau jalan dan kebajikan.7 Sampai sekarang, kitab ini tetap menjadi teks dasar
pemikiran Taois.
Yang patut dipertanyakan adalah mengapa Lao Tzu memilih jalan
meninggalkan negaranya ketimbang ia tinggal dan memperjuangkan sehingga
diharapkan bisa menjadi lebih baik. Thomas Watters beranggapan bahwa
mudah sekali dilihat mengapa filsuf seperti Lao Tze mengajarkan manusia
tidak harus memperjuangkan sesuatu, tapi malah memberikan jalan untuk hal
lain. Sebab mereka harus menjadi orang yang rendah hati dan puas dengan
keadaan yang sederhana. Karena manusia yang baik dan memiliki integritas
harus menarik diri dari bahaya-bahaya dan perbuatan jahat pemerintahan yang
durjana.8
Karena itu, dengan prinsipnya, Lao Tzu – ketika wibawa dinasti Chou
hilang, serta hari-hari penuh kejahatan dan lidah lidah yang busuk menjadi
6 Huston Smith, Agama-Agama Manusia , h. 219.
7 Para intelektual tidak beranggapan bahwa Tao te Ching ditulis oleh satu orang. Mereka
juga meragukan bahwa bentuk buku itu sebagaimana yang dikenal sekarang, sudah ada sebelum
paro ke-2 abad ketiga sebelummasehi. Akan tetapi mereka sepakat bahwa ide-ide Lao Tzu sesuai
denga titik di mana kita harus menempatkan eksistensi seseorang yang memengaruhi buku itu.
Dan mereka juga tidak berkeberatan jika menamai nama orang itu Lao Tzu. Lihat Yulius Ervan
(Alih Bahasa), Tao te Ching Jalan Menuju Kebajikan dan Kekuasaan. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2018. 8 Thomas Watters, Lao Tzu Kisah Hidup dan Pemikirannya, h. 26.
19
semakin memperburuk keadaan – menarik diri dari istana dan mengasingkan
diri menjadi orang yang tidk dikenal, dalam keadaan yang tidak membuat
Orang lain dengki.9
Huston Smith pernah berkomentar tentang Tao te Ching dengan mengatakan:
“Sebagai kesaksian bagi kenyamanan (at-home-ness) manusia di dalam
alam semesta, buku ini bisa dibaca dalam waktu setengah jam atau
bahkan seumur hidup.”10
Bagi yang sudah membaca kitab Tao te Ching, akan membenarkan
apa yang dikatakan oleh Huston Smith di atas. Sebagaimana sudah
disinggung sebelumnya bahwa kitab ini hanya terdiri dari 5000 kata, sangat
tipis sekali, akan tetapi dalam usaha untuk memahami misteri-misteri setiap
pernyataan yang tertulis itu, penulis setuju bahwa butuh waktu yang sangat
lama atau bahkan tidak akan pernah bisa memahami sepenuhnya setiap
kandungan-kandungan kebajikannya kecuali bagi mereka yang memang
hidup di jalan Tao.
Tao te Ching (karya klasik tentang jalan dan keluhurannya) dibagi
menjadi dua bagian. Satu bagian tentang Tao, yang artinya ketunggalan
misterius yang membimbing setiap orang dan segala sesuatu. Sedangkan
bagian lainnya tentang te, yaitu daya yang dicapai dengan mengikuti Tao.
Secara keseluruhan kitab ini terdiri dari 81 bab, berisi mengenai jalan Taois
dan menunjukkan bahwa dengan mengikutinya akan membuat manusia
mencapai kehidupan yang memuaskan. Lao Tzu memilih mengekspresikan
9Thomas Watters, Lao Tzu Kisaha Hidup Dan Pemikirannya, h. 26
10 Huston Smith, Agama-Agama Manusia , h. 219.
20
Tao melalui lirik yang ambigu dan puitis, sehingga membangkitkan intuisi
mengenai Taoyang ada dalam diri pembacanya. Ia tidak berniat
menyampaikan konsep Tao melalui kata-kata yang definisinya gamblang,
karna kata-kata justru menyembunyikan Tao. Bagi Lao Tzu, hakikat batin
tidaklah untuk dikomunikasikan atau direnungkan dalam kata-kata.
Barangkali itulah cara yang paling baik; ketika Tao disembunyikan, justru
akan tersingkap.11
Menurut Prof. Iksan Tanggok, ajaran Tao te Ching ini secara social
dimulai pada abad ke-6 SM. Ide-ide yang terkandung di dalamnya adalah ide-
ide yang sudah berkembang sebelum abad ke-6 SM dan dikembangkan lebih
lanjut oleh Lao Tzu. Tidak ubahnya seperti kitab SuSi, ajaran Konfusius, yang
juga didasarkan pada ide-ide yang berkembang sebelum Konfusius lahir.12
Lebih lanjut Prof. Ikhsan Tanggok mengatakan Tao te Ching
menjelaskan tentang teori Yin dan Yang, yang menyebabkan terjadinya
sesuatu di dunia ini dan yang juga dapat menghancurkan satu dengan yang
lainnya. Termasuk juga gagasan mengenai Chi, yaitu energy kehidupan yang
menyebabkan semua makhluk hidup dapat bergerak atau hidup.
Penganut Taoisme dan masyarakat China umumnya percaya bahwa
alam semesta adalah chi. Bagi mereka, segala sesuatu yang ada di dunia
bukan hanya sekedar makhluk biologis atau makhluk berjasad. Segalanya
11
Alexander Simpskins, Simple Taoism Tuntunan Hhidup dalam Keseimbangan,
alihbahasa: Frans Kowa (Jakarta: Gramedia, 2000), H. 15. 12
Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2010), h. 48.
21
adalah energy, atau chi, sebuah daya vital dalam alam semesta yang dapat
dimanfaat pada semua aspek kehidupan.
Di samping Tao te Ching, karya-karya klasik Taoisme yang bersifat
filosofis adalah Zuangzi. Kitab ini muncul pada abad ke-4 SM. Yang lain
adalah Leizi, yang muncul kira-kira abad ke-3 dan ke-4 M. kitab-kitab ini
menekankan mistisisme, dibentuk dengan tidak berbuat (Wu Wei) yang seolah
bertentangan dengan alam.
Tradisi bersikukuh bahwa Lao Tzu menikah dan mempunyai seorang
anak bernama Tsung. Kemudian banyak generasi berikut yang mengaku
sebagai keturunan Lao Tzu. Benar tidaknya, yang pasti hal ini menunjukkan
fakta bahwa ia telah menjadi symbol penting di dalam sejarah China dan
perkembangan Taoisme. Dipercayai bahwa Lao Tzu tidak pernah membuka
aliran resmi, tetapi para muridlah yang berduyung-duyung datang padanya
dan ia memiliki sejumlah pengikut yang setia. Inilah yang menjadi awal dari
eksistensi Taoisme.13
Setelah Lao Tzu, yang paling berpengaruh terhadap Taoisme adalah
Chuang Tzu (369-286 SM). Karyanya yang dikenal sebagai Chuang-Tzu,
menguraikan dengan jelas dan mengilustrasikan konsep-konsep Tao melalui
berbagai kisah. Karya Chuang Tzu ini sangat mengilhami teori filsafat,
penyembuhan, dan estetika China pada umumnya.14
Pada perkembangan selanjutnya, lahirlah kaum neo Taois, yaitu
sekelompok intelektual yang hidup 220-420 M, yakni pada masa filsafat
13
Alexander Simpskins, Simple Taoism Tuntunan Hidup dalam Keseimbangan, H. 13. 14
Alexander Simpskins, Simple Taoism Tuntunan Hidup dalam Keseimbangan, H. 19.
22
China dikuasai oleh Konfusianisme. Kalangan Neo-Taois menoleh kembali
pada kaum Taois klasik, Lao Tzu dan Chuang Tzu, serta I Ching15
untuk
menafsirkan kembali tema-tema Taois yang asli dan memadukannya dengan
Konfusianisme. Neo Taoisme ini juga dipengaruhi oleh ajaran Buddha yang
tersebar pesat keseluruh daratan China. Buddisme Zen yang baru didirikan
berabad-abad kemudian pun akan dipengaruhi oleh Prinsip Neo Taois.
Kebanyakan penganut Neo Taois adalah orang muda yang idealis, kaum
terpelajar.16
B. Taoisme Sebagai Agama dan Filsafat
Di China, Tao yang dipahami sebagai filsafat disebut Tao Chia, dan
Tao yang dipahami sebagai agama disebut dengan Tao Chiao. Ketika tao
dipahami sebagai agama, maka akan melahirkan upacara-upacara ritual
sebagai sarana bagi para pengikutnya untuk berhubungan dengan hal-hal yang
gaib seperti Tuhan dan Dewa-Dewa yang mereka yakini keberadaannya. Bagi
agama, hal-hal yang gaib itu tidak perlu diteliti kebenarannya secara logika,
karena kebenaran bagi para penganut agama itu terletak pada intuisi atau hati
melalui suatu keyakinan. Sedangkan bagi filsafat, hal-hal gaib yang diyakini
kebenarannya oleh para penganut agama, haruslah diteliti kembali, sehingga
menjadi masuk akal.17
15
I ching adalah kitab utama Konfusianisme dan digabungkan dalam pemikiran Taoisme.
Lihat Alexander Simpskins, Simple Taoism Tuntunan Hidup dalam Keseimbangan, alihbahasa:
Frans Kowa (Jakarta: Gramedia, 2000), H. 5. 16
Alexander Simpskins, Simple Taoism Tuntunan Hidup dalam Keseimbangan,
alihbahasa: Frans Kowa (Jakarta: Gramedia, 2000), H. 37. 17
Lasiyo, seri filsafat china (Yogyakarta: jurnal filsafat UGM, 1994), h. 3-4.
23
Menurut kepustakaan Cina mengenai nama Taoisme sebagai filsafat
dan Taoisme sebagai agama, masing-masing memiliki ajaran yang berbeda.
Taoisme sebagai filsafat atau Tao Chia mengajarkan agar manusia hidup
mengikuti hukum alam, sedangkan Taoisme sebagai agama atau Tao Mao
mengajarkan agar manusia tidak menentang hukum alam. Kemudian dalam
perkembangan keduanya tidak berbenturan, karena praktek dan pemaknaan
agama dan filsafat di China tidak memiliki garis atau sekat yang jelas dalam
kehidupan sehari-hari.18
Filsafat Taoisme dapat dikatakan empiris dan juga praktis. Empiris,
karena konsepsi kefilsafatannya merujuk pada fenomena alam yang mudah
ditangkap dan diamati oleh manusia, misalnya bagaimana sifat air dan
matahari yang dapat memberi makna simbolik bagi kehidupan manusia di
alam semesta. Praktis, karena isi pemikiran Taoisme berisikan tentang cara
hidup yang seharusnya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, kasih sayang
sesama, keadilan, dan kejujuran.19
Ajaran Taoisme memang agak sulit untuk dipahami karena tidak
sistematis, hanya berupa syair-syair dan simbolik. Untuk memahaminya harus
menggunakan metode hermeneutik elaboratif, yaitu melakukan penafsiran
terhadap konsep- konsep simbolik kefilsafatannya dan menelusuri garis
18
Fung Yu Lan, Sejarah Singkat Filsafat Cina, yang diterjemahan Soejono Soemargono,
Liberty, Yogyakarta, 1990, hlm. 3-4 19
Yulius Ervan (alih bahasa), Jala Menuju Kebajikan dan Kkekuasaan Lao Tzu (Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo, 2018), h. 15.
24
liniernya, kemudian mengkomprehensikan ke dalam bentuk konsep
kefilsafatan yang utuh.20
Taoisme pada awalnya adalah sebuah aliran filsafat yang berasal dari
China, yang muncul kira-kira tiga abad SM. Taoisme selain berbentuk dalam
aliran filsafat Taoisme juga muncul dalam bentuk agama rakyat yang mulai
berkembang dua abad setelah perkembangan filsafat Taoisme.21
Tradisi kebatinan Tao bermula dari kepercayaan perdukunan China
kuno. Pada zaman China kuno mereka mempercayai arwah leluhur mereka. Di
provinsi Honan tempat kelahiran Lao Tse, perdukunan sangat berpengaruh
besar pada kepercayaan dan praktik budaya masyarakat China. Masyarakat
China kuno mempercayai adanya arwah leluhur yang diyakini akan
memberikan keselamatan.22
Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah
dibedakan secara tegas. Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia
berbahasa Inggris, pembedaan antara Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme
sebagai agama belumlah ada. Pada pertengahan 1950, para ahli sejarah dan
Filsafat Cina berpendapat bahwa ada perbedaan tegas di antara keduanya,
walaupun memang keduanya berdiri di atas tradisi yang sama.
Memang, ada keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan agama
Taoisme. Para filsuf Tao sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik
sebagai filsafat maupun sebagai agama. Tao te Ching yang dianggap
20
Yulius Ervan (alih bahasa), Jala Menuju Kebajikan dan Kkekuasaan Lao Tzu, h. 17. 21
Dedi Supriyadi, FilsafatAgama, CV Pustaka Setia, Cetakan ke 1, Bandung, 2012, hlm.
332 22
Eva Wong, Inti Ajaran Tao, Jakarta, Erlangga, 2001, hal. 5
25
merupakan tulisan tangan langsung dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu
sendiri seringkali dianggap sebagai „dewa“. Ia punya beberapa julukan, seperti
“Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“, dan yang memiliki
status sebagai “Dewa“ (The Divine) itu sendiri.23
Perbedaan dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga
terletak pemahaman tentang tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Para
filsuf Taois berpendapat bahwa tujuan setiap orang adalah mencapai
transendensi spiritual. Oleh sebab itu, mereka perlu menekuni ajaran Tao
secara konsisten. Sementara, para pemuka agama Taoisme berpendapat bahwa
tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai keabadian, terutama keabadian
tubuh fisik (physical immortality) yang dapat dicapai dengan hidup sehat,
sehingga bisa berusia panjang.
