Skripsi Fisika
EVALUASI DENSITAS MINERAL TULANG BERDASARKAN
INDEKS MASSA TUBUH MENGGUNAKAN TEKNIK DUAL
ENERGY X-RAY ABSORPTIOMETRY (DXA)
OLEH
MUH. FADLI JAMIL
H211 14 707
DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
HALAMAN JUDUL
EVALUASI DENSITAS MINERAL TULANG BERDASARKAN
INDEKS MASSA TUBUH MENGGUNAKAN TEKNIK DUAL
ENERGY X-RAY ABSORPTIOMETRY (DXA)
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Departemen Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Hasanuddin
Oleh :
MUH. FADLI JAMIL
H 211 14 707
DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGATAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
iii
HALAMAN PENGESAHAN
EVALUASI DENSITAS MINERAL TULANG BERDASARKAN
INDEKS MASSA TUBUH MENGGUNAKAN TEKNIK DUAL
ENERGY X-RAY ABSORPTIOMETRY (DXA)
Oleh :
MUH. FADLI JAMIL
H 211 14 707
Makassar, Agustus 2017
Disetujui Oleh :
Pembimbing Utama
Dr. Bualkar Abdullah, M.Eng.Sc
NIP. 19550105 197802 1 001
Pembimbing Pertama
Prof. Dr. Dahlang Tahir, S.Si, M.Si
NIP. 19750907 200003 1 006
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini merupakan karya orisinil saya dan
sepanjang pengetahuan saya tidak memuat bahan yang pernah dipublikasi atau telah
ditulis oleh orang lain dalam rangka tugas akhir untuk suatu gelar akademik di
Universitas Hasanuddin atau di lembaga pendidikan lainnya di manapun, kecuali
bagian yang telah dikutip sesuai kaidah yang berlaku. Saya juga menyatakan bahwa
skripsi ini merupakan hasil kerja saya sendiri dan dalam batas tertentu dibantu oleh
pihak pembimbing.
Penulis
MUH. FADLI JAMIL
v
SARI BACAAN
Telah dilakukan penelitian mengenai pengukuran Densitas Mineral Tulang (DMT)
pada tulang belakang (lumbal) sebagai salah satu pendekatan diagnosis
osteoporosis berdasarkan kriteria WHO (World Health Organization). Penelitian
ini menggunakan pesawat DXA (Dual energy X-ray Absorptiometry) dan jumlah
sampel pada penelitian ini yaitu 15 berdasarkan Indeks Massa Tubuh yang berbeda
yaitu kurus, normal dan gemuk. Pengukuran DMT tulang belakang ini
menggunakan Region Of Interest (ROI) pada L1-L4 Hasil dari penelitian ini
menunjukkan nilai BMD terendah pada region L1 dan nilai BMD tetinggi pada
region L4 untuk semua sampel IMT. Sampel dengan IMT kurus menunjukkan nilai
rata-rata T-score <-1 atau dalam kriteria WHO disebut osteopenia sedangkan
sampel dengan IMT normal dan gemuk berada diantara -1 dan +1 yang berarti
densitas mineral dalam batas normal.
Kata kunci : DMT; DXA; BMI; T-score
vi
ABSTRACT
Bone Mineral Density (BMD) has been determined by used Dual energy X-ray
Absorptiometry (DXA) for osteoporosis diagnostic approaches based on World Health
Organization (WHO) criteria. The number of samples in this research were 15 based on
different Body Mass Index (BMI) that thin, normal and obese. The BMD measurement used
Region of Interest (ROI) at L1-L4. The result of this research show lowest BMD value in
region L1 and hightes BMD value in region L4 for all IMT samples. Samples with a thin
BMI showed an average T-score score <-1 or in WHO criteria called osteopenia whereas
samples with normal BMT and fat were between -1 and +1 which means mineral density
within normal limits
Keyword: BMD; DXA; BMI; T-score
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi dan syukur senantiasa tercurah untuk Allah Subhanahu Wa
Ta’ala, sang penguasa alam semesta, karena berkat limpahan rahmat dan
pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul:
Evaluasi Densitas Mineral Tulang Berdasarkan Indeks Massa Tubuh
Menggunakan Teknik Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) yang
merupakan tugas akhir untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana
Fisika Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Hasanuddin. Shalawat dan salam senantiasa penulis kirimkan kepada
baginda Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, keluarga, para
sahabat, dan para pengikutnya.
Dalam penyelesaian skripsi ini, tak terlepas dari berbagai rintangan dan dan
hambatan serta keterbatasan penulis, namun berkat bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu tak ada kata
yang pantas penulis ucapkan selain terimah kasih yang sebesar-besarnya dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada keduan orang tua tercinta, ibunda
Hajerah dan saudara saudariku terima kasih yang tidak terhingga atas tetesan
keringat dalam kerja keras dan cucuran air mata dalam doa, hanya untuk
mempersembahkan dan memohon yang terbaik untuk penulis. Atas dukungan
moril, cinta dan kasih sayang yang tidak ad]a hentinya ayah dan ibu berikan. Semua
viii
ini tidak cukup untuk membayar segala pengorbanan yang telah ayah dan ibu
berikan. Mudah-mudahan akan terbalas berlipat-lipat ganda di Dunia dan Akhirat.
Dalam penulisan skripsi tugas akhir ini ingin mengucapkan terimah kasih
kepada pihak-pihak yang telah berperan dalam membantu dalam penyelsaian
skripsi ini, antara lain kepada :
1. Bapak Dr. H. Arifin, MT selaku Ketua Departemen Fisika Fakultas
MIPA Unhas
2. Bapak Prof. Dr. Syamsir Dewang, M.Eng.Sc selaku Penasehat
Akademik yang telah banyak memberikan nasehat selama penulis
menempuh studi.
3. Bapak Dr. Bualkar Abdullah, M.Eng,Sc selaku Pembibing Utama
yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya serta memberi
motivasi, masukan dan arahannya dalam penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Dahlang Tahir, M.Si selaku Pembimbing Pertama
yang telah banyak memberi masukan, arahan serta meluangkan waktu
dan pikirannya dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak Prof. Dr. rer. nat. H. Wira Bahari Nurdin, Bapak Prof. Dr.
Syamsir Dewang, M.Eng.Sc dan Bapak Dr. H. Arifin, MT tim
penguji yang telah banyak memberi masukan, saran serta kritikannya
demi penyempurnaan skripsi ini.
6. Dosen-dosen pengajar yang telah membagikan ilmunya serta memberi
bimbingan selama perkuliahan.
ix
7. Staf pegawai baik itu dari Departemen Fisika maupun dari Fakultas
MIPA yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
segala jenis administrasi selama menempuh studi
8. Saudara-saudari seperjuangan konsentrasi fisika medik 2013-2015:
Kartini B, Dorothea Marantika, Abdul Rahayuddin, Ichram
Juliana dan Moh. Rizkih Pahlevi. Kalian adalah sahabat yang terbaik,
saudara seperjuangan yang telah memberi warna dalam dunia
perkuliahan, penulis bangga punya kalian.
9. Buat teman-teman konsentrasi Fisika Medik 2013 dan 2015 : Arya,
Ardi, Chiko, Akbar, Indah, Kak Insan, Hj. Irha, Ushwa, Ummy,
Gita, Nyoman, Rusli Terima kasih atas doa, dukungan, motivasi, dan
kerja samanya selama ini.
10. Buat teman-teman Fisika 2012 - 2014 : Saipul, Lusi, Eki, Indawani,
Yunita, Fauzi, Monika, Yulianti, Saldy, Asni dan masih banyak lagi
yang tidak bisa dituliskan namanya satu persatu, terima kasih mau
membagi ilmu selama kuliah.
11. Teman-Teman KKN GELOMBANG 93 Kabupaten Jeneponto,
Kecamatan Binamu, Kelurahan Empoang Utara, Kiki, Basri, Ririn,
Ana, Rani, Dito’, Tawang, Iccang dan Memong, terima kasih atas
kebersamaannya.
12. Teman-teman tim CPPBT Aroma Laut Universitas Hasanuddin,
Bapak Muhammad Asfar, S.Tp M.Si, Andi Asril Badani, Nurul
Waqiah Idris, Ahmad Mawardi, Riskawati, Jusmiati Effendi, Andi
x
Rahmayanti dan Marselia. Semoga kedepannya semakin solid dan
jadi wirausaha yang sukses.
13. Semua pihak yang tidak mampu penulis sebutkan satu persatu, yang
telah banyak memberi bantuan dan kemudahan dalam proses penulisan
ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca maupun penulis. Penulis telah
mengerahkan segala kemampuan dalam menyelesaikan skripsi ini, namun sebagai
manusia yang memiliki kekurangan, penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempatan karena sesungguhnya kesempurnaan
hanyalh milik Allah SWT. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun dari anda sangat diharapkan. Wabillahi Taufik Wal Hidayah,
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, Agustus 2017
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL ............................................................................................................i
HALAMAN JUDUL .........................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................iii
PERNYATAAN KEASLIAN ...........................................................................iv
SARI BACAAN .................................................................................................v
ABSTRACT .......................................................................................................vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................
.............................................................................................................................xiv
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................xv
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
.............................................................................................................................xvii
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
I.2 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. 3
I.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 3
xii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tulang ............................................................................................... 4
II.1.1 Komposisi Tulang .......................................................................... 5
II.2 Osteoporosis ..................................................................................... 6
II.2.1 Klasifikasi Osteoporosis ................................................................ 7
II.3 Indeks Massa Tubuh sebagai salah satu faktor osteoporosis ............ 8
II.4 Dual energy X-ray Absorptiometry .................................................. 9
II.4.1 Prinsip Kerja DXA ........................................................................ 12
II.4.2 Pengukuran DXA scan .................................................................. 13
BAB III METODE PENELITIAN
III.1 Lokasi dan waktu penelitian ............................................................ 14
III.2 Alat dan Bahan ................................................................................ 14
III.3 Prosedur Kerja ................................................................................. 14
III.4 Alur Penelitian ................................................................................. 15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil dan Pembahasan .................................................................... 16
IV.2 Hasil Pengukuran BMD .................................................................. 19
IV.2.1 Hasil pengukuran BMD pada sampel dengan IMT kurus ............ 19
xiii
IV.2.2 Hasil pengukuran BMD pada sampel dengan IMT normal ......... 21
IV.2.3 Hasil pengukuran BMD pada sampel dengan IMT gemuk .......... 22
IV.3 Hasil pengukuran T-score ............................................................ 24
IV.3.1 Hasil pengukuran T-score pada IMT kurus ................................. 24
IV.3.2 Hasil pengukuran T-score pada IMT normal ............................... 26
IV.3.3 Hasil pengukuran T-score pada IMT gemuk ............................... 28
IV.3.4 Analisa nilai T-score pada IMT yang berbeda terhadap resiko
fraktur atau osteoporosis.............................................................. 29
BAB V PENUTUP
V.1 Kesimpulan ....................................................................................... 31
V.2 Saran ................................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 32
LAMPIRAN ....................................................................................................... 34
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Komposisi dari tulang keras .......................................................... 5
Tabel IV.1 Data nilai BMC (Bone Mineral Content) ...................................... 18
Tabel IV.2 Data nilai BA (Bone Area) ............................................................ 19
Tabel IV.3 Data nilai BMD (Bone mineral density) pada
IMT kurus ...................................................................................... 20
Tabel IV.4 Data nilai BMD (Bone mineral density) pada
IMT normal .................................................................................... 21
Tabel IV.5 Data nilai BMD (Bone mineral density) pada
IMT gemuk .................................................................................... 23
Tabel IV.6 Data nilai T-score pada IMT kurus ................................................ 25
Tabel IV.7 Data nilai T-score pada IMT normal ............................................. 26
Tabel IV.8 Data nilai T-score pada IMT gemuk .............................................. 28
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 DXA scanner (Lunar EXPERT XL) ......................................... 10
Gambar II.2 Diagram skematik yang menunjukkan sistem DXA ................. 12
Gambar III.1 Alur Penelitian .......................................................................... 15
Gambar IV.1 Pesawat DXA GE Lunar Prodigy Pro ....................................... 16
Gambar IV.2 Region Of Interest (ROI) pada kriteria lumbal ......................... 17
Gambar IV.3 Grafik perubahan nilai BMD pada kriteria L1-L4
Terhadap IMT kurus ................................................................. 20
Gambar IV.4 Grafik perubahan nilai BMD pada kriteria L1-L4
Terhadap IMT normal ............................................................... 22
Gambar IV.5 Grafik perubahan nilai BMD pada kriteria L1-L4
Terhadap IMT gemuk ............................................................... 24
Gambar IV.6 Grafik perubahan nilai T-score pada kriteria L1-L4
Terhadap IMT kurus ................................................................. 25
Gambar IV.7 Grafik perubahan nilai T-score pada kriteria L1-L4
Terhadap IMT normal ............................................................... 27
Gambar IV.8 Grafik perubahan nilai T-score pada kriteria L1-L4
Terhadap IMT gemuk ............................................................... 29
xvi
Gambar IV.9 Analisa nilai T-score pada IMT yang berbeda terhadap resiko
penyakit osteoporosis ................................................................ 30
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data nilai IMT sampel .............................................................. 34
Lampiran 2 Hasil citra DXA scan ................................................................ 35
Lampiran 2.1 Citra DXA scan dengan IMT kurus .......................................... 35
Lampiran 2.2 Citra DXA scan dengan IMT normal........................................ 37
Lampiran 2.3 Citra DXA scan dengan IMT gemuk ........................................ 39
Lampiran 2.4 Posisi pemeriksaan tulang belakang pada DXA scan .............. 41
Lampiran 2.5 Bukti Pengambilan data di Rumah Sakit
Universitas Hasanuddin ............................................................ 42
Lampiran 2.5 Curiculum Vitae (CV) ............................................................... 46
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tulang merupakan jaringan penghubung yang vital bersifat dinamis yang
struktur dan komposisi mencerminkan keseimbangan antara dua fungsi utama yaitu
penyediaan integritas mekanik untuk bergerak dan perlindungan. Dimulai dengan
pengamatan Galileo, telah diasumsikan bahwa bentuk dan struktur internal tulang
dipengaruhi oleh beban mekanik yang terkait dengan fungsi normal[1]. Tulang juga
merupakan jaringan hidup dan memiliki suplai darah sebagaimana syaraf. Sebagian
besar jaringan tulang ialah jaringan kaku ini didistribusikan osteosit, sel-sel yang
mempertahankan tulang pada kondisi sehat.Karena tulang adalah jaringan
hidup,tulang melakukan pergantian dalam kehidupannya.
Proses yang berkelanjutan dalam menghancurkan tulang-tulang tua dan
membentuk tulang-tulang baru, disebut pembentukan tulang, dan dilakukan oleh
sel-sel tulang khusus[2]. Tulang memiliki dua sel yaitu osteoklas (sel yang bekerja
untuk menyerap dan menghancurkan atau merusak tulang) dan osteoblas (sel yang
bekerja untuk membentuk tulang)[3]. Jika aktivitas sel okteoklas lebih besar
daripada sel osteoblas dapat menyebabkan pengeroposan tulang yang lama
kelamaan menjadi osteoporosis[4].