Pada titik ini, kedua ajaran Taoisme ini berbeda secara tajam. Para
filsuf Taoisme berpendapat bahwa usia panjang itu tidaklah penting. “Hanya
orang-orang yang tidak mencari kehidupan setelah mati”, demikian tulis Lao
Tzu di dalam Tao Te Ching pada bagian ke-13, “yang lebih bijaksana di
dalam memaknai hidup.” Di dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu
menyatakan, “Orang-orang benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun
tentang mencintai kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui apapun
tentang membenci kematian.” Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup dan mati
23
https://www.kompasiana.com/www.mohammadtakdirilahi.blogspot.com/sejarah-
agama-dan-filsafat-taoisme.
26
sudah ditakdirkan -sama konstannya dengan terjadinya malam dan subuh
manusia tidak dapat berbuat apapun tentangnya.”24
Jelaslah bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang
tidaklah perlu untuk memilih antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup
di dalam keresahan di antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di
antara keduanya. “Sikap transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan
kematian”, dan senantiasa mengikuti alam dan tidak melakukan tindakan-
tindakan yang tidak alamiah”. Sikap mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-
jan, dan sikap pasif dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak
alami disebut juga sebagai wu-wei. Kontras dengan itu, Taoisme sebagai
agama justru menekankan pentingnya keabadian jiwa sebagai prinsip utama.25
Filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang
bagaimana seharusnya orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat
Taoisme menolak tradisi (antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai
yang diakui bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu bersikap kritis terhadap
penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai Konfusianisme
tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa masyarakat akan jauh lebih
baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa dihapuskan.
Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa
dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak memiliki
24
Dikutip Xiaogan dari Lao Tzu, dengan berdasar pada terjemahan dari D.C. Lau,
Chinese Classics: Tao Te Ching, (Hongkong: Chinese University Press, 1982), hlm. 123. 25
https://www.kompasiana.com /www.mohammadtakdirilahi.blogspot.com/ sejarah-
agama -dan-filsafat taoisme.html. diakses pada tanggal 16 april 2019.
27
keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama
Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan
yang tulus kepada orang tua mereka sebagai prinsip dasar.” Kou Ch‟ien
Chih, seorang pemuka agama Taoisme lainnya, juga berpendapat bahwa setiap
orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu
kaisar di dalam mengatur dunia. Agama Taoisme memang memberikan
perhatian besar pada kepentingan-kepentingan praktis yang bersifat temporal.
Jika filsafat Taoisme lebih bersifat individualistik dan kritis, maka agama
Taoisme dapat dipandang sebagai ajaran yang lebih bersifat sosial dan praktis.
Dalam arti ini, para filsuf Taoisme memiliki pengertian-pengertian yang agak
berbeda tentang konsep-konsep dasar Taoisme, seperti wu-wei, Tao, dan te,
jika dibandingkan dengan pengertian para pemuka agama Taoisme.
Tak ubahnya seperti Tao sebagai filsafat, Ttao sebagai agama juga
mengacu kepada ajaran-ajaran Lao Tzu yang diambil dari Tao te Ching.
Tema-tema agama dimunculkan oleh para filosof pengikut Tao pada masa
awal, namun masih samar-samar. Tema-tema ini semakin jelas pada masa
awal abad masehi. Pada masa itu Lao Tzu ditinggikan derajat spiritualnya.
Status Lao Tzu sebagai manusia biasa ditinggikan derajatnya menjadi dewa,
yang dikaitkan dengan mitologi China kuno dan ilmu gaib kekaisaran
kuning.26
26
M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2010), h. 64-65.
28
Karena Tao dipahami agama, maka dibangunlah bihara-bihara untuk
tempat para penganut agama Tao melakukan ibadah atau praktek-praktek
pemujaan terhadap hal-hal gaib yang mereka yakini.
Alexander Simpskins mengatakan bahwa pada tahun 184 masehi,
sebagian besar rakyat China menganut agama Tao. Mereka menyusun system
kepausan dalam agama Tao sampai kepada kelompok-kelompok keluarga.
Agama Tao masih ada dan hidup sampai saat ini di China dan berkembang
cukup pesat menyaingi perkembangan agama Buddha. Penganutnya tidak
hanya tersebar di seluruh China, namun juga tersebar di seluruh dunia.
C. Ajaran-Ajaran Taoisme
1. Tao: Asas Segala Sesuatu
Mencoba memahami ajaran Taoisme, mau tidak mau orang harus
paham tentang apakah yang dimaksud dengan istilah Tao itu. Istilah
“Tao” sendiri secara harfiah berarti “jalan”, satu cara bertindak.
Konfusius memakai istilah ini sebagai pengertian kefilsafatan yang
mencerminkan cara bertindak yang benar dalam bidang moral, sosial, dan
politik. Tao merupakan petunjuk bagi manusia dalam usahanya mencapai
kebahagiaan universal, yaitu jalan yang tidak kaku, akan tetapi yang
memberi kesempatan kepada manusia untuk mengubahnya menurut
seleranya masing-masing dan menyesuaikannya dengan situasi dan
kondisi. Jadi, dalam Konfusianisme, Tao lebih merupakan istilah yang
29
dipergunakan dalam bidang etis, dan bukan istilah metafisik.27
Dalam Taoisme, istilah “Tao” lebih berbobot metafisik. Para
penganut Taoisme menggunakan istilah Tao mengacu kepada
keseluruhan segala sesuatu yang setara dengan apa yang oleh sejumlah
filsuf Barat disebut “Yang-Mutlak”. Tao merupakan bahan dasar yang
menyusun segala sesuatu. Tao bersifat sederhana, tanpa bentuk, tanpa
hasrat, tanpa upaya, berpuas diri sepenuhnya. Tao sudah ada sebelum
adanya langit dan bumi. Tao mengandung segala-galanya, bahkan yang
bertentangan pun dicakupnya dan diselaraskannya, seperti terang dan
gelap, diam dan gerak, ada dan tiada. Tao berjalan sebagai kodrat alam;
keluar sampai puncaknya dan kembali ke permulaannya.
Tao adalah prinsip segala sesuatu, tetapi Tao pada dirinya sendiri
bukanlah sesuatu. Semua yang ada di bumi ini merupakan sesuatu, tetapi
Tao bukanlah sesuatu objek sebagaimana objek-objek yang ada. Tao
adalah Yang Tidak Ada, tetapi Tao adalah yang mengadakan segala
sesuatu, maka serentak Tao disebut juga Yang Ada. Yang Tak Ada
merupakan hakikatnya, sedangkan Yang Ada merupakan fungsinya.
Karena itu Tao, baik Yang Ada maupun Yang Tak Ada; Yang Bernama
maupun Yang Tak Bernama (Yosef Umarhadi, 1993:77).28
Kitab Tao Te
Ching bab 1 menyebutkan :
27
Joko Pitoyo, Manusia Bijaksana Menurut Taoisme (Yogyakarta: Jurnal Filsafat UGM,
2006), H. 214 28
Joko Pitoyo, Manusia Bijaksana Menurut Taoisme (Yogyakarta: Jurnal Filsafat UGM,
2006), H. 253.
30
“Tao yang bisa dikatakan bukanlah Tao yang kekal; Nama yang dapat
dinamakan bukanlah nama yang kekal. Yang tak bernama adalah asal-
usul Surga dan Bumi; Yang bernama adalah ibu dari segala sesuatu.
Karena itu selalu ada Yang Tidak Ada sedemikian rupa, sehingga kita
bisa melihat seluk-beluknya. Dan selalu ada Yang Ada sehingga kita
bisa melihat akibatnya. Keduanya adalah sama. Tetapi setelah
dihasilkan, mereka mempunyai nama yang berbeda. Keduanya disebut
dalam dan tinggi. Lebih dalam dan lebih tinggi, pintu segala seluk
beluk”29
Pernyataan di atas makin memperjelas pemahaman kita akan Tao,
yakni bahwa Tao itu sumber dari segala sesuatu, tetapi ia sendiri bukan
merupakan buah dari satu sumber yang lain. Segala-galanya berasal
darinya, tetapi ia sendiri tidak diasalkan. Ia juga merupakan misteri, yang
tak, tak terumpamakan, bahkan sebenarnya tak “ternamakan”.
Akan tetapi, menilik posisinya sebagai sumber segala sesuatu, dan
juga tempat kembalinya segala sesuatu, maka wajarlah para intelektual,
sebagaimana telah disebut, menamakannya dengan apa yang oleh para
filsuf barat disebut “Yang Mutlak”. Namun harus juga dicatat, bahwa Tao
bukanlah sesuatu yang “berpribadi”, atau “yang berkehendak atas
kuasanya”, karena ia “impersonal”: tanpa kehendak, tanpa suara, ia polos,
lugu, murni.30
Jadi, dalam penghayatan para pengikut Taoisme, Tao itu
sesungguhnya tidak dapat diberi nama. Akan tetapi karena orang ingin
berbicara tentangnya, maka terpaksalah diberi sejenis acuan dengan
29
Ervan (Alih Bahasa), Tao te Ching Jalan Menuju Kebajikan dan Kekuasaan, h. 8. 30
Fung Yu Lan, Sejarah Singkat Filsafat Cina, yang diterjemahan Soejono Soemargono,
Liberty, Yogyakarta, 1990, hlm. 40
31
menyebutnya Tao. Jadi, sebutan itu sekadar acuan, atau dengan
menggunakan ungkapan yang lazim dalam Filsafat Cina: Tao adalah
sebuah nama yang bukan nama.
Dalam Tao Te Ching bab 21 disebutkan bahwa “sejak dahulu kala
hingga kini, namanya (nama Tao) terus-menerus ada, dan menyaksikan
keadaan awal (segala barang sesuatu)”. Tao adalah sesuatu yang
menyebabkan adanya segala barang sesuatu. Karena senantiasa terdapat
barang sesuatu, maka Tao terus-menerus ada. Nama yang terus-menerus
ada merupakan nama kekal; dan, nama seperti itu sama sekali bukanlah
nama. Itulah sebabnya dikatakan: “Nama yang dapat disebut dengan nama
bukanlah nama yang kekal.31
Timbul pertanyaan, lantas adakah yang menggerakkan atau menjadi
motor bagi Tao? Dalam Tao Te Ching bab 25 dikatakan bahwa manusia
berpedoman pada Bumi, Bumi berpedoman pada Langit/Sorga, Langit
berpedoman pada Tao, dan Tao berpedoman pada “spontanitas” (tzu jan).
Tan menerjemahkan tzu jan sebagai “kodrat alam”). Dengan demikian,
menjadi jelas bagi kita bahwa “gerak” Tao itu merupakan aktivitas yang
spontan, yang sudah menjadi kodratnya, dan tidak karena digerakkan oleh
pihak lain, pun pula bukan karena Tao sendiri yang menghendaki untuk
mengadakan aktivitas. Segala-galanya bergerak dan berlaku begitu saja,
karena kodratnya memang harus demikian. Maka, agak sulit pula kalau
31
Joko Pitoyo, Manusia Bijaksana Menurut Taoisme (Yogyakarta: Jurnal Filsafat UGM,
2006), H. 256.
32
kita mengatakan tentang bagaimana terjadinya atau bagaimana proses
genesis kenyataan.
2. Ajaran tentang Etika
Chu-shi, seorang filsuf Cina yang hidup pada abad ke-12 M
mengatakan bahwa skema ajaran filosofis Taoisme terdiri dari
kesederhanaan, kehampaan diri, penyimpangan energy, dan penolakan
terhadap semua keadaan yang mengacaukan semangat ragawi.
Pembelajaran Lao Tzu umumnya terdiri dari pembicaraan, dalam
keinginan atau hawa nafsu yang hampa, ketenangan, dan pembebasan
dari pemerasan energy yang berlebihan – dalam kekosongan diri,
pengasingan diri dan mengendalikan diri sendiri dalam kehidupan yang
sebenarnya. Maka bagi Lao Tzu, kata-kata yang diajarkan secara
berulang-ulang, manusia harus memiliki kehalusan budi pekerti dan
kesederhanaan dalam tingkah laku yang tampak di luar, berada pada inti
kekosongan dari segala egoisme, dan tidak menyakiti segala hal di dunia
ini. 32
Semua ajaran Taoisme Lao Tzu adalah uraian dan pengembangan
dari gagasannya tentang hubungan-hubungan antara sesuatu yang dia
namakan sebagai Tao dan alam semesta.
Secara harfiah, kata Tao bermakna jalan. Akan tetapi dalam
memahami “jalan” ini, ada tiga pengertian. Pertama, Tao adalah jalan
realitas puncak, ia adalah Rahim yang menjadi asal semua kehidupan
32
Watters, Lao Tzu Kisah Hidup dan Pemikirannya, Hal 59.
33
memancar, dan yang menjadi tempat kembali semua kehidupan. Yang
kedua, adalah Tao adalah jalan alam semesta, menjadi norma, ritme dan
kekuatan penggerak di semua alam. Tao ini tidak bisa habis karena
semakin Tao digunakan, semakin ia mengalir. Tao memberikan
kehidupan kepada segala sesuatu, sehingga ia bisa disebut “ibu dunia”.
Makna ketiga, Tao adalah jalan kehidupan manusia tatkala ia membaur
dengan Tao.
Menurut Thomas Watters, ajaran filosofi Lao Tzu merupakan
sebuah etika, atau lebih khusus lagi, sebuah system politik etik. Semua
ajarannya bertujuan untuk membuat manusia menjadi individu dan
anggota masyarakat yang lebih baik, semuanya berbentuk pelajaran
moral yang umumnya diajarkan dalam bentuk alegori, sebagaimana bisa
disaksikan dalam penulisan kitab tao te Ching.33
Ajaran-ajaran Lao Tzu juga mempunyai corak yang semua
ajarannya diilhami dengan jiwa yang hangat dan simpatik, menganggap
manusia tidak hanya hanya sebatas sebagai individu, dan tidak hanya
sebagai anggota dari komunitas, tapi juga sebagai bagian dari alam
semesta.
Pada dasarnya seluruh ajaran Taoisme terpusat pada hubungan
antara Tao, Alam dan Manusia. Baik itu yang dalam konsep-konsep Yin
dan Yang, WU Wei, dan Te. Dan semua bagian ini akan menjadi
pembahasaan pokok pada bab 3 dan bab 4. Oleh Karena itu, penulis tidak
33
Watters, Lao Tzu Kisah Hidup dan Pemikirannya, Hal 60.
34
berbicara lebih banyak tentang semua itu pada bab 2 ini.34
3. Konsep Yin dan Yang
Dalam pandangan Taoisme, alam semesta ini digolongkan menjadi
dua, atau dengan kata lain, alam ini di isi dengan pembagian atau golongan
elemen-elemen, yaitu elemen negatif dan positif yang masing-masing
memanifestasikan sifat dari yin dan yang. Keduanya saling menghasilkan
satu sama lain sebagai kutub-kutub yang menjadi bagian dari jalinan
keberadaan.
Yin merujuk pada ciri-ciri kelembutan, kepasifaan, kewanitaan,
kegelapan, lembah, ketidakberadaan, bumi dll. Sementara yang mengacu
pada ciri-ciri seperti sifat keras, kejantanan, kecerahan, gunung, keaktifan,
keberadaan, langit, dll.
Dalam kitab Tao te Ching dikatakan bahwa “Tao melahirkan satu
dan satu melahirkan dua”. Yang dimaksud dengan kata “dua” di sini
adalah yang dan yin yang mengatur dunia, baik dunia nyata mauoun tidak
nyata.
Yin dan yang ini adalah dua aspek yang saling berlawanan dan
keduanya sama-sama mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia,
dengan adanya interaksi antara keduanya ini, maka lahirlah alam semesta
dan seisinya. Keduanya saling melengkapi, namun hubungan mereka
adalah berjenjang. Yang selalu dianggap lebih besar daripada yin, yaitu
seperti model di mana laki-laki selalu mendominasi dalam masyarakat
35
patrilineal. Apa yang terjadi dalam masyarakat patrilineal mengambil
model dari apa yang terjadi dalam hubungan yin dan yang.
Akan tetapi, meskipun keduanya merupakan dua aspek yang selalu
berlawanan, namun jika mereka bersatu, mereka menjadi harmonis.
Keduanya saling membutuhkan atau bergantung antara satu dengan yang
lain, misalnya tanpa dingin maka tidak aka nada konsep panas. Tanpa baru
tidak aka nada konsep lama. Tanpa hidup tidak aka nada konsep mati. Yin
berada dalam yang dan yang berada dalam yin. Kadangkala yang
disimbolkan sebagai yang suci atau sacral dan yin digambarkan sebagai
dunia yang bersifat profan.
36
BAB III
ETIKA ALAM TAOISME
A. Etika Alam yang Berpusat Pada Tao
Substansi filsafat Taoisme terletak pada persoalan cara hidup manusia
sesuai dengan alam (sifat Tao) untuk mencapai kebahagiaan hidup, dan untuk
mencapai kebahagiaan itu maka cara hidup manusia harus mengikuti Tao.
Mengikuti Tao berarti menyesuaikan diri dengan sifat Tao. Sifat Tao
menghendaki kesederhanaan, tidak menunjukkan kemewahan dan tidak
terlihat semata-mata, bahkan selalu tersembunyi bagai mata orang, akan tetapi
Tao justru merupakan hukum yang sempurna untuk mencapai ketentraman
yang sejati. Cara hidup menurut Tao memberi pelajaran bagi seseorang yang
mengikutinya, yaitu: kesederhanaan (simplicity), kepedulian pada semua
(sensitivity), keluwesan dalam menyikapi persoalan hidup (flexibility),
ketidaktergantungan (independence), tajam dalam pemahaman (focuced),
terlatih menyelami kehidupan (cultivated), dan bergembira karena menyukai
kebaikan (joyous).1
Sebagaimana sudah disinggung pada bab sebelumnya mengenai Tao,
yang merupakan pusat segala sesuatu, juga menyiratkan sebagai sumber
kesempurnaan kehidupan. Ajaran-ajaran Taoisme mendasarkan semua
konsepsinya pada “Tao”. Tao sebagai jalan kesempurnaan ini hanya bisa
1 Iriyanto Widi Suseno, Studi tentang Etika Natural Taoisme dan Sumbangannya bagi
Pemberdayaan Masyarakat Madani di Indonesia (Semarang: Jurnal Hukum Universitas Islam
Sultang Agung, 2007), h. 24.
37
dicapai dengan menyelaraskan diri dengan alam. Menurut para penganut
Taoisme ketika hidup sudah lebih dekat dengan alam dengan suatu cara yang
sederhana, yang tidak bertentangan dengan alam itu sendiri, maka akan
menyingkapkan keterkaitan manusia dengan Tao. Ketika manusia sudah
mampu memahami Tao yang ada dalam dirinya dan di alam semesta, maka
manusia akan berperilaku dan bertindak tanduk dengan kebijaksanaan-
kebijaksanaan Tao.2
Kebijaksanaan Tao ini terpancar dalam jalan hidup menurut
pembawaan alamiah. Taoisme berpandangan, bahwa setiap manusia memiliki
kodrat Tao atau (pembawaan) alamiahnya sendiri. Untuk itu dan segala
sesuatu mempunyai jalannya. Jalan setiap individu adalah kodratnya,
kebiasaannya, hukum perkembangannya. Segala barang sesuatu berbeda
kodrat, tetapi yang sama-sama mengalami bahwa mereka semua sama
berbahagianya jika dapat menggunakan kemampuan kodratnya secara penuh
dan bebas. Kebahagiaan hidup dapat dicapai jika masing-masing dapat
melakukan hal-hal yang dapat dan ingin mereka lakukan.3
Taoisme mengajarkan orang harus berhati-hati terhadap aturan yang
dibuat manusia, karena prinsip manusiawi sering menjadi sumber petaka, dan
prinsip kodrati Tao menjadi sumber kebahagiaan. Dalam prinsip kodrati Tao
segala sesuatu berjalan menurut hukum kodratnya masing-masing dan segala
2 Alexander Simpskins, alih bahasa (Frans Kowa), Simple Taoism Tuntunan Hidup dalam
Keseimbangan (Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer, 2000), h. 73-74. 3
Widi Suseno, Studi tentang Etika Natural Taoisme dan Sumbangannya bagi
Pemberdayaan Masyarakat Madani di Indonesia , h. 55.
38
hal yang terjadi diterima sebagaimana adanya. Manusia hendaknya menerima
apa yang diberikan oleh hidup serta memanfaatkannya dengan baik.
Melalui pemahaman cara hidup alamiah ini, Lao Tzu menanamkan
sikap hidup manusia agar dapat berserah diri sepenuhnya, sehingga tidak
mudah mengeluh dalam mengatasi kesulitan hidupnya, karena harus disadari
bahwa segala hal yang terjadi pengenalan jatidiri diatur oleh hukum kodrat
Tao.
Selain itu, kebijaksanaan Tao juga tergambar pada prinsip hidup
sewajarnya. Dalam Tao te Ching bab 3 dikatakan:
“Jika bakat tidak diagungkan, orang tidak akan bersaing satu sama lain.
Jika benda langka dan berharga tidak dihargai, orang tidak akan
mencuri.
Jika benda-benda yang dapat menimbulkan keinginan untuk dimiliki tidak.
Dipamerkan, hati orang tidak akan gundah.
Ketika orang yang tercerahkan memerintahkan sesuatu, ia mengosongkan
pikiran dari hal-hal yang tidak diperlukan”.4
Prinsip kewajaran dalam Taoisme ini mengandung pengertian adanya
ukuran normatif dalam cara hidup manusia sehari-hari, yakni manusia
seharusnya tidak bertindak secara berlebihan, manusia harus melepaskan
sikap perilaku yang semu. Sebab, kepribadian sebagaimana yang terlihat dari
luar itu tidak penting, yang penting adalah pengenalan jati diri. Jadi,
pengertian hidup sewajarnya dapat diartikan sebagai proses pengenalan atau
4 Yulius Ervan (Alih Bahasa), Tao te Ching Jalan Menuju Kebajikan dan Kekuasaan Lao
Tzu (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2018), h. 10.
39
penemuan jati diri. Norma kewajaran tersirat dalam pola hidup sederhana,
sikap rendah hati, tidak arogan, tidak sombong dan tanpa pamrih.5
5
Widi Suseno, Studi tentang Etika Natural Taoisme dan Sumbangannya bagi
Pemberdayaan Masyarakat Madani di Indonesia , h. 25.
40
Lao Tzu menjelaskan betapa murninya sifat sewajarnya itu,
sebaliknya semua buatan manusia terdapat banyak tiruan dan kepalsuannya.
Kebajikan yang sempurna tidak meninggalkan bekasnya. Orang yang
sungguh-sungguh murni kebajikannya, selalu melakukan kebajikan secara
diam-diam, tidak dibangga-banggakan, bahkan ibarat orang yang ditolong
tidak tahu siapa yang menolong.
Tao bersifat sewajarnya bagaikan alam. Alam tampaknya diam dan
tidak mengerjakan sesuatu, segala sesuatu tampak hidup dan bergerak dengan
sewajarnya, tetapi semua itu adalah pekerjaan alam. Matahari yang berdiam
dan kelihatannya tidak mengerjakan suatu apa, namun sesungguhnya
matahari bekerja untuk menghidupi segala apa yang berada di seluruh alam
ini. Matahari mencurahkan sinar prana yang mengandung gaya hidup sangat
besar, sehingga semua makhluk di alam ini besar maupun kecil tak terkecuali
menerima gaya hidup dengan tanpa perbedaan.
Ajaran tentang hidup secara wajar merupakan penjabaran hukum
pembalikan Tao, bahwa segala sesuatu yang berlebihan justru akan
membuahkan hasil yang sebaliknya. Berendah hatilah dan segala sesuatu
akan teratasi. Tunduklah dan kau akan menjadi lurus. Kosongkan dirimu dan
kau akan jadi penuh. Milikilah meski sedikit, dank au akan lebih beruntung,
karena memiliki banyak akan membingungkan kamu sendiri.6
Lao Tzu mengulangi apa yang menjadi keyakinannya, dan keyakinan
itu sangat kuat dan berharga. Keyakinan Lao Tzu adalah keyakinan pada
6
Widi Suseno, Studi tentang Etika Natural Taoisme dan Sumbangannya bagi
Pemberdayaan Masyarakat Madani di Indonesia , h. 56.
41
alam, pada mekanisme alam. Sebagaimana ikan harus berada dalam kolam,
begitupun senjata harus disimpan dengan baik. Keyakinan ini hendaknya
dipahami sebagaimana apa yang tersirat untuk memahami pemikiran Lao
Tzu. Ikan tidak akan pernah meninggalkan kolam. Ikan akan menjadi besar
dan gemuk, tetapi ikan tetap berada dalam kolam, di luar kolam yang ada
hanyalah kematian. Sebaliknya, manusia begitu memperoleh kekayaan sedikit
saja sudah ia lupa daratan. Semakin banyak harta yang diperoleh semakin
jauh manusia dari realita kehidupan. Tetapi saat manusia jatuh akan sulit
sekali bagi manusia untuk bangkit kembali. Senjata berarti kekuatan,
kekuasaan, apabila senjata telah dimiliki jangan dipamerkan. Hendaknya
manusia jangan menjauhkan dari massa, dan realita kehidupan.7
Formula Lao Tzu untuk menciptakan dunia yang damai sangat
sederhana. Dunia ini terdiri dari individu-individu, apabila mereka berdamai,
tenang, maka mereka akan mengalami keseimbangan jiwa, dan dengan
sendirinya dunia akan damai. Jadi, yang harus mengurus diri adalah individu
atau individu mengurus diri sendiri. Selain itu cintailah pekerjaan sendiri,
dengan begitu tak terasa telah bekerja keras sehingga tak perlu lagi dorongan
untuk bekerja. Dengan demikian tak ada lagi perasaan mengharapkan
imbalan, karena sudah mencintai pekerjaan sendiri. Menurut Lao Tzu apabila
individu mulai mencitai tugasnya, maka tidak akan ada kegelisahan, stress,
dan semuanya akan berjalan tenang dan damai.8
7
Widi Suseno, Studi tentang Etika Natural Taoisme dan Sumbangannya bagi
Pemberdayaan Masyarakat Madani di Indonesia , h. 56. 8
Widi Suseno, Studi tentang Etika Natural Taoisme dan Sumbangannya bagi
Pemberdayaan Masyarakat Madani di Indonesia , h. 56.
42
Bagi Taoisme, manusia yang selalu bertindak diluar batas kewajaran,
dengan melakukan hal-hal yang selalu berlebihan tidak akan pernah
memperoleh keberhasilan yang hakiki dan tidak akan pernah merasa puas.