Osteoporosis adalah penyakit tulang yang ditandai dengan menurunnya
massa tulang (kepadatan tulang) secara keseluruhan akibat ketidakmampuan tubuh
dalam mengatur kandungan mineral dalam tulang yang disertai dengan rusaknya
arsitektur tulang. Hal ini mengakibatkan penurunan kekuatan tulang atau dikenal
2
pengeroposan tulang, sehingga mudah terjadi resiko patah tulang[5]. World Health
Organization (WHO) menggunakan pengukuran Densitas Mineral Tulang (DMT)
sebagai salah satu pendekatan diagnosis osteoporosis. Secara umum terjadi
penurunan DMT dalam proses terjadinya osteoporosis, sehingga terjadi kerapuhan
tulang. DMT normal jika nilai kepadatan tulang (T-score) ≥-1 dan DMT rendah bila
T-score sampel <-1[6].
Faktor terjadinya penurunan DMT diantaranya adalah jenis kelamin,
peningkatan usia, genetik, kebiasaan merokok, aktifitas fisik yang kurang,
konsumsi alkohol dan massa tubuh yang rendah[7].
Menurut penelitian Halimah (2007) Indeks Massa Tubuh (IMT) terkait
dengan berat badan. Berat badan yang kurang mengakibatkan kurangnya beban
mekanik yang dapat merangsang meningkatnya DMT, sedangkan berat badan lebih
(obesitas) akan lebih meningkatkan DMT[8]. Menurut penelitian Khun Zhu (2015)
berat bedan merupakan prediktor yang kuat untuk mengukur densitas mineral
tulang, dan hubungan antara IMT dan DMT lebih lemah (resiko osteoporosis)
terhadap individu dengan IMT gemuk(9).
Meningkatnya kesadaran akan dampak osteoporosis, penggunaan teknik
densitometri tulang menjadi lebih luas. Kemajuan telah dibuat dalam
pengembangan metode non-invasif untuk penilaian densitas tulang[10]. Dari
berbagai pengukuran densitas tulang yang digunakan saat ini teknik Dual X-ray
Absorptiometry (DXA) yang paling banyak dgunakan. Teknik ini secara bertahap
menggantikan teknik ionisasi lain yang menggunakan radiasi gamma seperti single
photon absorptiometry (SPA), dual photon absorptiometry (DPA) dan lain-lain[11].
3
Lokasi anatomi pengukuran DXA untuk mineral tulang termasuk tulang belakang,
tulang pinggul dan total dan seluruh tubuh. Prinsip dasar fisika dibalik DXA adalah
pengukuran transmisi sinar-X dengan energi foton yang tinggi dan rendah.
Menggunakan ketergantungan dari koefisien pelemahan X-ray pada nomor atom
dan energi foton, pengukuran faktor transmisi pada dua energi yang berbeda
memungkinkan kepadatan areal (yaitu massa per unit daerah diproyeksikan) dari
dua jenis jaringan yang akan disimpulakan[10].
Berdasarkan uraian diatas, maka hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT)
terhadap Densitas Mineral Tulang (DMT) sangat penting sebagai prediktor resiko
terkena penyakit osteoporosis. Prediktor osteoporosis ini diperoleh dari proyeksi
pengukuran densitas tulang menggunakan Dual X-ray Absorptiometry (DXA).
1.2 Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah :
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada indeks massa tubuh yang berbeda
seperti gemuk, kurus, dan kelebihan berat badan (obesitas) terhadap lokasi anatomi
yang sudah ditentukan untuk mengukur densitas tulang menggunakan teknik Dual
X-ray Absorptiometry (DXA), kemudian membandingkan nilai densitas mineral
tulang dengan mengacu pada nilai T-Score.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengukur densitas mineral tulang menggunakan teknik Dual X-ray
Absorptiometry (DXA).
2. Analisis densitas mineral tulang berdasarkan indeks massa tubuh yang
berbeda terhadap resiko penyakit osteoporosis.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tulang
Antropolog-antropolog telah lama tertarik pada tulang-tulang. Tulang dapat
bertahan berabad-abad dan dalam beberapa kasus selama berjuta-juta tahun. Karena
kekuatannya tulang digunakan oleh manusia sebagai alat yang beragam, senjata dan
objek seni. Tulang memudahkan antropolog menjajaki perkembangan manusia,
baik fisik maupun kebudayaan.
Tulang-tulang juga merupakan hal menarik dalam bidang fisika dan teknik.
Mungin sistem organ tubuh ini berhubungan langsung dengan ilmuwan fisika
karena hal ini memiliki masalah-masalah tipe teknis yang berkenaan dengan usaha
statis dan dinamis yang timbul selama berdiri, berjalan, berlari, mengangkat dan
lain-lain.
Tulang adalah jaringan hidup, tulang melakukan pergantian dalam
kehidupannya. Proses berkelanjutan dalam menghancurkan tulang-tulang tua dan
membentuk tulang-tulang baru, disebut pembentukan ulang tulang, dilakukan oleh
sel-sel tulang khusus. Osteoklas menghancurkan tulang, dan osteoblas membangun
tulang. Dibandingkan dengan proses-proses dalam tubuh lainnya, kerja
pembentukan tulang cukup lambat. Kita miliki tulang-tulang baru setiap tujuh
tahun, setiap hari osteoklas menghancurkan tulang yang mengandung 0,5g kalsium
(tulang-tulang memiliki sekitar 1000g kalsium), dan osteoblas membentuk tulang
baru dengan menggunakan jumlah kalsium yang sama. Sementara tubuh masih
muda dan berkembang osteoblas melakukan kerja lebh banyak pekerjaan daripada
5
osteoklas tetapi setelah berusia 35-40 tahun aktifitas osteoklas lebih besar daripada
osteoblas, menghasilkan penurunan bertahap pada massa tulang yang berlanjut
hingga kematian.
II.1.1 Komposisi Tulang
Komposisi kimia tulang secara detail pada tabel II.1. Perhatikan presentase
besar kalsium (Ca) dalam tulang. Karena kalsium memiliki nukleus yang lebih berat
daripada sebagian besar elemen dalam tubuh, kalsium menyerap sinar-X lebih baik
daripada jaringan halus melingkupinya. Ini adalah alasan mengapa sinar-X
menunjukkan bentuk tulang dengan sangat baik.
Tabel II.1 Komposisi dari Tulang Keras
Elemen Tulang keras, tulang paha (%)
H 3,4
C 15,5
N 4,0
O 44,0
Mg 0,2
P 10,2
S 0,3
Ca 22,2
Campuran 0,2
Tulang terdiri dari dua material yang berbeda ditambah air, kolagen,
pecahan organik utama, yang sekitar 40% dari berat tulang padat dan 60% dari
6
volumenya, dan mineral tulang, komponen “tidak organik”, yang sekitar 60% dari
berat tulang padat dan 40% dari volumenya. Tidak satupun komponen-komponen
ini dapat dihilangkan dari tulang, dan sisa yang hanya terbentuk dari kolagen atau
mineral tulang, akan terlihat seperti tulang asli.
Kolagen diproduksi oleh sel-sel osteoblas, mineral kemudian dimasukkan
dalam kolagen untuk memproduksi tulang. Kolagen tulang tidak sama dengan
kolagen yang ditemukan pada banyak bagian lain pada tubuh seperti kulit.
Strukturnya tampak seperti dimensi rumit dari kristal-kristal mineral tulang dan
membentuk pola dimana kristal-kristal mineral tulang tersusun dengan tepat.
Mineral tulang diyakini terbentuk dari kalsium hydroyapatite
Ca10(PO4)6(OH)2. Kristal sejenis ini terdapat dialam; fluorapatite, sejenis batu,
berbeda dari kalsium hydroxypatite pada susunan dimana fluorine menggantikan
kedudukan OH. Fluoride dalam air minum dapat mencegah pengeroposan,
pelubangan pada gigi, dengan mengubah daerah mikroskopis gigi menjadi batu
fluoropatite, yang lebih stabil daripada mineral tulang.