Hal ini dijelaskan dalam Tao te Ching bab 29:
“Pada seseorang yang ingin mengendalikan dunia
Saya tidak akan melihat kemungkinan untuk berhasil
Dunia adalah sebuah instrument roh
Ia tidak dapat dikendalikan
Ia tidak dapat digenggam
Mereka yang mencoba mengendalikannya kalah
Mereka yang mencoba menggenggamnya kehilangan dia
Jadi orang yang bijak tidak berusaha mengendalikan
Sehingga tidak dikalahkan
Tidak berusaha menggengam
Sehingga tidak kehilangan
Hal-hal dalam ciptaan dapat memimpin atau mengikuti,
Menarik atau menolak tumbuh kuat atau melemah
Berhasil atau gagal
Karenanya orang bijak menghindari hal-hal berlebihan
Menjauhi pemborosan
Dan menolak kesombongan”.9
Pernyataan tao te ching menyatakan bahwa ada banyak hal di dunia yang
tidak bisa dikendalikan dan digapai oleh manusia karena keterbatasan manusia.
Dan menurut tao hal yang perlu dilakukan adalah memperlakukan dengan
sewajarnya semua hal-hal yang disebutkan itu sehingga manusia tidak akan
celaka.
9 Yulius Ervan (Alih Bahasa), Tao te Ching Jalan Menuju Kebajikan dan Kekuasaan Lao
Tzu, h. 36.
43
Di samping yang dua di atas, kebijaksanan etis Tao juga akan terpancar
dengan menjalankan prisip hidup yang sesuai dengan hukum alam. Menurut
Taoisme, Bumi dan langit beserta isinya masing-masing sebagai kesatuan
unsur jagad raya (semesta alam), memiliki sifat dan cara kerjanya yang disebut
hukum alam. Hukum alam memiliki ketentuan dan keteraturan kodrati sebagai
hasil ciptaan Tao. Tao adalah induk dari segala benda dan makhluk, oleh
karena itu segala hal akan kembali kepada Tao. Sifat kebesaran Tao telah dapat
difahami, seperti oleh para ahli ilmu alam yang mampu mengetahui tentang
atom, misalnya: Einstein dapat memahami buah hasil bekerjanya Tao dan
occultisme (kaum mistik) dapat melihat Tao dari kegaibannya. Dunia ini sangat
kecil bila dibanding dengan luas semesta alam. Cakrawala manusia hanya
terdiri dari sebelas planet (mestinya ada dua belas planet, namun satu planet
belum diketahui). Ternyata cakrawala manusia tidak hanya satu melainkan
banyak. Di dalam tiap cakrawala ada matahari dengan beberapa planet yang tak
dapat dihitung junlahnya di seluruh alam semesta ini. Bila dibanding dengan
luas alam, maka bumi tempat tinggal manusia hanya merupakan sebutir pasir
gurun sahara. Manusia tidak mungkin dapat mengetahui tentang keseluruhan
struktur semesta alam termasuk hukum alamnya. 10
Dalam filsafat Taoisme, Alam terus menerus berubah ketika
menyingkapkan diri dan bertumbuh, setelah itu mengerut dan merosot drastis.
Semua makhluk hidup mempunyai siklusnya sendiri-sendiri sejak penciptaan
hingga kehancurannya. Mereka dilahirkan, hidup dan mati. Dalam siklus hidup
10
Widi Suseno, Studi tentang Etika Natural Taoisme dan Sumbangannya bagi
Pemberdayaan Masyarakat Madani di Indonesia , h. 57.
44
terdapat tarik ulur yang berkesinambungan antara Yin dan Yang, kegiatan dan
ketidakgiatan, ketegangan dan relaksasi, ada dan tidak ada.11
Siklus hidup seyogyanya dibiarkan menjalani evolusinya secara alami
dan utuh. Hidup menjadi sulit ketika orang mencoba memaksakan kehendak
pribadi mereka atas sifat alami batin, ketika mereka mencoba mengganggu
siklus alami. Bagi Taoisme manusia harus belajar membiarkan segala sesuatu
terjadi sebagaimana mestinya, manusia hidup sebagaimana dimaksudnya oleh
sifat alami, sehingga keteraturan serta pemenuhan takdir pun datang dengan
sendirinya.
Taoisme beranggapan bahwa menjaga diri dengan ketenangan dan
kealamiaan adalah sumber nyata bagi kehidupan yang sehat. Mengikuti cara-
cara alam yang naluriah. Apabila orang menjadi terlalu terlibat dalam budaya,
suatu jalinan yang dibuat oleh manusia, maka mereka terikat pada kaidah
eksternal dan kendali dari luar diri. Mereka akan kehilangan kesadaran atas
hubungan erat dengan Tao. Dan berpaling ke kendali eksternal akan
menimbulkan kesulitan dan persoalan hidup.12
Pemikiran kefilsafatan Taoisme yang bersifat naturalisitk tidak
memusatkan perhatian pada persoalan tentang keseluruhan struktur semesta
alam. Substansi pemikiran Taoisme berupa pemahaman prinsip hukum alam
11
Yin dan Yang menghasilkan suatu keseimbangan yang dinamis antara daya gerak dan
sikap diam, antara keaktifan dan kepasifan, sehingga titik keseimbangan kembali ke pusatnya.
Kesatuan dari hal-hal yang bertentangan pun berkembang. Dan kesatuan ini, dalam Taoisme
menjadi sumber tuntunan, menjadi tolak ukur, menjadi standar untuk mengevaluasikebenaran
ketika akal budi dikerahkan dalam segala hal. Lihat Alexander Simpskins, alih bahasa (Frans
Kowa), Simple Taoism Tuntunan Hidup dalam Keseimbangan (Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer,
2000), h. 69. 12
Simpskins, alih bahasa (Frans Kowa), Simple Taoism Tuntunan Hidup dalam
Keseimbangan, h. 79.
45
yang dapat diorientasikan ke dalam ajaran etikanya, misal tentang
keseimbangan kehidupan, kejujuran, ketulusan, ketaatan, keadilan dan
kesederhanaan.
B. Konsep Manusia Bijaksana (Te) dengan Wu Wei
Sekali lagi penulis tegaskan bahwa Konsep Tao dalam Taoisme
mengekspresikan diri dalam alam, sehingga ketika manusia selaras dengan
alam, ia juga akan menjadi selaras dengan tao. Ini pula yang menjadi dasar
dalam konsep manusia bijaksana dalam Taoisme yang teraplikasikan dalam
filosofi Wu Wei.
Manusia bijaksana dalam Taoisme populer diidentikkan dengan istilah
te yang bisa diartikan sebagai kebajikan. Terdapat banyak penafsiran
mengenai arti te yang sebenarnya: kuasa, keluhuran, hidup itu sendiri. Semua
tafsiran ini mencerminkan betapa te berarti hidup dan perilaku dalam
kehidupan, kekuasaan dan pengaruhnya terhadap kehidupan. Judul kitab Tao
te Ching itu sendiri mencerminkan etika kebajikan (te), terutama paru
keduanya yang menekankan petunjuk hidup dan menghargai kehidupan
dengan bersikap sederhana dan natural.13
Dalam khasanah etika Taoisme, konsep Te sebenarnya mengatasi
perbedaan baik buruk. Dalam Tao Te Ching bab 2, Lao Tzu menulis: “Apabila
seluruh umat manusia di dunia mengetahui bahwa keindahan adalah
keindahan, maka pada waktu itu sudah terdapat kejelekan. Apabila seluruh
13
Simpskins, alih bahasa (Frans Kowa), Simple Taoism Tuntunan Hidup dalam
Keseimbangan, h. 30.
46
umat manusia mengetahui bahwa kebaikan adalah kebaikan, maka pada saat
itu sudah terdapat keburukan. Selanjutnya, dalam bab 38 Lao Tzu menulis:
“Bila Tao hilang, ada Te. Bila Te hilang, ada perikemanusiaan. Bila
perikemanusiaan hilang, ada (kebaikan) peri keadilan. Bila peri keadilan
hilang, ada ketentuan upacara. Ketentuan upacara merupakan cermin
kemerosotan martabat kesetiaan serta sikap saling mempercayai, dan
merupakan awal kekacauan dunia”.14
Bagi Taoisme, semua kebajikan yang direkayasa itu palsu, dan oleh
karenanya sia-sia belaka. Ini terjadi karena kebanyakan manusia kehilangan
Te aslinya. Te aslinya hilang, karena manusia terlampau banyak keinginan dan
terlalu banyak pengetahuan, yang bertentangan dengan konsep alamiah hidup
sewajarnya. Celakanya, manusia menganggap bahwa dengan memenuhi
semua keinginan dan memuaskannya, ia akan menjadi bahagia. Pandangan
yang demikian itu, bagi Taoisme, merupakan pandangan yang menyesatkan.
Lao Tzu mengatakan: “Kelima macam warna membutakan mata. Kelima
macam jenis bunyi memekakkan telinga. Kelima ragam citarasa meletihkan
mulut. Menunggang kuda serta berburu menggilakan pikiran. Benda-benda
berharga yang langka menghalangi perilaku yang betul”.15
Lao Tzu juga menekankan agar manusia mempunyai sedikit
pengetahuan saja. Pengetahuan itu sendiri merupakan objek keinginan. Dari
lain pihak, pengetahuan itu juga memungkinkan manusia mengetahui lebih
banyak tentang objek keinginan dan sekaligus menjadi sarana untuk
14
Fung Yu Lan, Penerj. John Rinaldi, Sejarah Filsafat Cina (Yogyakarta: Pustaka Belajar,
2007), h. 127. 15
Fung Yu Lan, Penerj. John Rinaldi, Sejarah Filsafat Cina, h. 130.
47
mendapatkan objek keinginan itu. Dengan demikian, pengetahuan merupakan
majikan dan sekaligusbudak keinginan. Bagaikan lingkaran setan, semakin
banyak pengetahuan, semakin banyak keinginan; begitu pula, semakin banyak
keinginan, kian banyak pula pengusahaan pengetahuan, sehingga orang tidak
tahu lagi kapan merasa puas, dan di mana harus berhenti. Sebagaimana kata
Lao Te dalam Tao te Ching bab 18 bahwa jika akal manusia digunakan dia
membawa penipuan dan kemunafikan.16
Agar kehidupan tidak disesaki oleh segala bentuk keburukan, maka
manusia hendaklah memahami dan menghayati wu wei. Istilah wu wei dapat
diterjemahkan sebagai “tanpa bertindak” atau “jangan berbuat apa pun” atau
“tidak mempunyai kegiatan”, “tidak berbuat”. bisa juga diartikan “jangan
mencampuri”.17
Meski pun para penulis yang dikutip itu mengekspresikan
nuansa kata yang bervariasi untuk memaknai wu wei, namun agaknya semua
sepakat bahwa hendaknya dipahami bahwa dalam pengertiannya yang tepat
wu wei bukanlah seruan untuk sama sekali pasif. Wu wei sebenarnya
menganjurkan manusia agar berbuat sesuai dengan kodratnya, secara wajar,
alamiah, tanpa dibuat-buat, tanpa rekayasa, dan tanpa tujuan pemuasan
keinginan. Konsekuensinya, kewajaran satu tindakan ialah tidak melakukan
“agresi” terhadap apa pun. Segala-galanya dibiarkan berlangsung menurut apa
adanya; jangan dicampuri, jangan direkayasa, jangan dibuat-buat, jangan
16
Fung Yu Lan, Penerj. John Rinaldi, Sejarah Filsafat Cina, h. 130. 17
Fung Yu Lan, Penerj. John Rinaldi, Sejarah Filsafat Cina, h. 128.
48
disiasati. Jadi, secara paradoksal dapat dikatakan: bertindak dengan tanpa
tindakan.18
Kebijaksanaan wu wei sering ditamsilkan dengan contoh seperti air,
kayu yang belum terukir, wanita, dan jabang bayi. Dalam Tao Te Ching bab
78 dikatakan: “Tiada benda yang lebih lemah dari air. Tetapi tidak satu pun
yang lebih kuat dari padanya dalam mengalahkan kekerasan. Untuk ini tidak
ada yang bisa menggantikan. Bahwa kelemahan mengalahkan kekerasan. Dan
kelembutan mengalahkan kekakuan. Semua orang tahu itu, tetapi tidak ada
yang dapat melaksanakannya”. Dalam bab 43 dikatakan pula: “Yang
terlembut di kolong langit dapat menembus yang terkeras di kolong langit;
berasal dari yang tak berwujud ia dapat memasuki barang yang tak bersela-
sela; inilah sebabnya: tidak bertindak ada gunanya. Mengajar tanpa kata,
berguna tanpa bertindak”.19
Dari sini tampaklah bahwa kelemahan atau lebih
tepat disebut “kelembutan” lebih diutamakan dalam Taoisme.
Dengan kelembutannya, air mengalahkan kekerasan; tetapi dengan
kelembutannya pula, air memberi kehidupan. Simaklah Tao Te Ching bab 8
berikut ini:
“Kecerdikan tertinggi adalah seperti air; air itu cerdik memberikan faedah
kepada segala benda tanpa berebutan dengannya, berdiam pada tempat
yang tak disukai orang, maka dengan demikian mendekati Tao. Cerdik
memilih kediaman yang rendah, cerdik menenangkan hatinya, cerdik
menjalankan peri kemanusiaan, cerdik berkata dengan kejujuran, cerdik
memerintah dengan aturan, cerdik menggunakan kemampuan dalam
18
Ikhsan tanggok, mengenal lebih dekat agama tao (ciputat: uin Jakarta press, 2006), h.