Pembelajaran menggunakan hamburan sinar-X telah mengindikasikan
bahwa kristal-kristal mineral tulang berbentuk tangkai dengan diameter 2 sampai 7
nm dan panjang 5 sampai 10 nm. Karena ukuran kristal yang kecil, mineral tulang
memiliki daerah permukaan yang sangat luas[2].
II.2 Osteoporosis
World Health Organisation (WHO) dan konsensus ahli mendefinisikan
osteoporosis sebagai penyakit yang ditandai dengan rendahnya massa tulang dan
memburuknya mikrostruktrural jaringan tulang, menyebabkan kerapuhan tulang
7
sehingga meningkatkan risisko terjadinya fraktur. Dimana keadaan tersebut tidak
memberikan keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur (thief in the
night)[12].
Osteoporosis adalah penyakit tulang yang ditandai dengan menurunnya
massa tulang (kepadatan tulang) secara keseluruhan akibat ketidakmampuan tubuh
dalam mengatur kandungan mineral dalam tulang yang disertai dengan rusaknya
arsitektur tulang. Hal ini mengakibatkan penurunan kekuatan tulang atau dikenal
pengeroposan tulang, sehingga mudah terjadi resiko patah tulang[5]. World Health
Organization (WHO) menggunakan pengukuran Densitas Mineral Tulang (DMT)
sebagai salah satu pendekatan diagnosis osteoporosis. Secara umum terjadi
penurunan DMT dalam proses terjadinya osteoporosis, sehingga terjadi kerapuhan
tulang. DMT normal jika nilai kepadatan tulang (T-score) ≥-1 dan DMT rendah bila
T-score sampel <-1[6].
Faktor terjadinya penurunan DMT diantaranya adalah jenis kelamin,
peningkatan usia, genetik, kebiasaan merokok, aktifitas fisik yang kurang,
konsumsi alkohol dan massa tubuh yang rendah[7]. Indeks Massa Tubuh (IMT)
terkait dengan berat badan. Berat badan yang kurang mengakibatkan kurangnya
beban mekanik yang dapat merangsang meningkatnya DMT melalui gaya gravitasi,
sedangkan berat badan lebih (obesitas) akan lebih meningkatkan DMT[8].
II.2.1 Klasifikasi Osteoporosis
Osteoporosis primer, dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Dihubungkan
dengan faktor resiko meliputi merokok, aktifitas, pubertas tertunda, massa tubuh
8
yang rendah, alkohol, ras kulit putih/asia, riwayat keluarga, postur tubuh dan asupan
kalsium yang rendah[13].
1. Osteoporosis Tipe I
Sering disebut dengan istilah osteoporosis pasca menopouse, yang terjadi pada
wanita pasca menopouse. Biasanya wanita berusia 50-69 tahun, fraktur sering pada
corpus vertebra (ruas tulang belakang), kemudian tulang iga dan tulang radius
2. Osteoporosis Tipe II (senile)
Terjadi pada pria dan wanita usia ≥70 tahun. Fraktur kompresi sering pula terjadi
pada corpus vertebra, gejala yang perlu diwaspadai adalah kifosis dorsalis
bertambah berat, tulang vertebra semakin pendek dan nyeri tulang berkepanjangan.
Osteoporosis sekunder, dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Penyebabnya
meliputi efek kortikosteroid, hipertirodisme, multipel mieloma, malnutrisi,
defisiensi estrogen, hiperparatiroidisme, faktor genetik, dan obat-obatan[13].
II.3 Indeks Massa Tubuh sebagai salah satu faktor resiko osteoporosis
Massa tulang akan lebih besar pada orang yang berbadan besar
dibandingkan orang yang bebadan kurus dan kecil[3]. Kondisi ini disebabkan karena
tulang giat membentuk sel apabila ditekan oleh bobot yang berat. Posisi tulang
menyangga bobot, maka tulang akan merangsang untuk membentuk masa pada area
tersebut, terutama pada daerah panggul dan pinggul. Jika bobot tubuh ringan maka
massa tulang cenderung kurang terbentuk sempurna[14].
9
IMT terkait dengan berat badan (BB). Menurut Halimah (2007),
menyatakan bahwa BB yang kurang mengakibatkan kurangnya beban mekanik
yang dapat merangsang meningkatnya DMT[8]. Cara untuk menghitung IMT:
IMT =Massa (kg)
[Tinggi Badan (m)]2 (2.1)
IMT yang dikatakan kurus apabila < 18,4. IMT 18,5 sampai 25 dikatakan
normal. Gemuk atau obesitas adalah apabila IMT ≥25,1[15].
II.4 Dual energy X-ray Absorptiometry
Dual energy X-ray Absorptiometry (DXA) adalah teknik pencitraan sinar-
X terutama yang digunakan untuk memperoleh massa dari suatu materi dalam
keberadaan lainnya melalui pengetahuan yang unik dari pelemahan sinar-X pada
energi yang berbeda. Dua gambar yang dibuat dari pelemahan rendah dan tinggi
rata-rata energi sinar-X.
DXA merupakan teknik perluasan dari teknik pencitraan sebelumnya
disebut Dual energy Photon Absorptiometry (DPA). Teknik DXA berbeda dari
DPA hanya dalam menggunakan redaman emisi monokromatik dari radioisotop
(yaitu 153Gd), sementara DXA menggunakan spektrum polikromatik sinar-X
untuk setiap gambar, berpusat pada energi yang berbeda. Penerapan utama DXA
ini telah mengukur densitas mineral tulang untuk menilai resiko patah tulang dan
osteoporosis, energi sinar-x dioptimalakan untuk penilaian kepadatan tulang.
Untuk diagnosis osteoporosis, scan dilakukan pada bagian tulang belakang, tulang
pinggul dan kadang-kadang lengan bawah. ROI (Region Of Interest) digunakan dan
sebagai kriteria diagnostik yang didefinisikan dengan baik. Seluruh tubuh juga
10
dapat discan untuk mengukur seluruh massa tulang tubuh dan komposisi jaringan
lunak tubuh[16].
Gambar II.1 DXA scanner (Lunar EXPERT-XL)[10]
Serupa dengan DPA prinsip dasar fisika dibalik DXA adalah pengukuran
transmisi sinar-X dengan tinggi dan rendah energi foton. Keuntungan utama dari
sebuah sistem X-ray atas sistem radionuklida DPA adalah mempersingkat waktu
pemeriksaan karena peningkatan fluence foton dari tabung X-ray dan akurasi yang
lebih baik dan presisi yang dihasilkan dari resolusi yang lebih tinggi dan
menghilangkan kesalahan yang diakibatkan sumber kerusakan. Menggunakan
ketergantungan dari koefisien pelemahan X-ray pada nomor atom dan energi foton,
pengukuran faktor transmisi pada dua energi yang berbeda memungkinkan
kepadatan areal (yaitu massa per unit daerah diproyeksikan) dari dua jenis jaringan
disimpulkan. Dalam DXA scan ini diambil untuk menjadi tulang mineral
(hydoxyapatite) dan jaringan lunak, masing-masing. Prinsip dasar ini dapat
dijelaskan dengan menggunakan persamaan [10]:
11
Mb=In (𝐼OL 𝐼IL⁄ ) − [In (𝐼OH 𝐼IH⁄ )(𝜇SL 𝜇SH⁄ )]
𝜇BL−𝜇BH (𝜇SL 𝜇SH⁄ ) (2.2)
Dimana I0 adalah intensitas ditransmisikan melalui jaringan lunak saja, Ii
adalah intensitas ditransmisikan melalui tulang dan jaringan lunak, µ adalah
koefisien atenuasi massa, di garis bawahi B dan S mengacu tulang dan jaringan
lunak, dan L untuk energi foton rendah dan H untuk energi foton tinggi[10].
Sifat dari sistem DXA adalah bahwa ia menciptakan planar (dua dimensi)
gambar yang merupakan kombinasi dari redaman energi yang rendah dan tinggi.
Meskipun kepadatan biasanya dianggap sebagai massa per satuan volume, DXA
hanya bisa mengukur kepadatan tulang sebagai massa per satuan luas, karena
menggunakan gambar planar dan tidak dapat mengukur kedalaman tulang.
Sebaliknya, pengukuran kepadatan tulang menggunakan Computed Tomography
(CT) sistem, yang disebut Quantitative Computed Tomography (QCT), dapat
mengukur volume yang benar dan kepadatan tulang volumetrik. ukuran tulang
bervariasi sebagai fungsi dari usia. Dengan demikian, DXA nilai kepadatan tulang
meningkat dari lahir sampai dewasa, terutama karena tulang menjadi lebih besar.
DXA mendefinisikan komposisi tubuh menjadi tiga bagian yang memiliki sifat
redaman sinar-X khusus yaitu mineral tulang, lemak (trigliserida, fosfolipid
membran dan lain-lain) dan jaringan lunak bebas lemak[16].
Hasil dari DXA dinyatakan dengan T-score, yang dinilai dengan melihat
perbedaan DMT dari hasil pengukuran nilai rata-rata DMT puncak1. Kriteria WHO
untuk menentukan berat ringannya keropos tulang, organisasi kesehatan dunia
memberlakukan kriteria yang sudah diterima oleh seluruh dunia. Bila T-score sama
dengan atau lebih rendah dari -2,5 dinamakan osteoporosis. Bila T-score dibawah -
12
1,0 dinamakan osteopenia atau massa tulang yang rendah. T-score diantara -1
sampai +1 dikatakan DMT normal. Orang dengan T-score dibawah -2,5 yang
disertai dengan fraktur karena osteoporosis dikategorikan dalam osteoporosis yang
berat (Severe or established Osteoporosis)[17].
II.4.1 Prinsip Kerja DXA
DXA menggunakan sinar kolimasi tinggi. Sinar melewati jaringan lunak
dan bagian tulang dari tubuh dan ditangkap oleh detektor ditempatkan di sisi
berlawanan. Intensitas sinar keluar tubuh dan selanjutnya yang dipantulkan pada
detektor berbanding terbalik dengan kepadatan bagian tubuh yang dievaluasi.
Untuk pengukuran massa tulang dan DMT, intensitas sinar yang keluar bagian
tubuh dibandingkan dengan sinar yang keluar dari densitas phantom standar yang
telah diketahui. Hasil BMD disajikan dalam gram per sentimeter persegi. Sinar
yang keluar bagian tubuh ditampilkan dalam bentuk gambar pada layar monitor
atau pada kertas[18].
Gambar II.2 Diagram skematik yang menunjukkan sistem DXA[16]
13
II.4.2 Pengukuran DXA scan
Ada tiga nilai laporan dari sistem DXA komposisi tubuh:
1. Bone Mineral Content (BMC). BMC adalah komponen massa mineral
tulang dalam bentuk hydroxyapatite, Ca10 (PO4)6(OH)2. BMC biasanya
diukur dalam gram. Diketahui bahwa BMC tidak termasuk massa dari salah
satu komponen organik tulang (sumsum, kolagen dan lain-lain).
2. Bone Area (BA). BA adalah daerah yang diproyeksikan dari tulang ke
bidang gambar, biasanya dalam cm2.
3. Bone Mineral Density (BMD). BMD adalah massa mineral tulang per unit
area gambar dalam g/cm2. Disini perbedaan dibuat antara densitas dan
kepadatan volume. Kepadatan volume, massa mineral per unit volume
tulang tidak langsung diukur dengan DXA namun dapat diukur dengan
QCT. Abmd didefinisikan sebagai[16]:
BMD = BMC/BA (g/cm2) (2.3)
14
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di bagian Instalasi Radiologi Rumah Sakit Universitas
Hasanuddin Makassar pada bulan Desember 2016 – Maret 2017.
III.2 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1. Pesawat DXA
2. Microtoise
3. Timbangan Berat Badan
III.3 Prosedur Kerja
1. Menentukan IMT pasien dengan mengukur tinggi badan dan berat badan.
2. Melakukan DXA scan pada lokasi anatomi yang telah ditentukan.
3. Memilih ROI pada bagian citra yang telah di scan DXA sesuai dengan
ketetapan resmi ISCD (International Society for Clinical Densitometry)
tahun 2013.
4. Mengevaluasi nilai T-score, BMC, BA dan BMD terhadap IMT yang
berbeda.
15
III.4 Alur Penelitian
Gambar III.1 Alur Penelitian
MULAI
Pengukuran IMT
Scan DXA
Pemilihan ROI pada bagian citra yang di scan DXA
Evaluasi hasil nilai T-score , BMC, BA dan BMD
terhadap IMT yang berbeda
Selesai
Tinggi badan (m) Berat badan2 (m)
Kurus Normal Gemuk (obesitas)
Hasil foto/citra
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.I Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Universitas
Hasanuddin pada Desember 2016 sampai dengan bulan April 2017. Penelitian ini
menggunakan pesawat DXA GE Lunar Prodigy Pro (Gambar IV.1) model pesawat
8743 no. seri 78018GA diproduksi tahun 2012 buatan Amerika Serikat. Dosis
radiasi yang dihasilkan pada alat ini sekitar 9µGy sampai 37 µGy. Penelitian ini
menggunakan 15 sampel, semuanya berjenis kelamin perempuan dengan beragam
umur dan IMT yang berbeda yaitu kurus, normal dan gemuk (obesitas).
Gambar IV.1 Pesawat DXA GE Lunar Prodigy Pro
Daerah pengukuran BMD pada 15 sampel ini dilakukan pada tulang
belakang (lumbal/spine) dengan posisi AP (Antero Posterior). Pada pengukuran ini
daerah lumbal diberi kode L. Pengukuran BMD lumbal ini menggunakan Region
Of Interest (ROI) pada L1-L4 sebagai kriteria diagnostik. Apabila terdapat kelainan
17
atau artefak dapat digunakan 3 atau 2 buah lumbal untuk mengukur BMD dan
diagnosa tidak dapat ditegakkan berdasarkan 1 buah lumbal berdasarkan ketetapan
ISCD (International Society for Clinicall Densitometry).
Gambar IV.2 Region Of Interest (ROI) pada kriteria Lumbal
Data hasil pengukuran BMD terdapat 3 nilai laporan yaitu BA (Bone Area),
BMC (Bone Mineral Content), dan BMD (Bone Mineral Density). Adapun juga
nilai T-score yang berhubungan dengan kekuatan tulang dan resiko fraktur.
Sedangkan nilai Z-score harus menggunakan data referansi penduduk setempat
bilamana data tersebut tersedia. Pada penelitian ini nilai laporan BMD dan T-score
dianalisa berdasarkan setiap region (wilayah) berdasarkan IMT sampel dan
hubungannya dengan resiko fraktur atau penyakit osteoporosis.