104-105. 19
Yulius Ervan (Alih Bahasa), Tao te Ching Jalan Menuju Kebajikan dan Kekuasaan
Lao Tzu, h. 53, 92.
49
urusannya, cerdik menunggu waktu dalam gerakannya. Justru tidak
berebutan, maka tidak membuat kesalahan”20
Ini memberikan implikasi dan indikasi bahwa watak air yang lemah-
lembut dan menyukai tempat rendah ternyata memberi faedah dan tanpa
meminta imbalan; tidak berebut, tidak saling bertabrakan kepentingan,
senantiasa harmonis dengan irama kehidupan. Ia tidak berbuat atas satu target
tertentu, pun pula tidak berkeinginan, tidak bertujuan, tidak berpamrih, ia
hanya “mengalir” sesuai dengan watak alamiahnya, sesuai kodratnya. Dengan
meneladani air, manusia diharapkan jauh dari pamrih kepentingan,
keserakahan, keangkaramurkaan. Keserakahan dan keangkaramurkaan adalah
bentuk kekerasan yang harus dihindari menurut para penganut Taoisme.
Di depan telah dikatakan, kebijaksanaan wu wei ditamsilkan dengan
perempuan dan jabang bayi. Inilah perkataan Lao Tzu dalam Tao Te Ching
bab 38:
“Siapa yang mengetahui kejantanannya, tapi mempertahankan
keperempuanannya, menjadi budak dunia; yang menjadi budak dunia,
kesaktiannya yang kekal takkan hilang; ia akan menjadi bayi lagi”.21
Di bagian lain, Lao Tzu mengatakan:
“Ketika manusia dilahirkan, ia lembut dan lemah. Waktu mati, ia menjadi
keras dan kaku. Ketika benda-benda dan tumbuhan masih hidup, mereka
begitu lembut dan gemulai. Bila mati, mereka menjadi rapuh dan kering.
20
Yulius Ervan (Alih Bahasa), Tao te Ching Jalan Menuju Kebajikan dan Kekuasaan Lao
Tzu, h. 14.
21
Yulius Ervan (Alih Bahasa), Tao te Ching Jalan Menuju Kebajikan dan Kekuasaan Lao
Tzu, h. 46.
50
Karena itu kekerasan dan kekakuan merupakan teman kematian.
Kelembutan dan kehalusan adalah teman kehidupan”22
Sekali lagi, kelemah-lembutan amat diutamakan dalam Taoisme.
karena itulah wujud kehidupan. Di samping itu, tampak pula pengutamaan
sikap takluk dan berserah diri sebagaimana dilambangkan dengan watak
perempuan. Orang hendaknya takluk dan berserah diri pada alam, menjadi
budak dunia. Ini amat kontras dengan kebanyakan pemikiran Barat yang
justru menempatkan manusia berhadap-hadapan dan menaklukkan dunia,
menaklukkan alam, menguasainya, dan mengeksploitasinya. Dalam
Taoisme, orang justru harus hidup selaras dan menyatu dengan alam,
menghormati segala isinya, mencintainya, sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri.
Apabila diringkaskan, sikap dan perilaku manusia bijaksana itu ialah
hidup sesuai dengan kodratnya, menyelaraskan diri dengan alam, tidak
mengumbar keinginan, tidak membangun ambisi, rendah hati, lemah
lembut, tidak berbuat melawan kodrat, tidak memaksa diri. Jika bertindak,
ia menurutkan naluri alamiahnya, tidak memiliki target, tidak dibebani
ambisi dan kepentingan. Ia sederhana, polos, lugu, karena Te yang
merembesi dirinya pun lugu dan murni. Dengan demikian, orang akan dapat
kembali menyatu dengan Tao: Prinsip Realitas sendiri. Begitulah sikap dan
perilaku manusia bijaksana dalam perspektif Taoisme.
22
Yulius Ervan (Alih Bahasa), Tao te Ching Jalan Menuju Kebajikan dan Kekuasaan Lao
Tzu, h. 90.
51
Dari seluruh penjabaran di atas, etika Taoisme diringkas ke dalam
perbedaan antara pasivitas dan aktivitas, antara kelembutan dan kekerasan,
dan antara kompetisi dan kesabaran, di mana pasitivitas itu lebih
menguntungkan daripada aktivitas. Kelembutan lebih berguna daripada
kekerasan, dan kesabaran lebih berguna daripada kompetisi. Di satu sisi
memahami kemuliaan, tetapi di sisi lain sekaligus menjaga kerendahatian,
memahami yang putih tetapi juga menjaga yang hitam.
Pandangan Lao Tzu orang mudah sekali jatuh ke dalam hal-hal yang
berlawanan dari yang diinginkannya, maka adalah lebih baik bagi setiap
orang, jika ia mulai dengan hal-hal yang tidak diinginkannya, lalu bergerak
ke hal-hal yang diinginkannya. “Untuk memperoleh sesuatu”, demikian kata
Lao Tzu, “adalah perlu bagi orang untuk pertama-tama memberi.” Jadi,
untuk mencapai sesuatu, orang harus pertama-tama memulai dengan yang
berlawanan dari yang ingin dia capai. Dengan demikian, esensi dari
pendekatan Lao Tzu adalah “dengan mulai mengejar tujuan dari titik yang
secara diametral bertentangan dengan tujuan itu.”
Dari kesimpulan di atas, kita bisa menarik poin bahwa inti dari etika
Taoisme yang ditawarkan oleh Lao Tzu adalah wu-wei ini, wu-wei lebih
lanjut berarti pembatalan dan sekaligus pembatasan tingkah laku manusia,
terutama tingkah laku di dalam dunia sosial. Ada beberapa tingkatan wu-wei
di dalam Taoisme, mulai dari wu-wei sebagai tidak melakukan apapun,
melakukan tindakan seminimal mungkin, tindakan pasif ke dalam dunia
52
sosial, sikap menunggu perubahan alami dari hal-hal yang ada, dan yang
terakhir ini sering juga disebut sebagai bertindak alami (acting naturally).
Lao Tzu sendiri sangat yakin, bahwa wu-wei akan dapat
menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan damai. “Semakin
besar hukum dan tatanan diberlakukan maka semakin banyak pencuri dan
perampok, oleh karena itu seorang bijak akan berkata: saya tidak bertindak
apa-apa dan orang itu sendiri akan berubah.” Lawan dari sikap wu-wei
adalah yu-wei, atau apa yang disebut sebagai bertindak. Yu-wei ini
menciptakan hukum dan tatanan, serta dengan itu juga menciptakan para
pencuri dan orang-orang yang melanggar tatanan. Sementara kontras dengan
itu, wu-wei menciptakan kemakmuran bersama, harmoni, dan kedamaian.
“Sebuah kerajaan seringkali diberikan kepada orang yang tidak melakukan
tindakan. Jika orang melakukan tindakan, maka ia tidak cukup memadai
untuk memenangkan sebuah kerajaan.” Demikian kata Lao Tzu. Kehidupan
yang ideal hanya dapat dicapai, jika orang menerapkan etika wu-wei ini di
dalam hidupnya.23
Dengan menerapkan wu-wei di dalam hidup, kaum Taoist yakin
orang-orang yang lemah bisa menaklukan orang-orang yang kuat dengan
kelembutannya. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hal yang paling
lembut di dunia dapat melampaui hal yang paling keras di dunia melalui
inilah Tao mengetahui keuntungan untuk tidak mengambil tindakan apapun.
Di dalam dunia manusia, menurut Lao Tzu, negara-negara yang kuat dapat
23
Thomas Watters, Lao Tzu Kisah Hidup dan Pemikirannya ( Yogyakarta: Basabasi,
2018), h. 131.
53
dengan mudah mendeklarasikan sebuah perang. Akan tetapi pada akhirnya,
negara-negara yang lebih lemahlah yang akan menang. Ini adalah kebenaran
yang nyata, bahwa kelemahlembutan dapat melampaui kekerasan.
Walaupun begitu nyata, tetapi orang begitu cepat lupa dengan hal ini,
sekaligus begitu sulit untuk mempertahankan kesadaran semacam ini.
Wu-Wei sangat menekankan nilai-nilai spesifik, seperti pasivitas,
sikap mengalah, dan ketenangan. Lao Tzu berkeyakinan bahwa Wu Wei
dapat menciptakan keharmonisan masyarakat. Di dalam pandangan filsafat
Taoisme, kekuasaan adalah sumber dari segala ketidakberuntungan dan
kekacauan.
C. Etika Alam dalam Meditasi Taoisme
Praktik praktik Taoisme dalam hal ini di tujukan terhadap bentuk
bentuk ritual bagaimana menajalankan tao baik itu dalam bentuk gerakan
gerakan meditasi, peyembuhan. Semua ini dalam upaya mencari kedalam tao
sehingga bisa mendapatkan ketenangan mendalam energy vital, dan ritual
ritual taoisme ini juga menjadi alat untuk mengexpresikan tao dalam rangka
untuk menemukan keselarasan.
Meditasi menjadi bentuk penyatuan antara diri manusia (mikrokosmos)
dengan alam (makrokosmos). Penyatuan dengan cara menyelaraskan gerakan
gerakan meditasi taois dengan mengikuti irama irama alam tanpa sedikitpun
upaya untuk menentangnya sama sekali. Meditasi membantu manusia
mengarungi alam sadar dan bawah sadar manusia, dengan mengikuti sirkulasi
54
chi yang mengalir sebagai kompas dan sejalan dengan tao dan ketika sudah
sampai kepada tahap sempurna gerakan meditasi ini akan menghasilkan
kejernihan pikiran, ketenangan, vitalitas, kepekaan, keluesan, dan keuletan
yang lebih tinggi.24
Sejak zaman Lao Tzu, kaum taois menganjurkan orang untuk
mengheningkan pikiran dengan cara meditasi. Meskipun kaum tradisional
pada masa awal ajaran tidak menawarkan intruksi langkah demi langkah.
Tetapi tetap merujuk pada meditasi sebagai kunci utama untuk dapat bersikap
menerima dan mengembangkan ketenangan batin, ketenangan tubuh,
ketenangan pikiran, dan efek dari semua itu akan menghasilkan output social
yang mencerminkan sikap-sikap manusia bijaksana yang sangat taois
sebagaimana sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.25
24
Simpskins, alih bahasa (Frans Kowa), Simple Taoism Tuntunan Hidup dalam
Keseimbangan, h. 104. 25
Simpskins, alih bahasa (Frans Kowa), Simple Taoism Tuntunan Hidup dalam
Keseimbangan, h. 105.
55
BAB IV
RELEVANSI ETIKA ALAM DENGAN
KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN
A. Telaah Kritis terhadap Etika alam Taoisme
Terdapat banyak cap atau label yang diberikan kepada Taoisme,
misalnya saja karena pandangan Taoisme yang naturalistik itu dianggap
mengandung konsekuensi sifat deterministik atas seluruh proses dan peristiwa
kehidupan. Akibatnya, ajaran Taoisme yang menganjurkan manusia agar
menuruti kodratnya dan pasrah pada keberlangsungan alam semesta seakan
menempatkan manusia pada posisi yang fatalistik dalam mengarungi
kehidupan. Taoisme juga acapkali dicap sebagai ajaran yang menganjurkan
relativisme, bahkan nihilisme. Akibatnya, pandangan Taoisme juga dianggap
cenderung anti-intelektual, anti-sistem, anti-sosial, anti-kebudayaan; dan oleh
karenanya Taoisme dianggap sebagai penyebar anarkhisme.
Penilaian sedemikian itu tentu saja tidak semuanya benar, namun dari
lain pihak juga tidak semuanya keliru. Penilain yang diberikan oleh seseorang
tentu tidak lepas dari sudut pandang si penilai. Di samping itu, satu
terminologi yang diterapkan sebenarnya diam-diam juga sudah mengandung
atau didasari oleh satu pandangan kefilsafatan tertentu. Segi lain yang juga
harus diperhitungkan ialah konteks zaman yang dipergunakan sebagai tolok
ukur dan konteks masyarakat di zaman bersangkutan. Hal terakhir inilah yang
acapkali diabaikan.
56
Walaupun tokoh seperti Lao Tzu dan Chuang Tzu diperkirakan hidup
sezaman dengan Konfusius, tetapi oleh para pengikutnya, ajaran mereka
masih dikumandangkan jauh ke depan melampaui zaman ketika para tokoh itu
hidup. Ada dugaan bahwa kitab-kitab peninggalan Lao Tzu dan Chuang Tzu
yang kini masih bisa dijejaki, diperkirakan telah mengalami modifikasi yang
dilakukan oleh para pengikutnya. Sementara itu, sebagaimana telah diketahui
secara luas bahwa di Cina terdapat bermacam aliran filsafat. Segera dapat
diduga, bahwa di antara berbagai aliran filsafat itu pastilah terdapat perbedaan,
bahkan pertentangan. Dalam konstelasi yang demikian itu, Tan Tjoe Som
mengatakan bahwa dalam kitab Tao Te Ching terdapat ajaran-ajaran yang
berupa “jawaban” atau “tentangan” terhadap ajaran lain. Umpamanya, ucapan
yang menentang perikemanusiaan, keadilan, dan upacara, sebenarnya
ditujukan kepada ajaran Konfusianisme (Ru Chia). Tentangan terhadap akal
dan pengetahuan ditujukan kepada aliran Mohisme (Mo Chia); sementara itu
penentangan atas penggunaan kata-kata muluk ditujukan kepada Mazhab
Nama-Nama (Ming Chia). Sedangkan tentangannya atas kekerasan,
pemerkosaan atau pemaksaan, lebih ditujukan kepada aliran atau Mazhab
Legalisme (Fa Chia).1
Dalam konteks sosial historisnya, ajaran Taoisme konon timbul sebagai
reaksi atau protes terhadap keadaan masyarakat Cina waktu itu. Cina ketika itu
1 Joko Pitoyo, Manusia Bijaksana Menurut Taoisme (Yogyakarta: Jurnal Filsafat UGM,
2006), H. 270.