Pada nilai laporan DXA scan BMC dan BA dapat dilihat pada tabel IV.1
dan tabel IV.2 sedangkan untuk nilai BMD dianalisis berdasarkan setiap region
yang sama pada setiap sampel IMT
18
Tabel IV.1 Data nilai BMC (Bone Mineral Content)
Sampel dengan IMT Kurus
Sampel Region
Rerata (gram) STDEV L1 L2 L3 L4
1 7.61 9.29 10.61 10.23 9.43 1.337199
2 6.44 7.56 9.07 11.57 8.66 2.219204
3 6.13 7.73 9.92 10.17 8.48 1.916114
4 8.1 10.37 12.11 12.69 10.81 2.062513
5 9.32 9.69 11.97 14.24 11.3 2.280709
Sampel dengan IMT Normal
1 8.55 9.78 12.35 12.95 10.9 2.088195
2 10.08 11.76 14.01 14.78 12.65 2.143461
3 10.12 12.11 10.17 11.7 11.02 1.030032
4 12.39 11.43 12.45 16.59 13.21 2.298021
5 9.76 10.74 16.1 12.2 3.412858
Sampel dengan IMT Gemuk
1 12.6 13.89 17.37 14.62 2.467367
2 12.98 13.99 15.34 19.52 15.45 2.875719
3 10.3 11.49 13.33 15.39 12.62 2.223816
4 12.99 14.02 17.06 14.69 2.116105
5 12.1 11.08 11.96 12.71 11.96 0.672427
19
Tabel IV.2 Data nilai BA (Bone Area)
Sampel dengan IMT Kurus
Sampel Region
Rerata (cm2) STDEV L1 L2 L3 L4
1 9.47 9.89 11.18 14.16 11.17 2.118844024
2 9.77 12.11 11.44 12.68 11.5 1.259761882
3 7.52 8.81 10.12 10.62 9.26 1.392728138
4 8.3 8.96 9.53 10.94 9.43 1.123665876
5 8.48 9.84 11.49 12.15 10.49 1.655113289
Sampel dengan IMT Normal
1 8.52 9.26 10.91 11.71 10.1 1.466310563
2 9.29 9.73 10.78 11.88 10.42 1.156748316
3 9.8 11.28 9.7 13.25 11 1.660389011
4 10.55 11.54 10.79 10.96 0.516430053
5 8.72 8.3 10.37 11.76 9.78 1.589787722
Sampel dengan IMT Gemuk
1 12.31 13.64 15.06 13.67 1.375245433
2 10.86 11.66 12.62 15.85 12.74 2.189906771
3 11.44 11.23 11.7 13.75 12.03 1.162669343
4 10.33 10.42 11.28 10.67 0.524436205
5 10.28 10.31 10.11 11.1 10.45 0.442191512
IV.2 Hasil pengukuran BMD
IV.2.1 Hasil pengukuran BMD pada sampel dengan IMT kurus
Nilai BMD pada DXA scan yaitu massa mineral tulang per unit gambar
dalam g/cm2. Data hasil nilai BMD (Bone Mineral Density) pada DXA scan
Lumbal 1-4 diperoleh berdasarkan persamaan II.3 yaitu
BMD = BMC/BA (g/cm2)
20
Data hasil pengukuran nilai BMD (Bone Mineral Density) pada DXA scan Lumbal
1-4 dengan sampel IMT kurus dapat dilihat pada tabel IV.3
Tabel IV.3 Data nilai BMD (Bone Mineral Density) pada IMT kurus
Region
Sampel dengan IMT kurus Rata-rata
(g/cm2)
STDEV
1 2 3 4 5
L1 0,983 0,829 0,815 0,776 0,897 0,86 0,081456
L2 0,98 0,856 0,877 0,844 0,944 0,9 0,059027
L3 1,071 1,059 0,98 0,952 0,924 0,99 0,065121
L4 1,006 1,001 0,957 1,057 0,842 0,97 0,081156
Pada tabel IV. 3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata BMD tertinggi adalah berada
pada region L3 yaitu 0,99 g/cm2 sedangkan nilai rata-rata BMD terendah berada
pada region L1 yaitu 0,86 g/cm2. Untuk mempermudah analisis hasil pengukuran
nilai BMD berdasarkan setiap region , berikut disajikan grafik perubahan nilai
BMD pada kriteria L1-L4 pada sampel dengan IMT kurus.
Gambar IV.3 Grafik perubahan nilai BMD pada kriteria L1-L4 terhadap IMT kurus
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1 2 3 4 5
BM
D (
g/cm
2 )
Sampel
Sampel IMT Kurus
L1
L2
L3
L4
21
Pada gambar IV.3 memperlihatkan nilai BMD pada IMT sampel kurus
beradasarkan region dengan error bar (standar deviasi) yang menunjukkan sampel
1,2 dan 3 nilai BMD tertinggi pada region L3 sedangakan pada sampel 4 pada
region L4 dan sampel 5 pada region L2. Untuk keseluruhan, pada sampel 1 nilai
BMD lebih tinggi untuk setiap region dengan rata-rata > 0,8 g/cm2
IV.2.2 Hasil pengukuran BMD pada sampel dengan IMT Normal
Pada IMT normal berada range pada 18-25, dosis yang diberikan pada DXA
scan berkisar 15-25 µGy. Prosedur pemeriksaan pun sama untuk setiap setiap
sampel IMT yang berbeda yaitu tulang belakang (lumbal). Data hasil pengukuran
nilai BMD (Bone Mineral Density) pada DXA scan Lumbal 1-4 dengan sampel
IMT normal dapat dilihat pada tabel IV.4
Tabel IV.4 Data nilai BMD (Bone Mineral Density) pada IMT normal
Region
Sampel dengan IMT normal Rata-rata
(g/cm2)
STDEV
1 2 3 4 5
L1 1,003 1,085 1 1,14 1,065 0,060437
L2 1,056 1,208 1,074 1,157 1,081 1,1152 0,064674
L3 1,132 1,299 1,049 1,225 1,259 1,1928 0,101332
L4 1,106 1,244 0,883 1,041 1,27 1,108 0,157999
Pada tabel IV. 4 menunjukkan bahwa nilai rata-rata BMD tertinggi adalah
berada pada region L3 yaitu 1,1928 g/cm2 sedangkan nilai rata-rata BMD terendah
berada pada region L1 yaitu 1,065 g/cm2. Untuk sampel 5 region L1 tidak tampak
diakibatkan adanya artefak tetapi diagnosa tetap dapat ditegakkan menggunakan 2-
22
3 region lumbal berdasarkan ketetapan ISCD (International Society for Clinical
Densitometry). Untuk mempermudah analisis hasil pengukuran nilai BMD
berdasarkan setiap region , berikut disajikan grafik perubahan nilai BMD pada
kriteria L1-L4 pada sampel dengan IMT normal
Gambar IV.4 Grafik perubahan nilai BMD pada kriteria L1-L4 terhadap IMT
Normal
Pada gambar IV.4 memperlihatkan nilai BMD pada IMT sampel kurus
beradasarkan region dengan error bar (standar deviasi) yang menunjukkan sampel
1,2,3 dan 4 nilai BMD tertinggi pada region L3 sedangakan sampel 5 pada region
L4. Untuk keseluruhan, pada sampel 2 dan nilai BMD lebih tinggi untuk setiap
region dengan rata-rata > 1g/cm2.
IV.2.3 Hasil pengukuran BMD pada sampel dengan IMT Gemuk
Pada pemeriksaan DXA scan dengan IMT gemuk posisi pasien dengan
menggunakan alat fiksasi pada kaki untuk menghindari jarak dengan meja
pemeriksaan untuk meminimalisir terjadinya artefak pada citra . Dosis yang
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1 2 3 4 5
BM
D (
g/cm
2 )
Sampel
Normal
L1
L2
L3
L4
23
diberikan berkisar 20-35 µGy. Data hasil pengukuran nilai BMD (Bone Mineral
Density) pada DXA scan Lumbal 1-4 dengan sampel IMT gemuk dapat dilihat pada
tabel IV.5
Tabel IV.5 Data nilai BMD (Bone Mineral Density) pada gemuk
Region
Sampel dengan IMT gemuk Rata-rata
(g/cm2)
STDEV
1 2 3 4 5
L1 1,196 0,901 1,177 1,091 0,165
L2 1,023 1,2 1,022 1,258 1,074 1,115 0,107
L3 1,018 1,216 1,139 1,345 1,183 1,18 0,118
L4 1,153 1,231 1,119 1,513 1,146 1,232 0,162
Pada tabel IV. 5 menunjukkan bahwa nilai rata-rata BMD tertinggi adalah berada
pada region L4 yaitu 1,232 g/cm2 sedangkan nilai rata-rata BMD terendah berada
pada region L1 yaitu 1,091 g/cm2. Untuk sampel 1 dan 4 region L1 tidak tampak
diakibatkan adanya artefak tetapi diagnosa tetap dapat ditegakkan menggunakan 2-
3 region lumbal berdasarkan ketetapan ISCD (International Society for Clinical
Densitometry). Untuk mempermudah analisis hasil pengukuran nilai BMD
berdasarkan setiap region , berikut disajikan grafik perubahan nilai BMD pada
kriteria L1-L4 pada sampel dengan IMT gemuk
24
Gambar IV.5 Grafik perubahan nilai BMD pada kriteria L1-L4 terhadap IMT
Gemuk
Pada gambar IV.5 memperlihatkan nilai BMD pada IMT sampel kurus
beradasarkan region dengan error bar (standar deviasi) yang menunjukkan sampel
1,2 dan 3 nilai BMD tertinggi pada region L4 sedangakan pada sampel 3 dan 5 pada
region L3. Untuk keseluruhan, pada sampel 1 nilai BMD lebih tinggi untuk setiap
region dengan rata-rata > 1,2 g/cm2.
IV.3 Hasil pengukuran T-Score
IV.3.1 Hasil pengukuran T-Score pada IMT kurus
Hasil dari DXA dinyatakan dengan T-score, yang dinilai dengan melihat
perbedaan BMD dari hasil pengukuran nilai rata-rata BMD puncak. Pada penelitian
ini, nilai T-score setiap region pada sampel dengan IMT normal dapat dilihat pada
tabel IV.7
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
1 2 3 4 5
BM
D (
g/cm
2)
Sampel
Gemuk
L1
L2
L3
L4
25
Tabel IV.6 Data nilai T-score pada IMT kurus
Region
Sampel dengan IMT kurus
Rata-rata STDEV
1 2 3 4 5
L1 -0,5 -1,8 -1,1 -0,5 -1 -1,54 0,720214
L2 -1,8 -2,1 -2 -2,2 -1,4 -1,76 0,482701
L3 -0,5 -0,6 -1,3 -1,5 -1,8 -1,14 0,568331
L4 -1 -1,1 -1,5 -0,6 -2,4 -1,32 0,683374
Hasil dari T-score dengan sampel dengan IMT kurus pada tabel IV.6
menunjukkan nilai rata-rata T-score tertinggi pada region L3 sedangkan nilai T-
score terendah berada pada region L2. Untuk mempermudah analisis hasil
pengukuran nilai T-score berdasarkan setiap region, berikut disajikan grafik
perubahan nilai T-score pada kriteria L1-L4 pada sampel dengan IMT kurus.
Gambar IV.6 Grafik perubahan nilai T-score pada kriteria L1-L4 terhadap IMT
kurus
-3
-2,5
-2
-1,5
-1
-0,5
0
1 2 3 4 5
T-Score
Sampel
Sampel IMT kurus
L1 L2 L3 L4
26
Pada gambar IV.6 memperlihatkan nilai T-score pada IMT sampel kurus
beradasarkan region yang menunjukkan sampel 1 nilai T-score tertinggi yaitu -0,5
pada region L1 sedangakan nilai T-score terendah pada sampel 5 pada region L4.
Untuk keseluruhan, pada sampel 1 nilai T-score lebih tinggi berkisar antara -0,5
sampai -1,5 sedangkan nilai T-score terendah pada sampel 3 berkisar antara >-1
sampai -2.
IV.3.2 Hasil pengukuran T-Score pada IMT normal
Kriteria WHO untuk menentukan derajat keropos tulang, organisasi
kesehatan dunia (WHO) memberlakukan kriteria yaitu T-score sama dengan atau
lebih rendah dari ≤-2,5 dinamakan osteoporosis dan bila T-score <-1,0 dinamakan
osteopenia atau massa tulang yang rendah. Bila -1 < T-score < +1, maka dinamakan
DMT normal. Orang dengan T-score dibawah -2,5 yang disertai dengan fraktur
dikategorikan dalam osteoporosis yang berat (Severe or established Osteoporosis).
Pada penelitian ini, nilai T-score setiap region pada sampel dengan IMT normal
dapat dilihat pada tabel IV.7.
Tabel IV.7 Data nilai T-score pada IMT normal
Region
Sampel dengan IMT normal
Rata-rata STDEV
1 2 3 4 5
L1 -0,4 0,3 -0,1 0,8 0,15 0,519615
L2 -0,5 0,8 -0,3 04 -0,3 0,02 0,554076
L3 1,4 -0,7 0,7 1 0,48 0,834865
L4 -0,2 0,9 2,1 -0,8 1,2 0,64 1,150217
27
Hasil dari T-score dengan sampel dengan IMT kurus pada tabel IV.6
menunjukkan nilai rata-rata T-score tertinggi pada region L2 sedangkan nilai T-
score terendah berada pada region L4. Untuk mempermudah analisis hasil
pengukuran nilai T-score berdasarkan setiap region, berikut disajikan grafik
perubahan nilai T-score pada kriteria L1-L4 pada sampel dengan IMT normal.
Gambar IV.7 Grafik perubahan nilai T-score pada kriteria L1-L4 terhadap IMT
normal
Pada gambar IV.7 memperlihatkan nilai T-score pada IMT sampel normal
beradasarkan region yang menunjukkan sampel 3 nilai T-score tertinggi yaitu >2
pada region L1 sedangakan nilai T-score terendah pada sampel 4 pada region region
L1. Untuk keseluruhan, pada sampel 2 nilai T-score lebih tinggi berkisar antara 0
sampai <1,5 sedangkan nilai T-score terendah pada sampel 1 berkisar antara 0
sampai -0,5.
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
2
2,5
1 2 3 4 5
T-score
Sampel
Sampel IMT Normal
L1
L2
L3
L4
28
IV.3.3 Hasil pengukuran T-Score pada IMT gemuk
Hasil dari DXA dinyatakan dengan T-score, yang dinilai dengan melihat
perbedaan BMD dari hasil pengukuran nilai rata-rata BMD puncak. Pada penelitian
ini, nilai T-score setiap region pada sampel dengan IMT normal dapat dilihat pada
tabel IV.8
Tabel IV.8 Data nilai T-score pada IMT gemuk
Region
Sampel dengan IMT gemuk
Rata-rata STDEV
1 2 3 4 5
L1 1,2 -1,2 1,1 0,33 1,357694
L2 -0,7 0,7 -0,8 0 -0,3 0,02 0,88713
L3 -0,1 0,7 0 1,7 0,4 0,54 0,723187
L4 0,2 0,8 -0,1 3,2 0,1 0,84 1,361249
Hasil dari T-score dengan sampel dengan IMT gemuk pada tabel IV.7
menunjukkan nilai rata-rata T-score tertinggi pada region L4 sedangkan nilai T-
score terendah berada pada region L2. Untuk mempermudah analisis hasil
pengukuran nilai T-score berdasarkan setiap region, berikut disajikan grafik
perubahan nilai T-score pada kriteria L1-L4 pada sampel dengan IMT gemuk.
29
Gambar IV.7 Grafik perubahan nilai T-score pada kriteria L1-L4 terhadap IMT
gemuk
Pada gambar IV.3 memperlihatkan nilai T-score pada IMT sampel gemuk
beradasarkan region yang menunjukkan nilai T-score tertinggi yaitu pada sampel 4
dengan nilai >3 pada region L4 sedangakan nilai T-score terendah pada sampel 3
pada region L1. Untuk keseluruhan, pada sampel 4 nilai T-score lebih tinggi
berkisar antara 1 sampai 3 sedangkan nilai T-score terendah pada sampel 3 berkisar
antara 0 sampai -1.