57
diwarnai oleh ketidakadilan, kekejaman, kecongkakan, kemunafikan,
kesengsaraan, dan penderitaan lahir batin akibat peperangan yang tiada henti-
hentinya. Di samping itu, masyarakat Cina ketika itu juga dijejali dengan
banyak larangan yang keras, pun pula banyak anjuran dan kecerdasan.2
Apabila kedua penulis yang dikutip di atas itu benar, maka masuk
akallah bila ajaran Taoisme sedemikian rupa itu. Barangkali penganjur
Taoisme merasa muak dengan segala “tetek-bengek” yang menyusahkan
manusia, yang ironisnya semua “tetek-bengek” itu justru dibuat oleh manusia
sendiri. Sementara itu, alam semesta begitu tenang, harmonis, dan
berlangsung menurut kodratnya. Kerinduan akan kemurnian, keluguan,
kesederhanaan, kelemahlembutan, dan spontanitas (bukan dibuat-buat),
kiranya relevan sebagai “obat penawar” bagi “penyakit” zaman itu.
Persoalannya adalah: Apakah ajaran kuno itu masih relevan bagi masa kini?
Masalah yang menyangkut prinsip metafisik, kiranya tidak berguna
untuk diperdebatkan dalam karangan ini, sebab bagaimana pun juga, satu
pandangan metafisik pada babak terakhir akan berujung pada keyakinan.
Perdebatan metafisik yang berlarut-larut hanya akan tergelincir pada diskusi
mandul. Oleh karena itu, tinjauan kritis atas ajaran Taoisme ini lebih
difokuskan ke arah filsafat praktis, yakni etika.
Ajaran pertama yang mendasar ialah kebijaksanaan wu wei, yakni
“tidak berbuat”, “tidak mencampuri”. Kalau ajaran ini berarti anjuran untuk
memupuk pasivitas, sudah pasti tidak relevan bagi masa kini. Akan tetapi, bila
2 2Fung Yu Lan, Penerj. John Rinaldi, Sejarah Filsafat Cina (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2007), h. 130.
58
ajaran itu ditafsirkan sebagai “tidak mendikte” atau “tidak memaksakan
kehendak”, maka segera tampak relevansinya. Campur tangan dan agresi, baik
terhadap alam maupun manusia, tentu tidak dapat diterima. Dalam konteks
apa pun, pihak yang diagresi pastilah menderita.3 Alam yang dieksploitasi
berlebihan secara terus-menerus akan menurun kapasitasnya dan terganggu
keseimbangannya; dan manusia sendirilah yang akan menanggung akibatnya
(tsunami, banjir bandang, tanah longsor, angin puyuh, semua telah
“menghajar” manusia tanpa ampun). Hingga di awal abad ke-21 ini makin
banyak pihak sadar dan merasakan betapa telah terjadi kerusakan alam di
sana-sini akibat kerakusan, kekerasan, dan kecerobohan manusia, yang dengan
angkuhnya memeras alam habis-habisan dengan mengandalkan sains dan
teknologi yang diciptakan oleh akalbudinya. Agaknya, di sinilah sinyalemen
Taoisme benar, bahwa “pengetahuan” adalah budak dan sekaligus majikan
bagi “keinginan”: pengetahuan akan alam mengakibatkan keinginan yang
tiada henti untuk mengeksploitasi alam; pada saat yang sama, keinginan untuk
mengeksploitasi alam juga membutuhkan pengetahuan. Begitulah,
pengetahuan dan keinginan berkelindan, dan akibatnya ialah kehancuran alam.
Sampai di sini, sulit untuk menyangkal kebenaran dan futurisme yang
dikumandangkan Taoisme.
Akan tetapi, apakah dengan demikian orang lalu harus berpantang
untuk mencari, mengusahakan, memiliki, dan memanfaatkan pengetahuan?
Apakah dengan demikian orang harus surut ke belakang ke zaman pra-
3 Pitoyo, Manusia Bijaksana Menurut Taoisme, H. 271.
59
sejarah? Agaknya impian Taoisme mengandaikan adanya sosok-sosok
manusia yang benar-benar “natural”; manusia “lugu” yang benar-benar
menjadi “anak alam” yang menghormati dan mencintai alam. Namun apakah
impian semacam itu realistik? Bukankah impian semacam itu sekadar utopia
yang membayangkan prakondisi manusia yang bermasyarakat dan berbudaya?
Pengandaian semacam itu hanya dapat dibayangkan secara teoritis, namun
hampir tak dapat ditemukan dalam tataran praksis. Ataukah yang mau
digambarkan Taoisme itu adalah sosok-sosok manusia prasejarah? Kalau
demikian, maka telah terjadi regresi besar-besaran justru pada saat para
penganjur ajaran Taoisme itu sendiri masih hidup.
Ajaran anti-agresi atas sesama manusia tentu saja masih relevan hingga
kini, bahkan hingga kapan pun. Melonjaknya populasi umat manusia dan
semakin tipisnya ketersediaan sumber daya mengakibatkan terjadinya
perebutan atas sumber daya tersebut, entah dengan cara terang-terangan atau
pun dengan cara terselubung dengan rapi; entah dengan cara yang santun atau
pun kasar; entah dengan cara yang beradab atau pun yang biadab. Dan,
perebutan yang biadab tentu saja merupakan agresi keji yang tidak layak bagi
kemanusiaan.4 Celakanya, perebutan itu acapkali bukan karena benar-benar
didesak oleh kebutuhan yang nyata, melainkan tak jarang karena sekadar
desakan pemuasan keinginan. Di sinilah relevansi ajaran Taoisme untuk hidup
sederhana, wajar, dan bersahaja. Lebih lanjut, menjauhi kekerasan dan
bersikap lemah lembut sungguh merupakan ajaran yang tetap relevan di
4 Pitoyo, Manusia Bijaksana Menurut Taoisme , H. 220.
60
zaman yang telah disesaki oleh kekerasan dan keberingasan seperti sekarang
ini.
“Berbuat” itu sendiri sebenarnya bukanlah keburukan, tetapi yang
buruk ialah perbuatan yang dibuat-buat. Ini adalah salah satu ajaran Taoisme.
Kiranya, ajaran ini pun masih relevan di masa kini. Relevansi ajaran ini dapat
ditafsirkan ke dua arah. Pertama, perbuatan yang dibuat-buat maksudnya
perbuatan yang “tidak murni”, “memaksa diri”, tidak mengikuti Te-nya.
Perbuatan ini akan berbuah ketidak harmonisan hidup, bahkan akan berakibat
kepada ketidak harmonisan alam. Jadi, yang dimaksud perbuatan yang dibuat-
buat berarti perbuatan yang tidak alamiah, dan berakibat mengacaukan
keselarasan segala hal dalam perspektif Taoisme. Kedua, perbuatan yang
dibuat-buat, bisa juga ditafsirkan sebagai perbuatan yang tidak murni, tidak
tulus, tidak semestinya. Tafsir ini tentu relevan untuk masa kini. Betapa
seringnya kita temui orang-orang tertentu yang perbuatan dan penampilannya
hanyalah “seolah-olah”: seolah-olah beriman, seolah-olah dermawan, seolah-
olah peduli, seolah-olah penyayang, dan banyak seolah-olah lainnya. Semua
itu menunjukkan perbuatan yang dibuat-buat, tidak murni, tidak tulus, tidak
wajar. Pendek kata, semua itu hipokrit. Dan, bagaimana pun juga, hipokrisi
tidak dapat diterima oleh hati nurani yang jernih, yang ikhlas. Di sinilah orang
pantas merenungkan secara mendalam ajakan Taoisme ke arah kejujuran dan
ketulushatian.5
5 Pitoyo, Manusia Bijaksana Menurut Taoisme, H. 274.
61
Ajakan Taoisme untuk rendah hati dan “tahu diri” juga layak disambut.
Demi harta, kebesaran, dan popularitas, tidak jarang orang menghalalkan
segala cara : budaya jalan pintas, main suap, sombong, merasa paling
kompeten, dan suka mengklaim bahwa apa pun yang dapat memberi
kemaslahatan bagi sesama diakui sebagai karya dan jerih payahnya sendiri.
Semua sikap tersebut sungguh pantas disayangkan, karena jalan pintas dan
main soap termasuk “kekerasan” yang merusak harmoni moral. Sombong dan
merasa paling kompeten merupakan sifat tinggi hati. Padahal, pada
kenyatannya tiada seorang pun di muka bumi ini yang mampu menghasilkan
karya benar-benar “seorang diri”. Entah langsung atau tidak langsung, semua
karya yang tercipta pasti melibatkan pihak lain : baik pihak lain itu sesama
manusia maupun barang sesuatu yang bukan-manusia, atau bahkan alam
sendiri terlibat secara dominan.6
Dengan demikian, kiranya harus dikoreksi pula pendapat yang
mengatakan bahwa Taoisme itu pada dasarnya berpandangan individualistik,7
karena setiap individu dianjurkan untuk mencari kebahagiaannya sendiri-
sendiri. Kecaman ini mungkin beralasan, bila Taoisme mengajarkannya dalam
rangka pemuasan diri menuruti keinginan duniawi. Padahal, ajaran Taoisme
adalah kebahagiaan batin, ketenteraman hati, dengan cara tidak mengumbar
keinginan, melainkan justru “membatasinya” seminimal mungkin. Dengan
6 Pitoyo, Manusia Bijaksana Menurut Taoisme ,H. 218.
7 Thomas Watters, Lao Tzu Kisah Hidup dsan Pemikirannya (Yogyakarta: Basabasi,
2019), h. 70.
62
demikian, runtuh jugalah tudingan yang mencecar Taoisme sebagai ajaran
egoistik.8
Taoisme bukannyamengajarkan egoisme, atau acuh tak acuh terhadap
keadaan masyarakat. Taoisme hanya mau mengatakan, boleh jadi agak utopis,
bahwa “sekali tiap-tiap individu merasa bahagia dengan memurnikan Te-nya,
maka berarti masyarakat secara keseluruhan dengan sendirinya akan bahagia,
tenteram, dan sejahtera”.
Taoisme juga dikenal menentang hukum dan pranata-pranata sosial
lainnya. Namun hendaklah disadari, bahwa pada kenyataannya, hukum
(positif) sendiri biasanya hanyalah merupakan upaya minimal yang lebih
bersifat represif belaka. Sementara itu, pendidikan moral bagi masyarakat
sama sekali dipandang sebagai di luar kompetensi dan kawasan hukum.
Taoisme berpendirian bahwa semakin banyak aturan, justru semakin kacaulah
masyarakat yang diaturnya. Bagi Taoisme, tidak usahlah banyak mengatur,
apalagi mengatur dengan aturan yang “dibuat-buat”, dan lebih buruk lagi bila
aturan yang dibuat itu dipergunakan oleh penguasa untuk menindas rakyat,
atau sekurang-kurangnya hanya membela kepentingan penguasa. Dalam
pandangan Taoisme, manusia itu pada dasarnya baik, karena setiap diri
manusia dirembesi oleh Te dari Tao universal yang abadi. Kebobrokan terjadi
justru karena manusia “menciptakan” kebudayaan, termasuk hukum dan
pranata sosial lainnya.9
8Reza wattimena, etika taoisme, memperkenalkan filsafat taoisme (rumahfilsafat.com),
diakses pada tanggal 12 april 2019. 9 Pitoyo, Manusia Bijaksana Menurut Taoisme ,H. 225..
63
Pandangan Taoisme sebagaimana diuraikan di atas itu tampak konsisten
secara teoretik, namun tidak realistik dalam konteks pengalaman empirik.
Oleh karenanya, pandangan itu layak digugat. Gugatan pertama ialah asumsi
dasarnya bahwa manusia itu pada dasarnya baik.10
Pada kenyatannya, pada
diri manusia selalu bersemayam sifat baik dan sekaligus sifat buruk (jahat).
Justru kebudayaanlah yang mampu menawarkan nilai-nilai kebaikan sekaligus
keburukan agar manusia dapat memilih dengan cermat dan
mempertanggungjawabkan pilihannya itu. Bisa saja aturan hukum yang
“dibuat-buat” perlu dicela, tetapi apabila kehidupan bersama tanpa dikawal
oleh ”aturan main” yang adil, maka anarkhilah akibatnya. Gugatan kedua ialah
jika asumsi dasar yang mengatakan bahwa manusia itu mempunyai sifat baik
dan sekaligus buruk itu benar, maka apabila sifat buruknya yang dominan
dengan disertai kekuatan (power), maka kesewenang-wenanganlah yang
terjadi. Oleh karena itu, harus dikatakan, bahwa bagaimana pun juga hukum
itu tetap diperlukan. Hanya saja, hukum harus ditolak, apabila tidak adil dan
menindas, entah atas nama “legalitas” atau pun “stabilitas”.
Terhadap dampak negatif yang diakibatkan oleh sains dan teknologi
yang kini kian meluas, agaknya Taoisme memberikan inspirasi kepada
manusia modern untuk mengadakan reorientasi atas pengusahaan sains dan
teknologi itu. Kemajuan teknologi dari saat ke saat terus-menerus diperkokoh
dengan hasil-hasil riset sains; meski riset sains yang dilakukan seringkali
diwarnai dengan manipulasi dan rekayasa atas alam beserta isinya, termasuk
10
Pitoyo, Manusia Bijaksana Menurut Taoisme ,H. 225. .