IV.3.4 Analisa nilai T-score pada IMT yang berbeda terhadap resiko
fraktur atau osteoporosis
Hasil dari DXA dinyatakan dengan T-score, yang dinilai dengan melihat
perbedaan BMD dari hasil pengukuran nilai rata-rata BMD puncak. Berdsarkan
hasil penelitian terdapat perbedaan nilai T-score pada setiap region berdasarkan
IMT. Untuk mengetahui hubungan resiko penyakit osteoporosis bredasarkan
kriteria WHO, berikut disajikan grafik nilai T-score pada IMT yang berbeda.
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
1 2 3 4 5
T-score
Sampel
Sampel IMT gemuk
L1
L2
L3
L4
30
Gambar IV.7 Grafik pengaruh nilai T-score pada IMT yang berbeda terhadap
resiko penyakit osteoporosis
Pada gambar IV.4 nilai T-score pada sampel kurus menunjukkan nilai <-1 atau
dalam kriteria WHO dikatakan massa tulang rendah atau osteopenia, sedangkan
pada IMT normal dan gemuk menunjukkan nilai diantara -1 sampai +1 dalam
kriteria WHO di katakan normal. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang ada,
sebagaimana menurut Halimah (2007) Indeks Massa Tubuh (IMT) terkait dengan
berat badan. Berat badan yang kurang mengakibatkan kurangnya beban mekanik
yang dapat merangsang meningkatnya densitas mineral tulang, sedangkan berat
badan lebih (obesitas) akan lebih meningkatkan densitas minreal tulang.
-2
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
L1 L2 L3 L4
T-score
Region
Pengaruh nilai T-score terhadap resiko penyakit osteoporosis berdasarkan IMT yang berbeda
Kurus
Normal
Gemuk
31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang di peroleh dari penelitian ini adalah
1. Pada pengukuran BMD nilai BMD terendah berada pada region L1 dan
untuk nilai BMD tertinggi berada pada region L4. Untuk sampel dengan
IMT normal, puncak nilai BMD tertinggi berada pada region L3 dan nilai
BMD terendah berada pada region L1. Sampel dengan IMT gemuk dan
normal mempunyai nilai BMD yaitu >1 g/cm2 sedangkan untuk sampel
dengan IMT kurus dengan nilai BMD yaitu <1 g/cm2.
2. Sampel dengan IMT kurus menunjukkan nilai rata-rata T-score < -1 atau
dalam kriteia WHO disebut osteopenia sedangkan sampel dengan IMT
normal dan gemuk berada diantara -1 dan +1 yang berarti densitas mineral
tulang dalam batas normal.
V.2 Saran
Adapun saran pada penelitian ini adalah
1. Perlu dilakukan penelitian pengembangan pengukuran densitas mineral
tulang pada lokasi anatomi lain seperti tulang hip/pinggul dan
antebrachi/pergelangan tangan.
2. Perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk
menilai densitas mineral tulang untuk setiap sampel IMT yang berbeda.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Marcus R., Feldman D., dan Kelsey J. 2001. Osteoporosis. Second Edition.
Volume 1. Stanford : California.
2. John R. Cameron, James G. 2006. Skofronick, dan Roderick M. Grant. Fisika
Tubuh Manusia. Edisi Kedua. Jakarta. EGC
3. Compston, Juliet DR. 2002. Seri Kesehatan, Bimbingan Dokter Pada
Osteoprosis. Jakarta : Dian Rakyat.
4. Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
5. Pusat data dan informasi Kementrian Kesehatan RI. 2015. Data dan Kondisi
Penyakit Osteoporosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
6. WHO.2003. Prevention And Management Of Osteoporosis : Report Of A WHO
Scientific Group. (WHO technical report series; 921). Geneva: WHO.
7. Fox-spencer R dan Brown Pam. 2007. Simple Guides Osteoporosis. Jakarta:
Erlangga.
8. Halimah.2007. Analisis survival untuk mengukur peningkatan densitas mineral
tulang pasien perempuan yang menderita osteoporosis primer yang diberikan
terapi sesuai tata laksana klinik. MTIE FK UI. Jakarta
9. Christoper F. Njeh, Thomas Fuerst, Didier Hans, Glen M. Blake dan Harry K.
Genant.1999. Radiation Exposure In Bone Mineral Density Assesment.Aplied
Radiation and Isotopes, Vol. 50, page 215-236.
10. Espallargues M, Estrada MD, Sola M, Sampietro-Colom L, Rio LD dan
Granados A.1999. Bone densitometry in California, difusion and practice.
Barcelona :Catalan Agency for Health Technology Assesment.
11. Consensus Development Conference.1993. Diagnosis, prophylaxis, and
treatment of osteoporosis. Am J Med ;94:646-50.
12. Depkes R.I. 2008. Keputusan mentri kesehatan republik Indonesia Nomor
1422/MENKES/SK/XXI/2008 ,Tentang :Pedoman Pengendalian
Osteoporosis (http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/fil-
osteoporosis.pdfDepkes.com. Diakses pada tanggal 19 Desember 2016)
13. Zaviera, Ferdinand.2008. Osteoporosis: Deteksi Dini, Penanganan Dan Terapi
Praktis: Yogyakarta: Ar-ruzz Media
14. Depkes RI.2002. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
33
15. International Atomic Energy Agency (IAEA).2010. Dual Energy X Ray
Absorptiometry For Bone Mineral Density And Body Composition Assessment.
IAEA Human Health Series No.15. Vienna.
16. Tandra, Hans. 2009. Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang
Osteoporosis Mengenal, Mengatasi Dan Mencegah Tulang Keropos. PT.
Gramedia Pusaka Utama. Jakarta.
17. Kwang J. Chun, MD.2011. Bone Densitometry. Departement of Nuclear
Medicine. Semin Nucl Med 41:220-228.
34
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data IMT setiap sampel
Sampel Kurus Tinggi Badan (cm) Berat Badan (kg) IMT (<18,4)
1 150 40 17,77
2 149 36 16,21
3 149 40 18,01
4 148 39 17,8
5 165 47 17,27
Sampel Normal Tinggi Badan (cm) Berat Badan (kg) IMT (18,5-25)
1 150 43 19,11
2 150 55 24,4
3 155 45 18,75
4 155 46 19,1
5 150 47 20,88
Sampel Gemuk Tinggi Badan (cm) Berat Badan (kg) IMT (>25,1)
1 157 63 25,6
2 155 80 33,33
3 160 67 26,17
4 160 67 26,17
5 155 62 25,83
35
Lampiran 2 Hasil citra DXA scan
Lampiran 2.1 Hasil citra DXA scan sampel dengan IMT kurus
36
37
Lampiran 2.2 Hasil citra DXA scan sampel dengan IMT normal
38
39
Lampiran 2.3 Hasil citra DXA scan sampel dengan IMT gemuk
40
41
Lampiran 2.4 Posisi pemeriksaan DXA scan pada tulang belakang
42
Lampiran 2.5 Bukti Pengambilan data di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin.
43
44
CURRICULUM VITAE
IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Muhammad Fadli Jamil
Tempat, Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 05 Agustus 1992
Gender : Laki-Laki
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Toa Daeng 1 No.51 A
Email : [email protected]
PENDIDIKAN
1998 – 2004 : SDN Paccinang 1 Makassar
2004 – 2007 : SMPN 23 Makassar
2007 – 2010 : SMK Kartika Wirabuana Makassar
2010 - 2013 : ATRO Muhammadiyah Makassar
2014 – 2017 : Fisika Medik, Jurusan Fisika, FMIPA
Universitas Hasanuddin Makassar