64
manusia. Begitu banyak hal-hal artifisial yang tercipta lewat sains dan
teknologi, bahkan sudah pada taraf “artificial intelligence”. Akibatnya, kini
manusia hidup di “alam” artifisial pula. Akibat lebih lanjut, banyak orang
mulai teralienasi karena dilanda kemiskinan otentisitas hidupnya. Di sinilah
panggilan Taoisme untuk back to nature menjadi relevan. Walau pun mungkin
manusia modern sudah tidak bisa lagi menerima ajaran Taoisme tentang
“penyerahan diri” kepada alam, namun Taoisme dapat “menegur” atau
sekurang-kurangnya “menyentil” keangkuhan manusia yang senantiasa
merasa diri sebagai penguasa alam. Bagaimana pun juga, manusia tetap tidak
bisa hidup di “luar” dan tanpa “dihidupi” oleh alam. Oleh karena itu,
pandangan bahwa alam laksana “sapi perah” dapat dikoreksi dan disadarkan
lewat ajaran Taoisme.
Sains dan teknologi juga membawa dampak negatif terhadap kejiwaan
manusia, baik secara individual maupun sosial, sehingga acapkali muncul
bentuk-bentuk “kekerasan” – baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun
pengada-pengada lain – yang patologis. Dengan kelembutannya, Taoisme
dapat mengetuk hati nurani orang modern untuk kembali kepada “fitrah”-nya,
dan tidak manipulatif terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Sesungguhnyalah, walau tampaknya Taoisme tidak mengagungkan manusia di
atas pengada-pengada lain, namun agaknya tersembunyi niat untuk
memuliakan manusia. Kiranya, diam-diam dalam ajaran Taoisme terdapat
inkonsistensi dalam memandang manusia, sebagaimana ketidakkonsistenan
ajarannya tentang “tidak berbuat” dan tidak mengajarkan kemanusiaan dan
65
keadilan, padahal kitab-kitab Taoisme sendiri sarat dengan ajaran dan anjuran
tindakan tertentu agar manusia mencapai kebahagiaan, ketenteraman, dan
kedamaian.11
Sungguh inkonsistensi yang justru berguna bagi manusia.
B. Relevansi Etika Alam Taoisme dengan Kehidupan Masyarakat Modern
Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya
mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban
masa kini. Pada umumnya masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan,
sehingga disebut masyarakat kota. Namun tidak semua masyarakat kota tidak
dapat disebut masyarakat modern,sebab orang kota tidak memiliki orientasi ke
masa kini, misalnya gelandangan. Ciri-ciri Masyarakat Modern yaitu
hubungan antar manusia terutama didasarkan atas kepentingan-kepentingan
pribadi, hubungan dengan masyarakat lain dilakukan secara terbuka dengan
suasana yang saling memepengaruhi.12
Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk
eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola
hubungan pribadi dengan keluarga. Sehingga dalam kebudayaan industri dan
birokrasi modern pada umumnya, dipersonalisasi menjadi pemandangan
sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres dan muncul penyakit-penyakit
baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan dan pola kerja.
11
Alexander Simpskins, Simple Taoism Tuntunan Hhidup dalam Keseimbangan,
alihbahasa: Frans Kowa (Jakarta: Gramedia, 2000), H. 85. 12
Bakker, JWM, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Hal. 92.
66
Yang terjadi kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau
keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk
modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely crowd” karena pribadi
menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman
berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman
lenyap. Kedua masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu
mendesakkan diri kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah,
keempat birokrasi dan waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
13
Adanya Modernisme melahirkan sekularisasi adalah sebuah proses
pemisahan institusi-institusi dan simbol-simbol politis dari initusi-institusi dan
simbol-simbol religius. Kebijakan-kebijakan Negara yang mengatur sebuah
masyarakat tidak lagi didasarkan pada norma-norma agama, melainkan pada
asas-asas non-religius, seperti: etika dan pragmatisme politik. Kelahiran
Negara nasional dan Negara konstitusional di zaman modern menandai proses
ini. Konstitusi Negara modern tidak lagi didasarkan pada doktrin-doktrin
religius, seperti pada Negara-negara tradisional di Eropa abad pertengahan,
melainkan pada prosedur-prosedur birokratis rasional yang mengakui
kesamaan hak dan kebebasan setiap warganegara. Mengapa masyarakat
modern menempuh jalan sekularisasi? Karena (1) Otoritas politis tidak merasa
13
https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/download/23449/15449. Diakses pada tanggal 12
april 2019.
67
cukup dengan wewenangnya atas wilayah publik dan ingin juga memberikan
regulasi dalam ruang privat seperti yang dilakukan oleh otoritas religius; dan
(2) pikiran kritis dicurigai sebagai unsur „subversif‟ yang melemahkan
kepatuhan kepada otoritas. Sekularisasi adalah upaya memberi batas-batas di
antara kedua bidang itu dengan memandang keduanya otonom, yakni yang
satu tidak dapat direduksi kepada yang lain. Dengan sekularisasi, urusan-
urusan religius dianggap beroperasi di dalam ruang privat, tercakup dalam
kebebasan subjektif individu untuk menemukan jalan hidupnya.14
Pemikiran Taoisme dapat dikatakan empiris dan Praktis. Empiris karena
semua ajarannya merujuk pada fenomena alam yang dapat diamati oleh setiap
orang. Misalnya, bagaimana sifat air dan matahari yang dapat merefleksikan
makna kehidupan manusia. Praktis, karena isi pemikiran Taoisme berisi ajaran
tentang bagaimana sikap dan perilaku yang seharusnya bagi setiap orang
dalam hidup.15
Simbolisme dalam filsafat Tao lebih menekankan pada etika daripada
metafisika dan religi, sehingga sering disebut simbolisme etik. Simbolisme
etis ini merupakan gambaran refleksi idealitasnatural manusia yang
seharusnya dimiliki oleh setiap orang, sebagai implikasi sebagai inplikasi
manusia harus berbuat sesuai dengan hokum alam. Simbolisme etis memiliki
arti bagi manusia bahwa manusia menjadi bijaksana jika mampu
14
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema Insani press, 2005), hlm. xxxv 15
Thomas Watters, Lao Tzu Kisah Hidup dan Pemikirannya (Yogyakarta: Basabasi,
2019), h. 130-131.
68
menterjemahkan atau menginterpretasikan dan menjabarkan hokum alam serta
mentransformasikanya kedalam sikap dan perbuatan sehari hari yang dilandasi
kesucian hati yang murni. Pola kehidupan manusia semacam ini dalam
kumulasinya akan menciptakan kehidupan masyarakat yang harmoni dan
sejahtera dalam segala zaman terutama kontek zaman sekarang.
Konsep taoisme tentang kebajikan ini secara subtansial dapat
memberikan sumbangan bagi kehidupan masyarakat dewasa ini. Terlebih lagi
bagi masyarakat Indonesia yang sedang membangun kehidupan demokratis
disegala bidang melalui pemberdayaan masyarakat madani, maka etika
demokrasi yang bersumber nilai kebajikan sangat diperlukan. Mengapa
taoisme berkembang pesat di cina, karena system filsafatnya bertumpu pada
akar persoalan hidup masyarakat cina sendiri, sehingga filsafat taoisme
meyatu dalam praktek kehidupan sehari-hari. Kelahiran taoisme berkaitan
dengan pengalamn sejarah masa kehancuran kerajaan chou sebagai akibat dari
peyelewengan dan tindakan raja yang sewenang-wenang dalam peyelanggaran
pemerintah. Kehidupan manusia semakin menderita dan kejahatan merajalela.
Dari pengalam sejarah tersebut sebgai kaum terpelajar sampai pada
kesimpulan, peraturan yang dibuat manusia itu dapat menyesatkan
masyarakat. Perundang-undangan Negara yang hanya didasarkan pada otak
atau rasio hanya akan menyesatkan rakyat. Manusia harus belajar dari hokum
69
alam yang banyak memberikan pengalamn nilai kehidupan bagi manusia,
yakni untuk bersikap adil, kesucian murni, disiplin dan taat azas.16
Pengalaman sejarah tersebut memberi spirit bagi perjalanan taoisme
untuk membawa misi keadilan dan kemanusiaan, bahwasanya kehidupan
manusia secara etis diharapkan tidak merugikan orang lain, tatapi memberikan
kelangsungan hidup sesamanya. Karena itu ajaran kebijakan ( te ) ditempatkan
sebagai tema utama dalam pemikiran kefilsafatanya, kemudian dikemas dalam
ajaran etika natural taoisme.17
Makna kebijakan menurut taoisme sebagai karakter atau kekuatan
moral yang mengandung tiga unsur :18
1. Selalu mengausahakan (to go) kecenderungan memberikan bantuan
kepada orang lain, muncul dari diri seseorang dilakukan menerus
sebagai kebiasaan hidup.
2. Mengandung arti jujur (straight) yaitu kecenderungan sikap perilaku
yang berbasis pada kesucian hari yang murni.
3. Bermakna kasih sayang dalam kebajikan, arti hidup adalah untuk
sesamanya, tanpa membeda-bedakan.
Kebajikan berarti tao, untuk menuju kebahagiaan sempurna atau
kebahagaian lahir batin. Orang yang mencapai kebahagaiaan sempurna yaitu
seseorang yang telah mencapai tingkat manusia agung, yang hidupnya untuk
sesama dan lingkuanganya.
16
Pitoyo, Manusia Bijaksana Menurut Taoisme ,H. 226. 17
Pitoyo, Manusia Bijaksana Menurut Taoisme ,H. 227. 18
Iriyanto Widi Suseno, Studi tentang Etika Natural Taoisme dan Sumbangannya bagi
Pemberdayaan Masyarakat Madani di Indonesia (Semarang: Jurnal Hukum Universitas Islam
Sultang Agung, 2007), h. 54
70
Dalam melihat permasalahan perkembangan sains dan teknologi yang
membuat manusia terkekang dan tidak bisa dengan leluasa bergerak serta
membiarkan alam ini berjalan menurut hukumnya sendiri, maka konsep etika
alam Taoisme juga kiranya dapat menawarkan pandangannya yang setidaknya
dapat membuat manusia keluar dari permasalahan tersebut.
Ketika manusia mengembangkan teknologi dan sains dengan semangat
modernisasi, justru itu yang akan membuat manusia tidak bisa bergerak ke
mana-mana karena manusia dipasung oleh sikapnya yang berusaha melawan
kodrat alam. Modernisasi sendiri menginginkan perubahan atas hal-hal yang
ketinggalan zaman dan tradisional untuk digantikan dengan hal-hal yang baru
dan bisa mengikuti arus perkembangan.
Tetapi dengan hal seperti itu manusia justru akan semakin menjadi-jadi.
Ketika suatu perubahan yang diinginkan dalam modernisasi ini sudah tercipta
namun manusia masih dibelenggu oleh rasa ketidakpuasan terhadap perubahan
itu. Maka sesuatu hal lain harus dilakukan supaya terjadi hal yang baru lagi.
Dan itu tidak akan ada habisnya.
Dalam konteks ini, setidaknya manusia bisa bebas dari kekangan pada
dirinya sendiri dengan kembali lagi pada alam dan membiarkan alam berjalan
sebagaimana mestinya. Ini perlu dilakukan agar tidak ada hal yang dibuat-buat
71
untuk memenuhi keinginan hasrat semata, namun di sisi lain berlawanan
dengan kodrat alam itu sendiri.
Taoisme mengatakan, orang yang bijak tidak berbuat apa-apa dan orang
yang bijak tidak perlu menghasilkan apa-apa. Mereka hanyalah merenungkan
alam saja. Taoisme menentang segala bentuk tindakan karena dalam kehidupan
tindakan itu sia-sia belaka.19
Dicontohkan dengan seorang pemanah yang membidikkan panahnya
dengan jelek. Kegagalan ini diakibatkan karena pemanah tersebut berkeinginan
untuk menang. Keinginan ini melahirkan kecemasan dan kecemasan itulah
yang membuatnya gagal.20
Kemampuan tertinggi adalah ketika seseorang bertindak pada taraf yang
tidak sadar. Seorang ahli piano perlu memusatkan pikiran dan kekuatannya
supaya ia berhasil. Taoisme menekankan ketidaksadaran, intuisi, spontanitas -
aliran yang tidak bertenaga dalam pikiran dan tindakan.
Taoisme percaya bahwa kebijaksanaan adalah mengetahui kesulitan-
kesulitan dan tidak pernah mempunyai sikap agresif pada kodrat alam manusia.
Orang tidak akan mencapai tujuan dengan sikap yang agresif.21
Hal ini selaras dengan apa yang dibahas di atas terkait dengan semangat
manusia dalam mengembangkan sains dan teknologi dalam modernisasi, yang
pada dasarnya ada ambisi dan agresivitas di balik semangat pengembangan
teknologi dan sains.
19
Watters, Lao Tzu Kisah Hidup dsan Pemikirannya , h. 131. 20
Watters, Lao Tzu Kisah Hidup dsan Pemikirannya , h. 131. 21
Watters, Lao Tzu Kisah Hidup dsan Pemikirannya , h. 133
72
Ambisinya adalah mengejar perubahan dengan tindakan secara terus
menerus dan tidak memperhatikan kodrat alam, yang mana hal seperti ini
adalah tidak sesuai dengan kodrat alam. Hal itu menurut Wu-Wei dapat
menyebabkan manusia gagal dalam menghadapi permasalahan terkait dengan
kebebasannya yang dipasung oleh ambisinya yang tidak pernah habis.
Kemudian permasalahan terkait dengan sumber daya yang semakin
menipis, pencemaran lingkungan, cuaca yang tidak teratur, dan kerusakan
ekosistem akibat kemajuan teknologi dan sains. Hal ini ketika dilihat dari Wu-
Wei sendiri sangat relevan, bahwa manusia yang mengeksploitasi alam dengan
senjata teknologi dan sains mengeruk apa pun yang ada di alam dengan sesuka
mereka.
Akibatnya alam yang dieksploitasi secara terus menerus akan menurun
kapasitasnya dan manusialah yang akan menuai akibatnya. Banjir, tsunami,
dan tanah longsor yang akan menghajar manusia sebagai imbalan yang
setimpal dengan apa yang mereka lakukan. Maka dari itu campur tangan dan
agresi terhadap manusia ataupun alam tidak dapat diterima karena
bagaimanapun juga itu pihak yang diagresi pasti menderita.
Hal yang dapat ditawarkan dalam menengahi permasalahan ini adalah
dengan merefleksikan konsep Wu-Wei terkait dengan “Jangan Menyampuri”
yang dapat diartikan bahwa kita akan hidup selaras dengan alam jika kita mau
mengikuti kodrat alam dan tidak menentang apa yang sudah digariskan oleh
kodrat alam. Itu karena pada dasarnya keharmonisan menurut Wu-Wei hanya
akan terjadi ketika alam dibiarkan berjalan menurut hukumnya sendiri.
73
Sejatinya, pesan mendasar dari Taoisme adalah bahwa kehidupan ini
terdiri keseluruhan yang bersifat organik dan saling terhubung (organic and
interconnected whole), yang terus berubah secara konstan. Gerak perubahan
yang bersifat tetap ini merupakan bagian dari tatanan alamiah alam semesta.
Manusia hidup bersama alam yang terus berubah secara alami. Dengan
menyadari adanya kesatuan antara alam dan manusia, dan belajar untuk hidup
menyesuaikan diri dengan gerak alamiah alam, manusia akan sampai pada
keadaan yang sepenuhnya bebas dan merdeka, sekaligus secara langsung
terhubung dengan gerak kehidupan dari alam semesta. Lantas, keadaan dan
kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari alam seyogyanya dihayati dengan
sikap manusia yang menghargai dan mencintai alam sebagai bagian integral-
tidak terpisah dari kehidupannya. Manusia tidak bisa hidup tanpa alam, dan
sebaliknya alam akan semakin penuh dengan hubungannya dengan manusia.
Manusia sejatinya mengeksploitasi alam dengan landasan bahwa hidup adalah
orientasi pada kesenangan dan bukan penderitaan apalagi kematian. Hal itulah
yang mendasari manusia untuk “memiliki” segala sesuatu sebanyak-banyaknya
tanpa memiliki sikap timbal-balik atau kehilangan. Yang pada akhirnya
membuahkan kemelekatan akan sesuatu secara berlebihan tanpa mampu
membatasi diri. Alhasil, alam menjadi “korban”. Alam menjadi obyek pemuas
hasrat dan keinginan manusia. Alam tidak dipandang lagi sebagai bagian dari
hidup manusia.
74
Tao melalui ajarannya Wu-Wei dan Te memberikan pandangan lain.
Tao memberikan pandangan bahwa manusia hidup bersama dan melalui Tao.
Manusia hidup dalam kesatuan dengan Tao, tingkat tertinggi di dalam
kehidupan manusia, dan alam bagian di dalamnya. Dengan hidup bersama dan
melalui Tao, manusia hidup dalam keharmonisan dan ketentraman. Lantas,
untuk hidup selaras dengan alam kita harus mempunyai keyakinan. Kita harus
mempercayakan diri kita pada “yang tak diketahui”. Tao yang diajarkan Lao
Tzu mengajarkan kita untuk mencintai dan menyuburkan segalanya namun
tidak menguasainya.22
Dari sudut pandang Taoisme secara khusus ajaran Wu-Wei dan Te,
penulis menyimpulkan cara yang lebih arif dan bijak dalam memperlakukan
alam semesta. Seperti yang telah diulas diatas bahwa Tao mengajarkan kepada
manusia untuk bersikap lemah lembut, rendah hati dan menyangkal diri. Secara
garis besar, lemah lembut berarti menganggap alam sebagai sahabat manusia,
rendah hati berarti sikap mampu membatasi diri dengan berbuat seperlunya
saja (terhadap alam/penggunaan sumber daya), dan sikap menyangkal diri yang
adalah sikap menganggap diri dan hidup manusia hanyalah sebagai pinjaman
dari alam semesta kepadanya. Penulis, dengan kesadaran demikian, maka
manusia bukan lagi menjadi “musuh” alam. Sebaliknya, manusia menjadi
bagian dari alam, dan alam menjadi bagian dari manusia, yang saling
bersinergi membentuk suatu keharmonisan yaitu hidup seimbang dan saling
menyejahterakan.
22
Watters, Lao Tzu Kisah Hidup dsan Pemikirannya , h. 99.
75
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam penulisan Skripsi ini, dapat diambil kesimpulan bahwa Etika
alam Taoisme didasarkan dan berpusat pada jalan hidup Tao. Dan etika
kebijaksanaan alam Tao ini terpancar pada 3 pola hidup. Pertama, jalan
hidup menurut pembawaan alamiah. Melalui pemahaman cara hidup
alamiah ini, Lao Tzu menanamkan sikap hidup manusia agar dapat
berserah diri sepenuhnya, sehingga tidak mudah mengeluh dalam
mengatasi kesulitan hidupnya, karena harus disadari bahwa segala hal
yang terjadi pengenalan jatidiri diatur oleh hukum kodrat Tao.
Kedua adalah kebijaksanaan Tao juga tergambar pada prinsip hidup
sewajarnya. Dalam Tao te Ching bab 3 dikatakan:
“Jika bakat tidak diagungkan, orang tidak akan bersaing satu sama lain.
Jika benda langka dan berharga tidak dihargai, orang tidak akan
mencuri.
Jika benda-benda yang dapat menimbulkan keinginan untuk dimiliki tidak.
Dipamerkan, hati orang tidak akan gundah.
Ketika orang yang tercerahkan memerintahkan sesuatu, ia mengosongkan
pikiran dari hal-hal yang tidak diperlukan”.
Prinsip kewajaran dalam Taoisme ini mengandung pengertian
adanya ukuran normatif dalam cara hidup manusia sehari-hari, yakni
manusia seharusnya tidak bertindak secara berlebihan, manusia harus
melepaskan sikap perilaku yang semu. Sebab, kepribadian sebagaimana
yang terlihat dari luar itu tidak penting, yang penting adalah pengenalan
76
jati diri. Jadi, pengertian hidup sewajarnya dapat diartikan sebagai proses
pengenalan atau penemuan jati diri. Norma kewajaran tersirat dalam pola
hidup sederhana, sikap rendah hati, tidak arogan, tidak sombong dan tanpa
pamrih.
Ketiga adalah kebijaksanan etis Tao juga akan terpancar dengan
menjalankan prinsip hidup yang sesuai dengan hukum alam. Menurut
Taoisme, Bumi dan langit beserta isinya masing-masing sebagai kesatuan
unsur jagad raya (semesta alam), memiliki sifat dan cara kerjanya yang
disebut hukum alam. Hukum alam memiliki ketentuan dan keteraturan
kodrati sebagai hasil ciptaan Tao. Tao adalah induk dari segala benda dan
makhluk, oleh karena itu segala hal akan kembali kepada Tao. Sifat
kebesaran Tao telah dapat difahami, seperti oleh para ahli ilmu alam yang
mampu mengetahui tentang atom, misalnya: Einstein dapat memahami
buah hasil bekerjanya Tao dan occultisme (kaum mistik) dapat melihat
Tao dari kegaibannya.
Dunia ini sangat kecil bila dibanding dengan luas semesta alam.
Cakrawala manusia hanya terdiri dari sebelas planet (mestinya ada dua
belas planet, namun satu planet belum diketahui). Ternyata cakrawala
manusia tidak hanya satu melainkan banyak. Di dalam tiap cakrawala ada
matahari dengan beberapa planet yang tak dapat dihitung junlahnya di
seluruh alam semesta ini. Bila dibanding dengan luas alam, maka bumi
tempat tinggal manusia hanya merupakan sebutir pasir gurun sahara.
77
Manusia tidak mungkin dapat mengetahui tentang keseluruhan struktur
semesta alam termasuk hukum alamnya.
Sedangkan relevansi etika alam Taoisme dengan kehidupan
masyarakat modern adalah Konsep taoisme tentang etika alam inisecara
subtansial dapat memberikan sumbangan bagi kehidupan masyarakat
dewasa ini. Terlebih lagi bagi masyarakat Indonesia yang sedang
membangun kehidupan demokratis disegala bidang melalui pemberdayaan
masyarakat madani, maka etika demokrasi yang bersumber nilai kebajikan
alam sangat diperlukan. Mengapa taoisme berkembang pesat di cina,
karena system filsafatnya bertumpu pada akar persoalan hidup masyarakat
cina sendiri, sehingga filsafat taoisme meyatu dalam praktek kehidupan
sehari-hari.
B. Saran
Pertama, karya ini merupakan karya yang terbuka atas kritik dan
saran yang mungkin bisa menjadi bahan untuk penelitian selanjutnya. Para
insan akademisi Studi Agama-Agama harus mengkaji lebih jauh tentang
persoalan ekologi yang tentu dilihat dari persfektif teologi agama-agama.
Bumi adalah satu-satunya tempat manusia hidup, maka sudah sewajarnya
kita semua harus mampu menjaga dan merawat bumi ini agar terhindar
dari kehancuran akibat tangan-tangan jahat manusia.
78
Kedua, dalam proses penyelesaian karya ini, penulis mendapatkan
kesulitan terutama referensi buku-buku tentang Lao Tzu dan Taoisme
yang banyak tidak ditemukan baik di perpustakaan umum maupun di
perpustakaan fakultas. Maka saran penulis, perpustakaan khususnya
perpustakaan fakultas harus lebih lengkap menyediakan referensi-referensi
tentang agama agama lain khususnya Taoisme.
79
DAFTAR PUSTAKA
Creel, H.G., (Terj. Soejono Soemargono), Alam Pikiran Cina: Sejak Confucius
sampai Mao Ze Dong. Yogyalarta: Tiara Wacana, 1998.
Enny Aryati, Studi Banding tentang Manusia dalam Konfusianisme dan Taoisme,
Yogyakarta: Skripsi, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, 1991.
Ervan, Yulius (Alih Bahasa), Lao Tzu Tao te Ching Jalan Menuju Kebajikan dan
Kekuasaan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2018.
Kebung, Konrad, Filsafat Berpikir Orang Timur. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011.
Koller, John M., (terj. Donatus Sermada), Filsafat Asia, , Flores: Ledalero, 2010.
Krishna, Anand, Mengikuti Irama Kehidupan Tao Te Ching bagi Orang Modern.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,1998.
Kusumo, Taosu Agung, Tanya Jawab Agama Tao. Jakarta: Majelis Tao
Indonesia, 2008.
Lasiyo, Seri Filsafat Cina, Taoisme, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1994.
Lasiyo, Filsafat Lao Tzu. Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Filsafat UGM,
1991.
Lau, D.C, Chinese Classics: Tao Te Ching, Hongkong: Chinese University Press,
1982.
Murata, Sahiko (terj. Rahmani Astuti), The Tao of Islam. Bandung: Mizan, 1997.
Priyono, “Nilai Budaya Barat dan Timur Menuju Tata Hubungan Baru” dalam
Tim Redaksi Driyarkara, Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Simpskins, Alexander (ter: Frans Kowa), Simple Taois: Tuntunan Hidup dalam
Keseimbangan, alihbahasa. Jakarta: Gramedia, 2000.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2000.
Smith, Huston (terj. Dono Sunardi), Agama-Agama Manusia,. Jakarta: Pt.
Serambi ilmu Semesta, 2015.
80
Soemargono, Soejono, Sejarah Ringkas Filsafat Cina. Yogyakarta: Liberty, 1990.
Supriyadi, Dedi, FilsafatAgama. Bandung: CV Pustaka Setia, 2012.
Tanggok, M. Ikhsan, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao. Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2010.
Thi Anh, To (Terj. John Yap Pariera), Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik
atau Harmoni?. Jakarta: PT. Gramedia, 1984.
Umarhadi, Yosef, Taoisme Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Watters, Thomas, Lao Tzu Kisah Hidup dan Pemikirannya. Yogyakarta:
Basabasi, 2018.
Watts, Alan, The Tao Of Philosophy. Yogyakarta: Jendela Dunia, 2003.
Widi Suseno, Iriyanto, Studi tentang Etika Natural Taoisme dan Sumbangannya
bagi Pemberdayaan Masyarakat Madani di Indonesia. Semarang: Jurnal
Hukum Universitas Islam Sultang Agung, 2007.
Wiratmadja, Adia, Sekilas Filsafat China. Liberty:Yogyakarta,1978.
Yu Lan, Fung, (Terj. Soejono Soemargono), Sejarah Singkat Filsafat Cina.
Yogyakarta:Liberty, 1990.
Zen, M.T., Sains, Teknologi, dan Hari Depan Manusia. Jakarta: Yayasan Obor
dan PT. Gramedia, 1981.
http://winsig-cina.blogspot.com/2007/04/sekilas-tentang-wu-wei.html.